BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dapat menjaga fungsi fisiologis tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Hal ini dapat terlihat pada dua gen orang di dataran tinggi Tibet, yang berbeda dengan gen orang yang tinggal didataran rendah (Simonson et al., 2010). Adanya perbedaan ini mengindikasikan bahwa faktor genetik dipengaruhi faktor geografi. Ketika ketinggian bertambah maka manusia akan meningkatkan frekuensi pernafasan dan denyut jantung (Pelupessi, 2010). Jumlah hemoglobin dalam darah juga bertambah karena faktor ketinggian (Martin dan Windsor, 2009). Tekanan oksigen di udara pada pada dataran tinggi lebih rendah dibanding tekanan oksigen di dataran rendah (Martin dan Windsor, 2009). Hal tersebut menyebabkan jumlah partikel oksigen pada dataran tinggi lebih sedikit dibanding dataran rendah. DNA mitokondria (mtDNA) mengkode 13 gen untuk protein yang terlibat pada proses fosforilasi oksidatif. Proses fosforilasi oksidatif memerlukan sejumlah oksigen, sehingga jumlah partikel oksigen yang masuk kedalam tubuh akan berpengaruh terhadap proses ini. Penelitian sebelumnya meneliti bahwa mutasi pada mtDNA berpengaruh terhadap konsumsi oksigen oleh tubuh (Murakami et.al, 2006). Profil genetik dari manusia dapat dilihat dari DNA inti dan mtDNA. DNA inti memiliki 3 milyar pasang basa nukleotida sedangkan mtDNA memiliki 1 16.569 pasang basa (pb). Sejak mitokondria diketahui sebagai organel tempat berlangsungnya sebagian besar reaksi-reaksi metabolik maka mtDNA banyak dijadikan fokus dalam berbagai penelitian. Variasi mutasi mtDNA yang tinggi juga dijadikan latar belakang dalam berbagai penelitian. Variasi mutasi yang tinggi pada mtDNA terdapat pada daerah D-loop (Chen, 2009). D-loop terdiri atas dua daerah hipervariabel I (HVI) pada posisi nukleotida 16024-16383 dan daerah hipervariabel II (HVII) pada posisi nukleotida 57-372. Penelitian tentang variasi mutasi pada daerah HVI telah banyak dilakukan, salah satunya adalah penelitian yang menunjukkan bahwa perbedaan urutan nukleotida pada daerah HVI/II menunjukkan perbedaan urutan nukleotida pada gen-gen yang dikode mtDNA (Noer and Syukriani dalam Siti et al., 2009). Penelitian variasi mutasi gen ATPase 6 mtDNA manusia pada populasi dataran tinggi telah dilakukan. Pada penelitian tersebut ditemukan variasi mutasi pada daerah ATPase 6. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penentuan variasi mutasi daerah HVI mtDNA manusia pada populasi dataran tinggi Gunung Papandayan, Garut. Hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai pijakan dalam menentukan pola genetik mtDNA. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana variasi mutasi daerah HVI mtDNA manusia populasi dataran tinggi. Adapun sub masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 2 1. Bagaimana variasi mutasi daerah HVI mtDNA manusia pada populasi dataran tinggi Gunung Papandayan? 2. Mutasi apa yang memiliki frekuensi mutasi tertinggi didaerah HVI mtDNA manusia pada populasi dataran tinggi Gunung Papandayan ? 3. Apakah terdapat mutasi spesifik pada daerah HVI mtDNA manusia pada populasi dataran tinggi Gunung Papandayan ? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi mutasi daerah HVI mtDNA manusia populasi dataran tinggi Gunung Papandayan. Adapun tujuan lebih lanjut pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi variasi mutasi yang terjadi pada daerah HVI mtDNA manusia pada populasi dataran tinggi Gunung Papandayan ? 2. Mengetahui mutasi dengan frekuensi tertinggi pada daerah HVI mtDNA manusia pada populasi dataran tinggi Gunung Papandayan ? 3. Mengetahui mutasi spesifik pada daerah HVI mtDNA manusia pada populasi dataran tinggi Gunung Papandayan ? D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang berupa variasi mutasi daerah HVI mtDNA manusia pada populasi dataran tinggi Gunung Papandayan diharapkan dapat memperkaya database daerah HVI untuk selanjutnya dapat dimanfaatkan dalam penelusuran keterkaitan variasi genetik yang terjadi pada populasi individu dataran tinggi 3 dengan pola adaptasi individu dalam habitatnya. Lebih jauh hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan forensik, kedokteran maupun antropologi. 4