2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Cakalang 2.1.1 Aspek biologi 2.1.1.1 Penamaan dan ciri-ciri Cakalang masuk dalam Family : Scombridae, Order : Perciformes, Class : Actinopterygii (Froose and Pauly 2011). Sistimatika cakalang (Katsuwonus pelamis) sebagai berikut (Matsumoto et al. 1984) : Phylum : Vertebrata Subphylum : Craniata Superclass : Gnathosyomata Series : Pisces Class : Teleostomi Subclass : Actinopterygii Order : Perciformes Suborder : Scombroidea Family : Scombridae Subfamily : Scombrinae Tribe : Thunnini Genus : Katsuwonus Spesies : Katsuwonus pelamis Cakalang (Katsuwonus pelamis) sering disebut skipjack tuna. Nama skipjack tuna untuk masing-masing negara berbeda-beda, yaitu : stripped tuna (Australia), atun (chili), oceanic bonito (Kanada), aku (Hawai), katsuwo (Jepang), palajawan (Philipina) dan cakalang di Indonesia (Kaseger 1986). Demikian pula nama skipjack tuna untuk masing-masing daerah berbeda-beda, yaitu : cakalang, japal (Bugis, Makassar, Mandar), buju (Gorontalo), cakalang, tongkol krai (Jakarta), buanbee, clorengan (Madura), cahalang dolangan, kausa, hetung di Sangihetalaud (Burhanuddin et al. 1984). Deskripsi morfologi dan meristik cakalang dari berbagai samudera menunjukkan bahwa hanya satu spesies cakalang yang tersebar di seluruh dunia yaitu Katsuwonus pelamis. Bentuk tubuh cakalang memanjang seperti torpedo dan padat dengan penampang melintang yang membulat. Di sebelah bawah gurat sisi memiliki 4 – 6 garis-garis hitam tebal yang membujur seperti pita. punggung dan perut berwarna keperak-perakan. Bagian bawah Punggung berwarna biru 14 keungu-unguan. Tubuh tidak bersisik kecuali pada bagian gurat sisi dan depan sirip punggung pertama. Cakalang mempunyai 7 – 9 sirip dubur tambahan dan terdapat tiga tonjolan pada batang ekor (Burhanuddin et al. 1984). Sedangkan menurut Matsumoto et al. (1984) menyatakan bahwa cakalang memiliki tubuh yang padat (robust), memiliki penampang yang bulat dan outline yang lengkap, maxilary tidak bersentuhan dengan preorbital, memiliki 40 gigi hanya dirahangnya, gigi tidak terdapat pada tulang vomer dan palatine, corselet terbentuk dengan baik dan sisik hampir tidak ada dibagian lain permukaan tubuhnya, jarak antara sirip punggung pertama dan kedua hampir tidak pernah melebihi diameter matanya, gurat sisi (literal line) melengkung ke bawah tepat di bawah sirip punggung kedua, tepi dari sirip punggung pertama sangat cekung (concave), sirip dada pendek dan berbentuk segitiga, ujungnya umumnya dapat mencapai duri ke 9 dan 10 sirip punggung, tetapi pada spesimen ikan khusus ujung sirip dada dapat mencapai duri ke 8 dan ke 11. Selanjutnya menurut (Froose and Pauly 2011), panjang maksimum dapat mencapai 110 cm, berat maksimum 34,5 kg dan umur maksimum 12,5 tahun seperti terlihat pada Gambar 3. Gambar 3 Cakalang (Katsuwonus pelamis, Linnaeus 1758). 2.1.1.2 Ukuran tubuh Ukuran maksimum panjang cagak kurang lebih 108 cm dengan berat 32,5-34,5 kg, sedangkan ukuran yang umum tertangkap adalah 40-80 cm dengan berat 8-10 kg. Ukuran cakalang yang sudah matang gonad berkisar 40-45 cm. Cakalang betina yang matang gonad memijah pertama kalinya pada ukuran 41 cm, sedangkan cakalang jantan biasanya mengalami matang gonad pada ukuran antara 40-45 cm (Radju 1964 diacu dalam Bintoro 1995). Selanjutnya dinyatakan bahwa ukuran panjang cakalang saat pertama kali matang telur berkisar antara 40-50 cm. Setelah melakukan pemijahan, sisa-sisa telur matang masih dapat ditemukan pada ikan-ikan yang yang berukuran lebih 15 besar dari 40 cm, akan tetapi sisa telur tersebut tidak ditemukan pada ikan-ikan yang berukuran lebih kecil dari 40 cm. Selanjutnya menurut (Froose and Pauly 2011) menyatakan bahwa panjang cakalang saat matang gonad (Lm) berkisar antara 40-45 cm. Panjang Lm 40 cm ditemukan pada negara Cuba dan Philipina sedangkan panjang Lm 45 cm ditemukan pada negara Papua New Guinea. 2.1.1.3 Pemijahan Cakalang bersifat heteroseksual, namun tercatat juga beberapa sifat hermaprodit (Thomas and Radju 1964 diacu dalam Matsumoto et al. 1984). Telur cakalang umumnya bersifat pelagis dan biasanya ditetaskan di daerah karang. Telur-telur ini sukar dibedakan dengan ikan pelagis lainnya, karena ukuran dan sifatnya relatif sama. Cakalang memijah sepanjang tahun diperairan ekuator sedangkan di perairan sub tropis antara musim semi sampai awal musim gugur, dengan demikian masa pemijahan akan menjadi semakin pendek dengan semakin jauh dari ekuator. Selanjutnya menurut (Froose and Pauly 2011) menyatakan bahwa waktu pemijahan ikan cakalang berlangsung sepanjang tahun di perairan equator dan Cuba dan 6 (enam) bulan yaitu bulan Januari, Pebruari, Maret, April, Nopember dan Desember di Coral Sea Australia. Cakalang mulai memijah ketika panjang sekitar 40 cm dan setiap kali memijah dapat menghasilkan sekitar 1-2 juta butir telur. Fekunditas cakalang di teluk Bone pada bulan Maret dan Juni berkisar antara 256.128-1.304.956 butir telur. Nilai fekunditas cakalang di Samudera Pasifik berkisar mulai dari 100.000 hingga 2.000.000 sel telur untuk ikan yang panjangnya 43,0-87,0 cm, Samudera Hindia dari 87.600 hingga 1.977.000 sel telur untuk ikan yang panjangnya 41,370,3 cm dan dari Samudera Atlantik 141.000 hingga 1.331.000 sel telur untuk ikan yang panjangnya 46,5-80,9 cm (Matsumoto et al. 1984). Meskipun pemijahan sangat dipengaruhi oleh adanya perairan hangat, sebagian besar larva cakalang ditemukan diperairan dengan suhu di atas 24oC. Cakalang dengan tingkat kematangan gonad (TKG) IV banyak diperoleh pada bulan Maret dan Juni. Hal ini berarti cakalang memijah sekitar bulan April sampai Juli. Cakalang memijah lebih dari satu kali (multiple spawning) dalam satu musim pemijahan dengan memenuhi empat persyaratan, yaitu : 1) terlihatnya modus ganda dalam poligon frekuensi diameter telur; 2) adanya korelasi yang tinggi dalam pergeseran modus yang berurutan; 3) adanya sisa-sisa telur (ova remmants) dalam ovari yang sedang berkembang menjadi matang; dan 4) adanya penurunan rasio jumlah telur antara yang akan matang dan yang sudah matang. 16 2.1.1.4 Kebiasaan makan Cakalang mempunyai kebiasaan makan yang kira-kira cukup teratur atau memiliki pola. Penelitian isi lambung (stomach content) berhasil menentukan bahwa kegiatan makan ikan cakalang memuncak pada awal pagi mulai kira-kira pukul 08.00 hingga 12.00, dan berkurang antara pukul 13.00 dan 16.00, kemudian memuncak lagi diakhir sore mulai 16.00 hingga matahari terbenan. Nakamura (1965 diacu dalam Matsumoto et al. 1984) mengkaitkan pola makan dengan ketersediaan makanannya, dengan menyatakan pemakan zooplankton bergerak ke bawah pada pagi hari, mungkin untuk mencapai tingkat penerangan yang diinginkan. Karena pemakan zooplankton ini adalah mangsa bagi binatang lain, maka binatang lain tersebut juga cenderung mencari tempat yang rendah penerangannya, sehingga ketersediaan mereka untuk cakalang yang ada dipermukaan berkurang. Tepat sekitar tengah hari, penetrasi sinar matahari ke dalam air laut mencapai maksimum, sehingga pemakan zooplankton bergerak ke posisi yang lebih dalam, dan ikan-ikan pemangsanya menjadi semakin sedikit terdapat dipermukaan sehingga makanan cakalang juga menjadi sedikiit. Pada sore hari, pemakan zooplankton dan pemangsanya mulai naik ke lapisan atas. Cakalang aktif makan pada jam-jam akhir sore hari sebelum gelap di mana makanan menjadi semakin banyak tersedia. Makanan utama cakalang yang tertangkap adalah Stolephorus sp., makanan pelengkap adalah Clupea sp., Selar sp., Decapterus sp dan udang. Hasil analisis isi perut terhadap 707 ekor cakalang yang diamati ditemukan bahwa persentase berupa ikan sebanyak 74,6 %, jenis moluska 19,9 %, jenis crustacea 3,7 % dan jenis makanan lainnya 1,8 %. Hasil tersebut merupakan indikasi bahwa cakalang lebih senang makan ikan-ikan kecil dibandingkan dengan kelompok makanan lainnya. Perbedaan makanan cakalang berhubungan erat dengan ukuran ikan itu sendiri. Pada umumnya cakalang yang berukuran lebih besar dari 50 cm memangsa lebih banyak cephalopoda dan crustacea dibandingkan cakalang yang lebih kecil dari 50 cm, walaupun ikan masih merupakan makanan utamanya. Bervariasinya berbagai jenis organisme dalam makanan cakalang serta adanya sifat kanibalisme, menunjukkan cakalang tergolong opportunistic feeder yaitu ikan yang memangsa segala jenis makanan yang tersedia dalam perairan mulai dari yang berukuran beberapa milimeter (euphausid dan amphipod) hingga yang berukuran beberapa sentimeter (udang, cumi-cumi dan ikan) (Loukos et al. 2003). 17 Cakalang mempunyai kebiasaan makan secara aktif pada pagi hari dan kurang aktif pada siang hari, mulai aktif lagi pada sore hari dan hampir tidak makan sama sekali pada malam hari. Pemancingan yang dilakukan pada pagi dan sore hari akan memberikan hasil yang lebih tinggi, dibandingkan bila dilakukan siang hari. Cakalang biasanya membentuk gerombolan pada saat ikan tersebut aktif mencari makan, kemudian gerombolan tersebut bergerak dengan cepat sambil melompat-lompat di permukaan. 2.1.2 Aspek lingkungan dan daerah penyebaran Tuna dan cakalang adalah salah satu ikan pelagis yang memiliki sifat bermigrasi dari wilayah yang temperate hingga ke wilayah tropis pada seluruh samudera, meskipun sebagian besar tuna dan cakalang melakukan pemijahan di daerah tropis (Loukos et al. 2003). Menurut (Froose and Pauly 2011) cakalang adalah ikan pelagis yang bersifat oseanodromous, hidup di laut dengan ke dalaman antara 0-260 m dan termasuk dalam highly migratory spesies. Selanjutnya dinyatakan bahwa cakalang bersifat kosmopolitan pada perairan tropis dan warm-temperate dengan penyebaran 58°N - 47°S ; 180°W - 180°E Meskipun seluruh spesies tuna memerlukan kisaran habitat yang ekstrim dari equator hingga wilayah yang temperate, namun spesies tuna dapat diklasifikasikan berdasarkan preferensi suhu, misalnya tuna tropis (skipjack, Katsuwonus pelamis dan yellowfin, Thunnus albacares), tuna subtropis (bigeye, Thunnus obesus dan albacore, Thunnus alalunga) dan tuna temperate (nouthern dan southern bluefin, Thunnus thynnus dan T. maccoyii). Studi penandaan (tagging) menunjukkan bahwa hampir seluruh spesies tuna memiliki kemampuan bergerak > 1000 mil laut dengan pola pergerakan yang berbeda diantara spesies (Loukos et al. 2003). Spesies cakalang secara terus menerus ditemukan sepanjang tahun dari Timur ke Barat di seluruh samudera, dan mencakup wilayah antara 45oLU hingga sebelah Selatan 45oLS di kawasan Barat Samudera Pasifik dan antara 30oLU hingga 30oLS di kawasan Timur Samudera Pasifik. Di samudera Atlantik, cakalang telah tertangkap diantara 45oLU hingga 45oLS di kawasan baratnya dan diantara 35oLU hingga sebelah Selatan 40oLS di kawasan timurnya (Matsumoto et al. 1984). Selanjutnya Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan bahwa pola kehidupan ikan termasuk cakalang tidak bisa dipisahkan dari pengaruh faktorfaktor oseanografi seperti suhu, salinitas, arus permukaan, oksigen terlarut yang 18 berpengaruh terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan disuatu lokasi perairan. Sesuai dengan posisi geografis Indonesia yang terletak di antara samudera pasifik dan samudera hindia, maka ikan cakalang di perairan Indonesia diduga berasal dari 2 stok yang berbeda. Ikan cakalang yang tersebar di Kawasan Timur Indonesia (KTI) diduga sebagian besar berasal dari Samudera Pasifik, sedangkan cakalang di Kawasan Barat Indonesia (KBI) berasal dari Samudera Hindia. Populasi cakalang yang dijumpai di perairan KTI sebagian besar berasal dari Samudera Pasifik yang memasuki perairan tersebut mengikuti arus. Namun demikian, sebagian cakalang terutama yang terdapat di berbagai daerah kepulauan KTI kemungkinan adalah stok lokal yaitu hasil pemijahan di perairan Indonesia (Simbolon 2011). 2.1.2.1 Suhu Suhu perairan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap biota perairan. Secara langsung berpengaruh terhadap derajat metabolisme dan siklus reproduksi ikan, dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap daya larut oksigen yang digunakan untuk respirasi biota laut. Perubahan suhu perairan akan berpengaruh terhadap rangsangan syaraf, proses metabolisme dan aktivitas tubuh ikan (Laevastu and Hela 1970). Kedalaman renang dari kelompok ikan pelagis, termasuk cakalang banyak ditentukan oleh distribusi suhu perairan secara vertikal. Cakalang akan berenang menghindari suhu perairan yang lebih tinggi atau yang lebih rendah dari biasanya dan menuju ke lapisan perairan tertentu di mana ikan tersebut lebih mudah beradaptasi. Distribusi vertikal cakalang di perairan tropis sangat dipengaruhi oleh lapisan termoklin. Adapun kisaran suhu penyebaran dan penangkapan serta lapisan renang dari cakalang dan beberapa jenis tuna disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kisaran suhu penyebaran dan penangkapan serta lapisan renang cakalang dan beberapa jenis tuna Jenis Ikan Kisaran Suhu (oC) Penyebaran Penangkapan Cakalang 17 - 28 Bluefin 12 - 25 Mata besar 11 - 28 Madidihang 18 - 31 Albacore 14 - 23 Sumber : Laevastu and Hela (1970) 19 - 23 15 - 22 18 - 22 20 - 28 15 - 21 Lapisan Renang (m) 0 - 40 50 - 300 50 - 400 0 - 200 20 - 300 19 Blackburn (1965) menyatakan kisaran suhu penyebaran dan penangkapan cakalang umumnya bervariasi sesuai dengan wilayah perairan. Cakalang di Samudera Pasifik bagian Timur ditemukan pada kisaran SPL 17-30oC dengan suhu optimum 20-28oC. Sedangkan menurut (Froose and Pauly 2011) cakalang menyebar pada suhu antara 15-30oC. Selanjutnya penyebaran suhu antara 15-30oC pada posisi 58°N - 47°S ; 180°W - 180°E diduga sebagai penyebaran ikan cakalang di dunia sebagaimana pada Gambar 4. Gambar 4 Penyebaran suhu antara 15 – 30oC sebagai lokasi penyebaran cakalang di dunia. Selanjutnya Gunarso (1985) menyatakan bahwa suhu perairan optimum untuk penangkapan cakalang di perairan Indonesia adalah 28-29oC. Adapun kisaran suhu perairan yang optimum untuk penangkapan cakalang dan tuna pada berbagai perairan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kisaran suhu perairan optimum untuk penangkapan cakalang dan tuna menurut wilayah perairan No. 1 2 3 4 5 6 a) b) Wilayah Perairan Pasifik Timur Laut Pasifik Tenggara Pasifik Barat Laut New Zeland Papua New Guinea Indonesia Sumber Blackburn (1965) Sumber Gunarso (1985) Suhu optimum (oC) 20-26a) 20-28a) 20-28a) 17-23a) 28-30a) 28-29b) Keterangan Cakalang dan Tuna Cakalang dan Tuna Cakalang dan Tuna Cakalang dan Tuna Cakalang dan Tuna Cakalang 20 2.1.2.2 Salinitas Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai (Nontji 1993). Salinitas di lapisan atas (permukaan) relatif homogen seperti halnya suhu, selanjutnya terdapat lapisan pegat di bawahnya dengan degradasi densitas yang besar yang dapat menghambat percampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah. Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses penguapan di mana unsur garam akan mengendap dan terkonsentrasi. Perairan yang mengalami penguapan yang cukup tinggi akan mengakibatkan salinitas tinggi. Berbeda dengan keadaan suhu yang relatif kecil variasinya, salinitas air laut dapat berbeda secara geografis akibat pengaruh hujan lokal, banyaknya air sungai yang masuk ke laut, penguapan dan sirkulasi massa air. Perbedaan salinitas yang besar umumnya terjadi di perairan pantai, sedangkan perubahan di laut lepas pantai relatif kecil. Perbedaan variabilitas antara perairan pantai (inshore) dengan lepas pantai (offshore) terjadi karena pengaruh pasokan air tawar dari muara-muara sungai (runoff) yang cukup besar di daerah pantai, terutama pada waktu turun hujan (Simbolon 2011). Perubahan salinitas ini erat hubungannya dengan adanya penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dari sel-sel dalam tubuh ikan dengan keadaan salinitas di sekelilingnya. Cakalang jarang ditemukan di perairan dengan salinitas rendah. Sebagai contoh, perairan utara Jawa yang salinitasnya relatif rendah tidak cocok untuk habitat cakalang. Menurut Gunarso (1985) menyatakan bahwa cakalang hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara 33-35 o/oo, dan jarang ditemukan pada perairan dengan kadar salinitas yang lebih rendah dari nilai kisaran tersebut. 2.1.2.3 Klorofil-a Klorofil-a lebih identik dengan fitoplankton, karena merupakan pigmen fotosintesis pada fitoplankton. Konsentrasi klorofil-a merupakan salah satu parameter lingkungan yang dapat digunakan untuk menjelaskan keberadaan gerombolan ikan disuatu perairan. Fluktuasi konsentrasi klorofil-a menunjukkan tingkat kesuburan suatu perairan sekaligus kelimpahan dan densitas ikan di daerah tersebut, sehingga peramalan dan penentuan daerah penangkapan 21 ikan dapat dideteksi dengan melihat kandungan atau konsentrasi klorofil-a di suatu lingkungan perairan (Brisht 2005 diacu dalam Masrikat 2009). Konsentrasi klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrop yaitu organisme yang mampu menghasikan bahan organik (bahan berenergi tinggi) dari bahan anorganik (bahan berenergi rendah) dengan bantuan sinar matahari (Parsons et al. 1984 dan Lalli and Parsons 1997). Produktivitas primer lingkungan perairan pantai umumnya lebih tinggi dari produktivitas primer perairan laut terbuka. Klorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut, berupa pigmen yang terdapat pada organisme di perairan yang digunakan untuk proses fotosintesis. Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya matahari di kolom air dan laju tenggelam sel (fitoplankton) (Gabric and Parslow 1989). Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air, mendapatkan informasi massa air bahwa konsentrasi klorofil-a maksimum terdapat pada kedalaman dibagian atas lapisan termoklin. Adapun pada lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen. Jumlah kandungan klorofil-a dinyatakan sebagai jumlah kandungan zat hijau yang terdapat di dalam perairan tersebut dan dinyatakan dalam ml/l. Semakin tinggi nilai yang didapatkan, menunjukkan semakin tinggi kandungan klorofi-a yang terkandung di dalamnya. Faktor lain yang dapat meningkatkan konsentrasi klorofil-a di lautan adalah peristiwa upwelling karena terjadi suplay nutrien dari lapisan dasar perairan yang salah satu penyebabnya adalah sistem angin muson dan daerah asal di mana massa air diperoleh (Nontji 1993). Selanjutnya dinyatakan bahwa sebaran klorofil-a di perairan Indonesia Bagian Timur tertinggi dijumpai pada muson Tenggara, sedangkan kandungan klorofil-a terendah dijumpai pada Muson Barat Laut. Rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,16 - 0,19 mg/m3 selama musim angin Barat dan 0,21 mg/m3 selama musim angin Timur. Kandungan klorofil-a pada suatu perairan, dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kesuburan perairan tersebut. Dalam rantai makanan (food chain), kandungan klorofil-a ini dihasilkan oleh fitoplankton sebagai produsen primer 22 yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh konsumen tingkat pertama (zooplankton) maupun oleh konsumen tingkat kedua (ikan-ikan) pemakan plankton. Tingginya kandungan klorofil-a pada suatu perairan, dapat dinyatakan bahwa perairan tersebut memiliki tingkat kesuburan yang tinggi. Tingkat kesuburan perairan yang tinggi, merupakan daerah yang banyak dijumpai beberapa jenis ikan yang secara langsung memanfaatkan plankton yang tersedia dalam suatu perairan, adalah jenis ikan pelagis (pelagic fish species). Rantai makanan dinyatakan sebagai suatu aliran biomas yang kontinu dari tingkat trofik yang ada. Di laut ada lima tingkatan trofik dalam rantai makanan yaitu bakteri dan detritus (B), fitoplankton (P), zooplankton I (Z1), zooplankton II (Z2) dan tingkatan terakhir ikan. Setiap tingkatan trofik berbeda energi yang dihasilkan yang dikenal dengan efisiensi ekologi (E). ekologi ini berhubungan dengan ikan. Efisiensi Pengaruh efisiensi ekologi terhadap produksi ikan berkisar antara 10-20 % pada lima tingkat trofik tersebut (Parsons et al. 1984). Nilai rata-rata kandungan klorofil-a fitoplankton di Laut Flores bulan Mei-Juni 2005 dapat dilihat pada Tabel 3 (Hadikusumah et al. 2005). Dari tabel tersebut terlihat bahwa kandungan klorofil-a berhubungan dengan kedalaman perairan. Pada kedalaman 0-25 m ditemukan kandungan klorofil-a yang lebih tinggi dibandingkan pada kedalaman antara 50-100 m. Tabel 3 Nilai rata-rata klorofil-a di laut Flores (Mei-Juni 2005) Klorofil Fitoplankton (mg/m3) Keterangan Kedalaman (m) 0 25 50 75 Rata-rata 0,15 0,16 0,13 0,14 Minimum 0,06 0,11 0,09 0,11 Maksimum 0,28 0,34 0,19 0,19 Standar deviasi 0,06 0,08 0,03 0,02 Sumber : Hadikusumah et al. (2005) 100 0,11 0,09 0,14 0,03 2.1.3 Karakteristik kawasan perairan Teluk Bone Berdasarkan letaknya yang pada bagian Selatan berbatasan dengan Laut Flores, karakteristik perairan Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh laut ini. Arus permukaan di Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh pola arus permukaan Laut Flores. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Hidrologi dan Oseanografi Angkatan Laut (1990 diacu dalam Farhum 2006) di Laut Flores dan Teluk Bone diperoleh sirkulasi arus permukaan yang sama setiap bulan. 23 Pola arus permukaan di Laut Flores mengalami perubahan total 2 kali setahun sesuai dengan perkembangan musim. Pada musim Barat (DesemberFebruari) arus permukaan berasal dari arah Barat (Laut Jawa) mengalir ke arah Timur (Laut Banda) melewati Laut Flores. Pada musim Timur (Juni-Agustus) arus berasal dari Laut Banda menuju ke Barat melewati Laut Flores (Gambar 5). Memasuki musim pancaroba pertama (Maret-Mei) dan pancaroba kedua (September-Nopember) arah arus permukaan disebelah Utara Laut Flores menunjukkan pola yang tidak menentu (Wyrtki 1961). A B Gambar 5 Arah arus permukaan di Indonesia : (A) bulan Februari (Musim Barat) dan (B) bulan Agustus (Musim Timur). Kisaran nilai tinggi gelombang perairan Teluk Bone adalah 0,3-1,5 m, dengan peluang kejadian 0,2-79,0 %, sedangkan panjang gelombangnya berkisar antara 21,3-60,4 m. Dari kisaran nilai tinggi gelombang tersebut, peluang terbesar (79 %) dapat terjadi pada nilai kisaran tinggi gelombang 0,5-1,0 m (Farhum 2006). Perairan Teluk Bone merupakan perairan yang kondisinya lebih terbuka dari arah Tenggara, sedangkan pada arah Barat dan sebagian Timur terhalang oleh daratan pulau Sulawesi. Dengan demikian gelombang yang terbentuk 24 umumnya terjadi pada saat angin bertiup dari arah Tenggara (angin pasat Tenggara) dan angin Timur yang terjadi pada musim Timur dan peralihan II. Pada waktu tersebut, gelombang yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan 2 musim lainnya. Menurut Wagey et al. (2004), nilai kandungan klorofil-a di perairan Kepulauan Sembilan dan Teluk Bone adalah bervariasi. Pada lapisan permukaan nilai klorofil-a tertinggi 1,722 mg/m3, sedangkan pada kedalaman 20 meter dijumpai nilai klorofil-a sebesar 1,426 mg/m3. Tingginya nilai klorofil-a tersebut diduga dikarenakan adanya penyinaran matahari yang cukup sehingga mendapatkan intensitas cahaya yang di butuhkan oleh fitoplankton untuk dapat melakukan proses fotosintesa. Apabila dilihat dari unsur haranya, ditemukan bahwa sejumlah kandungan nitrat dan fosfat yang tinggi. Kandungan kedua unsur hara inilah yang utama diperlukan oleh fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak. Konsentrasi nitrat dari 0,01-5 µM dan fosfor dari 0.00-17 µM merupakan konsentrasi yang rendah, sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan fitoplankton (Karydis 2009). Selanjutnya dikatakan bahwa konsentrasi klorofil-a sebesar 0,5 mg/m3, P-PO4 sebesar 0,001-0,077 µM, N-NO3 sebesar 0,087-1,900 µM dan N-NO2 sebesar 0,010-0,098 µM mengindikasikan suatu kondisi perairan yang oligotropik. Meningkatnya nilai kandungan nitrat dan fosfat dikarenakan adanya peristiwa naiknya zat unsur hara dari dasar laut menuju ke permukaan (upwelling). Nilai nitrat yang diperoleh di Teluk Bone bervariasi yaitu berkisar antara 0,120 - 0,796 ppm. Kandungan nitrat yang rendah karena arus dalam yang kuat pada kedalaman tersebut menyebabkan kandungan nitrat terbawa oleh massa air yang berasal dari bagian selatan (mulut) teluk yang bergerak ke arah utara sehingga zat hara yang berada pada bagian tersebut tidak sempat mengalami pengendapan yang menyebabkan kandungan unsur hara relatif lebih rendah. Sedangkan nilai kandungan fosfat di teluk Bone berkisar 0,500 - 1,152 ppm. Rendahnya kandungan fosfat menunjukkan bahwa telah terjadi penyerapan oleh fitoplankton. Kecepatan arus antara 0,5-10,5 x 10-3m/dt dengan kecepatan terbesar di bagian selatan dari Teluk Bone. Kecepatan arus berkurang ketika menuju ke bagian tengah dari teluk, tetapi kemudian terjadi peningkatan intensitas kecepatan menjadi 8-10 x 10-3m/ dt akibat perubahan slope batimetri di sekitar Karang Naber dan Karang Bali hingga sedikit ke arah utara di tengah teluk yang sejajar dengan Tanjung Batikala. Intensitas kecepatan kembali berkurang 25 menjadi 4-0,5 x 10-3m/dt ketika mendekati pesisir utara, pesisir Karang-karangan, pesisir Palopo, pesisir Tanjung Tolala, dan Teluk Usu. Kisaran tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan kisaran kecepatan arus pada saat menjelang pasang, dan sedikit lebih tinggi dibandingkan kisaran arus pada saat surut. Salinitas di perairan Teluk Bone menunjukkan variasi yang cukup tinggi yaitu antara 32 34 psu (practical salinity unit). Sedangkan nilai densitas air laut di perairan Teluk Bone mempunyai kisaran antara 20-25 kg/m³ (Wagey et al. 2004). 2.2 Parameter Biologi Ikan Parameter biologi ikan yang umumnya diidentifikasi untuk kebutuhan pengelolaan adalah komposisi ukuran, pertumbuhan ikan, hubungan panjang berat ikan dan ukuran ikan saat pertama kali matang gonad. 2.2.1 Pertumbuhan ikan Seperti mahluk hidup lainnya ikan mengalami pertumbuhan secara terus menerus sepanjang hidupnya. Pertumbuhan merupakan salah satu aspek yang dipelajari dalam dunia perikanan dikarenakan pertumbuhan menjadi indikator bagi kesehatan individu dan populasi yang baik bagi ikan. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran panjang atau berat dalam suatu periode waktu tertentu (Effendie 1997). Sedangkan Sparre dan Venema (1999) menyatakan pertumbuhan pada dasarnya menyangkut penentuan ukuran badan sebagai suatu fungsi dari umur. Selanjutnya dinyatakan bahwa pertumbuhan dalam individu adalah pertambahan jaringan akibat dari pembelahan sel secara mitosis. Secara morfologis pertumbuhan digambarkan dalam perubahan bentuk (metamorfosis) dan secara energetik, pertumbuhan dapat dijelaskan dengan perubahan kandungan total energi (kalori) tubuh pada periode waktu tertentu. Menurut Wahyuningrum dan Barus (2006), pengertian pertumbuhan dalam istilah sederhana yaitu sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan jumlah. Pertumbuhan merupakan suatu proses biologis yang kompleks di mana banyak faktor yang mempengaruhinya. Effendie (1997) membedakan pertumbuhan menjadi pertumbuhan mutlak dan pertumbuhan nisbi. 1. Pertumbuhan mutlak ialah perbedaan panjang atau berat dalam dua saat : dG = Lt - L0 atau dG = W t - W 0 2. Pertumbuhan nisbi ialah panjang atau berat yang dicapai dalam suatu periode tertentu dibandingkan dengan panjang atau berat awal periode: 26 RG = (Lt - L0)/L0 atau RG = (W t - W 0)/W 0 Berbagai metode yang umum digunakan untuk mengestimasi pertumbuhan ikan yaitu : (1) analisis tagging dan penangkapan ulang; (2) analisis bagian keras pada ikan (seperti otolith, vertebrae dan sebagainya) dan (3) analisis progresi cohor dari distribusi frekuensi panjang (Hallier and Gaertner 2006). 2.2.2 Hubungan panjang berat Hubungan panjang berat ikan bermanfaat untuk menaksir pertumbuhan ikan pada waktu tertentu. Panjang tubuh sangat berhubungan dengan berat tubuh. Hubungan panjang dengan berat seperti hukum kubik yaitu bahwa berat sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Namun hubungan yang terdapat pada ikan sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda. Berat ikan dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya, dan hubungan panjang berat ini mengikuti hukum kubik yang dinyatakan dengan rumus : W=aL b Cara yang dapat digunakan untuk menghitung panjang berat ikan ialah dengan menggunakan regresi, yaitu dengan menghitung dahulu logaritma dari tiap-tiap panjang dan berat ikan atau dengan mengikuti jalan pendek seperti dikemukakan oleh Carlander (1968 diacu dalam Wahyuningrum dan Barus 2006). Hal ini disertai dengan anggapan bahwa bentuk serta berat jenis ikan itu tetap selama hidupnya. Persamaan dalam bentuk linier menjadi : Log W = log a + b log L Menurut Effendi (1997) pada ikan nilai b merupakan angka perpangkatan yang biasanya berkisar antara 1,2-5,1 dan umumnya berkisar antara 3. Nilai b yang berada diluar kisaran 2,5-3,5, ikan itu mempunyai bentuk tubuh yang di luar batas kebiasaan bentuk tubuh ikan umum. Jika ikan bentuknya tetap, pertumbuhannya dinyatakan isometrik, dengan nilai b = 3, dengan asumsi bahwa gravitasi spesifik ikan tidak berubah. Selanjutnya dinyatakan bahwa nilai yang lebih besar atau lebih kecil dari 3 pertumbuhan ikan dikatakan allometrik, nilai b < 3, maka pertambahan ikan tersebut tidak seimbang dengan pertambahan beratnya. Pertambahan panjangnya lebih cepat dari pada pertambahan beratnya. Kemungkinan yang ketiga adalah jika harga b > 3 dapat ditafsirkan bahwa pertambahan berat ikan lebih cepat dari pada pertambahan panjangnya. 27 2.3 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Meskipun dapat pulih (renewable) bila dieksploitasi dan dimanfaatkan, namun sumberdaya perikanan laut Indonesia perlu dikelola dengan prinsip dan kaidah yang benar. Tanpa pengelolaan maka mungkin saja jumlah ikan yang diambil dari laut melebihi kemampuan reproduksinya sehingga sumberdaya mengalami deplesi dan pada akhirnya kepunahan. Karena itu maka esensi pengelolaan sumberdaya perikanan adalah mencari keseimbangan antara eksploitasi dan kemampuan reproduksi atau daya pulih sumberdaya. keseimbangan dapat dicapai maka meskipun disatu sisi Bila sumberdaya dieksploitasi secara terus menerus, disisi lain sumberdaya tersebut masih memiliki kemampuan memperbaiki diri. Namun tidak mudah untuk mengetahui tingkat keseimbangan yang dimaksud yang pada dasarnya merupakan titik rujukan (referensi point) bagi pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Pengelolaan perikanan adalah mengawasi atau menyesuaikan operasioperasi penangkapan (jumlah penangkapan, tipe alat yang dipakai, ukuran ikan yang tertangkap) untuk mengoptimasikan pemanfaatan dari suatu sumberdaya. Oleh karenanya, pengelolaan perikanan meliputi tidak saja cara-cara pengaturan yang bersifat pembatasan, tetapi rencana-rencana pengembangan yang didasarkan kepada pengetahuan mengenai sumberdaya yang tersedia (Parson 1980 diacu dalam Merta 1989). Pengelolaan sumberdaya perikanan diatur di dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995 dan Undang-Undang RI No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Di dalam UNCLOS 1982, pengelolaan perikanan diantaranya dinyatakan bahwa menjamin dan mengadakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat sehingga tidak terjadi penangkapan ikan secara berlebih-lebihan, menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) di ZEE, menetapkan kapasitas penangkapan ikan, memberikan kesempatan pemanfaatan kepada negara lain bila kapasitas yang dimiliki tidak mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada, mengembangkan penangkapan ikan dengan memperhatikan kelanjutan sumberdaya, melaksanakan tindakan pengelolaan perikanan dalam bentuk mengeluarkan izin penangkapan ikan, penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap, mengatur musim penangkapan ikan, macam dan ukuran alat penangkapan ikan serta ukuran dan jumlah kapal ikan yang dibolehkan. 28 Selain UNCLOS, rujukan lain dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah CCRF (1995) yang telah banyak diadopsi oleh banyak negara. Pengelolaan sumberdaya perikanan didasarkan atas : 1. Sebagian sumberdaya perikanan dunia telah mengalami tangkap penuh, tangkap lebih, deplesi atau pada kondisi di mana sumberdaya itu harus diselamatkan. Selain karena penangkapan, sumberdaya ikan mengalami deplesi karena kerusakan ekologi dan polusi lingkungan. 2. Kelebihan pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia ikut ditentukan oleh perkembangan teknologi yang begitu cepat, terutama pemanfaatan GPS, radar, echosounders, mesin kapal yang lebih kuat dan besar, serta berkembangnya teknologi pengolahan ikan. 3. Status pemanfaatan secara berlebihan sumberdaya perikanan dunia ini adalah suatu resultante dari kegagalan pemerintahan perikanan (fisheries governance) yang mencakup di dalamnya tangggung jawab masyarakat, peneliti dan ahli perikanan, serta pemerintah sebagai suatu lembaga. Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan (UU No 31/2004, Pemerintah RI, 2004)), dengan tujuantujuan sebagai berikut : 1. Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil 2. Meningkatkan penerimaan devisa negara 3. Mendorong perluasan kesempatan kerja 4. Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumberdaya protein ikan 5. Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan 6. Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing 7. Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri dan pengolahan ikan 8. Mencapai pemanafaatn sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan, dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal, dan 9. Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan, dan tata ruang. King (1995) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk : 1. Memperoleh produksi maksimum yang berkelanjutan, dalam arti bahwa keberlanjutan stok alami dapat dipertahankan. 29 2. Memperoleh keuntungan ekonomi yang maksimum berkesinambungan bagi para pihak pengguna sumberdaya perikanan. 3. Secara sosial mampu meningkatkan kesejahteraan para pihak yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan terutama nelayan. Prinsip yang mendasari upaya pengelolaan adalah bahwa pemanfaatan sumberdaya harus dilaksanakan secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan sistem dan kapasitas daya dukung (carring capacity) lingkungannya serta jumlah stok alami yang tersedia di perairan dengan tingkat eksploitasi agar pemanfaatannya dapat berlangsung secara terus menerus. Menurut Cohrane (2002), tujuan umum dalam pengelolaan perikanan meliputi 4 (empat) aspek yaitu biologi,ekologi, ekonomi dan sosial. Tujuan sosial meliputi tujuan-tujuan politis dan budaya. Contoh masing-masing tujuan tersebut yaitu : 1. Untuk menjaga sumberdaya ikan pada kondisi atau di atas tingkat yang diperlukan bagi keberlanjutan produktivitas (tujuan biologi). 2. Untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan bagi lingkungan fisik serta sumberdaya non target (by catch), serta sumberdaya lainnya yang terkait (tujuan ekologi) 3. Untuk memaksimalkan pendapatan nelayan (tujuan ekonomi) 4. Untuk memaksimalkan peluang kerja/mata pencaharian nelayan atau masyarakat yang terlibat (tujuan sosial) Dalam praktek pelaksanaan pengelolaan, pihak pengelola harus dapat menentukan pilihan terbaik mengenai : tingkat perkembangan perikanan, tingkat pemanfaatan yang diizinkan, ukuran ikan yang boleh ditangkap, lokasi penangkapan yang dapat dimanfaatkan, dan pengaturan alokasi keuangan untuk menyusun aturan atau regulasi pengelolaan, penegakan hukum (law enforcement), pengembangan produksi dan sebagainya. Dahuri (1993) menyatakan bahwa sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih tetapi dibatasi oleh faktor pembatas alami dan faktor pembatas non alami. Faktor pembatas alami adalah faktor-faktor penghambat ketersediaan ikan dari ekositem itu sendiri, seperti ketersediaan makanan, predator, persaingan memperoleh makanan, laju pertumbuhan alami, persaingan ruang dan lainnya. Sedangkan faktor pembatas non alami adalah faktor-faktor penghambat ketersediaan ikan yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti eksploitasi, pengrusakan habitat dan pencemaran. 30 Selanjutnya bahwa keterbatasan yang disebabkan oleh faktor alami dapat dinetralisir oleh sistem alam, sehingga populasinya pun selalu dalam keadaan seimbang. Tetapi dengan adanya pengaruh intervensi manusia, maka keseimbangan alam cenderung terganggu karena laju intervensi manusia lebih besar dari laju kemampuan alam untuk memulihkan dirinya. Apabila hal ini dibiarkan tanpa kendali, maka secara biologi sumberdaya perikanan akan terkuras, secara ekonomi akan menyebabkan terjadinya inefisiensi ekonomi karena peningkatan biaya intervensi tidak diiringi oleh marginal produk yang positif sehingga pada suatu saat akan tercapai titik keseimbangan di mana total penerimaan sama dengan total biaya. Dengan kata lain keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya perikanan akan hilang. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan mekanisme pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal baik dari segi biologi, maupun dari segi ekonomi. Dengan pengelolaan perikanan optimal yang disertai dengan perangkat regulasi sebagai pelaksanaannya, akan memudahkan tercapainya tujuan pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan. King (1995) mengemukakan suatu konsep pengelolaan sumberdaya perikanan, yang merupakan keterkaitan antara pengkajian stok, tujuan, strategi dan pengaturan pengelolaan perikanan, sebagaimana yang disajikan pada Gambar 6. Pertumbuhan STOK IKAN YANG DIEKSPLOITASI Mortalitas Alami Upaya Penangkapan Masukan Terkendali Mortalitas Penangkapan Hasil Tangkapan Luaran Terkendali Rekruitmen KAJIAN STOK PEMANTAUAN Ukuran Individu CPUE Aspek Sosek dan Lingkungan STRATEGI PENGELOLAAN Peraturan Perikanan Gambar 6 Konsep pengelolaan sumberdaya perikanan (dimodifikasi dari King 1995). 31