HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Penelitian

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persiapan Penelitian
Persiapan penelitian meliputi pembiakan kultur pada media susu skim.
Pembiakan kultur starter pada susu skim dilakukan untuk meningkatkan populasi
kultur yang akan digunakan. Media yang digunakan sebagai media tumbuh adalah
susu skim 10%. Populasi kultur starter Lactobacillus spp. (1A5), Lactobacillus
fermentum (2B2) dan 2B4 dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim.
Kultur
Jumlah BAL (log10 CFU/ml)
Lactobacillus spp. 1A5
10,20
L. fermentum 2B2
11,41
L. fermentum 2B4
8,49
Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa populasi kultur pada media tumbuh
susu skim pada setiap kultur adalah lebih dari 8 log10 CFU/ml, jumlah tersebut
melebihi kisaran jumlah isolat bakteri yang disyaratkan untuk menjadi kultur starter
salami yaitu sebanyak
6-7 log10 CFU/ml atau 6-7 log10 CFU/g (Varnam dan
Sutherland, 1995). Hasil penyegaran kultur pada media susu skim menunjukkan
bahwa kultur 1A5, 2B2 dan 2B4 dapat tumbuh dengan baik pada media susu skim
10%. Kandungan nutrisi susu skim terutama laktosa merupakan unsur penting yang
digunakan oleh bakteri untuk hidup. Penambahan susu skim berfungsi sebagai
cadangan makanan bakteri asam laktat. Laktosa kemudian diubah menjadi asam
laktat oleh bakteri asam laktat (Fardiaz, 1992). Penampakan sel bakteri asam laktat
1A5, 2B2 dan 2B4 di bawah mikroskop, disajikan pada Gambar 3 dan 4.
Gambar 3. Pewarnaan Gram Isolat Lactobacillus spp. 1A5
(a)
(b)
Gambar 4. Pewarnaan Gram Isolat (a) L. fermentum 2B2
(b) Isolat L. fermentum 2B4
Kualitas Mikrobiologi Daging
Penghitungan jumlah mikroba pada daging dilakukan untuk mengetahui
kualitas mikrobiologi daging yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan
salami dan untuk mengetahui perubahan kualitas mikrobiologinya setelah dilakukan
fermentasi menggunakan bakteri asam laktat. Hasil uji mikrobiologi pada daging
disajikan pada Tabel 6 .
Tabel 6. Hasil Uji Mikrobiologi pada Daging sebagai Bahan Baku Pembuatan
Salami
Mikroba
Jumlah (log10 CFU/g)
Standar SNI (log10 CFU/g)
Bakteri asam laktat (BAL)
7,40
*
Total Plate Count (TPC)
9,49
4
Staphylococcus aureus
4,40
2
Escherichia coli
3,34
1
Keterangan : (*) tidak disebutkan
Tabel hasil uji mikrobiologi pada daging menunjukkan jumlah mikroba
paling banyak adalah Total Plate Count (TPC) yaitu sebanyak 9,49 log10 CFU/g,
jumlah TPC mencerminkan jumlah total bakteri yang ada pada daging. Jumlah
tersebut melebihi batas yang disyaratkan dalam SNI 01-6366-2000 tentang cemaran
mikroba pada daging. Tingginya jumlah TPC pada daging yang digunakan
disebabkan oleh tingginya jumlah bakteri asam laktat alami daging. Seperti yang
telah dijelaskan oleh Buckle et al. (1987), bahwa mikroorganisme pada daging
25
berasal dari flora normal daging dan dari kontaminasi pada saat konversi otot
menjadi daging hingga daging tersebut dikonsumsi. Lawrie (1995) mengemukakan
bahwa daging terkontaminasi oleh berbagai jenis mikroorganisme, dari semua
mikroorganisme yang mengkontaminasi daging, 99 persennya adalah bakteri. Bakteri
yang umum dijumpai dalam daging adalah strain Pseudomonas, Moraxella,
Acinetobacter, Lactobacillus, Brochotrix thermospacta, dan beberapa genera dari
famili Enterobacteriaceae (Gill, 1982).
Hasil uji mikrobiologi pada daging menunjukkan jumlah bakteri asam laktat
sebanyak 7,40 log10 CFU/g, bakteri asam laktat secara alami terkandung dalam
daging. Menurut Hui et al. (2001), bakteri asam laktat yang secara alami terkandung
dalam daging diantaranya adalah Lactobacillus Spp., Lactococcus, Micrococcus,
Pediococcus sp., dan Leuconostoc. Jumlah bakteri asam laktat pada daging dengan
masa simpan 12 jam setelah postmortem dapat mencapai 6 log10 CFU/g (Hidayati,
2006).
Staphylococcus aureus ada pada daging karena terjadinya kontaminasi dari
lingkungan di luar daging. Populasi Staphylococcus aureus yang pada daging segar
yang digunakan sebagai bahan baku sudah mencapai 4,40 log10 CFU/g, jumlah ini
melebihi batas yang disyaratkan oleh SNI No. 01-6366-2000 yaitu 2 log10 CFU/g
untuk daging tanpa tulang. Tingginya jumlah Staphylococcus aureus pada daging
segar dapat disebabkan oleh terjadinya kontaminasi silang pada saat pemotongan.
Kondisi dan perlakuan daging setelah pemotongan juga berpengaruh terhadap
pertumbuhan Staphylococcus aureus.
Escherichia coli merupakan jenis bakteri patogen, jumlah Escherichia coli
pada daging segar yang digunakan sebagai bahan baku adalah 3,34 log10 CFU/g.
Batas yang disyaratkan oleh SNI No. 01-6366-2000 adalah sebanyak 1 log10 CFU/g.
Adanya Escherichia coli pada daging segar terutama disebabkan oleh pemotongan
yang kurang terjaga sanitasinya. E. coli disebut juga koliform fekal karena ditemukan
dalam saluran pencernaan. Pada proses pemotongan ternak, penyebab
terbesar
kontaminasi E. coli adalah berasal dari isi saluran pencernaan hewan. Escherichia
coli dijadikan sebagai indikator sanitasi dari kontamisi feses. Beberapa strain
Escherichia coli sangat berbahaya karena dapat menyebabkan gangguan pencernaan
(McGraw, 1999). Escherichia coli juga digunakan sebagai indikasi kemungkinan
26
kontaminasi oleh bakteri enterik. Organisme yang ada pada daging sedikit
dipengaruhi oleh kondisi permukaan daging, Salmonella dan Escherichia coli
kemungkinan adalah bahaya utama pada daging yang disimpan di suhu ruang dalam
keadaan pH yang normal (Gill, 1982).
Kualitas Mikrobiologi Adonan Salami Probiotik
Sebelum pengujian kualitas mikrobiologi salami probiotik, terlebih dahulu
dilakukan pengujian kualitas mikrobiologi adonannya. Pengujian ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui jumlah mikroorganisme awal pembuatan salami dan
untuk mengetahui pengaruh fermentasi kultur starter yang ditambahkan dengan
melihat perubahan jumlahnya. Hasil uji kualitas mikrobiologi adonan salami
probiotik disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan Populasi Mikroorganisme Adonan Salami dengan Starter
BAL Kandidat Probiotik.
Kombinasi Kultur
Parameter
Kombinasi I
Kombinasi II
………………… log10 CFU/g ……………….....
BAL
9,41
9,97
TPC
12,28
15,49
Staphylococcus aureus
5,76
5,20
Escherichia coli
4,00
3,90
Jumlah bakteri asam laktat yang ada pada adonan sebanyak 9,41 log10 CFU/g
pada adonan dengan kultur starter Kombinasi I dan 9,97 log10 CFU/g pada adonan
dengan kultur starter Kombinasi II. Jumlah bakteri asam laktat dalam adonan telah
memenuhi kriteria penggunaan kultur bakteri asam laktat pada pembuatan sosis
fermentasi, kriteria populasi kultur bakteri asam laktat yang digunakan harus lebih
dari 8 log10 CFU/g. Jumlah bakteri asam laktat pada adonan lebih tinggi
dibandingkan pada daging, hal ini karena bakteri asam laktat pada adonan sengaja
ditambahkan.
Jumlah Total Plate Count (TPC) pada adonan salami jumlahnya lebih banyak
dibandingkan dengan Total Plate Count (TPC) yang ada pada daging, yaitu 12,28
log10 CFU/g pada adonan dengan kultur starter Kombinasi I dan 15,49 log10 CFU/g
27
pada Kombinasi II. Penambahan bakteri asam laktat secara sengaja pada adonan
mengakibatkan jumlah Total Plate Count (TPC) ikut meningkat. Jumlah Total Plate
Count (TPC) pada adonan didominasi oleh bakteri asam laktat karena memiliki
jumlah populasi tertinggi dibadingkan mikroorganisme yang lain.
Staphylococcus aureus pada adonan terlihat lebih tinggi jumlahnya
dibandingkan pada daging. Jumlah Staphylococcus aureus pada adonan mencapai
5,76 log10 CFU/g pada adonan dengan kultur starter Kombnasi I dan 5,20 log10
CFU/g pada adonan dengan kultur starter Kombinasi II atau naik rata-rata 1,08 log10
CFU/g dari jumlah awal pada daging. Peningkatan jumlah tersebut dapat disebabkan
oleh jumlah populasi awal Staphylococcus aureus yang tinggi pada daging dan
kontaminasi saat proses pengolahan atau saat pencapuran bahan. Kontaminasi dapat
berasal dari udara ruang pengolahan, alat pengolahan dan kontaminsai silang dengan
pekerja. Sama halnya dengan Staphylococcus aureus, jumlah Escherichia coli juga
mengalami kenaikan pada adonan. Jumlah Escherichia coli pada adonan yaitu 4,00
log10 CFU/g untuk adonan dengan kultur starter Kombinasi I dan 3,90 log10 CFU/g
untuk adonan dengan kultur starter kombinasi II. Jumlah tersebut naik rata-rata 0,61
log10 CFU/g dibandingkan jumlah pada daging. Kenaikan jumlah Escherichia coli
lebih disebabkan oleh lamanya selang waktu persiapan bahan sampai pada
pembuatan salami, sehingga menyebabkan Escherichia coli mengalami peningkatan
jumlah.
Kualitas Mikrobiologi Salami Probiotik
Uji kualitas mikrobiologis salami probiotik pada penelitian ini meliputi
analisis Total Plate Count (TPC), total bakteri asam laktat (BAL), total
Staphylococcus aureus dan total Escherichia coli. Kualitas mikrobiologi salami
dengan starter bakteri asam laktat kandidat probiotik kombinasi Lactobacillus spp.
1A5 dengan Lactobacillus fermentum 2B4 (Kombinasi I) dan
kombinasi
Lactobacillus Spp. 1A5 dengan Lactobacillus fermentum 2B2 (Kombinasi II)
disajikan pada Tabel 8.
28
Tabel 8. Rataan Populasi Mikroorganisme pada Salami dengan Starter BAL
Kandidat Probiotik.
Kombinasi Kultur
Parameter
Kombinasi I
Kombinasi II
……………… log10 CFU/g …………….
TPC
14,55 ± 1,73
12,87 ± 0,27
BAL
10,10 ± 0,26
10,56 ± 0,89
Staphylococcus aureus
6,27 ± 0,43
5,84 ± 0,292
Escherichia coli
2,90 ± 0,73
2,19 ± 0,26
Hasil uji t-student menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata secara
statistik (P<0,05) pada uji kualitas mikrobiologi salami probiotik, baik pada uji
jumlah total bakteri asam laktat, TPC, Staphylococcus aureus maupun Escherichia
coli. Hasil uji tersebut menunjukkan adanya kesamaan kualitas antara salami
probiotik yang menggunakan kultur starter Kombinasi I dengan salami probiotik
yang menggunakan kultur starter Kombinasi II.
Total Bakteri Asam Laktat
Jumlah total bakteri asam laktat salami probiotik mencapai 10,10 ± 0,26 log10
CFU/g pada salami probiotik dengan kultur Kombinasi I dan 10,56 ± 0,89 log10
CFU/g pada salami probiotik dengan kultur Kombinasi II. Perhitungan secara
statistik menggunakan uji t-student menunjukkan bahwa perbedaan jumlah bakteri
asam laktat antara kedua kombinasi tersebut tidak nyata (P<0,05).
Jumlah bakteri asam laktat kandidat probiotik pada kedua produk salami
melebihi 10 log10 CFU/g. Jumlah yang cukup dari probiotik yang dikonsumsi akan
memberikan efek positif, antara lain meningkatkan kekebalan secara alami terhadap
infeksi saluran pencernaan, mencegah kanker kolon, mengurangi konsentrasi serum
kolesterol, memperbaiki pencernaan, dan menstimulasi imunitas saluran pencernaan
(Collins dan Gibson, 1999).
Bakteri asam laktat yang ada pada salami lebih tinggi dibandingkan dengan
yang ada pada adonan, selisih jumlah bakteri asam laktat pada adonan dengan pada
produk salami adalah sebanyak 0,69 log10 CFU pada salami dengan kultur starter
Kombinasi I dan sebanyak 0,60 log10 CFU pada salami dengan kultur starter
29
Kombinasi
II.
Meningkatnya
jumlah
bakteri
asam
laktat
pada
salami
mengindikasikan bahwa bakteri asam laktat yang digunakan dapat tumbuh. Bakteri
asam laktat yang ditambahkan pada adonan akan mengalami fase adaptasi terlebih
dahulu sebelum mengalami pertumbuhan yang optimum. Pada fase adaptasi jumlah
populasi bakteri biasanya mengalami penurunan, dan akan memulai pertumbuhan
dari awal. Jumlah populasi akan meningkat jika fase adaptasi berhasil dilalui. Fase
adaptasi bakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu suhu, pH, aktivitas air,
jumlah nutrisi pada media pertumbuhan dan jumlah populasi awal (Fardiaz, 1992).
Menurut Food Safety and Inspection Service (FSIS) dari United States Departement
of Agriculture (2005), jumlah bakteri asam laktat pada pada produk fermentasi
daging akan mencapai 107-108 CFU/g selama proses fermentasi berlangsung.
Populasi (log10 CFU/g)
Peningkatan jumlah populasi bakteri asam laktat dapat dilihat pada Gambar 5.
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
Daging
Keterangan :
Kultur Kombinasi I
Adonan
Salami
Kultur Kombinasi II
Gambar 5. Peningkatan Jumlah Populasi Bakteri Asam Laktat
Pertumbuhan bakteri asam laktat pada pembuatan salami dipengaruhi juga
oleh penambahan bumbu-bumbu, penambahan gula, dan oleh jumlah awal mikroba
yang ditambahkan serta lamanya proses fermentasi. Penambahan garam sebanyak
2% tidak berpengaruh pada pertumbuhan bakteri asam laktat. Lamanya proses
pemeraman sosis dapat berpengaruh pada jumlah bakteri asam laktat. Semakin lama
waktu pemeraman maka jumlah bakteri asam laktat bisa semakin banyak. Wilson
(1981), menyatakan bahwa waktu pemeraman dan pengasapan yang dibutuhkan
dalam pembuatan sosis fermentasi semi kering, seperti cervalet, summer sausage,
bologna, dan berbagai jenis salami adalah selama 6 hari dengan total pengasapan
30
selama 12-16 jam pada suhu pengasapan 27-32 oC. Menurut Hidayati (2007), jumlah
bakteri asam laktat pada proses pemeraman sosis fermentasi mengalami fase
logaritmik pada hari ke-2 sampai hari ke-6, dengan puncak pertumbuhan pada hari
ke-6 dan mengalami penurunan secara drastis setelah hari ke-7.
Bakteri asam laktat yang tumbuh pada salami menyebabkan pH salami
menjadi menurun dibandingkan pH daging. Hal tersebut disebabkan oleh asam
organik yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat. Asam organik yang dihasilkan oleh
bakteri asam laktat antara lain adalah asam laktat dan asam asetat (Siegumfeldt et al.,
2000). Nilai pH salami probiotik mengalami penurunan dari 5,5-5,7 menjadi 4,3-4,4
(Puspitasari, 2008). Menurut Galgano et al. (2003), pada produksi sosis fermantasi
kering, faktor yang mempengaruhi rendahnya pH adalah faktor formulasi produk,
kondisi fermentasi, temperatur dan kelembaban. Ketersediaan karbohidrat dalam
daging juga berpengaruh terhadap penurunan pH. Karbohidrat yang terkandung
dalam daging sebanyak 1,2% dalam bentuk glikogen (Lawrie, 1995).
Total Plate Count (TPC)
Jumlah Total Plate Count pada produk salami dengan kultur Kombinasi I
adalah 14,55 ± 1,73 log10 CFU/g dan pada produk salami dengan kultur Kombinasi II
adalah 12,87 ± 0,27 log10 CFU/g. Jumlah Total Plate Count dari kedua produk
salami tidak berbeda secara statistik. Jumlah Total Plate Count pada salami
didominasi oleh populasi bakteri asam laktat dibandingkan jumlah mikroorganisme
lainnya. Tingginya jumlah bakteri asam laktat pada produk salami karena bakteri
asam laktat sengaja ditambahkan pada saat proses pembuatan. Selain itu bakteri asam
laktat juga mengalami pertumbuhan, sehingga jumlahnya menjadi lebih banyak
dibandingkan pada adonan.
Jumlah Total Plate Count pada salami dengan kultur Kombinasi II
mengalami penurunan, dibandingkan pada adonannya. Jumlah Total Plate Count
pada adonan mencapai 15,49 log10 CFU/g, sedangkan pada produk salami jumlahnya
menjadi 12,87 log10 CFU/g. Penurunan jumlah tersebut dapat disebabkan oleh
terhambatnya mikroba yang ada pada adonan oleh bakteri asam laktat. Bakteri yang
dapat terhambat pertumbuhannya oleh bakteri asam laktat adalah bakteri yang tidak
mampu bertahan pada asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat. Jumlah
bakteri asam laktat pada salami dengan kutur starter Kombinasi II sedikit lebih
31
banyak dibandingkan salami dengan kultur starter Kombinasi I. Hal itu
mengakibatkan jumlah asam yang dihasilkan pada salami dengan kultur starter
Kombinasi II lebih banyak dibandingkan dengan salami yang menggunakan kultur
starter Kombinasi I. Puspitasari (2008) menyebutkan bahwa nilai total asam tertitrasi
(TAT) salami dengan kultur starter Kombinasi II adalah 1,55±0,08, sedangkan
salami dengan kultur starter Kombinasi I adalah 1,43±0,05.
Pertumbuhan mikroorganisme dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
ketersediaan nutrisi, air, suhu, pH, oksigen, potensial reduksi-oksidasi, jumlah awal
populasi, adanya zat penghambat dan adanya jasad renik lainnya (Fardiaz, 1992).
Suhu yang digunakan pada pembuatan salami adalah suhu ruang (15-30 oC).
mikroorganisme yang suhu optimum pertumbuhannya di bawah suhu ruang
(psikrofilik) akan terhambat. Jumlah populasi Total Plate Count pada daging, adonan
Populasi (log10 CFU/g)
dan produk salami dapat dilihat pada Gambar 6.
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
Daging
Keterangan :
Kultur Kombinasi I
Adonan
Salami
Kultur Kombinasi II
Gambar 6. Jumlah Populasi Total Plate Count pada Daging, Adonan dan
Salami
Penambahan garam dan gula dapat berpengaruh terhadap jumlah populasi
mikroba pada produk salami. Garam dan gula berfungsi sebagai humektan, sehingga
dalam konsentrasi tertentu dapat membantu meningkatkan tekanan osmosis medium
atau bahan makanan. Meningkatnya tekanan osmosis akan mengakibatkan air yang
terikat dalam daging keluar, sehingga aktivitas air dalam daging juga ikut menurun
(Leistner dan Russel, 1991). Aktivitas air yang rendah dapat menyebabkan
pertumbuhan mikroba menjadi tidak optimal (Jay, 2000). Penambahan garam
32
sebanyak 2-3 % dapat berfungsi sebagai bakteristatik, menurunkan aw hingga 0,96,
meningkatkan protein terlarut dan memberikan rasa asin (Hui et al., 2001).
Nilai aw salami hasil penelitian adalah 0,92 untuk salami dengan kultur
Kombinasi I dan 0,91 untuk salami dengan kultur Kombinasi II. Kebanyakan bakteri
selain bakteri halofilik tidak dapat tumbuh pada nilai aw tersebut, namun
Staphylococcus aureus masih dapat tumbuh pada nilai aw sampai 0,86 (Purnomo,
1995). Nilai aw dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu nilai pH, jumlah protein
terdnaturasi, pengasapan, adanya garam dan sukrosa (Arief, 2000) serta dipengaruhi
jumlah mikroorganisme dalam salami. Semakin banyak air bebas yang digunakan
oleh mikroba akan mempengaruhi nilai aw salami. Lamanya waktu pemeraman dan
pengasapan berpengaruh pada nilai aw produk salami, waktu pemeraman pada
pembuatan salami pada penelitian ini adalah 3 hari dengan pengasapan selama 3
jam/hari. Waktu tersebut mengakibatkan penurunan nilai aw yang tidak begitu besar.
Nilai aw daging yang digunakan pada penelitian ini adalah 0,93.
Jumlah Total Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus secara luas tersebar di alam, khususnya pada tubuh
hewan berdarah panas (Evans et al., 1982). Staphylococcus aureus merupakan
bakteri penyebab keracunan yang memproduksi enterotoksin. Dibutuhkan banyak sel
Staphylococcus aureus untuk dapat memproduksi enterotoksin, secara normal
enterotoksin tidak akan muncul pada jumlah sel mencapai 106 CFU/g (FSIS-USDA,
2005). Lucke (1985), menyatakan bahwa Staphylococcus aureus memproduksi
toksin pada jumlah populasi 107 CFU/g. Jumlah Staphylococcus aureus pada adonan
salami mencapai 6,27 log10 CFU/g pada salami dengan kultur starter Kombinasi I,
sedangkan jumlah Staphylococcus aureus pada salami dengan kultur starter
Kombinasi II mencapai 5,86 log10 CFU/g. Jumlah ini tergolong tinggi, namun masih
di bawah jumlah populasi yang mampu memproduksi enterotoksin, Staphylococcus
aureus dapat menghasilkan enterotoksin jika jumlah populasinya mencapai 7 log10
CFU/g (Lucke, 1998). Jumlah Staphylococcus aureus pada daging yang digunakan
sebagai bahan baku adalah 4,40 log10 CFU/g, Jumlah ini melebihi standar yang
disyaratkan oleh SNI No. 01-6366-2000 yaitu 102 CFU/g untuk daging tanpa tulang.
Tingginya jumlah Staphylococcus aureus dapat berasal dari kontaminasi silang pada
33
saat pemotongan. Perbandingan jumlah populasi Staphylococcus aureus pada daging,
adonan dan salami diperlihatkan pada Gambar 7.
7
Populasi (log10 CFU/g)
6
5
4
3
2
1
0
Daging
Keterangan :
Adonan
Kultur Kombinasi I
Salami
Kultur Kombinasi II
Gambar 7. Jumlah Populasi Staphylococcus aureus pada Daging, Adonan dan
Salami.
Jumlah populasi Staphylococcus aureus pada kedua produk salami tidak
menunjukan perbedaan yang nyata secara statistik. Jumlah populasi Staphylococcus
aureus pada salami dengan kultur Kombinasi I adalah 6,27±0,43 log10 CFU/g,
sedangkan pada salami dengan kultur Kombinasi II jumlah populasinya adalah
5,843±0,292 log10 CFU/g. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan jumlah
Staphylococcus aureus pada adonan yang dipakai. Jumlah Staphylococcus aureus
adonan adalah 5,76 log10/g pada adonan dengan kultur Kombinasi I dan 5,2 log10/g
pada adonan dengan kultur Kombinasi II. Kenaikan jumlah Staphylococcus aureus
pada kedua produk salami berkisar antara 0,5-0,6 log10/g selama tiga hari
pemeraman. Hal itu berarti perumbuhan Staphylococcus aureus pada saat fermentasi
masih tidak secepat pertumbuhan tanpa adanya bakteri asam laktat, namun tidak
sepenuhnya terhenti. Lambatnya pertumbuhan Staphylococcus aureus di dalam
salami dipengaruhi oleh pH yang rendah. Menurut Hudson (2004), pH optimum
pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah 7,0-7,5, dengan kisaran 4,2-9,3 dan
dapat tumbuh pada pH rendah saat terdapat asam organik pada media
pertumbuhannya. Kondisi pH produk salami pada hari ke-3 pemeraman adalah
4,3-4,4. Nilai pH tersebut
merupakan batas pH minimum pertumbuhan
34
Staphylococcus aureus, sehingga Staphylococcus aureus masih dapat tumbuh dengan
lambat.
Hasil penelitian diperoleh bahwa nilai aw salami berada pada kisaran 0,91,
nilai aw ini belum cukup untuk menghambat secara total pertumbuhan
Staphylococcus aureus. Hal itu berarti penghambatan yang terjadi pada populasi
Staphylococcus aureus pada produk hanya dipengaruhi oleh asam organik yang
diproduksi oleh bakteri asam laktat.
Secara umum, penyebab utama populasi Staphylococcus aureus yang tinggi
pada kedua produk salami adalah tingginya populasi awal Staphylococcus aureus
pada daging segar dan pada adonan. Populasi awal yang tinggi dapat memungkinkan
Staphylococcus aureus mampu berkompetisi di fase awal fermentasi produk salami
sehingga waktu yang diperlukan lebih cepat dari waktu yang diperlukan kultur starter
yang digunakan (Lactobacillus spp. dan Lactobacillus fermentum 2B4 dan 2B2)
untuk memulai produksi antimikroba, yaitu pada jam ke-12 (Tribowo,2006).
Tingginya populasi awal Staphylococcus aureus mengakibatkan pengaruh senyawa
antimikroba yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat pada salami hanya sebatas
menghambat saja, namun belum dapat menurunkan atau membunuh populasi
Staphylococcus aureus secara keseluruhan.
Jumlah Escherichia coli
Jumlah Escherichia coli produk salami hasil penelitian adalah 2,90±0,73
log10 CFU/g pada produk salami dengan kultur Kombinasi I dan 2,19±0,26 log10
CFU/g pada produk salami dengan kultur Kombinasi II. Jumlah tersebut
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata berdasarkan uji t-student. Perbedaan
jumlah populasi Escherichia coli pada daging, adonan dan produk salami dapat
dilihat pada Gambar 8.
Jumlah Escherichia coli pada produk salami menunjukkan adanya penurunan
dibandingkan dengan jumlah Escherichia coli pada adonan. Jumlah Escherichia coli
pada adonan sebesar 4,00 log10 CFU/g untuk adonan dengan kultur Kombinasi I dan
3,90 log10 CFU/g untuk adonan dengan kultur Kombinasi II. Sedangkan pada salami
jumlahnya menurun sampai 2,19 log10 CFU/g. Penurunan tersebut diakibatkan oleh
senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat yang digunakan
sebagai kultur starter. Bakteri asam laktat yang digunakan pada pembuatan salami
35
terdiri dari Lactobacillus fermentum. Menurut Tribowo (2006), Lactobacillus
fermentum dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli. Lactobacillus
fermentum menghambat Escherichia coli dengan zona penghambatan mencapai 9,17
mm. Bakteri Escherichia coli dapat tumbuh pada kondisi pH optimum 7,0-7,5 dan
mempunyai kisaran suhu pertumbuhan 10-40 oC (Fardiaz, 1992).
4.5
Populasi (log10 CFU/g)
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
Daging
Keterangan :
Kultur Kombinasi I
Adonan
Salami
Kultur Kombinasi II
Gambar 8. Jumlah Populasi Escherichia coli pada Daging, Adonan
dan Salami
Jumlah Escherichia coli pada sosis fermentasi menurun sampai 2 log10 pada
produk akhir fermentasi. Namun masih ada Escherichia coli yang dapat bertahan
hidup pada sosis fermentasi melewati proses fermentasi dan pemeraman. Konsentrasi
NaCl dan NaNO2 yang tinggi kurang mampu menghambat pertumbuhan Escherichia
coli. Penghambatan yang paling tinggi dipengaruhi oleh asam organik yang
diproduksi oleh bakteri asam laktat pada sosis fermentasi (Erkkilä et al., 2000).
Asam organik yang dihasilkan oleh kultur starter dapat mengakibatkan penurunan
pH produk. Nilai pH salami pada penelitian ini mencapai 4,3. Nilai pH tersebut dapat
menekan pertumbuhan Escherichia coli pada salami.
36
Download