Chapter 1

advertisement

BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian
Remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa
yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial
(Papalia, Olds, dan Feldman, 2004). Menurut Erikson (dalam Desmita, 2005),
masa remaja berlangsung pada usia 12 sampai 20 tahun. Monks dan Knoers
(2004) membagi masa remaja menjadi tiga tahapan, yaitu remaja awal, remaja
madya, dan remaja akhir. Masa remaja awal berlangsung pada usia 12 sampai 15
tahun, masa remaja madya berlangsung pada usia 15 sampai 17 tahun, sedangkan
masa remaja akhir berlangsung pada usia 17 sampai 21 tahun. Pada masa remaja,
Erikson (dalam Desmita, 2005) memberikan penekanan pada identity vs. identity
confusion. Identity merupakan penentuan “siapa” dan “apa” yang diinginkan
seorang remaja di masa mendatang, sedangkan identity confusion merupakan
kondisi dimana seseorang mengalami kebingungan identitas yang dapat
menyebabkan seseorang merasa terisolasi, hampa, cemas, dan bimbang.
Remaja yang sudah menemukan identititas diri akan memperoleh
pandangan yang jelas tentang dirinya, dapat memahami persamaan dan perbedaan
ataupun kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya maupun orang lain,
mampu mengambil keputusan, dan mengerti perannya sebagai remaja. Namun
remaja yang belum menemukan identitas dirinya, akan mengalami identity
confusion, dan bisa memunculkan perasaan terisolasi, hampa, cemas, bimbang,
dan bahkan dapat mengalami krisis identitas. Remaja yang gagal dalam mengatasi
1
krisis identitasnya tersebut, akan membahayakan masa depannya untuk menuju
tahapan perkembangan berikutnya, yaitu masa dewasa (Desmita, 2005).
Seperti yang dikatakan oleh Erikson di atas, bahwa pada masa remaja
seharusnya individu sudah dapat mengambil keputusan dengan bijaksana.
Pernyataan itu diperkuat oleh Santrock (1996) yang menyatakan bahwa masa
remaja merupakan masa dimana seseorang sudah dapat mengambil keputusan
yang lebih bijaksana daripada masa anak-anak, seperti dalam pemilihan teman
dan pemilihan pendidikan. Pada masa ini, remaja memiliki kebutuhan untuk
memiliki teman yang dapat memahami perasaannya dan membantunya jika
mengalami kesulitan, serta dapat merasakan suka dan duka dari permasalahan
yang dialaminya (Yusuf, 2004).
Remaja lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah daripada di rumah,
sehingga pengaruh lingkungan di sekolah tersebut pun lebih besar dan lebih kuat
bagi remaja daripada lingkungan di rumah. Dengan demikian para remaja lebih
banyak menghabiskan waktunya dengan teman-teman sebaya mereka (peer) di
sekolah (Santrock, 1996), yaitu dengan siapa mereka dapat merasa nyaman dan
dapat mengidentifikasi diri mereka (Larson & Richard, dalam Papalia, 2005,
dalam Santoso & Hawadi, 2008). Identifikasi maksudnya adalah seseorang
meniru penampilan atau tingkah laku orang lain yang menjadi idolanya (Yusuf,
2004).
Untuk para remaja, sekolah bukan hanya sebagai tempat untuk menambah
ilmu pengetahuan, melainkan juga sebagai tempat untuk mencari teman
(Santrock, 1996). Tidak sedikit remaja yang memiliki masalah dengan orang tua
ataupun keluarganya, seperti orang tua yang memiliki aturan-aturan yang kurang
2
dapat diterima oleh remaja. Para remaja membutuhkan orang lain, khususnya
teman-teman sebayanya di sekolah untuk berkeluh-kesah, yang diharapkan dapat
mengurangi beban yang dialami remaja. Pengalaman dalam pertemanan memiliki
pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan identitas remaja, keyakinan
terhadap kompetensi yang dimilikinya, hubungan sosialnya, dan kemampuan
yang mereka miliki untuk memasuki dunia pekerjaan (Santrock, 1996).
Ketika masa remaja, individu memiliki tugas-tugas perkembangan untuk
menerima perubahan keadaan fisiknya, mencapai tingkah laku yang bertanggung
jawab dengan mengembangkan nilai-nilai yang sesuai dengan dunia orang
dewasa, mempersiapkan diri untuk memasuki dunia pekerjaan, memperkuat
pengendalian diri, dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi (Havighurst,
1961, dalam Hurlock, 1990). Tugas-tugas perkembangan remaja tersebut
berhubungan dengan tuntutan dan peranan sebagai orang dewasa (Desmita, 2005),
contohnya seperti ketika membantu teman di dalam menjawab soal ujian, maka
remaja harus memilih antara memberikan jawaban dari soal tersebut atau tidak,
agar dapat mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab.
Terkadang remaja ingin masuk ke dalam dunia orang dewasa dan ingin
sekali dianggap sudah dewasa, namun mereka tidak mengetahui fungsi dan peran
sebagai orang dewasa. Remaja sering menemui perbedaan dengan orang dewasa,
yang dapat menimbulkan pertentangan, sehingga para remaja mengalihkan dan
mengganti role model yang pada awalnya orang tua, menjadi teman-teman
sebayanya. Fenomena ini terjadi karena mereka percaya bahwa teman sebaya
memiliki pemikiran yang sejalan dengan mereka, lebih dapat memahami perasaan
mereka dan bisa membantu para remaja untuk belajar tentang orang dewasa
3
(Papalia, 2005, dalam Santoso & Hawadi, 2008). Role model adalah orang yang
diharapkan bisa ditiru dan bisa menjadi teladan (Lockwood & Kunda, 1999,
dalam Baron, Byrne, & Branscombe, 2006).
Teman sebaya (peers) merupakan anak-anak atau remaja yang memiliki
tingkat usia ataupun tingkat kedewasaan yang relatif sama (Hartup, 1983, dalam
Santrock, 1996). Perbedaan usia dimungkinkan tetap terjadi meskipun mereka
berada di tingkat pendidikan yang sama. Namun biasanya para remaja akan
belajar lebih banyak tentang kehidupan dari teman-teman yang memiliki usia
yang sama. Ketika mereka belajar tentang kehidupan dengan orang yang lebih
tinggi usianya, tidak jarang mereka ditindas ataupun dimanfaatkan, sedangkan
ketika mereka belajar dari orang yang lebih muda usianya, terkadang tidak
memberikan tantangan karena mereka belum mengerti dan mencapai pola
pemikiran remaja. Hal tersebut membuat para remaja lebih memilih untuk
berteman dengan orang yang memiliki usia yang sama, daripada dengan orang
dewasa dan orang yang lebih muda (Santrock, 1996).
Sullivan (1963, dalam Santrock, 1995) mengatakan bahwa pada masa
remaja awal, kebutuhan untuk memiliki kedekatan dengan teman sebayanya
mengalami peningkatan. Oleh karena itu, pada masa ini, para remaja akan mencari
teman sebayanya untuk selanjutnya dijadikan sebagai teman dekatnya. Hubungan
teman sebaya bagi kehidupan para remaja memiliki arti yang sangat penting
karena melalui teman sebaya, remaja mempelajari prinsip kejujuran dan keadilan.
Para remaja lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berhubungan dengan
teman sebayanya, dan hubungan teman sebaya yang dilakukan oleh para remaja
lebih didasarkan pada hubungan persahabatan (Desmita, 2005).
4
Peningkatan keintiman hubungan persahabatan remaja mencerminkan
perkembangan kognitif dan emosional. Peningkatan keintiman dengan teman
sebaya mencerminkan kepedulian remaja untuk memiliki pengenalan yang lebih
baik tentang diri sendiri. Hubungan persahabatan menyediakan tempat yang aman
untuk berpendapat, mengakui kelemahan, dan mendapatkan pertolongan
(Buhrmester, 1996, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007).
Teman sebaya memiliki peran sebagai sumber aktivitas, dukungan dan
memberikan pengaruh terhadap kehidupan individu. Di dalam hubungan dengan
teman sebaya, seringkali remaja membentuk suatu kelompok yang biasa
dinamakan dengan peer group, atau kelompok teman sebaya, dengan tujuan untuk
menjalin keakraban masing-masing anggotanya, saling memberikan dukungan,
dan agar saling mengenal serta memiliki pemahaman satu sama lain (Dumont &
Provost, 1999, dalam Dacey & Travers, 2006). Pada masa remaja awal, peer
group memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap keberadaan individu
meskipun orang tua masih berperan dalam kehidupan para remaja. Namun pada
masa remaja madya dan remaja akhir, peran orang tua tersebut berkurang
disebabkan seringkali orang tua dirasakan sulit untuk diajak berdiskusi sehingga
menimbulkan perbedaan pendapat dengan anaknya dan menyebabkan adanya
jarak diantara mereka (Fuligni dkk, 2001, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007).
Condry, Simon, dan Bronfenbrenner (1968, dalam Santrock, 1996) melakukan
suatu penelitian yang menyatakan bahwa dalam satu minggu, remaja
menghabiskan waktu dua kali lebih banyak dengan teman-teman sebayanya
dibandingkan dengan orang tuanya. Hal ini menunjukkan bahwa remaja lebih
5
banyak berinteraksi dengan teman sebaya, sehingga teman sebaya memiliki
pengaruh yang besar terhadap kehidupan remaja.
Peer group merupakan sekelompok orang yang berinteraksi secara teratur,
memberikan rasa memiliki, mempunyai norma-norma yang menentukan
bagaimana anggotanya seharusnya berpikir, bersikap, bertindak, dan bertingkah
laku, dan saling membantu antar anggota kelompok demi mencapai tujuan yang
sama (Shaffer & Kipp, 2010). Peer Group akan membantu memberikan informasi
tentang bagaimana kehidupan di luar keluarga. Mereka juga bisa memberikan
umpan balik (feedback) atas perilaku remaja di dalam kelompok ini (Santrock,
1996). Namun, seringkali peer group memberikan tekanan kepada para remaja di
dalamnya agar dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok. Tekanan
yang ada di dalam hubungan dengan teman sebaya sering diidentikkan sebagai
suatu hal yang berbahaya, seperti meminta anggota kelompok untuk mencuri atau
melukai seseorang. Tidak hanya hal-hal negatif yang dapat muncul dalam tekanan
kelompok teman sebaya tersebut, namun hal-hal yang positif juga terbentuk,
seperti dapat mendorong teman-teman sebayanya untuk berpartisipasi di dalam
aktivitas atau kegiatan sekolah (Brown, Lohr, & McClenahan, 1986, dalam Kail
& Cavanaugh, 2004).
Peer group (kelompok teman sebaya) merupakan fenomena yang
seringkali dibahas pada masa remaja. Di dalam kelompok teman sebaya, mereka
bisa menolak individu yang tidak memiliki kesesuaian norma yang telah
ditetapkan di dalam kelompok tersebut. Pada banyak remaja, perasaan diakui dan
dipandang oleh teman sebaya merupakan salah satu aspek yang penting dalam
hidup mereka. Banyak remaja akan melakukan apapun dan berusaha keras agar
6
bisa diterima dengan baik di dalam peer group (Hetherington & Parke, 1999,
dalam Marlina, 2008). Remaja yang ditolak di dalam kelompok teman sebaya
seringkali dikucilkan dan menjadi korban dari teman-teman sebaya lainnya,
sehingga hal-hal tersebut menimbulkan kebencian, stres, merasa kesepian, cemas
yang berkepanjangan, dan dapat menyebabkan frustasi pada remaja (Coie, 1990;
Rubin & Stewart, 1996, dalam Bierman, 2004). Remaja yang mengalami
penolakan oleh kelompok teman sebayanya cenderung memiliki masalah perilaku,
mengalami tekanan psikologis, dan sulit menyesuaikan diri di dalam situasi
tertentu (Coie, Dodge, & Kupersmidt, 1990, dalam Bierman, 2004). Tidak hanya
itu, remaja juga akan lebih merasa kesepian dan mengalami ketidakpuasan secara
sosial (Asher, Hymel, & Renshaw, 1984, dalam Bierman, 2004).
Penerimaan peer group dapat diartikan sejauh mana seseorang dapat
diterima ataupun disukai oleh teman-temannya di dalam kelompok teman sebaya
(Shaffer & Kipp, 2010). Penerimaan di dalam peer group dihubungkan dengan
interaksi orang tua dan anak di rumah. Orang tua yang mendidik anaknya untuk
selalu disiplin, maka anak akan cenderung lebih kooperatif, tidak terlalu agresif,
dan memiliki kompetensi sosial (kemampuan berkomunikasi yang baik), sehingga
mereka lebih dapat diterima di dalam kelompok teman sebayanya. Namun, beda
halnya dengan orang tua yang memberikan hukuman yang tidak bisa diterima
anaknya, maka anak akan cenderung kurang memiliki kompetensi sosial dan
kurang bisa diterima di dalam kelompok (Hart dkk, 1992, dalam Hughes, 2002).
Seseorang bisa diterima dan menjadi populer di dalam peer group
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya karena dapat menempatkan diri
sebagai pribadi yang menyenangkan, memiliki pengetahuan yang luas, serta
7
memiliki tingkat kompetensi sosial yang tinggi atau memiliki kemampuan untuk
melakukan komunikasi dengan baik (Shaffer & Kipp, 2010). Remaja yang dapat
berkomunikasi dengan baik, akan dapat membangun hubungan persahabatan dan
mempertahankan hubungan yang sudah terjalin (Gottman, 1983, dalam Bierman,
2004).
Seorang peneliti menemukan bahwa remaja yang populer akan bersedia
memberikan
dukungan,
menjadi
pendengar
yang
baik
ketika
sedang
berkomunikasi, dan akan mempertahankan komunikasi yang sudah berjalan
dengan baik. Tidak hanya itu, mereka juga akan menjadi diri mereka sendiri,
menaruh perhatian kepada orang lain, dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi
namun tidak menjadi sombong (Hartup, 1983, dalam Santrock, 1996). Kennedy
(1990, dalam Santrock, 1996) menemukan bahwa pemuda yang populer lebih
dapat berkomunikasi dengan baik dengan teman-teman sebaya mereka,
mendapatkan perhatian dari teman sebaya dan mampu mempertahankan
komunikasi yang sudah ada dengan teman sebaya, dibandingkan dengan pemuda
yang tidak atau kurang populer.
Faktor fisik dan tingkat kecerdasan pun turut mempengaruhi popularitas
dan penerimaan kelompok teman sebaya terhadap seorang remaja. Seorang remaja
yang menarik secara fisik dan memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi di
antara teman-teman yang lainnya, akan lebih populer dan lebih dapat diterima
oleh teman sebayanya dibandingkan dengan remaja yang kurang memiliki daya
tarik secara fisik dan memiliki tingkat kecerdasan yang lebih rendah (Kennedy,
1990, dalam Santrock, 1996).
8
Salah satu hal yang mempengaruhi popularitas dan penerimaan teman
sebaya adalah kemampuan sosial. Kemampuan sosial merupakan kemampuan
seseorang untuk berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain, merespon
teman sebaya secara positif, dan menyelesaikan konflik interpersonal dengan baik
(Coie, Dodge, & Kupersmidt, 1990; Ladd, 1999, dalam Sigelman & Rider, 2006).
Individu yang populer dan diterima di dalam lingkungan teman sebayanya lebih
dapat berinteraksi dengan orang lain dan lebih terampil dalam berkomunikasi
(Rubin, Bukowski, & Parker, 1998, dalam Kail & Cavanaugh, 2004). Individu
yang cenderung tidak populer ataupun tidak diterima dalam lingkungan teman
sebayanya dapat dikarenakan kurangnya keterampilan secara sosial, dengan kata
lain, mereka kurang memiliki kemampuan yang baik dalam melakukan interaksi
sosial (Harrist dkk, 1997, dalam Kail & Cavanaugh, 2004).
Tidak hanya itu, remaja yang memiliki kemampuan berinisiatif yang
tinggi, akan lebih dapat diterima oleh teman-teman sebayanya karena mereka
lebih dapat mengemukakan ide-ide kreatifnya dan dapat ikut serta dalam berbagai
macam aktivitas yang juga bisa membanggakan kelompoknya (Desmita, 2005).
Memiliki kemampuan-kemampuan tersebut juga dapat mengurangi kecemasan
akan terjadinya penolakan di dalam hubungan persahabatan dengan teman sebaya
(Devito, 2007).
Connel dan Wellborn (1991, dalam Reynolds & Miller, 2003) mengatakan
bahwa remaja mendapatkan rasa keberhargaan diri dan kepercayaan dirinya dari
teman sebayanya yang merupakan kontribusi dari feeling of relatedness dan juga
feeling of belongingness. Feeling of relatedness diartikan sebagai perasaan terkait
dan merasa ingin tergabung di dalam kelompok, serta menjadi bagian dari
9
kelompok. Sedangkan feeling of belongingness diartikan sebagai perasaan
memiliki dan perasaan diterima oleh orang lain atau kelompok. Feeling of
relatedness dan feeling of belongingness tersebut merupakan dimensi dari
penerimaan peer group.
Dalam pencarian teman sebaya di dalam kelompok dan menjalin suatu
hubungan dengan orang lain, setiap orang tentunya membutuhkan komunikasi,
baik komunikasi antar-pribadi, komunikasi pribadi dengan kelompok, komunikasi
antar-kelompok, dan bisa juga komunikasi melalui media. Penelitian yang
dilakukan oleh Larasati (1992, dalam Nashori, 2000), sekitar 73 persen
komunikasi
yang
dilakukan
manusia
adalah
komunikasi
interpersonal.
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang terjadi antara dua orang atau
lebih yang memiliki hubungan yang ditetapkan (Devito, 2007). Kemampuan
untuk melakukan komunikasi secara efektif dinamakan kompetensi interpersonal
(Devito, 2007).
Spitzberg dan Cupach (1989; Wilson & Sabee, 2003, dalam Devito, 2009)
mengartikan kompetensi interpersonal merupakan kemampuan individu untuk
melakukan komunikasi secara efektif. Buhrmester dkk (1988, dalam Nashori,
2000) mengemukakan lima dimensi kompetensi interpersonal, yaitu kemampuan
berinisiatif, kemampuan untuk bersikap terbuka (self-disclosure), kemampuan
untuk bersikap asertif, kemampuan memberikan dukungan emosional, dan
kemampuan dalam mengatasi konflik.
Kompetensi komunikasi interpersonal merupakan kemampuan untuk
berkomunikasi dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan perhatian
yang dimilikinya (West & Turner, 2009). Ketika seseorang dinilai kompeten
10
dalam melakukan komunikasi, maka komunikasi tersebut akan menjadi tepat dan
efektif. Seseorang menggunakan komunikasi secara tepat ketika orang tersebut
mempertimbangkan masalah budaya yang melekat pada dirinya, termasuk dalam
aturan-aturan yang sudah ada dalam sebuah budaya, mengerti akan perannya,
memperhatikan seseorang ketika sedang berbicara, dan berusaha menyesuaikan
diri dari situasi yang ada, serta pihak yang diajak berkomunikasi. Sedangkan
seseorang yang menggunakan komunikasi secara efektif yaitu ketika memperoleh
makna dari setiap orang yang melakukan komunikasi dan dapat mencapai tujuan
dari komunikasi yang telah dilakukan tersebut. Wood (2010) mengatakan bahwa
semakin efektif seseorang berkomunikasi, maka semakin kompeten seseorang
dalam mencapai tujuannya.
Kompetensi
interpersonal
memungkinkan
seseorang
untuk
mengembangkan dan mempertahankan hubungan-hubungan lain yang akan
mereka jalani di dalam kehidupannya, seperti hubungan persahabatan, cinta,
keluarga, dan pada saat memasuki dunia kerja (Spitzberg & Cupach, 1989, dalam
Devito, 2009). Selain itu, kompetensi interpersonal dapat membantu seseorang
untuk mengurangi kecemasan dan depresi ketika tidak memiliki hubungan
persahabatan dan hubungan cinta dengan orang lain (Devito, 2007). Oleh karena
itu, peneliti ingin mengetahui hubungan antara kemampuan-kemampuan yang
dimiliki para remaja untuk melakukan komunikasi secara efektif dengan
penerimaan di dalam kelompok teman sebayanya di sekolah.
11
1.2
Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti
ingin melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara kompetensi interpersonal
dengan penerimaan dalam school peer group pada remaja di Jakarta.” Dengan
demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu apakah terdapat hubungan
yang signifikan antara kompetensi interpersonal dengan penerimaan dalam school
peer group pada remaja di Jakarta.
1.3
Hipotesis
Pada penelitian ini, peneliti merumuskan hipotesa yang menguraikan
hubungan antara kompetensi interpersonal dengan penerimaan dalam school peer
group pada remaja di Jakarta. Hipotesanya adalah sebagai berikut:
H0
=
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kompetensi
interpersonal dengan penerimaan dalam school peer group pada
remaja di Jakarta.
H1
=
Terdapat
hubungan
yang
signifikan
antara
kompetensi
interpersonal dengan penerimaan dalam school peer group pada
remaja di Jakarta.
1.4
Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini
bertujuan
untuk
mengetahui
signifikansi
hubungan
antara
kompetensi
interpersonal dengan penerimaan dalam school peer group pada remaja di Jakarta.
12
1.5
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, yaitu manfaat teoretis dan
manfaat praktis.
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pengetahuan
mengenai hubungan antara kompetensi interpersonal dan penerimaan
dalam school peer group pada remaja di Jakarta, kepada bidang ilmu
Psikologi, khususnya Psikologi Sosial dan Psikologi Perkembangan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Dengan dilakukannya penelitian ini, maka peneliti mendapatkan
tambahan pengetahuan mengenai kompetensi interpersonal dan
penerimaan dalam school peer group dan juga pemahaman akan
hubungan antara keduanya.
b. Bagi pembaca
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
pengetahuan baru mengenai hubungan kompetensi interpersonal
terhadap penerimaan di dalam lingkungan teman sebaya.
c. Bagi subjek penelitian
Penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan gambaran
ataupun informasi bagi para remaja mengenai kompetensi
interpersonal dan penerimaan di dalam school peer group.
13
d. Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan acuan, serta
menjadi referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
1.6
Definisi Terminologi
Pada penelitian ini ada beberapa definisi yang akan digunakan,
diantaranya adalah:
1. Kompetensi Interpersonal
Kompetensi Interpersonal merupakan kemampuan-kemampuan yang
dimiliki setiap orang untuk melakukan komunikasi secara efektif
(Buhrmester dkk, 1988, dalam Nashori, 2000).
2. Peer Group
Peer group merupakan sekelompok orang yang berinteraksi secara
teratur, memberikan rasa memiliki, memiliki norma-norma yang
menentukan bagaimana anggota lain seharusnya berpikir, bersikap,
bertindak, dan bertingkah laku, dan saling membantu antar anggota
kelompok untuk bekerja sama demi mencapai tujuan yang sama (Shaffer
& Kipp, 2010).
3. Penerimaan dalam Peer Group
Penerimaan peer group bisa diartikan sejauh mana seseorang dapat
diterima ataupun disukai oleh teman-temannya di dalam kelompok
(Shaffer & Kipp, 2010).
14
4. Remaja
Remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak dan masa
dewasa yang mencakup perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan
psikososial (Papalia, Olds, & Feldman, 2004).
1.7
Cakupan dan Batasan
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kompetensi
interpersonal dengan penerimaan dalam school peer group pada remaja di Jakarta.
Dimensi yang digunakan untuk mengukur kompetensi interpersonal adalah
kemampuan berinisiatif, kemampuan untuk bersikap terbuka, kemampuan untuk
bersikap asertif, kemampuan memberikan dukungan emosional, dan kemampuan
dalam mengatasi konflik, yang berasal dari teori Buhrmester dkk (1988, dalam
Nashori, 2000). Sedangkan dimensi penerimaan dalam school peer group adalah
feeling of relatedness dan feeling of belongingness, yang berasal dari teori Connel
dan Wellborn (1991, dalam Reynolds & Miller, 2003). Faktor-faktor lain yang
berhubungan dengan hal ini seperti masalah keterbatasan fisik, kecerdasan, dan
hubungan dengan orang tua, tidak akan dibahas secara mendalam.
Di dalam penelitian ini, peneliti membuat batasan dengan kriteria sampel
remaja yang berusia 12-17 tahun dan masih menempuh pendidikan SMP dan
SMA di Jakarta. Pemilihan responden tersebut dikarenakan pada masa remaja,
seseorang sudah mulai bisa mengambil keputusan untuk masa depan mereka,
seperti dalam hal memilih teman, sekolah, dan lain-lain, sehingga para remaja bisa
memilih, teman seperti apa yang bisa dekat dengan masing-masing individu.
15

Download