19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUBUNGAN KERJA DI

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG
HUBUNGAN KERJA DI PERTOKOAN
2.1
Pengertian Tentang Pertokoan
2.1.1 Pengertian Pertokoan
Bisnis retail atau pertokoan di kota Denpasar sangat berkembang
dengan pesat, itu terlihat dari perkembangan wilayah kota Denpasar dengan
ruko maupun toko yang besar dan kecil. Retail (pengecer) menurut
APRINDO (Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia) mendefinisikannya:
“Super Market, Mini Market, Toko buah, Pasar Swalayan, Toserba, dan
sejenisnya. Definisi tersebut dapat di perluas pengertiannya sehingga tokotoko eceran kecil juga termasuk retail”. 1
Menurut
UU
No.
7
Tahun
1981
Tentang
Wajib
Lapor
Ketenagakerjaan di Perusahaan, pasal 1a: ”Perusahaan adalah setiap bentuk
usaha yang mempekerjakan buruh dengan tujuan mencari keuntungan atau
tidak baik milik swasta maupun milik negara.”
Pertokoan merupakan suatu bentuk kegiatan ekonomi dalam bentuk usaha
baik berbadan hukum ataupun tidak, karena pertokoan mempekerjakan
pekerja yang bertujuan mencari keuntungan. Sehingga di sini pertokoan
Rahmat Safa’at, 1992, Buruh Perempuan: Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia,
IKIP Malang, hal.1
1
19
20
termasuk sebuah perusahaan karena pertokoan memiliki ciri-ciri sebuah
perusahaan seperti yang tercantum dalam pasal 1a UU No. 7 Tahun 1981.
2.1.2 Pekerja dan Pengusaha
Di dalam masyarakat kita ada banyak pekerja terutama yang bekerja di
sektor formal, salah satunya adalah pekerja toko. Usaha sektor formal adalah
kegiatan perseorangan, kelompok orang atau keluarga yang melakukan
kegiatan ekonomi, menghasilkan barang atau jasa untuk mendapatkan
keuntungan. Bentuk usahanya, berbadan hukum dan hubungan usahanya atas
dasar sesuai dengan AD dan ART masing-masing perusahaan. Pertokoan
dalam hal ini adalah termasuk dalam usaha di sektor formal yang mana ciriciri dari toko sudah termasuk dalam ciri-ciri usaha sektor formal.
Pekerja di sektor formal adalah, ”Orang yang bekerja pada perorangan
atau kelompok orang, bisa juga pengusaha untuk mengerjakan suatu bentuk
atau jenis pekerjaan yang diperintahkan oleh pengusahanya dan untuk itu ia
atau mereka menerima upah”.
Adapun pengertian tentang pekerja pertokoan/pramuniaga secara
resmi tidak kita temukan dalam peraturan-peraturan hukum perburuhan, tetapi
secara eksplisit dan penafsiran serta interprestasi dapat disimpulkan dari
beberapa literatur dan undang-undang yang penulis temukan, bahwa pekerja
pertokoan, yaitu orang yang bekerja pada pengusaha dan dibawah perintah
21
pengusaha yang memiliki usaha pertokoan dengan menerima imbalan yang
telah disetujui sebelumnya oleh kedua belah pihak.
Pekerja yang bekerja di sektor pertokoan sering disebut sebagai
pramuniaga. Pramuniaga termasuk sebagai pekerja karena bekerja
pada orang lain dan menerima upah. Pramuniaga memiliki ciri-ciri
yang sama dengan pekerja seperti yang tercantum dalam undangundang, sehingga pramuniaga mendapat perlindungan baik
perlindungan hukum maupun hak-hak sebagai pekerja.
Pramuniaga benar-benar dilindungi oleh hukum perburuhan lewat
undang-undang yang berlaku saat ini. Terutama perlindungan terhadap normanorma kerja. Perlindungan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian
tentang apa saja kewajiban pekerja sehingga tidak ada kesewenang-wenangan
pengusaha terhadap pekerja. Perbandingan beberapa istilah yang ada dalam
hukum ketenagakerjaan:
Pengusaha :
Berdasarkan pasal 1 angka (5) UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan memberikan pengertian pengusaha sebagai berikut:
a. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri.
b. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b)
yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
22
Pekerja
:
Menurut
undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pasal 1 adalah : “Setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”
Tenaga kerja: Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pasal 1 adalah “Setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat..”
2.2
Pengertian Tentang Perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha
Pembuat Undang-Undang dalam pasal 1313 B.W, mencoba memberikan
perumusan tentang apa itu yang disebut perjanjian, tetapi ia sama sekali tidak
menjelaskan apa itu arti perikatan.
Dalam pasal 1233 B.W, disebutkan bahwa perikatan lahir dari undangundang atau perjanjian, sehingga dapat diartikan bahwa perjanjian dan
perikatan adalah dua hal yang berlainan.
Perikatan itu sendiri dapat diartikan adalah,
Suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain.
Dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu, sehingga
barang siapa memberikan suatu janji, maka terikat kepada janjinya dalam
arti ada kewajiban pada si pemberi janji untuk memenuhi janjinya dan
dilain pihak (mempunyai hak) bahwa janji yang ia terima akan
dilaksanakan. 1
1
Subekti, 1998, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 1.
23
Pengertian perjanjian kerja terdapat dalam pasal 1601 a KUH Perdata,
yaitu ”Suatu perjanjian dimana pihak yang satu, pekerja, mengikatkan diri untuk
bekerja pada pihak yang lain, pengusaha, selama suatu waktu tertentu dengan
menerima upah”. Pasal ini, meskipun dengan tegas mengatakan bahwa
”perjanjian kerja” adalah ”perjanjian”, tetapi sisi pandangnya terfokus pada
pekerja. Hal ini terbukti hanya pekerja saja yang mengikatkan diri untuk bekerja.
Padahal suatu perjanjian harus kedua belah pihak saling mengikatkan diri
mengenai sesuatu (obyek perjanjian). Redaksi pasal yang demikian itu
(barangkali) muncul karena dianggap tidak logis seorang pengusaha, yang secara
ekonomi kuat, mengikatkan diri kepada pekerja, yang secara ekonomi lemah. 1
KUH Perdata tidak mengharuskan perjanjian itu mengenai apa karena
perjanjian menganut sistim terbuka, artinya memberikan kebebasan yang seluasluasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja,
asalkan tidak melanggar undang-undang yang bersifat memaksa serta ketertiban
umum dan kesusilaan.
Dalam Hukum Perjanjian juga berlaku asas konsensualisme artinya untuk
suatu perjanjian diharuskan adanya kesepakatan yang mana kedua belah pihak
yang saling berjanji bersepakat mengenai suatu hal. Dengan perkataan lain,
perjanjian itu sudah sah apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal
yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.
Adakalanya undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu
perjanjian diharuskan perjanjian itu diadakan secara tertulis misal perjanjian
1
hal. 37.
Imam Soepomo, 1983, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta,
24
perdamaian, atau dengan akta notaris, tetapi hal yang demikian merupakan suatu
perkecualian. Sedangkan dalam pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi:
”Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat:”
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Dari pasal diatas jelas terlihat bahwa tidak disebutkan suatu formalitas
tertentu disamping kesepakatan yang telah terjadi sehingga dapat disimpulkan
bahwa setiap perjanjian itu sudah sah dan mengikat apabila telah tercapai
kesepakatan.
Tentang hal yang pokok perjanjian dibuat atas kesepakatan para pihak,
dari beberapa pendapat para ahli ”Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”
artinya disini adalah ”bahwa para pihak yang saling berbicara dengan kata-kata
sudah merupakan suatu perjanjian, sehingga dengan lisan pun perjanjian dapat
dibuat”.1
Dari pernyataan diatas menegaskan bahwa suatu perjanjian itu dapat
dibuat secara lisan antara dua belah pihak. Selain itu perjanjian juga dapat dibuat
dengan bentuk tertulis yang mana undang-undang menghendakinya seperti
misalnya perjanjian penghibahan. Perjanjian yang mana telah memiliki bentuk
1
Setiawan, 1999, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Bandung, hal. 28.
25
tertentu dan telah ditetapkan dinamakan perjanjian formil yang mana telah
memiliki bentuk baku.
Begitu pula dengan perjanjian kerja dimana dalam KUH Perdata
mengaturnya seperti dalam pasal 1601 a ”Perjanjian kerja adalah perjanjian
dengan mana pihak yang satu, si buruh mengikatkan dirinya untuk dibawah
perintah pihak yang lain si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan
pekerjaan dengan menerima upah”. Di dalam pasal tersebut mengatur tentang
perjanjian yang lebih spesifik sifatnya yaitu mengenai perjanjian kerja antara
pengusaha dan pekerja atau yang dikenal dengan perjanjian kerja. Mengenai
bentuk dari perjanjian tersebut juga tidak disinggung sama sekali apakah harus
tertulis ataukah tidak tertulis/lisan. KUH Perdata juga mengatur bahwa perjanjian
kerja juga dapat dibuat tertulis yaitu dalam pasal 1601 d ”Apabila suatu perjanjian
kerja dibuat tertulis, maka biaya akta beserta lain-lain biaya tambahan harus
dipikul oleh majikan”. Pernyataan ini tidak lain dikarenakan karena pentingnya
akibat dari perjanjian itu, maka dimintakan bentuk yang tertentu.
Pada intinya apapun bentuk dari perjanjian terutama perjanjian perburuhan
adalah bebas baik tertulis maupun tidak tertulis dan semuanya telah diatur dalam
undang-undang. Kesepakatan adalah poko dari perjanjian, apabila sepakat maka
hal tersebut telah mengikat kedua belah pihak dan masing-masing pihak akan
memiliki
hak
melaksanakannya.
dan
kewajiban
masing-masing
untuk
menerima
dan
26
Sedangkan pada pasal 1338 KUH Perdata yang menganut sistim terbuka
mengemukakan bahwa ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka”. Dengan menekankan pada perkataan semua, maka
pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan bagi masyarakat bahwa kita
diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa apapun dan perjanjian itu akan
mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang.
Tetapi asas kebebasan berkontrak seperti di dalam pasal 1338 KUH
Perdata diatas memiliki batasan-batasan yang mana batasan tersebut adalah
merupakan hal yang pokok.
Batasan tersebut adalah:
1. Isi dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang
2. Isi dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum
3. Isi dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan
kesopanan. 1
Tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang yaitu seperti misalnya
membuat perjanjian perburuhan yang mana menindas pekerja misal gaji dibayar
seenaknya sedangkan dalam undang-undang upah harus dibayar sesuai dengan
UMR. Sedangkan yang dimaksud dengan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan dan kesopanan adalah misal memperjanjikan pekerja
perempuan harus bekerja menggunakan rok minim/pendek yang dapat
memperlihatkan aurat.
1
Subekti, 1993, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT Intemasa, Jakarta, hal . 127.
27
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun
2003 pasal 76 ayat (3) yang menyatakan ”Pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s.d pukul 07.00 wajib: a)
memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b) menjaga kesusilaan dan
keamanan selama di tempat kerja”
KKWT (Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu) merupakan bentuk perjanjian
lain yang diperbolehkan undang-undang. Sesuai dengan PerMenaker No. PER02/MEN/1993 pasal 1 a ”Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu adalah Perjanjian
Kerja antara pekerja dengan Pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam
waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.”
Jadi KKWT diterapkan pada pekerjaan tertentu dan waktu dari pekerjaan tersebut
juga tertentu. Hal itu dapat kita lihat
pada pasal 4 No. PER-02/MEN/1993
PerMenaker tentang KKWT yang menjelaskan tentang syarat dan isi dari KKWT.
Dapat disimpulkan bahwa:
1. Hanya untuk pekerjaan tertentu dan jenis serta kegiatannya selesai dalam
waktu tertentu.
2. Sifatnya sementara dan waktunya pun sebentar paling lama 3 tahun.
3. Kegiatan/jenis pekerjaannya bukan pekerjaan yang tetap.
Oleh karena itu KKWT tidak dapat diterapkan pada pertokoan yang sifat
pekerjaannya tetap dan terus menerus. Berdasarkan hal tersebut maka apabila sifat
dari pekerjaan tetap dan terus menerus pengusaha harus membuat perjanjian yang
bentuknya bukan KKWT, sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.
28
PER-02/MEN/1993 pasal 11 ”Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu yang ternyata
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 4 ayat
(3) dan ayat (4), pasal 8 dan pasal 10 Kesepakatan Kerja tersebut menjadi
Kesepakatan Kerja Waktu tidak tertentu”. Artinya jika pengusaha melanggar hal
tersebut maka perjanjian tersebut berubah menjadi perjanjian kerja biasa seperti
yang diatur dalam KUH Perdata pasal 1603 g. Apabila pengusaha tetap
melanggar maka sanksi yang ada pada Undang-undang seperti peraturan
perlindungan upah, kecelakaan kerja dan peraturan lainnya yang mengatur
tentang perjanjian kerja pada umumnya yang bukan KKWT akan menjerat
pengusaha.
2.3
Perlindungan Bagi Pekerja dalam Perjanjian Kerja
1. Substansi Hukum
Hukum perburuhan telah mengatur tentang hak dan kewajiban masingmasing pihak. Dalam hal ini banyak sekali peraturan yang mengaturnya mulai
dari KUH Perdata hingga peraturan perundangan lainnya. Secara spesifik
hukum perburuhan menyangkut aspek hukum sebelum hubungan kerja, aspek
hukum dalam hubungan kerja dan aspek hukum setelah hubungan kerja.
Peraturan-peraturan yang ada mengatur hal tersebut terutama hak dan
kewajiban yang timbul diantara dua pihak.
Pengaturan yang berhubungan dengan aspek hukum sebelum
hubungan kerja terdapat di dalam KUH Perdata mengenai perjanjian
29
perburuhan yang telah dipaparkan diatas. Selain itu juga masalah penempatan
kerja dalam negeri serta syarat-syaratnya. Sedangkan pengaturan mengenai
aspek hukum dalam hubungan kerja, disinilah hal yang paling utama yang
tidak kalah pentingnya dari pada aspek perjanjiannya. Hak dan kewajiban para
pihak diatur dan dilaksanakan sedemikian rupa baik oleh pihak pekerja dan
pengusaha maupun juga oleh pemerintah sebagai lembaga yang berwenang
dalam penanganan tenaga kerja. Mulai dari perlindungan norma kerja,
keselamatan dan kesehatan kerja, jaminan sosial tenaga kerja, perlindungan
upah, pengawasan perburuhan, dan perselisihan perburuhan diatur.
Dilihat dari segi sifatnya, hukum dibagi menjadi dua, yaitu hukum
imperatif dan hukum fakultatif.
Hukum imperatif adalah hukum yang harus ditaati secara mutlak,
sedangkan hukum fakultatif adalah hukum yang dapat
dikesampingkan (biasanya dengan perjanjian). Dari kedua sifat hukum
tersebut, hukum perburuhan sebagian besar bersifat imperatif.
Kenyataan ini sesuai dengan tujuan hukum perburuhan, yakni
mengadakan perlindungan terhadap pekerja. Tanpa hukum yang
bersifat imperatif yang biasanya dinyatakan dengan perkataan harus,
wajib, tidak boleh, tidak dapat, dilarang, tujuan tersebut sulit untuk
dicapai. 1
”Hukum perburuhan termasuk hukum privat tetapi juga publik”. 2 Hal
tersebut dapat dilihat dari sudut pengaturannya. Disatu sisi hukum perburuhan
adalah hukum privat itu dapat diketahui dari KUH Perdata yang sifatnya
hanya mengatur. Salah satu contohnya adalah perjanjian yang diatur,
1
Budiono, A.R., 1995, Hukum Perburuhan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan I,
hal. 9.
2
Imam Soepomo, 1975, Hukum Perburuhan, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan
Djambatan, Jakarta, hal.22.
30
dinyatakan bahwa perjanjian yang dibuat adalah bebas tergantung dari
kesepakatan kedua pihak. Tetapi di pihak lain dalam Undang-undang yang
ada seperti JAMSOSTEK dan Undang-undang lainnya, pemerintah ikut
campur tangan dalam masalah perburuhan. Itu dikarenakan bahwa pemerintah
harus melindungi kepentingan dari kaum pekerja yang berada pada posisi
lemah. Hal tersebut dapat dilihat dari sanksi yang memaksa dan diterapkan
dalam Undang-undang yang ada. Sanksi yang memaksa tersebut adalah bagi
siapa saja yang dengan sengaja melanggar Undang-undang tersebut, dalam
bentuk:
a. Sanksi Pidana (misal: kurungan atau penjara)
b. Sannki Administrasi (misal: pencabutan ijin usaha). 1
2. Waktu kerja, istirahat, cuti dan pembatasan kerja bagi wanita dan anak
Menurut UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tercantum bahwa
pramuniaga/buruh bekerja dibatasi oleh waktu, diterangkan juga waktu
istirahat pekerja untuk melindungi fisik dan kesehatan mereka agar tidak
semena-mena majikan mempekerjakan pekerja. Juga tentang Pembatasan
pekerjaan anak dan pekerjaan wanita pada malam hari, bahwa ada pembatasan
umur, waktu dan macam pekerjaan yang diijinkan dan tidak diijinkan untuk
anak-anak dan wanita. Orang dewasa adalah orang laki-laki maupun
perempuan yang berumur 18 tahun keatas. Orang muda yaitu orang laki-laki
maupun perempuan yang berumur diatas 14 tahun akan tetapi dibawah 18
tahun. Hal diatas adalah merupakan salah satu implementasi adanya batasan
1
Kansil, CST, 1982, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, hal 73-78.
31
mengenai umur calon pekerja yang hendak bekerja. Apabila pengusaha
melanggar dengan mempekerjakan anak dibawah umur maka hal tersebut
melanggar pasal 1330 KUH Perdata dan perjanjian yang ada dapat dibatalkan.
Karena menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat
perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang
hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat
perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Hal tersebut juga diatur dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pada pasal 68 yang menyatakan pengusaha dilarang
memperkerjakan anak.
a. Jam Kerja
Pekerja dalam menjalankan pekerjaannya telah diatur oleh undangundang. Yaitu tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari
dan 40 jam seminggu, dan jika pekerjaannya pada malam hari atau
berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan pekerja, pekerja tidak boleh
bekerja lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu. Setelah pekerja
menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus-menerus harus ada istirahat
sedikitnya setengah jam. Setiap minggu harus ada sedikitnya satu hari
istirahat. Menurut PP No. 21 Tahun 1954 tentang Penerapan Peraturan
Istirahat
Pekerja
yang
dikuatkan
oleh
SK
Menakertrans
No.
KEP.69/MEN/1980 Tentang Perluasan Lingkup Istirahat Tahunan Bagi
32
Pekerja, menjelaskan bahwa pekerja berhak mendapatkan istirahat
tahunan tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja dua belas bulan
berturut-turut pada suatu pengusaha, selama satu sampai dua belas hari
kerja lamanya.
Hal ini juga diatur dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan Bab X tentang perlindungan, pengupahan, dan
kesejahteraan pada paragraf 4 mengenai waktu kerja pada Pasal 77, Pasal
78, Pasal 79, dan Pasal 82 .
Selain itu pekerja juga diberi hari libur untuk hari raya dan hari
lainnya yang akan ditetapkan pemerintah. Apabila pengusaha melanggar
aturan yang ada seperti telah dijelaskan maka akan dijatuhi sanksi pidana
yaitu kurungan atau denda, yang tercantum dalam pasal 187 UU No. 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
b. Pekerja perempuan
Pekerja perempuan tidak boleh menjalankan pekerjaan pada
malam hari kecuali jika pekerjaan itu menurut sifat, tempat dan keadaan
seharusnya dijalankan oleh wanita. Pekerja perempuan tidak boleh bekerja
didalam lubang tanah atau tambang atau di tempat lain untuk mengambil
logam dan bahan-bahan lain didalam tanah. Pekerja perempuan juga tidak
boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatannya demikian
pula pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaannya berbahaya bagi
kesusilaannya. Selain itu sesuai UU No. 1 Tahun 1951, pekerja
33
perempuan tidak diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu
haid, juga harus beristirahat ketika akan melahirkan anak dan setelah
melahirkan anak.
Hal ini juga diatur dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan Bab X tentang perlindungan, pengupahan, dan
kesejahteraan pada paragraf 3 mengenai perempuan serta pasal 81 yang
menyatakan Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan
sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada
hari pertama dan kedua pada waktu haid.
c. Pekerja anak
Anak-anak adalah orang laki-laki maupun perempuan yang
berumur lima belas tahun kebawah. Ketentuan batas umur bekerja ini
sesuai dengan Undang-undang No. 20 Tahun 1990 Tentang Pengesahan
Konvensi ILO No. 138 Tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan
Bekerja. Anak-anak tidak boleh bekerja, ini dimaksudkan karena anak
masih memiliki keadaan jasmani yang lemah sehingga dikhawatirkan
perkembangan fisik anak dan kejiwaan anak akan terganggu, dan karena
pada masa itu anak seharusnya mendapatkan haknya untuk mengenyam
pendidikan. Ordonasi 17 Desember 1925, Stb No. 47 Tahun 1925 Tentang
Pembatasan pekerjaan anak dan pekerjaan wanita pada malam hari,
menjelaskan tentang perkecualian-perkecualian seorang anak dapat
bekerja pada malam hari.
34
Hal ini juga diatur dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan Bab X tentang perlindungan, pengupahan, dan
kesejahteraan pada paragraf 2 yang mengatur mengenai pekerja anak
khususnya pada pasal 68 yang menyatakan pengusaha dilarang
mempekerjakan anak.
3. Upah
a. Pengertian Upah
Menurut PP No. 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan upah
disebutkan upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha
kepada pekerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan,
dinilai dalam bentuk yang yang ditetapkan menurut persetujuan atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dibayarkan atas dasar
suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja, termasuk
tunjangan. Hak untuk menerima upah ketika adanya hubungan kerja dan
berakhir pada saat hubungan kerja itu putus.
Jenis-jenis upah:
1) Upah nominal yaitu sejumlah uang yang dibayarkan kepada pekerja
yang berhak secara tunai sebagai imbalan atas pengerahan jasa-jasa
atau pelayanannya dan tidak ada tambahan atau keuntungan lain yang
diberikan kepadanya.
35
2) Upah nyata yaitu upah ini ditentukan oleh daya beli dan banyak
bergantung pada besar kecilnya jumlah uang yang diterima dan besar
kecilnya biaya hidup yang diperlukan.
3) Upah hidup yaitu upah yang diterima pekerja dalam hal yang luas
tidak hanya kebutuhan sosial keluarganya.
4) Upah minimum yaitu upah yang wajar yang dapat mencukupi
kebutuhan hidup keluarganya yang mana kewajaran tersebut diukur
oleh kebutuhan fisik minimum.
5) Upah wajar yaitu upah yang dapat dinilai wajar oleh para pihak dalam
kesepakatan kerja untuk imbalan atas jasa yang diberikan pekerja. 1
Mengenai upah ini juga diatur dalam Undang-Undang No 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bab X tentang perlindungan,
pengupahan, dan kesejahteraan pada paragraf 5 bagian kedua yang
mengatur mengenai pengupahan pada pasal 88 dan pasal 89.
Sesuai
dengan
Keputusan
Gubernur
Bali
Nomor:
188/16/KPTS/013/2012 tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur Bali
Nomor 188/286/KPTS/013/2011 Tentang Penetapan Upah Minimum
Kabupaten/Kota di Bali Tahun 2012 dimana untuk kota Denpasar UMK
yang ditetapkan adalah sebesar Rp. 1.300.000 per bulan.
1
Karta Saputra, dkk, 1994, Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 100-102.
36
Begitu
pula
mengenai
upah
lembur
yang
diatur
dalam
KepMenaker No. KEP-72/MEN/84, dimana para pekerja yang lembur
harus diberi upah sesuai dengan keputusan ini. Upah yang diberikan
pengusaha harus berpatokan pada peraturan ini. Karena biasanya upah
lembur perhitungan dan pemberiannya hanya didasarkan pada perhitungan
pengusaha sendiri.
b. Sistem Pengupahan dan Komponen Upah
Sistem
pengupahan
di
Indonesia
pada
umumnya
mempergunakan upah pokok yang didasarkan pada kepangkatan, dan
masalah kepangkatan seseorang biasanya didasarkan pada tingkat
pendidikan dan pengalaman kerja, dengan kata lain penentuan upah atau
gaji pokok pada umumnya didasarkan pada prinsip teori Human Capital,
yaitu bahwa upah seseorang diberikan sebanding dengan tingkat
pendidikan dan latihan yang dicapainya. Dalam Surat Edaran Menteri
Tenaga Kerja No. 07/MEN/1990 Tentang Pengelompokkan Komponen
Upah dan Pendapatan Non Upah disebutkan bahwa:
a. Termasuk Komponen Upah:
1) Upah pokok
2) Tunjangan tetap
3) Tunjangan tidak tetap
b. Tidak Termasuk Komponen Upah:
1) Fasilitas
2) Bonus
3) Tunjangan hari raya
37
Apabila pengusaha melanggar peraturan maka sanksi yang diberikan
adalah terhadap peraturan yang dilanggar seperti misalnya melanggar
peraturan perlindungan upah akan dijatuhi sanksi dalam peraturan
perlindungan upah seperti pemberian denda dan kurungan dan hal tersebut
merupakan pelanggaran.
4. Kecelakaan Kerja Dalam Menjalankan Pekerjaan
Kecelakaan kerja sering terjadi kapan pun dan dimana pun. Tanpa
memilih orang karena hal tersebut adalah suatu musibah. Manusia bekerja
untuk mencari uang adalah hal yang lumrah karena tanpa uang manusia tidak
akan dapat berbuat apa-apa. Karena sibuknya mencari uang dapat saja
menghiraukan atau menyepelekan tentang keselamatan dan kesehatan kerja
sehingga dapat mengakibatkan kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja menurut
undang-undang No. 3 Tahun 1992 pasal 1 ke-6 Tentang Jamsostek
menyatakan:
Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan
hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan
kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan
berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah
melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui.
Dari pernyataan undang-undang diatas telah menjelaskan bahwa
kecelakaan kerja dapat berupa kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja,
kecelakaan yang terjadi ketika pekerja hendak ke tempat kerja dan kecelakaan
yang terjadi ketika pekerja telah pulang kerumahnya melalui jalan yang biasa
38
dilewati oleh pekerja. Dapat juga berupa penyakit yang timbul dikarenakan
pekerjaan. Hal tersebut telah jelas diatur dalam undang-undang.
5. Jaminan Sosial
Jaminan sosial diatur dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1993
Tentang Penyelenggaraan Jamsostek, hal ini dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan bagi pekerja terhadap resiko sosial ekonomi yang menimpa
tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan baik dalam bentuk kecelakaan kerja,
hari tua maupun meninggal dunia. Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu
perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai
pengganti sebagian uang yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai
akibat peristiwa yang dialami tenaga kerja seperti kecelakaan kerja, sakit dan
lain-lain. Hal tersebut diatas adalah merupakan bentuk perlindungan yang
diberikan oleh undang-undang karena setiap saat suatu kejadian dapat saja
menimpa pekerja terutama kejadian buruk yang tidak diinginkan.
Pekerja yang bekerja dengan status kontrak atau status hubungan kerja
dengan pengusaha adalah KKWT (Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu) seperti
yang telah dijelaskan pada awal bab ini seharusnya dilindungi oleh
KepMenaker Nomor KEP 150/MEN/1999 Tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan
Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu. Hal ini berbeda dengan UU No. 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial karena UU tersebut hanya mengatur yang umum
saja.
39
6. Hak-hak Kodrati dan Larangan Diskriminasi Bagi Pekerja Perempuan
Undang-undang No. 4 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Mengenai Tenaga Kerja dalam pasal 9 menyatakan bahwa:
”Tiap-tiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan,
kesehatan serta kesusilaan, pemeliharaan morial kerja serta perlakuan yang
sesuai dengan martabat manusia dan moral agama”. Dalam menjalankan
Undang-undang ini serta peraturan-peraturan pelaksanaannya, tidak boleh
diadakan diskriminasi.
Wanita pekerja atau tenaga kerja wanita adalah merupakan kelompok
yang karena sifatnya yang alami mempunyai kekhususan-kekhususan yang
perlu diperhatikan sehingga terhadap mereka perlu adanya perlindungan yang
khusus. Perlindungan yang khusus juga diberikan oleh undang-undang No. 1
Tahun 1951 Tentang Pernyataan berlakunya Undang-undang Kerja No. 12
Tahun 1948, selain itu sebagai peraturan pelaksana adalah PP No. 4 Tahun
1951. Apabila terdapat pelanggaran terhadap aturan diatas maka sesuai
dengan pasal 17 ayat (2) UU Kerja maka yang melanggar akan dikenai sanksi
pembayaran denda atau kurungan dan sifatnya hanya berupa pelanggaran. Hal
tersebut juga diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi
Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of
Discrimination Against Women).
40
7. Peraturan Perusahaan
Peraturan perusahaan diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No. 02/MEN/1978, yang mana isinya adalah sebagai pedoman bagi tiap
perusahaan/toko untuk membuat peraturan perusahaan. Peraturan perusahaan
disini harus dibedakan dengan perjanjian perburuhan ataupun perjanjian
kerja.1
Dalam peraturan perusahaan harus memuat:
1. Hubungan kerja dan masa percobaan
2. Hari kerja dan waktu kerja
3. Kerja lembur
4. Pengupahan
5. Bonus
6. Perawatan dan pengobatan
7. Upah selama sakit
8. Tunjangan kecelakaan kerja
9. Istirahat mingguan dan hari libur
10. Istirahat tahunan
11. Cuti hamil dan keguguran
12. Ijin meninggalkan pekerjaan dengan mendapat upah penuh
13. Keselamatan kerja dan perlengkapan kerja
14. Larangan-larangan bagi pekerja
15. Pelanggaran tata tertib yang dapat mengakibatkan PHK
16. Mangkir, tidak masuk kerja alasan tidak dapat diterima. 2
Syarat-syarat yang ada diatas merupakan pedoman pembuatan peraturan
perusahaan. Isi dari peraturan perusahaan harus sesuai dengan pedoman
tersebut agar para pihak tidak saling dirugikan.
1
Husni, Lalu, 2000, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Raja Grafindo,
Jakarta, hal. 44-52.
2
Pedoman Pembuatan Peraturan Perusahaan DISNAKER, Denpasar
41
Peraturan perusahaan harus ada pada setiap perusahaan, tidak telah ada
perjanjian perburuhan maka peraturan perusahaan dapat dikesampingkan.
Keharusan
adanya
peraturan
perusahaan
adalah
untuk
menjamin
terlaksananya hak dan kewajiban para pihak baik dari pihak pengusaha
maupun pihak pekerja, dikarenakan pada pertokoan yang sifatnya menengah
yang mana memiliki pekerja sekitar 25 orang atau lebih diharuskan membuat
peraturan perusahaan. Pada pertokoan yang sifatnya kecil peraturan
perusahaan tidak dapat dibuat tetapi hanya cukup dengan perjanjian kerja saja.
Karena jumlah pekerja tidak terlalu banyak.
8. Perlindungan Dan Efektivitasnya
a. Struktur Lembaga Penegakan
Berbicara mengenai lembaga penegakan dalam hal ini yang
berwenang adalah yang sesuai dengan undang-undang, yaitu lembaga
yang berada di bawah kementrian tenaga kerja. Dinas tenaga kerja sangat
berperan penting dalam pengawasan dan penegakan peraturan undangundang. Di kota Denpasar dinas tenaga kerja kota harus menjalankan
tugas mengawasi bidangnya dalam hal pekerjaan dan tenaga kerja. Oleh
karena beratnya tanggung jawab yang dipikul dan banyak subyek yang
harus dilaksanakan maka didalam lembaga ini sendiri juga terbagi menjadi
beberapa sub-sub dinas kecil yang terkoordinasi (bagan terlampir).
42
Dari tiap-tiap sub dinas yang ada di dalam dinas tenaga kerja
mempunyai tugas dan wewenang yang antara satu dan lainnya harus dapat
berkoordinasi. Karena banyaknya bidang lapangan kerja sehingga
perlunya ada pengelompokan-pengelompokan. Seperti contoh lapangan
kerja bidang industri kecil dan besar, industri hulu, hotel dan restoran,
retail serta masih banyak lagi bidang lapangan pekerjaan yang ada. Kota
Denpasar merupakan kota yang penghasilan penduduknya banyak dari
bidang industri kecil, pariwisata, jasa dan pertokoan.
Sub dinas yang sangat berperan penting adalah bagian pengawasan
ketenagakerjaan. Karena disinilah peranan disnaker diperlukan serta nasib
pekerja agar tidak diperlakukan sewenang-wenang. Pada bagian
pengawasan memiliki jadwal pengawasan kepada pekerja yang tersebar di
Kota Denpasar. Dalam setahun mempunyai rencana dan program kerja
berupa kunjungan kepada perusahaan yang memiliki pekerja, untuk
mengetahui segala macam yang berkaitan dengan hak dan kewajiban
kedua belah pihak baik pengusaha maupun pekerja. Apabila terdapat
pelanggaran dan perselisihan perburuhan maka disnaker akan mengambil
langkah-langkah untuk menyelesaikan sesuai prosedur agar perselisihan
tidak berlarut-larut dan tidak terjadi kerugian dikedua belah pihak dengan
berpedoman kepada undang-undang yang ada.
Pengawasan yang dilakukan oleh Disnaker adalah dalam bentuk:
43
a. Melaksanakan pemeriksaan pertama dan kontrol di perusahaan atau
ditempat kerja.
b. Memberikan bimbingan, pembinaan dan penyuluhan kepada tenaga
kerja dan pengusaha atau pengurus tentang peraturan perundangundangan ketenagakerjaan.
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diperoleh yang perlu dirahasiakan
dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
d. Melaporkan semua kegiatan yang berhubungan dengan tugas dan
kewajibannya.
e. Mencatat
hasil
pemeriksaan
dalam
Buku
Akte
Pengawasan
Ketenagakerjaan dan disimpan oleh pengusaha atau pengurus.
Pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha akan ditindak lanjuti oleh
Disnaker yaitu:
1. Akan diberi surat/nota peringatan tertulis kepada pengusaha
2. Pengusaha akan dipanggil oleh disnaker
3. Bila tetap tidak kooperatif akan didatangi pihak Disnaker
4. Dengan alat negara yang lain dimintakan bantuan untuk pemberian
sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Bila pekerja yang melanggar maka pengusaha wajib menyelesaikan
secara kekeluargaan dan melaporkan kasus yang timbul terhadap pelanggaran
yang dilakukan pekerja.
44
b. Kultur Pekerja, Pengusaha dan Disnaker
1) Pekerja
Bali adalah salah satu pulau yang ada di Indonesia. Memiliki tradisi
dan kebudayaan yang beraneka ragam, ada sebuah kebiasaan yang
dilakukan yaitu gotong-royong dan saling membantu. Tidak hanya
didaerah kerajaan saja tetapi pada setiap desa melakukan pembagian
kerja untuk kepentingan bersama. Tetapi lama kelamaan kebiasaan itu
menjadi sebuah pemaksaan kehendak oleh segelintir orang. Karena
berbagai keadaan dan alasan maka kebiasaan itu menjadi sebuah
pemaksaan yang akhirnya menjadi kerja paksa atau kepentingan
seseorang tanpa bayaran.
Sampai sekarang kultur demikian masih melekat pada sebagian
masyarakat terutama daerah pedesaan, yang mana masih memegang
teguh kebiasaan, selalu menghormati dan menerima apa yang ada.
Kebanyakan pekerja berasal dari keluarga yang status sosial ekonomi
mereka kurang dan kebanyakan berasal dari desa kecil yang merantau
ke kota seperti halnya Denpasar. Sehingga pengusaha yang status
sosialnya lebih tinggi menyebabkan pekerja tidak dapat melawan
mereka walaupun pengusaha semena-mena. Itu disebabkan karena
posisi pekerja yang lemah dan tidak memiliki daya tawar.
2) Pengusaha
Kebanyakan pengusaha pemilik toko adalah orang non pribumi
walaupun ada yang pribumi. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa
45
orang cina sangat menguasai perdagangan dan perekonomian. Hal
tersebut dikarenakan pada jaman kolonial dahulu dan setelah
kemerdekaan orang cina dibatasi pergerakannya dalam dunia
pemerintah dan politik sehingga mereka hanya dapat bergerak pada
sektor ekonom.1
Karena pergerakan yang dibatasi maka mereka berusaha untuk
bertahan hidup, dengan bekerja keras, ulet dan gigih akhirnya
membawa mereka telah banyak makan garam dan pahitnya kehidupan
sehingga keberhasilan dapat mereka capai. Mulai dari usaha rintisan
yang kecil sifatnya hingga berbentuk perusahaan yang besar dengan
modal yang banyak sehingga pengetahuan dan pengalaman dalam
perekonomian mereka terapkan untuk mengembangkan usaha mereka.
Begitu juga dengan Kota Denpasar dimana perkembangan
sektor ekonomi hanya sampai pada batasan industri kecil, jasa dan
pariwisata. Orang cina memegang peranan penting, pada sektor
pertokoan hampir sebagian besar dimiliki orang cina. Itu dikarenakan
mereka selalu menumpuk modal dan memutar uang mereka untuk
kemajuan bisnisnya.
Sehingga jelas mereka secara langsung ataupun tidak langsung
membuka lapangan kerja. Karena pekerja butuh pekerjaan dan di Kota
Denpasar sumber pendapatan adalah berasal dari sektor jasa dan
1
Kunio, Yoshihara, 1990, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta, hal. 23.
46
pariwisata, pekerja kebanyakan juga status sosialnya rendah sehingga
tidak memiliki daya tawar maka pengusaha yang kebanyakan orang
cina semena-mena terhadap pekerja.
3) Disnaker
Instansi pemerintah harus dapat memberikan pelayanan kepada
publik karena itu merupakan tugas mereka dalam sebuah negara.
Mereka sebagai wakil dari rakyat yang menjalankan pemerintah
seharusnya memberikan sebuah gambaran berupa birokrasi yang
mudah dan dijalankan oleh orang-orang yang berdedikasi tinggi
terhadap pekerjaannya. Pemerintah harus dapat memberikan pelayanan
dasarnya kepada masyarakat entah itu dibidang informasi, pendidikan,
pangan, kesehatan masyarakat, keamanan, infrastruktur dan lain-lain.
Tetapi saat ini yang ada pada pemerintah kita adalah
pemerintahan yang tradisional, mengedepankan cara-cara yang
primitif padahal masyarakat sudah sangat berkembang dan
dunia yang makin global. Pemerintah masih mengandalkan
pelayanan yang rumit dengan ciri khasnya yaitu strukur yang
vertikal dan birokrasi yang kental.1
Menurut Abdul Wahab ”para pegawai pemerintah tidak melayani rakyat
malah mereka merasa merekalah yang harus dilayani”. 2
Pemerintah saat ini tidak dapat memberikan semua yang dibutuhkan
rakyat. Para elite saling berebut kekuasaan dan mementingkan kepentingan
1
2
Abdul Wahab, 1999, Reformasi Pelayanan Publik, PT Dana Wijaya, Malang, hal. 20.
Ibid , hal. 22.
47
golongan. Korupsi, kolusi dan nepotisme masih tetap sebagai penyakit yang
menghinggapi mereka secara turun menurun.
Disnaker sebagai lembaga pemerintahan yang berwenang dalam hal
tenaga kerja seharusnya jangan sampai terjebak pada pemikiran-pemikiran
yang sempit dan menggampangkan masalah. Mereka harus bebas dari
birokrasi yang rumit dan berpihak pada pekerja karena merekalah yang
diandalkan oleh pekerja. Pegawai juga harus berdedikasi tinggi terhadap
pekerjaannya agar terbebas dari KKN. Bagaimana bisa menolong rakyat yang
membutuhkan suatu pelayanan publik dan keberpihakkan kaum lemah bila
mereka semua masih berpikir sempit dan mencari keuntungan pribadi.
Download