Pengaruh Intensitas Cahaya dan Pemupukan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman H. diversifolia Blume
Marga Hoya (Asclepiadaceae) merupakan tanaman tropis dengan pusat
keragaman tertinggi di Semenanjung Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Papua
Nugini (Goyder 1990).
Terdapat sekitar 200 spesies Hoya yang batas-batas
penyebarannya meliputi Bagian Selatan Himalaya, Bagian Selatan Cina dan
Jepang, Kepulauan Fiji, Kepuluan Samoa, Bagian Tropis dari Austr alia, hingga
Madagaskar. H. diversifolia Bl. merupakan Hoya yang terdapat di hampir semua
habitat Hoya , terutama di Indonesia, Filipina dan Malaysia (Burton 1992).
A
B
C
Gambar 1. H. diversifolia Bl.; A. Individu bunga ; B. Bunga majemuk berbentuk
umbell; C. Daun. Sumber: Koleksi Sri Rahayu.
Tumbuhan ini merupakan tumbuhan epifit merambat dengan daun tebal
(sukulen). Seluruh permukaan tumbuhan dilapisi lilin dan menghasilkan getah
putih seperti susu. Daunnya terletak berhadapan, berbentuk bulat telur terbalik
seperti ditunjukkan oleh Gambar 1C. Bunganya merupakan bunga majemuk yang
tersusun dalam tandan berbentuk payung (umbell) (Gambar 1B). Gambar 1A
menunjukkan masing-masing kuntum yang berbentuk bintang dan mempunyai
ornamen tambahan (korona) yang juga berbentuk bintang. Korola pada bunga H.
diversifolia Bl. memiliki warna merah muda yang lembut (warna dadu) dan
permukaannya seperti beludru, sedangkan koronanya mempunyai warna senada
yang lebih tua, terkesan padat seperti lilin (Rahayu 1998).
Organ reproduktif bunga Hoya terdiri atas putik dan benang sari yang
tersusun dalam satu badan bunga yang disebut gynostemium. Stigma melebar
berbentuk persegi lima dan terletak di tengah korona.
membentuk struktur yang disebut pollinia.
Benang sari memadat
Setiap kuntum individu bunga
5
memiliki lima pasang pollinia. Struktur pollinia terdiri atas korpuskulum, yaitu
alat melekatnya badan sari pada masing-masing sudut kepala gynostemium dan
translator aparatus yaitu tangkai sari yang menghubungkan setiap pasang pollinia
(Rahayu 2001).
Pembungaan Tanaman
Pembungaan pada tanaman dapat dipengaruhi oleh faktor endogen, seperti
umur dan ukuran tanaman. Tanaman yang pembungaannya sangat ditentukan
oleh faktor endogen dan tidak membutuhkan kondisi lingkungan tertentu untuk
berbunga disebut sebagai autonomous flowering plants.
Berlawanan dengan
kelompok autonomous flowering plants, beberapa spesies membutuhkan kondisi
lingkungan spesifik untuk dapat berbunga, misalnya panjang hari, kualitas cahaya,
intensitas cahaya, vernalisasi, serta ketersediaan hara dan air (Taiz dan Zeiger
2002). Studi fisiologi telah menghasilkan tiga model utama untuk menjelaskan
pembungaan tanaman, yaitu konsep florigen/ anti-florigen, hipotesis penyebaran
nutrisi (nutrient diversion hypothesis), dan model kendali oleh multi-faktor
(multifactorial control model) (Bernier et al. 1993; Levy dan Dean 1998).
Konsep
florigen
muncul
setelah
ditemukannya
fotoperiodisme.
Fotoperiodisme merupakan kemampuan organisme untuk mendeteksi panjang hari
dan menimbulkan respon musiman. Tanaman dapat diklasifikasikan berdasarkan
responnya terhadap panjang hari, yaitu tanaman hari pendek (short day plant/
SDP) dan tanaman hari panjang (long day plant/ LDP). SDP adalah tanaman
yang dapat berbunga pada hari pendek (short day/ SD), yaitu di bawah periode
cahaya kritis, misalnya 24 jam. Sebaliknya, LDP adalah tanaman yang hanya
dapat berbunga pada hari panjang (long day/ LD), yaitu di atas periode kritis.
Konsep florigen didasarkan pada percobaan penyambungan (grafting) antara SDP
yang terinduksi (tanaman donor) ke LDP non-induksi (tanaman resipien) pada
kondisi lingkungan non-induksi (SD) dapat menyebabkan LDP non-induksi
berbunga.
Walaupun diproduksi sebagai respon terhadap kondisi lingkungan
yang sangat berlainan, florigen diduga merupakan senyawa yang sama atau setara
secara fisiologis pada hampir semua angiosperma.
Dalam konsep florigen
dinyatakan bahwa daun akan menerima sinyal dari lingkungan dan memindahkan
6
stimulus tersebut ke apeks pucuk melalui floem. Stimulus tersebut kemudian
diberi nama florigen.
Bukti bahwa florigen diproduksi di daun ditunjukkan oleh penelitian
defoliasi pada tanaman SDP Xanthium (Salisbury 1963). Bila daun dipotong
segera setelah perlakuan SD, tanaman tetap vegetatif karena florigen belum
dikirim dari daun.
Florigen akan ditranslokasi dalam beberapa jam setelah
perlakuan SD, yang ditunjukkan dengan berbunganya tanaman bila defoliasi
dilakukan beberapa jam setelah perlakuan SD.
Sampai saat ini florigen belum berhasil diisolasi dan diindetifikasi.
Kegagalan dalam mengisolasi dan mengidentifikasi florigen menyebabkan ban yak
peneliti beralih pada model ke dua, yaitu. nutrient diversion hypothesis.
Dalam
konsep nutrient diversion dinyatakan bahwa pada induksi pembungaan, faktor
lingkungan menyebabkan peningkatan jumlah asimilat yang bergerak ke meristem
apikal. Peningkatan asimilat pada meristem apikal akan menyebabkan induksi
pembungaan.
Pendapat bahwa asimilat merupakan satu-satunya hal penting dalam
induksi pembungaan dalam nutrient diversion hypothesis disanggah oleh
multifactorial control model. Dalam model terakhir, terdapat sejumlah senyawa
kimia, termasuk asimilat (sukrosa dan Ca2+ ) dan fitohormon (giberelin, auksin,
dan sitokinin), terlibat dalam induksi pembungaan.
Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Pertumbuhan dan Pembungaan
Cahaya matahari merupakan unsur iklim yang sangat berperan bagi
pertumbuhan tanaman melalui proses fotosintesis. Tiga fak tor utama radiasi yang
penting bagi tanaman yaitu kuantitas (intensitas), kualitas, dan periode lama
penyinaran. Intensitas adalah jumlah energi yang diterima tanaman pada luasan
dan jangka waktu tertentu. Radiasi berpengaruh terhadap laju pertumbuhan, laju
transpirasi dan periode kritis dalam pertumbuhan (Squire 1993).
Reaksi cahaya dalam fotosintesis merupakan akibat langsung penyerapan
foton oleh molekul-molekul pigmen seperti klorofil.
Foton tidak seluruhnya
memiliki tingkat energi yang cocok untuk mengeksitasi pigmen daun. Di atas 760
nm foton tidak memiliki cukup energi, dan di bawah 390 nm foton (bila diserap
7
oleh daun) memiliki terlalu banyak energi sehin gga akan menyebabkan ionisasi
dan kerusakan pigmen. Hanya foton dengan panjang gelombang antara 390 – 760
nm (photosynthetically active radiation/ PAR) yang memiliki energi yang cocok
untuk fotosintesis (Gardner et al. 1991).
Dalam proses fotosintesis, energi cahaya dikonversi ke molekul lebih
tinggi (ATP) dan NADPH, terjadi di dalam pigmen atau kompleks protein yang
menempel pada membran tilakoid yang terletak pada kloroplas. Pigmen tanaman
yang meliputi klorofil a, klorofil b, dan karotenoid termasuk xantofil menyerap
PAR terbaik pada panjang gelombang tertentu (Gambar 2). Klorofil a menyerap
cahaya tertinggi pada kisaran panjang gelombang 420 nm dan 660 nm. Klorofil b
menyerap cahaya paling efektif pada panjang gelombang 440 dan 640 nm,
sedangkan karotenoid termasuk xanthofil mengabsorpsi cahaya pada pada
Laju fotosintesis (%)
Absorpsi (%)
panjang gelombang 425 dan 470 nm (Salisbury dan Ross 1992).
Panjang gelombang (nm)
Gambar 2. Spektrum cahaya yang dapat diserap oleh pigmen tanaman, biasa
disebut photosynthetically active radiation (PAR) (Salisbury dan
Ross 1992).
PAR dikelompokan menjadi dua bagian berdasarkan kisaran panjang
gelombang yang diserap pigmen tanaman yaitu panjang gelombang aktivitas
tinggi (400-500 nm) kelompok cahaya biru, dan panjang gelombang aktif rendah
8
(600-700 nm) kelompok cahaya merah (respon fitokrom). Cahaya merah (respon
fitokrom) aktif untuk induksi fotoperiodisitas pembungaan, perkembangan
kloroplas (tidak termasuk sintesis klorofil), penuaan (senescence) daun dan abisisi
daun. Sedangkan PAR dari 500 -600 nm, kelompok cahaya hijau, tergolong tidak
aktif untuk fotosintesis. Cahaya merah jauh (far-red ) dengan panjang gelombang
700-800 nm juga tidak aktif untuk fotosintesis tetapi banyak mempengaruhi
fotomorfogenesis (Grant 1997).
Menurut Salisbury dan Ross (1992); Grant
(1997), cahaya dengan panjang gelombang lebih pendek akan menghasilkan
energi foton yang lebih besar dari pada cahaya dengan panjang gelombang lebih
panjang.
Adanya naungan dapat menyebabkan rendahnya foton yang dapat
diserap (Neff, Frankhauser dan Chory 2000).
Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Tanaman
Intensitas cahaya dapat mempengaruhi proses metabolisme dalam
tanaman. Intensitas cahaya rendah pada umumnya disebabkan oleh naungan.
Spesies tanaman yang memiliki habitat ternaung (shade plant) memiliki laju
fotosintesis yang lebih rendah, titik kompensasi cahaya yang rendah, serta respon
fotosintesisnya mencapai jenuh pada tingkat radiasi yang lebih rendah dibanding
spesies yang memiliki habitat di daerah terbuka (sun plant). Nilai kejenuhan
cahaya tanaman shade plant lebih rendah karena laju respirasi pada shade plant
sangat rendah, sehingga dengan sedikit saja fotosintesis netto yang dihasilkan
sudah cukup membuat laju pertukaran netto CO2 menjadi nol. Laju respirasi yang
rendah menunjukkan bentuk adaptasi dasar yang memungkinkan tanaman shade
plant mampu bertahan pada lingkungan cahaya terbatas (Salisbury dan Ross
1992).
Pengaruh intensitas cahaya pada metabolisme tanaman pada akhirnya
mempengaruhi morfologi, anatomi, pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar daripada daun tanaman di
tempat terbuka, hal ini disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel
mesofil. Tipisnya helaian daun dimaksudkan agar lebih banyak radiasi matahari
yang diteruskan ke bawah sehingga distribusinya merata sampai pada daun bagian
bawah. Sedangkan melebarnya permukaan daun dimaksudkan agar penerimaan
energi cahaya matahari lebih banyak (Sugito 1999). Lapisan palisade dapat
9
berubah sesuai dengan kondisi cahaya, yang menyebabkan tanaman menjadi
efisien dalam menyimpan energi cahaya untuk perkembangannya. Peran yang
kontras antara sel palisade dan sel bunga karang, yaitu sel palisade dapat
menyebabkan cahaya lewat dan sel bunga karang menangkap cahaya sebanyak
mungkin, menyebabkan absorbsi cahaya yang lebih seragam di dalam daun (Taiz
and Zeiger 1991). Daun yang ternaungi memiliki total klorofil tiap pusat reaksi
yang lebih banyak, memiliki rasio klorofil b/a lebih besar dan biasanya lebih tipis.
Sel palisade daun yang ternaungi lebih pendek daripada daun yang terkena cahaya
penuh dan konsentrasi rubisco lebih sedikit (Taiz and Zeiger 2002).
Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Pembungaan
Salah satu proses perkembangan tanaman yang dipengaruhi oleh intensitas
cahaya adalah pembungaan. Tumbuhan tingkat tinggi mengalami beberapa fase
perkembangan, yang terjadi pada suatu area dinamis yang disebut tunas meristem
apikal. Selama perkembangan post-embryonic, tunas meristem apikal mengalami
beberapa fase perkembangan dengan urutan: 1. fase juvenil, 2. fase vegetatif
dewasa, dan 3. fase reproduktif dewasa. Transisi dari suatu fase ke fase lainnya
disebut dengan perubahan fase.
Transisi dari fase vegetatif dewasa ke fase
reproduktif disebut sebagai pembungaan. Tanaman yang tumbuh pada kondisi
intensitas cahaya rendah mengalami fase juvenil yang lebih lama atau kembali
menjadi juvenil (Taiz dan Zeiger 2002).
Pengaruh intensitas cahaya terhadap
pembungaan beberapa spesies tanaman disampaikan oleh Kinet et al. (1985a),
yaitu terjadinya penghambatan antesis pada bunga mawar Baccara dan tomat
akibat intensitas cahaya rendah, serta meningkatnya pembentukan bunga azalea
pada intensitas cahaya tinggi.
Penyebab utama yang mungkin adalah bahwa
intensitas cahaya yang rendah mengurangi suplai karbohidrat ke apeks, padahal
karbohidrat, terutama sukrosa, memegang peranan penting dalam transisi juvenil
ke dewasa (Taiz dan Zeiger 2002).
.
Pengaruh Pemupukan Terhadap Pertumbuhan dan Pembungaan
Tanaman merupakan organisme autotropik yang mampu menggunakan
energi matahari untuk membentuk komponen tubuhnya dari karbondioksida, air
dan mineral (hara) (Taiz dan Zeiger 2002).
Ketersediaan hara dalam jumlah
10
cukup dan seimbang merupakan faktor penting dalam menjamin pertumbuhan
tanaman yang baik. Pemupukan diperlukan untuk menambah unsur hara dalam
tanah atau media tanam agar diperoleh pertumbuhan dan produksi tanaman yang
baik (Murni dan Faodji 1990). Studi mengenai hara tanaman telah menunjukkan
bahwa mineral tertentu bersifat esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman, dan diklasifikasikan sebagai unsur hara makro dan mikro tergantung
pada jumlahnya dalam jaringan tanaman. Nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K),
kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan sulfur (S) diperlukan tanaman dalam jumlah
banyak sehingga disebut unsur hara makro. Unsur besi (Fe), mangan (Mn),
tembaga (Cu), seng (Zn), boron (B), molibdenum (Mo), dan khlor (Cl) digunakan
dalam jumlah sedikit sehingga disebut unsur hara mikro (Marschner 1995).
Tiap unsur hara memegang peranan penting dalam tanaman, yaitu menjadi
bagian dari senyawa karbon (N dan S), berperan dalam menyimpan energi dan
mempertahankan kesatuan struktur tanaman (P, Si, dan B), tetap dalam bentuk ion
sebagai penyeimbang turgor, bagian dari enzim dan koenzim (K, Ca, Mg, Cl, Mn,
dan Na), serta terlibat dalam reaksi redoks (Fe, Zn, C u, Ni, dan Mo). Hara dalam
jumlah yang cukup dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman,
sebaliknya kekurangan dan kelebihan hara dapat menyebabkan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman yang tidak normal (Taiz dan Zeiger 2002).
Ketersediaan hara bagi tanaman sangat dipengaruhi pH media tanam.
Menurut Diatloff (1998), pH merupakan singkatan dari Pandus hydrogenii
(potential hydrogen) yaitu nilai (dari 1 sampai 14) yang menunjukkan sifat asam
atau basa dari suatu larutan.
Pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan asal
Belanda, S. P. L. Sorensen pada tahun 1909 untuk menjelaskan konsentrasi ionion hidrogen yang berukuran sangat kecil.
Nelson (1998) menyatakan bahwa
ketersediaan semua nutrisi penting dalam media tanpa tanah berada pada kisaran
nilai pH 5.4 – 6.0. Rendahnya pH menyebabkan peningkatan kandungan Fe, Mg,
dan Al terlarut, dan menurunkan ketersediaan Ca, Mg, S, dan Mo. Pada pH
tinggi, sebaliknya terjadi penurunan ketersediaan P, Fe, Mg, Zn, Cu, dan B.
Jumlah unsur hara yang terkandung dalam suatu larutan (misalnya larutan
tanah) dicerminkan oleh nilai EC. Konduktivitas listrik (Electrical conductivity,
EC) atau disebut juga faktor konduktivitas (Conductivity Factor, CR) atau Daya
11
Hantar Listrik (DHL) adalah nilai yang menunjukkan kadar garam dalam suatu
larutan (Morgan 2000).
Perubahan EC dalam suatu larutan berbanding lurus
dengan banyaknya unsur hara yang terkandung dalam larutan nutrisi. Semakin
banyak unsur hara yang terkandung dalam larutan nutrisi, maka nilai EC akan
semakin tinggi (Permatasari 2001).
Nilai EC akan semakin menurun dengan
bertambahnya ukuran tanaman karena terjadinya penyerapan unsur hara oleh
tanaman (Roan 1998).
Nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K), merupakan unsur yang
dibutuhkan dalam jumlah tinggi oleh tanaman. Nitrogen merupakan komponen
penyusun asam amino, protein, nukleotida, klorofil, dan koenzim.
Fosfor
berperan dalam pembentukan senyawa berenergi tinggi (ATP dan ADP), asam
nukleat, dan fosforilasi gula.
Kalium memegang peranan penting sebagai
kofaktor enzim dan pembukaan stomata. Bila unsur-unsur tersebut tidak tersedia
dalam jumlah cukup dalam tanah atau media tanam, maka perlu dilakukan
pemupukan. Pemupukan adalah upaya menambahkan unsur hara ke dalam tanah
atau media tanam dalam rangka mendukung pertumbuhan dan perkembangan
tanaman (Briggs dan Calvin 1987).
Peran pemupukan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman telah
banyak dilaporkan.
Respon tanaman terhadap pemupukan berbeda-beda
tergantung pada spesies. Secara umum, unsur N akan mendukung pertumbuhan
vegetatif tanaman dan menunda pembungaan, namun Kinet et al. (1985a)
menyatakan
bahwa
pada
beberapa
spesies
lain
N
meningkatkan
perkembangan bunga dan jumlah bunga yang terbentuk.
laju
Kekurangan K
mengakibatkan ukuran bunga mawar yang lebih kecil bahkan gagal mekar, dan
kekurangan P menunda anthesis pada tomat, namun sebaliknya konsentrasi K dan
P yang tinggi menghambat produksi bunga pada azalea (Kinet et al. 1985a).
Interaksi antar berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi pembungaan.
Sebagai contoh, tanaman hari panjang Silene armeria, dapat berbunga pada hari
pendek akibat berubahnya faktor lingkungan lain, dan salah satunya adalah nutrisi
(Bernier et al. 1993).
Download