8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bioenergi Bioenergi adalah bahan bakar alternatif terbarukan yang prospektif untuk dikembangkan, tidak hanya karena harga minyak dunia yang tidak stabil seperti sekarang ini, tetapi juga karena terbatasnya produksi minyak bumi Indonesia. Terlebih lagi dengan kondisi perenergian Indonesia kini, pengembangan bioenergi semakin memaksa untuk segera dilaksanakan. Ketersediaan energi fosil yang diramalkan tidak akan berlangsung lama lagi memerlukan pemecahan yang tepat yaitu dengan mencari sumber energi alternatif. Sekarang ini tersedia beberapa jenis energi pengganti minyak bumi yang ditawarkan antara lain tenaga baterai (fuel cells), panas bumi (geo-thermal), tenaga laut (ocean power), tenaga matahari (solar power), tenaga angin (wind power), batu bara, nuklir, gas, fusi dan biofuel. Diantara jenis-jenis energi alternatif tersebut, bioenergi dirasa cocok untuk mengatasi masalah energi karena beberapa kelebihannya. (Hambali et al. 2007) Kelebihan dari bioenergi adalah selain bisa diperbaharui, energi ini juga bersifat ramah lingkungan, dapat terurai, mampu mengeliminasi efek rumah kaca, kontinuitas bahan bakunya terjamin dan bioenergi dapat diperoleh dengan cara yang cukup sederhana. Bioenergi merupakan energi yang dapat diperbaharui yang diturunkan dari biomassa yaitu material yang dihasilkan dari mahluk hidup (tanaman, hewan, dan mikroorganisme). Bioenergi yang dikenal sekarang mempunyai dua bentuk, yaitu bentuk tradisional yang sering kita temui yaitu kayu bakar dan bentuk yang modern diantaranya yaitu bioetanol, biodiesel, PPO atau SVO, Bio Briket, Bio Oil dan biogas. (Hambali et al. 2007) Bioetanol merupakan etanol yang di buat dari biomassa yang mengandung komponen pati atau selulosa seperti singkong, nipah, ubi jalar, sagu, jagung, tetes tebu. Penggunaan bioetanol sebagai pensubstitusi sekarang ini pada umumnya masih dalambentuk campuran dengan bensin sehingga masih ada ketergantungan dengan bahan bakar fosil. (Hambali et al. 2007) Biodiesel adalah bioenergi yang berbahanbakar nabati yang di buat dari minyak nabati yang baru maupun dari minyak nabati bekas penggorengan melalui 9 proses trasesterifikasi, esterifikasi maupun proses esterifikasi-transesterifikasi. Bahan baku biodiesel diantaranya adalah jagung, biji kapas, jerami, kacang kedelai, wijen, biji matahari, kacang tanah, biji opium, rapeseed. Olive, ricinus, jojoba, jatropha, kacang brazil, kelapa, sawit (Aun, 2006). Pembuatan biodiesel dari minyak nabati ini sekarang mewakili biofuel, karena lebih mudah dan sederhana dibandingkan jika membuat biofuel dari sampah organik. Kesederhanaan dan kemudahan proses ini dapat ditinjau dari rangkaian alat yang digunakan, waktu pengerjaannya, dan juga hasil rendemen bahan bakar yang dihasilkan, serta biaya operasionalnya. Selain memiliki keunggulan, biodiesel juga masih memiliki kelemahan-kelemahan yang menghambat taraf penerapannya. Antara lain terjadinya pembekuan biodiesel pada suhu rendah (terutama di sekitar 10oC atau di bawahnya), nilai energi yang dihasilkan lebih rendah, dan dapat rusak jika disimpan dalam jangka waktu lama. Apalagi penggunaan minyak nabati langsung jelas akan menimbulkan masalah permesinan seperti kekentalan yang tidak sesuai, dan reaksi lain selama pembakaran. (Hambali et al. 2007) Pure Plant Oil (PPO) didefinisikan sebagai minyak yang di dapat secara langsung dari pemerahan atau pengempaan biji sumber minyak, minyak yang telah dimurnikan ataupun minyak kasar tanpa melibatkan modifikasi secara kimia. Bahan baku PPO diantaranya CPO (crude palm oil atau minyak sawit mentah), jarak pagar, singkong, sagu, tebu, sampai buah ’nyamplung’ (kosambi). Pada aplikasinya PPO tidak dapat digunakan secara langsung di dalam mesin diesel. Penggunaan secara langsung PPO ke dalam mesin diesel umumnya memerlukan modifikasi/tambahan peralatan khusus pada mesin. Hal ini dikarenakan tingginya viskositas yang dimiliki oleh PPO. (Hambali et al. 2007) Bio briket didefinisikan sebagai bahan bakar yang berwujud padat dan berasal dari sisa-sisa bahan organik yang telah mengalami proses pemampatan dengan daya tekan tertentu. Bahan baku Bio briket adalah tempurung kelapa, tempurung kelapa sawit, arang sekam dan bungkil jarak pagar. Bio briket merupakan bahan bakar yang potensial dan dapat dihandalkan untuk rumah tangga yang dapat menggantikan penggunaan kayu bakar yang sangat meningkat konsumsinya dan berpotensi merusak ekologi hutan. Tetapi di sisi lain Emisi CO 10 dari bio briket terjadi terutama pada tahap pembakaran volatil (tahap devolatilisasi). Emisi CO dari bio briket lebih besar dari 50 ppm, melebihi ambang batas yang diijinkan yang akan menyebabkan pencemaran udara. (Hambali et al. 2007) Bio oil adalah bahan bakar cair dari biomassa seperti kayu, kulit kayu, kertas atau biomassa lainnya,yang diproduksi melalui pyrolisis (pirolisa) atau fast pyrolisis (pirolisa cepat), berwarna gelap dan memiliki aroma seperti asap. Senyawa ini bersifat water soluble dan merupakan oxygenated molucle. Bahan baku Biooil adalah bagas tebu, limbah pertanian jagung, limbah industri pulp dan kertas, serbuk kayu gergaji dan tandan kosong kelapa sawit. Bio oil dimanfaatkan sebagai pengganti bahan bakar hidrokarbon pada industry seperti sebagai mesin pembakaran, boiler, kelebihan yang lain bahwa bio oil sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan, dari kelebihan yang dimiliki bio oil juga memiliki kelemahan, kelemahan utama dari minyak ini sebagai pengganti bahan bakar fosil adalah sifat fisik yang masih rendah dan lebih sulit untuk dinyalakan (dibakar) dibandingkan dengan bahan bakar minyak konvensional. (Hambali et al. 2007) Bioenergi yang terakhir adalah biogas. Biogas didefinisikan sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan organik seperti kotoran ternak, kotoran manusia, sisa-sisa panenan seperti jerami, sekam dan daun-daun hasil sortiran sayur difermentasi atau mengalami proses methanisasi. Bahan baku biogas diantaranya adalah kotoran hewan dan manusia, sampah organik padat, dan limbah organik cair. Biogas digunakan sebagai gas alternatif untuk memanaskan dan menghasilkan energi listrik. Sebagai energi alternatif, biogas bersifat ramah lingkungan dan dapat mengurangi gas efek rumah kaca. Pemanfaatan biogas sebagai energi alternatif akan mengurangi penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar sehingga akan mengurangi usaha penebangan pohon di hutan. Dengan demikian akan menjaga ekosistem hutan dan peran hutan sebagai penyerap CO2,gas yang menjadi penyebab efek rumah kaca. (Hambali et al. 2007) Biogas sebagai energi alternatif memiliki kelebihan dibandingkan minyak tanah maupun kayu bakar. Biogas dapat menghasilkan api biru yang bersih, tidak menghasilkan asap sehingga dapat menjaga kebersihan rumah. (Hambali et al. 2007) 11 2.2. Limbah Pabrik Kelapa Sawit Industri pengolahan kelapa sawit menghasilkan limbah padat dan limbah cair. Limbah padat terutama dalam bentuk tandan kosong kelapa sawit, cangkang, serat yang sebagian besar telah dimanfaatkan sebagai sumber energi yang di bakar langsung dan ampas dari dari tandan kosong kelapa sawit yang belum dimanfaatkan (Loebis, 1992) dalam Mahajoeno (2008). Limbah cair pabrik kelapa sawit merupakan limbah terbesar yang dihasilkan dari proses ekstraksi minyak kelapa sawit. Hasan et al. (2004) menyatakan bahwa limbah dengan nilai rerata BOD 25 g/l dan COD 50 g/l mencemari lingkungan, Quah dan Gillies (1984) menyatakan bahwa produk akhir perombakan anaerob limbah cair pabrik kelapa sawit terutama gas metan dan CO2 dalam perbandingan 65:35 dikenal dengan Gas Rumah Kaca, dan perkiraan emisi gas metan sebesar 28 m3 setiap ton limbah cairnya. Pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) rerata mengolah setiap ton tandan buah segar kelapa sawit menghasilkan 200 – 250 kg minyak mentah, 230 – 250 kg tandan kosong kelapa sawit (TKKS), 130 – 150 kg serat/fiber, 60 – 65 kg cangkang dan 55 – 60 kg kernel dan air limbah 0,7 m3. Industri minyak kelapa sawit banyak menggunakan proses basah, selain lebih mudah proses ekstraksi minyak juga diperoleh produk samping limbah cair. Air limbah yang dihasilkan sterilisasian dan ruang separasi minyak secara keseluruhan berupa campuran buangan cair yang mengandung bahan organik tinggi sebagai pencemar potensial bagi lingkungan. Pengelolaan limbah cair umumnya diterapkan secara biologis, dialirkan ke kolam-kolam sebelum akhirnya memasuki badan perairan umum (Kittikun et al. 2000, Yuliasari et al. 2001). 2.3. Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Limbah utama dari industri pengolahan kelapa sawit adalah limbah padat dan limbah cair. Limbah padat terdiri dari janjangan, serat-serat dan cangkang. Limbah padat yang berupa janjangan dibakar dan abu hasil pembakaran janjangan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman. Serat-serat dan sebagian kulit juga dibakar dan panas yang dihasilkan dari pembakaran tersebut dapat 12 digunakan sebagai sumber energi untuk menghasilkan uap yang banyak diperlukan selama berlangsung. Sisa cangkang dapat digunakan sebagai bahan baku industri yang aktif maupun industri hard board. Limbah cair industri pengolahan kelapa sawit yang akan ditinjau lebih lanjut mempunyai potensi untuk mencemarkan lingkungan karena mengandung parameter bermakna yang cukup tinggi. Eckenfelder (1980) menyatakan bahwa golongan parameter yang dapat digunakan sebagai tolok ukur penilaian kualitas air adalah sebagai berikut : 1. BOD (Biochemical Oxygen Demand) yang merupakan kadar senyawa organik yang dapat dibiodegradasi dalam limbah cair. 2. COD (Chemical Oxygen Demand) yang merupakan ukuran untuk senyawa organik yang dapat dibiodegradasi atau tidak. 3. TOC (Total Organic Carbon) dan TOD (Total Oxygen Demand) yang merupakan ukuran untuk kandungan senyawa organik keseluruhan. 4. Padatan tersuspensi dan teruapkan (suspended dan volatile solids). 5. Kandungan padatan keseluruhan. 6. pH alkalinitas dan keasaman. 7. Kandungan nitrogen dan postor. 8. Kandungan logam berat. Dari hasil penelitian komposisi limbah menunjukkan bahwa 76 persen BOD berasal dari padatan tersuspensi dan hanya 22.4 persen dari padatan terlarut. Maka banyak tidaknya padatan yang terdapat terdapat dalam limbah terutama padatan tersuspensi mempengaruhi tinggi rendahnya BOD. Karakteristik dari limbah cair industri pengolahan kelapa sawit dipaparkan pada Table 1. 13 Tabel 1 Karakteristik Limbah Cair Industri Pengolahan Kelapa Sawit Parameter Satuan Rentang 4,0 – 4,6 pH o 60 – 80 Suhu, C 30.000 – 60.000 Total Solid mg/l 15.000 – 40.000 Volatile Solid mg/l 15.000 – 30.000 Suspended Solid mg/l 4.000 – 11.000 Minyak 20.000 – 40.000 BOD mg/l 40.000 – 70.000 COD mg/l 500 – 900 Nitrogen mg/l 90 – 140 Fosfat mg/l 1.000 – 2.000 Kalsium mg/l 250 – 300 Magnesium mg/l 260 – 400 Kalium mg/l 80 - 200 Besi mg/l (Sumber : RISPA, 1990 dalam Manurung, 2004) 2.4. Rata - rata 4,3 70 50.000 30.000 20.000 8.000 25.000 55.000 700 120 1.500 270 325 110 Pengolahan Limbah Cair dengan Proses Anaerobik Manurung (2004) menyatakan bahwa proses pengolahan anaerobik adalah proses pengolahan senyawa – senyawa organik yang terkandung dalam limbah menjadi gas metana dan karbon dioksida tanpa memerlukan oksigen. Penguraian senyawa organik seperti karbohidrat, lemak dan protein yang terdapat dalam limbah cair dengan proses anaerobik akan menghasilkan biogas yang mengandung metana (50-70%), CO2 (25-45%) dan sejumlah kecil nitrogen, hidrogen dan hidrogen sulfida. Reaksi sederhana penguraian senyawa organik secara aerob : anaerob CH4 + CO2 + H2 + N2 + H2O Bahan organik mikroorganisme Sebenarnya penguraian bahan organik dengan proses anaerobik mempunyai reaksi yang begitu kompleks dan mungkin terdiri dari ratusan reaksi yang masing- masing mempunyai mikroorganisme dan enzim aktif yang berbeda. Penguraian dengan proses anaerobik secara umum dapat disederhanakan menjadi 2 tahap: 9 Tahap pembentukan asam 9 Tahap pembentukan gas metana 14 Langkah pertama dari tahap pembentukan asam adalah hidrolisa senyawa organik baik yang terlarut maupun yang tersuspensi dari berat molekul besar (polimer) menjadi senyawa organik sederhana (monomer) yang dilakukan oleh enzim-enzim ekstraseluler. Beberapa senyawa organik dan enzim pengurainya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Senyawa Organik dan Enzim Pengurai Enzym Esterase : Lipase Phospatase : Lecithinase Pektin esterase Cerohydrase Farctosidase Maltase Cellobiose Lactase Amilase Cellulase Cytase Poligalakturonase Nitrogen-Carrying Compound Proteanase Polipoptidase Deaminase : Urease Asparaginase Substrat Produk Gliserida (fat) Gliserol (asam lemak) Lecitin Pektin metal Ester Cholin + H3PO4 + fat methanol + asam poligalakturonat Sukrosa Maltosa Cellobioso Laktosa Strarch Sellulosa Asam Poligalakturonast Frukosa + Glukosa Glukosa Glukosa Galaktosa + Glukosa Maltosa/Glukosa + maltooligo – saccarida Sellobiosa Gula sederhana Asam Galakturonat Protein Protein Polipeptida Asam amino Urea Asparagin CO2 + NH3 Asam aspartat + NH3 (Sumber : Bailey, 1987) Pembentukan asam dari senyawa-senyawa organik sederhana (monomer) dilakukan oleh bakteri-bakteri penghasil asam yang terdiri dari sub divisi acids/farming bacteria dan acetogenic bacteria. Asam propionat dan butirat diuraikan oleh bakteri acetogenic menjadi asam asetat. Pembentukan metana dilakukan oleh bakteri penghasil metana yang terdiri dari sub divisi acetocalstic methane bacteria yang menguraikan asam asetat menjadi metana dan karbon dioksida. Karbondioksida dan hidrogen yang 15 terbentuk dari reaksi penguraian di atas, disintesa oleh bakteri pembentuk metana menjadi metana dan air. Proses pembentukan asam dan gas metana dari suatu senyawa organik sederhana melibatkan banyak reaksi percabangan. Mosey (1983) yang menggunakan glukosa sebagai sampel untuk menjelaskan bagaimana peranan keempat kelompok bekteri tersebut menguraikan senyawa ini menjadi gas metana dan karbon trioksida sebagai berikut : 1. Acid forming bacteria menguraikan senyawa glukosa menjadi : a. C6H12O6 + 2H2O b. C6H12O6 c. C6H12O6 + 2H2 2CH3COOH + 2CO2 + 4H2 (as. asetat) CH3CH2CH2COOH + 2CO2 + 2H2 (as. butirat) 2CH3CH2COOH + 2H2O (as. propionat) 2. Acetogenic bacteria menguraikan asam propionat dan asam butirat menjadi : d. CH3CH2COOH e. CH3CH2CH2COOH CH3COOH + CO2 + 3H2 (as. asetat) 2CH3COOH + 2H2 (as. asetat) 3. Acetoclastic methane menguraikan asam asetat menjadi : f. CH3COOH CH4 + CO2 (metana) 4. Methane bacteria mensintesa hidrogen dan karbondioksida menjadi : g. 2H2 + CO2 CH4 + (metana) 2H2O 2.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Proses Anaerobik Manurung (2004) menyatakan bahwa lingkungan besar pengaruhnya pada laju pertumbuhan mikroorganisme baik pada proses aerobik maupun anaerobik. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses anaerobik antara lain: temperatur, pH, konsentrasi substrat dan zat beracun. 16 1. Temperatur Gas dapat dihasilkan jika suhu antara 4oC - 60°C dan suhu dijaga konstan. Bakteri akan menghasilkan enzim yang lebih banyak pada temperatur optimum. Semakin tinggi temperatur akanmempercepat reaksi perombakan terhadap bahan organik, tetapi jumlah bakteri akan semakin berkurang. Beberapa jenis bakteri dapat bertahan pada rentang temperatur tertentu dapat dillihat pada Tabel 3. Tabel 3 Pengaruh Temperatur terhadap Daya Tahan Hidup Bakteri Jenis Bakteri Rentang Temperatur o C a. Phsycrophilic b. Mesophilic c. Thermophilic 2 – 30 20 – 45 45 - 75 Temperatur Optimum o C 12 – 18 25 – 40 55 - 65 Proses pembentukan metana bekerja pada rentang temperatur 30-40°C, tapi dapat juga terjadi pada temperatur rendah 4°C. Laju produksi gas akan naik 100400% untuk setiap kenaikan temperatur 12°C pada rentang temperatur 4oC - 65°C. Mikroorganisme yang berjenis thermophilic lebih sensitif terhadap perubahan temperatur dari pada jenis mesophilic. Pada temperatur 38°C, jenis mesophilic dapat bertahan pada perubahan temperatur ± 2,8°C. Untuk jenis thermophilic pada suhu 49°C, perubahan suhu yang dizinkan ± 0,8°C dan pada temperatur 52°C perubahan temperatur yang dizinkan ± O,3°C. 2. pH (keasaman) Bakteri penghasil metana sangat sensitif terhadap perubahan pH. Rentang pH optimum untuk jenis bakteri penghasil metana antara 6,4 - 7,4. Bakteri yang tidak menghasilkan metana tidak begitu sensitif terhadap perubahan pH, dan dapat bekerja pada pH antara 5 hingga 8,5. Karena proses anaerobik terdiri dari dua tahap yaitu tahap pambentukan asam dan tahap pembentukan metana, maka pengaturan pH awal proses sangat penting. Tahap pembentukan asam akan menurunkan pH awal. Jika penurunan ini cukup besar akan dapat menghambat aktivitas mikroorganisme penghasil metana. Untuk meningkatkan pH dapat dilakukan dengan penambahan kapur. 17 3. Konsentrasi Substrat Sel mikroorganisme mengandung Carbon, Nitrogen, Posfor dan Sulfur dengan perbandingan 100 : 10 : 1 : 1. Untuk pertumbuhan mikroorganisme, unsurunsur di atas harus ada pada sumber makanannya (substart). Konsentrasi substrat dapat mempengaruhi proses kerja mikroorganisme. Kondisi yang optimum dicapai jika jumlah mikroorganisme sebanding dengan konsentrasi substrat. Kandungan air dalam substart dan homogenitas sistem juga mempengaruhi proses kerja mikroorganisme. Karena kandungan air yang tinggi akan memudahkan proses penguraian, sedangkan homogenitas sistem membuat kontak antar mikroorganisme dengan substrat menjadi lebih intim. 4. Zat Beracun Zat organik maupun anorganik, baik yang terlarut maupun tersuspensi dapat menjadi penghambat ataupun racun bagi pertumbuhan mikroorganisme jika terdapat pada konsentrasi yang tinggi, untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Tabel 4. Untuk logam pada umumnya sifat racun akan semakin bertambah dengan tingginya valensi dan berat atomnya. Bakteri penghasil metana lebih sensitif terhadap racun dari pada bakteri penghasil asam. Tabel 4 Beberapa Senyawa Organik Terlarut yang dapat Menghambat Pertumbuhan Mikroorganisme Senyawa Konsentrat (mg/l) 1. Formaldehid 50 – 200 2. Chloroform 0,5 3. Ethyl benzene 200 – 1.000 4. Etylene 5 5. Kerosene 500 6. Detergen 1% dari berat kering (Sumber: Parkin and Owen, 1986) Tabel 5 ini akan menunjukkan batas konsentrasi beberapa logam sebagai penghambat dan sebagai racun bagi pertumbuhan mikroorganisme. 18 Tabel 5 Beberapa Zat Anorganik yang dapat Menghambat Pertumbuhan Mikroorganisme Konsentrasi Komponen Sedang (mg/l) Kuat (mg/l) 3.500 – 5.500 8.00 1. Na+ 2.500 – 4.500 12.000 2. K+ 2.500 – 4.500 8.000 3. Ca+2 1.000 – 1.500 3.000 4. Mg+2 1.000 – 3.000 3.000 5. NH+ 200 6. S25 (larut) 7. Cu 50 – 70 (total) 3,0 (larut) 8. Cr (VI) 180 – 420 (total) 9. Cr (III) 2 (larut) 10. Ni 30 (total) 1 (larut) 11. Zn (Sumber: Parkin and Owen, 1986) 2.6. Proses Fermentasi dengan Perbedaan Substrat Proses anaerobik digester yang secara bersama-sama dari perbedaan substrat dengan substrat yang besar, yang keberadaannya memiliki porsi yang lebih tinggi atau digester yang inovatif atau biasanya dengan istilah Co-digester. Proses fermentasi dengan perbedaan substrat ini dapat diaplikasikan pada pertanian, untuk menguraikan perbedaan substrat menjadi pupuk dan sisa hasil panen untuk menghasilkan biogas. Juga memperlihatkan potensi yang besar untuk menguraikan beberapa limbah organik padat dan limbah cair. Disisi lain, digester limbah cair pada sistem pengolahan limbah cair memiliki frekuensi 15 – 30 % lebih longgar. Pencampuran dari lumpur aktif dengan limbah organik tidak hanya dapat menggunakan semua ruang yang tersedia, tetapi juga menghasilkan alternatif pendekatan untuk mengolah limbah organik. Beberapa penelitian yang dapat menunjukkan proses pencampuran substrat ini dapat di lihat pada Table 6. 19 Tabel 6. Ringkasan dari beberapa Penelitian sebelumnya Jenis Umpan 100% lumpur alga 50% lumpur alga+50% limbah kertas (berdasarkan volatile solid) 100% limbah lumpur (campuran lumpur utama dan lumpur aktif) 75% limbah lumpur + 25% limbah padat 100% lumbah lumpur (campuran lumpur utama dan lumpur aktif) 66,6% limbah lumpur+ 33,33% jerami 50% sampah makanan+50%lumpu r aktif Limbah padat kota +limbah rumah tangga. 75% lumpur aktif+ 25% limbah sayur dan buah Temperatur Organic Loading Rate (ORL)(gVS/lhari) Hydraulic Retention Time(hari) 35oC 4 10 Hasil Biogas (l/g/VS S) 0,143 0,293 0,392 35 0,580 1,512 38 0,427 36oC 55oC 1,44 1,80 20 15 0,253 0,226 o 36 C 55oC 2,14 2,73 20 15 0,311 0,250 35oC 2,43 13 0,229 26 – 36oC 2,9 25 0,36 30oC 5,7 13 0,37 o 56 C Referensi Yen et al. 2007 Sosnowsk i et al. 2003 Komatsu et al. 2007 Heo et al. 2004 Elango et al. 2007 Dinsdale et al. 2000 Meningkatkan produksi biogas dengan penambahan limbah organik ke limbah cair/limbah lumpur aktif menghasilkan keseimbangan rasio C/N dan mikronutrien. Ketidakseimbangan rasio C/N pada limbah cair/lumpur aktif dapat menghalangi efisiensi proses anaerobic digester yang akan membentuk ammonia nitrogen (TAN) volatile fatty acid (VFA), jika diakumulasi terlalu banyak dalam digester, akan menghambat aktivitas methanogen. Pada umumnya rasio C/N dari limbah cair antara 6/1 dan 16/1 sementara limbah organik mengandung organik karbon yang lebih tinggi, dengan rasio C/N sekitar 30/1 atau lebih tinggi. Rasio optimal C/N untuk anaerobic digester seharusnya antara 20 – 30; oleh karena itu, kombinasi kedua limbah ini, akan menghasilkan keseimbangan C/N yang lebih baik, sebagai bahan makan dan akhirnya dapat mendorong peningkatan produksi biogas (Yen et al.2007, Stroot et al. 2001, Komatsu et al.2007). 20 Menurut Saeni (1989) dalam Priyono (2002), proses perombakan bahan organik oleh bakteri dalam proses pembentukan biogas dapat digambarkan dengan reaksi seperti di bawah ini : a. Perombakan pada suasana aerob : bakteri pengguna selulosa (C6H12O6)n n(C6H12O6) selulosa glukosa n(C6H12O6) + 6 n(O2) 6 n(CO2) + 6 (H2O) + n kalori glukosa Karbondioksida air oksigen b. Perombakan pada suasana anaerob (C6H12O6)n n(C6H12O6) selulosa glukosa n(C6H12O6) 2 n(CH3CH2OH + 2 n(CO2) + N kalori glukosa etanol bakteri metana 2 n(CH3CH2OH + 2 n(CO2) 2 n(CH3COOH) + n(CH4) asam asetat 2 n(CH3COOH) bakteri metana asam asetat metana 2 n(CH4) + 2 n(CO2) metana 2.7. Pengolahan Lumpur Lumpur adalah campuran zat padat (solid) dengan cairan (air) dengan kadar solid yang rendah (antara 0,25% sampai 6%). Pada kadar solid yang rendah ini maka sifat fisik lumpur sama dengan sifat cairannya, yaitu mudah mengalir dan berat jenis mendekati satu (Tjokrokusumo, 1998). Zat padat yang terdapat dalam lumpur sebagian mudah terurai secara biologis (biodegradable) yang disebut volatile solid, sebagian bersifat tetap (fixed solid). Pengolahan lumpur antara lain adalah dengan anaerobic sludge digestion yang dilanjutkan dengan sludge drying bed. Dalam proses ini, bagian padatan yang mudah menguap (volatile) diuraikan dalam keadaan anaerobik menjadi gas bio (Tjokrokusumo, 1998). Semakin tinggi suhu semakin singkat waktu digestion yang diperlukan dan sebaliknya. Ada dua macam proses pengeraman (digestion) berdasarkan suhu 21 operasional yaitu pertama thermophile antara 49oC dan kedua adalah messophile antara 20oC sampai 37oC (Tjokrokusumo, 1998). Sifat lumpur hasil olahan disamping lebih stabil volumenya juga lebih sedikit dan kadar air dalam lumpur sekitar 90%. Jumlah volatile solid terurai menjadi gas bio maksimum 70% (Tjokrokusumo, 1998). 2.8. Pengertian Biogas Menurut Hambali et al (2007), Biogas didefinisikan sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan organik seperti kotoran ternak, kotoran manusia, sisa-sisa panenan seperti jerami, sekam dan daun-daun hasil sortiran sayur difermentasi atau mengalami proses methanisasi. Biogas terdiri dari campuran metana (50-75%), CO2 (25-45%) dan sejumlah kecil H2, N2 dan H2S. Biogas diproduksi di bawah kondisi dekomposisi anaerob melalui tiga tahap yakni hidrolisis, pembentukan asam dan pembentukan metana (Veziroglu. 1991). Waktu tinggal untuk perombakan mesofil berkisar 30-60 hari, sedang dekomposisi anaerob dapat terjadi pada tiga kisaran suhu psikhrofil (<30oC), mesofil (30oC-40oC) dan termofil (50oC-60oC) (Warner et al.1989). Pada aplikasinya, biogas digunakan sebagai gas alternative untuk memanaskan dan menghasilkan energi listrik. Kemampuan biogas sebagai sumber energy sangat tergantung dari jumlah gas metana. Setiap satu m3 metana setara dengan 10 kWh. Nilai ini setara dengan 0,61 fuel oil, sebagai pembangkit tanaga listrik, energi yang dihasilkan oleh biogas setara dengan 60-100 watt lampu selama penerangan 6 jam (Hambali et al. 2007). Biogas memiliki nilai panas 21,48 MJ/m3 (diasumsikan terdiri dari 60% CH4 ditambah 38% CO2 dan 2% kandungan gas yang lain), yang lebih rendah dari gas alam (36,14 MJ/m3). Bagaimanapun kandungan gas dari biogas cukup bersih hampir sama dengan karakteristik gas alam (Wikipedia 2008, Kolumbus 2008, IEA 2008). Biogas dipertimbangkan sebagai pengganti gas alam untuk panas dan power generation. Dilihat dari sudut lingkungan, aplikasi biogas sebagai sumber energy tidak hanya dapat mengurangi krisis energy yang disebabkan oleh habisnya bahan bakar fosil, tetapi juga sebagai penyumbang gas rumah kaca 22 dengan memproduksi karbondioksida. Dari segi sosial, pemanfaatan biogas juga dapat membawa manfaat ekonomi (GTZ 2008, Hamelinck et al,2006) 2.8.1. Prinsip Pembuatan Biogas Menurut Ginting (2007), prinsip pembuatan biogas adalah adanya bahan organik secara anaerobik (tertutup dari udara bebas) untuk menghasilkan suatu gas yang sebagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar) dan karbondiokasida. Gas yang terbentuk disebut gas rawa atau biogas. Produksi dekomposisi anaerobik dibantu oleh sejumlah mikroorganisme, terutama bakteri metan. Suhu yang baik untuk proses fermentasi adalah 30oC-55oC. Pada suhu tersebut mikroorganisme dapat bekerja secara optimal merombak bahan-bahan organik. (Ginting, 2007) 2.8.2. Faktor yang Mempengaruhi Produksi Biogas Menurut Ginting (2007), factor-faktor yang mempengaruhi produksi biogas diantaranya adalah : 1. Kondisi Anaerob 2. Bahan baku (substrat) Bahan baku isian antara lain feses, urin, sisa makanan. Bahan isian harus mengandung bahan kering sekitar 7-9%. Keadaan ini dapat di capai dengan melakukan pengenceran menggunakan air yang perbandingannya 1:1-2. 3. Imbangan C/N Imbangan carbon dan Nitrogen dalam bahan baku sangat menentukan kehidupan mikroorganisme. Imbangan C/N yang optimum adalah 25-30. Feses dan urin sapi perah mempunyai kandungan C/N 18, karena itu perlu ditambah dengan limbah pertanian yang mempunyai imbangan C/N yang tinggi (lebih dari 30). 4. Derajat keasaman (pH) PH sangat mempengaruhi kehidupan mikroorganisme, pH optimum adalah 6,8-7,8. Pada tahap awal fermentasi akan terbentuk asam sehingga pH turun. 5. Temperatur 23 Produksi biogas akan menurun secara cepat akibat perubahan temperatur yang mendadak di dalam reaktor. Upaya praktis untuk menstabilkan temperatur adalah dengan menempatkan reaktor di dalam tanah 6. Starter diperlukan untuk mempercepat proses perombakan bahan organik menjadi biogas bisa digunakan lumpur aktif organik atau cairan isi rumen. 2.8.3. Keuntungan Produksi Biogas Menurut Wellinger (1999), keuntungan Produksi Biogas dari pengolahan anaerob antara lain : 1. Dapat mengubah limbah organik menjadi pupuk yang bernilai tambah (listrik, panas dan pupuk) 2. Bisa memanfaatkan energi dalam bahan organik menjadi listrik dan panas 3. Menghasilkan lumpur yang stabil, mineralisasi nutrient, menghilangkan benih gulma dan pathogen, serta mengurangi bau secara nyata. 4. Membantu mengurangi CO2 dan karenanya mencapai tujuan Protokol Kyoto.