Chapter II - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian
partisipasi pemuda dalam pengembangan ekowisata mangrove, berikut ini
beberapa hasil rangkumannya: Majid (2014) “Studi Potensi Ekowisata Mangrove
Di kuala Langsa Provinsi Aceh” kesesuaian ekologis untuk kegiatan ekowisata
dikatagorikan sesuai bersyarat. Kategori sesuai bersyarat menunjukkan bahwa
untuk menjadikan lokasi ini sebagai lokasi ekowisata, diperlukan upaya
perlindungan dan pengelolaan terlebih dahulu sebelum dijadikan sebagai kawasan
ekowisata. Perlindungan terhadap keseimbangan ekosistem mangrove penting
dilakukan untuk mencegah terjadi biodegradasi mangrove yang menyebabkan
terjadinya kerusakan alami. Apabila dilihat dari analisis SWOT, kawasan
mangrove Kuala Langsa berada pada Kuadran II berarti kawasan wisata tersebut
berada pada situasi yang menguntungkan tetapi memiliki tantangan dalam
pengembangannya karena dari segi internalnya kawasan mangrove Kuala Langsa
memiliki nilai positif, segi eksternalnya memiliki nilai negatif. Strategi yang dapat
dilakukan adalah diversifikasi strategi.
Rosida (2014) tentang “Partisipasi Pemuda dalam Pengembangan
Kawasan Ekowisata dan Implikasinya terhadap Ketahanan Masyarakat Desa”
menyimpulkan bahwa
partisipasi pemuda di Desa Nglanggeran dalam
mengembangkan potensi Desa Gunung Api Purba Nglanggeran menjadi kawasan
ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran dapat dikatakan aktif. Namun,
keaktifan partisipasi tersebut masih belum merata pada seluruh pemuda, hanya
Universitas Sumatera Utara
pada sebagian kelompok saja. Meskipun demikian, pemuda yang telah aktif
berpartisipasi membangun desa dengan mengembangkan kawasan ekowisata
Gunung Api Purba Nglanggeran dan tergabung sebagai pengelola, telah berhasil
mengangkat citra desa pada tingkat Kabupaten, Provinsi, Nasional bahkan
Internasional. Adapun bentuk partisipasi yang diberikan beraneka ragam dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor pendorong. Kesemua bentuk partisipasi tersebut
disatukan dalam program pengembangan kawasan ekowisata yang terlaksana
menjadi paket wisata hingga saat ini.
Gigih (2010) tentang “Partisipasi Pemuda dalam Pengembangan
Agrowisata di Desa Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar”, menyimpulkan bahwa
pada sebagian besar program pengembangan pariwisata di desa Berjo, pemuda
desa Berjo belum diikutsertakan dalam tahap perencanaan program dan evaluasi
serta pengawasan pelaksanaan program pengembangan pariwisata tersebut. Secara
umum partisipasi yang dilakukan pemuda di Desa Berjo masih bersifat semu,
sebab mereka belum sepenuhnya ikut serta dalam setiap tahap kegiatan partisipasi.
Di samping itu, beberapa pemuda di Desa Berjo mampu membuktikan bahwa
mereka benar-benar mampu dengan menunjukkan kemandiriannya tanpa
tergantung dengan pihak-pihak lain, pemuda mampu menentukan partisipasi
mereka dalam pengembangan pariwisata yaitu dengan merintis sektor agrowisata,
salah satunya melalui usaha pengembangbiakan benih tanaman hortikultura yang
dapat meningkatkan daya tarik wisata.
Hasil penelitian tesis Naruddin (2007) Partisipasi Masyarakat dalam
Pengembangan Potensi Wisata Bahari Pantai Cermin Kabupaten Serdang
Berdagai menyimpulkan bahwa kepedulian masyarakat untuk menjaga dan
Universitas Sumatera Utara
terlibat dalam usaha jasa pariwisata, maka hal tersebut sudah bisa dianggap telah
berpartisipasi. Sesuai dengan tujuan dari pariwisata yaitu menciptakan kondisi
yang kondusif, atau dengan kata lain bahwa partisipasi masyarakat dalam
pengembangan wisata bahari Serdang Bedagai memang sangat dilibatkan. Selain
itu penelitian ini juga menyimpulkan bahwa potensi bahari Serdang Bedagai
merupakan asset yang luar biasa terhadap pembangunan kabupaten, khususnya
dalam pengembangan pariwisata bahari yang telah memang telah diatur dalam
perda No 12 tahun 2006 tentang pengelolaan pulau Berhala Serdang Bedagai
sebagai kawasan Eco Marine Tourism (wisata bahari berbasis lingkungan).
2.2.Pengertian Pemuda
Sejarah mengenai perkembangan pemuda telah ada sejak dulu,
sebagaimana Tilaar dalam Abdullah (1974) menjelaskan, pada pemikiran klasik
melalui tinjauan pedagogis dan psikologis pemuda, pemuda dianggap sebagai
kelompok yang terbuang atau tersingkirkan dari kelompok manusia yang
“normal”. Tinjauan pedagogis dan psikologis klasik mengidentifikasi pemuda
dengan berbagai pemikiran negatif yang berakibat pada ketidakberdayaan pemuda
dalam mengaktualisasikan perannya. Meskipun demikian, pemuda adalah penerus
generasi tua. Maka, sejak dini harusnya pemuda mempersiapkan diri dan memulai
aksi nyata yang positif serta ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Pemikiran
klasik tersebut masih terlihat hingga saat ini, secara sosio struktural hubungan
antar generasi (tua dan muda) sering dipandang tidak setara.
Secara umum, pemuda merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki
potensi besar untuk dikembangkan agar mampu berkontribusi terhadap
Universitas Sumatera Utara
pembanguan. Pemuda merupakan agen penting dalam pembangunan, maka
pembinaan pemuda adalah satu hal terpenting untuk terus dilakukan secara
berkesinambungan. Menurut Undang-Undang nomor 40 tahun 2009 tentang
Kepemudaan, pemuda didefinisikan sebagai warga negara Indonesia yang
memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16
(enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kemenpora RI tahun 2010, jumlah
pemuda Indonesia (penduduk berusia 16-30 tahun) sekitar 57,81 juta jiwa atau
25,04 persen dari penduduk Indonesia yang berjumlah 230,87 juta jiwa.
Persentase pemuda paling kecil dibandingkan penduduk usia di bawah 16 tahun
(30,88 persen) serta penduduk di atas 30 tahun (44,08 persen). Jumlah pemuda
mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2007 (57,17 juta orang) dan 2008
(56,73 juta orang).
Sebagai pemuda, dalam interaksi sosial di masyarakat mereka dituntut
untuk mampu mengembangkan potensi yang dimiliki. Pemuda hendaknya
berpikir kreatif dan inovatif untuk masa depan bangsa serta ikut berpartisipasi
dalam organisasi masyarakat. Masyarakat sudah seharusnya dijadikan sebagai
ladang pengabdian bagi mereka untuk beraktualisasi dan mengembangkan potensi
dasar serta berproses menjadi individu dewasa.
Sejarah pembangunan, beberapa gelar juga disandingkan kepada para
pemuda negeri ini, yang sering disebut pemuda sebagai agent (tokoh sentral),
seperti agent of change (agen perubahan), agent check of balance (agen
pengontrol keseimbangan), dan agent of control social (agen pengontrol sosial).
Gelar itu diberikan karena pemuda dinilai memiliki jiwa dan sikap mental yang
Universitas Sumatera Utara
diharapkan akan menciptakan sebuah iklim perubahan ke arah yang lebih baik,
memiliki kemampuan sosialisasi di tengah kehidupan masyarakat, mampu
memecahakan polemik sosial, mampu mengontrol dan mengawasi kinerja
pemerintahan, mampu menjadi corong aspirasi masyarakat, dan mampu
berpartisipasi dalam pembangunan.
2.3. Partisipasi
Untuk memahami secara mendalam pengertian tentang partisipasi, berikut
ini beberapa rangkuman pendapat para ahli dalam Maridjan (2010), di antaranya:
1. Partisipasi adalah suatu kontribusi suka rela dari masyarakat terhadap program
pemerintah yang dapat menunjang pembangunan nasional tanpa turut serta
dalam pembuatan program itu sendiri atau mengeritik tentang isinya
(Community Development Journal, 1973)
2. Partisipasi dalam arti yang luas adalah upaya menyadarkan masyarakat dan
meningkatkan kepekaan dan kemampuan untuk memberikan respons terhadap
program pembangunan dan juga mendorong prakarsa setempat (Lele, 1974).
3. Partisipasi dalam keterlibatan secara aktif dalam pengambilan keputusan
sejauh hal-hal yang berkaitan dengan mereka (Uphoff dan Conen, 1979).
4. Partisipasi meliputi keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan dan pelaksanaan program, mengambil bagian dalam hasilnya serta
terlibat dalam evaluasi program tersebut (Lisk, 1981).
5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat yang berhak dan wajib ikut serta
dalam memecahkan masalah, lebih bertanggung jawab dalam memperoleh
kebutuhan, mengerahkan sumber-sumber daya lokal dan mengusulkan
Universitas Sumatera Utara
pemecahan masalah baru, juga menciptakan dan mempertahankan organisasi
setempat (WHO, 1982).
6. Partisipasi adalah suatu proses aktif, artinya bahwa orang atau kelompok yang
bersangkutan mengambil prakarsa dan memastikan kewenangannya (otonomi)
untuk melakukan hal tersebut (Rahman, 1982).
7. Partisipasi adalah upaya yang terorganisasi untuk menguasai (mengendalikan)
sumber-sumber daya dan kelembagaan yang mengatur di dalam situasi sosial
tertentu, bagi kelompok atau gerakan mereka yang selama ini tersisihkan dari
penguasaan/pengendalian tersebut (Pearse dan Stiefel, 1982).
Pengertian lain, partisipasi juga diartikan sebagai kegiatan keikutsertaan
seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan.
Keikutsertaan tersebut dilakukan sebagai akibat dari terjadinya interkasi sosial
antara individu yang bersangkutan dengan anggota masyarakat yang lain (Budi,
2014). Beal dalam Budi (2014), menyatakan bahwa partisipasi, khususnya
partisipasi yang tumbuh karena pengaruh atau karena tumbuh adanya rangsangan
dari luar, merupakan gejala yang dapat diindikasikan sebagai proses perubahan
sosial.
Dalam konteks pemerintahan, partisipasi masyarakat adalah berbagai
orang seorang, kelompok atau badan hukum yang timbul atas kehendak dan
keinginan sendiri di tengah masyarakat (UU nomor 24 tahun 1992).
Dalam
kegiatan
pembangunan,
partisipasi
masyarakat
merupakan
perwujudan dari kesadaran dan kepedulian serta tanggung jawab masyarakat
terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu
hidup mereka. Artinya, melalui partisipasi yang diberikan, berarti benar-benar
Universitas Sumatera Utara
menyadari bahwa kegiatan pembangunan bukanlah sekedar kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh (aparat) pemerintah sendiri, tetapi juga menuntut keterlibatan
masyarakat yang akan diperbaiki mutu hidupnya (Suciati, 2006).
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat menjadi input sekaligus
output. Partisipasi masyarakat menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan
pembangunan. Di sisi lain, dapat dikatakan bahwa pembangunan akan dinilai
berhasil kalau dapat meningkatkan kapasitas masyarakat, termasuk dalam
merangkul masyarakat untuk berpartisipasi.
2.4. Tingkatan Partisipasi
Tingkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dipandang sebagai
salah satu tolak ukur berhasilnya suatu pembangunan, serta merupakan
pencerminan bahwa dalam pembangunan masyarakat lebih memberikan fokus
perhatian pada aspek manusia dan masyarakat, bukan semata-mata pada fisik
materil. Menurut Keith Davis dalam Suciati (2006) dikemukakan bahwa bentukbentuk dari partisipasi masyarakat adalah berupa; a) pikiran, b) tenaga, d)
keahlian, e) barang dan f) uang. Bentuk partisipasi masyarakat ini dilakukan
dalam berbagai cara, yaitu; a) konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa, b)
sumbangan spontanitas berupa uang dan barang, c) mendirikan proyek yang
sifatnya berdikari dan dibiayai oleh masyarakat sendiri, e) sumbangan dalam
bentuk kerja, f) aksi massa, g) mengadakan pembangunan di dalam keluarga dan
h) membangun proyek masyarakat yang bersifat otonom.
Menurut Ericson dalam Slamet (1993), bentuk partisipasi masyarakat
dalam pembangunan terbagi atas tiga tahap, yaitu:
1. Partisipasi di dalam tahap perencanaan (idea planning stage);
Universitas Sumatera Utara
Partisipasi pada tahap ini adalah pelibatan seseorang pada tahap penyusunan
rencana dan strategi dalam penyusunan kepanitiaan dan anggaran pada suatu
kegiatan. Masyarakat berpartisipasi dengan memberikan usulan, saran, dan
kritikan melalui pertemuan-pertemuan yang diadakan.
2. Partisipasi dalam tahap pelaksanaan (implementation stage);
Partisipasi pada tahap ini adalah pelibatan seseorang pada tahap pelaksanaan
pekerjaan suatu kegiatan. Masyarakat disini dapat memberikan tenaga,
material, ataupun barang dan uang serta ide-ide sebagai salah satu bentuk
partisipasinya pada pekerjaan tersebut.
3. Partisipasi dalam pemanfaatan (utilitazion stage);
Partisipasi pada tahap ini adalah pelibatan seseorang pada tahap pemanfaatan
suatu kegiatan setelah selesai dikerjakan. Partisipasi masyarakat pada tahap ini
berupa tenaga dan uang untuk mengoperasikan dan memelihara proyek yang
telah dibangun.
Mahalli (2010) menjelaskan bentuk partisipasi masyarakat dapat
dikategorikan dalam beberapa tahap, yaitu: tahap perencanaan, pelaksanaan,
penerimaan manfaat, dan evaluasi. Supaya lebih jelas penjelasan tentang tahaptahap partisipasi masyarakat, berikut skemanya:
Tahap-Tahap Partisipasi Masyarakat
PERENCANAAN
PELAKSANAAN
MANFAAT
EVALUASI
Gambar 2.1 Tahap-Tahap Partisipasi Masyarakat (Mahalli, 2010)
Universitas Sumatera Utara
Dussedorp dalam Slamet (1993) mengemukakan bahwa bentuk partisipasi
didasarkan pada sembilan hal yaitu; derajat kesukarelaan, cara keterlibatan,
keterlibatan dalam proses pembangunan terencana, tingkatan organisasi, intensitas
frekuensi kegiatan, lingkup liputan kegiatan, efektifitas, pihak yang terlibat dan
gaya partisipasi.
Untuk mengukur skala partisipasi masyarakat dapat diketahui dari kriteria
penilaian tingkat partisipasi untuk setiap individu (anggota kelompok) yang
diberikan oleh Chapin dalam Slamet (1993) sebagai berikut:
1. Keanggotaan dalam organisasi atau lembaga tersebut;
2. Frekuensi kehadiran (attendence) dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan;
3. Sumbangan/iuran yang diberikan;
4. Keanggotaan dalam kepengurusan;
5. Kegiatan yang diikuti dalam tahap program yang direncanakan;
6. Keaktifan dalam diskusi pada setiap pertemuan yang diadakan.
Dussedorp dalam Slamet (1993) mengidentifikasi beragam bentuk-bentuk
kegiatan partisipasi yang dilakukan oleh setiap warga masyarakat, antara lain:
1. Menjadi anggota kelompok-kelompok masyarakat
2. Melibatkan diri pada kegiatan diskusi kelompok
3. Melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan organisasi untuk mengerakkan
partisipasi masyarakat yang lain.
4. Menggerakkan sumberdaya masyarakat
5. Mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan
6. Memanfaatkan hasil-hasil yang dicapai dari kegiatan masyarakatnya.
Universitas Sumatera Utara
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat terdiri
dari faktor dari dalam masyarakat (internal) dan faktor dari luar masyarakat
(eksternal). Faktor internal yaitu kemampuan dan kesedian masyarakat untuk
berpartisipasi, sedangkan faktor eksternal yaitu peran aparat dalam lembaga
formal yang ada. Terdapat dua kategori tingkatan partisipasi masyarakat. Pertama,
warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang
oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses
pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak
partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka menrefleksikan
tindakan tersebut sebagai subjek yang sadar (Nasdian, 2014).
Mahalli (2010) menjelaskan bahwa dimensi partisipasi dapat dilihat dari
bentuk partisipasi yang diharapkan (apa), (siapa) yang berpartisipasi, dan
(bagaimana) cara berpartisipasi tersebut berlangsung. Seperti yang terlihat di
gambar 2.2
Dimensi Partisipasi Masyarakat
DIMENSI PARTISIPASI
MASYARAKAT
APA
1. Pengambilan
Keputusan (Desicion
Making)
2. Implementasi
(Implementation)
3. Manfaat
(Benefit)
4. Evaluasi (Evaluation)
SIAPA
BAGAIMANA
1. Penduduk Setempat
(Local Residence)
2. Pemimpin Setempat
(Local Leaders)
3. Pengawas Pemerintah
(Goverment Person)
4. Petugas Asing
(Foreign Personal)
1. Dasar partisipasi
(Basic Participation)
2. Bentuk Partisipasi (Form
of participation)
3. Lingkup partisipasi
(Extent of Participation)
4. Akibat Partisipasi
(Effect of Participatrion)
Gambar 2.2 Dimensi Partisipasi Masyarakat (Mahalli, 2010)
Universitas Sumatera Utara
Dalam tahap pembangunan infrastruktur, Pranoto dalam Adisasmita
(2006) menguraikan partisipasi masyarakat sebagai berikut:
1. Survey dan investigasi, memberi informasi lokasi dan kondisi;
2. Perencanaan, persetujuan, kesepakatan, mempelancar proses;
3. Pembebasan tanah, memberi kemudahan, mempelancar proses;
4. Pembangunan, membantu pengawasan dan terlibat dalam pelaksanaan;
5. Operasi dan pemeliharaan, terlibat dalam pelaksanaan, ikut memelihara dan
melaporkan jika ada kerusakan;
6. Monitoring dan evaluasi, memberikan data yang nyata di lapangan tentang
dampak yang terjadi pasca pembangunan.
Menurut Agussabti (2010), partisipasi dapat dibedakan menurut bentuk
dan sifatnya, yaitu:
1. Bentuk partisipasi mendukung atau positif dan bentuk partisipasi menolak
atau negatif;
2. Berdasarkan sifatnya partisipasi mandiri/otonom dan partisipasi bersifat
dikerahkan/dimobilisasi.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat diambil suatu
pengertian bahwa yang dimaksud partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan
serta keterlibatan masyarakat di dalam suatu proses kegiatan.
2.5. Konsep Partisipasi Pemuda
Partisipasi pemuda merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam
parisipasi masyarakat secara umum. Artinya dalam pembahasan partisipasi
masyarakat mengandung unsur partisipasi pemuda secara khusus. Dengan
Universitas Sumatera Utara
demikian, dalam pembahasan ini kajian tentang partisipasi pemuda menjadi
bagian tidak terpisahkan dengan kajian partispasi masyarakat.
Terkait partisipasi masyarakat, dalam hal ini pemuda, berdasarkan
Undang-Undang nomor 25 tahun 2004, menjelaskan bahwa Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional salah satunya bertujuan untuk mengoptimalkan partisipasi
masyarakat. Selanjutnya tentang partisipasi masyarakat disebutkan pula pada
pasal 5, 6, dan 7 Undang-undang yang sama. Dalam Undang-undang ini
pembangunan merupakan kombinasi antara pendekatan top-down dan bottom-up
yang menekankan pada cara-cara aspiratif dan partisipatif. Selain UU nomor 25
tahun 2004, terdapat juga peraturan perundang-undangan lain yang menekankan
perlunya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan yaitu UndangUndang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia nomor 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara
Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
Daerah.
Kelompok yang berpartisipasi dalam pengembangan masyarakat dan
pembangunan perlu diorganisasikan menurut kepentingan masing-masing. Kepada
anggota kelompok, baik secara individual ataupun kelompok, akan diserahkan
tugas-tugas sesuai dengan keperluan pengembangan dan pembangunan.
Pengorganisasian anggota kelompok penting, karena partisipasi anggota
kelompok dalam kegiatan pengembangan dan pembangunan perlu diarahkan
dalam tahap-tahap kegiatan; tahap identifikasi masalah dan kebutuhan,
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi (Nasdian, 2014).
Universitas Sumatera Utara
Dalam
proses
pembangunan
partisipatif,
terkesan
sering
terjadi
pengistimewaan salah satu pihak. Pemuda sering menjadi pihak yang lebih
terbatasi geraknya dalam proses pembangunan yang melibatkan kedua kelompok
tersebut, disebabkan karena adanya stereotype bahwa masyarakat golongan tua
dianggap lebih unggul dibandingkan dengan kalangan muda, sehingga pelibatan
pemuda hanya digunakan sebagai pelengkap untuk melaksanakan program terkait.
Disisi lain, pemuda dianggap lebih tangguh dan lebih berenergi dibandingkan
golongan tua, sehingga peran-peran khusus yang dilakukan pemuda tidak
mendapatkan perhatian kalangan tua. Ketimpangan peran sedemikian sering
terjadi dalam sebuah proses partisipasi pembangunan. Idealnya golongan pemuda
dan golongan tua harusnya bersinergi dan bahu membahu dalam partisipasi
pembangunan.
Di
Indonesia,
strategi
meningkatkan
partisipasi
pemuda
dalam
pembangunan telah diusung oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga melalui
program Pengarusutamaan Pemuda (Youth Mainstreaming). Strategi ini bertujuan
untuk meningkatkan peran serta pemuda dalam seluruh aspek kehidupan manusia
dan memperhatikan serta melibatkan pemuda ke dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang
kehidupan dan pembangunan.
Lebih jauhnya, strategi pengarusutamaan
(peranserta) pemuda menuntut komitmen setiap pihak untuk memprioritaskan
pembangunan kepemudaan dalam setiap proses pembangunan yang dimulai dari
perencanaan, pelaksanaan sampai kepada monitoring dan evaluasi, yang
dilakukan secara koordinatif, sinergi, dan harmonis. (Kemenpora RI, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Menurut United Nation Economic and Social Council dalam ECOSOC
Agreed Conclusions 1997/2 dalam Sitti (2014), pengarusutamaan pemuda (youth
mainstreaming) didefinisikan sebagai “Proses penilaian besarnya pengaruh
(terhadap pemuda) dari tindakan yang telah direncanakan, termasuk pembuatan
undang-undang, kebijakan atau program, dalam semua bidang dan pada semua
tingkatan”. Termasuk di dalamnya strategi agar kepedulian dan pengalamanpengalaman tentang kepemudaan dijadikan sebagai sebuah dimensi integral dalam
melakukan desain, implementasi, monitoring dan evaluasi terhadap kebijakan dan
program dalam segala bidang, seperti politik, ekonomi dan sosial, agar pemuda
memperoleh keuntungan dan manfaat yang setara.
Menurut Sitti (2014), istilah pengarusutamaan mencakup semua kegiatan
dan proses komunikasi yang bertujuan untuk melembagakan (institusionalisasi)
norma-norma, konsep, panduan dan gambaran baru dalam rangka mengenalkan
dan menguatkan rutinitas, prosedur dan ritual baru dalam organisasi. Dengan
demikian,
partisipasi
pemuda
merupakan
sub-kegiatan
dari
manajemen
perubahan. Tujuan dari pengarusutamaan adalah perubahan paradigma, yang
dilakukan melalui tiga pendekatan parallel; komunikasi (bridging), penamaan
identitas (branding), dan pembelajaran (boosting).
Menurut Robert Geyer dalam Sitti (2014), terdapat prinsip partisipasi
pemuda yang melibatkan tiga elemen administratif pokok, yaitu:
1. Adanya komitmen untuk membuka seluruh pintu kebijakan agar mengarah
pada area kebijakan yang diarusutamakan.
2. Adanya sistem yang dapat mengevaluasi dampak dari kebijakan yang
diarusutamakan.
Universitas Sumatera Utara
3. Adanya strategi untuk memaksa/mendorong pelaku administratif agar
memberi
perhatian
dan
mengimplementasikan
kebijakan
yang
diarusutamakan.
Di Indonesia, kebijakan partisipasi dikenal dalam rangka memperkuat
sinergi antarbidang dalam pembangunan. Pada dasarnya, pembangunan di setiap
bidang untuk mencapai keberhasilan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling
terkait dengan pembangunan di bidang lainnya. Dengan pembiayaan yang
terbatas, untuk mencapai efektifitas, efisiensi dan hasil yang maksimal dalam
mencapai sasaran pembangunan, harus dilakukan sinkronisasi pembangunan di
setiap bidang sehingga kegiatan di setiap bidang saling terpadu, mendukung dan
saling memperkuat. Setiap kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian
yang melaksanakan pembangunan di setiap bidang harus memiliki komitmen
yang kuat untuk mencapai sinergi tersebut melalui proses komunikasi, konsultasi,
koordinasi serta monitoring, dan evaluasi dengan pemangku kepentingan terkait di
pusat dan daerah dan mengedepankan keberhasilan bersama dalam pencapaian
sasaran pembangunan (Bappenas, 2010).
Menurut Bappenas (2010), pengarusutamaan dilakukan dengan cara yang
terstruktur dengan kriteria sebagai berikut: (1) pengarusutamaan bukanlah
merupakan upaya yang terpisah dari kegiatan pembangunan sektoral; (2)
pengarusutamaan tidak mengimplikasikan adanya tambahan pendanaan (investasi)
yang signifikan; dan (3) pengarusutamaan dilakukan pada semua sektor terkait
namun diprioritaskan pada sektor penting yang terkait langsung dengan isu-isu
pengarustamaan. Dalam hubungannya dengan pembangunan kepemudaan, strategi
pengarusutamaan pemuda menuntut adanya komitmen pelaku kebijakan agar mau
Universitas Sumatera Utara
menjadikan isu dan pelibatan pemuda sebagai bagian penting dalam menunjang
pembangunan partisipatif. Dengan kata lain pemerintah harus memastikan bahwa
perspektif kepemudaan dapat terintegrasi dalam setiap paket kebijakan dan
program pada segala bidang. Caranya bisa dengan membangun mekanisme yang
mendukung keterlibatan pemuda, baik laki-laki maupun perempuan, dan
memastikan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan
maupun program yang berdampak terhadap mereka. Hal lainnya yang tidak kalah
penting adalah munculnya kebijakan-kebijakan, program maupun kegiatan yang
ditujukan untuk mempersempit kesenjangan yang ada selama ini pada bidangbidang tertentu dalam hal pemberdayaan pemuda.
Dalam kegiatan evaluasi, pemuda sebagai pelaku sekaligus penerima
manfaat program juga harus diikutsertakan. Pelibatan pemuda mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, sampai kepada evaluasi kegiatan merupakan satu
kesatuan dalam rangkaian kegiatan, di mana hal ini akan meningkatkan rasa
memiliki (ownership) terhadap kegiatan serta dapat meningkatkan kemampuan
manajemen mereka. Sistem evaluasi yang melibatkan stakeholder (pemuda)
memiliki beberapa keuntungan, yaitu mendorong tumbuhnya rasa kepemilikan
yang lebih besar dan tanggungjawab terhadap kegiatan, informasi dan data yang
diperoleh bisa lebih akurat, berkembangnya keterampilan, wawasan dan
pengetahuan
peserta
tentang
proses
evaluasi,
pengumpulan
data
serta
interpretasinya, munculnya pengetahuan-pengetahuan lokal yang tidak tergali
sebelumnya, dan pembiayaan yang lebih efektif karena hasil yang diperoleh lebih
akurat dan maksimal.
Universitas Sumatera Utara
2.6. Pengertian Manggrove
Ekosistem mangrove sangat penting yaitu berperan sebagai filter untuk
mengurangi efek yang merugikan dan perubahan lingkungan utama dan sebagai
sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota baru. Harahab dalam Majid
(2014) menyebutkan hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis dan
merupakan komunitas yang hidup di dalam kawasan yang lembab dan berlumpur
serta dipengaruhi oleh pasang surut air laut.Mangrove disebut juga sebagai hutan
pantai, hutan payau atau hutan bakau. Pengertian mangrove sebagai hutan pantai
adalah pohon-pohonan yang tumbuh di daerah pantai (pesisir), baik daerah yang
dipengaruhi pasang surut air laut maupun wilayah daratan pantai yang
dipengaruhi oleh ekosistem pesisir. Menurut Kustanti (2011), sebagian mangrove
dijumpai di sepanjang pantai terlindung yang berlumpur, bebas dari angin yang
kencang dan arus (misalnya di mulut muara sungai besar). Mangrove juga dapat
tumbuh di atas pantai berpasir dan berkarang, dan di pulau-pulau kecil. Sementara
itu, air payau bukanlah hal yang pokok bagi pertumbuhan mangrove, karena
mereka juga dapat tumbuh dengan subur jika terdapat persediaan endapan yang
baik pada air tawar yang melimpah.
2.6.1. Fungsi dan Manfaat Manggrove
Bengen dalam Silaen (2013) menyatakan bahwa ekosistem mangrove
memiliki fungsi antara lain : (1) sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak,
arus dan angin, (2) sebagai tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak
dan daerah asuhan berbagai jenis biota (3) sebagai penghasil bahan organik yang
sangat produktif (detritus), (4) sebagai sumber bahan baku industri bahan bakar,
(5) pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya, serta (6) tempat pariwisata
Universitas Sumatera Utara
Menurut Wibisono dalam Majid (2014) secara ekologis ekosistem mangrove
mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, diantaranya:
a. Sebagai penahan erosi dan abrasi pantai akibat hempasan ombak.
b. Merupakan tempat ideal untuk perlindungan dan pembesaran (nursery ground)
dari berbagai jenis larva udang dan ikan.
c. Sebagai cadangan sumber alam (bahan mentah) untuk dapat diolah menjadi
komoditi perdagangan.
Kegunaan hutan mangrove yang dapat diberikan terhadap kehidupan
manusia dibedakan berdasarkan tingkatan ekosistem, yaitu berdasarkan tingkat
ekosistem secara keseluruhan dan berdasarkan tingkat ekosistem sebagai
primarybiotic component. Hutan mangrove memiliki fungsi dan peranan seperti
yang tertulis di dalam Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2008) yaitu :
Pertama secara fisik sebagai penahan abrasi, penahan intrusi air laut, penahan
angin, dan menurunkan kadar CO2. Kedua dari aspek biologi sebagai habitat bagi
biota laut, sumber pakan organik bagi biota laut, dan habitat bagi satwa darat
udara dan laut.Ketiga dari segi sosial dan ekonomi sebagai tempat kegiatan wisata
alam, penghasil kayu, penghasil pangan dan obat-obatan, serta tempat mata
pencaharian masyarakat lokal.
Kusmana, dkk (2005), membagi manfaat hutan mangrove sebagai berikut:
1. Tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan
a. Lahan tambak, lahan pertanian, dan kolam garam
Lahan mangrove di beberapa daerah di Indonesia banyak dikonversi menjadi
areal pertambakan tradisional udang dan bandeng, lahan pertanian padi dan
holtikultura, dan pembuatan garam.
Universitas Sumatera Utara
b. Lahan pariwisata
Potensi ekosistem hutan mangrove sebagai lahan pariwisata menawarkan
keindahan alam dan hasil-hasil yang bisa diandalkan. Keindahan alam yang
dapat dinikmati bagi wisata alam antara lain adalah terbit dan terbenamnya
matahari, bentuk perakaran yang khas dari vegetasi hutan mangrove, buah
mangrove yang bergelantungan pada pohon induknya, berbagai jenis flora dan
fauna, atraksi adat istiadat masyarakat setempat -ngruwat laut- berkaitan
dengan hutan mangrove, zonasi mangrove, dan lain sebagainya. Bentukbentuk wisata yang bisa dinikmati di hutan mangrove antara lain adalah
memancing, fotografi, berperahu, pengamatan satwa afivauna, berjalan
sepanjang track trail mangrove, pengamatan matahari terbit (sunrise) dan
terbenam (sunset).
2. Tingkat komponen ekosistem sebagai Primary Biotic Component
a. Flora mangrove
Keberadaan flora mangrove dari vegetasi tumbuhan bawah sampai dengan
pepohonan mempunyai manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat.
Secara praktis, masyarakat sekitar hutan mangrove telah memanfaatkan
tetumbuhan yang ada di hutan mangrove sebagai bahan makanan , kayu
bangunan, kayu bakar dan obat-obatan
b. Fauna mangrove
Fauna yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri atas 5 kelas, yaitu
mamalia, reptilia, aves, amphibi, dan pisces. Selain keindahan bentuk fisik
fauna, dapat juga dinikmati keindahan suara dan keunikan habitatnya. Manfaat
Universitas Sumatera Utara
ekonomi yang langsung dapat dinikmati antara lain adalah: keberadaan ikan,
kerang-kerangan, udang, dan kepiting, dan burung-burung.
2.6.2 Pengelolaan Hutan Mangrove Secara Berkelanjutan
Kurangnya pemahaman tentang nilai dan manfaat mangrove sangat
menentukan bentuk, strategi dan kegiatan dalam pengelolaan mangrove yang ada.
Jikalau manfaat dan fungsi hutan mangrove dikategorikan secara umum pada dua
bagian yaitu fungsi ekologis dan ekonomisnya maka sewajarnya pulalah
pendekatan yang akan dilakkan dalam pengelolaannya ditarik dari kedua fungsi
tersebut. Melihat keadaan yang ada saat ini terhadap hutan mangrove seharusnya
upaya yang harus dilakukan disamping rehabilitasi ataupun pemulihan kembali
terhadap hutan mangrove yang sudah rusak itu dilakukan, tentunya tidak kalah
pentingnya diperlukan suatu strategi atas perlindungan untuk mengamankan
mangrove itu dari segala bentuk gangguan yang akan terjadi. Pengelolaan
ekosistem mangrove adalah untuk kepentingan manusia, maka faktor-faktor
terkait kepentingan tersebut harus dipertimbangkan juga tidak hanya satu faktor
saja, tetapi harus secara keseluruhan untuk menghindari gesekan kepentingan
yang satu dan lainnya.Faktor-faktor penting tersebut adalah ekologi, ekonomi,
dan sosial-budaya (Kordi, 2012).
Menurut Mahmud (2002) diacu oleh Harahab (2010) beberapa justifikasi
untuk mengelola ekosistem mangrove secara berkelanjutan adalah:
1. Mangrove merupakan sumberdaya alam (SDA) yang dapat dipulihkan
(renewable resources atau flow resources) yang mempunyai manfaat ganda
(manfaat ekonomis dan ekologis). Hutan mangrove merupakan penyedia
berbagai keperluan hidup berbagai masyarakat lokal. Selain itu sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
perkembangan IPTEK, hutan mangrove menyediakan berbagai jenis
sumberdaya sebagai bahan baku industri dan berbagai komoditas perdagangan
yang bernilai ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa negara.
2. Mangrove mempunyai nilai produksi primer bersih (PBB) yang cukup
tinggi, yakni biomassa (62,9-398,8 ton/ha), serasah (5,8-25,8 ton/ha/th) dan
tiap volume (20 ton/ha/th, 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20
tahun). Besarnya nilai produksi primer ini cukup berarti bagi penggerak rantai
pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan
masyarakat pesisir itu sendiri.
3. Dalam skala internasional, regional, dan nasional, hutan mangrove luasnya
relatif kecil bila dibandingkan, baik dengan luas daratan maupun luasan tipe
hutan lainnya, padahal manfaatnya (ekonomis dan ekologis) sangat penting
bagi kelangsungan kehidupan masyarakat (khususnya masyarakat pesisir),
sedangkan di pihak lain ekosistem mangrove bersifat rentan (fragile) terhadap
gangguan dan cukup sulit untuk merehabilitasi kerusakannya.
4. Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun bersama dengan
ekosistem
padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam
stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun biologis.
5. Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi
yang saat ini sebagian besar manfaatnya belum diketahui.
2.7.Pengertian Ekowisata
Mukhlison (2000) mengatakan bahwa Ekowisata merupakan suatu bentuk
wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Bahkan dalam strategi
Universitas Sumatera Utara
pengembangan ekowisata juga menggunakan startegi konservasi. Dengan
demikian ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan
keutuhan dan keaslian ekosistem diareal yang masih alami. Menurut Peraturan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah di dalam pasal 1 butir 1
menyebutkan : ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang
bertanggungjawab dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan
dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumberdaya alam, serta peningkatan
pendapatan masyarakat lokal. Kata ekowisata juga mengacu pada bentuk kegiatan
wisata yang mendukung pelestarian. Ekowisata semakin berkembang tidak hanya
sebagai konsep tapi juga sebagai produk wisata.
Pada Gambar 2.3, diketahui bahwa segmen pasar di dalam ekowisata
merupakan wisata berbasis alam.Pada gambar di atas memberikan penjelasan
bahwa secara tidak langsung ekowisata juga mengenalkan budaya (wisata
budaya), dan lingkungan tempat tinggal masyarakat lokal yang hidup di pedesaan
(wisata rural).
Gambar 2.3 Produk Ekowisata Dalam Pasar Wisata (Wood dalam Putra, 2014)
Universitas Sumatera Utara
2.7.1. Prinsip dan Kriteria
Di dalam Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan WWF Indonesia
dalam Putra (2014), menyebutkan bahwa dalam pengembangan ekowisata
berbasis masyarakat dan konservasi memiliki prinsip dan kriteria yang perlu
diperhatikan yaitu “Keberlanjutan Ekowisata dari Aspek Ekonomi, Sosial dan
Lingkungan”. Di dalam prinsip ini terkandung bahwa Ekowisata yang
dikembangkan di kawasan konservasi adalah ekowisata yang hijau dan adil demi
kepentingan pembangunan berkelanjutan dan konservasi, yang artinya ekowisata
sebagai kegiatan usaha dengan tujuan untuk menyediakan alternatif ekonomi
secara berkelanjutan bagi masyarakat lokal di kawasan yang dilindungi, sertadapat
berbagi manfaat dari uptnjuaya konservasi dan mendukung kegiatan konservasi
dengan meningkatkan kepedulian dan dukungan terhadap bentang lahan yang
memiliki nilai biologis, ekologis dan nilai sejarah yang tinggi.
Para pelaku dan pakar di bidang ekowisata sepakat untuk menekankan
bahwa pola ekowisata harus mampu meminimalkan dampak negatif terhadap
lingkungan dan budaya lokal. Pola tersebut juga harus mampu meningkatkan nilai
konservasi dan pendapatan ekonomi masyarakat lokal. Untuk mencapai tujuan
tersebut maka adapun aspek kunci ekowisata yang perlu ditekankan sebagai
berikut :
1. Jumlah pengunjung yang dibatasi atau diatur supaya sesuai dengan daya
dukung lingkungan dan sosial budaya masyarakat.
2.
Pola wisata ramah lingkungan.
3. Pola wisata ramah budaya dan adat setempat.
4. Membantu secara langsung perekonomian masyarakat lokal.
Universitas Sumatera Utara
Di dalam Mahdayani (2009) menyebutkan 5 butir prinsip dasar yang
menjadi fungsi dari pengembangan kawasan ekowisata di Indonesia, antara lain :
1. Pelestarian
Prinsip pelestarian pada ekowisata adalah kegiatan ekowisata yang dilakukan
tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan dan budaya setempat.
Salah satu cara menerapkan prinsip ini adalah dengan cara menggunakan sumber
daya lokal yang hemat energi dan dikelola oleh masyarakat sekitar.
2. Pendidikan
Kegiatan pariwisata yang dilakukan dengan memberikan unsur pendidikan. Hal
ini dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan pemberian informasi
menarik seperti nama dan manfaat tumbuhan dan hewan yang ada disekitar
kawasan ekowisata.
3. Pariwisata
Pariwisata adalah aktivitas yang mengandung unsur kesenangan dengan berbagai
motivasi wisatawan untuk mengunjungi suatu lokasi. Dengan demikian produk
dan jasa pariwisata yang ada di daerah juga harus memberikan unsur kesenangan
yang layak diterima oleh pasar.
4. Ekonomi
Ekowisata juga membuka peluang ekonomi bagi masyarakat terlebih lagi apabila
perjalanan wisata yang dilakukan menggunakan sumber daya lokal seperti
transportasi, akomodasi dan jasa pemandu.
5. Partisipasi Masyarakat Setempat
Universitas Sumatera Utara
Partisipasi masyarakat akan timbul, ketika alam/budaya itu memberikan manfaat
langsung/tidak langsung bagi masyarakat. Agar bisa memberikan manfaat maka
alam/budaya tersebut harus dikelola dengan baik.
2.7.2. Pengembangan Ekowisata
Pada prinsipnya, pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang
aktivitasnya tetap memperhatikan keseimbangan alam, lingkungan, budaya dan
ekonomi
agar
pariwisata
tersebut
terus
berlanjut.
Dengan
kata
lain,
pengelolaannya haruslah dapat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi
seluruh pihak terkait baik itu pemerintah, sektor swasta,
serta masyarakat
setempat (Mahdayani danRafiani, 2009). Pengembangan ekowisata pesisir dan
laut harus mempertimbangkan dua aspek, yaitu aspek tujuan wisata dan aspek
pasar. Pengembangan ekowisata
menganut konsep produk atau pasar dan
pengembangan produk wisata yang menjamin kelestarian sumberdaya alam dan
budaya masyarakat pesisir dan laut. Pengembangan ekowisata pesisir dan laut
lebih dekat kepada aspek pelestarian, karena didalamnya sudah terkandung aspek
keberlanjutan. Pelestarian
menjamin terwujudnya
sumberdaya alam dan budaya masyarakat akan
keberlanjutan pembangunan. Dalam pelaksanaanya,
ekowisata pesisir dan laut hampir tidak dilakukan eksploitasi sumberdaya alam,
tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pengetahuan, fisik, dan psikologis wisatawan (Tuwo, 2011)
Menurut Satria, dalam Majid (2014) Pengembangan ekowista bahari yang
hanya terfokus pada pengembangan
wilayah pantai dan lautan sudah mulai
tergeser, karena banyak hal lain yang bisa dikembangkan dari wisata bahari selain
pantai dan laut. Salah satunya adalah konsep ekowisata bahari yang berbasis pada
Universitas Sumatera Utara
pemandangan dan keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya
dan karakteristik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masingmasing daerah. Selanjutnya kegiatan ekowisata lain yang juga dapat
dikembangkan, antara lain: berperahu,
berenang, snorkling, menyelam,
memancing, kegiatan olahraga pantai dan piknik menikmati atmosfer laut (Satria,
2009)
Menurut Springuel (2000)
diacu oleh Wahyudi (2008)
perencanaan
ekowisata yang baik harus meliputi 4 (empat) hal, yaitu:
a. Kerja sama antara pemerintah dengan lembaga non profit untuk melaksanakan
pendidikan bagi masyarakat, pengawasan terhadap lingkungan yang sehat dari
pengunjung serta penerapan dari perencanaan perlindungan habitat.
b. Identifikasi daya dukung sosial dan daya dukung ekologi.
c. Penetapan duta lingkungan yang bertujuan untuk mempromosikan sesuatu yang
berhubungan dengan menjaga lingkungan seperti: “pergi tanpa sampah”.
d. Inovasi dari pengusaha setempat agar pasar ekowisata semakin bertambah.
2.7.3. Kelayakan Pengembangan Ekowisata Mangrove
Metode pengumpulan data dan informasi yang sering digunakan untuk
keperluan analisis kondisi ekosistem mangrove adalah teknik survei.Survei
kondisi ekosistem mangrove bertujuan untuk mendapatkan data dasar tentang
kondisi sumberdaya mangrove, khususnya komponen tumbuhan atau flora dan
satwa atau fauna mangrove. Teknik survei flora yang sering digunakan adalah
analisis tumbuhan, sedangkan survei fauna adalah inventarisasi satwa, khususnya
satwa berupa burung, primate, herbivorebesar (Tuwo, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Kelayakan pengembangan ekowisata mangrove ditentukan berdasarkan
analisis ekologi, sosial-ekonomi, dan faktor penunjang. Menurut Tuwo (2011)
Kriteria ekologi mencakup keanekaragaman (kerapatan jenis, keragaman spesies,
dan keberadaan fauna), keunikan, biota berbahaya, keaslian, karakteristik kawasan
(substrat dan genangan pasang), dan konservasi.Kriteria sosial-ekonomi
mencakup penerimaan masyarakat, kesehatan masyarakat, pendidikan, keamanan,
dan tenaga kerja. Sedangkan kriteria faktor penunjang mencakup aksesbilitas dan
air bersih.
2.8. Pengertian Geografi
Sebelum mendefinisikan geografi lingkungan (environmental geography),
sangat berguna untuk memandang terlebih dulu konsep geografi secara umum.
Salah satu kesalahan konsep yang umum terjadi adalah memandang geografi
sebagai studi yang sederhana tentang nama-nama suatu tempat. Implikasi dari
pemahaman seperti itu menyebakan terjadinya reduksi terhadap hakekat geografi.
Geografi menjadi pengetahuan untuk menghafalkan tempat-tempat dimuka bumi,
sehingga bidang ini menjadi kurang bermakna untuk kehidupan. Geografi sering
juga dipandanng identik dengan kartografi atau membuat peta (Hartono, 2007).
Dalam prakteknya sering terjadi para geograf sangat trampil dalam
membaca dan memahami peta, tetapi tidak tepat jika kegiatan membuat peta
sebagai profesinya. Kata geografi berasal dari geo yang berarti bumi, dan graphein
yaitu mencitra. Ungkapan itu pertama kali diungkapkan oleh Eratosthenes yang
mengemukakan kata “geografika”. Kata itu berakar dari geo yaitu bumi dan
graphika yaitu lukisan atau tulisan. Jadi kata geographika dalam bahasa Yunani,
berarti lukisan tentang bumi atau tulisan tentang bumi. Bertahun-tahun manusia
Universitas Sumatera Utara
telah berusaha untuk mengenali lingkungan di permukaan bumi. Pengenalan itu
diawali dengan mengunjungi tempat-tempat secara langsung di muka bumi, dan
berikutnya menggunakan peralatan dan teknologi yang makin maju. Sejalan
dengan pengenalan itu pemikiran manusia tentang lingkungan terus berkembang,
pengertian geografi juga mengalami perubahan dan perkembangan. Pengertian
geografi bukan sekedar tulisan tentang bumi, tetapi telah menjadi ilmu
pengetahuan tersendiri disamping bidang ilmu pengetahuan lainnya. Geografi
telah berkembang dari bentuk cerita tentang suatu wilayah dengan penduduknya
menjadi bidang ilmu pengetahuan yang memiliki obyek studi, metode, prinsip,
dan konsep-konsep sendiri sehingga mendapat tempat ditengah-tengah ilmu
lainnya( Hartono, 2007).
Wangsajaya (2010) Berkaitan dengan kemajuan, konsep geografi juga
mengalami perkembangan. Ekblaw dan Mulkerne mengemukakan, bahwa
geografi
merupakan
ilmu
pengetahuan
yang
mempelajari
bumi
dan
kehidupannnya, mempengaruhi pandangan hidup kita, makanan yang kita
konsumsi, pakaian yang kita gunakan, rumah yang kita huni dan tempat rekreasi
yang kita nikmati. Bintarto (1977) mengemukakan, bahwa geografi adalah ilmu
pengetahuan yang mencitra, menerangkan sifat bumi, menganalisis gejala alam
dan penduduk serta mempelajari corak khas mengenai kehidupan dan berusaha
mencari fungsi dari unsur bumi dalam ruang dan waktu. Hasil semlok peningkatan
kualitas pengajaran geografi di Semarang tahun 1988 merumuskan, bahwa
geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena
geosfer dengan sudut pandang kewilayahan atau kelingkungan dalam konteks
keruangan. James mengemukakan geografi berkaitan dengan sistem keruangan,
Universitas Sumatera Utara
ruang yang menempati permukaan bumi. Geografi selalu berkaiatan dengan
hubungan timbal balik antara manusia dan habitatnya.
Berdasarkan telaah terhadap konsep tersebut bahwa geografi merupakan
studi yang mempelajari fenomena alam dan manusia dan keterkaitan keduanya di
permukaan bumi dengan menggunakan pendekatan keruangan, kelingkungan, dan
kompleks wilayah. Dalam pengertian itu beberapa aspek yang esensial, yaitu (1)
adanya hubungan timbal balik antara unsur alam dan manusia (reciprocal). (2)
Hubungan itu dapat bersifat interelatif, interaktif, dan intergratif sesuai dengan
konteksnya. (3) cara memadang hubungan itu berisifat keruangan.
Dalam kata yang lain, Geografi mempelajari penyebaran keruangan dari
sesuatu (bahasa, kegiatan ekonomi, pencemaran, rote transportasi, tanah, iklim,
dan dan fenomena lainnya) untuk menemukan mengapa fenomena itu menyebar
sebagaimana adanya. Geografi selanjutnya mencoba untuk menggambarkan
terjadinya distribusi itu, dan dengan pemahaman itu dapat mengusulkan
pemecahan masalah yang terjadi (Wangsajaya, 2010) .
2.9 Pengertian Geografi lingkungan
Keberadaan geografi lingkungan tak terlepas dari masalah lingkungan,
khsususnya hubungan antara pertumbuhan penduduk, konsumsi sumberdaya, dan
peningkatan intensitas masalah akibat ekploitasi sumberdaya yang berlebihan.
Geografi lingkungan dapat memberikan kombinasi yang kuat perangkat
konseptual untuk memahami masalah lingkungan yang kompleks. Geografi
lingkungan cenderung pada geografi manusia atau intergrasi geografi manusia dan
fisik dalam memahami perubahan lingkungan global. Geografi lingkungan
Universitas Sumatera Utara
menggunakan pendekatan holistik. Geografi lingkungan melibatkan beberapa
aspek hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan. Untuk memahami
masalah-masalah lingkungan tidak mungkin tanpa pemahaman proses ekonomi,
budaya, demografi yang mengarah pada konsumsi sumberdaya yang meningkat
dan generasi yang merosot (Wangsajaya, 2010).
Arjana (2013) mengatakan Geografi lingkungan merupakan unsur dalam
disiplin geografi yang fokus mengkaji lingkungan fisikal dan lingkungan sosial
suatu wilayah secara spesifik dan komprehensif. Adapun lingkungan fisikal atau
fisiogeografis dibentuk oleh unsur-unsur fisikal bumi yang bersifat benda atau
materi, wujudnya adalah ruang dan berbagai benda atau materi yang
mengitarinya.Wujud benda adalah air, tanah, atau lahan, topografi, bukit, gunung.
Air dalam hal ini bisa kolam, danau, sungai, maupun samudera. Benda dalam
bentuk udara atau angin serta suhu wujudnya adalah panas dingin sejuk.
Lingkungan sosial dibentuk oleh komponen utama yaitu penduduk atau populasi,
komunitas, organisasi, seni dan budaya. Lingkungan sosial hakikatnya dibentuk
oleh lingkungan fisik.lingkungan fisikal yang paling berpengaruh seperti iklim,
musim, topografi, vegetasi.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4: Bagan Lingkungan Pada Permukaan Bumi (Hartono, 2007)
Geografi lingkungan dikemukakan oleh Bintarto dan Hadisumarno (1987)
dalam buku Metode Analisa Geografi yang membahas metode pendekatan dalam
geografi dalam uraiannya mengadaptasi struktur lingkungan yang dikemukakan
William Kirk sebagai berikut “ bahwa geografi lingkungan membahas lingkungan
secara spesifik, seperti lingkungan pantai, lingkungan gunung api, lingkungan
karst dan lain-lain. Merupakan kemustahilan jika mempelajari atau mengkaji
lingkungan tanpa memahami bumi yang dibentuk oleh litosfer, hidrosfer, biosfer,
atmosfer. Mempelajari lingkungan secara baik , mulailah pelajari bumi sebagai
dasar untuk dapat masuk pada komponen lainnya dari lingkungan hidup manusia.
Isu-isu lingkungan spesifik suatu wilayah dikaji berdasarkan pendekatan geografi
(Arjana, 2013).
Pendekatan Ekologi (Kelingkungan), adalah pendekatan dalam mengkaji
fenomena geosfer yang terkhusus kepada interaksi antara organisme hidup dan
lingkungannya, termasuk pada organisme hidup yang lain. Dalam organisme
hidup, manusia menjadi satu komponen penting dalam proses interaksi. Oleh
Universitas Sumatera Utara
karena itu, muncul istilah ekologi manusia (huAman ecologi) yang mempelajari
interaksi antar manusia serta antara manusia dengan lingkungannya. Aktivitas
manusia erat kaitannya dengan interaksi dalam ruang khususnya terhadap
lingkungannya dengan berbagai tahapan antara lain sebagai berikut.
•
Manusia bergantung terhadap alam (Fisis Determinisme). Manusia yang
belum
memiliki
kebudayaan
yang
cukup
sehingga
memerlukan
pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang dipenuhi dari pada di alam dan
lingkungannya (hanya sebagai pengguna alam). Sehingga alam tidak
menyediakan kebutuhannya yang akan pindah atau mungkin akan punah
(kehidupan jaman purba).
•
Manusia dan alam saling mempengaruhi. Manusia memanfaatkan alam
yang berlebihan dan tidak memperhatikan kemampuan alamnya, sehingga
lingkungan alam rusak dan berakibat juga pengaruhnya terhadap manusia.
Manusia telah mampu mengurangi ketergantungan dari alam tetapi
manusia juga membutuhkan alam.
•
Manusia Menguasai Alam. Dengan berkembangnya ilmu, kemampuan,
dan budayanya, manusia dapat memanfaatkan alam sebesar-besarnya
(Wangsajaya, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.10 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan landasan teori di atas, maka dapat dirumuskan kerangka
pemikiran sebagai berikut:
Kawasan Mangrove
Kuala Langsa
Partisipasi pemuda
Geografi Lingkungan
:
1. Perencanaan
Lingkungan Fisik
1. Topologi
a. Letak
b. Luas
c. Bentuk dan batas
2. Non biotik
a. Tanah
b. Air
c. Iklim
3. Biotik
a. Manusia
b. Hewan
c. Tumbuhan
2. Pelaksanaan
3. Pemanfaatan/
pemeliharaan
4. Evaluasi
Lingkungan non fisik : Ekonomi ,
sosial, budaya , politik
Pengembangan Ekowisata
Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Download