2017-02-20 kaltim.prokal.co_Energi Terbarukan

advertisement
Badan Tenaga Nuklir Nasional
JAKARTA
Yth.: Bp. Kepala BadanTenaga Nuklir Nasional
Nomor :
GUNTINGAN BERITA
HHK 2.1/HM 01/02/2017
Hari, tanggal
Senin, 20 Februari 2017
Sumber Berita
http://kaltim.prokal.co/read/news/292591-energiterbarukan-kurang-diseriusi.html
Hal. 14 Kol. 1
Senin, 20 Februari 2017 11:31
Energi Terbarukan Kurang Diseriusi, Gunakan PLTN Bergantung Komitmen Presiden
Dokumentasi KBRI/PTRI Wina
-Ilustrasi
Jakarta, Februari 2017
Copy dikirim kepada Yth.:
1. Deputi Bidang Sains dan Aplikasi Teknologi Nuklir
2. Deputi Bidang Teknologi Energi Nuklir
3. Deputi Bidang Pendayagunaan Teknologi Nuklir
4.
5.
Sekretariat Utama
BGAC-melalui PAIR
Bagian Humas,
Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama
PROKAL.CO, BALIKPAPAN – Berkutat pada jenis bahan bakar yang digunakan, PLN belum
maksimal menggarap energi baru terbarukan (EBT). Ini terlihat dari baru 1 persen EBT yang
muncul dalam bauran energi yang dipakai. Pembangkit listrik kini bergeser dari batu bara ke gas.
Tetapi gas juga sulit didapat, meski banyak terkandung di perut bumi Kaltim.
Tercatat PT Saka Energi Indonesia, anak usaha PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk/PGN
menemukan cadangan gas mencapai 500 miliar kaki kubik, di Wilayah Kerja South Selulu lepas
pantai Kaltim pada 2015.
Selain itu, pada 2014, perusahaan minyak dan gas asal Italia, ENI SpA telah melaporkan
penemuan cadangan gas bumi baru di Blok Sepinggan Timur. Dari penelitian awal, blok yang
masih terletak di Selat Makassar itu diprediksi memiliki kandungan gas sebanyak 1,3 trillions
standard cubic feet (TSCF).
Namun, menurut dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman, Purwadi, jika
gas juga tidak bisa selamanya diandalkan. Ini karena faktor harga dan keperluan gas yang
banyak diekspor.
Pemerintah selama ini mengorbankan keperluan dalam negeri dan lebih banyak mengekspor
gas. Jadi, PLN sejak awal kesulitan mendapatkan harga dan volume yang sesuai dengan ongkos
produksi mereka. Meski diakui, gas merupakan bahan bakar yang murah saat ini.
“Saya salut dengan PLN yang mulai mengurangi pemakaian batu bara dan diganti gas. Tetapi
persoalannya, sampai kapan negara ini bergantung pada sumber daya itu. Padahal, sudah ada
EBT. Kalau saat ini saja baru 1 persen EBT berarti menunjukkan PLN masih alergi dengan riset
dan kajian soal EBT yang sudah banyak di Indonesia,” ujar Purwadi.
Itu berkaca dari data PLN Kaltimra yang mencatat, pada 2013,penggunaan batu bara sebesar 73
persen dan gas 27 persen untuk menggerakkan pembangkit. Pada 2015, penggunaan batu bara
menurun, menjadi 36,2 persen dan gas meningkat menjadi 63,8 persen. Pada 2016, batu bara
36 persen dan gas 64 persen.
Saat ini, EBT yang mungkin diterapkan adalah biomassa, sampah, limbah kayu, air, dan
matahari atau solar energy. Tetapi ada satu EBT yang sebenarnya sudah lama didorong sejak
Presiden Soekarno dulu, yakni nuklir. Apalagi Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak, pada 2015
pernah mengatakan jika Kaltim siap membangun PLTN.
Potensi PLTN di Kaltim disebutnya besar. Apalagi meminjam data riset dari Badan Tenaga Nuklir
Nasional (Batan), potensi kandungan uranium di Kawat, hulu Mahakam, Kaltim, ada 17 ribu ton.
“Tetapi sekali lagi tinggal kebijakan presiden. Gubernur saat itu sudah mengajukan izin. Tetapi
hingga kini izin itu belum ada, padahal, kalau diizinkan, saat itu disebutkan Gubernur pada 2016
sudah bisa dibangun PLTN,” ucapnya.
Kaltim, setelah pensiun dari kayu, beralih ke batu bara. Namun, perlahan emas hitam kini mulai
ditinggal dan beralih ke gas. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kemungkinan pilihan sumber
bahan bakar semakin sedikit.
“PLN yang saya lihat bukan tidak mau berbicara soal PLTN. Ini soal kebijakan politik. Presiden
yang pegang isunya. Presiden pertama, Soekarno sudah bahas ini sejak 1965. Tinggal sekarang
siapa yang pimpin, dia pegang kebijakan,” sebutnya.
PLN sebagai pemegang kuasa listrik hanya menerima produk. Intinya, sumber daya harus
ekonomis dan mudah didapat. Selain itu, tingkat ketersediaannya masih mencukupi. Makanya
solar tetap dipertahankan. Pemerintah sebagai pemegang otoritas disebut masih kucingkucingan dan riset yang selama ini dilakukan tidak pernah digunakan secara nyata.
“Ibarat main bola, Batan itu latihan terus, tetapi tidak pernah disuruh bertanding. Jadi, banyak
periset dan ahli nuklir yang justru bekerja di negara lain,” sambungnya.
Soal pengembangan EBT, bisa dilakukan meski biayanya lumayan mahal. Salah satunya
dengan melakukan sharing dengan investor luar. Banyak investor yang sebenarnya berminat.
Tetapi banyak yang terhadang politisasi dan isu perang.
Diketahui Batan saat ini memiliki tiga reaktor. Pertama Reaktor Triga Mark II di Bandung sebagai
pusat penelitian dan produksi isotop. Kedua, Reaktor Kartini di Jogjakarta yang berfungsi
sebagai pusat penelitian dan pelatihan operator reaktor.
Dan ketiga, RSG GA Siwabessy di Serpong, Tangerang. Fungsinya sama dengan Reaktor Triga Mark II.
Untuk satu bahan bakar reaktor nuklir, 1 gram uranium oksida sama dengan konsumsi 2,25 ton batu bara.
PLN TINGGAL PILIH
Sebagai daerah lumbung energi nasional sebenarnya tak sulit bagi PLN memilih bahan bakar apa yang
akan digunakan untuk menjalankan pembangkit listrik di Kaltim. Batu bara, solar, gas, biogas sampai sinar
matahari semuanya tersedia secara melimpah. Sayangnya, PLN dinilai masih setengah hati untuk segera
beralih pada bahan bakar yang ramah lingkungan seperti gas atau biogas.
“Saya tidak tahu di mana kendalanya,” ucap Hadi Mulyadi, anggota Panitia Kerja Kelistrikan Komisi Energi
DPR RI, Minggu (19/2). Menurut dia, karena pembangunannya relatif murah dan cepat, hingga saat ini
pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) tetap menjadi pilihan utama PLN memproduksi listrik. Namun,
ketersediaan bahan bakarnya yakni solar terkadang langka.
Diketahui, masalah lingkungan lanjut wakil Kaltim/Kaltara di DPR RI itu, jadi momok utama pembangkit
listrik tenaga uap (PLTU) dengan bahan bakar batu bara. Sementara itu, pemanfaatan sinar matahari untuk
sekarang masih belum ekonomis, sebab nilai investasinya tinggi.
Pilihan utama yang memungkinkan sekarang adalah gas atau biogas. Setahu Hadi, alternatif bahan bakar
pembangkit listrik rendah polusi tersebut sempat diusulkan namun penyikapannya dari PLN berbeda-beda.
Khusus biogas, politikus PKS itu mengaku masih harus diyakinkan dengan permasalahan pasokan bahan
baku. “Kan sangat terkait pasokan bahan baku biogasnya,” ucapnya.
Jika pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) yang diprioritaskan, Hadi menilai, sudah seharusnya Kaltim dan
Kaltara mendapat jatah gas memadai seperti yang dia lihat saat kunjungan ke Denpasar, Bali, yang
mendapat pasokan gas rutin dari Badak LNG.
Permasalahan kelistrikan Kaltim/Kaltara, lanjut dia, rencananya kembali dibeberkan kepada petinggi PLN
pada rapat dengar pendapat yang berlangsung pekan ini.
Sebelumnya, jenis konsumsi bahan bakar masih jadi salah satu pemicu harga listrik mahal. Saat ini, ada
dua jenis bahan bakar yang digunakan untuk menghidupkan pembangkit listrik. Yakni, bahan bakar minyak
(BBM) dan non-BBM. Pembangkit listrik yang minum BBM angkanya 35,97 persen.
Sisanya non-BBM. Kategori ini ada dua. Pertama pembangkit listrik yang menggunakan batu bara
sebanyak 38,44 persen. Kedua, menggunakan gas 24,59 persen. Di luar itu, hanya ada 1 persen yang
menggunakan EBT (energi baru terbarukan).
Penggunaan non-BBM dalam hal ini batu bara juga telah kurangi PLN. Terlihat dari tren sejak 2013, di
mana 73 persen bauran energi (fuel mix) disokong batu bara. Sementara itu, untuk gas, 27 persen. Tren ini
berlanjut hingga di 2016 di mana penggunaan batu bara sebagai bahan bakar pembangkit hanya
menyumbang 36 persen. Sementara itu, penggunaan gas meningkat 64 persen.
POTENSI 900 MW
Kaltim Post pernah mewawancarai peneliti dari Fakultas Teknik, Universitas Mulawarman, Ginandjar Yoni
Wardoyo. Dia mengungkapkan, banyak pabrik di Kaltim hanya mengambil minyak sawit mentah (crude
palm oil/CPO) dari sawit. Padahal, limbah CPO yang sebagian besar dibuang bisa dijadikan biomassa
untuk membangkitkan turbin.
Pada 2013 lalu, Gino, sapaan akrabnya, telah menyelesaikan penelitian manfaat limbah sawit bagi energi
terbarukan di Desa Semuntai, Kecamatan Long Ikis, Paser. Riset yang berlangsung di lahan perkebunan
seluas 17.569 hektare di desa itu membuktikan, limbah sawit bisa dijadikan biomassa untuk keperluan
bahan bakar.
Dia membeberkan, ada perusahaan sawit di Kutai Timur yang menggunakan limbah tandan buah segar
(TBS) untuk bahan bakar pembangkit listrik. Sayang belum dikomersialkan karena produksi listrik hanya
untuk keperluan perusahaan.
Pria yang sudah menjadi dosen sejak 2004 itu menjelaskan, limbah sawit terdiri dari cangkang, serabut,
dan tandan kosong. Ketiga limbah tadi biasa digunakan sebagai pupuk organik sawit atau dibuang.
Dia hendak mengembangkan industri limbah sawit. Jadi, cangkang, serabut, dan tandan kosong yang bisa
menghasilkan biomassa itu bermanfaat tak hanya sebagai pupuk organik tapi bahan bakar pembangkit
listrik.
Dari penelitiannya itu, pria kelahiran Banyuwangi itu mengambil data jumlah produksi sawit di
perkebunan di Desa Semuntai. Pada 2012, produksi TBS 775 ton per hari. Jika diolah menjadi CPO
akan menghasilkan limbah cangkang 5 persen, serabut 12 persen, dan tandan kosong 23 persen.
Total limbah sekitar 40 persen dan 60 persen menjadi CPO.
Sebanyak 40 persen limbah jika dijadikan biomassa bisa menghasilkan 309.875 ton gas per hari.
Dengan biomassa sebanyak itu, bisa menggerakkan turbin pembangkit listrik dengan daya 5,47
megawatt (MW).
“Itu sudah kami buktikan,” tegasnya. Lulusan Program Pascasarjana Teknik Industri dari Universitas
Indonesia itu menjelaskan, proses kerja biomassa akan menghasilkan panas dan menjadi uap. Nah,
uap ini menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik. “Tak ribet karena dengan teknologi, limbah
akan diolah secara otomatis menjadi biomassa,” ujarnya.
Gino meyakini pembangunan infrastruktur pembangkit listrik tenaga biomassa dinilai lebih rendah
ketimbang berbahan bakar batu bara atau minyak fosil.
Tak hanya murah, membangun infrastruktur berupa pembangkit listrik, biaya operasionalnya dinilai
jauh lebih rendah. Lahan seluas 17 ribu hektare bisa menghasilkan listrik sekitar 5 MW. Kaltim yang
memiliki luas perkebunan sawit tiga juta hektare bisa menghasilkan energi hingga 900 MW; dua kali
lipat dari daya Sistem Mahakam (Kukar, Samarinda, Balikpapan) yang sekarang. (*/rdh/pra/rom/k8)
Download