VARIABILITAS MUSIMAN DAN ANTAR TAHUNAN SALINITAS PERMUKAAN LAUT JAWA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL AHMAD NAJID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Variabilitas Musiman dan Antar Tahunan Salinitas Permukaan Laut Jawa serta Implikasinya Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juli 2012 Ahmad Najid C 561 070 091 ABSTRACT AHMAD NAJID. The Sea Surface Salinity Monsoonal and Interannual Variability; Their Implications on The Catch Rate of Small Pelagic Fish, Java Sea. Supervised by JOHN ISKANDAR PARIWONO, DIETRICH G BENGEN, SUBHAT NURHAKIM and AGUS S ATMADIPOERA. The monthly average of sea surface salinity (January 1994–December 2010 with a spatial resolution of 1o x1o) from Estimating Circulation and Climater of Ocean (ECCO) Dataset is used as a primary data, Dataset of wind (European Center For Medium Range Forecast, ECMWF) as a secondary parameter (monthly averages both for east-west (zonal) component and north-south (meridional) component, it is derived from 10 meters above sea level within period of January 1994–December 2010, with a spatial resolution of 2.5o x 2.5o) in this study. Time series analysis is conducted to obstain a complete picture of the Sea Surface Salinity (SSS) seasonal fluctuations. Results showed that SSS in the Java Sea has seasonal variability, which is shown by appearences of two SSS maximum and two SSS minimum annually. Based on monthly average in the northern part of Java Seas, the SSS is having range of 32 and 34,4 psu. In the first transitional season (March-April-May), SSS is relatively lower than the other season, i.e. NW monsoon, SE monsoon. The second transitional season (September-October-November), where it is found a low core SSS consentrated in the western part of the Java Sea and also in the south of Makassar strait. Results of the analysis shows that the catch varies according to temporal (monthly, seasonal, and annual), and to spatial in the Java Sea during the period 1990 to 1995. In the Java Sea, there are seven fishing ground of small pelagic fish, namely in the waters of north Pekalongan-Tegal, Java Karimun Islands, Bawean Island, Masalembo-Masalima Island, Matasiri Island, the southern Makassar Strait, and on the Kangean Island. Based on the total catch from the of seven regions, the average monthly percentage of the catch of round scads (Decapterus spp.), mackerels (Rastrelliger kanagurta), flat sardinella (Sardinella spp), round sardinella (Sardinella lemuru), bigeye scads (Selar crumenophthalmus), and yellowstripe scads (Selaroides leptolepis) are 48.50%, 16.97%, 14,15%, 10.80%, 8.65% and 0.93% respectively. Keywords: Java Sea, monsoonal and interannual variability, sea surface salinity, and small pelagic. RINGKASAN AHMAD NAJID. Variabilitas Musiman dan Antar Tahunan Salinitas Permukaan Laut Jawa serta Implikasinya terhadap Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil. Dibimbing oleh JOHN ISKANDAR PARIWONO, DIETRICH G BENGEN, SUBHAT NURHAKIM dan AGUS S ATMADIPOERA Data model assimilasi Estimating Circulation and Climater of Ocean (ECCO) Salinitas Permukaan Laut pada kedalaman 5 meter (10 harian), digunakan sebagai data primer dalam penelitian ini, merupakan rerata bulanan dari Januari 1994–Desember 2010 dengan resolusi spasial 1o x1o. Data angin yang bersumber dari ECMWF sebagai data sekunder merupakan rerata bulanan untuk komponen timur-barat (zonal) dan komponen utara selatan (meridional) pada ketinggian 10 meter di atas permukaan laut dari Januari 1994–Desember 2010, dengan resolusi spasial 2,5o x 2,5o. Hasil kajian menunjukkan bahwa Salinitas di perairan Laut Jawa memilik variabilitas musiman (tahunan) yang ditunjukkan dengan dua puncak salinitas maksimum dan dua salinitas minimum dalam setahun. Berdasarkan rerata bulanan pada tahun 1994–2010 di Laut Jawa, salinitas berkisar antara 32–34,4 psu. Pada musim peralihan I (Maret-April-Mei) salinitas relatif terendah dibandingkan pada musim yang lain, yakni musim barat, dan musim timur. Pada musim peralihan II (September-Oktober-Nopember), salinitas rendah terkonsentrasi di bagian timur Laut Jawa, di selatan Selat Makasar. Salinitas maksimum diduga terkait dengan sirrkulasi dari Arus Lintas Indonesia di Selat Makassar memasuki Laut Jawa, sedangkan salinitas minumum kemungkinan berhubungan dengan masukan massa air dari Selat Karimata dan sistem sungai-sungai besar di Laut Jawa. Berdasarkan analisis time series menggunakan FERRET 6 dan Wavelet terhadap data salinitas permukaan laut pada kedalaman 5 meter, kurun waktu bulan Januari 1994 sampai dengan Desember 2010 menunjukkan bahwa periodesasi fluktuasi salinitas permukaan di Laut Jawa memiliki selang periode tertentu, seperti rentang waktu musiman atau tahunan, dan antar tahunan. Rentang periode musiman (tahunan), pada sekitar 350 hari memiliki intensitas spektral yang paling dominan, dengan power spektrum terkuat antara 0,7–1,0. Fluktuasi salinitas yang paling besar tersebut terlihat pada periode antara tahun 1994-1998 dan tahun 2005-2009. Spektral yang relatif kuat juga ditunjukkan pada rentang periode Intraseasonal (sekitar 2–6 bulan) dan periode antar tahunan (interannual). Hal tersebut menunjukkan bahwa pada rentang waktu antara tahun 1994 sampai dengan 2010, fluktuasi salinitas di Laut Jawa yang paling besar terjadi dalam periode musiman atau tahunan dan antar tahunan. Data hasil tangkapan ikan pelagis kecil di daerah penangkapan di perairan Laut Jawa, hasil penelitian Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) dari tahun 1990–1995 digunakan untuk mengkaji dan menganalisis tentang variabilitas hasil tangkapan per satuan upaya (catch per unit of effort, CPUE) secara temporal maupun spasial. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa CPUE ikan pelagis kecil bervariasi menurut waktu (bulanan, musiman/tahunan, dan antar tahunan) dan menurut daerah penangkapan (fishing ground) di Laut Jawa selama periode tahun 1990–1995. Di perairan Laut Jawa terdapat tujuh daerah penangkapan ikan pelagis kecil, yaitu di perairan utara Tegal-Pekalongan, Kepulauan Karimun Jawa, Pulau Bawean, Pulau Masalembo-Masalima, Matasiri, bagian selatan Selat Makassar, dan di Pulau Kangean. Berdasarkan keseluruhan hasil tangkapan di tujuh daerah penangkapan tersebut, persentase rata-rata bulanan hasil tangkapan jenis ikan pelagis kecil berturut-turut adalah layang (Decapterus spp.) 48,50%, banyar (Rastrelliger kanagurta) 16,97%, juwi (Sardinella spp.) 14,15%, lemuru (Ablygaster sirm) 10,80%, bentong (S. crumenophthalmus) 8,65%, dan selar (Selaroides leptolepis) 0,93%. Dari keseluruhan spesies yang tertangkap di perairan laut Jawa, ditemukan bahwa persentase hasil tangkapan jenis layang dan juwi dominan terdapat pada daerah utara Tegal-Pekalongan (34,14% dan 31,76%) dan kepulauan Karimunjawa (45,53% dan 17,34%), dimana musim puncaknya terjadi pada bulan Maret-AprilMei (Musim peralihan I). Sedangkan persentase tangkapan jenis layang dan banyar dominan di daerah Pulau Bawean (50,54% dan 19,30%), MasalemboMasalima (42,12% dan 23,12%), Pulau Matasiri (42,83% dan 20,52%), Selat Makassar (44,63% dan 16,83%), dan di Pulau Kangean (79,68% dan 10,59%). Musim puncak tangkapan layang dan banyar pada kelima daerah penangkapan tersebut di atas terjadi pada bulan Juli-Agustus-September (musim Timur). Berdasarkan analisis koresponden, terdapat hubungan antara sebaran jenis ikan pelagis kecil dengan salinitas permukaan di perairan Laut Jawa. Juwi (Sardinella spp.) lebih banyak ditemukan pada fisihing ground yang bersalinitas rendah hingga sedang (32,86-33,55 psu). Layang (Decapterus spp.) banyak ditemukan di perairan yang lebih jauh dari pantai pada salinitas tinggi (lebih besar dari 33,55 psu). Lemuru (Ablygaster sirm) banyak ditemukan di perairan pada salinitas rendah hingga sedang dan di bagian timur Laut Jawa. Kata Kunci : Ikan pelagis kecil, Laut Jawa, salinitas permukaan laut, variabilitas musiman dan antar tahunan. @ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB VARIABILITAS MUSIMAN DAN ANTAR TAHUNAN SALINITAS PERMUKAAN LAUT JAWA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL AHMAD NAJID Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. 2. Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Rizald Max Rompas, M.Agr. 2. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Judul Disertasi : Variabilitas Musiman dan Antar Tahunan Salinitas Permukaan Laut Jawa serta Implikasinya Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Nama : Ahmad Najid NRP : C561070091 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. John Iskandar Pariwono Ketua Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Anggota Prof. (R). Dr. Ir. Subhat Nurhakim, MS Anggota Dr.Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian : 30 Juli 2012 Tanggal Lulus : ………………. PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga disertasi ini dengan berjudul Variabilitas Musiman dan Antar Tahunan Salinitas Permukaan Laut Jawa serta Implikasinya Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil berhasil diselesaikan. Disertasi ini memuat tiga topik yang merupakan pengembangan dari naskah makalah ilmiah yang diajukan ke jurnal ilmiah. Topik pertama tentang Variabilitas Musiman dan Antar Tahunan Salinitas Permukaan Laut Jawa, telah publikasikan pada Jurnal MASPARI (Marine Science Research) pada Volume 4 Nomor 2 tahun 2012, ISSN : 2087-0558, terbitan Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Sriwijaya. Topik lainnya tentang Fluktuasi Musiman dan Antar Tahunan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil pada Laut Jawa dan tentang Hubungan Fluktuasi Salinitas Permukaan Laut Jawa dan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil akan dipublikasikan pada Jurnal SEGARA akreditasi A (ISSN : 1907-0659) edisi tahun 2012, terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. John Iskandar Pariwono, Prof. Dr. Dietriech G. Bengen, DEA, Prof. (R). Dr. Subhat Nurhakim,MS, dan Dr. Agus S. Atmadipoera, DESS selaku pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Rizald Max Rompas, M.Agr, Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc., Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc, dan Ibu Dr. Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc yang telah banyak memberi saran. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Indroyono Soesilo, M.Sc dari Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat RI (Kepala BRKP RI 1999-2007) dan Bapak Dr. Budi Sulistiyo beserta para peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Duto Nogroho, M.Si., Kepala Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Ibu Dr. Ir. Suhartati M. Natsir, Kepala Bidang Dinamika Laut P2O LIPI, Dr. Ir. Sugiarta Wirasantosa, M.Sc., Dr. Ing. Widodo Pranowo, S. Makarim,M.Sc, Fitria Darajah, Jawad Muctar Jawad, Resni Oktaviani, Admo Wibowo, Ega Putra, Anugrah Adityayuda dan Aldinno R. Wicaksono, yang telah membantu selama pengumpulan dan pengolahan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri dan anakanakku serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga disertasi ini bermanfaat. Bogor, Juli 2012 Ahmad Najid RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Desember 1967, sebagai anak ke empat dari lima bersaudara dari pasangan H. Muhammad Amin (alm) dan Hj. Siti Aisah (alm), di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Oseanologi, Fakultas Teknologi Kelautan, Universitas Hang Tuah Surabaya, lulus tahun 1994. Pada tahun 1996, penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan Sub Program Studi Oseanografi pada Program (S2) Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor (S3) pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai Peneliti Muda di Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2001 dan ditempatkan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir KKP, Jakarta. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti adalah oseanografi fisika. Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota dan pengurus Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI). Karya ilmiah berjudul Pola Musiman dan Antar Tahunan Salinitas Permukaan Laut di Perairan Utara-Madura telah dipublikasikan pada Jurnal MASPARI (Marine Science Research) pada Volume 4 Nomor 2 tahun 2012, ISSN : 2087-0558, terbitan Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Sriwijaya, Indralaya. Karya ilmiah lain tentang Fluktuasi Musiman dan Antar Tahunan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil pada Laut Jawa dan tentang Hubungan Fluktuasi Salinitas Permukaan Laut Jawa dan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil akan dipublikasikan pada Jurnal SEGARA (akreditasi A LIPI ISSN : 1907-0659) edisi tahun 2012, terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis. DAFTAR ISI DAFTAR TABEL Halaman ......................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ................................................................................... v ................................................................................ xi 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1.2 Perumusan Masalah ...................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. 1.6 Kebaharuan (Novelty) .................................................................... 1 1 2 3 4 4 4 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2.1 Kondisi Umum Hidro-oseanografi Laut Jawa dan Sekitarnya .... 2.2 Salinitas dan Distribusinya di Laut ............................................... 2.3 Sistem Arus Permukaan di Sekitar Jalur ARLINDO .................... 2.4 Sistem Monsoon (Muson) dan Slinitas Permukaan Laut Jawa ..... 2.5 El Nino Southern Oscillation (ENSO) .......................................... 2.6 Indian Ocean Dipole Mode (IODM) ............................................. 2.7 Sirkulasi Arus Muson dan Arus Lintas Indonesia ......................... 2.8 Pola Iklim dan Curah Hujan Di Indonesia ................................... 2.9 Karakter Oseanografi Perairan Laut Jawa dan Pengaruhnya terhadap Organisme ...................................................................... 2.10 Interaksi Laut Jawa - Selat Makassar ............................................ 2.11 Sumber Daya Perikanan Ikan Pelagis di Laut Jawa ...................... 2.12 Interaksi Sumberdaya Ikan dengan Faktor Iklim dan Oseanografi ................................................................................... 2.13 Sintesa (Review) Hasil Penelitian Terdahulu ................................ 2.13.1 Penyebaran/Daerah Penangkapan ................................... 2.13.2 Komposisi Jenis ............................................................... Daftar Pustaka ......................................................................................... 7 7 11 13 15 18 20 23 24 DAFTAR LAMPIRAN 3. METODOLOGI UMUM ....................................................................... 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 3.2. Bahan dan Metode ........................................................................ 3.3. Analisis Data ................................................................................. 3.4. Analisis Wavelet dan Deret Waktu (Time Series) .......................... 3.5. Continuos Wavelet Transform (CWT) .......................................... 3.6. Analisis Koresponden (Corresponden Analysis) .......................... Daftar Pustaka ......................................................................................... 26 27 31 37 40 42 42 44 49 49 49 52 54 59 56 57 ii 4. VARIABILITAS SALINITAS PERMUKAAN LAUT MUSIMAN DAN ANTAR TAHUNAN DI LAUT JAWA ..................................... 4.1. Abstrak .......................................................................................... 4.2. Abstract ......................................................................................... 4.3. Pendahuluan .................................................................................. 4.4. Metodologi Penelitian ................................................................... 4.4.1 Lokasi dan Data Penelitian ............................................. 4.4.2 Analisis Data .................................................................. 4.5. Hasil dan Pembahasan ....................................................................... 4.5.1 Sistem Angin Muson di Laut Jawa ...................................... 4.5.2 Variabilitas Salinitas Permukaan Laut Musiman dan Antar Tahunan di Laut Jawa .......................................... 4.6. Simpulan ....................................................................................... Daftar Pustaka ......................................................................................... 5. FLUKTUASI MUSIMAN DAN ANTAR TAHUNAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT JAWA .. 5.1 Abstrak ........................................................................................... 5.2 Abstract ......................................................................................... 5.3 Pendahuluan .................................................................................. 5.4 Metodologi Penelitian ................................................................... 5.5 Hasil dan Pembahasan .................................................................. 5.5.1 Daerah Penangkapan dan Jenis Ikan Hasil Tangkapan ...... 5.5.2 Perkembangan Komposisi Spesies Pelagis Kecil Pada Setiap Fishing Ground ............................................................................. 5.5.3 Fluktuasi Bulanan Musiman CPUE Jenis Ikan Pelagis Kecil Pada Setiap Fishing Ground ......................................................... 5.5.4 Analisis koresponden (Coresponden Analysis) Salinitas Permukaan Laut Jawa dan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil .. 5.6 Simpulan ....................................................................................... Daftar Pustaka ......................................................................................... 59 59 60 61 62 62 62 63 63 72 91 92 93 93 94 95 97 99 99 100 109 115 121 122 6. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM ................................... 6.1 Pembahasan Umum ....................................................................... 6.2 Kesimpulan Umum ........................................................................ 6.3 Saran ............................................................................................. Daftar Pustaka ......................................................................................... 125 125 129 131 132 LAMPIRAN 133 .................................................................................................. iii DAFTAR TABEL Halaman ........................... 51 1. Data Salinitas Observasi Dengan Model Assimilasi 2. Posisi geografis 7 lokasi wilayah penangkapan ikan pelagis kecil ...... 98 3. Persentase Rata-Rata Hasil Tangkapan Jenis Ikan Pada Daerah Penangkapan Di Laut Jawa ................................................................. 99 iv v DAFTAR GAMBAR Halaman .................................... 5 1. Kerangka Konseptual dan Tahapan Penelitian 2. Topografi Dasar Laut Jawa dan Sekitarnya ......................................... 7 3. Pola Arah Dan Kecepatan Angin serta Curah Hujan di Wilayah Indonesia ............................................................................................. 9 Pola Arah dan Kecepatan Angin serta Curah Hujan di Wilayah Indonesia .............................................................................................. 10 5. Persentase Kandungan Larutan Garam (3,5%) Dalam Air Laut ........ 12 6. Sistem Arus Permukaan dan Arlindo ................................................. 14 7. Skematik dari Proses Variasi Salinitas Permukaan Musiman di Perairan Indonesia (Laut Jawa) selama Musim Timur (Juni-Agustus) dan Musim Barat (Desember–Februari) ............................................... 17 Intrusi Massa Air dari Selat Makassar dan Laut Flores ke Laut Jawa (Juli-September) ................................................................................ 17 Skematik dari Proses Variasi Salinitas Musiman di Perairan Laut Jawa dan sekitar selama (a) Musim Barat (Desember-Februari) Dan (b) Musim Timur (Juni-September) ......................................................... 18 Perbandingan Kondisi di Samudera Pasifik pada saat a) Normal dan b) Terjadi El Nino ................................................................................... 19 11. Fenomena IODM a) IODM Positif b) IODM Negatif ........................ 21 12. Perkembangan Kejadian Indian Ocean Dipole Mode Evolusi Komposit SPL dan Anomali Kecepatan Angin pada Bulan a) Mei-Juni b) Juli-Agustus c) September-Oktober d) November-Desember ......... 22 Anomali Sea Surface Temperatur Bulan Oktober 2010 di Perairan Barat Sumatera dan sekitarnya ........................................................... 22 Anomali Presipitasi Bulan Oktober 2010 di Perairan Barat Sumatera dan sekitarnya ..................................................................................... 23 15. Skematik Sirkulasi Massa Air Laut Jawa dan Sirkulasi Arlindo ........ 24 16. Tiga Daerah Pola Hujan Di Indonesia ................................................. 25 17. Skema Sirkulasi Arus Lintas Indonesia yang Keluar Melewati beberapa Selat .................................................................................... 30 Daerah Penangkapan Ikan dengan Purse Seine di Laut Jawa sampai Tahun 1995 ......................................................................................... 33 Daerah Penangkapan Ikan di Laut Jawa dalam Kurun Waktu 2002-2007 ........................................................................................... 37 4. 8. 9. 10. 13. 14. 18. 19. vi 20. Lokasi Penelitian dan Pembagian Wilayah Penangkapan Pukat Cincin di Laut Jawa ......................................................................................... 49 21. Titik Stasiun Data Salinitas 50 22. Hubungan Salinitas Observasi dan Model 23. Validasi Data Salinitas Observasi Dengan Model Assimilasi ............. 51 24. Rata-rata angin bulan Januari mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa ............................................................................................. 65 Rata-rata angin bulan Februari mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa ............................................................................................. 65 Rata-rata angin bulan Maret mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa ............................................................................................. 66 Rata-rata angin bulan April mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa ............................................................................................. 66 Rata-rata angin bulan Mei mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa ............................................................................................. 67 Rata-rata angin bulan Juni mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa ............................................................................................. 67 Rata-rata angin bulan Juli mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa ............................................................................................. 68 Rata-rata angin bulan Agustus mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa ............................................................................................. 68 Rata-rata angin bulan September mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa ............................................................................................. 69 Rata-rata angin bulan Oktober mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa ............................................................................................. 69 Rata-rata angin bulan November mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa ............................................................................................. 70 Rata-rata angin bulan Desember mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa ............................................................................................. 70 Fluktuasi Musiman Angin (U dan V) selama Tahun 1994-2010 di Laut Jawa ..................................................................................................... 71 Fluktuasi Antar Tahunan Angin (U dan V) selama Tahun 1994-2010 di Laut Jawa ......................................................................................... 71 38. Wavelet (CWT) Angin Zonal di Atas Laut Jawa 1994-2010 .............. 72 39. Salinitas permukaan laut (kedalaman 5 meter) di Laut Jawa-Madura, perata-rataan dari 27 Desember 1993 – 03 Januari 2011 (~18 tahun) ...... 72 Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Januari 1994 – 2010 di Laut Jawa ................................................................................ 76 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 40. ................................................................. ........................................... 50 vii 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Februari 1994– 2010 di Laut Jawa ................................................................................ 76 Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Maret 1994–2010 di Laut Jawa ......................................................................................... 77 Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan April 1994–2010 di Laut Jawa ......................................................................................... 77 Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Mei 1994–2010 di Laut Jawa ............................................................................................. 78 Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Juni 1994–2010 di Laut Jawa ............................................................................................ 78 Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Juli 1994–2010 di Laut Jawa ............................................................................................. 79 Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Agustus 1994– 2010 di Laut Jawa ............................................................................... 79 Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan September 1994– 2010 di Laut Jawa ................................................................................ 80 Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Oktober 1994– 2010 di Laut Jawa ................................................................................ 80 Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan November 1994– 2010 di Laut Jawa ................................................................................ 81 Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Desember 1994– 2010 di Laut Jawa ............................................................................... 81 Puncak Salinitas Permukaan Laut Maksimum dan Salinitas Permukaan Laut Minimum di Laut Jawa ............................................ 82 Distribusi Time longitude Plot (Bulan-Bujur) Salinitas Permukaan Laut Mulai Januari sampai dengan Desember 1994–2010 di Laut Jawa . 84 Distribusi Time Longitude Plot (Bulan-Bujur) Salinitas Permukaan di Laut Jawa Mulai Tahun 1994–2010 ................................................... 84 Fluktuasi Salinitas Permukaan Laut (A) di Laut Jawa-Madura, PerataRataan dari Januari 1994–Desember 2010 ......................................... 85 Anomali Salinitas Permukaan Laut di Laut Jawa-Madura, PerataRataan dari Januari 1994–Desember 2010 .......................................... 85 Power Spektrum Wavelet (A) dan (B) Anomali (Standarzed) dari Masing-masing Sinyal Rentang Periodesasi Selama Tahun 19942010 di Laut Jawa ................................................................................ 86 Sinyal Variasi Musiman dan Antar Tahunan Salinitas Permukaan Laut Mulai Januari 1994 Sampai dengan Desember 2010 di Laut Jawa ..... 86 Fluktuasi Curah Hujan Rata-Rata Tahunan Selama Tahun 1994-2010 di Laut Jawa (108o BT-114o BT; 5o LS–7o LS) ................................... 89 Wavelet (a) dan Indeks SOI pada periode tahun 1994–2010 86 .............. viii 61. Wavelet Nino 3.4 (a) dan Indeks Nino 3.4 pada periode tahun 1994– 2010 ..................................................................................................... 90 Daerah Penangkapan Ikan Pelagis Kecil dan Pembagian 7 Lokasi Wilayah Penangkapan Pukat Cincin di Laut Jawa .............................. 98 Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Utara Tegal– Pekalongan ........................................................................................... 100 64. Perubaha%n Musiman Komposisi Spesies di Perairan Karimunjawa . 101 65. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Pulau Bawean .. 102 66. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Pulau Masalembo-Matasiri ............................................................................ 103 67. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Pulau Matasiri .. 103 68. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Selat Makassar . 104 69. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Pulau Kangean . 104 70. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Utara TegalPekalongan ........................................................................................... 105 71. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Karimunjawa ..... 105 72. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Pulau Bawean .... 106 73. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Masalembo dan Masalima ............................................................................................. 106 74. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Matasiri 107 75. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Selat Makassar .. 107 76. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Pulau Kangean . 108 77. Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan layang (Decapterus spp.) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa selama Tahun 1990-1995 ................................................................................. 110 Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa selama Tahun 1990-1995 ..................................................................... 112 Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan juwi (Sardinella spp.) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa selama Tahun 1990-1995 ................................................................................. 113 Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan lemuru (Amblygaster sirm) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa selama Tahun 1990-1995 ................................................................................. 113 Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan bentong (S. crumenophthalmus) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa selama Tahun 1990-1995 ............................................................ 114 62. 63. 78. 79. 80. 81. ............. ix 82. Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan selar (Selaroides leptolepis) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa selama Tahun 1990-1995 ..................................................................... 114 Hasil Analisis Koresponden Seabaran Ikan Pelagis Kecil 1990-1995 di Laut Jawa ............................................................................................. 116 Fluktuasi Salinitas Permukaan Laut di Daerah Penangkapan (fishing ground) di Laut Jawa ........................................................................... 116 Sebaran Salinitas Permukaan Laut Bulan Januari–Desember di Daerah Penangkapan (fishing ground) di Laut Jawa ....................................... 117 86. Fluktuasi CPUE dan Salinitas di Utara Tegal-Pekalongan ................ 118 87. Fluktuasi CPUE dan Salinitas di Karimunjawa .................................. 118 88. Fluktuasi CPUE dan Salinitas di Bawean ........................................... 118 89. Fluktuasi CPUE dan Salinitas di Pulau Masalembo dan Masalima 90. 83. 84. 85. .... 118 Fluktuasi CPUE dan Salinitas di Pulau Matasiri ................................. 119 91. Fluktuasi CPUE dan Salinitas di Selat Makassar ................................ 119 92. Fluktuasi CPUE dan Salinitas di Pulau Kangean ................................ 120 x xi DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Rata-Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah Utara Tegal-Pekalongan ...................................................................... 135 Rata-rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah Kepulauan Karimunjawa ..................................................................... 135 Rata-Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah Pulau Bawean ...................................................................................... 136 Rata-Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah Pulau Masalembo-Masalima ............................................................... 136 Rata-Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah Pulau Matasiri Kepulauan .................................................................... 137 Rata-Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah Selat Makasar ...................................................................................... 137 Rata Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah Pulau Kangean ..................................................................................... 138 8. Nilai Rata-rata Bualanan CPUE Ikan Layang ..................................... 139 9. Nilai Rata-rata Bualanan CPUE Ikan Banyar ...................................... 139 2. 3. 4. 5. 6. 7. 10. Nilai Rata-rata Bulanan Persentase Ikan Banyar ................................. 140 11. Nilai Rata-rata Bulanan Persentase Ikan Layang ................................ 140 12. Nilai Rata-rata Bulanan Salinitas setiap Fishing Ground ................... 141 13. Hasil Penangkapan Ikan Pelagis Kecil di Laut Jawa Tahun 1990-1995 . 142 14. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground Utara TegalPekalongan ........................................................................................... 145 CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground Kep, Karimunjawa ........................................................................................... 146 16. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground P. Bawean ...... 147 17. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground P. Masalembo dan Masalima ....................................................................................... 148 18. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground P. Matasirih .... 149 19. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground Selat Makassar . 150 20. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground P. Kangean ..... 151 21. CPUE Ikan Banyar setiap Fishing Ground ......................................... 152 22. CPUE Ikan Bentong setiap Fishing Ground ....................................... 153 23. CPUE Ikan Juwi setiap Fishing Ground ............................................. 154 15. xii 24. CPUE Ikan Layang setiap Fishing Ground ......................................... 155 25. CPUE Ikan Lemuru setiap Fishing Ground ........................................ 156 26. CPUE Ikan Selar setiap Fishing Ground ............................................. 157 27. Tabulasi Rata-rata Tahunan Spesies Ikan Per Fishing Ground (FG IFG III) .................................................................................................. 158 Tabulasi Rata-rata Tahunan Spesies Ikan Per Fishing Ground (FG IVFG VI) .................................................................................................. 158 Pengelompokkan CPUE Berdasarkan Salinitas (Banyar-BentongJuwi) ...................................................................................................... 159 Pengelompokkan CPUE Berdasarkan Salinitas (Layang-LemuruSelar) ....................................................................................................... 160 31. Squared cosines of the points-rows ..................................................... 161 32. Squared cosines of the points-columns ................................................ 161 33. Ikan Pelagis Dominan (Ikan Layang)di Laut Jawa 34. Beberapa Jenis Ikan Pelagis Kecil di Laut Jawa 28. 29. 30. ............................. 162 ................................. 162 1. 1.1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laut Jawa adalah dangkalan benua dengan luas permukaan sekitar 467.000 2 km kedalaman rata-rata sekitar 40 meter terletak dibagian tenggara Paparan Sunda dimana perairan tersebut terutama dipengaruhi oleh siklus monsoon (muson), angin dan arus dari arah timur pada muson baratdaya (muson barat) dan angin dan arus dari arah barat pada musim muson tenggara (timur). Produksi ikan di Indonesia adalah sekitar 2.200.000 ton pada tahun 1991. Laut Jawa yang mempunyai luas 7% dari luas perairan Indonesia menyumbangkan 32% (760.000 ton) dari total produksi ikan yang sebagian besar terdiri dari ikan-ikan pelagis. Jenis-jenis ikan utama yang tertangkap dan didaratkan adalah jenis ikan pelagis kecil yang memberikan kontribusi sebanyak 40 % dari total yang didaratkan (Potier dan Sadhotomo, 1995). Disamping itu, Laut Jawa juga memberikan kontribusi yang penting bagi kegiatan ekonomi lainnya, seperti perhubungan, perdagangan, energi dan sumberdaya mineral. Tidak semua organisme laut, termasuk ikan dapat hidup di air dengan konsentrasi salinitas yang berbeda. Secara mendasar, ada dua kelompok ikan laut, yaitu ikan euryhaline, yang toleran terhadap perubahan salinitas, dan ikan stenohaline, yang hidupnya memerlukan salinitas yang konstan dan tidak berubah. Jenis spesies ikan pelagis di Laut Jawa yang termasuk kedalam jenis ikan stenohaline yaitu spesies banyar (Rastreiliger kanagurta) dan spesies layang deles (Decapterus macrosoma) dan migrasinya mengikuti pola migrasi salinitas Laut Jawa. Salinitas merupakan parameter penting dalam studi oseanografi maupun iklim. Pada saat ini ketersedian data salinitas air laut masih sangat terbatas. Variasi salinitas air laut berkaitan dengan kesetimbangan hidrologi (presipitasievaporasi (P-E) yang selanjutnya berkaitan dengan variasi salinitas muka air laut (sea surface salinity). Kedua parameter yaitu P-E dan juga salinitas ini merupakan parameter penting dalam studi iklim maupun oseanografi (Cahyarini, 2009). Akhir-akhir ini kegiatan survei maupun kajian terkait tentang oseanografi dan iklim di perairan Indonesia lebih giat dilakukan, terutama di perairan bagian 2 timur Indonesia dan di wilayah Indonesia di Samudera Hindia. Beberapa hasilnya telah dipublikasikan, antara lain; Ilahude dan Gordon, 1996; Susanto dan Gordon, 2001; Gordon, 2005; Pariwono et.al., 2005; Aldrian et al., 2005; Qu et.al., 2005; Robertson dan Ffield; Ray at al., 2005; Potemra, 2005; Hendiarti et al., 2005; dan Susanto dan Marra, 2005; Tubalawony, 2009; Makarim et al., 2011; Sukorahardjo, 2012. Sedangkan kegiatan survei dan penelitian hidrooseanografi yang fokus di perairan dan laut yang relatif dangkal, seperti di utara pulau JawaMadura relatif tidak banyak dilakukan. Hasil penelitian dan survei hidrooseanografi dan sumberdaya ikan di perairan Laut Jawa dan sekitarnya, antara lain Soeriaatmadja, 1957; Wyrtki, 1957; 1961; Nurhakim et al., 1987; Amin dan Suwarso, 1990; Sadhotomo dan Duran, 1996; Petit et al., 1996; Hendiarti et al., 2005; Gaol dan Sadhotomo, 2007; Atmadipoera dan Nurjaya, 2011; dan Atmadipoera, 2012. Hasil penelitian terdahulu menggambarkan bahwa salinitas permukaan laut adalah parameter yang sudah banyak diketahui dan variasinya dapat menggambarkan sirkulasi massa air secara menyeluruh dari Laut Jawa. Namun demikian penelitian yang lebih mendalam tentang variabilitas salinitas permukaan Laut Jawa dan kaitannya dengan fluktuasi sumberdaya ikan pelagis kecil perlu dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih tepat berdasarkan daerah penangkapan (fishing ground), perubahan musim, dan perubahan antar tahunan. 1.2 Perumusan Masalah Penyebaran dari ikan-ikan pelagis kecil yang penting di Laut Jawa terutama terbatas pada perairan pantai sampai paparan benua. Daerah penangkapan ikan pelagis telah menyebar hampir seluruh Paparan Sunda dan bagian timur Laut Jawa (Pulau Masalembo dan Pulau Matasiri) sampai bagian selatan Laut Natuna (sekitar Pulau Pejantan dan Kepulauan Natuna) sejalan dengan investasi kapal baru yang lebih besar (>80 GT) pada tahun 1982/1983. Sekarang, perikanan pukat cincin telah mengeksploitasi sumber daya ikan pelagis di daerah penangkapan dari sekitar perairan Pulau Pejantan dan Kepulauan Natuna sampai ke sekitar Perairan bagian barat Selat Makasar. Beberapa ikan pelgias kecil, seperti layang, banyar, 3 juwi, bentong, selar, dan ikan lemuru. Ikan layang merupakan jenis ikan pelagis yang paling dominan. Pada musim timur didominasi oleh ikan berkarakter stenohaline karena pada saat ini terjadinya musim kemarau akan meningkatkan salinitas permukaan laut. Sebaliknya ditemukan bahwa pada musim barat jenis ikan yang ditemukan adalah yang berkarakter euryhaline karena menurunnya salinitas perairan. Di samping itu terlihat adanya pergeseran lokasi penangkapan berdasarkan musim. Demikian juga terhadap parameter oseanografi lainnya, setiap jenis ikan memiliki preferensi hidup yang berbeda-beda (Atmaja et al., 1986; Suwarso et al., 1987; Atmaja dan Nugroho, 1995). Ikan-ikan pantai dengan toleransi yang tinggi terhadap salinitas yang rendah, walaupun tidak seluruhnya bersifat eurihaline. Fluktuasi hasil tangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa, terutama ikan–ikan yang dominan, seperti layang (Decapterus spp) dan banyar (R. kanagurta) berhubungan dengan perubahan salinitas massa air yang datang dari Selat Makassar dan Laut Flores pada musim timur (musim kemarau) dan pada musim barat (musim hujan) berhubungan dengan massa air Selat Karimata. Dalam konteks penelitian ini bahwa penyebaran ikan-ikan pelagis kecil di perairan Laut Jawa dipengaruhi oleh salinitas massa air, terutama jenis ikan pelagis yang dominan. Oleh karena ini diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang fluktuasi salinitas permukaan Laut Jawa kaitannya dengan sumberdaya ikan pelagis kecil. Kerangka konseptual dan tahapan penelitian ini diberikan pada Gambar 1. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka penelitiaan ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji fluktuasi salinitas permukaan laut musiman atau tahunan dan antar tahunan secara spasial maupun temporal di perairan Laut Jawa. 2. Mengkaji fluktuasi bulanan (musiman) hasil tangkap per unit usaha (CPUE) dan perubahan komposisi spesies ikan pelagis kecil pada setiap fishing ground di Laut Jawa. 3. Mengkaji hubungan fluktuasi salinitas permukaan laut dan ikan pelagis kecil yang dominan di Laut Jawa. 4 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain : 1. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan variabilitas musiman dan antar tahunan salinitas permukaan laut serta hubungannya dengan sumberdaya ikan pelagis kecil. 2. Bahan kebijakan penetapan zona penangkapan, dan untuk kajian stok ikan pelagis kecil di Laut Jawa. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian berikut ini: 1. Variabilitas salinitas permukaan laut (5 m) musiman atau tahunan dan antar tahunan secara spasial maupun temporal di perairan Laut Jawa selama 1994-2010. 2. Fluktuasi musiman dan antar tahunan hasil tangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa selama 1990-1995. 3. Hubungani salinitas permukaan laut dan hasil tangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa. 1.6 Kebaharuan (Novelty) Berdasarkan kesamaan dan perbedaan penelitian tentang variabilitas musiman dan antar tahunan salinitas permukaan laut jawa serta implikasinya terhadap hasil tangkapan ikan pelagis kecil dengan penelitian terdahulu, dapat disusun kebaharuan penelitian ini: 1. Terdapat hubungan antara salinitas permukaan laut dengan ikan pelagis kecil. 2. Menggunakan parameter salinitas untuk memperkirakan hasil tangkap ikan pelagis kecil di Laut Jawa. MASALAH PENDEKATAN MASALAH BAHAN DAN METODE Gambar 1. Kerangka Konseptual dan Tahapan Penelitian PARAMETER LUARAN APLIKASI 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Hidro-oseanografi Laut Jawa dan Sekitarnya Umumnya perairan Indonesia dibagi atas dua bagian, yaitu perairan dangkal dari Paparan Sunda di bagian barat, seperti Selat Karimata dan Laut Jawa dan Paparan Sahul di bagian timur. Antara keduanya terdapat laut dalam yang terdiri dari Laut Banda, Laut Flores dan Laut Sulawesi serta Samudera Hindia di Selatan. Gambaran dangkalnya Laut Jawa dibandingkan perairan di sekitarnya seperti pada Gambar 2. Gambar 2. Topografi Dasar Laut Jawa dan Sekitarnya (Smith and Sandwell, 1997 dalam Gordon, 2005) Laut Jawa dengan luas permukaan sekitar 467.000 km2 terletak dibagian tenggara Paparan Sunda. Kedalaman rata-rata adalah 40 meter dengan kedalaman maksimum dibagian utara Pulau Madura. Kondisi hidrooseanografi Laut Jawa sangat dipengaruhi adanya dua jenis angin muson, yaitu angin muson barat dan angin muson timur. Kedua pola angin tersebut menyebabkan timbulnya perubahan yang sangat nyata pada pola arus dan kecepatan arus, salinitas dan suhu di perairan ini (Wyrtki, 1961). Kondisi sistem iklim di Laut Utara Jawa tidak dapat dilepaskan dari sistem iklim di Indonesia. 8 Iklim di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh angin muson yang mengakibatkan dua musim yaitu musim barat dan musim timur. Pada musim barat terjadi pada bulan Desember sampai bulan Februari, dimana angin umumnya bertiup dari arah barat laut. Bulan Juni sampai bulan Agustus merupakan puncak musim timur dimana angin umumnya bertiup dari arah timur laut. Disamping itu juga terdapat angin berasal dari utara dan barat laut. Sebelum kembali ke musim barat, terjadi musim peralihan dari timur ke barat yang terjadi antara bulan September sampai bulan November dan hanya sebagian yang berasal dari angin timur laut. Pergantian musim juga ikut memberikan pengaruh terhadap pergerakan masa air seperti arus. Pada musim barat pergerakan arus umumnya menuju ke arah timur atau arus timur. Musim timur arus bergerak sebaliknya yaitu menuju arah barat. Musim peralihan I (bulan Maret sampai bulan Mei) dan peralihan II (bulan September sampai bulan November). Di wilayah pantai arus umumnya merupakan arus gabungan yang ditimbulkan oleh arus regional dan arus pasut (Nontji, 2009). Tiga faktor diduga berperan dalam dinamika musiman perairan Laut Jawa (Petit et al., 1996), yaitu: curah hujan lokal, arah angin serta ketidaksimetrisan dasar perairan. Pada musim kering (angin tenggara) proses peningkatan salinitas diawali dari utara pada perairan dangkal yang kemudian bergerak kearah selatan melalui percampuran tegak (vertical mixing). Pada musim hujan (angin barat laut), proses penurunan salinitas juga dimulai dari utara dan kemudian terjadi pembalikan sesaat gradien salinitas yang selanjutnya terus bergerak kearah selatan hingga batas pengenceran oleh curah hujan. Berulangnya musim kering menyebabkan proses homogenisasi salinitas. Gambaran pola arah dan kecepatan angin dan curah hujan di wilayah Laut Jawa dan Sekitarnya seperti pada Gambar 3 dan Gambar 4 (KK Liu, 2004). 9 A B mm mm Gambar 3. Pola Arah dan Kecepatan Angin Serta Curah Hujan di Wilayah Indonesia (KK Liu, 2004); A) Bulan Februari, B) bulan Mei Panjang Panah menunjukan Kecepatan Angin (m/det), Skala Warna Menunjukkan Besaran Curah Hujan 10 C D mm mm Gambar 4. Pola Arah dan Kecepatan Angin serta Curah Hujan di Wilayah Indonesia (KK Liu, 2004); C) Bulan Agustus; D) Bulan November. Panjang Panah Menunjukan Kecepatan Angin (m/det), Skala Warna Menunjukkan Besaran Curah Hujan 11 2.2 Salinitas dan Distribusinya di Laut Salinitas didefinisikan sebagai jumlah total garam yang dinyatakan dalam gram yang terdapat dalam satu kilo gram air laut, jika semua karbonat diubah menjadi okside, bromine, dan iodine dihitung sebagai chlorine dan semua senyawa organik telah teroksidasi (Forch et al., 1902 dalam Neuman and Pierson, 1966). Satuan dari salinitas adalah persen permil atau menurut komisi internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) adalah Practical Salinity Unit (PSU), yang artinya adalah jumlah garam dalam gram yang terdapat dalam satu kilo gram air laut. Satuan PSU adalah pengganti satuan permil karena satuan permil tidak lagi digunakan di dunia internasional. Sebaran salinitas di laut, khususnya Laut Jawa dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain penguapan (evaporasi), curah hujan (presipitasi), pola sirkulasi massa air, dan aliran sungai (run off). Salinitas, sama halnya dengan suhu, merupakan parameter penting dalam oseanografi. Distribusi salinitas sangat membantu dalam mempelajari gerak massa air, yang berhubungan dengan percampuran (mixed). Garam-garam di laut umumnya berasal dari proses pelapukan batuan atau masuknya mineral-mineral dari daratan dan kegiatan vulkanik. Dengan terbawanya larutan mineral ke lautan, dimanalarutan mineral ini terakumulasi dan mengalami siklus melalui proses periode-periode waktu yang lama, maka salinitas di perairan laut terbuka umumnya konstan dan berkisar antara 33,0-37,0 psu. Konsentrasi garam yang terlarut dalam air laut sebagian besar adalah ion klorida, natrium, sulfat, magnesium, kalsium, kalium, bikarbonat, bromida, borat, stronsium dan florida (major element), dengan komposisi di lautan relatif tetap. Berhubung senyawa kimia yang ada di laut sangat kompleks, maka dalam menentukan jumlah zat-zat yang terlarut adalah sulit. Atas dasar inilah, maka Forch, Knudsen dan Sorensen pada tahun 1903 mencoba mengatasi kesulitan dan memperkenalkan istilah salinitas dengan istilah sebagai berat total zat anorganik (dalam gram) yang terlarut dalam 1000 gram air laut dengan asumsi bahwa bromida dan iodida diganti dengan klor dalam jumlah yang setara, serta semua karbonat dan zat organik telah teroksidasi. Persentase kandungan larutan garam (3,5%) dalam air laut, seperti diberikan pada Gambar 5. 12 Gambar 5. Persentase Kandungan Larutan Garam (3,5%) dalam Air Laut (Gordon, 2005) Air laut secara alami merupakan air saline dengan kandungan garam sekitar 3,5 % dan sisanya adalah air tawar. Beberapa danau garam di daratan dan beberapa lautan memiliki kadar garam lebih tinggi dari air laut umumnya. Walaupun kebanyakan air laut di dunia memiliki kadar garam sekitar 3,5%, air laut juga berbeda-beda kandungan garamnya. Air Laut paling tawar terdapat di timur Teluk Finlandia dan di utara Teluk Bothnia, keduanya bagian dari Laut Baltik sedangkan air laut yang paling asin terdapat di Laut Merah, di mana suhu tinggi dan sirkulasi terbatas membuat penguapan tinggi dan sedikit masukan air dari sungai-sungai. Kadar garam di beberapa danau dapat lebih tinggi lagi. Distribusi atau penyebaran salinitas di suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain yaitu: 1. Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya. 2. Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air laut itu akan rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun salinitas akan tinggi. 3. Banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan 13 rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi. Umumnya di laut sebaran salinitas erat kaitannya dengan proses penguapan dimana garam-garam yang terkandung pada air laut akan mengendap atau terkonsentrasi. Daerah yang mengalami penguapan (E) yang lebih tinggi dibandingkan presipitasi (P)/curah hujannya (E>P) akan mengakibatkan salinitas yang tinggi. Menurut Nybakken (1988), salinitas pada berbagai tempat di lautan terbuka yang jauh dari daerah pantai keragamannya cukup sempit, biasanya antara 34-37 psu dengan rata-rata 35 psu. Perbandingan salinitas di perairan Indonesia pada umumnya menunjukkan kandungan salinitas laut di permukaan perairan bagian barat di Indonesia (termasuk Laut Jawa) adalah relatif rendah, rata-rata sekitar kurang dari 34 psu dan di wilayah bagian timur Indonesia relatif lebih tinggi (34-36 psu). Secara horisontal, perbedaan salinitas ini di suatu perairan laut dan samudera terjadi karena perbedaan dalam penguapan dan curah hujan. Distribusi salinitas ditentukan oleh proses-proses yang berlangsung di permukaan laut dan oleh arus dan percampuran. Salinitas tertinggi ditemukan di lintang 20-30o Lintang Utara dan 15-20o Lintang Selatan, dimana laju evaporasi tinggi akibat suhu yang tinggi dan angin muson yang kuat. Di daerah katulistiwa, salinitas lebih rendah karena besarnya curah hujan dan rendahnya kekuatan angin. Selanjutnya ke arah kutub, salinitas menurun akibat curah hujan yang lebih besar dibanding dari evaporasi. Di lapisan dalam lautan, variasi salinitas lebih kecil dari pada di dekat permukaan akan tetapi sangat penting dalam hubungannya dengan sirkulasi utama dunia. 2.3 Sistem Arus Permukaan di Sekitar Jalur ARLINDO Massa air dari arus lintas Indonesia (ARLINDO) menurut Morey et al., (1999) berasal dari massa air Pasifik Utara sebanyak 92% dan massa air Pasifik Selatan sebanyak 8%. Massa air dari Samudra Pasifik Selatan yang masuk ke perairan Indonesia dibawa oleh Arus Pantai Papua (New Guinea Coastal Current/NGCC) yang merupakan perpanjangan dari Arus Katulistiwa Selatan Pasifik (Pacific South Equatorial Current), yang kemudian sebagian besar 14 berbelok arah (retroflects) ke Samudera Pasifik oleh Pusaran Halmahera (Halmahera Eddy), kemudian mengalir bersama Arus Sakal Katulistiwa Utara (North Equatorial Countercurrent/NECC). Sedangkan arus yang membawa massa air dari Samudra Pasifik Utara adalah Arus Utara Katulistiwa (North Equatorial Current/NEC) menuju ke barat lalu bercabang di timur Filipina, dengan cabang ke arah utara menjadi awal Arus Kuroshio dan yang ke arah selatan menjadi Arus Mindanao (Mindanao Current/MC). Massa air dari Samudra Pasifik Utara yang telah dibawa oleh Arus Mindanao kemudian oleh Pusaran Mindanao (Mindanao Eddy/ME) dibawa masuk ke jalur ARLINDO di lapisan bawah permukaan. Massa air dari Samudera Pasifik Utara juga masuk ke jalur ARLINDO dari lintasan sebelah selatan Laut Sulu yang melewati dari Laut Cina Selatan. Selain itu sebagian Arus Mindanao yang mengalir ke selatan, ada yang berbelok arah di sekitar Pusaran Mindanao (Mindanao Eddy/ME) dan menjadi Arus Sakal Katulistiwa Utara (North Equatorial Countercurrent/NECC). Sebagian besar massa air ARLINDO kemudian keluar menuju ke Samudra Hindia melalui Pintasan (passage) Timor, dengan transpor yang kecil melalui Laut Sawu dan Selat Lombok. Sistem arus permukaan dan Arlindo secara global dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Sistem Arus Permukaan dan Arlindo (Morey et al., 1999) 15 2.4 Sistem Monsoon (Muson) dan Salinitas Permukaan Laut Jawa Secara geografis posisi wilayah Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, sehingga karakteristik hidrooseanografi (seperti salinitas) perairan indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem angin muson dan sirkulasi massa air antar samudra. Pada bulan Desember-Maret letak bumi terhadap matahari adalah sedemikian rupa, sehingga belahan bumi selatan menerima lebih banyak penyinaran matahari dari pada belahan utara. Sebagai akibatnya daratan Australia mengalami tekanan udara rendah, sedangkan daratan Asia mengalami tekanan udara tinggi. Antara kedua wilayah tekanan yang berbeda ini berkembanglah angin muson yang bertiup dari daratan Asia ke Australia. Dikawasan Indonesia utara katulistiwa angin bertiup dari arah timur laut, sehingga disebut angin Muson Timur laut. Di bagian selatan katulistiwa anginnya bertiup dari arah barat laut, sehingga disebut angin Muson Barat Laut (Wytrki, 1961; Ilahude, 1994). Sebaliknya pada Muson timur-tenggara yang biasanya terjadi pada bulan Juni-September, daratan Asia mengalami pemanasan yang intensif sehingga menjadi pusat tekanan udara rendah, sedangkan di benua Australia terbentuk pusat tekanan udara tinggi, akibatnya angin bertiup dari Australia ke Asia. Di kawasan Indonesia bagian selatan katulistiwa angin bertiup dari arah tenggara, sehingga disebut angin Muson Tenggara, sedangkan di bagian utara katulistiwa angin bertiup dari baratdaya sehingga disebut angin Muson Baratdaya. Untuk wilayah yang tepat berada di katulistiwa, berlaku angin muson utara dan angin muson selatan (Wyrtki, 1961; Ilahude, 1994). Angin Muson Tenggara di selatan Katulistiwa bersamaan waktunya dengan Muson baratdaya di utara Katulistiwa (Juli-Agustus) dan Muson baratlaut bersamaan dengan Muson Timurlaut di kawasan utara Katulistiwa (DesemberMaret). Sirkulasi massa air di permukaan di perairan Laut Jawa dipengaruhi oleh sistem angin Muson (Wyrtki, 1961). Sirkulasi masa air permukaan di perairan Indonesai (Laut Jawa) pada puncak Muson Baratlaut pada Februari dan puncak Muson tenggara pada bulan Agustus. Sedangkan pada bulan-bulan diantaranya merupakan musim peralihan dari musim barat ke musim timur (SeptemberNovember), dan peralihan dari musim timur ke musim barat. 16 Umumnya perairan Indonesia dibagi atas dua bagian, yaitu perairan dangkal dari paparan Sunda di bagian barat, seperti Laut Jawa dan Selat Karimata dan paparan Sahul di bagian timur. Antara keduanya terdapat laut dalam yang terdiri dari laut Banda, Laut Flores dan Laut Sulawesi serta Samudera Hindia di Selatan. Secara umum, secara bergantian terjadi angin muson barat (musim barat), bertiup dari barat ke timur dan angin muson timur (musim timur) arahnya dari timur ke barat. Sistem angin Muson tersebut mengakibatkan pergerakan massa air (arus), terutama di bagian permukaan mengikuti pola angin Muson. Pada musim barat (Desember-Februari) salinitas minimum mencapai puncaknya pada bulan Januari atau Februari. Pada musim ini massa air dari Laut Natuna melewati Selat Karimata memasuki Laut Jawa dari arah barat yang dalam perjalanannya banyak mengalami pengenceran dari aliran-aliran sungai di sungai disekitarnya (Sumatera, Kalimantan, dan Jawa). Akibatnya salinitas turun dan mendorong massa air yang bersalinitas tinggi ke timur ke arah Laut Flores . Sebaliknya pada musim timur, dimana massa air laut bergerak dari Timur (Laut Flores dan Selat Makassar) ke barat memasuki Laut Jawa mendorong massa air salinitas rendah di Laut Jawa kembali ke barat sampai ke Laut Cina Selatan melewati Selat Karimata. Pola sebaran salinitas di Laut Jawa akan mengikuti pola musim, dimana angin dan gelombang pada musim barat atau musim timur di perairan Laut Jawa akan menghasilkan lapisan turbulensi atau lapisan tercampur (mixer layer). Arus di Laut Jawa pada musim timur dari bulan (Mei–September) mengalir menuju ke arah barat. Sebaliknya pada musim barat (November–Maret) arus mengalir ke arah timur. Saat musim barat massa air salinitas rendah (minimum) bergerak dari Selat Karimata ke Laut Jawa dan pada musim timur massa air salinitas tinggi (maksimum) bergerak dari arah timur (Laut Flores dan Selat Makassar) masuk ke Laut Jawa. Gambaran skematik pengaruh musim terhadap proses variasi salinitas permukaan di perairan Indonesia, seperti disajikan pada Gambar 7. Selama musim barat, angin bertiup ke timur dan menimbulkan hujan hampir di semua wilayah bagian barat Indonesia. Curah hujan di Laut Jawa dan ditambah dengan aliran sungai-sungai dari pulau-pulau Sunda Besar (Sumatera, Jawa, dan Kalimantan) menyebabkan penurunan salinitas di pantai-pantai. Kadang-kadang 17 isohalin 30 psu terdorong jauh ke laut lepas. Pada saat yang sama arus permukaan dari Laut Cina Selatan membawa massa air bersalinitas rendah ke bagian barat Laut Jawa dan mendorong massa air yang bersalinitas tinggi ke timur. Sebaliknya, pada musim timur massa air dengan salinitas rendah tadi didorong kembali ke Laut Jawa dan Laut Cina Selatan, dan diganti oleh massa air yang bersalinitas tinggi dari Selat Makassar dan Laut Flores (Gambar 8). Pada Gambar 9 disajikan skematik dari proses variasi salinitas musiman di perairan Laut Jawa dan sekitar selama musim barat (Desember-Februari) dan musim timur (Juni-September). Gambar 7. Skematik dari Proses Variasi Salinitas Permukaan Musiman di Perairan Indonesia (Laut Jawa) Selama Musim Timur (Juni-Agustus) dan Musim Barat (Desember–Februari) (Gordon, 2005) Gambar 8. Intrusi Massa Air dari Selat Makassar dan Laut Flores ke Laut Jawa (Juli-September) (Atmadipoera dan Nurjaya, 2011) 18 Gambar 9. Skematik dari Proses Variasi Salinitas Musiman di Perairan Laut Jawa dan Sekitar Selama (a) Musim Barat (Desember-Februari) dan (b) Musim Timur (Juni-September) (Miyama et al., 1996) 2.5 El Nino Southern Oscillation (ENSO) El Nino Southern Oscillation atau ENSO adalah kondisi abnormal iklim di mana suhu permukaan Samudra Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru lebih tinggi dari rata-rata normalnya. Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menamakan arus laut hangat yang terkadang mengalir dari utara ke selatan antara pelabuhan Paita dan Pacasmayo di daerah Peru yang terjadi pada bulan Desember. Kejadian ini kemudian semakin sering muncul yaitu setiap tiga hingga tujuh tahun serta dapat mempengaruhi iklim dunia selama lebih dari satu tahun (Philander, 1990). Fenomena ENSO ini memiliki dua fenomena yang saling berlawanan fase. Dimana fase panas disebut sebagai kondisi El Nino dan fase dingin disebut sebagai kondisi La Nina. Parameter yang dapat digunakan untuk melihat adanya fase El Nino dan La Nina adalah Southern Oscillation Index (SOI). SOI merupakan indeks yang menggambarkan perbedaan tekanan udara permukaan laut antara Darwin (yang mewakili Indonesian Low) dengan Tahiti (yang mewakili South Pasific High). Nilai tersebut didapatkan dengan mengurangi nilai tekanan paras laut di Tahiti dengan tekanan paras laut di Darwin. Pada saat terjadinya El Nino, nilai Indeks Osilasi Selatan negatif dalam jangka waktu yang lama, terjadi penurunan tekanan udara di bawah kondisi normalnya di Tahiti dan terjadi peningkatan tekanan udara di atas kondisi normalnya di Darwin. Sebaliknya pada saat nilai Indeks Osilasi Selatan positif dalam jangka waktu yang lama (Fase La Nina), terjadi kenaikan tekanan udara di atas kondisi normalnya di Tahiti dan terjadinya penurunan 19 tekanan udara di bawah kondisi normalnya di Darwin. Pola inilah yang dinamakan pola jungkat-jangkit, dimana posisi kedua ujungnya akan selalu berlawanan. Fenomena Osilasi Selatan ini berkaitan dengan kejadian El Nino, maka disebut sebagai ENSO (Brown et al., 1989). Perbandingan kondisi pada saat normal dan terjadi El Nino ditunjukkan pada Gambar 10. Pada kondisi normal, berhembus angin permukaan ini membangkitkan arus permukaan di Samudera Pasifik yang mengalir dari timur ke barat. Hal ini mengakibatkan elevasi muka air laut di Samudera Pasifik tropis bagian barat lebih tinggi dan suhu permukaan laut (SPL) di bagian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan Samudera Pasifik tropis bagian timur (Gambar 10a). Melemahnya Angin Pasat menyebabkan terjadinya perubahan arah arus ekuator yang semula ke arah barat menjadi ke arah timur (Gambar 10b). Perubahan arah arus ini menyebabkan makin tingginya SPL di Samudera Pasifik tropis bagian timur. Semakin besarnya gradien suhu antara timur-barat membangkitkan angin baratan yang bertiup dari Pasifik barat ke bagian timurnya. Bertiupnya angin baratan ini menambah kuatnya perbedaan suhu atau makin bertambahnya suhu di bagian timur Pasifik. Sirkulasi tersebut terjadi pada kondisi El Nino. Pada tahun 1997 terjadi pengaruh global dari kejadian ENSO yang menyebabkan anomali kondisi iklim yang berkepanjangan. Gambar 10. Perbandingan Kondisi di Samudera Pasifik pada Saat a) Normal dan b) Terjadi El Nino (NOAA, 2004) 20 2.6 Indian Ocean Dipole Mode (IODM) Saji et al., (1999) melaporkan bahwa terdapat juga osilasi klimatologi di Samudera Hindia. Fenomena ini ditunjukkan dengan adanya variabilitas internal dengan SPL negatif atau lebih dingin dari normalnya di pantai barat Sumatera atau Samudera Hindia bagian timur (90°-110° BT, 10° LS-ekuator) dan anomali positif di Samudera Hindia bagian barat (50°-70° BT, 10° LS-10° LU). Fenomena ini bersifat unik dan melekat di Samudera Hindia dan terlihat tidak bergantung pada ENSO. Fenomena ini dinamakan Indian Ocean Dipole Mode (IODM). Dipole Mode Index (DMI) dapat digunakan untuk mengidentifikasi fenomena IODM. Nilai DMI menggambarkan perbedaan anomali suhu permukaan laut dari dua daerah yaitu bagian barat ekuator dari Samudera Hindia (50°-70° BT dan 10° LS-10° LU) dan timur ekuator dari Samudera Hindia (90°-110° BT dan 10° LSekuator). Nilai DMI yang ekstrim positif menggambarkan terjadinya fenomena IODM positif dan nilai DMI ekstrim negatif menunjukkan terjadinya fenomena IODM negatif. Fenomena IODM ditunjukkan pada Gambar 11. Pada waktu normalnya, angin barat yang lemah bergerak dari sisi bagian timur Afrika (Samudera Hindia bagian barat) ke pantai barat Sumatera (Samudera Hindia bagian timur). Sedangkan pada saat terjadinya fenomena IODM positif di pantai barat Sumatera terbentuk anomali SPL negatif (lebih rendah dari suhu normalnya) yang pada gambar ditandai dengan warna biru. Sedangkan di pantai timur Afrika terbentuk anomali SPL positif (suhu permukaan lautnya lebih tinggi dari kondisi normal) yang ditandai dengan warna merah pada gambar. Kondisi ini menimbulkan angin timur yang kuat yang bertiup ke pantai timur Afrika, sehingga curah hujan di atas Afrika berada di atas normal sementara di Indonesia terjadi kekeringan. Hal sebaliknya terjadi pada saat fenomena IODM negatif (Saji et al., 1999). Vinayachandran et al. (2002) menambahkan IODM positif juga ditandai dengan pendangkalan lapisan termoklin di S. Hindia bagian timur sedangkan di Samudera Hindia bagian barat menjadi lebih dalam. 21 Gambar 11. Fenomena IODM a) IODM Positif b) IODM Negatif (Saji et al., 2001) Proses terbentuknya IODM ditampilkan pada Gambar 11. Siklus dipole mode diawali dengan munculnya anomali suhu permukaan laut negatif di sekitar Selat Lombok hingga Selatan Jawa pada sekitar bulan Mei–Juni. Selanjutnya pada bulan Juli – Agustus, anomali negatif tersebut terus menguat dan semakin meluas sampai pantai barat Sumatera, sementara itu di Samudera Hindia bagian barat muncul pula anomali suhu permukaan laut positif. Adanya perbedaan tekanan di antara keduanya, semakin memperkuat angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera. Proses pembentukan Indian Ocean Dipole Mode dimulai pada bulan Mei hingga Juni. Siklus ini mencapai puncaknya pada bulan September–Oktober dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November–Desember. Menurut Saji et al., (1999) dan Meyers et al,. (2006) fenomena IODM positif terjadi pada tahun 1982, 1983, 1987, 1991, 1994, dan 1997. Sedangkan fenomena IODM negatif terjadi pada tahun 1980, 1981, 1985, 1989, 1992 dan 2010. Bukti terjadinya IODM negatif kuat pad tahun 2010 dengan anomali positif suhu permukaan laut (SST) dan anomali presifitasi (curah hujan) telah ditunjukkan oleh Makarim et.al., 2011. Anomali akibat fenomena IODM dapat dilihat pada Gambar 12, 13 dan 14. 22 Gambar 12. Perkembangan Kejadian Indian Ocean Dipole Mode. Evolusi Komposit SPL dan Anomali Kecepatan Angin pada Bulan a) Mei-Juni b) Juli- Agustus c) September-Oktober d) November-Desember (Saji et al.,1999) ºC Gambar 13. Anomali Sea Surface Temperatur bulan Oktober 2010 di Perairan Barat Sumatera dan Sekitarnya (Makarim, et al., 2011) 23 mm Gambar 14. Anomali Presipitasi Bulan Oktober 2010 di Perairan Barat Sumatera dan Sekitarnya (Makarim, et al., 2011) 2.7 Sirkulasi Arus Muson dan Arus Lintas Indonesia Perairan Indonesia bagian barat, lebih didominasi oleh Armondo (Arus Monsun Indonesia) sedangkan Arlindo (Arus Lintas Indonesia) lebih dominan di perairan Indonesia bagian tengah dan timur seperti yang ditunjukkan pada Gambar 15. Pada wilayah perairan Indonesia bagian barat, disamping terdapat pengaruh ENSO dan monsun, juga diduga dipengaruhi oleh Dipole Mode. Variasi transpor Arlindo di perairan Indonesia bagian barat yang meliputi Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Selat Malaka, Laut Jawa dan Selat Luzon telah dilakukan untuk tahun 1988-1989 (fasa La Nina kuat), 1996 (tahun normal) dan 1997-1998 (fasa El Nino kuat) dengan menggunakan simulasi model numerik 3D barotropik POM (Pricenton Ocean Model) yang dimodifikasi oleh Ningsih (2000) dengan gaya pembangkit angin untuk mengetahui variabilitas Arlindo akibat interaksi ENSO, Monsun dan Dipole Mode. Secara umum diperoleh bahwa monsun berpengaruh kuat terhadap variasi transpor Arlindo di perairan Indonesia bagian barat. Adanya penguatan angin zonal (meridional) akan diikuti dengan meningkatnya arus ke arah yang sama. Pengaruh ENSO yang terlihat dengan jelas ditemukan di Laut Cina Selatan dan Selat Luzon (Hidayati, 2004). Transpor massa air di perairan yang terlintasi oleh 24 Arlindo cenderung konstan sepanjang tahunnya, namun besarnya sangat erat kaitannya dengan pengaruh situasi iklim regional/global. Gambar 15. Skematik Sirkulasi Massa Air Laut Jawa dan Sirkulasi Arlindo (Gordon, 2005) 2.8 Pola Iklim dan Curah Hujan di Indonesia Kepulauan Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, sehingga sangat dipengaruhi oleh iklim Monsoon (monsoon type climate). Umumnya, musim barat berlangsung dari bulan Desember sampai Februari dan musim timur berlangsung dari bulan Juni sampai Agustus. Sedangkan bulan-bulan diantaranya merupakan musim peralihan dari musim barat ke musim timur (September-November). Selama musim barat, angin bertiup ke timur dan menimbulkan hujan hampir di semua kepulauan Indonesia. Curah hujan dan ditambah dengan aliran sungai-sungai dari pulau-pulau Sunda Besar (Sumatera, Jawa, dan Kalimantan) menyebabkan penurunan salinitas di pantai-pantai. Kadang-kadang isohalin 30 psu terdorong jauh ke laut lepas. Pada saat yang sama arus permukaan dari Laut Cina Selatan membawa massa air bersalinitas rendah ke bagian barat Laut Jawa dan mendorong massa air yang bersalinitas tinggi ke timur. Sebaliknya, pada musim timur massa air dengan salinitas rendah tadi didorong kembali ke Laut Jawa dan Laut Cina Selatan, dan diganti oleh massa air yang bersalinitas tinggi dari Selat Makassar dan Laut Flores. Penetrasi massa air 25 bersalinitas tinggi ke barat mencapai puncaknya pada bulan September (Wyrtki, 1961; Gordon, 2005). Iklim didefinisikan sebagai kondisi atmosfir rata-rata pada suatu wilayah untuk periode waktu yang cukup lama, biasanya sekitar 30 tahun yang dipengaruhi oleh interaksi antara atmosfir, daratan dan lautan. Secara statistik, iklim juga mencakup tidak hanya nilai rata-rata, tetapi juga variasi besaran dari hari ke hari, bulan ke bulan, hingga tahun ke tahun. Iklim suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh garis lintang rendah (tropis), menengah (sedang), atau tinggi (kutub), topografi, ada tidaknyanbadan air, seperti laut, danau, atau sungai. Wilayah yang berada di lintang rendah (tropis) akan menerima radiasi matahari maksimum hampir sepanjang tahun. Cuaca adalah kondisi atmosfir pada suatu wilayah untuk periode waktu yang singkat, jam atau hari. Unsur-unsur cuaca dan iklim terdiri dari: suhu udara, tekanan udara, kelembababn udara, jumlah partikel atmosfir, radiasi matahari, evapotranspirasi potensial, angin, dan curah hujan (Nasrullah, 2011). Indonesia memiliki iklim yang unik, selain disebabkan oleh wilayahnya yang berupa kepulauan dan berada di wilayah tropis, keunikan iklim Indonesia juga dipengaruhi oleh letaknya yang berada di antara dua samudera dan dua benua. Di Indonesia terdapat tiga jenis pola iklim. Menurut Aldrian dan Susanto, (2003), pola curah hujan di Indonesia terbagi menjadi tiga zona utama, yaitu zona iklim monsunal, iklim equatorial, dan zona iklim lokal dengan sebuah wilayah peralihan (Gambar 16) yaitu: Gambar 16. Tiga Daerah Pola Hujan di Indonesia (Aldrian E. Dan D. Susanto, 2003). 26 1. Daerah monsunal (zona A) merupakan pola yang dominan di Indonesia, karena melingkupi hampir seluruh wilayah Indonesia. Daerah tersebut memiliki satu puncak pada bulan November-Maret (NDJFM) dipengaruhi oleh monsun barat laut yang basah dan satu palung pada bulan MeiSeptember (MJJAS) dipengaruhi oleh monsun tenggara yang kering, sehingga dapat dibedakan dengan jelas antara musim kemarau dan musim hujan Selain itu daerah A berkorelasi kuat terhadap perubahan SPL. 2. Daerah ekuatorial (zona B) mempunyai dua puncak pada bulan OktoberNovember (ON) dan pada bulan Maret-Mei (MAM). Pola ini dipengaruhi oleh pergeseran ke utara dan selatan dari ITCZ atau titik equinox (kulminasi) matahari. 3. Daerah iklim lokal (zona C) mempunyai satu puncak pada bulan Juni-Juli (JJ) dan satu palung pada bulan Novenber-Februari (NDJF). Pola ini merupakan kebalikan dari pola A. Setiap wilayah di Indonesia mempunyai pola hujan yang sama, dan curah hujan adalah parameter iklim yang paling mempengaruhi pola kehidupan masyarakat. Pola curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain monsoon, Inter Tropical Covergence Zone (ITCZ), Indian Ocean Dipole Mode (IODM), El Nino southern oscillation (ENSO), dan sirkulasi regional lainnya, yang terdapat di Samudera Hindia dan samudera Pasifik (Aldrian dan Susanto, 2003). 2.9 Karakter Oseanografi Perairan Laut Jawa dan Pengaruhnya terhadap Organisme Interaksi faktor lingkungan dengan organisme menjadi hal penting dalam kajian kehidupan laut secara keseluruhan.Akan tetapi yang harus menjadi pertimbangan mendasar bahwa faktor lingkungan lebih mudah diamati, dipantau serta lebih mudah diprediksi dibanding kelimpahan dan distribusi suatu spesies.Perlu dicatat bahwa tidak ada keseimbangan yang stabil antara lingkungan dan organisme karena faktor lingkungan terikat dengan variabilitasnya sedangkan 27 organisme memiliki daya adaptasi terhadap fluktuasi lingkungan yang terjadi.Kondisi ini mejadikan hubungan faktor lingkungan dan organisme menjadi faktor fisik dan fisiologis dalam tubuh yang dapat mengoroientasikan dirinya untuk mengarah atau berada dalam suatu lingkungan tertentu (Leavastu dan Hela, 1970; Laevastu dan Hayes, 1981). Stok sumberdaya ikan dan hasil tangkapan bervarisasi secara musiman dan tahunan yang berkaitan dengan variabilitas lingkungan pada skala waktu yang sama (Cushing, 1975 dalam Laevastu dan Hayes, 1981). Berkaitan dengan kondisi perikanan di Selat Makassar dan Laut Jawa, angin munson merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap fluktuasi kelimpahan dan jenis hasil tangkapan yang mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi oseanografi baik secara temporal maupun spasial. Hasil tangkapan menunjukkan adanya kemunculan jenis ikan pada musim tertentu dan akan menghilang seiring dengan adanya perubahan musim yang kemudian digantikan oleh jenis yang lain pada cakupan kawasan tersebut. Demikian halnya dengan jumlah hasil tangkapan berdasarkan musim menunjukkan adanya perbedaan dimana terjadi musim puncak penangkapan dan paceklik pada bulan-bulan tertentu (Atmaja dan Nugroho, 1995; Priatna dan Suwarso, 2008). 2.10 Interaksi Laut Jawa-Selat Makassar Karakteristik massa air dan iklim Laut Jawa dipengaruhi langsung oleh dua angin munson yaitu angin munson barat yang berlangsung antara bulan September–Februari dan angin munson timur antara bulan Maret–Agustus. Pada munson timur, massa air bersalinitas tinggi (>34 psu) memasuki Laut Jawa melalui Selat Makassar dan Laut Flores, sedangkan pada munson barat selain terjadi pengenceran oleh air sungai, juga masuk massa air bersalinitas rendah (<32 psu) yang berasal dari Laut Cina Selatan mendorong massa air bersalinitas tinggi ke bagian timur Laut Jawa. Hal ini mempengaruhi temperatur permukaan dan pola arus (Veen, 1953; Wyrtki, 1961 dalam Atmaja dan Nugroho, 1995). Sejalan dengan hal tersebut di atas, Ilahude (1970) menjelaskan bahwa pada saat musim timur massa air Laut Flores akan memasuki perairan Selat Makassar 28 bagian selatan sehingga meningkatkan nilai salinitas di perairan ini. Pada daerah pantai Selat Makassar terdapat kantong-kantong air dengan salinitas tinggi, yang hanya dapat dijelaskan dengan proses penaikan massa air karena pada daerah yang berdekatan justru bersalinitas rendah. Selama proses penaikan air berlangsung pada musim timur, salinitas dapat mencapai 34-34,5 psu. Sebaliknya pada musim barat, massa air dari Laut Jawa yang bersalinitas rendah akan memasuki perairan Selat Makassar bagian selatan sehingga dapat menurunkan salinitas permukaan. Pengamatan oleh Gordon et al. (2003) dan NCEP/National Center Environmental Prediction (Sofian et al., 2006; Sofian et al., 2007) dengan pemodelan arah angin menunjukkan bahwa salinitas permukaan Laut Jawa yang rendah bergerak ke selatan Selat Makassar selama munson barat laut dari Oktober sampai Maret. Angin monsun tenggara mengembalikan massa air bersalinitas rendah tersebut ke Laut Jawa selama dari bulan April sampai September. Pengamatan oleh Sofian et al. (2006) juga membuktikan bahwa kuatnya volume transpor berlangsung kuat ke arah timur mengakibatkan naiknya muka laut di Laut Jawa. Selain itu, transport massa air mengarah ke timur selama munson barat laut dari Oktober hingga Maret dan ke barat selama munson tenggara. Hubungan antar lautan antara Selat Makassar dan Laut Jawa diselidiki dengan model Hybrid Coordinat Ocean Model (HYCOM). Hasil yang diperoleh bahwa bahwa di Selat Makassar aliran terkuat mengarah ke selatan pada lapisan 150–250 meter. Berkaitan dengan fenomena ENSO, kecepatan aliran permukaan akan menurun pada saat munson barat laut selama periode La Nina. Hal ini disebabkan oleh aliran massa air Laut Jawa menuju timur dapat menghambat aliran massa air hangat yang dialirkan oleh arus permukaan Selat Makassar yang menuju ke selatan dimana membawa massa air dari Samudera Pasifik memasuki Samudera Hindia selama periode ini. Di sisi lain, kecepatan arus yang menuju timur dan air permukaan bergerak dari selatan Selat Makassar menuju ke Laut Jawa mengalami peningkatan selama munson tenggara selama periode El Nino 1997/1998 (Sofian et al., 2006). Sofian (2007) memberikan gambaran mengenai arus permukaan berdasarkan pemodelan model berbasis pengamatan in situ dan citra satelit altimeter untuk bulan Januari (munson barat laut) dan Agustus (munson tenggara) 29 pada perairan jalur barat Arlindo. Selama munson barat laut dimana bertiup angin barat laut, angin munson menggiring massa air Laut Jawa menuju timur dan perairan selat Karimata ke arah selatan. Arus permukaan Selat Sunda mengarah ke timur dan memasuki Samudera Hindia menuju Laut Jawa selama periode ini. Sebaliknya, saat arah angin berubah dari arah tenggara selama munson tenggara menciptakan arus menuju barat karena hembusan angin tersebut yang mengarahkan permukaan Laut Jawa dan Selat Karimata masing-masing bergerak menuju barat dan utara. Adapun massa air permukaan Selat Sunda akan keluar dari Laut Jawa menuju Samudera Hindia selama munson tenggara. Berbeda dengan arus Selat Makassar yang tidak mengikuti arah angin munson, arus permukaan Selat Makassar cenderung mengarah ke selatan sepanjang tahun.Kecepatan arus permukaan Selat Makassar rendah pada munson barat laut meskipun arah angin dari utara berlangsung intensif. Rendahnya kecepatan arus permukaan Selat Makassar karena terhalangi oleh kuatnya arus Laut Jawa yang mengarah ke timur.Akan tetapi, pada saat munson tenggara arah selatan arus permukaan Selat Makassar menjadi lebih cepat. Hal ini diketahui, kuatnya arus permukaan menuju selatan mendorong massa air permukaan dengan salinitas dan temperatur yang rendah kembali ke Laut Jawa. Atmadipoera et al. (2009) menjelaskan skema Arus Lintas Indonesia yang melewati beberapa selat di perairan Indonesia sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 17. Massa air air Pasifik Utara dibawa dari Arus Mindanao dan mengikuti aliran barat dari pintu masuknya di timur laut Laut Sulawesi menuju ke Selat Makassar dan seterusnya ke Laut Flores. Dari sini, sekitar 20% mengalir ke luar menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok dan pada bagian timur masuk melalui Laut Banda, sebelum keluar menuju Samudera Hindia melewati Selat Ombai dan Perlintasan Timor. Massa air Pasifik Utara dicirikan dengan salinitas maksimum pada lapisan termoklin (Perairan Subtropis Pasifik Utara, NPSW) dan salinitas minimum pada lapisan bawah termoklin (Perairan Intermediate Pasifik Utara, NPIW) dimana perairan Pasifik Selatan merupakan komponen kecil dari 30 aliran massa ini. Massa air terdiri dari Perairan Bawah Termoklin Subtropis Pasifik Selatan (SPSLTW) yang muncul pada kedalaman bawah termoklin sepanjang jalur timur yang melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku menuju Laut Seram, dan kemudian menuju ke Laut Banda (Wyrtki, 1961; Ilahude dan Gordon, 1996). Salinitas permukaan memperlihatkan variasi tahunan yang kuat pada perairan Indonesia yang berasosiasi dengan suplai terbesar perairan tawar Laut Jawa selama musim hujan pada munson barat laut dari Desember sampai Maret (Wyrtki, 1961). Survei dengan CTD yang dilakukan pada puncak musim hujan dan kemarau pada 1993/94 melalui eksperimen Arlindo memperlihatkan bahwa perairan besalinitas rendah terdapat pada lapisan permukaan sampai bagian atas lapisan termoklin di selatan Selat Makassar selama puncak munson barat laut pada periode Arlindo. Salinitas permukaan yang rendah dibawa oleh arus munson yang mengalir ke timur dari Laut Jawa ke Laut Banda.Sepanjang aliran ini, profil perairan Arlindo merupakan pokok dari percampuran pasang surut yang membentuk lapisan termoklin dari Arlindo yang keluar menuju Samudera Hindia. Skema Arlindo melewari selat-selat di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17. Skema Sirkulasi Arus Lintas Indonesia yang Keluar Melewati Beberapa Selat (Atmadipoera et al., 2009) 31 2.11 Sumber Daya Perikanan Ikan Pelagis di Laut Jawa Sumber daya perikanan Selat Makassar dimanfaatkan oleh nelayan dan perusahaan penangkapan yang berada di kawasan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Bali serta Jawa. Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang terdapat di Selat Makassar terdiri dari ikan layang, kembung, selar, tembang, siro, julung-julung dan teri. Dari data statistik perikanan terdapat 15 jenis ikan yang dikelompokkan ke dalam kelompok pelagis kecil dan yang paling dominan adalah ikan layang (Gafa et al., 1993). Jenis layang di Selat Makassar pada dasarnya tertangkap sepanjang tahun, fluktuasi terjadi secara musiman; puncak kelimpahan ikan layang berlangsung antara November sampai Januari. Adapun musim paceklik penangkapan layang terjadi sekitar bulan Maret sampai Mei.Terkait dengan musim ikan di Laut Jawa, musim puncak layang di Selat Makassar lebih lambat sekitar dua bulan dibanding dengan musim puncak kelimpahan di Laut Jawa (perairan sekitar Kepulauan Masalembo dan Pulau Matasirih) yang berlangsung pada musim peralihan 2 (September–November). Selisih musim puncak tersebut diduga karena adanya spawning migration dari timur Laut Jawa ke arah barat Selat Makassar. Indikasi tersebut berdasarkan temuan Potier dan Sadhotomo (2003) bahwa adanya pergeseran ukuran ikan layang yang berhubungan dengan tingkat kematangan gonad ikan layang (Priatna dan Suwarso, 2008). Kondisi perikanan tangkap pada tahun 1975–1980 di Laut Jawa menunjukkan bahwa perikanan demersal telah memberikan tekanan pengusahaan yang tinggi terhadap sumber daya ikan, sedangkan perikanan pelagis belum dimanfaatkan secara intensif. Penerapan Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980 secara tidak langsung mengakibatkan terjadinya perubahan dalam komposisi hasil tangkapan yakni perikanan demersal mengalami penurunan sekitar 38% termasuk produksi udang dan peperek yang turun 50% pada tahun 1981, sedangkan perikanan pelagisnya mengalami kenaikan sekitar 7%. Selanjutnya pada awal 1980 nelayan beralih menggunakan alat tangkap untuk 32 pemanfaatan ikan pelagis yang dioperasikan dalam kuantitas dan kualitas yang besar (Dwiponggo, 1983). Ikan layang, Decapterus spp merupakan salah satu komoditi utama dari hasil tangkapan pukat cincin di perairan utara Jawa. Hasil tangkapan rata-rata selama periode tahun 1981–1982 di TPI Pekalongan saja mencapai 19,442 ton atau sekitar 32% dari hasil tangkapan total ikan pelagis. Kondisi biologisnya menunjukkan bahwa pada salah satu jenis yakni D. maruadsi matang seksual pada ukuran 18,8 cm. Aktifitas penangkapan yang berjalan ditemui banyak ikan yang tertangkap sebelum mencapai ukuran matang seksual. Adapun pola penambahan anggota baru tahunan puncaknya terjadi pada dua musim yakni barat dan timur dengan puncak tertinggi pada musim timur (Atmaja, 1983). Demikian halnya di Selat Makassar diketahui bahwa layang merupakan tangkapan utama pukat cincin dengan kontribusi sekitar 58%. Sedangkan perairan Selat Makassar bagian selatan sebagai salah satu tujuan utama penangkapan ikan layang memiliki kontribusi sebesar 43%.Adapun jenis ikan layang yang tertangkap di Selat Makassar adalah layang (Decapterus ruselli) dan layang abu-abu (D. macrosoma) (Prasetyo dan Suwarso, 2010). Fluktuasi CPUE beberapa jenis ikan dari musim ke musim dan daerah penangkapan mempunyai pola yang sama dan beberapa jenis ikan tertentu cenderung berlawanan. Berdasarkan CPUE total tiap musim dan daerah penangkapan sangat ditentukan oleh CPUE ikan layang. Puncak hasil tangkapan ikan layang berlangsung pada musim peralihan II, yaitu terdapat pada perairan sekitar Pulau Masalembo dan Pulau Matasiri, sedangkan pada musim yang lain yakni musim peralihan I dan perairan tenggara jauh lebih rendah. Pola fluktuasi CPUE yang hampir sama terjadi pada banyar (kembung), sedangkan untuk tanjan, siro dan bentong cenderung berlawanan. Puncak hasil tangkapan tanjan berlangsung pada musim tenggara, terutama di perairan sebelah utara Tegal dan Pekalongan serta Matasiri dengan hasil tangkapan terendah terjadi pada musim peralihan I terutama di perairan sekitar Bawean dan Masalembo. Hasil tangkapan siro tertinggi berlangsung pada musim barat, yaitu di sekitar Bawean dan Pejantan. Hasil tangkapan terendah pada musim peralihan II, yaitu di periran sebelah utara Tegal dan Pekalongan dan sekitar Karimunjawa. Portier dan 33 Sadhotomo (1994) dalam Atmaja dan Nugroho (1995) mendeskripsikan lokasi penangkapan di atas yang dikelompokkan dalam perikanan pelagis kecil di utara Jawa (Gambar 18). Gambar 18. Daerah Penangkapan Ikan dengan Purse Seine di Laut Jawa Sampai Tahun 1995 (Sadhotomo, 1994 dalam Atmaja dan Nugroho, 1995) Perubahan kondisi lingkungan mempengaruhi beberapa jenis ikan tertentu untuk melakukan ruaya, misalnya layang (Decapterus spp) dan banyar (Rastrelliger kanagurta) yang beruaya mengikuti perubahan salinitas sehingga ikan tersebut selalu beruaya musiman. Menurut Sujastani (1974) ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) beruaya untuk memijah dari Tanjung Satai (Kalimantan Barat) pada bulan Mei–Oktober, populasi ikan kembung musim barat beruaya dari perairan Laut Jawa untuk memijah dan atau Laut Cina Selatan, sedangkan populasi ikan kembung musim timur memijah di bagian timur Laut Jawa (Laut Flores). Migrasi ikan kembung ini mengikuti corak migrasi ikan layang yang biasanya terlambat satu atau dua minggu (Atmaja et.al., 1986). Sampling yang dilakukan oleh Suwarso et.al (1987) dari 179 kapal purse seine diperoleh komposisi hasil tangkapan ikan Layang yang dipisahkan menurut daerah penangkapan dan musim di perairan Laut Jawa. Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin ke arah timur daerah penangkapan jumlah (persentase) layang deles yang tertangkap semakin banyak dan sebaliknya 34 semakin ke arah barat layang biasa yang semakin banyak. Terdapat kecenderungan naiknya CPUE ikan layang dengan semakin jauhnya daerah penangkapan. Disebutkan juga bahwa pada setiap musim nelayan lebih banyak menagkap ikan di perairan sekitar Masalembo dan Matasirih (kira-kira 21,8% dan 30,9%), sedangkan di empat daerah penangkapan lainnya (perairan sebelah utara Tegal dan Pekalongan, sekitar Kepulauan Karimunjawa dan sekitar Pulau Bawean) sekitar 47,3%. Dengan demikian kenaikan hasil tangkapan layang disebabkan oleh kenaikan hasil tangkapan layang deles, dimana ini telah mengakibatkan perubahan komposisi dari layang. Pukat cincin mini (mini purse seine) juga merupakan jenis alat tangkap ikan pelagis kecil di Laut Jawa dengan daerah penangkapan tersendiri. Armada penangkapan yang berbasis di Eretan Wetan beroperasi di sekitar Pulau Biawak dan utara Blanakan dengan jarak 2-3 jam berlayar dari pangkalan. Di daerah Pekalongan, nelayan umumnya beroperasi di sekitar perairan utara Pekalongan hingga sekitar 3-7 jam. Di daerah Banyutowo sebagian besar dilakukan di utara Tanjung Mandalika, Jepara dan timur Tayu. Terdapat juga di daerah Tasik Agung (Rembang) dan Sarang, Lasem, Bonang dan Juana.Armada yang berbasis pendaratan di Kranji beroperasi dari kawasan pantai hingga perairan di utara Madura dan sekitar Pulau Bawean (Atmaja dan Nugroho, 1999). Komposisi hasil tangkapan pukat cincin mini di perairan utara Pekalongan yakni kelompok ikan Sardinella spp. menempati urutan pertama, diikuti R. brachysoma, Selar spp., Auxis sp., Trichiurus spp., Scomberomorus spp., Fornio nigerdan Squid. Variasi spasial temporal, kelompok ikan Sardinella spp. memperlihatkan kelimpahan yang tinggi pada musim Timur (Juni-Agustus) dan musim peralihan timur ke musim barat (September-November). Pada musim peralihan, ikan ini digantikan oleh kembung (R. brachyosoma) dan bentong (S. crumenophthaimus) (Atmaja dan Nugroho, 2000). Sumber daya ikan pelagis di perairan Laut Jawa terdiri dari komunitas ikan pelagis pantai (Sardinella spp., Rastrelliger brachysoma, Dusumieria acuta, Selar spp.), ikan pelagis neritik dan oseanik (Decapterus russelli, Selar 35 crumenophthalmus, Rastrelliger kanagurta, Decapterus acrosoma, Amblygaster sirm, Megalaspis cordyla, Scombemorus spp., Auxis thazard). Kelompok jenis ikan Layang (Decapterus spp.) merupakan komponen utama di perairan ini, dominasi jenis ikan ini terjadi pada daerah penangkapan yang dipengaruhi oleh massa air bersifat oseanik. Penyebaran ikan pelagis berdasarkan hasil tangkapan pukat cincin menunjukkan konsentrasi ikan pelagis berada di bagian timur Laut Jawa (Atmaja et al., 2003). Nugroho (2006) mengemukakan bahwa seiring dengan dinamika perikanan pukat cincin, produksi ikan layang terus meningkat dengan puncak pada tahun 1985 mencapai sekitar 54.000 ton atau 107.000 ton berdasarkan pada statistik perikanan, kemudian menurun sangat tajam mencapai 21.000 ton pada tahun 1988. Sejak tahun 1989, produksi ikan layang meningkat kembali dan mencapai puncak produksi pada tahun 1995. Berdasarkan pada statistik perikanan Indonesia, sejak tahun 1988 sampai dengan 1997 trend produksi cenderung terus meningkat. Sadhotomo (1998) mengatakan bahwa produksi ikan berdasarkan pada statistik perikanan Indonesia cenderung meningkat sekitar 4 sampai dengan 10% per tahun, apapun kondisi perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2004) memperlihatkan perkembangan produksi perikanan ikan laut meningkat rata-rata 5,4% selama kurun waktu tahun 2001 sampai dengan 2003. Sebaliknya realitas perikanan memperlihatkan bahwa produksi ikan layang yang berasal dari perikanan pukat cincin cenderung terus menurun sebelum ekspansi daerah penangkapan ikan layang (D. russelli) merupakan proporsi terbesar (>70%) dari ke-2 jenis ikan layang (D. russelli dan D. macrosoma) yang tertangkap di Laut Jawa dan sekitarnya. Peningkatan biomassa ikan layang seharusnya diikuti dengan kenaikan hasil tangkapan per satuan upaya. Situasi perikanan pukat cincin saat ini memperlihatkan hasil tangkapan terus menurun dan rata-rata hari operasi penangkapan terus naik, walaupun kemampuan tangkap cenderung meningkat. Hal ini menunjukkan nelayan semakin sulit mencari gerombolan ikan. Dari kenyataan tersebut menunjukkan kondisi biomassa ikan layang berlanjut menurun atau pulih stok bersifat semu (quasi recovery). Indikasi sangat nyata telah 36 dijumpai bahwa setelah tahun 1992, tingkat eksploitasi telah melampaui hasil tangkapan lestari (marginal sustainable yield). Pengamatan terkini mengenaimusim dan daerah penangkapan oleh Chodriyah dan Hariati (2010) diperoleh bahwa musim penangkapan ikan layang (Decapterus spp.) terjadi pada bulan Agustus, ikan siro dan selar bentong pada bulan Desember, ikan kembung banyar bulan September dan ikan tembang atau juwi bulan Juni. Daerah penangkapan (fishing ground) purse seine Pekalongan sama dengan periode sebelumnya, meliputi perairan Laut Jawa (utara Tegal dan Pekalongan, Karimunjawa, Bawean, Masalembo, Matasiri, dan Kangean), perairan Laut Cina Selatan (Pejantan, Natuna, Midai, Tarempa, serta Tambelan) dan perairan Selat Makassar (Lumu-lumu, Lari-larian, dan Kota Baru) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 19. Prediksi musim pemijahan layang deles (Decapterus macrosoma) yang dilakukan oleh Atmaja dan Sadhotomo (2005) menemukan bahwa berlangsungnya sepanjang tahun, bukan ikan tetapi juvenil ikan memasuki masa penangkapan ketika dimulainya proses rekruitmen. Terdapat dua kelompok rekruitmen di Laut Jawa. Kelompok utama rekruitmen memasuki penangkapan sepanjang munson tenggara (Juni–Juli) dan kelompok kecil berlangsung pada November. Berdasarkan kalkulasi mundur dari usia kelompok termuda di rekruitmen utama, dapat disimpulkan bahwa rekruitmen tidak diturunkan dari ikan dewasa yang mendiami daerah tersebut sepanjang tahun. Puncak kematangan ikan yang mendiami Laut Jawa terjadi pada Juni–Juli, dan puncak musim pemijahan dapat berlangsung antara Juli–November sedangkan perkiraan pemijahan untuk rekruitmen utama berlangsung sekitar November. Dalam pengamatannya hampir tidak ditemukan adanya indikasi sampel yang mengalami kematangan dan memijah pada daerah pemijahan di Laut Jawa (minimal tidak berada pada daerah penangkapan armada purse seine). 37 Gambar 19. Daerah Penangkapan Ikan di Laut Jawa dalam Kurun Waktu 20022007 (Atmaja dan Sadhotomo, 2005) 2.12 Interaksi Sumberdaya Ikan dengan Faktor Iklim dan Oseanografi Pola angin munson sangat nyata berpengaruh terhadap kegiatan penangkapan dan keberadaan ikan di Laut Jawa.Pada munson timur, ikan yang bersifat stenohaline banyak tertangkap, seperti layang (Decapterus macrosoma dan D. russelli), banyar (Rastrelliger kanagurta) dan siro (Ambligaster sirm). Pada angin munson barat, ikan yang bersifat euryhaline mendominasi hasil tangkapan seperti kembung (Ratrelliger brachysoma) dan juwi (Sardinella spp.) (Haidenberg, 1938; Beck dan Sudrajat, 1978); Atmaja dan Ecoutin, 1995; dan Hariati et al., 1995). Berdasarkan cluster analysis hasil tangkapan pukat cincin, sediaan ikan layang deles (D. macrosoma) dan siro (A. sirm) tergolong bersifat stenohaline, hidup dekat continental shelf edge dan tertangkap pada setiap akhir tahun (Sadhotomo and Potier, 1995 dalam Atmaja dan Nugroho, 1995). Tingkat pemanfaatan sediaan masing-masing spesies tersebut berbeda satu dengan dengan lainnya.Coastal dan neritic species misalnya D. ruselli, Sardinella spp., bentong (Selar crumenopthalmus) telah dieksploitasi mendekati lebih tangkap, sedangkan oceanic species misalnya D. macrosoma, R. kanagurta dan A. sirm masih dapat 38 ditingkatkan (Sujastani, 1978; Nurhakim et al, 1995; Sadhotomo dan Potier, 1995 dalam Atmaja dan Nugroho, 1995). Variabilitas beberapa ikan pelagis (D. russelli, D. macrosoma, R. kanagurta) berasosiasi dengan perubahan salinitas massa air yang datang dari Laut Flores dan Selat Makassar pada musim kemarau (Hardenberg, 1938). Kelompok ikan coastal seperti Auxis sp., Sardinella sp., Teri (Steloporus spp. dan Encraicholine spp.) dan juvenil ikan pelagis berasosiasi dengan perubahan suhu. Dua jenis ikan yang mempunyai respon berbeda terhadap lingkungan digambarkan oleh hasil tangkapan ikan layang dan juwi di perairan utara BonangSarang, pada musim peralihan dari musim timur ke musim barat (SeptemberNopember) sebagian besar hasil tangkapan pukat cincin didominasi oleh ikan layang, pada musim timur (Maret-Mei) ikan juwi menggantikan ikan layang (Atmaja dan Ecoutin, 1995 dalam Atmaja et al., 2003). Potier (1998) dalam Atmaja et al. (2003) juga menyatakan bahwa stok ikan pelagis sangat peka terhadap perubahan lingkungan, terutama penyebaran salinitas secara spasial yang dibangkitkan oleh dua angin munson barat laut dan tenggara. Pada tahun basah (curah hujan di atas normal) akan mengurangi penetrasi ikan-ikan yang bersifat oseanik menurun di bagian timur Laut Jawa. Hubungan hasil tangkapan dengan salinitas permukaan menunjukkan berkorelasi positif dan hasil tangkapan berkorelasi negatif dengan curah hujan. Hasil survei akustik menerangkan kelimpahan dan sebaran spasial kelompok ikan. Perubahan keberadaan dan kelimpahan kelompok ikan tersebut terlihat bahwa pengelompokan ikan di bagian tengah cenderung menghilang pada bulan Desember dan Februari. Dengan menghubungkan adanya perubahan karakteristik lingkungan yang dicirikan oleh adanya perubahan profil suhu dan salinitas pada ketiga waktu tersebut maka dapat diketahui setidaknya kondisi lingkungan pada bulan Oktober relatif homogen sehingga stok kelompok ikan cenderung tersebar merata dengan nilai reverberasi yang tinggi. Pergeseran kelompok ikan ke arah timur diduga sebagai akibat dari pengaruh penurunan salinitas akibat dari masuknya pengaruh massa air salinitas rendah hingga menyebabkan kondisi lingkungan dalam keadaan tidak homogen. Kondisi ini diduga merupakan salah satu faktor utama di mana pada ikan kelompok jenis oseanik layang deles (D. 39 macrosoma) dan kembung lelaki (R. kanagurta) cenderung bergerak ke arah timur mengikuti pergerakan massa air bersalinitas tinggi. Perubahan musimam karakteristik lingkungan di Laut Jawa tersebut telah diterangkan oleh Wyrtki (1958) dan Durand dan Petit (1995) dalam Atmaja et al.(2003) di mana secara umum dikatakan bahwa perubahan musim di Laut Jawa dicirikan oleh adanya perubahan suhu, salinitas serta arah angin dan pola arus yang berbeda pada dua musim utama yaitu musim barat dan timur. Analisis parameter-parameter oseanografi seperti suhu, salinitas, dan konsentrasi klorofil-a menguatkan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang mnunjukkan bahwa variabilitas parameter-parameter oseanografi di Laut Jawa secara kuat dipengaruhi pergerakan angin munson. Pada periode musim angin muson tenggara, suhu permukaan laut di Laut Jawa lebih rendah, namun salinitas meningkat dan sebaliknya terjadi pada saat musim muson barat laut. Konsentrasi klorofil-a di bagian barat Laut Jawa relatif sama pada kedua musim, tetapi di bagian timur Laut Jawa, konsentrasi klorofil-a meningkat pada musim barat. Selain pengaruh angin muson, perubahan iklim global ENSO juga terlihat mempengaruhi parameter suhu dan konsentrasi klorofil-a.Pada saat ENSO, terjadi anomali negatif suhu permukaan laut yang menurun sampai dengan mencapai suhu 25,3oC, sebaliknya di bagian timur Laut Jawa terjadi anomali positif konsentrasi klorofil-a. Variasi parameter-parameter oseanografi yang terjadi di Laut Jawa baik yang berhubungan dengan perubahan musim maupun iklim global berpengaruh terhadap distribusi, dengan kelimpahan ikan. Oleh karena itu, data parameter-parameter oseanografi yang secara terus menerus diamati khususnya dari citra satelit sebaiknya digunakan sebagai informasi untuk pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan lestari di Laut Jawa (Gaol dan Sadhotomo, 2007). Data target strength menunjukkan bahwa rata-rata ukuran ikan pelagis yang terdeteksi di perairan pantai utara Jawa bagian timur adalah 10 sampai dengan 56 cm. Ukuran ikan di daerah lepas pantai lebih kecil dibanding daerah dekat pantai. Pada musim peralihan, kondisi suhu dan salinitas perairan relatif homogen sehingga faktor tersebut kurang signifikan terhadap distribusi keadaan ikan. Diduga faktor lingkungan lain seperti faktor biologi dan kimia berperan dalam pola penyebaran ikan pelagis kecil di perairan ini. Di Laut Flores dan sekitar 40 pulau-pulau Sunda, densitas ikan tertinggi pada stratum 10 sampai dengan 50 m dengan ukuran 10 sampai dengan 20 cm terutama di bagian lahan marginal seperti sekitar selat dan kepulauan. Selain merupakan lapisan tercampur di mana kondisi suhu dan salinitas relatif stabil pada kedalaman 10 sampai 50 m, lahan marginal merupakan daerah subur tempat pertemuan 2 massa air yang berbeda yang membentuk front diharapkan merupakan tempat berkumpul ikan. Lapisan termoklin yang bersifat lemah berada di bawah 50 m, hal ini mempengaruhi densitas ikan yang semakin rendah pada kedalaman lebih dari 50 m. Ikan pelagis yang berada pada lapisan termoklin mempunyai ukuran yang lebih besar yaitu 14 sampai dengan 40 cm. Pada musim yang sama, rata-rata kepadatan dan ukuran ikan pelagis kecil di wilayah timur lebih rendah daripada sebelah barat (Priatna dan Natsir, 2007). 2.13 Sintesa (Review) Hasil Penelitian Terdahulu Berdasarkan beberapa hasil studi literatur (tinjauan pustaka) seperti yang ditelah berikan pada bab tinjauan pustaka (Bab 2), maka dapat disusun sintesa sebagai berikut : 1. Laut Jawa merupakan wilayah perairan yang menjadi daerah penangkapan (fishing ground) beberapa ikan pelgias kecil, seperti ikan layang, banyar, juwi, bentong, selar, dan ikan lemuru. Ikan layang merupakan jenis ikan pelagis yang paling dominan. Pada musim timur didominasi oleh ikan berkarakter stenohaline karena pada saat ini terjadinya musim kemarau akan meningkatkan salinitas permukaan laut. Sebaliknya ditemukan bahwa pada musim barat jenis ikan yang ditemukan adalah yang berkarakter euryhaline karena menurunnya salinitas perairan. Di samping itu terlihat adanya pergeseran lokasi penangkapan berdasarkan musim. Demikian juga terhadap parameter oseanografi lainnya, setiap jenis ikan memiliki preferensi hidup yang berbedabeda (Atmaja et al., 1986; Suwarso et al., 1987; Atmaja dan Nugroho, 1995). Kondisi ini menggambarkan kekhasan yang terjadi pada kedua perairan tersebut dalam membentuk karakteristik lingkungan jenis ikan yang berasosiasi di dalamnya. 41 2. Bahwa pengaruh faktor lingkungan yang disebabkan oleh interaksi Selat Makassar dan Laut Jawa ini telah mengakibatkan adanya perbedaan pola sebaran jenis ikan baik secara spasial maupun temporal. Jenis ikan yang tertangkap menunjukkan bahwa Di perairan Laut Jawa, salinitas permukaan laut berfluktuasi yang sangat kuat pada periode musiman (tahunan) dan antar tahunan. Terdapat keterkaitan antara sirkulasi massa air Laut Jawa dengan sirkulasi massa air dari laut atau selat sekitarnya, seperti Selat Makasar pada musim timur (Southeast monsoon) dan Selat Karimata pada musim barat (Northwest monsoon). Di perairan Laut Jawa, terjadi variabilitas salinitas permukaan Laut Jawa, yaitu massa air dengan salinitas maksimum (S-maks) pada musim timur (musim kemarau) dan massa air salinitas minimum (S-min) pada musim barat (musim hujan). S-maks pada musim timur berhubungan dengan sirkulasi massa air Selat Makasar (Sirkulasi Arlindo), sedangkan S-min pada musim hujan berhubungan dengan presipitasi (curah hujan) langsung di Laut Jawa dan curah hujan di daratan (Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) memasuki Laut Jawa melalui sungai-sungai di sekitar Laut Jawa. Namun demikian, belum ada studi literatur yang mengkaji secara khusus tentang keterkaitan antara fluktuasi salinitas musiman (tahunan) dan antar tahunan baik secara spasial maupun temporal. 3. Variabilitas atau fluktuasi hasil tangkapan (CPUE) beberapa ikan pelagis kecil di Laut Jawa, terutama ikan–ikan yang dominan, seperti ikan layang (Decapterus spp) dan ikan banyar (R. kanagurta) berasosiasi dengan perubahan salinitas massa air yang datang dari Selat Makassar dan Laut Flores pada musim timur (musim kemarau) dan pada musim barat (musim hujan) berasoasi Selat Karimata pada musim kemarau. Namun demikian belum ada studi literatur yang mengkaji secara lebih mendalam keterkaitan antara CPUE ikan yang dominan (ikan layang dan banyar) dengan fluktuasi salinitas permukaan Laut Jawa. 4. Berdasarkan beberapa hasil studi literatur dari bahwa penyebaran ikan-ikan pelagis kecil di perairan Laut Jawa dipengaruhi oleh salinitas massa air, terutama jenis ikan pelagis yang dominan (ikan layang dan banyar). Oleh karena ini diperlukanan kajian yang lebih mendalam tentang fluktuasi salinitas kaitannya dengan sumberdaya ikan pelagis di Laut Jawa. 42 2.13.1 Penyebaran/Daerah Penangkapan Daerah penangkapan ikan pelagis telah menyebar hampir seluruh Paparan Sunda dan bagian timur Laut Jawa (Pulau Masalembo dan Pulau Matasiri) sampai bagian selatan Laut Natuna (sekitar Pulau Pejantan dan Kepulauan Natuna) sejalan dengan investasi kapal baru yang lebih besar (>80 GT) pada tahun 1982/1983. Sekarang, perikanan pukat cincin telah mengeksploitasi sumber daya ikan pelagis di sembilan daerah penangkapan dari sekitar perairan Pulau Pejantan dan Kepulauan Natuna (bagian Laut Natuna) sampai ke sekitar Perairan Balikpapan (bagian barat Selat Makasar). Berdasarkan hasil analisa hirarki terhadap variasi komposisi hasil tangkapan pukat cincin besar, daerah penangkapan tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat zona penangkapan (Potier, 1998), yaitu I. Pantai utara Jawa Tengah (utara Tegal–Kepulauan, Karimunjawa), II. Bagian timur Laut Jawa (Pulau Bawean, Kepulauan Masalembo, Pulau Kangean dan Pulau Matasiri), III. Bagian barat Selat Makassar (Pulau Samber Gelap, Pulau Lumu-lumu, Pulau Lari-larian) dan IV. Laut Natuna. Definisi Laut Jawa dan sekitarnya dalam buku ini adalah perairan yang meliputi Laut Jawa sampai bagian barat Selat Makassar. 2.13.2 Komposisi Jenis Pemanfaatan sumber daya ikan pelagis di Laut Jawa terdiri dari komunitas ikan pelagis pantai (Sardinella spp., Rastrelliger brachysoma, Dusumieria acuta, Selar spp.), ikan pelagis neritik dan oseanik (D. russelli, D. macrosoma, Selar crumenophthalmus, R. kanagurta, Amblygaster sirm, Megalaspis cordyla, Scombermorus spp., Auxis thazard). Lima spesies utama hasil tangkapan kapal pukat cincin, yaitu: ikan layang (D. russeli dan D. macrosoma), bentong (S. crumenophthalmus), banyar (R. kanagurta), siro (A. sirm) digunakan sebagai data dasar analisa. Berdasarkan data pendaratan diketahui bahwa kelompok jenis ikan pelagis kecil didominasi (50%) oleh ikan layang diikuti oleh jenis kembung (15%) dan siro (11%) sebagai “latent stock” di kawasan tropis. Berdasarkan sintesa dari hasil penelitian terdahulu tersebut, maka disertasi ini disusun untuk mengetahui dan mengkaji hal-hal (sesuai dengan tujuan penelitian), sebagai berikut: 1. Variabilitas salinitas permukaan laut (5 m) musiman atau tahunan dan antar tahunan secara spasial maupun temporal di perairan Laut Jawa, disajikan pada BAB 4. 43 2. Mengkaji fluktuasi musiman dan antar tahunan hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) dan perubahan komposisi spesies ikan pelagis kecil pada setiap fishing ground di Laut Jawa, disajikan pada BAB 5. 3. Mengkaji hubungan fluktuasi salinitas permukaan laut dan beberapa jenis ikan pelagis kecil yang dominan di Laut Jawa, disajikan pada BAB 5. 44 DAFTAR PUSTAKA Aldrian, E., dan Susanto, R. Dwi. 2003. Indentification of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. International Journal of Climatology. 23:14351452. Atmadipoera A, R Molcard, Madec G, S Wijffels, Sprintall J, A Koch-Larrouy, I. Jaya, dan A Supangat. 2009. Characteristics and variability of the indonesian throughflow water at the outflow straits. Deep-Sea Res I 56 1942-1954. Atmadipoera, A.S dan I.W. Nurjaya, 2011. Seasonal Variation of Salinity in the Java Sea, and its Link to Makassar ITF. Atmaja S.B. 1983. Matang seksual dan pola penambahan anggota baru ikan layang (Decapterus meruadsi, Temminck dan Schlegel). Laporan Penelitian Perikanan Laut. No.29. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Atmaja S.B, Suwarso, dan Nurhakim S. 1986. Hasil Tangkapan Pukat Cincin Menurut Musim dan Daerah Penangkapan di Laut Jawa. JPPL. (36). Atmaja, S.B and Ecoutin, J.M. 1995. Mini purse seine fisheries in north coast of Java waters. Paper presented at the Fourth Asian Fisheries Forum, Beijing. 16-20 October. Atmaja S.B dan D Nugroho. 1995. Aspek reproduksi ikan layang deles (Decapterus macrosoma) dan siro (Amblygaster sirm) sebagai pertimbangan dalam pengelolaannya di Laut Jawa. JPPI. 1(3). Atmaja S.B dan D Nugroho. 1999. Perikanan pukat cincin mini di Pantai Utara Jawa: daerah operasi, aktivitas penangkapan dan hasil tangkapan. JPPI. 5(4). Atmaja S.B, D Nugroho, Suwarso, Hariati T dan Mahisworo. 2003. Pengkajian stok ikan di WPP Laut Jawa. Prosiding Forum Pengkajian Stok Ikan Laut Indonesia, Jakarta 23-24 Juli 2003. Pusat Riset Perikanan Tangkap-Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Atmaja S.B dan B Sadhotomo. 2005. Study on the reproduction of “layang deles” shortfin scad (Decapterus macrosoma) in the Java Sea. Indonesian Fisheries Research Journal. (11). Balai Riset Perikanan Laut. 2004. Musim Penangkapan Ikan di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 116 p. Chodriyah U dan T Hariati. 2010. Musim Penangkapan Ikan Pelagis Kecil di Laut Jawa. JPPI. 16(3). 45 Durand, J.R. dan D. Petit. 1995. The Java Sea Environment. Dalam : Potier dan S. Nurhakim, editor : Biodynex .Seminar Biology, Dynamics and Exploitation of small Pelagic in Java Sea. Jakarta, 21-25 March 1994. EEC/AARD/ ORSTOM. 15- 123. Dwiponggo A. 1983. Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut di Laut Jawa. Laporan Penelitian Perikanan Laut (Marine Fisheries Research Report) No.28. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Gafa B, S Bahar dan Karyana. 1993. Potensi Sumber Daya Perikanan di Perairan Laut Flores dan Selat Makassar. JPPL. (72). Gaol J.L dan B Sadhotomo. 2007. Karakteristik dan Variabilitas ParameterParameter Oseonografi Laut Jawa Hubungannya dengan Distribusi Hasil Tangkapan Ikan. JPPI. 13(3). Gordon A.L. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and Their Throughflow. J. Pys. Oceanogr. 18(4): 15-27 Gordon A.L, RD Susanto dan Vranes K. 2003. Cool Indonesian Throughflow as a Consequence of Restricted Surface Layer Flow. Nature, 425: 824-828. Hardenberg, J.D.F. 1938. Theory on the Migration of layang (Decapterus spp.) in the Java Sea. Med. Inst. Zeevisscherji, Batavia, 124-131. Hariati, T., M.W. Maria., Suwarso., D. Krissunari. 1995. North Coast of Java Fisheries : Preliminary Observations on Small Seine nets Exploitation. In : Potier and Nurhakim (Eds.): Biology, Dynamic and Exploitation (BIODYNEX). AARD/ORSTOM. 185-194 Hendiarti, N., Suwarso, Aldrian, E., Amri, K., Andiastuti, R., Sachoemar, S. I., dan Wahyono, I. B . 2005. Seasonal Variation of Pelagic Fish Catch . Oceanogr Cont. 18(4):112-123 Hidayati, 2004. Analisis Arlindo di Perairan Indonesia Bagian Barat Akibat Interaksi ENSO, Monsun dan Dipole Mode. Illahude A.G. 1970. On The Occurance of Upwelling in Southern Makassar Strait. Mar Res Indone. 10: 81-107. Illahude, A.G. and A.L. Gordon, 1996. Thermocline stratification within the Indonesian Seas, Journal of Geophysical Research. Vol. 101, No. C5, p 12,401-12,409 Laevastu T dan I Hela. 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News Book Ltd. London. Laevastu T dan M.L Hayes. 1981. Fisheries Oseanography and Ecology. Fishing News Book. Farhan-Surrey-England. Makarim, S, Weidong, Y, and T. R Adi, 2011. The Positive Indian Ocean Dipole and The Negative Indian Ocean Dipole indicated by Sea Surface Temperature Anomaly Analysis from satellite and mooring data. International Seminar of Marine on Implications of Climate Change in 46 the Coral triangle Iniatives (CTI) Region, Udayana University–BROK, Bali. Marra, J. dan Susanto, R. D. 2005. Effect of the 1997/1998 El Nino on Chlorophyll a Variability Along the Southern Coasts of Java and Sumatera. Oceanography Content. 18(4):124-127. Miyama, T., T. Awaji, K. Akitomo, and N. Imasato. A Lagrangian approach to the seasonal variation of salinity in the mixed layer of the Indonesian Seas, Journal of Geophysical Research. Vol. 101, No. C5, p 12,265-12,285. Nasrullah, 2011. Perubahan Iklim dan Trend Data Iklim. http:/www.bmkg.go.id Neuman, G. and W. J. Pierson. 1966. Principles of Physical Oceanography. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Nontji, A. 2008. Plankton Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta Nugroho D. 2006. Kondisi Trend Biomassa Ikan Layang (Decapterus spp.) di Laut Jawa dan Sekitarnya. JPPI. 12(3). Nurhakim, S. 1995. Population Dynamics of Ikan Banyar. dalam : Potier dan S. Nurhakim, editor : Biodynex. Seminar Biology, Dynamics and Exploitation of Small Pelagic in Java Sea. Jakarta, 21-25 March 1994. EEC/AARD/ORSTOM. 109-123. Nurhakim, S., S. Banon., M. Potier., and T. Boely. 1987. Study on the Big Purse Seiners Fishery in the Java Sea (II. Evoluation and Structure of the Javanese Purse Seiners Fleet). JPPL no. 40 Th. 1987. BPPL. Jakarta. Nybekken, J.W. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Biologis. Terjemahan. Penerbit PT Kgedia. Jakarta. Ltd. Edition. Pariwono J.I, A.G. Ilahude, dan M. Hutomo. 2005. Progress in oceanography of the Indonesian Seas. Oceanogr Cont. 18(4):42-49 Philander, S. G. H. 1990. Elnino, La Nina, and the Southern Oscillation. Academic Press. Inc. New York, NY. Potemra, J. T. 2005. Indonesian Throughflow Transport Variability Estemated From Satellite Altimetry. Oceanogr Cont. 18(4):98-107. Potier, M., dan B. Sadhotomo. 1995. Seiner Fisheries in Indonesia, BIODYNEX of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea, Jakarta, 49-66. Potier. M. 1998. Pêcherie de laying et senneurs semi industriels Javanais: Perspective historique et approche systême. Phd Theis, Universitê de Montpellier II, 280p. Potier, M. dan B. Sadhatomo.2003. BIODYNEX 2nd Edition : Exploratory Scheme for the Recruitment and Migration of the Main Pelagic Species. The Agency for Marine and Fisheries Research, Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 155-168. Prasetyo A.P dan Suwarsono. 2010. Produktifitas Primer dan Kelimpahan Ikan Layang (Decapterus spp.) Hubungannya dengan Fenomena ENSO di Selat Makassar Bagian Selatan. JTMPL. 1(2). 47 Priatna A dan M Natsir. 2007. Distribusi Kepadatan Ikan Pelagis di Perairan Pantai Utara Jawa Bagian Timur, Pulau-Pulau Sunda dan Laut Flores. JPPI. 13(3). Qu, T., Y. Du., J. Strachan, G. Meyer, dan J. Slingo . 2005. Seasonal Variation of Pelagic Fish Catch . Oceanogr Cont. 18(4):50-61. Robertson, R., dan A. Ffield. 2005. M 2 Baroclinic Tides in the Indonesian Seas. Oceanogr Cont. 18(4):112-123 Sadhotomo, G. dan Durand, J. R. 1996. General Features of Java Sea Ecology. Proceeding of Acoustics. 43-54. Saji, N. H., B. H. Goswami, P. N. Vinayachandran, T. Yamagata. 1999. A dipole mode in the tropical Indian Ocean. Nature, 401 (1371): 360-363. Soeriaatmadja, R.E. 1956. Seasonal Fluctuations in the Surface Salinity of the North Coast of Java. Mar. Res. Indonesia. 1:1-19. Soeriaatmadja, R. E., 1957. The Coastal Current South of Java. Mar. Res. In Indo., No. 3 : 41-45. Sofian I, K Kozai dan Ohsawa T. 2007. Investigation on the Relationship between Wind-Induced Transport and Mean Sea Level in the Java Sea Using an Oceanic General Circulation Model. UMITOSORA, in press. Sujastani, T. 1974. Dinamika populasi ikan kembung di Laut Jawa LPPL No. 1 Tahun 1974 Hal. 30 – 64. Sujastani, T. 1978. Perhitungan Besarnya Stock Sumber-sumber Perikanan di Laut Jawa berdasarkan Data Statistik Perikanan Daerah. Simposium Modernisasi Perikanan Rakyat. Sukoraharjo, S. 2007. Kajian Klorofil-a dan Nutrien serta Interrealsinya dengan Dinamika Massa Air di Perairan Barat Sumatera dan Selatan JawaSumbawa. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Susanto, D., dan J. Marra . 2005. Effect on the 1997/1998 El Nino on Chlorophyll a Variability Along the Southern Coasts of Java and Sumatra . Oceanogr Cont. 18(4):124-127. Suwarso, S.B Atmaja, dan Wahyono M. 1987. Perkembangan Komposisi Ikan Layang (Decapterus spp.) dari Hasil Tangkapan Pukat Cincin Menurut Daerah Penangkapan di Laut Jawa. JPPL. (38). Tubalawony, S. 2007. Kajian Klorofil-a dan Nutrien serta Interrealsinya dengan Dinamika Massa Air di Perairan Barat Sumatera dan Selatan JawaSumbawa. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Veen, P. 1953. Prelimenary charts of the Indonesian Archipelago and Adjacent Waters. Org. Sci. Res. Indonesia, 17. 46 p. Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of The Southeast Asian Waters. Naga Report. Vol 2. Scripps Institution of Oceanography. The University of California. La Jolla. California. 195 p. 3. METODOLOGI UMUM 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di perairan utara Laut Jawa-Madura yakni pada area antara 108° BT-115 °BT dan 7° LS-5° LS, merupakan wilayah fishing ground ikan pelagis kecil (Gambar 20). Kajian fluktuasi salinitas permukaan laut di perairan Laut Jawa pada periode Januari 1994-Desember 2010, sedangkan kajian fluktuasi sumberdaya ikan pelagis dilakukan untuk periode Januari 1990–1995. Pengolahan data dilakukan di laboratorium Oseanografi Fisika, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK IPB. Gambar 20. Lokasi penelitian dan pembagian Wilayah Penangkapan Pukat Cincin (fishing ground ikan pelagis kecil) di Laut Jawa 3.2 Bahan dan Metode Data salinitas permukaan laut yang digunakan pada penelitian ini adalah data 10 harian hasil model assimilasi yang berasal dari Estimating Circulation and Climater of Ocean (ECCO) pada kedalaman 5 meter pada Laut Jawa, periode dari bulan Januari 1994 sampai dengan Desember 2010, dengan resolusi spasial 1o x 1o dalam format NetCDF. 50 Titik-titik stasiun data observasi salinitas di Laut Jawa, untuk validasi data model, disajikan pada Gambar 21, dan Gambar 22 adalah menunjukkan hubungan (model regresi linier) yang relatif besar (R2 = 51,50 %) antara data observasi (x) dan data salinitas model (y) yang digunakan (ECCO). Salinitas Model (PPT) Gambar 21. Titik Stasiun Data Observasi Salinitas pada Laut Jawa Hubungan Salinitas Observasi & Model 33,5 33,4 33,3 y = 0,2153x + 26,041 33,2 R² = 0,5155 33,1 33 32,9 32,8 32,7 32,6 30,00 31,00 32,00 33,00 34,00 Salnitas observasi (PPT) Gambar 22. Hubungan Salinitas Observasi dan Model 51 Adapun penyimpangan besar data observasi salinitas pada bulan Januari (Gambar 23), diduga disebabkan observasi salinitas dilakukan di perairan dekat pantai (Teluk Jakarta dan sekitarnya), dimana banyak dipengaruhi oleh limpasan daratan (run off) dan sungai-sungai. Gambar 23. Validasi Data Salinitas Observasi Dengan Model Assimilasi Tabel 1. Data Salinitas Observasi Dengan Model Assimilasi Bulan Salinitas Model StDev Salinitas Data StDev Jan 32.89 0.24 30.99 1.51 Feb 32.94 0.3 31.88 1.02 Mar 32.98 0.31 32.35 0.82 Apr 32.83 0.33 32.35 0.49 May 32.77 0.37 32.24 0.74 Jun 32.94 0.28 32.83 0.21 Jul 33.19 0.33 32.8 0.09 Aug 33.39 0.41 33.17 0.93 Sept 33.44 0.39 33.57 0.94 Oct 33.38 0.33 33.95 0.5 Nov 33.22 0.27 32.53 2.31 Des 33.01 0.21 33.41 0.6 52 Data angin yang bersumber dari ECMWF (Europen Centre for Medium Range Forcase) dalam periode dari Januari 1994–Desember 2010 diunduh dari www.ecmwf.int. Data angin terdiri dari data bulanan rata-rata komponen timurbarat (zonal) dan komponen utara selatan (meridional) angin, pada ketinggian 10 meter di atas permukaan laut, dari Januari 1994–Desember 2010 dengan resolusi spasial 2,5o x 2,5o dalam format NetCDF. Data hasil tangkapan ikan pelagis kecil adalah data hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) di daerah penangkapan di perairan Laut Jawa, hasil penelitian Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) dari tahun 1990–1995. Pengumpulan data hasil tangkapan dilakukan berdasarkan data pendaratan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan pada periode Januri 1990 sampai dengan Desember 1995 (lima tahun) yang di katagorikan menjadi 7 daerah penangkapan (fishing ground). Pengelompokan fishing ground ikan, disamping jaraknya yang relatif berdekatan juga didasarkan pada asumsi bahwa kondisi perairan di daerah-daerah tersebut relatif sama (Amin dan Suwarso, 1990). Daerah penangkapan adalah di perairan Laut Jawa yang dibagi menjadi tujuh daerah penangkapan (fishing ground), yaitu (I) di perairan utara Tegal-Pekalongan, (II) Kepulauan KarimunJawa, (III) Pulau Bawean, (IV) Pulau Masalembo-Masalima, (V) Matasiri-Matalima, (VI) perairan bagian selatan Selat Makasar, dan (VII) perairan Pulau Kangean (Gambar 20). 3.3 Analisis Data Pola sebaran angin setiap bulan dikaji dengan melihat arah dan kecepatannya. Data Vektor angin untuk setiap komponen yang diperoleh dari tahun Januari 1994– Desember 2010 selanjutnya dirata-ratakan kecepatan dan arahnya setiap komponen angin, dilakukan untuk setiap titik pengamatan pada bulan-bulan yang sama. Hasil analisis kecepatan dan arah tiupan angin kemudian ditampilkan dalam bentuk gambar sebaran angin dengan bantuan perangkat lunak Ocean Data View (ODV). Pola sebaran dan fluktuasi salinitas permukaan laut (5 m) setiap bulan dikaji 53 secara spasial dan temporal dengan cara melakukan perataan data salinitas permukaan untuk setiap titik pengamatan pada bulan-bulan yang sama. Hasil analisis tersebut selanjutnya ditampilkan dalam bentuk gambar sebaran dan fluktuasi salinitas permukaan laut bulanan rata-rata dan tahunan rata-rata (1994-2010) dengan bantuan perangkat lunak Ocean Data View (ODV) dan FERRET ver. 6. Berdasarkan gambar sebaran sebaran angin dan salinitas permukaan laut selanjutnya dilakukan analisis untuk mengkaji pengaruh perubahan tiupan angin muson terhadap sebaran salinitas permukaan laut di perairan Laut Jawa. Data salinitas permukaan laut selanjutnya diolah dan dianalisis dengan pendekatan Continuous Wavelet Transform (CWT) terhadap data deret waktu, yakni digunakan untuk mendekati dan melihat kemungkinan adanya periodesitas seperti antar musiman (intraseasonal), musiman (seasonal), dan antar tahunan (inter-anual). Berdasarkan analisis tersebut dapat diketahui kemungkinan adanya pengaruh intraseasonal, seasonal, dan inter-anual dengan menginterpretasi perodesitas data yang dominan. Untuk mengkaji dinamika komposisi spesies dan musim penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa, data yang digunakan adalah data tangkapan dalam Cacth Per Unit of Effort (CPUE). CPUE tiap jenis ikan diperoleh dari data hasil tangkapan dibagi oleh lama (jumlah hari) di laut untuk setiap fishing ground. Pengolahan dan analisis secara grafis dan deskriptif dilakukan untuk mengetahui distribusi hasil tangkapan ikan pelagis baik secata spasial dan temporal serta untuk mengetahui perubahan komposisi beberapa jenis/spesies, yaitu ikan Banyar, Bentong, Juwi, Layang, Lemuru, dan ikan Selar hasil tangkapan bulanan pada setiap fishing ground. Untuk menganalisis hubungan antara CPUE ikan pelagis kecil dan salinitas permukaan laut (5 m) pada setiap fishing ground di perairan Laut Jawa (Utara TegalPekalongan, Pulau Karimunjawa, Pulau Bawean, Masalembo-Masalima, Matasiri, Selat Makassar, dan Pulau (Correspondents Analysis). Kangean) menggunakan analisis koresponden 54 3.4 Analisis Wavelet dan Deret Waktu (Time Series) Dari sebaran spasial dan temporal selanjutnya dianalisis korelasi dan koherensi antar parameter data yang didapat dengan analisis wavelet. Transformasi wavelet merupakan pengembangan dari transformasi fourier. Menurut Torrence dan Compo (1998), analisis wavelet merupakan upaya mendekomposisi deret waktu ke dalam ruang waktu-frekuensi secara simulatan. Metode ini mengkalkulasi energi spektrum dari deret waktu. Kelebihan dari analisis wavelet yaitu dapat mendeteksi fluktuasi-fluktuasi periodik yang bersifat transien dan dapat menggambarkan proses dinamik nonlinier komplek yang diperlihatkan oleh interaksi gangguan dalam skala ruang dan waktu. Perangkat lunak yang digunakan dalam analisis wavelet adalah MATLAB. 3.5 Continous Wavelet Transform (CWT) Wavelet adalah sebuah fungsi dengan perata-rataan mol dan dibatasi oleh frekuensi dan waktu. Wavelet dapat digolongkan dengan bagaimana membatasinya terhadap waktu (Δt) dan frekuensi (Δω atau lebar pita). Versi klasik dari ketidakpastian Heisenberg menyatakan bahwa selalu terjadi antara pembatasan dalam waktu dan frekuensi. Tanpa definisi Δt dan Δω yang jelas dapat dikatakan bahwa terdapat sebuah batas untuk bagaimana mempeerkecil ketidakpastian hasil Δt Δω. Salah satu wavelet yaitu Morlet didefinisikan sebagai: 2 𝜓(𝜂 ) = 𝜋 −¼ 𝑒 𝑖𝜔0 𝑒 −½𝜂 …………. (1) Dimana ω 0 adalah frekuensi tak berdimensi dan η adalah waktu tak berdimensi. Ketika wavelet dipergunakan untuk maksud ekstraksi fitur maka wavelet Morlet (ω 0 = 6) adalah pilihan yang terbaik. Dikarenakan Morlet menyediakan sebuah keseimbangan yang baik antara pembatasan waktu dan frekuensi. Ide dibalik CWT adalah untuk menerapkan fungsi wavelet sebagai filter bandpass terhadap seri waktu. Wavelet dilebarkan terhadap waktu bervariasi terdapat skala (s), dimana η = s.t dan dinormalisasi untuk mendapatkan sattuan energy. untuk wavelet Morlet (ω 0 = 6) periode Fourier (λ ωt ) hamper sama terhadap skala (λ ωt = 1,03 s). CWT dari seri waktu (X n , n = 1…..N) dengan langkah waktu yang sama adalah 55 didefinisikan sebagai konvulsi dari X n dengan penskalaan dan normalisasi wavelet. Dapat ditulis: 𝑊𝑛𝑋 (𝑠) = � 𝛿𝑡 𝑠 𝛿𝑡 ′ ∑𝑁 𝑛′ =1 𝑋𝑛′ �(𝑛 − 𝑛) � ……… 𝑠 (2) Dalam penerapannya adalah lebih cepat untuk mengimplementasikan konvolusi dalam ruang Fourier (Torrence dan Compo, 1998) power wavelet didefinisikan sebagai |W n X(s)|2. Argumen kompleks W n X(s)| dapat diinterpretasikan sebagai fase lokal. CWT mempinyai tepi artifak disebabkan karena wavelet bukanlah pembatasan yang utuh terhadap waktu. Oleh karena itu sangat berguna untuk mempergunakan cone of influence (COI) sehingga efek tepi dapat diabaikan. Disini penggunaan COI sebagai daerah dimana power wavelet disebabkan oleh diskontinuitas pada tepi yang telah diturunkan menjadi e-2 dari nilai di tepi. Signifikansi statistik dari power wavelet dapat diduga relatif terhadap hipotesa nol yang sinyal dibandingkan oleh proses stasioner dengan sebuah memberikan power spectrum latar belakang (P k ). Beberapa seri waktu geofisika mempunyai karakteristik red noise yang dapat dimodelkan dengan sangat baik dengan pangkat pertama dari proses autoregressive (AR1). Power spectrum Fourier dari sebuah proses AR1 dengan lag 1 autokorelasi α (diestimasi dari segi waktu observasi), Allen dan Smith, in application of the cross wavelet and wavelet coherence to geophysical time series didefinisikan sebagai berikut: 𝑃𝑘 = 1−𝛼 2 2 �1−𝛼𝑒 −2𝑡𝜋𝑘 � …………….. (3) Dimana k adalah indeks frekuensi Fourier. Transformasi wavelet dapat dipikirkan sebagai pertautan seri dan filter bandpass yang diaplikasikan terhadap seri waktu dimana skala wavelet secara linier berhubungan dengan periode khusus dari filter (λ ωt ). Oleh karena itu untuk proses stasioner dengan power spectrum P k . Jika P k cukup halus kemudian dapat aproksimasi variansi yang diberikan oleh skala sederhana dengan P k dengan mempergunakan konversi K-1 = λ ωt . Torrence dan Compo (1998) menggunakan 56 metode Montecarlo untuk memperlihatkan bahwa aproksimasi ini sangat baik untuk spectrum AR1. Kemudian juga diperlihatkan bahwa probabilitas power spectrum wavelet dari proses-proses dengan menggunakan power spectrum (P k ) menjadi lebih besar dibandingkan dengan p yaitu: 𝐷� �𝑊𝑛𝑋 (𝑠)� 2 𝜎𝑋 2 1 < 𝑝� = 𝑃𝑘 𝜒𝜐2 (𝑝) …………. 2 (4) Dimana 𝜐 adalah sama dengan 1 untuk riil dan 2 untuk wavelet kompleks. 3.6 Analisis Koresponden (Corresponden analysis) Hubungan salinitas permukaan laut dengan sumberdaya ikan pelagis kecil dianalisis menggunakan analisis faktorial koresponden (Corresponden analysis). Menurut Bengen (2000), analisis faktorial koresponden bertujuan untuk merealisasikan satu (atau beberapa) grafik dari suatu tabel/matriks data, dengan mereduksi dimensi ruang representasi data, tanpa kehilangan banyak informasi pada waktu reduksi dilakukan. Untuk itu, cukup dengan mendeterminasi sumbu proyeksi yang mempresentasikan secara tepat suatu konstruksi. Analisis koresponden didasarkan pada matriks data i baris yang merupakan fishing ground dengan 3 strata salinitas, yaitu rendah, sedang dan tinggi, sementara j kolom merupakan CPUE ikan pelagis kecil. Variabel menurut modalitas dari tiap klasifikasi tersebut yang ditemukan pada tiap fishing ground terdapat pada baris ke-i dan kolom ke-j. Dalam tabel kontingensi, i dan j mempunyai peranan yang simetrik yakni membandingkan unsur-unsur i (untuk tiap j) sama dengan membandingkan hukum probabilitas bersyarat yang diestimasi dari n ij /n j , dimana n i = jumlah i yang memiliki semua karakter j, dan n j = jumlah jawaban karakter j. Selanjutnya pengukuran kemiripan antara dua unsur i 1 dan i 2 dari i dilakukan melalui jarak khi-kuadrat (χ2) dengan rumus : 𝑋′ 2 𝑋𝑖𝑗 𝑖 𝑗 �−� � 𝑋′ 𝑋𝑖 𝑖 � d2 (i,i’)= ∑𝑝𝑗=1 � 𝑋𝑗 � ........................................................ (5) 57 DAFTAR PUSTAKA Amin, E.M. dan Suwarso. 1990. Perubahan Intensitas penangkapan Ikan pelagis kecil di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No.56. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Torrence, C. dan G. P. Compo. 1988. A Practical Guide to Wavelet Analysis. Bul. Of The American Meteor. Soc. 79(1): 51-78. 4. VARIABILITAS SALINITAS PERMUKAAN LAUT MUSIMAN DAN ANTAR TAHUNAN DI LAUT JAWA 4.1 Abstrak Data model assimilasi Estimating Circulation and Climater of Ocean (ECCO) Salinitas Permukaan Laut pada kedalaman 5 meter (10 harian), digunakan sebagai data primer dalam penelitian ini, merupakan rerata bulanan dari Januari 1994–Desember 2010 dengan resolusi spasial 1o x 1o. Data angin yang bersumber dari ECMWF sebagai data sekunder merupakan rerata bulanan untuk komponen timur-barat (zonal) dan komponen utara selatan (meridional) pada ketinggian 10 meter di atas permukaan laut dari Januari 1994–Desember 2010, dengan resolusi spasial 2,5o x 2,5o. Analisa deret waktu (time series) dilakukan untuk menghasilkan pemahaman yang komplit. Hasil kajian menunjukkan bahwa salinitas permukaan laut di perairan Laut Jawa memilik variabilitas musiman atau tahunan yang diindikasikan dengan dua puncak salinitas permukaan laut maksimum dan dua lembah salinitas permukaan laut minimum dalam setahun. Berdasarkan rerata bulanan pada tahun 1994–2010 di Laut Utara Jawa-Madura, salinitas permukaan laut berkisar antara 32,–34,4 psu. Musim peralihan I (Maret-April-Mei) salinitas permukaan laut relatif terendah dibandingkan pada musim yang lain, yakni musim barat dan musim timur. Pada musim peralihan II (September-Oktover-Nopemebr), salinitas permukaan laut rendah terkonsentrasi di bagian timur Laut Jawa, di selatan Selat Makassar. Kata kunci: fluktuasi musiman, Laut Jawa, salinitas permukaan laut, sistem angin muson. 60 4.2 Abstract The monthly average of sea surface salinity (January 1994–December 2010 with a spatial resolution of 1o x1o) from Estimating Circulation and Climater of Ocean (ECCO) Dataset is used as a primary data, Dataset of wind (European Center For Medium Range Forecast, ECMWF) as a secondary parameter (monthly averages both for east-west (zonal) component and north-south (meridional) component, it is derived from 10 meters above sea level within period of January 1994–December 2010, with a spatial resolution of 2.5o x 2.5o) in this study. Time series analysis is conducted to obstain a complete picture of the Sea Surface Salinity (SSS) seasonal fluctuations. Results showed that SSS in the Java Sea has seasonal variability, which is shown by appearences of two SSS maximum and two SSS minimum annually. Based on monthly average in the northern part of Java Seas, the SSS is having range of 32 and 34,4 psu. In the first transitional season (March-April-May), SSS is relatively lower than the other season, i.e. NW monsoon, SE monsoon. The second transitional season (September-October-November), where it is found a low core SSS consentrated in the western part of the Java Sea and also in the south of Makassar strait. Keywords : Java Sea, seasonal fluctuation, sea surface salinity, wind monsoon system 61 4.3 Pendahuluan Iklim di Laut Jawa mengikuti pola musim dimana musim kering berlangsung pada bulan Juni hingga September, sedangkan musim hujan pada bulan November hingga Maret. Pada perairan yang secara musiman dipengaruhi oleh curah hujan, salinitas merupakan salah satu faktor yang penting dalam perubahan sebaran dan kelimpahan fauna (ikan) (Petit et.al, 1996). Di sepanjang perairan utara Jawa-Madura merupakan wilayah lintasan poros utama Angin Muson sehingga kondisi hidrooseanografi dan klimatologinya sangat terkait dengan pola muson dan sirkulasi massa air di sekitarnya (Wyrtki, 1961; Nontji, 2008; Atmadipoera dan Nurjaya, 2011; Atmadipoera, 2012). Akhir-akhir ini kegiatan survei maupun kajian terkait tentang oseanografi dan iklim di perairan Indonesia lebih giat dilakukan, dan beberapa hasilnya telah dipublikasikan, antara lain; Ilahude dan Gordon, 1996; Susanto dan Gordon, 2001; Aken, 2005; Gordon, 2005; Pariwono et.al., 2005; Aldrian et al., 2005; Qu et al., 2005; Ray et al., 2005; Potemra, 2005; Hendiarti et al., 2006; dan Susanto and Marra, 2005; Tubalawony, S., 2009; Makarim et al., 2011; Sukorahardjo, 2012. Sedangkan kegiatan survei dan penelitian hidrooseanografi yang fokus di perairan dan laut yang relatif dangkal, seperti di utara pulau Jawa-Madura relatif tidak banyak dilakukan. Tercatat hasil penelitian dan survei hidrooseanografi dan ekologi laut di perairan Laut Jawa-Madura dan sekitarnya yang pernah dilakukan, antara lain Wyrtki, 1957, 1961; Sadhotomo dan Duran, 1996; Petit et al., 1996; Hendiarti et al., 2005, Yusniati, 2006; Baruna Jaya P2O-LIPI, 2009; Baruna Jaya BPPT, 2010; Survei INDOMIX, 2010; Atmadipoera, dan Nurjaya, 2011; Atmadipoera, 2012). Salinitas permukaan adalah salah satu parameter yang sudah cukup banyak diketahui dan variasinya dapat mengambarkan sirkulasi massa air secara menyeluruh di Laut Jawa dan Madura. Penelitian yang lebih mendalam perlu dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih tepat berdasarkan wilayah musim dan perubahan antar tahunan. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji fluktuasi musiman dan antar tahunan parameter salinitas permukaan laut di perairan Laut Jawa serta parameter terkait, antara lain angin muson (monsoon) dan curah hujan. 62 4.4 Metodologi Penelitian 4.4.1 Lokasi dan Data Penelitian Lokasi penelitian di perairan utara Laut Jawa-Madura yakni pada area antara 108° BT-115° BT dan 7° LS-5° LS. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data hasil reanalisis dari beberapa arsip data, antara lain: data ECCO (Estimating Circulation and Climater of Ocean), dan ECMWF (Europen Centre for Medium Range Forcase). Data angin yang bersumber dari ECMWF diunduh dari www.ecmwf.int. Data angin terdiri dari data bulanan rata-rata komponen timur-barat (zonal) dan komponen utara selatan (meridional) angin, pada ketinggian 10 meter di atas permukaan laut, dari Januari 1994–Desember 2010 dengan resolusi spasial 2,5o x 2,5o dalam format NetCDF. Data tersebut merupakan data hasil analisis ulang dan interpolasi data meteorologi yang diperoleh dari berbagai pusat data pengamatan dan parameter meteorologi dunia. Data Salinitas Permukaan Laut (Sea Surface Salinity/SSS) yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Salinitas Permukaan Laut (SSS) yang merupakan data assimilasi (ECCO) bulanan rata-rata dari Januari 1994–Desember 2010 dengan resolusi spasial 1o x1o dalam format NetCDF. 4.4.2 Analisis Data Pola sebaran angin setiap bulan dikaji dengan melihat arah dan kecepatannya. Data Vektor angin untuk setiap komponen yang diperoleh dari tahun Januari 1994–Desember 2010 selanjutnya dirata-ratakan kecepatan dan arahnya setiap komponen angin, dilakukan untuk setiap titik pengamatan pada bulan-bulan yang sama. Hasil analisis kecepatan dan arah tiupan angin kemudian ditampilkan dalam bentuk gambar sebaran angin dengan bantuan perangkat lunak Ocean Data View (ODV). Pola sebaran salinitas permukaan laut setiap bulan dikaji secara spasial dan temporal dengan cara melakukan perataan data salinitas permukaan laut untuk setiap titik pengamatan pada bulan-bulan yang sama. Hasil analisis tersebut selanjutnya ditampilkan dalam bentuk gambar sebaran salinitas permukaan laut bulanan rata-rata dan tahunan rata-rata (1994-2010) dengan bantuan perangkat lunak Ocean Data View (ODV) dan FERRET ver. 6. 63 Berdasarkan gambar sebaran sebaran angin dan salinitas permukaan laut selanjutnya dilakukan analisis untuk mengkaji pengaruh perubahan tiupan angin muson terhadap sebaran salinitas permukaan laut di perairan utara Laut JawaMadura. Data deret waktu (Januari 1994- Desember 2010) salinitas permukaan laut selanjutnya diolah dan dianalisis dengan pendekatan Continuous Wavelet Transform (CWT), yakni digunakan untuk mendekati dan melihat kemungkinan adanya periodesitas seperti antar musiman (intraseasonal), musiman (seasonal), dan antar tahunan (interannual). Berdasarkan analisis tersebut dapat diketahui kemungkinan adanya pengaruh intraseasonal, seasonal, dan interannual dengan menginterpretasi perodesitas data yang dominan. 4.5 4.5.1 Hasil dan Pembahasan Sistem Angin Muson di Laut Jawa Secara geografis posisi perairan Laut Jawa (seperti di wilayah Indonesia pada umumnya) terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, sehingga karakteristik hidrooseanografi (seperti salinitas) perairan indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem angin muson dan sirkulasi massa air antar samudra. Pada bulan Desember-Maret letak bumi terhadap matahari adalah sedemikian rupa, sehingga belahan bumi selatan menerima lebih banyak penyinaran matahari dari pada belahan utara. Sebagai akibatnya daratan Australia mengalami tekanan udara rendah, sedangkan daratan Asia mengalami tekanan udara tinggi. Antara kedua wilayah tekanan yang berbeda ini berkembanglah angin muson yang bertiup dari daratan Asia ke Australia. Dikawasan Indonesia utara katulistiwa angin bertiup dari arah timurlaut, sehingga disebut angin Muson Timur laut. Di bagian selatan katulistiwa anginnya bertiup dari arah barat-laut, sehingga disebut angin Muson Baratlaut (Wytrki, 1961; Ilahude, 1994). Sebaliknya pada Muson timur-tenggara yang biasanya terjadi pada bulan Juni-September, daratan Asia mengalami pemanasan yang intensif sehingga menjadi pusat tekanan udara rendah, sedangkan di benua Australia terbentuk pusat tekanan udara tinggi, akibatnya angin bertiup dari Australia ke Asia. Di kawasan Indonesia bagian selatan katulistiwa angin bertiup dari arah tenggara, sehingga 64 disebut angin Muson Tenggara, sedangkan di bagian utara katulistiwa angin bertiup dari baratdaya sehingga disebut angin Muson Baratdaya. Untuk wilayah yang tepat berada di katulistiwa, berlaku angin muson utara dan angin muson selatan (Wyrtki, 1961; Ilahude, 1994). Angin Muson Tenggara di selatan Katulistiwa bersamaan waktunya dengan Muson baratdaya di utara katulistiwa (Juli-Agustus) dan Muson baratlaut bersamaan dengan Muson Timurlaut di kawasan utara Katulistiwa (DesemberMaret). Sirkulasi massa air di permukaan di perairan Laut Jawa dipengaruhi oleh sistem angin Muson (Wyrtki, 1961). Sirkulasi masa air permukaan di perairan Indonesia (Laut Jawa) pada puncak Muson Baratlaut pada Februari dan puncak Muson tenggara pada bulan Agustus. Sedangkan pada bulan-bulan diantaranya merupakan musim peralihan dari musim barat ke musim timur (SeptemberNovember), dan peralihan dari musim timur ke musim barat. Gambaran tentang rataan angin bulanan ketinggian 10 m, mulai bulan Januari sampai dengan Desember selama tahun 1994-2010 di Laut Jawa, seperti disajikan pada Gambar 24 sampai Gambar 35, sedangkan fluktuasi angin musiman dan antar tahunan, serta wavelet angin zonal disajikan pada Gambar 36 sampai Gambar 38. Secara umum pola angin di Laut Jawa mengikuti pola Angin Muson yang berkembang di Indonesia, dimana pada saat musim Barat (Desember–Januari-Februari) dan musim Timur (Juni–Juli-Agustus) angin bertiup lebih kencang dengan kecepatan berkisar antara 0,96–7,11 m/s. Puncak dari musim Barat terjadi pada bulan Januari dan Agustus adalah puncak musim Timur dengan kecepatan masing-masing mencapai sekitar 7,11 m/s dan 6,79 m/s. Angin pada musim Barat berhembus menuju ke timur, sedangkan pada musim Timur angin berhembus menuju ke Barat Laut. Pada saat musim Peralihan I (MaretApril-Mei) dan musim Peralihan II (September–Oktober-Nopember) angin cenderung bertiup dengan kecepatan lebih rendah, yaitu berkisar antara 0,38–6,16 m/s dan arah angin yang tidak menentu. Perairan Laut Jawa merupakan lintasan utama dari angin dan arus musim (muson) yang dipengaruhi oleh sirkulasi antar samudera (Arlindo) (Wirtki, 1961; Gordon, 2005; dan Nontji, 2009). 65 Gambar 24. Rata-rata angin bulan Januari mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa Gambar 25. Rata-rata angin bulan Februari mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa 66 Gambar 26. Rata-rata angin bulan Maret mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa Gambar 27. Rata-rata angin bulan April mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa 67 Gambar 28. Rata-rata angin bulan Mei mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa Gambar 29. Rata-rata angin bulan Juni mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa 68 Gambar 30. Rata-rata angin bulan Juli mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa Gambar 31. Rata-rata angin bulan Agustus mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa 69 Gambar 32. Rata-rata angin bulan September mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa Gambar 33. Rata-rata angin bulan Oktober mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa 70 Gambar 34. Rata-rata angin bulan November mulai 1994 sampai dengan 2010 di Laut Jawa Gambar 35. Rata-rata angin bulan Desember mulai 1994 sampai dengan 2010 71 Gambar 36. Fluktuasi Musiman Angin (U dan V) selama Tahun 1994-2010 di Laut Jawa Keterangan: Warna Merah merupakan komponen V (meridional utara-selatan) dan warna Hitam merupakan komponen U (zonal timur-barat). Gambar 37. Fluktuasi Antar Tahunan Angin (U dan V) selama Tahun 1994-2010 di Laut Jawa Keterangan: Warna Merah merupakan komponen V (meridional utara-selatan) dan warna Hitam merupakan komponen U (zonal timur-barat). 72 Gambar 38. Wavelet (CWT) Angin Zonal di Atas Laut Jawa 1994-2010 4.5.2 Variabilitas Salinitas Permukaan Laut Musiman dan Antar Tahunan di Laut Jawa Gambaran dari karakteristik rata-rata salinitas permukaan laut pada kedalaman 5 meter 10 harian selama Januari 1994 sampai Desember 2010 (17 tahun) di Laut Jawa yang diwakili oleh salinitas permukaan laut di wilayah antara 106o–116o BT dan 3o-8o LS, seperti disajikan pada (Gambar 39). Rata-rata bulanan SSS mulai Januari sampai dengan Desember selama tahun 1994 sampai dengan 2010, seperti diberikan pada (Gambar 40–Gambar 51). Rata-rata bulanan di perairan Utara Jawa-Madura (Laut Jawa) pada tahun 1994–2010 dengan kisaran antara 32,0 psu – 34,4 psu. Pada umumnya salinitas permukaan laut di Laut Jawa relatif rendah (32,00 psu–33,00 psu) dibandingkan perairan sekitarnya (Laut Flores, Selat Makassar, Selat Karimata, dan Selatan Jawa). Dari wilayah bagian barat ke timur salinitas permukaan laut semakin tinggi, dan di bagian perairan sekitar Pulau Kalimantan Selatan dan Sumatera 73 Selatan ditemukan salinitas permukaan laut relatif rendah (antara 32,0–32,5 psu), kemungkinan karena pengaruh sungai-sungai di kedua pulau tersebut dan menyebar bersama arus permukaan dari selat-selat sekitar Laut Jawa, seperti Selat Karimata, Selat Makassar dan Selat Sunda. Pola distribusi salinitas permukaan laut di Laut Jawa sangat dipengaruhi oleh pergerakan angin muson. Selama bulan-bulan muson tenggara, angin yang diikuti oleh arus permukaan laut, datang dari timur dan pada waktu yang sama, massa air oseanik masuk ke Laut Jawa dan mendorong massa air yang bersalinitas rendah di Laut Jawa ke barat. Kejadian sebaliknya terjadi pada bulan-bulan-bulan musim barat (Desember-Januari-Februari). Berdasarkan pola pergerakan massa air, seperti dijelaskan oleh Wyrtki (1961), massa air pada Laut Jawa kemungkinan terjadi pengaruh dan percampuran dengan massa air dari perairan di wilayah sekitarnya, seperti yang datang dari Samudera Pasifik melalui Laut Cina Selatan, Laut Flores, dan dari perairan massa air dari Selat Makassar, serta kemungkinan dari Samudera Hindia melalui Selat Sunda. Secara umum berdasarkan rataan bulanan salinitas permukaan laut mulai dari tahun 1994–2010, bahwa di perairan Laut Jawa memperlihatkan adanya variabilitas musiman dengan diindikasikan dua puncak salinitas permukaan laut maksimum dan dua lembah salinitas permukaan laut minimum (Gambar 52). Pada musim peralihan I (Maret-April-Mei) lebih rendah dibandingkan musim barat, musim timur, dan musim peralihan II (September-Oktober-Nopember), dan salinitas permukaan laut rendah terkonsentrasi di bagian timur Laut Jawa, di selatan Selat Makasar. Pada musim timur (Juni-Juli-Agustus), salinitas permukaan laut tampak lebih tinggi dibagian timur, terutama di sisi dekat Kalimantan cenderung meningkat. Pada Musim Peralihan II (September-Oktober-Nopember), salinitas permukaan laut relatif sama dengan Musim Timur dan terlihat salinitas rendah ditemukan di perairan bagian Barat di sekitar Selat Sunda, dengan salinitas permukaan laut sekitar antara 33,00 psu–34,00 psu. Kondisi tersebut kemungkinan disebabkan oleh masuknya massa air bersalinitas tinggi dari 74 Samudera Pasifik ke perairan Indonesia, menyebabkan sebaran salinitas permukaan di perairan Indonesia meningkat dari barat ke timur dan berkisar antara 30,00 psu –35,00 psu. Dalam muson timur masuknya massa air dari yang bersalinitas tinggi dari arah timur dari Selat Makassar dan Laut Flores, mendorong massa air bersalinitas rendah kembali ke barat sampai ke laut Cina Selatan melewati Selat Karimata (Wyrtki, 1961; Nontji, 1987; Gordon, 2005). Menurut, (Atmadipoera dan Nurjaya, 2011) bahwa salinitas permukaan laut perairan Makasar-Arlindo adalah pemasok utama perairan Laut Jawa selama musim timur, bukan dari Laut Flores seperti yang diduga sebelumnya. Komponen arus Makassar-Arlindo yang mengalir ke barat menuju Laut Jawa merupakan respon lokal dari Musim timur (Angin Muson Tenggara) melalui Ekman transport. Pada musim barat (Desember-Januari-Februari), salinitas permukaan laut terlihat relatif rendah berkisar antara 32,00–33,00 psu, terutama pada wilayah perairan bagian barat Pulau Jawa. Pada musim ini massa air dari Laut Natuna melewati Selat Karimata memasuki Laut Jawa dari arah barat yang dalam perjalanannya banyak mengalami pengenceran dari aliran-aliran sungai di sungai disekitarnya (Sumatera, Kalimantan, dan Jawa). Akibatnya salinitas turun dan mendorong massa air yang bersalinitas tinggi ke timur ke arah laut Flores. Nilai rata-rata tahunan yang terendah di perairan Indonesia sering dijumpai pada perairan Indonesia bagian barat dan semakin ke timur nilai rata-rata tahunannya semakin meningkat. Pada Muson barat massa air dari Laut Natuna memasuki Laut Jawa dari arah barat yang dalam perjalanannya dalam musim hujan tersebut banyak mengalami pengenceran dari aliran-aliran sungai dari Sumatera, Kalimantan, dan Pulau Jawa. Akibatnya salinitas turun dan mendorong massa air yang bersalinitas tinggi ke timur ke arah Laut Flores. Berdasarkan karakteristik dari salinitas massa air, bahwa sirkulasi massa air di perairan Laut Jawa diklasifikasikan menjadi tiga tipe (Wytrki, 1956). Pertama adalah perairan oseanik dengan massa air salinitas lebih dari 34,00 psu. Terjadi intrusi massa air salinitas relatif tinggi dari arah timur yang sangat jelas terlihat pada waktu angin muson timur (muson tenggara, Juni-Agustus) berhembus. Garis 75 isohalin (33,50 psu) yang melintang dengan bentuk mengerucut dari arah timur menuju ke barat menunjukkan pergerakan massa air oseanik bersalinitas tinggi dari arah timur ke barat sampai dengan dengan ujung lidah massa air salinitas tinggi mencapai 113o BT. Massa air kedua adalah bersalinitas sekitar 32,00 psu sampai dengan 34,00 psu. Massa air ini berasal dari dari bagian selatan Laut Cina Selatan dan bercampur dengan massa air yang lebih tawar di Laut Jawa. Percampuran massa air sangat jelas terlihat pada waktu angin muson barat laut (Musim Barat, Desember-Februari), pergerakan isohaline 33,80 psu. Massa air ketiga adalah massa air yang relatif tawar dengan salinitas sekitar 32,00 psu, dan jenis massa air lain di Laut Jawa adalah massa air yang berasal dari sungai atau gelontoran dari daratan dengan salinitas kurang dari 30,00 psu. Gambar 39. Salinitas Permukaan Laut (Kedalaman 5 Meter) di Laut Jawa, PerataRataan dari 27 Desember 1993 – 03 Januari 2011 (~18 tahun) 76 Gambar 40. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Januari 1994– 2010 di Laut Jawa Gambar 41. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Februari 1994– 2010 di Laut Jawa 77 Gambar 42. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Maret 1994– 2010 di Laut Jawa Gambar 43. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan April 1994–2010 di Laut Jawa 78 Gambar 44. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Mei 1994–2010 di Laut Jawa Gambar 45. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Juni 1994–2010 di Laut Jawa 79 Gambar 46. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Juli 1994–2010 di Laut Jawa Gambar 47. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Agustus 1994– 2010 di Laut Jawa 80 Gambar 48. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan September 1994–2010 di Laut Jawa Gambar 49. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Oktober 1994– 2010 di Laut Jawa 81 Gambar 50. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan November 1994– 2010 di Laut Jawa Gambar 51. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Rataan Bulanan Desember 1994– 2010 di Laut Jawa 82 Bagian Barat Bagian Tengah Bagian Timur Gambar 52. Puncak Salinitas Permukaan Laut Maksimum dan Salinitas Permukaan Laut Minimum di Laut Jawa Gambar 52, memperlihatkan bahwa amplitudo (selisih salinitas permukaan laut maksimum dan salinitas permukaan laut minimum) salinitas permukaan yang relatif lebar sekitar 2 psu, yaitu antara 32,50 psu–34,50 psu di perairan bagian timur Laut Jawa, sedangkan di bagian tengah dan barat amplitudonya relatif sempit, yaitu sekitar 1 psu, antara 32,75 psu–33,5 psu. Hal ini diperkirakan bahwa di perairan bagian timur wilayah studi lebih dinamik karena pengaruh yang lebih intensif dari massa air di sekitarnya dibandingkan dengan di wilayah bagian barat dan bagian tengah Laut Jawa. Salinitas maksimum diduga terkait dengan sirkulasi massa air dari Arus Lintas Indonesia di Selat Makassar memasuki Laut Jawa, sedangkan salinitas minumum kemungkinan berhubungan dengan masukan massa air dari Selat Karimata dan sistem sungai-sungai besar (Sungai Musi, Sungai Barito, dan sungai Pulau Jawa). Pada perairan bagian barat wilayah studi di Laut Jawa (106o BT–108o BT) di sebelah barat Pekalongan, terlihat bahwa di sepanjang tahun (Januari– 83 Desember) diisi oleh massa air salinitas rendah kurang dari 33,00 psu. Di perairan di bagian timur dan bagian selatan Laut Jawa, yaitu di utara pulau Bawean dan Kangen, terlihat antara Februari sampai dengan Mei diisi oleh massa air bersalinitas rendah kurang dari 32,50 psu. Massa air relatif rendah diduga berasal dari sisa-sisa massa air dari selatan Kalimantan dan selatan Selat Sunda pada musim barat (Desember-Januari-Februari). Puncak salinitas minimum (Gambar 52) selama musim barat, kemungkinan terkait dengan terjadinya periode musim hujan, dimana ada presipitasi langsung ke laut dan gelontoran air sungai. Sedangkan puncak salinitas maksimum pada musim timur, kemungkinan terkait dengan tingginya penguapan langsung dari laut dan pengaruh suplai massa air bersalinitas tinggi dari Samudera Pasifik melalui Selat Makassar. Proses percampuran selama 1 tahun berdasarkan pada pola sebaran salinitas permukaan di Laut Jawa mulai tahun 1994 sampai dengan 2010, tergambar pada Gambar 53. Bulan-bulan Desember sampai dengan Maret pada saat periode angin muson barat, pola garis isohalin menunjukkan bahwa massa air bergerak dari barat ke timur. Selama periode musim ini Laut Jawa didominasi diisi oleh massa dari barat dengan salinitas rata-rata 32,20 psu sampai dengan 32,80 psu. Sebaliknya mulai bulan Juni (musim Timur), garis isohalin (33,00 psu) menunjukkan massa air bergerak dari timur ke barat. Pada periode musim ini massa air Laut Jawa didominasi oleh massa air di atas 33,00 psu. Penetrasi yang paling jauh dari massa air salinitas tinggi (33,40 psu) ini terjadi pada bulan sekitar antara bulan Agustus-September-Oktober, ketika ujung lidah isohaline 33,40 psu mencapai bagian tengah/barat Laut Jawa dan selama periode musim Timur memperlihatkan kisaran nilai salinitas antara 33,40 psu sampai dengan 34,20 psu (Gambar 53). Pada Gambar 54, memperlihatkan kisaran salinitas maksimum yang relatif lebar (sepanjang Laut Jawa) pada tahun 1994/1995, 1997/1998, dan tahun 2006, diduga terkait dengan fenomena antar tahunan (El Nino). Sedangkan pengaruh fenomena La Nina pada tahun 2010, diperlihatkan dengan jelas oleh kisaran salinitas minimum di sepanjang Laut Jawa. 84 Gambar 53. Distribusi Time longitude Plot (Bulan-Bujur) Salinitas Permukaan Laut Mulai Januari sampai dengan Desember 1994–2010 di Laut Jawa Gambar 54. Distribusi Time Longitude Plot (Bulan-Bujur) Salinitas Permukaan di Laut Jawa Mulai Tahun 1994–2010 85 Gambar 55. Fluktuasi Salinitas Permukaan Laut (A) di Laut Jawa-Madura, Perata-Rataan dari Januari 1994–Desember 2010 Anomali Gambar 56. Anomali Salinitas Permukaan Laut di Laut Jawa-Madura, PerataRataan dari Januari 1994–Desember 2010 Gambaran tentang periodesasi, durasi, dan intensitas dari fluktuasi salinitas permukaan laut pada kedalaman 5 meter di Laut Jawa pada kurun waktu bulan Januari 1994 sampai dengan Desember 2010, seperti disajikan pada Gambar 55 dan Gambar 56. Pada Gambar 58, memperlihatkan periodesasi fluktuasi salinitas 86 permukaan di Laut Jawa terjadi pada selang periode tertentu, terutama rentang waktu musiman atau tahunan, dan antar tahunan. Rentang periode musiman (tahunan) pada sekitar 350 hari memiliki spektral yang paling dominan, dengan power spektrum terkuat antara 0,7–1,0. Fluktuasi salinitas yang paling besar tersebut terlihat terjadi pada periode antara tahun 1994/1995, dan 1997/1998 dan pada tahun 2006, seperti telah ditunjukkan juga pada Gambar 54. Spektral yang relatif kuat juga ditunjukkan pada rentang periode Intraseasonal (sekitar 2–6 bulan) dan periode antar tahunan (interannual). Hal tersebut menunjukkan bahwa pada periode rentang waktu tahun 1994 sampai dengan 2010, fluktuasi salinitas di Laut Jawa yang paling besar terjadi dalam periode musiman atau tahunan dan antar tahunan. Gambar 57. Power Spektrum Wavelet (A) dan (B) Anomali (Standarzed) dari Masing-masing Sinyal Rentang Periodesasi Selama Tahun 19942010 di Laut Jawa Pada Gambar 57, menunjukkan variasi dari salinitas permukaan laut dengan periode 6 dan 12 bulan adalah representasi dari semiannual (monsoonal) dan 87 annual variability. Sedangkan periode sekitar 32 bulan (2,5 tahun) adalah representasi dari variabilitas antar tahunan (interannual). Variabilitas tersebut diduga berhubungan dengan angin muson yang berhembus di atas laut Jawa dan perubahan iklim global yaitu interaksi atmosfir dan laut secara nyata yang terjadi di Samudera Pasifik yang dikenal dengan fenomena ENSO. Sinyal Semi-annual Sinyal Musiman (annual) Gambar 58. Sinyal Variasi Musiman dan Antar Tahunan Salinitas Permukaan Laut Mulai Januari 1994 Sampai dengan Desember 2010 di Laut Jawa Berdasarkan pada hasil analisis spektral rata-rata salinitas permukaan pada kedalaman 5 meter di Laut Jawa selama tahun 1994-2010 (Gambar 58), terlihat 88 signal yang signifikan dengan periode musiman atau tahunan dan periode antar tahunan (interannual), yang merupakan representasi dari pengaruh muson (monsoon) dan perubahan iklim global seperti ENSO (El Nino dan La Nina). Pada tahun 1994/1995 dan 1997/1998, terjadi anomali salinitas positif yang relatif tinggi (Gambar 54 dan 58) diduga berhubungan dengan fenomena iklim pada periode musiman atau tahunan antara 300–500 hari dengan intensitas tinggi dan durasi yang lama sekitar 40 bulan (Gambar 57 dan Gambar 58). Kajadian tersebut diduga berhubungan kuat dengan kejadian El Nino kuat pada tahun-tahun tersebut (Gambar 55 dan Gambar 57, Gambar 54). Pada saat El Nino tahun 1997/1998, di wilayah Indonesia, termasuk di Laut Jawa terjadi intensitas penyinaran matahari yang tinggi dan curah hujan yang rendah di atas Laut Jawa (Gambar 55), maupun di atas daratan Pulau Jawa. Akibatnya salinitas permukaan laut di perairan di Laut Jawa pada periode tersebut menjadi meningkat dengan fluktuasi yang tinggi (Gambar 55, Gambar 56, Gambar 60). Variasi massa air dengan Salinitas maksimum dan Salinitas minimum yang relatif besar, yaitu dengan amplitudo antara -1,5–(1,5) terjadi pada periode antara 1994-1995, dan antara tahun 1997-1998. Sedangkan pada tahunn 1999–2005 variasinya relatif kecil, dan variasi salinitas permukaan laut relatif besar juga terlihat pada periode tahun 2006–2009. Pada periode tahun 2010, terlihat salinitas rendah sepanjang tahun di laut Jawa, hal ini kemungkinan berhubungan dengan fenomena Indian Dipole Mode Negatif (Makarim, 2011) dengan anomali suhu permukaan laut (SSTA) positif dan anomali hujan (precepitasi) yang besar di hampir sepanjang tahun 2010. Fenomena iklim dengan curah hujan intensitas tinggi di hampir sepanjang tahun 2010 tersebut, maka tahun 2010 dikenal sebagai tahun iklim kemarau basah (tanda lingkaran hitam). Akibatnya salinitas permukaan laut di perairan di Laut Jawa pada periode tersebut menjadi relatif sangat rendah (menurun) dengan fluktuasi yang tinggi (lingkaran hitam Gambar 58, Gambar 59). Berdasarkan analisis spektral wavelet dan indeks ENSO (SOI, Nino 3.4) memperlihatkan bahwa fluktuasi salintas permukaan Laut Jawa pada periode antara tahun 1994 sampai dengan 2010, lebih dipengaruhi oleh iklim musiman 89 atau tahunan (monsoon) dibandingkan dengan iklim antar tahunan (ENSO) (Gambar 60 dan Gambar 61). Gambar 59. Fluktuasi Curah Hujan Rata-Rata Tahunan Selama Tahun 19942010 di Laut Jawa (108o BT-114o BT ; 5o LS–7o LS) Gambar 60. Wavelet (a) dan Indeks SOI pada periode tahun 1994–2010 90 Gambar 61. Wavelet Nino 3.4 (a) dan Indeks Nino 3.4 pada periode tahun 1994– 2010 91 4.6 Simpulan Variabilitas massa air (salinitas) di laut Jawa secara kuat dipengaruhi oleh pergerakan angin muson. Pada periode musim angin tenggara (Juni-Juli-Agustus). Berdasarkan rataan bulanan dari tahun 1994–2010, salinitas permukaan laut (5 meter), di perairan Laut Jawa terlihat variabilitas musiman atau tahunan dengan dua puncak Salinitas maksimum dan dua lembah Salinitas minimum. Variasi musiman salinitas dengan amplitudo sekitar 2 psu. (32,50–34,25 psu). Puncak salinitas minimum selama musim barat, diduga terkait dengan terjadinya periode musim hujan, dimana ada presipitasi langsung ke laut dan gelontoran air sungai. Sedangkan puncak salinitas maksimum pada musim timur, kemungkinan terkait dengan tingginya penguapan langsung dari laut dan pengaruh suplai massa air bersalinitas tinggi dari Samudera Pasifik melalui Selat Makassar. Pada periode musim peralihan I (Maret-April-Mei) saliniats permukaan relatif terendah dibandingkan pada musim-musim yang lain, yaitu musim barat (Desember-Januari-Februari), musim timur (Juni-Juli-Agustus), dan musim peralihan II (September-Oktober-Nopember), dimana saliniats rendah terkonsentrasi di bagian timur laut Jawa, di selatan Selat Makassar atau selatan Kalimantan. Rendahnya salinitas di wilayah tersebut kemungkinan berhubungan dengan sistem sungai di sekitar, seperi Sungai Barito. Di laut Jawa, bagian timur yaitu di utara pulau Bawean dan Kangean, amplitudo salinitas permukaan sekitar 2 psu (32,50 psu – 34,50 psu). Hal ini diperkirakan bahwa di wilayah studi lebih dinamik karena pengaruh yang lebih intensif dari massa air di sekitarnya. Di perairan bagian barat Laut Jawa (di sebelah barat Pekalongan) dan bagian tengah (antara Pekalongan-Karimunjawa) amplitudo salinitas permukaan relatif sempit, yaitu sekitar 1 psu, antara 32,75 psu–33,5 psu. Berdasarkan analisis deret waktu dan wavelet dari data salinitas permukaan Laut Jawa pada Januari 1994–Desember 2010, menunjukkan spektral relatif sangat kuat terlihat pada periode musiman/tahunan (monsoonal/annual) dan pada periode antar tahun 1994/1995, 1997/1998 dan pada tahun 2006 dan 2010, diduga berhubungan dengan fenomena perubahan antar tahunan (interannual), seperti ENSO (El Nino atau La Nina). 92 DAFTAR PUSTAKA Aken, H.M.V. 2005. Dutch Oceanographic Research in Indonesia in Colonial Times. Oceanogr Cont. 18(4):30-41. Atmadipoera, A. S. dan Kusmanto, E. Submitted to the Continental Shelf Research 16 May 2012. Observation of Coastal Front and Circulation in the Northeastern Java Sea, Indonesia. Atmadipoera, A.S dan I.W. Nurjaya, 2011. Seasonal Variation of Salinity in the Java Sea, and its Link to Makassar ITF. Gordon, A. L. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and Their Throughflow. Oceanogr Cont. 18(4):15-27. Hendiarti, N., Suwarso, Aldrian, E., Amri, K., Andiastuti, R., Sachoemar, S. I., dan Wahyono, I. B . 2005. Seasonal Variation of Pelagic Fish Catch . Oceanogr Cont. 18(4):112-123. Marra, J. dan Susanto, R. D. 2005. Effect of the 1997/1998 El Nino on Chlorophyll a Variability Along the Southern Coasts of Java and Sumatera. Oceanography Content. 18(4):124-127. Makarim, S, Weidong, Y, T. R Adi, 2011. The Positive Indian Ocean Dipole and The Negative Indian Ocean Dipole indicated by Sea Surface Temperature Anomaly Analysis from satellite and mooring data. International Seminar of Marine on Implications of Climate Change in the Coral triangle Iniatives (CTI) Region, Udayana University–BROK, Bali. Nontji, A. 2008. Plankton Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Pariwono J.I, A.G. Ilahude, dan M. Hutomo. 2005. Progress in oceanography of the Indonesian Seas. Oceanogr Cont. 18(4):42-49. Sadhotomo, G. dan Durand, J. R. 1996. General Features of Java Sea Ecology. Proceeding of Acoustics. 43-54. Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of The Southeast Asian Water. NAGA Report Vol 2. Scripps Inst. Oceanography. The University of California. La Jolla, California Wyrtki, K. 1957. Precipitation, Evaporation and Energy Exchange at the Surface of the Southeast Asian Water. Lembaga Penjilidan Laut–Institute of Marine Research. Bogor. 5. FLUKTUASI MUSIMAN DAN ANTAR TAHUNAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT JAWA 5.1 Abstrak Data hasil tangkapan ikan pelagis kecil berdasarkan daerah penangkapan di perairan Laut Jawa, hasil penelitian kerjasama antara ORSTOM dan Balai Penelitian Perikanan laut (BPPL) dari tahun 1990–1995 digunakan untuk mengkaji dan menganalisis tentang variabilitas hasil tangkapan (catch per unit of effort, CPUE) secara temporal maupun spasial. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa hasil tangkapan bervariasi menurut waktu (bulanan, musiman, dan tahunan) dan menurut daerah penangkapan (fishing ground) di laut Jawa selama periode tahun 1990–1995. Di perairan Laut Jawa terdapat tujuh daerah penangkapan ikan pelagis kecil, yaitu di perairan utara Tegal-Pekalongan, Kepulauan Karimunjawa, Pulau Bawean, Pulau Masalembo-Masalima, Matasiri, bagian selatan Selat Makassar, dan di Pulau Kangean. Berdasarkan keseluruhan hasil tangkapan pada tujuh daerah penangkapan tersebut, persentase rata-rata bulanan hasil tangkapan jenis ikan berturut-turut adalah layang (Decapterus spp.) 48,50%, banyar (Rastrelliger kanagurta) 16,97%, juwi (Sardinella spp) 14,15%, lemuru (Ablygaster sirm) 10,80%, bentong (Selar crumenophthalmus) 8,65%, dan selar (Selaroides leptolepis) 0,93%. Dari keseluruhan spesies yang tertangkap di perairan laut Jawa, ditemukan bahwa persentase hasil tangkapan jenis layang dan juwi dominan terdapat pada perairan utara Tegal-Pekalongan (34,14% dan 31,76 %) dan pada kepulauan Karimunjawa (45,53% dan 17,34%), musim puncaknya pada bulan Maret-April-Mei (Musim peralihan I). Sedangkan persentase CPUE jenis layang dan banyar di perairan Pulau Bawean (50,54% dan 19,30%), Masalembo-Masalima (42,12% dan 23,12%), Pulau Matasiri (42,83% dan 20,52%), Selat Makassar (44,63% dan 16,83%), dan di perairan Pulau Kangean (79,68% dan 10,59%). Musim puncak tangkapan layang dan banyar pada kelima daerah penangkapan tersebut diatas terjadi pada musim Timur (Juli-AgustusSeptember). Berdasarkan hasil tangkapan pukat cincin (medium), ikan layang (Decapterus spp.) merupakan jenis ikan pelagis yang paling utama, mencapai sekitar 48,50% dari hasil tangkapan total ikan pelagis kecil. Kata kunci: Ikan pelagis kecil, Laut Jawa, variabilitas musiman dan antar tahunan 94 5.2 Abstract Data of small pelagic fish catch in the Java Sea fishing ground betwen 1990 and 1995 (research cooperation between ORSTOM and Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL)) is used to analyze the variability of catch (catch per unit effort, CPUE) in accordance with temporal and spatial. Results of analysis shows that betwen the period of 1990 and 1995, the catch varies temporally and spatially and fishing ground in the Java Sea. There are seven fishing grounds of small pelagic fish in the Java Sea, namely north of Pekalongan-Tegal waters, Karimunjawa Islands, Bawean Island, Masalembo Island, Matasiri Island, south of Makassar Strait, and Kangean Island. Based on the total catch from the seven fishing regions, the average monthly percentage of the catch of round scads (Decapterus spp.), mackerels (Rastrelliger kanagurta), flat sardinella (Sardinella spp), round sardinella (Sardinella lemuru), bigeye scads (Selar crumenophthalmus), and yellowstripe scads (Selaroides leptolepis) were 45.50%, 16.97%, 14,15%, 10.80%, 8.65% and 0.93% respectively. From all of fish species were mentioned above, the CPUE is dominated by round scads and flat sardinella in north of Tegal-Pekalongan (34.14% and 31,76%) and Karimunjawa Island (45,33% and 17,34%). The peak cacth season occurred in March-May (first transitional season). However, the CPUE of round scads and mackerels dominate in Bawean Island (50,54% and 19,30%), Masalembo Island (42,12% and 23,12%), Matasiri Island (42,83% and 20,52%), Makassar Strait (44,63% and 16,83%), and Kangean Island (79,68% and 10,59%). The peak catch season of round scads and mackerels at five fishing grounds above, occurred in JulySeptember (east monsoon). CPUE of pelagic fish in the Java Sea is dominated by round scads (Decapterus spp.), with an average percentage of 48,50%. Keywords: Java Sea, monsoonal and interannual variability, small pelagic. 95 5.3 Pendahuluan Sumberdaya ikan pelagis di Laut Jawa telah lama ditangkap dengan berbagai alat tangkap. Penangkapan yang semula hanya menggunakan alat tangkap tradisional seperti payang, jabur, dogol, cantrang, dan lain-lain semakin berkembang dengan diperkenalkannya alat tangkap pukat cincin mini dan pukat cincin besar. Sejak tahun 1970-an perkembangan eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di Laut Jawa sangat erat kaitannya dengan perkembangan alat tangkap pukat cincin. Setelah pasca pelarangan pukat harimau tahun 1980-an, alat tangkap ini menjadi semi industri dan berkembang cepat (Nugroho, 2006). Menurut (Suwarso et al., 1987) bahwa hasil tangkapan terbesar kapal pukat cincin di Laut Jawa terutama jenis ikan layang deles (Decapterus macrosoma) dan ikan layang biasa (Decapterus russelli), dengan persentase sekitar 52,4% dari seluruh hasil tangkapan ikan pelagik kecil yang didaratkan. Pengetahuan tentang penyebaran ikan sangat berguna untuk menjawab beberapa pertanyaan sehubungan dengan dengan pencarian ikan dan pemilihan teknik penangkapan yang sesuai. Pola kehidupan ikan tidak dapat dipisahkan dari kondisi dan fluktuasi lingkungan perairan tersebut. Faktor-faktor lingkungan ini meliputi faktor fisik, kimia, dan biologi lingkungan. Suhu dan salinitas merupakan parameter fisika yang penting artinya dalam mempelajari kehidupan biota laut. Perubahan faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi keadaan organisme di suatu perairan (Lavestu dan Hayes dalam Priatna dan Nasir, 2007). Iklim muson merupakan faktor yang menentukan sifat-sifat Laut Jawa. Pertukaran massa air secara musiman dengan laut dan selat-selat di sekitar Laut Jawa (seperti Laut Flores, Selat Makassar, Selat Karimata) menentukan pola penyebaran kelimpahan dan keberadaan ikan pelagis. Kelompok ikan oseanik dan neritik muda memasuki Laut Jawa mengikuti massa air bersalinitas lebih tinggi yang datang dari timur (Selat Makassar dan Laut Flores). Sementara itu kelompok ikan pantai cenderung tinggal di Laut Jawa sepanjang tahun (Sadhotomo dan Durand, 1997). Pendugaan pola musim penangkapan ikan merupakan salah satu upaya untuk memperoleh informasi yang memadai tentang keberadaan ikan disuatu 96 daerah penangkapan (fishing ground). Diharapkan berdasarkan atas informasi tersebut nelayan dapat mengarahkan operasinya pada daerah dan musim yang memberi peluang mendapatkan hasil tangkapan yang tinggi. Faktor utama yang mempengaruhi berubahnya daerah penangkapan ikan secara spasial maupun temporal adalah ruaya ikan, baik untuk keperluan makan, pembesaran, proses produksi, berubahnya lingkungan perairan, dan lain-lain kondisi lingkungan perairan. Menurut Hariati et al. (2009), perbedaan dominasi jenis-jenis ikan pelagis kecil dibeberapa bagian perairan Laut Cina Selatan diduga perbedaan geografi dan lingkungan di tiap lokasi, terutama salinitas. Kelimpahan ikan pelagis sangat peka terhadap perubahan lingkungan terutama penyebaran salinitas secara spasial yang dibangkitkan oleh angin Muson. Pada tahun basah, saat curah hujan di atas normal (musim barat) penetrasi ikan oseanik ke Laut Jawa berkurang akibat pengurangan massa air oseanik di bagian timur Laut Jawa. Terdapat korelasi positif antara hasil tangkapan dengan salinitas permukaan, tetapi korelasi ini menunjukkan negatif dengan curah hujan. Secara spasial, ikan pelagis tersebar ke arah timur dengan konsentrasi kelimpahan berada di Laut Jawa bagian timur, variabilitas beberapa jenis ikan berasosiasi dengan perubahan salinitas. Ikan-ikan pelagis kecil di Laut Jawa ditangkap dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap baik di perairan pantai maupun di perairan lepas pantai. Sebagian besar hasil tangkapan berasal dari kapal-kapal perikanan pukat cincin. Kelompok jenis ikan layang (Decapterus spp.) merupakan komponen utama di Laut Jawa. Menurut Atmaja et al. (1986), perubahan kondisi lingkungan mempengaruhi beberapa jenis ikan tertentu untuk melakukan ruaya seperti ikan layang dan banyar yang beruaya mengikuti perubahan salinitas perairan. Sedangkan kelompok ikan pelagis kecil yang hidup di perairan pantai dan yuwana (anak-anak ikan) diketahui lebih berlimpah di pantai utara Jawa yang merupakan daerah penangkapan tradisional purse seine mini. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji distribusi hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) ikan pelagis kecil secara spasial dan temporal serta hubungan antara CPUE dan salinitas permukaan Laut Jawa, yaitu: 97 1. Perubahan komposisi spesies ikan pelagis kecil berdasarkan waktu pada setiap fishing ground. 2. Fluktuasi bulanan (musiman) CPUE setiap jenis ikan pelagis kecil (ikan banyar, bentong, juwi, layang, lemuru, dan ikan selar) pada setiap fishing ground. 3. Hubungan antara hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) spesies ikan pelagis dan salinitas permukaan Laut Jawa. Diharapkan hasilnya dapat menambah pengetahuan dan informasi yang diperlukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan sumberdaya laut serta kebijakan pengelolaan kelautan dan perikanan, khususnya sumberdaya ikan pelagis di Laut Jawa. 5.4 Metodologi Penelitian Penelitian ini didasarkan atas data hasil tangkapan ikan pelagis kecil yang ditangkap oleh kapal “medium purse seine” yang mendarat di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan. Data yang diambil selama lima tahun mulai tahun 1990–1995, data hasil penelitian kerjasama antara ORSTOM dan Balai Penelitian Perikanan laut (BPPL) Jakarta. Pengumpulan data hasil tangkapan ikan pelagis di Laut Jawa, dikelompokkan menjadi tujuh daerah penangkapan (fishing ground), yaitu (I) di perairan utara Tegal-Pekalongan, (II) Kepulauan Karimunjawa, (III) Pulau Bawean, (IV) Pulau Masalembo-Masalima, (V) Matasiri-Matalima, (VI) perairan bagian selatan Selat Makassar, dan (VII) perairan Pulau Kangean (Gambar 62). Pengelompokan fishing ground ikan, disamping jaraknya yang relatif berdekatan juga didasarkan pada asumsi bahwa kondisi perairan di daerah-daerah tersebut relatif sama (Amin dan Suwarso, 1990). Posisi geografis tujuh lokasi wilayah penangkapan ikan pelagis kecil, diberikan pada Tabel 2. Untuk mengkaji dinamika komposisi spesies dan musim penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa, data yang digunakan adalah data tangkapan dalam Cacth Per Unit of Effort (CPUE). CPUE tiap jenis ikan diperoleh dari data hasil tangkapan dibagi oleh lama (jumlah hari) di laut untuk setiap fishing ground. 98 Pengolahan dan analisis secara grafis dan eksploratif dilakukan untuk mengetahui distribusi hasil tangkapan ikan pelagis baik secata spasial dan temporal serta untuk mengetahui perubahan komposisi beberapa jenis/spesies, yaitu ikan banyar, bentong, juwi, layang, lemuru, dan ikan selar hasil tangkapan bulanan pada setiap fishing ground. Untuk mengetahui hubungan antara hasil tangkapan (CPUE) ikan pelagis kecil dan salinitas permukaan laut pada setiap fishing ground di perairan Laut Jawa (Utara Tegal-Pekalongan, Pulau Karimunjawa, Pulau Bawean, MasalemboMasalima, Matasiri, Selat Makassar, dan Pulau Kangean) menggunakan analisis faktorial koresponden (Bengen, 2000). Gambar 62. Daerah Penangkapan Ikan Pelagis Kecil dan Pembagian 7 Lokasi Wilayah Penangkapan Pukat Cincin di Laut Jawa Tabel 2. Posisi geografis 7 lokasi wilayah penangkapan ikan pelagis kecil 99 5.5 Hasil dan Pembahasan 5.5.1 Daerah Penangkapan dan Jenis Ikan Hasil Tangkapan Pengumpulan data hasil tangkapan ikan pelagis di Laut Jawa, dilakukan berdasarkan data pendaratan ikan pukat cincin medium di Pelabuhan Perikanan Nusantara pekalongan selama tahun 1990-1995. Penangkapan ikan berasal dari tujuh daerah penangkapan (fishing ground) pada Laut Jawa, yaitu (I) di perairan utara Tegal-Pekalongan, (II) Kepulauan Karimunjawa, (III) Pulau Bawean, (IV) Pulau Masalembo-Masalima, (V) Matasiri-Matalima, (VI) perairan bagian selatan Selat Makassar, dan (VII) perairan Pulau Kangean (Gambar 62, Tabel 2). Jenis spesies ikan pelagis kecil hasil tangkapan yang didaratkan (Tabel 3), terdiri dari ikan banyar (Rastrelliger kanagurta), bentong (Selar crumenophthalmus), juwi (Sardinella spp), layang (Decapterus spp.), lemuru (Amblygaster sirm), dan selar (Selaroides leptolepis). Berdasarkan hasil tangkapan per unit upaya (CPUE), dari keseluruhan spesies yang tertangkap di perairan Laut Jawa, ditemukan bahwa hasil tangkapan kelompok jenis ikan layang (Decapterus spp.) merupakan komponen utama, dengan komposisi (persentase) sekitar 48,50 % dari total hasil tangkapan, diikuti banyar (Rastrelliger kanagurta), 16,97 %, juwi (Sardinella spp) 14,15 %, lemuru (Amblygaster sirm) 10,80 %, ikan bentong (Selar crumenophthalmus) 8,65%, dan selar (Selaroides leptolepis) 0,93%. Tabel 3. Persentase Rata-Rata Hasil Tangkapan Jenis Ikan Pada Daerah Penangkapan Di Perairan Laut Jawa Daerah penangkapan (Fishing Ground) Jenis Ikan (%) banyar bentong juwi layang lemuru selar Utara Tegal-Pekalongan 13,18 12,79 31,76 34,14 5,67 2,46 Kep. Karimunjawa 15,28 13,70 17,34 45,53 6,35 1,80 P. Bawean 19,30 7,98 10,46 50,54 11,04 0,68 P. Masalembo-Masalima 23,12 7,61 10,14 42,12 16,47 0,53 P. Matasirih 20,52 6,58 13,23 42,83 16,32 0,52 Selat Makassar 16,83 8,96 13,94 44,63 15,17 0,46 P. Kangean 10,59 2,93 2,20 79,68 4,56 0,04 Rata-rata (%) 16,97 8,65 14,15 48,50 10,80 0,93 100 5.5.2 Perkembangan Komposisi Spesies Pelagis Kecil Pada Setiap Fishing Ground Prosentase hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) dan komposisi dari keseluruhan spesies yang tertangkap di tujuh daerah penangkapan (fishing ground) pada Laut Jawa, di perairan utara Tegal-Pekalongan, Kepulauan Karimunjawa, Pulau Bawean,) Pulau Masalembo-Masalima, Matasiri-Matalima, perairan bagian selatan Selat Makassar, dan perairan Pulau Kangean, masingmasing disajikan pada Gambar 63, Gambar 64, Gambar 65, Gambar 66, Gambar 67, Gambar 68, dan pada Gambar 69. 31,76% 34,14% 13,18% Gambar 63. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Utara Tegal Pekalongan Komposisi hasil tangkapan pukat cincin medium selama tahun 1990-1995 di perairan utara Tegal-Pekalongan, seperti disajikan pada Gambar 63. Kelompok jenis ikan layang (Decapterus spp.) merupakan komponen utama (34,14 %) jenis ikan yang tertangkap di perairan ini, diikuti juwi (31,76 %), dan banyar (13,18 %). Variasi spasial temporal, kelompok ikan layang (Decapterus spp.) memperlihatkan puncak tangkapan pada musim Barat (Desember-JanuariFebruari) dan pada musim peralihan barat ke musim timur (Maret-April-Mei), layang digantikan crumenophthaimus). oleh juwi (Sardinella Spp.) dan bentong (S. 101 Komposisi spesies ikan pelagis kecil yang relatif sama ditemukan di perairan Karimunjawa (Gambar 64), walaupun dengan persentase yang berbeda. Pada musim barat (Desember-Januari-Februari) kelompok layang (Decapterus spp.) masih yang paling dominan, dengan persentase meningkat, yaitu 45,53 %, disusul juwi (Sardinella Spp.) 17,34 % dan banyar ( R. kanagurta) 15, 28 %. Puncak tangkapan layang pada musim barat dan tangkapan terendah terjadi pada sekitar bulan Juni. 45,53% 17,34% 15,28% Gambar 64. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Karimunjawa Komposisi hasil tangkapan di perairan bagian timur dari laut Jawa, yaitu Kepulauan Bawean (Gambar 65), Pulau Masalembo (Gambar 66), Pulau Matasiri (Gambar 67), dan di perairan di barat Selat Makasar (Gambar 68), kelompok layang (Decapterus spp.) masih yang paling dominan, diikuti banyar ( R. kanagurta). Puncak tangkapan layang berlangsung pada musim timur (JuniSeptember) dan tangkapan terendah terjadi pada musim barat (Desember-JanuariFebruari). Di perairan bagian timur dari Laut Jawa tersebut, terjadi perubahan komposisi spesies ikan pelagis kecil yang dominan, yaitu dominasi juwi digantikan oleh lemuru (Amblygaster sirm). Khusus di perairan Kangean Madura (Gambar 69), selama tahun 1990 – 1995 data tangkapan ikan pelagis kecil yang tercatat hanya pada bulan Juni sampai dengan Desember, sehingga tidak dapat 102 menggambarkan perubahan musiman dari komposisi spesies ikan pelagis kecil tersebut. Perkembangan komposisi spesies ikan pelagis kecil tersebut menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis di perairan Laut Jawa mengalami variasi dalam sebaran dan kelimpahan menurut musim. Puncak kelimpahan ikan pelagis di daerah penangkapan dekat pantai utara Jawa (inshore) didominasi oleh ikan tembang (juwi) terjadi pada bulan Mei. Sedangkan puncak kelimpahan ikan pelagis di lepas pantai (off shore) yang didominasi oleh ikan layang terjadi pada bulan September. 11,04% 50,54% 19,30% Gambar 65. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Pulau Bawean 103 16,47% 42,12% 23,12% Gambar 66. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Pulau Masalembo-Matasiri 16,32% 42,83% 20,52% Gambar 67. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Pulau Matasiri 104 15,17% 44,63% 16,83% Gambar 68. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Selat Makassar 4,56% 79,68% 10,59% Gambar 69. Perubahan Musiman Komposisi Spesies di Perairan Pulau Kangean Hasil tangkapan (persentase) rataan tahunan selama tahun 1990 sampai dengan 1995 pada tujuh fishing ground untuk setiap jenis ikan pelagis kecil yaitu ikan layang (Decapterus spp.), banyar (Rastrelliger kanagurta), juwi (Sardinella 105 spp), lemuru (Amblygaster sirm), bentong (Selar crumenophthalmus) dan selar (Selaroides leptolepis), diberikan pada Gambar 70 sampai dengan Gambar 76. Gambar 70. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Utara TegalPekalongan Gambar 71. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Karimunjawa 106 Gambar 72. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Pulau Bawean Gambar 73. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Masalembo dan Masalima 107 Gambar 74. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Matasiri Gambar 75. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Selat Makasar 108 Gambar 76. Perubahan Tahunan Komposisi Spesies di Perairan Pulau Kangean Berdasarkan atas data hasil tangkapan, upaya serta daerah penangkapan perikanan pukat cincin di Laut Jawa pada tahun 1984-1985 dari tempat pendaratan ikan Tegal dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan (Atmaja et al., 1986) diperoleh informasi bahwa hasil tangkapan ikan pelagis kecil bervariasi menurut musim dan daerah penangkapan (dari utara Tegal dan Pekalongan sampai Matasiri dan Laut Cina Selatan). Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada musim peralihan 2 (bulan September sampai dengan November) dan tangkapan terendah pada musim timur (bulan Juni sampai Agustus). Pada umumnya hasil tangkapan didominasi oleh spesies ikan layang. Saat itu semakin jauh daerah penangkapan dari fishing base (Pekalongan), indeks kelimpahan CPUE (Catch Per Unit of Effort) jenis ikan layang, dan banyar semkin tinggi. Sebaliknya kelimpahan ikan bentong (Selar crumenophathalmus), dan ikan tembang semakin rendah. Menurut Wijopriono (2008) pada periode tahun 1999–2002 sumberdaya ikan pelagis di perairan Laut Jawa mengalami variasi dalam sebaran dan kelimpahan menurut musim. Puncak kelimpahan ikan pelagis di daerah penangkapan dekat pantai (inshore) utara Jawa didominasi oleh ikan tembang (Juwi) terjadi pada bulan Mei. Sedangkan puncak kelimpahan ikan pelagis di lepas pantai (off shore) yang didominasi oleh ikan layang terjadi pada bulan September. 109 5.5.3 Fluktuasi Bulanan (Musiman) CPUE Jenis Ikan Pelagis Kecil Pada Setiap Fishing Ground Pola distribusi dan fluktuasi bulanan (musiman) hasil tangkap per unit upaya (CPUE) pada setiap fishing ground untuk setiap jenis ikan pelagis kecil, yaitu layang (Decapterus spp.), banyar (Rastrelliger kanagurta), bentong (Selar crumenophthalmus), juwi (Sardinella spp), lemuru (Amblygaster sirm), dan selar (Selaroides leptolepis), yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan padatahun 1990 – 1995, disajikan pada Gambar 77, Gambar 78, Gambar 79, Gambar 80, Gambar 81, dan pada Gambar 82. Berdasarkan atas data hasil tangkapan dari tempat pendaratan ikan Tegal dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan bahwa hasil tangkapan ikan pelagis kecil bervariasi menurut musim dan daerah penangkapan (dari perairan utara Tegal dan Pekalongan sampai ke bagian barat Selat Makasar, FG I – FG VI). Hasil tangkapan cenderung tinggi pada daerah penangkapan sekitar pulaupulau Bawean, Masalembo, Matasiri, dan Selat Makasar. Pada Gambar 77, kelompok ikan pelagis kecil yang dominan di Laut Jawa, yaitu layang (Decapterus spp.) memperlihatkan bahwa CPUE tertinggi antara sekitar pada bulan September sampai dengan bulan November (akhir musim timur), daerah penangkapan terkonsentrasi di daerah penangkapan bagian timur Laut Jawa yaitu Selat Makassar (FG VI) dan Matasiri (FGV) dan semakin ke daerah barat (perairan utara Pekalongan, FG I) konsentrasi atau kelimpahannya semakin berkurang sebagaimana ditunjukkan oleh garis kontur CPUE (1000 ton/hari). Sedangkan antara bulan Maret sampai dengan bulan Juni (musim peralihan I) kelimpahan ikan layang relatif sangat rendah di seluruh Laut Jawa sebagaimana ditunjukkan oleh garis kontur CPUE (140 ton/hari). Hal ini menunjukkan bahwa musim penangkapan ikan layang yang optimum terjadi pada musim timur yang menyebar dari Laut Jawa bagian timur ke bagian barat. Fluktuasi antar tahunan 1990-1995 CPUE jenis ikan layang (Decapterus spp), menunjukkan bahwa layang pada tahun 1994 lebih banyak tertangkap dibanding tahun 1990,1991, 1992, 1993, dan tahun 1995. 110 Menurut Prasetyo dan Suwarso (2010) bahwa jenis ikan layang (Decapterus spp.) merupakan salah satu komoditi utama dari hasil tangkapan pukat cincin di perairan utara Jawa. Hasil tangkapan rata-rata selama periode tahun 1981–1982 di TPI Pekalongan saja mencapai 19,442 ton atau sekitar 32% dari hasil tangkapan total ikan pelagis. Lebih lanjut dijelaskan, kondisi biologisnya menunjukkan bahwa pada salah satu jenis yakni D. maruadsi matang seksual pada ukuran 18,8 cm. Aktifitas penangkapan yang berjalan ditemui banyak ikan yang tertangkap sebelum mencapai ukuran matang seksual. Adapun pola penambahan anggota baru tahunan puncaknya terjadi pada dua musim yakni barat dan timur dengan puncak tertinggi pada musim timur (Atmaja, 1983). Demikian halnya di Selat Makassar diketahui bahwa layang merupakan tangkapan utama pukat cincin dengan kontribusi sekitar 58%. Sedangkan perairan Selat Makassar bagian selatan sebagai salah satu tujuan utama penangkapan ikan layang memiliki kontribusi sebesar 43%. Adapun jenis ikan layang yang tertangkap di Selat Makassar adalah layang (Decapterus ruselli) dan layang abu-abu (D. macrosoma) (Prasetyo dan Suwarso, 2010). Gambar 77. Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan layang (Decapterus spp.) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa selama Tahun 1990-1995 111 Pengamatan terkini mengenai musim dan daerah penangkapan oleh Chodriyah dan Hariati (2010) diperoleh bahwa musim penangkapan ikan layang (Decapterus spp.) terjadi pada bulan Agustus, ikan siro dan selar bentong pada bulan Desember, ikan kembung banyar bulan September dan ikan tembang atau juwi bulan Juni. Daerah penangkapan (fishing ground) purse seine Pekalongan sama dengan periode sebelumnya, meliputi perairan Laut Jawa (utara Tegal dan Pekalongan, Karimunjawa, Bawean, Masalembo, Matasiri, dan Kangean), perairan Laut Cina Selatan (Pejantan, Natuna, Midai, Tarempa, serta Tambelan) dan perairan Selat Makassar (Lumu-Lumu, Lari-Larian, dan Kota Baru). Sampling yang dilakukan oleh Suwarso et.al. (1987) dari 179 kapal purse seine diperoleh komposisi hasil tangkapan ikan layang yang dipisahkan menurut daerah penangkapan dan musim di perairan Laut Jawa. Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin ke arah timur daerah penangkapan jumlah (persentase) layang deles yang tertangkap semakin banyak dan sebaliknya semakin ke arah barat layang biasa yang semakin banyak. Terdapat kecenderungan naiknya CPUE ikan layang dengan semakin jauhnya daerah penangkapan. Disebutkan juga bahwa pada setiap musim nelayan lebih banyak menagkap ikan di perairan sekitar Masalembo dan Matasirih (kira-kira 21,8% dan 30,9%), sedangkan di empat daerah penangkapan lainnya (perairan sebelah utara Tegal dan Pekalongan, sekitar Kepulauan Karimunjawa dan sekitar Pulau Bawean) sekitar 47,3%. Dengan demikian kenaikan hasil tangkapan ikan layang disebabkan oleh kenaikan hasil tangkapan layang deles, dimana ini telah mengakibatkan perubahan komposisi dari ikan layang. Selanjutnya musim penangkapan dan pola penyebaran ikan banyar (Gambar 78) memperlihatkan pola yang hampir sama dengan ikan Layang. Musim tangkap ikan banyar terjadi pada akhir musim timur, antara bulan September sampai dengan bulan November dengan nilai CPUE relatif rendah, antara 250 ton/hari sampai dengan 500 ton/hari. Hal ini memperlihatkan bahwa kelimpahan ikan banyar lebih rendah dibandingkan dengan kelimpahan ikan Layang di perairan Laut Jawa pada periode tahun 1990 sampai dengan tahun 1995. 112 Gambar 78. Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa selama Tahun 1990-1995 Perubahan kondisi lingkungan mempengaruhi beberapa jenis ikan tertentu untuk melakukan ruaya, misalnya layang (Decapterus spp) dan banyar atau kembung (Rastrelliger kanagurta) yang beruaya mengikuti perubahan salinitas sehingga ikan tersebut selalu beruaya musiman. Menurut Sujastani (1974) ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) beruaya untuk memijah dari Tanjung Satai (Kalimantan Barat) pada bulan Mei–Oktober, populasi ikan kembung musim barat beruaya dari perairan Laut Jawa untuk memijah dan atau Laut Cina Selatan, sedangkan populasi ikan kembung musim timur memijah di bagian timur Laut Jawa (Laut Flores). Migrasi ikan kembung atau banyar ini mengikuti corak migrasi ikan layang yang biasanya terlambat satu atau dua minggu (Atmaja et al., 1986). Pola distribusi dan rata-rata bulanan (musiman) selama tahun 1990- 1995, hasil tangkap per unit upaya (CPUE) untuk jenis ikan pelagis kecil lainnya, yaitu juwi (Sardinella Spp.) dan lemuru (Amblygaster sirm), bentong (S. crumenophthalmus) dan selar (Selaroides leptolepis) pada setiap fishing ground di Laut Jawa, masing-masing disajikan pada Gambar 79, Gambar 80, Gambar 81 dan Gambar 82. 113 Gambar 79. Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan juwi (Sardinella spp.) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa selama Tahun 1990-1995 Gambar 80. Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan lemuru (Amblygaster sirm) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa selama Tahun 1990-1995 114 Gambar 81. Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan bentong (S. crumenophthalmus) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa selama Tahun 1990-1995 Gambar 82. Distribusi dan Kelimpahan Rata-rata Bulanan (Musiman) ikan selar (Selaroides leptolepis) Pada Setiap Fishing Ground Di Laut Jawa selama Tahun 1990-1995 115 5.5.4 Analisis Koresponden (Corresponden Analysis) Salinitas Permukaan Laut Jawa dan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Untuk mengetahui hubungan antara hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) spesies ikan pelagis kecil dan salinitas permukaan Laut Jawa pada setiap fishing ground (perairan Utara Tegal-Pekalongan, Pulau Karimunjawa, Pulau Bawean, Masalembo-Masalima, Matasiri, dan Selat Makassar) menggunakan analisis faktorial koresponden (Corresponden analysis). Hasil analisis koresponden antara salinitas permukaan Laut Jawa dan hasil tangkapan ikan pelagis, pada Gambar 83. Analisis koresponden didasarkan pada matriks data baris yang merupakan fishing ground dengan 3 strata salinitas, yaitu rendah, sedang dan tinggi, sedangkan matrik data kolom merupakan CPUE ikan pelagis kecil. Pengelompokan CPUE jenis ikan pelagis kecil berdasarkan strata salinitas (rendah, sedang dan tinggi), diberikan pada Lampiran 29 dan Lampiran 30. Hasil perhitungan nilai kosinus kuadrat (F1 dan F2) matriks data baris dan kolom analisis faktorial koresponden, seperti diberikan pada Lampiran 31 dan Lampiran 32. Berdasarkan hasil analisis faktorial koresponden (Gambar 83), sebaran jenis-jenis ikan pelagis kecil teridentifikasi menjadi tiga kelompok, yaitu : 1. Ikan layang (Decapterus spp.) banyak ditemukan dan menyebar di perairan pada salinitas sedang sampai dengan tinggi (lebih besar dari 33,55 psu), yaitu di periran yang lebih jauh dari pantai (Pulau Bawean, Masalembo, Matasiri, dan di perairan Selat Makasar). 2. Ikan lemuru (Ablygaster sirm) banyak ditemukan di perairan pada salinitas rendah), di perairan di bagian timur Laut Jawa di Bawean, Masalembo, dan Matasiri. Di Periaran Selat Makasar, lemuru juga ditemukan pada perairan dengan salinitas rendah hingga sedang (32,86-33,55 psu). 3. Ikan juwi (Sardinella spp.) ditemukan di perairan utara Pekalongan bersalinitas rendah hingga sedang (32,86-33,55 psu). Gambaran beberapa jenis ikan pelagis kecil di Laut Jawa, disajikan pada Lampiran 33 dan Lampiran 34. Sedangkan gambaran fluktuasi dan sebaran salinitas pada setiap fishing ground, masing-masing di berikan pada Gambar 84 dan Gambar 85. 116 Gambar 83. Hasil Analisis Koresponden Sebaran Ikan Pelagis Kecil 1990-1995 di Laut Jawa Gambar 84. Fluktuasi Salinitas Permukaan Laut di Daerah Penangkapan (fishing ground) di Laut Jawa 117 Gambar 85. Sebaran Salinitas Permukaan Laut Bulan Januari 1993–Desember 1995 di Daerah Penangkapan (fishing ground) di Laut Jawa Adapun fluktuasi hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) spesies ikan pelagis kecil dan salinitas permukaan laut pada setiap fishing ground di perairan Laut Jawa, yaitu di perairan Utara Tegal-Pekalongan, Pulau Karimunjawa, Pulau Bawean, Masalembo-Masalima, Matasiri, Selat Makassar, dan Pulau Kangean, masing-masing disajikan pada Gambar 86, Gambar 87, Gambar 88, Gambar 89, Gambar 90, Gambar 91, dan Gambar 92. 118 Gambar 86. Fluktuasi CPUE dan Salinitas di Utara Tegal-Pekalongan Gambar 87. Fluktuasi CPUE dan Salinitas di Karimunjawa Gambar 88. Fluktuasi CPUE dan Salinitas di Bawean 119 Gambar 89. Fluktuasi CPUE dan Salinitas di Pulau Masalembo dan Masalima Gambar 90. Fluktuasi CPUE dan Salinitas di Pulau Matasiri Gambar 91. Fluktuasi CPUE dan Salinitas di Selat Makassar 120 Gambar 92. Fluktuasi CPUE dan Salinitas di Pulau Kangean 121 5.4 Simpulan Berdasarkan hasil analisis data hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) ikan pelagis kecil di Laut Jawa dalam periode 1990 sampai dengan tahun 1995 menunjukkan bahwa hasil tangkapan bervariasi menurut waktu (bulanan, musiman, tahunan, dan antar tahunan) dan menurut daerah penangkapan (fishing ground) di laut Jawa selama periode tahun 1990–1995. Perkembangan komposisi spesies ikan pelagis kecil tersebut menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis di perairan Laut Jawa mengalami variasi menurut musim dan daerah penangkapan. Berdasarkan keseluruhan hasil tangkapan di tujuh daerah penangkapan di perairan Laut Jawa, menunjukkan hasil tangkapan jenis ikan pelagis kecil (persentase) rata-rata bulanan berturut-turut adalah ikan layang (Decapterus spp.) 48,50%, ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) 16,97%, ikan juwi 14,15%, ikan lemuru 10,80%, ikan bentong 8,65%, dan ikan selar 0,93%. Dari keseluruhan spesies yang tertangkap ditemukan bahwa persentase hasil tangkapan jenis layang dan juwi dominan terdapat pada daerah utara TegalPekalongan (34,14% dan 31,76%) dan kepulauan Karimunjawa (45,53% dan 17,34%), dimana musim puncaknya terjadi pada bulan Maret-Mei (Musim peralihan I). Sedangkan persentase tangkapan jenis layang dan banyar dominan di daerah Pulau Bawean (50,54% dan 19,30%), Masalembo-Masalima (42,12% dan 23,12%), Pulau Matasiri (42,83% dan 20,52%), Selat Makassar (44,63% dan 16,83%), dan di Pulau Kangean (79,68% dan 10,59%). Musim puncak tangkapan layang dan banyar pada kelima daerah penangkapan tersebut di atas terjadi pada bulan Juli-September (musim Timur). Berdasarkan analisis faktorial koresponden, bahwa terdapat hubungan antara sebaran jenis ikan pelagis kecil dengan salinitas permukaan di perairan Laut Jawa. Juwi (Sardinella spp.) lebih banyak ditemukan pada daerah fisihing ground yang bersalinitas rendah hingga sedang (32,86-33,55 psu). Layang (Decapterus spp.) banyak ditemukan di perairan yang lebih jauh dari pantai, pada salinitas tinggi (lebih besar dari 33,55 psu). Lemuru (Ablygaster sirm) banyak ditemukan di perairan pada salinitas rendah hingga sedang dan di bagian timur Laut Jawa. 122 DAFTAR PUSTAKA Atmaja S.B. 1983. Matang seksual dan pola penambahan anggota baru ikan layang (Decapterus meruadsi, Temminck dan Schlegel). Laporan Penelitian Perikanan Laut (Marine Fisheries Research Report) No.29. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Atmaja S.B, Suwarso, dan Nurhakim S. 1986. Hasil Tangkapan Pukat Cincin Menurut Musim dan Daerah Penangkapan di Laut Jawa. JPPL. (36). Atmaja S.B dan D Nugroho. 1995. Aspek reproduksi ikan layang deles (Decapterus macrosoma) dan siro (Amblygaster sirm) sebagai pertimbangan dalam pengelolaannya di Laut Jawa. JPPI. 1(3). Atmaja S.B dan D Nugroho. 1999. Perikanan pukat cincin mini di Pantai Utara Jawa: daerah operasi, aktivitas penangkapan dan hasil tangkapan. JPPI. 5(4). Atmaja S.B, D Nugroho, Suwarso, Hariati T dan Mahisworo. 2003. Pengkajian Stok Ikan di WPP Laut Jawa. Prosiding Forum Pengkajian Stok Ikan Laut Indonesia, Jakarta 23-24 Juli 2003. Pusat Riset Perikanan Tangkap-Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Atmaja S.B dan B Sadhotomo. 2005. Study on the reproduction of “layang deles” shortfin scad (Decapterus macrosoma) in the Java Sea. Indonesian Fisheries Research Journal. (11). Amin, E.M. dan Suwarso. 1990. Perubahan Intensitas penangkapan Ikan pelagis kecil di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No.56. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Chodriyah U dan T Hariati. 2010. Musim Penangkapan Ikan Pelagis Kecil di Laut Jawa. JPPI. 16(3). Laevastu T dan I Hela. 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News Book Ltd. London. Laevastu T and ML Hayes. 1981. Fisheries Oseanography and Ecology. Fishing News Book. Farhan-Surrey-England. Nugroho D. 2006. Kondisi Trend Biomassa Ikan Layang (Decapterus spp.) di Laut Jawa dan Sekitarnya. JPPI. 12(3). Prasetyo A.P dan Suwarsono. 2010. Produktifitas Primer dan Kelimpahan Ikan Layang (Decapterus spp.) Hubungannya dengan Fenomena ENSO di Selat Makassar Bagian Selatan. JTMPL. 1(2). Priatna A dan M Natsir. 2007. Distribusi Kepadatan Ikan Pelagis di Perairan Pantai Utara Jawa Bagian Timur, Pulau-Pulau Sunda dan Laut Flores. JPPI. 13(3). 123 Sadhotomo B dan Durrand JR. 1997. General Features of Java Sea Ecology dalam Proceeding of Acustics Seminar Akustikan 2 (Bandungan, 27th-29 th May, 1996). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. Sujastani, T. 1974. Dinamika populasi ikan kembung di Laut Jawa LPPL No. 1 Tahun 1974 Hal. 30 – 64. Suwarso, S.B Atmaja, dan Wahyono M. 1987. Perkembangan Komposisi Ikan Layang (Decapterus spp.) dari Hasil Tangkapan Pukat Cincin Menurut Daerah Penangkapan di Laut Jawa. JPPL. (38). 6. 6.1 PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM Pembahasan Umum Secara umum berdasarkan rataan bulanan dari tahun 1994–2010, salinitas permukaan laut (5 m) di perairan Laut Jawa memperlihatkan adanya variabilitas antar musim dengan diindikasikan dua puncak salinitas permukaan laut maksimum dan dua lembah salinitas permukaan laut minimum (Gambar 83 dan 84). Pada musim peralihan I (Maret-April-Mei) lebih rendah dibandingkan musim barat, musim timur, dan musim peralihan II dan salinitas permukaan laut rendah terkonsentrasi di bagian timur Laut Jawa, di selatan Selat Makassar. Pada musim timur (Juni-Juli-Agustus), salinitas permukaan laut tampak lebih tinggi dibagian timur, terutama di sisi dekat Kalimantan cenderung meningkat. Pada Musim Peralihan II (September-Nopember), salinitas permukaan laut relatif sama dengan Musim Timur dan terlihat salinitas rendah ditemukan di perairan bagian Barat di sekitar Selat Sunda, dengan salinitas permukaan laut sekitar antara 33–34 psu. Kondisi tersebut kemungkinan disebabkan oleh masuknya massa air bersalinitas tinggi dari Samudera Pasifik ke perairan Indonesia, menyebabkan sebaran salinitas permukaan di perairan Indonesia meningkat dari barat ke timur dan berkisar antara 30–35 psu. Dalam muson timur masuknya massa air dari yang bersalinitas tinggi dari arah timur dari Selat Makassar dan Laut Flores, mendorong massa air bersalinitas rendah kembali ke barat sampai ke Laut Cina Selatan melewati Selat Karimata (Wyrtki, 1961; Nontji, 1987; Gordon, A.L. 2005). Menurut, (Atmadipoera dan Nurjaya, 2011) bahwa salinitas permukaan laut perairan Makassar-Arlindo adalah pemasok utama perairan Laut Jawa selama musim timur, bukan dari Laut Flores seperti yang diduga sebelumnya. Komponen arus Makassar-Arlindo yang mengalir ke barat menuju Laut Jawa merupakan respon lokal dari Musim timur (Angin Muson Tenggara) melalui Ekman transport. Pada musim barat (Desember-Januari-Februari), salinitas permukaan laut terlihat relatif rendah berkisar antara 32–33 PSU. Pada musim ini massa air dari Laut Natuna melewati Selat Karimata memasuki Laut Jawa dari arah barat yang dalam perjalanannya banyak mengalami pengenceran dari aliran-aliran sungai di 126 sungai disekitarnya (Sumatera, Kalimantan, dan Jawa). Akibatnya salinitas turun dan mendorong massa air yang bersalinitas tinggi ke timur ke arah Laut Flores. Pada Muson barat massa air dari Laut Natuna memasuki Laut Jawa dari arah barat yang dalam perjalanannya dalam musim hujan tersebut banyak mengalami pengenceran dari aliran-aliran sungai dari Sumatera, Kalimantan, dan Pulau Jawa. Akibatnya salinitas turun dan mendorong massa air yang bersalinitas tinggi ke timur ke arah Laut Flores. Interaksi faktor lingkungan dengan organisme menjadi hal penting dalam kajian kehidupan laut secara keseluruhan, akan tetapi yang harus menjadi pertimbangan mendasar bahwa faktor lingkungan lebih mudah diamati, dipantau serta lebih mudah diprediksi dibanding kelimpahan dan distribusi suatu spesies. Tidak ada keseimbangan yang stabil antara lingkungan dan organisme karena faktor lingkungan terikat dengan variabilitasnya sedangkan organisme memiliki daya adaptasi terhadap fluktuasi lingkungan yang terjadi. Kondisi ini mejadikan hubungan faktor lingkungan dan organisme menjadi faktor fisik dan fisiologis dalam tubuh yang dapat mengoroientasikan dirinya untuk mengarah atau berada dalam suatu lingkungan tertentu (Leavastu dan Hela, 1970; Laevastu dan Hayes, 1981). Berdasarkan atas data hasil tangkapan, upaya serta daerah penangkapan perikanan pukat cincin di Laut Jawa pada tahun 1984-1985 dari tempat pendaratan ikan Tegal dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan (Atmaja et al., 1986) diperoleh informasi bahwa hasil tangkapan ikan pelagis kecil bervariasi menurut musim dan daerah penangkapan (dari utara Tegal dan Pekalongan sampai Matasiri dan Laut Cina Selatan). Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada musim peralihan 2 (bulan September sampai dengan Nopember) dan tangkapan terendah pada musim timur (bulan Juni sampai Agustus). Pada umumnya hasil tangkapan didominasi oleh spesies ikan layang. Saat itu semakin jauh daerah penangkapan dari fishing base (Pekalongan), indeks kelimpahan CPUE (Catch Per Unit Effort) jenis ikan layang, dan banyar semkin tinggi. Sebaliknya kelimpahan ikan bentong (Selar crumenophathalmus), dan ikan Tembang semakin rendah. Menurut Wijopriono (2008) pada periode tahun 1999–2002 sumberdaya ikan pelagis di perairan Laut Jawa mengalami variasi dalam sebaran dan 127 kelimpahan menurut musim. Puncak kelimpahan ikan pelagis di daerah penangkapan dekat pantai (inshore) utara Jawa didominasi oleh ikan Tembang (Juwi) terjadi pada bulan Mei. Sedangkan puncak kelimpahan ikan pelagis di lepas pantai (off shore) yang didominasi oleh ikan layang terjadi pada bulan September. Fluktuasi CPUE beberapa jenis ikan dari musim ke musim dan daerah penangkapan mempunyai pola yang sama dan beberapa jenis ikan tertentu cenderung berlawanan. Berdasarkan CPUE total tiap bulan (musim) dan daerah penangkapan sangat ditentukan oleh CPUE ikan Layang. Puncak hasil tangkapan ikan layang berlangsung pada musim peralihan II, yaitu terdapat pada perairan sekitar Pulau Masalembo dan Pulau Matasiri, sedangkan pada musim yang lain yakni musim peralihan I dan tenggara jauh lebih rendah. Pola fluktuasi CPUE yang hampir sama terjadi pada Banyar (Kembung), sedangkan untuk tanjan (layang), Siro dan Bentong cenderung berlawanan. Puncak hasil tangkapan tanjan berlangsung pada musim tenggara, terutama di perairan sebelah utara Tegal dan Pekalongan serta Matasiri dengan hasil tangkapan terendah terjadi pada musim peralihan I, terutama di perairan sekitar Bawean dan Masalembo. Hasil tangkapan siro tertinggi berlangsung pada musim barat, yaitu di sekitar Bawean dan Pejantan. Hasil tangkapan terendah pada musim peralihan II, yaitu di perairan sebelah utara Tegal dan Pekalongan dan sekitar Karimunjawa. Perubahan kondisi lingkungan mempengaruhi beberapa jenis ikan tertentu untuk melakukan ruaya, misalnya Layang (Decapterus spp) dan Banyar (Rastrelliger kanagurta) yang beruaya mengikuti perubahan salinitas sehingga ikan tersebut selalu beruaya musiman. Menurut Sujastani (1974) ikan Kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) beruaya untuk memijah dari Tanjung Satai (Kalimantan Barat) pada bulan Mei–Oktober, populasi ikan Kembung musim barat beruaya dari perairan Laut Jawa untuk memijah dan atau Laut Cina Selatan, sedangkan populasi ikan kembung musim timur memijah di bagian timur Laut Jawa (Laut Flores). Migrasi ikan Kembung ini mengikuti corak migrasi ikan Layang yang biasanya terlambat satu atau dua minggu (Atmaja et.al., 1986). Jenis Layang di Selat Makassar pada dasarnya tertangkap sepanjang tahun, fluktuasi terjadi secara musiman; puncak kelimpahan ikan Layang berlangsung 128 antara Nopember sampai Januari. Adapun musim paceklik penangkapan layang terjadi sekitar bulan Maret sampai Mei. Terkait dengan musim ikan di Laut Jawa, musim puncak layang di Selat Makassar lebih lambat sekitar dua bulan dibanding dengan musim puncak kelimpahan di Laut Jawa (perairan sekitar Kepulauan Masalembo dan Pulau Matasirih) yang berlangsung pada musim peralihan 2 (September–Nopember).Selisih musim puncak tersebut diduga karena adanya spawning migration dari timur Laut Jawa ke arah barat Selat Makassar.Indikasi tersebut berdasarkan temuan Potier dan Sadhotomo (2003) bahwa adanya pergeseran ukuran ikan Layang yang berhubungan dengan tingkat kematangan gonad ikan layang (Priatna dan Suwarso, 2008). Ikan Layang, Decapterus spp merupakan salah satu komoditi utama dari hasil tangkapan pukat cincin di perairan utara Jawa. Hasil tangkapan rata-rata selama periode tahun 1981–1982 di TPI Pekalongan saja mencapai 19,442 ton atau sekitar 32% dari hasil tangkapan total ikan pelagis. Kondisi biologisnya menunjukkan bahwa pada salah satu jenis yakni D. maruadsi matang seksual pada ukuran 18,8 cm. Aktifitas penangkapan yang berjalan ditemui banyak ikan yang tertangkap sebelum mencapai ukuran matang seksual. Adapun pola penambahan anggota baru tahunan puncaknya terjadi pada dua musim yakni barat dan timur dengan puncak tertinggi pada musim timur (Atmaja, 1983). Demikian halnya di Selat Makassar diketahui bahwa Layang merupakan tangkapan utama pukat cincin dengan kontribusi sekitar 58%. Sedangkan perairan Selat Makassar bagian selatan sebagai salah satu tujuan utama penangkapan ikan Layang memiliki kontribusi sebesar 43%. Adapun jenis ikan Layang yang tertangkap di Selat Makassar adalah layang (Decapterus ruselli) dan layang abu-abu (D. macrosoma) (Prasetyo dan Suwarso, 2010). Pengamatan terkini mengenai musim dan daerah penangkapan oleh Chodriyah dan Hariati (2010) diperoleh bahwa musim penangkapan ikan Layang (Decapterus spp.) terjadi pada bulan Agustus, ikan Siro dan Selar Bentong pada bulan Desember, ikan Kembung Banyar bulan September dan ikan Tembang atau Juwi bulan Juni. Daerah penangkapan (fishing ground) purse seine Pekalongan sama dengan periode sebelumnya, meliputi perairan Laut Jawa (utara Tegal dan Pekalongan, Karimunjawa, Bawean, Masalembo, Matasiri, dan Kangean), 129 perairan Laut Cina Selatan (Pejantan, Natuna, Midai, Tarempa, serta Tambelan) dan perairan Selat Makassar (Lumu-Lumu, Lari-Larian, dan Kota Baru). Prediksi musim pemijahan Layang Deles (Decapterus macrosoma) yang dilakukan oleh Atmaja dan Sadhotomo (2005) menemukan bahwa berlangsungnya sepanjang tahun, akan tetapi juvenil ikan memasuki masa penangkapan ketika dimulainya proses rekruitmen. Terdapat dua kelompok rekruitmen di Laut Jawa. Kelompok utama rekruitmen memasuki penangkapan sepanjang munson tenggara (Juni–Juli) dan kelompok kecil berlangsung pada Nopember. Berdasarkan kalkulasi mundur dari usia kelompok termuda di rekruitmen utama, dapat disimpulkan bahwa rekruitmen tidak diturunkan dari ikan dewasa yang mendiami daerah tersebut sepanjang tahun. Puncak kematangan ikan yang mendiami Laut Jawa terjadi pada Juni–Juli, dan puncak musim pemijahan dapat berlangsung antara Juli–Nopember sedangkan perkiraan pemijahan untuk rekruitmen utama berlangsung sekitar Nopember. Dalam pengamatannya hampir tidak ditemukan adanya indikasi sampel yang mengalami kematangan dan memijah pada daerah pemijahan di Laut Jawa (minimal tidak berada pada daerah penangkapan armada purse seine). 6.2 Kesimpulan Umum Berdasarkan rataan bulanan dari tahun 1994–2010, salinitas permukaan laut (5 meter), di perairan Laut Jawa terlihat variabilitas musiman atau tahunan dengan dua puncak Salinitas maksimum dan dua lembah Salinitas minimum. Variasi musiman salinitas dengan amplitudo sekitar 2 psu. (32,50–34,25 psu). Puncak salinitas minimum selama musim barat, diduga terkait dengan terjadinya periode musim hujan, dimana ada presipitasi langsung ke laut dan gelontoran air sungai. Sedangkan puncak salinitas maksimum pada musim timur, kemungkinan terkait dengan tingginya penguapan langsung dari laut dan pengaruh suplai massa air bersalinitas tinggi dari Samudera Pasifik melalui Selat Makassar. Pada periode musim peralihan I (Maret-April-Mei) saliniats permukaan relatif terendah dibandingkan pada musim-musim yang lain, yaitu musim barat (Desember-Januari-Februari), musim timur (Juni-Juli-Agustus), dan musim peralihan II (September-Oktober-Nopember), dimana saliniats rendah terkonsentrasi di bagian timur laut Jawa, di selatan Selat Makassar atau selatan 130 Kalimantan. Rendahnya salinitas di wilayah tersebut kemungkinan berhubungan dengan sistem sungai di sekitar, seperi Sungai Barito. Di laut Jawa, bagian timur yaitu di utara pulau Bawean dan Kangean, amplitudo salinitas permukaan sekitar 2 psu (32,50 psu – 34,50 psu). Hal ini diperkirakan bahwa di wilayah studi lebih dinamik karena pengaruh yang lebih intensif dari massa air di sekitarnya. Di perairan bagian barat Laut Jawa (di sebelah barat Pekalongan) dan bagian tengah (antara Pekalongan-Karimunjawa) amplitudo salinitas permukaan relatif sempit, yaitu sekitar 1 psu, antara 32,75 psu–33,5 psu. Berdasarkan analisis deret waktu dan wavelet dari data salinitas permukaan Laut Jawa pada Januari 1994–Desember 2010, menunjukkan spektral relatif sangat kuat terlihat pada periode musiman/tahunan (monsoonal/annual) dan pada periode antar tahun 1994/1995, 1997/1998 dan pada tahun 2006 dan 2010, diduga berhubungan dengan fenomena perubahan antar tahunan (interannual), seperti ENSO (El Nino atau La Nina). CPUE ikan pelagis kecil di Laut Jawa selama periode tahun 1990–1995, bervariasi menurut waktu (bulanan, musiman/tahunan, dan antar tahunan) dan menurut daerah penangkapan (fishing ground), yaitu di perairan utara TegalPekalongan, Kepulauan Karimun Jawa, Pulau Bawean, Pulau Masalembo- Masalima, Matasiri, bagian selatan Selat Makassar, dan di Pulau Kangean. Berdasarkan keseluruhan hasil tangkapan di tujuh daerah penangkapan tersebut, persentase rata-rata bulanan hasil tangkapan jenis ikan pelagis kecil berturut-turut adalah layang (Decapterus spp.) 48,50%, banyar (Rastrelliger kanagurta) 16,97%, juwi (Sardinella spp.) 14,15%, lemuru (Ablygaster sirm) 10,80%, bentong (S. crumenophthalmus) 8,65%, dan selar (Selaroides leptolepis) 0,93%. Dari keseluruhan spesies yang tertangkap di perairan laut Jawa, ditemukan bahwa persentase hasil tangkapan jenis layang dan juwi dominan terdapat pada daerah utara Tegal-Pekalongan (34,14% dan 31,76%) dan kepulauan Karimunjawa (45,53% dan 17,34%), dimana musim puncaknya terjadi pada bulan Maret-AprilMei (Musim peralihan I). Sedangkan persentase tangkapan jenis layang dan banyar dominan di daerah Pulau Bawean (50,54% dan 19,30%), MasalemboMasalima (42,12% dan 23,12%), Pulau Matasiri (42,83% dan 20,52%), Selat Makassar (44,63% dan 16,83%), dan di Pulau Kangean (79,68% dan 10,59%). 131 Musim puncak tangkapan layang dan banyar pada kelima daerah penangkapan tersebut di atas terjadi pada bulan Juli-Agustus-September (musim Timur). Berdasarkan analisis koresponden, terdapat hubungan antara sebaran jenis ikan pelagis kecil dengan salinitas permukaan di perairan Laut Jawa. Juwi (Sardinella spp.) lebih banyak ditemukan pada fisihing ground yang bersalinitas rendah hingga sedang (32,86-33,55 psu). Layang (Decapterus spp.) banyak ditemukan di perairan yang lebih jauh dari pantai pada salinitas tinggi (lebih besar dari 33,55 psu). Lemuru (Ablygaster sirm) banyak ditemukan di perairan pada salinitas rendah hingga sedang dan di bagian timur Laut Jawa. 6.3 Saran Mengingat pentingnya posisi dan fungsi dari perairan Laut Jawa terutama berkaitan dengan perannya sebagai penyangga terhadap aktifitas manusia di pulau-pulau besar yang melingkupinya seperti Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan maka disaranakan sebagai berikut: 1. Dilakukan penelitian yang lebih komprehensif dan berkesinambungan tentang parameter-parameter hidro-oseanografi dan sumberdaya laut di perairan Laut Jawa dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan. 2. Dilakukan monitoring secara kontinyu kondisi perairan Laut Jawa dan sistem sungai-sungai besar disekitarnya di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan dalam rangka menjaga eksistensi peran dan fungsi Laut Jawa. 132 DAFTAR PUSTAKA Atmaja S.B. 1983. Matang seksual dan pola penambahan anggota baru ikan layang (Decapterus meruadsi, Temminck dan Schlegel). Laporan Penelitian Perikanan Laut. No.29. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Atmaja S.B, Suwarso, dan Nurhakim S. 1986. Hasil Tangkapan Pukat Cincin Menurut Musim dan Daerah Penangkapan di Laut Jawa. JPPL. (36). Atmaja S.B dan B Sadhotomo. 2005. Study on the reproduction of “layang deles” shortfin scad (Decapterus macrosoma) in the Java Sea. Indonesian Fisheries Research Journal. (11). Atmadipoera, A.S dan I.W. Nurjaya, 2011. Seasonal Variation of Salinity in the Java Sea, and its Link to Makassar ITF. Chodriyah U dan T Hariati. 2010. Musim Penangkapan Ikan Pelagis Kecil di Laut Jawa. JPPI. 16(3). Gordon A.L. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and Their Throughflow. J. Pys. Oceanogr. 18(4): 15-27 Laevastu T dan I Hela. 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News Book Ltd. London. Laevastu T dan M.L Hayes. 1981. Fisheries Oseanography and Ecology. Fishing News Book. Farhan-Surrey-England. Prasetyo A.P dan Suwarsono. 2010. Produktifitas Primer dan Kelimpahan Ikan Layang (Decapterus spp.) Hubungannya dengan Fenomena ENSO di Selat Makassar Bagian Selatan. JTMPL. 1(2). Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of The Southeast Asian Waters. Naga Report. Vol 2. Scripps Institution of Oceanography. The University of California. La Jolla. California. 195 p. LAMPIRAN 135 Lampiran 1. Rata-Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah Utara Tegal-Pekalongan Bulan banyar bentong juwi layang lemuru selar Januari 17,56 10,99 11,74 52,11 1,31 6,29 Pebruari 15,39 13,73 8,80 54,29 1,19 6,60 Maret 13,97 17,48 35,66 30,37 0,11 2,41 April 10,78 12,40 64,20 9,44 1,32 1,85 Mei 8,41 10,87 68,97 7,64 1,54 2,56 Juni 13,60 29,67 40,77 9,36 3,72 2,88 Juli 17,38 18,07 39,86 9,85 13,92 0,92 Agustus 13,01 8,13 44,75 19,78 13,21 1,11 September 14,23 4,51 26,44 39,27 15,44 0,11 Oktober 13,58 5,89 23,66 46,35 10,12 0,41 Nopember 11,61 7,71 9,21 65,19 3,96 2,32 Desember 8,60 14,08 7,01 66,03 2,23 2,05 % 13,18 12,79 31,76 34,14 5,67 2,46 Lampiran 2. Rata-rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah Kepulauan Karimunjawa Bulan banyar bentong juwi layang lemuru selar Januari 13,41 14,64 6,10 60,46 3,22 2,16 Pebruari 19,61 13,85 8,09 50,62 4,00 3,83 Maret 17,77 23,74 14,23 39,44 2,83 1,99 April 22,46 15,84 23,20 32,80 3,80 1,90 Mei 18,15 11,72 34,96 28,76 3,88 2,53 Juni 15,84 28,37 32,58 17,75 1,48 3,98 Juli 15,49 15,88 33,62 26,56 7,26 1,20 Agustus 15,99 10,46 17,78 43,67 11,56 0,53 September 13,39 4,42 16,29 50,10 15,76 0,05 Oktober 11,72 6,00 12,63 58,29 11,14 0,22 Nopember 10,49 7,57 4,03 69,35 7,07 1,49 Desember 8,99 11,92 4,57 68,52 4,24 1,75 % 15,28 13,70 17,34 45,53 6,35 1,80 136 Lampiran 3. Rata-Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah Pulau Bawean Bulan banyar bentong juwi layang lemuru selar Januari 24,24 6,45 8,41 36,26 23,39 1,26 Pebruari 25,16 6,38 14,43 30,51 22,66 0,86 Maret 16,89 18,04 10,74 43,29 9,77 1,27 April 27,16 14,90 15,03 27,17 13,97 1,77 Mei 25,34 14,22 19,89 33,41 5,89 1,25 Juni 23,39 10,86 24,08 31,52 9,04 1,11 Juli 15,58 4,84 5,09 70,87 3,55 0,07 Agustus 12,80 3,21 3,05 77,49 3,35 0,09 September 14,02 2,64 2,71 75,17 5,44 0,02 Oktober 15,58 3,25 2,82 73,85 4,43 0,07 Nopember 16,93 4,72 6,35 61,99 9,74 0,26 Desember 14,54 6,26 12,90 44,97 21,24 0,09 % 19,30 7,98 10,46 50,54 11,04 0,68 Lampiran 4. Rata-Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah Pulau Masalembo-Masalima Bulan banyar bentong juwi layang lemuru selar Januari 23,62 7,31 4,78 25,17 38,91 0,20 Pebruari 24,72 5,79 6,55 27,32 35,16 0,46 Maret 29,84 11,24 8,07 28,56 21,66 0,64 April 22,36 13,20 19,94 20,24 22,46 1,80 Mei 35,75 11,14 25,21 18,40 7,37 2,13 Juni 35,70 18,37 17,01 25,76 2,73 0,44 Juli 16,53 7,29 8,37 63,38 4,32 0,11 Agustus 14,42 3,62 4,15 74,93 2,86 0,03 September 17,52 2,58 4,49 66,87 8,54 0,00 Oktober 20,42 2,70 5,29 62,59 8,94 0,05 Nopember 18,76 3,83 7,41 51,43 18,43 0,14 Desember 17,82 4,30 10,46 40,81 26,30 0,32 % 23,12 7,61 10,14 42,12 16,47 0,53 137 Lampiran 5. Rata-Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah Pulau Matasiri Kepulauan Bulan banyar bentong juwi layang lemuru selar Januari 19,54 7,73 3,65 35,95 32,63 0,50 Pebruari 19,08 6,17 11,54 25,41 37,58 0,22 Maret 32,49 9,12 9,41 25,75 22,70 0,54 April 17,45 11,32 19,16 31,71 18,79 1,57 Mei 24,62 8,93 31,10 23,21 10,51 1,62 Juni 26,66 5,95 23,74 37,51 5,38 0,76 Juli 18,66 9,18 31,29 36,86 3,82 0,18 Agustus 7,66 1,19 0,58 88,38 2,09 0,10 September 23,00 3,44 11,24 47,49 14,83 0,00 Oktober 24,51 3,52 5,04 58,28 8,44 0,21 Nopember 14,56 5,29 4,48 62,15 13,29 0,23 Desember 18,04 7,14 7,52 41,27 25,77 0,26 % 20,52 6,58 13,23 42,83 16,32 0,52 Lampiran 6. Rata-Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah Selat Makasar Bulan banyar bentong juwi layang lemuru selar Januari 15,01 5,01 8,05 44,38 27,43 0,13 Pebruari 15,71 9,05 10,53 36,43 28,16 0,12 Maret 13,15 17,58 7,30 44,91 16,91 0,15 April 18,91 12,63 22,45 30,55 13,08 2,38 Mei 30,52 13,00 19,91 21,83 13,26 1,49 Juni 18,29 8,99 32,68 40,04 0,00 0,00 Juli 14,93 10,60 13,14 61,22 0,00 0,10 15,53 1,74 12,34 64,49 5,91 0,00 Nopember 11,92 5,09 0,11 62,86 20,02 0,00 Desember 14,34 5,96 12,92 39,63 26,91 0,23 % 16,83 8,96 13,94 44,63 15,17 0,46 Agustus September Oktober 138 Lampiran 7. Rata Rata Bulanan Presentase CPUE Setiap Jenis Ikan pada Daerah Pulau Kangean Bulan banyar Januari - bentong - Pebruari - - Maret - April juwi lemuru - layang - - selar - - - - - - - - - - - - - - - - Mei - - - - - - Juni - - - - - - Juli 10,87 0,22 5,40 78,60 4,91 0,00 Agustus 11,18 6,65 2,30 79,50 0,37 0,00 September 8,93 0,52 1,13 85,53 3,90 0,00 Oktober 12,93 0,92 1,81 77,94 6,38 0,03 Nopember 7,91 7,34 0,00 79,68 4,83 0,24 Desember 11,71 1,95 2,54 76,84 6,95 0,00 % 10,59 2,93 2,20 79,68 4,56 0,04 Lampiran 8. Nilai Rata-rata Bualanan CPUE Ikan Layang Fishing Ground Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Keterangan Agustus September Oktober November Desember I 402,79 429,65 144,31 70,93 48,01 67,34 73,98 160,15 484,83 495,32 752,94 601,42 Utara TegalPekalongan II 323,09 293,79 376,80 178,95 141,37 185,05 774,54 960,98 1194,87 809,33 841,51 573,86 Kep, Karimunjawa III 323,09 293,79 376,80 178,95 141,37 185,05 774,54 960,98 1194,87 809,33 841,51 573,86 IV 257,82 254,16 162,27 136,29 94,37 159,43 689,29 936,24 1294,97 1083,20 1044,43 543,58 P, Bawean P, MasalemboMasalima V 396,00 227,03 194,58 240,53 130,77 311,85 302,04 737,30 871,97 1158,59 1234,19 438,01 P, Matasirih VI 624,04 373,04 470,99 193,83 125,09 326,45 501,76 1843,24 544,58 Selat Makasar 1851,37 695,96 P, Kangean 327,50 VII 1620,97 3702,62 1985,42 1251,47 Lampiran 9. Nilai Rata-rata Bualanan CPUE Ikan Banyar Fishing Ground Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Keterangan Agustus September Oktober November Desember Utara TegalPekalongan Kep, Karimunjawa I 135,73 121,79 66,38 80,95 52,84 97,82 130,58 105,36 175,68 145,08 134,09 78,34 II 215,97 242,33 147,03 178,91 107,25 137,30 170,27 158,76 222,89 170,77 229,86 185,48 III 215,97 242,33 147,03 178,91 107,25 137,30 170,27 158,76 222,89 170,77 229,86 185,48 IV 241,92 229,96 169,56 150,59 183,38 220,96 179,80 180,14 339,28 353,41 381,02 237,38 V 215,31 170,52 245,49 132,39 138,75 221,70 152,91 63,93 422,33 487,17 289,06 191,43 P, Bawean P, MasalemboMasalima P, Matasirih VI 211,04 160,90 137,89 119,97 174,88 149,15 122,36 349,69 197,09 Selat Makasar 183,81 106,06 P, Kangean VII 45,30 390,30 520,48 207,19 207,69 139 140 Lampiran 10. Nilai Rata-rata Bulanan Persentase Ikan Banyar Fishing Ground Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Keterangan Agustus September Oktober November Desember Utara TegalPekalongan Kep, Karimunjawa I 17,56 15,39 13,97 10,78 8,41 13,6 17,38 13,01 14,23 13,58 11,61 8,6 II 13,41 19,61 17,77 22,46 18,15 15,84 15,49 15,99 13,39 11,72 10,49 8,99 III 24,24 25,16 16,89 27,16 25,34 23,39 15,58 12,8 14,02 15,58 16,93 14,54 IV 23,62 24,72 29,84 22,36 35,75 35,7 16,53 14,42 17,52 20,42 18,76 17,82 V 19,54 19,08 32,49 17,45 24,62 26,66 18,66 7,66 23 24,51 14,56 18,04 P, Bawean P, MasalemboMasalima P, Matasirih VI 15,01 15,71 13,15 18,91 30,52 18,29 14,93 11,92 14,34 Selat Makasar 7,91 11,71 P, Kangean 15,53 10,87 VII 11,18 8,93 12,93 Lampiran 11. Nilai Rata-rata Bulanan Persentase Ikan Layang Fishing Ground Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Keterangan Agustus September Oktober November Desember I 52,11 54,29 30,37 9,44 7,64 9,36 9,85 19,78 39,27 46,35 65,19 66,03 Utara TegalPekalongan II 60,46 50,62 39,44 32,8 28,76 17,75 26,56 43,67 50,1 58,29 69,35 68,52 Kep, Karimunjawa III 36,26 30,51 43,29 27,17 33,41 31,52 70,87 77,49 75,17 73,85 61,99 44,97 IV 25,17 27,32 28,56 20,24 18,4 25,76 63,38 74,93 66,87 62,59 51,43 40,81 P, Bawean P, MasalemboMasalima V 35,95 25,41 25,75 31,71 23,21 37,51 36,86 88,38 47,49 58,28 62,15 41,27 P, Matasirih VI 44,38 36,43 44,91 30,55 21,83 40,04 61,22 62,86 39,63 Selat Makasar 79,68 76,84 P, Kangean VII 78,60 64,49 79,50 85,53 77,94 Lampiran 12. Nilai Rata-rata Bulanan Salinitas setiap Fishing Ground Fishing Ground Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Keterangan Agustus September Oktober November Desember Utara TegalPekalongan Kep, Karimunjawa I 32,88 32,92 32,89 32,76 32,88 32,91 32,93 33,00 33,10 33,13 33,14 32,98 II 32,81 32,97 33,01 33,11 33,25 33,07 33,03 33,17 33,36 33,33 33,14 32,81 III 32,69 32,91 32,97 32,84 32,73 32,90 33,13 33,43 33,54 33,63 33,41 32,81 IV 32,59 32,74 32,75 32,58 32,34 32,83 33,37 33,79 33,82 33,69 33,46 32,84 V 32,62 32,80 32,79 32,45 32,64 33,10 33,66 34,03 34,02 33,63 33,45 32,90 P, Bawean P, MasalemboMasalima P, Matasirih VI 32,51 32,62 32,54 32,17 32,76 33,44 34,00 34,23 34,14 34,00 33,66 32,99 Selat Makasar VII 33,02 32,91 32,89 32,61 32,62 32,86 33,36 33,71 33,72 33,54 33,49 33,30 P, Kangean 141 142 Lampiran 13. Hasil Penangkapan Ikan Pelagis Kecil di Laut Jawa Tahun 1990-1995 143 144 1-1990 2-1990 3-1990 4-1990 5-1990 6-1990 7-1991 8-1990 9-1990 10-1990 11-1990 12-1990 1-1991 2-1991 3-1991 4-1991 5-1991 6-1991 7-1991 8-1991 9-1991 10-1991 11-1991 12-1991 1-1992 2-1992 3-1992 4-1992 5-1992 6-1992 7-1992 8-1992 9-1992 10-1992 11-1992 12-1992 1-1993 2-1993 3-1993 4-1993 5-1993 6-1993 7-1993 8-1993 9-1993 10-1993 11-1993 12-1993 1-1994 2-1994 3-1994 4-1994 5-1994 6-1994 7-1994 8-1994 9-1994 10-1994 11-1994 12-1994 1-1995 2-1995 3-1995 4-1995 5-1995 6-1995 7-1995 8-1995 9-1995 10-1995 11-1995 12-1995 0 CPUE(ton/day) CPUE(ton/day) Lampiran 14. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground Utara Tegal- Pekalongan Fishing Ground : North of Tegal - Pekalongan 2000 1800 1600 1400 1200 banyar 1000 bentong 800 juwi 600 layang lemuru 400 200 selar Fishing Ground : North of Tegal - Pekalongan 800 700 600 500 banyar bentong 400 juwi 300 layang lemuru 200 selar 100 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 145 0 CPUE(ton/day) 1-1990 2-1990 3-1990 4-1990 5-1990 6-1990 7-1990 8-1990 9-1990 10-1990 11-1990 12-1990 1-1991 2-1991 3-1991 4-1991 5-1991 6-1991 7-1991 8-1991 9-1991 10-1991 11-1991 12-1991 1-1992 2-1992 3-1992 4-1992 5-1992 6-1992 7-1992 8-1992 9-1992 10-1992 11-1992 12-1992 1-1993 2-1993 3-1993 4-1993 5-1993 6-1993 7-1993 8-1993 9-1993 10-1993 11-1993 12-1993 1-1994 2-1994 3-1994 4-1994 5-1994 6-1994 7-1994 8-1994 9-1994 10-1994 11-1994 12-1994 1-1995 2-1995 3-1995 4-1995 5-1995 6-1995 7-1995 8-1995 9-1995 10-1995 11-1995 12-1995 0 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September CPUE(ton/day) 146 Lampiran 15. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground Kep. Karimunjawa Fishing Ground : Karimunjava Islands 2500 2000 1500 banyar bentong 1000 juwi layang 500 lemuru selar 900 Fishing Ground : Karimunjava Islands 800 700 600 banyar 500 bentong 400 juwi layang 300 lemuru 200 selar 100 0 Oktober November Desember CPUE(ton/day) 0 1-1990 2-1990 3-1990 4-1990 5-1990 6-1990 7-1990 8-1990 9-1990 10-1990 11-1990 12-1990 1-1991 2-1991 3-1991 4-1991 5-1991 6-1991 7-1991 8-1991 9-1991 10-1991 11-1991 12-1991 1-1992 2-1992 3-1992 4-1992 5-1992 6-1992 7-1992 8-1992 9-1992 10-1992 11-1992 12-1992 1-1993 2-1993 3-1993 4-1993 5-1993 6-1993 7-1993 8-1993 9-1993 10-1993 11-1993 12-1993 1-1994 2-1994 3-1994 4-1994 5-1994 6-1994 7-1994 8-1994 9-1994 10-1994 11-1994 12-1994 1-1995 2-1995 3-1995 4-1995 5-1995 6-1995 7-1995 8-1995 9-1995 10-1995 11-1995 12-1995 CPUE(ton/day) Lampiran 16. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground P. Bawean Fishing Ground : Bawean Island 2500 2000 1500 banyar bentong 1000 juwi layang 500 lemuru selar 1400 Fishing Ground : Bawean Island 1200 1000 banyar 800 bentong juwi 600 layang 400 lemuru selar 147 200 0 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember CPUE(ton/day) 1-1990 2-1990 3-1990 4-1990 5-1990 6-1990 7-1990 8-1990 9-1990 10-1990 11-1990 12-1990 1-1991 2-1991 3-1991 4-1991 5-1991 6-1991 7-1991 8-1991 9-1991 10-1991 11-1991 12-1991 1-1992 2-1992 3-1992 4-1992 5-1992 6-1992 7-1992 8-1992 9-1992 10-1992 11-1992 12-1992 1-1993 2-1993 3-1993 4-1993 5-1993 6-1993 7-1993 8-1993 9-1993 10-1993 11-1993 12-1993 1-1994 2-1994 3-1994 4-1994 5-1994 6-1994 7-1994 8-1994 9-1994 10-1994 11-1994 12-1994 1-1995 2-1995 3-1995 4-1995 5-1995 6-1995 7-1995 8-1995 9-1995 10-1995 11-1995 12-1995 0 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November CPUE(ton/day) 148 Lampiran 17. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground P. Masalembo dan Masalima 2500 Fishing Ground : Masalembo & Masalima Islands 2000 1500 banyar bentong 1000 juwi layang 500 lemuru selar 1400 Fishing Ground : Masalembo & Masalima Islands 1200 1000 800 banyar bentong 600 juwi layang 400 lemuru 200 selar 0 Desember CPUE(ton/day) 0 1-1990 2-1990 3-1990 4-1990 5-1990 6-1990 7-1990 8-1990 9-1990 10-1990 11-1990 12-1990 1-1991 2-1991 3-1991 4-1991 5-1991 6-1991 7-1991 8-1991 9-1991 10-1991 11-1991 12-1991 1-1992 2-1992 3-1992 4-1992 5-1992 6-1992 7-1992 8-1992 9-1992 10-1992 11-1992 12-1992 1-1993 2-1993 3-1993 4-1993 5-1993 6-1993 7-1993 8-1993 9-1993 10-1993 11-1993 12-1993 1-1994 2-1994 3-1994 4-1994 5-1994 6-1994 7-1994 8-1994 8-1994 10-1994 11-1994 12-1994 1-1995 2-1995 3-1995 4-1995 5-1995 6-1995 7-1995 8-1995 9-1995 10-1995 11-1995 12-1995 CPUE (ton/day) Lampiran 18. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground P. Matasirih Fishing Ground : Matasirih Island 3500 3000 2500 2000 banyar bentong 1500 juwi 1000 layang lemuru 500 selar 1400 Fishing Ground : Matasirih Island 1200 1000 banyar 800 bentong 600 juwi layang 400 lemuru selar 0 149 200 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember CPUE(ton/day) 1-1991 2-1991 3-1991 4-1991 5-1991 6-1991 7-1991 8-1991 9-1991 10-1991 11-1991 12-1991 1-1992 2-1992 3-1992 4-1992 5-1992 6-1992 7-1992 8-1992 9-1992 10-1992 11-1992 12-1992 1-1993 2-1993 3-1993 4-1993 5-1993 6-1993 7-1993 8-1993 9-1993 10-1993 11-1993 12-1993 1-1994 2-1994 3-1994 4-1994 5-1994 6-1994 7-1994 8-1994 9-1994 10-1994 11-1994 12-1994 1-1995 2-1995 3-1995 4-1995 5-1995 6-1995 7-1995 8-1995 9-1995 10-1995 11-1995 12-1995 0 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus CPUE(ton/day) 150 Lampiran 19. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground Selat Makassar Fishing Ground : Makasar Strait 3000 2500 2000 banyar 1500 bentong juwi 1000 layang lemuru 500 selar 2000 Fishing Ground : Makasar Strait 1800 1600 1400 banyar 1200 bentong 1000 juwi 800 layang 600 lemuru 400 selar 200 0 September Oktober November Desember CPUE(ton/day) 10 -1 11 991 -1 12 991 -1 9 1- 9 1 19 2- 9 2 19 3- 9 2 19 4- 9 2 19 5- 9 2 19 6- 9 2 19 7- 9 2 19 8- 9 2 19 9- 9 2 1 10 992 -1 11 99 2 -1 12 99 2 -1 99 1- 2 19 2- 9 3 19 3- 9 3 19 4- 9 3 19 5- 9 3 19 6- 9 3 19 7- 9 3 19 8- 9 3 19 9- 9 3 1 10 993 -1 11 99 3 -1 12 99 3 -1 99 1- 3 19 2- 9 4 19 3- 9 4 19 4- 9 4 19 5- 9 4 19 6- 9 4 19 7- 9 4 19 8- 9 4 19 9- 9 4 1 10 994 -1 11 99 4 -1 12 99 4 -1 99 1- 4 19 2- 9 5 19 3- 9 5 19 4- 9 5 19 5- 9 5 19 6- 9 5 19 7- 9 5 19 8- 9 5 19 9- 9 5 1 10 995 -1 11 995 -1 12 995 -1 99 5 CPUE(ton/day) Lampiran 20. CPUE jenis-jenis ikan 1990-1995 di Fishing Ground P. Kangean Fishing Ground : Kangean Island 6000 5000 4000 banyar 3000 bentong 2000 juwi layang 1000 lemuru selar 0 Fishing Ground : Kangean Island 4000 3500 3000 2500 banyar bentong 2000 juwi 1500 layang lemuru 1000 selar 0 151 500 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember CPUE(ton/day) 1-1990 2-1990 3-1990 4-1990 5-1990 6-1990 7-1991 8-1990 9-1990 10-1990 11-1990 12-1990 1-1991 2-1991 3-1991 4-1991 5-1991 6-1991 7-1991 8-1991 9-1991 10-1991 11-1991 12-1991 1-1992 2-1992 3-1992 4-1992 5-1992 6-1992 7-1992 8-1992 9-1992 10-1992 11-1992 12-1992 1-1993 2-1993 3-1993 4-1993 5-1993 6-1993 7-1993 8-1993 9-1993 10-1993 11-1993 12-1993 1-1994 2-1994 3-1994 4-1994 5-1994 6-1994 7-1994 8-1994 9-1994 10-1994 11-1994 12-1994 1-1995 2-1995 3-1995 4-1995 5-1995 6-1995 7-1995 8-1995 9-1995 10-1995 11-1995 12-1995 0 Januari Februari Maret April Mei Juni CPUE(ton/day) 152 Lampiran 21. CPUE Ikan Banyar setiap Fishing Ground Species : Banyar 1000 900 800 700 North of Tegal-Pekalongan 600 Karimunjava Islands 500 Bawean Island 400 Masalembo & Masalima Islands 300 Matasirih Island 200 Makassar Strait 100 Kangean Island Species : Banyar 600 500 400 North of Tegal-Pekalongan Karimunjava Islands 300 Bawean Island Masalembo & Masalima Islands 200 Matasirih Island Makassar Strait 100 Kangean Island 0 Juli Agustus September Oktober November Desember CPUE(ton/day) 0 1-1990 2-1990 3-1990 4-1990 5-1990 6-1990 7-1991 8-1990 9-1990 10-1990 11-1990 12-1990 1-1991 2-1991 3-1991 4-1991 5-1991 6-1991 7-1991 8-1991 9-1991 10-1991 11-1991 12-1991 1-1992 2-1992 3-1992 4-1992 5-1992 6-1992 7-1992 8-1992 9-1992 10-1992 11-1992 12-1992 1-1993 2-1993 3-1993 4-1993 5-1993 6-1993 7-1993 8-1993 9-1993 10-1993 11-1993 12-1993 1-1994 2-1994 3-1994 4-1994 5-1994 6-1994 7-1994 8-1994 9-1994 10-1994 11-1994 12-1994 1-1995 2-1995 3-1995 4-1995 5-1995 6-1995 7-1995 8-1995 9-1995 10-1995 11-1995 12-1995 CPUE(ton/day) Lampiran 22. CPUE Ikan Bentong setiap Fishing Ground Species : Bentong 900 800 700 600 North of Tegal-Pekalongan 500 Karimunjava Islands 400 Bawean Island 300 Masalembo & Masalima Islands Matasirih Island 200 Makassar Strait 100 Kangean Island 350 Species : Bentong 300 250 North of Tegal-Pekalongan 200 Karimunjava Islands Bawean Island 150 Masalembo & Masalima Islands Matasirih Island 100 Makassar Strait 50 Kangean Island 153 0 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember CPUE(ton/day) 1-1990 2-1990 3-1990 4-1990 5-1990 6-1990 7-1991 8-1990 9-1990 10-1990 11-1990 12-1990 1-1991 2-1991 3-1991 4-1991 5-1991 6-1991 7-1991 8-1991 9-1991 10-1991 11-1991 12-1991 1-1992 2-1992 3-1992 4-1992 5-1992 6-1992 7-1992 8-1992 9-1992 10-1992 11-1992 12-1992 1-1993 2-1993 3-1993 4-1993 5-1993 6-1993 7-1993 8-1993 9-1993 10-1993 11-1993 12-1993 1-1994 2-1994 3-1994 4-1994 5-1994 6-1994 7-1994 8-1994 9-1994 10-1994 11-1994 12-1994 1-1995 2-1995 3-1995 4-1995 5-1995 6-1995 7-1995 8-1995 9-1995 10-1995 11-1995 12-1995 0 Januari Februari Maret April Mei CPUE(ton/day) 154 Lampiran 23. CPUE Ikan Juwi setiap Fishing Ground Species : Juwi 1800 1600 1400 1200 North of Tegal-Pekalongan 1000 Karimunjava Islands 800 Bawean Island 600 Masalembo & Masalima Islands Matasirih Island 400 Makassar Strait 200 Kangean Island 600 Species : Juwi 500 400 North of Tegal-Pekalongan Karimunjava Islands 300 Bawean Island Masalembo & Masalima Islands 200 Matasirih Island Makassar Strait 100 Kangean Island 0 Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Lampiran 24. CPUE Ikan Layang setiap Fishing Ground Species : Layang 6000 CPUE(ton/day) 5000 North of Tegal-Pekalongan 4000 Karimunjava Islands Bawean Island 3000 Masalembo & Masalima Islands Matasirih Island 2000 Makassar Strait Kangean Island 12-1995 11-1995 9-1995 10-1995 8-1995 7-1995 6-1995 5-1995 4-1995 3-1995 2-1995 1-1995 12-1994 11-1994 9-1994 10-1994 8-1994 7-1994 6-1994 5-1994 4-1994 3-1994 2-1994 1-1994 12-1993 11-1993 9-1993 10-1993 8-1993 7-1993 6-1993 5-1993 4-1993 3-1993 2-1993 1-1993 12-1992 11-1992 9-1992 10-1992 8-1992 7-1992 6-1992 5-1992 4-1992 3-1992 2-1992 1-1992 12-1991 11-1991 9-1991 10-1991 8-1991 7-1991 6-1991 5-1991 4-1991 3-1991 2-1991 1-1991 12-1990 11-1990 9-1990 10-1990 8-1990 7-1991 6-1990 5-1990 4-1990 3-1990 2-1990 0 1-1990 1000 Species : Layang 4000 3500 CPUE(ton/day) 3000 North of Tegal-Pekalongan Karimunjava Islands 2500 Bawean Island 2000 Masalembo & Masalima Islands Matasirih Island 1500 Makassar Strait 1000 Kangean Island 155 500 0 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember CPUE(ton/day) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober 500 400 300 200 100 0 November Desember 12-1995 11-1995 10-1995 9-1995 8-1995 7-1995 6-1995 5-1995 4-1995 3-1995 2-1995 1-1995 12-1994 11-1994 10-1994 9-1994 8-1994 7-1994 6-1994 5-1994 4-1994 3-1994 2-1994 1-1994 12-1993 11-1993 10-1993 9-1993 8-1993 7-1993 6-1993 5-1993 4-1993 3-1993 2-1993 1-1993 12-1992 11-1992 10-1992 9-1992 8-1992 7-1992 6-1992 5-1992 4-1992 3-1992 2-1992 1-1992 12-1991 11-1991 10-1991 9-1991 8-1991 7-1991 6-1991 5-1991 4-1991 3-1991 2-1991 1-1991 12-1990 11-1990 10-1990 9-1990 8-1990 7-1991 6-1990 5-1990 4-1990 3-1990 2-1990 1-1990 0 CPUE(ton/day) 156 Lampiran 25. CPUE Ikan Lemuru setiap Fishing Ground Species : Lemuru 900 800 700 600 North of Tegal-Pekalongan 500 Karimunjava Islands 400 Bawean Island Masalembo & Masalima Islands 300 Matasirih Island 200 Makassar Strait 100 Kangean Island 700 Species : Lemuru 600 North of Tegal-Pekalongan Karimunjava Islands Bawean Island Masalembo & Masalima Islands Matasirih Island Makassar Strait Kangean Island CPUE(ton/day) 0 10 157 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober 40 30 20 0 November Desember 12-1995 11-1995 10-1995 9-1995 8-1995 7-1995 6-1995 5-1995 4-1995 3-1995 2-1995 1-1995 12-1994 11-1994 10-1994 9-1994 8-1994 7-1994 6-1994 5-1994 4-1994 3-1994 2-1994 1-1994 12-1993 11-1993 10-1993 9-1993 8-1993 7-1993 6-1993 5-1993 4-1993 3-1993 2-1993 1-1993 12-1992 11-1992 10-1992 9-1992 8-1992 7-1992 6-1992 5-1992 4-1992 3-1992 2-1992 1-1992 12-1991 11-1991 10-1991 9-1991 8-1991 7-1991 6-1991 5-1991 4-1991 3-1991 2-1991 1-1991 12-1990 11-1990 10-1990 9-1990 8-1990 7-1991 6-1990 5-1990 4-1990 3-1990 2-1990 1-1990 CPUE(ton/day) Lampiran 26. CPUE Ikan Selar setiap Fishing Ground Species : Selar 100 90 80 70 North of Tegal-Pekalongan 60 Karimunjava Islands 50 Bawean Island 40 Masalembo & Masalima Islands 30 Matasirih Island 20 Makassar Strait 10 Kangean Island 60 Species : Selar 50 North of Tegal-Pekalongan Karimunjava Islands Bawean Island Masalembo & Masalima Islands Matasirih Island Makassar Strait Kangean Island 158 Lampiran 27. Tabulasi Rata-rata Tahunan Spesies Ikan Per Fishing Ground (FG I-FG III) FG I (Utara Tegal - Pekalongan) FG II (Karimunjawa) FG III (P. Bawean) IKAN Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Banyar 80.95 113.06 0.00 82.24 120.80 0.00 171.90 186.92 170.77 Bentong 93.11 99.62 0.00 98.48 96.00 0.00 73.93 68.72 35.64 482.13 224.32 0.00 39.42 138.97 0.00 105.66 85.23 30.87 Layang 70.93 332.80 0.00 486.03 361.32 0.00 304.32 661.08 809.33 Lemuru 9.93 57.52 0.00 28.31 63.10 0.00 149.09 93.62 48.57 13.91 19.66 0.00 14.52 11.90 0.00 7.31 4.52 0.73 Juwi Selar Lampiran 28. Tabulasi Rata-rata Tahunan Spesies Ikan Per Fishing Ground (FG IV-FG VI) FG IV (Masalembo) FG V (P. Matasiri) FG VI (Selat Makasar) IKAN Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Banyar 204.82 280.41 290.94 180.49 234.07 281.59 160.93 173.12 287.45 Bentong 72.80 78.50 47.31 69.08 76.78 54.57 100.43 77.63 93.27 Juwi 94.85 120.72 76.81 107.00 122.04 141.96 110.82 221.99 140.30 Layang 229.70 866.86 1104.80 237.78 661.35 767.48 357.40 435.51 1321.99 Lemuru 200.72 210.58 118.65 213.72 194.07 122.22 202.08 369.79 367.76 5.70 2.08 0.64 6.51 4.56 1.61 5.66 3.10 0.86 Selar Lampiran 29. Pengelompokkan CPUE Berdasarkan Salinitas (Banyar-Bentong-Juwi) 159 160 Lampiran 30. Pengelompokkan CPUE Berdasarkan Salinitas (Layang-Lemuru-Selar) 161 Lampiran 31. Squared cosines of the points-rows Banyar Bentong Juwi Layang Lemuru Selar F1 0.052 0.456 0.961 0.760 0.000 0.449 F2 0.199 0.001 0.024 0.225 0.979 0.061 F3 0.002 0.529 0.015 0.004 0.004 0.440 Lampiran 32. Squared cosines of the points-columns Pekal R Pekal S Kar R Kar S Bawe R Bawe S Bawe T Masa R Masa S Masa T Matas R Matas S Matas T Mks R Mks S Mks T F1 0.932 0.757 0.128 0.438 0.196 0.604 0.662 0.079 0.917 0.710 0.121 0.710 0.312 0.094 0.180 0.718 F2 0.057 0.144 0.362 0.215 0.566 0.378 0.326 0.778 0.000 0.233 0.836 0.220 0.252 0.719 0.680 0.019 F3 0.010 0.079 0.452 0.342 0.125 0.005 0.012 0.033 0.059 0.043 0.015 0.024 0.148 0.144 0.054 0.084 162 Lampiran 33. Ikan Pelagis Dominan (ikan layang) di Laut Jawa Lampiran 34. Beberapa Jenis Ikan Pelagis Kecil di Laut Jawa