BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Koridor Menurut Moughtin (1992

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Koridor
Menurut Moughtin (1992: 41), suatu koridor biasanya pada sisi kiri
kanannya telah ditumbuhi bangunan-bangunan yang berderet memanjang di
sepanjang ruas jalan tersebut. Keberadaan bangunan-bangunan tersebut secara
langsung maupun tidak langsung akan menampilkan kualitas fisik ruang pada
lingkungan tersebut. Sedangkan Zahnd (2012: 110), menyebutkan bahwa
koridor dibentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau pohon) yang
membentuk sebuah ruang untuk menghubungkan dua kawasan atau wilayah
kota secara netral. Dengan kata lain, koridor merupakan ruang berupa plasa, jalan
atau lorong memanjang yang terbentuk oleh deretan bangunan, pohon, atau
perabot jalan untuk menghubungkan dua kawasan dan menampilkan kualitas
fisik ruang tersebut.
Spesifikasi dan karakteristik fisik dan non fisik pada suatu koridor jalan
sangat besar pengaruhnya dalam menentukan wajah dan bentuk koridor itu
sendiri. Keberadaan suatu koridor sebagai pembentuk arsitektur kawasan kota
tidak akan lepas dari elemen-elemen pembentuk citra koridor tersebut (Krier,
1979: 61), yaitu:
1. Wujud bangunan
Merupakan wajah atau tampak dan bentuk bangunan yang ada di
sepanjang koridor. Wajah dan bentuk bangunan tersebut merupakan tapak
keseluruhan dari suatu koridor yang mampu mewujudkan identitas dan
citra arsitektur suatu kawasan.
2. Figure ground
Merupakan hubungan penggunaan lahan untuk massa bangunan
dan ruang terbuka. Struktur tata ruang kota menurut Trancik (1986: 101)
terdiri dari dua elemen pokok, yaitu massa bangunan kawasan (urban
solid) dan ruang terbuka kawasan (urban void). Kedua elemen tersebut
24
membentuk pola padat rongga ruang kota yang memperlihatkan struktur
ruang kawasan kota dengan jelas.
3. Street and Pedestrian ways
Merupakan jalur jalan pergerakan kendaraan dan bagi pejalan kaki
yang dilengkapi dengan parkir, elemen perabot jalan (street furniture), tata
tanda (signage), dan pengaturan vegetasi sehingga mampu menyatu
terhadap lingkungan. Koridor jalan dan jalur pejalan kaki merupakan
ruang pergerakan linear sebagai sarana sirkulasi dan aktivitas manusia
dengan skala padat.
Selain itu, koridor jalan untuk kendaraan mempunyai kontribusi yang
besar bagi pergerakan dan bentuk traffic dalam suatu kawasan (Bishop, 1989:92).
Menurut Bishop (1989:93), terdapat dua macam urban koridor, yaitu :
1. Koridor komersial
Bentuk koridor ini dimulai dari area-area komersial menuju pusat
urban berupa kompleks bangunan perkantoran dan pusat-pusat pelayanan
jasa perdagangan yang terbentuk di sepanjang koridor, disertai kondisi
aktivitas padat. Koridor komersial termasuk di dalamnya memiliki jalur
pejalan kaki untuk aktivitas dan pergerakan manusia dan jalan untuk
transportasi kendaraan utama yang melewati kawasan kota.
2. Scenic koridor
Bentuk koridor ini kurang umum jika dibandingkan dengan koridor
komersial
di
kawasan
perkotaan.
Scenic
koridor
memberikan
pemandangan alam natural yang unik dan melalui pengalaman rekreasi
bagi pengendara kendaraan saat mereka melewati jalan tersebut. Walaupun
scenic koridor kebanyakan terdapat di area pedesaan, beberapa komunitas
masyarakat mengenali keunikan bentuk koridor ini karena memberikan
kesempatan pemandangan yang menarik selama perjalanan dengan
kendaraan.
Jumlah, ukuran, dan kondisi dari koridor - koridor yang penting akan
bervariasi tergantung dari komunitas ruang yang membentuknya. Pemeliharaan
25
dari keberadaan koridor akan memecahkan beberapa problem utama kecepatan
pertumbuhan suatu kawasan.
Koridor sebagai ruang aktivitas manusia, pergerakan (sirkulasi) manusia
dan transportasi, dan parkir memiliki dua pengaruh langsung pada kualitas
lingkungan, yaitu kelangsungan aktivitas komersil dan kualitas visual yang kuat
terhadap struktur dan bentuk fisik kota. Ruang fisik yang terbentuk pada jalur
koridor ini terbentuk oleh skala atau perbandingan dari elemen pembentuknya,
yaitu lebar jalan, panjang jalan, bentuk pedestrian, ketinggian elemen vertikal
bangunan, bentuk massa dan fasad bangunan, dan fungsi kegiatan yang terjadi
(Moughtin,1992: 42).
Menurut Carr, et al. dalam Carmona, dkk. (2003: 88), bentuk fisik koridor
dapat berperan secara baik jika mengandung unsur comfort, relaxation, passive
angagement, active angagement, dan discovery, yaitu:
1. Comfort, merupakan salah satu syarat mutlak keberhasilan ruang fisik
koridor. Lama seseorang beraktivitas berada dapat dijadikan tolok ukur
comfortable (tingkat kenyamanan) suatu koridor. Dalam hal ini
kenyamanan koridor antara lain dipengaruhi oleh: environmental comfort
yang berupa perlindungan dari pengaruh alam seperti sinar matahari dan
angin; physical comfort yang berupa ketersediaan fasilitas penunjang yang
cukup seperti tempat duduk; social and psychological comfort yang berupa
ruang bersosialisasi untuk pengguna.
2. Relaxation,
merupakan
aktivitas
yang erat hubungannya dengan
psychological comfort. Suasana rileks mudah dicapai jika badan dan
pikiran dalam kondisi sehat dan senang. Kondisi ini dapat dibentuk dengan
menghadirkan unsur-unsur alam seperti tanaman atau pohon, dan air
dengan lokasi yang terpisah atau terhindar dari kebisingan dan hiruk pikuk
kendaraan di sekelilingnya.
3. Passive engagement, aktivitas ini sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungannya. Kegiatan pasif dapat dilakukan dengan cara duduk-duduk
atau berdiri sambil melihat aktivitas yang terjadi di sekelilingnya atau
melihat pemandangan lingkungan sekitar.
26
4. Active engagement, suatu ruang koridor dikatakan berhasil jika dapat
mewadahi aktivitas kontak atau interaksi antar anggota masyarakat dengan
baik.
5. Discovery, merupakan suatu proses mengelola ruang koridor agar di
dalamnya terjadi suatu aktivitas yang tidak monoton dengan memelihara
keunikan aktivitas dan ciri khas arsitektural yang terdapat pada koridor
sesuai budaya setempat.
2.1.1. Figure Ground Koridor
Struktur ruang koridor kawasan dihasilkan oleh komposisi massa
bangunan. Menurut Zahnd (2012: 79), penggunaan figure ground menentukan
pola bentuk suatu kawasan kota dibentuk oleh hubungan masssa bangunan
(building mass) dan ruang terbuka (open space). Kemunduran bangunan dan
penonjolan bangunan di dalam tatanan massa pada setiap koridor penggal j al an
yan g tergambar dalam bent uk soli d dan void dari peletakan mass a
bangunan akan menunjukkan kualitas ruang luar.
FIGURE GROUND
THEORY
Memperhatikan struktur
spasial kawasan
berdasarkan perbandingan
massa dan ruang terbuka.
Kawasan kota
Gambar 5. Struktur Figure Ground
(Sumber: Pengolahan data dari Trancik, 1986: 54)
Roger Trancik (1986: 51) menyebutkan bahwa pola massa dalam sebuah
koridor adalah suatu figure ground, dapat membantu untuk mengidentifikasikan
sebuah tekstur dan pola tata ruang, selain itu juga masalah pembentukan dinding
koridor. Figure ground pada suatu koridor dapat digunakan sebagai dasar untuk:
1. Membentuk ruang luar yang mempunyai hirarki. Struktur jalan dan
pedestrian merupakan suatu susunan serta tatanan bangunan yang ada
mengikuti pola tersebut.
27
2. Merencanakan koridor agar lebih terintegrasi karena terdapat struktur jalan
dan ruang fisik yang mempengaruhi orientasi bangunan.
3. Mengupayakan agar terbentuk ruang fisik yang teratur.
Figure ground didasarkan atas dua komponen utama, yaitu:
1. Solid (figure) merupakan blok-blok dari massa bangunan (building mass)
berupa elemen masif (bangunan) berfungsi sebagai wadah kegiatan
manusia.
2. Void (ground) merupakan ruang luar berupa ruang terbuka (open space)
yang terbentuk diantara blok-blok tersebut. Elemen void terdiri dari:
a. Internal void
Adalah ruang terbuka yang berada di dalam lingkup suatu bangunan.
Kualitas internal void dipengaruhi oleh konfigurasi bangunan serta
keunikan dari fasad interior bangunan yang melingkupinya.
b. Eksternal void
Merupakan ruang terbuka yang berasal dari luar lingkup bangunan
dan bersifat public domain. Kualitas ruang yang ditimbulkan
dipengaruhi
oleh
bentuk
dan
fasad-fasad
bangunan
yang
melingkupinya, sehingga dapat dikatakan bersifat kontekstual.
Gambar 6. Komponen Solid dan Void
(Sumber: Pengolahan data dari Trancik, 1986: 57)
Kombinasi bentuk solid-void digolongkan dalam beberapa bentuk,
yaitu ortogonal atau diagonal (grid), random organic (dibentuk oleh alam), dan
bentuk nodal concentric (bentuk ruang linier dengan pusat aktivitas ditengahnya),
dengan 6 tipe pola solid-voids yaitu:
28
1. Grid
2. Angular
3. Curvilinear
4. Radial Concentric
5. Axial
6. Organic
Gambar 7. Pola Tekstur Solid-Void Koridor
(Sumber: Pengolahan data dari Trancik, 1986: 60)
2.1.2. Linkage Visual Koridor
Linkage merupakan pendekatan hubungan dari jaring-jaring sirkulasi
(network circulation) yang menjadi motor penggerak bentukan kota dan sebagai
pengikat serta penyatu berbagai aktivitas kawasan kota. Jaring-jaring tersebut
dapat berupa jalan, jalur pedestrian, parkir, bangunan, dan ruang terbuka yang
berbentuk linier, maupun bentuk yang secara fisik menjadi penghubung antar
bagian kota atau kawasan. Linkage dapat digunakan untuk melihat dinamika suatu
kawasan kota dan memperhatikan inti dan arah pertumbuhan kawasan melalui
pola pergerakan dan sirkulasi yang memberi image atau citra pada kota tersebut.
(Roger Trancik, 1986: 63).
Linkage mampu menyatukan bentuk fisik koridor kawasan (urban form),
sehingga:
1. Massa-massa bangunan yang terbentuk pada koridor dalam linkage
membentuk artikulasi.
2. Sirkulasi yang terjadi memberi image atau citra pada koridor kawasan
tersebut.
3. Linkage dapat menggambarkan koridor, menampakkan potensi dan fungsi
koridor, dan meningkatkan nilai-nilai ekonomis sepanjang pola linier
koridor tersebut.
29
LINKAGE THEORY
Memperhatikan sifat dan
hubungan fungsi,
kegiatan, serta
pergerakan.
Kawasan Kota
Gambar 8. Struktur Linkage
(Sumber: Pengolahan data dari Trancik, 1986: 65)
Setiap kawasan kota memiliki fragmen koridor yang menjadi penghubung
satu dengan yang lainnya. Disinilah peran linkage membantu manusia untuk
mengerti fragmen kawasan sebagai bagian dari satu keseluruhan. Terdapat tiga
pendekatan linkage kawasan kota, yaitu lingkage visual, linkage struktural, dan
lingkage kolektif.
Linkage visual terdiri dari lima elemen, yaitu garis (line), koridor
(coridor), sisi (edge), sumbu (axis), dan irama (rythm). Setiap elemen memiliki
ciri khas atau suasana tertentu, yaitu:
1. Elemen garis menghubungkan secara langsung dua tempat dengan satu
deretan massa (bangunan atau pohon) yang memiliki rupa masif,
2. Elemen koridor dibentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau elemen
perabot jalan) sehingga membentuk sebuah ruang,
3. Elemen sisi menghubungkan dua kawasan dengan satu deretan massa,
namun dibentuk oleh wajah massa yang bersifat masif di belakangnya,
4. Elemen sumbu dibentuk oleh dua deretan massa untuk membentuk sebuah
kawasan,
5. Elemen irama menghubungkan dua tempat dengan variasi massa bangunan
dan ruang.
30
Gambar 9. Elemen-Elemen Dalam Lingkage Visual
(Sumber: Zahnd, 2012: 111)
2.2. Kualitas Visual Fisik Koridor
Menurut Bentley (1985: 46), tampilan fisik secara visual dapat merupakan
suatu bangunan yang memperlihatkan sisi muka bangunan tersebut. Tampilan
visual dapat juga merupakan bentuk sebuah bangunan atau lingkungan yang
mampu menghadirkan elemen-elemen yang terkomposisi dengan pola tertentu
untuk menghasilkan ekspresi tersendiri. Tampilan visual yang dimaksud adalah
tampilan seluruh permukaan bangunan dan elemen-elemen lingkungan yang
mampu dinikmati dengan indera penglihatan.
Rancangan suatu tempat akan mempengaruhi detail-detail tampilan tempat
tersebut dengan membuat orang sadar akan pilihan yang didapatnya, yaitu kualitas
visual yang cocok. Orang akan menginterpertasi suatu tempat seperti yang
terkandung dalam tempat yang dilihatnya, baik orang tersebut menginginkannya
atau tidak. Untuk mendukung tercapainya makna dari interpretasi pengamat, maka
harus terdapat ciri-ciri yang mudah dikenali secara visual dari bentukan fisik yang
ada Bentley (1985: 48).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas visual terhadap kualitas fisik
koridor adalah (Shirvani, 1985; Moughtin, 1992; Bentley, 1985; Spreiregen,
1965):
1. Skyline
Menurut Shirvani (1985: 62), Moughtin (1992: 51), dan Bentley
(1985: 49), skyline adalah suatu garis pertemuan antara massa yang
31
berdiri di atas tanah atau garis tanah dengan langit bertemu. Skyline
berhubungan erat dengan bentuk dan massa bangunan, setback,
ketinggian bangunan, dan kondisi topografinya.
Pengamatan mengenai visual tatanan bangunan di sepanjang
koridor adalah mengenai pengamatan deretan massa yang menunjukkan
garis langit (skyline) dengan membuat bayangan bentuk bangunan
pada posisi berderet di salah satu sisi penggal jalan. Pengamatan
terhadap skyline akan memberikan gambaran komposisi massa
bangunan yang menunjukkan hirarki visual bangunan. Peranan skyline
terhadap koridor untuk menentukan kualitas keruangan dan
tingkat keutamaan visual terhadap lingkungan.
Gambar 10. Skyline Bangunan
(Sumber: Moughtin, 1992: 51)
2. Ketinggian bangunan
Karakteristik visual antara ketinggian bangunan dengan
ruang terbuka terutama ditekankan bentuk skyline kawasan yang dapat
memberikan arah keterkaitan bangunan, yaitu antara bangunan tinggi dan
rendah, antar bangunan tampak depan dan belakang. Keterkaitan visual
akan menjadi pemersatu antara pertumbuhan bangunan baru
dengan bangunan yang sudah ada serta mempertahankan karakter
koridor maupun kawasan kota. (Shirvani, 1985: 63).
3. Penutupan tapak (site coverege)
Penutupan tapak berkaitan dengan pengendalian penempatan dan
perletakan bangunan pada tapak sepanjang koridor, dengan tujuan antara
lain:
a. Mengendalikan kepadatan bangunan,
b. Mengendalikan koridor udara dan visual massa,
32
c. Mengatur tata lingkungan dan bangunan,
d. Mengatur kapasitas fungsi kegiatan dalam bangunan yang
dapat menunjang tapak, dan
e. Mengatur dan melindungi kawasan historis kota (Shirvani, 1985: 63).
4. Kepejalan bangunan (Bulk)
Kontrol kepejalan untuk menyelesaikan masalah yang terarah pada
rancangan yang tepat dan memberikan peningkatan kondisi sirkulasi
pergerakan pada jalan-jalan dan ruang terbuka dibawahnya. Selain itu,
juga menjamin masuknya sinar matahari dan angin ke jalan dan ruang
terbuka dengan mengontrol ketinggian bangunan dan kepejalan
bangunan yang dapat mempengaruhi bentuk kota.
5. Keterpaduan (Unity)
Menciptakan kesatuan visual dari setiap komponen koridor dan
elemen yang berbeda ke organisasi yang terpadu. Karakteristik unity
adalah proporsi setiap elemen yang membentuk komposisi massa dan
membentuk street picture.
6. Proporsi
Proporsi massa tinggi bangunan terhadap posisi pengamat akan
menunjukkan kualitas keruangan dari masing-masing posisi pengamat.
Bangunan yang memiliki bentuk proporsional yang baik apabila dapat
dilihat dari jarak sudut pandang tertentu.
Perbandingan antara tinggi bangunan dan jarak antar bangunan
adalah sebagai berikut (Spreiregen, 1965: 48):
a. D/H = 1, ruang terasa seimbang dalam perbandingan jarak dan
tinggi bangunan.
b. D/H < 1, ruang terbentuk terlalu sempit sehingga terasa tertekan.
c. D/H > 1,2,3, ruang terasa agak besar.
d. D/H > 4, pengaruh ruang tidak terasa.
33
Gambar 11. Perbandingan Ruang, Jarak, dan Tinggi Bangunan
(Sumber: Spreiregen, 1965: 48)
Spreiregen (1965) juga menyatakan apabila orang berdiri dengan:
a. D/H =1, cenderung memperhatikan detail dari keseluruhan bangunan.
b. D/H =2, cenderung melihat bangunan sebagai komponen keseluruhan
bangunan bersama dengan detailnya.
c. D/H =3, bangunan dilihat dalam hubungan dengan lingkungan.
d. D/H =4, bangunan dilihat sebagai pembatas ke depan saja.
7. Skala
Skala adalah suatu kualitas yang menghubungkan elemen
bangunan atau ruang dengan kemampuan manusia dalam memahami
ruang atau bangunan tersebut. Pada ruang-ruang yang masih dapat
dijangkau manusia dapat langsung dikaitkan dengan ukuran manusia,
tetapi pada ruang-ruang di luar jangkauan manusia penentuan skala
harus didasarkan pada pengamatan visual dengan membandingkan elemen
yang berhubungan dengan manusia.
Ada dua macam skala, yaitu:
a. Skala manusia, perbandingan ukuran elemen atau ruang dengan
dimensi tubuh manusia.
b. Skala generik, perbandingan elemen bangunan atau ruang terhadap
elemen lain yang berhubungan dengan sekitarnya.
34
Gambar 12. Perbandingan Skala Ruang dan Bangunan
(Sumber: Spreiregen, 1965: 50)
6. Ritme vertikal dan horisontal
Ritme di dalam urban design didapatkan melalui adanya kompoisi
dari gubahan massa yang serasi dengan memberikan adanya karakter
penekanan, interval atau jarak, dan arah tertentu dari gubahan massa
dalam membentuk ruang koridor (Bentley, 1985: 51).
7. Detail dinding (gaya, fasad, bahan, warna, pola, dan tekstur), bentuk atap,
jendela, pintu, dan lantai
Bentuk dan massa bangunan pada koridor jalan secara langsung
akan membentuk suatu hubungan dengan ruang sekitarnya, sementara
penempatan
bangunan
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
mempengaruhi kualitas ruang luar yang terbentuk (Bentley, 1985:
51).
Peranan warna untuk menimbulkan kesan dalam suatu koridor
kawasan. Peranan warna dalam menggambarkan suatu tema
kawasan adalah dengan peranan warna-warna primer (biru, merah,
dan kuning). Warna-warna terang akan memberikan kesan ruang
yang lebih luas, sedangkan warna gelap memberikan kesan sempit
dan berat (Moughtin, 1992: 49).
Menurut Cullen (1975: 62), untuk melihat sistem visual suatu koridor
35
dapat ditentukan melalui:
1. Serial vision
Penataan secara visual suatu penggal jalan tertentu atau
pemandangan fisik lingkungan dengan menempatkan suatu elemen
sebagai vocal point atau kontras tertentu, sehingga menimbulkan
dramatisasi dalam suatu deretan visual urut-urutan pemandangan objek
fisik. Dengan demikian, pengamat akan merasa terkejut terhadap suatu
pandangan urutan peristiwa perjalanan yang terlihat sepotong-sepotong,
seolah-olah bergerak, teratur, dan hidup. Apabila diperhatikan ada
perubahan dalam arah gerak, variasi bentuk-bentuk yang menonjol,
pergeseran letak sedikit ditarik ke dalam, dan memberikan efek 3 dimensi.
2. Place
Berkenaan dengan reaksi pengamatan lingkungan terhadap posisi
pengamat dalam lingkungannya, sehingga diperoleh situasi yang dramatis
dengan indikator posisi, hubungan tempat, dan kontinuitas. Suatu koridor
tidak hanya dirasakan sebagai bentuk ruang, tetapi dapat dirasakan sebagai
tempat bermakna (place) yang berhubungan dengan reaksi posisi tubuh
pengamat berada dalam suatu lingkungan tertentu sesederhana apapun.
a. Possesion
Perasaan kecocokan pengamat terhadap suatu tempat. Perasaan itu
muncul karena pengaruh efek bayangan, rasa terlindung, keramahan,
dan kenyamanan dari keberadaan lingkungan disekitarnya.
b. Possesion in movement
Diciptakan melalui pengalaman saat berjalan memasuki koridor
dengan awalan yang pasti dan pengakhiran yang tegas, misal
pedestrian way untuk jalur pejalan kaki dan jalur beraspal untuk
kendaraan bermotor.
c. Focal point
Merupakan fokus lingkungan dalam bentuk tegas yang akan
memantapkan lingkungan. Focal point menunjukkan suatu objek
penting yang menjadi simbol suatu pusat pertemuan.
36
3. Content
Berkenaan dengan struktur elemen koridor, berupa muatan
atau
isi
yang
terdapat
pada
koridor
kawasan.
Hal
yang
berhubungan dengan content adalah:
a. Incident
Suatu bagian dari bangunan yang menarik untuk dinikmati dan
tidak membosankan, tetapi membutuhkan waktu untuk melihat
bagian tersebut.
b. Intricacy
Ketidakcocokan
antara
bangunan
asli
dengan
bangunan
tambahan yang kontras, sehingga menjadikan suasana ruang
mudah diingat dan memiliki identitas tersendiri.
c. Intimacy
Suatu keintiman elemen fisik lingkungan yang menyebabkan
keakraban ruang.
d. Occupied Territory
Lingkup dari elemen perabot jalan (street furniture) yang
dapat memberikan kesan keakraban bagi pengguna.
e. Foils
Suatu
elemen
bangunan
yang
heterogen,
tetapi
dapat
terintegrasi dengan baik. Penggabungan yang kontras antara
bangunan lama dengan bangunan baru yang membuat bagian
koridor kawasan mudah diinggat pengamat.
Pada perinsipnya content terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :
a. Gaya dan bentuk arsitektur, merupakan wajah dari langgam
arsitektur atau fasad bangunan yang ada di sekitarnya dan
menunjukkan karakter tempat.
b. Skala, merupakan perbandingan antara jarak pandang pengamat
dengan luas ruang yang dilingkupi oleh bangunan.
c. Material dan lay out, merupakan bahan atau material yang digunakan
pada elemen fisik ruang serta bentuk lay out ruang yang terjadi.
37
d. Warna, digunakan untuk menutup permukaan dengan warnawarna yang bervariasi sesuai makna yang ingin diungkapkan.
e. Tekstur, merupakan bahan yang dipakai untuk melapisi bidang
permukaan baik material yang halus maupun yang kasar
f. Ragam hias, merupakan elemen ornamen yang berkaitan erat dengan
gaya arsitektur tertentu.
g. Karakter, merupakan kekhasan aktivitas dengan memperhatikan
jenis kegiatan non fisik yang terjadi di dalam ruang fisik menurut
fungsinya.
2.3. Identitas Jiwa Tempat (Genius Loci)
Place atau tempat merupakan gambaran sesuatu yang ditangkap oleh
individu atau kumpulan orang mengenai suatu lokasi (Relph, 1976: 44). Relph
menyatakan bahwa kualitas dari sebuah persekitaran tempat adalah kekuatan dari
“roh” atau jiwa tempat tersebut untuk dapat menarik perhatian manusia
melakukan aktivitas di persekitaran tersebut.
Hubungan antara orang dan tempat yang mereka kunjungi atau dengan
tempat mereka tinggal dan bekerja, telah dikategorikan oleh para psikolog
lingkungan ke dalam tiga bentuk (Martin and Storr, 2009: 43), yaitu:
1. Place attachment
Perasaan atau ikatan yang dirasakan seseorang terhadap suatu tempat.
2. Place identity
Bagian dari identitas yang ditangkap seseorang yang menjelaskan
hubungan orang tersebut dengan suatu tempat.
3. Place dependence
Perasaan puas terhadap suatu tempat.
Place identity merupakan hal yang sangat penting dalam suatu kawasan.
Place identity menghadirkan sense of place yang memiliki kekuatan dan bahkan
nilai magis untuk mempengaruhi manusia. Manusia menerima dan menangkap
arti suatu tempat fisik dalam berbagai bentuk penerimaan, sehingga mampu
mengungkapkan pentingnya keberadaan sense of place suatu tempat.
38
Menurut Norberg-Schulz (1980: 53) dan Garnham (1985: 45), jiwa tempat
(spirit of place) merupakan kekuatan nonfisik yang mampu membentuk kesan
dalam kota, sehingga untuk mempertahankan dan memelihara identitas dan makna
tempat (sense of place) suatu kawasan perlu diidentifikasi tentang citra, karakter,
dan makna tempat tersebut. Spirit of place tersebut dapat timbul oleh atributatribut yang berdasar pada aspek-aspek lingkungan alamiah buatan seperti: bentuk
lahan dan topografi, vegetasi, iklim dan air, ekspresi budaya (seperti jembatan,
koridor jalan, dan bangunan), serta wujud-wujud akibat sejarah sosial dan tempat
sebagai artefak budaya karena pengalaman batin atau interaksi visualisasi antara
budaya dan kondisi lingkungan.
Jiwa tempat juga dicerminkan dari wujud bangunan dan lingkungan dari
bagian kawasan tersebut, sehingga koridor sebagai unsur penting pembentuk
kawasan kota memiliki jiwa tempat. Aspek lokalitas menjadi sesuatu yang sangat
menonjol, apabila hal tersebut mengandung keunikan atau karakteristik yang tidak
ada duanya di tempat lain. Komponen-komponen keunikan atau karakteristik yang
dapat dipotensikan sebagai jiwa tempat dapat ditemukan pada tiga hal (Garnham,
1985: 47), yaitu:
1. Pada keistimewaan fisik, karakteristik lingkungan, dan tampilan kawasan,
seperti struktur atau keindahan lingkungan dan bangunan.
2. Aktifitas dan fungsi-fungsi lokal yang unik, menyangkut pula bagaimana
interaksi antara manusia dan tempat, bangunan dan lingkungan, dan sistem
budaya masyarakat.
3. Makna atau simbolisme, yang menyangkut banyak aspek dan sangat
kompleks, seperti wujud bangunan atau lingkungan yang muncul karena
interaksinya dengan budaya masyarakat atau karena aspek fungsional.
Citra sebuah kawasan kota adalah gambaran pertama yang sangat kuat
tentang rasa tempat yang dimiliki bagian kawasan kota tersebut dan tidak dimiliki
oleh tempat lain. Citra tersebut dapat terdiri dari berbagai aspek, yaitu:
1. Citra dapat terbentuk melalui struktur permukiman dengan legenda
sejarahnya.
39
2. Citra dapat terbentuk melalui bentukan arsitektur bangunan dengan
ekspresi komponen pendukung dan lingkungannya, seperti bentuk koridor
jalan.
3. Citra juga dapat terbentuk dari bentuk jalan dan bangunan sekitarnya
dalam keseluruhan tata ruang kawasan atau wilayah kota.
Sebuah ruang (space) dibentuk menjadi tempat (place) jika memiliki ciri
khas karakter dan suasana tertentu yang berarti bagi lingkungannya. Karakter
tersebut ditunjukkan dengan kualitas fisik tempat yang dapat menimbulkan image
atau citra yang cukup kuat terhadap tempat tersebut. Kualitas fisik tempat tersebut
adalah (Lynch, 1960: 39-43):
1. Imageability
Kualitas secara fisik suatu obyek yang memberikan kemampuan
besar untuk timbulnya image atau citra dan kesan yang kuat yang diterima
orang. Image ditekankan pada kualitas fisik suatu koridor atau lingkungan
yang menghubungkan atribut identitas dengan strukturnya.
Kualitas imageability dipengaruhi oleh 5 elemen pembentuk wajah koridor
kawasan kota (Lynch dalam Zahnd, 2012: 158), yaitu:
a. Path (jalur)
Adalah elemen paling penting dalam citra kawasan kota. Jika identitas
elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan orang meragukan citra kota
secara keseluruhan. Path merupakan rute-rute sirkulasi yang biasanya
digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yaitu koridor
jalan, gang-gang utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran, dan
sebagainya. Path memiliki identitas yang lebik baik apabila memiliki
tujuan yang besar (misalnya ke stasiun, tugu, alun-alun, dan lain-lain),
serta ada penampakan yang kuat (misalnya fasad, pohon, dan lain-lain),
atau ada belokan yang jelas.
Gambar 13. Path
(Sumber: Zahnd, 2012: 157)
40
b. Edge (tepian)
Adalah elemen linier yang tidak dipakai atau dilihat sebagai path.
Edge berada pada batas antara dua kawasan tertentu dan berfungsi sebagai
pemutus linear, misalnya pantai, dinding, batasan antara lintasan kereta
api, topografi, dan sebagainya. Edge lebih bersifat sebagai refrensi
daripada misalnya elemen sumbu yang bersifat koordinasi (linkage). Edge
merupakan pengakhiran dari sebuah district atau batasan sebuah district
dengan yang lainnya. Edge memiliki identitas yang lebih baik jika
kontinuitas tampak jelas batasnya. Demikian pula fungsi batasnya harus
jelas: membagi atau menyatukan.
Gambar 14. Edge
(Sumber: Zahnd, 2012: 157)
c. Node (simpul)
Adalah simpul atau lingkaran daerah strategis dengan arah atau
aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas lain,
misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan,
kota secara keseluruhan dalam skala makro besar, pasar, taman, square,
dan sebagainya. Namun, tidak setiap persimpangan jalan adalah sebuah
node. Yang menentukan adalah citra place terhadapnya. Node adalah satu
tempat di mana orang mempunyai perasaan “masuk” dan “keluar” dalam
tempat yang sama.
Node mempunyai identitas yang lebih baik jika tempatnya memiliki
bentuk yang jelas (karena lebih mudah diingat), serta tampilan berbeda
dari lingkungannya (fungsi dan bentuk). Biasanya bangunan yang berada
pada simpul tersebut sering dirancang secara khusus untuk memberikan
citra tertentu atau identitas ruang. Node merupakan suatu pusat kegiatan
41
fungsional pada suatu pusat inti (core region) agar penduduk dalam
memenuhi kebutuhan hidup semuanya bertumpu di node.
Gambar 15. Node
(Sumber: Zahnd, 2012: 157)
d. District (kawasan)
Adalah kawasan-kawasan kota dalam skala dua dimensi. Sebuah
kawasan district memiliki ciri khas yang mirip (bentuk, pola, dan
wujudnya) dan khas pula dalam batasnya, sehingga orang merasa harus
mengakhiri atau memulainya. District dalam kota dapat dilihat sebagai
refrensi interior maupun eksterior. District mempunyai identitas yang
lebih baik jika batasnya dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat
dilihat homogen, serta fungsi dan posisinya jelas (introver/ekstrover atau
berdiri sendiri atau dikaitkan dengan yang lain).
Suatu daerah yang memiliki ciri-ciri yang hampir sama dan
memberikan citra yang sama. Distrik yang ada dipusat kota berupa
kawasan komersial yang didominasi oleh kegiatan ekonomi. Kawasan
pusat kegiatan yang hidup dinamis tetapi gejala spesialisasinya semakin
terlihat. Proses perubahan yang cepat terjadi pada kawasan ini sangat
sering sekali mengancam keberadaan bangunan-bangunan tua yang
bernilai historis tinggi.
Gambar 16. District
(Sumber: Zahnd, 2012: 157)
42
e. Landmark (tengeran)
Adalah salah satu unsur yang turut memperkaya ruang kota. Bangunan
yang memberikan citra tertentu, sehingga mudah dikenal dan diingat dan
dapat juga memberikan orientasi bagi orang dan kendaraan untuk
bersirkulasi. Landmark merupakan ciri khas terhadap suatu wilayah
sehingga mudah dalam mengenal orientasi daerah tersebut oleh
pengunjung. Landmark merupakan citra suatu kota yang memberikan
suatu kesan terhadap kota tersebut.
Landmark merupakan titik refrensi seperti elemen node, tetapi orang
tidak masuk ke dalamnya karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark
adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang menonjol dari
kota, misalnya gunung atau bukit, gedung tinggi, menara, tanda tinggi,
tempat ibadah, pohon tinggi, dan sebagainya. Landmark adalah elemen
penting dari bentuk kota karena membantu orang untuk mengorientasikan
diri di dalam kota dan membantu orang mengenali suatu daerah.
Landmark mempunyai identitas yang lebih baik jika bentuknya jelas dan
unik dalam lingkungannya, dan ada sekuens dari beberapa landmark
(merasa nyaman dalam orientasi), serta ada perbedaan skala masingmasing.
Gambar 17. Landmark
(Sumber: Zahnd, 2012: 157)
2. Legibillity
Sebuah kejelasan atau kemampuan emosional suatu tempat yang
dibaca atau dikenali secara jelas oleh warga kotanya, seperti mengenai
43
distrik, landmark atau jalur jalannya, dan bisa langsung dilihat pola
keseluruhannya.
Imageability dan legibillity diperkuat oleh tiga komponen sebagai berikut
(Lynch, 1960: 44):
1.
Identitas (identity)
Adalah
identifikasi
terhadap
suatu
obyek,
yang
mampu
membedakan dengan obyek lainnya. Identitas dapat menjelaskan image
atau citra bentuk fisik dan menjelaskan posisi atau letak dari obyek fisik
tertentu.
2. Struktur (structure)
Struktur menjelaskan bahwa di dalam image kawasan juga
mengandung pengertian ruang atau pola hubungan dari pengamat dengan
suatu obyek tertentu serta kaitannya dengan obyek lainnya.
3. Makna (meaning)
Suatu obyek harus memiliki makna bagi pengamat baik secara
fungsi maupun emosi, serta dapat menjelaskan adanya perbedaan makna
ruang dan pola hubungannya.
Sehingga, identitas tempat (place identity), jiwa tempat, dan citra (image)
merupakan satu aspek dari genius loci.
2.4. Hubungan Budaya, Arsitektur, dan Tempat (Place)
Manusia, kebudayaan, dan lingkungan merupakan satu kesatuan hubungan
antara kegiatan manusia dengan lingkungan binaan yang dijembatani oleh polapola kebudayaan yang dimiliki manusia (Parsudi Suparlan, 1996:112).
Lingkungan binaan, selain berupa lingkungan alam juga berupa lingkungan
sosiobudaya. Karena itu konsep manusia harus dipahami sebagai makhluk yang
bersifat bio-sosio budaya. Sehubungan dengan itu, maka manusia, kebudayaan,
dan lingkungan merupakan tiga faktor yang saling berhubungan secara integral.
Arsitektur adalah ruang tempat hidup manusia untuk berlindung, bekerja,
dan berbudaya (definisi konsepsional) (Rapoport, 2005: 51). Kata arsitektur
meliputi semua ruang yang terjadi karena dibuat oleh manusia. Pada prinsipnya
44
jelas bahwa arsitektur terdiri dari unsur-unsur budaya dan ruang bermukim yang
merupakan satuan strategi adaptif untuk bertahan hidup berhubungan dengan
ekologi dan sumber daya lingkungan. Dengan demikian, budaya diadaptasi oleh
suatu kelompok masyarakat di dalam pengaturan ekologis mereka, yang kemudian
disandikan dalam suatu kondisi ruang bermukim ideal yang berlanjut pada
generasi berikutnya. Hal tersebut akan mendorong ke arah pola hidup dan cara
bertindak tertentu untuk ditranformasikan pada perancangan dan pengaturan
lingkungan terbangun secara khas dengan alasan tertentu (Rapoport, 2005: 54).
Gambar 18. Letak Arsitektur Dalam Kebudayaan
(Sumber: Amos Rapoport, 1977: 17)
Menurut Rapoport (2005: 97) dan Tjahjono ( 1990: 112), tempat (place)
sebagai identitas, aktivitas, dan hunian manusia menunjukkan keadaan spesifik
masing-masing bentuk lingkungan terbangun yang berhubungan dengan ciri fisik,
fungsi, aktivitas, hubungan, dan letak atau posisi. Faktor sosial budaya merupakan
faktor penentu perwujudan tempat (place), sementara faktor iklim, konstruksi,
bahan, dan teknologi hanya sebagai faktor pengaruh. Sehingga, Suatu karya
arsitektur pada lingkungan terbangun merupakan wujud penerapan hasil nilai
keyakinan, tradisi, tata aturan, perilaku, dan sikap manusia dalam rangka
memenuhi hasrat ruang sebagai tempat identitas dan aktivitas mereka.
Orientasi lingkungan terbangun dapat diekspresikan dengan aspek fisik
bangunan maupun aspek non fisik, yaitu:
1. Aspek fisik, meliputi, bentuk massa, wajah, pola ruang, dimensi, fungsi,
pemanfaatan, dan lain-lain.
45
2. Aspek non fisik, meliputi perilaku, pola aktivitas, dan lain-lain.
Dalam membahas arsitektur lingkungan terbangun, terdapat tiga aspek
yang sangat terkait di dalamnya, yakni content, container, dan context, yaitu:
1. Content menyangkut isi, yaitu manusia sebagai penghuni dengan segala
aktivitas dan kebudayaannya.
2. Container menyangkut wadah, bentuk fisik, lingkungan binaan atau
bangunan yang mewadahi kegiatan manusia tersebut.
3. Context menyangkut tempat, lingkungan alam tempat wadah dan isinya
berada. Perubahan diantara ketiganya akan menyebabkan berubah pula
yang lain (Sardjono, 2011: 90).
2.5. Pecinan Di Indonesia
2.5.1. Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Hampir seluruh kota di Indonesia memiliki kawasan tua Pecinan dengan
fungsi sebagai kawasan sentra pemukiman, perdagangan, dan kebudayaan bagi
aktivitas etnis Tionghoa. Sejak abad ke-11 telah terjadi migrasi masyarakat
Tionghoa dari daratan China menuju Indonesia, terutama ke Pulau Jawa.
Kebanyakan imigran-imigran China yang datang ke Indonesia berasal dari
mayoritas suku Hokkian dan Hakka di propinsi-propinsi China bagian Selatan,
seperti Fukien (Fukian), Chekian, Kiang Si (Guangsi), dan Kwang Tung
(Guangdong). Propinsi-propinsi tersebut mempunyai tingkat kemakmuran yang
rendah, hasil pertanian mereka sering gagal karena sering terkena bencana alam,
dan adanya peluang untuk membuka usaha di tanah Jawa (Lilananda 1998:9).
Pada awalnya mereka datang untuk kegiatan berdagang. Namun, karena
ketertarikan dengan kondisi geografi yang subur dan masyarakatnya yang plural,
sesuai berjalannya waktu masyarakat Tionghoa ini tinggal menetap di pulau Jawa.
Interaksi antara masyarakat Tionghoa dengan penduduk asli tidak saja
menghadirkan kawin campur atau asimilasi antara orang Tionghoa dengan
penduduk lokal, tetapi juga memunculkan kebudayaan baru sebagai campuran
kebudayaan penduduk asli dengan kebudayaan Tionghoa, maupun dengan
kebudayaan Kolonial Belanda ketika menjajah Indonesia. Hal tersebut juga terjadi
46
pada arsitektur lingkungan terbangun tempat mereka bermukim yang melahirkan
arsitektur khas yang hanya dimiliki di Indonesia, yaitu arsitektur Pecinan
Indonesia (Widodo dalam Peter J. M. Nas, 2007: 82).
Menurut Budiman (1979: 48-52), aktivitas sosial dan budaya yang terjadi
di Pecinan adalah:
1. Ekonomi dan Perdagangan
Masyarakat
Tionghoa
dikenal
memiliki
kemampuan
berdagang yang ulet dan rajin, serta didorong oleh hubungan
perdagangan yang luas dan keinginan untuk mendapatkan kehidupan
ekonomi atau kesejahteraan yang lebih baik. Pada masa kolonial
Belanda, komoditi yang diperdagangkan terutama adalah aneka hasil
bumi atau hasil pertanian, hasil tambang, khususnya emas, dan batu-batu
mulia, serta aneka bahan-bahan bangunan. Saat ini, hampir seluruh
komoditas perdagangan dipegang oleh masyarakat Tionghoa. Akibat dari
dominasi usaha perdagangan oleh masyarakat Tionghoa, hampir di semua
kota-kota pusat perdagangan lama identik dengan kawasan Pecinan.
3. Sistem Kepercayaan
Kehidupan masyarakat
Tionghoa erat kaitannya dengan
kepercayaan mereka. Selain identik dengan perdagangan, agama dan
kepercayaan masyarakat Tionghoa merupakan unsur yang tidak lepas dari
keberadaan mereka. Dalam kehidupan orang China, ada tiga ajaran yang
mereka pahami yaitu Taoisme, Konfusianisme, dan Budha. Pada dasarnya
pandangan berfikir mereka selalu mengembalikan hakekat keharrnonisan
antara kehidupan “langit” (alam gaib) dan kehidupan di “bumi” (alam
dunia nyata).
Dalam pandangan orang China, kehidupan ini adalah perwujudan
dari pasangan unsur baik dan buruk yang sifatnya relatif atau nisbi.
Kedua sifat tersebut diungkapkan sebagai dualisme “yin” dan “yang”.
“Yin” adalah adalah simbol dari sifat perempuan, bulan, arah utara,
dingin, gelap atau malam, dan segala yang bersifat pasif. Sebaliknya
“Yang” adalah sifat laki-laki, matahari, arah selatan, panas, cahaya, dan
47
segala sesuatu yang bersifat aktif. Kedua sifat ini melekat di. alam semesta
(makrokosmos) maupun pada diri manusia yang dipercaya sebagai unsur
mikrokosmos dari alam semesta. Sebaliknya, sebagai unsur mikro maka
manusia harus menyelaraskan dirinya dengan sifat bumi (yin) dan langit
(yang). Keselarasan ritme ini disebut "Tao". Ketenteraman dan
kesejahteraan termasuk kesehatan akan dapat dicapai jika ada "Tao" atau
harmoni antara “yin” dan “yang”. Bagi masyarakat China, membangun
permukiman juga harus dilakukan dengan memperhatikan aspek "Tao" ini.
Pengetahuan akan petunjuk-petunjuk yang sesuai dengan
unsur “yin” dan “yang” untuk menjaga keseimbangan harmonisasi
hidup manusia dan energi alam dinamakan Fengshui.
Ilmu Feng Shui menitikberatkan pada aliran angin dan air
sebagai dua zat yang memiliki kesamaan, yaitu keduanya sama-sama
bergerak mengalir, untuk memberikan "Sheng Chi" (energi alam yang
baik). Prinsip Fengshui adalah pada: "bersandar pada gunung melihat ke
lautan" atau "duduk di gunung menghadap ke lautan" yang dikaitkan
dengan perumpamaan atau simbolis binatang, antara lain Kura-Kura
Hitam (gunung atau angin, aktif, Utara), Burung Merak Merah atau
Hong (laut atau air, pasif, Selatan), Naga Hijau (Yang), dan Macan
Putih (Yin), dengan konfigurasi gunung (berada di belakang), lembah
(sebagai tempat perletakan rumah yang, menghadap ke arah sungai
secara frontal), dan aliran sungai (berada di depan) sebagai konfigurasi
bentuk Naga (berada di kiri) dan Macan (berada di kanan).
Sementara itu, ajaran Konfusianisme mengajarkan cara mengatur
hidup manusia dan negara, serta menghormati dan menghargai diri sendiri
mupun sesama untuk mencapai kebahagiaan dan ketenangan hidup.
4. Tradisi Budaya
Penyelenggaraan hari-hari raya masyarakat Tionghoa merupakan
tradisi yang sudah turun-temurun. Biasanya klenteng dan koridor jalan
di kawasan Pecinan merupakan pusat kegiatan tradisi adat dan
keagamaan yang banyak dikunjungi penganutnya maupun wisatawan
48
pada hari-hari raya tersebut.
Tradisi masyarakat Tionghoa meliputi hari raya keagamaan
maupun tradisi seni, seperti Barongsai, Wayang Potehi, Teater Mandarin,
dan lain-lain. Ada beberapa hari raya besar yang dikenal masyarakat
Tionghoa Indonesia, yaitu:
a. Sin Chia, yaitu peringatan tahun baru Imlek dirayakan setiap tanggal 1
Imlek.
b. Ceng Beng atau Ching Ming, yaitu upacara membersihkan kuburan
dan sembahyang terhadap nenek moyang dirayakan setiap tanggal 3
bulan 3 tahun Imlek.
c. Cit Gwee, yaitu sembahyang untuk para arwah yang tidak
disembahyangkan oleh sanak saudara yang masih hidup di dunia atau
Do Ko dilakukan setiap tanggal 15 bulan 7 tahun Imlek.
d. Tsop Go Meh atau Goan Siao atau Teng Chieh, yaitu upacara pawai
lentera sebagai tanda penutup tahun baru dilakukan pada hari ke-15
bulan pertama.
e. Peh Lun atau Phe Cun atau Toan Yang atau pesta naga dilakukan pada
bulan ke-5.
f. Pesta Bulan, yaitu upacara penghormatan Dewi Bulan dilakukan pada
hari ke-15 bulan purnama.
5. Seni, Bahasa, dan Sastra
Pengaruh budaya China dalam bidang seni dan sastra cukup kuat
mempengaruhi kesenian dan tata satra yang dimiliki masyarakat lokal,
sehingga pada beberapa kasus ditemukan adanya asimilasi yang
memunculkan bentuk kesenian dan satra baru bernuansa lokal dan China.
Kehadiran sejumlah besar pendatang berbahasa China juga mengantarkan
asimilasi pada pemakaian kata-kata atau istilah dialek China dengan
bahasa penduduk lokal, sehingga menghasilkan dialek tertentu yang tidak
dimiliki oleh tempat lain.
49
2.5.2. Pola Kawasan Pecinan
Menurut Pratiwo (2010: 10 dan 52), permukiman sebagian besar orang
Tionghoa di pulau Jawa membentuk koloni kecil di pinggiran jalur sungai dan
sisanya di pinggir pantai. Mereka menjadikan koloni ini sebagai pusat
permukiman dan perdagangan. Permukiman Tionghoa (Pecinan) banyak terdapat
di jalur sungai karena sungai dijadikan sarana transportasi perdagangan barang
komoditas masyarakat Tionghoa dan masyarakat lain maupun kawasan satu
dengan kawasan yang lain. Adanya perluasan wilayah permukiman karena
bertambahnya jumlah masyarakat Tionghoa dan kebutuhan ruang berdagang
menyebabkan permukiman Pecinan menyebar menjauhi sisi sungai.
Permukiman kawasan Pecinan membentuk blok-blok bangunan yang
setiap blok bangunan dipisahkan oleh jaringan jalan utama dan gang-gang
berbentuk rectilinier grid dengan lansekap membujur dari Utara, Selatan, Barat
dan Timur. Pola ini membentuk sejumlah blok besar bangunan menurut jaringan
jalan dan beberapa blok kecil menurut jalur gang di dalam kawasan Pecinan. Jalan
utama atau primer adalah jalan masuk kawasan, sedangkan jalan kecil atau gang
(sekunder) adalah pemisah dan penghubung sirkulasi antara blok-blok bangunan.
Elemen utama yang berada dalam blok kawasan adalah klenteng atau
permukiman. Konsekuensinya jalan sekunder sering terputus di tikungan atau
jalan sempit, sehingga tempat jalan berakhir (jalan buntu).
Gambar 19. Pola Kawasan Pecinan Rectilinier Grid
(Sumber: Kautsary, 2008: 53).
50
Bangunan permukiman, perdagangan, dan pergudangan yang berdekatan
dengan sungai memiliki jalan transisi sebagai transportasi dari jalur sungai ke
permukiman untuk manusia dan barang. Jalan utama kawasan berfungsi sebagai
pasar dan perdagangan (market place). Pada bagian ruang kawasan yang lebih
kecil aktivitas komersial terpusat di sebagian kecil dari jalan-jalan konektor,
sedangkan pada kawasan yang lebih besar (district) digunakan untuk aktivitas
komersial yang intensif. Setiap jenis aktivitas komersial terkumpul pada sebuah
jalan dan mengelompok sesuai dengan jenis usaha atau perdagangan spesifik atau
kawasan bisnis (businness districts) (Kautsary, 2008:55).
Pola blok bangunan dan jaringan jalan seperti ini, merupakan organisasi
ruang kota The Jian yang diadaptasi masyarakat Tionghoa dari China daratan
(Kohl dalam Pratiwo, 2010: 53).
Secara garis besar blok-blok bangunan di kawasan tua Pecinan dapat
dibedakan menurut fungsi dan jenis bangunannya, yaitu:
1. Fungsi budaya dan agama, jenis bangunannya klenteng, vihara, dan ruang
koridor jalan.
2. Fungsi rumah pribadi, jenis bangunannya rumah hunian 1 lantai dan 2
lantai, rumah abu, dan rumah perkumpulan marga.
3. Fungsi hunian dan usaha (perdagangan dan jasa), jenis bangunannya
rumah toko (lantai 1 untuk usaha dan lantai 2 untuk hunian), pergudangan,
dan ruang berdagang di depan bangunan pada koridor jalan.
4. Fungsi penanda kawasan, jenis bangunannya gerbang atau gapura,
oranamen patung, dan lampu jalan khas Pecinan.
5. Fungsi hiburan, jenis bangunannya berupa teater pertunjukkan dan rumah
makan.
Pembagian ini terkadang sulit dibedakan secara tegas, karena terkadang
terdapat beberapa bangunan yang berfungsi umum, tetapi juga berfungsi pribadi,
misalnya bangunan ibadah dan rumah abu. Bangunan ibadah yang berfungsi
untuk pribadi hanya dapat digunakan kerabat dekat atau satu marga (Lilananda,
1998: 36).
51
2.5.3. Arsitektur Bangunan Kawasan Pecinan
Dalam suatu lingkup kawasan Pecinan, arsitektur Pecinan Indonesia
merupakan hasil asimilasi dari arsitektur lokalitas di Indonesia dengan budaya
arsitektur China bagian Selatan. Setelah bangsa Belanda masuk ke Indonesia
terjadi perpaduan keduanya dengan arsitektur Barat. Sehingga dapat dikatakan
bahwa, arsitektur Pecinan dibangun dan diadaptasikan dengan budaya setempat
dan situasi lingkungan tempat tinggalnya (Widodo dalam Peter J. M. Nas, 2009:
83).
Tipologi eksterior dan bentuk fasad arsitektur Pecinan ada yang masih
mempertahankan tradisi budaya China atau hasil asimilasi dengan gaya bangunan
dan ornamen arsitektur Barat maupun lokal, sehingga tercipta tipologi arsitektur
Pecinan yang unik. Bangunan yang masih mempertahankan tradisi China, pada
elemen-elemen pintu, jendela, ventilasi, dan tiang memiliki unsur ornamen hias
China berdasarkan geomansi atau kepercayaan Fengshui atau tanpa dekorasi sama
sekali. Bangunan ini menggunakan material utama batu bata, kayu, dan genting
tanah liat. Sementara arsitektur Pecinan yang terpengaruh arsitektur Barat, maka
unsur Neo Klasik, Art Nouveau, dan Art Deco melengkapi sebagian bentuk
elemen arsitektur, terutama pada tiang-tiang teras depan bergaya kolonial, Doric,
dan Ionic, maupun pintu jendela dengan ornamen Barat. Hanya bangunan rumah
ibadah seperti klenteng dan vihara, atau rumah abu sangat mempertahankan
bentuk arsitektur dan ornamen China daratan. (Pratiwo dalam Peter J. M. Nas,
2009: 101).
Bangunan Pecinan yang masih murni terlihat pada peletakan pintu dan
jendela pada fasad depan. Pintu utama terletak di tengah sumbu dinding depan
dan diapit oleh dua jendela di sisi kiri maupun kanan dengan jumlah yang sama.
Organisasi bentuk fasad dan pembagian ruang dalam bangunan Pecinan
menggunakan unit-unit standarisasi China pola Axial-Planning yang tersusun
secara grid teratur, mengikuti sumbu simetri, dan tegas. Hal ini tidak berlaku bagi
bangunan Pecinan yang sudah terpengaruh oleh gaya arsitektur lain, seperti
kolonial Belanda atau Eropa (Pratiwo dalam Peter J. M. Nas, 2009: 94).
52
Gambar 20. Pola Axial-Planning Fasad, Bentuk, dan Koridor Bangunan
(Sumber: Liu, 1989)
Kekhasan eksterior arsitektur bangunan Pecinan tua di Indonesia dapat
ditemukan paling mudah pada bentuk atap dengan ornamen dekorasi yang dipadu
kepercayaan Fengshui. Bentuk atap yang paling banyak digunakan pada
bangunan-bangunan Pecinan Indonesia adalah atap model pelana berstruktur
dinding atau Ngang shan ti dan atap pelana berstruktur penopang atap gantung
atau Hsuan shan.
Gambar 21. Bentuk Atap Bangunan Pecinan
(Sumber: Kohl, 1984)
Pada bentuk atap yang masih mempertahankan tradisi China, pada setiap
ujung bubungan atap bangunan terdapat ornamen ekor walet atau sepasang kucing
merangkak pada rumah toko. Ornamen ini menyimbolkan kemakmuran bagi
masyarakat Tionghoa. Sementara pada bangunan Pecinan yang terpengaruh atap
arsitektur Barat, pada bagian fasad depan atap terdapat atap miring atau pitched
roof dengan ornamen khas Eropa pada parapetnya (parapet = tembok bergerigi di
tepi atap bagian fasad depan). Di sini terjadi peniruan arsitektur Barat dengan
53
menggunakan parapet gaya Eropa, namun menyisakan gaya China pada bagian
atap yang lain.
Gambar 22. Ornamen Ujung Bubungan Atap Bangunan Pecinan
(Sumber: Kohl, 1984)
Perpaduan Pecinan dengan Eropa
dengan ornamen parapet pada atap
Bangunan Pecinan
Gambar 23. Bentuk Bangunan Pecinan
(Sumber: Kohl, 1984)
Pada saat kolonial Belanda membangun hunian bagi warga Belanda, maka
beberapa komunitas Tionghoa akan mengikuti pola perumahan warga Belanda,
yaitu bangunan hunian gandeng menerus dengan atau tanpa lantai bertingkat,
dengan ukuran lebar rumah yang menghadap ke kanal atau jalan antara 5-8 meter.
Bangunan rumah semacam ini disebut dengan tipe stads wooningen atau rumah
kota. Pola ini kemudian berkembang menjadi pola bangunan rumah-toko yang
terdapat di Pecinan (Widayati, 2004:32). Selain itu, bentuk tembok yang tebal,
plafon yang tinggi, lantai marmer, dan beranda depan dan belakang yang luas juga
menandakan adanya gaya Eropa dalam bangunan di Kawasan Pecinan.
Rumah toko dan rumah tinggal (terdiri dari satu lantai, dua lantai dengan
teras atau balkon, atau dua lantai tanpa teras dan atau balkon) sangat mendominasi
54
wajah kawasan Pecinan, terutama pada koridor jalan. Bangunan ini memiliki lebar
tampak depan yang sempit, namun denah rumah sangat panjang kebelakang.
Kedua tipe bangunan dibangun bersebelahan dengan tembok dan atap secara
bersama antara rumah satu dengan yang lain, sehingga tampak berderet
memanjang. Bentuk ruang luar sepanjang jalan permukiman sangat dipengaruhi
oleh ornamen China, seperti bentuk lampu jalan atau lampion, ornamen jalan, dan
patung-patung khas China (Pratiwo, 2010: 85).
Meskipun wajah bangunan di Pecinan memiliki tipe Pecinan murni atau
perpaduan dengan gaya arsitektur lain, namun untuk tipologi denah interior
bangunan tetap. Bangunan Pecinan selalu memiliki halaman dalam (courtyard)
yang terletak di bagian tengah sebagai ruang bersosialisasi dan menerima cahaya.
Lantai dasar hunian terdiri atas enam zona spasial, yaitu zona teras, zona tempat
berdagang, zona tempat duduk, zona tempat tidur, zona halaman dalam
(courtyard), dan zona halaman. Jalur sirkulasi sempit dari bagian depan rumah ke
belakang berada di sepanjang salah satu satu sisi tepi bangunan (Widodo dalam
Peter J. M. Nas, 2009: 85).
2.5.4. Ragam Hias dan Ornamen Utama
Permukiman Pecinan umumnya dilengkapi dengan ragam hias sebagai
elemen dari detail estetika setiap bangunan. Kebanyakan bentuk ukir-ukiran kayu,
gambar hiasan, porselen yang berwarna dan bergambar terdapat pada bagian
bagian dari bangunan. Ukir-ukiran kayu umumnya dapat dijumpai pada struktur
konstruksi struktur penopang atap, balustrade tangga, pagar balkon, bagian dari
kusen pintu jendela, konsol-konsol tembok atau kayu, dan ujung sopi-sopi
bangunan.
Dekorasi ragam hias sebagai detail ornamen dijumpai pula pada dinding
tembok, plafond dan kolom. Juga sering dijumpai kaligrafi pada dinding diatas
pintu, selain gambar-gambar dari ragam hias yang umumnya digambarkan dalam
bentuk tumbuh-tumbuhan (pohon, bunga, buah), binatang dewa sebagai simbol
(naga, barong atau chilin, burung phoenix, singa, dan lain-lain), binatang (ikan,
bangau, rusa, gajah dan lain-lain).
55
Unsur dekorasi atau detail estetika umumnya mempunyai makna atau
simbol terutama pada bangunan-bangunan yang masih asli dipengaruhi oleh
arsitektur China. Namun, bangunan berarsitektur China yang telah banyak
dipengaruhi oleh beberapa gaya kolonial, Doric, Ionic, Jawa atau lainnya
seringkali memberikan ekspresi yang tidak bermakna. Hal tersebut dipengaruhi
oleh keinginan dari pemilik rumah tersebut untuk menunjukkan status sosialnya.
Ragam hias Pecinan terpenting sebagai perlambang kemakmuran dan
perlindungan adalah:
1. Penolak bala
Pa Kua adalah hiasan yang terletak di pintu-pintu utama berfungsi sebagai
pengetuk pintu (seperti rumah-rumah kuno pada umumnya). Benda ini
berbentuk segi delapan, Pa Kua menggambarkan empat penjuru mata
angin dan empat penjuru sekundernya. Pa Kua dianggap mempunyai
kekuatan mengusir roh jahat dan pengaruh buruk yang merupakan
ancaman bagi seisi rumah. Pa Kua di pintu-pintu utama terbuat dari besi
yang dicat warna emas. Selain pada pintu bentuk segi delapan ini juga
dipakai untuk bak pohon di taman courtyard utama.
Gambar 24. Pa Kua Sebagai Hiasan Pengetuk Pintu
(Sumber: Zu Youyi, tanpa tahun)
2. Jamur Linchi
Hiasan ini terdapat pada penutup pintu masuk utama (menjadi bagian pada
ornamen Pa Kua dan menghiasi tambahan di bagian atas kuda-kuda.
Selain itu hiasan tersebut terdapat pula di panel-panel pintu. Jamur ini
melambangkan umur yang panjang.
56
Gambar 25. Jamur Linchi Pada Panel Pintu
(Sumber: Zu Youyi, tanpa tahun)
3. Buku, papan catur, kecapi dan, gulungan kertas
Ragam hias yang terdapat pada balok di bawah kuda-kuda (skylight) dan
teras depan ini melambangkan bahwa pemilik rumah adalah seorang
cendekiawan dan kaya raya.
4. Makhluk surgawi
1. Naga
Hiasan ini terdapat pada kuda-kuda (menghadap ke Utara dan
Selatan), panel-panel di atas pintu ruang-ruang sembahyang. Hiasan
Naga pada kuda-kuda berupa ukiran tiga dimensi yang bermotif
abstrak yang disebut Liong, sedangkan pada panel-panel pintu berupa
ukiran dua dimensi engan bentuk Naga sebenarnya yang dicat dengan
warna emas.
Gambar 26. Naga Pada Atap Teras
(Sumber: Zu Youyi, tanpa tahun)
2. Burung Hong (Burung Phoenix)
Sebagai simbol dewa api, burung ini melambangkan kesuburan dan
mulainya kehidupan baru.
57
Gambar 27. Hong Pada Ukiran dan Motif Dinding
(Sumber: Zu Youyi, tanpa tahun)
2.5.5. Penggunaan Warna
Penggunaan warna pada arsitektur Pecinan juga sangat penting karena
jenis warna tertentu melambangkan hal tertentu pula. Hal ini berkaitan dengan
kepercayaan Fengshui yang berkaitan dengan energi baik (Chi) dan energi buruk
(Sha). Prinsip dasar komposisi warna adalah harmonisasi energi yang mendukung
keindahan arsitekturnya.
Umumnya warna yang dipakai adalah warna primer, seperti kuning, biru,
putih, merah dan hitam yang selalu dikaitkan dengan unsur-unsur alam, seperti
air, kayu, api, logam dan tanah. Pada bagian bangunan, penggunaan warna
digunakan untuk:
1. Putih dan biru dipakai untuk teras,
2. Merah dan kuning untuk kolom dan bangunan, dan
3. Biru dan hijau untuk balok, siku penyangga, dan atap.
Warna-warna memberikan arti tersendiri dalam penerapannya untuk
mendapatkan energi baik (Chi) menurut letak kawasan dan arah hadap bangunan,
yaitu warna biru dan hijau berada di posisi Timur dan memberikan arti kedamaian
dan keabadian. Warna merah berada di Selatan memberikan arti kebahagiaan dan
nasib baik, sedangkan warna kuning melambangkan kekuatan, kekayaan, dan
kekuasaan. Putih berada di Barat dengan arti penderitaan (duka cita) dan
kedamaian. Hitam berada di Utara yang melambangkan kerusakan.
Warna-warna
tersebut
juga
mendatangkan
keberuntungan
kemakmuran, di antaranya:
1. Warna merah yang melambangkan kebahagiaan,
2. Warna kuning juga melambangkan kebahagiaan dan warna kemuliaan,
dan
58
3. Warna hijau melambangkan kesejahteraan, kesehatan, dan keharmonisan,
4. Warna putih melambangkan kematian dan berduka cita,
5. Warna hitam merupakan warna netral dan digunakan dalam kehidupan
sehari-hari,
6. Warna biru gelap juga merupakan warna berduka cita.
2.6. Karakteristik Pola Arsitektur China
Karakteristik dasar pola arsitektur China kuno merupakan aturan baku
standarisasi tata ruang, bentuk, dan peletakan elemen fasad bangunan yang
digunakan hingga saat ini, seperti yang diuraikan oleh G. Liu (1989: 93-102) dan
Gin Djin Su (1964: 41-98) yaitu:
1. Organisasi ruang (spatial organization)
Organisasi ruang pada arsitektur China didasarkan pada kebutuhan
hidup sehari hari yang dipadukan dengan persyaratan-persyaratan estetika
yang dianut masyarakat China, seperti yang tampak pada pembentukkan
unit-unit standarisasi yang digunakan untuk membentuk ruang-ruang
interior, eksterior, pembagian irama pada elemen fasad (pintu, jendela,
ornamen, ragam hias, dan penonjolan struktur), dan bentuk bangunan.
Organisasi ruang sebagai pembentuk visual dan dimensi ruang tersusun
secara teratur dan mengikuti pola konstruksi grid a-a-a-a, a-b-a-b, atau b-ab-a.
2. The Jian
Jian adalah unit dari organisasi ruang. Pengorganisasian ruang
pada arsitektur klasik Cina adalah sangat sederhana. Konsep dasarnya
meliputi penggunaan Jian, atau bay room, sebagai standar unit dan dapat
dikembangkan atau dibuat secara berulang menjadi suatu massa bangunan
atau beberapa kelompok bangunan.
Jian adalah sebuah ruang persegi empat atau suatu ruang yang
diberi pembatas dinding atau hanya dibatasi oleh kolom sehingga secara
psikologis juga membentuk sebuah ruang. Jian juga dapat ditambahkan
untuk membentuk suatu ruang (hall) atau ting dengan menggunakan unit
59
standar sepanjang sumbu longitudinal (berulang memanjang secara
menerus) dan sumbu horisontal. Sumbu-sumbu yang panjang dapat
digunakan untuk menghubungkan ruang-ruang (hall) untuk membentuk
suatu kelompok bangunan bahkan sebuah kota. Kadang-kadang ruangruang (hall) dikelompokkan di sekeliling courtyard untuk menghasilkan
kombinasi bangunan yang berbeda.
Pada umumnya ting memiliki bay (jian atau bay room) pada
kelipatan ganjil dan bertujuan untuk menghasilkan bentang lebar agar
dapat memberikan penekanan pada sumbu longitudinal. Aksis/sumbu yang
seringkali hadir pada sebuah Jian adalah 3x6 meter, tetapi setelah Dinasti
Tang standard bentang ini diperluas. Ruang-ruang pada bangunan penting
seperti istana dan kuil menggunakan bentang 5 sampai 10 meter untuk satu
ruang (hall) (bukan hanya tiga meter).
Gambar 28. Organisasi Ruang 4 Pilar Dengan Jian Ganjil
(Sumber: Liu, 1989)
Jian dapat digunakan untuk berbagai maksud. Sebuah ruang (hall)
dapat menjadi ruang tamu, kantor, ruang belajar, tempat sembahyang, dan
lain-lain. Pada kompleks yang luas, walaupun ini difungsikan sebagai
ruang tinggal ataupun ruang doa atau meja abu, bentuk ruang yang terjadi
selalu sama. Walaupun dua hall terpisah dan masing-masing berdiri
sendiri, kedua hall tersebut selalu dihubungkan dengan serambi beratap
atau jalur pejalan yang beratap (koridor).
3. Axial Planning
Karakteristik berikut dari arsitektur China klasik adalah bentuk
struktur yang simetri dan orthogonal pada tampak, denah, dan potongan
bangunan, yang membagi bangunan menjadi bidang proporsional dan
60
teratur. Hal ini merupakan sumber dari kosmologi China. Pada Arsitektur
China, hall dan courtyard ditempatkan sepanjang suatu axis longitudinal
atau suatu jalan setapak (path) pada susunan orthogonal.
Ruang-ruang tersebut terpisah satu dengan lainnya dengan adanya
courtyard yang pada akhirnya dianggap sebagai ruang utama dalam
komposisi secara keseluruhan daripada hanya sekedar bangunan
penghubung yaitu:
a. Sumbu longitudinal adalah sumbu utama sedangkan sumbu horisontal
adalah sumbu sekunder.
b. Ada kalanya dalam suatu komposisi hanya ada satu sumbu atau tidak
ada sumbu sama sekali.
Kedua aturan di atas adalah hal yang utama pada pengaturan lansekap dan
taman.
2.7. Teori Konservasi Urban Heritage
Konservasi merupakan istilah induk dari semua kegiatan pelestarian sesuai
dengan kesepakatan internasional yang telah dirumuskan dalam Piagam Burra
tahun 1981 (Sidharta dan Budihardjo, 1989: 10).
Dalam Piagam Burra atau dengan nama lengkap bernama Icomos Charter
for the Conservation of Places of Cultural Significance (The Burra Charter,
1981), termuat definisi: Conservation means all the processes of looking after a
place so as to retain its cultural significance. It includes maintenance and may
according circumstance include preservation, restoration, reconstruction and
adaption and will be commonly a combination of more than one of these. Atau
dengan kata lain: Konservasi berarti semua proses untuk memelihara suatu tempat
dengan sedemikian rupa untuk menjaga makna kulturalnya. Di dalamnya
termasuk memelihara sesuai dengan keadaannya meliputi preservasi, restorasi,
rekonstruksi dan adaptasi dan bisa juga berupa kombinasi dari beberapa hal
tersebut.
Menurut UU Republik Indonesia No.11 Tahun 2010 Bab 7, pemeliharaan
atau konservasi adalah upaya menjaga dan merawat bangunan, struktur, maupun
61
situs kawasan Cagar Budaya dan bernilai sejarah untuk mencegah dan
menanggulangi kerusakan akibat pengaruh alam dan atau perbuatan manusia,
dengan pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas kerusakan dengan
memperhatikan keaslian bentuk, tata letak, gaya, bahan dan atau teknologi Cagar
Budaya. Konservasi merupakan induk kegiatan memelihara dan melindungi
tempat-tempat yang berharga dan bersejarah sebagai aset kota yang mewakili
periode jaman atau kawasan tertentu agar tidak hancur atau berubah sampai batasbatas yang wajar. Konservasi menekankan pada penggunaan kembali bangunan
lama agar tidak terlantar dengan cara menghidupkan kembali fungsi lama atau
dengan mengubah fungsi bangunan lama dengan fungsi baru yang dibutuhkan.
2.7.1. Ragam Konservasi
Pelestarian pusaka kota (urban heritage) melalui pendekatan konservasi
dapat dilakukan melalui beberapa pilihan cara, yaitu:
1. Preservasi
Preservasi (dalam konteks yang luas) adalah kegiatan pemeliharaan
bentukan fisik suatu tempat dalam kondisi existing dan memperlambat
bentukan fisik tersebut dari proses kerusakan, sedangkan preservasi (dalam
konteks yang terbatas) adalah pelestarian suatu tempat persis seperti
keadaan aslinya saat ditemukan tanpa adanya upaya perubahan atau bagian
dari perawatan dan pemeliharaan yang intinya adalah mempertahankan
keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan cagar budaya agar
keandalan kelaikan fungsinya terjaga baik.
2. Restorasi atau rehabilitasi
Adalah mengembalikan suatu tempat pada keadaaan semula dengan
menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen semula
tanpa menggunakan bahan baru.
3. Rekonstruksi
Adalah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan memperbaiki
bangunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana alam, bencana
lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karena
62
salah satu sebab yang darurat, dengan menggunakan bahan yang tersisa
atau terselamatkan, dengan penambahan bahan bangunan baru dan
menjadikan bangunan tersebut laik fungsi dan memenuhi persyaratan
teknis. Proses rekonstruksi dilakukan dengan mengembalikan suatu tempat
semirip mungkin dengan keadaan semula, dengan cara menggunakan
bahan lama maupun bahan baru (bisa dikombinasikan).
4. Konsolidasi
Adalah kegiatan pemugaran yang menitikberatkan pada pekerjaan
memperkuat, memperkokoh struktur yang rusak atau melemah secara
umum agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi dan bangunan tetap laik
fungsi. Konsolidasi bangunan dapat juga disebut dengan istilah stabilisasi
kalau bagian struktur yang rusak atau melemah bersifat membahayakan
terhadap kekuatan struktur.
5. Revitalisasi atau adaptasi
Adalah pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai tambah yang
optimal secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam pemanfaatan bangunan
dan lingkungan cagar budaya dengan memasukan beberapa unsur karakter
budaya yang membentuknya. Revitalisasi kawasan kota lama merupakan
usaha untuk mencegah hilangnya aset-aset kota yang bernilai sejarah
karena kawasan tersebut mengalami penurunan produktivitas.
6. Pemugaran
Adalah kegiatan memperbaiki atau memulihkan kembali bangunan gedung
dan lingkungan cagar budaya ke bentuk aslinya dan dapat mencakup
pekerjaan perbaikan struktur yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi
arkeologis, historis dan teknis. Kegiatan pemulihan arsitektur bangunan
gedung dan lingkungan cagar budaya yang disamping perbaikan kondisi
fisiknya juga demi pemanfaatannya secara fungsional yang memenuhi
persyaratan keandalan bangunan.
7. Demolisi
Adalah penghancuran atau perombakan suatu bangunan yang sudah rusak
atau membahayakan bagi keselamatan lingkungan dan manusia.
Download