PENGARUH PEMBELAJARAN PKn SEBAGAI PENDIDIKAN POLITIK TERHADAP PERILAKU MEMILIH PEMILIH PEMULA Juanda (Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudhi nomor 229 Bandung. E-mail : [email protected]) Abstract: Influence of Learning Civic Education as Political Education To Voting Behavior of Beginner Voter. this research aim to know how items influence, method, media and evaluate of learning civic education to voting behavior student. This research done in Regency of East Aceh. Approach in this research is quantitative approach. Research method use analytical descriptive with survey technique. Result of research indication that items, method, and media of learning civic education have an effect on by significant to voting behavior of beginner Voter Keyword : Political Education, Voting Behavior, and Beginner Voter. Abstrak: Pengaruh Pembelajaran PKn Sebagai Pendidikan Politik Terhadap Voting Behavior Pemilih Pemula. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh materi, metode, media dan evaluasi pembelajaran Pkn terhadap voting behavior siswa. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Aceh Timur. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Metode penelitian menggunakan deskriptif analitis dengan teknik survei. Hasil penelitian menunjukan bahwa materi, metode, dan media pembelajaran PKn berpengaruh secara signifikan terhadap voting behavior pemilih pemula. Kata Kunci : Pendidikan Politik, Voting Behavior, dan Pemilih Pemula. 1 PENDAHULUAN Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), adalah mereka yang berumur 17 sampai dengan 21 tahun. Mereka merupakan pemilih pemula yang pertama kali akan mengikuti pemilu. Jumlah dari pemilih pemula tersebut sangat banyak sehingga partai politik seringkali memburu pemilih pemula sebagai sasaran utama kampanye politik. Berdasarkan data dari Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Timur tahun 2012, jumlah pemilih pemula sebanyak 20 % dari keseluruhan pemilih yang ada di Kabupaten Aceh Timur Potensi pemilih pemula yang sangat besar seharusnya mendapat perhatian khusus dari Guru sehingga mereka tidak hanya dimanfaatkan oleh partai politik, salah satunya yaitu saat kampanye mereka kerap hanya dimobilisasi oleh partai politik untuk mengikuti kampanye. Selain itu, partai politik kerap menarik suarasuara sebanyak-banyaknya, tetapi lupa memberikan pendidikan politik yang baik kepada pemilih pemula sehingga mereka selain rentan dimanfaatkan oleh partai politik, pemilih pemula juga rentan akan menjadi golongan putih, karena kepedulian mereka terhadap pemilu masih sangat kecil. Pendidikan politik memiliki peranan yang sangat penting dalam membangkitkan kesadaran dan daya kritis siswa tentang hak pilihnya, dengan demikian diharapkan siswa memiliki pemahaman tentang pelaksanaan pemilu sebagai bagian proses demokrasi yang dilakukan dengan sepenuh hati. Dengan begitu, siapa pun yang menduduki kursi kepemimpinan akan dipilih berdasarkan kualitas, memiliki integritas tinggi, jujur, adil, amanah, dan terhindar dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Setiap Guru, khususnya guru PKn memiliki peranan yang penting dalam pendidikan politik di persekolahan. Guru PKn dituntut untuk meningkatkan kemampuan dan wawasannya dalam mengembangkan kurikulum melalui berbagai kegiatan peningkatan profesionalisme guru, baik dalam pengembangan materi, metode, model, maupun media ajar, karena fenomena politik dan ketatanegaraan yang sangat dinamis, sehingga pembelajaran PKn harus mampu menyuguhkan sesuatu yang menarik dan menggairahkan siswa yang haus akan informasi. 2 Melalui pendidikan politik, para pelajar sebagai bagian dari warga negara dapat melaksanakan hak politiknya dengan kesadaran politik yang kritis dan rasional, sehingga mereka tidak dimanfaatkan secara gegabah oleh orang atau kelompok yang memiliki kepentingan tertentu. Dengan pendidikan politik, diharapkan para pelajar mampu mentransfer dan mensosialisasikan pengetahuannya dalam lingkungannya masing-masing, baik di keluarga maupun masyarakat di sekitarnya. Pendidikan politik tersebut sangat penting mengingat perlu adanya transfer pengetahuan (knowledge) politik, tidak hanya yang terkait dengan sejarah, visi, misi dan strategi partai politik saja, tetapi lebih dari itu terkait juga dengan permasalahan bangsa dan negara. Dalam sistem pendidikan politik juga dapat dilakukan transfer keterampilan dan keahlian politik. “Pendidikan politik tidak akan memadai jika hanya dipandang sebagai dampak pengiring (nurturant effect) keterlibatan kader dalam aktivitas rutin partai” (Budimansyah dan Suryadi, 2006:160). Melihat kondisi tersebut maka Pendidikan Kewarganegaraan memegang peranan penting dalam menumbuhkan kesadaran politik, salah satunya dapat dilakukan melalui pendidikan politik, bukan hanya dalam jalur persekolahan tetapi juga dalam masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan Kewarganegaraan diluar jalur pendidikan formal dapat pula diartikan sebagai pendidikan politik terhadap masyarakat secara luas, karena pada dasarnya “tujuan Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri yaitu menciptakan partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat, baik tingkat lokal maupun nasional” (Branson, 1999:7) Menurut ICCE (2008 : 8) Pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk membangun karakter (character building) bangsa Indonesia yang antara lain : (a) membentuk kecakapan partisipatif warga negara yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (b) menjadikan warga negara Indonesia yang cerdas, aktif, krritis, dan demokrasi, namun tetap memiliki komitmen menjadi persatuan dan integritas bangsa , (c) mengembangkan kultur demokrasi yang berkeadaban, yaitu kebebasan, persamaan, toleransi, dan tanggung jawab. 3 Secara terperinci Wahab dan Sapriya (2011 : 315), menjelaskan bahwa mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut : a. berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan b. berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi c. berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya;dan d. berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Berdasarkan pendapat Wahab dan Sapriya, yang berkaitan dengan ‘warga negara yang baik’. Wahab (1996) dalam Wahab dan Sapriya (2011:311), mengindentifikasikan: Warga negara yang baik adalah warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan dengan baik hak-hak dan kewajibannya sebagai individu warga negara, memiliki kepekaan dan tanggung jawab sosial, mampu memecahkan masalah-masalahnya sendiri dan juga masalah-masalah kemasyarakatan secara cerdas sesuai dengan fungsi dan perannya (socially sensitive, socially responsible, dan socially inteligence), memiliki sikap disiplin pribadi, mampu berpikir kritis kreatif, dan inovatif agar dicapai kualitas dan perilaku warga negara dan warga masyarakat yang baik (socio civic behavior and desirable personal qualities). Rumusan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan tersebut dipandang terlalu luas sehingga mengakibatkan terjadinya kekeliruan dan kekaburan dalam penyajian pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. (Somantri, dalam Wahab dan Sapriya, 2011:312). Rumusan yang terlalu luas ini, membuat masyarakat pada umumnya menjadi bingung, bahkan pelaku yang berasal dari kalangan Pendidikan Kewarganegaraan (praktisi PKn-guru) juga mengalami kesulitan untuk memaknai secara pasti tentang tujuan-tujuan yang dikemukakan itu. Maka dari itu, perlu dilaksanakan penyederhanaan agar makna yang terkandung dapat dipelajari (ontologi), dimengerti (epistemologi), dan kemudian dilaksanakan (axiologi). 4 Menurut Somantri (2001: 279) Pendidikan Kewarganegaraan memiliki tujuan mendidik warga negara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan warga negara negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis…, Pancasila sejati. Wahab (1996) lebih lanjut mengemukakan bahwa warga negara yang baik adalah warga negara yang mematuhi dan melakanakan hukum serta aturan dan ketentuan perundangan dengan penuh rasa tanggung jawab, tidak merusak lingkungan, tidak mencemari air dan udara di sekitarnya serta memilihara dan memamfaatkan lingkungannya secara bertanggungjawab. Selanjutnya Zamroni Kewarganegaraan adalah (2001 : 6) pendidikan berpendapat bahwa demokrasi Pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis melalui aktivitas penanaman kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Selain itu Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan di mana seseorang mempelajari orientasi, sikap, dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge, awareness, attitude, political afficacy dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional. Sesuai hierarkhi dari tujuan pendidikan, PKn sebagai mata pelajaran di persekolahan yang berfungsi sebagai wadah pendidikan Hak Asasi Manusia, memiliki tujuan mata pelajaran sebagai berikut, yaitu meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan kemampuan memahami, menghayati dan meyakini niiainilai Pancasila sebagai pedoman berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga menjadi warga Negara yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan serta memberi bekal kemampuan belajar lebih lanjut (GBPP PPKn SMU). Tujuan tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran PKn ditekankan pada pendidikan efektif dengan tidak mengesampingkan aspek kognitif untuk membentuk perilaku peserta didik, sebagai individu yang harus berinteraksi dengan lingkungannya, yaitu individu yang mampu beradaptasi dan 5 menyesuaikan diri selaras dengan tuntutan situasi dan kondisi yang terjadi. Oleh karena itu, pengambangan tujuan pembelajaran pun harus dititikberatkan pada aspek afektif dan psikomotor. Dalam hal ini, Djahiri (1995: 11), menyebutkan bahwa dari tujuan di atas yang hendaknya diingat betul oleh para pelaksanaan PKn ialah kata kunci (kata kerja pembelajaran) membina moral dan perilaku yang menunjukkan kecenderungan bobot domain dan taksonomik pendidikan Pancasila. Kedua kata kunci ini menunjukkan kecenderungan bobot afektif-1 dan afektif-2 Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dari warga negara dalam kehidupan politik masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional, maka partisipasi semacam itu memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi kewarganegaraan dari sejumlah kompetensi yang diperlukan, yang terpenting adalah (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu, (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris, (3) pengembangan karakter dan sikap mental tertentu dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip dasar demokraasi konstitusional. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan PKn adalah partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan politik dan warga negara yang taat kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warga negara yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta. Partisipasi yang efektif dan bertanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut melalui pengembangan disposisi atau watakwatak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses politik dan mendukung berfungsinya sistem politik yang sehat serta perbaikan masyarakat. Pendidikan politik yang baik bagi siswa dalam hal ini pemilih pemula dapat diwujudkan melalui PKn yang berfungsi sebagai pendidikan politik secara formal dipersekolahan. Andil peranan PKn tersebut dimuat dalam kurikulum formal konten pendidikan di sekolah yang memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai supra struktur dan infra struktur politik di Indonesia, peran serta dalam 6 sistem politik, budaya politik di Indonesia dan demokrasi di Indonesia. Berangkat dari hal tersebut maka peranan PKn sebagai pendidikan politik menurut Maftuh dan Sapriya (2005 : 321) yang menyatakan PKn sebagai pendidikan politik, memberikan pengetahuan, sikap dan ketrampilann kepada siswa agar mereka mampu hidup sebagai warga negara yang memiliki kemelekan politik (political literacy) dan kesadaran politik (political literacy) serta kemampuan berpartisipasi politik (political participation) yang tinggi. Menurut Kartono (1996: 63) pengertian pendidikan politik dapat dilihat dari istilah berikut : Pendidikan politik disebut pula sebagai political forming atau politische bildung. Disebut forming karena terkandung intensi untuk membentuk insan politik yang menyadari kedudukan politiknya ditengah masyarakat. Dan disebut bildung (pembentukan atau pendidikan diri sendiri) karena istilah tersebut menyangkut aktivitas membentuk diri sendiri dengan kesadaran penuh dan tanggung jawab sendiri untuk menjadi insan politik. Selanjutnya menurut Djakfar (2009 : 42) menyatakan esensi dari proses pendidikan politik yaitu sebagai berukiut : Proses pendidikan politik berjalan seumur hidup, terutama dalam masa kanak-kanak. Ia berkembang melalui keluarga, sekolah, tempat kerja, pengalaman sebagai orang dewasa, organisasi keagaman, dan partai politik. Ia juga menjadi penghubung yang mensosialisasikan nilai-nilai politik generasi yang satu ke generasi yang lainnya. Dalam sejarah ilmu politik belum terdapat Grand Theory tentang voting behavior, namun sampai saat ini terdapat dua macam teori voting behavior yang dikelompokan dalam dua mahzab besar. Pertama pendekatan voting dari mahzab sosiologis yang dipelopori oleh Columbias University Bureau Of Applied Social Science. Kedua, Pendekatan voting dari mahzab psikologis yang dikembangkan oleh University of Michigan Survey Research Center (Gaffar, 1992:4-9). Disamping dua pendekatan tersebut, dalam literatur politik ternyata juga menemukan adanya model atau pendekatan lain yaitu pendekatan politik rasional. Secara sederhana voting behavior bisa didefinisikan sebagai keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum melalui serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum. 7 Kalau memutuskan memilih, apakah memilih partai atau kandidat X ataukah partai atau kandidat Y. Menurut Gaffar (1992:4-9), dalam menganalisis voting behavior dan untuk menjelaskan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan sebagai alasan oleh para pemilih dalam menjatuhkan pilihannya. , dikenal dua macam pendekatan, yaitu Mahzab Columbia yang menggunakan pendekatan sosiologis dan Mahzab Michigan yang dikenal dengan pendekatan psikologis. Selain itu terdapat pula pendekatan rational choice yang melihat perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang didapatkan oleh orang tersebut. (Surbakti, 2010:187). Pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunya pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Menurut Asfar (2006 ; 138) Karakteristik seseorang (seperti pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya) dan karakteristik atau latar belakang sosiologis (seperti agama, wilayah, jenis kelamin, umur, dan sebagainya) merupakan faktor penting dalam menentukan pilihan politik. Menurut Sitompul (2005) menyatakan bahwa anakanak pada usia SMU cenderung menyokong calon politik yang sama seperti orang tua mereka. Ditambah lagi kecendrungan para remaja yang biasanya akan mudah mudah terpengaruh dengan sebayanya. Peer group akan akan menjadi penentu keputusan dalam perilaku memilih pemilih pemula. Hal ini dikarenakan kelompok sebaya merupakan salah satu hal yang terpenting dalam penentuan sikap selain media massa, kelompok sekolah dan keagamaan. Menurut Asfar (2006 : 141) Pendekatan psikologis menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi, terutama sosialisasi dan sikap untuk menjelaskan perilaku pemilih. Penganut pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai refleksi dari kepribadian seseorang merupakan variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karena itu, pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu pendekatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi terhadap kandidat. 8 Dalam pendekatan rasional, menurut Asfar (2006 : 146) para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Artinya para pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Penggunaan pendekatan rasional dalam menjelaskan perilaku memilih oleh ilmuwan politik sebenarnya diadaptasi dari ilmu ekonomi. Mereka melihat adanya analogi antar pasar (ekonomi) dan perilaku politik. Apabila secara ekonomi masyarakat dapat bertindak secara rasional, yaitu menekan ongkos sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, maka dalam perilaku politik pun masyarakat akan dapat bertindak secara rasional, yakni memberi suara ke partai politik yang dianggap mendatangkan keuntungan dan kemaslahatan yang sebesar-besarnya dan menekan kerugian yang sekecilkecilnya. (Asfar, 1996 : 52) Dalam menanggapi beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih, berikut ini ada lima pendekatan untuk menganalisa tingkah laku dalam pemilu menurut Kavanagh dalam Swantoro (1997 : 180) yaitu sebagai berikut : 1. Structural approach. Pendekatan ini percaya bahwa tingkah laku politik seseorang, termasuk menentukan pilihan politiknya, sangat ditentukan oleh pengelompkan sosialnya. Pengelompokan ini umumnya didasarkan atas kelas sosial, agama, desa-kota, bahasa dan nasionalisme. 2. Sosiological approach. Hampir sama dengan pendekatan struktural. Keduanya berpendapat bahwa tingkah laku politik seseorang sangat dipengaruhi oleh identifikasi mereka terhadap satu kelompok. Bedanya, dalam pendekatan sosiologis, mobilitas seseorang untuk keluar dari satu kelompok dan bergabung dengan kelompok yang lain masih dimungkinkan. 3. Ecological approach. Pendekatan ini percaya bahwa faktor-faktor yang bersifat ekologis, seperti daerah, sangat menentukan tingkah laku politik seseorang. Misalnya, mereka lahir dan dibesarkan di daerah pesisir pantai, lebih bersikap demokratis dibandingkan dengan yang berada di daerah pengunungan. 4. Social Pycological Approach. Pendekatan ini percaya bahwa tingkah laku dan keputusan politik seseorang, sangat dipengaruhi oleh interaksi antara-antara faktor internal, seperti sistem kepercayaan, dan faktor eksternal, seperti pengalaman politik. 5. Rational choice Approach. Pendekatan ini merupakan lanjutan dari pendekatan psikologi sosial. Disini orang percaya, bahwa dengan 9 makin modern masyarakat, makin tinggi pendidikan mereka, maka warga masyarakat akan selalu memperhitungkan keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh bila melakukan suatu tindakan politik. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitis dengan teknik survey dengan pendekatan kuantitatif. Metode deskriptif analitis dalam penelitian dioperasionalisasikan dengan menggunakan statistik inferensial yaitu menganalisis data sampel dan hasilnya digeneralisasikan untuk populasi dimana sampel diambil. (Sugiyono, 2011 : 14). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, observasi, wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi . Sementara itu analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis korelasi sederhana, analisis korelasi ganda dan analisis jalur (Path Analysis). Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan. Tahap pertama pesiapan yaitu dengan melakukan studi awal dengan menemukan masalah, merumuskan hipotesis dan memutuskan desain dan metodelogi penelitian. Tahapan kedua pengumpulan data yaitu dengan mnyebaran angket, wawancara dan dokumentasi. Tahapan ketiga yaitu analisis data dan sajikan data dengan menggunakan tabel statistik dan diagram gambar. Tahap ke empat interpretasikan temuan dan nyatakan kesimpulan/generalisasi. Hasil Penelitian dan Pembahasan a. Materi Pembelajaran PKn Berpengaruh Signifikan Terhadap Voting Behavior Siswa. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa materi pembelajaran PKn berpengaruh secara signifikan terhadap voting behavior pemilih pemula dengan nilai korelasi sebesar 0,444. Hal ini menunjukan bahwa materi PKn berkontribusi sebesar 19,71%. Jika melihat pada kriteria interpretasi nilai korelasi, pengaruh materi PKn terhadap voting behavior pemilih pemula ini termasuk dalam kategori yang sedang. 10 Berdasarkan wawancara diketahui bahwa siswa belum begitu paham dengan materi-materi tentang PKn yang begitu luas. Pada dasarnya pemilihan materi harus spesifik agar lebih mudah dipahami membatasi ruang lingkup dan agar lebih jelas dan mudah dibandingkan dan dipisahkan dengan pokok bahasan lainnya. Konsep dan proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan proses yang disengaja dirancang dan dilakukan untuk mengembangkan potensi individu dalam interaksi dengan lingkungan sehingga menjadi dewasa (Lickona, 1992,6). Hasil ini juga di perkuat oleh paradigma selama ini bahwa ada beberapa faktorfaktor utama yang menimbulkan masalah dalam pendidikan kewarganeraan yaitu salah satunya bahan PKn yang terlalu luas. Apabila kita bertitik tolak dari arti Civics yang merupakan cabang ilmu politik, maka unsur utama yang menjadi fokus pelajaran Civics pertama-tama adalah demokrasi politik, (b) konstitusi negara, (c) sistem politik, (d) partai politik, (e) pemilihan umum, (f) lembagalembaga pengambil keputusan, (g) presiden, lembaga yudikatif dan legislatif, (h) output dari sistem demokrasi politik, (i) kemakmuran umum dan pertahanan negara, dan (j) perubahan sosial. (Soemantri 2001). Dengan materi yang cukup luas tersebut, untuk program disekolah bahanbahan tersebut masih harus disesuaikan dengan tingkat kesesuaian siswa. Pendidikan kewarganegaraan merupakan materi yang menfokuskan pada pembentukan diri yang beragam, baik segi agama sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa, untuk menjadi warga negara indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter. Materi kewarganegaraan haruslah bertujuan mengembangkan kemampuan-kemampuan sebagai berikut : 1) berpikir secara kritis, rasional dan kreatif, dalam menanggapi isu kewarganegaraan 2) berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara 3) berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia, agar dapat hidup bersama dengan bangsa lainnya 4) berintegrasi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia baik langsung atau tidak langsung, dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi (Depdiknas, 2003) 11 Sejalan dengan tujuan diatas, berdasarkan kurikulum 2006 materi Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai tujuan : 1) Mengembangkan pengetahuan dasar sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah, dan kewarganegaraan 2) Kemampuan berpikir inquiry, pemecahan masalah dan ketrampilan sosial 3) Membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan 4) Meningkatkan kemampuan berkompetisi dan bekerja sama dalam masyarakat majemuk, baik dalam skala nasional maupun skala Internasional (Depdknas, 2006) Berdasarkan hal tersebut diatas, maka materi pembelajaran PKn harus mengacu pada kompetensi yang ingin dicapai. Materi yang diajarkan harus bermakna bagi siswa dan merupakan bahan yang benar-benar penting, baik dilihat dari kompetensi yang ingin dicapai maupun fungsinya untuk menentukan materi pada proses pembelajaran berikutnya. Namum pembelajaran PKn memiliki masalah dan kendala, yaitu tingkat kesulitan materi yang menitik beratkan pada teori bila dibandingkan dengan aspek afektif dan psikomotor. Sehingga sangat bertentangan dengan pembelajaran nilai yang diharapkan. Sementara menurut pendapat Wahab dan Sapriya (2011:316) yang mengatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah bidang kajian yang bersifat multifaset dengan konteks lintas bidang keilmuan yang bersifat interdisipliner/multidisipliner/multidimensional. Dengan demikian Pendidikan Kewarganegaraan mempunya kajian ruang lingkup yang sangat luas. b. Metode Pembelajaran PKn Berpengaruh Signifikan Terhadap Voting Behavior Siswa. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa metode pembelajaran PKn berpengaruh secara signifikan terhadap voting behavior pemilih pemula dengan nilai korelasi sebesar 0,226. Hal ini menunjukan bahwa materi PKn berkontribusi sebesar 5,10%. Jika melihat pada kriteria interpretasi nilai korelasi, pengaruh metode PKn terhadap voting behavior pemilih pemula ini termasuk dalam kategori rendah. Namun, meski rendah tetap saja metode pembelajaran PKn berpengaruh secara signifikan terhadap voting behavior. 12 Dalam penelitian ini terungkap bahwa penggunaan metode pembelajaran PKn yang teliti belum memfasilitasi perkembangan kemampuan berpikir siswa yang ditandai dengan penggunaan metode PKn yang mendorong anak untuk aktif bertanya, mengemukakan gagasan, atau mengujikan suatu materi, melakukan diskusi, dialog dan debat pendapat tentang masalah-masalah kewarganegaraan, termasuk kedalam pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran berbasis proyek. Metode seperti ini dapat mengembangkan daya kritis berpikir siswa dan mempraktekan kedalam kehidupan dunia nyata siswa. Hasil penelitian diatas kontras dengan apa yang dikatakan komalasari (2011:56) terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran termasuk (Pembelajaran PKn), diantaranya (1) ceramah, (2) demonstrasi, (3) diskusi, (4) simulasi, (5) laboratorium, (6) pengalaman lapangan, (7) brainstroming, (8) debat, (9) simposium, dan sebagainya. Sementara itu Djamarah (2001:72) mengatakan dalam kegiatan pembelajaran, metode diperlukan oleh guru dan penggunaanya bervariasi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicaapai setelah kegiatan belajar berakhir. Keberhasilan pembelajaran PKn tidak hanya bergantung pada kemampuan guru dalam mengembangkan kompetensi dan materi pembelajaran saja, tetapi didukung oleh metode pembelajaran yang tepat. Pemilihan metode yang tepat dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan akan sangat membantu guru maupun siswa untuk mencapai keberhasilan pembelajaran yang dilaksanakan. Hal ini menguatkan pendapat (Gerlach dan Ely, 1971:25) bahwa untuk menciptakan suasana yang menumbuhkan gairah dalam belajar, meningkatkan prestasi siswa maka diperlukan pengorganisasian proses belajar yang baik yang meliputi ; tujuan pengajaran, pengaturan waktu, pengaturan ruang, perlengkapan pelajaran dikelas dan pengelompokan siswa dalam belajar. Selanjutnya menurut Djahiri (2002 : 93) strategi yang harus digelar guru dalam Pembelajaran PKn ialah (1) Menbina dan menciptakan keteladanan baik fisik maupun materiil (tata dan aksesoris kelas/sekolah), kondisional (suasana proses kegiatan belajar mengajar) maupun personal (guru, pimpinan sekolah dan 13 tokoh unggulan); (2) membiasakan/membukukan atau mempraktekan apa yang diajarkan mulai disekolah, rumah dan lingkungan belajar; (3) Memotivasi minat atau gairah untuk terlibat dalam proses belajar untuk kaji lanjutan dan mencoba serta membiasakannya. Apapun pilihan metodenya hendaklah memperhitungkan ketiga standarisasi yaitu pada saat menentukan pilihan bahan, media dan evaluasi. Jangan menentukan pilihan yang tidak sesuai/ dan dibenci oleh siswa serta rendah kebermaknaannya sebab hanya akan menciptakan kebosanan. c. Media Pembelajaran PKn Berpengaruh Signifikan Terhadap Voting Behavior Siswa Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa media pembelajaran PKn berpengaruh secara signifikan terhadap voting behavior pemilih pemula dengan nilai korelasi sebesar 0,230. Hal ini menunjukan bahwa media PKn berkontribusi sebesar 5,29%. Jika melihat pada kriteria interpretasi nilai korelasi, pengaruh media PKn terhadap voting behavior pemilih pemula ini termasuk dalam kategori rendah. Namun meski rendah, tetapi saja media pembelajaran PKn berpengaruh secara signifikan terhadap voting behavior. Hasil temuan diatas menggambarkan bahwa penggunaan media masih kurang dilaksanakan hal ini dikarenakan guru merasa kesulitan untuk memilih media yang cocok untuk pembelajaran, serta membutuhkan waktu untuk mempersiapkan media yang digunakan. Sehingga kegunaan media masih rendah relevasinya terhadap proses pembelajaran. Berkaitanya dengan kurangnya penggunaan media dilakukan dalam proses pembelajaran PKn Winataputra (1989 : 163) menegaskan bahwa hal yang harus diperhatikan dalam menetapkan media yang akan dipakai dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah bahwa media itu harus dapat memberikan rangsangan kognitif. Dengan terciptanya kondisi psikologis tersebut maka para siswa akan ditantang untuk bisa meningkatkan taraf moralitasnya. Pemberian rangsangan moral kognitif tersebut melalui kliping surat kabar atau media yang bersifat auditif seperti radio dan kaset yang berkaitan dengan masalah aktual. 14 d. Evaluasi Pembelajaran PKn Tidak Berpengaruh Signifikan Terhadap Voting Behavior Siswa. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa evaluasi pembelajaran PKn tidak berpengaruh secara signifikan terhadap voting behavior pemilih pemula karena nilai korelasi sebesar 0,009 (sangat rendah). Hal ini menunjukan bahwa guru masih belum mementingkan segi evaluasi padahal evaluasi merupakan hal yang paling penting dikarenakan sebagai data belajar siswa untuk dimasukan kedalam buku laporan hasil belajar (rapor). Hasil diatas memperlihatkan kegagalan guru dalam melakukan evaluasi pembelajaran. hal ini tidak sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Depdiknas (2003 : 20). Evaluasi merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. Evaluasi merupakan proses mengukur dan menilai guru dalam pembelajarannya terhadap siswa. Evaluasi ini merupakan proses akhir yang dilakukan guru, sehingga ia dapat merefleksikan sejauh mana tingkat keberhasilan yang dilaksanakan. Menurut Sundawa (2005 : 343) menyatakan bahwa penilaian merupakan bagain dari proses pembelajaran, bukan terpisah dari proses pembelajaran. Penilaian mencerminkan hasil proses belajar pada kehidupan nyata, tidak berdasarkan pada kondisi yang ada disekolah; menggunakan bermacam-macam instrumen, pengukuran metode yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar; serta penilaian harus bersifat komprehensif dan holistik yang mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran. Realita yang ditemukan dalam penelitian ini kontras dengan pendapat Wahab dan Sapriya (2011:351), penilaian mata pelajaran PKn adalah proses untuk mendapatkan informasi tentang prestasi atau kinerja peserta didik dalam mata pelajaran PKn. Hasil penilaian digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap ketuntasan belajar peserta didik dan efektivitas proses Pembelajaran PKn. 15 Selanjutnya dipertegas oleh Budimasyah (2002 : 112) tujuan dari penilaian atau evaluasi proses dan hasil dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara lain untuk : 1. Membelajarkan kembali (re-edukasi). Menilai itu bukan menvonis siswa dengan harga mati, lulus atau gagal, melainkan untuk mencari informasi tentang pengalaman belajar peserta didik dan informasi tersebut digunakan sebagai balikan (feed back) untuk membelajarkan mereka kembali. 2. Merefleksi pengalaman belajar. Dalam hal ini, penilaian dijadikan media untuk merefleksikan (bercermin) pada pengalaman yang telah siswa miliki dan kegiatan yang mereka selesaikan mereka. Refleksi pengalaman belajar merupakan satu cara belajar, menghindari kesalahan dimasa yang akan datang dan untuk menetapkan kinerja. Disamping itu, penilaian juga dapat dijadikan sarana untuk merefleksi kinerja guru. 3. Memantau kemajuan atau mendiagnosis kemampuan belajar siswa, sehingga memungkinkan dilakukan pengayaan remediasi untuk memenuhi kebutuhan siswa seseuai dengan kemajuan dan kemampuannya. Proses evaluasi dalam pembelajaran PKn juga harus memperhatikan pengaruh-pengaruh diluar proses pembelajaran seperti, pengaruh lingkungan belajar, iklim keluarga, kondisi sekolah. Sikap baik ketaatan, keyakinan, keyakinan, kecintaan, kedisiplinan merupakan pertimbangan lain dalam evaluasi pembelajaran PKn sehingga tidak bersifat kognitif saja melainkan afektif dan psikomotorik. KESIMPULAN Kesimpulan hasil penelitian terhadap hipotesis yang diajukan. Pertama, Materi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berpengaruh signifikan terhadap voting behavior pemilih pemula. Jika melihat pada kriteria interpretasi nilai korelasi, pengaruh materi PKn terhadap voting behavior pemilih pemula ini termasuk dalam kategori yang sedang. Hal ini terjadi karena tidak semua siswa begitu paham dengan materi pemilu sebab materi Pendidikan Kewarganegaraan terlalu luas cakupannya. Dengan demikian Materi Pendidikan Kewarganegaraan tingkat SMA mengenai mekanisme Pemilihan Umum harus lebih ditingkatkan, untuk lebih membekali pengetahuan siswa. Diketahui dalam materi pembelajaran 16 Pendidikan Kewarganegaraan tentang materi pemilu tidak banyak porsinya sehingga dibutuhkan ketrampilan guru untuk mengorganisasikan materi sehingga pemilih pemula memiliki pengetahuan tentang pemilu sehingga siswa dapat mengikuti pesta demokrasi dengan benar dan tidak terjebak dengan kepentingan suatu kelompok atau golongan. Kedua, Metode pembelajaran PKn berpengaruh secara signifikan terhadap voting behavior pemilih pemula. Jika melihat pada kriteria interpretasi nilai korelasi, pengaruh metode PKn terhadap voting behavior pemilih pemula ini termasuk dalam kategori rendah. Namun meski rendah, tetap saja metode pembelajaran PKn berpengaruh secara signifikan terhadap voting behavior. Hal ini menunjukan indikasi bahwa guru belum mampu memanfaatkan metode pembelajaran dengan baik. Ini terlihat dimana guru belum mampu memfasilitasi perkembangan kemampuan berpikir siswa yang ditandai dengan penggunaan metode PKn yang mendorong anak untuk aktif bertanya, mengemukakan gagasan, atau mengujikan suatu materi, melakukan diskusi, dialog dan debat pendapat tentang masalah-masalah kewarganegaraan, termasuk kedalam pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran berbasis proyek. Semakin baik metode yang digunakan maka akan sebaik pula siswa mengembangkan daya kritis berpikirnya dan mempraktekan apa yang telah dipelajari di kelas kedalam kehidupan dunia nyata siswa. Ketiga, Media pembelajaran PKn berpengaruh secara signifikan terhadap voting behavior pemilih pemula. Jika melihat pada kriteria interpretasi nilai korelasi, pengaruh media PKn terhadap voting behavior pemilih pemula ini termasuk dalam kategori rendah. Namun meski rendah, tetapi saja media pembelajaran PKn berpengaruh secara signifikan terhadap voting behavior. Hal ini menunjukan penggunaan media masih kurang dilaksanakan hal ini dikarenakan guru merasa kesulitan untuk memilih media yang cocok untuk pembelajaran, serta membutuhkan waktu untuk mempersiapkan media yang digunakan. Sehingga kegunaan media masih rendah relevasinya terhadap proses pembelajaran. Keempat, Evaluasi pembelajaran PKn tidak berpengaruh secara signifikan terhadap voting behavior pemilih pemula. Hal ini mengindikasikan bahwa kegagalan guru dalam melakukan evaluasi pembelajaran. Guru masih belum mementingkan segi evaluasi padahal evaluasi 17 merupakan hal yang paling penting dikarenakan sebagai data belajar siswa untuk dimasukan kedalam buku laporan hasil belajar (rapor). DAFTAR PUSTAKA Asfar, Muhammad. (1996). Beberapa Pendekatan Dalam Perilaku Pemilih. Jurnal Ilmu Politik Kerjasama AIPI-LIPI dan Gramedia. Branson. M. S. (1998). The Role of Civic Education : A Forthcoming Education Policy Task Force Position Paper from the Communitarian Network. [Online]. Tersedia : http://www.civiced.org/papers/articles_roles.html Djahri, A,K. (1995). Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Games dalam VCT. Bandung : PMPKN __________. (2002). “PKn Sebagai Strategi Pembelajaran Demokrasi di Sekolah”. Jurnal Civicus : Kompetensi Berdemokrasi dalam Masyarakat Madani. 1, (2), 9-97 Djakfar, Yunizir. (2009). “Pendidikan Politik Warga Negara Dalam Menciptakan Demokrasi Yang Berkualitas”. Jurnal online dinamika FISIP UNBARA. 2,(3). 41-46. Gaffar. A. (1992). Javanese Voters : A Case Study of Election under a Hegemonic Party System. Yogjakarta. Gadjah Mada University Press ICCE UIN Jakarta, (2008). Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) : Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta : Prenada Media Group. M, Asfar. (2006). Pemilu dan Perilaku Pemilih (1995-2004). Jakarta. Pustaka Eureka Maftuh, B dan Sapriya. (2005). Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Melalui Pemetaan Konsep. Jurnal Civicus 1, (5), 319-321. Sundawa. D. (2005). Implementasi Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam Pembelajaran PKn. Jurnal Civicus : Implementasi KBK Pendidikan Kewarganegaraan dalam Berbagai Konteks. 1. (2). 339-345 Suryadi. K. (2008). Partai Politik, Civic Literacy, dan Mimpi Kemakmuran Rakyat, Acta Civicus Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan vol 1, no. 2, April, pp. 147, issn 1978-8428 18 Sitompul, M. (2005). Perilaku Pemilih Pemula Pada Pemilu Presiden 2004 (Studi Kasus Pada Mahasiswa FISIP USU Angkatan 2003). Jurnal Wawasan. Juni 2005, Volume 11, No 1 Somantri, N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikkan IPS. Bandung : Remaja Rosda Karya Sumantri, Endang. (2003). Pendidikan Politik. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D Bandung : Alfabeta Swantoro, F. S (1997). Kampaye dan Profile Pemilu 1997. Analisis CSIS Tahun XXVI, No. 2 Tahun 1997 Wahab, Abdul Aziz dan Sapriya. 2011. Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta. Zamroni. (2003). Demokrasi dan Pendidikan dalam Transisi : Perlunya Reorientasi Pengajaran Ilmu-ilmu Sosial di Sekolah Menengah, dalam Jurnal Media INOVASI, No. 2 Th. XII/2003. Yogyakarta : LP3 UMY 19