Ringkasan Eksekutif - Badan Litbang ESDM

advertisement
BUKU TAHUNAN
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
TAHUN 2013
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral
HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BADAN LITBANG ESDM
I. PENINGKATAN KETAHANAN ENERGI
A. Intensifikasi Energi
1. Pengembangan Metode dan Aplikasi Perangkat Lunak Seismik untuk
Mendukung Eksplorasi dan Karakterisasi Reservoar
Ketua Tim : Ir. Isnawati M.Si
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Teknologi Eksplorasi,
Puslitbangtek Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Email:[email protected] dan [email protected]
Pengembangan metode dan aplikasi teknologi perangkat lunak seismik
merupakan langkah yang dirancang untuk mengatasi permasalahan di eksplorasi dan
karakterisasi reservoar. Tingginya resiko kegagalan dalam pemboran diawali dengan
belum tepatnya memilih daerah-daerah yang memiliki potensi migas. Minimnya
metode pengembangan seismik membuat ketidakpastian dalam menentukan daerah
mana saja yang memiliki kandungan hidrokarbon dan kualitas data seismik kurang
baik (resolusi rendah) sehingga fitur geologi dan anomali kandungan hidrokarbon
tidak terlihat dengan jelas
Metode pengembangan seismik diawali dengan pencarian parameter yang
diturunkan dari besaran-besaran/atribut seismik baik dari atribut amplitude, waktu,
frekuensi, fase, dan lain sebagainya. Setiap rekaman data seismik yang diterima di
receiver membawa informasi mengenai keadaan bawah permukaan termasuk
informasi adanya anomali kandungan hidrokarbon. Dari beberapa metode yang
validitasnya cukup baik, maka dipilih beberapa atribut seismik yang dapat
memberikan gambaran anomali kandungan hidrokarbon. Pada penelitian ini,
beberapa metode digunakan untuk meningkatkan kualitas data seismik, mendeteksi
adanya fluida, dan bagaimana memisahkan litologi dan fluida.
Metode Inversi Filter-Q digunakan untuk meningkatkan resolusi seismik pada
data seismik post-stack. Aplikasi metode ini digunakan pada data lapangan X dimana
posisi reservoar yang dalam kualitas data seismiknya tidak memungkinkan untuk
memberikan gambaran yang jelas posisi reservoar. Melalui beberapa tahapan, maka
resolusinya dapat diperbaiki sehingga lapisan-lapisan yang tipis dapat terlihat
(Gambar 2).
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
2
Gambar 1.
Workflow metode inversi filter-Q
Gambar 2.
Hasil inversi filter Q
Metode Continuous Wavelet Transform (CWT) berperan dalam mendeteksi
keberadaan hidrokarbon terutama dalam bentuk fase gas. Dengan adanya anomali
frequency shadow yang dapat ditunjukkan pada saat metode ini diaplikasikan, maka
dapat ditentukan frekuensi yang tepat untuk reservoar itu sendiri. Selain itu
dilakukan juga kontrol di sumur untuk menentukan validitas anomali yang
ditimbulkan pada saat analisis CWT. Hal ini penting karena adanya penentuan
anomali kandungan hidrokarbon diluar sumur jika menggunakan data 3D. Aplikasi
metode ini menggunakan data lapangan X dan data sumur dengan beberapa log
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
3
sumur. Reservoar batupasir berisi gas berada di kedalaman 3762 - 3776 meter, lalu
dilakukan penentuan respon frekuensi yang diamati melalui panel 1D (frekuensi vs
time). Hasilnya menunjukkan reservoar berada di frekuensi 14 Hz sehingga untuk
melihat penyebarannya di luar sumur dilakukan pengamatan respon amplitude pada
frekuensi 14 Hz. Amplitudo yang tinggi menunjukkan keberadaan hidrokarbon.
Gambar 3.
Penampang respon frekuensi 14 Hz
Metode lainnya, yaitu metode Empirical Mode Decomposition (EMD) yang
digunakan untuk memisahkan anomali yang disebabkan oleh efek kandungan
hidrokarbon (gas) dan batubara.
Aplikasi metode ini digunakan pada data lapangan Y (Gambar 4 kiri) dimana
terlihat adanya dua bright spot. Bright spot yang pertama (posisi di lapisan atas)
disebabkan oleh efek batubara dan pada lapisan di bawahnya disebabkan oleh gas.
Data sumur Kreo-1 ( kanan) respon log Sw menunjukkan posisi litologi batubara
berada di kedalaman sekitar 900 ms dan reservoar gas di kedalaman 1100 ms.
Gambar 4.
Penampang seismik yang menunjukkan lapisan batubara dan gas (kiri) dan Log Sw dari
sumur Kreo-1 (kanan).
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
4
Gambar 5.
(a). Penampang seismik (b) Penampang IMF-1 (c) Penampang IMF-3.
Untuk respon batubara, mode fungsinya terlihat amplitudo yang tinggi pada IMF-1
namun respon gasnya amplitudonya rendah. Setelah dilakukan penyelidikan,
ternyata respon batubara dan gas akan saling berkebalikan pada posisi IMF-3, di
mana respon batubara amplitudonya rendah, namun respon gas amplitudonya tinggi.
Pada saat meninjau penyebaran batubara, maka data seismik yang ditinjau adalah
pada posisi IMF-1 dan penyebaran gas yang ditinjau data seismik pada posisi IMF-3
().
Pada Gambar 9b, terlihat respon batubara di sekitar sumur dan posisi
kemenerusannya, namun amplitudo akibat respon gas masih terlihat sehingga pada
IMF-1. Respon gas yang benar - benar terlihat pada IMF-3, dimana amplitudo akibat
batubara tidak terlihat (Gambar 9c).
2. Rancang Bangun dan Pengembangan Prototipe Rig CBM
Ketua Tim : Ir. Panca Wahyudi M.
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Teknologi Eksploitasi,
Puslitbangtek Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Email : [email protected] dan [email protected]
Potensi gas CBM Indonesia sangat besar yaitu 453,3 TCF(453109 cubic feet),
yang tersebar pada 11 cekungan hydrocarbon. Dari sumber daya tersebut, cadangan
CBM sebesar 112,47 TCF merupakan cadangan terbukti dan 57,60 TCF merupakan
cadangan potensial. Dengan 54 Kontraktor CBM yang ada saat ini, maka prospek
industri manufaktur rig ke depan sangat potensial.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
5
Pada tahun 2013 dalam programnya SKK MIGAS mencanangkan sebagai tahun
pemboran dimana tidak kurang dari 412 sumur CBM akan dibor hingga tahun 2015.
Mengacu data yang diberikan oleh APMI, yaitu jumlah rig konvensional sebanyak
348 buah dan telah berusia di atas 20 tahun, dirasa rig yang tersedia belum bisa
Coalbed Methane (CBM) merupakan salah satu sumber daya alam strategis yang
cukup potensial memasok kebutuhan energi nasional dalam rangka diversifikasi
energi. Potensi CBM Indonesia berdasarkan hasil studi Advance Research
International (ARI) dengan Ditjen Migas dan Bank Pembangunan Asia tahun 2003
diperkirakan sebesar 453 Tcf (453109 cubic feet), tersebar di 11 cekungan di pulau
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa (Gambar 6). Potensi yang demikian besar
telah menarik minat pelaku bisnis mengembangkan sumber energi baru ini. Sampai
dengan Oktober 2012 telah ditandatangani 54 Wilayah Kerja (WK) CBM, meningkat
pesat sejak pertama kali konsesi WK CBM ditawarkan pemerintah tahun 2008.
Gambar 6.
Sebaran potensi CBM Indonesia (ARII, 2003)
Pada tahun 2013 dalam programnya SKK MIGAS mencanangkan sebagai tahun
pemboran dimana tidak kurang dari 412 sumur CBM akan dibor hingga tahun 2015.
Mengacu data yang diberikan oleh APMIhingga tahun 2013 hanya ada sekitar 348
buah dimana usia dari Rig yang ada rata-rata sudah diatas 20 tahun,dan rig yang
tersedia belum bisa mencukupi untuk rencana program pemboran dari SKK MIGAS.
Berdasarkan peluang dan tantangan seperti diuraikan di atas, Badan Penelitian
dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral melalui LEMIGAS
mengembangkan prototype rig CBM yang memenuhi standar internasional, relatif
murah, handal, dan mudah operasionalnya dengan nilai tingkat kandungan lokal
tinggi. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat mendorong manufaktur rig CBM dalam
negeri serta menunjang pengusahaan industri CBM yang mandiri, efisien, dan
kompetitif dalam rangka memperkuat ketahanan energi dan mewujudkan
kemandirian industri energi nasional.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
6
Tujuan kegiatan ini adalah membuat rancang bangun sebuah rig CBM yang handal
dan ekonomis dan membuat prototype rig yang dapat dikomersialkan dan
dimanfaatkan oleh industri CBM dan industri migas.
Konsep yang diambil pada rancang bangun rig CBM adalah menggabungkan
duabuah konsep antara rig konvensional migas dengan rig tambangberkapasitas 350
HP, dengan mengambil spesifikasi keunggulan dari masing-masing jenis rig tersebut
diharapkan dapat membangun sebuah rig CBM yang murah, handal, ekonomis dan
tangguh. Beberapa beberapa keunggulan yang ingin diambil seperti:
a. Rig dapat memberikan kemampuan angkat yang cukup besar.
b. Rig bisa memberikan beban tekan pada saat operasi pemboran/corring diluar
berat rangkaian yang diberikan
c. Rig bisa dioperasikan pada lahan yang terbatas
d. Rig bisa dioperasikan dengan jumlah operator yang sedikit/efisien
e. Rangkaian BOP bisa dipasang dibawah Rig
f. Rig dapat dimobilisasi dengan cepat, baik pada medan yang berat atau berlumpur
g. Mudah dan cepat dalam pelaksanaan Rig Up dan Rig Down-nya
h. Biaya pengoperasian Rig harus bisa lebih murah
Kegiatan ini direncanakan akan dikerjakan dalam kurun waktu 2 tahun yaitu:
a. Tahun pertama (2013) melakukan rancang bangun sebuah Rig CBM yang meliputi:
-
Pembuatan dan Evaluasi Desain Rig CBM sesuai dengan konsep yang
dinginkan
Pembuatan Rancang Bangun Rig CBM, pelaksanaan pembuatan dan pabrikasi
Rig CBM dilakukan di Warehouse Petrodrill Dauwan Jawa Barat
Uji Coba Fungsi dan Load Test
b. Tahun kedua (2014) untuk pelaksanaan uji coba pemboran di lapangan,
optimalisasi desain diperlukan.
Pelaksanaan rancang bangun Rig CBM dilakukan di warehouse Petrodrill
Dauwan jawa Barat. Beberapa aktivitas kegiatan yang dilakukan meliputi
pekerjaan menggambar ulang detail desain, konstruksi (pemotongan, penyetelan,
dan pengelasan), penginstalan, Sand Blasting dan pengecatan. Gambar 7
menunjukkan Rig CBM yag telah berhasil dibuat.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
7
Gambar 7.
Rig CBM LEMIGAS-Balitbang ESDM
Komponen TKDN pada pembuatan prototipe rig CBM yang telah berhasil dibuat
telah mencapai lebih dari 40%, meliputi beberapa bagian struktur Rig antara lain
chasis, kabin, roda (unit carrier) dan sistem elektrik telah dibuat di dalam negeri,
serta beberapa komponen pada mesin, hidrolik, dan menara (mast).
Spesifikasi Rig CBM yang dibangun/Fabrikasi minimal adalah "Truck Mounted"
8 x 8 axle. Rig menggunakan 1 (satu) unit Engine dengan kapasitas 440 HP – 1800
rpm sebagai penggerak Truck & System Operasional Rig.
Pada rig CBM telah dilakukan pengujian terhadap fungsi rig up maupun rig
down, fungsi putar pada Top Drive, dan pengujian Jalan.Mesin Carterpilar C13 yang
berfungsi sebagai penggerak truk dan penggerak sistem operasi hydraulic,
terbukti cukup tangguh dengan pengujian jalan secara nonstop dan mampu
menempuh jarak sejauh 70 km.
Rig yang telah dibuat diharapkan dapat diujicoba pada skala lapangan dengan
melakukan beberapa kelengkapan teknis seperti pengurusan SILO (Surat Ijin
Layak Operasi) yang dikeluarkan oleh Ditjen Migas.Pada rig tersebut juga masih
diperlukan kelengkapan tambahan seperti Loading Ram dan Substructure bila
persyaratan penggunaan BOP (Blow Out Preventer) yang digunakan harus
lengkap.
3. Optimalisasi Kinerja Pilot Plant Adsorber Mercury RemovalUntuk Gas Bumi
Ketua Tim : Dra. Lisna Rosmayati M.Si
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Teknologi Gas,
Puslitbangtek Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Email:[email protected] dan [email protected]
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
8
Pada kegiatan sebelumnya di tahun 2012 telah dilakukan penelitian mengenai
pembuatan atau rancang bangun adsorber mercury removal dan peningkatan
potensi adsorben karbon aktif untuk menyerap uap merkuri dalam gas bumi
tetapi kinerja dan parameter spesifikasi adsorbennya belum teruji dan belum
diteliti. Untuk itu kegiatan penelitian di tahun 2013 yaitu Optimalisasi Kinerja
Pilot Plant Adsorber Mercury Removal untuk gas bumi sangatlah penting sebagai
aplikasi langsung di lapangan dalam mewujudkan usaha peningkatan kualitas gas
bumi dan mengembangkan potensi gas bumi dalam mengurangi konsumsi bahan
bakar minyak (BBM).
Gambar 8.
Adsorber mercury removal skala pilot
Adsorben yang digunakan dalam penelitian adalah karbon (arang) yang berasal
dari material tempurung kelapa yang diaktifkan melalui suatu proses aktivasi
fisika dan kimia dengan prosedur kerja yang sudah mengalami uji coba secara
laboratorium, sehingga menjadi adsorben karbon aktif yang dapat menyerap
kandungan merkuri (Hg) dalam gas bumi dengan optimal. Aktivasi adsorben
dalam kegiatan ini dilakukan dalam skala pilot, disesuaikan dengan kebutuhan
dan ukuran dari adsorber penghilang merkuri. Aktivasi fisika dilakukan
menggunakan reaktor dengan pemanasan hingga temperatur 600oC ditahan
selama 1 jam, sedangkan aktivasi kimia dilakukan dengan cara impregnasi
menggunakan aktivator ZnCl2 7%. Adsorben hasil aktivasi selanjutnya
dikarakterisasi dengan uji SEM (Scanning Electron Microscope), bilangan iodin
(iodine number) dan BET (Bett Elmer Teller). Hasil karakterisasi secara
keseluruhan menunjukkan bahwa adsorben hasil aktivasi mampu menyerap
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
9
kandungan merkuri dalam gas bumi dan siap untuk digunakan dalam uji kinerja
adsorber berskala pilot.
Pengujian kinerja
adsorbermercury removaldilakukan di GDS (Gas
Demonstration System) plant di PPPTMGB “LEMIGAS” dengan kondisi pengujian
tekanan aliran gas bumi 100 psi, temperatur udara 32oC dan laju alir gas bumi
berkisar pada 4,6 liter/menit. Data yang diperoleh dalam pengujian optimalisasi
kinerja adsorber penghilang merkuri bertujuan untuk menghitung seberapa besar
penurunan tekanan dalam sistem (pressure drop), menghitung besarnya efisiensi
penyerapan dari adsorben dan menghitung masa pakai ( life time) adsorben.
Efisiensi penyerapan tergantung pada jenis adsorben (karbon aktif) dan akan
mempengaruhi waktu tinggal merkuri serta besarnya penurunan tekanan
(pressure drop) sistem. Sedangkan impregnant (ZnCl2) berpengaruh pada masa
pakai (life time) dan waktu tinggal. Dari hasil uji pressure drop didapatkan bahwa
ketika tanpa adsorben, terjadi penurunan tekanan sebesar 0,8001 psig/ft dan
dengan adsorben terjadi penurunan tekanan sebesar 1,7526 psig/ft.
Sementara karakteristik adsorben didalam silinder (adsorber) harus
memilikipressuredrop maksimal 10 psig (Rules of Thumb for Chemical Engineers
Carl Branan, 2002). Hasil uji menunjukkan bahwa pressure drop masih jauh di
bawah 10 psig, sehingga adsorber dapat berfungsi memisahkan merkuri dengan
baik.
Konsentrasi merkuri dalam gas bumi di titik inlet adsorber dalam 30 menit
pertama pengujian, terukur oleh Mercury Analyzer sekitar 6400 µg/m3. Setelah 30
menit, jumlah konsentrasi merkuri yang terukur mengalami penurunan hingga
menit ke 94, yaitu sekitar 3500 µg/m3. Setelah menit ke 94, konsentrasi merkuri
di inlet naik sedikit dan menurun kembali pada menit 130. Sedangkan konsentrasi
merkuri dalam gas bumi di titik outlet adsorber dalam 30 menit pertama terukur
sekitar 400 µg/m3, dan mengalami penurunan hingga menit 135. Pada menit 150,
konsentrasi merkuri di outlet naik kembali dengan konsentrasi merkuri terukur
117 µg/m3 dan turun kembali di menit 180 an. Gambaran konsentrasi merkuri di
inlet dan outlet adsorber selama pengujian kinerja berlangsung dapat dilihat pada
grafik gambar di bawah.
Dari hasil perhitungan kapasitas adsorpsi adsorben karbon aktif tempurung
kelapa diketahui bahwa kapasitas penyerapan mercury dalam karbon aktif adalah
0,124 Kg-Hg/Kg-Carbon.Jadi untuk 1 kg adsorben karbon aktif tempurung kelapa
yang telah diaktifasi, mampu menyerap merkuri dalam gas bumi sebesar 0,124 kg
Hg.
Kapasitas adsorpsi suatu adsorber sangat bergantung pada ukuran dimensi
adsorbernya seperti tinggi, diameter adsorber dan laju alir gas bumi yang diuji.
Untuk efisiensi penyerapan, diperoleh rata-rata efisiensi penyerapan karbon aktif
tempurung kelapa terhadap merkuri dalam gas bumi di titik inlet dan outlet
adsorber adalah 95,74 %.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
10
Gambar 9.
Pelaksaan pengujian uji kenerja peralatan mercury removal
4. Pembuatan Membran Serat Berongga dan Uji Aplikasi Pemisahan CO2 Pada
Gas Alam Lapangan Tekanan Rendah
Ketua Tim : Dr. Adiwar
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Teknologi Proses,
Puslitbangtek Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Email:[email protected] dan [email protected]
Maksud dari kegiatan adalah membuat membran serat berongga yang selektif
untuk pemisahan gas CO2 dari gas alam lapangan gas tekanan rendah dan uji aplikasi
lapangan. Tujuan kegiatan adalah penguasaan teknik pembuatan membran serat
berongga dan penguasaan teknik pemisahan uji aplikasi lapangan terkait pemisahan
CO2 dari gas alam pada lapangan gas tekanan rendah.
Gambar 10.
Unit Peralatan Pembuat Membran Serat Berongga
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
11
Telah dilakukan pembuatan membran serat berongga dengan menggunakan alat
unit pembuat membran serat berongga. Unit peralatan ini terdiri dari serangkaian
komponen berupa motor dan ulir penggerak piston, piston yang dilengkapi dengan
seal, tabung fluida, filter, spinneret, bak koagulan dan rol penggulung. Membran serat
berongga dibuat dari bahan dasar polimer celulosa asetat dan polietilena glikol yang
dilarutkan dalam aseton tanpa ditambah dan atau ditambah formamida.
Pengoperasian unit peralatan pembuat membran serat berongga, berhasil
mengubah larutan polimer yang bersifat instantenuous demixing menjadi membran
serat berongga dengan bentuk yang cukup baik seperti terlihat pada Gambar 11.
Gambar 11.
Membran serat berongga yang dihasilkandari komposisi yang bersifat
instantenuous demixing.
Namun peralatan tersebut tidak berhasil sama sekali mengubah larutan polimer
yang bersifat delayed demixing menjadi membran serat berongga. Mekanisme
perubahan fasa larutan polimer yang instantenuous demixing menghasilkan
membran dengan permukaan aktif berpori, sedangkan mekanisme perubahan fasa
larutan polimer yang delayed demixing menghasilkan membran dengan permukaan
aktif yang padat/tidak berpori.
Untuk mengatasinya, pada unit peralatan tersebut dilakukan penggantian pada
sistem penggeraknya dari sistem motor dan ulir menjadi sistem penggerak
pneumatik. Perubahan tersebut berhasil mengubah larutan polimer yang bersifat
delayed demixing menjadi membran serat berongga dengan bentuk yang cukup baik.
Pada peralatan tersebut dilakukan juga pengoperasian menggunakan spinneret
terhadap larutan polimer yang bersifat delayed demixingdan hasilnya berupa
membran serat berongga, tetapi bentuknyatidak konsisten bulat, kadang gepeng,
kempot dan bentol dan injeksian larutan polimer yang keluar dari spinneret sering
putus. Membran yang dihasilkan tidak melewatkan CH4namun dapat melewatkan
CO2 dengan permeabilitas sekitar 100 sampai 1.000 Barrer. Membran yang
dihasilkan dapat menahan tekanan operasi sekitar 40 sampai 60 psi.
Perbaikan terhadap bentuk membran dan ketahanan tekan membran dilakukan
dengan jalan mengubah diameter dan lebar celah larutan polimer spinneret.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
12
Gambar 12.
Bentuk
membran
konsisten bulat
yang
tidak Gambar 13.
Bentuk membran
konsisten bulat
yang
relatif
Terhadap membran serat berongga yang dibuat dilakukan uji selektifitas dan uji
ketahanan tekan untuk mendapatkan membran yang bisa dipakai untuk uji aplikasi
lapangan. Membran serat berongga yang diperoleh dikemas dalam bentuk elemen
membranyang bersama elemen head membentuk modul membran. Sejumlah modul
membran dipasangkan pada skid mountedhousing membentuk unit skid
mounteduntuk uji aplikasi lapangan.
Membran yang dihasilkan dari modifikasi tersebut tidak melewatkan CH4 dan
dapat melewatkan CO2 dengan permeabilitas sekitar 10-8 sampai 10-7
cm3(STP).cm.cm-2.s-1.cmHg-1 atau sekitar 100 sampai 1000 Barrer. Membran yang
dihasilkan dapat menahan tekanan operasi sampai 150 psi atau lebih.
Untuk menjaga perubahan morfologi membran sehingga membran dapat
disimpan dalam keadaan kering dan terekspos dalam kondisi ambien, maka terhadap
membran tersebut dilakukan perendaman menggunakan kepolaran bertahap dengan
isopropil alkohol dan heksana.
Menurut Robeson (1991), unjuk kerja membran komersial untuk pemisahan CO2
dan CH4 pada gas lapangan memiliki selektifitas aktual sekitar 8 – 20 dengan
permeabilitas CO2 sekitar 50 – 120 Barrer. Kemungkinan besar tipikal unjuk kerja
membran komersial untuk pemisahan CO2 dan CH4 pada gas lapangan pada saat ini
sudah jauh lebih meningkat. Merujuk pada apa yang dikemukakan oleh Robeson
tersebut, membran yang dihasilkan dalam penelitian ini sangat potensial untuk
diaplikasikan dalam pemisahan CO2 dan CH4 pada gas lapangan walaupun data yang
dipunyai pada saat ini masih terbatas pada selektivitas ideal dan permeabilitas gas
murni, belum terhadap gas campuran.
5. Pengembangan Peta Potensi Energi Terbarukan Indonesia
Tim : Marlina Pandin dan Hari Soekarno
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3)
Terbarukan, Puslitbangtek KEBTKE
Email : [email protected],[email protected].
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
Energi Baru
13
Melalui Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi
Nasional,Pemerintah menetapkan target pangsa energi baru terbarukan sebesar 17%
pada tahun 2025. Saat ini, target pangsa energi baru terbarukan dalam bauran energi
nasional menjadi lebih tinggi, yaitu sebesar 25% pada tahun 2025, atau dikenal
dengan “Visi Energi 25/25”.
Visi Energi 25/25 menekankan kepada 2 (dua) hal penting, yaitu upaya konservasi
energi di sisi pemanfaatan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi
nasional, dan upaya diversifikasi energi di sisi penyediaan dengan mengutamakan
energi baru terbarukan.Pada tahun 2013, Puslitbangtek KEBTKE melaksanakan
kegiatan Pengembangan Peta Potensi Energi Terbarukan Indonesia yang merupakan
tahun ke-3. Tujuan akhir kegiatan ini adalah tersedianya visualisasi data potensi
energi baru terbarukan di Indonesia. Adapun potensi energi baruterbarukan
tersebut, meliputi angin, surya, biomassa, dan mikrohidro.
Pada tahun 2013 dilaksanakan Pengembangan aplikasi Peta Potensi EBT
Indonesia berbasis GIS dan Web;pengolahan dan pengintegrasian data hasil kegiatan
Studi Potensi Energi Angin;pengembangan Model Peta Kecepatan Angin melalui
downscalling hingga diperoleh resolusi yang lebih tinggi (Downscallingke resolusi
27x27 km);pengembangan model peta potensi energi mikrohidro pulau
Sumatera;pembuatan Peta potensi Biomassa: melengkapi dengan sektor kehutanan
dan mengembangkan hingga level Kecamatan;pengembanganmodel peta
RadiasiSuryaIndonesia resolusi 27x27 km; verifikasi data potensi energi surya di
lokasi-lokasi prospek melalui pengambilan data sekunder dan pengukuran lapangan,
perhitungan, modeling data dan analisis hasil.
Kegiatan yang berhasil dilaksanakan sebagai berikut:
a. Peta Potensi Angin
Pembuatan peta kecepatan angin rata-rata dimulai tahun 2008 pada ketinggian 10
m di atas permukaan tanah untuk wilayah Indonesia dengan melakukan proses
downscaling menggunakan perangkat lunak WRF. Peta yang dihasilkan memiliki
grid27 km, time sampling6 jam. Validasi telah dilakukan dengan menggunakan data
hasil pengukuran lapangan yang telah dilakukan P3TKEBTKE di Sukabumi pada
tahun 2008.
• Peta kecepatan angin Indonesia resolusi 27x27 km menampilkan kecepatan angin
rata-rata tahunan di Indonesia dalam bentuk gradasi warna hijau hingga merah
(rendah ke tinggi) dengan nilai antara 1,1 - 7,8 m/detik (Gambar 14).
• Kecepatan angin terendah yaitu 1,1 - 3,6 m/detik (warna hijau) terdapat di
dataran pulau-pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
• Kecepatan angin 3,6 - 5,4 m/detik (warna kuning dan oranye) tersebar di sebagian
pulau Jawa dan Laut Jawa, serta di wilayah Nusa Tenggara;
• Kecepatan angin tertinggi 5,4-7,8 m/detik (warna merah) terdapat di pesisir
selatan pulau Jawa, sebagian Laut Jawa, sebelah selatan Wilayah Nusa
Tenggaradan Laut Banda (Maluku Tenggara);
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
14
• Pengembangan energi angin di Indonesia dapat difokuskan di wilayah-wilayah
yang memiliki kecepatan angin cukup baik yaitu sebelah selatan pulau Jawa, Nusa
Tenggara dan Maluku Tenggara.
Gambar 14.
Kecepatan Angin Rata-rata Tahun 2008 Resolusi 27x27km
b. Peta Potensi Energi Surya
Dengan metode yang sama, dilakukan downscaling untuk radiasi global surya pada
permukaan horizontal di wilayah Indonesia untuk tahun 2008, sehingga diperoleh
petaradiasi global resolusi 27x27 km (Gambar 15).
Gambar 15.
Radiasi Global Surya Tahun 2008 Resolusi 27x27km.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
15
• Peta intensitas radiasi surya Indonesia resolusi 27x27 km menunjukkan radiasi
surya rata-rata tahunan di Indonesia dalam bentuk gradasi warna hijau hingga
merah (rendah ke tinggi) dengan nilai bervariasi antara 100-290 Watt/m2;
• Peta ini menunjukkan seberapa besar energi yang mampu dihasilkan oleh suatu
alat konversi energi surya seperti panel PV dan kolektor surya pelat datar apabila
dipasang pada permukaan horizontal di lokasi dimana sistem tenaga surya akan
dipasang;
• Berdasarkan informasi dari peta tersebut, potensi energi surya terbesar di
Indonesia terdapat di wilayah selatan Indonesia bagian timur seperti NTT, flores,
maluku barat daya dan sekitarnya (warna merah).
c. Peta Potensi Energi Biomassa
Pengembangan peta potensi energi biomassa pada tahun 2013 difokuskan pada
sektor kehutanan. Seperti halnya dari sektor pertanian, biomassa untuk energi dari
sektor kehutanan hanya memanfaatkan limbah hasil hutan mengingat produk
utamanya ditujukan untuk pemanfaatan yang lain seperti kertas, furniture, dan lain
sebagainya.Pemetaan limbah hasil hutan ini dimaksudkan agar dapat diketahui
sebaran dan kuantitasnya, sehingga dapat dilakukan perencanaan yang tepat dalam
pemanfaatannya.Setelah memetakan jumlah limbah hutan produksi, selanjutnya
limbah tersebut dikonversi menjadi potensi energi listrik. Menurut Lembaga
Penelitian Hasil Hutan yang berkedudukan di Bogor, hasil hutan jenis kayu
menghasilkan limbah sebesar 3 m3/ha/tahun. Dengan berat 1 m3 limbah adalah 0,18
ton dan kalori yang dikandung setiap ton limbah adalah 3992,6 kalori serta 1 ton
kalori setara dengan 1,1628 KWh, maka untuk setiap 1 ha hutan produksi kayu per
tahun dihasilkan limbah yang setara dengan 2,5 KWh listrik.
• Peta potensi energi biomassa menyajikan estimasi potensi energi biomassa dari
limbah pertanian, perkebunan, dan kehutanan pada level kabupaten di seluruh
Indonesia;
• Dari peta ini terlihat total potensi energi dari limbah biomassa Indonesia adalah
35,6 GW yang disumbangkan oleh limbah masing-masing tanaman yaitu padi
(19,1 GW); jagung (3,47 GW); Singkong (2,3 GW); Kelapa Sawit (0,81 GW); Kelapa
Dalam (0,82), dan Hutan Produksi ( 8,8 GW);
• Potensi limbah biomassa terbesar berada di Pulau Jawa yang berasal dari limbah
tanaman padi, sementara untuk limbah hutan produksi terdapat di pulau
Kalimantan.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
16
Hasil pengembangan peta potensi energi biomassa dari limbah pertanian dan
kehutanan untuk seluruh Indonesia disajikan per provinsi (dalam Gambar 16hanya
Provinsi NAD saja yang ditampilkan):
Gambar 16.
Peta Cetak Potensi Energi Biomassa dari Limbah Pertanian dan Kehutanan Provinsi NAD
d. Model Peta Potensi Mikrohidro:
Pengembangan peta potensi mikrohidro
dilaksanakandi wilayah provinsi Lampung.
Gambar 17.
pada
tahun
anggaran
Peta Cetak Potensi Mikrohidro Provinsi Lampung.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
17
2013
Metodologi yang diterapkan dalam pengembangan peta potensi mikrohidro
provinsi Lampung, kemudian juga digunakan dalam pengembangan peta potensi
mikrohidro di provinsi lainnya di Pulau Sumatera mencakup:
1. Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (Aceh);
2. Provinsi Sumatera Utara;
3. Provinsi Sumatera Barat;
4. Provinsi Riau;
5. Provinsi Sumatera Selatan;
6. Provinsi Jambi;
7. Provinsi Bengkulu.
Hasil dari kegiatan pengembangan potensi mikrohidro ini adalah:
•
Model peta potensi mikrohidro pulau Sumatera menunjukkan bahwa di pulau
Sumatera terdapat potensi mikrohidro yang cukup besar bervariasi antara 0-50
kW, 50-100 kW, dan 100-500 kW;
• Model ini tidak dikembangkan untuk Provinsi Bangka Belitung dan Provinsi
Kepulauan Riau. Hal ini mengingat kedua provinsi ini terdiri dari pulau-pulau yang
relatif kecil dengan kontur yang cukup datar, sehingga potensi mikrohidro sangat
terbatas;
• Model ini tidak terbatas hanya untuk potensi mikrohidro (5kW-1MW), namun
dapat digunakan untuk memodelkan potensi hingga 1-5MW (minihidro). Hasil
sementara menunjukkan pulau Sumatera juga sangat potensial untuk Pembangkit
Listrik Tenaga Minihidro.
6. Studi Potensi Energi Angin
Tim : Dian Galuh Cendrawati dan Syaiful Nasution
Kelompok Energi Baru Terbarukan, Puslitbangtek KEBTKE
Email:[email protected], [email protected]
Tujuan kegiatan adalahmelakukan studi potensi energi angin yang komprehensif,
agar tersedia informasi yang cukup sebagai bahan untuk melakukan studi kelayakan
PLT Angin yang komersial.Metodologi Studi Potensi Energi Angin adalah
pengumpulan data sekunder untuk angin, terrain dan lingkungan, serta
pengumpulan data primer profil kecepatan angin.
Pada tahun 2013, telah terpasang empat belas menara ukur kecepatan angin, yaitu
di lokasi Tahuna dan Pulau Lembeh (Sulawesi Utara), Probolingg (Jawa Timur), Pulo
Panjang (Banten), serta Serdang Bedagai (Sumatera Utara). Sementara lokasi menara
ukur kecepatan angin hasil kerja sama dengan PERTAMINA berada di Lampung Barat
(Lampung), Tanah Laut (Kalimantan Selatan) dan Pandeglang(Banten).
Selain itu, terdapat juga lokasi menara ukur yang baru terpasang, yaitu di Bogor
(Jawa Barat), Pulau Sabu (Nusa Tenggara Timur) dan Pulau Moa (Maluku).
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
18
a. Pada menara ukur di Tahuna, Sulawesi Utara tidak dilakukan perbaikan dan
dilakukan analisis data yang bisa terkumpul dan pra studi kelayakan. Kecepatan
rata-rata angin dari bulan 21 April 2012 hingga 13 Januari 2013 adalah 3,99 m/s
pada ketinggian 50 m, dan arah angin dominan adalah dari arah utara (Gambar
18).
Gambar 18.
Data pengukuran angin menara Tahuna.
b. Pada menara ukur di Pulau Lembeh, Sulawesi Utara kecepatan rata-rata angin dari
bulan 11 April 2012 hingga 23 Januari 2014 adalah 4,55 m/s pada ketinggian 30
m; 5,25 m/s pada ketinggian 50 m dengan arah angin dominan adalah dari arah
tenggara.
c. Pada menara ukur di Probolinggo, Jawa Timur telah berakhir waktu pengukuran
kecepatan angin dan akan dilakukan analisis data yang bisa terkumpul dan pra
studi kelayakan. Kecepatan rata-rata angin dari bulan Juni hingga Desember 2013
adalah 2,13 m/s pada ketinggian 20m; 4,03 m/s pada ketinggian 30 m; 5,81 m/s
pada ketinggian 50 m dengan arah angin dominan adalah dari arah selatan
(Gambar 19).
Gambar 19.
Data pengukuran angin menara Probolinggo
d. Pada menaradi Pulo Panjang, Bantendilakukan perbaikan, kecepatan angin
terukur pada awal bulan Juni 2013 sampai dengan Desember 2013 adalah 1,71
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
19
m/s pada ketinggian 20m; 2,02 m/s pada ketinggian 30 m; 2,16 m/s pada
ketinggian 50 m dengan arah angin dominan adalah dari arah barat daya (Gambar
20).
Gambar 20.
Data pengukuran angin menara Pulau Panjang
e. Pada menara ukur di Serdang Bedagai, Sumatera Utara, waktu pengukuran
kecepatan angin telah berakhir dan sudah dilakukan presentasi serta penyerahan
hasil penelitian ke pemerintah daerah setempat dalam hal ini diwakili oleh
instansi BAPEDA Serdang Bedagai. Kecepatan angin rata-rata (nilai tengah
distribusi kecepatan) diDesa Sentang, Kecamatan Teluk Mengkudu sebesar 2,57
m/s; 3,15 m/s dan 3,25 m/s masing-masing berturut-turut pada ketinggian 20 m,
30 m dan 50 m dengan arah dominan dari barat daya.
f. Pada tahun 2013 juga dilakukan pengontrolan terhadap kondisi menara ukur
kecepatan angin yang telah terpasang di beberapa lokasi dan ternyata mengalami
kerusakan, yaitu menara ukur kecepatan angin di Lampung Barat (roboh, akhir
Desember 2012), Tahuna (patah stek menara, Januari 2013), Pulo Panjang (patah
stek menara, Januari 2013).Untuk lokasi menara Lampung Barat telah dilakukan
pertemuan dengan PERTAMINA dan disepakati bahwa akan dilakukan relokasi
yang akan didiskusikan lebih lanjut penempatan lokasi terbarunya.Kerusakan
tersebut menyebabkan data dari menara ukur hasil kerjasama dengan
PERTAMINA belum dapat dianalisis sesuai dengan jadwal agenda kerjasama.
g. Pada tahun 2013 telah beroperasi menara ukur kecepatan angin di Jonggol, Jawa
Barat dan Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur. Kecepatan rata-rata untuk lokasi
menara di Jonggol dari bulan 29 Nopember hingga 30 Desember 2013 adalah 2,29
m/s pada ketinggian 20m; 2,43 m/s pada ketinggian 30 m; 2,65 m/s pada
ketinggian 50 m dengan arah angin dominan adalah dari arah utara.Kecepatan
rata-rata untuk lokasi menara di Sabu dari 25 hingga 30 Desember 2013 adalah
3,33 m/s pada ketinggian 20m; 3,75 m/s pada ketinggian 30 m; 3,96 m/s pada
ketinggian 50 m dengan arah angin dominan adalah dari arah utara.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
20
7. Studi Potensi Panas Bumi Untuk Catu Daya Smelter Mangan di NTT
Tim : Benny Facius Dictus dan Hari Soekarno
Kelompok
Energi
Baru
Terbarukan,
Email:[email protected]
Puslitbangtek
KEBTKE,
Kebutuhan akan energi, khususnya energi listrik, makin berkembang menjadi
bagian tak terpisahkan dari kebutuhan hidup masyarakat seiring dengan pesatnya
peningkatan pembangunan di bidang teknologi, industri dan informasi.
Pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan di NTT perlu didorong
mengingat terdapat potensi energi panas bumi sebesar ±29 GWe, kapasitas
terpasang ±1,2GWe dan ±276 lokasi yang tersebar di wilayah nusantara (Badan
Geologi, 2010),dan untuk wilayah Nusa Tenggara (NTT) potensi sebesar ± 1.0GWe.
Tujuan kegiatan adalahtersedianya identifikasi setiap jenis potensi sumber daya
energi terbarukan secara lengkap di setiap wilayah khususnya di NTT.Pengumpulan
data skunder diperoleh dari beberapa instansi, antara lain Pusat Sumber Daya
Geologi, PT PLN cabang Nusa Tenggara Timur, Puslitbangtek Mineral dan Batubara,
dan Dinas Pertambangan dan Energi Nusa Tenggara Timur. Dari data tersebut
dilakukan analisis potensi panas bumi, pemetaan potensi tambang mangan,
pemetaan sistem Transmisi Jaringan dan distribusi ketenagalistrikan, penentuan
letak industri smelter.
Hasil yang didapat, antara lain kebutuhan terbesar listrik di NTT adalah Kupang
(37%). Pertumbuhan permintaan listrik di NTT sekitar 11% per tahun.
Potensi energi panas bumi yang dapat dikembangkan saat ini untuk pulau Flores,
yaitu dari lapangan Sukoria, Mataloko, Ulumbu dan Wai Pesidengan total kapasitas ±
210 MW.
Data mineral mangan sebagian besar tersebar di Kabupaten Manggarai, dengan
status cadangan dan terbukti sebesar 248,000 ton di lokasi Satamani, desa
Satarpunda dengan kadar Mangan 38%.Berdasarkan potensi tersebut, maka dapat
dikembangkan smelter kapasitas 10.000 ton ingot mangan per tahun selama 25
tahun. Penentuan letak smelter berdasarkan, transportasi ingot mangan melalui laut,
dekat dengan jaringan excisting. Sehingga terpilih lokasi di Kecamatan Lambaleda,
namun masih memerlukan pembangunan pelabuhan dan penambahan jaringan
listrik tegangan 70 kVA sepanjang 20 km. Gambar 21 memperlihatkan roadmap
sistem ketenagalistrikan Kepulauan Flores.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
21
Gambar 21.
Roadmap interkoneksi transmisi 70 KV.
Perkiraan investasi yang dibutuhkan, meliputi:
Tabel 1. Perkiraan kebutuhan investasi
No
Investasi
1.
Pembangkit listrik panas bumi Ulumbu dan
Mataloko
2.
Smelter kapasitas 10.000 ton/tahun
3.
Jaringan, 70 kVA, sepanjang 20 km
4.
Pelabuhan kapasitas 5.000DWT
Total
Biaya (Rp)
1.870.000.000.000
458.000.000.000
10.404.000.000
8.727.725.000
2.347.131.275.000
8. Penelitian Potensi Energi Arus Laut Sebagai Energi Baru Terbarukan Di
Perairan Raja Ampat, Papua Barat
Tim : Mira Yosi, Nazar Nurdin, Erni Herawati, Beben Rachmat, Mario Dwi Saputra,
Evie H. Sudjono, Hananto Kurnio, Rina Zuraida
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Sumber Daya Geologi
Kelautan, Puslitbang Geologi Kelautan
Email: [email protected]
Saat ini Indonesia masih mengandalkan sumber daya energi fosil yang merupakan
sumber energi tak terbarukan, yaitu: minyak, gas dan batu bara. Secara nasional,
pertumbuhan kebutuhan energi meningkat dengan cepat mencapai 8,5% pertahun.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
22
Menurut data Dirjen Ketenagalistrikan hingga akhir 2013, tingkat rasio elektrifikasi
di seluruh wilayah Indonesia mencapai 79,3%. Tingkat elektrifikasi terendah berada
di Papua hingga 35%. Rendahnya rasio elektrifikasi di daerah Papuadisebabkan
permasalahan infrastruktur dan belum maksimalnya pemanfaatan potensi sumber
energi terbarukan.
Sebagai Negara maritim, Indonesia menyimpan potensi energi baru terbarukan
yang besar, salah satunya adalah sumber energi dari arus laut. Salah satu prioritas
penguasaan, pengembangan, dan penerapan iptek dalam Buku Putih Iptek 20052025 adalah penciptaan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan.
Lokasi daerah penelitian adalah Selat Mensuar, Kecamatan Meos Mansar,
Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Koordinat lokasi penelitian
adalah:130°30’4” – 130°41’19.19” BT0°30’24” – 0°36’45” LS. Kabupaten Raja Ampat
memiliki 610 pulau, empat diantaranya adalah pulau-pulau besar, yaitu: Pulau
Misool, Salawati, Batanta, dan Waigeo.
0° 16' 37" LS
Peta Indeks
P. WAIGEO
P. GAM
P. BATANTA
P. SALAWATI
1° 4' 56' LS
130° 21' 18'' BT
131° 29' 29'' BT
Lokasi Penelitian
Gambar 22.
Lokasi Kegiatan Penelitian Potensi Energi Arus Laut Sebagai Energi Baru
Terbarukan di Perairan Raja Ampat, Papua Barat
Tujuan penelitian adalah mengetahui potensi energi setempat khususnya sumber
energi terbarukan (arus laut) di daerah yang belum berkembang, daerah terpencil,
dan daerah pedesaan serta mengetahui karakteristik fisik air laut dan dasar laut yang
dapat digunakan untuk menentukan jenis turbin yang cocok untuk daerah tersebut.
Pengamatan pasang surut dilakukan di depan Dermaga Desa Sawinggrai. Tipe
pasut di selat Mansuar ini adalah tipe semidiurnal dengan arah arus saat pasang ke
timur dan pada saat surut berbalik arah ke barat. Kecepatan arus maksimum selama
pengukuran adalah 1.793 m/detik (spring tide) yang berjarak sekitar 100 m dari
pantai.
Morfologi dasar laut Selat Mansuar relatif terjal dengan kedalaman maksimum
98,22 m dengan perairan di bagian Barat selat terbagi menjadi dua alur dengan
kehadiran dua tinggian yang tertutup karang. Kedua tinggian tersebut secara umum
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
23
membentukarah Barat–Timur.Hasil pengukuran batimetri dan pengamatan langsung
di lapangan menunjukkan bahwa batimetri di selatan P. Gam, pantai di utara P.
Mansuar dan tinggian di bagian barat selat umumnya cukup landai hingga kedalaman
3 m untuk kemudian berubah terjal (sudut lereng sekitar 70°) hingga kedalaman 1520 m dan membentuk dataran sempit sebelum berubah lagi menjadi tebing terjal ke
arah bawah. Tinggian ini kemudian ditutupi oleh berbagai jenis koral.
P. Gam
Gambar 23.
P. Mansuar
Morfologi kedalaman dasar laut Selat Mansuar
Pengukuran arus dilakukan pada dua lokasi, yaitu di Desa Sawinggrai
(kedalaman 26 m) dan Desa Kapisawar (kedalaman 26 m)menggunakan alat
pengukur arus akuistik agronaut frequensi 750 khz dan ADCP 300khz untuk
pengukuran arus secara transek.
(a)
Gambar 24.
(b)
Alat pengukur arus yang di deploy di permukaan dasar laut (a) dan pengukuran
secaratransek (b).
Kecepatan arus yang diperoleh selama pengukuran di lokasi Desa Sawinggrai
dengan jarak tidak lebih dari 100 m dari garis pantai berkisar 0,04–1,793 m/dtk
dengan arah dominan relatif ke timur- barat. Sedangkan kecepatan arus di Desa
Kapisawar selama pengukuran berkisar 0,001 – 1,697 m/detik dengan arah dominan
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
24
relatif berarah tenggara – barat laut. Turbin yang efektif untuk diterapkan di Selat
Mansuar ini adalah jenis turbin yang bekerja pada arus yang tidak terlalu kencang
(contoh: turbin jenis Gorlov dengan cut in speed 0,5 m/detik).
Perubahan pasang surut berpengaruh terhadap besarnya rapat daya yang
dihasilkan di Selat Mansuar ini . Hal ini dikarenakan arus laut yang merupakan
sumber dari rapat daya sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Selain kondisi
pasang surut, kedalaman atau morfologi dari perairan mempengaruhi besarnya rapat
daya. Besar total rapat daya untuk satu unit turbin pada saat kondisi spring tidedapat
dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Rapat Daya di Lokasi Sawinggrai
PERHITUNGAN RAPAT DAYA – SAWINGGRAI
SATU UNIT TURBIN
Nominal Power
2954.16
W/m2
2.954
kW/m2
Rapat daya dalam 1 hari
8373.06
Wh/m2
8.37
kWh/m2
Rapat daya dalam 14 hari
58366.08
Wh/m2
58.37
kWh/m2
Rapat daya dalam 1 bulan
125070.17
Wh/m2
125.07
kWh/m2
Tabel 3. Rapat Daya di Lokasi Kapisawar
PERHITUNGAN RAPAT DAYA – KAPISAWAR
SATU UNIT TURBIN
Nominal Power
2504.61
W/m2
2.505
kW/m2
Rapat daya dalam 1 hari
5335.99
Wh/m2
5.34
kWh/m2
Rapat daya dalam 10 hari
18352.66
Wh/m2
18.35
kWh/m2
Rapat daya dalam 1 bulan
55057.99
Wh/m2
55.06
kWh/m2
Sedimen pantai dan dasar laut daerah penelitian sebagian besar terdiri atas
sedimen yang berasal dari organisme yang hidup di daerah tersebut (bioklastik) dan
juga dari batuan penyusun Pulau Gam dan Mansuar. Berdasarkan ukuran besar butir,
sedimen pantai dan dasar laut daerah penelitian terdiri atas pasir kerikilan, pasir
sedikit kerikilan dan pasir. Pasir sedikit kerikilan hanya dijumpai di satu pocket
beach yang berdekatan dengan singkapan batugamping di P. Mansuar. Pasir kerikilan
umumnya dijumpai pada reef flat dan reef front, sedangkan pasir umumnya dijumpai
pada fore reef.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
25
R4-2013-13
20
P. GAM
40
30
30
50
30
50
80
80
R4-2013-12A
Sawinggrai
gS
30
50
30
30
30
40
20
60
30
10
20
R4-2013-20
50
40
40
20
40
30
20
80
60
30
90
70
40
20
30
30
30
60
50
R4-2013-02
30 60
30
20
80
50
20
30
10
20
R4-2013-18
40
50
40
80
gS
40
20
Y enwaupor
R4-2013-1140
S
Kapisawar
20 10
60
S
30
R4-2013-14
R4-2013-09
R4-2013-10 A
R4-2013-19
SELAT M ANSUAR
-0° 30' 24"
130° 41' 19.19
-0° 30' 24"
130° 30' 4"
20
30
40
40
30
10
30
20
40
30
30
20
40
50
10
P. Kri
R4-2013-08
10
30
60
30
P. Arborek
R4-2013-15
SELAT M ANSUAR
30
10
70
80
10
40
30
30
10
gS
20
20
40
30
20
80
20
40
80
80
70
80
80
10
20
10
50
20
30
40
10
R4-2013-05
10
10
50
R4-2013-04A
2040
30
10
70
30 20
10
40
R4-2013-03
Sauwandarek
S0R4-2013-01
60
10
10
10
(g)S
R4-2013-16
S 20
Kurkapa
Meos Mansar
10
R4-2013-17
10
10
10
30
20
40
310
2
gS
60
70
80
20
40
50
10
30
50
SELAT DAMPIER
40
-0° 36' 45"
-0° 36' 45"
P. MANSUAR
130° 41' 19.19"
130° 30' 4"
PETA INDEKS
130° 0' 28"
LEGENDA :
0° 5' 4"
0° 5' 4"
131° 20' 53"
Weigeo
S
(g)S
gS
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN GEOLOGI KELAUTAN
: Pasir

: Pasir Sedikit Kerikilan
: Pasir Kerikilan
0
2
PETA SEBARAN SEDIMEN PERMUKAAN DASAR LAUT
DI PERAIRAN SELAT MANSUAR, PAPUA BARAT
4 KM
Penyusun
-0° 52' 55"
-0° 52' 55"
: Batuan
130° 0' 28"
KETERANGAN :
: Kontur batimetri interval 5 meter
131° 20' 53"
Lokasi penelitian
: Ibukota Kabupaten/Kecamatan
R4-2013-17
: Lokasi Pengambilan Sampel
Ir. Hananto Kurnio, M. Sc. dan Dr. Ir. Rina Zuraida
Pengamat
Navigator
Digambar oleh
Hartana
Diperiksa oleh
Disyahkan oleh
Dr. Susilo Hadi
Gambar 11 Peta sebaran sedimen permukaan dasar laut Selat Mansuar
Hasil analisis besar butir yang digabungkan dengan hasil pengamatan megaskopis
terhadap contoh sedimen yang diambil dari Selat Mansuar menunjukkan bahwa
sedimen permukaan dasar laut daerah penelitian berukuran pasir hingga kerikil
dengan penyusun utama (> 50%) berupa material karbonat bioklastik yang terdiri
atas fragmen koral, fragmen dan cangkang moluska dan foraminifera. Fragmen litik
berupa batuan karbonat, mineral gelap dari batuan sebelumnya, serta material
organik merupakan penyusun yang hadir dalam jumlah sedikit.
Pengukuran in situ juga dilakukan secara berkala, pada 2 lokasi yaitu di Desa
Sawinggrai (Pulau Gam) dan di Pulau Mansuar. Temperatur tercatat bevariasi antara
25 – 30,4 ˚C. Nilai salinitas tercatat antara 27-28,9 ‰, relatif lebih rendah daripada
nilai salinitas air laut pada umumnya (30-33 ‰), hal ini dikarenakan lokasi
pengambilan data dilakukan dekat dengan daratan dan pemukiman penduduk
sehingga kualitas air laut di lokasi pengukuran dipengaruhi oleh kegiatan manusia.
Oksigen terlarut pada lokasi pengukuran berkisar antara 8 – 15.5 mg/L. Nilai DO
pada lokasi pengukuran masih memenuhi baku mutu air laut untuk wisata bahari
dan biota laut dengan nilai diatas 5 mg/L.Turbiditas (kekeruhan) yang tercatat pada
setiap pengukuran menunjukkan nilai 0 NTU, sehingga dapat disimpulkan bahwa
perairan ini sangat jernih dan tidak terdapat partikel tersuspensi di dalamnya.
Pengamatan karakteristik pantai dilakukan dengan cara pengamatan sesaat
(snapshot) baik dari atas maupun bawah muka laut. Berdasarkan jenis materialnya,
maka pantai di daerah penelitian terdiri atas pantai dengan batuan keras dan
bertebing yang dijumpai di hampir seluruh daerah penelitian, baik di selatan P. Gam
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
26
maupun di utara P. Mansuar. Jenis pantai lainnya, yaitu pantai dengan sedimen lunak
yang mudah larut yang umumnya dijumpai sebagai pocket beach dengan lebar tidak
lebih dari 30 m dan berakhir di tekuk lereng yang tersusun oleh batugamping
(Gambar 25) .
130° 41' 19.19
-0° 30' 24"
-0° 30' 24"
130° 30' 4"
P. GAM


 

SELAT M ANSUAR



 
P. MANSUAR


SELAT DAMPIER
-0° 36' 45"
-0° 36' 45"



130° 41' 19.19"
130° 30' 4"
PETA INDEKS
130° 0' 28"
KETERANGAN :
0° 5' 4"
0° 5' 4"
131° 20' 53"
: Pantai berbakau
: Pantai berpasir

Weigeo
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN GEOLOGI KELAUTAN
: Pantai bertebing
: Pantai berbatu
: Endapan Aluvial (resistensi rendah)
0

2
PETA KARAKTERISTIK PANTAI
DI PERAIRAN SELAT MANSUAR, PAPUA BARAT
4 KM
Penyusun
-0° 52' 55"
-0° 52' 55"
: Batuan karbonat (dengan atau/tanpa natch)
resistensi tinggi
:Tanggul Pantai
: Relief rendah
130° 0' 28"
Lokasi penelitian
131° 20' 53"

: Relief sedang
: Perkampungan
Gambar 25.
Dr. Ir. Rina Zuraida
Pengamat
Navigator
Digambar oleh
Hartana, ST
Diperiksa oleh
Disyahkan oleh
Dr. Ir. Susilohadi
Karakteristik Pantai Selat Mansuar
Berdasarkan hasil pengukuran temperatur udara selama 15 hari menunjukkan
bahwa temperatur udara di sekitar Pulau Gam berkisar antara 23,8oC – 30,7oC.
kelembaban udara di lokasi penelitian berkisar antara 67-97 %. Hasil pengukuran
menunjukkan bahwa tekanan udara di lokasi penelitian berkisar antara 1013,31006,3 mbar. Kecepatan angin maksimum selama pengukuran adalah 32,2 knots,
yang berarah dari Barat Daya. Kecepatan terbesar berada pada kelas di bawah 10
knot, yaitu sebesar 93,3%, selanjutnya kelas 10-17 knot sebesar 6,3% (Gambar 26).
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
27
NORTH
25%
20%
15%
10%
5%
WEST
EAST
WIND SPEED
(Knots)
>= 34
Resultant Vector
20 deg - 28%
28 - 34
SOUTH
22 - 28
17 - 22
10 - 17
0 - 10
Calms: 0.00%
Gambar 26.
Diagram Angin Selat Mansuar (15 hari pengamatan).
Daerah yang berpotensi untuk penempatan turbin arus laut ini adalah di bagian
Barat Laut Selat Mansuar, yaitu di depan Desa Sawinggrai dan Kapisawar.
B. Diversifikasi Energi
1. Studi Pemanfaatan Campuran LPG dan DME untuk Kendaraan Bermotor
Ketua Tim : Reza Sukaraharja ST.MT
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Aplikasi Produk,
Puslitbangtek Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Email:[email protected]; dan [email protected]
Penggunaan LPG sebagai bahan bakar sepeda motor merupakan suatu alternatif
yang harus ditempuh dalam mengantisipasi tingginya pemakaian bahan bakar untuk
sepeda motor yang signifikan dengan bertambahnya jumlah sepeda motor. Uji unjuk
kerja di jalan raya sepeda motor berbahan bakar LPG merupakan lanjutan dari kajian
sebelumnya, yaitu rancangan peralatan konversi LPG dalam rangka peningkatan
kinerja sepeda motor.
Dengan peralatan konversi original ternyata menghasilkan turunnya kinerja
sepeda motor berupa daya yang didapat lebih kecil dan emisi HC cukup besar. Untuk
meningkatkan kinerja, maka dilakukan modifikasi pada regulator serta perancangan
mixer dan ignition timing (penisbahan waktu penyalaan) yang optimal, kinerja
sepeda motor berbahan bakar LPG menjadi setara/mendekati dengan kinerja sepeda
motor berbahan bakar bensin 88. Modifikasi terhadap peralatan konversi tersebut
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
28
diaplikasikan dalam uji prestasi di jalan raya bagi sepeda motor. Kinerja sepeda
motor tersebut kemudian dibandingkan dan dianalisis dengan kinerja sepeda motor
berbahan bakar bensin 88.
Uji kinerja mesin kendaraan berbahan bakar Bensin 88, LGV (Liquied Gas for
Vehicle), dan LGV mix DME (Dimethyl Ether)dilakukan pada chassis dynamometer
dengan parameter yang diuji daya maksimum, torsi maksimum, emisi gas buang,
konsumsi bahan bakar dan akselerasi.
Gambar 27.
Setting peralatan konversi, uji chassis dynamometer, dan uji jalan/road testsepeda motor
LPG
Hasil pengujian terhadap torsi yang dihasilkan oleh kendaraan berbahan bakar
campuran LGV-DME(DME 0%, DME 5%, DME 10%, DME 15% dan DME 20%), pada
bahan bakar LGV memberi efek rata-rata masing-masing lebih rendah 2,43%, 4,91%,
5,23%, 5,31% dan 3,07%dibandingkan dengan bensin 88. Mengingat daya lebih
mencerminkan kepada pencapaian kecepatan maksimum dan torsi mencerminkan
akselerasi, maka hal ini berarti bahwa driveability pada penggunaan campuran DME
sampai dengan 20% dalam LGV akan sama dengan pada penggunaan bensin 88
maupun LGV. Dengan demikian tidak akan diperlukan perubahan drive-habits dari
pengemudi. Namun pada rpm 2000 sampai dengan 3500 terjadi perubahan yang
cukup signifikan, dikarenakan pada rentang putaran mesin terjadi campuran miskin
yang berarti kurangnya pasokan bahan bakar bila menggunakan bahan bakar LGV
maupun campuran LGV-DME. Kondisi ini dapat diminimalisir dengan melakukan
setting kendaraan dengan menambahkan bahan bakar pada rentang putaran mesin
tersebut.
Pengujian juga dilakukan pada emisi gas buang, yaitu CO dan HC. Emisi CO yang
dikeluarkan oleh kendaraan berbahan bakar kendaraan memiliki kecenderungan
berkurang dengan penambahan komposisi DME dalam LGV.Sedangkan emisi HC
yang dihasilkan memiliki kecenderungan menurun dengan semakin meningkatnya
kecepatan dan meningkatnya komposisi DME dalam LGV. Oleh karena itu
pembakaran yang dihasilkan bahan bakar campuran LGV-DME lebih baik sehingga
menghasilkan kadar HC rata-rata lebih rendah daripada kendaraan yang berbahan
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
29
bakar bensin 88 dan LGV. Rendahnya kadar HC menunjukan bahwa bahan bakar
yang masuk ke ruang bakar lebih banyak yang terbakar. Penurunan emisi CO ratarata 92,42% dibandingkan dengan bensin 88 dan penurunan kadar emisi HC sebesar
rata-rata 21,23% dibandingkan dengan bensin 88.
Pada komposisi DME 0%, DME 5%, DME 10%, DME 15% dan DME 20%,
memberikan efek rata-rata kadar emisi CO2 yang lebih rendah dibandingkan dengan
bensin 88, yaitu masing-masing 5,02 %, 4,63%, 10,57 %, 12,61 %, dan 19,33 %.
Pada penelitian ini dilakukan juga uji akselerasi untuk mengetahui daya tarikan
kendaraan pada kondisi sentakan pedal gas penuh. Hasil pengukuran akselerasi
memperlihatkan bahwa terjadi perlambatan akselerasi pada saat kendaraan
menggunakan bahan bakar LGV, dan semakin lambat lagi bila komposisi DME
diperbanyak didalam LGV. Perlambatan akselerasi yang terjadi tidak terlalu besar
(rata-rata 1,23 detik) dan tidak terlalu dirasakan pada saat berkendera. Penambahan
komposisi DME 5%, DME 10%, DME 15% dan DME 20% dalam LGV memberi efek
penurunan terhadap daya akselerasi kendaraan dibandingkan dengan kendaraan
berbahan bakar bensin 88 masing-masing sebesar 0,13 %, 4,71%, 0,09 %, dan 0 %.
Untuk LGV sendiri terjadi besar kenaikan daya akselerasi sebesar 0,03 %.
Tabel 4. Konsumsi bahan bakar uji jalan
Bahan Bakar
Jarak Tempuh
(km)
Konsumsi Bahan
Bakar Km/L
(%)
Perubahan
BENSIN 88
5.188
12.38
LGV
5.209
10.09
18
LGV mix DME 20 %
5.125
8.70
30
Hasil uji konsumsi bahan bakar pada uji jalan menunjukkan bahwa ketika
menggunakan bahan bakar LGV terjadi penurunan konsumsi bahan bakar sebesar
18% dibanding bensin 88, sedangkan jika menggunakan campuran LGV dan DME
20% terjadi penurunan konsumsi bahan bakar sebesar 30% dibanding bensin 88
(Tabel 4).
Hasil penilaian pengukuran perubahan berat dan volume pada uji perendaman
komponen non metal saluran bahan bakar yang terdiri dari komponen non metal
seperti regulator, pelampung, selang, filter dan intake memenuhi batas minimal
perubahan berat dan volume.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
30
Gambar 28.
Pengujian chassis dynamometerdan Uji Jalan kendaraan dengan bahan bakar LGV dan LGV
mix DME
Untuk mendapatkan hasil yang lebih komprehensif terhadap pemanfaatan bahan
bakar campuran LGV-DME untuk sektor tranportasi perlu dilakukan penelitian lebih
lanjutkhususnya tentang kajian ekonomi yang lebih mendalam dan lebih
komprehensif dari hulu sampai hilir yang menyangkut tentang LGV dan DME.
2. Penelitian dan Pengembangan Energi Angin Untuk Pembangkit Listrik
Tenaga Angin (PLTAngin) Kapasitas Menengah
Tim : Nanda Avianto Wicaksono, Hari Soekarno, dan Harun Al Rasyid
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Energi Baru
Terbarukan, Puslitbangtek KEBTKE
Email: [email protected],[email protected],
[email protected].
Kegiatan ini dilandasi oleh berbagai kebijakan seperti kebijakan energi nasional
sebagaimana tertuang dalam Perpres No. 5 Tahun 2006 yang menargetkan 5%
kontribusi energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional tahun 2025 sebagai
acuan pengembangan energi terbarukan di Indonesia, UU No. 18 Tahun 2002 tentang
Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, dan Undang-undang No. 30 tahun 2008 tentang Energi khususnya
pemanfaatan energi setempat.
Salah satu langkah strategis untuk mengembangkan dan meningkatkan peran
energi baru dan terbarukan adalah dengan meningkatkan kegiatan studi dan
penelitian yang berkaitan dengan pembuatan "prototipe" yang sesuai dengan
spesifikasi dasar dan standar rekayasa, memasyarakatkan pemanfaatan energi baru
dan terbarukan sekaligus mengadakan analisis dan evaluasi lebih mendalam tentang
kelayakan operasi sistem yang memanfaatkan energi baru dan terbarukan tersebut
di lapangan melalui pembangunan beberapa proyek percontohan.
Terkait dengan pengembangan energi baru terbarukan maka dilakukan penelitian
dan pengembangan sistem PLTAngin kapasitas 100 kW hasil rancang bangun
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
31
teknologi lokal yang sesuai dengan karakteristik angin di Indonesia yang merupakan
kegiatan multi-years dimulai sejak tahun 2009. Secara umum, kegiatan pada tahun
2013 ditujukan untuk menghubungkan sistem elektrikal PLTAngin dengan Jaringan
Tegangan Menengah PLN, pemeliharaan sistem, peralatan, dan menara yang
dibutuhkan, modifikasi elektrikal dan mekanikal terkait dengan sistem yaw, dan
persiapan uji performa sistem untuk menentukan nilai setting pada aktuator.
Sedangkan tujuan khususnya adalah menyusun Human Machine Interface (HMI)
PLTAngin dengan memanfaatkan arsitektur SCADA.
Hasil yang diperoleh pada kegiatan ini adalah:
a. Koneksi sistem elektrikal PLTAngin dengan Jaringan Tegangan Menengah (JTM)
PLN dilakukan menggunakanTrafo 105kVA telah terlaksana.
b. Pemeliharaan sistem, peralatan, dan menara telah dilaksanakan, yaitu berupa
penyambungan power meter PLN (setelah trafo PLN) ke rumah/ruang kontrol,
pemindahan/pengaturan layout panel kontrol di rumah/ruang kontrol untuk
menghindari perusakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,
penambahan sistem kontrol di rumah/ruang panel yang merupakan bagian dari
Sistem/Peralatan Pengujian berupa Human Machine Interface(HMI) PLTAngin
yang terintegrasi dan berarsitektur SCADA (Gambar 29 dan Gambar 30).
Gambar 29.
Posisi instalasi trafo hasil penyambungan PLN terhadap tower menara PLT Angin,
dan rumah/ruang kontrol setelah kabel diatur kembali.
Gambar 30.
Hasil perapian cabling di nacelle Tagging Kabel
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
32
c. Modifikasi elektrikal dan mekanikal terkait dengan sistem yawjuga dilakukan
secara keseluruhan sehingga sistem yaw tidak gagal (zero fault) karena
merupakan prasyarat mutlak yang harus dipenuhi sebelum PLTAngin
dioperasikan (Gambar 31). Pekerjaan dimaksud meliputi pengencangan baut-baut
pada dudukan bilah, penghubung nacelle-yaw dan menara serta pekerjaan
pemeliharaan hidrolik brake system dengan memperbaiki pressure and flow
variable valvehingga tekanan di caliper yang mendorong disk brake mencapai
maksimal (100 bar).
Gambar 31.
Modifikasi mekanikal dan elektrikal sistem yaw
d. Pekerjaan instalasi sistem/peralatan pengujian berupa Human Machine Interface
(HMI) PLTAngin yang terintegrasi dan berarsitektur SCADA meliputi
pekerjaanSistem kontrol di nacelle, Sistem kontrol di ruang kontrol, dan system
Human Machine Interface (HMI) PLT Angin yang terintegrasi dan berarsitektur
SCADA.Hasil pengujian menunjukkan sistem/peralatan yang diinstal mampu
membaca sensor-sensor, kemudian mengolahnya dengan menggunakan algoritma
tertentu, dan kemudian hasil pengolahan tersebut digunakan untuk menentukan
nilai setting pada aktuator.
3. Kegiatan Sistem Gasifikasi Biomassa Untuk Pembakaran Keramik
Tim : Aminuddin, Errie Kusriadi, dan Bono Pranoto
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Energi Baru
Terbarukan, Puslitbangtek KEBTKE
Email:[email protected], [email protected], [email protected]
Kegiatan ini dilandasi oleh kebijakan energi nasional sebagaimana tertuang dalam
Perpres No. 5 Tahun 2006 menargetkan 5% kontribusi energi baru terbarukan
dalam bauran energi nasional tahun 2025 sebagai acuan pengembangan energi
terbarukan di Indonesia, UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tanggal 25 Januari 2006 tentang
Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai BahanBakarLain.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
33
Energi biomassa dapat diubah menjadi bentuk lain. Teknologi konversi energi
biomassa yang paling cepat dan memungkinkan untuk mencapai target bauran
energi nasional yang ditetapkan pemerintah adalah konversi thermal melalui jalur
pirolisis, gasifikasi, dan pembakaran. Gasifikasi lebih unggul dibandingkan kedua
teknologi lainnya karena menghasilkan produk yang dapat digunakan pada berbagai
aplikasi. Kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi gasifikasi biomassa telah
dimulai di P3TKEBTKE sejak tahun 2007. Hasil kegiatan yang telah dilakukan
dipaparkan pada Tabel 5 dan perkembangan kegiatan tersebut dari tahun ke tahun.
Tabel 5. Hasil kegiatan penelitian gasifikasi biomassa
Tahun
Judul Kegiatan
Hasil Kegiatan
2007
Pengembangan Produk Gasifikasi Biomassa
sebagai Bahan Bakar Industri dan Sel Tunam
Unit gasifier biomassa sistem fixed bed
kapasitas 100 kg/jam
2008
Pengembangan Produk Gasifikasi Biomassa
sebagai Bahan Bakar Industri
Unit oven pengering keramik
2009
Pengembangan Produk Gasifikasi Biomassa
sebagai Bahan Bakar Industri
Instalasi perpipaan dan kelistrikan
Pengujianperalatan
2010
Pengembangan Gasifikasi Biomassa untuk
Gas Sintetis
Pengujianoperasionalgasifier
pembakaran keramik
2011
Pengembangan Gasifikasi Biomassa untuk
Gas Sintetis
Perbaikan dan trouble shooting unit
gasifier fixed bed
Desain sistem gasifikasi biomassa
fluidized bed
2013
Sistem
Gasifikasi
Pembakaran Keramik
Finalisasi
pengoperasian
biomassa sistem fixed bed
CFD gasifikasi biomassa
fluidized bed
Biomassa
untuk
untuk
gasifier
sistem
Tujuan kegiatan adalah terlaksananya pengoperasian sistem gasifikasi biomassa
unggun diam di Plered, Purwakarta, dengan grate termodifikasi untuk pembakaran
keramik selama 12 jam non-stop dan kajian terhadap distribusi panas dalam sistem
gasifikasi biomassa dengan melakukan perhitungan CFD (Computational Fluid
Dynamic).Pelaksanaan kegiatan dilakukan melalui desk study dan studi lapangan
baik yang dilaksanakan dengan cara swakelola, maupun dengan bantuan pihak
ketiga. Desk study meliputi studi literatur; diskusi dengan pakar/tenaga ahli,
perhitungan dan analisis data sekunder dan primer, pembuatan model, dan simulasi
model. Studi lapangan meliputi survei langsung ke lokasi gasifier yang telah ada di
Indonesia, modifikasi peralatan dan percobaan gasifikasi di Plered (Purwakarta), dan
studi banding.
Pada tahun 2013 dilakukan perawatan atau perbaikan peralatan gasifikasi
biomassa untuk menjaga kontinuitas kinerja peralatan, yang dilakukan pada dua
periode. Pada periode pertama dilakukan penggantian blower yang memiliki
kemampuan tekanan hisap dan kapasitas lebih tinggi, perbaikan tata letak dan
urutan aliran proses, dan penggantian penjebak udara di bawah siklon. Perbaikan
kedua meliputi modifikasi pembuangan abu, pembuangan sistem pengumpanan yang
sudah tidak digunakan kembali, pembuatan pintu akses pada penyaring gas produk,
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
34
pembuatan tangga dan pagar pengaman, pembuatan saluran penampung dan
penjebak abu di dasar gasifier, serta penambahan volume reaktor.
Kendala pembuangan abu diatasi dengan membuat lubang dibawah gasifier,
dengan melintang searah aliran proses di bagian tengah dasar reaktor. Dengan cara
tersebut, abu hasil gasifikasi akan turun ke dasar reaktor dan masuk ke dalam lubang
pembuangan. Kedalaman lubang dibuat miring dari 40 cm hingga 60 cm untuk
mempermudah pengeluaran abu.
Penampung abu dimodifikasi untuk menampung abu dalam jumlah besar agar
reaksi gasifikasi dapat berjalan lebih lama atau bahkan kontinu tanpa hambatan
penumpukan abu di dasar reaktor, dilengkapi dengan dua pintu yang berhadapan di
bagian sisi tegak sebagai akses pengeluaran abu dalam keadaan darurat. Penampung
abu perlu dilengkapi dengan penahan panas, terbuat dari bahan castable, yaitu
semen tahan panas yang memiliki sifat menahan dan memantulkan panas, agar
panas tidak hilang ke lingkungan dan dinding reaktor tidak memerah akibat suhu
terlalu tinggi.
Untuk memantau perilaku selama proses gasifikasi berlangsung dilakukan dengan
metode pengukuran suhu reaksi. Cara ini lebih mudah diterapkan dan cepat
mendapatkan hasil pengukuran sehingga dapat langsung dilakukan tindak lanjut
apabila terjadi permasalahan, yaitu dengan menggunakan alat ukur berupa
termokopel yang dipasang di dalam dan di luar dinding reaktor. Setelah dilakukan
perbaikan dan modifikasi pada sistem gasifikasi dilanjutkan dengan melakukan
pengujian.
Percobaan pertama menemui kendala oleh abu yang tidak dapat turun ke
penjebak abu di bawah gasifier. Percobaan dihentikan dengan mematikan blower.
Pintu yang berada di bagian bawah gasifier dibuka dan digunakan untuk
mengeluarkan abu serta material biomassa yang sebelumnya diumpankan ke
reaktor. Dari hasil pengamatan diperoleh data bahwa abu tidak dapat masuk ke
penjebak abu karena lubang grate yang dipasang didasar reaktor tertutup oleh arang
batok.
Percobaan kedua dilakukan dengan menghilangkan batok kelapa ketika penyalaan
dan ketika operasi. Dijumpai kendala berupa pemanasan diluar kebiasaan dinding
luar reaktor bagian tengah. Berdasarkan hasil diskusi dengan tim, diperoleh
kesimpulan pemanasan disebabkan oleh bara biomassa dan nyala api dari dalam
reaktor yang kontak langsung dengan dinding luar. Permasalahan tersebut
ditanggulangi dengan pemasangan bata api pada sisi dalam dinding tersebut
melingkar hingga setengah lingkaran reaktor.
Percobaan ketiga dilakukan sesuai dengan prosedur yang dijalankan pada
percobaan kedua. Sistem telah mampu menghasilkan gas dan telah dibakar dalam
tungku keramik hingga suhu tungku maksimal 460oC. Permasalahan yang dihadapi
adalah nyala api dari gas produk gasifikasi tidak stabil dan maksimal hanya bertahan
empat jam. Hal ini disebabkan oleh abu sekam yang sudah terbakar tidak dapat turun
akibat suhu reaksi terlalu tinggi, yaitu mencapai 1000oC, dan membuat abu saling
terikat. Untuk mengatasi masalah tersebut, telah dibuat pengaduk dari pipa besi
berdiameter 1,5 inci yang diisi dengan castable.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
35
Gambar 32.
Reaktor gasifikasi setelah modifikasi
Hasil pengujian berikutnya masih mengalami kegagalan karena pengaduk putus
akibat tidak kuat menahan suhu reaksi yang terlalu tinggi. Selanjutnya, telah dibuat
kembali pengaduk dari besi yang sama tetapi yang dilapisi castabel adalah bagian
luarnya. Pengaduk kedua dapat digunakan dengan baik dan gasifier dapat
dioperasikan secara kontinyu, tetapi kestabilan produk gas belum dapat diperoleh
sesuai dengan yang diharapkan.
Dari keseluruhan kegiatan yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa
perbaikan peralatan sistem gasifikasi biomassa telah dilaksanakan dengan baik, dan
gasifier telah mampu beroperasi secara kontinyu dengan bahan baku sekam padi
meskipun belum mampu menghasilkan produk gas dengan kualitas stabil dan lama.
4. Penelitian dan Pengembangan Energi Laut
Tim : Arfie Ikhsan Firmansyah dan Syaiful Nasution
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Energi Baru
Terbarukan, Puslitbangtek KEBTKE
Email : [email protected], [email protected].
Tujuan kegiatan adalah untuk melakukan inventarisasi potensi energi laut di
Indonesia serta merancang optimasi teknologi konversi pembangkit listrik arus laut.
Pelaksanaan kegiatan meliputi studi literatur; perhitungan dan analisis data
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
36
sekunder dan primer, konsultasi dan diskusi yang intensif dengan institusi terkait,
serta studi lapangan yang meliputi survei langsung ke lokasi potensial untuk
memperoleh data potensi (energi pasang surut dan arus laut) dan data pendukung
lainnya.
Pada tahun 2013, kegiatan ini difokuskan pada inventarisasi data potensi energi
laut dan optimasi teknologi konversi arus laut. Inventarisasi data potensi dilakukan
berkoordinasi dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan
(P3GL),meliputi Selat Toyapakeh (Nusa Penida, Bali), Selat Larantuka (Flores Timur,
Nusa Tenggara Timur), Selat Pantar (Kabupaten Alor, NusaTenggara Timur), dan
Selat Molo (Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur).
Hasil pengukuran arus laut di Selat Toyapakeh menunjukkan kecepatan rata-rata
1,0303 m/s pada kedalaman 4 m, 1,1380 m/s pada kedalaman 6m, 1,2097 m/s pada
kedalaman 8 m, dan 1,2786 m/s pada kedalaman 10 m. Sedangkan hasil pengukuran
arus laut di Selat Larantuka menunjukkan kecepatan rata-rata 1,724 m/s pada
kedalaman 3 m, 1,84 m/s pada kedalaman 5 m, 1,844 m/s pada kedalaman 7 m, dan
1,79 m/s pada kedalaman 9 m. Hasil pengukuran arus laut di Selat Pantar
menunjukkan kecepatan rata-rata 1,43 m/s pada kedalaman 4 m, 1,43 m/s pada
kedalaman 6 m, 1,41 m/s pada kedalaman 8 m dan 1.08 m/s pada kedalaman 10 m.
Hasil pengukuran sesaatkecepatan arus di Selat Molo adalah sebesar 1,5 m/s dengan
kecepatan maksimal arus yang terukur pada saat pengukuran 3,8 m/s. Kontur Selat
Molo yang curam dan bertebing serta banyaknya gua di dasar laut mengakibatkan
sering terjadi pusaran sehingga tidak ada satu kapal pun yang melintas di selat ini.
Secara teoritis, di daerah dengan kecepatan arus laut lebih besar dari 1 m/s dapat
dikembangkan menjadi PLTArus laut. Berdasarkan teori ini, maka di Selat Toyapakeh
mulai kedalaman 4 m, di Selat Larantuka mulai kedalaman 3 m, di Selat Pantar mulai
kedalaman 4 m, dan sepanjang Selat Molo layak untuk dikembangkan menjadi
pembangkit listrik arus laut. Peringkat daerah yang menjadi prioritas untuk
pengembangan PLT Arus Laut berturut-turut, yaitu Selat Larantuka, Selat Toyapakeh,
Selat Pantar, Selat Gam, Selat Boleng, kemudian Selat Molo (Gambar 33).
(a) Selat Larantuka
(b) Selat Toyapakeh
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
37
(c) Selat Pantar
Gambar 33.
(d) Selat Molo
Beberapa lokasi inventarisasi data arus laut yang diambil untuk dinilai daerah
yang paling potensi dipasang PLT Arus Laut.
Optimasi teknologi konversi dilakukan dengan memperbaiki rancangan
Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut (PLT-Arus Laut) yang telah ada (rancangan
2011) untuk mendapatkan performa turbin terbaik. PLT Arus Laut tersebut
dirancang sedemikian rupa agar pada cut in speed 0,3 m/s sudah dapat menghasilkan
tenaga listrik.
Perbaikan rancangan PLT Arus Laut dilakukan dengan mengubah profil sayap
NACA 0020 menjadi NACA 0016 dan mengubah twist pada turbin konversi arus laut.
Profil sayap NACA 0016 dipilih karena paling optimal digunakan sebagai bilah turbin
(blade) pada turbin pembangkit listrik energi arus laut. Material yang cocok untuk
bagian badan turbin adalah komposit karbon/epoxy dengan densitas 1620 kg/m3dan
memiliki modulus 143 GPa serta kekuatan tarik (tensile strength) 2240 MPa.
Sedangkan material yang cocok untuk poros/shaft turbin adalah alumunium alloys
5052-H38, Rod (SS). Sudut serang lift maksimum NACA 0016 pada kondisi
operasional adalah 18°.
Pada penelitian, dilakukan juga simulasi CFD (Computational Fluid Dynamic)
dengan arus fluktuatif dan statik. Pada arus fluktuatif dihasilkan nilai torsi yang
cenderung lebih besar dibandingkan dengan arus statik pada kecepatan putar turbin
dan kecepatan maksimum yang sama. Perbedaan hasil simulasi CFD pada arus statik
dengan arus fluktuatif tidak terpaut jauh, yaitu sekitar 5,12%. Artinya, simulasi CFD
pada arus statik dapat menggantikan simulasi CFD pada arus fluktuatif untuk kasus
serupa sebagai suatu bentuk penyederhanaan penyelesaian kasus.
Biaya investasi dan pengoperasian PLT-Arus Laut lebih tinggi dibanding jenis
pembangkit lainnya, yaitu mencapai 0,53-0,79 USD/KWh. Nilai tersebutdapat
dijadikan pertimbangan untuk mengembangkan PLT Arus Laut menjadi skala
komersial.
5. Penelitian dan Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
Tim : Didi Sukaryadi dan Guntur Tri Setiadanu
KelompokPelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3)
Puslitbangtek KEBTKE
Email : [email protected], [email protected].
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
Ketenagalistrikan,
38
Pembangkit listrik tenaga panas bumi siklus biner (PLTP biner) skala 50 kW yang
dibangun pada Tahun 2012 memanfaatkan brine (air sisa fluida panas bumi) dari
sumur di PAD-29 lapangan panas bumi Dieng. Reservoir di lapangan panas bumi
Dieng memproduksi fluida fase dengan kandungan air cukup banyak. Fluida
reservoir 2 fase ini dipisahkan di separator pada tekanan kerja di atas 10 bar dimana
fase uap dialirkan untuk menggerakan turbin sedangkan fase air (brine) akan
dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik dengan teknologi siklus biner.
Tujuan kegiatan pada tahun 2013 adalah memasang pilot plant siklus biner di
lokasi PAD-29 PLTP unit Dieng, mengembangkan sistem kontrol-proteksi,
membungkus sistem pemipaan dengan rock wool sebagai bahan isolasi dan cladding
serta mengembangkan jaringan listrik.
Pemasangan Peralatan PLTP Siklus Biner di PAD 29 PLTP Dieng sudah
dilaksanakandan Perjanjian Kerjasama (PKS) antara Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, terbarukan dan Konservasi
Energi dan PT.Geodipa Energi sudah ditandatangani oleh ke dua belah pihak pada
tanggal 08 Juli 2013. Sedangkan MOU antara Badan Penelitian dan Pengembangan
Energi dan Sumber Daya Mineral dengan PT. Geodipa Energi sudah di tanda tangani
pada tanggal 12 April 2013.
Selain itu, Sertifikat Kelayakan Penggunaan Peralatan (SKKP) terhadap peralatan
PLTP siklus biner juga sudah ditanda tangani oleh Direktur Jenderal Energi Baru
terbarukan dan Konservasi energi pada tanggal 19 Agustus 2013 dan dinyatakan
layak serta memenuhi persyaratan keamanan kerja sehingga dapat digunakan. Ijin
Upaya Kelola Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lapangan setelah berdiskusi
dengan pihak Pemkab Banjarnegara dan PT. Geodipa Energi digantikan dengan Ijin
Penelitian yang dikeluarkan oleh Bupati Banjarnegara, dan ijin ini sudah didapat
untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
Pada peralatan siklus bineryang telah terpasang di PAD-29, untuk mengurangi
kehilangan panas berlebih di preheater, evaporator dan pipa-pipa, komponenkomponen ini dilapisi dengan rock wool sebagai isolasi (lihat Gambar 3) dan dilapisi
aluminium untuk melindungi insulasi dari air agar tidak basah atau lembab.
Sedangkan komponen kondenser dan pipa air pendingin dan pipa keluaran dari
turbin dibiarkan terbuka tidak dilapisi dengan rockwool dan aluminium agar proses
pendinginan fluida kerja maksimal, sehingga fluida kerja dapat cepat berubah dari
fase uap menjadi fase cairan kembali.
Uji kebocoran (vakum test) terhadap komponen mekanikal (preheater,
evaporator, kondenser dan turbin) menunjukkan tidak ada kebocoran pada seal
maupun sambungan-sabungannya.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
39
Gambar 34.
Insulating dan Cladding Komponen Preheater, Evaporator dan Pemipaan.
Agar PLTP siklus biner dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan daya
keluaran maksimal, maka pengontrolan perlu dilakukandengan cara mengatur
jumlah fluida kerja yang masuk berdasarkan parameter-parameter tekanan dan
temperatur. Sistem kontrol dan proteksi harus mampu merespon secara cepat dan
akurat jika kondisi setting point dari tekanan dan temperatur fluida kerja, dan atau
brine terlampaui sehingga kondisi yang tidak diinginkan bisa diantisipasi secara
cepat sehingga peralatan dalam kondisi aman. Begitu pula jika ada beban balik dari
PLN, sistem harus cepat memberikan respon untuk segera memutus hubungan
dengan jaringan PLN dan memerintahkan valve dari heater ke turbin untuk menutup,
valve ke kondenser membuka untuk segera mendinginkan fluida kerja untuk
kemudian sistem akan totally shut down. Jika PLN padam sistem harus segera
membuang listrik yang dihasilkan ke pemanas udara (air heater) sebagai ballast load.
Sistem kontrol dan proteksi yang dikembangkan menggunakan sistem PLC
(Programming Logic Controller) untuk menutup dan membuka 6 buah control valve
sebagai penentu kondisi tekanan dan temperatur pada heat exchanger. Sedangkan
sistemset point dan monitoring dilakukan dengan sistemHuman Machine Interface
(HMI) berupa layar sentuh sehingga memudahkan saat mensetting parameterparameter baik tekanan, temperatur dan lainnya. Proportional Integral Derivative
(PID) controllerjuga digunakan sebagai pengontrol besaran temperatur, tekanan dan
memberi batasan maksimum serta minimum dari setting point. Ketika suhu dan
tekanan media kerja melalui control valve dengan setting point minimum, maka
control valve akan membuka secara proporsional dan kecepatan pembukaan
bergantung dari nilai pertambahan (gain) yang disetting. Ketika nilai suhu dan
tekanan melebihi batas setting point, maka control valve akan menutup.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
40
Gambar 35.
Sistem Kontrol – Proteksi Siklus Biner Dieng
Gambar 35 menunjukkan sistem kontrol proteksi yang sudah terpasang di lokasi.
Pengujian dan penyesuaian setting point dengan kondisi riil lapangan akan dilakukan
setelah PLTP Dieng beroperasi.Uji sistem kontrol terhadap respon masing-masing ke
6 electrical valve (MOV) menunjukkan pemograman berjalan dengan baik.
Pengembangan jaringan transmisi listrik dilakukan untuk sarana pengujian
kehandalan sistem kontrol dan proteksi PLTP siklus biner terhadap variasi atau
fluktuasi beban. Hasil dari koordinasi dengan pihak PLN dan PT.Geodipa Energi
untuk rencana penarikan jaringan listrik diketahui bahwa titik terakhir jaringan PLN
berjarak kurang lebih 2 km dari tiang terakhir milik PLTP siklus biner yang saat ini
sudah terpasang, sehingga ada kekurangan jaringan sepanjang kurang lebih 2 km.
Hal ini disebabkan karena terjadi perpindahan lokasi pemasangan siklus biner dari
yang semula direncanakan di PAD-28 atau PAD-7 yang berjarak kurang lebih 200 m
dari tiang listrik PLN tegangan menengah 20 kV ke PAD-29 yang berjarak kurang
lebih 2 km. Anggaran yang direncanakan di TA 2013 hanya sepanjang kurang lebih
100 – 200 m yang sekarang sudah terpasang trafo 20 kV dan jaringan terdekat
adalah jaringan tegangan 15 kV milik PT. Geodipa Energi untuk keperluan
penerangan di PAD sumur.
Gambar 36.
Jaringan Listrik yang Sudah Terpasang
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
41
6. Aplikasi Pemanfaatan Potensi dan Teknologi Energi Baru Terbarukan pada
Sistem Smart Microgrid
Tim : Rina Irawati, Andriyanto, dan Tweeda Augusta Fitarto
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3)
Puslitbangtek KEBTKE
Email : [email protected], [email protected]
Ketenagalistrikan,
Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik, saat ini terdapat beberapa wilayah
terisolasi di Indonesia yang telah mengembangkan pembangkitan dan
pendistribusian tenaga listrik sendiri, tidak terhubung langsung ke jaringan Grid PLN
secara Nasional (Isolated System). Namun sistem ini belum dikembangkan secara
optimal dan masih merupakan sistem yang sangat sederhana, dimana belum ada
pengaturan baik di sisi pembangkit, jaringan, maupun di sisi beban. Sehingga pada
sisi pembangkit, jika ada kelebihan daya maka harus dibuang ke ballast. Sementara
itu beban yang posisinya jauh dari pembangkit tidak bisa terlistriki. Oleh karena itu,
diperlukan pengembangan sistem yang lebih baik, dimana sudah terdapat
pengaturan di sisi pembangkit, penyimpanan, penyaluran maupun di sisi beban, yang
disebut sistem Smart MicroGrids.
Sistem MicroGrid didefinisikan sebagai suatu jaringan listrik skala kecil yang
paling sedikit mempunyai satu sumber energi terdistribusi, sistem penyimpanan
energi, sistem konversi energi, sistem kontrol, dan beban. Karakteristik utama dari
sistem MicroGrid adalah tidak hanya beroperasi saat terkoneksi ke jaringan/grid
utama (on-grid/grid connected), tapi dapat juga beroperasi saat tidak terkoneksi ke
grid utama (off-grid/isolated/standalone/islanding).
Beberapa keuntungan penggunaan sistem MicroGrid adalah dapat memanfaatkan
sumber potensi energi terbarukan yang ada di lokasi sistem ini dibangun, tidak
bergantung pada grid besar (PLN), dan dapat dikontrol oleh operator di lokasi
tersebut ataupun di lokasi yang berbeda (remote area). Selain itu jika sistem
MicroGrid juga terhubung ke grid besar, maka kelebihan energi yang dihasilkan bisa
disalurkan ke jaringan, sehingga dapat meningkatkan jumlah energi yang dihasilkan
oleh grid. Distributed Generation yang dapat digunakan adalah PLTS, PLTB, atau
Pembangkit Listrik dari energi terbarukan lainnya. Aplikasi Smart Microgrids
dilakukan dalam model skala laboratorium, dan sebagai sumber pembangkit listrik
dari energi terbarukan digunakan PLTS dan PLTA, sedang sebagai model untuk
pembangkit listrik konvensional digunakan Diesel (Genset). Selain sumber
pembangkit listrik juga digunakan beberapa peralatan pengukuran dan sistem
kontrol, seperti sensor box, webbox, grid inverter, bidirectional inverter, switchbox, dan
baterai.
Tujuan kegiatan ini adalah melakukan pengujian sistem Smart Microgridsskala
laboratorium berbasis energi terbarukan yang telah dibuat pada tahun 2012. Pada
tahun 2013, target kegiatan adalah mengumpulkan data primer dan sekunder yang
berkaitan dengan sistem Smart Microgids, melakukan studi literatur sehingga dapat
mengetahui state of the art dari penelitian-penelitian terakhir yang berhubungan
dengan konsep pembangkit Smart Microgrids, dan melakukan simulasi menggunakan
software HOMER, VIPOR, MATLAB Simulink (Power Sim Model), dan ETAP.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
42
Selain itu, dilakukan juga uji kinerja terhadap pemodelan sistem pembangkit
Smart Microgrids skala laboratorium yang telah dibangun. Uji kinerja sistem Smart
MicroGrid dilakukan dengan mengukur kualitas daya dari sistem. Pengukuran
dilakukan pada keluaran PV Inverter, keluaran Wind Inverter, keluaran Bi-Directional
Inverter, dan daya yang masuk ke beban. Pada uji kenerja ini juga dilakukan
pengukuran pada keluaran baterai. Sebagai target dari kualitas daya yang akan
diukur dari sistem ini adalah sama seperti target kualitas daya yang ditetapkan oleh
PT. PLN (persero).
Uji kinerja sistem Smart MicroGrid skala laboratorium dilakukan pada dua kondisi
mode operasi, yaitu Off-Grid dan On-Grid. Pada masing-masing mode operasi
dilakukan pengujian yang sama, dengan beban yang sama juga. Pengujian melalui
pengukuran terhadap radiasi matahari, tegangan, arus dan frekuensi pada keluaran
Sunny Island SI5048 dan beban. Beban yang digunakan adalah 2 buah lampu pijar
100 W, LHE 8x23 Watt, LHE 6x20 Watt, LHE 8x11 Watt, dan dua buah kipas angin
dengan daya masing-masing 75 Watt.
Pada pengujian secara long-term ini dilakukan pengukuran pada keluaran bidirectional inverter, PVinverter, dan baterai. Namun pengukuran pada baterai belum
bisa dilakukan karena alat pengukuran belum dilengkapi dengan modul komunikasi,
sehingga data yang diukur tidak dapat diunggah.
Gambar 37.
Pengujian kinerja On-Grid dan Long Term sistem pada LaboratoriumSmart
MicroGrid.
Hasil uji pada On-Grid didapatkan bahwa pada umumnya kualitas daya berupa
variasi tegangan dan frekuensi 50 Hz dan minimal 49 Hz masih berada dalam
batasan yang ditetapkan, yaitu perubahan rata-rata (0,5 – 1 Hz). Variasi tegangan di
sisi PV Inverter sedikit melebihibatas range yang ditargetkan dalam kualitas daya,
yaitu -10% sampai 5% dari 220 Volt atau 198 Volt sampai 231 Volt.
Pada pengujian Off-Grid didapatkan bahwa umumnya kualitas daya berupa variasi
tegangan dan frekuensi melebihi batasan kualitas daya pada frekuensi 54,90Hz dan
minimal 49,00Hz. Hal ini menunjukkan bahwa variasi frekuensi di sisi beban
melebihi batas range yang ditargetkan, yaitu 0,5Hz sampai 1Hz dari 50Hz. Variasi
tegangan adalah antara 10,7 Volt sampai -14,7 Volt, atau 4,86% sampai -6.68%. Hal
ini menunjukkan bahwa variasi tegangan di sisi keluaran PV Inverter masih dalam
batas range yang ditargetkan dalam kualitas daya yaitu -10% sampai 5% dari 220
Volt.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
43
Pada pengujian long-term didapatkan bahwa umumnya kualitas daya
berupavariasi tegangan pada keluaran bidirectional inverter masih dalam batas yang
ditetapkan, yaitu minimal -0,54% (standar -10%) dan maksimal 0,77% (standar 5%).
Sedangkan untuk variasi frekuensi pada keluaran bidirectional inverter terdapat
peningkatan frekuensi yang melebihi target yang telah ditetapkan dalam standar (0,5
- 1 Hz), yaitu maksimal 1,03 Hz.
Pada pengujian Off-Grid terdapat beberapa kali terjadi kegagalan (system failure)
dan peringatan (system warning), sehingga dibutuhkan optimalisasi dari model yang
sudah dibuat. Perlu dilakukan penelitian dan analisis lebih lanjut untuk mode operasi
Off-Grid, sehinggakinerja system saat Off-Grid bisa lebih baik. Pada pengujian ini
belum diketahui kinerja sistem secara keseluruhan, terutama baterai karena
keterbatasan alat ukur yang dimiliki.
7. Pemanfaatan Gas Metana Dari SanitaryLandfill TPA Sampah Untuk Bahan
Bakar dan Pembangkit Listrik di Kabupaten Buleleng
Tim : Faridha, Khalif Ahadi, dan Medhina Magdalena
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Teknoekonomi
Konservasi dan Lingkungan, Puslitbangtek KEBTKE
Email : [email protected], [email protected], dan [email protected]
Gas metana yang diperoleh dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) pada umumnya
dilepas ke udara. Agar tidak mencemari udara, gas metana dapat dimanfaatkan untuk
bahan bakar pembangkit listrik. Sanitary landfill dapat disebut sebagai sebuah
reaktor biokimia. Asupan utama pada reaktor ini adalah sampah dan air, dan
keluaran utamanya adalah lindi dan gas landfill. Komponen utama gas landfill yang
dihasilkan berupa gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2), dengan komposisi
rata-rata berturut-turut 50% dan 40%. Selain kedua gas tersebut, pada gas landfill
juga jenuh dengan uap air, dan terdapat sejumlah kecil senyawa non-metana dan
senyawa volatile lainnya. Produksi gas metana di lahan TPA terjadi ketika bahanbahan organik membusuk pada kondisi anaerob. Lamanya pembentukan gas
landfillbergantung pada bahan-bahan yang terkandung dalam sampah yang akan
didekomposisi dalam proses pembentukan gas landfill. Dampak buruk emisi gas
landfill dapat dikurangi dengan memanfaatkannya menjadi bahan bakar, sehingga
dapat berkontribusi pada peningkatan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
Tujuan kegiatan pada tahun 2013 adalah melakukan modifikasi PLTG Landfill
dengan re-engineering untuk peningkatan kapasitas dan menjaga kontinuitas suplai
gas sanitary landfill. Kegiatan pemanfaatan gas metana untuk pembangkit listrik pada
tahun 2013 dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu :pengumpulan data sekunder
(data curah hujan, temperatur, jumlah sampah dsb), perbaikan pemipaan air untuk
shelter, pengukuran dan pengambilan sampel gas landfill, pengambilan sampel air
lindi di IPAL A, perbaikan dan modifikasi pada Blok 2 dan cell, pengukuran
kedalaman sumur gas di Blok 2, perancangan dan pembuatan jalur pipa gas baru dari
Blok 3 dan Blok Existing, uji flaring gas, pembuatan sumur gas baru pada Blok 3, dan
lainnya.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
44
Gambar 38.
Persiapan Pengambilan Sampel Gas dan Air Lindi Pada Salah Satu Sumur di Blok 2
Dari hasil pengamatan, sortasi sampah yang dilakukan tenaga pemulung tidak
maksimal karena sebelum sampah dipilah sempurna, telah datang sampah yang baru
dan hanya sekitar 10-15% saja sampah anorganik yang diambil oleh pemulung.
Dari hasil pengamatan dan pengukuran gas landfill pada Blok 2 di TPA Bengkala
menunjukkan bahwa setiap sumur menghasilkan gas CH4 yang fluktuatif. Rata-rata
konsentrasi CH4 adalah 40% – 46%, sedangkan CO2 antara 36-40%. Hasil
pengukuran terhadap 8 sumur yang berdekatan pada Blok 3 menunjukkan komposisi
gas metana yang berfluktuasi, namun terdapat 6 sumur dengan komposisi gas
metana diatas 30%. Dari hasil pengukuran terhadap 8 sumur pada Blok Existing,
terdapat 3 sumur yang sudah menghasilkan gas metana di atas 30%. Sementara dari
hasil pengukuran seluruh cell belum menghasilkan gas, namun temperatur berkisar
antara 50-75oC yang menunjukkan adanya aktivitas perombakan sampah.
Rentang waktu flaring juga diamati sebagai ukuran ketersediaan gas landfill. Hasil
pengamatan sumber gas yang berasal dari Blok 2, waktu flaring paling singkat adalah
lima menit (bulan April) dan terlama delapan jam (bulan Mei). Pada bulan Juni lama
waktu flaring rata-rata hanya satu jam. Pada bulan September dilakukan uji flaring
pada gas yang diambil dari Blok 3. Uji flaring dilakukan hingga 12 jam. Dari hasil
pengamatan, warna api terlihat kuning/jingga/kemerahan. Warna api dapat menjadi
indikator pembakaran tidak sempurna karena campuran udara dan bahan bakar
yang tidak ideal, atau terdapat material lain di dalam campuran bahan bakar. Pada
bulan Oktober, api yang dihasilkan berwarna biru.
Nilai pH lindi dari IPAL A adalah 8,28, yang berarti dapat mendukung aktivitas
mikroorganisme metanaogen. Nilai Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical
Oxygen Demand (COD) yang relatif tinggi, berturut-turut sebesar 1.011 mg/L dan
4.000 mg/L. Hasil ini menunjukkan bahwa air lindi dari IPAL A dapat dimanfaatkan
untuk resirkulasi. Hasil renumerasi mikroorganisme total menunjukkan jumlah 1,04
x 106 sel/ml. Walaupun hasil perhitungan tidak secara spesifik menunjukkan jumlah
mikroorganisme metanaogenik, namun dengan jumlah tersebut dianggap dapat
menambah jumlah bakteri perombak. Analisis terhadap nitrogen menunjukkan hasil,
konsentrasi NH4 adalah 394,17 mg/L; NO3 sebesar 80,50 mg/L dan NO2 sebesar 5,55
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
45
mg/L. Ketiga jenis nitrogen dapat menjadi sumber nitrogen bagi mikroorganisme,
terutama dalam bentuk nitrat. Namun perlu diperhatikan, karena pada konsentrasi
tinggi dapat bersifat toksik terhadap mikroorganisme metanaogen dan menyebabkan
pembentukan metana terhambat.
Status pembangunan pilot projectsaat ini telah dapat diujicobamenggunakan gas
LPG dan berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, diharapkan dapat diujicoba dan
selesai tepat waktu menggunakan gas sanitary landfill. Untuk menghindari peledakan
gas metana, pada frekuensi waktu tertentu sebagian sumur-sumur gas dilepas
kemudian ditutup kembali. Pedoman Lingkungan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(LK3) telah selesai disusun dan sudah dilaksanakan.
C. Konservasi Energi
1. Percontohan Konservasi Energi pada Penerangan Jalan Umum (PJU) di 6
Kota
Tim : M Indra Al Irsyad, Sarimin Emo dan Abdul Rivai
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Teknoekonomi
Konservasi dan Lingkungan, Puslitbangtek KEBTKE
Email:[email protected], [email protected], [email protected]
Kebutuhan listrik untuk penerangan jalan umum (PJU) rata-rata di tahun 2010
adalah 2,85% dari konsumsi listrik di tiap provinsi. Adanya PJU yang digunakan pada
malam hari menambah beban puncak rata-rata sebesar 4,95% (Gambar 39).
Pertumbuhan sistem ketenagalistrikan di Indonesia tidak mencukupi baik dari
pembangkit listrik, transmisi maupun distribusi. Untuk itu, dibutuhkan langkah
penghematan pemakaian energi listrik termasuk di PJU.
30%
25%
% Konsumsi listrik PJU terhadap konsumsi listrik total
% Beban PJU terhadap beban puncak
20%
15%
10%
5%
0%
Gambar 39.
Persentase konsumsi listrik dan kapasitas PJU di berbagai wilayah(Sumber : PLN
Statistics 2010, 2011)
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
46
Badan Litbang ESDM memandang penghematan energi di PJU merupakan
prioritas karena tidak hanya mengurangi beban puncak namun juga pelaksanaannya
tidak butuh audit energi khusus sebelumnya sehingga dapat dilakukan relatif
seragam untuk 127.054 sistem PJU yang ada di Indonesia (PLN, 2010). Terkait hal
tersebut, pada 2012, Badan Litbang ESDM telah melakukan penyusunan pedoman
penghematan energi di PJU, pemasangan percontohan sistem PJU pintar di Jl. Kebon
Sirih, Jakarta Pusat dan pengukuran tingkat hemat energi pada lampu-lampu PJU
yang beredar di Indonesia.
Gambar 40.
Sistem PJU Pintar yang Gambar 41.
dipasang di jalan raya
Rumah/ruang kontrol PJU Pintar
Uji coba pemantauan konsumsi daya percontohan PJU pintar dapat dilakukan
melalui akses website http://www.greendigitalcity.com/smartgrid/ dengan
username: moeuser dan password: q7HcgdhSar. Username untuk otoritas
pengendalian hanya dimiliki oleh P3TKEBTKE dan Dinas Perindustrian dan Energi.
Pengelola dapat melihat pemakaian daya secara total dari pilihan yang diberikan
pada tampilan ataupun melihat pemakaian daya di tiap lampu dengan memilih lampu
yang diinginkan seperti pada Gambar 42. Sistem akan otomatis membandingkan
pemakaian daya total dengan penjumlahan pemakaian daya di tiap lampu sehingga
apabila nilainya berbeda maka sistem akan memberikan peringatan adanya
pencurian listrik ke pengelola PJU. Peringatan tersebut bahkan akan langsung
memberi tahu lokasi terjadinya pencurian listrik.
Peringatan juga akan diberikan sistem kepada pengelola PJU secara otomatis
apabila lampu mengalami kerusakan. Informasi pada peringatan tersebut sangat
rinci hingga jenis kerusakan apakah itu lampu mati atau kerusakan lainnya sehingga
teknisi akan siap dengan peralatan yang dibutuhkan sebelum berangkat ke lapangan.
Hal ini berarti sistem akan menghemat biaya pemantauan PJU dan juga sekaligus
meningkatkan respon pengelola PJU dalam mengatasi kerusakan.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
47
Gambar 42.
Tampilan muka website pengunaan daya, analisis pemakaian dan kegagalan
Tujuan kegiatan adalah memberikan percontohan teknologi PJU pintar yang dapat
menghemat pemakaian energi di PJU. Manfaat dari kegiatan ini adalah menghemat
energi di PJU sekaligus mendorong pemerintah daerah untuk melakukan
penghematan energi di PJU.Kegiatan yang dilakukan meliputi studi literatur,
perhitungan dan analisis data sekunder dan primer, konsultasi dan diskusi, survei
langsung ke lokasi potensial untuk audit energi PJU dan memperoleh data
pendukung lainnya, dan penyusunan laporan.
Hasil dari kegiatan sebagai berikut:
1. Audit Energi PJU Kota Sleman
Hasil audit di Pemerintah Kabupaten Sleman diperoleh data sebagai berikut:
a. Dengan pemasangan 13.000 lampu PJU, konsumsi listrik 64 MWh/ hari.
b. Tagihan listrik pada awal September 2013 (saat audit dilakukan) adalah
sebesar Rp 1.843.318.692,-.
c. Dilakukan estimasi jika dilakukan meterisasi, tagihan akan turun sebesar Rp
889.366.430,-, jika menggunakan lampu hemat energi, tagihan akan turun
menjadi Rp 471.364.208,-, sedangkan jika menggunakan Lampu Balast serta
PJU Pintar tagihan akan turun menjadi Rp 400.659.577,-.
d. Telah dilakukan penggantian 16 unit HPS 250 W dengan lampu LED 120W
yang dilengkapi teknologi PJU pintar bantuan Kementerian ESDM pada tahun
2013.
2. Audit Energi PJU Kota Denpasar
Hasil audit di Pemerintah kota Surakarta diperoleh data sebagai berikut:
a. Dengan pemasangan 17.135 lampu PJU, konsumsi listrik PJU 29 MWh/ hari.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
48
b. Tagihan listrik per Awal Desember 2013 (saat audit dilakukan) sebesar Rp
900.461.936.
c. Dilakukan estimasi jika menggunakan lampu hemat energi, tagihan akan turun
menjadi Rp 477.244.826,-, sedangkan jika menggunakan Lampu Balast serta
PJU Pintar tagihan akan turun menjadi Rp 405.658.102.
d. Telah dilakukan penggantian 42 unit HPS 250 W dengan lampu LED 120W
yang dilengkapi teknologi PJU pintar bantuan Kementerian ESDM pada tahun
2013.
3. Audit Energi PJU Jembatan Suramadu
Hasil audit di Pemerintah Kabupaten Sleman diperoleh data sebagai berikut:
a. Dengan pemasangan 326 lampu PJU, konsumsi listrik 4 MWh/ hari.
b. Tagihan listrik pada awal November 2013 (saat audit dilakukan) adalah
sebesar Rp 166.332.170,-.
c. Dilakukan estimasi jika menggunakan lampu hemat energi, tagihan akan turun
menjadi Rp 66.949.655,-, sedangkan jika menggunakan Lampu Balast serta
PJU Pintar tagihan akan turun menjadi Rp 57.308.905.
d. Telah dilakukan penggantian 16 unit HPS 250 W dengan lampu LED 120W
yang dilengkapi teknologi PJU pintar bantuan Kementerian ESDM pada tahun
2013.
Gambar 43.
Estimasi hemat energi di Kabupaten Sleman dan Denpasar.
4. Audit Energi PJU Kota Surakarta.
Hasil audit energi di Kota Surakarta diperoleh data sebagai berikut:
a. Tagihan listrik PJU abonemen lebih besar daripada kapasitas daya
terpasangnya. Estimasi kelebihan pembayaran mencapai 16,48 miliar/ tahun;
b. Tagihan listrik PJU secara keseluruhan lebih besar daripada daya pengukuran,
sehingga berpotensi kelebihan pembayaran sebesar Rp 2,06 miliar/ tahun;
c. Penggantian lampu merkuri dengan lampu yang lebih efisien di PJU abonemen
berpotensi mengurangi tagihan listrik sebesar Rp 199 juta per 1.000 lampu
per tahun;
d. Penggunaan lampu yang efisien dan PJU cerdas pada PJU meter berpotensi
mengurangi tagihan listrik sebesar 1,5 miliar rupiah per tahun (1.702 MWh);
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
49
e. Penghematan energi di PJU Surakarta berpotensi menurunkan konsumsi
listrik JAMALI sebesar 5,7 GWh dan beban puncak hingga 1,3 MW (asumsi
17.000 lampu MV 125W diganti HPS 70W).
Rekomendasi yang diberikan kepada Pemerintah Kota Surakarta adalah
Melakukan Klarifikasi Data Tagihan PJU Abonemen ke PLN, Meterisasi dan/atau
mengganti Lampu PJU Abonemen, serta Mengganti Lampu dengan PJU Pintar.
5. Audit Energi PJU Kota Bandung
Hasil audit energi di Kota Bandung diperoleh data sebagai berikut:
a. Tagihan listrik PJU abonemen menggunakan tarif tenaga listrik (TTL) yang
lebih besar daripada ketentuan Permen ESDM 30/2012. Estimasi kelebihan
pembayaran mencapai Rp 67.260.064,-/bulan. Tagihan listrik PJU secara ratarata 55,2 % lebih besar daripada daya pengukuran KESDM.
b. Tagihan listrik PJU abonemen tidak mengikuti Keputusan Direksi PLN No.
212.K/010/DIR/2002 sehingga terjadi kekurangan tagihan listrik sebesar 4.941 kWh/bulan atau sekitar Rp 4 juta/bulan.
c. Meterisasi PJU abonemen akan mengurangi tagihan listrik sebesar Rp 660
juta/ bulan namun membutuhkan biaya investasi sebesar Rp 10,7 miliar.
d. Penggunaan lampu efisiensi tinggi perlu segera dimulai dengan pengadaan
berdasarkan total biaya operasi lampu yang memperhatikan harga, tingkat
hemat energi dan usia lampu.
e. Aplikasi lampu efisien bersama PJU pintar pada PJU yang disurvei berpotensi
mengurangi konsumsi listrik sebesar 153 MWh/tahun (49%) atau setara
dengan Rp 153 juta/ tahun.
Rekomendasi yang diberikan kepada Pemerintah Kota Bandung adalah program
meterisasi yang akan menghemat minimal 50% tagihan listrik PJU abonemen atau
setara Rp 660 juta/ bulan dengan asumsi TTL sebesar Rp 904/kWh (TTL Mei 2013),
Penggantian lampu yang akan mengurangi ½ konsumsi listrik PJU, dan Pemasangan
PJU pintar yang bisa membuat pengelolaan PJU lebih mudah dan praktis untuk
menuju pelayanan prima.
6. Audit Energi PJU Kota Bengkulu
Hasil audit energi di Kota Bengkulu diperoleh data sebagai berikut:
a. Pada Mei 2013, Pemkot Bengkulu membayar tagihan listrik sebesar Rp 309
juta untuk 192 sistem PJU yang terdistribusi pada 4 Rayon PLN.
b. Mayoritas PJU kota Bengkulu telah dipasang kWh meter, namun beban
terpasangnya hampir sama dengan PJU abonemen dan tagihannya 1/3 tagihan
PJU abonemen 3.
c. Beberapa sistem PJU meter dikenakan tagihan melebihi kapasitas beban
maksimumnya. Kemungkinan penyebabnya ada 2 yaitu pembacaan kWh
meter tidak akurat atau adanya penggantian fuse/ sekring yang lebih besar
tanpa melapor ke PLN;
d. Secara rata-rata, kapasitas beban PJU meter yang digunakan hanya
19%.Beberapa penyebabnya adalah banyaknya lampu yang mati dan
penggantian lampu dengan daya yang lebih rendah;
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
50
e. Dari total 6.769 unit lampu PJU Kota Bengkulu, jumlah lampu yang disurvei
sebanyak 517 unit. Lampu terdistribusi pada Rayon Nusa Indah sebanyak 402
unit dan Rayon Teluk Segara sebanyak 115 unit;
f. 41,2% lampu yang disurvei dalam kondisi tidak menyala dengan rincian
41,5% untuk PJU Nusa Indah dan 40% untuk PJU Teluk Segara. Dengan asumsi
nilai ini berlaku untuk seluruh lampu kota, maka jumlah lampu yang mati
mencapai 2.809 titik lampu.
g. Distribusi lampu PJU Kota Bengkulu didominasi lampu 250W (61,3%) dan
lampu 125W (21,5%);
h. Menyalakan 100% lampu PJU Kota Bengkulu dengan lampu efisiensi tinggi
membutuhkan biaya Rp 799 juta dan menaikkan konsumsi listrik PJU 127.984
kWh/bulan atau setara dengan Rp 115 juta/ bulan (TTL Mei 2013).
Rekomendasi yang diberikan kepada Pemerintah Kota Bengkulu adalah
mengubah orientasi pengadaan lampu dari “berapa watt yang dibutuhkan” menjadi
“berapa lumen yang dibutuhkan”, penggantian lampu yang akan mengurangi 39%
konsumsi listrik PJU, dan penggantian lampu dengan PJU pintar yang membuat
pengelolaan PJU lebih modern untuk menuju pelayanan prima.
II. PENINGKATAN SUMBER DAYA DAN NILAI TAMBAH
A. Peningkatan Sumber Daya Mineral
1. Pemetaan Landas Kontinen Di Perairan Utara Papua Dengan Menggunakan
Kapal Geomarin III
Tim : C.Purwanto, N. D. Hananto, M. Hanafi, H. C. Widiatmoko, Rahadian, R. A. Troa,
T. Bernhard, B. J. Zakaria, R. D. Michel, dan A. Wisnu
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Pemetaan Geologi
Kelautan, Puslitbang Geologi Kelautan
Email : [email protected]
Pemetaan Landas Kontinen di Perairan Utara Papua dengan menggunakan Kapal
Geomarin III merupakan upaya dalam rangka melengkapi data yang dibutuhkan
untuk submisi Landas Kontinen.Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui data
kedalaman dasar laut dan ketebalan sedimen yang dapat digunakan sebagaimana
yang disyaratkan di dalam ketentuan Article 76 UNCLOS-82 untuk dilakukan
penentuan dan submisi Batas Landas Kontinen Indonesia, baik dari aspek hukum
maupun aspek teknis.
Lokasi kegiatan secara geografistermasuk ke dalam wilayah Perairan Papua
dengan batas koordinat 2°00’00’–3°00’00” Lintang Utara dan 140°00’00”–
143°00’00” Bujur Timur. Di bagian utara dibatasi oleh wilayah Republik Mikronesia,
bagian selatan oleh wilayah Papua Nugini, dan bagian barat oleh wilayah Republik
Palau (Gambar 44).
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
51
Gambar 44.
Lokasi penelitian (daerah yang diarsir, GMT Map v.3)
Kedalaman laut di daerah pemetaan berkisar dari 2.000 meter yaitu pada lintasan
3 sampai dengan 4100 meter pada lintasan 5. Kedalaman dangkal terdapat di daerah
bagian tengah survei dengan kedalaman 2000 meter, sedangkan paling dalam
terdapat dibagian barat dengan kedalaman 4100 meter. Di bagian tengah daerah
survei terdapat pematang dengan kedalaman sekitar 2000 sampai dengan 2600
meter (Gambar 45 dan Gambar 46).
Gambar 45.
Peta Batimetri daerah penelitian (GEBCO, 2013).
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
52
Gambar 46.
Morfologi dasar laut daerah penelitian (GEBCO, 2013).
Morfologi dasar laut di daerah survei merupakan suatu bentuk tinggian yang
dikenal dengan nama Eauripik Rise dengan bagian tubuhnya terbagi atas puncak dan
kedua sayap kanan dan kiri yang dikenal dengan nama East Caroline Basin dan West
Caroline Basin (Gambar 45).
Kedalaman puncak Eauripik Rise adalah sekitar 2500 m sedangkan kedalaman
sayap kanan dan kirinya (East and West Caroline Basin) sekitar 4200 m. Tinggian ini
ditutupi oleh pelagic sedimen setebal 0,5 – 0,75 s (500 – 1000 m). Di sayap barat
sedimen ini terlihat lebih tipis dengan morfologi yang mengikuti lapisan sebelumnya
yaitu kerak samudera.
Ketebalan kerak samudera ini tidak dapat ditentukan. Pada Shot Point 2600 –
3100 di Lintasan JYPR-05 (Gambar 49) ditemukan struktur oceanic intrusion dan
adanya cekungan dengan struktur oceanic vulcanism pada Shot Point 7800 – 8300
(Gambar 47 dan Gambar 48). Struktur ini jika dipetakan akan berarah utara-selatan
dengan bagian selatan lebih aktif daripada bagian utara. Rekaman seismik tersebut
menunjukkan bahwa Eauripik Rise telah terbentuk zaman Oligosen dengan beberapa
bagian mengalami sesar geser (Hamilton, 1979). Sedimen permukaan dasar laut yang
menutupi Eauripik Rise terdiri dari lempung pasiran di lapisan paling atas dan pasir
lempungan di lapisan terbawah. Kehadiran fosil foraminifera planktonik cukup
melimpah. Penarikan batas untuk pengajuan klaim Landas Kontinen di utara Papua
ini ditentukan dari Foot of Slope sisi barat Eauripik Rise (Gambar 49).
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
53
Gambar 47.
Peta lintasan pengukuran dan lokasi pengambilan contoh sedimen
Gambar 48.
Gambar 49.
Interpretasi seismik terpilih Lintasan JYPR-05
Potential Extended Continental Shelf Papua for Joint Submission.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
54
Hasil pemetaan ini sebagai dasar dalam diskusi lanjutan dengan pihak Papua
Nugini, Mikronesia dan Palau serta sebagai data submisi klaim Landas Kontinen
Indonesia ke PBB.
2. Pemetaan Potensi Mineral Sulfida Bawah laut di Perairan Komba dan
Sekitarnya, NTT.
Tim : Lili Sarmili, H.C. Widiatmoko dan P. H. Wijaya
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Sumber Daya Geologi
Kelautan, Puslitbang Geologi Kelautan
Email: [email protected]
Daerah pemetaan terletak di sebelah tenggara P. Komba tepatnya di utara pulaupulau Pantar, Lomblen, Adonara dan pulau kecil lainnya. Lokasi pemetaan termasuk
ke dalam wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur tepatnya terletak diantara
koordinat 123º 43’ 12” - 123º 54’ 00” BT dan 07º 55’ 12” - 08º 04’ 48” LS. Lokasi
pemetaan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu lokasi bagian utara, ditandai
adanya gunung api muda yang masih aktif, yaitu Gunung Komba yang muncul ke
permukaan dan dikenal juga sebagai P. Batu Tara (ketinggian hampir mencapai 700
meter di atas permukaan laut). Di bagian selatan, ditandai dengan muncul 3 (tiga)
gunung api yang lebih tua yaitu gunung Baruna Komba, Abang Komba dan Ibu
Komba (Halbach, drr, 2003 dan Sarmili drr,2003, 2004).
Tujuan pemetaan adalah untuk mencari mineral sulfida/hidrothermal yang terjadi
di dalam salah satu rangkaian gunung api bawah laut, terutama di sekitar laut Banda
dan sekitarnya. Hasil dari kegiatan kajian ini diharapkan dapat menunjang pada
inventarisasi data keberadaan mineral logam dan genesanya, serta sebagai penyedia
data aktual di daerah frontier terutama di bawah laut di kawasan perairan Indonesia
Timur.
Gambar 50.
Lokasi Penelitian di Perairan Flores Timur, NTT
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
55
Pemeruman (sounding) dilakukan di sepanjang lintasan survei dengan total
lintasan keseluruhan adalah lebih dari 1165 km. Dari seluruh lintasan ini, daerah
penelitian terdapat tiga lokasi gunung bawah laut yaitu Baruna Komba, Abang
Komba dan Ibu Komba. Rangkaian gunung bawah laut ini dikelilingi oleh kedalaman
laut yang dalam hingga mencapai lebih dari 3.000 meter. Hasil pemetaan batimetri
menunjukkan bukit bawah laut Baruna Komba yang lebih mendekat ke arah gunung
api Komba sehingga diperkirakan adanya endapan piroklastik yang terendapkan di
atasnya akibat letusan gunung api Komba pada tahun 2007.
Percontohan batuan/sedimen dilakukan di 12 lokasi dengan kedalaman mulai dari
yang paling dangkal 150 meter hingga 900 meteran. Didapat beberapa contoh batuan
beku yang segar dan beberapa contoh batuan sedimen. Contoh batuan segar secara
megaskopik, antara lain batuan plutonik Granodiorit, batuan vulkanik bersifat DasitAndesitik, sedangkan batuan sedimen berupa sedimen batugamping, pasir, kerakal
hingga pumice.
Hasil penafsiran dari seismik pantul terutama pada lintasan yang tegak lurus
rangkaian gunung bawah laut tersebut, memunjukkan banyak yang tersesarkan.
Munculnya sesar-sesar normal yang berarah baratlaut-tenggara ditafsirkan sebagai
sesar yang lebih tua dibandingkan sesar-sesar yang berarah timur laut – barat daya.
Sesar yang berarah barat laut-tenggara ini sebagai sesar besar dan dalam yang
ditafsirkan sebagai penyebab munculnya rangkaian gunung bawah laut tersebut dan
bukan dalam rangkaian gunung api di selatannya yang sebagai daerah busur gunung
api yang berkaitan dengan penunjaman saat ini. Rangkaian gunung bawah laut
Baruna, Abang dan Ibu Komba jika dikaitkan dengan kedalaman tunjaman sangat
dalam hingga mencapai 300 km. Selain sesar yang berarah barat laut-tenggara,
ditemukan juga sesar yang berarah timur laut-barat daya yang ditafsirkan sebagai
sesar yang lebih muda dan memotong rangkaian gunung bawah laut dan sesar yang
berarah barat laut-tenggara.
Dari sebaran batuan dari percontohan batuan, didapat beberapa jenis batuan beku
dan sedimen. Batuan beku yang terdiri dari batuan beku dalam berupa Granodiorit
hingga batuan lelehan berupa dasit andesitik dan basalt. Sedangkan batuan sedimen
berupa batugamping, pasir dan lempung pelagik. Yang menarik dari sebaran batuan
ini adalah ditemukannya batuan beku dalam granodiorit yang didapat di ujung barat
dari gunung bawah laut Komba sedangkan batuan beku lelehannya berupa dasitandesitik tersebar ke arah timurnya.
Ke tiga gunung bawah laut yang ditemukan dari utara hingga selatan adalah
Baruna Komba, Abang Komba dan Ibu Komba. Terdapat perubahan morfologi dari
gunung bawah laut Baruna Komba yang diperkirakan akibat hasil endapan baru
sebagai endapan lahar yang dihasilkan dari letusan gunung api Komba pada tahun
2007 yang lalu.
Data magnetik di daerah penelitian menunjukkan anomali positif di atas puncakpuncak gunung bawah laut Abang dan Ibu Komba dibandingkan dengan Baruna
Komba yang mempunyai anomali magnetik negatif. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa
anomali positif menunjukkan adanya batuan vulkanik dengan kandungan
besi/magnetit yang lebih tinggi.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
56
3. Penelitian Potensi Keterdapatan Mineral Berat dan Unsur Logam Tanah
Jarang (Rare Earth Element) di Perairan Tanjung Pandan - Belitung
Tim : Maman Surachman, Udaya Kamiludin, I. Nyoman Astawa, Ai Yuningsih,
Priatin Hadi Wijaya, M. Akrom Mustafa, Delyuzar Ilahude, Noor Cahyo D. Aryanto
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Sumber Daya Geologi
Kelautan, Puslitbang Geologi Kelautan
Email: [email protected]
Unsur tanah jarang (Rare Earth Element) merupakan unsur yang terletak di dalam
golongan lantanida dan termasuk tiga unsur tambahan, yaitu Yttrium, Thorium dan
Scandium. Mineral yang mengandung unsur tanah jarang disebut sebagai mineral
tanah jarang (Rare Earth Mineral), antara lain monasit, xenotime, zircon, columbitetantalite.
Di Indonesia, mineral tanah jarang yang telah diusahakan terdapat di sepanjang
jalur timah, antara lain di Pulau Belitung. Pada jalur timah, mineral tanah jarang
umum dijumpai berupa monasit, xenotim dan zirkon yang diperoleh sebagai produk
sampingan dari penambangan dan pengolahan timah. Sampai saat ini kegiatan
penelitian maupun eksplorasi mengenai potensi sumber daya unsur tanah jarang
(REE) di Indonesia terbilang masih sedikit terutama keterdapatan REE dalam
sedimen permukaan dan bawah permukaan dasar laut.
Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui sejauh mana prospek keterdapatan
mineral berat dan unsur tanah jarang, khususnya unsur logam tanah jarang dalam
lapisan sedimen permukaan dan bawah permukaan dasar laut di daerah penelitian
berkaitan dengan keterdapatan singkapan granit Tipe-S (granit Tanjungpandan)
sebagai granit yang kaya akan mineralisasi timah dan mineral-mineral pembawa
unsur tanah jarang.
Lokasi kegiatan penelitian mencakup pantai dan lepas pantai Tanjungpandan dan
sekitarnya, Belitung (Gambar 51). Secara geografis terletak pada koordinat antara
107°31' - 107°41' Bujur Timur dan antara 02°36' - 02°53’ Lintang Selatan. Secara
regional daerah Bangka – Belitung merupakan bagian dari jalur granit yang kaya
akan mineralisasi timah. Jalur granit tersebut membentang dari Myanmar, Thailand,
Malaysia, Kepulauan Riau, Bangka dan Belitung, terus ke Pulau Karimata di sebelah
barat Kalimantan. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Belitung, Sumatera (Baharudin
dan Sidarto, 1995) (Gambar 52), formasi batuan yang terdapat di daerah penelitian
dari tua ke muda adalahFormasi Kalapakampit (PCKs), Formasi Tajam (PCTm),
Granit Tanjungpandan (Trtg), dan Endapan Aluvial dan Pantai (Qa).
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
57
Gambar 51.
Gambar 52.
Lokasi daerah penelitian
Peta Geologi Belitung
Secara batimetris, kedalaman laut di daerah penelitian umumnya kurang dari 20
meter bahkan di bagian selatan umumnya kurang dari 15 meter. Pola garis kontur
relatif tidak beraturan antara lain berkelok-kelok dan melingkar. Kondisi tersebut
disebabkan banyaknya dangkalan berupa gosong-gosong pasir, terumbu karang, dan
pulau-pulau kecil. Kedalaman lebih dari 20 meter terutama terdapat pojok barat laut
daerah penelitian dengan pola kontur umumnya melingkar dan membentuk
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
58
cekungan hingga kedalaman lebih dari 55 meter (Gambar 53). Di perairan dekat
pantai kira-kira pada kedalaman kurang dari 2 meter tampak merupakan perairan
yang sangat dangkal bahkan saat surut sekali terbentuk dataran pasir yang muncul
ke permukaan yang sangat luas dan jauh menjorok ke arah laut.
Gambar 53.
Peta kedalaman laut daerah penelitian.
Berdasarkan sebaran lateralnya, pasir kerikilan menempati kira-kira 54,1% luas
wilayah dasar laut daerah penelitian, pasir sedikit kerikilan 22%, pasir lumpuran
kerikilan 9%, pasir lumpuran sedikit kerikilan 7%, lanau pasiran 7% dan lanau 0,9%
(Gambar 54).
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
59
Gambar 54.
Peta sebaran sedimen permukaan dasar laut.
Berdasarkan luas sebaran pasir kerikilan dan pasir sedikit kerikilan, maka 76%
luas dasar laut daerah penelitian ditutupi oleh sedimen dengan kandungan fraksi
pasir 74,1% hingga 99,9% dan kerikil 0,1% hingga 25,3%.
Penampang litologi hasil pemboran tangan sedimen pantai (beach sediment) di10
lokasi yang tersebar dari ujung utara hingga ujung selatan daerah penelitian dengan
kedalaman pemboran 100 cm hingga 150 cm menunjukkan bahwa secara vertikal
sedimen pantai di daerah penelitian tersusun endapan pasir dengan ukuran butir
berkisar antara pasir halus hingga pasir sangat kasar. Kecuali lokasi BT-01 yang
terletak dekat dengan muara Sungai Cerucuk, Tanjungpandan, bagian atas sedimen
(ketebalan 0 – 130 cm) tersusun oleh pasir lumpuran dimana ukuran pasirnya
adalah pasir sangat halus.
Mineral berat yang dijumpai dalam konsentrat dulang sedimen permukaan dasar
laut adalah ilmenit, piroksen, amfibol, leukosen, zirkon, dan magnetit. Mineral ringan
yang dijumpai adalah kuarsa dan karbonat (kalsit). Selain mineral, dijumpai juga
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
60
cangkang forminifera.Ilmenit umumnya kurang dari 1,5% dengan persentase
tertinggi 12,3% percontoh BLT-05. Leukosen umumnya berupa jejak (trace) dengan
persentase tertinggi adalah 0,27% (BLT-46). Zirkon dijumpai dalam 2 percontoh
(BLT-18 dan BLT-30) dengan pesentase masing-masing trace dan 1,0%. Kuarsa
umumnya lebih dari 70% dengan persentase tertinggi adalah 97% (BLT-07).
Kalsit/karbonat sangat bervariasi berkisar antara 1,35% (BLT-07) hingga 53,06%
(BLT-05). Kandungan fosil/foraminifera berkisar antara 0,01% (BGC-04) hingga
58,89% (BGC-01).
Secara komposisi konsentrat sedimen pantai didominasi oleh kuarsa dengan
persentase berkisar antara 95 - 99%. Mineral berat yang dijumpai adalah ilmenit,
piroksen, amfibol, dan leukosen. Ilmenit dijumpai dalam 7 percontoh dengan
persentase berkisar antara 0,09 - 2,0%. Leukosen dijumpai dalam 9 percontoh
dengan kadar sangat sedikit sekali (trace).
Percontoh LP-12A merupakan satu-satunya percontoh batuan sedimen daratan
yang dianalisis konsentrat dulangnya. Percontoh ini lebih banyak mengandung
mineral berat dibanding percontoh sedimen permukaan dasar laut maupun
percontoh sedimen pantai. Mineral berat yang dijumpai adalah ilmenit (46,65%),
leukosen (1,91%), zirkon (9,78%), monasit (9,57%), xenotim (6,38%), kasiterit
(3,62%), turmalin (Trace), rutil (Trace), anatase (Trace).
Kandungan unsur tanah jarang dalam sedimen permukaan dasar laut ditampilkan
dalam Gambar 55 dan unsur tanah jarang dalam sedimen pantai dan percontoh
batuan asal ditampilkan dalam Gambar 56.
Gambar 55.
Diagram batang kandungan REE dalam sedimen permukaan dasar laut.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
61
Gambar 56.
Diagram batang kandungan REE dalam sedimen pantai dan batuan darat.
Kadar unsur tanah jarang Cerium(Ce), Lantanum (La), Praseodymium (Pr) dan
Neodymium (Nd) baik dalam sedimen permukaan dasar laut maupun dalam sedimen
pantai umumnya lebih rendah dibanding kadar tiga unsur tersebut dalam beberapa
percontoh batuan yang diperoleh dari daratan. Kadar Ce umumnya < 40 ppm, La
umumnya < 20 ppm, Pr umumnya < 3 ppm dan Nd umumnya < 15 ppm.
Dalam batuan granit (LP-01C) kadar Ce adalah 89 ppm, La 52 ppm, Pr 3 ppm, dan
Nd 38 ppm. Hasil analisis petrografi menunjukkan granit biotit. Dalam batulempung
putih (LP-12B) kadar Ce adalah 145 ppm, La 26 ppm, Pr 8 ppm dan Nd 18 ppm. Hasil
analisis X-RD menunjukkan batulempung ini tersusun oleh mineral lempung kaolinit
dan illit serta kristal kuarsa. Dalam batuan/tanah lateritik (LP-13) kadar Ce, La, Pr
dan Nd masing-masing adalah 51 ppm, 13 ppm, 63 ppm dan 12 ppm dan dalam
batuan/tanah lateritik (LP-17) masing-masing adalah 70 ppm, 3 ppm, 93 ppm dan 17
ppm.
Secara kimiawi sedimen permukaan dasar laut didominasi oleh senyawa SiO2 dan
CaO. Kandungan SiO2 umumnya lebih dari 30% dengan persentase tertinggi 70,61 %
dan terendah 6,1%. Kandungan CaO umumnya lebih dari 20% dengan persentase
tertinggi 50,02% dan terendah 2,46%.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
62
Sekuen sedimen bawah dasar laut didaerah penelitian dapat teridentifikasi
adanya 2 (dua) unit sekuen sedimen. Selain itu dapat ditafsirkan juga adanya
morfologi berupa tonjolan yang dapat diduga sebagai batuan intrusi. Unit 1
merupakan unit yang posisinya terdalam di daerah penelitian dan sekaligus
merupakan “basement aqoustic”. Unit 2 merupakan unit termuda yang proses
sedimentasinya masih berlangsung hingga sekarang. Batuan intrusi diduga
merupakan batuan tertua di daerah penelitian.Unit 2 diduga dapat disebandingkan
dengan endapan aluvial dan pantai (Qa), yang terdiri atas kerikil, kerakal, pasir,
lanau, lempung, dan pecahan koral. Unit 2 merupakan unit termuda di daerah
penelitian di mana proses sedimentasinya masih berlangsung hingga sekarang.
Ketebalan Endapan Aluvial dan Pantai tersebut dapat mencapai hingga 8 (delapan)
meter. Umur dari Endapan Aluvial tersebut adalah Holosen Gambar 57.
Gambar 57.
Hasil Penafsiran Rekaman SBP Lintasan 8 (L-8)
4. Penelitian Lingkungan Geologi Kelautan Pulau Kisar, Kabupaten Maluku
Barat Daya, Provinsi Maluku (Pulau Terluar, Berbatasan dengan Timor
Leste)
Tim : Godwin Latuputty, Yogi Noviadi, Nineu Yayu Geurhaneu, Fauzi Budi Prasetio,
Ai Yuningsih, Sahudin, Yani Permawati, Mario Dwi Saputra
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Lingkungan dan
Kebencanaan Geologi Kelautan, Puslitbang Geologi Kelautan
Email: [email protected]
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
63
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.506 buah pulau
dan 2/3 wilayahnya berupa lautan.Dari 17.506 pulau tersebut terdapat pulau pulau
terluar yang menjadi batas langsung Indonesia dengan negara tetangga. Berdasarkan
hasil survei Base Point atau Titik Dasar yang telah dilakukan DISHIDROS TNI AL,
untuk menetapkan batas wilayah dengan negara tetangga, terdapat 183 titik dasar
yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada di tanjung-tanjung terluar dan di
wilayah pantai.
Permasalahannya bukan hanya sekedar menarik garis-garis batas yang bersifat
maya di lapangan, tetapi juga memerlukan pemahaman tentang kondisi lingkungan
geologi, sumberdaya yang ada dan potensi-potensi lainnya, serta implikasi legal dan
teknis implementasinya di lapangan. Kerentanan lingkungan geologi merupakan
parameter penting dalam mempertahankan eksistensi titik terluar batas wilayah
NKRI. Kebijaksanaan umum dalam pengelolan secara terpadu kawasan Pulau Kisar –
TD. 111 sebagai titik batas terluar merupakan hal mutlak yang perlu diupayakan.
Tujuan kegiatan penelitian ini adalah untuk menghimpun data dan informasi
geologi dan geofisika kelautan sebagai upaya pengelolaan kawasan pulau terdepan
NKRI.
Lokasi penelitian adalah Pulau Kisar yangterletak di timur laut Pulau Timor, dalam
punggungan busur luar Banda yang terletak di selatan Pulau Romang dan di bagian
barat Pulau Leti dan Pulau Moa. Secara administratif kawasan tersebut termasuk
Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku dan secara geografis terletak pada
08˚ 06' 10'' LS dan 127˚ 08' 36'' BT (Gambar 58).
Penelitian meliputi kegiatan di pantai (karakteristik pantai dan georadar) dan
kegiatan di laut (oseanografi: pasang surut dan arus), batimetri, sampling sedimen,
sampling air (kualitas air) dan sub-bottom profile.
Gambar 58.
Peta Lokasi Penelitian
Berdasarkan deskripsi kualitatif terhadap aspek geologi, relief, karakteristik garis
pantai (Shoreline character) dan proses dominan (Dolan et al, 1975) maka tipologi
pantai daerah penelitian dapat dibedakan ke dalam tipe pantai bertebing batuan
(Rock cliff), berkantong pasir (Pocket beach), dan bergisik pasir/sand beach.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
64
Tipologi pantai bertebing batuan disusun oleh Batugamping Koral berumur
kuarter, membentuk undak-undak/Terrace. Tebing batuan (Rock cliff) yang
mencerminkan sebagai relief bagian muka dan karakter garis pantai (Shoreline
character) mempunyai tinggi antara 10 - 20 m. Tipologi ini mendominasi daerah
penelitian. Pada dasar tebing di batas tukas air pasangnya berkembang takik-takik
(Notchs) akibat proses marin berupa erosi gelombang yang sebagian disertai oleh
jatuhan batuan (Rock fall) akibat gravitasi.
Tipologi pantai berkantong pasir disusun oleh batuan lepas Aluvium Holosen dan
Batugamping Koral berumur Kuarter, menempati morfologi pedataran pantai-lereng
pebukitan berelief rendah dengan proses dominan marin. Aluviumnya berukuran
pasir, sebagian kerikilan dan merupakan endapan pantai yang disusun oleh biogenik,
sedangkan batugampingnya merupakan endapan laut.
Dikatakan berkantong pasir (Pocket beach) oleh karena materialnya hanya
menempati celah-celah yang relatif sempit dan tersebar secara terpisah diantara
tipologi pantai bertebing batuan, pantai jenis ini mendominasi daerah penilitian
seperti dijumpai di pantai Kiasar, pantai Mulikaur, pantai Kimur, pantai Uhum,
pantai Nama dan pantai Tanjung Airami.
Berdasarkan data pemeruman di lapangan yang kemudian menggunakan metode
interpolasi maka dihasilkan kontur kedalaman perairan Pulau Kisar dengan
kedalaman laut berkisar 5-1000 meter(Gambar 59). Secara umum pola kedalaman P.
Kisar dari arah pantai ke arah laut.
Gambar 59.
Kedalaman dasar laut Perairan Kisar dengan interval 50 meter.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
65
B. Pengolahan dan Pemurnian Mineral dan Batubara
1. Peningkatan Kadar dan Pemrosesan Bauksit Bernilai Tambah serta
Pemanfaatan Tailing-nya
Tim : Husaini, dkk.
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan(KP3) Teknologi Pengolahan
dan Pemanfaatan Mineral, Puslitbangtek Mineral dan Batubara
Email : [email protected]
Penelitian yang dilakukan bertujuan:
a. Mendapatkan alat pencucian bauksit atau upgrading crude bauxite (CBX)
menggunakan rotary drum scrubber (RDS) kapasitas 1600 kg/jam, tervalidasi,
alumina hidrat dan koagulan (PAC dan tawas) dari tailing, dan flotasi bauksit dari
bauksit kadar rendah.
b. Kajian keekonomian upgrading
crude bauxite dengan RDS kapasitas
komersialnya.
c. Diperolehnya bauksit hasil cucian atau washed bauxite (WB) yang bersih berkadar
minimum 47% Al2O3 dan SiO2 reaktif maksimum 3,5% (ICA 5% SiO2 reaktif), PAC
cair berkadar 9,5% Al, 9,5% Cl dan maksimum 3,5% SO4, dan tawas berkadar di
atas 17% Al2O3, dan hasil kajian keekonomian RDS berkapasitas 50 ton/jam
(150.000 ton/tahun).
Pada proses validasi bauksit menggunakan RDS, telah dilakukan percobaan
pencucian sebanyak 10 kali dari percontoh bijih bauksit yang diambil dari daerah
Mempawah, yaitu lokasi Toho, Pinang, Spais dan Mentonyek. Hasil peningkatan ratarata:
1) Bijih bauksit Toho
: dari 41,4% Al2O3 menjadi 48,6%Al2O3
2) Bijih bauksit Mentonyek : dari 37,1% Al2O3 menjadi 41,8% Al2O3
3) Bijih bauksit Pinang
: dari 26,3% Al2O3menjadi 32,4% Al2O3
4) Bijih bauksit Spais
: dari 22,1% Al2O3 menjadi 26,5% Al2O3
Kebersihan hasil cucian ditunjukkan dengan kadar lumpur yang rendah (<1%)
dan SiO2 reaktif rata-rata <5%.Kadar Al2O3 yang diperoleh sangat tergantung dari
bijih bauksit asalnya, dan jika dilihat ukuran butirnya untuk mencapai kadar yang
diharapkan ukuran washed bauxite(WB) yang diambil yang lebih dari 2 mm.
Hasil uji validasi menunjukkan bahwa alat RDS memberikan kinerja dan hasil yang
baik untuk pencucian semua jenis crude bauxite (CB) menjadi washed bauxite (WB).
Pada percobaan pembuatan PAC (poloaluminium clorida) cair, telah dilakukan
sebanyak 20 kali pembuatan pada skala laboratorium dan 8 kali disertai proses
pengeringan dengan alat spray drier. Untuk mendapatkan kondisi proses pembuatan
PAC cair yang optimum, komposisi bahan yang digunakan adalah Al(OH)3, H2SO4, HCl
dan kapur dengan perbandingan 100:127:180:100. Penggunaan kapur 135 g, dengan
komposisi Al2O3 86,1% dan Cl 75,5%. Hasil uji jar tes menunjukkan mutu PAC yang
baik, dan lebih baik dari PAC pasar. Selain itu, dilakukan juga optimalisasi digesting
bauksit dan hidrolisis untuk mendapatkan alumina hidrat. Optimalisasi digesting
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
66
dicapai dengan penambahan ekses NaOH rata-rata 16-22%, dengan hasil ekstraksi
alumina >80%.
Penambahan ekses NaOH sejumlah itu adalah sesuai dengan rekomendasi
percobaan optimalisasi hidrolisis yang telah dilakukan untuk selama waktu 72
jam.Dari hasil percobaan optimalisasi hidrolisis, ekses NaOH sekitar 15% dapat
menurunkan alumina dalam larutan dari semula 166,4 g/l menjadi 62,5 g/l (larutan
yang tak menjadi kristal). Sedangkan, untuk percobaan ekses NaOH lebih dari 30%,
hanya dapat menurunkan alumina dalam larutan dari 161,3 g/l menjadi 119,2 g/l. Ini
artinya, ekses NaOH yang terlalu tinggi akan menghasilkan filtrat NaAlO2 yang sulit
dihidrolisis.
Pembuatan tawas dilakukan pada kondisi konsentrasi asam sulfat 50%, persen
solid 22%(alumina hidrat atau bauksit), suhu 100oC, dengan variasi waktu 30, 60, 90,
dan 120 menit, menghasilkan produk tawas yang memenuhi syarat ditinjau dari
komposisi kimianya, yakni kandungan Al2O3 dapat mencapai lebih dari 17% dengan
kandungan Fe2O3 relatif kecil yakni <0,1% (persyaratan tawas pasaran Al2O3 sekitar
17% dan Fe2O3< 0,5%). Percobaan skala laboratorium telah dilakukan sebanyak 4
kali, dan untuk skala pilot plant sebanyak 3 kali, dan dikeringkan dengan spray drier
menjadi bubuk sebanyak 1 kali.
Tawas (alum) dapat diperoleh dari reaksi Al(OH)3 dengan asam sulfat, dengan
perbandingan yang tepat, sehingga diperoleh tawas dengan kandungan yang
memenuhi persyaratan, yaitu Al2O3>17% dan Fe2O3<0,5%.
Gambar 60.
Produk hasil pengolahan bauksit
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
67
Upgrading bauksit dengan cara flotasi skala laboratorium dilakukan menggunakan
variasi pH, dosis kolektor, dan waktu gerus. Percobaan dilakukan sebanyak 5 kali.
Percontoh bauksit yang digunakan berkadar Al2O3 35,5% dan SiO2 reaktif 10,3%.
Hasil terbaik yang dicapai adalah konsentat berkadar Al2O3 41,1% dengan SiO2
reaktif yang masih cukup tinggi, yaitu 6,9 %, dan hasil recovery-nya masih rendah,
yaitu 52,4%.
Upgrading ini menggunakan pH 2,5, kolektor dengan perbandingan aeropromotor
801 dan 825 adalah 1:1 (325 : 325 g/ton), persen solid 25%, waktu gerus 90 detik
dan waktu skimming 5 menit.
Gambar 61.
RDS di Sentra Pengolahan Mineral, Citatah, Bandung
Pada penelitian juga dilakukan kajian ekonomi. Untuk kapasitas 150.000
ton/tahun, diperkirakan memerlukan investasi sebesar Rp 29.330.000.000,- (untuk
peralatannya saja memerlukan dana sekitar Rp 2,6 miliar). Dari hasil analisis
ekonomi, usaha pencucian bauksit ini menguntungkan dan layak untuk dilakukan ini
terbukti melalui analisis finansial didapatkan NPV=Rp 24.866.108.200,71,-, IRR
sebesar 24,12% dan pengembalian modal selama 4 tahun 1 bulan.
2. Pembuatan dan Uji Pembakar Siklon Rendah Emisi Partikulat
Tim : Ikin Sodikin, dkk.
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengolahan dan
Pemanfaatan Batubara, Puslitbangtek Mineral dan Batubara
Email : [email protected]
Untuk meningkatkan peran batubara dalam bauran energi nasional sampai 33%
pada tahun 2025, perlu terus dikembangkan teknik-teknik pengolahan dan
pemanfaatan batubara. Khususnya teknik pembakar siklon yang telah mulai
diterapkan di berbagai fasilitas industri, perlu terus ditingkatkan kinerjanya, untuk
meningkatkan kehandalam dan memperluas aplikasinya di industri termasuk untuk
PLTU kecil kurang dari 10 MW. Untuk boiler PLTU dan keperluan-keperluan lain
kadang-kadang diperlukan pembakar siklon yang rendah emisi partikulatnya, karena
banyaknya partikulat dikhawatirkan dapat mengganggu kinerja pipa air atau pipa api
dalam boiler.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
68
Penelitian yang dilakukan menghasilkan rancang bangun pembakar siklon rendah
emisi partikulat sehingga meningkatkan kinerja dan kehandalan untuk memperluas
pangsa pasarnya, termasuk ke boiler-boiler PLTU yang banyak diperlukan di
Indonesia khususnya di daerah-daerah terpencil atau pulau-pulau kecil berupa PLTU
skala kecil < 10 MW. Pembakar siklon ini diujicobakan pada PT Kertas Leces,
Probolinggo, Jawa Timur.
Dalam percobaan ini sistem penangkap debu yang digunakan dua jenis, yaitu
penangkap debu sentrifugal dan gravitasi (Gambar 62 dan Gambar 63).
Gambar 62.
Penangkap debu sentrifugal
Gambar 63.
Penangkap debu gravitasi
Hasil percobaan menunjukkan penangkap debu sentrifugal cenderung
memperangkap partikel-partikel karbon yang belum selesai terbakar, jadi
selanjutnya hanya digunakan penangkap debu gravitasi. Uji emisi dilakukan dengan
memeriksa asap dari pembakar siklon di cerobong sekunder yang temperaturnya
dapat diatur sesuai dengan yang disyaratkan untuk pengukuran.
Hasil uji emisi partikulat tersebut menunjukkan konsentrasi partikulat
dipengaruhi oleh kadar abu dari batubara yang dibakar. Untuk kadar abu 8,25 –
12,49%, emisi partikulatnya antara 165 – 482 mg/m3 atau abu yang diemisikan
kurang dari 3%. Dibanding pembakar siklon biasa, jika ruang bakar terisi 50% abu
kemudian abu yang diemisikan 50% maka penggunaan pembakar siklon rendah
emisi mengurangi emisi abu sebanyak 47% dari sasaran 40%.
Hasil rancang bangun penangkap debu gravitasi akan diujikan pada pembakar
siklon untuk substitusi BBG pada boiler PLTU 20 MW di PT Kertas Leces. Boiler
mempunyai 2 lubang pembakar, pada tahap ini digunakan 1 lubang terlebih dahulu
dengan pembakar siklon ½ kapasitas boiler sebenarnya. Jika hasil uji dengan ½
kapasitas menunjukkan karakteristik yang dapat diterima, dilanjutkan pemasangan
pembakar siklon pada lubang kedua sehingga dapat dicapai kapasitas penuhnya.
Kegiatan yang dilakukan adalah pembersihan konstruksi (plant clearing),
pemasangan pembakar siklon dan uji kinerjanya. Ukuran pembakar siklon yang
dipasang adalah  300 cm, panjang 580 cm dengan kapasitas 6 ton/jam (Gambar 64).
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
69
Gambar 64.
Pembakar Siklon 6 ton/jam telah terpasang
Fasilitas penunjang yang dipasang adalah ducting dari blower utama dengan
spesifikasi 300 kw, 120.000 kg/jam udara dengan tekanan 6.750 pa, untuk di kirim
ke pembakar siklon. Pengumpan batubara dengan bin berkapasitas 1 ton batubara di
lengkapi dengan pengumpan sistem bernoulli.
Hasil uji pembakar siklon 6 ton batubara/jam pada boiler PLTU, baru mencapai
kapasitas 4,5 ton batubara/jam sebab output udara pembakar dari blower terlalu
kecil akibat pemasangan ducting dengan head yang terlalu besar. Sampai tingkat
pembakaran batubara 4,5 ton/jam ini, diperoleh uap 14 Bar 140° C dalam waktu 49
menit.
Api dari pembakar siklon mulai terlihat dari jendela boiler, 2,5 m di depan
pembakar siklon. Hal ini mengindikasikan api pembakar siklon cukup efektif untuk
memanaskan boiler 90 ton uap/jam ini, walaupun baru mencapai sekitar 30% input
energi yang di perlukan. Tahap selanjutnya adalah mengurangi head dari ducting dari
blower ke pembakar siklon sehingga diharapkan pembakar siklon mampu membakar
6 ton batubara/jam atau lebih. Selain itu pembakar siklon perlu perbaikan
manholenya dengan penggunaan semen castable yang lebih banyak.
3. Pengembangan Gasifikasi Batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Diesel
(PLTD)Dual Fuel
Tim : Fahmi Sulistyohadi, dkk.
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengolahan dan
Pemanfaatan Batubara, Puslitbangtek Mineral dan Batubara
Email : [email protected]
Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari kepulauan dan masih banyak daerah
terisolir menyebabkan sistem penyediaan energi listrik tidak dapat dilayani oleh satu
sistem jaringan listrik. Terdapat banyak kebutuhan energi listrik dalam jumlah kecil
tetapi tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Sistem pasokan energi listrik ini cocok
dilakukan menggunakan Pusat Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Kenaikan harga BBM
menyebabkan kenaikan biaya produksi listrik. Untuk mengurangi pemakaian
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
70
BBM,PT PLN telah memodifikasi PLTD menggunakan sistem dual-fuel (BBM - gas
alam)antara lain di PLTD Tarakan, Kalimantan Timur kapasitas 5 MW.
Puslitbang tekMIRA sejak tahun 2006 telah melakukan litbang pemanfaatan gas
dari hasil gasifikasi batubara untuk pembangkit listrik sistem dual fuel.
Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan optimalisasi dan penyusunan desain
sistem pemanfaatan gas hasil gasifikasi batubara untuk PLTD dual fuel pada mesin
diesel kecepatan tinggi sistem turbo dan otomatis, membuat laporan sistem
pengusahaan batubara serta melakukan ujicoba pemanfaatan tar dari hasil samping
proses gasifikasi batubara untuk bahan bakar.
Puslitbang tekMIRA telah berhasil melakukan ujicoba gasifikasi batubara untuk
PLTD dual fuel (BBM – gas batubara), di sentra teknologi pengolahan dan
pemanfaatan batubara Palimanan, menggunakan reactor fixed bed berukuran
diameter 2 meter dengan umpan batubara 400-500 kg/jam atau 55-65% kapasitas.
Kegiatan ujicoba ini merupakan kelanjutan yang telah dilakukan pada tahun 2012
yang masih belum optimal.
Reaktor gasifikasi berjenis fixed bed memerlukan umpan batubara yang sangat
khusus seperti ukuran butiran, titik leleh abu, free swelling index dan lainnya.
Pada PLTD tersebut dilakukan dua kali percobaan, percobaan pertama dilakukan
selama 18 hari dan percobaan kedua selama 21 hari termasuk kegiatan persiapan
dan pendinginan reaktor dan berlangsung selama 12 x 24 jam yang dibagi dalam 3
shift kerja.
Dari hasil uji pertama, rasio gas/diesel a sekitar 39 – 44 % pada pemakaian output
beban sekitar 80 - 100 KWe atau sekitar 28% dari beban maksimum genset.
Semnetara target rasio G/D adalah 60-75% yang belum dapat dilakukan mengingat
kabel beban yang tersedia kapasitasnya terbatas sehingga diupayakan pada ujicoba
berikutnya.
Selain itu, dilakukan analisis terhadap gas batubara yang dihasilkan untuk
mengevaluasi kinerja gasifier menggunakan metoda orsat. Hasilnya, komposisi gas
batubara tertinggi adalah N2 dengan rata-rata 59,1%, dan disusul berturut-turut
rata-rata CO 26,3%, rata-rata H2 5,29%, rata-rata CH4 4,78%, rata-rata CO2 4,11%,
dan rata-rata O2 0,4%.
Pada uji coba kedua, proses gasifikasi batubara berlangsung tanpa ada kendala
yang berarti. Pembangkit listrik untuk gasifier menggunakan listrik dari PLN dengan
genset uji sebagai back-up saat PLN padam. Ujicoba berlangsung selama 17 hari
berturut-turut, selama 24 jam nonstop. Uji coba beban gasifikasi batubara untuk
PLTD dual fuel tahap-2 dilakukan dengan beban 240-250 KW dengan rasio
Gas/Diesel = 45-62%. Penggunaan beban di atas 250 KW tidak direkomendasikan
karena pada beberapa silinder mengalami over heat (>580°C). Sementara dari hasil
perhitungan neraca massa total (base N2), gas yang dihasilkan sekitar 1100 Nm3/jam
dengan kalori 1100-1600 kkal/Nm3.
Pemanfaatan gas hasil proses gasifikasi batubara selalu menyisakan tar yang
dikategorikan limbah sehingga dilakukan juga penelitian agar produk samping
gasifikasi dapat dimanfaatkan baik sebagai bahan bakar maupun bahan kimia.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
71
Untuk itu, dilakukan instalasi alat uji pemanfaatan tar sebagai hasil samping. Dari
hasil uji coba, alat dapat beroperasi dengan baik yang ditunjukkan oleh temperatur
siklon 850-1000°C dan temperatur cerobong 550-650°C dengan flowrate umpan tar
35-45 liter/jam. Dari hasil tersebut masih perlu penyempurnaan dalam pemanfaatan
tar, beberapa alat ukur akan ditambahkan untuk menambah kevalidan data.
Gambar 65.
Pilot Plant Gasifikasi Batubara
4. Eksploitasi Tambang Batubara Melalui Metode Energi Bersih Underground
Coal Gasification(UCG)
Tim : Nendaryono Madiutomo, dkk.
Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan(KP3)Teknologi Eksploitasi
Tambang dan Pengelolaan Sumber Daya, Puslitbangtek Mineral dan Batubara
Email : [email protected]
Teknologi gasifikasi batubara di bawah tanah (underground coal gasification, UCG)
disebut juga sebagai teknologi energi bersih (clean energy technologies) merupakan
salah satu teknologi eksploitasi (ekstraksi) gasifikasi batubara bawah tanah yang
dilakukan
secara
langsung
di
tempat
(insitu)
tanpa
melakukan
pembongkaran/penggalian batuan penutup (over burden, OB) dan lapisan batubara
terlebih dahulu. Aplikasi teknologi UCG dilakukan dengan membuat dua lubang bor,
dimana satu lubang (sumur) berfungsi sebagai media untuk injeksi katalis dan
lubang lainnya berfungsi sebagai lubang (sumur) produksi.
Tujuan aplikasi teknologi eksploitasi tambang dengan mengekstrak batubara
melalui teknologi energi bersih UCG adalah untuk mengoptimalkan penggunaan
batubara yang tidak layak lagi untuk ditambang secara konvensional sebagai
konversi energi alternatif dari batubara ke gas dan mengurangi emisi gas. Lokasi
kajian di Wilayah Kontrak Penambangan (WKP) PTBA, PT. Medco Mining dan PT.
Odira, di Propinsi Sumatera Selatan.
Luasan total dari keseluruhan cekungan batubara Indonesia adalah 423.348 km2,
dengan asumsi bahwa 20% luasan tersebut merupakan luasan cekungan yang
potensial untuk pengembangan UCG, maka didapat luas sekitar 77.377,1 km2
diperoleh volume potensi sumberdaya batubara untuk UCG di Indonesia sebesar
1.869.048.418.000 meter kubik, apabila density diasumsikan 1,3 ton/meter kubik,
maka akan dihasilkan tonase batubara 2.429.762.943.400 ton (2,429 triliun ton).
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
72
Dalam perhitungan perkiraan jumlah gas yang akan dihasilkan dari proses UCG
dapat diketahui, dengan asumsi bahwa 1 ton batubara akan menghasilkan 3.000 Nm 3
gas bakar (producer gas), dengan nilai panas rendah yaitu < 200 BTU/scf (sebagai
pembanding nilai panas gas alam adalah 1.000 Btu/scf). Dengan konversi 1 Nm3 =
35,315 scf, maka perkiraan jumlah gas yang akan dihasilkan dari proses UCG di
Indonesia diketahui sebesar 257.420 Tscf.
Apabila diasumsikan nilai kalor dari gas bakar adalah 150 Btu/scf (< 200
BTU/scf), maka perkiraan besarnya produksi gas yang akan dihasilkan dari proses
UCG di sebelas cekungan batubara di Indonesia adalah 150 Btu/scf x 257.420 Tscf =
38.613.000 TBTU setara dengan 38.613 x 109 MMBTU. Nilai tersebut masih jauh lebih besar
dibandingkan dengan gas yang dihasilkan dari gas alam sebesar 487 x 109 MMBTU dan Coal
Bed Methane (CBM) sebesar 453 x 109 MMBTU (Gambar 66).
Sumber: Sinha, 2007
Gambar 66.
Konversi batubara ke gas.
Pada umumnya teknologi aplikasi UCG di dunia dikenal dengan teknologiReverse
combustion/counter current combustion, old Russian methods(Cougar Energy, Angren
Uzbek) dan pengeboran direksional (Carbon Energy, Linc Energy).
Pemilihan teknologi UCG untuk Indonesia sangat erat kaitannya dengan kondisi
struktur geologi daerah dan peringkat batubaranya. Mengingat kondisi struktur
geologi di Indonesia cukup sederhana dan peringkat batubara pada umumnya adalah
lignit dan subbituminus (Tabel 6), maka teknologi UCG yang dipilih adalah dengan
menggunakan teknologi pengeboran direksional (Gambar 67).
Aplikasi teknologi pengeboran direksional ini dilakukan dengan membuat dua
lubang bor, dengan satu lubang berfungsi sebagai media untuk injeksi katalis dan
lubang lainnya berfungsi sebagai lubang produksi. Ada beberapa parameter yang
perlu dipertimbangkan sebagai bahan untuk pemilihan teknologi UCG di Indonesia.
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
73
Tabel 6. Parameter yang dipersyaratkan UCG
Sumber; Linc Energy, 2011
Gambar 67.
Aplikasi teknologi UCG
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
74
ALAMAT UNIT SATUAN KERJA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
Sekretariat Badan Litbang ESDM
Jl. Ciledug Raya Kav. 109 Cipulir
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230
Telp.72798311, Fax. (021) 72798202
Website : http//www.litbang.esdm.go.id
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan
Jl. Dr. Djundjunan No. 236
Bandung – 40174
Telp. (022) 6032151, 6032020, Fax (022) 6017887
Website : http//www.mgi.esdm.go.id
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral
dan Batubara “tekMIRA”
Jl. Jend. Sudirman No. 623
Bandung 40211
Telp. (022) 6030483, Fax. (022) 6003373
Website : http//www.tekmira.esdm.go.id
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak
dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Jl. Ciledug Raya Kav. 109 Cipulir
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230
Telp. (021) 7394422, Fax. (021) 7246150
Website : http//www.lemigas.esdm.go.id
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan,
Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi
Jl. Ciledug Raya Kav. 109 Cipulir
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230
Telp. (021) 7253530, Fax. (021) 7203525
Website : http//www.p3tkebtke.esdm.go.id
Buku Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013
75
Download