di Teluk Bone - IPB Repository

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perikanan Cakalang
2.1.1 Aspek biologi
2.1.1.1 Penamaan dan ciri-ciri
Cakalang masuk dalam Family : Scombridae, Order : Perciformes, Class :
Actinopterygii (Froose and Pauly 2011). Sistimatika cakalang (Katsuwonus
pelamis) sebagai berikut (Matsumoto et al. 1984) :
Phylum : Vertebrata
Subphylum : Craniata
Superclass : Gnathosyomata
Series : Pisces
Class : Teleostomi
Subclass : Actinopterygii
Order : Perciformes
Suborder : Scombroidea
Family : Scombridae
Subfamily : Scombrinae
Tribe : Thunnini
Genus : Katsuwonus
Spesies : Katsuwonus pelamis
Cakalang (Katsuwonus pelamis) sering disebut skipjack tuna.
Nama
skipjack tuna untuk masing-masing negara berbeda-beda, yaitu : stripped tuna
(Australia),
atun (chili), oceanic bonito (Kanada), aku (Hawai),
katsuwo
(Jepang), palajawan (Philipina) dan cakalang di Indonesia (Kaseger 1986).
Demikian pula nama skipjack tuna untuk masing-masing daerah berbeda-beda,
yaitu : cakalang, japal (Bugis, Makassar, Mandar), buju (Gorontalo), cakalang,
tongkol krai (Jakarta), buanbee, clorengan (Madura), cahalang dolangan, kausa,
hetung di Sangihetalaud (Burhanuddin et al. 1984).
Deskripsi morfologi dan meristik cakalang dari berbagai samudera
menunjukkan bahwa hanya satu spesies cakalang yang tersebar di seluruh dunia
yaitu Katsuwonus pelamis.
Bentuk tubuh cakalang memanjang seperti torpedo dan padat dengan
penampang melintang yang membulat. Di sebelah bawah gurat sisi memiliki
4 – 6 garis-garis hitam tebal yang membujur seperti pita.
punggung dan perut berwarna keperak-perakan.
Bagian bawah
Punggung berwarna biru
14
keungu-unguan. Tubuh tidak bersisik kecuali pada bagian gurat sisi dan depan
sirip punggung pertama. Cakalang mempunyai 7 – 9 sirip dubur tambahan dan
terdapat tiga tonjolan pada batang ekor (Burhanuddin et al. 1984). Sedangkan
menurut Matsumoto et al. (1984) menyatakan bahwa cakalang memiliki tubuh
yang padat (robust), memiliki penampang yang bulat dan outline yang lengkap,
maxilary tidak bersentuhan dengan preorbital, memiliki 40 gigi hanya
dirahangnya, gigi tidak terdapat pada tulang vomer dan palatine, corselet
terbentuk dengan baik dan sisik hampir tidak ada dibagian lain permukaan
tubuhnya, jarak antara sirip punggung pertama dan kedua hampir tidak pernah
melebihi diameter matanya, gurat sisi (literal line) melengkung ke bawah tepat
di bawah sirip punggung kedua, tepi dari sirip punggung pertama sangat cekung
(concave), sirip dada pendek dan berbentuk segitiga, ujungnya umumnya dapat
mencapai duri ke 9 dan 10 sirip punggung, tetapi pada spesimen ikan khusus
ujung sirip dada dapat mencapai duri ke 8 dan ke 11. Selanjutnya menurut
(Froose and Pauly 2011), panjang maksimum dapat mencapai 110 cm, berat
maksimum 34,5 kg dan umur maksimum 12,5 tahun seperti terlihat pada Gambar
3.
Gambar 3 Cakalang (Katsuwonus pelamis, Linnaeus 1758).
2.1.1.2 Ukuran tubuh
Ukuran maksimum panjang cagak kurang lebih 108 cm dengan berat
32,5-34,5 kg, sedangkan ukuran yang umum tertangkap adalah 40-80 cm
dengan berat 8-10 kg. Ukuran cakalang yang sudah matang gonad berkisar
40-45 cm. Cakalang betina yang matang gonad memijah pertama kalinya pada
ukuran 41 cm, sedangkan cakalang jantan biasanya mengalami matang gonad
pada ukuran antara 40-45 cm (Radju 1964 diacu dalam Bintoro 1995).
Selanjutnya dinyatakan bahwa ukuran panjang cakalang saat pertama kali
matang telur berkisar antara 40-50 cm. Setelah melakukan pemijahan, sisa-sisa
telur matang masih dapat ditemukan pada ikan-ikan yang yang berukuran lebih
15
besar dari 40 cm, akan tetapi sisa telur tersebut tidak ditemukan pada ikan-ikan
yang berukuran lebih kecil dari 40 cm. Selanjutnya menurut (Froose and Pauly
2011) menyatakan bahwa panjang cakalang saat matang gonad (Lm) berkisar
antara 40-45 cm. Panjang Lm 40 cm ditemukan pada negara Cuba dan Philipina
sedangkan panjang Lm 45 cm ditemukan pada negara Papua New Guinea.
2.1.1.3 Pemijahan
Cakalang bersifat heteroseksual, namun tercatat juga beberapa sifat
hermaprodit (Thomas and Radju 1964 diacu dalam Matsumoto et al. 1984). Telur
cakalang umumnya bersifat pelagis dan biasanya ditetaskan di daerah karang.
Telur-telur ini sukar dibedakan dengan ikan pelagis lainnya, karena ukuran dan
sifatnya relatif sama.
Cakalang memijah sepanjang tahun diperairan ekuator
sedangkan di perairan sub tropis antara musim semi sampai awal musim gugur,
dengan demikian masa pemijahan akan menjadi semakin pendek dengan
semakin jauh dari ekuator.
Selanjutnya menurut (Froose and Pauly 2011)
menyatakan bahwa waktu pemijahan ikan cakalang berlangsung sepanjang
tahun di perairan equator dan Cuba dan 6 (enam) bulan yaitu bulan Januari,
Pebruari, Maret, April, Nopember dan Desember di Coral Sea Australia.
Cakalang mulai memijah ketika panjang sekitar 40 cm dan setiap kali
memijah dapat menghasilkan sekitar 1-2 juta butir telur. Fekunditas cakalang
di teluk Bone pada bulan Maret dan Juni berkisar antara 256.128-1.304.956 butir
telur. Nilai fekunditas cakalang di Samudera Pasifik berkisar mulai dari 100.000
hingga 2.000.000 sel telur untuk ikan yang panjangnya 43,0-87,0 cm, Samudera
Hindia dari 87.600 hingga 1.977.000 sel telur untuk ikan yang panjangnya 41,370,3 cm dan dari Samudera Atlantik 141.000 hingga 1.331.000 sel telur untuk
ikan yang panjangnya 46,5-80,9 cm (Matsumoto et al. 1984).
Meskipun
pemijahan sangat dipengaruhi oleh adanya perairan hangat, sebagian besar
larva cakalang ditemukan diperairan dengan suhu di atas 24oC.
Cakalang
dengan tingkat kematangan gonad (TKG) IV banyak diperoleh pada bulan Maret
dan Juni. Hal ini berarti cakalang memijah sekitar bulan April sampai Juli.
Cakalang memijah lebih dari satu kali (multiple spawning) dalam satu
musim pemijahan dengan memenuhi empat persyaratan, yaitu : 1) terlihatnya
modus ganda dalam poligon frekuensi diameter telur; 2) adanya korelasi yang
tinggi dalam pergeseran modus yang berurutan; 3) adanya sisa-sisa telur (ova
remmants) dalam ovari yang sedang berkembang menjadi matang; dan 4)
adanya penurunan rasio jumlah telur antara yang akan matang dan yang sudah
matang.
16
2.1.1.4 Kebiasaan makan
Cakalang mempunyai kebiasaan makan yang kira-kira cukup teratur atau
memiliki pola. Penelitian isi lambung (stomach content) berhasil menentukan
bahwa kegiatan makan ikan cakalang memuncak pada awal pagi mulai kira-kira
pukul 08.00 hingga 12.00, dan berkurang antara pukul 13.00 dan 16.00,
kemudian memuncak lagi diakhir sore mulai 16.00 hingga matahari terbenan.
Nakamura (1965 diacu dalam Matsumoto et al. 1984) mengkaitkan pola makan
dengan ketersediaan makanannya, dengan menyatakan pemakan zooplankton
bergerak ke bawah pada pagi hari, mungkin untuk mencapai tingkat penerangan
yang diinginkan. Karena pemakan zooplankton ini adalah mangsa bagi binatang
lain, maka binatang lain tersebut juga cenderung mencari tempat yang rendah
penerangannya, sehingga ketersediaan mereka untuk cakalang yang ada
dipermukaan berkurang.
Tepat sekitar tengah hari, penetrasi sinar matahari
ke dalam air laut mencapai maksimum, sehingga pemakan zooplankton bergerak
ke posisi yang lebih dalam, dan ikan-ikan pemangsanya menjadi semakin sedikit
terdapat dipermukaan sehingga makanan cakalang juga menjadi sedikiit. Pada
sore hari, pemakan zooplankton dan pemangsanya mulai naik ke lapisan atas.
Cakalang aktif makan pada jam-jam akhir sore hari sebelum gelap di mana
makanan menjadi semakin banyak tersedia.
Makanan utama cakalang yang tertangkap adalah Stolephorus sp.,
makanan pelengkap adalah Clupea sp., Selar sp., Decapterus sp dan udang.
Hasil analisis isi perut terhadap 707 ekor cakalang yang diamati ditemukan
bahwa persentase berupa ikan sebanyak 74,6 %, jenis moluska 19,9 %, jenis
crustacea 3,7 % dan jenis makanan lainnya 1,8 %. Hasil tersebut merupakan
indikasi bahwa cakalang lebih senang makan ikan-ikan kecil dibandingkan
dengan kelompok makanan lainnya.
Perbedaan makanan cakalang berhubungan erat dengan ukuran ikan itu
sendiri.
Pada umumnya cakalang yang berukuran lebih besar dari 50 cm
memangsa lebih banyak cephalopoda dan crustacea dibandingkan cakalang
yang lebih kecil dari 50 cm, walaupun ikan masih merupakan makanan
utamanya. Bervariasinya berbagai jenis organisme dalam makanan cakalang
serta adanya sifat kanibalisme, menunjukkan cakalang tergolong opportunistic
feeder yaitu ikan yang memangsa segala jenis makanan yang tersedia dalam
perairan mulai dari yang berukuran beberapa milimeter (euphausid dan
amphipod) hingga yang berukuran beberapa sentimeter (udang, cumi-cumi dan
ikan) (Loukos et al. 2003).
17
Cakalang mempunyai kebiasaan makan secara aktif pada pagi hari dan
kurang aktif pada siang hari, mulai aktif lagi pada sore hari dan hampir tidak
makan sama sekali pada malam hari. Pemancingan yang dilakukan pada pagi
dan sore hari akan memberikan hasil yang lebih tinggi, dibandingkan bila
dilakukan siang hari.
Cakalang biasanya membentuk gerombolan pada saat ikan tersebut aktif
mencari makan, kemudian gerombolan tersebut bergerak dengan cepat sambil
melompat-lompat di permukaan.
2.1.2 Aspek lingkungan dan daerah penyebaran
Tuna dan cakalang adalah salah satu ikan pelagis yang memiliki sifat
bermigrasi dari wilayah yang temperate hingga ke wilayah tropis pada seluruh
samudera, meskipun sebagian besar tuna dan cakalang melakukan pemijahan di
daerah tropis (Loukos et al. 2003). Menurut (Froose and Pauly 2011) cakalang
adalah ikan pelagis yang bersifat oseanodromous, hidup di laut dengan ke
dalaman antara 0-260 m dan termasuk dalam highly migratory spesies.
Selanjutnya dinyatakan bahwa cakalang bersifat kosmopolitan pada perairan
tropis dan warm-temperate dengan penyebaran 58°N - 47°S ; 180°W - 180°E
Meskipun seluruh spesies tuna memerlukan kisaran habitat yang ekstrim
dari equator hingga wilayah yang temperate, namun spesies tuna dapat
diklasifikasikan
berdasarkan preferensi suhu, misalnya tuna tropis (skipjack,
Katsuwonus pelamis dan yellowfin, Thunnus albacares), tuna subtropis (bigeye,
Thunnus obesus dan albacore, Thunnus alalunga) dan tuna temperate (nouthern
dan southern bluefin, Thunnus thynnus dan T. maccoyii). Studi penandaan
(tagging) menunjukkan bahwa hampir seluruh spesies tuna memiliki kemampuan
bergerak > 1000 mil laut dengan
pola pergerakan yang berbeda diantara
spesies (Loukos et al. 2003).
Spesies cakalang secara terus menerus ditemukan sepanjang tahun dari
Timur ke Barat di seluruh samudera, dan mencakup wilayah antara 45oLU hingga
sebelah Selatan 45oLS di kawasan Barat Samudera Pasifik dan antara 30oLU
hingga 30oLS di kawasan Timur Samudera Pasifik.
Di samudera Atlantik,
cakalang telah tertangkap diantara 45oLU hingga 45oLS di kawasan baratnya dan
diantara 35oLU hingga sebelah Selatan 40oLS di kawasan timurnya (Matsumoto
et al. 1984). Selanjutnya Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan bahwa pola
kehidupan ikan termasuk cakalang tidak bisa dipisahkan dari pengaruh faktorfaktor oseanografi seperti suhu, salinitas, arus permukaan, oksigen terlarut yang
18
berpengaruh terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan disuatu
lokasi perairan.
Sesuai dengan posisi geografis Indonesia yang terletak di antara
samudera pasifik dan samudera hindia, maka ikan cakalang di perairan
Indonesia
diduga berasal dari 2 stok yang berbeda.
Ikan cakalang yang
tersebar di Kawasan Timur Indonesia (KTI) diduga sebagian besar berasal dari
Samudera Pasifik, sedangkan cakalang di Kawasan Barat Indonesia (KBI)
berasal dari Samudera Hindia. Populasi cakalang yang dijumpai di perairan KTI
sebagian besar berasal dari Samudera Pasifik yang memasuki perairan tersebut
mengikuti arus. Namun demikian, sebagian cakalang terutama yang terdapat
di berbagai daerah kepulauan KTI kemungkinan adalah stok lokal yaitu hasil
pemijahan di perairan Indonesia (Simbolon 2011).
2.1.2.1 Suhu
Suhu perairan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung
terhadap biota perairan. Secara langsung berpengaruh terhadap derajat
metabolisme dan siklus reproduksi ikan, dan secara tidak langsung berpengaruh
terhadap daya larut oksigen yang digunakan untuk respirasi biota laut.
Perubahan suhu perairan akan berpengaruh terhadap rangsangan syaraf, proses
metabolisme dan aktivitas tubuh ikan (Laevastu and Hela 1970).
Kedalaman renang dari kelompok ikan pelagis, termasuk cakalang
banyak ditentukan oleh distribusi suhu perairan secara vertikal.
Cakalang akan
berenang menghindari suhu perairan yang lebih tinggi atau yang lebih rendah
dari biasanya dan menuju ke lapisan perairan tertentu di mana ikan tersebut lebih
mudah beradaptasi.
Distribusi vertikal cakalang di perairan tropis sangat
dipengaruhi oleh lapisan termoklin.
Adapun kisaran suhu penyebaran dan
penangkapan serta lapisan renang dari cakalang dan beberapa jenis tuna
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kisaran suhu penyebaran dan penangkapan serta lapisan renang
cakalang dan beberapa jenis tuna
Jenis Ikan
Kisaran Suhu (oC)
Penyebaran
Penangkapan
Cakalang
17 - 28
Bluefin
12 - 25
Mata besar
11 - 28
Madidihang
18 - 31
Albacore
14 - 23
Sumber : Laevastu and Hela (1970)
19 - 23
15 - 22
18 - 22
20 - 28
15 - 21
Lapisan Renang
(m)
0 - 40
50 - 300
50 - 400
0 - 200
20 - 300
19
Blackburn
(1965)
menyatakan
kisaran
suhu
penyebaran
dan
penangkapan cakalang umumnya bervariasi sesuai dengan wilayah perairan.
Cakalang di Samudera Pasifik bagian Timur ditemukan pada kisaran SPL
17-30oC dengan suhu optimum 20-28oC. Sedangkan menurut (Froose and Pauly
2011) cakalang menyebar pada suhu antara 15-30oC. Selanjutnya penyebaran
suhu antara 15-30oC pada posisi 58°N - 47°S ; 180°W - 180°E diduga sebagai
penyebaran ikan cakalang di dunia sebagaimana pada Gambar 4.
Gambar 4 Penyebaran suhu antara 15 – 30oC sebagai lokasi penyebaran
cakalang di dunia.
Selanjutnya Gunarso (1985) menyatakan bahwa suhu perairan optimum
untuk penangkapan cakalang di perairan Indonesia adalah 28-29oC. Adapun
kisaran suhu perairan yang optimum untuk penangkapan cakalang dan tuna
pada berbagai perairan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kisaran suhu perairan optimum untuk penangkapan cakalang dan tuna
menurut wilayah perairan
No.
1
2
3
4
5
6
a)
b)
Wilayah Perairan
Pasifik Timur Laut
Pasifik Tenggara
Pasifik Barat Laut
New Zeland
Papua New Guinea
Indonesia
Sumber Blackburn (1965)
Sumber Gunarso (1985)
Suhu
optimum (oC)
20-26a)
20-28a)
20-28a)
17-23a)
28-30a)
28-29b)
Keterangan
Cakalang dan Tuna
Cakalang dan Tuna
Cakalang dan Tuna
Cakalang dan Tuna
Cakalang dan Tuna
Cakalang
20
2.1.2.2 Salinitas
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola
sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai (Nontji 1993).
Salinitas di lapisan atas (permukaan) relatif homogen seperti halnya suhu,
selanjutnya terdapat lapisan pegat di bawahnya dengan degradasi densitas yang
besar yang dapat menghambat percampuran antara lapisan atas dengan lapisan
bawah.
Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses
penguapan di mana unsur garam akan mengendap dan terkonsentrasi. Perairan
yang mengalami penguapan yang cukup tinggi akan mengakibatkan salinitas
tinggi. Berbeda dengan keadaan suhu yang relatif kecil variasinya, salinitas air
laut dapat berbeda secara geografis akibat pengaruh hujan lokal, banyaknya air
sungai yang masuk ke laut, penguapan dan sirkulasi massa air.
Perbedaan salinitas yang besar umumnya terjadi di perairan pantai,
sedangkan perubahan di laut lepas pantai relatif kecil. Perbedaan variabilitas
antara perairan pantai (inshore) dengan lepas pantai (offshore) terjadi karena
pengaruh pasokan air tawar dari muara-muara sungai (runoff) yang cukup besar
di daerah pantai, terutama pada waktu turun hujan (Simbolon 2011). Perubahan
salinitas ini erat hubungannya dengan adanya penyesuaian tekanan osmotik
antara sitoplasma dari sel-sel dalam tubuh ikan dengan keadaan salinitas di
sekelilingnya.
Cakalang jarang ditemukan di perairan dengan salinitas rendah. Sebagai
contoh, perairan utara Jawa yang salinitasnya relatif rendah tidak cocok untuk
habitat cakalang. Menurut Gunarso (1985) menyatakan bahwa cakalang hidup
pada perairan dengan kadar salinitas antara 33-35 o/oo, dan jarang ditemukan
pada perairan dengan kadar salinitas yang lebih rendah dari nilai kisaran
tersebut.
2.1.2.3 Klorofil-a
Klorofil-a lebih identik dengan fitoplankton, karena merupakan pigmen
fotosintesis pada fitoplankton.
Konsentrasi klorofil-a merupakan salah satu
parameter lingkungan yang dapat digunakan untuk menjelaskan keberadaan
gerombolan ikan disuatu perairan. Fluktuasi konsentrasi klorofil-a menunjukkan
tingkat kesuburan suatu perairan sekaligus kelimpahan dan densitas ikan
di daerah tersebut, sehingga peramalan dan penentuan daerah penangkapan
21
ikan dapat dideteksi dengan melihat kandungan atau konsentrasi klorofil-a di
suatu lingkungan perairan (Brisht 2005 diacu dalam Masrikat 2009).
Konsentrasi klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktivitas primer
yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai
pertama makanan ikan pelagis kecil. Produktivitas primer adalah jumlah bahan
organik yang dihasilkan oleh organisme autotrop yaitu organisme yang mampu
menghasikan bahan organik (bahan berenergi tinggi) dari bahan anorganik
(bahan berenergi rendah) dengan bantuan sinar matahari (Parsons et al. 1984
dan Lalli and Parsons 1997). Produktivitas primer lingkungan perairan pantai
umumnya lebih tinggi dari produktivitas primer perairan laut terbuka.
Klorofil-a
merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer
di laut, berupa pigmen yang terdapat pada organisme
di perairan yang
digunakan untuk proses fotosintesis.
Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai
faktor fisika.
Faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton
di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya matahari
di kolom air dan laju tenggelam sel (fitoplankton) (Gabric and Parslow 1989).
Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan
keberadaan massa air, mendapatkan informasi massa air bahwa konsentrasi
klorofil-a maksimum terdapat pada kedalaman dibagian atas lapisan termoklin.
Adapun pada lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang
hampir homogen.
Jumlah kandungan klorofil-a dinyatakan sebagai jumlah
kandungan zat hijau yang terdapat di dalam perairan tersebut dan dinyatakan
dalam ml/l. Semakin tinggi nilai yang didapatkan, menunjukkan semakin tinggi
kandungan klorofi-a yang terkandung di dalamnya.
Faktor lain yang dapat meningkatkan konsentrasi klorofil-a di lautan
adalah peristiwa upwelling karena terjadi suplay nutrien dari lapisan dasar
perairan yang salah satu penyebabnya adalah sistem angin muson dan daerah
asal di mana massa air diperoleh (Nontji 1993). Selanjutnya dinyatakan bahwa
sebaran klorofil-a di perairan Indonesia Bagian Timur tertinggi dijumpai pada
muson Tenggara, sedangkan kandungan klorofil-a terendah dijumpai pada
Muson Barat Laut. Rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira
0,16 - 0,19 mg/m3 selama musim angin Barat dan 0,21 mg/m3 selama musim
angin Timur.
Kandungan klorofil-a pada suatu perairan, dapat dijadikan sebagai salah
satu indikator kesuburan perairan tersebut. Dalam rantai makanan (food chain),
kandungan klorofil-a ini dihasilkan oleh fitoplankton sebagai produsen primer
22
yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh konsumen tingkat
pertama (zooplankton) maupun oleh konsumen tingkat kedua (ikan-ikan)
pemakan plankton. Tingginya kandungan klorofil-a pada suatu perairan, dapat
dinyatakan bahwa perairan tersebut memiliki tingkat kesuburan yang tinggi.
Tingkat kesuburan perairan yang tinggi, merupakan daerah yang banyak
dijumpai beberapa jenis ikan yang secara langsung memanfaatkan plankton
yang tersedia dalam suatu perairan, adalah jenis ikan pelagis (pelagic fish
species).
Rantai makanan dinyatakan sebagai suatu aliran biomas yang kontinu
dari tingkat trofik yang ada.
Di laut ada lima tingkatan trofik dalam rantai
makanan yaitu bakteri dan detritus (B), fitoplankton (P), zooplankton I (Z1),
zooplankton II (Z2) dan tingkatan terakhir ikan. Setiap tingkatan trofik berbeda
energi yang dihasilkan yang dikenal dengan efisiensi ekologi (E).
ekologi ini berhubungan dengan ikan.
Efisiensi
Pengaruh efisiensi ekologi terhadap
produksi ikan berkisar antara 10-20 % pada lima tingkat trofik tersebut (Parsons
et al. 1984).
Nilai rata-rata kandungan klorofil-a fitoplankton di Laut Flores bulan
Mei-Juni 2005 dapat dilihat pada Tabel 3 (Hadikusumah et al. 2005). Dari tabel
tersebut terlihat bahwa kandungan klorofil-a berhubungan dengan kedalaman
perairan. Pada kedalaman 0-25 m ditemukan kandungan klorofil-a yang lebih
tinggi dibandingkan pada kedalaman antara 50-100 m.
Tabel 3 Nilai rata-rata klorofil-a di laut Flores (Mei-Juni 2005)
Klorofil Fitoplankton (mg/m3)
Keterangan
Kedalaman (m)
0
25
50
75
Rata-rata
0,15
0,16
0,13
0,14
Minimum
0,06
0,11
0,09
0,11
Maksimum
0,28
0,34
0,19
0,19
Standar deviasi
0,06
0,08
0,03
0,02
Sumber : Hadikusumah et al. (2005)
100
0,11
0,09
0,14
0,03
2.1.3 Karakteristik kawasan perairan Teluk Bone
Berdasarkan letaknya yang pada bagian Selatan berbatasan dengan Laut
Flores, karakteristik perairan Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh laut ini. Arus
permukaan di Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh pola arus permukaan Laut
Flores.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Hidrologi dan
Oseanografi Angkatan Laut (1990 diacu dalam Farhum 2006) di Laut Flores dan
Teluk Bone diperoleh sirkulasi arus permukaan yang sama setiap bulan.
23
Pola arus permukaan di Laut Flores mengalami perubahan total 2 kali
setahun sesuai dengan perkembangan musim. Pada musim Barat (DesemberFebruari) arus permukaan berasal dari arah Barat (Laut Jawa) mengalir ke arah
Timur (Laut Banda) melewati Laut Flores. Pada musim Timur (Juni-Agustus)
arus berasal dari Laut Banda menuju ke Barat melewati Laut Flores (Gambar 5).
Memasuki musim pancaroba pertama (Maret-Mei) dan pancaroba kedua
(September-Nopember) arah arus permukaan disebelah Utara Laut Flores
menunjukkan pola yang tidak menentu (Wyrtki 1961).
A
B
Gambar 5 Arah arus permukaan di Indonesia : (A) bulan Februari
(Musim Barat) dan (B) bulan Agustus (Musim Timur).
Kisaran nilai tinggi gelombang perairan Teluk Bone adalah 0,3-1,5 m,
dengan peluang kejadian 0,2-79,0 %, sedangkan panjang gelombangnya
berkisar antara 21,3-60,4 m.
Dari kisaran nilai tinggi gelombang tersebut,
peluang terbesar (79 %) dapat terjadi pada nilai kisaran tinggi gelombang
0,5-1,0 m (Farhum 2006).
Perairan Teluk Bone merupakan perairan yang kondisinya lebih terbuka
dari arah Tenggara, sedangkan pada arah Barat dan sebagian Timur terhalang
oleh daratan pulau Sulawesi.
Dengan demikian gelombang yang terbentuk
24
umumnya terjadi pada saat angin bertiup dari arah Tenggara (angin pasat
Tenggara) dan angin Timur yang terjadi pada musim Timur dan peralihan II.
Pada waktu tersebut, gelombang yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan 2
musim lainnya.
Menurut Wagey et al. (2004), nilai kandungan klorofil-a di perairan
Kepulauan Sembilan dan Teluk Bone adalah bervariasi.
Pada lapisan
permukaan nilai klorofil-a tertinggi 1,722 mg/m3, sedangkan pada kedalaman 20
meter dijumpai nilai klorofil-a sebesar 1,426 mg/m3. Tingginya nilai klorofil-a
tersebut diduga dikarenakan adanya penyinaran matahari yang cukup sehingga
mendapatkan intensitas cahaya yang di butuhkan oleh fitoplankton untuk dapat
melakukan proses fotosintesa.
Apabila dilihat dari unsur haranya, ditemukan bahwa sejumlah
kandungan nitrat dan fosfat yang tinggi. Kandungan kedua unsur hara inilah yang
utama diperlukan oleh fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak.
Konsentrasi nitrat dari 0,01-5 µM dan fosfor dari 0.00-17 µM merupakan
konsentrasi yang rendah, sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan
fitoplankton (Karydis 2009). Selanjutnya dikatakan bahwa konsentrasi klorofil-a
sebesar 0,5 mg/m3, P-PO4 sebesar 0,001-0,077 µM, N-NO3 sebesar 0,087-1,900
µM dan N-NO2 sebesar 0,010-0,098 µM mengindikasikan suatu kondisi perairan
yang oligotropik.
Meningkatnya nilai kandungan nitrat dan fosfat dikarenakan adanya
peristiwa naiknya zat unsur hara dari dasar laut menuju ke permukaan
(upwelling). Nilai nitrat yang diperoleh di Teluk Bone bervariasi yaitu berkisar
antara 0,120 - 0,796 ppm. Kandungan nitrat yang rendah karena arus dalam
yang kuat pada kedalaman tersebut menyebabkan kandungan nitrat terbawa
oleh massa air yang berasal dari bagian selatan (mulut) teluk yang bergerak ke
arah utara sehingga zat hara yang berada pada bagian tersebut tidak sempat
mengalami pengendapan yang menyebabkan kandungan unsur hara relatif lebih
rendah. Sedangkan nilai kandungan fosfat di teluk Bone berkisar 0,500 - 1,152
ppm. Rendahnya kandungan fosfat menunjukkan bahwa telah terjadi penyerapan
oleh fitoplankton.
Kecepatan arus antara 0,5-10,5 x 10-3m/dt dengan kecepatan terbesar di
bagian selatan dari Teluk Bone. Kecepatan arus berkurang ketika menuju
ke bagian tengah dari teluk, tetapi kemudian terjadi peningkatan intensitas
kecepatan menjadi 8-10 x 10-3m/ dt akibat perubahan slope batimetri di sekitar
Karang Naber dan Karang Bali hingga sedikit ke arah utara di tengah teluk yang
sejajar dengan Tanjung Batikala. Intensitas kecepatan kembali berkurang
25
menjadi 4-0,5 x 10-3m/dt ketika mendekati pesisir utara, pesisir Karang-karangan,
pesisir Palopo, pesisir Tanjung Tolala, dan Teluk Usu. Kisaran tersebut sedikit
lebih rendah dibandingkan kisaran kecepatan arus pada saat menjelang pasang,
dan sedikit lebih tinggi dibandingkan kisaran arus pada saat surut.
Salinitas
di perairan Teluk Bone menunjukkan variasi yang cukup tinggi yaitu antara 32 34 psu (practical salinity unit). Sedangkan nilai densitas air laut di perairan Teluk
Bone mempunyai kisaran antara 20-25 kg/m³ (Wagey et al. 2004).
2.2 Parameter Biologi Ikan
Parameter biologi ikan yang umumnya diidentifikasi untuk kebutuhan
pengelolaan adalah komposisi ukuran, pertumbuhan ikan, hubungan panjang
berat ikan dan ukuran ikan saat pertama kali matang gonad.
2.2.1 Pertumbuhan ikan
Seperti mahluk hidup lainnya ikan mengalami pertumbuhan secara terus
menerus sepanjang hidupnya. Pertumbuhan merupakan salah satu aspek yang
dipelajari dalam dunia perikanan dikarenakan pertumbuhan menjadi indikator
bagi kesehatan individu dan populasi yang baik bagi ikan. Pertumbuhan adalah
perubahan ukuran panjang atau berat dalam suatu periode waktu tertentu
(Effendie
1997).
Sedangkan
Sparre
dan
Venema
(1999)
menyatakan
pertumbuhan pada dasarnya menyangkut penentuan ukuran badan sebagai
suatu fungsi dari umur.
Selanjutnya dinyatakan bahwa pertumbuhan dalam
individu adalah pertambahan jaringan akibat dari pembelahan sel secara mitosis.
Secara
morfologis
pertumbuhan
digambarkan
dalam
perubahan
bentuk
(metamorfosis) dan secara energetik, pertumbuhan dapat dijelaskan dengan
perubahan kandungan total energi (kalori) tubuh pada periode waktu tertentu.
Menurut Wahyuningrum dan Barus (2006), pengertian pertumbuhan
dalam istilah sederhana yaitu sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat
dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan
jumlah. Pertumbuhan merupakan suatu proses biologis yang kompleks di mana
banyak faktor yang mempengaruhinya.
Effendie (1997) membedakan pertumbuhan menjadi pertumbuhan mutlak
dan pertumbuhan nisbi.
1. Pertumbuhan mutlak ialah perbedaan panjang atau berat dalam dua saat :
dG = Lt - L0 atau dG = W t - W 0
2. Pertumbuhan nisbi ialah panjang atau berat yang dicapai dalam suatu periode
tertentu dibandingkan dengan panjang atau berat awal periode:
26
RG = (Lt - L0)/L0 atau RG = (W t - W 0)/W 0
Berbagai
metode
yang
umum
digunakan
untuk
mengestimasi
pertumbuhan ikan yaitu : (1) analisis tagging dan penangkapan ulang; (2) analisis
bagian keras pada ikan (seperti otolith, vertebrae dan sebagainya) dan (3)
analisis progresi cohor dari distribusi frekuensi panjang (Hallier and Gaertner
2006).
2.2.2 Hubungan panjang berat
Hubungan panjang berat ikan bermanfaat untuk menaksir pertumbuhan
ikan pada waktu tertentu.
Panjang tubuh sangat berhubungan dengan berat
tubuh. Hubungan panjang dengan berat seperti hukum kubik yaitu bahwa berat
sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Namun hubungan yang terdapat pada
ikan sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda.
Berat ikan dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya, dan
hubungan panjang berat ini mengikuti hukum kubik yang dinyatakan dengan
rumus :
W=aL
b
Cara yang dapat digunakan untuk menghitung panjang berat ikan ialah
dengan menggunakan regresi, yaitu dengan menghitung dahulu logaritma dari
tiap-tiap panjang dan berat ikan atau dengan mengikuti jalan pendek seperti
dikemukakan oleh Carlander (1968 diacu dalam Wahyuningrum dan Barus
2006). Hal ini disertai dengan anggapan bahwa bentuk serta berat jenis ikan itu
tetap selama hidupnya. Persamaan dalam bentuk linier menjadi :
Log W = log a + b log L
Menurut Effendi (1997) pada ikan nilai b merupakan angka perpangkatan
yang biasanya berkisar antara 1,2-5,1 dan umumnya berkisar antara 3. Nilai b
yang berada diluar kisaran 2,5-3,5, ikan itu mempunyai bentuk tubuh yang di luar
batas kebiasaan bentuk tubuh ikan umum.
Jika ikan bentuknya tetap,
pertumbuhannya dinyatakan isometrik, dengan nilai b = 3, dengan asumsi bahwa
gravitasi spesifik ikan tidak berubah. Selanjutnya dinyatakan bahwa nilai yang
lebih besar atau lebih kecil dari 3 pertumbuhan ikan dikatakan allometrik, nilai
b < 3, maka pertambahan ikan tersebut tidak seimbang dengan pertambahan
beratnya.
Pertambahan panjangnya lebih cepat dari pada pertambahan
beratnya. Kemungkinan yang ketiga adalah jika harga b > 3 dapat ditafsirkan
bahwa pertambahan berat ikan lebih cepat dari pada pertambahan panjangnya.
27
2.3 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Meskipun dapat pulih (renewable) bila dieksploitasi dan dimanfaatkan,
namun sumberdaya perikanan laut Indonesia perlu dikelola dengan prinsip dan
kaidah yang benar. Tanpa pengelolaan maka mungkin saja jumlah ikan yang
diambil dari laut melebihi kemampuan reproduksinya sehingga sumberdaya
mengalami deplesi dan pada akhirnya kepunahan.
Karena itu maka esensi
pengelolaan sumberdaya perikanan adalah mencari keseimbangan antara
eksploitasi dan kemampuan reproduksi atau daya pulih sumberdaya.
keseimbangan
dapat
dicapai
maka
meskipun
disatu
sisi
Bila
sumberdaya
dieksploitasi secara terus menerus, disisi lain sumberdaya tersebut masih
memiliki kemampuan memperbaiki diri. Namun tidak mudah untuk mengetahui
tingkat keseimbangan yang dimaksud yang pada dasarnya merupakan titik
rujukan (referensi point) bagi pemanfaatan
sumberdaya perikanan secara
berkelanjutan.
Pengelolaan perikanan adalah mengawasi atau menyesuaikan operasioperasi penangkapan (jumlah penangkapan, tipe alat yang dipakai, ukuran ikan
yang tertangkap) untuk mengoptimasikan pemanfaatan dari suatu sumberdaya.
Oleh karenanya, pengelolaan perikanan meliputi tidak saja cara-cara pengaturan
yang bersifat pembatasan, tetapi rencana-rencana
pengembangan yang
didasarkan kepada pengetahuan mengenai sumberdaya yang tersedia (Parson
1980 diacu dalam Merta 1989).
Pengelolaan sumberdaya perikanan diatur di dalam United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF) 1995 dan Undang-Undang RI No 31 Tahun 2004
tentang Perikanan.
Di dalam UNCLOS 1982,
pengelolaan perikanan
diantaranya dinyatakan bahwa menjamin dan mengadakan tindakan konservasi
dan pengelolaan yang tepat sehingga tidak terjadi penangkapan ikan secara
berlebih-lebihan, menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) di
ZEE, menetapkan kapasitas penangkapan ikan, memberikan kesempatan
pemanfaatan kepada negara lain bila kapasitas yang dimiliki tidak mampu
memanfaatkan sumberdaya yang ada, mengembangkan penangkapan ikan
dengan
memperhatikan
kelanjutan
sumberdaya,
melaksanakan
tindakan
pengelolaan perikanan dalam bentuk mengeluarkan izin penangkapan ikan,
penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap, mengatur musim penangkapan ikan,
macam dan ukuran alat penangkapan ikan serta ukuran dan jumlah kapal ikan
yang dibolehkan.
28
Selain UNCLOS, rujukan lain dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
adalah CCRF (1995) yang telah banyak diadopsi oleh banyak negara.
Pengelolaan sumberdaya perikanan didasarkan atas :
1. Sebagian sumberdaya perikanan dunia telah mengalami tangkap penuh,
tangkap lebih, deplesi atau pada kondisi di mana sumberdaya itu harus
diselamatkan. Selain karena penangkapan, sumberdaya ikan mengalami
deplesi karena kerusakan ekologi dan polusi lingkungan.
2. Kelebihan pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia ikut ditentukan oleh
perkembangan teknologi yang begitu cepat, terutama pemanfaatan GPS,
radar, echosounders, mesin kapal yang lebih kuat dan besar, serta
berkembangnya teknologi pengolahan ikan.
3. Status pemanfaatan secara berlebihan sumberdaya perikanan dunia ini
adalah suatu resultante dari kegagalan pemerintahan perikanan (fisheries
governance) yang mencakup di dalamnya tangggung jawab masyarakat,
peneliti dan ahli perikanan, serta pemerintah sebagai suatu lembaga.
Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan azas manfaat, keadilan,
kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian
yang berkelanjutan (UU No 31/2004, Pemerintah RI, 2004)), dengan tujuantujuan sebagai berikut :
1. Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil
2. Meningkatkan penerimaan devisa negara
3. Mendorong perluasan kesempatan kerja
4. Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumberdaya protein ikan
5. Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan
6. Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing
7. Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri dan pengolahan
ikan
8. Mencapai pemanafaatn sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan, dan
lingkungan sumberdaya ikan secara optimal, dan
9. Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan, dan
tata ruang.
King (1995) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan pada
dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk :
1. Memperoleh produksi maksimum yang berkelanjutan, dalam arti bahwa
keberlanjutan stok alami dapat dipertahankan.
29
2. Memperoleh keuntungan ekonomi yang maksimum berkesinambungan
bagi para pihak pengguna sumberdaya perikanan.
3. Secara sosial mampu meningkatkan kesejahteraan para pihak yang
terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan terutama nelayan.
Prinsip yang mendasari upaya pengelolaan adalah bahwa pemanfaatan
sumberdaya
harus
dilaksanakan
secara
berkelanjutan
dengan
mempertimbangkan sistem dan kapasitas daya dukung (carring capacity)
lingkungannya serta jumlah stok alami yang tersedia di perairan dengan tingkat
eksploitasi agar pemanfaatannya dapat berlangsung secara terus menerus.
Menurut Cohrane (2002), tujuan umum dalam pengelolaan perikanan
meliputi 4 (empat) aspek yaitu biologi,ekologi, ekonomi dan sosial. Tujuan sosial
meliputi tujuan-tujuan politis dan budaya. Contoh masing-masing tujuan tersebut
yaitu :
1. Untuk menjaga sumberdaya ikan pada kondisi atau di atas tingkat yang
diperlukan bagi keberlanjutan produktivitas (tujuan biologi).
2. Untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan bagi lingkungan fisik
serta sumberdaya non target (by catch), serta sumberdaya lainnya yang
terkait (tujuan ekologi)
3. Untuk memaksimalkan pendapatan nelayan (tujuan ekonomi)
4. Untuk memaksimalkan peluang kerja/mata pencaharian nelayan atau
masyarakat yang terlibat (tujuan sosial)
Dalam praktek pelaksanaan pengelolaan, pihak pengelola harus dapat
menentukan pilihan terbaik mengenai : tingkat perkembangan perikanan, tingkat
pemanfaatan yang diizinkan, ukuran ikan yang boleh ditangkap, lokasi
penangkapan yang dapat dimanfaatkan, dan pengaturan alokasi keuangan untuk
menyusun
aturan
atau
regulasi
pengelolaan,
penegakan
hukum
(law
enforcement), pengembangan produksi dan sebagainya.
Dahuri (1993) menyatakan bahwa sumberdaya perikanan merupakan
sumberdaya yang dapat pulih tetapi dibatasi oleh faktor pembatas alami dan
faktor pembatas non alami.
Faktor pembatas alami adalah faktor-faktor
penghambat ketersediaan ikan dari ekositem itu sendiri, seperti ketersediaan
makanan, predator, persaingan memperoleh makanan, laju pertumbuhan alami,
persaingan ruang dan lainnya. Sedangkan faktor pembatas non alami adalah
faktor-faktor penghambat ketersediaan ikan yang disebabkan oleh kegiatan
manusia seperti eksploitasi, pengrusakan habitat dan pencemaran.
30
Selanjutnya bahwa keterbatasan yang disebabkan oleh faktor alami dapat
dinetralisir oleh sistem alam, sehingga populasinya pun selalu dalam keadaan
seimbang.
Tetapi dengan adanya pengaruh intervensi manusia, maka
keseimbangan alam cenderung terganggu karena laju intervensi manusia lebih
besar dari laju kemampuan alam untuk memulihkan dirinya.
Apabila hal ini
dibiarkan tanpa kendali, maka secara biologi sumberdaya perikanan akan
terkuras, secara ekonomi akan menyebabkan terjadinya inefisiensi ekonomi
karena peningkatan biaya intervensi tidak diiringi oleh marginal produk yang
positif sehingga pada suatu saat akan tercapai titik keseimbangan di mana total
penerimaan sama dengan total biaya.
Dengan kata lain keuntungan dari
pemanfaatan sumberdaya perikanan akan hilang. Untuk mengatasi hal tersebut
diperlukan mekanisme pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal baik
dari segi biologi, maupun dari segi ekonomi. Dengan pengelolaan perikanan
optimal yang disertai dengan perangkat regulasi sebagai pelaksanaannya, akan
memudahkan tercapainya tujuan pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan.
King (1995) mengemukakan suatu konsep pengelolaan sumberdaya
perikanan, yang merupakan keterkaitan antara pengkajian stok, tujuan, strategi
dan pengaturan pengelolaan perikanan, sebagaimana yang disajikan pada
Gambar 6.
Pertumbuhan
STOK IKAN YANG
DIEKSPLOITASI
Mortalitas Alami
Upaya
Penangkapan
Masukan
Terkendali
Mortalitas
Penangkapan
Hasil Tangkapan
Luaran
Terkendali
Rekruitmen
KAJIAN STOK
PEMANTAUAN
Ukuran
Individu
CPUE
Aspek Sosek dan
Lingkungan
STRATEGI
PENGELOLAAN
Peraturan
Perikanan
Gambar 6 Konsep pengelolaan sumberdaya perikanan (dimodifikasi dari King 1995).
31
Download