BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN
LEASING
2.1 TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN WANPRESTASI
2.1.1 Pengertian Perjanjian
Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua orang atau dua
pihakmengenai hal-hal pokok yang menjadi objek dari perjanjian. Kesepakatan
itu timbul karena adanya kepentingan dari masing-masing pihak yang saling
membutuhkan. Perjanjian juga dapat disebut sebagai persetujuan, karena dua
pihak tersebut setuju untuk melakukan sesuatu.
Definisi perjanjian batasan sudah diatur dalam Pasal 1313 KUHperdata
yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih.1Definisi perjanjian tersebut sebenarnya tidak lengkap, karena hanya
mengatur sepihak, dan juga sangat luas, Oleh karena hal itu banyak pendapat
mengenai definisi perjanjian menurut para sarjana, antara lain:
Menurut Subekti, kata sepakat berarti suatu persesuaian paham dan
kehendak antara dua pihak. Berdasarkan pengertian kata sepakat tersebut
berarti apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak
1
Mariam Darus Badrulzaman,1996, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Buku III
tentang Hukum Perikatan dengan penjelasannya, Alumni, Bandung, hal.23
yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik kedua kehendak
itu bertemu satu sama lain.2
Menurut Abdulkadir perjanjian adalah suatu persetujuan dengan
mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu
hal dalam lapangan harta kekayaan.3 Uraian tersebut memberikan makna bahwa
perjanjian selalu merupakan perbuatan hukum persegi dua atau jamak, untuk itu
diperlukan kata sepakat para pihak. Ada beberapa pakar atau ahli hukum lain
yang memberikan definisi yang berbeda pada perjanjian.
Pengertian perjanjian menurut Handri Raharjo, Suatu hubungan hukum
dibidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek
hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para
pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek
hukum yang satu berhak atas prestasi dan subjek hukum yang lain
berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan
yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat
hukum.4
Rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata, jika
diperhatikan secara seksama menyiratkan bahwa sesungguhnya dari suatu
perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak)
kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut
dan akan memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan
selalu ada dua pihak, dimana satu pihak tersebut adalah pihak yang wajib
berprestasi (debitur)atau lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut
(kreditur).
2
3
Subekti I, op,cit, hal 26.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra.Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal
34
4
Handri Raharjo,op.cit, hal. 42.
2.1.2
Syarat sahnya perjanjian
Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukan. Ilmu hukum
mengenal empat unsur pokok yang harus ada agar suatu perbuatan hukum dapat
disebut dengan perjanjian yang sah, menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu:
1) Sepakat untuk mengikatkan diri;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3) Suatu hal tertentu;
4) Sebab yang halal.
Berikut ini akan penulis uraikan lebih lanjut mengenai syarat sahnya
perjanjian diatas:
Ad.1. Sepakat untuk mengikat diri
Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan
perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala
sesuatu yang diperjanjikan.Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas,
artinya
tidak
ada
pengaruh
dipihak
ketiga
dan
tidak
ada
gangguan.Sepakat atau dinamakan juga perizinan, bahwa kedua belah
pihak, dalam suatu perjanjian harus mempunyai kehendak yang bebas
untuk mengikatkan diri pada yang lain. Kehendak ini dapat dinyatakan
dengan tegas atau secara diam-diam. Kehendak yang bebas ini dianggap
tidak ada jika perjanjian itu
terjadi karena paksaan (dwang), kehilafan (dwaling), atau penipuan
(bedrog)5
Ad.2.Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
berarti mempunyai
wewenang untuk membuat perjanjian atau mengadakan hubungan hukum.
Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah
cakap menurut hukum.Beberapa golongan orang yang “tidak cakap”
untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum menurut ketentuan
Pasal 1330 KUH Perdata adalah:
1.Orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang dibawah pengawasan (curatele)
3.Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang telah dilarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.6
Baik yang belum dewasa maupun masih dibawah pengawasan apabila
mereka akan melakukan perbuatan hukum harus diwakilkan oleh wali
mereka. Ketentuan mengenai seorang perempuan bersuami pada saat
melakukan perbuatan hukum harus mendapat ijin dari suaminya sudah
tidak berlaku lagi dalam Pasal 108 dan 110 Surat edaran Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 1963, karena sudah diperkuat menurut ketentuan
Pasal 31 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
5
Juajir Sumardi, op,cit, hal. 50.
Subekti, 2004, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, hal 17
6
Ad.3.Suatu hal tertentu
Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian bahwa suatu perjanjian harus
mengenai oleh suatu hal tertentu yang merupakan pokok perjanjian yaitu
objek perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan
kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1333 KUHPerdata
menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu
pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya, tidaklah menjadi halangan
bahwa suatu barang tidak ditentukan/tertentu, asalkan saja jumlahnya
kemudian dapat
ditentukan/dihitung, dalam Pasal 1334 KUHPerdata
barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok
perjanjian, dengan hal ini jelas bahwa yang dapat menjadi pokok
perjanjian adalah barang-barang yang sudah ada dan baru akan ada.
Ad.4.Suatu sebab yang halal
Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk
mencapainya.Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal
ialah jika ia dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan tata susila
atau ketertiban.7 Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab
yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi
hukum. Dengan demikian tidak ada dasar menuntut pemenuhan perjanjian
dimuka hakim karena semula dianggap tidak ada perjanjian. Apabila
perjanjian yang dibuat tidak ada causa maka tidak ada suatu perjanjian.
7
Juajir Sumardi, luc.cit
Dari keempat syarat sahnya suatu perjanjian tersebut diatas, harus benarbenar dipenuhi didalam membuat suatu perjanjian, Pada dua syarat yang
pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat- syarat subyektif.
Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif, karena
mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang
dilakukan.8Apabila syarat kesatu dan kedua (syarat subjektif ) tidak dipenuhi
maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak dapat
meminta pada hakim agar perjanjian itu dibatalkan sedangkan apabila syarat
ketiga dan keempat (syarat objektif) tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal
demi hukum artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian.
2.1.3
Asas asas perjanjian
Adapun yang dimaksud dengan asas adalah latar belakang dari suatu
peraturan yang kongkrit, Di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 ( lima ) asas
yang dikenal menurut hukum perdata, sebagaimana halnya dengan perjanjian
pada umumnya yang diatur dalam KUHP Perdata, asas itu antara lain adalah;
1) Asas kebebasan berkontrak (Freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat
secara
sah
berlaku
sebagai
undang-undang
bagi
mereka
yang
membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
8
Ali Hasymi, 2011, Hukum Asuransi Indonesia, Sinar Grafika Offset, Jakarta, hal.56.
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.9
Dipertegas kembali dengan ketentuan ayat 2 yang menyatakan
bahwa perjanjian yang disepakati tidak dapat ditarik kembali secara
sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tanpa adanya
persetujuan dari lawan pihak atau dalam dimana oleh undang-undang
dinyatakan cukup adanya alasan itu. Latar belakang lahirnya asas
kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara
embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum
Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui
antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke
dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas
untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan
berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible
handakan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena
pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam
kehidupan
sosial
ekonomi
masyarakat.
Paham
individualisme
memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk
9
Ibid, hal.69.
menguasai golongan lemah ekonomi.Pihak yang kuat menentukan
kedudukan pihak yang lemah.Pihak yang lemah berada dalam
cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation
de homme par l’homme.
2) Asas konsensualisme (Concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat
(1) KUHPerdata.Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah
pihak.Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada
umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak.Asas konsensualisme muncul diilhami
dari hukum Romawi dan hukum Jerman.Didalam hukum Jerman tidak
dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan
perjanjian riil dan perjanjian formal.Perjanjian riil adalah suatu
perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat
disebut secara kontan).Sedangkan perjanjian formal adalah suatu
perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa
akta otentik maupun akta bawah tangan).Dalam hukum Romawi dikenal
istilah contractus verbis literis dan contractus innominate yang artinya
bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah
ditetapkan.Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPerdata adalah
berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3) Asas kepastian hukum (Pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt
servanda
merupakan
asas
yang
berhubungan
dengan
akibat
perjanjian.Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau
pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak.10
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338
ayat(1) KUHPerdata.Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum
gereja.Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu
perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan
dikuatkan dengan sumpah.Hal ini mengandung makna bahwa setiap
perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang
sakral
dan
dikaitkan
dengan
unsur
keagamaan.Namun,
dalam
perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai
pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah
dan tindakan formalitas lainnya.Sedangkan istilah nudus pactum sudah
cukup dengan kata sepakat saja.
10
Abdulkadir Muhammad, op,cit, hal.70.
4).
Asas itikad baik (Good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata
yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas
ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur
harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.Asas itikad
baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik
mutlak.11Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan
tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian
terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif
untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma
yang objektif.
4) Asas kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa
seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk
kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315
dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan:
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas
bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk
kepentingan dirinya sendiri.
11
Ibid. hal.70.
Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara
pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian
yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya
sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan: “Dapat
pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini
mengkonstruksikan
bahwa
seseorang
dapat
mengadakan
perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu
syarat yang ditentukan.Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata,
tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk
kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak
daripadanya.
Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata
mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal
1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan
orang-orang
yang
Dengandemikian,
memperoleh
Pasal
1317
hak
dari
KUHPerdata
yang
membuatnya.
mengatur
tentang
pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang
lingkup yang luas..12
12
Juanjir Sunardi, op,cit, hal 101
2.1.4
Wanprestasi
Adakalanya suatu perjanjian telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian, tidak juga dapat terlaksana sebagaimana yang telah diperjanjikan.
Dalam hukum perjanjian, ada dua hal yang menyebabkan tidak terlaksananya
suatu
perjanjian
yaitu:
wanprestasi/ingkar
janji/cidera
janji
dan
overmacht.Perjanjian pada umumnya akan diakhiri dengan pelaksanaaan sesuai
dengan persyaratan yang tercantum di perjanjian.Pemenuhan perjanjian atau
hal-hal yang harus dilaksanakan disebut prestasi, sebaliknya apabila si berutang
atau debitur tidak melaksanakannya, maka ia disebut wanprestasi. Menurut
Prodjodikoro, Wanprestasi adalah “Tidak adanya suatu prestasi dalam
perjanjian, ini berarti bahwa suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu
perjanjian”. Dalam istilah Bahasa Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan
janji untuk prestasi sedangkan ketiadaan pelaksanaan janji untuk wanprestasi.
Wanprestasi dapat disebabkan oleh adanya kesalahaan debitur yang meliputi
sebagai berikut:
1. Kesengajaan
adalah
perbuatan
yang
menyebabkan
terjadinya
wanprestasi tersebut diketahui oleh debitur. Dalam hal ada kesengajaan,
maka timbulnya kerugian memang dikehendaki. Dalam perundangundangan, pada umumnya akibat dari kesengajaan lebih berat daripada
kelalaian, seperti ganti ruginya lebih besar.
2. Kelalaian adalah debitur melakukan kesalahan akan tetapi perbuatan itu
tidak dimaksudkan untuk terjadinya wanprestasi yang kemudian
ternyata menimbulkan prestasi. Dalam hukum, Kelalaian merupakan
faktor yang membawa akibat hukum yang penting, sebab sekarang
dengan adanya unsur kelalaian pada debitur dapat dikatakan bahwa
debitur telah melakukan wanprestasi dan ini bisa membawa akibat lain
lagi, yaitu antara lain masalah kewajiban ganti rugi.
Kalau debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi
sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya,
maka dikatakan bahwa debitur wanprestasi. Wujud wanprestasi bisa:
a. Debitur sama sekali tidak berprestasi
b. Debitur keliru berprestasi
c. Debitur terlambat berprestasi
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya
hal itu karena adanya unsur kesalahan yang dilakukan oleh si debitur, hal
tersebut maka akan ada akibat-akibat hukum yang akan dituntut atas tuntutan
dari kreditur yang menimpa debitur atau si berhutang, sebagai yang disebutkan
dalam Pasal 1236 dan 1243 dalam hal debitur lalai untuk memenuhi kewajiban
perikatannya, kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian, yang
berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga, Selanjutnya pada Pasal 1237
menyebutkan, bahwa sejak debitur lalai, maka risiko atas objek perikatan
menjadi tanggungan debitur. Apabila kalau perjanjian itu berupa perjanjian
timbal balik, maka berdasarkan Pasal 1266 kreditur berhak untuk menuntut
pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi,
tetapi kesemuanya itu tidak mengurangi hak dari kreditur untuk tetap menuntut
pemenuhan
2.2
TINJAUAN UMUM MENGENAI LEASING
2.2.1 Pengertian Leasing
Leasing berasal dari bahasa inggris, yaitu lease yang dalam
pengertianumum mengandung arti menyewakan. Pada hakikatnya leasing
bukanlah seperti apa yang dimaksud dengan rent atau rental. Leasing bukanlah
merupakan perjanjian sewa menyewa biasa antara leasing dan sewa menyewa
memiliki kontruksi yang sama. Salah satu pihak menggunakan barang
kepunyaan pihak lainnya yang disertai pembayaran berkala. Leasing
menyangkut subjek dan objek dari perjanjian tertentu. Sedangkan dalam
perjanjian sewa menyewa tidak demikian, subjek dan objeknya tidak
ditentukan, subjek dapat perorangan atau perusahaan. Secara umum leasing
artinya Equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan/barang modal untuk
digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Pengertian leasing menurut Surat Keputusan Bersama Menteri
Keuangan dan Menteri Perdagangan dan Industri Republik Indonesia No. KEP122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974, dan Nomor 30/Kpb/I/1974
tanggal 7 Februari 1974 adalah:
Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan
barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk
jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara
berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli
barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka
waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang telah disepakati bersama.13
Definisi leasing dalam Surat Keputusan Bersama tersebut pada
pengertian leasingpada finance lease, artinya bahwa penyewa guna usaha
penyewa guna usaha akan diberikan hak opsi pada masa akhir kontrak .untuk
membeli objek atau memperpanjangnya. Ada empat unsur yang terkandung
dalam Surat Keputusan bersama tersebut, yaitu:
1.
Penyediaan barang modal
2.
Jangka waktu tertentu
3.
Pembayaran dilakukan secara berkala, dan
4.
Adanya
hak
opsi
yaitu
hak
memilih
untuk
membeli
atau
memperpanjang.
Adapun definisi lain mengenai pengertian leasing menurut R. Subekti
adalah “Tidak lain dari pada perjanjian sewa–menyewa yang telah berkembang
di kalangan para pengusaha, dimana lessor menyewakan suatu perangkat alat
perusahaan (mesin–mesin) termasuk service, pemeliharaan dan lain–lain
kepada lessee untuk suatu jangka waktu tertentu.”14
Leasingsebagai salah satu alternatif pembiayaan yang memberikan
kemudahan-kemudahan dibandingkan peminjaman di Bankdengan melakukan
13
Ahmad Anwari, op,cit, hal.10.
Andasasmita,1989, Komar. Serba- Serbi Tentang Leasing ,Teori Dan Praktek,.
Ikatan Notaris Indonesia, Bandung , hal. 23.
14
leasing perusahaan dapat memperoleh barang modal dengan jalan sewa beli
untuk dapat langsung digunakan berproduksi, yang dapat diangsur setiap bulan,
triwulan atau enam bulan sekali kepada pihak perusahaan leasing.Melalui
pembiayaan leasing perusahaan dapat memperoleh barang-barang modal untuk
operasional dengan mudah dan cepat. Hal ini sungguh berbeda jika kita
mengajukan kredit kepada bank yang memerlukan persyaratan serta jaminan
yang besar.
Bagi perusahaan yang modalnya kurang atau menengah, dengan
melakukan perjanjian leasing akan dapat membantu perusahaan dalam
menjalankan roda kegiatannya. Setelah jangka leasing selesai, perusahaan
dapat membeli barang modal yang bersangkutan. Perusahaan yang memerlukan
sebagian barang modal tertentu dalam suatu proses produksi secara tiba-tiba,
tetapi tidak mempunyai dana tunai yang cukup, dapat mengadakan perjanjian
leasing untuk mengatasinya. Dengan melakukan leasing akan lebih menghemat
biaya dalam hal pengeluaran dana dibanding dengan membeli secara tunai.
Munculnya lembaga leasing merupakan alternatif yang menarik bagi
para pengusaha karena saat ini mereka cenderung menggunakan dana rupiah
tunai untuk kegiatan operasional perusahaan. Melalui leasing mereka bisa
memperoleh dana untuk membiayai pembelian barang-barang modal dengan
jangka waktu pengembalian antara tiga tahun hingga lima tahun atau lebih.
Disamping hal tersebut di atas para pengusaha juga memperoleh keuntungankeuntungan lainnya seperti kemudahan dalam pengurusan, dan adanya hak
opsi.Suatu keuntungan lain jika ditinjau dari laporan keuangan fiskal adalah
transaksi capital lease diperhitungkan sebagai operational lease pembayaran
lease dianggap sebagai biaya mengurangi pendapatan kena pajak. Tetapi tidak
begitu halnya jika ditinjau dari segi komersial.15
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka pada prinsipnya
pengertian leasing terdiri dari beberapa elemen di bawah ini:
1. Pembiayaan perusahaan
2. Penyediaan barang-barang modal
3. Jangka waktu tertentu
4. Pembayaran secara berkala
5. Adanya hak pilih (option right)
6. Adanya nilai sisa yang disepakati bersama
7. Adanya pihak lessor
8. Adanya pihak lessee
Lembaga leasing sebagai salah satu bentuk usaha di bidang pembiayaan
perusahaan oleh masyarakat bisnis baik kelas menengah ataupun atas di
Indonesia memberikan angin segar bagi pengusaha di Indonesia, karena pada
gilirannya dapat berperan meningkatkan pendapatan nasional. Walaupun
istilahnya berbeda, sebenarnya substansi pengertian leasing dengan kredit
hampir sama, perbedaannya hanya terletak pada proses pemberian dana dari
kreditur kepada debitur, maupun dari lessor kepada lessee.
15
Ibid. hal. 29.
2.2.2 Perjanjian leasing
Perjanjian leasingmerupakan perjanjian konsensuil antara lessor dengan
lessee
yang
akan
melahirkan
hubungan
hutang
piutang,
dimana
lesseeberkewajiban untuk membayar kembali pinjaman yang diberikan
olehlessor, dengan berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan serta kondisi yang
telah disepakati oleh para pihak. Ciri-ciri perjanjian leasing adalah sebagai
berikut:
1. Adanya hubungan tertentu antara jangka waktu perjanjian dengan unsur
ekonomis barang yang menjadi objek perjanjian.
2. Adanya pemisahan kepentingan atas benda yang menjadi objek
perjanjian.Hak milik yuridis tetap berada pada pihak lessor dan hak
menikmati benda diserahkan kepada lessee
3. Adanya kewajiban untuk memberikan untuk memberikan penggantian
atas kenikmatan yang diperoleh.
Dalam perjanjian khususnya perjanjian leasing juga memiliki kebijakan
tentang kebijakan ganda dalam pasar leasing dimana lessee yang berbeda
didalam resikonya. Dalam penyelidikan ciri khas dari keseimbangan perjanjian
dapat menunjukkan bahwa debitur tidak berbeda dengan lessee yang lain
meskipun lessee lainnya memilih lessor yang paling dominan. Serta,
pembayaran kembali juga jaminan tidak ditentukan pada resiko proyek masingmasing lessee.
Menurut Pengumuman Direktorat Jenderal Moneter Nomor Peng307/DJM III.1/7/1974 isi perjanjian leasing harus memuat keterangan terperinci
mengenai:
1. Objek perjanjian finansial lease;
2. Jangka waktu finansial lease;
3. Harga sewa serta cara pembayarannya;
4. Kewajiban perpajakan;
5. Penutupan asuransi;
6. Perawatan barang;
7. Penggantian dalam hal barang hilang/ rusak.
Memahami isi perjanjian sewa guna usaha (lease agreement) tersebut
dapat disimpulkan bahwa prestasi (kontra prestasi) dalam perjanjian leasing
adalah suatu kewajiban dan syarat dalam (promissory condition). Dikatakan
demikian karena salah satu pihak, dalam hal ini lessor, terlebih dahulu wajib
menyetujui memberikan fasilitas kepada lessee (prestasi) Karena masingmasing pihak mempunyai kewajiban, maka perjanjian leasing dapat juga
disebut perjanjian bilateral. Dalam Black's Law Dictionary perjanjian bilateral
diartikan sebagai: “Bilateral (or resiprocal) contracts are those by which the
parties expressly enter into mutual engangements, such as sale of hire"
(perjanjian bilateral, atau timbal balik adalah perjanjian yang para pihaknya
masing-masing berjanji, seperti misalnya dalam jual beli dan sewa). Hal ini
membedakan dari perjanjian yang unilateral dimana salah satu pihak saja yang
melakukan prestasi tanpa menerima balasan janji atau berjanji untuk melakukan
kontra prestasi dari lawannya.Aspek yuridis pada suatu perjanjian leasing yaitu
adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri.16Sehingga, analisis secara
yuridis yang akan dilakukan oleh perusahaan leasing terhadap calon lessee
meliputi tentang analisis terpenuhinya syarat – syarat sahnya suatu perjanjian
yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kesepakatan
diantara kedua pihak yaitu pihaklessor dengan pihak calon lessee.
Dalam buku III Perdata tidak dicantumkan secara tegas yang menjadi
ketentuan yang khusus mengatur perjanjian
leasing.Namun demikian
berdasarkan asas kebebasan berkontrak dimana para pihak bebas untuk
menentukan isi dari perjanjian leasing sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Dengan adanya
kesepakatan yang telah ditandatangani atas perjanjian leasing tersebut oleh para
pihak, maka pada saat
itu perjanjian lahir dan mengikat para pihak yang
membuatnya sebagai undang – undang. Dalam pasal – pasal dari buku III Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
merupakan
hukum
pelengkap
(aanvullendrecht) berarti bahwa para pihak dalam perjanjian diperbolehkan
mengesampingkan peraturan – peraturan yang termuat dalam buku III Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata. Para pihak diberi kebebasan mengadakan
16
Sutan Remi Syahdeni, op,cit,hal.146
perjanjian yang berisi apa saja sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan
kesusilaan.17
Dalam hukum perjanjian mengandung sistim terbuka dimana asas
kebebasan yang dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya,
maka perjanjian mempunyai arti penting pada saat ditetapkan kapan lahirnya
suatu perjanjian diantaranya adalah :
a. Kesempatan penarikan kembali atas penawaran;
b. Penentuan resiko
c. Pada saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluarsa;
d. Menentukan tempat terjadinya perjanjian
2.2.3Dasar hukum leasing
Dalam KUH Perdata
dikenal
ialah
praktiknya.
tidak mengenal lembaga leasing tetapi yang
Menurut
sejarahnya,
leasing
pertama
kali
diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1877, oleh Bell Telephone
Company untuk memasarkan hasil produksinya dan pada saat itu perusahaan
sulit mendapatkan kredit jangka menengah dan panjang, kegiatan leasing
berkembang kembali di Eropa Barat pada tahun 1960. Di Indonesia leasing
baru dikenal melalui surat keputusan bersama Menteri Keuangan dan Menteri
Perdagangan
17
Republik
Indonesia
dengan
No.KEP-122/MK/IV/2/1974,
Rudyanti Derotea tobing, 2014, Hukum Perjanjian Kredit, Penerbit Laksbang
Grafika Sleman Yogyakarta, hal 200.
No.32/M/SK/2/1974,dan No.30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang
perizinan
usaha
leasing.
Sejalan
dengan
perkembangan
waktu
dan
perekonomian Indonesia permasalahan yang melibatkan leasing semakin
banyak dan kompleks.18 Mulai dari jenis leasing yang paling sederhana sampai
yang rumit. Perbedaan jenis leasing menyebabkan perbedaan dalam
pengungkapan laporan keuangan, perlakuan pajak dan akibatnya pada pajak
penghasilan badan akhir tahun. Capital lease dan operating lease sama-sama
dikenakan pajak pertambahan nilai, sedangkan untuk operating lease
disamping dikenakan pajak pertambahan nilai juga dikenakan pemotongan
pajak penghasilan pasal 23, hal ini karena diperlakukan sebagai sewa menyewa
biasa. Biaya-biaya yang berkaitan dengan transaksi lease dianggap sebagai
biaya usaha bagi pihak lessee.
Berikut adalah Peraturan Perundangan yang mendasari leasing:
1. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan
dan
Menteri
32/M/SK/2/1974
Perindustrian
dan
No.
Kep.
No.30/Kpb/I/1974
122/MK/2/1974,
tanggal
7
No.
Februari
1974tentang Perijinan Usaha leasing.
2. SK Menteri Keuangan Nomer 650/MK/IV/5/1974 tanggal 6 Mei 1974
tentang penegasan ketentuan pajak penjualan dan besarnya besarnya
bea meterai terhadap usaha leasing.
18
Suharnoko, 2008, Hukum PerjanjianTeori dan Analisa Kasus, Prenada Media Group,
Jakarta, hal. 45.
3. Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tanggal 20
Desember 1988.
4. Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan.
5. Keputusan Menteri Keuangan RI No.84/PMK.012/2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan.
6. Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
:
448/KMK.017/2000 Tentang Perusahaan Pembiayaan.
7. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor:634/KMK.013/1990 tentang
pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna
Usaha (Perusahaan Leasing).
8. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1169/KMK.01/1991 tentang
Ketentuan Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)
Keputusan-keputusan itulah yang menjadi dasar hukum berlakunya
leasing di Indonesia.Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
khusus mengatur leasingmenjamin kepastian hukum para pihak dalam
melakukan perjanjian berdasarkan prinsip leasing.
2.2.4 Pihak-pihak yang terlibat dalam leasing
Berikut akan dijabarkan peran dan kedudukan para pihak yang terlibat
dalam perjanjian leasing :
1. Lessor
Lessor merupakan perusahaan leasing atau pihak yang memberikan jasa
pembiayaankepada pihak lessee dalam bentuk barang modal.19 Dalam
finanse lease, lessor bertujuan untukmendapatkan kembali biaya yang
telah dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang modaldengan
mendapatkan keuntungan.
2. Lessee
Lesseeadalah perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan
dalam bentuk barang modaldari lessor.20 Dalam lease finance, lessee
bertujuan untuk mendapatkan pembiayaan berupa barangatau peralatan
dengan cara pembayaran angsuran atau secara berkala. Pada akhir masa
kontrak,lessee memiliki hak opsi atas barang yang, yang berarti bahwa
pihak lessee memiliki hak untukmembeli barang yang di-lease dengan
harga berdasarkan nilai sisa. Dalam operating lease, lessee bertujuan
dapat memenuhi kebutuhan peralatannya di samping tenaga operator
dan perawatanalat tersebut tanpa resiko bagi lessee terhadap kerusakan.
3. Supplier
Supplier yaitu perusahaan atau pihak yang mengadakan atau
menyediakan barang untuk dijualkepada lessee dengan pembayaran
secara tunai oleh lessor.21 Dalam finance lease, supplierlangsung
19
Andasasmita,op.cit,hal. 45
Andasasmita,op.cit,hal. 47
20
menyerahkan barang kepada lessee tanpa melalui pihak lessor sebagai
pihak yangmemberikan pembiayaan. Dalam operating lease, supplier
menjual barangnya langsung kepadalessor dengan pembayaran sesuai
dengan kesepakatan kedua belah pihak baik secara tunaimaupun kredit
yang nantinya akan dilunasi dengan angsuran.
4. Bank
Dalam suatu perjanjian kontrak leasing, pihak bank atau kreditur tidak
terlibat secara langsungdalam kontrak tersebut tetapi bank memegang
peranan dalam hal menyediakan dana kepadalessor. Dalam hal ini, tidak
menutup kemungkinan supplier menerima kredit dari bank.
5. Asuransi
Merupakan perusahaan yang akan menanggung resiko terhadap
perjanjian antara lessor denganlessee
21
Andasasmita,op,cit, hal. 48.
Download