BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Koridor Menurut Moughtin (1992: 41), suatu koridor biasanya pada sisi kiri kanannya telah ditumbuhi bangunan-bangunan yang berderet memanjang di sepanjang ruas jalan tersebut. Keberadaan bangunan-bangunan tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan menampilkan kualitas fisik ruang pada lingkungan tersebut. Sedangkan Zahnd (2012: 110), menyebutkan bahwa koridor dibentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau pohon) yang membentuk sebuah ruang untuk menghubungkan dua kawasan atau wilayah kota secara netral. Dengan kata lain, koridor merupakan ruang berupa plasa, jalan atau lorong memanjang yang terbentuk oleh deretan bangunan, pohon, atau perabot jalan untuk menghubungkan dua kawasan dan menampilkan kualitas fisik ruang tersebut. Spesifikasi dan karakteristik fisik dan non fisik pada suatu koridor jalan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan wajah dan bentuk koridor itu sendiri. Keberadaan suatu koridor sebagai pembentuk arsitektur kawasan kota tidak akan lepas dari elemen-elemen pembentuk citra koridor tersebut (Krier, 1979: 61), yaitu: 1. Wujud bangunan Merupakan wajah atau tampak dan bentuk bangunan yang ada di sepanjang koridor. Wajah dan bentuk bangunan tersebut merupakan tapak keseluruhan dari suatu koridor yang mampu mewujudkan identitas dan citra arsitektur suatu kawasan. 2. Figure ground Merupakan hubungan penggunaan lahan untuk massa bangunan dan ruang terbuka. Struktur tata ruang kota menurut Trancik (1986: 101) terdiri dari dua elemen pokok, yaitu massa bangunan kawasan (urban solid) dan ruang terbuka kawasan (urban void). Kedua elemen tersebut 24 membentuk pola padat rongga ruang kota yang memperlihatkan struktur ruang kawasan kota dengan jelas. 3. Street and Pedestrian ways Merupakan jalur jalan pergerakan kendaraan dan bagi pejalan kaki yang dilengkapi dengan parkir, elemen perabot jalan (street furniture), tata tanda (signage), dan pengaturan vegetasi sehingga mampu menyatu terhadap lingkungan. Koridor jalan dan jalur pejalan kaki merupakan ruang pergerakan linear sebagai sarana sirkulasi dan aktivitas manusia dengan skala padat. Selain itu, koridor jalan untuk kendaraan mempunyai kontribusi yang besar bagi pergerakan dan bentuk traffic dalam suatu kawasan (Bishop, 1989:92). Menurut Bishop (1989:93), terdapat dua macam urban koridor, yaitu : 1. Koridor komersial Bentuk koridor ini dimulai dari area-area komersial menuju pusat urban berupa kompleks bangunan perkantoran dan pusat-pusat pelayanan jasa perdagangan yang terbentuk di sepanjang koridor, disertai kondisi aktivitas padat. Koridor komersial termasuk di dalamnya memiliki jalur pejalan kaki untuk aktivitas dan pergerakan manusia dan jalan untuk transportasi kendaraan utama yang melewati kawasan kota. 2. Scenic koridor Bentuk koridor ini kurang umum jika dibandingkan dengan koridor komersial di kawasan perkotaan. Scenic koridor memberikan pemandangan alam natural yang unik dan melalui pengalaman rekreasi bagi pengendara kendaraan saat mereka melewati jalan tersebut. Walaupun scenic koridor kebanyakan terdapat di area pedesaan, beberapa komunitas masyarakat mengenali keunikan bentuk koridor ini karena memberikan kesempatan pemandangan yang menarik selama perjalanan dengan kendaraan. Jumlah, ukuran, dan kondisi dari koridor - koridor yang penting akan bervariasi tergantung dari komunitas ruang yang membentuknya. Pemeliharaan 25 dari keberadaan koridor akan memecahkan beberapa problem utama kecepatan pertumbuhan suatu kawasan. Koridor sebagai ruang aktivitas manusia, pergerakan (sirkulasi) manusia dan transportasi, dan parkir memiliki dua pengaruh langsung pada kualitas lingkungan, yaitu kelangsungan aktivitas komersil dan kualitas visual yang kuat terhadap struktur dan bentuk fisik kota. Ruang fisik yang terbentuk pada jalur koridor ini terbentuk oleh skala atau perbandingan dari elemen pembentuknya, yaitu lebar jalan, panjang jalan, bentuk pedestrian, ketinggian elemen vertikal bangunan, bentuk massa dan fasad bangunan, dan fungsi kegiatan yang terjadi (Moughtin,1992: 42). Menurut Carr, et al. dalam Carmona, dkk. (2003: 88), bentuk fisik koridor dapat berperan secara baik jika mengandung unsur comfort, relaxation, passive angagement, active angagement, dan discovery, yaitu: 1. Comfort, merupakan salah satu syarat mutlak keberhasilan ruang fisik koridor. Lama seseorang beraktivitas berada dapat dijadikan tolok ukur comfortable (tingkat kenyamanan) suatu koridor. Dalam hal ini kenyamanan koridor antara lain dipengaruhi oleh: environmental comfort yang berupa perlindungan dari pengaruh alam seperti sinar matahari dan angin; physical comfort yang berupa ketersediaan fasilitas penunjang yang cukup seperti tempat duduk; social and psychological comfort yang berupa ruang bersosialisasi untuk pengguna. 2. Relaxation, merupakan aktivitas yang erat hubungannya dengan psychological comfort. Suasana rileks mudah dicapai jika badan dan pikiran dalam kondisi sehat dan senang. Kondisi ini dapat dibentuk dengan menghadirkan unsur-unsur alam seperti tanaman atau pohon, dan air dengan lokasi yang terpisah atau terhindar dari kebisingan dan hiruk pikuk kendaraan di sekelilingnya. 3. Passive engagement, aktivitas ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Kegiatan pasif dapat dilakukan dengan cara duduk-duduk atau berdiri sambil melihat aktivitas yang terjadi di sekelilingnya atau melihat pemandangan lingkungan sekitar. 26 4. Active engagement, suatu ruang koridor dikatakan berhasil jika dapat mewadahi aktivitas kontak atau interaksi antar anggota masyarakat dengan baik. 5. Discovery, merupakan suatu proses mengelola ruang koridor agar di dalamnya terjadi suatu aktivitas yang tidak monoton dengan memelihara keunikan aktivitas dan ciri khas arsitektural yang terdapat pada koridor sesuai budaya setempat. 2.1.1. Figure Ground Koridor Struktur ruang koridor kawasan dihasilkan oleh komposisi massa bangunan. Menurut Zahnd (2012: 79), penggunaan figure ground menentukan pola bentuk suatu kawasan kota dibentuk oleh hubungan masssa bangunan (building mass) dan ruang terbuka (open space). Kemunduran bangunan dan penonjolan bangunan di dalam tatanan massa pada setiap koridor penggal j al an yan g tergambar dalam bent uk soli d dan void dari peletakan mass a bangunan akan menunjukkan kualitas ruang luar. FIGURE GROUND THEORY Memperhatikan struktur spasial kawasan berdasarkan perbandingan massa dan ruang terbuka. Kawasan kota Gambar 5. Struktur Figure Ground (Sumber: Pengolahan data dari Trancik, 1986: 54) Roger Trancik (1986: 51) menyebutkan bahwa pola massa dalam sebuah koridor adalah suatu figure ground, dapat membantu untuk mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola tata ruang, selain itu juga masalah pembentukan dinding koridor. Figure ground pada suatu koridor dapat digunakan sebagai dasar untuk: 1. Membentuk ruang luar yang mempunyai hirarki. Struktur jalan dan pedestrian merupakan suatu susunan serta tatanan bangunan yang ada mengikuti pola tersebut. 27 2. Merencanakan koridor agar lebih terintegrasi karena terdapat struktur jalan dan ruang fisik yang mempengaruhi orientasi bangunan. 3. Mengupayakan agar terbentuk ruang fisik yang teratur. Figure ground didasarkan atas dua komponen utama, yaitu: 1. Solid (figure) merupakan blok-blok dari massa bangunan (building mass) berupa elemen masif (bangunan) berfungsi sebagai wadah kegiatan manusia. 2. Void (ground) merupakan ruang luar berupa ruang terbuka (open space) yang terbentuk diantara blok-blok tersebut. Elemen void terdiri dari: a. Internal void Adalah ruang terbuka yang berada di dalam lingkup suatu bangunan. Kualitas internal void dipengaruhi oleh konfigurasi bangunan serta keunikan dari fasad interior bangunan yang melingkupinya. b. Eksternal void Merupakan ruang terbuka yang berasal dari luar lingkup bangunan dan bersifat public domain. Kualitas ruang yang ditimbulkan dipengaruhi oleh bentuk dan fasad-fasad bangunan yang melingkupinya, sehingga dapat dikatakan bersifat kontekstual. Gambar 6. Komponen Solid dan Void (Sumber: Pengolahan data dari Trancik, 1986: 57) Kombinasi bentuk solid-void digolongkan dalam beberapa bentuk, yaitu ortogonal atau diagonal (grid), random organic (dibentuk oleh alam), dan bentuk nodal concentric (bentuk ruang linier dengan pusat aktivitas ditengahnya), dengan 6 tipe pola solid-voids yaitu: 28 1. Grid 2. Angular 3. Curvilinear 4. Radial Concentric 5. Axial 6. Organic Gambar 7. Pola Tekstur Solid-Void Koridor (Sumber: Pengolahan data dari Trancik, 1986: 60) 2.1.2. Linkage Visual Koridor Linkage merupakan pendekatan hubungan dari jaring-jaring sirkulasi (network circulation) yang menjadi motor penggerak bentukan kota dan sebagai pengikat serta penyatu berbagai aktivitas kawasan kota. Jaring-jaring tersebut dapat berupa jalan, jalur pedestrian, parkir, bangunan, dan ruang terbuka yang berbentuk linier, maupun bentuk yang secara fisik menjadi penghubung antar bagian kota atau kawasan. Linkage dapat digunakan untuk melihat dinamika suatu kawasan kota dan memperhatikan inti dan arah pertumbuhan kawasan melalui pola pergerakan dan sirkulasi yang memberi image atau citra pada kota tersebut. (Roger Trancik, 1986: 63). Linkage mampu menyatukan bentuk fisik koridor kawasan (urban form), sehingga: 1. Massa-massa bangunan yang terbentuk pada koridor dalam linkage membentuk artikulasi. 2. Sirkulasi yang terjadi memberi image atau citra pada koridor kawasan tersebut. 3. Linkage dapat menggambarkan koridor, menampakkan potensi dan fungsi koridor, dan meningkatkan nilai-nilai ekonomis sepanjang pola linier koridor tersebut. 29 LINKAGE THEORY Memperhatikan sifat dan hubungan fungsi, kegiatan, serta pergerakan. Kawasan Kota Gambar 8. Struktur Linkage (Sumber: Pengolahan data dari Trancik, 1986: 65) Setiap kawasan kota memiliki fragmen koridor yang menjadi penghubung satu dengan yang lainnya. Disinilah peran linkage membantu manusia untuk mengerti fragmen kawasan sebagai bagian dari satu keseluruhan. Terdapat tiga pendekatan linkage kawasan kota, yaitu lingkage visual, linkage struktural, dan lingkage kolektif. Linkage visual terdiri dari lima elemen, yaitu garis (line), koridor (coridor), sisi (edge), sumbu (axis), dan irama (rythm). Setiap elemen memiliki ciri khas atau suasana tertentu, yaitu: 1. Elemen garis menghubungkan secara langsung dua tempat dengan satu deretan massa (bangunan atau pohon) yang memiliki rupa masif, 2. Elemen koridor dibentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau elemen perabot jalan) sehingga membentuk sebuah ruang, 3. Elemen sisi menghubungkan dua kawasan dengan satu deretan massa, namun dibentuk oleh wajah massa yang bersifat masif di belakangnya, 4. Elemen sumbu dibentuk oleh dua deretan massa untuk membentuk sebuah kawasan, 5. Elemen irama menghubungkan dua tempat dengan variasi massa bangunan dan ruang. 30 Gambar 9. Elemen-Elemen Dalam Lingkage Visual (Sumber: Zahnd, 2012: 111) 2.2. Kualitas Visual Fisik Koridor Menurut Bentley (1985: 46), tampilan fisik secara visual dapat merupakan suatu bangunan yang memperlihatkan sisi muka bangunan tersebut. Tampilan visual dapat juga merupakan bentuk sebuah bangunan atau lingkungan yang mampu menghadirkan elemen-elemen yang terkomposisi dengan pola tertentu untuk menghasilkan ekspresi tersendiri. Tampilan visual yang dimaksud adalah tampilan seluruh permukaan bangunan dan elemen-elemen lingkungan yang mampu dinikmati dengan indera penglihatan. Rancangan suatu tempat akan mempengaruhi detail-detail tampilan tempat tersebut dengan membuat orang sadar akan pilihan yang didapatnya, yaitu kualitas visual yang cocok. Orang akan menginterpertasi suatu tempat seperti yang terkandung dalam tempat yang dilihatnya, baik orang tersebut menginginkannya atau tidak. Untuk mendukung tercapainya makna dari interpretasi pengamat, maka harus terdapat ciri-ciri yang mudah dikenali secara visual dari bentukan fisik yang ada Bentley (1985: 48). Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas visual terhadap kualitas fisik koridor adalah (Shirvani, 1985; Moughtin, 1992; Bentley, 1985; Spreiregen, 1965): 1. Skyline Menurut Shirvani (1985: 62), Moughtin (1992: 51), dan Bentley (1985: 49), skyline adalah suatu garis pertemuan antara massa yang 31 berdiri di atas tanah atau garis tanah dengan langit bertemu. Skyline berhubungan erat dengan bentuk dan massa bangunan, setback, ketinggian bangunan, dan kondisi topografinya. Pengamatan mengenai visual tatanan bangunan di sepanjang koridor adalah mengenai pengamatan deretan massa yang menunjukkan garis langit (skyline) dengan membuat bayangan bentuk bangunan pada posisi berderet di salah satu sisi penggal jalan. Pengamatan terhadap skyline akan memberikan gambaran komposisi massa bangunan yang menunjukkan hirarki visual bangunan. Peranan skyline terhadap koridor untuk menentukan kualitas keruangan dan tingkat keutamaan visual terhadap lingkungan. Gambar 10. Skyline Bangunan (Sumber: Moughtin, 1992: 51) 2. Ketinggian bangunan Karakteristik visual antara ketinggian bangunan dengan ruang terbuka terutama ditekankan bentuk skyline kawasan yang dapat memberikan arah keterkaitan bangunan, yaitu antara bangunan tinggi dan rendah, antar bangunan tampak depan dan belakang. Keterkaitan visual akan menjadi pemersatu antara pertumbuhan bangunan baru dengan bangunan yang sudah ada serta mempertahankan karakter koridor maupun kawasan kota. (Shirvani, 1985: 63). 3. Penutupan tapak (site coverege) Penutupan tapak berkaitan dengan pengendalian penempatan dan perletakan bangunan pada tapak sepanjang koridor, dengan tujuan antara lain: a. Mengendalikan kepadatan bangunan, b. Mengendalikan koridor udara dan visual massa, 32 c. Mengatur tata lingkungan dan bangunan, d. Mengatur kapasitas fungsi kegiatan dalam bangunan yang dapat menunjang tapak, dan e. Mengatur dan melindungi kawasan historis kota (Shirvani, 1985: 63). 4. Kepejalan bangunan (Bulk) Kontrol kepejalan untuk menyelesaikan masalah yang terarah pada rancangan yang tepat dan memberikan peningkatan kondisi sirkulasi pergerakan pada jalan-jalan dan ruang terbuka dibawahnya. Selain itu, juga menjamin masuknya sinar matahari dan angin ke jalan dan ruang terbuka dengan mengontrol ketinggian bangunan dan kepejalan bangunan yang dapat mempengaruhi bentuk kota. 5. Keterpaduan (Unity) Menciptakan kesatuan visual dari setiap komponen koridor dan elemen yang berbeda ke organisasi yang terpadu. Karakteristik unity adalah proporsi setiap elemen yang membentuk komposisi massa dan membentuk street picture. 6. Proporsi Proporsi massa tinggi bangunan terhadap posisi pengamat akan menunjukkan kualitas keruangan dari masing-masing posisi pengamat. Bangunan yang memiliki bentuk proporsional yang baik apabila dapat dilihat dari jarak sudut pandang tertentu. Perbandingan antara tinggi bangunan dan jarak antar bangunan adalah sebagai berikut (Spreiregen, 1965: 48): a. D/H = 1, ruang terasa seimbang dalam perbandingan jarak dan tinggi bangunan. b. D/H < 1, ruang terbentuk terlalu sempit sehingga terasa tertekan. c. D/H > 1,2,3, ruang terasa agak besar. d. D/H > 4, pengaruh ruang tidak terasa. 33 Gambar 11. Perbandingan Ruang, Jarak, dan Tinggi Bangunan (Sumber: Spreiregen, 1965: 48) Spreiregen (1965) juga menyatakan apabila orang berdiri dengan: a. D/H =1, cenderung memperhatikan detail dari keseluruhan bangunan. b. D/H =2, cenderung melihat bangunan sebagai komponen keseluruhan bangunan bersama dengan detailnya. c. D/H =3, bangunan dilihat dalam hubungan dengan lingkungan. d. D/H =4, bangunan dilihat sebagai pembatas ke depan saja. 7. Skala Skala adalah suatu kualitas yang menghubungkan elemen bangunan atau ruang dengan kemampuan manusia dalam memahami ruang atau bangunan tersebut. Pada ruang-ruang yang masih dapat dijangkau manusia dapat langsung dikaitkan dengan ukuran manusia, tetapi pada ruang-ruang di luar jangkauan manusia penentuan skala harus didasarkan pada pengamatan visual dengan membandingkan elemen yang berhubungan dengan manusia. Ada dua macam skala, yaitu: a. Skala manusia, perbandingan ukuran elemen atau ruang dengan dimensi tubuh manusia. b. Skala generik, perbandingan elemen bangunan atau ruang terhadap elemen lain yang berhubungan dengan sekitarnya. 34 Gambar 12. Perbandingan Skala Ruang dan Bangunan (Sumber: Spreiregen, 1965: 50) 6. Ritme vertikal dan horisontal Ritme di dalam urban design didapatkan melalui adanya kompoisi dari gubahan massa yang serasi dengan memberikan adanya karakter penekanan, interval atau jarak, dan arah tertentu dari gubahan massa dalam membentuk ruang koridor (Bentley, 1985: 51). 7. Detail dinding (gaya, fasad, bahan, warna, pola, dan tekstur), bentuk atap, jendela, pintu, dan lantai Bentuk dan massa bangunan pada koridor jalan secara langsung akan membentuk suatu hubungan dengan ruang sekitarnya, sementara penempatan bangunan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas ruang luar yang terbentuk (Bentley, 1985: 51). Peranan warna untuk menimbulkan kesan dalam suatu koridor kawasan. Peranan warna dalam menggambarkan suatu tema kawasan adalah dengan peranan warna-warna primer (biru, merah, dan kuning). Warna-warna terang akan memberikan kesan ruang yang lebih luas, sedangkan warna gelap memberikan kesan sempit dan berat (Moughtin, 1992: 49). Menurut Cullen (1975: 62), untuk melihat sistem visual suatu koridor 35 dapat ditentukan melalui: 1. Serial vision Penataan secara visual suatu penggal jalan tertentu atau pemandangan fisik lingkungan dengan menempatkan suatu elemen sebagai vocal point atau kontras tertentu, sehingga menimbulkan dramatisasi dalam suatu deretan visual urut-urutan pemandangan objek fisik. Dengan demikian, pengamat akan merasa terkejut terhadap suatu pandangan urutan peristiwa perjalanan yang terlihat sepotong-sepotong, seolah-olah bergerak, teratur, dan hidup. Apabila diperhatikan ada perubahan dalam arah gerak, variasi bentuk-bentuk yang menonjol, pergeseran letak sedikit ditarik ke dalam, dan memberikan efek 3 dimensi. 2. Place Berkenaan dengan reaksi pengamatan lingkungan terhadap posisi pengamat dalam lingkungannya, sehingga diperoleh situasi yang dramatis dengan indikator posisi, hubungan tempat, dan kontinuitas. Suatu koridor tidak hanya dirasakan sebagai bentuk ruang, tetapi dapat dirasakan sebagai tempat bermakna (place) yang berhubungan dengan reaksi posisi tubuh pengamat berada dalam suatu lingkungan tertentu sesederhana apapun. a. Possesion Perasaan kecocokan pengamat terhadap suatu tempat. Perasaan itu muncul karena pengaruh efek bayangan, rasa terlindung, keramahan, dan kenyamanan dari keberadaan lingkungan disekitarnya. b. Possesion in movement Diciptakan melalui pengalaman saat berjalan memasuki koridor dengan awalan yang pasti dan pengakhiran yang tegas, misal pedestrian way untuk jalur pejalan kaki dan jalur beraspal untuk kendaraan bermotor. c. Focal point Merupakan fokus lingkungan dalam bentuk tegas yang akan memantapkan lingkungan. Focal point menunjukkan suatu objek penting yang menjadi simbol suatu pusat pertemuan. 36 3. Content Berkenaan dengan struktur elemen koridor, berupa muatan atau isi yang terdapat pada koridor kawasan. Hal yang berhubungan dengan content adalah: a. Incident Suatu bagian dari bangunan yang menarik untuk dinikmati dan tidak membosankan, tetapi membutuhkan waktu untuk melihat bagian tersebut. b. Intricacy Ketidakcocokan antara bangunan asli dengan bangunan tambahan yang kontras, sehingga menjadikan suasana ruang mudah diingat dan memiliki identitas tersendiri. c. Intimacy Suatu keintiman elemen fisik lingkungan yang menyebabkan keakraban ruang. d. Occupied Territory Lingkup dari elemen perabot jalan (street furniture) yang dapat memberikan kesan keakraban bagi pengguna. e. Foils Suatu elemen bangunan yang heterogen, tetapi dapat terintegrasi dengan baik. Penggabungan yang kontras antara bangunan lama dengan bangunan baru yang membuat bagian koridor kawasan mudah diinggat pengamat. Pada perinsipnya content terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut : a. Gaya dan bentuk arsitektur, merupakan wajah dari langgam arsitektur atau fasad bangunan yang ada di sekitarnya dan menunjukkan karakter tempat. b. Skala, merupakan perbandingan antara jarak pandang pengamat dengan luas ruang yang dilingkupi oleh bangunan. c. Material dan lay out, merupakan bahan atau material yang digunakan pada elemen fisik ruang serta bentuk lay out ruang yang terjadi. 37 d. Warna, digunakan untuk menutup permukaan dengan warnawarna yang bervariasi sesuai makna yang ingin diungkapkan. e. Tekstur, merupakan bahan yang dipakai untuk melapisi bidang permukaan baik material yang halus maupun yang kasar f. Ragam hias, merupakan elemen ornamen yang berkaitan erat dengan gaya arsitektur tertentu. g. Karakter, merupakan kekhasan aktivitas dengan memperhatikan jenis kegiatan non fisik yang terjadi di dalam ruang fisik menurut fungsinya. 2.3. Identitas Jiwa Tempat (Genius Loci) Place atau tempat merupakan gambaran sesuatu yang ditangkap oleh individu atau kumpulan orang mengenai suatu lokasi (Relph, 1976: 44). Relph menyatakan bahwa kualitas dari sebuah persekitaran tempat adalah kekuatan dari “roh” atau jiwa tempat tersebut untuk dapat menarik perhatian manusia melakukan aktivitas di persekitaran tersebut. Hubungan antara orang dan tempat yang mereka kunjungi atau dengan tempat mereka tinggal dan bekerja, telah dikategorikan oleh para psikolog lingkungan ke dalam tiga bentuk (Martin and Storr, 2009: 43), yaitu: 1. Place attachment Perasaan atau ikatan yang dirasakan seseorang terhadap suatu tempat. 2. Place identity Bagian dari identitas yang ditangkap seseorang yang menjelaskan hubungan orang tersebut dengan suatu tempat. 3. Place dependence Perasaan puas terhadap suatu tempat. Place identity merupakan hal yang sangat penting dalam suatu kawasan. Place identity menghadirkan sense of place yang memiliki kekuatan dan bahkan nilai magis untuk mempengaruhi manusia. Manusia menerima dan menangkap arti suatu tempat fisik dalam berbagai bentuk penerimaan, sehingga mampu mengungkapkan pentingnya keberadaan sense of place suatu tempat. 38 Menurut Norberg-Schulz (1980: 53) dan Garnham (1985: 45), jiwa tempat (spirit of place) merupakan kekuatan nonfisik yang mampu membentuk kesan dalam kota, sehingga untuk mempertahankan dan memelihara identitas dan makna tempat (sense of place) suatu kawasan perlu diidentifikasi tentang citra, karakter, dan makna tempat tersebut. Spirit of place tersebut dapat timbul oleh atributatribut yang berdasar pada aspek-aspek lingkungan alamiah buatan seperti: bentuk lahan dan topografi, vegetasi, iklim dan air, ekspresi budaya (seperti jembatan, koridor jalan, dan bangunan), serta wujud-wujud akibat sejarah sosial dan tempat sebagai artefak budaya karena pengalaman batin atau interaksi visualisasi antara budaya dan kondisi lingkungan. Jiwa tempat juga dicerminkan dari wujud bangunan dan lingkungan dari bagian kawasan tersebut, sehingga koridor sebagai unsur penting pembentuk kawasan kota memiliki jiwa tempat. Aspek lokalitas menjadi sesuatu yang sangat menonjol, apabila hal tersebut mengandung keunikan atau karakteristik yang tidak ada duanya di tempat lain. Komponen-komponen keunikan atau karakteristik yang dapat dipotensikan sebagai jiwa tempat dapat ditemukan pada tiga hal (Garnham, 1985: 47), yaitu: 1. Pada keistimewaan fisik, karakteristik lingkungan, dan tampilan kawasan, seperti struktur atau keindahan lingkungan dan bangunan. 2. Aktifitas dan fungsi-fungsi lokal yang unik, menyangkut pula bagaimana interaksi antara manusia dan tempat, bangunan dan lingkungan, dan sistem budaya masyarakat. 3. Makna atau simbolisme, yang menyangkut banyak aspek dan sangat kompleks, seperti wujud bangunan atau lingkungan yang muncul karena interaksinya dengan budaya masyarakat atau karena aspek fungsional. Citra sebuah kawasan kota adalah gambaran pertama yang sangat kuat tentang rasa tempat yang dimiliki bagian kawasan kota tersebut dan tidak dimiliki oleh tempat lain. Citra tersebut dapat terdiri dari berbagai aspek, yaitu: 1. Citra dapat terbentuk melalui struktur permukiman dengan legenda sejarahnya. 39 2. Citra dapat terbentuk melalui bentukan arsitektur bangunan dengan ekspresi komponen pendukung dan lingkungannya, seperti bentuk koridor jalan. 3. Citra juga dapat terbentuk dari bentuk jalan dan bangunan sekitarnya dalam keseluruhan tata ruang kawasan atau wilayah kota. Sebuah ruang (space) dibentuk menjadi tempat (place) jika memiliki ciri khas karakter dan suasana tertentu yang berarti bagi lingkungannya. Karakter tersebut ditunjukkan dengan kualitas fisik tempat yang dapat menimbulkan image atau citra yang cukup kuat terhadap tempat tersebut. Kualitas fisik tempat tersebut adalah (Lynch, 1960: 39-43): 1. Imageability Kualitas secara fisik suatu obyek yang memberikan kemampuan besar untuk timbulnya image atau citra dan kesan yang kuat yang diterima orang. Image ditekankan pada kualitas fisik suatu koridor atau lingkungan yang menghubungkan atribut identitas dengan strukturnya. Kualitas imageability dipengaruhi oleh 5 elemen pembentuk wajah koridor kawasan kota (Lynch dalam Zahnd, 2012: 158), yaitu: a. Path (jalur) Adalah elemen paling penting dalam citra kawasan kota. Jika identitas elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan orang meragukan citra kota secara keseluruhan. Path merupakan rute-rute sirkulasi yang biasanya digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yaitu koridor jalan, gang-gang utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran, dan sebagainya. Path memiliki identitas yang lebik baik apabila memiliki tujuan yang besar (misalnya ke stasiun, tugu, alun-alun, dan lain-lain), serta ada penampakan yang kuat (misalnya fasad, pohon, dan lain-lain), atau ada belokan yang jelas. Gambar 13. Path (Sumber: Zahnd, 2012: 157) 40 b. Edge (tepian) Adalah elemen linier yang tidak dipakai atau dilihat sebagai path. Edge berada pada batas antara dua kawasan tertentu dan berfungsi sebagai pemutus linear, misalnya pantai, dinding, batasan antara lintasan kereta api, topografi, dan sebagainya. Edge lebih bersifat sebagai refrensi daripada misalnya elemen sumbu yang bersifat koordinasi (linkage). Edge merupakan pengakhiran dari sebuah district atau batasan sebuah district dengan yang lainnya. Edge memiliki identitas yang lebih baik jika kontinuitas tampak jelas batasnya. Demikian pula fungsi batasnya harus jelas: membagi atau menyatukan. Gambar 14. Edge (Sumber: Zahnd, 2012: 157) c. Node (simpul) Adalah simpul atau lingkaran daerah strategis dengan arah atau aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas lain, misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, kota secara keseluruhan dalam skala makro besar, pasar, taman, square, dan sebagainya. Namun, tidak setiap persimpangan jalan adalah sebuah node. Yang menentukan adalah citra place terhadapnya. Node adalah satu tempat di mana orang mempunyai perasaan “masuk” dan “keluar” dalam tempat yang sama. Node mempunyai identitas yang lebih baik jika tempatnya memiliki bentuk yang jelas (karena lebih mudah diingat), serta tampilan berbeda dari lingkungannya (fungsi dan bentuk). Biasanya bangunan yang berada pada simpul tersebut sering dirancang secara khusus untuk memberikan citra tertentu atau identitas ruang. Node merupakan suatu pusat kegiatan 41 fungsional pada suatu pusat inti (core region) agar penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidup semuanya bertumpu di node. Gambar 15. Node (Sumber: Zahnd, 2012: 157) d. District (kawasan) Adalah kawasan-kawasan kota dalam skala dua dimensi. Sebuah kawasan district memiliki ciri khas yang mirip (bentuk, pola, dan wujudnya) dan khas pula dalam batasnya, sehingga orang merasa harus mengakhiri atau memulainya. District dalam kota dapat dilihat sebagai refrensi interior maupun eksterior. District mempunyai identitas yang lebih baik jika batasnya dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen, serta fungsi dan posisinya jelas (introver/ekstrover atau berdiri sendiri atau dikaitkan dengan yang lain). Suatu daerah yang memiliki ciri-ciri yang hampir sama dan memberikan citra yang sama. Distrik yang ada dipusat kota berupa kawasan komersial yang didominasi oleh kegiatan ekonomi. Kawasan pusat kegiatan yang hidup dinamis tetapi gejala spesialisasinya semakin terlihat. Proses perubahan yang cepat terjadi pada kawasan ini sangat sering sekali mengancam keberadaan bangunan-bangunan tua yang bernilai historis tinggi. Gambar 16. District (Sumber: Zahnd, 2012: 157) 42 e. Landmark (tengeran) Adalah salah satu unsur yang turut memperkaya ruang kota. Bangunan yang memberikan citra tertentu, sehingga mudah dikenal dan diingat dan dapat juga memberikan orientasi bagi orang dan kendaraan untuk bersirkulasi. Landmark merupakan ciri khas terhadap suatu wilayah sehingga mudah dalam mengenal orientasi daerah tersebut oleh pengunjung. Landmark merupakan citra suatu kota yang memberikan suatu kesan terhadap kota tersebut. Landmark merupakan titik refrensi seperti elemen node, tetapi orang tidak masuk ke dalamnya karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota, misalnya gunung atau bukit, gedung tinggi, menara, tanda tinggi, tempat ibadah, pohon tinggi, dan sebagainya. Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang untuk mengorientasikan diri di dalam kota dan membantu orang mengenali suatu daerah. Landmark mempunyai identitas yang lebih baik jika bentuknya jelas dan unik dalam lingkungannya, dan ada sekuens dari beberapa landmark (merasa nyaman dalam orientasi), serta ada perbedaan skala masingmasing. Gambar 17. Landmark (Sumber: Zahnd, 2012: 157) 2. Legibillity Sebuah kejelasan atau kemampuan emosional suatu tempat yang dibaca atau dikenali secara jelas oleh warga kotanya, seperti mengenai 43 distrik, landmark atau jalur jalannya, dan bisa langsung dilihat pola keseluruhannya. Imageability dan legibillity diperkuat oleh tiga komponen sebagai berikut (Lynch, 1960: 44): 1. Identitas (identity) Adalah identifikasi terhadap suatu obyek, yang mampu membedakan dengan obyek lainnya. Identitas dapat menjelaskan image atau citra bentuk fisik dan menjelaskan posisi atau letak dari obyek fisik tertentu. 2. Struktur (structure) Struktur menjelaskan bahwa di dalam image kawasan juga mengandung pengertian ruang atau pola hubungan dari pengamat dengan suatu obyek tertentu serta kaitannya dengan obyek lainnya. 3. Makna (meaning) Suatu obyek harus memiliki makna bagi pengamat baik secara fungsi maupun emosi, serta dapat menjelaskan adanya perbedaan makna ruang dan pola hubungannya. Sehingga, identitas tempat (place identity), jiwa tempat, dan citra (image) merupakan satu aspek dari genius loci. 2.4. Hubungan Budaya, Arsitektur, dan Tempat (Place) Manusia, kebudayaan, dan lingkungan merupakan satu kesatuan hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan binaan yang dijembatani oleh polapola kebudayaan yang dimiliki manusia (Parsudi Suparlan, 1996:112). Lingkungan binaan, selain berupa lingkungan alam juga berupa lingkungan sosiobudaya. Karena itu konsep manusia harus dipahami sebagai makhluk yang bersifat bio-sosio budaya. Sehubungan dengan itu, maka manusia, kebudayaan, dan lingkungan merupakan tiga faktor yang saling berhubungan secara integral. Arsitektur adalah ruang tempat hidup manusia untuk berlindung, bekerja, dan berbudaya (definisi konsepsional) (Rapoport, 2005: 51). Kata arsitektur meliputi semua ruang yang terjadi karena dibuat oleh manusia. Pada prinsipnya 44 jelas bahwa arsitektur terdiri dari unsur-unsur budaya dan ruang bermukim yang merupakan satuan strategi adaptif untuk bertahan hidup berhubungan dengan ekologi dan sumber daya lingkungan. Dengan demikian, budaya diadaptasi oleh suatu kelompok masyarakat di dalam pengaturan ekologis mereka, yang kemudian disandikan dalam suatu kondisi ruang bermukim ideal yang berlanjut pada generasi berikutnya. Hal tersebut akan mendorong ke arah pola hidup dan cara bertindak tertentu untuk ditranformasikan pada perancangan dan pengaturan lingkungan terbangun secara khas dengan alasan tertentu (Rapoport, 2005: 54). Gambar 18. Letak Arsitektur Dalam Kebudayaan (Sumber: Amos Rapoport, 1977: 17) Menurut Rapoport (2005: 97) dan Tjahjono ( 1990: 112), tempat (place) sebagai identitas, aktivitas, dan hunian manusia menunjukkan keadaan spesifik masing-masing bentuk lingkungan terbangun yang berhubungan dengan ciri fisik, fungsi, aktivitas, hubungan, dan letak atau posisi. Faktor sosial budaya merupakan faktor penentu perwujudan tempat (place), sementara faktor iklim, konstruksi, bahan, dan teknologi hanya sebagai faktor pengaruh. Sehingga, Suatu karya arsitektur pada lingkungan terbangun merupakan wujud penerapan hasil nilai keyakinan, tradisi, tata aturan, perilaku, dan sikap manusia dalam rangka memenuhi hasrat ruang sebagai tempat identitas dan aktivitas mereka. Orientasi lingkungan terbangun dapat diekspresikan dengan aspek fisik bangunan maupun aspek non fisik, yaitu: 1. Aspek fisik, meliputi, bentuk massa, wajah, pola ruang, dimensi, fungsi, pemanfaatan, dan lain-lain. 45 2. Aspek non fisik, meliputi perilaku, pola aktivitas, dan lain-lain. Dalam membahas arsitektur lingkungan terbangun, terdapat tiga aspek yang sangat terkait di dalamnya, yakni content, container, dan context, yaitu: 1. Content menyangkut isi, yaitu manusia sebagai penghuni dengan segala aktivitas dan kebudayaannya. 2. Container menyangkut wadah, bentuk fisik, lingkungan binaan atau bangunan yang mewadahi kegiatan manusia tersebut. 3. Context menyangkut tempat, lingkungan alam tempat wadah dan isinya berada. Perubahan diantara ketiganya akan menyebabkan berubah pula yang lain (Sardjono, 2011: 90). 2.5. Pecinan Di Indonesia 2.5.1. Ekonomi, Sosial, dan Budaya Hampir seluruh kota di Indonesia memiliki kawasan tua Pecinan dengan fungsi sebagai kawasan sentra pemukiman, perdagangan, dan kebudayaan bagi aktivitas etnis Tionghoa. Sejak abad ke-11 telah terjadi migrasi masyarakat Tionghoa dari daratan China menuju Indonesia, terutama ke Pulau Jawa. Kebanyakan imigran-imigran China yang datang ke Indonesia berasal dari mayoritas suku Hokkian dan Hakka di propinsi-propinsi China bagian Selatan, seperti Fukien (Fukian), Chekian, Kiang Si (Guangsi), dan Kwang Tung (Guangdong). Propinsi-propinsi tersebut mempunyai tingkat kemakmuran yang rendah, hasil pertanian mereka sering gagal karena sering terkena bencana alam, dan adanya peluang untuk membuka usaha di tanah Jawa (Lilananda 1998:9). Pada awalnya mereka datang untuk kegiatan berdagang. Namun, karena ketertarikan dengan kondisi geografi yang subur dan masyarakatnya yang plural, sesuai berjalannya waktu masyarakat Tionghoa ini tinggal menetap di pulau Jawa. Interaksi antara masyarakat Tionghoa dengan penduduk asli tidak saja menghadirkan kawin campur atau asimilasi antara orang Tionghoa dengan penduduk lokal, tetapi juga memunculkan kebudayaan baru sebagai campuran kebudayaan penduduk asli dengan kebudayaan Tionghoa, maupun dengan kebudayaan Kolonial Belanda ketika menjajah Indonesia. Hal tersebut juga terjadi 46 pada arsitektur lingkungan terbangun tempat mereka bermukim yang melahirkan arsitektur khas yang hanya dimiliki di Indonesia, yaitu arsitektur Pecinan Indonesia (Widodo dalam Peter J. M. Nas, 2007: 82). Menurut Budiman (1979: 48-52), aktivitas sosial dan budaya yang terjadi di Pecinan adalah: 1. Ekonomi dan Perdagangan Masyarakat Tionghoa dikenal memiliki kemampuan berdagang yang ulet dan rajin, serta didorong oleh hubungan perdagangan yang luas dan keinginan untuk mendapatkan kehidupan ekonomi atau kesejahteraan yang lebih baik. Pada masa kolonial Belanda, komoditi yang diperdagangkan terutama adalah aneka hasil bumi atau hasil pertanian, hasil tambang, khususnya emas, dan batu-batu mulia, serta aneka bahan-bahan bangunan. Saat ini, hampir seluruh komoditas perdagangan dipegang oleh masyarakat Tionghoa. Akibat dari dominasi usaha perdagangan oleh masyarakat Tionghoa, hampir di semua kota-kota pusat perdagangan lama identik dengan kawasan Pecinan. 3. Sistem Kepercayaan Kehidupan masyarakat Tionghoa erat kaitannya dengan kepercayaan mereka. Selain identik dengan perdagangan, agama dan kepercayaan masyarakat Tionghoa merupakan unsur yang tidak lepas dari keberadaan mereka. Dalam kehidupan orang China, ada tiga ajaran yang mereka pahami yaitu Taoisme, Konfusianisme, dan Budha. Pada dasarnya pandangan berfikir mereka selalu mengembalikan hakekat keharrnonisan antara kehidupan “langit” (alam gaib) dan kehidupan di “bumi” (alam dunia nyata). Dalam pandangan orang China, kehidupan ini adalah perwujudan dari pasangan unsur baik dan buruk yang sifatnya relatif atau nisbi. Kedua sifat tersebut diungkapkan sebagai dualisme “yin” dan “yang”. “Yin” adalah adalah simbol dari sifat perempuan, bulan, arah utara, dingin, gelap atau malam, dan segala yang bersifat pasif. Sebaliknya “Yang” adalah sifat laki-laki, matahari, arah selatan, panas, cahaya, dan 47 segala sesuatu yang bersifat aktif. Kedua sifat ini melekat di. alam semesta (makrokosmos) maupun pada diri manusia yang dipercaya sebagai unsur mikrokosmos dari alam semesta. Sebaliknya, sebagai unsur mikro maka manusia harus menyelaraskan dirinya dengan sifat bumi (yin) dan langit (yang). Keselarasan ritme ini disebut "Tao". Ketenteraman dan kesejahteraan termasuk kesehatan akan dapat dicapai jika ada "Tao" atau harmoni antara “yin” dan “yang”. Bagi masyarakat China, membangun permukiman juga harus dilakukan dengan memperhatikan aspek "Tao" ini. Pengetahuan akan petunjuk-petunjuk yang sesuai dengan unsur “yin” dan “yang” untuk menjaga keseimbangan harmonisasi hidup manusia dan energi alam dinamakan Fengshui. Ilmu Feng Shui menitikberatkan pada aliran angin dan air sebagai dua zat yang memiliki kesamaan, yaitu keduanya sama-sama bergerak mengalir, untuk memberikan "Sheng Chi" (energi alam yang baik). Prinsip Fengshui adalah pada: "bersandar pada gunung melihat ke lautan" atau "duduk di gunung menghadap ke lautan" yang dikaitkan dengan perumpamaan atau simbolis binatang, antara lain Kura-Kura Hitam (gunung atau angin, aktif, Utara), Burung Merak Merah atau Hong (laut atau air, pasif, Selatan), Naga Hijau (Yang), dan Macan Putih (Yin), dengan konfigurasi gunung (berada di belakang), lembah (sebagai tempat perletakan rumah yang, menghadap ke arah sungai secara frontal), dan aliran sungai (berada di depan) sebagai konfigurasi bentuk Naga (berada di kiri) dan Macan (berada di kanan). Sementara itu, ajaran Konfusianisme mengajarkan cara mengatur hidup manusia dan negara, serta menghormati dan menghargai diri sendiri mupun sesama untuk mencapai kebahagiaan dan ketenangan hidup. 4. Tradisi Budaya Penyelenggaraan hari-hari raya masyarakat Tionghoa merupakan tradisi yang sudah turun-temurun. Biasanya klenteng dan koridor jalan di kawasan Pecinan merupakan pusat kegiatan tradisi adat dan keagamaan yang banyak dikunjungi penganutnya maupun wisatawan 48 pada hari-hari raya tersebut. Tradisi masyarakat Tionghoa meliputi hari raya keagamaan maupun tradisi seni, seperti Barongsai, Wayang Potehi, Teater Mandarin, dan lain-lain. Ada beberapa hari raya besar yang dikenal masyarakat Tionghoa Indonesia, yaitu: a. Sin Chia, yaitu peringatan tahun baru Imlek dirayakan setiap tanggal 1 Imlek. b. Ceng Beng atau Ching Ming, yaitu upacara membersihkan kuburan dan sembahyang terhadap nenek moyang dirayakan setiap tanggal 3 bulan 3 tahun Imlek. c. Cit Gwee, yaitu sembahyang untuk para arwah yang tidak disembahyangkan oleh sanak saudara yang masih hidup di dunia atau Do Ko dilakukan setiap tanggal 15 bulan 7 tahun Imlek. d. Tsop Go Meh atau Goan Siao atau Teng Chieh, yaitu upacara pawai lentera sebagai tanda penutup tahun baru dilakukan pada hari ke-15 bulan pertama. e. Peh Lun atau Phe Cun atau Toan Yang atau pesta naga dilakukan pada bulan ke-5. f. Pesta Bulan, yaitu upacara penghormatan Dewi Bulan dilakukan pada hari ke-15 bulan purnama. 5. Seni, Bahasa, dan Sastra Pengaruh budaya China dalam bidang seni dan sastra cukup kuat mempengaruhi kesenian dan tata satra yang dimiliki masyarakat lokal, sehingga pada beberapa kasus ditemukan adanya asimilasi yang memunculkan bentuk kesenian dan satra baru bernuansa lokal dan China. Kehadiran sejumlah besar pendatang berbahasa China juga mengantarkan asimilasi pada pemakaian kata-kata atau istilah dialek China dengan bahasa penduduk lokal, sehingga menghasilkan dialek tertentu yang tidak dimiliki oleh tempat lain. 49 2.5.2. Pola Kawasan Pecinan Menurut Pratiwo (2010: 10 dan 52), permukiman sebagian besar orang Tionghoa di pulau Jawa membentuk koloni kecil di pinggiran jalur sungai dan sisanya di pinggir pantai. Mereka menjadikan koloni ini sebagai pusat permukiman dan perdagangan. Permukiman Tionghoa (Pecinan) banyak terdapat di jalur sungai karena sungai dijadikan sarana transportasi perdagangan barang komoditas masyarakat Tionghoa dan masyarakat lain maupun kawasan satu dengan kawasan yang lain. Adanya perluasan wilayah permukiman karena bertambahnya jumlah masyarakat Tionghoa dan kebutuhan ruang berdagang menyebabkan permukiman Pecinan menyebar menjauhi sisi sungai. Permukiman kawasan Pecinan membentuk blok-blok bangunan yang setiap blok bangunan dipisahkan oleh jaringan jalan utama dan gang-gang berbentuk rectilinier grid dengan lansekap membujur dari Utara, Selatan, Barat dan Timur. Pola ini membentuk sejumlah blok besar bangunan menurut jaringan jalan dan beberapa blok kecil menurut jalur gang di dalam kawasan Pecinan. Jalan utama atau primer adalah jalan masuk kawasan, sedangkan jalan kecil atau gang (sekunder) adalah pemisah dan penghubung sirkulasi antara blok-blok bangunan. Elemen utama yang berada dalam blok kawasan adalah klenteng atau permukiman. Konsekuensinya jalan sekunder sering terputus di tikungan atau jalan sempit, sehingga tempat jalan berakhir (jalan buntu). Gambar 19. Pola Kawasan Pecinan Rectilinier Grid (Sumber: Kautsary, 2008: 53). 50 Bangunan permukiman, perdagangan, dan pergudangan yang berdekatan dengan sungai memiliki jalan transisi sebagai transportasi dari jalur sungai ke permukiman untuk manusia dan barang. Jalan utama kawasan berfungsi sebagai pasar dan perdagangan (market place). Pada bagian ruang kawasan yang lebih kecil aktivitas komersial terpusat di sebagian kecil dari jalan-jalan konektor, sedangkan pada kawasan yang lebih besar (district) digunakan untuk aktivitas komersial yang intensif. Setiap jenis aktivitas komersial terkumpul pada sebuah jalan dan mengelompok sesuai dengan jenis usaha atau perdagangan spesifik atau kawasan bisnis (businness districts) (Kautsary, 2008:55). Pola blok bangunan dan jaringan jalan seperti ini, merupakan organisasi ruang kota The Jian yang diadaptasi masyarakat Tionghoa dari China daratan (Kohl dalam Pratiwo, 2010: 53). Secara garis besar blok-blok bangunan di kawasan tua Pecinan dapat dibedakan menurut fungsi dan jenis bangunannya, yaitu: 1. Fungsi budaya dan agama, jenis bangunannya klenteng, vihara, dan ruang koridor jalan. 2. Fungsi rumah pribadi, jenis bangunannya rumah hunian 1 lantai dan 2 lantai, rumah abu, dan rumah perkumpulan marga. 3. Fungsi hunian dan usaha (perdagangan dan jasa), jenis bangunannya rumah toko (lantai 1 untuk usaha dan lantai 2 untuk hunian), pergudangan, dan ruang berdagang di depan bangunan pada koridor jalan. 4. Fungsi penanda kawasan, jenis bangunannya gerbang atau gapura, oranamen patung, dan lampu jalan khas Pecinan. 5. Fungsi hiburan, jenis bangunannya berupa teater pertunjukkan dan rumah makan. Pembagian ini terkadang sulit dibedakan secara tegas, karena terkadang terdapat beberapa bangunan yang berfungsi umum, tetapi juga berfungsi pribadi, misalnya bangunan ibadah dan rumah abu. Bangunan ibadah yang berfungsi untuk pribadi hanya dapat digunakan kerabat dekat atau satu marga (Lilananda, 1998: 36). 51 2.5.3. Arsitektur Bangunan Kawasan Pecinan Dalam suatu lingkup kawasan Pecinan, arsitektur Pecinan Indonesia merupakan hasil asimilasi dari arsitektur lokalitas di Indonesia dengan budaya arsitektur China bagian Selatan. Setelah bangsa Belanda masuk ke Indonesia terjadi perpaduan keduanya dengan arsitektur Barat. Sehingga dapat dikatakan bahwa, arsitektur Pecinan dibangun dan diadaptasikan dengan budaya setempat dan situasi lingkungan tempat tinggalnya (Widodo dalam Peter J. M. Nas, 2009: 83). Tipologi eksterior dan bentuk fasad arsitektur Pecinan ada yang masih mempertahankan tradisi budaya China atau hasil asimilasi dengan gaya bangunan dan ornamen arsitektur Barat maupun lokal, sehingga tercipta tipologi arsitektur Pecinan yang unik. Bangunan yang masih mempertahankan tradisi China, pada elemen-elemen pintu, jendela, ventilasi, dan tiang memiliki unsur ornamen hias China berdasarkan geomansi atau kepercayaan Fengshui atau tanpa dekorasi sama sekali. Bangunan ini menggunakan material utama batu bata, kayu, dan genting tanah liat. Sementara arsitektur Pecinan yang terpengaruh arsitektur Barat, maka unsur Neo Klasik, Art Nouveau, dan Art Deco melengkapi sebagian bentuk elemen arsitektur, terutama pada tiang-tiang teras depan bergaya kolonial, Doric, dan Ionic, maupun pintu jendela dengan ornamen Barat. Hanya bangunan rumah ibadah seperti klenteng dan vihara, atau rumah abu sangat mempertahankan bentuk arsitektur dan ornamen China daratan. (Pratiwo dalam Peter J. M. Nas, 2009: 101). Bangunan Pecinan yang masih murni terlihat pada peletakan pintu dan jendela pada fasad depan. Pintu utama terletak di tengah sumbu dinding depan dan diapit oleh dua jendela di sisi kiri maupun kanan dengan jumlah yang sama. Organisasi bentuk fasad dan pembagian ruang dalam bangunan Pecinan menggunakan unit-unit standarisasi China pola Axial-Planning yang tersusun secara grid teratur, mengikuti sumbu simetri, dan tegas. Hal ini tidak berlaku bagi bangunan Pecinan yang sudah terpengaruh oleh gaya arsitektur lain, seperti kolonial Belanda atau Eropa (Pratiwo dalam Peter J. M. Nas, 2009: 94). 52 Gambar 20. Pola Axial-Planning Fasad, Bentuk, dan Koridor Bangunan (Sumber: Liu, 1989) Kekhasan eksterior arsitektur bangunan Pecinan tua di Indonesia dapat ditemukan paling mudah pada bentuk atap dengan ornamen dekorasi yang dipadu kepercayaan Fengshui. Bentuk atap yang paling banyak digunakan pada bangunan-bangunan Pecinan Indonesia adalah atap model pelana berstruktur dinding atau Ngang shan ti dan atap pelana berstruktur penopang atap gantung atau Hsuan shan. Gambar 21. Bentuk Atap Bangunan Pecinan (Sumber: Kohl, 1984) Pada bentuk atap yang masih mempertahankan tradisi China, pada setiap ujung bubungan atap bangunan terdapat ornamen ekor walet atau sepasang kucing merangkak pada rumah toko. Ornamen ini menyimbolkan kemakmuran bagi masyarakat Tionghoa. Sementara pada bangunan Pecinan yang terpengaruh atap arsitektur Barat, pada bagian fasad depan atap terdapat atap miring atau pitched roof dengan ornamen khas Eropa pada parapetnya (parapet = tembok bergerigi di tepi atap bagian fasad depan). Di sini terjadi peniruan arsitektur Barat dengan 53 menggunakan parapet gaya Eropa, namun menyisakan gaya China pada bagian atap yang lain. Gambar 22. Ornamen Ujung Bubungan Atap Bangunan Pecinan (Sumber: Kohl, 1984) Perpaduan Pecinan dengan Eropa dengan ornamen parapet pada atap Bangunan Pecinan Gambar 23. Bentuk Bangunan Pecinan (Sumber: Kohl, 1984) Pada saat kolonial Belanda membangun hunian bagi warga Belanda, maka beberapa komunitas Tionghoa akan mengikuti pola perumahan warga Belanda, yaitu bangunan hunian gandeng menerus dengan atau tanpa lantai bertingkat, dengan ukuran lebar rumah yang menghadap ke kanal atau jalan antara 5-8 meter. Bangunan rumah semacam ini disebut dengan tipe stads wooningen atau rumah kota. Pola ini kemudian berkembang menjadi pola bangunan rumah-toko yang terdapat di Pecinan (Widayati, 2004:32). Selain itu, bentuk tembok yang tebal, plafon yang tinggi, lantai marmer, dan beranda depan dan belakang yang luas juga menandakan adanya gaya Eropa dalam bangunan di Kawasan Pecinan. Rumah toko dan rumah tinggal (terdiri dari satu lantai, dua lantai dengan teras atau balkon, atau dua lantai tanpa teras dan atau balkon) sangat mendominasi 54 wajah kawasan Pecinan, terutama pada koridor jalan. Bangunan ini memiliki lebar tampak depan yang sempit, namun denah rumah sangat panjang kebelakang. Kedua tipe bangunan dibangun bersebelahan dengan tembok dan atap secara bersama antara rumah satu dengan yang lain, sehingga tampak berderet memanjang. Bentuk ruang luar sepanjang jalan permukiman sangat dipengaruhi oleh ornamen China, seperti bentuk lampu jalan atau lampion, ornamen jalan, dan patung-patung khas China (Pratiwo, 2010: 85). Meskipun wajah bangunan di Pecinan memiliki tipe Pecinan murni atau perpaduan dengan gaya arsitektur lain, namun untuk tipologi denah interior bangunan tetap. Bangunan Pecinan selalu memiliki halaman dalam (courtyard) yang terletak di bagian tengah sebagai ruang bersosialisasi dan menerima cahaya. Lantai dasar hunian terdiri atas enam zona spasial, yaitu zona teras, zona tempat berdagang, zona tempat duduk, zona tempat tidur, zona halaman dalam (courtyard), dan zona halaman. Jalur sirkulasi sempit dari bagian depan rumah ke belakang berada di sepanjang salah satu satu sisi tepi bangunan (Widodo dalam Peter J. M. Nas, 2009: 85). 2.5.4. Ragam Hias dan Ornamen Utama Permukiman Pecinan umumnya dilengkapi dengan ragam hias sebagai elemen dari detail estetika setiap bangunan. Kebanyakan bentuk ukir-ukiran kayu, gambar hiasan, porselen yang berwarna dan bergambar terdapat pada bagian bagian dari bangunan. Ukir-ukiran kayu umumnya dapat dijumpai pada struktur konstruksi struktur penopang atap, balustrade tangga, pagar balkon, bagian dari kusen pintu jendela, konsol-konsol tembok atau kayu, dan ujung sopi-sopi bangunan. Dekorasi ragam hias sebagai detail ornamen dijumpai pula pada dinding tembok, plafond dan kolom. Juga sering dijumpai kaligrafi pada dinding diatas pintu, selain gambar-gambar dari ragam hias yang umumnya digambarkan dalam bentuk tumbuh-tumbuhan (pohon, bunga, buah), binatang dewa sebagai simbol (naga, barong atau chilin, burung phoenix, singa, dan lain-lain), binatang (ikan, bangau, rusa, gajah dan lain-lain). 55 Unsur dekorasi atau detail estetika umumnya mempunyai makna atau simbol terutama pada bangunan-bangunan yang masih asli dipengaruhi oleh arsitektur China. Namun, bangunan berarsitektur China yang telah banyak dipengaruhi oleh beberapa gaya kolonial, Doric, Ionic, Jawa atau lainnya seringkali memberikan ekspresi yang tidak bermakna. Hal tersebut dipengaruhi oleh keinginan dari pemilik rumah tersebut untuk menunjukkan status sosialnya. Ragam hias Pecinan terpenting sebagai perlambang kemakmuran dan perlindungan adalah: 1. Penolak bala Pa Kua adalah hiasan yang terletak di pintu-pintu utama berfungsi sebagai pengetuk pintu (seperti rumah-rumah kuno pada umumnya). Benda ini berbentuk segi delapan, Pa Kua menggambarkan empat penjuru mata angin dan empat penjuru sekundernya. Pa Kua dianggap mempunyai kekuatan mengusir roh jahat dan pengaruh buruk yang merupakan ancaman bagi seisi rumah. Pa Kua di pintu-pintu utama terbuat dari besi yang dicat warna emas. Selain pada pintu bentuk segi delapan ini juga dipakai untuk bak pohon di taman courtyard utama. Gambar 24. Pa Kua Sebagai Hiasan Pengetuk Pintu (Sumber: Zu Youyi, tanpa tahun) 2. Jamur Linchi Hiasan ini terdapat pada penutup pintu masuk utama (menjadi bagian pada ornamen Pa Kua dan menghiasi tambahan di bagian atas kuda-kuda. Selain itu hiasan tersebut terdapat pula di panel-panel pintu. Jamur ini melambangkan umur yang panjang. 56 Gambar 25. Jamur Linchi Pada Panel Pintu (Sumber: Zu Youyi, tanpa tahun) 3. Buku, papan catur, kecapi dan, gulungan kertas Ragam hias yang terdapat pada balok di bawah kuda-kuda (skylight) dan teras depan ini melambangkan bahwa pemilik rumah adalah seorang cendekiawan dan kaya raya. 4. Makhluk surgawi 1. Naga Hiasan ini terdapat pada kuda-kuda (menghadap ke Utara dan Selatan), panel-panel di atas pintu ruang-ruang sembahyang. Hiasan Naga pada kuda-kuda berupa ukiran tiga dimensi yang bermotif abstrak yang disebut Liong, sedangkan pada panel-panel pintu berupa ukiran dua dimensi engan bentuk Naga sebenarnya yang dicat dengan warna emas. Gambar 26. Naga Pada Atap Teras (Sumber: Zu Youyi, tanpa tahun) 2. Burung Hong (Burung Phoenix) Sebagai simbol dewa api, burung ini melambangkan kesuburan dan mulainya kehidupan baru. 57 Gambar 27. Hong Pada Ukiran dan Motif Dinding (Sumber: Zu Youyi, tanpa tahun) 2.5.5. Penggunaan Warna Penggunaan warna pada arsitektur Pecinan juga sangat penting karena jenis warna tertentu melambangkan hal tertentu pula. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan Fengshui yang berkaitan dengan energi baik (Chi) dan energi buruk (Sha). Prinsip dasar komposisi warna adalah harmonisasi energi yang mendukung keindahan arsitekturnya. Umumnya warna yang dipakai adalah warna primer, seperti kuning, biru, putih, merah dan hitam yang selalu dikaitkan dengan unsur-unsur alam, seperti air, kayu, api, logam dan tanah. Pada bagian bangunan, penggunaan warna digunakan untuk: 1. Putih dan biru dipakai untuk teras, 2. Merah dan kuning untuk kolom dan bangunan, dan 3. Biru dan hijau untuk balok, siku penyangga, dan atap. Warna-warna memberikan arti tersendiri dalam penerapannya untuk mendapatkan energi baik (Chi) menurut letak kawasan dan arah hadap bangunan, yaitu warna biru dan hijau berada di posisi Timur dan memberikan arti kedamaian dan keabadian. Warna merah berada di Selatan memberikan arti kebahagiaan dan nasib baik, sedangkan warna kuning melambangkan kekuatan, kekayaan, dan kekuasaan. Putih berada di Barat dengan arti penderitaan (duka cita) dan kedamaian. Hitam berada di Utara yang melambangkan kerusakan. Warna-warna tersebut juga mendatangkan keberuntungan kemakmuran, di antaranya: 1. Warna merah yang melambangkan kebahagiaan, 2. Warna kuning juga melambangkan kebahagiaan dan warna kemuliaan, dan 58 3. Warna hijau melambangkan kesejahteraan, kesehatan, dan keharmonisan, 4. Warna putih melambangkan kematian dan berduka cita, 5. Warna hitam merupakan warna netral dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, 6. Warna biru gelap juga merupakan warna berduka cita. 2.6. Karakteristik Pola Arsitektur China Karakteristik dasar pola arsitektur China kuno merupakan aturan baku standarisasi tata ruang, bentuk, dan peletakan elemen fasad bangunan yang digunakan hingga saat ini, seperti yang diuraikan oleh G. Liu (1989: 93-102) dan Gin Djin Su (1964: 41-98) yaitu: 1. Organisasi ruang (spatial organization) Organisasi ruang pada arsitektur China didasarkan pada kebutuhan hidup sehari hari yang dipadukan dengan persyaratan-persyaratan estetika yang dianut masyarakat China, seperti yang tampak pada pembentukkan unit-unit standarisasi yang digunakan untuk membentuk ruang-ruang interior, eksterior, pembagian irama pada elemen fasad (pintu, jendela, ornamen, ragam hias, dan penonjolan struktur), dan bentuk bangunan. Organisasi ruang sebagai pembentuk visual dan dimensi ruang tersusun secara teratur dan mengikuti pola konstruksi grid a-a-a-a, a-b-a-b, atau b-ab-a. 2. The Jian Jian adalah unit dari organisasi ruang. Pengorganisasian ruang pada arsitektur klasik Cina adalah sangat sederhana. Konsep dasarnya meliputi penggunaan Jian, atau bay room, sebagai standar unit dan dapat dikembangkan atau dibuat secara berulang menjadi suatu massa bangunan atau beberapa kelompok bangunan. Jian adalah sebuah ruang persegi empat atau suatu ruang yang diberi pembatas dinding atau hanya dibatasi oleh kolom sehingga secara psikologis juga membentuk sebuah ruang. Jian juga dapat ditambahkan untuk membentuk suatu ruang (hall) atau ting dengan menggunakan unit 59 standar sepanjang sumbu longitudinal (berulang memanjang secara menerus) dan sumbu horisontal. Sumbu-sumbu yang panjang dapat digunakan untuk menghubungkan ruang-ruang (hall) untuk membentuk suatu kelompok bangunan bahkan sebuah kota. Kadang-kadang ruangruang (hall) dikelompokkan di sekeliling courtyard untuk menghasilkan kombinasi bangunan yang berbeda. Pada umumnya ting memiliki bay (jian atau bay room) pada kelipatan ganjil dan bertujuan untuk menghasilkan bentang lebar agar dapat memberikan penekanan pada sumbu longitudinal. Aksis/sumbu yang seringkali hadir pada sebuah Jian adalah 3x6 meter, tetapi setelah Dinasti Tang standard bentang ini diperluas. Ruang-ruang pada bangunan penting seperti istana dan kuil menggunakan bentang 5 sampai 10 meter untuk satu ruang (hall) (bukan hanya tiga meter). Gambar 28. Organisasi Ruang 4 Pilar Dengan Jian Ganjil (Sumber: Liu, 1989) Jian dapat digunakan untuk berbagai maksud. Sebuah ruang (hall) dapat menjadi ruang tamu, kantor, ruang belajar, tempat sembahyang, dan lain-lain. Pada kompleks yang luas, walaupun ini difungsikan sebagai ruang tinggal ataupun ruang doa atau meja abu, bentuk ruang yang terjadi selalu sama. Walaupun dua hall terpisah dan masing-masing berdiri sendiri, kedua hall tersebut selalu dihubungkan dengan serambi beratap atau jalur pejalan yang beratap (koridor). 3. Axial Planning Karakteristik berikut dari arsitektur China klasik adalah bentuk struktur yang simetri dan orthogonal pada tampak, denah, dan potongan bangunan, yang membagi bangunan menjadi bidang proporsional dan 60 teratur. Hal ini merupakan sumber dari kosmologi China. Pada Arsitektur China, hall dan courtyard ditempatkan sepanjang suatu axis longitudinal atau suatu jalan setapak (path) pada susunan orthogonal. Ruang-ruang tersebut terpisah satu dengan lainnya dengan adanya courtyard yang pada akhirnya dianggap sebagai ruang utama dalam komposisi secara keseluruhan daripada hanya sekedar bangunan penghubung yaitu: a. Sumbu longitudinal adalah sumbu utama sedangkan sumbu horisontal adalah sumbu sekunder. b. Ada kalanya dalam suatu komposisi hanya ada satu sumbu atau tidak ada sumbu sama sekali. Kedua aturan di atas adalah hal yang utama pada pengaturan lansekap dan taman. 2.7. Teori Konservasi Urban Heritage Konservasi merupakan istilah induk dari semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan internasional yang telah dirumuskan dalam Piagam Burra tahun 1981 (Sidharta dan Budihardjo, 1989: 10). Dalam Piagam Burra atau dengan nama lengkap bernama Icomos Charter for the Conservation of Places of Cultural Significance (The Burra Charter, 1981), termuat definisi: Conservation means all the processes of looking after a place so as to retain its cultural significance. It includes maintenance and may according circumstance include preservation, restoration, reconstruction and adaption and will be commonly a combination of more than one of these. Atau dengan kata lain: Konservasi berarti semua proses untuk memelihara suatu tempat dengan sedemikian rupa untuk menjaga makna kulturalnya. Di dalamnya termasuk memelihara sesuai dengan keadaannya meliputi preservasi, restorasi, rekonstruksi dan adaptasi dan bisa juga berupa kombinasi dari beberapa hal tersebut. Menurut UU Republik Indonesia No.11 Tahun 2010 Bab 7, pemeliharaan atau konservasi adalah upaya menjaga dan merawat bangunan, struktur, maupun 61 situs kawasan Cagar Budaya dan bernilai sejarah untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan akibat pengaruh alam dan atau perbuatan manusia, dengan pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tata letak, gaya, bahan dan atau teknologi Cagar Budaya. Konservasi merupakan induk kegiatan memelihara dan melindungi tempat-tempat yang berharga dan bersejarah sebagai aset kota yang mewakili periode jaman atau kawasan tertentu agar tidak hancur atau berubah sampai batasbatas yang wajar. Konservasi menekankan pada penggunaan kembali bangunan lama agar tidak terlantar dengan cara menghidupkan kembali fungsi lama atau dengan mengubah fungsi bangunan lama dengan fungsi baru yang dibutuhkan. 2.7.1. Ragam Konservasi Pelestarian pusaka kota (urban heritage) melalui pendekatan konservasi dapat dilakukan melalui beberapa pilihan cara, yaitu: 1. Preservasi Preservasi (dalam konteks yang luas) adalah kegiatan pemeliharaan bentukan fisik suatu tempat dalam kondisi existing dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses kerusakan, sedangkan preservasi (dalam konteks yang terbatas) adalah pelestarian suatu tempat persis seperti keadaan aslinya saat ditemukan tanpa adanya upaya perubahan atau bagian dari perawatan dan pemeliharaan yang intinya adalah mempertahankan keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan cagar budaya agar keandalan kelaikan fungsinya terjaga baik. 2. Restorasi atau rehabilitasi Adalah mengembalikan suatu tempat pada keadaaan semula dengan menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen semula tanpa menggunakan bahan baru. 3. Rekonstruksi Adalah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan memperbaiki bangunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana alam, bencana lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karena 62 salah satu sebab yang darurat, dengan menggunakan bahan yang tersisa atau terselamatkan, dengan penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan tersebut laik fungsi dan memenuhi persyaratan teknis. Proses rekonstruksi dilakukan dengan mengembalikan suatu tempat semirip mungkin dengan keadaan semula, dengan cara menggunakan bahan lama maupun bahan baru (bisa dikombinasikan). 4. Konsolidasi Adalah kegiatan pemugaran yang menitikberatkan pada pekerjaan memperkuat, memperkokoh struktur yang rusak atau melemah secara umum agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi dan bangunan tetap laik fungsi. Konsolidasi bangunan dapat juga disebut dengan istilah stabilisasi kalau bagian struktur yang rusak atau melemah bersifat membahayakan terhadap kekuatan struktur. 5. Revitalisasi atau adaptasi Adalah pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai tambah yang optimal secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam pemanfaatan bangunan dan lingkungan cagar budaya dengan memasukan beberapa unsur karakter budaya yang membentuknya. Revitalisasi kawasan kota lama merupakan usaha untuk mencegah hilangnya aset-aset kota yang bernilai sejarah karena kawasan tersebut mengalami penurunan produktivitas. 6. Pemugaran Adalah kegiatan memperbaiki atau memulihkan kembali bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya ke bentuk aslinya dan dapat mencakup pekerjaan perbaikan struktur yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, historis dan teknis. Kegiatan pemulihan arsitektur bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang disamping perbaikan kondisi fisiknya juga demi pemanfaatannya secara fungsional yang memenuhi persyaratan keandalan bangunan. 7. Demolisi Adalah penghancuran atau perombakan suatu bangunan yang sudah rusak atau membahayakan bagi keselamatan lingkungan dan manusia.