Pengembangan Kajian Teori Komunikasi Berperspektif KeIndonesiaan Prahastiwi Utari Hamid Arifin Tanti Hermawati Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract This research addresses the problems faced by users of communication theory (lecturers, students and practitioners) in Indonesia. They theoretical thought of communication theories look 'uniform'. The sources of theories are mapped, produced and arranged by Western scientists. As a result there is no 'identity' that can be find as the existence of Indonesia Communications Theories. This research is aiming to explore and describe what and how the concepts of communication theory can be characterized and formed as the Indonesian communication theories. The data is collected by using Focus Group Discussions (FGDs) and indepth interviews with sources that are considered having competency issues related to the study. The result shows (1) the experience of using western communication theory sometimes cannot explain or facilitate communication phenomenon in Indonesia and appearing conditions where existing of western theories are being 'forced' to match with the observed phenomena (2). There are limitations of users theory to search the alternative theories that originating from Indonesian phenomenon(3) The necessity to develop Indonesian communication theories are based on the conditions where western theories cannot be applied in Indonesian phenomena. (4)The concepts of Indonesian communication theory are formed by culture perspective and based on local cultures. They can be explored through the ideas and artifacts of local culture. Two kind challenges in the development of Indonesian communication theory: a) the quantity and quality of research should be examine many dimensions of phenomenon in Indonesia. The users should think to adopt, adapt and develop new theory in their main goal of the study. b) Research must be taken continuously to the scientific-society by dissemination into journals. Keywords: Indonesia communications theory, cultural approach, research and disemination of research result 1 Pendahuluan Muncul kegelisahan disebagian besar ilmuwan komunikasi di Indonesia saat ini terkait dengan perkembangan pemikiran teoritik Ilmu Komunikasi yang dipelajari oleh komunitas pendididikan tinggi komunikasi. Teori-teori komunikasi yang dipergunakan terlihat ’seragam’. Sumber-sumber pemikiran teoritiknya merupakan produk yang yang disusun para ilmuwan barat. Turnomo Rahardjo (2008) sudah cukup lama menyuarakan bahwa teori teori komunikasi yang dipelajari di Indonesia merupakan produk dari sejarah intelektual Barat. Hal ini sejalan dengan Dissanayake (2003) yang melihat 71% of the material used in teaching courses in communication theory was of American Origin. Kesadaran ada yang salah dalam pemikiran teoritik ini muncul karena dirasa sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan Ilmu Komunikasi. Keilmuan Komunikasi di Indonesia tidak terlihat memiliki ciri khas atau keunggulannya secara kompetitif maupun komparatif baik ditingkat lokal, nasional maupun internasional. Tidak ada ’identitas’ yang bisa dijadikan pengenal bagi keberadaan Indonesia diranah perkembangan keilmuan Komunikasi (Utari, 2012). Keprihatinan tentang pemikiran teoritik komunikasi ini juga disuarakan oleh pakar komunikasi Alwi Dahlan dalam Konferensi Nasional Komunikasi di Jakarta bulan November 2011. Beliau mengatakan ”belum ada yang mengembangkan teori komunikasi khas Indonesia. Teori-teori dan riset yang dikembangkan di Indonesia saat ini masih mengacu kepada teori komunikasi model Barat yang belum tentu sesuai dengan kondisi Indonesia ” (Kompas, 9 November 2011). Bahkan Turnomo Rahardjo (2012) kembali menegaskan dari sisi akademik, pemikiran-pemikiran teoritik yang menjadi materi pembelajaran komunitas pendidikan tinggi komunikasi masih sebatas pada upaya untuk melakukan verifikasi atau pengujian terhadap teori-teori komunikasi yang merupakan produk dari sejarah intelektual barat. Hingga saat ini belum cukup terlihat upaya akademisi dan peneliti komunikasi di Indonesia untuk menggali 2 kearifan lokal guna membangun gagasan-gagasan teoritik komunikasi yang relevan dengan lingkup persoalan yang terjadi di Indonesia. Penelitian Berperspektif tentang Pengembangan KeIndonesiaan ini menjadi Kajian Teori signifikan Komunikasi dilakukan dengan pertimbangan a) membangun kesadaran diantara komunitas pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (Dosen, Mahasiswa dan Praktisi) untuk mencari konsep, modelmodel dan perspektif yang dapat menjadi identitas atau penciri dari teori teori komunikasi Indonesia, terutama jika dikaitkan dengan fenomena komunikasi yang memang khusus terjadi di Indonesia b) sesuai dengan Rencana Induk Penelitian (RIP) dan Roadmap Penelitian Universitas Sebelas Maret. Bidang kajian yang memayungi penelitian ini adalah bidang Integrasi Bangsa & Hukum & Demokratisasi, lebih khusus menekankan pada kajian mengembalikan dan mengembangkan budaya lokal. Secara umum teori menurut Littlejohn dan Foss (2008: 14) adalah serangkaian konsep-konsep, penjelasan-penjelasan serta prinsip-prinsip yang dapat menjelaskan aspek tertentu dari pengalaman seseorang. Dalam kajian Ilmu Komunikasi definisi tentang teori komunikasi adalah ”payung istilah untuk mendiskusikan dan menganalisis secara sitematik, hati-hati dan penuh kesadaran tentang fenomena komunikasi (Ernest Bormann). Atau juga dapat dipahami sebagai a set of propositions purposed to explain some aspect of human behavior, in this case our communication behavior” (Godwin C.Chu). Pertumbuhan pemikiran teoritik tentang Ilmu Komunikasi tidak dapat disangkal berasal dari dunia barat terutama Amerika. Hal ini terjadi karena (1) sebagian besar ilmuwan komunikasi belajar dan dilatih di dunia Barat. Mereka menggunakan buku, jurnal ataupun mempublikasikan karya mereka karena kemudahan yang didapat dunia barat. (2) Tidak ada teori dan model komunikasi yang dapat diajarkan karena memang tidak adanya teori yang bersumber dari dunia timur (Dissanayake, 2003). Tetapi dalam perkembangannya, pemikiran teoritik komunikasi barat ini mulai dipertanyakan. Yoshitaka Miike (2002:1) melihat bahwa conventional academic views of communication have been skewed by Western frames of 3 reference. They have no represented a sample of all possible conceptual positions from which the knowledge of communication can be constructed. Dengan kata lain bahwa pemikiran teoritik Komunikasi Barat ini memiliki berbagai keterbatasan. Teori-teori ini kadang tidak dapat menggambarkan, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena komunikasi disuatu wilayah karena perbedaaan-perbedaaan pola komunikasi yang terbentuk. Studi dari Gottberg (1985) memperlihatkan beberapa pola komunikasi masyarakat di Asia tidak dapat dijelaskan secara mudah dengan teori-teori komunikasi barat karena terdapat perbedaan latar belakang filosofis dan keagamaan. Lawrence Kincaid (Littlejohn, 1996: 5) memperlihatkan adanya perbedaan mendasar antara pemikiran teoritik tentang komunikasi dengan cara pandang dunia barat dan timur. Tabel 1 Teori Komunikasi Dalam Perspektif Barat dan Timur Perspektif Barat Memberi perhatian pada pengukuran secara bagian bukan merupakan suatu kesatuan Perspektif Timur Cenderung memberi perhatian pada suatu yang menyeluruh dan merupakan suatu kesatuan Didominasi visi individualisme Orang dianggap aktif dakam mencapai tujuan pribadinya. Komunikasi suatu luaran yang tidak direncanakan, merupakan konsekuensi alami dari suatu peristiwa. Teori komunikasi didominasi oleh bahasa. Simbol verbal dianggap kurang berarti hanya dipandang skeptis. Relasi terbentuk diantara dua atau lebih individu. Relasi bersifat lebih kompleks, melibat kan posisi sosial, peran status dan kekuasaan. Sumber: Littlejohn, 1996: 5 Sejalan dengan pemikiran Kincaid tentang perbedaan antara pemikiran teoritik komunikasi ala barat dengan timur, Johan Galtung (Littlejohn 2009: 48) juga menjelaskan perbedaan prinsip diantara kedua kubu teori berdasarkan invidu pelaku yang terlibat. 4 Tabel 2 Perbedaan Persepektif Antara Barat dan Timur Perspektif Barat Menekankan pada individualisme Adanya kontrol terhadap alam sekitar Melihat dunia dalam posisi pusat, pingGiran dan diluar keduanya. Terikat dalam konsep ruang dan waktu Pengetahuan merupakan sesuatu yang bersifat atomistis dan deduktif Perspektif Timur Menekankan adanya saling tanggung – jawab antara individu dan masyarakat Terciptanya harmoni dengan alam sekitar Melihat dunia sebagai suatu kesatuan yang utuh. Waktu dianggap sebagai sesuatu yang tidak terbatas Pengetahuan merupakan suatu sistim dimana ontologi, epistemplogi dan axiologi saling terkait satu sama lain Sumber: Littlejohn & Fos, 2009: 48 Sisi lain keterbatasan pemikiran teoritik barat juga dapat dilihat dari penelitian-penelitian pendukungnya. Godwin C Chu (1985: 3-4) menyatakan dari sisi riset pemikiran teoritik Barat lebih banyak menekankan pada metode kuantitatif, tidak fokus pada suatu masalah, sering melakukan pengulangan (repetitiveness), tidak melihat secara konstektual dan tidak memasukkan faktor budaya sebagai faktor penting dalam komunikasi . Melihat keterbatasan seperti di atas, kebutuhan pengembangan teori komunikasi yang bersifat ’kedaerahan’ yang merupakan cermin dari masingmasing lokasi negara yang bersangkutan menjadi keharusan. Wimal Dissayanake (2003: 18) menggarisbawahi dengan mengatakan there is a real need to expand the field by studying communication from various non western viewpoints. Munculnya perspektif indigenous akan memperluas bidang kajian komunikasi sekaligus menggali pandangan baru (new insight) dari berbagai budaya yang memungkinkan untuk dibandingkan sekaligus dicari konsep konsep baru darinya. Kincaid seperti yang dikutip Sathoshi Ishii (2009: 49) juga menyetujui bahwa a look at communication theory from different cultural perspective will contribute greatly to the future development of the field. Semangat untuk mengembangkan teori komunikasi yang memiliki karakteristik kedirian Indonesia yang relevan dengan lingkup persoalan yang terjadi di Indonesia tidaklah mudah untuk dilakukan dalam sesaat karena kita belum memiliki atau menyetujui apa itu teori komunikasi perspektif Indonesia. 5 Meminjam konsep yang sudah terbentuk tentang Asian Communication Theory , dapat dikembangkan konsep turunannya menjadi teori komunikasi Indonesia. Yoshitaka Miike (2002: 2) melihat teori komunikasi Asia itu sebagai: a theoretical system or a school of though in communication where concepts, postulates and resources are rooted in, or derived from the cumulative wisdom of diverse Asian cultural traditions. Sedangkan Littlejohn (2009:47) melihatnya sebagai the body of literature covering concepts and theories derived from rereading of Asian classical treatises, non-Eurocentric comparisons, East-West theoretical syhthese, explorations into Asian Cultural concepts, and critical reflections on Western Theory. Terdapat penekanan yang saling mengisi antara dua definisi ini. Pertama, Miike menjelaskan untuk teori komunikasi dengan perspektif Asia harus berakar pada kearifan lokal budaya-budaya setempat dan Littlejohn secara berani mengatakan bahwa teori ini juga dapat merupakan kritik terhadap teori-teori yang dikembangkan di Barat. Dengan demikian Teori Komunikasi Indonesia (TKI) dapat didefinisikan sebagai sistem teori tentang komunikasi dimana konsep-konsep, postulat dan semua sumber-sumber yang terkait didalamnya berakar dan berasal dari kearifanlokal budaya Indonesia dan sekaligus mengkritisi teori komunikasi barat. Dalam proses pengembangan Teori Komunikasi Indonesia kita dapat belajar dari negara-negara di Asia yang sudah cukup lama mengembangkan teori komunikasi dengan kedirian mereka. India, China dan Jepang adalah tiga negara utama yang telah mengembangkan ciri teori komunikasi mereka. Di India misalnya, studi Mani Adhikary (2009) tentang Sadharanikaran Model of Communication coba memperlihatkan praktek-praktek komunikasi dalam budaya India. Kata sadharanikaran berasal dari bahasa Sansekerta yang diterjemahkan sebagai presentasi secara umum, penyederhanaan atau juga universalisasi. Ketika seorang komunikator dan komunikan mencapai proses shadaranikaran, mereka memperoleh sahridayata (kesamaan orientasi) dan menjadi sahridayas (mencapai kesamaan). Dengan cara yang kurang lebih hampir sama, ilmuwan komunikasi di India dapat menghasilkan Hindu Communication Theory, Rasa Communication Theory dan lain-lain. 6 Sementara di China, misalnya, studi Guo Ming Chen (2001) tentang Chinese Harmony Theory memperlihatkan bahwa kemampuan seseorang untuk mencapai harmoni akan meningkatkan derajat kompetensi seseorang dalam berkomunikasi. Di Jepang Miike (2003) mengembangkan konsep Amae dalam budaya Jepang sebagai bagian penting dari human communication. Amae dimakna sebagai orientasi empati secara non verbal, ambiguitas ataupun keraguan seseorang untuk mengekspresikan dirinya. Amae ini akan menekan komunikasi secara verbal. Untuk itu perlu mengaktifkan apa yang disebut enryo dan sasshi. Dari ketiga negara yang telah mengembangkan konsep teori komunikasi masing-masing dengan ciri kedirian mereka, terdapat persamaan mendasar dalam pengembangannya yaitu penggunaan perspektif budaya sebagai bidang kajian utama. Budaya bagi masyarakat Asia menurut Kirpal (dalam Usha Vyasulu Reddi 1985: 2) adalah the totality of the way of life; an overall pattern of existence, comprehending the living traditions of the past, the meaningfull life of present, and the cherished aspiration of the future. Budaya adalah sumber segalanya dalam memperlihatkan eksistensi suatu masyarakat. Pendekatan ini juga disebut pendekatan emic dimana teori disusun berdasarkan suatu budaya khusus, dimana penerapannya berlaku khusus pula bagi masyarakat yang terlibat. Leonard L Chu (1985: 3) memperlihatkan bahwa di Cina teori komunikasi interpersonal merupakan teori-teori yang paling banyak terikat dengan budaya. Kuatnya kajian berperspektif budaya, terutama terlihat dari budaya Khonghucu (Confucinanist culture). Dalam budaya Cina otoritas dan harmonisasi sangat dihargai dalam masyarakat, sehingga dalam praktek komunikasi sehari-hari setiap individu harus menjaga dan memperhitungkan apa yang diucapkan. Belajar dari keberhasilan India, Cina dan Jepang yang telah mengembangkan teori komunikasi bercirikan masing masing negara serta dengan pendekatan atau perspektif budaya, maka untuk Indonesiapun pendekatan budaya dapat dijadikan ciri utama pula. Kita sudah memiliki konsep budaya Indonesia. Pasal 32 UUD 1945 mengatakan kebudayaan bangsa Indonesia adalah puncakpuncak kebudayaan yang ada di daerah-daerah. Artinya melalui pengembangan budaya lokal yang ada didaerah masing masing kita dapat membentuk budaya 7 Indonesia. Kita memiliki kekayaan budaya dari Sabang sampai Merauke yang dari aspek praktek komunikasinya akan menghasilkan ciri khas mencerminkan Indonesia. Bidang kajian fenomena komunikasi yang dapat digali dari setiap budaya beragam bentuk dan sumbernya. Wimal Dissayake (2003: 19-20) memperlihatkan antara lain (1) teks teks klasik yang berisi konsep-konsep komunikasi yang sangat bersifat adiluhung/berharga (2) Konsep-konsep menarik dan khusus yang tersimpan dalam tradisi-tradisi klasik/kuno ataupun yang modern. (3) keseluruhan ritual-ritual budaya, performance seperti cerita rakyat, lagu-lagu daerah, upacara adat dll. (4) komunikasi sehari hari dalam masyarakat yang mencerminkan keaneragaman budaya pembentuknya. Sementara itu Miike Y.(2003: 46) dari Jepang memberikan pengertian ‘dimensi isi budaya’ bidang kajian teori komunikasi adalah (1) concepts in Japanese everyday language (2) principles from jJpanese religious-philosofical traditions, and (3) struggles in Japanese historical Experience. Untuk Indonesia bidang-bidang kajian budaya yang dapat memunculkan teori komunikasi yang memiliki ciri khas ke Indonesiaannya menurut Engkus Kuswarno (2011) dapat dilakukan dengan cara-cara: (1) menelaah filsafat, linguistik, puisi dan sebagainya untuk dapat melihat prinsip-prinsip yang dapat dijadikan postulat dalam komunikasi (2) menelaah berbagai ritual, drama tradisional dan sebagainya yang diwariskan turun temurun dan berkaitan dengan simbol-simbol komunikasi budaya spesifik yang unik, dan (3) menggali karakteristik perilaku komunikatif dalam perbedaan masyarakat melalui sudut pandang antar budaya dengan tujuan untuk menemukan seperangkat prinsip atau aksioma tentang perilaku komunikasi. Permasalahan lain yang juga perlu diperhatikan dalam pengembangan Teori Komunikasi Indonesia ini adalah aspek teoritis dan metodologisnya. Pertanyaan mendasar yang harus dipecahkan adalah terkait masalah generalisasi teori. West dan Turner (2007: 49) membagi generalisasi teori dalam 3 kelompok besar; grand theories, mid-range theories dan narrow (or very specific) theories. Grand theories dalam kajian komunikasi memperlihatkan perilaku individu dalam 8 komunikasi adalah bersifat kebenaran mutlak. Teori-teori komunikasi yang bersifat ‘grand’ memiliki kemampuan untuk menyatukan seluruh pengetahuan tentang komunikasi kedalam suatu kerangka teoritik yang integrated. Craig (1999) terkait dengan teori komunikasi berani mengatakan there is no grand theories of communication exist. Hal ini dijelaskan oleh West dan Turner (ibid) karena too many intances where communication differs from group to group or when communication behavior is modified by changes in context or time to create a grand theory. Jadi dapat dikatakan bahwa teory komunikasi itu bukanlah teori yang bersifat grand theory karena perilaku komunikasi itu sangat bersifat kontekstual tergantung pada ruang dan waktu sulit untuk dilihat universalitasnya. Yang paling memungkin untuk dikembangkan dalam teori komunikasi Indonesia adalah Mid-range theories, teori yang coba menjelaskan tingkah laku (behavior) dari kelompok tertentu dibandingkan dengan melihatnya pada perseorangan. Kelompok teori ini coba menjelaskan perilaku individu-individu dalam suatu rentang waktu atau kontekstual. Sebagian besar teori teori komunikasi yang sudah dikembangkan adalah merupakan bentuk mid-range theories ini. Setiap teori biasanya memiliki aspek tertentu yang fokus pada perilaku komunikasi. Selain itu teori komunikasi juga mencerminkan apa yang disebut sebagai a narrow theory, teori-teori yang hanya menaruh perhatian pada sekelompok orang dalam situasi tertentu. Bagian akhir dari pengembangan teori komunikasi Indonesia ini adalah melihat tantangan kedepan dalam prosesnya. Sulitnya keluar dari pemikiran teoritik barat dalam membangun dan mengembangkan teori berperspektif keIndonesia dapat dilakukan dengan tiga tahapan (Prahastiwi Utari, 2012), yaitu (1) mengadaptasi parameter-parameter teori komunikasi barat pada berbagai kondisi dan situasi lokal di Indonesia. (2) memodifikasi bagian bagian yang ada dalam teori barat dengan melihat pada kondisi kekhususan di Indonesia, merubah teori jika dirasakan tidak pas dengan kondisi/situasi yang ada di Indonesia, serta (3) Memunculkan dengan menggali teori teori baru komunikasi yang benar-benar menjadi ciri khas Indonesia. 9 Secara operasional dalam tahap awal pengembangan teori komunikasi Indonesia dapat dilakukan antara lain seperti yang diungkap Sasa Djuarsa Senjaya (Kompas, 9 November 2011) yaitu melakukan sintesa terhadap hasil skripsi, thesis ataupun disertasi kajian Ilmu Komunikasi yang ada di Indonesia untuk dapat melakukan identifikasi dan menghasilkan konsep, model tentang teori dari persepktif kedaerahan yang ada di Indonesia. Sementara Mario Antonius Birowo (2011) optimis pengembangan teori komunikasi Indonesia dapat dilakukan melalui cara-cara: (1) mengaktifkan penelitian-penelitian yang berbasis pada masyarakat Indonesia, dengan memasukan dan menggali konsep-konsep kekayaan budaya Indonesia(2) memperbanyak publikasi dari hasil penelitian ataupun tulisan tulisan tentang fenomena komunikasi di Indonesia (3) menggiatkan upaya untuk tampil atau mempresentasikan pemikiran tentang teori Komunikasi Indonesia dalam forum akademis ditingkat nasional maupun internasional (4) mendorong penterjemahan artikel-artikel yang berkualitas dari para ilmuwan komunikasi Indonesia dalam bahas Inggris atau bahasa internasional lainnya (5) mempermudah akses masyarakat Internasional untuk mengakses hasil-hasil penelitian Ilmuwan Komunikasi Indonesia. Dari berbagai theoretical framework di atas permasalahan penelitian dalam riset ini adalah (1) Bagaimana konsep-konsep teori komunikasi dengan ciri khas ke Indonesiaan terbentuk? (2) Perspektif budaya apa saja yang dapat mendeskripsikan konsep-konsepl teori komunikasi berperspektif keIndonesiaan? (3) Bagaimana peluang dan tantangan pengembangan teori komunikasi Indonesia ini? Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang dilihat Bungin (2007) sebagai cara untuk mendiskripsikan kondisi, proses, hubungan mengenai hal-hal pokok yang dicari atau ditemukan dalam subyek penelitian, dan selanjutnya berupaya menariknya sebagai suatu ciri, karakteristik, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi atau fenomena tertentu. Pemilihan desain penelitian secara diskriptif kualitatif dianggap memiliki 10 ketepatan strategi karena hasil yang diinginkan adalah suatu penelitian dasar (basic research) yang bertujuan memahami suatu fenomena teori komunikasi berperspektif Indonesia yang mengarah lebih pada manfaat teoritiknya dibanding manfaat praktis. Adapun tehnik pengumpulan data dilakukan melalui dua cara, yaitu melaui Focus Group Discussion atau FGD dan Wawancara mendalam (Indepth Interview). FGD dalam penelitian ini dilakukan terhadap 2 kelompok, kelompok pertama dosen Ilmu Komunikasi Fisip UNS dan kelompok kedua para dosen yang tergabung dalam keanggotaan ASPIKOM yang ada di kota Solo. Untuk memperkuat data dilakukan juga wawancara narasumber yang dianggap memiliki kompetensi terkait masalah penelitian. Hasil Penelitian dan Pembahasan Penyajian hasil penelitian ini dimulai dengan pengalaman para narasumber dalam menggunakan teori komunikasi, kemudian kebutuhan akan pengembangan konsep-konsep teori komunikasi Indonesia, dilanjutkan penentuan pembentukan konsep-konsep teori, perspektif budaya dalam pengembangnya dan diakhiri dengan tantangan dalam proses pengembangannya. Pengalaman menggunakan teori komunikasi memiliki beragam pernyataan yang mencerminkan permasalahan yang dihadapi terkait penggunaan teori-teori komunikasi yang digunakan. Pengalaman sebagian besar dosen yang menggunakan teori komunikasi dalam kepentingan pribadi maupun ketika dalam pembimbingan skripsi mahasiswa menyatakan mereka tidak menemui kesulitan apapun dalam menggunakan teori komunikasi. Apapun fenomena komunikasi menurut para nasumber dapat menggunakan teori komunikasi yang telah ada. Tidak adanya kesulitan dalam menggunakan teori komunikasi menurut narasumber karena sifat teori yang berlaku universal, didukung dengan kenyataan bahwa teori yang mereka pelajari sudah diyakini (taken for granted) memang dapat digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena komunikasi, selain juga untuk meramalkan fenomena yang mungkin dapat terjadi. 11 Tetapi di sisi lain pengalaman menggunakan teori komunikasi model barat juga memperlihatkan kadang teori yang ada tidak dapat menjelaskan fenomena komunikasi yang diamati. Menurut para narasumber ada perbedaan besar dalam pemahaman budaya. Teori komunikasi yang dipelajari dibuat dengan setting pemikiran barat yang memang mereka pahami berbeda dengan budaya Indonesia. Di samping itu kontekstualitas teori dalam ruang dan waktu kadang menyebabkan suatu fenomena komunikasi itu tidak dapat dipahami dengan menggunakan teori komunikasi yang sudah ada Contoh suatu teori komunikasi tidak dapat diterapkan untuk beberapa fenomena komunikasi di Indonesia misalnya: menurut Teori komunikasi Barat pendekatan dalam memahami komunikasi bersifat fungsional dan memiliki tujuan tertentu yang ingin dicapai. Di Indonesia komunikasi kadang tidak punya tujuan, bahkan konflik yang tidak terselesaikan pun dianggap sebagai telah berkomunikasi. Pada orang Jawa, misalnya, seorang komunikator memproduksi pesan yang ingin disampaikan dengan konsep ”sing penting aku wis omong” , tidak memperdulikan apakah komunikan paham atau tidak akan pesan yang disampaikan, apakah merubah sikap atau tidak, yang terpenting dia sudah bicara. Di dalam pengalaman mengajar ataupun membimbing mahasiswa ditemui juga kenyataan kadang seorang dosen atau pembimbing terlalu memaksakan sesuah teori untuk dapat digunakan. Atau sebaliknya seorang mahasiswa akan dengan mudahnya menggunakan sebuah teori yang kadang sesungguhnya tidak tepat dalam melihat suatu fenomena komunikasi. Alih-alih keterbatasan teori sesungguhnya hanya untuk keinginan memaksakan sebuah teori itu dapat digunakan untuk sebuah fenomena komunikasi. Keterbatasan dalam menggunakan sebuah teori sehingga muncul kesan memaksakan, sedikit banyak sesungguhnya adalah keterbatasan dari para pengguna sendiri dalam menggali sumber-sumber yang ada. Belum banyak muncul keberanian dari para pengguna ini ketika merasa suatu teori itu tidak dapat digunakan untuk suatu fenomena untuk mencari sumber-sumber lain sebagai sebuah alternatif penggalian teori. Dalam pengalaman mengajar, melakukan penelitian ataupun membimbing skripsi mahasiswa, sebagian terbesar dari user teori komunikasi masih berada 12 dalam kesadaran menggunakan teori komunikasi sebatas pada tingkatan menguji keberadaan teori komunikasi yang sudah ada saja. Menguji apakah suatu teori ini dapat digunakan dalam arti cocok dengan fenomena yang diamati atau sebaliknya teori yang ada tidak cocok dengan kondisi yang diamati. Masih terbatas hasil hasil kajian yang menggali atau menunjukkan bahwa teori-teori yang sudah ada tersebut tidak dapat atau tidak cocok untuk mengamati suatu fenomena. Kata kunci terpenting dalam konteks menggali ini adalah ’berani’ mencari yang lain dari yang sudah ada. Bagian utama dari penelitian ini adalah mendiskripsikan apakah teori Komunikasi berperspektif Indonesia tersebut sesungguhnya dibutuhkan? Dalam konstelasi bagaimana jika memang TKI ini merupakan suatu kebutuhan. Hasil FGD yang dilakukan memberikan catatan diskusi ’intens’ terjadi dengan masingmasing peserta memiliki argumentasi yang tajam untuk memperlihatkan dibutuhkan atau tidak suatu teori komunikasi berperspektif ke Indonesiaan itu. Secara keseluruhan narasumber menyadari kebutuhan untuk mengembangkan pemikiran teoritik Komunikasi dengan kedirian Indonesia. Dasar utama yang perlu diperhatikan adalah apa yang akan dikembangkan ini bukan merupakan sesuatu yang asal melihat perkembangan trend yang ada saja, melihat ditempat lain dikembangkan kemudian kitapun ingin ikut-ikutan mengembangkan. Kebutuhan untuk itu harus benar benar berangkat dari berbagai kondisi yang memang mengarahkan untuk mengembangkan pemikiran itu. Poin lain yang juga dijadikan dasar berpikir untuk pengembangan Teori Komunikasi ke Indonesiaan ini adalah keberlangsungan proses terjadi secara alami sesuai dengan perkembangan peningkatan jumlah Ilwuwan Komunikasi dan ketertarikan mereka untuk mendalami fenomena komunikasi yang khas terjadi di Indonesia. Pengembangan teori ini sangat dimungkinkan melalui pengembangan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan komunikasi sendiri. Pemilihan topik topik yang diarahkan dengan permasalahan yang khas Indonesia dan dengan cara pembahasan yang disesuaikan pula dengan lokal wisdom yang ada di Indonesia akan mempercepat pertumbuhan teori komunikasi yang dimaksud. 13 Di sisi lain dasar pengembangan teori komunikasi Indonesia diharapkan dapat memberi ‘domino effect’ bagi pengembangan kajian bidang bidang lain yang terkait dengan Ilmu Komunikasi seperti bidang Public Relations, Advertising maupun kajian Broadcast, artinya teori yang muncul tidak hanya melulu bersifat umum komunikasi tapi dapat memunculkan yang lebih spesifik pada bidang bidang tertetu yang terkait komunikasi. Poin lain yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah perdebatan yang cukup intens untuk meletakkan apakah suatu teori komunikasi yang bicara tentang kedirian Indonesia itu merupakan suatu grand theory ataukah hanya spesifik theory. Sebagian narasumber meyakini bahwa teori komunikasi telah berada dalam tataran grand theory, teori komunikasi Barat sudah diterima sebagian besar dari ilmuwan komunikasi di dunia sebagai sesuatu yang taken for granted sehingga menjadi sulit untuk merubahnya menjadi teori yang dapat dikatakan baru. Tetapi ada juga keyakinan diantara para user teori komunikasi ini kemungkinan untuk mengembangkan Teori komunikasi yang memiliki ciri kedirian Indonesia, hanya saja menjadi permasalahan kemudian manakala apakah memungkinkan untuk mencari bentuk universalnya dari teori-teori yang akan dikembangkan tersebut. Perdebatan tentang apakah Teori Komunikasi Indonesia ini merupakan suatu grand theory ataukah bukan, bagi peneliti haruslah diperjelas. Sesuai dengan alur pemikiran yang diungkap oleh Craig (1999) bahwa there is no grand theories of commuication exist. Hal ini terbentuk karena fenomena komunikasi itu akan berbeda dari satu kelompok ke kelompok lainnya, perilaku komunikasi dapat berubah sesuai dengan konteks dan waktu. West and Turner (2007) juga mengakui bahwa teori komunikasi itu bukanlah teori yang bersifat grand theory karena perilaku komunikasi itu sangat bersifat konstekstual tergantung pada ruang dan waktu. Mendalami pemahaman ini peneliti memberikan penekanan bahwa teori komunikasi Indonesia yang dikembangkan adalah teori yang lebih banyak bermain pada level mid-range theory maupun narrow theory . Mid range theory dalam pengertian bahwa teori yang ada coba menjelaskan perilaku individu dalam 14 dalam suatu rentang waktu tertentu atau bersifat konstekstual. Sisi lain bahkan teori komunikasi itu bersifat narrow theory dimana teori hanya menaruh perhatian pada sekelompok perilaku komunikasi tertentu pada sekelompok orang dalam situasi tertentu. Ketika peneliti menjelaskan konsep yang ingin digali melalui penelitian ini adalah pengembangan suatu teori komunikasi dalam tataran mid-range atau bahkan narrow theori dengan penekanan yang lebih spesifik pada fenomena komunikasi yang memiliki lokal wisdom yang ada di Indonesia, beberapa dari narasumber kemudian menjadi bergeser pendapatnya menjadi sesuatu yang menurut peneliti memiliki nilai nilai positif dalam arti mendukung pemikiran tentang pengembangan teori komunikasi Indonesia ini. Pemikiran tentang pengembangan teori komunikasi Indonesia menjadi semakin positif diantara user teori komunikasi terutama berdasarkan pada pengalaman mereka sehari hari dalam penggunaan teori. Kadang memang ada teori yang notabene pemikiran dan diproduksi di Barat itu sulit untuk diterapkan dalam fenomena-fenomena komunikasi yang bercirikan khusus Indonesia. Disamping mendukung terhadap pengembangan Teori Komunikasi Indonesia, beberapa narasumber memberikan penekanan bahwa pengembangan tidak hanya mencakup teoritik yang memiliki kekhususan Indonesia atau berasal dari fenomena komunikasi di Indonesia saja, tetapi juga diharapkan dapat menjelaskan aspek aspek komunikasi yang masih jarang dibicarakan oleh ilmuwan komunikasi di Indonesia. Hal ini dianggap menjadi pencirian lain yang dapat dijelaskan lewat Teori Komunikasi Indonesia. Studi literatur yang memperlihatkan pertumbuhan teori komunikasi di negara-negara Asia yang menyatu dalam benang merah Teori Komunikasi Asia bagi beberapa narasumber menimbulkan keyakinan bahwa sesungguhnya ilmuwan komunikasi di Indonesia juga sudah memiliki apa yang ada dan dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan lain seperti di India, Jepang ataupun Cina. Hanya saja dengan istilah yang berbeda atau belum tumbuhnya kesadaran kearah itu. 15 Narasumber lain meyakini bahwa konsep teori komunikasi Indonesia itu dapat dikembangkan. Cara yang ditawarkan adalah dengan menggunakan logika berpikir induktif yaitu berangkat dari fenomena khusus yang ada dimasing-masing daerah di Indonesia kemudian dapat dijadikan sebagai sesuatu yang menjadi keumuman untuk digunakan di Indonesia. Di sisi lain para pengguna teori komunikasi ini juga mengkritisi tentang pengembangan konsep teori komunikasi Indonesia. Menunjuk suatu konsep bagi sebagian narasumber juga dapat menimbulkan konsekuensi sendiri. Jika sudah mendefinisikan teori komunikasi penciri khususnya ada, maka menentukan penciri itu sudah merupakan permasalahan tersendiri. Belum lagi jika akan membandingkan dengan teori di luar Indonesia, akan semakin memperumit dalam merumuskannya. Jadi kemajemukan dalam menginterpretasi Indonesia merupakan salah satu hal yang dianggap oleh para user teori komunikasi sebagai masalah dalam mendefinisikan konsep tentang Teori Komunikasi Indonesia. Belajar dari negara-negara yang telah mengembangkan teori komunikasi dengan konsep kedirian mereka sendiri-sendiri seperti India, China dan Jepang dapat dilihat bahwa akar dari perspektif teori yang dikembangkan di sana adalah melalui perpespektif budaya. Untuk Indonesia, narasumber juga setuju menyatakan bahwa pendekatan budaya menjadi jalan utama dalam membentuk teori komunikasi yang memiliki ciri kedirian Indonesia. Tetapi ada juga narasumber yang menggarisbawahi bahwa untuk kajian-kajian komunikasi yang masih termasuk baru seperti marketing communication, strategic communication dan lain lain akan sulit menngembangkan yang khas Indonesia. Hal ini mengingat perkembangan yang cepat dalam teori itu sendiri untuk beberapa hal yang dianggap sebagai fenomena baru dan masih sedikit untuk dapat digali dari khasanah budaya Indonesia maka mau tidak mau masih akan tergantung pada teori dari barat. Wacana teori komunikasi Indonesia dapat dimunculkan melalui pendekatan budaya, memunculkan antitesa yang mempertanyakan ketika bicara soal budaya, budaya apa yang dimaksud dengan budaya Indonesia itu. Secara normatif gambaran budaya Indonesia itu memang sudah dimasukkan dalam 16 Undang Undang Dasar 1945 pasal 32 yang mengatakan bahwa kebudayaan bangsa Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah. Sangat sulit menentukan mana yang dikatakan budaya nasional Indonesia. Konflik antar budaya mengemuka sebagai salah satu hambatan yang mungkin akan ada didalam pengembangan teori komunikasi. Setiap budaya memiliki norma-norma, tatanan nilai bahkan aturan-aturan tertentu dalam masing-masing budaya yang akan mengikat dan membedakan satu dengan yang lain dalam berkomunikasi. Hal-hal semacam ini kadang tidak terwadahi dalam proses komunikasi. Jika keinginan untuk mengembangkan konsep teori komunikasi Indonesia terkendala dengan permasalahan konsep tentang budaya Indonesia itu sendiri maka hasil dari penelitian ini memperlihatkan ada keinginan dari para user untuk menggunakan pendekatan budaya lokal masing-masing dalam pengembangannya. Dari budaya lokal ini barulah pada saatnya nanti akan dapat ditemukan karakteristik yang dinamakan sebagai budaya Indonesia. Pengembangan secara teritorial dianggap dapat merangsang menumbuhkan konsep dalam skala yang lebih besar yaitu Indonesia. Pengembangan budaya lokal terlebih dahulu diyakini akan memberikan domino effect bagi budaya lain untuk melakukan hal yang sama sehingga pada suatu saat akan muncul titik-titik persamaan dari masing-masing budaya ini yang dapat dikatakan sebagai budaya Indonesia. Setelah menemukan bahwa pendekatan budaya merupakan jalan yang paling memungkinkan untuk dapat menjelaskan konsep teori Komunikasi Indonesia, permasalahan yang muncul berikutnya sebagai suatu bentuk konsekuensi adalah apa yang akan digali dari budaya tersebut untuk dapat diangkat konsep-konsep ataupun model-modelnya. Muncul kesamaan yang dapat digali melalui kajian budaya untuk beberapa narasumber yang ada dalam penelitian antara lain mitologi Jawa dalam film, sementara yang lain ingin membahas Serat Centini sebagai teks kuno yang penuh dengan nilai-nilai budaya Jawa, atau juga bagaimana kompetensi seorang dalang sebagai komunikator dalam dalam memainkan wayang. Semua menjadi sangat menarik karena akan 17 menghasilkan konsep-konsep komunikasi yang bercirikan khas Indonesia walaupun dimulai dalam budaya Jawa. Bagian akhir dari pembahasan hasil penelitian ini memperlihatkan perlu diperhatikan hal-hal yang menyangkut kesinambungan kegiatan. Kemauan dari semua pihak yang terkait dengan pengembangan keilmuan Komunikasi sendiri. Sebagaimana diawal kajian yang sudah menggarisbawahi bahwa keinginan untuk menggali local indigineous theory ini bukan berangkat dari tren, rasa latah, ikutikutan karena tempat lain mengembangkan, tetapi benar-benar berangkat dari kebutuhan. Kebutuhan yang disadari karena memang muncul konsep-konsep yang ada dalam fenomena komunikasi di Indonesia yang tidak terwadahi dalam teoriteori komunikasi yang diproduksi ilmuwan barat. Juga dibutuhkan legitimasi atau pengesahan bahwa teori komunikasi Indonesia ini ada dan dapat dikembangkan. Wahana untuk membangun itu diperlukan bentukan yang sistimatis, mendasar dan berdaya guna untuk mendapat hasil yang optimal. Dan ini bearti membangun sistim dari bawah. Thesa dan antithesa yang dicermati oleh user teori tentang konsep teori komunikasi Indonesia ini melahirkan suatu sintesa untuk melakukan apa yang disebut mereka sebagai pengembangan konsep methateori. Dapat dilakukan secara umum dengan mengadaptasi teori yang sudah ada dalam fenomena Indonesia kemudian menyesuaikannya dengan fenomena yang ada. Dan pada akhirnya mngembangkannya secara utuh. Poin penting lain yang juga dapat dideskripsikan dalam pengembangan teori ini adalah konsep metha theori, dalam pengertian memunculkan teori-teori yang baru ini berdasarkan konsep-konsep yang sudah ada. Kunci pengembangan teori komunikasi Indonesia menurut narasumber terletak dalam dua hal besar yang harus dilakukan dan diperhatikan. Pertama, penelitian yang dikembangkan harus menangkap fenomena spesifik komunikasi di Indonesia dengan pendekatan local wisdom di masing-masing daerah dan mengetengahkan penelitiannya dalam konsep budaya lokal ditiap daerah.Pada tataran operasionalnya menurut narasumber banyak penelitian yang bercirikan khas Indonesia yang menarik dan tersosialisasikan dengan luas, hanya saja kajian 18 yang dilakukan oleh banyak peneliti ini bukan atau belum kajian yang spesifik pada kajian komunikasi sehingga yang terlihat seolah belum ada kajian yang menarik tentang Indonesia. Permasalahan lain yang juga mengemuka adalah banyak dari peneliti yang dalam kegiatannya terbatas hanya melakukan kegiatan penelitian. Belum banyak muncul kegiatan penunjang lainnya seperti penulisan dalam bentuk karya ilmiah, membicarakan dalam seminar ataupun menuliskannya dalam buku dan lain-lain. Yang paling sering muncul adalah penelitian itu menjadi hanya bersifat ‘personal’ cukup disimpan dalam lemari dan akhirnya menjadi barang rongsokan. Kata kunci lain yang perlu diperhatikan adalah poin kedua dalam arti terkait diseminasi hasil penelitian. Keterbatasan dalam kemampuan untuk mendeminasikan hasil penelitian merupakan suatu kondisi yang tidak akan menguntungkan untuk pengembangan teori komunikasi Indonesia. Terkait dengan diseminasi, perlu diperhatikan kondisi di Indonesia yang selalu mengukur keberhasilan diseminasi berdasarkan konsep yang dapat dikuantifikasikan, terukur dengan ukuran yang kaku. Keberhasilan seseorang didalam menulis suatu hal di jurnal ilmiah tidak diukur dari materi yang ditulis tetapi lebih bergengsi melihat dimana jurnal itu diterbitkan, berapa banyak dicitasi. Menurut beberapa narasumber hal ini dapat dikatakan sebagai hegemoni pengetahuan. Kesimpulan Secara keselurah penelitian ini dapat mendeskripsikan apa dan bagaimana pengembangan teori komunikasi Indonesia dapat dikembangkan. Poin-poin kesimpulan yang didapat antara lain: Pengalaman penggunaan memperlihatkan permasalahan teori yang komunikasi di kalangan user memungkinkan pengembangan teori komunikasi berperspektif Indonesia. Ada teori-teori komunikasi yang tidak dapat menjelaskan atau mewadahi fenomena komunikasi di Indonesia. User teori juga sering memaksakan menggunakan teori komunikasi dalam melihat fenomena yang ada. Belum ada keberanian untuk menggali teori-teori alternatif yang ada di Indonesia. 19 Kebutuhan pengembangan teori dilakukan bukan karena latah dan ikutikutan, tetapi yang utama adalah karena memang ada teori-teori komunikasi yang tidak dapat menjelaskan atau mewadahi fernomena komunikasi di Indonesia. Pengembangan teori komunikasi Indonesia ini dapat dilakukan dengan pembentukan spesific dan narrow theory, tidak dalam pembentukan grand theory. Perspektif budaya merupakan jalan utama yang paling memungkinkan untuk pengembangan teori komunikasi Indonesia. Penentuan konsep budaya Indonesia yang memiliki sifat kemajemukan akan menjadi permasalahan tersendiri dalam persepektif budaya. Untuk itu dalam operasionalnya pengembangan teori komunikasi Indonesia ini dilakukan melalui pengembangan budaya lokal di masing-masing wilayah. Pada saatnya pertemuan puncak-puncak budaya lokal inilah yang nantinya dapat diikat sebagai budaya Indonesia. Semua hasil cipta dan karsa manusia dalam budaya dapat dijadikan bidang kajian teori komunikasi perspektif Indonesia. Peluang pengembangan Teori komunikasi Indonesia dapat menjadi penciri dalam ranah keIlmuan komunikasi. Peluang ini dapat dikembangkan melalui penelitian-penelitian dengan fenomena khas Inodesia tertutama fenomena budaya lokal. Diseminasi hasil penelitian dalam bentuk karya ilmiah yang dimuat di jurnal-jurnal nasional dan internasional serta mempresentasi dalam seminar, merupakan cara-cara yang dapat mempercepat perkembangannya. Daftar Pustaka Chang, H-C. (2001). Harmony as performance: The Turbulence under Chinese Interpersonal Communication. Chen, G.M. (2001). Toward transcultural understanding: a harmony theory of Chinese Communication, in V.H. Milhaouse, M.K. Asante, & R.Ma (ed), Transcultural realities: Interdisciplinary persepctive on cross cultural relations, Thousand Oak, California. Chu, GodwinC. (1985). In Search of Asian Perspective of Communication Theory, in AMIC –Thammasat University Symposium on Mass Communication Theory: the Asian Perspective, Bangkok. Chu, Leonard L. (1985). Mass Communication Theory : the Chinese Perspective, in AMIC–Thammasat University Symposium on Mass Communication Theory: the Asian Perspective, Bangkok. Craig, Robert T & Muller, Heidi L. (2007). Theorizing Communication Readings Across Traditions, Sage Publications, Los Angeles. 20 Dissanayake, Wimal. (2003). Asian Approach to Human Communication : Retrospect and Prospect, Intercultural Communication Studies, XII4. Ishii, Sathosi. (2009). Conceptualising Asian Communication Ethics: a Buddist Perspective, Journal of Multicultural Discourses, Vol 4 No.1 March 2009. Kuswanto, Engkus. (2010). Menguak Tabir Ilmu Komunikasi dari Perspektif Timur, dalam Seminar Nasional “Membedah Ilmu Komunikasi dari Persepktif Ke- Timur-an, Bengkulu, Aspikom. Littlejohn, Stephen W. (1996). Theories of Human Communication, ThomsonWadsworth, Belmont, USA. Littlejohn, Stephen W & Foss, Karen. (2008). Theories of Human Communication, Thomson-Wadsworth, Belmont, USA. Littlejohn, Stephen W & Foss, Karen. (2009). Encyclopedia of Communication Theory, Sage Publication, Thousand Oak, California. Mani Adhikary, Nirmala. (2009). An Introduction to Sadharanikaran Model of Communication, Bodhi, 3 (1). Miike, Yoshitaka (2002), Theorizing Culture and Communication in The Asian Context: An Assumptive Foundation, Intercultures Communication Studies XI-1. Miike, Yoshitaka. (2003). Japanese Enryo-Sasshi Communication and the Psychology of Amae: Reconsideration and Reconceptulization, Keio Communication Review, 25. Miike, Yoshitaka. (2003). Toward an Alternative Metatheory of Human Communication: An Asiscentric Vision, Intercultural Communication Studies, XII-4. Rahardjo, Turnomo. (2009). Cetak Biru Teori Komunikasi dan Studi Komunikasi di Indonesia, makalah dalam Simposium Nasional: Arah Depan Pengembangan Ilmu Komunikasi di Indonesia, Jakarta. ________________ (2012). Genealogi dan Taksonomi Ilmu Komunikasi, paper di presentasikan dalam Lokakarya Nasional Perumusan Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi Komunikasi, Kerjasama Prodi Ilmu Komunikasi UNS - ASPIKOM, Solo. Reddi, Usha Vyasulu. (1985). Communication Theory: Indian Perspective, in AMIC – Thammasat University Symposium on Mass Communication Theory: the Asian Perspective, Bangkok. Utari, Prahastiwi. (2012). Make A Dream Comes True: Membumikan Teori Komunikasi Indonesia, paper di presentasikan dalam Konferensi Nasional Komunikasi Indonesia “Meningkatkan Daya Saing Penelitian Komunikasi Indonesia di Kancah Global, Universitas Pelita Harapan, Jakarta Wang, Georgette & Kuo, Eddie C.Y, (2010). The Asian Communication Debate: Culture Spesific Cultural Generality and Beyond, Asian Journal of Communication Vol 20, no:2, June 2010. West, Richard & Turner, Lynn H. (2007). Introducing Communication Theory Analysis and Application, Mc Graw Hill, New York. 21