Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki pada Pasien Tuberkulosis

advertisement
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki pada Pasien Tuberkulosis Paru
Rawat Jalan di RSUD Kota Depok Periode Desember 2013 – April 2014
Nikko Yendi Sutrisno, Retnosari Andrajati, dan Wiwiet Nurwidya Hening
Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan yang umum di dunia, bahkan tergolong mematikan.
Pengobatan TB menggunakan obat anti Tuberkulosis (OAT) berupa isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol. Penggunaan OAT dapat menimbulkan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) sehingga perlu
mendapatkan perhatian khusus. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ROTD yang dialami pasien
pengguna OAT beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya pada pasien TB paru rawat jalan di RSUD Kota
Depok periode Desember 2013 – April 2014. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan
pengambilan data secara prospektif menggunakan data kuesioner hasil wawancara dengan pasien dan data resep
pasien. Sampel adalah pasien yang mendapatkan OAT dengan lama penggunaan ≤ 3 bulan. Jumlah sampel yang
didapat selama penelitian sebanyak 33 orang. Penderita baru TB paru di RSUD Kota Depok sebagian besar
adalah wanita (58%), berada pada usia produktif 15-54 tahun (76%), serta merupakan keturunan Jawa, Sunda,
dan Betawi. Pasien yang mengalami ROTD sebesar 85%, 65% di antaranya mengalami lebih dari 1 ROTD.
ROTD yang dialami yaitu gatal, mual, muntah, pusing, dan kesemutan. Pasien dengan jenis kelamin wanita,
berusia lansia (> 54 tahun), memiliki riwayat penyakit lain, dan menggunakan obat non Kombipak/FDC,
memiliki persentase lebih besar untuk mengalami ROTD. Sebanyak 71% pasien yang menggunakan OAT
merasakan timbulnya ROTD beberapa jam atau pada hari yang sama setelah minum OAT. Usia, jenis kelamin,
riwayat penyakit lain, asal suku pasien, dan jenis obat merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya ROTD.
Adverse Drug Reactions on Tuberculosis Pulmonary Outpatients at RSUD Kota Depok
in December 2013 – April 2014 Period
Abstract
The Tuberculosis (TB) is a popular enough problem of health in the world, in many cases and even can cause the
death. The Tuberculosis medication using the anti-tuberculosis drugs, such as isoniazid, rifampicin,
pyrazinamide, and ethambutol. The use of anti-tuberculosis drugs can cause The Adverse Drug Reactions (ADR)
that need to get a special attention. The aims of this research were to evaluate ADR that could happen on the TB
pulmonary outpatients who are using the anti-tuberculosis drugs and the factors which affect it on the patients at
RSUD Kota Depok in December 2013 – April 2014 period. The research method that was used is descriptive
with the prospective datas collecting method use data questionnaires from interviewed the patients and patient’s
data recipes. The sample is the patients who used the anti-tuberculosis drugs for ≤ 3 months. The samples were
gotten during the research are 33 peoples. New patients of TB pulmonary in RSUD Kota Depok are mostly
women (58%), in productive ages 15-54 years old (76%), and also from javanese, sundanese, and betawi tribe.
The prevalence of patients that feel the ADR is 85%, which 65% patients feel more than 1 ADR. The ADR
which was felt is itchy, queasy, vomit, dizzy, and numb. There are 71% patients who consume anti-tuberculosis
drugs feel the ADR several hours or in the same day after they have consumed the drugs. The ages, gender,
history of other disease, patient’s tribe, and kinds of drugs are the factors that affect the incidence of ADR.
Keywords: Adverse Drug Reactions, Anti-tuberculosis drugs, RSUD Kota Depok, Tuberculosis pulmonary
outpatients
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan yang umum di dunia, dalam banyak kasus
bahkan tergolong mematikan. Prevalensi penyakit TB di dunia diperkirakan sebesar 289 per
100.000 penduduk dan angka kematian sebesar 27 per 100.000 penduduk berdasarkan Global
Report TB WHO tahun 2011. Kasus kematian mayoritas terjadi di negara berkembang,
termasuk Indonesia. Jumlah penderita TB di Indonesia sekitar 5,8% dari jumlah penderita TB
di seluruh dunia dan berada di peringkat kelima jumlah kasus TB terbesar di dunia, di bawah
India, RRC, Rep. Afrika Selatan, dan Nigeria (WHO, 2009). TB terjadi pada lebih dari 75%
usia produktif (15-54 tahun), sehingga TB dapat dikatakan salah satu masalah kesehatan yang
dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar (Hayati, 2011). Data Riset
Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan angka prevalensi penyakit TB paru di Indonesia adalah
sebesar 0,4%, dengan persentase terbesar adalah provinsi Jawa Barat dengan 0,7%. Hasil
survei Kementerian Kesehatan pada tahun 2012 untuk provinsi Jawa Barat menunjukkan
prevalensi penderita TB di Kota Depok adalah sebesar 133 per 100.000 penduduk, dengan
kasus baru berjumlah 2.503 kasus.
Metode DOTS (directly observed treatment short course) diterapkan oleh pemerintah sebagai
strategi langkah terapi TB jangka pendek dengan pengawasan langsung. Strategi ini terbukti
sebagai strategi pengendalian yang paling efektif dan ekonomis (cost-effective). Tujuan
pengobatan TB jangka pendek adalah untuk memutus rantai penularan TB dengan
menyembuhkan pasien dan mencegah adanya resistensi bakteri terhadap Obat Anti TB (OAT)
(DepKes, 2006). Paket OAT disediakan secara gratis bagi penderita dewasa maupun anak
dalam mendukung penerapan strategi DOTS, dan pada tahun 2003 digunakan OAT untuk
penderita dalam bentuk Kombipak dan OAT dalam bentuk Fixed Dose Combination (FDC).
Mulai tahun 2005/2006, semua daerah secara bertahap akan menggunakan OAT FDC. FDC
diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan menurunkan angka terjadinya resistensi
(Kemenkes RI, 2013).
Saat ini masih cukup banyak masalah yang muncul dalam upaya pengobatan TB, salah
satunya yaitu tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang masih rendah. Faktor yang
cukup sering menjadi alasan pasien TB menghentikan pengobatan yaitu adanya Reaksi Obat
yang Tidak Dikehendaki (ROTD) yang timbul akibat penggunaan OAT tersebut. Pasien
merasa tidak nyaman akibat efek yang ditimbulkan OAT yang digunakan sehingga
memutuskan untuk menghentikan penggunaan OAT. Kejadian putus berobat ini
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
mengakibatkan penyembuhan TB menjadi tidak tuntas. Bakteri penyebab TB dikhawatirkan
akan menjadi resisten terhadap OAT yang digunakan sehingga sulit untuk disembuhkan
(Puspitasari, 2010). Responden pada penelitian ini merupakan penderita TB paru yang berada
di RSUD Kota Depok. Rumah sakit ini dipilih karena RSUD Kota Depok merupakan rumah
sakit pemerintah kelas C yang menjadi salah satu rumah sakit rujukan untuk pasien TB dari
puskesmas di kota Depok. Jumlah kunjungan pasien TB paru pada tahun 2012 merupakan
yang tertinggi di RSUD Kota Depok dibandingkan dengan penyakit lain (RSUD Kota Depok,
2013). Terkait dengan hal-hal diatas, perlu dilakukan pemantauan terhadap faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya ROTD dalam penggunaan OAT pada pasien rawat jalan di RSUD
Kota Depok. Pemantauan ini perlu dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sehingga
akan meningkatkan angka kesembuhan dan menurunkan angka kejadian putus berobat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya
ROTD pada pengguna OAT di RSUD Kota Depok; mendeskripsikan prevalensi, insiden
pasien TB, dan pengobatannya di RSUD Kota Depok; mengevaluasi kejadian ROTD pada
penggunaan OAT di RSUD Kota Depok; dan mengevaluasi onset terjadinya ROTD pada
penggunaan OAT. Manfaat penelitian ini adalah agar dapat memberikan informasi sekaligus
sebagai bahan referensi kepada pihak rumah sakit dalam hal ROTD yang dialami pasien serta
faktor yang memengaruhinya serta sebagai bahan evaluasi dalam pemberian terapi dengan
OAT sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan pengobatan untuk pasien
Tinjauan Teoritis
Tuberkulosis
Penyakit Tuberkulosis (TB) sebagian besar disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Komposisi bakteri TB sebagian besar terdiri dari asam lemak (lipid), sehingga
membuat kuman tahan terhadap asam, oleh karena itu dapat juga disebut sebagai Basil Tahan
Asam (BTA). Bakteri penyebab TB sebagian besar (sekitar 80%) menyerang paru-paru,
namun dapat juga menyerang organ tubuh lain (Amin & Azril, 2006). TB menyebar melalui
udara ketika seseorang yang terinfeksi TB aktif batuk, bersin, atau menyebarkan butiran ludah
mereka yang mengandung bakteri melalui udara (Konstantinos, 2010). TB dapat diklasifikan
berdasarkan organ tubuh yang terinfeksi menjadi TB paru dan TB ekstra paru. TB paru,
adalah TB yang menginfeksi jaringan paru-paru. TB ekstra paru, adalah TB yang menginfeksi
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
organ tubuh lain selain paru-paru di luar organ pernafasan, misalnya tulang, usus, ginjal, dan
lain-lain.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Panduan OAT yang direkomendasikan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
di Indonesia adalah Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 yaitu Isoniazid (H), Rifampisin (R),
Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari selama 2 bulan, kemudian 4 bulan selanjutnya
menggunakan Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) sebanyak tiga kali dalam seminggu; Kategori
2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 yaitu Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan
Etambutol (E) setiap hari selama 3 bulan beserta injeksi Streptomisin (S) pada 2 bulan
pertama, lalu dilanjutkan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), dan Etambutol (E) sebanyak
tiga kali dalam seminggu; dan Kategori Sisipan (HRZE) diberikan bila pada akhir tahap awal
pengobatan, hasil pemeriksaan dahak pasien masih menunjukkan BTA positif, maka
diberikan obat sisipan berupa Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Etambutol
(E) selama 1 bulan (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
2011).
Kejadian Efek Samping Obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
Kejadian efek samping obat adalah gangguan yang terjadi akibat penggunaan obat. Kejadian
efek samping disebabkan oleh obat (ROTD dan overdosis) dan kerugian dari penggunaan obat
(termasuk pengurangan dosis obat dan penghentian terapi obat). ROTD dapat dikatakan
merupakan salah satu bagian dari Kejadian efek samping obat.
Menurut WHO, ROTD adalah respon obat yang berbahaya dan tidak dikehendaki, terjadi
pada dosis normal untuk terapi penyakit, diagonosis, pencegahan, atau untuk modifikasi
fungsi fisiologis tubuh. ROTD dapat dibagi menjadi dua kondisi, yaitu ROTD ringan dan
ROTD berat. ROTD ringan terjadi dengan gejala yang hanya menyebabkan perasaan menjadi
sedikit tidak enak dan dapat ditanggulangi dengan obat simptomatik maupun obat sederhana.
ROTD berat terjadi dimana pemberian OAT harus dihentikan karena dapat menjadi sakit yang
serius dan pasien harus segera dirujuk ke UPT spesialistik. Klasifikasi ROTD lainnya yaitu
ROTD tipe A dan tipe B. ROTD tipe A adalah reaksi yang dapat diperkirakan yang timbul
akibat interaksi obat atau kesalahan dosis obat. ROTD tipe B adalah reaksi yang tidak dapat
diperkirakan yang biasanya disebabkan reaksi imunologi dari tubuh (Calis, Sidawy, & Young,
2007).
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
Reaksi yang dirasakan pasien selama menggunakan suatu obat harus dianalisis untuk
mengetahui apakah reaksi tersebut merupakan ROTD dari obat yang digunakan. Cara yang
umum digunakan untuk menganalisis terjadinya suatu ROTD adalah dengan penilaian
kualitatif dan Algoritma Naranjo. Penilaian kualitatif dapat dibagi menjadi beberapa
tingkatan, yaitu Certain, Probable, Possible, Unlikely, Conditional/Unclassified, dan
Unassessable/Unclassifiable
(WHO,
2011).
Algoritma
naranjo
digunakan
untuk
menggabungkan penilaian kualitatif dengan hasil kuantitatif yang didapat dari skor pada
setiap pertanyaan yang terdapat dalam algoritma naranjo. Algoritma Naranjo terdiri dari 10
pertanyaan sederhana. Jawaban dari tiap pertanyaan mempunyai skor tertentu yang akan
dijumlahkan pada akhir penilaian untuk mendapatkan nilai kausalitas dari ROTD tersebut.
Nilai total dari hasil pengisian algoritma tersebut akan membantu menggolongkan ROTD
kedalam beberapa kemungkinan, yaitu ‘pasti’ jika skor > 9, ‘kemungkinan besar’ jika skor 58, ‘mungkin’ jika skor 1-4, ‘meragukan’ jika skor < 0 (Kemenkes RI, 2011).
Tabel 1. Algoritma Naranjo
Pertanyaan
Ya
Tidak
Tidak Tahu
Apakah ada laporan konklusif sebelumnya pada reaksi ini?
+1
0
0
Apakah efek samping muncul setelah obat diberikan?
+2
-1
0
Apakah efek samping berkurang ketika obat dihentikan atau
+1
0
0
+2
-1
0
Apakah ada penyebab lain yang dapat menyebabkan reaksi?
-1
+2
0
Apakah reaksi muncul kembali ketika plasebo diberikan?
-1
+1
0
Apakah obat yang terdeteksi dalam cairan tubuh dalam
+1
0
0
+1
0
0
+1
0
0
+1
0
0
antagonis spesifik diberikan?
Apakah efek samping muncul ketika obat itu diadministrasi
kembali?
konsentrasi toksik?
Apakah
reaksi
meningkat
keparahannya
ketika
dosis
meningkat, atau berkurang keparahannya ketika dosis
menurun?
Apakah pasien memiliki reaksi yang mirip dengan obat yang
sama atau serupa dalam paparan sebelumnya?
Apakah peristiwa yang merugikan dikonfirmasi oleh bukti
yang obyektif?
[Sumber: Kemenkes RI, 2011]
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
ROTD ringan Isoniazid dapat menimbulkan tanda-tanda keracunan pada saraf tepi berupa
kesemutan, nyeri otot, dan gangguan kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian
piridoksin (vitamin B6) dengan dosis 5-10 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks.
Isoniazid dapat mengakibatkan kerusakan hati yang cukup parah, bahkan tergolong fatal.
Pengobatan dihentikan sampai ikterus membaik, bila terjadi ikterus. ROTD ringan dari
rifampisin dapat berupa sindrom kulit (gatal-gatal dan kemerahan), sindrom flu (demam,
menggigil, nyeri tulang), sindrom perut (nyeri perut, mual, muntah, dan diare). Rifampisin
dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, dan air liur. Hal ini harus
diinformasikan kepada penderita agar tidak menimbulkan kekhawatiran. Warna merah
tersebut terjadi karena proses metabolisme obat namun tidak berbahaya. ROTD rifampisin
yang cukup berat menyerang pernafasan yang ditandai dengan sesak nafas, kadang disertai
dengan kolaps, anemia haemolitik akut, syok, dan gagal ginjal. ROTD utama dari penggunaan
pirazinamid adalah hepatitis, dapat juga terjadi nyeri sendi. Pirazinamid kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis gout yang kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi
dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi hipersensitivitas misalnya demam,
mual, kemerahan, dan reaksi kulit lain. ROTD etambutol dapat menyebabkan gangguan
penglihatan berupa berkurangnya ketajaman penglihatan, hingga buta warna merah dan hijau.
Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.
Etambutol sebaiknya tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit dideteksi
pada anak-anak. ROTD utama streptomisin adalah kerusakan syaraf yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko ROTD tersebut akan meningkat seiring dengan
peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Gangguan keseimbangan biasanya
terjadi pada 2 bulan pertama dengan tanda-tanda telinga mendenging (tinitus), pusing, dan
kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau
dosisnya dikurangi menjadi 0,25 g, jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
keseimbangan dapat menjadi semakin parah dan bersifat menetap. Risiko akan meningkat
pada penderita yang memiliki gangguan fungsi ekskresi ginjal. Reaksi hipersensitivitas
kadang-kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai dengan sakit kepala,
muntah, dan eritrema pada kulit. ROTD sementara dan ringan yaitu adanya reaksi setempat
pada bekas suntikan, rasa kesemutan pada sekitar mulut, dan telinga yang mendenging dapat
terjadi segera setelah disuntikkan. Bila reaksi ini mengganggu (jarang terjadi) maka dosis
dapat dikurangi menjadi 0,25 g. Streptomisin tidak boleh diberikan pada wanita hamil karena
dapat menembus barier plasenta sehingga merusak saraf pendengaran janin (DepKes RI,
2008).
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Depok selama kurang lebih 3 bulan,
dari bulan Februari hingga April 2014.
Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian non-eksperimental dengan metode deskriptif.
Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data primer berupa kuesioner dan hasil
wawancara dengan pasien TB paru rawat jalan di RSUD Kota Depok dan data sekunder
berupa resep yang diterima oleh pasien TB rawat jalan di RSUD Kota Depok. Metode
pengambilan data merupakan metode prospektif observasional, yaitu dengan mengamati
faktor resiko seperti usia, jenis kelamin, adanya riwayat penyakit lain, asal suku pasien, dan
jenis obat yang digunakan, kemudian mengikuti perkembangan pasien untuk mengamati
adanya ROTD yang timbul. Pasien diberikan informed consent untuk menanyakan kesediaan
pasien mengikuti penelitian ini. Pengamatan dilakukan dengan memberikan kuesioner yang
diisi oleh pasien dan mewawancarai pasien, selanjutnya akan difollow-up selama 4 minggu
untuk mengamati perkembangan apakah terjadi ROTD saat penggunaan OAT.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB rawat jalan yang mendapat
pengobatan OAT periode Desember 2013 – April 2014 di Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Depok. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien rawat jalan TB yang baru mendapatkan
pengobatan OAT ≤ 3 bulan. Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret-April 2014.
Pasien yang diambil untuk sampel adalah pasien yang baru mendapatkan pengobatan OAT ≤
3 bulan, sehingga pasien yang memenuhi kriteria ini adalah pasien yang mendapatkan
pengobatan OAT pertama kali pada Desember 2013 – April 2014.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi sampel penelitian ini adalah pasien yang mendapatkan terapi OAT < 3 bulan.
Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret-April 2014. Pasien yang diambil untuk sampel
adalah pasien yang baru mendapatkan pengobatan OAT ≤ 3 bulan, sehingga pasien yang
memenuhi kriteria ini adalah pasien yang mendapatkan pengobatan OAT pertama kali pada
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
Desember 2013 – April 2014, serta pasien yang bersedia untuk diwawancara dan dipantau
kondisinya melalui proses follow-up. Pasien yang masuk kriteria eksklusi merupakan pasien
TB dengan kondisi khusus seperti kehamilan, ibu menyusui, dan terjangkit HIV/AIDS, serta
pasien TB yang dipindahkan ke unit kesehatan lain. Pasien yang tidak dapat bersedia
diwawancara, tidak dapat dihubungi untuk dipantau lebih lanjut, atau meninggal ketika masa
pengobatan akan masuk ke dalam kriteria dropout.
Cara Kerja
Permohonan Izin Penelitian
Permohonan izin penelitian diajukan kepada Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Depok. Penelitian dapat dilakukan setelah Kepala RSUD Kota Depok menyetujui proposal
pengajuan ijin penelitian yang diajukan.
Pengumpulan Data
Data primer diperoleh dari kuesioner dan hasil wawancara langsung dengan pasien yang
didiagnosis menderita TB tentang pengalaman menggunakan OAT dan ROTD yang dialami
pasien selama mendapatkan terapi OAT. Data sekunder diperoleh dari resep pasien TB rawat
jalan yang mendapatkan terapi OAT. Data berupa resep diambil melalui pasien yang baru saja
menerima resep tersebut dari dokter. Data resep yang didapatkan kemudian dicatat di lembar
pengumpulan data. Pasien yang menerima resep tersebut dan termasuk kriteria inklusi akan
diberi dan dijelaskan mengenai Informed Consent, kemudian ditanyakan mengenai
persetujuan pasien untuk turut serta sebagai subjek pada penelitian ini. Pasien yang setuju
untuk turut serta dalam penelitian ini akan diwawancarai mengenai ROTD yang dirasakan
setelah mendapat pengobatan OAT setiap pasien datang ke RS untuk menebus obat kembali.
Hasil wawancara pasien yang memberikan jawaban dengan lengkap mengenai ROTD yang
dialami dapat digunakan sebagai bahan evaluasi terjadinya ROTD pada pasien TB rawat
jalan.
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data meliputi proses editing agar semua data memenuhi kriteria, pengklasifikasian
data, entry data ke dalam tabel pada software komputer, dan pemeriksaan kembali untuk
memastikan tidak ada kesalahan agar data siap dianalisis.
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
Peneliti menganalisis penilaian ROTD yang dirasakan pasien melalui hasil wawancara dengan
pasien menggunakan algoritma Naranjo. Skor yang diterima sebagai ROTD, yaitu skor >9
dan 5-8. Skor < 0 dan skor 1-4 tidak dinyatakan sebagai ROTD. Data yang diperoleh
kemudian dianalisis untuk mengetahui distribusi frekuensi dari variabel-variabel bebas yaitu
usia, jenis kelamin, adanya riwayat penyakit lain, asal suku pasien, dan jenis obat yang
diterima pasien, serta variabel terikat yaitu ROTD yang dirasakan oleh pasien.
Hasil dan Pembahasan
Jumlah Responden Penelitian
Jumlah penderita TB paru di RSUD Kota Depok pada Desember 2013 – Maret 2014
berjumlah 198 pasien. Sekitar 22% dari jumlah tersebut atau sebanyak 44 orang merupakan
pasien yang baru mendapatkan pengobatan dengan waktu ≤ 3 bulan. Jumlah 44 pasien
tersebut kemudian masuk ke dalam kelompok sampel, namun selama penelitian terdapat 11
pasien yang masuk kriteria Drop Out yaitu 4 pasien tidak bersedia untuk diwawancarai, dan 7
pasien tidak dapat dihubungi kembali. Jumlah responden penelitian yang didapat berjumlah
33 orang. Sampel yang didapatkan tidak memenuhi jumlah sampel minimum yang dibutuhkan
yaitu 51 orang.
Data Demografi dan Klinis Pasien
Tabel 2. Data Demografi dan Klinis Sampel Penelitian (sampel = 33 orang)
Jumlah pasien
(orang)
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
Usia
15-34 tahun
35-54 tahun
> 54 tahun
Asal Suku
Jawa
Betawi
Sunda
Lain-lain
Riwayat Penyakit
Ada
Tidak ada
Jenis Obat
Kombipak/FDC
Non Kombipak/FDC
Persentase
14
19
42,42%
57,58%
14
10
9
42,43%
30,30%
27,27%
6
8
10
9
18,18%
24,24%
30,31%
27,27%
9
24
27,27%
72,73%
5
28
15,15%
84,85%
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
Sebagian besar responden berada pada kelompok usia produktif 15-54 tahun. Pada jenjang
usia ini, pasien memiliki interaksi dan mobilitas yang lebih tinggi, sehingga akan
memengaruhi kualitas kerja di lingkungannya. Jika pasien tidak bekerja akibat penyakit yang
dideritanya, maka akan memengaruhi status ekonomi pasien tersebut. Distribusi jumlah
penderita TB perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Hal ini terjadi terutama pada
perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan tinggal di lingkungan yang padat,
lembab, dan sulit dijangkau oleh sinar matahari langsung. Kuman TB dapat bertahan hidup
dalam waktu yang cukup lama dalam kondisi yang lembab dan tidak terkena sinar matahari.
Ibu rumah tangga cenderung untuk menetap di rumah dalam waktu yang panjang sehingga
memungkinkan kontak yang lebih lama dengan kuman TB dibanding pria. Pria memiliki
mobilitas yang lebih tinggi, terutama pria pada usia produktif (15-54 tahun) yang masih
bekerja.
Sebagian besar penderita TB paru di RSUD Kota Depok tidak mempunyai riwayat penyakit
selain TB paru yang mengharuskan pasien menggunakan obat-obatan lain selain OAT.
Adanya riwayat penyakit lain yang dialami pasien dapat memengaruhi hasil penelitian
dikarenakan adanya obat-obatan lain yang harus digunakan oleh penderita selain OAT.
Sebagian besar responden merupakan keturunan Jawa, Sunda, Betawi, maupun campuran dari
ketiga suku tersebut. Hal ini dikarenakan kondisi geografis kota Depok yang berada di
provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat berbatasan dengan provinsi DKI Jakarta dan
provinsi Jawa Tengah.
Jenis obat yang diresepkan oleh dokter dapat berupa Kombipak/FDC maupun bukan
Kombipak/FDC. Kombipak/FDC dibuat agar pasien lebih mudah dalam minum OAT karena
jumlah tablet yang ditelan menjadi lebih sedikit. Hal ini karena dosis FDC sudah disesuaikan
dengan berat badan pasien dan jumlah komponen obat yang harus diminum pasien, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan meningkatkan angka kesembuhan
pasien. Sebagian besar pasien di RSUD Kota Depok sekitar 84,85% tidak menggunakan
Kombipak/FDC. Hal ini disebabkan karena penggunaan obat Kombipak/FDC dibatasi hanya
pada pasien yang ditanggung oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), Jamkesmas
(Jaminan Kesehatan Masyarakat), maupun Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah). Selain itu,
riwayat penyakit pasien juga mempengaruhi pemberian jens obat, karena pasien yang
memiliki riwayat penyakit berat akan diresepkan obat non FDC oleh dokter.
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
Sebanyak 28 orang dari total 33 orang sampel mengalami ROTD saat menggunakan OAT
kemudian dianalisis menggunakan algoritma naranjo untuk mengetahui apakah reaksi yang
mereka rasakan memang benar merupakan ROTD.
Tabel 3. Kausalitas ROTD dari OAT
ROTD
Non ROTD
Kategori ROTD
Pasti (definite)
Kemungkinan besar (probable)
Mungkin (possible)
Meragukan (doubtful)
Jumlah pasien (n)
0
20
8
0
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan algoritma naranjo, terdapat 20 pasien dengan
skor 5-8 yang menunjukkan bahwa kejadian yang mereka rasakan tersebut kemungkinan
besar karena ROTD dari OAT yang mereka gunakan, kemudian dimasukkan sebagai
kelompok positif ROTD. Pasien yang mendapatkan skor 1-4, yaitu sebanyak 8 orang
menunjukkan bahwa kejadian yang mereka rasakan mungkin karena ROTD dari OAT yang
mereka gunakan, kemudian dimasukkan ke dalam kelompok non-ROTD.
ROTD yang dialami pasien umumnya lebih dari satu jenis. Hal ini dikarenakan OAT yang
diminum memang merupakan terapi kombinasi dari beberapa obat sehingga menimbulkan
beberapa ROTD yang berbeda-beda dari masing-masing obat tersebut. ROTD yang dirasakan
pasien yaitu gatal-gatal pada kulit, pusing, mual, pegal dan nyeri sendi, serta kombinasi dari
beberapa ROTD tersebut. Semua responden dalam penelitian ini diresepkan terapi kombinasi
berupa gabungan Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol, sehingga sulit untuk
menganalisis obat mana yang menghasilkan ROTD tertentu.
Tabel 4. Jenis-jenis ROTD Penderita TB Paru di RSUD Kota Depok
Jenis ROTD
Gatal
Pusing
Mual
Mual-pusing
Gatal-pusing
Mual-pegal
Gatal-kesemutan
Gatal-pegal
Gatal-pusing-kesemutan
Mual-pegal-pusing-kesemutan
Mual-gatal-pegal-pusing
Total
Jumlah yang mengalami (orang)
4
3
3
3
5
2
1
2
1
1
2
28
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
Waktu Terjadinya ROTD
Tabel 5. Distribusi Waktu Terjadinya ROTD pada Penderita TB Paru di RSUD Kota Depok
Waktu terjadinya ROTD
Pada hari yang sama
2-3 hari
4-6 hari
≥ 7 hari
Jumlah yang mengalami (orang)
20
7
1
0
Tabel 5 menunjukkan waktu saat penderita TB paru merasakan ROTD setelah OAT diminum.
Sebanyak 20 orang (71%) penderita TB paru merasakan ROTD tersebut pada hari yang sama
saat mereka minum OAT tersebut.
Hubungan Antara Data Demografi dan Klinis Pasien dengan Kejadian ROTD
Tabel 6. Hubungan Antara Data Demografi dan Klinis Pasien dengan Kejadian ROTD
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
Usia
15-34 tahun
35-54 tahun
> 54 tahun
Asal Suku
Jawa
Betawi
Sunda
Lain-lain
Riwayat Penyakit
Ada
Tidak ada
Jenis Obat
Kombipak/FDC
Non Kombipak/FDC
Jumlah
pasien (orang)
Jumlah yang
mengalami (orang)
Persentase
14
19
10
18
71,4%
94,7%
14
10
9
11
8
9
78,6%
80%
100%
6
8
10
9
4
9
7
8
66,7%
90%
87,5%
88,9%
9
24
9
19
100%
79,2%
5
28
4
24
80%
85,7%
Penderita TB dengan usia lansia sangat beresiko untuk mengalami ROTD saat menggunakan
OAT. Studi oleh Tan W C et al. (2007) menunjukkan bahwa pasien lansia, terutama dengan
resiko tinggi mengalami penyakit berat dan kegagalan organ tubuh, merupakan faktor resiko
untuk mengalami ROTD. Hal ini terbukti pada penelitian ini, dari 9 pasien yang berusia diatas
54 tahun, seluruhnya mengalami ROTD. Kejadian ROTD lebih banyak terjadi pada pasien
lansia (di atas 54 tahun) daripada pasien dengan usia di bawah 54 tahun. Oleh karena itu pada
penelitian ini, usia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya ROTD pada
pasien, terutama pasien yang berusia di atas 54 tahun.
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
Pada penelitian Francisco Jose Forestiero et al. (2012) menunjukkan bahwa wanita lebih
sering mengalami ROTD, yaitu sekitar 54%. Seperti halnya yang terjadi pada penelitian ini
dimana persentase pasien wanita yang mengalami ROTD lebih besar dibanding pria. Hal ini,
menurut pengalaman responden, disebabkan karena pria memiliki mobilitas yang tinggi akibat
pekerjaan sehingga jarang merasakan ROTD dan cenderung mengabaikan efek yang
dirasakan. Perbedaan dalam persentase disebabkan karena perbedaan dalam jumlah sampel
yang didapat dalam penelitian ini yang lebih sedikit dbanding penelitian Forestiero.
Suku Sunda adalah suku yang paling berisiko mengalami ROTD, dilihat dari besar nilai
persentase. Namun jumlah pasien yang tidak mengalami ROTD hanya 1 orang pada suku
Sunda dan Betawi, sehingga tidak dapat ditarik kesimpulan pasti mengenai keterkaitan.
Belum ada penelitian terkait hubungan etnik dengan ROTD yang dialami pasien TB paru.
Pasien yang memiliki riwayat penyakit lain pada penelitian ini seluruhnya mengalami ROTD.
ROTD tersebut mungkin saja dipicu oleh obat-obatan lain yang digunakan juga oleh pasien
TB paru sehingga membuat hasil menjadi bias. Namun, tidak menutup kemungkinan ROTD
tersebut memang dialami akibat penggunaan OAT. Berdasarkan Pedoman Pengelolaan Efek
Samping Obat Obat Antimikroba oleh Program Pengontrol TB di Philadelphia, pasien yang
memiliki riwayat diabetes dan gangguan hati kronis akan meningkatkan faktor resiko
terjadinya kejadian ROTD.
Pasien yang menggunakan obat non FDC memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami
ROTD walaupun persentasenya tidak berbeda jauh dengan yang menggunakan obat FDC.
Obat FDC sudah diatur penggunaan dan dosisnya oleh pemerintah sehingga juga
meminimalkan ROTD yang ditimbulkan. Pasien yang tidak menggunakan obat FDC biasanya
juga memiliki penyakit lain sehingga harus menggunakan obat lain. Penggunaan obat lain ini
menjadi faktor lain yang mungkin menyebabkan munculnya ROTD.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan data dari kuesioner yang digunakan untuk mengamati ROTD
yang dialami pasien, namun kuesioner yang digunakan harus di uji validitas dan
reliabilitasnya terlebih dahulu karena tidak tersedianya kuesioner standar yang telah
tervalidasi. Waktu penelitian yang terbatas dan sedikit terkendala masalah perizinan penelitian
di RSUD Kota Depok mengakibatkan kuesioner tidak divalidasi. Waktu pengamatan yang
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
hanya 1 bulan mengakibatkan pengamatan terhadap pengobatan pasien menjadi terbatas dan
singkat. Pengamatan hanya dilakukan melalui wawancara berdasarkan pengakuan pasien dan
tidak didukung dengan adanya hasil dari laboratorium untuk lebih mendukung analisis mengenai
ROTD yang dialami pasien. Jumlah sampel yang didapatkan sedikit, yaitu hanya berjumlah 33
pasien sehingga tidak memenuhi jumlah sampel minimum yang diperlukan. Pada penelitian
ini, analisis hubungan faktor yang mempengaruhi pasien yang menggunakan OAT dengan
ROTD yang dialami pasien adalah dengan analisis proporsi atau persentase. Analisis
hubungan antara faktor yang mempengaruhi pasien yang menggunakan OAT dengan ROTD
tidak dari hasil uji statistik. Oleh karena itu, dari hasil penelitian ini tidak dapat diketahui
hubungan bermakna atau tidak bermakna antar usia, jenis kelamin, riwayat penyakit lain, asal
suku pasien, jenis obat yang digunakan dengan ROTD yang dialami pasien.
Kekuatan Penelitian
Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode wawancara dilanjutkan
dengan menghubungi pasien kembali. Bentuk wawancara pada penelitian ini adalah
wawancara bebas terpimpin, sehingga ROTD dapat diketahui berdasarkan pengakuan yang
jelas dari pasien. Bentuk wawancara ini tidak formal hanya terpaku pada daftar pertanyaan
sehingga pasien dapat memberikan informasi secara bebas dan selengkap mungkin.
Perbincangan dengan pasien menjadi tidak kaku dan peneliti dapat memberikan saran sebatas
yang peneliti ketahui terhadap keluhan yang dirasakan pasien sehingga terjadi hubungan
timbal balik antara peneliti dengan pasien.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode prospektif. Metode
penelitian prospektif merupakan metode terbaik dalam mengkaji hubungan antara faktor
risiko dengan efek yang dialami. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data
secara prospektif dengan cara follow up. Penelitian ini juga belum pernah dilakukan di RSUD
Kota Depok, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi untuk meningkatkan
kualitas pelayanan dan pengobatan untuk pasien.
Kesimpulan
Penderita baru TB paru di RSUD Kota Depok sebagian besar adalah wanita (58%), berada
pada usia produktif 15-54 tahun (76%), serta merupakan keturunan Jawa, Sunda, dan Betawi.
Pasien yang mengalami ROTD sebesar 85%, 65% di antaranya mengalami lebih dari 1
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
ROTD. ROTD yang dialami yaitu gatal, mual, muntah, pusing, dan kesemutan. Pasien dengan
jenis kelamin wanita, berusia lansia (> 54 tahun), memiliki riwayat penyakit lain, dan
menggunakan obat non Kombipak/FDC, memiliki persentase lebih besar untuk mengalami
ROTD. Sebanyak 71% pasien yang menggunakan OAT merasakan timbulnya ROTD
beberapa jam atau pada hari yang sama setelah menggunakan OAT.
Saran
Petugas kesehatan, terutama tenaga farmasi, harus menginformasikan kepada pasien
mengenai ROTD yang akan dialami selama menggunakan OAT. Pasien harus lebih aktif
untuk menginformasikan mengenai ROTD yang dialami kepada tenaga kesehatan, seperti
dokter, perawat, maupun apoteker, agar hasil pengobatan lebih optimal dan meningkatkan
angka kesembuhan. Kualitas pelayanan, sarana, maupun prasarana rumah sakit perlu
ditingkatkan sehingga pasien tidak malas untuk berobat ke RSUD Kota Depok, terutama
pasien yang tempat tinggalnya cukup jauh dari RSUD Kota Depok.
Daftar Acuan
Ahmed N, Hasnain S. (2011). Molecular Epidemiology of Tuberculosis in India: Moving Forward with a
Systems Biology Approach. Skotlandia: Elsevier Ltd.
Amin, Zulkifli., Bahar, Asril. (2006). Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, Aru W, Bambang Setiyohadi, Idrus
Alwi, Marcellus Simadibrata & Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar
RISKESDAS 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Badan POM RI. (2012). Pedoman Monitoring Efek Samping Obat bagi Tenaga Kesehatan (Vol. 21, pp. 171–
174). Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Bungsu, Putri. (2010). Pengaruh Obat Anti Tuberkulosis terhadap Perubahan Berat Badan pada Penderita TB
Paru BTA Positif selama Pengobatan Masa Intensive (0-2 Bulan) dan Faktor yang Memengaruhi di Puskesmas
Kecamatan Ciracas dan Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu Tahun 2010. Skripsi Program Studi Sarjana FKM
UI Depok
Calis, K. A., Sidawy, E. N., & Young, L. R. (2007). Clinical Analysis of Adverse Drug Reaction. Principles of
Clinical Pharmacology, 2, 389–402.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Jurnal TB vol. 7. Jakarta: Perkumpulan Pemberantas TB
Indonesia
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2007). Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: DepKes
RI
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
Departemen Kesehatan RI. (2012). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun 2012. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI
Hayati, Amelia. (2011). Evaluasi Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Tahun 2010-2011 di
Puskesmas Kecamatan Pancoran Mas Depok. Skripsi Program Sarjana Ekstensi Farmasi FMIPA UI Depok
Jose, F., Cecon, L., Hirouki, M., et al. (2013). Clinica Chimica Acta Relationship of NAT2 , CYP2E1 and
GSTM1 / GSTT1 polymorphisms with mild elevation of liver enzymes in Brazilian individuals under antituberculosis drug therapy. Clinica Chimica Acta, 415, 215–219. doi:10.1016/j.cca.2012.10.030
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Laporan Situasi Terkini Perkembangan Tuberkulosis di
Indonesia Januari-Desember 2012. Jakarta: Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Pedoman Pelaksanaan Hari TB Sedunia 2011. Jakarta:
Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Konstantinos A. (2010). Testing for Tuberculosis. Australia: Australian Prescriber 33 (1): 12-18
Mona T. Hussein, Laila M. Yousef, Mohammad A. Abusedera. (2013). Pattern of Pulmonary Tuberculosis in
Elderly Patients in Sohag Governorate: Hospital Based Study. Egyptian Journal of Chest Diseases and
Tuberculosis (2013) 62: 269-274
Notoatmodjo, Soekidjo, (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Pengendalian Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Depok. (2011). Stop
Penyakit TBC. Depok
Pengendalian Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Depok. (2012). Register
Pasien TB Kabupaten di Kota Depok Triwulan IV Tahun 2011. Depok: SubDit P2TB Dinas Kesehatan Kota
Depok
Przybylski, G., Dąbrowska, A., Trzcińska, H. (2014). Alcoholism and other socio-demographic risk factors for
adverse TB-drug reactions and unsuccessful tuberculosis treatment – data from ten years’ observation at the
Regional Centre of Pulmonology, Bydgoszcz, Poland. Med Sci Monit. 2014; 20: 444–453.
Puspitasari, Yenny. (2010). Gambaran Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Putus Berobat Penderita TB
Paru di Puskesmas Kecamatan Ciracas Jakarta Timur Tahun 2010. Skripsi Program Studi Sarjana FKM UI
Depok
Sabri, L., & Hastono, S. P. (2006). Statistik Kesehatan (pp. 153). Jakarta: PT Rajagrafindo.
Sangadji, Etta Mamang, Sopiah. (2010). Metodologi Penelitian : Pendekatan Praktis dalam Penelitian.
Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Sastroasmoro, Sudigdo. (2010). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV Sagung Seto.
Siregar, Syofian. (2010). Statistika Deskriptif untuk Penelitian. Jakarta: Rajawali Pers
Sunyoto, D. (2012). Statistik Kesehatan: Analisis Data dengan Perhitungan Manual dan Program SPSS.
Yogyakarta: Nuha Medika
Tan, W. C., Ong, C. K., Kang, S. C. Lo, & Razak, M. A. (2007). Two Years Review of Cutaneous Adverse Drug
Reaction from First Line Anti-Tuberculous Drugs, 62(2), 143–146.
Trihendradi, C. (2011). Langkah Mudah Melakukan Analisis Statistik Menggunakan SPSS 19. Yogyakarta:
ANDI
Widjanarko et al. (2009). Factors that Influence Treatment Adherence of Tuberculosis Patients Living in Java,
Indonesia.
World Health Organization. (2010). Global Tuberculosis Control WHO Report. Geneva: World Health
Organization
World Health Organization. (2009). Treatment of Tuberculosis Guidelines fourth edition. Geneva: World Health
Organization
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
World Health Organization. (2009). WHO Report 2009. Global Tuberculosis Control Epidemiology, Strategy,
Financing. Geneva: World Health Organization
Reaksi obat..., Nikko Yendi Sutrisno, FF UI, 2014
Download