Hubungan Kerapatan Tanah, Karbon Organik

advertisement
Protobiont (2017) Vol. 6 (3) : 263 – 269
Hubungan Kerapatan Tanah, Karbon Organik Tanah dan Cadangan
Karbon Organik Tanah Di Kawasan Agroforestri Tembawang Nanga
Pemubuh Sekadau Hulu Kalimantan Barat
Tirta Sari1, Rafdinal1, Riza Linda1
Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, Jl. Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Pontianak,
email: [email protected]
Abstract
Soil Organic carbon is an organic matter contained in or on the soil surface which derives from natural carbon
compounds. Soil becomes an important representation of organic carbon stock in long-term period of land
ecosystem, because soil accumulates carbon larger than those in plant biomass and atmosphere. This research
aims to study the correlation between soil density, soil organic carbon, and soil organic carbon stock in
tembawang agroforestry area Nanga Pemubuh Sekadau Hulu West Kalimantan. The results show that soil
density has a negative correlation and a real effect on soil organic carbon, and it has positive correlation and a
real effect on soil organic carbon stock.
Keywords: Soil Organic Carbon Stock, Soil Density, Soil Organic Carbon Content, Tembawang Agroforestry
PENDAHULUAN
Pemanasan global merupakan salah satu isu
lingkungan utama yang dihadapi dunia saat ini.
Pemanasan global dapat disebabkan oleh
perubahan tata guna lahan dan perubahan
penutupan lahan melalui konversi hutan. Menurut
Afifuddin (2006), telah terjadi perubahan tata guna
lahan di Kalimantan Barat, khususnya di
Kabupaten Sintang dan Sanggau yaitu adanya
perubahan kawasan hutan menjadi kawasan kebun
sawit dan karet. Perubahan tersebut dapat
menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan di
Kalimantan Barat yang berkontribusi dalam
meningkatkan emisi karbon (Badan Lingkungan
Hidup Kalbar, 2013).
Upaya untuk menurunkan emisi karbon adalah
dengan Mitigasi yaitu upaya untuk menstabilkan
konsentrasi CO2 di atmosfer yang salah satunya
dengan cara melakukan penanaman pada areal areal hutan dan lahan terdegradasi. Tanaman dapat
mengurangi CO2 di atmosfer melalui proses
pemindahan karbon ke dalam tanah. Menurut
Muhdi (2008), jumlah karbon di dalam tanah selain
dipengaruhi oleh jumlah karbon yang ada dalam
tegakan juga dipengaruhi oleh jumlah karbon
dalam serasah. Proses respirasi biota tanah yang
dipengaruhi oleh suhu akan melepas karbon terikat
menjadi karbon dioksida ke atmosfer. Menurut
Schrumpf et al., (2011) karbon yang terakumulasi
di dalam tanah dipengaruhi oleh vegetasi dan
pertumbuhannya,
sisa
biomassa
melalui
pemanenan, dan gangguan mekanis pada tanah.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Suardi et al,
(2015) menyatakan bahwa cadangan karbon
organik tanah pada sistem agroforestri lebih tinggi
dibandingkan dengan cadangan karbon organik
tanah pada sistem monokultur. Cadangan karbon
organik tanah pada sistem agroforestri sebesar
49,75 C/ha, sedangkan pada sistem monokultur
sebesar 43,09 C/ha. Cadangan karbon organik
tanah ditentukan oleh konsentrasi karbon organik
tanah, kerapatan tanah, dan kedalaman tanah.
Agroforestri tembawang di desa Nanga Pemubuh,
Kabupaten Sekadau tersusun atas kombinasi
tumbuhan berkayu dengan tanaman pertanian yang
ditanam dengan pengelolaan lahan yang berbeda
dan umur yang berbeda sehingga dapat
menyebabkan penyerapan karbon lebih banyak.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan
antara kerapatan tanah, karbon organik tanah dan
cadangan karbon organik tanah di kawasan
agroforestri tembawang tersebut.
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 4 bulan
yaitu bulan Maret - Juni 2017. Pengambilan sampel
263
Protobiont (2017) Vol. 6 (3) : 263 – 269
tanah dilakukan di Desa N\anga Pemubuh,
Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau,
Kalimantan Barat. Preparasi sampel dilakukan di
laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Tanjungpura
Pontianak. Analisis karbon organik tanah
dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan
Tanah Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura
Pontianak.
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Sekadau Hulu merupakan salah satu
dari 7 kecamatan yang ada di Kabupaten Sekadau,
memiliki luas wilayah sebesar ± 869,7 km2.
Kecamatan Sekadau Hulu secara geografis berada
dibagian wilayah selatan Kabupaten Sekadau,
memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan
Sekadau Hilir
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan
Nanga Taman
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan
Kapuas, Kab. Sanggau
d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan
Sepauk, Kab. Sintang
Kecamatan sekadau Hulu memiliki 15 desa, salah
satunya yaitu Nanga Pemubuh. Desa Nanga
Pemubuh memiliki luas daerah sebesar 89,92 km2,
dan berjarak sebesar 55 km dari kecamatan. Lokasi
penelitian ini berada di Jalan PT. Kayu Lapis,
Kilometer 21. Gambaran lokasi penelitian dapat
dilihat pada Gambar1.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
alat tulis, GPS (Global Positioning System), label,
labu takar 100 ml, meteran, plastik klip, pipet ukur
10 ml, pipet volume 5 ml, ring tanah, saringan
diameter 2 mm, spektrofotometer visibel,
timbangan analitik. Bahan yang digunakan adalah
akuades, asam sulfat pekat, kalium dikromat 1N,
larutan standar 5.000 ppm C.
264
Protobiont (2017) Vol. 6 (3) : 263 – 269
Cara Kerja
Perhitungan
Penetuan Lokasi Sampling
Metode yang digunakan dalam penetuan lokasi
sampling penelitian adalah metode purposive
random sampling (Fachrul, 2006). Lokasi
penelitian memiliki vegetasi pohon berkayu yang
kanopinya tersusun rapat dan tersusun jarang serta
dikombinasi oleh tanaman buah-buahan Lokasi
sampling terdiri dari 4 lokasi sebagai berikut:
a. Agroforestri tembawang dusun Emperarak
(Lokasi I)
b. Agroforestri tembawang dusun Sepanjang
(Lokasi II)
c. Agroforestri tembawang Tembawang Angus
(Lokasi III)
d. Agroforestri tembawang dekat dengan
perkebunan kelapa sawit (Lokasi IV)
a. Kerapatan tanah (Bulk Density)
Kerapatan tanah diukur dengan menimbang
sampel tanah yang telah diambil dan dapat
dihitung menggunakan rumus:
ρb =
𝑀𝑠
𝑉𝑡
Keterangan:
BD: Bulk Density (gr/cm3 )
𝑀𝑠: Massa tanah (gr)
𝑉𝑡: Volume Tanah (cm3 )
(Hillel, 1981)
b. Kandungan Karbon organik tanah
C-Organik
(%)
= ppm kurva x 100/mg
sampel x 100ml/1.000 ml x
fk
Keterangan:
ppm
: kadar sampel yang didapat dari
kurva
kurva regresi hubungan antara
kadar deret standar dengan
pembacaannya
setelah
dikurangi blanko
100
: konversi ke %
fk
: faktor koreksi kadar air =
100/(100-% kadar air)
Gambar 2. Desain Plot Pengambilan Sampel
Kadar Air = (Kehilangan Bobot/ Bobot
Contoh) x 100
(Eviati & Sulaeman, 2009)
c. Cadangan Karbon Organik Tanah
Pembuatan Plot dan Pengambilan Sampel
Tanah
Plot pengambilan sampel dibuat dengan ukuran 20
x 100 m (Hairiah, 2007). Plot tersebut dibagi
menjadi 5 titik pengambilan sampel (gambar 2).
Pengambilan sampel menggunakan metode
composite sampling. Sampel tanah diambil dari 5
titik tersebut. Pengambilan sampel tanah
menggunakan metode komposit, yaitu dengan
mencampurkan sampel tanah dari kelima titik
pengambilan sampel pada masing-masing
kedalaman. Tanah diambil dengan interval
kedalaman 0-5 cm, 5-10 cm, 10-20 cm, dan 20-30
cm pada masing-masing titik pengambilan sampel.
Sampel tanah diambil secara berurutan mulai dari
lapisan teratas hingga lapisan terbawah dengan
menggunakan ring tanah berkuruan 5 cm x 5 cm x
5 cm. Sampel tanah yang telah diambil dimasukkan
ke dalam plastik klip, dibawa ke laboratorium.
Berikut adalah desain plot pengambilan sampel.
𝑇.𝐵𝐷.𝐶
Csi = 1−𝑀𝐹𝑝
Ctanah = Csi x 100
(Sutaryo, 2009)
Keterangan:
Ctanah : Cadangan karbon organik tanah per hektar
Csi
: Cadangan Karbon pada Horizon i
T
: Ketebalan Tanah (cm)
BD
: Berat Jenis Tanah (Bulk Density)
C
: Kandungan Karbon Organik Tanah
MFp
: Faktor kelembaban Tanah
100
: Faktor konversi dari g/cm2 ke ton/ha
Analisis Data
Data
yang diperoleh dianalisis
dengan
menggunakan analisis statistik ANOVA satu jalur
(one-way Anova) untuk mengetahui perbedaan
cadangan karbon organik tanah berdasarkan
kedalaman. Hubungan antar parameter di analisis
265
Protobiont (2017) Vol. 6 (3) : 263 – 269
menggunakan korelasi spearman. Data dianalisis
menggunakan program SPSS 18.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil analisis Anova menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan kerapatan tanah tiap kedalaman tanah
(F3,15) = 3,734, p > 0,05. Uji lanjut Tukey
menunjukkan kerapatan tanah pada kedalaman 5,
10, 20 cm tidak berbeda nyata dengan kerapatan
tanah pada kedalaman 30 cm. Berdasarkan hasil uji
Anova, kandungan karbon organik tanah
menunjukkan perbedaan di setiap kedalaman tanah
(F3,15) = 6,737, p > 0,05. Uji lanjut Tukey
menunjukkan rerata kandungan karbon organik
tanah pada kedalaman tanah 5 cm berbeda nyata
dengan rerata kandungan karbon organik tanah
pada kedalaman 10, 20, dan 30 cm. Kandungan
karbon organik tanah pada kedalaman 10, 20 dan
30 cm tidak berbeda nyata. Hasil uji Anova
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan cadangan
karbon organik tanah di setiap kedalaman tanah
(F3,15) = 82,992, p > 0,05. Uji lanjut tukey
menunjukkan rerata cadangan karbon organik
tanah pada kedalaman tanah 5 cm tidak berbeda
nyata dengan cadangan karbon organik tanah pada
kedalaman 10 cm, akan tetapi berbeda nyata
dengan cadangan karbon organik tanah pada
kedalaman 20 cm dan 30 cm (Tabel 1).
Tabel 1. Kerapatan Tanah (BD), Kandungan Karbon Organik Tanah, Cadangan Karbon Organik Tanah pada Kedalaman
0-30 cm.
Kerapatan Tanah (g/cm3)
Kedalaman (cm)
0,77a
0,85ab
0,93ab
0,98b
5
10
20
30
Rata-Rata
±
±
±
±
0,08
0,09
0,1
0,09
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa
kerapatan tanah, kandungan karbon organik tanah
dan cadangan karbon organik tanah memiliki
korelasi satu sama lain. Korelasi tersebut dapat
diketahui berdasarkan nilai koefisen korelasinya.
Berdasarkan hasil uji anova, korelasi antara dua
parameter pada tabel 2 menunjukkan nilai koefisen
korelasi yang berbeda. Korelasi negatif yang
berpengaruh nyata (p < 0,01) antara kandungan
karbon organik tanah dan kerapatan tanah
menghasilkan nilai r sebesar 0,753. Korelasi positif
yang berpengaruh nyata (p < 0,05) antara cadangan
karbon organik tanah dan kerapatan tanah
menghasilkan nilai r sebesar 0,597. Cadangan
karbon organik tanah dengan kandungan karbon
organik tanah memiliki korelasi negatif yang tidak
signifikan.
Tabel 2. Matriks Korelasi antara Kerapatan Tanah (BD),
Kandungan Karbon Organik Tanah (C), dan Cadangan
Karbon Organik Tanah (Ctanah) pada Kedalaman 0-30
cm
C dan BD
-0,753**
Ctanah dan BD
0,597*
C dan Ctanah
-0,424 ns
Keterangan :
* : Menunjukkan perbedaan nyata, p < 0,05
** : Menunjukkan perbedaan nyata, p < 0,01
ns : tidak signifikan (tidak mempunyai korelasi)
Kandungan Karbon Organik
Tanah (%)
Rata-Rata
4,06a
±
0,19
2,73b
±
0,32
2,54b
±
0,25
2,81b
±
0,28
Cadangan Karbon Organik
Tanah (Ton/ha)
Rata-Rata
1.705,27 a
±
208,34
2.480.89a
±
377,47
5.065,79b
±
805,81
8.899,62c
±
1.092,16
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ratarata keseluruhan kerapatan tanah pada kedalaman
0-30 cm berkisar antara 0,77-0,98 g/cm3. Hasil
analisis keragaman menunjukkan bawah kerapatan
tanah berdasarkan kedalaman tanah menunjukkan
perbedaan yang nyata (p > 0,05). Kerapatan tanah
lebih rendah pada lapisan tanah 0-5 cm dan lebih
tinggi pada lapisan tanah 20-30 cm. Kerapatan
tanah tidak berbeda nyata pada lapisan tanah 5-10
cm dan 10-20 cm, akan tetapi berbeda nyata antara
lapisan 0-5 cm dan 20-30 cm.
Hal tersebut karena pada lapisan tanah 0-5 cm
akumulasi dan jumlah akar tanaman lebih banyak
dibandingkan dengan lapisan tanah 20-30 cm.
Carvalho et al., (2009) menyatakan bahwa
kerapatan tanah yang rendah pada lapisan atas
berkaitan erat dengan meningkatnya jumlah akar
sedangkan kerapatan tanah yang tinggi disebabkan
oleh rendahnya volume akar. Eluozo, (2013)
menyatakan bahwa lapisan bawah permukaan
tanah lebih padat dan mempunyai sedikit bahan
organik. Lapisan bawah permukaan tanah yang
lebih padat mengandung lebih sedikit ruang pori
disebabkan oleh penetrasi akar lebih sedikit
dibandingkan dengan lapisan permukaan tanah atas
dan kurangnya agregasi tanah. Tanah yang lebih
padat dapat menyebabkan aerasi dan drainase
266
Protobiont (2017) Vol. 6 (3) : 263 – 269
terganggu, sehingga perkembangan akar menjadi
tidak normal.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
telah dilakukan oleh Siringoringo, (2014) pada
hutan tanaman Acacia mangium Willd yang
menyatakan bahwa kerapatan tanah meningkat
secara nyata dengan meningkatnya kedalaman
tanah. Kerapatan tanah meningkat dari 0,73 (0-5
cm) menjadi 0,89 gr/cm3 (20-30 cm). Penelitian ini
juga sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Siringoringo, (2014) pada hutan tanaman
Shorea leprosula Miq. Muda di Ngasuh,
Kabupaten Bogor yang menyatakan bahwa
kerapatan tanah meningkat dari 0,67 (0-5 cm)
menjadi 0,78 g/cm3 (20-30 cm).
Hasil analisis keragaman kandungan karbon
organik
tanah
berdasarkan
kedalaman
menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05).
Kandungan karbon organik tertinggi terdapat pada
kedalaman tanah 0-5 cm, sedangkan kandungan
karbon organik tanah terendah terdapat pada
lapisan 20-30 cm. Hal tersebut disebabkan oleh
akumulasi bahan organik hasil dekomposisi
serasah yang cenderung tinggi pada lapisan tanah
atas, sehingga karbon organik tanah pada lapisan
tanah 0-5 cm cenderung lebih tinggi.
Siringoringo (2013), menyatakan bahwa bahan
organik tanah cenderung terkonsentrasi pada
lapisan atas tanah, karena sebagian besar pasokan
atau input karbon organik tanah adalah dari serasah
yang berada pada bagian atas tanah, sedangkan
pada kedalaman 30-100 cm, jumlah pasokan dari
serasah permukaan menjadi lebih berkurang
dengan meningkatnya kedalaman tanah sehingga
menyebabkan kandungan karbon organik tanah
rendah.
Kandungan karbon organik tanah pada kedalaman
0-5 cm berbeda nyata dengan kedalaman 5-10 cm,
10-20 cm, dan 20-30 cm. Hal tersebut disebabkan
oleh distribusi bahan organik tanah hasil
dekomposisi serasah yang menurun disetiap
lapisan tanah, dan dapat disebabkan oleh
penurunan kepadatan akar di setiap lapisan tanah.
Menurut Jobaggy & Jackson, (2000) penurunan
pasokan dari serasah permukaan dan penurunan
kepadatan akar dengan meningkatnya kedalaman
tanah berkontribusi terhadap kandungan karbon
organik tanah yang lebih kecil di horizon B (sub
soil) daripada horizon A (top soil).
Kandungan karbon organik tanah menurun sejalan
dengan meningkatnya kedalaman tanah dapat
disebabkan oleh meningkatnya kerapatan tanah.
Kandungan karbon organik tanah memiliki
korelasi negatif dengan kerapatan tanah.
Siringoringo, (2007) menyatakan bahwa tinggi
rendahnya kerapatan tanah ditentukan oleh
kandungan karbon organik tanah, semakin tinggi
kandungan karbon organik tanah maka semakin
rendah kerapatannya. Kerapatan tanah yang
meningkat dapat menyebabkan ruang pori tanah
mengecil sehingga menyebabkan kandungan
karbon organik tanah menjadi rendah. Krull et al.,
(2001) menyatakan bahwa hampir semua karbon
organik dalam tanah terletak di dalam pori-pori
antara partikel tanah, sehingga apabila ruang pori
tanah mengecil kandungan karbon organik tanah
juga sedikit.
Berdasarkan hasil penelitian rerata cadangan
karbon organik tanah pada lokasi penelitian
berkisar antara 1.705,27 – 8.899,62 ton/ha.
Cadangan karbon organik tanah memiliki
perbedaan di setiap lapisan tanah. Cadangan
karbon organik tanah terendah terdapat pada
lapisan tanah 0-5 cm yaitu sebesar 1.705,27 ton/ha,
dan tertinggi terdapat pada lapisan tanah 20-30 cm
yaitu sebesar 8.899,62 ton/ha (Tabel 1). Cadangan
karbon organik tanah pada lapisan 0-5 cm rendah,
dan semakin meningkat dengan bertambahnya
kedalaman tanah. Hal tersebut disebabkan oleh
Kandungan karbon organik tanah pada lapisan
tanah 0-5 cm berada pada proses pelapukan aktif
dan sering mengalami perubahan.
Cadangan karbon organik tanah memiliki korelasi
negatif yang tidak nyata dengan kandungan karbon
organik tanah. Korelasi tersebut menyatakan
bahwa semakin besar kandungan karbon organik
tanah, maka cadangan karbon organik tanah
semakin kecil. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah
karbon organik tanah selalu mengalami perubahan
akibat dekomposisi sehingga cadangan karbon
organik tanah rendah.
Cadangan karbon organik tanah pada lapisan 0-5
cm rendah juga dapat disebabkan oleh aktivitas
antropogenik pada lokasi penelitian seperti
penebangan pohon dan pengolahan lahan untuk
area penanaman cenderung terjadi di lapisan tanah
atas, sehingga menyebabkan bahan organik tanah
pada lapisan tanah atas terdekomposisi akibatnya
cadangan karbon organik tanah menjadi rendah
pada lapisan tanah atas. Menurut Salimon et al.,
(2009), rendahnya cadangan karbon organik pada
lapisan tanah atas disebabkan oleh faktor
penyiapan lahan dengan sistem tebang habis
267
Protobiont (2017) Vol. 6 (3) : 263 – 269
sehingga menyebabkan gangguan besar terhadap
tanah lapisan atas. Pengolahan lahan tersebut
menyebabkan fraksi-fraksi organik lebih tidak
terlindungi dari dekomposer sehingga kandungan
bahan organik tanah cenderung menurun.
Cadangan karbon organik tanah dengan kerapatan
tanah memiliki korelasi positif yang berpengaruh
nyata (Tabel 2). Korelasi tersebut menunjukkan
bahwa semakin tinggi kerapatan tanah maka
cadangan karbon organik tanah semakin tinggi.
Menurut (Siringoringo, 2014) apabila tanah
semakin padat atau kerapatan tanah semakin tinggi,
maka tanah akan mengandung massa yang lebih
besar pada suatu kedalaman tertentu, sehingga
cadangan karbon organik tanah lebih tinggi.
Berdasarkan hasil uji Anova diketahui bahwa
cadangan karbon organik tanah pada kedalaman 10
cm tidak berbeda nyata dengan cadangan karbon
organik pada kedalaman 5 cm, akan tetapi berbeda
nyata dengan cadangan karbon organik tanah
kedalaman 20 dan 30 cm. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pada kedalaman tanah 10 cm
masih terdapat gangguan pada tanah akibat
aktivitas antropogenik yang berupa pengolahan
lahan. Cadangan karbon organik tanah pada
kedalaman 20 cm berbeda nyata dengan cadangan
karbon organik pada kedalaman 30 cm. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh laju dekomposisi yang
rendah pada tanah lapisan 30 cm.
Menurut (Lorenz & Lal, 2005) cadangan karbon
organik tanah pada lapisan atas sering mengalami
dekomposisi secara cepat oleh meningkatnya
aktivitas mikroba dekat permukaan tanah dan
fluktuasi suhu tanah. Cadangan karbon organik
tanah pada lapisan bawah terlindung dalam agregat
tanah dan mempunyai laju dekomposisi yang
rendah.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
telah dilakukan oleh Siregar (2007) pada hutan
tanaman pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese)
di Cianten Jawa Barat yang menyatakan bahwa
kumulatif stok karbon organik tanah pada tanah
lapisan 0-5 cm sebesar 20,80 ton/ha sedangkan
pada lapisan 20-30 cm sebesar 96,39 ton/ha.
Cadangan karbon organik tanah pada lokasi
penelitian sangat besar dibandingkan dengan
cadangan karbon organik tanah pada hutan
tanaman pinus di Cianten Jawa Barat, dan lebih
besar dibandingkan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Monde, (2009) pada agroforestri
kakao yang menyatakan bahwa karbon oganik
tanah yang tersimpan dalam agroforestri kakao
sebesar 21,4 ton/ha (0-10 cm).
Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan vegetasi
yang terdapat pada lokasi tersebut. Lokasi
penelitian memiliki vegetasi tumbuhan yang
tersusun dari 2 atau lebih tanaman dengan umur
yang berbeda sehingga menyebabkan penyerapan
karbon menjadi lebih banyak. Menurut
Malmsheimer (2008), pencampuran tanaman dari
berbagai umur, yang dipanen adalah yang sudah
siap panen, sehingga memberi kesempatan untuk
tanaman dengan umur relatif muda mendapat
cahaya lebih banyak dan pada akhirnya akan
menyerap karbon lebih banyak.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan penelitian dibawah
payung riset Dr. Rafdinal, S.Si., M.Si dan Riza
Linda, S.Si., M.Si. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada Dr. Rafdinal, S.Si., M.Si serta
mahasiswa yang terlibat didalam penelitian ini
yaitu Alinus, Adityo Raynaldo, Agustinus
Harmono, dan Lia Utami Rahman yang telah
membantu dalam pengambilan sampel.
DAFTAR PUSTAKA
Afifuddin, Y, 2006, Penilaian Ekonomi Agroforest
Tembawang di Kabupaten Sintang dan Sanggau
Propinsi Kalimantan Barat, Tesis, Institut
Pertanian Bogor, Bogor
Badan Lingkungan Hidup Propinsi Kalimantan Barat,
2013, Strategi dan Rencana Aksi Provinsi
(SRAP) REDD+ Kalmantan Barat, Pontianak
Carvalho, J,L,N, Cerri, C,E,P, Feigl, B,J, Piccolo, M,
de,C, Godinho, V, de, P, Herpin, U, & Cerri C,C,
2009, ‘Conversion of Cerrado into Agricultural
Land in the South Western Amazon, Carbon
Stocks and Soil Fertility’, Sci, Agric, (Piracicaba,
Braz), 66(2), 233-241
Eluozo, SN, 2013, Predictive Model to Monitor the Rate
Of Bulk Density in Fine and Coarse Soil
Formation Influenced Variation of Porosity in
Coastal Area of Port Harcourt, American Of
Journal Engineering Science And Technology
Research, Vol.1, No. 8, Hal: 115-127
Eviati & Sulaeman, 2009, Analisis Kimia Tanah,
Tanaman, Air, dan Pupuk, Balai Penelitian
Tanah, Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan
Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departeman Pertanian, Bogor
Fachrul, M, 2006, Metode Sampling Bioekologi, Bumi
Aksara, Jakarta.
Hairiah, K, & Rahayu, S, 2007, Pengukuran Karbon
Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan
268
Protobiont (2017) Vol. 6 (3) : 263 – 269
Lahan, World Agroforestry Center, ICRAFSA,
Bogor
Hillel, D, 1981, Soil and Water, Academis Press, New
York
Jobbagy E,G, & Jackson, R,B, 2000, The Vertical
Distribution Of Soil Organic, Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam, Vol. 4, No. 5, Hal.
441-456
Krull, E, Baldock, J, & Skjemstad, J, 2001, Soil Texture
Effect on decomposition and Soil Carbon
Storage, NEE Workshop Proceeding, CRC for
Greenhouse Accounting, CSIRO Land and
Water Australia
Lorenz, K & Lal, R, 2005, ‘The Depth Distribution Of
Soil Organic Carbon In Relation to Land Use
And Management And The Potential Of Carbon
Sequestration in Subsoil Horizons’, Advance in
Agronomy, Vol. 88, Hal: 35-66
Malmsheimer, R,W, P, Hefferman, S, Brink, D,
Crandall, F, Deneke, C, Galik, E, Gee, JA, Helm,
N, Mac, Clure, M, Mortimer, S, Ruddell, M,
Smith dan J, Stewart, 2008, Forest Management
Solution for Mitigating Climate Change, Journal
Of Forestry, Vol. 106, No. 3, Page: 115-173,
Society of Americans Foresters Task Force
Report, Grosvernor Lane, Bethesda, Maryland,
USA
Monde, A, 2009, Degredasi Stok Karbon Akibat Alih
Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Kakao Di Das
Nopu, Sulawesi Tengah, Jurnal Agroland, Vol 16
(2), Hal: 110-117
Muhdi, 2008, Model Simulasi Kandungan Karbon
Akibat Pemanenan Kayu di Hutan Alam Tropika,
Karya Tulis, Universitas Sumatera Utara, Medan
and Cover Change in Southwestern Carbon And
Its Relation to Climate and Vegetation, Ecol
Appl, Vol.10 (2), Hal: 423-436
Schrumpf, M, Schulze, ED, Kaiser, K, & Schumacher,
J, 2011, ‘How Accurately Can Soil Organic
Carbon Stocks and Stock Changes be Quantified
by Soil Inventories’, Biogeosci Discuss, Vol. 8,
hal. 723-769
Siregar, CA, 2007, ‘Pendugaan Biomassa Pada Hutan
Tanaman Pinus (Pinus merkusii Jungh et de
Vriese) Dan Konservasi Karbon Tanah Di
Cianten, Jawa Barat’, Jurnal Penelitian Hutan
dan Konservasi Alam, Vol 4, Hal: 251-266
Siringoringo, HH, 2007, ‘Keragaman Simpanan Karbon
Dalam Tipe Tanah Nitisols Dan Feralsols di
Kawasan Hutan Tanaman Pinus merkusii Jungh
et de Vriest Dan Shorea leprosula Miq. Di
Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat’, Jurnal
penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Vol 4,
No.5, Hal 441-456
Siringoringo, HH, 2014, Perbedaan Simpanan Karbon
Organik Pada Hutan Tanaman Acacia mangium
Willd Dan Hutan Sekunder Muda, Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Vol. 11,
No. 1, Hal. 13-39
Suardi, H, Normah, AB, Mui-How, PHUA, Mazlin
Mokhtar, 2015 Carbon Stock Estimation of
Agroforestry System in Tawau, Sabah,
Transactions on Science and Technology, Vol 3,
Hal. 25-30
Sutaryo, D, 2009, Penghitungan Biomassa: Sebuah
Pengantar untuk Studi Karbon dan Perdagangan
Karbon, Wetlands International Indonesia
Programme, Bogo
Salimon, CI, Wadt, PGS, & Alves, SS, 2009, Decrease
in Carbon Stocks In an Oxisol Due Tue Land Use
269
Download