BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia, Olds, dan Feldman, 2004). Menurut Erikson (dalam Desmita, 2005), masa remaja berlangsung pada usia 12 sampai 20 tahun. Monks dan Knoers (2004) membagi masa remaja menjadi tiga tahapan, yaitu remaja awal, remaja madya, dan remaja akhir. Masa remaja awal berlangsung pada usia 12 sampai 15 tahun, masa remaja madya berlangsung pada usia 15 sampai 17 tahun, sedangkan masa remaja akhir berlangsung pada usia 17 sampai 21 tahun. Pada masa remaja, Erikson (dalam Desmita, 2005) memberikan penekanan pada identity vs. identity confusion. Identity merupakan penentuan “siapa” dan “apa” yang diinginkan seorang remaja di masa mendatang, sedangkan identity confusion merupakan kondisi dimana seseorang mengalami kebingungan identitas yang dapat menyebabkan seseorang merasa terisolasi, hampa, cemas, dan bimbang. Remaja yang sudah menemukan identititas diri akan memperoleh pandangan yang jelas tentang dirinya, dapat memahami persamaan dan perbedaan ataupun kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya maupun orang lain, mampu mengambil keputusan, dan mengerti perannya sebagai remaja. Namun remaja yang belum menemukan identitas dirinya, akan mengalami identity confusion, dan bisa memunculkan perasaan terisolasi, hampa, cemas, bimbang, dan bahkan dapat mengalami krisis identitas. Remaja yang gagal dalam mengatasi 1 krisis identitasnya tersebut, akan membahayakan masa depannya untuk menuju tahapan perkembangan berikutnya, yaitu masa dewasa (Desmita, 2005). Seperti yang dikatakan oleh Erikson di atas, bahwa pada masa remaja seharusnya individu sudah dapat mengambil keputusan dengan bijaksana. Pernyataan itu diperkuat oleh Santrock (1996) yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa dimana seseorang sudah dapat mengambil keputusan yang lebih bijaksana daripada masa anak-anak, seperti dalam pemilihan teman dan pemilihan pendidikan. Pada masa ini, remaja memiliki kebutuhan untuk memiliki teman yang dapat memahami perasaannya dan membantunya jika mengalami kesulitan, serta dapat merasakan suka dan duka dari permasalahan yang dialaminya (Yusuf, 2004). Remaja lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah daripada di rumah, sehingga pengaruh lingkungan di sekolah tersebut pun lebih besar dan lebih kuat bagi remaja daripada lingkungan di rumah. Dengan demikian para remaja lebih banyak menghabiskan waktunya dengan teman-teman sebaya mereka (peer) di sekolah (Santrock, 1996), yaitu dengan siapa mereka dapat merasa nyaman dan dapat mengidentifikasi diri mereka (Larson & Richard, dalam Papalia, 2005, dalam Santoso & Hawadi, 2008). Identifikasi maksudnya adalah seseorang meniru penampilan atau tingkah laku orang lain yang menjadi idolanya (Yusuf, 2004). Untuk para remaja, sekolah bukan hanya sebagai tempat untuk menambah ilmu pengetahuan, melainkan juga sebagai tempat untuk mencari teman (Santrock, 1996). Tidak sedikit remaja yang memiliki masalah dengan orang tua ataupun keluarganya, seperti orang tua yang memiliki aturan-aturan yang kurang 2 dapat diterima oleh remaja. Para remaja membutuhkan orang lain, khususnya teman-teman sebayanya di sekolah untuk berkeluh-kesah, yang diharapkan dapat mengurangi beban yang dialami remaja. Pengalaman dalam pertemanan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan identitas remaja, keyakinan terhadap kompetensi yang dimilikinya, hubungan sosialnya, dan kemampuan yang mereka miliki untuk memasuki dunia pekerjaan (Santrock, 1996). Ketika masa remaja, individu memiliki tugas-tugas perkembangan untuk menerima perubahan keadaan fisiknya, mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab dengan mengembangkan nilai-nilai yang sesuai dengan dunia orang dewasa, mempersiapkan diri untuk memasuki dunia pekerjaan, memperkuat pengendalian diri, dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi (Havighurst, 1961, dalam Hurlock, 1990). Tugas-tugas perkembangan remaja tersebut berhubungan dengan tuntutan dan peranan sebagai orang dewasa (Desmita, 2005), contohnya seperti ketika membantu teman di dalam menjawab soal ujian, maka remaja harus memilih antara memberikan jawaban dari soal tersebut atau tidak, agar dapat mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab. Terkadang remaja ingin masuk ke dalam dunia orang dewasa dan ingin sekali dianggap sudah dewasa, namun mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang dewasa. Remaja sering menemui perbedaan dengan orang dewasa, yang dapat menimbulkan pertentangan, sehingga para remaja mengalihkan dan mengganti role model yang pada awalnya orang tua, menjadi teman-teman sebayanya. Fenomena ini terjadi karena mereka percaya bahwa teman sebaya memiliki pemikiran yang sejalan dengan mereka, lebih dapat memahami perasaan mereka dan bisa membantu para remaja untuk belajar tentang orang dewasa 3 (Papalia, 2005, dalam Santoso & Hawadi, 2008). Role model adalah orang yang diharapkan bisa ditiru dan bisa menjadi teladan (Lockwood & Kunda, 1999, dalam Baron, Byrne, & Branscombe, 2006). Teman sebaya (peers) merupakan anak-anak atau remaja yang memiliki tingkat usia ataupun tingkat kedewasaan yang relatif sama (Hartup, 1983, dalam Santrock, 1996). Perbedaan usia dimungkinkan tetap terjadi meskipun mereka berada di tingkat pendidikan yang sama. Namun biasanya para remaja akan belajar lebih banyak tentang kehidupan dari teman-teman yang memiliki usia yang sama. Ketika mereka belajar tentang kehidupan dengan orang yang lebih tinggi usianya, tidak jarang mereka ditindas ataupun dimanfaatkan, sedangkan ketika mereka belajar dari orang yang lebih muda usianya, terkadang tidak memberikan tantangan karena mereka belum mengerti dan mencapai pola pemikiran remaja. Hal tersebut membuat para remaja lebih memilih untuk berteman dengan orang yang memiliki usia yang sama, daripada dengan orang dewasa dan orang yang lebih muda (Santrock, 1996). Sullivan (1963, dalam Santrock, 1995) mengatakan bahwa pada masa remaja awal, kebutuhan untuk memiliki kedekatan dengan teman sebayanya mengalami peningkatan. Oleh karena itu, pada masa ini, para remaja akan mencari teman sebayanya untuk selanjutnya dijadikan sebagai teman dekatnya. Hubungan teman sebaya bagi kehidupan para remaja memiliki arti yang sangat penting karena melalui teman sebaya, remaja mempelajari prinsip kejujuran dan keadilan. Para remaja lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berhubungan dengan teman sebayanya, dan hubungan teman sebaya yang dilakukan oleh para remaja lebih didasarkan pada hubungan persahabatan (Desmita, 2005). 4 Peningkatan keintiman hubungan persahabatan remaja mencerminkan perkembangan kognitif dan emosional. Peningkatan keintiman dengan teman sebaya mencerminkan kepedulian remaja untuk memiliki pengenalan yang lebih baik tentang diri sendiri. Hubungan persahabatan menyediakan tempat yang aman untuk berpendapat, mengakui kelemahan, dan mendapatkan pertolongan (Buhrmester, 1996, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Teman sebaya memiliki peran sebagai sumber aktivitas, dukungan dan memberikan pengaruh terhadap kehidupan individu. Di dalam hubungan dengan teman sebaya, seringkali remaja membentuk suatu kelompok yang biasa dinamakan dengan peer group, atau kelompok teman sebaya, dengan tujuan untuk menjalin keakraban masing-masing anggotanya, saling memberikan dukungan, dan agar saling mengenal serta memiliki pemahaman satu sama lain (Dumont & Provost, 1999, dalam Dacey & Travers, 2006). Pada masa remaja awal, peer group memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap keberadaan individu meskipun orang tua masih berperan dalam kehidupan para remaja. Namun pada masa remaja madya dan remaja akhir, peran orang tua tersebut berkurang disebabkan seringkali orang tua dirasakan sulit untuk diajak berdiskusi sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dengan anaknya dan menyebabkan adanya jarak diantara mereka (Fuligni dkk, 2001, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Condry, Simon, dan Bronfenbrenner (1968, dalam Santrock, 1996) melakukan suatu penelitian yang menyatakan bahwa dalam satu minggu, remaja menghabiskan waktu dua kali lebih banyak dengan teman-teman sebayanya dibandingkan dengan orang tuanya. Hal ini menunjukkan bahwa remaja lebih 5 banyak berinteraksi dengan teman sebaya, sehingga teman sebaya memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan remaja. Peer group merupakan sekelompok orang yang berinteraksi secara teratur, memberikan rasa memiliki, mempunyai norma-norma yang menentukan bagaimana anggotanya seharusnya berpikir, bersikap, bertindak, dan bertingkah laku, dan saling membantu antar anggota kelompok demi mencapai tujuan yang sama (Shaffer & Kipp, 2010). Peer Group akan membantu memberikan informasi tentang bagaimana kehidupan di luar keluarga. Mereka juga bisa memberikan umpan balik (feedback) atas perilaku remaja di dalam kelompok ini (Santrock, 1996). Namun, seringkali peer group memberikan tekanan kepada para remaja di dalamnya agar dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok. Tekanan yang ada di dalam hubungan dengan teman sebaya sering diidentikkan sebagai suatu hal yang berbahaya, seperti meminta anggota kelompok untuk mencuri atau melukai seseorang. Tidak hanya hal-hal negatif yang dapat muncul dalam tekanan kelompok teman sebaya tersebut, namun hal-hal yang positif juga terbentuk, seperti dapat mendorong teman-teman sebayanya untuk berpartisipasi di dalam aktivitas atau kegiatan sekolah (Brown, Lohr, & McClenahan, 1986, dalam Kail & Cavanaugh, 2004). Peer group (kelompok teman sebaya) merupakan fenomena yang seringkali dibahas pada masa remaja. Di dalam kelompok teman sebaya, mereka bisa menolak individu yang tidak memiliki kesesuaian norma yang telah ditetapkan di dalam kelompok tersebut. Pada banyak remaja, perasaan diakui dan dipandang oleh teman sebaya merupakan salah satu aspek yang penting dalam hidup mereka. Banyak remaja akan melakukan apapun dan berusaha keras agar 6 bisa diterima dengan baik di dalam peer group (Hetherington & Parke, 1999, dalam Marlina, 2008). Remaja yang ditolak di dalam kelompok teman sebaya seringkali dikucilkan dan menjadi korban dari teman-teman sebaya lainnya, sehingga hal-hal tersebut menimbulkan kebencian, stres, merasa kesepian, cemas yang berkepanjangan, dan dapat menyebabkan frustasi pada remaja (Coie, 1990; Rubin & Stewart, 1996, dalam Bierman, 2004). Remaja yang mengalami penolakan oleh kelompok teman sebayanya cenderung memiliki masalah perilaku, mengalami tekanan psikologis, dan sulit menyesuaikan diri di dalam situasi tertentu (Coie, Dodge, & Kupersmidt, 1990, dalam Bierman, 2004). Tidak hanya itu, remaja juga akan lebih merasa kesepian dan mengalami ketidakpuasan secara sosial (Asher, Hymel, & Renshaw, 1984, dalam Bierman, 2004). Penerimaan peer group dapat diartikan sejauh mana seseorang dapat diterima ataupun disukai oleh teman-temannya di dalam kelompok teman sebaya (Shaffer & Kipp, 2010). Penerimaan di dalam peer group dihubungkan dengan interaksi orang tua dan anak di rumah. Orang tua yang mendidik anaknya untuk selalu disiplin, maka anak akan cenderung lebih kooperatif, tidak terlalu agresif, dan memiliki kompetensi sosial (kemampuan berkomunikasi yang baik), sehingga mereka lebih dapat diterima di dalam kelompok teman sebayanya. Namun, beda halnya dengan orang tua yang memberikan hukuman yang tidak bisa diterima anaknya, maka anak akan cenderung kurang memiliki kompetensi sosial dan kurang bisa diterima di dalam kelompok (Hart dkk, 1992, dalam Hughes, 2002). Seseorang bisa diterima dan menjadi populer di dalam peer group dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya karena dapat menempatkan diri sebagai pribadi yang menyenangkan, memiliki pengetahuan yang luas, serta 7 memiliki tingkat kompetensi sosial yang tinggi atau memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi dengan baik (Shaffer & Kipp, 2010). Remaja yang dapat berkomunikasi dengan baik, akan dapat membangun hubungan persahabatan dan mempertahankan hubungan yang sudah terjalin (Gottman, 1983, dalam Bierman, 2004). Seorang peneliti menemukan bahwa remaja yang populer akan bersedia memberikan dukungan, menjadi pendengar yang baik ketika sedang berkomunikasi, dan akan mempertahankan komunikasi yang sudah berjalan dengan baik. Tidak hanya itu, mereka juga akan menjadi diri mereka sendiri, menaruh perhatian kepada orang lain, dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi namun tidak menjadi sombong (Hartup, 1983, dalam Santrock, 1996). Kennedy (1990, dalam Santrock, 1996) menemukan bahwa pemuda yang populer lebih dapat berkomunikasi dengan baik dengan teman-teman sebaya mereka, mendapatkan perhatian dari teman sebaya dan mampu mempertahankan komunikasi yang sudah ada dengan teman sebaya, dibandingkan dengan pemuda yang tidak atau kurang populer. Faktor fisik dan tingkat kecerdasan pun turut mempengaruhi popularitas dan penerimaan kelompok teman sebaya terhadap seorang remaja. Seorang remaja yang menarik secara fisik dan memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi di antara teman-teman yang lainnya, akan lebih populer dan lebih dapat diterima oleh teman sebayanya dibandingkan dengan remaja yang kurang memiliki daya tarik secara fisik dan memiliki tingkat kecerdasan yang lebih rendah (Kennedy, 1990, dalam Santrock, 1996). 8 Salah satu hal yang mempengaruhi popularitas dan penerimaan teman sebaya adalah kemampuan sosial. Kemampuan sosial merupakan kemampuan seseorang untuk berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain, merespon teman sebaya secara positif, dan menyelesaikan konflik interpersonal dengan baik (Coie, Dodge, & Kupersmidt, 1990; Ladd, 1999, dalam Sigelman & Rider, 2006). Individu yang populer dan diterima di dalam lingkungan teman sebayanya lebih dapat berinteraksi dengan orang lain dan lebih terampil dalam berkomunikasi (Rubin, Bukowski, & Parker, 1998, dalam Kail & Cavanaugh, 2004). Individu yang cenderung tidak populer ataupun tidak diterima dalam lingkungan teman sebayanya dapat dikarenakan kurangnya keterampilan secara sosial, dengan kata lain, mereka kurang memiliki kemampuan yang baik dalam melakukan interaksi sosial (Harrist dkk, 1997, dalam Kail & Cavanaugh, 2004). Tidak hanya itu, remaja yang memiliki kemampuan berinisiatif yang tinggi, akan lebih dapat diterima oleh teman-teman sebayanya karena mereka lebih dapat mengemukakan ide-ide kreatifnya dan dapat ikut serta dalam berbagai macam aktivitas yang juga bisa membanggakan kelompoknya (Desmita, 2005). Memiliki kemampuan-kemampuan tersebut juga dapat mengurangi kecemasan akan terjadinya penolakan di dalam hubungan persahabatan dengan teman sebaya (Devito, 2007). Connel dan Wellborn (1991, dalam Reynolds & Miller, 2003) mengatakan bahwa remaja mendapatkan rasa keberhargaan diri dan kepercayaan dirinya dari teman sebayanya yang merupakan kontribusi dari feeling of relatedness dan juga feeling of belongingness. Feeling of relatedness diartikan sebagai perasaan terkait dan merasa ingin tergabung di dalam kelompok, serta menjadi bagian dari 9 kelompok. Sedangkan feeling of belongingness diartikan sebagai perasaan memiliki dan perasaan diterima oleh orang lain atau kelompok. Feeling of relatedness dan feeling of belongingness tersebut merupakan dimensi dari penerimaan peer group. Dalam pencarian teman sebaya di dalam kelompok dan menjalin suatu hubungan dengan orang lain, setiap orang tentunya membutuhkan komunikasi, baik komunikasi antar-pribadi, komunikasi pribadi dengan kelompok, komunikasi antar-kelompok, dan bisa juga komunikasi melalui media. Penelitian yang dilakukan oleh Larasati (1992, dalam Nashori, 2000), sekitar 73 persen komunikasi yang dilakukan manusia adalah komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang terjadi antara dua orang atau lebih yang memiliki hubungan yang ditetapkan (Devito, 2007). Kemampuan untuk melakukan komunikasi secara efektif dinamakan kompetensi interpersonal (Devito, 2007). Spitzberg dan Cupach (1989; Wilson & Sabee, 2003, dalam Devito, 2009) mengartikan kompetensi interpersonal merupakan kemampuan individu untuk melakukan komunikasi secara efektif. Buhrmester dkk (1988, dalam Nashori, 2000) mengemukakan lima dimensi kompetensi interpersonal, yaitu kemampuan berinisiatif, kemampuan untuk bersikap terbuka (self-disclosure), kemampuan untuk bersikap asertif, kemampuan memberikan dukungan emosional, dan kemampuan dalam mengatasi konflik. Kompetensi komunikasi interpersonal merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan perhatian yang dimilikinya (West & Turner, 2009). Ketika seseorang dinilai kompeten 10 dalam melakukan komunikasi, maka komunikasi tersebut akan menjadi tepat dan efektif. Seseorang menggunakan komunikasi secara tepat ketika orang tersebut mempertimbangkan masalah budaya yang melekat pada dirinya, termasuk dalam aturan-aturan yang sudah ada dalam sebuah budaya, mengerti akan perannya, memperhatikan seseorang ketika sedang berbicara, dan berusaha menyesuaikan diri dari situasi yang ada, serta pihak yang diajak berkomunikasi. Sedangkan seseorang yang menggunakan komunikasi secara efektif yaitu ketika memperoleh makna dari setiap orang yang melakukan komunikasi dan dapat mencapai tujuan dari komunikasi yang telah dilakukan tersebut. Wood (2010) mengatakan bahwa semakin efektif seseorang berkomunikasi, maka semakin kompeten seseorang dalam mencapai tujuannya. Kompetensi interpersonal memungkinkan seseorang untuk mengembangkan dan mempertahankan hubungan-hubungan lain yang akan mereka jalani di dalam kehidupannya, seperti hubungan persahabatan, cinta, keluarga, dan pada saat memasuki dunia kerja (Spitzberg & Cupach, 1989, dalam Devito, 2009). Selain itu, kompetensi interpersonal dapat membantu seseorang untuk mengurangi kecemasan dan depresi ketika tidak memiliki hubungan persahabatan dan hubungan cinta dengan orang lain (Devito, 2007). Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui hubungan antara kemampuan-kemampuan yang dimiliki para remaja untuk melakukan komunikasi secara efektif dengan penerimaan di dalam kelompok teman sebayanya di sekolah. 11 1.2 Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara kompetensi interpersonal dengan penerimaan dalam school peer group pada remaja di Jakarta.” Dengan demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu apakah terdapat hubungan yang signifikan antara kompetensi interpersonal dengan penerimaan dalam school peer group pada remaja di Jakarta. 1.3 Hipotesis Pada penelitian ini, peneliti merumuskan hipotesa yang menguraikan hubungan antara kompetensi interpersonal dengan penerimaan dalam school peer group pada remaja di Jakarta. Hipotesanya adalah sebagai berikut: H0 = Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kompetensi interpersonal dengan penerimaan dalam school peer group pada remaja di Jakarta. H1 = Terdapat hubungan yang signifikan antara kompetensi interpersonal dengan penerimaan dalam school peer group pada remaja di Jakarta. 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara kompetensi interpersonal dengan penerimaan dalam school peer group pada remaja di Jakarta. 12 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pengetahuan mengenai hubungan antara kompetensi interpersonal dan penerimaan dalam school peer group pada remaja di Jakarta, kepada bidang ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Sosial dan Psikologi Perkembangan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Dengan dilakukannya penelitian ini, maka peneliti mendapatkan tambahan pengetahuan mengenai kompetensi interpersonal dan penerimaan dalam school peer group dan juga pemahaman akan hubungan antara keduanya. b. Bagi pembaca Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan baru mengenai hubungan kompetensi interpersonal terhadap penerimaan di dalam lingkungan teman sebaya. c. Bagi subjek penelitian Penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan gambaran ataupun informasi bagi para remaja mengenai kompetensi interpersonal dan penerimaan di dalam school peer group. 13 d. Bagi peneliti selanjutnya Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan acuan, serta menjadi referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya. 1.6 Definisi Terminologi Pada penelitian ini ada beberapa definisi yang akan digunakan, diantaranya adalah: 1. Kompetensi Interpersonal Kompetensi Interpersonal merupakan kemampuan-kemampuan yang dimiliki setiap orang untuk melakukan komunikasi secara efektif (Buhrmester dkk, 1988, dalam Nashori, 2000). 2. Peer Group Peer group merupakan sekelompok orang yang berinteraksi secara teratur, memberikan rasa memiliki, memiliki norma-norma yang menentukan bagaimana anggota lain seharusnya berpikir, bersikap, bertindak, dan bertingkah laku, dan saling membantu antar anggota kelompok untuk bekerja sama demi mencapai tujuan yang sama (Shaffer & Kipp, 2010). 3. Penerimaan dalam Peer Group Penerimaan peer group bisa diartikan sejauh mana seseorang dapat diterima ataupun disukai oleh teman-temannya di dalam kelompok (Shaffer & Kipp, 2010). 14 4. Remaja Remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia, Olds, & Feldman, 2004). 1.7 Cakupan dan Batasan Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kompetensi interpersonal dengan penerimaan dalam school peer group pada remaja di Jakarta. Dimensi yang digunakan untuk mengukur kompetensi interpersonal adalah kemampuan berinisiatif, kemampuan untuk bersikap terbuka, kemampuan untuk bersikap asertif, kemampuan memberikan dukungan emosional, dan kemampuan dalam mengatasi konflik, yang berasal dari teori Buhrmester dkk (1988, dalam Nashori, 2000). Sedangkan dimensi penerimaan dalam school peer group adalah feeling of relatedness dan feeling of belongingness, yang berasal dari teori Connel dan Wellborn (1991, dalam Reynolds & Miller, 2003). Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan hal ini seperti masalah keterbatasan fisik, kecerdasan, dan hubungan dengan orang tua, tidak akan dibahas secara mendalam. Di dalam penelitian ini, peneliti membuat batasan dengan kriteria sampel remaja yang berusia 12-17 tahun dan masih menempuh pendidikan SMP dan SMA di Jakarta. Pemilihan responden tersebut dikarenakan pada masa remaja, seseorang sudah mulai bisa mengambil keputusan untuk masa depan mereka, seperti dalam hal memilih teman, sekolah, dan lain-lain, sehingga para remaja bisa memilih, teman seperti apa yang bisa dekat dengan masing-masing individu. 15