bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketulusan seorang manusia untuk mengabdikan diri kepada Tuhan, sering
menjadikan manusia tersebut tidak peduli dengan keberadaan sesamanya, bahkan juga
dengan dirinya sendiri. Untuk Tuhan, manusia sering dituntut untuk mengorbankan
dirinya. Namun, justru ironis pada saat manusia memahami Tuhan seperti itu, hal tersebut
digunakan sebagai pemicu konflik. Dengan agama maka diharapkan manusia dapat juga
mengenal dan menghayati akan Tuhan. Pemeluk agama meyakini bahwa fungsi utama
agama yang diimaninya ialah memadukan kehidupan manusia agar memperoleh
keselamatan di dunia dan di akhirat nanti. Seseorang atau sekelompok penganut agama
merasa terikat dengan hubungan rohani yang kuat dengan agamanya, sehingga ia siap
berkorban untuk yang dijunjungnya. Kekerasan semacam inilah yang pada saat ini mulai
terasa pada saat memasuki milenium ke tiga. Kita dapat melihat dengan jelas peristiwa
ketika siaran TV di seluruh dunia menyajikan tayangan yang luar biasa mengenai
serangan terhadap World Trade Center (WTC) dan Pentagon pada 11 September 2001
yang menjadi puncak kekerasan. Lalu diikuti dengan serangan yang tidak kalah ‘ngeri’
nya yang dilakukan Amerika terhadap Afghanistan. Dengan pencarian Osama bin Laden
dengan jaringan Al-Qaeda yang juga justru menelan lebih banyak korban di Afghanistan
Meskipun sebelum tragedi ini sudah banyak kekerasaan yang terjadi berkaitan dengan
ideologi dan agama. 1
Tragedi
11
September
menjadi
titik
balik
munculnya
gerakan
keagamaan.
Fundamentalisme, meskipun secara harafiah arti kata ini nampak lebih positif yaitu:
1
Prof. Emanuel Gerrit Singgih, PhD, Dari Fundamentalisme Tunggal ke Fundamentalisme Jamak, dalam,
Fundamentalisme dalam Kristen – Islam, Ribut Karyono, MTh, Kalika, Jogjakarta, 2003, hlm xix. Mark
Juergensmeyer, bahkan memberi keterangan yang lebih mengenai aksi-aksi sebelum tragedi 11 September,
dalam Teror Atas Nama Tuhan, penerjemah M. Sadat Ismail, Nizam Press, Jakarta, 2002
1
orang atau sekelompok orang yang taat dan setia terhadap ajaran-ajaranNya.2 Agama
yang memperjuangkan “kebenaran” dengan aksi militan-nya. Sikap militan dan intoleran
tidak jarang terlihat dengan jelas dalam gerakan fundamentalisme. Fundamentalisme
membangun benteng untuk melakukan pertahanan dan melakukan perlawanan dengan
pihak lain dengan aksi militannya.3 Jadi, bagi kaum fundamentalis yang militan yang
bersedia mati demi membela keyakinannya, membayangkan kematian menjadi jalan yang
bernilai bagi kelompoknya. Dengan adanya penilaian semacam inilah yang menjadikan
kekerasan berharga.
Ajaran damai dari suatu agama, di saat yang berlainan bisa berubah menjadi ajaran
tentang ‘penghapusan manusia’. Agama yang mengajarkan tentang kasih sayang antara
sesama manusia dan sesama mahluk Tuhan, pada saat yang sama manusia juga meyakini
kesalehan yang tertinggi adalah jika manusia bisa mengabdi sepenuhnya pada Tuhan.
Untuk dan atas nama Tuhan manusia boleh, sah, dan bahkan merasa berkewajiban untuk
meniadakan manusia yang lain. Peperangan demi peperangan terus berlangsung,
“kegembiraan” menjemput maut terus terjadi sampai saat ini.4 Kegiatan keagamaan,
tempat sakral dan bahasa agama yang diharapkan mampu menciptakan keharmonisan dan
ketenagan hidup bersama, berubah menjadi sasaran dan alat untuk melampiaskan
bermacam-macam ketidakpuasan serta kecurigaan. Akibatnya, wajah agama menjadi
menakutkan serta sering diasosiasikan dengan peristiwa-peristiwa kekerasan. Jadi,
nampak terdapat dual tendency dalam diri agama. Anti-kekerasan dan kekerasan. Dual
tendency ini terkait dengan dogma yang diajarkan yang dapat menjadi sumber legitimasi
kekerasan dan sekaligus anti-kekerasan pada saat, tempat dan waktu yang berbeda.
2
Ribut Karyono, MTh, Fundamentalisme dalam Kristen Ialam, Kalika, Jogjakarta 2003, hlm 3. bandingkan
dengan yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, DepartemenPendidikan dan Kebudayaan, Balai
Pustaka, Jakarta 1988, hlm 245.
3
Seperti yang di kutip dari The Encyclopedia Of Religion, oleh Pdt. Prof. DR. Liem Khiem Yang,
Fundamentalisme dalam Gereja, “considers it a chief Christian duty to combat incompromisingliy
modernist theology and certain secularizing cultural trends, - is ‘militant in organization’”, dalam
Fundamentalisme, Agama-Agama dan Teknologi, penyunting Pdt Dr. Soetarman Sp, dkk. BPK-Gunung
Mulia cet ke-3, Jakarta 1996, hlm 19.
4
Abdul Munir Mulkhan, Dilema Manusia dengan Diri dan Tuhan, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan
Agama di Indonesia, hlm, xv-xx. Th. Sumartana. dkk, Interfidei Jogjakarta 2001.
2
Kekerasan yang dilakukan tidak lagi bersifat individu. Kekerasan yang dilakukan sudah
menjadi kekerasan secara komunal atau massa. Kekerasan ini berbeda dari kekerasan
yang dilakukan secara individu, karena kekerasan yang dilakukan tidak berdasarkan
dendam atau kebencian personal, melainkan banyak dipengaruhi oleh dinamika
kelompok tersebut. Faktor yang paling menentukan di sini adalah pimpinan kelompok.
Faktor individu dari pimpinan kelompok dapat berubah menjadi kepentingan seluruh
anggota kelompok. Hal ini dapat dilihat dalam kekerasan yang sering dilakukan di tengah
masyarakat. Kekerasan yang dilakukan oleh agama sering berkaitan dengan hal semacam
ini. Tokoh pimpinan spiritual, yang memiliki pandangan berbeda dengan seseorang atau
kelompok lain, maka akan sangat mudah menghasut kelompoknya untuk melakukan
tindakan kekerasan untuk mengalahkan saingannya. Hal ini terkait juga dengan
otoritasnya sebagai pimpinan kelompok, seperti; Aum Shinrikiyu di Jepang, Osama bin
laden di Afghanistan, Mike Bray di Amerika Srikat, Rabbi Meir Khane di Israel, dll.
Bahkan di Indonesia juga, seperti Abubakar Baazir sebagai pendiri pondok pesantren
Ngruki di Solo, Habib Rizik sebagai pemimpin Fron Pembela Islam, dll. Kekerasan demi
kekerasan semacam inilah yang sering kita lihat.
Hal yang sama pun terjadi di Indonesia seperti pertikaian di Ambon, Kalimantan. Hanya
karena manusia tersebut memiliki pemahaman, agama dan keyakinan yang berbeda
kekerasan pun dapat terjadi, bahkan sampai pada menghilangkan nyawa seseorang.
Bentuk kekerasan juga dapat terjadi dalam bentuk pemerkosaan, Pemerkosaan yang
dilakukan oleh segelintir orang pada saat kerusuhan Mei 1998 terhadap perempuan
keturunan Tiong Hoa di Jakarta. Serta bentuk kekerasan yang masih sampai saat ini
dilakukan adalah berupa pengerusakan sarana hiburan yang dilakukan oleh kelompok
tertentu dengan berbagai alasan untuk mendukung pengerusakan yang dilakukannya.
Dengan mengusung nama Tuhan dan panji-panji agama, para “laskar sipil” bertindak
seperti “malaikat/polisi surgawi” yang sah melakukan tindakan kekerasan. Bahkan
kekerasan yang dilakukan oleh aparat ketertiban terhadap pedagang kaki lima menjadi
sajian utama berita pada saat ini. Sangat ironis, negara yang penduduknya taat beragama,
namun tak mampu meredam kekerasan. Justru sebaliknya, bahkan tidak jarang kekerasan
3
yang dilakukan mendapatkan justifikasi dari doktrin-doktrin keagamaan, seperti seruan
jihad dan perang suci.
Kekerasan juga dapat terjadi dalam bentuk lain, seperti membelenggu kreatifitas
seseorang sehingga tidak dapat mengekspresikan pendapat, ancaman bom di Jakarta dan
tekanan pemerintah terhadap aktifis, kebohongan serta penipuan berupa korupsi yang
menjadi trend di Indonesia, bahkan dengan dampak yang sangat meluas. Kematian anak
balita akibat busung lapar karena kurang gizi, anak balita yang terkena virus polio karena
tidak di imunisasi pada masa sekarang ini di mana alat-alat serta obat-obatan sudah
banyak ditemui orang tersebut tidak diberikan pengobatan bahkan dibiarkan ditelantarkan
sampai mati,5 maka pada saat itu sudah terdapat bentuk kekerasan struktural dalam
masyarakat. Inilah bentuk kekerasan lain yang ada di dalam masyarakat.
1.2 Permasalahan
Dari pemaparan latar belakang yang disampaikan, maka timbul petanyaan: apakah
dengan demikian, agama menjadi penyumbang konflik dan kekerasan? di manakah
Tuhan? Jikalau Dia mengetahui segalanya dan mengapa kekerasan manusia tersebut terus
terjadi? Apakah hal ini juga merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan oleh Tuhan
terhadap manusia? Belum lagi kekerasan dalam bentuk yang terselubung seperti
ancaman, tekanan, korupsi, yang juga tidak kalah jahatnya dengan pembunuhan yang
didasari dengan pemahaman agama yang saat ini sedang terjadi di Indonesia.
Pada akhirnya bencana demi bencana ini dianggap sebagai hukuman dari Tuhan karena
dosa-dosa bangsa selama ini yang telah mendukakan hati Tuhan. Sehingga Tuhan harus
campur tangan untuk mengatasinya dan itu berdampak menyeluruh pada setiap orang
tanpa terkecuali.
5
Kematian anak balita karena busung lapar di NTB serta berjangkitnya virus polio di Jawa Barat memasuki
bulan Juni 2005. Belum lagi kisah Supriono (di Jakarta) yang harus kehilangan putrinya Khaerunisa (3
tahun) karena diare, serta menggendong jenasah anaknya karena tidak memiliki uang untuk biaya rumah
sakit dan mobil ambulance. Kompas 7 Juni 2005, hlm 19.
4
Penulis tertarik untuk mengangkat satu pokok permasalahan yang akan dijadikan bahan
dalam penyusunan skripsi yaitu : kekerasan yang dilakukan Tuhan di dalam Alkitab
(Perjanjian Lama) terkait dengan keadilan yang dilakukan Tuhan untuk menghukum
manusia karena melakukan kekerasan terhadap sesama, sehingga berdampak menyeluruh
kepada semua orang, baik yang salah maupun tidak. Untuk menjalankan hukumanNya,
Tuhan menjadi Tuhan yang sangat tidak adil. Permasalahan ini akan menjadi bagian dari
pembahasan dalam skipsi ini.
Dengan keadaan seperti ini, maka penulis tertarik untuk melihat kisah Sodom dan
Gomora yang terdapat dalam Kejadian 18-19. Kisah yang menceritakan kehidupan
masyarakat Sodom dan Gomora yang dianggap sebagai masyarakat yang telah
mendukakan Tuhan, sampai pada akhirnya Tuhan melakukan tindakan untuk
memusnahkan Sodom dan Gomora, dengan hukumanNya yang sangat mengerikan.
Namun ada apakah di balik semua kisah ini, sehinga Tuhan melakukan tindakan
kekerasan terhadap manusia? Dengan melihat semua kejadian ini, maka menarik untuk
kita lihat kisah Sodom dan Gomora untuk dijadikan gambaran kekerasan yang dilakukan
oleh Tuhan dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia.
Permasalahan yang akan di bahas dalam tinjauan skripsi ini, penulis batasi pada
permasalahan mengenai “teori kekerasan yang dikaitkan dengan agama”, yang di
kaitkan dengan kisah pemusnahan Sodom dan Gomora. Adapun pemilihan agama
menjadi fokus utama adalah karena dari hal ini kita dapat melihat kekerasan menjadi
sesuatu yang rumit dan lebih mengerikan, jika mendapat legitimasi agama di dalamnya.
1.3 Usulan Judul
Dari pokok permasalahan dan batasan permasalahan di atas, maka penulis mengangkat
sbuah judul skripsi:
MEMAKNAI KEKERASAN TUHAN DAN KEKERASAN MANUSIA :
SEBUAH INTERPRETASI KISAH PEMUSNAHAN SODOM DAN GOMORA
5
1.4 Tujuan Pemilihan Judul
Dari judul yang di angkat di atas diharapkan kita dapat memahami:
1. Bagaimana kekerasan dipahami dalam kerangka teologis.
2. Bagaimana memahami kekerasan dalam zaman di konteks kita sekarang di
Indonesia.
1.5 Metode Pembahasan
Dalam membahas pokok permasalahan di atas, maka penulis akan menggunakan
pendekatan literatur dalam mencari sumber informasi. Sedangkan metode tafsir yang
akan digunakan adalah dengan metode tafsir kritik naratif
6
serta pendekatan kritik
historis dalam metode tafsir yang digunakan. Tafsir naratif dipilih, dikarenakan dengan
menggunakan pendekatan naratif kita dapat melihat atau menggali apa yang ada dalam
teks. Dengan sifat yang synchronic (berurutan), maka komponen-komponen yang di
perhatikan dalam penafsiran narasi antara lain:
Pertama Struktur, adalah keterkaitan antar cerita yang terdapat dalam kisah Sodom dan
Gomora. Kedua Plot (Alur), yang ada dalam kisah Sodom dan Gomora, serta keterkaitan
kisah ini dari pendahuluan, perkembangan, serta penutup dari kisah yang dapat berupa,
klimaks ataupun anti klimaks dari kisah ini. Ketiga Karakter, adalah dari orang-orang
yang berperan dalam kisah ini, baik secara fisik maupun sifat dari tokoh-tokoh yang
berperan, sehingga kita dapat menentukan siapa yang memegang peran utama, ataupun
tokoh antagonis dalam kisah Sodom dan Gomora. Keempat Konflik, dalam kisah Sodom
dan Gomora kita akan melihat konflik yang terjadi baik antara manusia dengan manusia,
serta konflik antara manusia dengan Tuhan. Kelima Setting, dalam setting kita akan
melihat baik setting tempat maupun waktu dari setiap apa yang terjadi dalam kisah ini.
Serta Suasana (Atmosfir), yang mempengaruhi kisah ini. Keenam Gaya (style), gaya
penulisan yang digunakan dalam kisah Sodom dan Gomora. Ketujuh Narator, narator
6
Pdt Emanuel Gerrit Singgih PhD, memberika metode tafsir Naratif dalam Dunia yang Bermakna Persetia,
Jakarta 1999 hlm 242-245.
6
bukanlah pengarang namunbagian dari cerita. Dalam kisah ini juga kita akan melihat
seberapa jauh peran narator dalam kisah ini baik karakter maupun manifestasi dari
narator itu sendiri, serta pengaruhnya terhadap kisah Sodom dan Gomora.
7
Sedangkan
kritik historis digunakan untuk memberikan gambaran mengenai latar belakang sejarah
dari teks. Kedua metode tafsir ini akan digunakan untuk mengimbangi cerita yang ada
dalam teks.
1.6 Sistematika Pembahasan
Bab I
: Pendahuluan.
1. Latar Belakang.
2. Permasalahan.
3. Batasan Permasalahan.
4. Usulan Judul.
5. Tujuan Pemilihan Judul.
6. Metode Pembahasan.
7. Sistematika Pembahasan.
Bab II
: Teori Kekerasan yang dikaitkan dengan Agama
2.1 Erich Fromm
2.2 Johan Galtung
2.3 RenāŽ” Girard
2.4 Charles Kimbal
2.5 Mark Juergensmeyer
Bab III
: Tafsir terhadap Kejadian 18-19
7
Apa dan Mengapa Exegese Naratif? Pdt. Emanuel Gerrit Singgih. Ph.D, dalam Gema Duta Wacana no
46, Exegese Narasi dalam Teori dan Praktek, Jogjakarta 1993, hlm 14-23. Materi kuliah Hermenetik
Perjanjian Lama yang diberikan oleh Pdt Robert Setio Ph.D
7
Bab IV
: Berteologi dalam Konteks “Memaknai Kekerasan Tuhan dan Kekerasan
Manusia”
Bab V
: Kesimpulan
8
Download