15 bab 2 tinjauan yuridis perjanjian kerja waktu tertentu dalam

advertisement
BAB 2
TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG KETENAGAKERJAAN
2.1
Perjanjian secara Umum
Pada umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu perjanjian
yang mendahului hubungan hukum tersebut. Secara umum suatu perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain dan
dimana kedua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal.30 Dengan
adanya pengertian tentang perjanjian tersebut, bisa disimpulkan bahwa
kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan
seimbang.
Dalam hal perjanjian, tidak ada 1 (satu) pun peraturan yang mengikat
terhadap bentuk dan isi perjanjian, karena dijamin dengan “asas kebebasan
berkontrak”, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada
dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi berbagai macam
perjanjian asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum.31 Asas kebebasan berkontrak tersebut dituangkan dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dengan memperhatikan Pasal 1320, Pasal 1,
Pasal 1337 KUH Perdata.
Dalam suatu perjanjian termuat beberapa unsur, yaitu:32
a. Ada pihak-pihak
b. Ada persetujuan antara para pihak
c. Ada tujuan yang akan dicapai
d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan
e. Ada bentuk tertentu
f. Ada syarat-syarat tertentu
30
Soebekti, Aneka Perjanjian, (Alumni Bandung:1994), hal. 1
Djumadi. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999).
Hal. 10.
32
Abdul Kadir Muhamad, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982) , hal.78.
31
15
Universitas Indonesia
Pelaksanaan perjanjian..., bagus Prasetyo, FH UI, 2011.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, suatu perjanjian yang telah
memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai suatu perjanjian yang
sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan menjadi Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian
diakui oleh undang-undang (legally concluded contract) haruslah sesuai
dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam Pasal
1320 KUHPerdata menyebutkan bahwa “untuk sahnya perjanjian-perjanjian
diperlukan empat syarat, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Maksudnya adalah kedua belah pihak atau para pihak yang mengadakan
perjanjian tersebut haruslah bersepakat dan setuju atas hal-hal yang
diperjanjikan dengan tanpa ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Maksudnya adalah yang dapat membuat suatu perjanjian adalah mereka
yang bisa dikategorikan sebagai pendukung hak dan kewajiban, yaitu
orang dan badan hukum. Jika yang membuat perjanjian adalah badan
hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan
hukum, antara lain:
a. ada harta kekayaan yang terpisah;
b. mempunyai tujuan tertentu;
c. mempunyai kepentingan sendiri;
d. ada organisasi.
Dengan terpenuhinya keempat syarat tersebut, maka badan hukum tersebut
bisa disebut sebagai subyek hukum dan bisa melakukan hubungan hukum
yang antara lain sebagai salah satu pihak dalam suatu perjanjian. Jika yang
membuat perjanjian adalah orang, maka orang yang dianggap sebagai
subyek hukum adalah orang yang tidak termasuk dalam Pasal 1330
KUHPerdata, yaitu
a. Orang yang belum dewasa;
b. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c. orang perempuan yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua
orang kepada kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
suatu perjanjian-perjanjian tertentu. Namun bagi seorang perempuan,
16
Universitas Indonesia
Pelaksanaan perjanjian..., bagus Prasetyo, FH UI, 2011.
setelah adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka ketentuan dalam Pasal 1330 ini sudah tidak berlaku
lagi. {Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2).}
Berdasarkan ketentuan tersebut maka yang termasuk dalam ketiga criteria
tersebut tidak bisa membuat suatu perjanjian, dan sebaliknya yang tidak
termasuk dalam ketiga kriteria tersebut dapat membuat suatu perjanjian.
3. Suatu hal tertentu
Maksudnya sesuatu yang di dalam perjanjian tersebut harus telah
ditentukan dan disepakati sebagai obyek suatu perjanjian.
4. Suatu sebab yang halal
Maksudnya adalah apa yang diperjanjikan merupakan sesuatu yang tidak
dilarang oleh Undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan
ketertiban umum.
2.2
Perjanjian Kerja
Dalam mengadakan suatu perjanjian, para pihak tidak selalu
mempunyai kedudukan yang sama dari pihak lainnya. Kita dapat melihat hal
ini pada perjanjian kerja yang terdapat unsur wewenang perintah didalamnya.
Sebagai salah satu sumber hukum perburuhan, dengan adanya unsur
wewenang perintah dalam perjanjian kerja berarti antara kedua belah pihak
ada kedudukan yang tidak sama yaitu yang memerintah dan yang diperintah.
Kedudukan
yang
tidak
sama
disebut
pula
hubungan
diperatas
(dienstverhoeding)..33 Jadi, bila seseorang telah mengikatkan diri dalam suatu
perjanjian kerja, berarti ia secara pribadi otomatis harus bersedia bekerja di
bawah perintah orang lain.
Dalam hal ini buruh yang tidak memiliki modal dan hanya mempunyai
tenaga saja, mempunyai kedudukan yang rendah dan pengusaha sebagai pihak
yang memiliki modal mempunyai kedudukan yang tinggi. Adanya wewenang
perintah inilah yang membedakan perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya.
Artinya, prinsip yang menonjol dalam perjanjian kerja, yaitu adanya
keterikatan seseorang (pekerja/buruh) kepada orang lain (pengusaha) untuk
bekerja di bawah perintah dengan menerima upah.
33
Koko Kosidin, Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, Mandar Maju,
Bandung:1999, hal. 9
17
Universitas Indonesia
Pelaksanaan perjanjian..., bagus Prasetyo, FH UI, 2011.
Berkaitan dengan hal tersebut, negara harus melindungi siapa saja yang
lemah agar dapat tercapai suatu keseimbangan yang mendekatkan warga
negaranya dengan tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dikarenakan dalam mengadakan perjanjian khususnya perjanjian kerja
ada perbedaan-perbedaan tertentu seperti kondisi, kedudukan, dan berbagai hal
seperti di bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan antara mereka yang
membuat perjanjian kerja, maka diperlukan intervensi dari pihak ketiga yaitu
peran Negara guna memberikan perlindungan bagi pihak yang lemah,
terutama sewaktu mengadakan perjanjian kerja.
Beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan
yang berlaku selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial,
menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam
pelayanan penempatan tenaga kerja dan sistem hubungan industrial yang
menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan masa yang
akan datang. Sehingga pada tahun 2003, lahirlah Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selain untuk mencabut ketentuanketentuan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman,
dimaksudkan juga untuk menampung perubahan yang sangat mendasar di
segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dengan dimulainya era reformasi
tahun 1998 termasuk pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi
tenaga kerja dalam hubungan kerja.34
Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha
yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja.35 Iman Soepomo, merumuskan
hubungan kerja sebagai suatu hubungan antara seorang buruh dengan seorang
majikan. Hubungan kerja menunjukan kedudukan kedua pihak itu yang pada
dasarnya menggambarkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban buruh terhadap
majikan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban majikan terhadap buruh.
Adanya hubungan kerja ialah hanya bila ada buruh dan majikannya atau
34
Lihat Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39
Tahun 2003, TLN No. 4279. Penjelasan Umum.
.
35
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Edisi Revisi). (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2008), Hal. 53
18
Universitas Indonesia
Pelaksanaan perjanjian..., bagus Prasetyo, FH UI, 2011.
majikan dengan buruhnya. Hubungan ini terjadi setelah adanya perjanjian
kerja antara buruh dan majikan, yaitu suatu perjanjian di mana pihak kesatu,
buruh mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak
lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu
dengan membayar upah. “Pada pihak lainnya” mengandung arti bahwa pihak
buruh dalam melakukan pekerjaan ini berada di bawah pimpinan pihak
majikan.36
Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dari pengertian tersebut
jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum tercipta
setelah adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja.
Pengertian perjanjian kerja dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa perjanjian
kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Bila
melihat pengertian tersebut, tidak menyebutkan bentuk perjanjian kerja itu
lisan atau tertulis serta jangka waktunya tidak ditentukan.
Namun hal ini diatur dalam BAB IX Undang-Undang Nomor 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa
perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.37 Dalam Pasal 51 ayat (2)-nya
menyebutkan perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Secara normative
bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga
jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian.
Selain itu, dalam Pasal 54 juga menyebutkan bahwa perjanjian kerja
yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
36
Imam Soepomo, Hukum Perburuhan : Bidang Hubungan Kerja, (edisi revisi) (Jakarta:
Djambatan, 2001), hal.1.
37
Indonesia, 2003, Op. Cit, Penjelasan Pasal 51 ayat (1): Pada prinsipnya perjanjian kerja
dibuat secara tertulis, namun melihat kondisi masyarakat yang beragam dimungkinkan
perjanjian kerja secara lisan.
19
Universitas Indonesia
Pelaksanaan perjanjian..., bagus Prasetyo, FH UI, 2011.
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Pada ayat (2)-nya, disebutkan bahwa perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang
undangan yang berlaku. Artinya isi dari perjanjian kerja tersebut baik secara
kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama di sebuah perusahaan khususnya mengenai
besarnya upah dan cara pembayarannya, serta syarat-syarat kerja yang memuat
hak dan kewajiban pengusaha, dan pekerja/buruh. Pada ayat (3)-nya juga
diatur mengenai perjanjian kerja yang harus dibuat sekurang kurangnya
rangkap 2 (dua), masing masing untuk pekerja/buruh dan pengusaha dan
mempunyai kekuatan hukum yang sama pula.
Bila melihat dalam penjelasan Pasal 51 ayat (2), perjanjian kerja yang
dipersyaratkan secara tertulis harus sesuai dengan peraturan perundang
undangan yang berlaku, dan salah satu contohnya adalah perjanjian kerja
waktu tertentu. Unsur jangka waktu dalam perjanjian kerja harus disepakati
jangka waktunya sehingga terlihat apakah perjanjian kerja tersebut berlaku
untuk jangka waktu tertentu atau bukan karena terdapat perbedaan dalam
pengaturannya termasuk jenis pekerjaannya.
2.3
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Perjanjian kerja waktu tertentu diatur dalam Pasal 56 sampai dengan
Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 200338. Kemudian diatur lebih
38
Indonesia, 2003,Op. Cit, Pasal 56 ayat (1).
20
Universitas Indonesia
Pelaksanaan perjanjian..., bagus Prasetyo, FH UI, 2011.
lanjut dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu. Adapun alasan tetap dipergunakannya jenis perjanjian
tersebut adalah karena ada sejumlah pekerjaan yang memang memiliki batas
waktu dalam pengerjaannya sehingga membutuhkan ketentuan tentang
perjanjian yang memiliki batas waktu pula.
2.3.1 Syarat-syarat Pembuatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksana Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu disebutkan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu adalah Perjanjian
Kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan
kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Sedangkan Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.39
Bila melihat kedua definisi tersebut maka jelaslah bahwa Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu sering juga disebut
dengan perjanjian kerja tidak tetap atau perjanjian kerja kontrak. Status
pekerjanya-pun adalah pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak. Sedangkan
untuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu disebut juga dengan perjanjian
kerja tetap dan status pekerjanya-pun adalah pekerja tetap.
Selain persyaratan pada umumnya sebuah perjanjian kerja, Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (selanjutnya disingkat PKWT) juga harus memenuhi
syarat-syarat dalam pembuatannya. Adapun syarat pembuatan PKWT terbagi
2 (dua) macam, yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil diatur
pada Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, yaitu sebagai berikut:
a. Kesepakatan kedua belah pihak;
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan.
39
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
tentang Ketentuan Pelaksana Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Kepmennakertrans Nomor
KEP.100/Men/VI/2004, Pasal 1 huruf b.
21
Universitas Indonesia
Pelaksanaan perjanjian..., bagus Prasetyo, FH UI, 2011.
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal syarat sahnya suatu perjanjian, syarat materiil dari
perjanjian kerja tertentu disebutkan bahwa kesepakatan kerja waktu tertentu
yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf b atau tidak memenuhi syarat subyektif maka perjanjian dapat
dibatalkan40,yaitu dengan permohonan atau gugatan ke pengadilan, sedangkan
yang bertentangan dengan ayat (1) huruf c dan huruf d atau tidak memenuhi
syarat obyektif maka secara otomatis perjanjian yang dibuat adalah batal demi
hukum.41
Selain itu, kedudukan perjanjian kerja yang sah sebagai ketentuan
hukum dibidang ketenagakerjaan, maka syarat tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan merupakan syarat yang mulak karena
memiliki makna bahwa perjanjian kerja tersebut berlaku sebagai ketentuan
hukum bagi pihak-pihak yang membuatnya sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti apabila perjanjian
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja
tersebut batal demi hukum dan secara otomatis tidak berlaku sebagai
ketentuan hukum.42
Selain ketentuan yang telah disebutkan sebelumnya, PKWT yang
dibuat juga harus dibuat secara tertulis.43 Ketentuan ini dimaksudkan untuk
lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan selama masa
kontrak sampai berakhirnya kontrak kerja. Selain itu, bentuk tertulis juga lebih
menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi
perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian.
Selanjutnya, diatur pula bahwa PKWT tidak dapat mensyaratkan
adanya masa percobaan kerja karena pada prinsipnya PKWT hanya dapat
dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat pekerjaannya
40
Indonesia, 2003, Op. Cit, Pasal 52 ayat (2).
Djumadi, Op. Cit, hal. 67. Akibat hukum yang tidak dipenuhi dari tidak dipenuhinya syarat-syarat
tersebut juga sama dengan akibat yang diatur dalam perjanjian pada umumnya yang menganut asas
konsensualisme seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
42
Indonesia, 2003, Op. Cit,Pasal 52 ayat (4).
43
Ibid, Pasal 57 ayat (1).
41
22
Universitas Indonesia
Pelaksanaan perjanjian..., bagus Prasetyo, FH UI, 2011.
akan selesai dalam waktu tertentu. Artinya, tidak adanya masa percobaan
dalam PKWT adalah karena perjanjian kerja berlangsung relatif singkat. Jika
ada PKWT yang mensyaratkan masa percobaan, maka PKWT tersebut batal
demi hukum.44 Masa percobaan adalah masa atau waktu untuk menilai kinerja
dan kesungguhan dan keahlian seorang pekerja. Lama masa percobaan adalah
3 (tiga) bulan, dan dalam masa percobaan pengusaha dapat mengakhiri
hubungan kerja secara sepihak (tanpa izin dari pejabat yang berwenang).
Walau demikian, dalam masa percobaan ini pengusaha tetap dilarang
membayar upah dibawah upah minimum yang berlaku.
Adapun syarat-syarat formil yang harus dipenuhi dalam pembuatan
perjanjian kerja antara lain adalah sebagai berikut:45
1. PKWT dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai
kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing
masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.
2. PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan PKWT.
3. PKWT yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya harus memuat:46
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i.
tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
44
Ibid, Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2).
Djumadi, Op. cit, hal 67
46
Indonesia, 2003, Op. Cit,Pasal 54 ayat (1).
45
23
Universitas Indonesia
Pelaksanaan perjanjian..., bagus Prasetyo, FH UI, 2011.
Syarat-syarat kerja yang dimuat dalam PKWT tidak boleh lebih rendah
dari syarat-syarat kerja yang termuat dalam Peraturan Perusahaan atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Bila ternyata kualitas isinya lebih rendah,
maka syarat-syarat kerja yang berlaku adalah yang termuat dalam Peraturan
Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Khusus mengenai PKWT, dibuat dalam rangkap 3 (tiga), rnasingmasing rangkap untuk pekerja, pengusaha dan Dinas/lnstansi yang
membidangi ketenagakerjaan setempat. Seluruh biaya yang timbul atas
pembuatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi tanggungan
pengusaha.
2.3.2 Kategori Pekerjaan untuk PKWT
Dalam PKWT terdapat beberapa kategori pekerjaan yang dapat
dilakukan dengan PKWT sebagai dasar adanya hubungan kerja antara
pekerja/uruh dengan pengusaha, namun hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu.47
Adapun kategori pekerjaan untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) tersebut sebagai berikut:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman;
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan.
Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
Kep.100/MEN/VI/2004 terdapat beberapa pasal yang mengatur penjabaran
pengaturan mengenai kategori pekerjaan yang dapat dilakukan dengan
PKWT.48 Hal-hal tersebut antara lain:
a. PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau bersifat sementara
Pengaturan PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau bersifat
sementara yakni sebagai berikut:
47
48
Ibid, Pasal 59 ayat (1).
Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi, Op. Cit, Pasal 3 sampai dengan Pasal 12.
24
Universitas Indonesia
Pelaksanaan perjanjian..., bagus Prasetyo, FH UI, 2011.
Yang dimaksud dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan
yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah perjanjian kerja waktu
tertentu yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu dan dibuat untuk
waktu paling lama tiga tahun (Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Kep. 100/
Men/VI/2004).
Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja
waktu tertentu dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan,
perjanjian kerja waktu tertentu tersebut putus demi hukum pada saat
selesainya pekerjaan (Pasal 3 ayat (4) Kep.100/Men/VI/2004).
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas selesainya pekerjaan
tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai
(Pasal 3 ayat (4) Kep.100/Men/VI/2004). Dalam hal perjanjian kerja waktu
tertentu dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena
kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat
dilakukan pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu (Pasal 3 ayat (5)
Kep.100/Men/VI/2004).
Pembaruan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan setelah
melebihi masa tenggang waktu tiga puluh hari setelah setelah berakhirnya
kerja (Pasal 3 ayat (6) Kep.100/Men/VI/2004).
Selama tenggang waktu tiga puluh hari tidak boleh ada hubungan kerja
antara pekerja/buruh dan pengusaha (Pasal 3 ayat (7) Kep, 100/Men/VI/
2004).
b. PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman
Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya
bergantung kepada musim atau cuaca dan hanya dapat dilakukan untuk satu
jenis pekerjaan pada musim tertentu (Pasal 4 Kep 100/Men/VI/2004 tahun
2004).
Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau
target tertentu dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu
sebagai pekerjaan musiman dan hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh
yang melakukan pekerjaan tambahan (Pasal 5 Kep. 100/Men/VI/2004 tahun
2004). Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang bersifat
25
Universitas Indonesia
Pelaksanaan perjanjian..., bagus Prasetyo, FH UI, 2011.
musiman tidak dapat dilakukan pembaruan (Pasal 7 Kep.100/Men/VI/2004
tahun 2004).
c. PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru
Perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan untuk pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajakan (Pasal 8 ayat (1) Kep.100/
Men/VI/2004 tahun 2004).
Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan
produk baru hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun
dan dapat diperpanjang satu kali paling lama 1 tahun tetapi tidak dapat
dilakukan pembaruan (Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Kep.100/
Men/VI/2004).
Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru hanya dapat diberlakukan bagi pekerja/buruh yang
melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa /
dilakukan perusahaan (Pasal 9 Kep.100/Men/VI/2004).
d. Perjanjian kerja harian lepas
Mengenai pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu
dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dibuat
perjanjian kerja harian lepas (Pasal 10 ayat (1) Kep.100/ Men/VI/2004).
Perjanjian kerja harian lepas harus memenuhi ketentuan bahwa pekerja/
buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan. Mengenai pekerja/buruh
yang bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau
lebih, maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi perjanjian kerja/
waktu tidak tertentu (Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Kep.100/Men/VI/2004).
Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud di atas dikecualikan dari ketentuan batasan jangka
waktu PKWT pada umumnya (Pasal 11 Kep. l00/Men/VI/2004). Maksud
dikecualikan dari ketentuan batasan jangka waktu PKWT pada umumnya
adalah jangka waktu perjanjian kerja harian lepas tidak dibatasi oleh hanya
26
Universitas Indonesia
Pelaksanaan perjanjian..., bagus Prasetyo, FH UI, 2011.
satu kali perpanjangan dan atau satu kali pembaruan sebagaimana
perjanjian kerja waktu tertentu pada umumnya.
Pada ayat (2)-nya ditegaskan bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap, yaitu pekerjaan yang siiatnya terus-menerus,
tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dan suatu
proses produksi dalam 1 (satu) perusahaan atau pekerjaan yang bukan
musiman.
2.3.3 Jangka Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Mengenai jangka waktu berlakunya PKWT diatur pada Pasal 59 avat
(3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa
PKWT dapat diperpanjang atau diperbarui dengan jangka waktu 3 (tiga)
tahun.
Yang dimaksud diperpanjang adalah melanjutkan hubungan kerja
setelah PKWT berakhir tanpa adanya pemutusan hubungan kerja. Sedangkan
pembaruan adalah melakukan hubungan baru setelah Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) pertama berakhir melalui pemutusan hubungan kerja dengan
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari.
Jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dapat diadakan paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang sekali untuk
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun (Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan), sedangkan pembaruan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya boleh dilakukan sekali dan
paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 59 ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan).
Dengan berakhirnya jangka waktu yang telah disepakati dalam
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), secara otomatis hubungan kerja
berakhir demi hukum. Jika disimpulkan, jangka waktu PKWT itu secara
normatif keseluruhan hanya boleh berlangsung selama 3 (tiga) tahun, baik
untuk perpanjangan maupun untuk pembaruan.
27
Universitas Indonesia
Pelaksanaan perjanjian..., bagus Prasetyo, FH UI, 2011.
2.3.4 Berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Alasan-alasan berakhirnya suatu perjanjian kerja adalah:
1. Pekerja meninggal dunia.
2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
3. Adanya putusan pengadilan dan atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja (Rasal 61 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003).
Berdasarkan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, apabila
salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja selain alasan-alasan tersebut di
atas atau sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian
kerja waktu tertentu, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan
membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai
batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Sebagai contoh,
apabila seorang pekerja/buruh dikontrak dengan perjanjian kerja waktu
tertentu selama 1 tahun, kemudian setelah 6 bulan berjalan, pekerja/buruh
tersebut diberhentikan secara sepihak oleh pengusaha, pengusaha tersebut
diwajibkan membayar sisa kontrak selama 6 bulan.
28
Universitas Indonesia
Pelaksanaan perjanjian..., bagus Prasetyo, FH UI, 2011.
Download