BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Komunikasi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi
1
Komunikasi
menganandung
makna
bersama-sama
(common).
Istilah
komunikasi atau communication berasal dari bahasa Latin, yaitu communicatio
yang berarti pemberitahuan atau pertukaran. Kata sifatnya communis, yang
bermakna umum atau bersama-sama.
2
Menurut
Miftah
Thoha
(1990:163)
“
Komunikasi
adalah
suatu
prosespenyampaian dan penerimaan berita atau informasi dari seseorang keorang
lain. Suatu komunikasi yang tepat tidak bakal terjadi, kalau tidak penyampai
berita tadi menyampaikan secara patut dan penerima berita menerimanya tidak
dalam bentuk distorsi “.
3
Salah satu dari tiga konseptualisasi komunikasi menurut John R. Wenburg
dan William W. Wilmot juga Kenneth K. Sereno dan Edward M Bodaken, yakni
Komunikasi sebagai transaksi. Semakin banyak orang yang berkomunikasi,
semakin rumit transaksi komunikasi yang terjadi. Dalam konteks ini komunikasi
adalah proses personal karena makna atau pemahaman yang kita peroleh pada
dasarnya bersifat pribadi.
1
Wiryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta : Grasindo. 2004, Hal. 6
2
Miftah Thoha .,1990:163
3
Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar, Jakarta : Remaja Rosadakarya. 2000
10
11
Komunikasi sebagai transaksi bersifat intersubjektif, yang dalam bahasa
Rosengren disebut komunikasi penuh manusia. Penafsiran Anda atas perilaku
verbal dan nonverbal orang lain yang Anda kemukakan kepadanya juga
mengububah penafsiran orang lain tersebut atas pesan Anda dan pada gilirannya,
mengubah penafsiran Anda atas pesan-pesannya, begitu seterusnya. Menggunkan
pandangan ini tampak bahwa komunikasi bersifat dinamis. Pandangan inilah yang
disebut komunikasi sebagai transaksi.
Kelebihan konseptualisasi ini adalah bahwa komunikasi tersebut tidak
membatasi kita pada komunikasi yang disengaja atau respons yang dapat diamati.
Artinya, komunikasi terjadi apakah para pelakunya menyengajanya atau tidak, dan
bahkan meskipun menghasilkan respons yang tidak dapat diamati.
Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah berlangsung bila
seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik verbal maupun nonverbal.
Pendekatan transaksional menyarankan bahwa semua unsur dalam proses
komunikasi saling berhubungan.
Berdasarkan definisi dari para ahli komunikasi diatas, maka peneliti
menyimpulkan bahwa suatu komunikasi dapat terjadi apabila telah memenuhi
syarat-syarat yaitu adanya komunikator (orang yang menyampaikan pesan), pesan
(pernyataan yang didukung oleh lambing atau symbol), komunikan (orang yang
menerima pesan), media (sarana atau saluran yang mendukung pesan), dan efek
(dampak atau pengaruh dari pesan yang disampaikan) dan pada dasarnya manusia
merupakan makhluk sosial yang tidak mungkin hidup tanpa berkomunikasi
dengan orang lain. Adanya interaksi antar sesama manusia dan fakta bahwa
12
komunikasi adalah sebuah proses yang terus menerus dan tidak ada akhirnya
menandakan komunikasi memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan
manusia.
2.2 Media Sosial
2.2.1 Pengertian media sosial
Media sosial adalah sebuah media online dimana para penggunanya bisa
dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, sosial
network atau jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial
dan wiki mungkin merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan
oleh masyarakat di seluruh dunia.
4
Safko dalam bukunya The Social Media Bible menuliskan bahwa ‘social
media is the media we use to be social’ (sosial media adalah media yang kita
gunakan untuk menjadi sosial). Sedangkan menurut Solis dan Breakenridge5
“social media is the democratization of content and the shift in the role people
play in the process of reading and disseminating information and this crating and
sharing content, (sosial media adalah demokratisasi konten dan merupakan
pergeseran peran dimana orang berperan dalam proses membaca dan
menyebarluaskan informasi sekaligus membuat dan berbagi konten).
4
Safko , Lon. The Social Media Bible;Tactic, Tools & Strategies For Business Succes. John willey &
sons, 2010 . hal 3
5
Solis , Brian, and Deirdre Breakenridge. Putting the public back in Public Relations; How social
media is reinventing the aging business of PR. New jersey ; FT Press, 2009 hal xvii.
13
6
Menurut Safko social media melakukan apa yang dapat dilakukan telepon,
direct mail, iklan cetak, radio, televisi ataupun papan reklame hingga sekarang,
namun social media dapat menjadi lebih efektif.
Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai
"sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar
ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan
pertukaran user-generated content".
Sementara jejaring sosial merupakan situs dimana setiap orang bisa membuat
web page pribadi, kemudian terhubung dengan teman-teman untuk berbagi
informasi dan berkomunikasi. Jejaring sosial terbesar antara lain Facebook,
Myspace, dan Twitter, belakangan ini muncul jejaring sosial baru yang cukup
digandrungi, yakni Path. Jika media tradisional menggunakan media cetak dan
media broadcast, maka media sosial menggunakan jaringan internet. Media sosial
mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpartisipasi dengan memberi kontribusi
dan feedback secara terbuka, memberi komentar, serta membagi informasi dalam
waktu yang cepat dan tak terbatas.
Saat teknologi internet dan smart phone makin maju maka media sosial pun
ikut tumbuh dengan pesat. Kini untuk mengakses facebook atau twitter misalnya,
bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja hanya dengan menggunakan sebuah
smart phone. Demikian cepatnya orang bisa mengakses media sosial
mengakibatkan terjadinya fenomena besar terhadap arus informasi tidak hanya di
negara-negara maju, tetapi juga di Indonesia. Karena kecepatannya media sosial
6
Safko, op.cit., Hal 5
14
juga mulai tampak menggantikan peranan media massa konvensional dalam
menyebarkan berita-berita.
2.2.2 Peran Media Sosial
Media sosial merupakan alat promosi bisnis yang efektif karena dapat diakses
oleh siapa saja, sehingga jaringan promosi bisa lebih luas. Media sosial menjadi
bagian yang sangat diperlukan oleh pemasaran bagi banyak perusahaan dan
merupakan salah satu cara terbaik untuk menjangkau pelanggan dan klien. Media
sosial sperti blog, facebook, twitter, dab youtube memiliki sejumlah manfaat bagi
perusahaan dan lebih cepat dari media konvensional seperti media cetak dan iklan
TV, brosur dan selebaran.
Media sosial memiliki kelebihan dibandingkan dengan media konvensional,
antara lain :

Kesederhanaan
Dalam sebuah produksi media konvensional dibutuhkan keterampilan tingkat
tinggi dan keterampilan marketing yang unggul. Sedangkan media sosial
sangat mudah digunakan, bahkan untuk orang tanpa dasar TI pun dapat
mengaksesnya, yang dibutuhkan hanyalah komputer dan koneksi internet.

Membangun Hubungan
Sosial media menawarkan kesempatan tak tertandingi untuk berinteraksi
dengan pelanggan dan membangun hubungan. Perusahaan mendapatkan
sebuah feedback langsung, ide, pengujian dan mengelola layanan pelanggan
15
dengan cepat. Tidak dengan media tradisional yang tidak dapat melakukan
hal tersebut, media tradisional hanya melakukan komunikasi satu arah.

Jangkauan Global
Media tradisional dapat menjangkau secara global tetapi tentu saja dengan
biaya sangat mahal dan memakan waktu. Melalui media sosial, bisnis dapat
mengkomunikasikan informasi dalam sekejap, terlepas dari lokasi geografis.
Media sosial juga memungkinkan untuk menyesuaikan konten anda untuk
setiap segmen pasar dan memberikan kesempatan bisnis untuk mengirimkan
pesan ke lebih banyak pengguna.

Terukur
Dengan sistemtracking yang mudah, pengiriman pesan dapat terukur,
sehingga perusahaan langsung dapat mengetahui Urgensi promosi. Tidak
demikian dengan media konvensional yang membutuhkan waktu yang lama.
2.2.3 Fungsi Media Sosial
Media Sosial miliki banyak fungsi positifnya. Jika kita bandingkan,
sebenarnya lebih banyak fungsi positif daripada dampak negatif yang
ditimbulkan7
Ketika kita mendefinisikan media sosial sebagai sistem komunikasi maka kita
harus mendefinisikan fungsi-fungsi terkait dengan sistem komunikasi, yaitu :

7
Administrasi
Ridwan Sanjaya, Christine Wibowo, Arista Prastyo Adi. Parenting untuk Pornografi di Internet.
Jakarta: Elex Media Komputindo. hal 65
16
Pengorganisasian proofil karyawan perusahaan dalam jaringan sosial yang
relevan dan relatif dimana posisi pasar anda sekarang. Pembentukan pelatihan
kebijakan media sosial, dan pendidikan untuk semua karyawan pada
penggunaan media sosial. Pembentukan sebuah blog organisasi dan integrasi
konten dalam masyarakat yang relevan. Riset pasatr untuk menemukan
dimana pasar anda.

Mendengarkan dan Belajar
Pembuatan sistem pemantauan untuk mendengar apa yang pasar anda
inginkan, apa yang relevan dengan mereka.

Berpikir dan Perencanaan
Dengan melihat tahap 1 dan 2, bagaiman anda akan tetap didepan pasar dan
begaiman anda berkomunikasi ke pasar. Bagaiman teknologi sosial
meningkatkan efisiensi operasional hubungan pasar.

Pengukuran
Menetapkan langkah-langkah efektif sangat penting untuk mengukur apakah
metode yang digunakan, isi dibuat dan alat yang anda gunakan efektif dalam
meningkatkan posisi dan hubungan pasar anda
2.3 Prostitusi
2.3.1 Pengertian Prostitusi
Prostitusi berasal dari bahasa Latin pro-stituere atau pro-stauree yang berarti
membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan dan
17
pergendakan. 8Perkins dan Bennet dalam Koendjoro (2004: 30), mendefinisikan
Prostitusi sebagai transaksi bisnis yang disepakati oleh pihak yang terlibat sebagai
sesuatu yang bersifat kontrak jangka pendek yang memungkinkan satu orang atau
lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode yang beraneka ragam. Senada
dengan hal tersebut, 9Supratiknya (1995: 97) menyatakan bahwa prostitusi atau
Prostitusi adalah memberikan layanan hubungan seksual demi imbalan uang.
10
Sedangkan Kartini Kartono, menjabarkankan definisi dari Prostitusi adalah
sebagai berikut :
A. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi
impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk
pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang
(prosmiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal
tanpa afeksi sifatnya.
B. Prostitusi merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan
memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang
untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.
C. Prostitusi ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan
badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.
Pelaku Prostitusi disebut dengan prostitue atau yang lebih kita kenal dengan
palacur atau sundal. Pelacur dapat berasal dari kalangan wanita yang lebih
8
Koentjoro., 2004:30
9
Supratiknya,. 1995:97
10
Kartini kartono,op. cit.,Hal.207
18
dikenal dengan wanita tuna susila (WTS) dan dari kalangan laki-laki yang
lebih dikenal dengan sebutan gigolo.
11
Koentjoro (2004: 27) mendefinisikan wanita tuna susila (WTS) sabagai
perempuan yang tidak menuruti aturan susila yang berlaku di masyarakat dan
dianggap tidak
memiliki adap dan sopan santu dalam berhubungan seks.
Sedangkan gigolo dijelaskan secara singkat yang dipahami sebagai laki-laki
bayaran yang dipelihara atau disewa oleh seorang perempuan sebagai kekasih atau
pasangan seksual.
Sedikit berbeda dengan pendapat di atas, Lindinalva Laurindo da Silva (1999:
41) menyatakan pengertian gigolo merupakan sebuah istilah yang menunjukkan
bahwa untuk bayaran mereka akan melakukan hubungan seks atau menghabiskan
waktu mereka baik dengan wanita ataupun pria. Dalam pengetian ini, gigolo tidak
hanya akan melayani seorang dari lawan jenis tapi juga mampu melayani orang
dari sesama jenis. Dari pengertian Prostitusi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Prostitusi merupakan sebuah usaha memperjual-belikan kegiatan seks di
luar nikah dengan imbalan materi, sedangkan pelacur diartikan sebagai
perempuan atau laki-laki yang melakukan kegiatan seks di luar nikah dengan
imbalan materi.
2.3.2 Faktor-faktor Penyebab Prostitusi
Faktor-faktor penyebab Prostitusi sangat beragam. Banyak studi yang telah
dilakukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor yang
11
Koentjoro., 2004:27
19
mempengaruhi perempuan menjadi pelacur. Weisberg (Koentjoro, 2004)
menemukan adanya tiga motif utama yang menyebabkan perempuan memasuki
dunia Prostitusi, yaitu:
1.
Motif psikoanalisis menekankan aspek neurosis Prostitusi, seperti bertindak
sebagaimana konflik Oedipus dan kebutuhan untuk menentang standar orang
tua dan sosial.
2.
Motif ekonomi secara sadar menjadi faktor yang memotivasi. Motif ekonomi
ini yang dimaksud adalah uang.
3.
Motivasi situasional, termasuk di dalamnya penyalahgunaan kekuasaan orang
tua, penyalahgunaan fisik, merendahkan dan buruknya hubungan dengan
orang tua. Weisberg juga meletakkan pengalaman di awal kehidupan, seperti
pengalaman seksual diri dan peristiwa traumatik sebagai bagian dari motivasi
situasional. Dalam banyak kasus ditemukan bahwa perempuan menjadi
pelacur karena telah kehilangan keperawanan sebelum menikah atau hamil di
luar nikah.
Berbeda
dengan
pendapat
di
atas,
Greenwald
(Koentjoro,
2004)
mengemukakan bahwa faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk menjadi
pelacur adalah faktor kepribadian. Ketidakbahagiaan akibat pola hidup,
pemenuhan kebutuhan untuk membuktikan tubuh yang menarik melalui kontak
seksual dengan bermacam-macam pria, dan sejarah perkembangan cenderung
mempengaruhi perempuan menjadi pelacur.
20
Sedangkan
12
Supratiknya (1995) berpendapat bahwa secara umum alas an
wanita menjadi pelacur adalah demi uang. Alasan lainya adalah wanita-wanita
yang pada akhirnya harus menjadi pelacur bukan atas kemauannya sendiri, hal ini
dapat terjadi pada wanita-wanita yang mencari pekerjaan pada biro-biro penyalur
tenaga kerja yang tidak bonafide, mereka dijanjikan untuk pekerjaan di dalam atau
pun di luar negeri namun pada kenyataannya dijual dan dipaksa untuk menjadi
pelacur.
Kemudian secara rinci 13Kartini Kartono (2005) menjelaskan motifmotif yang
melatarbelakangi Prostitusi pada wanita adalah sebagai berikut:
1.
Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk
menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan
melalui jalan pendek. Kurang pengertian, kurang pendidikan, dan buta huruf,
sehingga menghalalkan Prostitusi.
2.
Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian,
dan keroyalan seks. Hysteris dan hyperseks, sehingga tidak merasa puas
mengadakan relasi seks dengan satu pria/suami.
3.
Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, dan pertimbangan-pertimbangan
ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam
usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik.
12
Supratiknya., 1995
13
Kartini Kartono., 2005
21
4.
Aspirasi materiil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan
terhadap pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup
bermewah-mewah, namun malas bekerja.
5.
Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior. Jadi ada adjustment yang
negative, terutama sekali tarjadi pada masa puber dan adolesens. Ada
keinginan untuk melebihi kakak, ibu sendiri, teman putri, tante-tante atau
wanita-wanita mondain lainnya.
6.
Rasa ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks,
yang kemudian tercebur dalam dunia Prostitusi oleh bujukan banditbandit
seks.
7.
Anak-anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan
banyak tabu dan peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat dan
norma-norma susila yang dianggap terlalu mengekang diri anak-anak remaja ,
mereka lebih menyukai pola seks bebas.
8.
Pada masa kanak-kanak pernah malakukan relasi seks atau suka melakukan
hubungan seks sebelum perkawinan (ada premarital sexrelation) untuk
sekedar iseng atau untuk menikmati “masa indah” di kala muda.
9.
Gadis-gadis dari daerah slum (perkampungan-perkampungan melarat dan
kotor dengan lingkungan yang immoral yang sejak kecilnya selalu melihat
persenggamaan orang-orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga
terkondisikan mentalnya dengan tindak-tindak asusila). Lalu menggunakan
mekanisme promiskuitas/Prostitusi untuk mempertahankan hidupnya.
22
10. Bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo, terutama yang menjajikan
pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi.
11. Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk : film-film biru, gambar-gambar
porno, bacaan cabul, geng-geng anak muda yang mempraktikkan seks dan
lain-lain.
12. Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu rumah tangga tunduk dan patuh
melayani
kebutuhan-kebutuhan
seks
dari
majikannya
untuk
tetap
mempertahankan pekerjaannya.
13. Penundaan perkawinan, jauh sesudah kematangan biologis, disebabkan oleh
pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan standar hidup yang tinggi. Lebih
suka melacurkan diri daripada kawin.
14. Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga, broken home, ayah
dan ibu lari, kawin lagi atau hidup bersama dengan partner lain. Sehingga
anak gadis merasa sangat sengsara batinnya, tidak bahagia, memberontak,
lalu menghibur diri terjun dalam dunia Prostitusi.
15. Mobilitas dari jabatan atau pekerjaan kaum laki-laki dan tidak sempat
membawa keluarganya.
16. Adanya ambisi-ambisi besar pada diri wanita untuk mendapatkan status sosial
yang tinggi, dengan jalan yang mudah tanpa kerja berat, tanpa suatu skill atau
ketrampilan khusus.
17. Adanya
anggapan
bahwa
wanita
memang
dibutuhkan
dalam
bermacammacam permainan cinta, baik sebagai iseng belaka maupun sebagai
tujuan-tujuan dagang.
23
18. Pekerjaan sebagai lacur tidak membutuhkan keterampilan/skill, tidak
memerlukan inteligensi tinggi,
mudah dikerjakan asal orang yang
bersangkutan memiliki kacantikan, kemudaan dan keberanian.
19. Anak-anak gadis dan wanita-wanita muda yang kecanduan obat bius (hashhish, ganja, morfin, heroin, candu, likeur/minuman dengan kadar alkohol
tinggi, dan lain-lain) banyak menjadi pelacur untuk mendapatkan uang
pembeli obat-obatan tersebut.
20. Oleh pengalaman-pengalaman traumatis (luka jiwa) dan shock mental
misalnya gagal dalam bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu, sehingga
muncul kematangan seks yang terlalu dini dan abnormalitas seks.
21. Ajakan teman-teman sekampung/sekota yang sudah terjun terlebih dahulu
dalam dunia Prostitusi.
22. Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak
suami.
Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang melatarbelakangi seseorang memasuki dunia Prostitusi dapat dibagi menjadi
dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa rendahnya
standar moral dan nafsu seksual yang dimiliki orang tersebut. Sedangkan faktor
eksternal berupa kesulitan ekonomi, korban penipuan, korban kekerasan seksual
dan keinginan untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi.
24
2.3.3 Jenis-jenis Prostitusi
14
Coleman, Butcher dan Carson (A. Supratiknya, 1995: 97) menyatakan ada 4
macam Prostitusi yaitu sebagai berikut :
a)
Hubungan heteroseksual di mana pihak perempuan menerima pembayaran.
b) Hubungan heteroseksual di mana pihak lelaki menerima pembayaran.
c)
Prostitusi homoseksual di mana seorang lelaki menawarkan layanan
hubungan homoseksual pada lelaki lain.
d) Prostitusi homoseksual di mana seorang perempuan menawarkan layanan
hubungan homoseksual kepada perempuan lain.
Berbeda dengan pendapat di atas, 15Kartini Kartono (2005: 251) membagi
Jenis-jenis prostitusi menjadi empat macam, yaitu :
a)
Prostitusi menurut aktivitasnya :
(1) Prostitusi yang terdaftar. Prostitusi yang pelakunya diawasi oleh
bagian Vice Control dari kepolisian, yang dibantu dan bekerja sama
dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan.
(2) Prostitusi yang tidak terdaftar. Termasuk dalam kelompok ini ialah
mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan liar,
baik secara perorangan maupun kelompok.
b) Prostitusi menurut jumlahnya :
(1) Prostitue yang beroperasi secara individual merupakan single operator.
14
Coleman, Butcher dan Carson., A. Supratiknya., 1995: 97
15
Kartini Kartono., 2005:251
25
(2) Prostitue yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang
teratur rapi.
c)
Prostitusi berdasarkan tempat penggolongan atau lokasinya :
(1) Segreasi atau lokalisasi, yang terisolasi atau terpisah dari kompleks
penduduk lainnya.
(2) Rumah-rumah panggilan (call houses, tempat rendezvous, parlour)
Selanjutnya
16
Morse et al. (1999: 84) menyatakan bahwa gigolo memiliki
beberapa jenis, yaitu pekerja seks yang bekerja di jalan atau disebut sebagai street
hustler, yang bekerja di bar atau sering disebut sebagai bar hustler or dancer, yang
bekerja secara individual diserbut sebagai kept boy dan juga yang bekerja sebagai
pemberi layanan pengantar disebut sebagai call boy.
Dari pendapat di atas, maka disimpulkan bahwa Prostitusi dapat digolongkan
dalam jenis hubungan yang diberikan yakni heteroseksual dan homoseksual,
kelegalan pelaksanaan praktik Prostitusi yaitu Prostitusi terdaftar dan tidak
terdaftar, Prostitusi menurut jumlahnya yaitu pelacur individual dan terorganisasi,
serta Prostitusi berdasarkan lokasinya yaitu Prostitusi lokalisasi dan rumah-rumah
panggilan. Sedangkan untuk jenis gigolo dapat dilihat dari tempat mereka mencari
klien.
16
Morse et al., 1999:84
26
2.3.4 Akibat-akibat Prostitusi
17
Kartini Kartono (2005: 249) berpendapat mengenai akibat-akibat dari
Prostitusi sebagai berikut:
a)
Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit.
b) Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga.
c)
Mendemoralisasi atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan
khususnya anak-anak muda remaja pada masa puber dan adoselensi.
d) Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika
(ganja, morfin, heroin dan lain-lain).
e)
Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum, dan agama.
f)
Adanya pengeksploitasian manusia satu oleh manusia lainnya.
g) Bisa menyebabkan disfungsi seksual, misalnya: impotensi, anorgasme,
satiriasi, dan lain-lain.
Dengan kalimat yang sedikit berbeda Kumar (Koentjoro, 2004: 41)
menjelaskan bahwa persoalan yang memojokkan pelacur adalah bahwa pelacur
seringkali dianggap membahayakan kepribadian seseorang, memperburuk
kehidupan keluarga dan pernikahan, menyebarkan penyakit, dan mengakibatkan
disorganisasi sosial. Pelacur acapkali disalahkan karena dianggap sebagai biang
keretakan keluarga. Pelacur juga dimusuhi kaum agamawan dan dokter karena
peran mereka dalam menurunkan derajat moral dan fisik kaum pria serta menjadi
bibit perpecahan anak-anak dari keluarganya (Parker dalam Koentjoro, 2004: 42).
17
Kartini Kartono., 2005:249
27
Selanjutnya adalah pendapat mengenai dampak yang akan terjadi pada pelaku
Prostitusi pria (gigolo).
18
Simon et al. (1999: 88-92) menyatakan bahwa gigolo
yang memiliki orientasi seks sebagai homoseksual lebih banyak terjangkit HIV
AIDS dibandingkan dengan mereka yang heteroseksual dan biseksual. Pernyataan
selanjutnya adalah ditemukannya penggunaan bermacam-macam obat kimia
sehubungan dengan masalah kejiwaan sebagai akibat dari perasaan mengenai
homoseksualitas yang mereka miliki dan identifikasi orientasi seks yang mereka
miliki. Hal ini kemudian berpengaruh pada perasaan obsessive-compulsivity,
pribadi yang sensitive (inferiority dan personal inadequacy), depresi dan
kecemasaan (anxiety).
Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa Prostitusi
hanya akan membawa dampak negatif bagi pelaku Prostitusi, pengguna jasa
Prostitusi dan masyarakat.
2.4 Fenomenologi
Fenomenologi secara etimologi berasal dari kata “phenomenon” yang berarti
realitas yang tampak, dan “logos” yang berarti ilmu. Sehingga secara terminology,
fenomenologi adalah
ilmu berorientasi untuk dapat mendapatkan penjelasan
tentang realitas yang tampak.
Menurut Husserl, fenomenologi adalah pengalaman subjektif atau pengalaman
fenomenologikal atau suatu studi tentang kesadaran dari perspektif seseorang.
Fenomenologi adalah pandangan berfikir yang menekankan pada fokus
18
Simon et al., 1999:88-92
28
interpretasi dunia. Dalam hal ini, para peneliti fenomenologi ingin memahami
bagaimana dunia muncul kepada orang lain.19
Fenomenologi menyelidiki pengalaman kesadaran yang berhubungan dengan
pertanyaan, seperti bagaimana pembagian antara subjek dan objek muncul dan
bagaimana suatu hal di dunia diklasifikasikan. Para fenomenolog juga berasumsi
bahwa kesadaran bukan dibentuk karena kebetulan dan dibentuk oleh sesuatu
yang lainnya dirinya sendiri. Ada tiga yang memengaruhi pandangan
fenomenologi yaitu Edmund Husserl, Alfred Schultz dan Weber. Weber
memberikan tekanan verstehen, yaitu pengertian diri dari interpretatif terhadap
pemahaman manusia.
Fenomenologi dengan demikian merupakan salah satu teori yang menentang
paradigm yang menjadi mainstream dalam sosiologi, yakni structural fungsional.
Filsuf Edmund Husserl (1859-1938) yang dikenal sebagai founding father
fenomenologi mengembangkan ide tentang dunia kehidupan (lifeworld). Ia
menggunakan filsafat fenomenologi untuk mengetahui bagaimana sebenarnya
struktur pengalaman yang merupakan cara manusia mengorganisasi realitasnya
sehingga menjadi terintegrasi dan autentik. Bagi Husserl, dunia kehidupan
menyediakan dasar-dasar harmoni kultural dan aturan-aturan yang menentukan
kepercayaan-kepercayaan yang diterima apa adanya (taken forgranted) dalam
sebuah tata kelakuan sistematik. 20
19
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif ( Dalam Perspektif Rancangan
Penelitian), Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011 hal 28
20
Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial (Dari Kalasik hingga Postmodern),
Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2012 hal 129.
29
Fenomenologi secara esensial merupakan perspektif modern tentang manusia
dan dunianya. Gerakan filsafat sangat dekat dengan berhubungan dengan abad 20.
Perspektif ini seperti semua gerakan-gerakan filsafat lainnya dapat ditelusuri dari
naskah-naskah kuno dan lebih penting lagi berakar dari filsafat skolastik abad
pertengahan. Meskipun demikian, pada teori fenomonologi pada umumnya
berkiblat pada karya-karya Edmund Husserl sebagai titik pijakan, dan Husserl
mengulangi apa yang menjadi perhatian Rene Descrates dan filsafat sebelumnya
sebagai permulaan perspektif fenomenologi secara meyakinkan.21
Fenomenologi memfokuskan studinya pada masyarakat berbasis makna yang
dilekatkan oleh anggota. Edmund Husserl yang memfokuskan pada pemahaman
fenomena dunia, fenomenologi yang diterapkan dalam sosiologi, khusunya Alfred
Schultz (1962) yang bekerja sama dengan teori yang memegang teguh
pragmatisme Mead dan menjelaskan mengenai sosiologi kehidupan sehari-hari.
Schultz dan Mead, keduanya memfokuskan pada proses sosialisasi yang menjadi
“cadangan pengetahuan umum” (common stock of knowledge) dari anggota
masyarakat, kemampuan mereka berinteraksi (perspektif resiprositas) dan
relavansi pemahaman makna yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.22
Fenomenologi merupakan perspektif sosiologi yang concern pada kehidupan
sehari-hari selain interaksi simbolik, dramaturgi, teori labeling, ethnometodologi,
sosiologi eksistensial, dan sosiologi postmodern. Di antara perspektif-perspektif
teoritis tersebut terdapat ide yang sarma, yakni dengan mempertahankan integritas
21
Ibid hal 134
22
Ibid hal 136, 137
30
fenomena. Peneliti harus mencurahkan waktu dengan anggota masyarakat yang
ditelitinya untuk memperoleh sebuah pemahaman tentang bagaimana pandangan
kelompok dan menjelaskan kehidupan sosial tempat anggota masyarakat
menjalani kehidupan sehari-hari mereka. Peneliti tidak boleh menyertakan asumsi
teoritis dalam studinya akan tetapi menderivikasikan ide-ide yang berasal dari
anggota masyarakat. Jadi, seluruh sosiologi kehidupan sehari-hari menggunakan
observasi partisipan, wawancara mendalam, atau keduanya dan juga penalaran
induktif untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan meminimalkan
distorsi dari fenomena yang ditelitinya.
Tugas utama fenomenologi sosial adalah mendemostrasikan interaksi-interaksi
resiprokal di antara proses-proses tindakan manusia, penstrukturan situasional dan
konstruksi realitas. Tidak seperti kaum positivitas yang melihat setiap aspek
sebagai suatu factor kasual, fenomenolog melihat bahwa semua dimensi sebagai
pembentuk realitas. Tugas fenomenologi kemudian adalah untuk mengungkapkan
(menjadikan sebagai suatu manifest) refleksivitas tindakan, situasi dan realitas
dalam berbagai modal dari “sesuatu yang ada di dunia” (being in the world).
Fenomenolog memulai dengan suatu analisis sikap alamiah (natural attitude), hal
ini dipahami sebagai cara pada umumnya individu berpartisipasi dalam kehidupan
sosial, menggunakan pengetahuan yang diterima apa adanya (taken for granted)
mengasumsikan objektivitasnya dan melakukan tindakan yang sebelumnya telah
ditentukan. Bahasa, budaya dan common sense yang muncul dalam sikap alamiah
31
merupakan ciri objektif dari dunia eksternal yang dipelajari actor dalam proses
kehidupannya.23
Pemikiran fenomenologi mempunyai pengaruh terhadap teori postmodern,
poststrukturalisme,
situasionalisme
dan
reflektivitas
yang
menjadi
core
fenomenologi juga dikenal dalam teori-teori diatas. Pendekatan fenomenologi
adalah metode yang biasa diterapkan dalam kajian sosiologi untuk memahami
dan menerangkan sebuah fenomena sosial.
2.5 Interaksi Simbolik
2.5.1 Pengertian Interaksi Simbolik
Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi
ilmu komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori
interaksi simbolik terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung
SI merupakan cabang sosiologi dari perspektif interaksional
24
(Ardianto. 2007:
40).
Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah
satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat
”humanis” (Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan
keangungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada
selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki
esensi
23
24
kebudayaan,
Ibid hal 139
Adianto.,2007:40
berinteraksi
di
tengah
sosial
masyarakatnya,
dan
32
menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada
akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan
oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah
satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.
Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan
interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu
25
(Soeprapto.
2007). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu
merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan
bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis
melalui interaksinya dengan individu yang lain.
26
Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner
(2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka
referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain,
menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku
manusia.
Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang
berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di
tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta
menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut
menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136),
25
26
Soeprapto.,2007
Richard West-Lynn H. Turner. Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi. Jakarta : Salemba
Humanika. 2013. Hal 96
33
Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna,
selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.
Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain: (1)
Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai
makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran
mereka melalui interaksi dengan individu lain, (2) Diri (Self) adalah kemampuan
untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat
orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam
teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia
luarnya, dan (3) Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang
diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat,
dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif
dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses
pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
”Mind, Self and Society” merupakan karya George Harbert Mead yang paling
terkenal (Mead. 1934 dalam West-Turner. 2008: 96), dimana dalam buku tersebut
memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk
menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik.
34
2.5.2 Tema Konsep Interaksi Simbolik
27
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi
simbolik antara lain:
1.
Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
2.
Pentingnya konsep mengenai diri,
3.
Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk
makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa
dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya,
sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses
interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama. Hal ini
sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer (1969) dalam WestTurner (2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:
1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang
diberikan orang lain kepada mereka,
2.
Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,
3.
Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.
Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri”
atau ”Self-Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada
pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada
27
Richard West-Lynn H. Turner. Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi. Jakarta : Salemba
Humanika. 2013. Hal 95
35
interaksi sosial dengan orang lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan,
menurut LaRossan & Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 101), antara lain:
1.
Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan
orang lain,
2.
Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.
Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara
kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa normanorma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap
individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya.
Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan
perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini
adalah:
1.
Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,
2.
Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Rangkuman dari hal-hal yang telah dibahas sebelumnya mengenai tiga tema
konsep pemikiran George Herbert Mead yang berkaitan dengan interaksi
simbolik, dan tujuh asumsi-asumsi karya Herbert Blumer (1969) adalah sebagai
berikut:
Tiga tema konsep pemikiran Mead
1.
Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
2.
Pentingnya konsep diri,
3.
Hubungan antara individu dengan masyarakat.
36
Tujuh asumsi karya Herbert Blumer
1.
Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan
orang lain pada mereka,
2.
Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,
3.
Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif,
4.
Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan
orang lain,
5.
Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku,
6.
Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,
7.
Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial
Download