Hibah Luar Negeri, APBN dan “Grant Trap”

advertisement
Hibah Luar Negeri, APBN
dan “Grant Trap”
Kurniawan Ariadi *)
I. Pendahuluan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) “hibah” berarti pemberian (dengan sukarela)
dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.1 Padanan kata “hibah” dalam bahasa
Inggris adalah “grant’ (dalam jenis kata benda) yang menurut New Webster Dictionary and
Thesaurus of the English Language adalah act of granting the property. Pengertian ini dapat
dilawankan dengan “pinjaman” dan “utang”.2
Dari pengertian-pengertian tersebut secara implisit dapat dipahami bahwa menerima
hibah berarti menambah hak milik. Dalam peristilahan akuntansi berarti menambah aktiva
atau aset sedangkan dalam peristilahan anggaran menerima hibah berarti menambah
penerimaan. Tidak demikian halnya dengan utang yang (sempat) menjadi perdebatan apakah
termasuk penerimaan (di masa yang akan datang) atau pengeluaran (yang tertunda).
Dari pengertian tersebut juga dapat dipahami bahwa hibah dapat diberikan oleh siapa
pun kepada siapa pun dalam bentuk apa pun dengan cara apa pun, yang menentukan ada atau
tidaknya hibah adalah adanya pengalihan hak milik (secara sukarela).
Sementara itu menurut Undang-undang No. 2 Tahun 2000 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran (APBN TA.) 2000, “Penerimaan Hibah”
adalah semua penerimaan negara yang berasal dari sumbangan swasta dalam negeri dan
sumbangan lembaga swasta dan pemerintah luar negeri.
Tulisan ini akan memaparkan hibah yang diterima negara dan pemerintah Indonesia
dari sumber-sumber luar negeri, pengelolaannya dan permasalahan dalam pengelolaannya.
II. Hibah Luar Negeri dalam APBN
*)
Kurniawan Ariadi adalah staf Biro Kerja Sama Luar Negeri Bilateral Bappenas. Tulisan ini merupakan penggalan atau
“versi ringkas” dari tulisan dengan judul yang sama yang juga ditulis oleh Kurniawan Ariadi-red.
1
. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(edisi II), Balai Pustaka, Jakarta, 1999. Menurut penulis objek penyerta hibah bukan hanya orang lain melainkan juga
badan atau organisasi.
2
. Kata ”meminjam” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (ibid) adalah memakai barang (uang dan sebagainya) orang
lain untuk sementara waktu. Sedangkan “utang” adalah uang yang dipinjam dari orang lain atau kewajiban membayar
kembali apa yang sudah diterima.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc
# 1
A. APBN Pemerintahan Orde Baru
Selama pemerintahan orde baru (orba), setidaknya dari TA. 1969/1970 sampai dengan
TA. 1998/1999, APBN disusun berdasarkan sistem anggaran berimbang (T account) dan
diklasifikasikan menjadi dua pos besar (sisi), yaitu penerimaan dan pengeluaran. 3
Pada sisi penerimaan terbagi atas penerimaan dalam negeri dan penerimaan
pembangunan. Penerimaan pembangunan menurut APBN-APBN tersebut adalah penerimaan
yang berasal dari nilai lawan rupiah bantuan dan atau pinjaman luar negeri. Penerimaan
pembangunan tersusun atas dua komponen yaitu bantuan program dan bantuan proyek.
Bantuan program merupakan nilai lawan rupiah dari bantuan dan atau pinjaman luar negeri
dalam bentuk pangan dan bukan pangan serta pinjaman yang dapat dirupiahkan. Sedangkan
bantuan proyek adalah nilai lawan rupiah dari bantuan dan atau pinjaman luar negeri yang
digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan.
Terdapat dua hal yang dapat ditarik dari pengertian tersebut. Pertama, penerimaan
pembangunan pada dasarnya merupakan sumber daya atau sumber dana yang berasal dari luar
negeri. Kedua, bantuan program dan bantuan proyek terdiri atas pinjaman dan bantuan
(hibah). Hal ini membawa konsekuensi meleburnya sumber daya dan dana yang berupa hibah
dan yang berupa pinjaman (utang) sehingga tidak nampak sumber daya dan dana yang serta
merta menjadi hak milik negara khususnya pemerintah dan sumber dana yang mesti
dikembalikan. Yang dapat diketahui dari sistem APBN seperti ini adalah bahwa setiap tahun
pemerintah harus mengeluarkan sejumlah dana untuk membayar cicilan pokok pinjaman
(utang) luar negeri dan bunganya.
B. APBN TA. 1999/2000
Sejalan dengan tuntutan reformasi, pemerintahan Presiden Habibie berupaya pula
memperbaharui sistem APBN. Secara umum sebenarnya tidak banyak yang berubah namun
penyusunan APBN TA. 1999/2000 nampak diusahakan untuk lebih transparan. APBN tahun
anggaran-tahun anggaran sebelumnya dinilai kurang transparan dan terkesan “mengelabui”
terutama pos penerimaan pembangunan. APBN TA. 1999/2000 tetap menggunakan sistem
anggaran berimbang tetapi pos penerimaan pembangunan berganti nama menjadi penerimaan
luar negeri sehingga sisi penerimaan APBN TA. 1999/2000 terdiri atas penerimaan dalam
negeri dan penerimaan luar negeri.
Penerimaan luar negeri merupakan penerimaan yang berasal dari nilai lawan rupiah
pinjaman luar negeri. Penerimaan luar negeri terdiri atas dua komponen, yaitu pinjaman
program dan pinjaman proyek. Pinjaman program adalah nilai lawan rupiah dari pinjaman
luar negeri dalam bentuk pangan dan bukan pangan serta pinjaman yang dapat dirupiahkan.
Pinjaman proyek adalah nilai lawan rupiah dan pinjaman luar negeri yang digunakan untuk
membiayai proyek pembangunan.
Dengan klasifikasi dan pengertian seperti tersebut, pada TA, 1999/2000 hibah luar
negeri “hilang dari peredaran” atau tidak tercatat (tidak diperhitungkan) dalam APBN.
Padahal pada tahun anggaran ini sejumlah negara anggota Consultative Group on Indonesia
(CGI) memberikan komitmen hibah yang dapat dicairkan pada tahun anggaran yang
3
.
Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 1998/1999.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc
# 2
bersangkutan. Jumlah hibah pledge CGI tahun 1999 adalah sebesar USD 490 juta. Menurut
Nota Keuangan dan Rancangan APBN TA. 2001 (hal. IV/31), realisasi hibah pada TA.
1999/2000 dalam bentuk in-cash sebesar Rp 50,6 miliar.
C. APBN TA. 2000
Mulai TA. 2000 (tahun anggaran transisi sebelum penyesuaian tahun anggaran dengan
tahun takwim), format APBN disusun menurut standar internasional, yaitu Government
Finance Statistic (GFS). Berbeda dengan sistem anggaran berimbang dimana pinjaman
program dan proyek dimasukkan dalam pos penerimaan, APBN dengan format GFS
menggunakan sistem deficit spending dimana pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar
negeri merupakan sumber untuk menutup defisit anggaran dan tidak lagi diklasifikasikan
sebagai penerimaan.
Selain itu dalam format baru ini secara jelas dinyatakan adanya hibah sebagai salah
satu sumber penerimaan negara. Hibah didefinisikan sebagai semua penerimaan negara yang
berasal dari sumbangan swasta dalam negeri dan sumbangan lembaga swasta dan pemerintah
luar negeri.
Meskipun dalam kerangka CGI terdapat negara-negara dan lembaga-lembaga
internasional yang secara konsisten (sesuai kebijakan nasionalnya) memberikan hibah kepada
Indonesia, pada APBN TA. 2000 ternyata perencanaan penerimaan hibah ditetapkan nihil (0
rupiah). Sedangkan dalam Nota Keuangan dan Rancangan APBN TA. 2001 yang
disampaikan pemerintah kepada DPR tanggal 2 Oktober 2000 (hal. IV/31), realisasi
penerimaan hibah pada TA. 2000 sampai bulan Agustus 2000 masih nihil namun diperkirakan
sampai akhir tahun anggaran diharapkan dapat terealisasi sebesar Rp 211,1 miliar. Dalam
sidang CGI Februari 2000, para peserta CGI telah memberikan pledge berupa hibah sebesar
USD 510 juta.
II. Ragam dan Pengadministrasian Hibah yang Diterima (Pemerintah) Indonesia4
Negara-negara dan lembaga-lembaga multilateral/internasional yang tergabung dalam
CGI merupakan sumber utama pinjaman dan hibah luar negeri Pemerintah Indonesia. Setiap
tahun (kecuali tahun 2000) forum tersebut mengadakan pertemuan di Paris atau Tokyo
ataupun di Jakarta. Dalam pertemuan tahunan ini para anggota CGI menyampaikan
pledge/komitmennya untuk mendukung pembiayaan pembangunan yang diperlukan
Pemerintah Indonesia. Pledge ini berupa pinjaman dan hibah.
Negara-negara Australia, Finlandia, Kanada, Selandia Baru. Swiss, Swedia dan
lembaga-lembaga dalam naungan PBB (UN family), Uni Eropa selalu memberikan pledge
dalam bentuk hibah. Sedangkan negara-negara Austria, Spanyol, dan lembaga-lembaga Bank
Dunia, Islamic Development Bank dan International Fund for Agricultural Development
selalu memberikan pledge dalam bentuk pinjaman. Sisanya memberikan pledge dalam bentuk
pinjaman dan hibah.
4
. Uraian yang lebih rinci mengenai ragam dan pengadministrasian hibah yang diterima (Pemerintah) Indonesia berikut
contoh-contohnya dapat dibaca pada “Pengelolaan Hibah Luar Negeri dan ‘Grant Trap’ “ oleh Kurniawan Ariadi.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc
# 3
Selama tujuh tahun terakhir pledge CGI dalam bentuk hibah adalah sebagai berikut
(dalam juta dolar AS dengan pembulatan):
Tabel I: Hibah dalam rangka Pledge CGI
Tahun
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001*)
Pledge
570
445
381
875
490
510
678
*) Hasil pertemuan CGI X di Tokyo bulan Oktober 2000. Angka tersebut termasuk alokasi untuk LSM sebesar USD 88 juta.
Yang perlu dicermati adalah bahwa hibah tersebut tidak selalu dapat dicairkan pada
tahun yang bersangkutan. Hal ini berkaitan dengan dasar yang dipergunakan anggota CGI
dalam penentuan pledge baik hibah maupun pinjaman. Pledge yang diberikan anggota CGI
bisa didasarkan komitmen atau dapat pula berdasarkan perkiraan disbursement.
Pledge atas dasar komitmen menunjukkan bahwa pledge tersebut berdasarkan jumlah
seluruh alokasi dana untuk proyek-proyek baru dan perpanjangan yang merupakan komitmen
donor (committed projects). Dengan demikian realisasi pencairan alokasi dana komitmen
tersebut bergantung pada pelaksanaan committed projects. Oleh karenanya pledge ini bisa saja
mulai dicairkan satu tahun, dua tahun atau bahkan tiga tahun setelah pledge tersebut
dinyatakan. Negara-negara yang memberikan pledge hibah atas dasar komitmen adalah
Jepang, Jerman, dan Korea.
Pledge atas dasar disbursement menunjukkan bahwa pledge tersebut berdasarkan
perkiraan seluruh dana yang dapat dicairkan pada setahun mendatang baik untuk proyekproyek yang sedang berjalan maupun proyek-proyek baru sepanjang dananya dapat dicairkan
pada satu tahun anggaran ke depan. Persoalan yang sering muncul berkaitan dengan hal ini
adalah penggunaan dasar tahun anggaran. Negara-negara donor dalam memberikan pledge
menggunakan dasar tahun anggaran mereka yang umumnya berbeda dengan tahun anggaran
Indonesia. Amerika Serikat, Australia, Finlandia, Selandia Baru, Kanada, Inggris merupakan
contoh negara-negara yang memberikan pledge atas dasar perkiraan disbursement dan negaranegara ini mempunyai tahun anggaran yang berbeda dengan Indonesia.
Seperti dikemukakan di atas, hibah dapat diberikan oleh siapa pun, kepada siapa pun
juga, dalam bentuk apa pun dengan cara bagaimana pun, yang terpenting adalah adanya
penyerahan hak milik (secara sukarela). Begitu juga halnya yang terjadi dengan hibah yang
diterima Pemerintah Indonesia yang terdiri atas berbagai bentuk (skema) dan mekanisme.
Keragaman hibah tersebut secara singkat dapat diuraikan berikut ini.
A.
Hibah menurut skema atau bentuknya:
1. Hibah dalam bentuk cash
Hibah ini sangat terbatas dan diberikan kepada negara-negara yang sangat miskin
(pendapatan per kapita per tahun kurang dari USD 200). Tujuannya untuk
memperbaiki neraca pembayaran negara-negara tersebut. Indonesia pernah dua kali
menerima hibah dalam skema ini meskipun Indonesia pada saat menerimanya tidak
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc
# 4
tergolong sebagai negara sangat miskin. Cara penarikan dana hibah tersebut dengan
menunjukkan bukti impor atas komoditas yang eligible sesuai kesepakatan dengan
pemberi hibah.
2. Hibah dalam bentuk barang dan jasa dalam rangka bantuan proyek (project
assistance) atau kerja sama keuangan (financial cooperation)
a. Hibah dalam bentuk barang dan jasa yang berdiri sendiri
Secara mudah dapat dikatakan hibah dalam skema ini sama dengan pinjaman luar
negeri untuk proyek-proyek pembangunan (pengadaan barang dan jasa). Yang
membedakan adalah sumber dana dalam skema ini tidak perlu dikembalikan.
Pengadaan barang dan jasa dalam rangka hibah skema ini diproses sebagaimana
halnya dalam rangka pinjaman luar negeri.
b. Hibah dalam bentuk barang dan jasa untuk mendukung atau sebagai bagian
project assistance yang dibiayai pinjaman
Hibah seperti ini berupa dana dan diberikan bersama-sama dengan pinjaman
untuk pembiayaan suatu proyek pengadaan barang dan jasa. Meskipun hibah yang
diberikan berupa dana, seperti halnya skema butir 2.a. pembayaran tetap dilakukan
oleh pihak pemberi hibah sesuai dengan progress proyek melalui mekanisme direct
payment. Pihak peminjam (Pemerintah Indonesia) hanya menerima barang dan jasa.
3. Hibah dalam rangka bantuan teknik (technical assistance) atau kerja sama
teknik (technical cooperation)
a. Hibah untuk mendukung proyek-proyek yang dibiayai pinjaman
Hibah bentuk ini umumnya berupa studi untuk persiapan, appraisal atau pun
monitoring proyek-proyek pengadaan barang dan jasa yang dibiayai pinjaman. Dalam
hal ini pihak pemberi dana menyediakan tenaga ahli dan membiayai seluruh kegiatan
yang dilakukan tenaga ahli tersebut. Pihak penerima hibah hanya memfasilitasi
kegiatan tenaga-tenaga ahli tersebut dan menerima hasil studi, appraisal atau
monitoring.
b. Hibah dalam rangka technical assistance yang berdiri sendiri
Hibah dalam skema ini pada dasarnya berupa penyediaan tenaga ahli dan atau
konsultan untuk melaksanakan suatu proyek atau kegiatan tertentu. Lingkup pekerjaan
konsultan berbeda-beda bergantung pada jenis proyek/kegiatan dan kontrak yang
mengikatnya. Hibah bentuk inilah yang lazim diberikan oleh semua negara dan
lembaga donor.
Dalam skema ini dimungkinkan adanya pengadaan barang namun sifatnya hanya
pendukung pekerjaaan tenaga ahli seperti pengadaan mobil, mesin fotokopi dan
peralatan kerja lainnya. Semua pembayaran/pembiayaan tenaga ahli dilakukan
sepenuhnya oleh pihak donor. Penerima hibah umumnya hanya menyediakan fasilitas
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc
# 5
pendukung (in-kind) seperti ruang kantor, personalia pendamping, kendaraan agar
tenaga ahli tersebut dapat bekerja dengan baik.
c. Bea siswa dan pelatihan
Bentuk hibah yang juga lazim diberikan adalah bea siswa untuk studi bergelar
maupun non-gelar di dalam ataupun di luar negeri, pelatihan di dalam dan di luar
negeri, magang di negara atau lembaga pemberi hibah, dan pertukaran pemuda.
Masalah administrasi keuangan skema ini dikelola langsung oleh negara atau lembaga
pemberi hibah.
4. Hibah dalam rangka bantuan kemanusiaan (humanitarian aids)
Hibah ini sifatnya lebih merupakan bantuan darurat. Hibah yang diberikan biasanya
berupa bahan esensial yang sangat diperlukan seperti pangan, obat-obatan atau selimut
serta ada kalanya uang tunai. Perwakilan-perwakilan negara donor umumnya
mempunyai reserve untuk bantuan-bantuan kemanusiaan.
B. Hibah menurut peruntukan dan penyalurannya
1. Hibah untuk pemerintah (government to government)
Hibah jenis ini adalah hibah dalam berbagai skema di atas yang diperuntukkan
bagi proyek-proyek pemerintah atau kegiatan-kegiatan dalam rangka program atau
proyek pemerintah dan umumnya dilaksanakan oleh instansi-instansi pemerintah atau
lembaga bentukan (“semi”) pemerintah seperti Komnas HAM.
Hibah ini diberikan oleh donor atas dasar usulan resmi Pemerintah Indonesia dan
dalam kerangka kerja sama pembangunan bilateral atau dalam kerangka kerja sama
dengan lembaga multilateral/internasional yang bersangkutan.
2. Hibah untuk non pemerintah (government to private)
Hibah ini diberikan dan disalurkan langsung oleh pemerintah atau lembaga donor
kepada lembaga-lembaga non pemerintah. Persoalan yang sering muncul dalam kaitan
ini adalah dimasukkannya alokasi hibah untuk lembaga-lembaga non pemerintah
(lembaga swadaya masyarakat) sebagai bagian dari bantuan pembangunan resmi
donor atau official development assistance (ODA) kepada Indonesia yang berarti juga
dimasukkan sebagai bagian dari pledge CGI. Sementara pengelolaan hibah ini
ditangani langsung oleh donor dan pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya kepada
lembaga atau organisasi penerima. Kesulitan yang dihadapi adalah bilamana
pemerintah dituntut (khususnya oleh Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberikan
informasi yang rinci mengenai arah penggunaan hibah atau pledge yang telah diterima.
Terdapat anggapan bahwa seluruh hibah ODA yang diberikan adalah untuk
pembiayaan program-program pemerintah yang telah tercatat dalam APBN. Padahal
kenyataannya tidaklah demikian, hibah tersebut bahkan tidak “mampir” ke dalam kas
pemerintah. Lebih dari itu acapkali pihak donor nampak kurang terbuka dalam
memberikan informasi mengenai organisasi yang mendapat hibah, jumlah hibah yang
diberikan dan peruntukannya.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc
# 6
3. Trust fund dan partnership
Trust fund adalah suatu mekanisme dimana beberapa donor (umumnya bilateral)
menyalurkan
hibahnya
melalui
satu
donor
lembaga
multilateral
(internasional/regional) seperti UNDP atau Uni Eropa yang bertindak sebagai
pengelola. Hibah, baik berupa dana maupun tenaga ahli, “dipercayakan” oleh pemberi
hibah kepada lembaga pengelola tersebut untuk membiayai atau mendukung programprogram yang telah disusun oleh lembaga yang bersangkutan. Dana dan tenaga ahli ini
akan dimanfaatkan/dipekerjakan di bawah bendera lembaga pengelola.
Terkait dengan trust fund adalah pola yang dikenal dengan partnership. Pada
dasarnya partnership menyerupai trust fund. Hal yang sedikit membedakan adalah
dalam partnership dana dan tenaga ahli yang “dipercayakan” dipergunakan untuk
membiayai/mendukung suatu kegiatan tertentu (lebih spesifik sifatnya) yang telah
disepakati bersama oleh para donor. Di samping itu dalam pelaksanannya pola
partnership tidak hanya melibatkan lembaga pemerintah namun lembaga-lembaga non
pemerintah yang berkompeten. Dengan demikian pola partnership sesungguhnya
adalah juga pola trust fund.
Masalah yang cukup rumit dalam persoalan hibah adalah pengadminsitrasian.
Berhubungan dengan hibah luar negeri adalah berarti memasuki wilayah hubungan
internasional. Hal ini akan bersinggungan dengan masalah-masalah perjanjian internasional
yang berarti pula berhubungan dengan setidaknya dua sistem administrasi, hukum dan
keuangan (anggaran) yang berbeda. Memadukan sistem-sistem yang berbeda inilah yang
merupakan faktor dasar kerumitan pengadministrasian hibah luar negeri.
Pada aspek perundangan dapat dikatakan hampir tidak ada dokumen perundangan
yang mengatur secara jelas pengadminsitrasian hibah. Meskipun dalam hal pinjaman luar
negeri juga belum ada peraturan perundangan yang komprehensif, masih terdapat peraturanperaturan yang secara parsial mengatur atau terkait dengan pinjaman luar negeri. Ketentuan
perundangan yang relatif rinci mengatur hibah luar negeri adalah Surat Keputusan Bersama
Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional /Ketua Bappenas
No. 185/KMK.03/1995 dan No. KEP.031/KET/5/1995 tanggal 5 Mei 1995 tentang Tata Cara
Perencanaan, Penatausahaan dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri dalam rangka
Pelaksanaan APBN.5
Pada aspek kelembagaan di Indonesia, pengadministrasian hibah luar negeri
setidaknya terkait dengan empat institusi disamping instansi pelaksana proyek. Keempat
institusi tersebut adalah Departemen Luar Negeri, Departemen Keuangan, Bappenas, dan
5
.
Sebagai ilustrasi “terabaikannya” masalah hibah luar negeri adalah kebijakan pemerintah yang memberikan peluang
kepada daerah untuk melakukan pinjaman luar negeri. Untuk hal ini telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.
107/2000 tanggal 10 November 2000 tentang Pinjaman Daerah. Sesuai dengan namanya, PP ini hanya mengatur
pinjaman dalam negeri dan luar negeri yang dilakukan daerah dari aspek perencanaan, penatausahaan dan pemantauan.
Masalah hibah luar negeri yang dilakukan oleh daerah sama sekali belum diataur. Padahal proyek-proyek kerjasama
pembangunan luar negeri yang dilaksanakan oleh daerah saat ini sebagian besar berbentuk hibah . Disamping itu
negara-negara donor semakin cenderung mendekati pemerintah daerah untuk menawarkan proyek-proyek kerja sama
(teknik) dan mulai menetapkan peningkatan kapasitas daerah sebagai salah prioritas kerja sama pembangunan dengan
Indonesia.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc
# 7
Sekretariat Negara.6 Secara garis besar Departemen Luar Negeri mengkoordinasi dan
bertanggung jawab atas masalah-masalah diplomatik (diplomatic arrangement), Departemen
Keuangan atas masalah administrasi keuangan dan alokasi anggaran pendamping, Bappenas
atas masalah program dan substansi kegiatan, dan Sekretariat Negara atas masalah-masalah
legal administrasi termasuk diantaranya penelitian dan pemberian ijin (clearance) untuk
tenaga-tenaga ahli yang dipekerjakan dan pembebasan bea masuk.
Dokumen kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan pemberi donor sebagai
landasan hukum tertulis pemberian hibah juga beragam. Karena posisinya sebagai penerima,
Pemerintah Indonesia lebih banyak mengikuti prosedur dan sistem administrasi pemberi hibah
ketimbang sebaliknya. Sekali pun demikian, untuk masing-masing donor juga terdapat
beragam dokumen bergantung pada skema atau bentuk hibah yang disepakati. Berikut ini
adalah dokumen-dokumen kerja sama dalam rangka hibah luar negeri yang selama ini
diadakan Pemerintah Indonesia.
- Agreement
- Memorandum of Understanding
- Administrative Arrangement
- Minutes of Meeting
- Exchange of Notes
- Project Document
- Financing Agreement
- Protocol on Financial Cooperation
- Financing Memorandum
- Record of Discussions
- Grant Agreement
- Strategic Objective
- Implementation Agreement
- Technical Assistance Agreement
IV. “Grant Trap”7
Judul tulisan ini menyebut istilah “grant trap” yang mengingatkan istilah “debt trap”.
Isitilah “debt trap” mulai dikemukakan oleh Cheryl Payer. Dalam bukunya yang berjudul
The Debt Trap the IMF and the Third World (1974) Payer memang tidak secara clear cut
memberikan batasan istilah debt trap. Pada dasarnya debt trap menggambarkan bagaimana
upaya yang dilakukan negara-negara berkembang untuk membangun dengan cara meminjam
sumber dana internasional (khusunya IMF) justru membawa negara-negara tersebut makin
terjerat dan kecanduan utang. Hal ini dikarenakan salah kelola (mismanagement) utang luar
negeri oleh pemerintah, tidak baiknya pengelolaan sumber daya alam, pasar internasional
komoditas negara-negara berkembang dan sistem keuangan internasional.
Grant trap seperti yang penulis maksud nuansanya memang berbeda dengan debt trap
dan sebenarnya lebih menggambarkan kondisi pengelolaan hibah luar negeri di Indonesia.
Terdapat tiga faktor yang dapat mendorong ke arah grant trap seperti terurai berikut ini.
6
.
7
.
Penanganan hibah luar negeri atau tepatnya kerja sama teknik luar negeri di Sekretariat Negara dilakukan oleh Biro
Kerjasama Teknik Luar Negeri. Sebelum pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, biro ini berada di bawah
Sekretaris Kabinet.
Penulis sangat berterima kasih kepada Bapak M. Heri Santoso dari Biro Kerja Sama Luar Negeri Bilateral Bappenas
yang telah memberikan masukan untuk memperkaya bahasan mengenai “grant trap”.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc
# 8
Trap 1
Sebagai sumber dana dengan tidak ada kewajiban pengembalian, sudah barang tentu
hibah menjadi sumber pembiayaan yang “menggiurkan” dan bila mungkin seluruh sumber
pembiayaan luar negeri diperoleh dalam bentuk hibah. Akan tetapi sayangnya jumlah hibah
jauh lebih kecil dari pinjaman (sebagai salah satu indikator jumlahnya antara 7 – 11% dari
jumlah seluruh pledge). Negara-negara dan lembaga-lembaga penyedia hibah juga tidak
banyak dan diantaranya telah memiliki sektor-sektor prioritas. Oleh karenanya derajat trade
off hibah jauh lebih tinggi daripada pinjaman.
Pemikiran bahwa hibah adalah sumber pembiayaan cuma-cuma kerap menggiring
kepada tindakan atau kebijakan untuk menggunakan hibah untuk proyek apa saja atau
mengusulkan proyek apa saja untuk dibiayai hibah tanpa adanya pertimbangan atau kajian
yang lebih dalam mengenai urgensi dan manfaat proyek dikaitkan dengan arah atau prioritas
pembangunan. Tindakan ini tanpa menyadari bahwa penggunaan hibah yang jumlahnya
sangat terbatas untuk satu proyek akan menghilangkan peluang proyek lain untuk dibiayai.
Yang lebih buruk banyak hasil studi atau rekomendasi kebijakan yang dibiayai hibah
luar negeri tidak ditindaklanjuti dan diinformasikan kepada pihak-pihak terkait. Akibatnya
banyak instansi pemerintah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi yang terkait satu sama
lain mengusulkan proyek-proyek atau kegiatan-kegiatan yang sejenis untuk dibiayai hibah
luar negeri.
Trap 2
Faktor kedua berkaitan dengan muatan atau misi hibah yang diberikan donor
khususnya donor bilateral.
Sudah menjadi fenomena bahwa hibah yang sebagian besar berupa studi kelayakan
umumnya berujung pada rekomendasi untuk mengadakan proyek (konstruksi dan pengadaan
barang) yang mengarah pada penggunaan barang-barang produksi, tenaga ahli dan kontraktor
negara donor. Rekomendasi ini kerap juga disertai dampak negatif atau gambaran yang buruk
bila konstruksi atau pengadaan barang tersebut tidak segera dilaksanakan. Hal ini mendorong
instansi pelaksana “ngotot” mengusulkan proyek tersebut untuk dibiayai pinjaman luar negeri
yang tidak selalu bersyarat lunak.
Masih bersinggungan dengan hal ini, antara tahun 1995 – 1998, Wakil Ketua
Bappenas, yang pada waktu dijabat oleh Rahardi Ramelan, sempat mengeluarkan kebijakan
tak tertulis untuk tidak mengusulkan proyek-proyek community development dalam rangka
hibah luar negeri (agar tidak dicantumkan dalam Buku Biru). Kebijakan ini diambil karena
ditengarai bahwa hasil-hasil studi yang disampaikan kepada Pemerintah Indonesia lebih
banyak hal-hal yang sifatnya baik. Sebaliknya sisi-sisi negatifnya dipergunakan mereka
(pelaksana dari negara donor) sebagai bahan “konsumsi poitik” yang dapat menyudutkan
Pemerintah Indonesia.
Trap 3
Faktor ketiga terkait dengan kebijakan anggaran pembangunan Pemerintah Indonesia.
Telah menjadi kebijakan pemerintah bahwa dana pendamping proyek-proyek pinjaman/hibah
luar negeri merupakan prioritas dalam pengalokasian anggaran pembangunan. “Sayangnya”
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc
# 9
apabila boleh dikatakan demikian, banyaknya pinjaman atau hibah yang diterima oleh
departemen/LPND tidak berkorelasi positif dengan besarnya lokasi dana rupiah.8
Konsekuensi kebijakan ini, departemen/LPND harus menyisihkan terlebih dahulu
alokasi anggaran pembangunannya untuk proyek-proyek hibah luar negeri di lingkungannya
masing-masing. Permasalahan akan muncul jika suatu instansi pelaksana (katakanlah suatu
direktorat jenderal/ditjen) mendapatkan alokasi angaran pembangunan yang relatif tidak besar
sementara ditjen ini mempunyai proyek yang dibiayai hibah luar negeri dari salah satu donor
X. Akan tetapi, karena relatif kecilnya alokasi dana pembangunan rupiah, kebutuhan dana
pendamping untuk proyek ini akhirnya justru menyedot sebagian besar alokasi anggaran
pembangunan ditjen tersebut. Padahal bila dibandingkan dengan proyek-proyek hibah luar
negeri lainnya khususnya yang diberikan donor X tersebut, jumlah alokasi dana hibah untuk
ditjen tersebut sangat kecil. Akibatnya alokasi dana pembangunan rupiah murni untuk proyekproyek atau kegiatan-kegiatan lain di ditjen tersebut menjadi berkurang banyak. Terlebih lagi
kegiatan hibah tersebut hampir seluruhnya dilaksanakan oleh tenaga asing dari donor yang
bersangkutan dan sangat sedikit melibatkan tenaga nasional atau dapat dikatakan hanya untuk
memberi pekerjaan tenaga kerja mereka.9 Masalah akan bertambah lagi bila dipertanyakan
output dan outcome dari hibah tersebut.
Kurangnya pengetahuan para penanggung jawab dan pelaksana proyek mengenai
peraturan dan ketentuan mengenai pengadaan barang dan jasa khususnya yang terkait dengan
pinjaman dan hibah luar negeri kadangkala mendorong penanggung jawab dan pelaksana
proyek memberikan komitmen dana pendamping sebelum dikonsultasikan terlebih dahulu
dengan instansi yang berwenang. Dari sini dapat muncul praduga bahwa proyek yang
dibiayai pinjaman atau hibah luar negeri (hanya) dijadikan sarana untuk menambah alokasi
anggaran di instansi yang bersangkutan.
Akuntabilitas proyek-proyek yang dibiayai hibah luar negeri juga rendah. Hal ini
karena pengelolaan dana hibah hampir seluruhnya dilakukan oleh donor termasuk pengadaan
barang pendukung dan rekrutmen. Hampir seluruh donor selama ini tidak menyampaikan
laporan penggunaan (break down) alokasi dana hibah untuk masing-masing proyek sehingga
tidak dapat diketahui berapa dana yang dialokasikan untuk menggaji tenaga ahli mereka,
untuk pengadaan perlengkapan pendukung dan untuk core activity proyek itu sendiri. Laporan
yang disampaikan lebih pada penyerapan secara total. Perhitungan laporan inipun
menggunakan dasar tahun anggaran mereka.
V. Penutup
Walaupun jumlahnya terbatas, sebagai salah satu sumber penerimaaan negara, hibah
luar negeri merupakan salah satu alternatif yang perlu terus diupayakan perolehannya antara
lain karena sifatnya yang relatif jauh lebih murah. Upaya pengelolaan hibah luar negeri
terutama dalam rangka tertib anggaran ternyata menghadapi permasalahan yang justru muncul
karena sifat hibah itu sendiri. Adanya anggapan kuat di sementara kalangan, bahkan di DPR,
bahwa hibah (dan juga pledge CGI) yang diterima pemerintah sebagai dana segar juga
8
.
9
.
Secara logika sederhana memang demikianlah seharusnya. Suatu sektor atau bagian anggaran yang telah menerima
dana luar negeri tidak lagi menerima rupiah yang besar. Rasionalnya, kebutuhan sektor atau bagian tersebut telah
terpenuhi oleh dana luar negeri sehingga dana rupiah yang ada dapat dialokasikan untuk sektor atau bagian yang lain.
Kajian yang menarik mengenai hal ini khususnya tentang penggunaan tenaga ahli dalam rangka bantuan teknik dapat
dilihat pada Howard White (peny.), Aid and Macroeconomic Performance: Theory, Empirical Ecidence and Four
Country Cases, Institute of Social Studies, 1998.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc
# 10
menjadi permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam upaya pengelolaan hibah yang lebih
accountable. Sejauh ini pemerintah masih cukup sulit memantau hibah luar negeri yang
diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga swadaya masyarakat sekali pun hibah
tersebut dinyatakan sebagai bagian dari bantuan pembangunan resmi kepada Indonesia.
Pada satu sisi, sumber-sumber pembiayaan luar negeri memang sedapat mungkin
diperoleh dalam bentuk hibah. Pada sisi lain, bentuk-bentuk hibah yang diterima,
kekurangcermatan dalam pengeloaan hibah dan kebijakan pengalokasian anggaran dapat
membuat hibah yang diterima berakibat kurang menguntungkan bagi negara, dalam arti hibah
yang diterima dan hasilnya tidak sebanding dengan biaya dan sumber daya lain yang
dikeluarkan untuk mendapatkan hibah tersebut.
Oleh karena itu diperlukan peningkatan kapasitas pengelolaan (perencanaan,
pengadministrasian dan pemantauan) hibah luar negeri sehingga dapat terhindar tumpang
tindih baik antar instansi maupun antar donor. Demikian pula hibah luar negeri dapat
diarahkan untuk kegiatan dimana Pemerintah Indonesia mendapat manfaat atau nilai tambah
yang besar.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc
# 11
Daftar Pustaka
Payer, Cheryl, The Debt Trap: The IMF and the Third World, Monthly Review Press, New
York, 1974.
White, Howard (peny.), Aid and Macroeconomic Performance: Theory, Empirical Evidence
and Four Country Cases, Institute of Social Studies, 1998.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi II), Balai Pustaka, Jakarta, 1999.
Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 1998/1999.
Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 1999/2000.
Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2001.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2000.
______, New Webster’s Dictionary and Thesaurus of the English Language, Lexicon
Publications.Inc, 1992.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc
# 12
Download