BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUBUNGAN KERJA DI PERTOKOAN 2.1 Pengertian Tentang Pertokoan 2.1.1 Pengertian Pertokoan Bisnis retail atau pertokoan di kota Denpasar sangat berkembang dengan pesat, itu terlihat dari perkembangan wilayah kota Denpasar dengan ruko maupun toko yang besar dan kecil. Retail (pengecer) menurut APRINDO (Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia) mendefinisikannya: “Super Market, Mini Market, Toko buah, Pasar Swalayan, Toserba, dan sejenisnya. Definisi tersebut dapat di perluas pengertiannya sehingga tokotoko eceran kecil juga termasuk retail”. 1 Menurut UU No. 7 Tahun 1981 Tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan, pasal 1a: ”Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang mempekerjakan buruh dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak baik milik swasta maupun milik negara.” Pertokoan merupakan suatu bentuk kegiatan ekonomi dalam bentuk usaha baik berbadan hukum ataupun tidak, karena pertokoan mempekerjakan pekerja yang bertujuan mencari keuntungan. Sehingga di sini pertokoan Rahmat Safa’at, 1992, Buruh Perempuan: Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia, IKIP Malang, hal.1 1 19 20 termasuk sebuah perusahaan karena pertokoan memiliki ciri-ciri sebuah perusahaan seperti yang tercantum dalam pasal 1a UU No. 7 Tahun 1981. 2.1.2 Pekerja dan Pengusaha Di dalam masyarakat kita ada banyak pekerja terutama yang bekerja di sektor formal, salah satunya adalah pekerja toko. Usaha sektor formal adalah kegiatan perseorangan, kelompok orang atau keluarga yang melakukan kegiatan ekonomi, menghasilkan barang atau jasa untuk mendapatkan keuntungan. Bentuk usahanya, berbadan hukum dan hubungan usahanya atas dasar sesuai dengan AD dan ART masing-masing perusahaan. Pertokoan dalam hal ini adalah termasuk dalam usaha di sektor formal yang mana ciriciri dari toko sudah termasuk dalam ciri-ciri usaha sektor formal. Pekerja di sektor formal adalah, ”Orang yang bekerja pada perorangan atau kelompok orang, bisa juga pengusaha untuk mengerjakan suatu bentuk atau jenis pekerjaan yang diperintahkan oleh pengusahanya dan untuk itu ia atau mereka menerima upah”. Adapun pengertian tentang pekerja pertokoan/pramuniaga secara resmi tidak kita temukan dalam peraturan-peraturan hukum perburuhan, tetapi secara eksplisit dan penafsiran serta interprestasi dapat disimpulkan dari beberapa literatur dan undang-undang yang penulis temukan, bahwa pekerja pertokoan, yaitu orang yang bekerja pada pengusaha dan dibawah perintah 21 pengusaha yang memiliki usaha pertokoan dengan menerima imbalan yang telah disetujui sebelumnya oleh kedua belah pihak. Pekerja yang bekerja di sektor pertokoan sering disebut sebagai pramuniaga. Pramuniaga termasuk sebagai pekerja karena bekerja pada orang lain dan menerima upah. Pramuniaga memiliki ciri-ciri yang sama dengan pekerja seperti yang tercantum dalam undangundang, sehingga pramuniaga mendapat perlindungan baik perlindungan hukum maupun hak-hak sebagai pekerja. Pramuniaga benar-benar dilindungi oleh hukum perburuhan lewat undang-undang yang berlaku saat ini. Terutama perlindungan terhadap normanorma kerja. Perlindungan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian tentang apa saja kewajiban pekerja sehingga tidak ada kesewenang-wenangan pengusaha terhadap pekerja. Perbandingan beberapa istilah yang ada dalam hukum ketenagakerjaan: Pengusaha : Berdasarkan pasal 1 angka (5) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian pengusaha sebagai berikut: a. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri. b. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya. c. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 22 Pekerja : Menurut undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 adalah : “Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Tenaga kerja: Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 adalah “Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat..” 2.2 Pengertian Tentang Perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha Pembuat Undang-Undang dalam pasal 1313 B.W, mencoba memberikan perumusan tentang apa itu yang disebut perjanjian, tetapi ia sama sekali tidak menjelaskan apa itu arti perikatan. Dalam pasal 1233 B.W, disebutkan bahwa perikatan lahir dari undangundang atau perjanjian, sehingga dapat diartikan bahwa perjanjian dan perikatan adalah dua hal yang berlainan. Perikatan itu sendiri dapat diartikan adalah, Suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain. Dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu, sehingga barang siapa memberikan suatu janji, maka terikat kepada janjinya dalam arti ada kewajiban pada si pemberi janji untuk memenuhi janjinya dan dilain pihak (mempunyai hak) bahwa janji yang ia terima akan dilaksanakan. 1 1 Subekti, 1998, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 1. 23 Pengertian perjanjian kerja terdapat dalam pasal 1601 a KUH Perdata, yaitu ”Suatu perjanjian dimana pihak yang satu, pekerja, mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain, pengusaha, selama suatu waktu tertentu dengan menerima upah”. Pasal ini, meskipun dengan tegas mengatakan bahwa ”perjanjian kerja” adalah ”perjanjian”, tetapi sisi pandangnya terfokus pada pekerja. Hal ini terbukti hanya pekerja saja yang mengikatkan diri untuk bekerja. Padahal suatu perjanjian harus kedua belah pihak saling mengikatkan diri mengenai sesuatu (obyek perjanjian). Redaksi pasal yang demikian itu (barangkali) muncul karena dianggap tidak logis seorang pengusaha, yang secara ekonomi kuat, mengikatkan diri kepada pekerja, yang secara ekonomi lemah. 1 KUH Perdata tidak mengharuskan perjanjian itu mengenai apa karena perjanjian menganut sistim terbuka, artinya memberikan kebebasan yang seluasluasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-undang yang bersifat memaksa serta ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam Hukum Perjanjian juga berlaku asas konsensualisme artinya untuk suatu perjanjian diharuskan adanya kesepakatan yang mana kedua belah pihak yang saling berjanji bersepakat mengenai suatu hal. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas. Adakalanya undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu diadakan secara tertulis misal perjanjian 1 hal. 37. Imam Soepomo, 1983, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 24 perdamaian, atau dengan akta notaris, tetapi hal yang demikian merupakan suatu perkecualian. Sedangkan dalam pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi: ”Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat:” 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Dari pasal diatas jelas terlihat bahwa tidak disebutkan suatu formalitas tertentu disamping kesepakatan yang telah terjadi sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu sudah sah dan mengikat apabila telah tercapai kesepakatan. Tentang hal yang pokok perjanjian dibuat atas kesepakatan para pihak, dari beberapa pendapat para ahli ”Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” artinya disini adalah ”bahwa para pihak yang saling berbicara dengan kata-kata sudah merupakan suatu perjanjian, sehingga dengan lisan pun perjanjian dapat dibuat”.1 Dari pernyataan diatas menegaskan bahwa suatu perjanjian itu dapat dibuat secara lisan antara dua belah pihak. Selain itu perjanjian juga dapat dibuat dengan bentuk tertulis yang mana undang-undang menghendakinya seperti misalnya perjanjian penghibahan. Perjanjian yang mana telah memiliki bentuk 1 Setiawan, 1999, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Bandung, hal. 28. 25 tertentu dan telah ditetapkan dinamakan perjanjian formil yang mana telah memiliki bentuk baku. Begitu pula dengan perjanjian kerja dimana dalam KUH Perdata mengaturnya seperti dalam pasal 1601 a ”Perjanjian kerja adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah”. Di dalam pasal tersebut mengatur tentang perjanjian yang lebih spesifik sifatnya yaitu mengenai perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja atau yang dikenal dengan perjanjian kerja. Mengenai bentuk dari perjanjian tersebut juga tidak disinggung sama sekali apakah harus tertulis ataukah tidak tertulis/lisan. KUH Perdata juga mengatur bahwa perjanjian kerja juga dapat dibuat tertulis yaitu dalam pasal 1601 d ”Apabila suatu perjanjian kerja dibuat tertulis, maka biaya akta beserta lain-lain biaya tambahan harus dipikul oleh majikan”. Pernyataan ini tidak lain dikarenakan karena pentingnya akibat dari perjanjian itu, maka dimintakan bentuk yang tertentu. Pada intinya apapun bentuk dari perjanjian terutama perjanjian perburuhan adalah bebas baik tertulis maupun tidak tertulis dan semuanya telah diatur dalam undang-undang. Kesepakatan adalah poko dari perjanjian, apabila sepakat maka hal tersebut telah mengikat kedua belah pihak dan masing-masing pihak akan memiliki hak melaksanakannya. dan kewajiban masing-masing untuk menerima dan 26 Sedangkan pada pasal 1338 KUH Perdata yang menganut sistim terbuka mengemukakan bahwa ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka”. Dengan menekankan pada perkataan semua, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan bagi masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa apapun dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Tetapi asas kebebasan berkontrak seperti di dalam pasal 1338 KUH Perdata diatas memiliki batasan-batasan yang mana batasan tersebut adalah merupakan hal yang pokok. Batasan tersebut adalah: 1. Isi dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang 2. Isi dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum 3. Isi dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan kesopanan. 1 Tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang yaitu seperti misalnya membuat perjanjian perburuhan yang mana menindas pekerja misal gaji dibayar seenaknya sedangkan dalam undang-undang upah harus dibayar sesuai dengan UMR. Sedangkan yang dimaksud dengan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kesopanan adalah misal memperjanjikan pekerja perempuan harus bekerja menggunakan rok minim/pendek yang dapat memperlihatkan aurat. 1 Subekti, 1993, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT Intemasa, Jakarta, hal . 127. 27 Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 pasal 76 ayat (3) yang menyatakan ”Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s.d pukul 07.00 wajib: a) memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b) menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja” KKWT (Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu) merupakan bentuk perjanjian lain yang diperbolehkan undang-undang. Sesuai dengan PerMenaker No. PER02/MEN/1993 pasal 1 a ”Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu adalah Perjanjian Kerja antara pekerja dengan Pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.” Jadi KKWT diterapkan pada pekerjaan tertentu dan waktu dari pekerjaan tersebut juga tertentu. Hal itu dapat kita lihat pada pasal 4 No. PER-02/MEN/1993 PerMenaker tentang KKWT yang menjelaskan tentang syarat dan isi dari KKWT. Dapat disimpulkan bahwa: 1. Hanya untuk pekerjaan tertentu dan jenis serta kegiatannya selesai dalam waktu tertentu. 2. Sifatnya sementara dan waktunya pun sebentar paling lama 3 tahun. 3. Kegiatan/jenis pekerjaannya bukan pekerjaan yang tetap. Oleh karena itu KKWT tidak dapat diterapkan pada pertokoan yang sifat pekerjaannya tetap dan terus menerus. Berdasarkan hal tersebut maka apabila sifat dari pekerjaan tetap dan terus menerus pengusaha harus membuat perjanjian yang bentuknya bukan KKWT, sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 28 PER-02/MEN/1993 pasal 11 ”Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu yang ternyata bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 4 ayat (3) dan ayat (4), pasal 8 dan pasal 10 Kesepakatan Kerja tersebut menjadi Kesepakatan Kerja Waktu tidak tertentu”. Artinya jika pengusaha melanggar hal tersebut maka perjanjian tersebut berubah menjadi perjanjian kerja biasa seperti yang diatur dalam KUH Perdata pasal 1603 g. Apabila pengusaha tetap melanggar maka sanksi yang ada pada Undang-undang seperti peraturan perlindungan upah, kecelakaan kerja dan peraturan lainnya yang mengatur tentang perjanjian kerja pada umumnya yang bukan KKWT akan menjerat pengusaha. 2.3 Perlindungan Bagi Pekerja dalam Perjanjian Kerja 1. Substansi Hukum Hukum perburuhan telah mengatur tentang hak dan kewajiban masingmasing pihak. Dalam hal ini banyak sekali peraturan yang mengaturnya mulai dari KUH Perdata hingga peraturan perundangan lainnya. Secara spesifik hukum perburuhan menyangkut aspek hukum sebelum hubungan kerja, aspek hukum dalam hubungan kerja dan aspek hukum setelah hubungan kerja. Peraturan-peraturan yang ada mengatur hal tersebut terutama hak dan kewajiban yang timbul diantara dua pihak. Pengaturan yang berhubungan dengan aspek hukum sebelum hubungan kerja terdapat di dalam KUH Perdata mengenai perjanjian 29 perburuhan yang telah dipaparkan diatas. Selain itu juga masalah penempatan kerja dalam negeri serta syarat-syaratnya. Sedangkan pengaturan mengenai aspek hukum dalam hubungan kerja, disinilah hal yang paling utama yang tidak kalah pentingnya dari pada aspek perjanjiannya. Hak dan kewajiban para pihak diatur dan dilaksanakan sedemikian rupa baik oleh pihak pekerja dan pengusaha maupun juga oleh pemerintah sebagai lembaga yang berwenang dalam penanganan tenaga kerja. Mulai dari perlindungan norma kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, jaminan sosial tenaga kerja, perlindungan upah, pengawasan perburuhan, dan perselisihan perburuhan diatur. Dilihat dari segi sifatnya, hukum dibagi menjadi dua, yaitu hukum imperatif dan hukum fakultatif. Hukum imperatif adalah hukum yang harus ditaati secara mutlak, sedangkan hukum fakultatif adalah hukum yang dapat dikesampingkan (biasanya dengan perjanjian). Dari kedua sifat hukum tersebut, hukum perburuhan sebagian besar bersifat imperatif. Kenyataan ini sesuai dengan tujuan hukum perburuhan, yakni mengadakan perlindungan terhadap pekerja. Tanpa hukum yang bersifat imperatif yang biasanya dinyatakan dengan perkataan harus, wajib, tidak boleh, tidak dapat, dilarang, tujuan tersebut sulit untuk dicapai. 1 ”Hukum perburuhan termasuk hukum privat tetapi juga publik”. 2 Hal tersebut dapat dilihat dari sudut pengaturannya. Disatu sisi hukum perburuhan adalah hukum privat itu dapat diketahui dari KUH Perdata yang sifatnya hanya mengatur. Salah satu contohnya adalah perjanjian yang diatur, 1 Budiono, A.R., 1995, Hukum Perburuhan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan I, hal. 9. 2 Imam Soepomo, 1975, Hukum Perburuhan, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Djambatan, Jakarta, hal.22. 30 dinyatakan bahwa perjanjian yang dibuat adalah bebas tergantung dari kesepakatan kedua pihak. Tetapi di pihak lain dalam Undang-undang yang ada seperti JAMSOSTEK dan Undang-undang lainnya, pemerintah ikut campur tangan dalam masalah perburuhan. Itu dikarenakan bahwa pemerintah harus melindungi kepentingan dari kaum pekerja yang berada pada posisi lemah. Hal tersebut dapat dilihat dari sanksi yang memaksa dan diterapkan dalam Undang-undang yang ada. Sanksi yang memaksa tersebut adalah bagi siapa saja yang dengan sengaja melanggar Undang-undang tersebut, dalam bentuk: a. Sanksi Pidana (misal: kurungan atau penjara) b. Sannki Administrasi (misal: pencabutan ijin usaha). 1 2. Waktu kerja, istirahat, cuti dan pembatasan kerja bagi wanita dan anak Menurut UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tercantum bahwa pramuniaga/buruh bekerja dibatasi oleh waktu, diterangkan juga waktu istirahat pekerja untuk melindungi fisik dan kesehatan mereka agar tidak semena-mena majikan mempekerjakan pekerja. Juga tentang Pembatasan pekerjaan anak dan pekerjaan wanita pada malam hari, bahwa ada pembatasan umur, waktu dan macam pekerjaan yang diijinkan dan tidak diijinkan untuk anak-anak dan wanita. Orang dewasa adalah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 18 tahun keatas. Orang muda yaitu orang laki-laki maupun perempuan yang berumur diatas 14 tahun akan tetapi dibawah 18 tahun. Hal diatas adalah merupakan salah satu implementasi adanya batasan 1 Kansil, CST, 1982, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal 73-78. 31 mengenai umur calon pekerja yang hendak bekerja. Apabila pengusaha melanggar dengan mempekerjakan anak dibawah umur maka hal tersebut melanggar pasal 1330 KUH Perdata dan perjanjian yang ada dapat dibatalkan. Karena menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal tersebut juga diatur dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 68 yang menyatakan pengusaha dilarang memperkerjakan anak. a. Jam Kerja Pekerja dalam menjalankan pekerjaannya telah diatur oleh undangundang. Yaitu tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu, dan jika pekerjaannya pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan pekerja, pekerja tidak boleh bekerja lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu. Setelah pekerja menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus-menerus harus ada istirahat sedikitnya setengah jam. Setiap minggu harus ada sedikitnya satu hari istirahat. Menurut PP No. 21 Tahun 1954 tentang Penerapan Peraturan Istirahat Pekerja yang dikuatkan oleh SK Menakertrans No. KEP.69/MEN/1980 Tentang Perluasan Lingkup Istirahat Tahunan Bagi 32 Pekerja, menjelaskan bahwa pekerja berhak mendapatkan istirahat tahunan tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja dua belas bulan berturut-turut pada suatu pengusaha, selama satu sampai dua belas hari kerja lamanya. Hal ini juga diatur dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bab X tentang perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan pada paragraf 4 mengenai waktu kerja pada Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, dan Pasal 82 . Selain itu pekerja juga diberi hari libur untuk hari raya dan hari lainnya yang akan ditetapkan pemerintah. Apabila pengusaha melanggar aturan yang ada seperti telah dijelaskan maka akan dijatuhi sanksi pidana yaitu kurungan atau denda, yang tercantum dalam pasal 187 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. b. Pekerja perempuan Pekerja perempuan tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari kecuali jika pekerjaan itu menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh wanita. Pekerja perempuan tidak boleh bekerja didalam lubang tanah atau tambang atau di tempat lain untuk mengambil logam dan bahan-bahan lain didalam tanah. Pekerja perempuan juga tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatannya demikian pula pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaannya berbahaya bagi kesusilaannya. Selain itu sesuai UU No. 1 Tahun 1951, pekerja 33 perempuan tidak diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid, juga harus beristirahat ketika akan melahirkan anak dan setelah melahirkan anak. Hal ini juga diatur dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bab X tentang perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan pada paragraf 3 mengenai perempuan serta pasal 81 yang menyatakan Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. c. Pekerja anak Anak-anak adalah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur lima belas tahun kebawah. Ketentuan batas umur bekerja ini sesuai dengan Undang-undang No. 20 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 138 Tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan Bekerja. Anak-anak tidak boleh bekerja, ini dimaksudkan karena anak masih memiliki keadaan jasmani yang lemah sehingga dikhawatirkan perkembangan fisik anak dan kejiwaan anak akan terganggu, dan karena pada masa itu anak seharusnya mendapatkan haknya untuk mengenyam pendidikan. Ordonasi 17 Desember 1925, Stb No. 47 Tahun 1925 Tentang Pembatasan pekerjaan anak dan pekerjaan wanita pada malam hari, menjelaskan tentang perkecualian-perkecualian seorang anak dapat bekerja pada malam hari. 34 Hal ini juga diatur dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bab X tentang perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan pada paragraf 2 yang mengatur mengenai pekerja anak khususnya pada pasal 68 yang menyatakan pengusaha dilarang mempekerjakan anak. 3. Upah a. Pengertian Upah Menurut PP No. 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan upah disebutkan upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan, dinilai dalam bentuk yang yang ditetapkan menurut persetujuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja, termasuk tunjangan. Hak untuk menerima upah ketika adanya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja itu putus. Jenis-jenis upah: 1) Upah nominal yaitu sejumlah uang yang dibayarkan kepada pekerja yang berhak secara tunai sebagai imbalan atas pengerahan jasa-jasa atau pelayanannya dan tidak ada tambahan atau keuntungan lain yang diberikan kepadanya. 35 2) Upah nyata yaitu upah ini ditentukan oleh daya beli dan banyak bergantung pada besar kecilnya jumlah uang yang diterima dan besar kecilnya biaya hidup yang diperlukan. 3) Upah hidup yaitu upah yang diterima pekerja dalam hal yang luas tidak hanya kebutuhan sosial keluarganya. 4) Upah minimum yaitu upah yang wajar yang dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya yang mana kewajaran tersebut diukur oleh kebutuhan fisik minimum. 5) Upah wajar yaitu upah yang dapat dinilai wajar oleh para pihak dalam kesepakatan kerja untuk imbalan atas jasa yang diberikan pekerja. 1 Mengenai upah ini juga diatur dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bab X tentang perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan pada paragraf 5 bagian kedua yang mengatur mengenai pengupahan pada pasal 88 dan pasal 89. Sesuai dengan Keputusan Gubernur Bali Nomor: 188/16/KPTS/013/2012 tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur Bali Nomor 188/286/KPTS/013/2011 Tentang Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota di Bali Tahun 2012 dimana untuk kota Denpasar UMK yang ditetapkan adalah sebesar Rp. 1.300.000 per bulan. 1 Karta Saputra, dkk, 1994, Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 100-102. 36 Begitu pula mengenai upah lembur yang diatur dalam KepMenaker No. KEP-72/MEN/84, dimana para pekerja yang lembur harus diberi upah sesuai dengan keputusan ini. Upah yang diberikan pengusaha harus berpatokan pada peraturan ini. Karena biasanya upah lembur perhitungan dan pemberiannya hanya didasarkan pada perhitungan pengusaha sendiri. b. Sistem Pengupahan dan Komponen Upah Sistem pengupahan di Indonesia pada umumnya mempergunakan upah pokok yang didasarkan pada kepangkatan, dan masalah kepangkatan seseorang biasanya didasarkan pada tingkat pendidikan dan pengalaman kerja, dengan kata lain penentuan upah atau gaji pokok pada umumnya didasarkan pada prinsip teori Human Capital, yaitu bahwa upah seseorang diberikan sebanding dengan tingkat pendidikan dan latihan yang dicapainya. Dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 07/MEN/1990 Tentang Pengelompokkan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah disebutkan bahwa: a. Termasuk Komponen Upah: 1) Upah pokok 2) Tunjangan tetap 3) Tunjangan tidak tetap b. Tidak Termasuk Komponen Upah: 1) Fasilitas 2) Bonus 3) Tunjangan hari raya 37 Apabila pengusaha melanggar peraturan maka sanksi yang diberikan adalah terhadap peraturan yang dilanggar seperti misalnya melanggar peraturan perlindungan upah akan dijatuhi sanksi dalam peraturan perlindungan upah seperti pemberian denda dan kurungan dan hal tersebut merupakan pelanggaran. 4. Kecelakaan Kerja Dalam Menjalankan Pekerjaan Kecelakaan kerja sering terjadi kapan pun dan dimana pun. Tanpa memilih orang karena hal tersebut adalah suatu musibah. Manusia bekerja untuk mencari uang adalah hal yang lumrah karena tanpa uang manusia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Karena sibuknya mencari uang dapat saja menghiraukan atau menyepelekan tentang keselamatan dan kesehatan kerja sehingga dapat mengakibatkan kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja menurut undang-undang No. 3 Tahun 1992 pasal 1 ke-6 Tentang Jamsostek menyatakan: Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui. Dari pernyataan undang-undang diatas telah menjelaskan bahwa kecelakaan kerja dapat berupa kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, kecelakaan yang terjadi ketika pekerja hendak ke tempat kerja dan kecelakaan yang terjadi ketika pekerja telah pulang kerumahnya melalui jalan yang biasa 38 dilewati oleh pekerja. Dapat juga berupa penyakit yang timbul dikarenakan pekerjaan. Hal tersebut telah jelas diatur dalam undang-undang. 5. Jaminan Sosial Jaminan sosial diatur dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Jamsostek, hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi pekerja terhadap resiko sosial ekonomi yang menimpa tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan baik dalam bentuk kecelakaan kerja, hari tua maupun meninggal dunia. Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian uang yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa yang dialami tenaga kerja seperti kecelakaan kerja, sakit dan lain-lain. Hal tersebut diatas adalah merupakan bentuk perlindungan yang diberikan oleh undang-undang karena setiap saat suatu kejadian dapat saja menimpa pekerja terutama kejadian buruk yang tidak diinginkan. Pekerja yang bekerja dengan status kontrak atau status hubungan kerja dengan pengusaha adalah KKWT (Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu) seperti yang telah dijelaskan pada awal bab ini seharusnya dilindungi oleh KepMenaker Nomor KEP 150/MEN/1999 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu. Hal ini berbeda dengan UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial karena UU tersebut hanya mengatur yang umum saja. 39 6. Hak-hak Kodrati dan Larangan Diskriminasi Bagi Pekerja Perempuan Undang-undang No. 4 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja dalam pasal 9 menyatakan bahwa: ”Tiap-tiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta kesusilaan, pemeliharaan morial kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama”. Dalam menjalankan Undang-undang ini serta peraturan-peraturan pelaksanaannya, tidak boleh diadakan diskriminasi. Wanita pekerja atau tenaga kerja wanita adalah merupakan kelompok yang karena sifatnya yang alami mempunyai kekhususan-kekhususan yang perlu diperhatikan sehingga terhadap mereka perlu adanya perlindungan yang khusus. Perlindungan yang khusus juga diberikan oleh undang-undang No. 1 Tahun 1951 Tentang Pernyataan berlakunya Undang-undang Kerja No. 12 Tahun 1948, selain itu sebagai peraturan pelaksana adalah PP No. 4 Tahun 1951. Apabila terdapat pelanggaran terhadap aturan diatas maka sesuai dengan pasal 17 ayat (2) UU Kerja maka yang melanggar akan dikenai sanksi pembayaran denda atau kurungan dan sifatnya hanya berupa pelanggaran. Hal tersebut juga diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women). 40 7. Peraturan Perusahaan Peraturan perusahaan diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 02/MEN/1978, yang mana isinya adalah sebagai pedoman bagi tiap perusahaan/toko untuk membuat peraturan perusahaan. Peraturan perusahaan disini harus dibedakan dengan perjanjian perburuhan ataupun perjanjian kerja.1 Dalam peraturan perusahaan harus memuat: 1. Hubungan kerja dan masa percobaan 2. Hari kerja dan waktu kerja 3. Kerja lembur 4. Pengupahan 5. Bonus 6. Perawatan dan pengobatan 7. Upah selama sakit 8. Tunjangan kecelakaan kerja 9. Istirahat mingguan dan hari libur 10. Istirahat tahunan 11. Cuti hamil dan keguguran 12. Ijin meninggalkan pekerjaan dengan mendapat upah penuh 13. Keselamatan kerja dan perlengkapan kerja 14. Larangan-larangan bagi pekerja 15. Pelanggaran tata tertib yang dapat mengakibatkan PHK 16. Mangkir, tidak masuk kerja alasan tidak dapat diterima. 2 Syarat-syarat yang ada diatas merupakan pedoman pembuatan peraturan perusahaan. Isi dari peraturan perusahaan harus sesuai dengan pedoman tersebut agar para pihak tidak saling dirugikan. 1 Husni, Lalu, 2000, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Raja Grafindo, Jakarta, hal. 44-52. 2 Pedoman Pembuatan Peraturan Perusahaan DISNAKER, Denpasar 41 Peraturan perusahaan harus ada pada setiap perusahaan, tidak telah ada perjanjian perburuhan maka peraturan perusahaan dapat dikesampingkan. Keharusan adanya peraturan perusahaan adalah untuk menjamin terlaksananya hak dan kewajiban para pihak baik dari pihak pengusaha maupun pihak pekerja, dikarenakan pada pertokoan yang sifatnya menengah yang mana memiliki pekerja sekitar 25 orang atau lebih diharuskan membuat peraturan perusahaan. Pada pertokoan yang sifatnya kecil peraturan perusahaan tidak dapat dibuat tetapi hanya cukup dengan perjanjian kerja saja. Karena jumlah pekerja tidak terlalu banyak. 8. Perlindungan Dan Efektivitasnya a. Struktur Lembaga Penegakan Berbicara mengenai lembaga penegakan dalam hal ini yang berwenang adalah yang sesuai dengan undang-undang, yaitu lembaga yang berada di bawah kementrian tenaga kerja. Dinas tenaga kerja sangat berperan penting dalam pengawasan dan penegakan peraturan undangundang. Di kota Denpasar dinas tenaga kerja kota harus menjalankan tugas mengawasi bidangnya dalam hal pekerjaan dan tenaga kerja. Oleh karena beratnya tanggung jawab yang dipikul dan banyak subyek yang harus dilaksanakan maka didalam lembaga ini sendiri juga terbagi menjadi beberapa sub-sub dinas kecil yang terkoordinasi (bagan terlampir). 42 Dari tiap-tiap sub dinas yang ada di dalam dinas tenaga kerja mempunyai tugas dan wewenang yang antara satu dan lainnya harus dapat berkoordinasi. Karena banyaknya bidang lapangan kerja sehingga perlunya ada pengelompokan-pengelompokan. Seperti contoh lapangan kerja bidang industri kecil dan besar, industri hulu, hotel dan restoran, retail serta masih banyak lagi bidang lapangan pekerjaan yang ada. Kota Denpasar merupakan kota yang penghasilan penduduknya banyak dari bidang industri kecil, pariwisata, jasa dan pertokoan. Sub dinas yang sangat berperan penting adalah bagian pengawasan ketenagakerjaan. Karena disinilah peranan disnaker diperlukan serta nasib pekerja agar tidak diperlakukan sewenang-wenang. Pada bagian pengawasan memiliki jadwal pengawasan kepada pekerja yang tersebar di Kota Denpasar. Dalam setahun mempunyai rencana dan program kerja berupa kunjungan kepada perusahaan yang memiliki pekerja, untuk mengetahui segala macam yang berkaitan dengan hak dan kewajiban kedua belah pihak baik pengusaha maupun pekerja. Apabila terdapat pelanggaran dan perselisihan perburuhan maka disnaker akan mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan sesuai prosedur agar perselisihan tidak berlarut-larut dan tidak terjadi kerugian dikedua belah pihak dengan berpedoman kepada undang-undang yang ada. Pengawasan yang dilakukan oleh Disnaker adalah dalam bentuk: 43 a. Melaksanakan pemeriksaan pertama dan kontrol di perusahaan atau ditempat kerja. b. Memberikan bimbingan, pembinaan dan penyuluhan kepada tenaga kerja dan pengusaha atau pengurus tentang peraturan perundangundangan ketenagakerjaan. c. Merahasiakan segala sesuatu yang diperoleh yang perlu dirahasiakan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. d. Melaporkan semua kegiatan yang berhubungan dengan tugas dan kewajibannya. e. Mencatat hasil pemeriksaan dalam Buku Akte Pengawasan Ketenagakerjaan dan disimpan oleh pengusaha atau pengurus. Pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha akan ditindak lanjuti oleh Disnaker yaitu: 1. Akan diberi surat/nota peringatan tertulis kepada pengusaha 2. Pengusaha akan dipanggil oleh disnaker 3. Bila tetap tidak kooperatif akan didatangi pihak Disnaker 4. Dengan alat negara yang lain dimintakan bantuan untuk pemberian sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Bila pekerja yang melanggar maka pengusaha wajib menyelesaikan secara kekeluargaan dan melaporkan kasus yang timbul terhadap pelanggaran yang dilakukan pekerja. 44 b. Kultur Pekerja, Pengusaha dan Disnaker 1) Pekerja Bali adalah salah satu pulau yang ada di Indonesia. Memiliki tradisi dan kebudayaan yang beraneka ragam, ada sebuah kebiasaan yang dilakukan yaitu gotong-royong dan saling membantu. Tidak hanya didaerah kerajaan saja tetapi pada setiap desa melakukan pembagian kerja untuk kepentingan bersama. Tetapi lama kelamaan kebiasaan itu menjadi sebuah pemaksaan kehendak oleh segelintir orang. Karena berbagai keadaan dan alasan maka kebiasaan itu menjadi sebuah pemaksaan yang akhirnya menjadi kerja paksa atau kepentingan seseorang tanpa bayaran. Sampai sekarang kultur demikian masih melekat pada sebagian masyarakat terutama daerah pedesaan, yang mana masih memegang teguh kebiasaan, selalu menghormati dan menerima apa yang ada. Kebanyakan pekerja berasal dari keluarga yang status sosial ekonomi mereka kurang dan kebanyakan berasal dari desa kecil yang merantau ke kota seperti halnya Denpasar. Sehingga pengusaha yang status sosialnya lebih tinggi menyebabkan pekerja tidak dapat melawan mereka walaupun pengusaha semena-mena. Itu disebabkan karena posisi pekerja yang lemah dan tidak memiliki daya tawar. 2) Pengusaha Kebanyakan pengusaha pemilik toko adalah orang non pribumi walaupun ada yang pribumi. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa 45 orang cina sangat menguasai perdagangan dan perekonomian. Hal tersebut dikarenakan pada jaman kolonial dahulu dan setelah kemerdekaan orang cina dibatasi pergerakannya dalam dunia pemerintah dan politik sehingga mereka hanya dapat bergerak pada sektor ekonom.1 Karena pergerakan yang dibatasi maka mereka berusaha untuk bertahan hidup, dengan bekerja keras, ulet dan gigih akhirnya membawa mereka telah banyak makan garam dan pahitnya kehidupan sehingga keberhasilan dapat mereka capai. Mulai dari usaha rintisan yang kecil sifatnya hingga berbentuk perusahaan yang besar dengan modal yang banyak sehingga pengetahuan dan pengalaman dalam perekonomian mereka terapkan untuk mengembangkan usaha mereka. Begitu juga dengan Kota Denpasar dimana perkembangan sektor ekonomi hanya sampai pada batasan industri kecil, jasa dan pariwisata. Orang cina memegang peranan penting, pada sektor pertokoan hampir sebagian besar dimiliki orang cina. Itu dikarenakan mereka selalu menumpuk modal dan memutar uang mereka untuk kemajuan bisnisnya. Sehingga jelas mereka secara langsung ataupun tidak langsung membuka lapangan kerja. Karena pekerja butuh pekerjaan dan di Kota Denpasar sumber pendapatan adalah berasal dari sektor jasa dan 1 Kunio, Yoshihara, 1990, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta, hal. 23. 46 pariwisata, pekerja kebanyakan juga status sosialnya rendah sehingga tidak memiliki daya tawar maka pengusaha yang kebanyakan orang cina semena-mena terhadap pekerja. 3) Disnaker Instansi pemerintah harus dapat memberikan pelayanan kepada publik karena itu merupakan tugas mereka dalam sebuah negara. Mereka sebagai wakil dari rakyat yang menjalankan pemerintah seharusnya memberikan sebuah gambaran berupa birokrasi yang mudah dan dijalankan oleh orang-orang yang berdedikasi tinggi terhadap pekerjaannya. Pemerintah harus dapat memberikan pelayanan dasarnya kepada masyarakat entah itu dibidang informasi, pendidikan, pangan, kesehatan masyarakat, keamanan, infrastruktur dan lain-lain. Tetapi saat ini yang ada pada pemerintah kita adalah pemerintahan yang tradisional, mengedepankan cara-cara yang primitif padahal masyarakat sudah sangat berkembang dan dunia yang makin global. Pemerintah masih mengandalkan pelayanan yang rumit dengan ciri khasnya yaitu strukur yang vertikal dan birokrasi yang kental.1 Menurut Abdul Wahab ”para pegawai pemerintah tidak melayani rakyat malah mereka merasa merekalah yang harus dilayani”. 2 Pemerintah saat ini tidak dapat memberikan semua yang dibutuhkan rakyat. Para elite saling berebut kekuasaan dan mementingkan kepentingan 1 2 Abdul Wahab, 1999, Reformasi Pelayanan Publik, PT Dana Wijaya, Malang, hal. 20. Ibid , hal. 22. 47 golongan. Korupsi, kolusi dan nepotisme masih tetap sebagai penyakit yang menghinggapi mereka secara turun menurun. Disnaker sebagai lembaga pemerintahan yang berwenang dalam hal tenaga kerja seharusnya jangan sampai terjebak pada pemikiran-pemikiran yang sempit dan menggampangkan masalah. Mereka harus bebas dari birokrasi yang rumit dan berpihak pada pekerja karena merekalah yang diandalkan oleh pekerja. Pegawai juga harus berdedikasi tinggi terhadap pekerjaannya agar terbebas dari KKN. Bagaimana bisa menolong rakyat yang membutuhkan suatu pelayanan publik dan keberpihakkan kaum lemah bila mereka semua masih berpikir sempit dan mencari keuntungan pribadi.