TINJAUAN PUSTAKA Kacang Tanah (Arachis hypogea L.) Tanaman kacang tanah (Arachis hypogea L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Selatan, tepatnya berasal dari Brazilia. Kacang tanah mulai masuk ke Indonesia pada sekitar abad ke-17 (Menegristek 2011). Kacang tanah adalah tanaman polong-polongan yang termasuk ke dalam Kingdom Plantae, Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Ordo Rosales, Famili Papilionaceae, Genus Arachis, dan Spesies Arachis hypogea (Pitojo 2005). Pertumbuhan kacang tanah secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe tegak dan tipe menjalar (Suprapto 2004). Kacang tanah dapat dibudidayakan di lahan kering (tegalan) maupun di lahan sawah setelah budidaya padi (Musaddad 2008). Menurut Adisarwanto (2000), kacang tanah termasuk tanaman yang memerlukan sinar matahari penuh. Keterbatasan sinar matahari akibat adanya naungan lebih dari 30% akan menurunkan hasil kacang tanah, karena cahaya mempengaruhi fotosintesis dan respirasi (Pitojo 2005). Secara umum, tanaman ini tumbuh paling baik dalam kisaran suhu udara antara 25 dan 35 oC. Fitoplasma Fitoplasma adalah mikroorganisme prokariota, tergolong sebagai kelompok bakteri, tidak memiliki dinding sel, sel diselimuti oleh membran sel, ukuran diameter sel ± 500 nm (Hogenhout & Music 2010). Pada tahun 1967, fitoplasma terdeteksi dengan mikroskop elektron berada di dalam floem tanaman terinfeksi dan di dalam tubuh serangga vektor. Pada saat itu, fitoplasma disebut MLO (mycoplasma-like organism) karena kemiripannya dengan mikoplasma. Patogen ini kemudian disebut sebagai fitoplasma sejak tahun 1995 (Agrios 2005). Fitoplasma adalah patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada ratusan spesies tanaman, beberapa dapat menyebabkan kematian tanaman, termasuk tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Weintraub & Wilson 2010). Fitoplasma telah dilaporkan sebagai penyebab penyakit terpenting pada beberapa tanaman pertanian (Wongkaew & Fletcher 2004). Di Indonesia, fitoplasma 4 menyebabkan penyakit sapu setan pada beberapa tanaman kacang-kacangan seperti pada kacang tanah, kacang kedelai, kacang panjang dan kacang orok-orok. Penyebarannya meliputi beberapa daerah di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi (Iwaki 1979). Gejala Serangan Penyakit Tanaman yang terinfeksi fitoplasma menunjukkan berbagai gejala, tergantung inang dan jenis fitoplasma yang menyerang (Liefting & Kirkpatrick 2003; Agrios 2005). Gejala yang sama mungkin dapat disebabkan oleh jenis fitoplasma yang berbeda, sebaliknya gejala yang berbeda mungkin dapat disebabkan jenis fitoplasma yang sama (Davis & Sinclair 1998). Selama menginfeksi tanaman, fitoplasma banyak menimbulkan gangguan pada perkembangan tanaman. Gejala fitoplasma pada tanaman dapat berupa daun menguning, pemendekan internode, pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, ukuran daun lebih kecil, pertumbuhan tunas-tunas samping yang berlebih sehingga tampak seperti sapu (witches’ broom), perubahan bunga menjadi struktur daun, nekrosis jaringan floem, dieback, dan nekrosis pada akar yang biasanya terjadi lebih awal dari pada gejala di atas permukaan tanah. Kemungkinan gejala yang timbul merupakan akibat dari defisiensi hara karena hara tanaman dimanfaatkan oleh fitoplasma (Agrios 2005; Andre et al. 2005; Hogenhout et al. 2008). Tanaman yang terinfeksi penyakit sapu memiliki persentase pati pada jaringan daun yang lebih besar dari pada dalam jaringan daun tanaman sehat. Akumulasi pati terjadi karena adanya gangguan pada floem yang menjadi lokasi utama keberadaan fitoplasma (Matthews 1992). Penularan Penyakit Fitoplasma dapat ditularkan oleh serangga vektor, tali putri, dan penyambungan (McCoy 1979). Serangga vektor adalah agens penular fitoplasma yang paling utama di lapangan. Serangga vektor yang berperan dalam penularan fitoplasma adalah serangga yang termasuk ke dalam ordo Homoptera, famili Cicadellidae (wereng daun), Psyllidae (kutu loncat), Cercopidae, Delphacidae (wereng batang), dan beberapa Ordo Hemiptera (D’Arcy & Nault 1982). 5 Penyakit sapu pada kacang tanah di Indonesia ditularkan oleh wereng daun O. argentatus (Triharso 1975; Iwaki 1978). Penularan fitoplasma dengan serangga vektor bersifat persisten, transtadial, dan tidak transovarial (tidak diturunkan pada generasi berikutnya). Serangga yang terinfeksi terkadang mengalami gangguan fisiologis. Fitoplasma dan serangga vektor memiliki hubungan yang spesifik, artinya bahwa suatu spesies serangga hanya menularkan satu jenis fitoplasma (Nielson 1968). Menurut Agrios (2005), serangga akan lebih mudah menularkan penyakit apabila makan pada daun dan batang muda dibandingkan dengan daun dan batang yang lebih tua. Firrao et al. (2007) menyebutkan bahwa distribusi fitoplasma pada jaringan tanaman tidak merata, terutama pada tanaman berkayu dan jumlahnya tergantung pada musim dan organ tanaman. Penyakit Sapu pada kacang Tanah Gejala Penyakit Sapu Penyakit sapu (Witches’ broom) pada kacang tanah merupakan salah satu penyakit yang berpotensi menjadi penyakit penting di Indonesia. Nugroho et al. (2000) mengemukakan bahwa penyakit sapu dapat menyebabkan penurunan bobot polong sebanyak 40,99 - 100%. Infeksi fitoplasma dapat menyebabkan gangguan pada (Christensen et al. proses 2005). fisiologis dan biokimia dari tanaman inang Hal tersebut mengakibatkan munculnya berbagai macam gejala, seperti terbentuknya bunga menjadi struktur daun (phyllody), pembentukan bunga menjadi berwarna hijau karena bunga kehilangan pigmen normalnya (virescence), ginofor mengarah ke atas (geotrofisme negatif), pembentukan tunas-tunas samping (proliferasi) dengan daun-daun kecil yang sangat banyak (witches’ broom), atau tidak membentuk polong dan apabila membentuk polong maka polong berukuran sangat kecil atau hampa. Gejalagejala tersebut muncul terutama apabila infeksi terjadi pada saat umur tanaman masih sangat muda (Agrios 2005; Tjahjadi 2005; Firrao et al. 2007). Orosius argentatus (Evans.) Wereng daun Orosius argentatus tergolong kedalam ordo Hemiptera, famili Ciccadellidae, genus Orosius (Kalshoven 1981). Panjang tubuh serangga betina 6 berkisar antara 3,2 - 3,5 mm dan jantan 2,9 - 3,0 mm. Telur diletakkan pada petiol dan batang tanaman kira-kira 200 telur/ betina. Siklus hidup serangga dari telur sampai dengan imago ± 1 bulan. Nimfa dan serangga dewasa sangat aktif makan pada permukaan bawah daun dan batang. Populasi spesies ini tidak terlalu tinggi dan tidak menyebabkan kerusakan langsung pada tanaman, namun spesies ini diketahui sebagai serangga vektor penyakit tanaman. Di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi O. argentatus menjadi vektor penyakit sapu pada beberapa tanaman kacang-kacangan termasuk pada tanaman kacang tanah. Di Australia juga spesies ini menjadi vektor penyakit yang disebabkan oleh fitoplasma (Kalshoven 1981). Penularan fitoplasma dengan O. argentatus bersifat persisten, dalam penularannya terdapat periode laten yang dibutuhkan untuk melakukan penggandaan dan translokasi fitoplasma dalam tubuh serangga. Fitoplasma yang terambil dari tanaman terinfeksi melalui stilet akan masuk ke dalam saluran pencernaan vektor, masuk ke saluran pencernaan tengah (midgut) dan ke dalam hemolim dan menginfeksi organ internal yang akhirnya masuk ke dalam otak dan kelenjar ludah untuk kemudian berkembang biak. Jika konsentrasi fitoplasma dalam kelenjar ludah sudah cukup tinggi, serangga vektor menularkan fitoplasma pada tanaman tanaman inang yang lain. Fitoplasma dapat ditularkan oleh serangga vektor stadia nimfa hingga imago dan akan terus berada dalam tubuh serangga walaupun serangga mengalami ganti kulit (tidak transtadial). Masa inkubasi fitoplasma dalam tubuh serangga dipengaruhi oleh temperatur. Masa inkubasi fitoplasma pada suhu rendah akan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan pada saat suhu tinggi (Agrios 2005). Menurut Iwaki et al. (1978) periode makan akuisisi minimum dari O. argentatus adalah 1 hari, periode makan inokulasi minimum 1 jam, dan periode laten fitoplasma dalam tubuh vektor sekitar 20-26 hari, dan serangga yang telah mengandung fitoplasma dapat menularkan sampai akhir masa hidupnya. Empoasca sp. Wereng daun Empoasca sp. termasuk ordo Homoptera, famili Cicadellidae. Rata-rata panjang tubuh serangga dewasa adalah 2,5 mm. Serangga memiliki sayap yang berwarna hijau kekuningan, pada sayap atas terdapat spot berwarna 7 merah. Telur serangga ini diletakkan di dalam mesofil daun. Serangga nimfa dan dewasa menghisap cairan tanaman pada permukaan bawah daun terutama dekat tulang daun. Bekas tusukan stilet mengakibatkan bercak-bercak nekrotik pada daun. Pada kelompok tanaman legum, Empoasca sp. hanya menyerang kacang tanah, kacang hijau, dan kacang kedelai (Kalshoven 1981). Empoasca sp. menjadi vektor penyebab penyakit sapu pada kacang kapri (Pisum sativum) di Puerto Rico (Thottappilly et al. 1990) dan vektor penyebab penyakit sapu pada kacang gude (Cajanus cajan) di Florida (McCoy et al. 1983), namun tidak dilaporkan sebagai vektor fitoplasma pada kacang tanah. Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode molekuler yang dapat mengamplifikasi sekuen DNA secara ekponensial. Metode PCR merupakan metode yang sangat sensitif, oleh sebab itu metode PCR sudah dapat mengamplifikasi sekuen DNA target walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit (Mullis & Faloona 1989; Yuwono 2006). Komponen utama yang dibutuhkan dalam proses PCR adalah DNA cetakan (template), yaitu DNA sasaran yang akan dilipatgandakan; primer, suatu sekuen oligonukleotida pendek yang berfungsi untuk mengawali sintesis rantai DNA; empat macam deoksiribonukleotida trifosfat (dNTPs, yang terdiri atas dATP, dGTP, dCTP dan dTTP); dan enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga dibutuhkan adalah larutan bufer (Yuwono 2006). Proses PCR terdiri dari tiga tahapan reaksi yang berulang dalam beberapa siklus. Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan tahapan denaturasi DNA template untuk memisahkan rantai DNA untai ganda sehingga menjadi untai tunggal. Denaturasi dilakukan pada suhu tinggi (95 oC), kemudian suhu diturunkan menjadi 55 oC sehingga primer menempel (annealing) pada template yang telah menjadi rantai tunggal. Setelah dilakukan annealing, suhu inkubasi dinaikkan menjadi 72 oC. Pada suhu ini, DNA polimerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA template. Rantai DNA baru selanjutnya akan berfungsi sebagai template bagi reaksi polimerasi berikutnya (Yuwono 2006). 8 Fitoplasma tidak dapat dibiakkan secara in vitro pada medium buatan, diagnosa fitoplasma menjadi sangat bergantung pada teknik molekuler seperti PCR. Teknik ini dapat digunakan untuk mendeteksi fitoplasma yang berada dalam jaringan tanaman dengan akurat (Marcone et al. 1997; Galetto & Marzachi 2010). Selain itu, teknik PCR dapat dipergunakan untuk mendeteksi dan mengamplifikasi DNA fitoplasma yang berada dalam tubuh serangga vektor dan artificial feeding medium berupa sukrosa-TE yang mengandung air liur vektor terinfeksi fitoplasma (Vega et al. 1993; Tanne et al. 2001). Deteksi fitoplasma menggunakan teknik PCR dilakukan menggunakan sepasang primer oligonukleotida P1 (5’ AAG AGT TTG ATC CTG GCT CAG GAT 3’) (Deng & Hiruki 1991) dan P7 (5’ CGT CCT TCA TCG GCT CCT 3’) (Kirkpatrick et al. 1994) dengan primer P1 (forward primer) dan P7 (reverse primer) mampu mengamplifikasi sekuen DNA pada daerah seluruh gen 16S, spacer region dan pangkal gen 23S rDNA dari umumnya fitoplasma (Schneider et al. 1995). Mutaqin (2000), berhasil mendeteksi keberadaan fitoplasma pada kacang tanah yang bergejala penyakit sapu (witche’ broom) menggunakan teknik PCR dengan primer P1 dan P7. Keberhasilan teknik PCR bergantung pada metode yang digunakan untuk mendapatkan asam nukleat (DNA) yang berkualitas baik (Marzachi et al. 2004).