BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian partisipasi pemuda dalam pengembangan ekowisata mangrove, berikut ini beberapa hasil rangkumannya: Majid (2014) “Studi Potensi Ekowisata Mangrove Di kuala Langsa Provinsi Aceh” kesesuaian ekologis untuk kegiatan ekowisata dikatagorikan sesuai bersyarat. Kategori sesuai bersyarat menunjukkan bahwa untuk menjadikan lokasi ini sebagai lokasi ekowisata, diperlukan upaya perlindungan dan pengelolaan terlebih dahulu sebelum dijadikan sebagai kawasan ekowisata. Perlindungan terhadap keseimbangan ekosistem mangrove penting dilakukan untuk mencegah terjadi biodegradasi mangrove yang menyebabkan terjadinya kerusakan alami. Apabila dilihat dari analisis SWOT, kawasan mangrove Kuala Langsa berada pada Kuadran II berarti kawasan wisata tersebut berada pada situasi yang menguntungkan tetapi memiliki tantangan dalam pengembangannya karena dari segi internalnya kawasan mangrove Kuala Langsa memiliki nilai positif, segi eksternalnya memiliki nilai negatif. Strategi yang dapat dilakukan adalah diversifikasi strategi. Rosida (2014) tentang “Partisipasi Pemuda dalam Pengembangan Kawasan Ekowisata dan Implikasinya terhadap Ketahanan Masyarakat Desa” menyimpulkan bahwa partisipasi pemuda di Desa Nglanggeran dalam mengembangkan potensi Desa Gunung Api Purba Nglanggeran menjadi kawasan ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran dapat dikatakan aktif. Namun, keaktifan partisipasi tersebut masih belum merata pada seluruh pemuda, hanya Universitas Sumatera Utara pada sebagian kelompok saja. Meskipun demikian, pemuda yang telah aktif berpartisipasi membangun desa dengan mengembangkan kawasan ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran dan tergabung sebagai pengelola, telah berhasil mengangkat citra desa pada tingkat Kabupaten, Provinsi, Nasional bahkan Internasional. Adapun bentuk partisipasi yang diberikan beraneka ragam dan dipengaruhi oleh berbagai faktor pendorong. Kesemua bentuk partisipasi tersebut disatukan dalam program pengembangan kawasan ekowisata yang terlaksana menjadi paket wisata hingga saat ini. Gigih (2010) tentang “Partisipasi Pemuda dalam Pengembangan Agrowisata di Desa Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar”, menyimpulkan bahwa pada sebagian besar program pengembangan pariwisata di desa Berjo, pemuda desa Berjo belum diikutsertakan dalam tahap perencanaan program dan evaluasi serta pengawasan pelaksanaan program pengembangan pariwisata tersebut. Secara umum partisipasi yang dilakukan pemuda di Desa Berjo masih bersifat semu, sebab mereka belum sepenuhnya ikut serta dalam setiap tahap kegiatan partisipasi. Di samping itu, beberapa pemuda di Desa Berjo mampu membuktikan bahwa mereka benar-benar mampu dengan menunjukkan kemandiriannya tanpa tergantung dengan pihak-pihak lain, pemuda mampu menentukan partisipasi mereka dalam pengembangan pariwisata yaitu dengan merintis sektor agrowisata, salah satunya melalui usaha pengembangbiakan benih tanaman hortikultura yang dapat meningkatkan daya tarik wisata. Hasil penelitian tesis Naruddin (2007) Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Potensi Wisata Bahari Pantai Cermin Kabupaten Serdang Berdagai menyimpulkan bahwa kepedulian masyarakat untuk menjaga dan Universitas Sumatera Utara terlibat dalam usaha jasa pariwisata, maka hal tersebut sudah bisa dianggap telah berpartisipasi. Sesuai dengan tujuan dari pariwisata yaitu menciptakan kondisi yang kondusif, atau dengan kata lain bahwa partisipasi masyarakat dalam pengembangan wisata bahari Serdang Bedagai memang sangat dilibatkan. Selain itu penelitian ini juga menyimpulkan bahwa potensi bahari Serdang Bedagai merupakan asset yang luar biasa terhadap pembangunan kabupaten, khususnya dalam pengembangan pariwisata bahari yang telah memang telah diatur dalam perda No 12 tahun 2006 tentang pengelolaan pulau Berhala Serdang Bedagai sebagai kawasan Eco Marine Tourism (wisata bahari berbasis lingkungan). 2.2.Pengertian Pemuda Sejarah mengenai perkembangan pemuda telah ada sejak dulu, sebagaimana Tilaar dalam Abdullah (1974) menjelaskan, pada pemikiran klasik melalui tinjauan pedagogis dan psikologis pemuda, pemuda dianggap sebagai kelompok yang terbuang atau tersingkirkan dari kelompok manusia yang “normal”. Tinjauan pedagogis dan psikologis klasik mengidentifikasi pemuda dengan berbagai pemikiran negatif yang berakibat pada ketidakberdayaan pemuda dalam mengaktualisasikan perannya. Meskipun demikian, pemuda adalah penerus generasi tua. Maka, sejak dini harusnya pemuda mempersiapkan diri dan memulai aksi nyata yang positif serta ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Pemikiran klasik tersebut masih terlihat hingga saat ini, secara sosio struktural hubungan antar generasi (tua dan muda) sering dipandang tidak setara. Secara umum, pemuda merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan agar mampu berkontribusi terhadap Universitas Sumatera Utara pembanguan. Pemuda merupakan agen penting dalam pembangunan, maka pembinaan pemuda adalah satu hal terpenting untuk terus dilakukan secara berkesinambungan. Menurut Undang-Undang nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan, pemuda didefinisikan sebagai warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kemenpora RI tahun 2010, jumlah pemuda Indonesia (penduduk berusia 16-30 tahun) sekitar 57,81 juta jiwa atau 25,04 persen dari penduduk Indonesia yang berjumlah 230,87 juta jiwa. Persentase pemuda paling kecil dibandingkan penduduk usia di bawah 16 tahun (30,88 persen) serta penduduk di atas 30 tahun (44,08 persen). Jumlah pemuda mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2007 (57,17 juta orang) dan 2008 (56,73 juta orang). Sebagai pemuda, dalam interaksi sosial di masyarakat mereka dituntut untuk mampu mengembangkan potensi yang dimiliki. Pemuda hendaknya berpikir kreatif dan inovatif untuk masa depan bangsa serta ikut berpartisipasi dalam organisasi masyarakat. Masyarakat sudah seharusnya dijadikan sebagai ladang pengabdian bagi mereka untuk beraktualisasi dan mengembangkan potensi dasar serta berproses menjadi individu dewasa. Sejarah pembangunan, beberapa gelar juga disandingkan kepada para pemuda negeri ini, yang sering disebut pemuda sebagai agent (tokoh sentral), seperti agent of change (agen perubahan), agent check of balance (agen pengontrol keseimbangan), dan agent of control social (agen pengontrol sosial). Gelar itu diberikan karena pemuda dinilai memiliki jiwa dan sikap mental yang Universitas Sumatera Utara diharapkan akan menciptakan sebuah iklim perubahan ke arah yang lebih baik, memiliki kemampuan sosialisasi di tengah kehidupan masyarakat, mampu memecahakan polemik sosial, mampu mengontrol dan mengawasi kinerja pemerintahan, mampu menjadi corong aspirasi masyarakat, dan mampu berpartisipasi dalam pembangunan. 2.3. Partisipasi Untuk memahami secara mendalam pengertian tentang partisipasi, berikut ini beberapa rangkuman pendapat para ahli dalam Maridjan (2010), di antaranya: 1. Partisipasi adalah suatu kontribusi suka rela dari masyarakat terhadap program pemerintah yang dapat menunjang pembangunan nasional tanpa turut serta dalam pembuatan program itu sendiri atau mengeritik tentang isinya (Community Development Journal, 1973) 2. Partisipasi dalam arti yang luas adalah upaya menyadarkan masyarakat dan meningkatkan kepekaan dan kemampuan untuk memberikan respons terhadap program pembangunan dan juga mendorong prakarsa setempat (Lele, 1974). 3. Partisipasi dalam keterlibatan secara aktif dalam pengambilan keputusan sejauh hal-hal yang berkaitan dengan mereka (Uphoff dan Conen, 1979). 4. Partisipasi meliputi keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan program, mengambil bagian dalam hasilnya serta terlibat dalam evaluasi program tersebut (Lisk, 1981). 5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat yang berhak dan wajib ikut serta dalam memecahkan masalah, lebih bertanggung jawab dalam memperoleh kebutuhan, mengerahkan sumber-sumber daya lokal dan mengusulkan Universitas Sumatera Utara pemecahan masalah baru, juga menciptakan dan mempertahankan organisasi setempat (WHO, 1982). 6. Partisipasi adalah suatu proses aktif, artinya bahwa orang atau kelompok yang bersangkutan mengambil prakarsa dan memastikan kewenangannya (otonomi) untuk melakukan hal tersebut (Rahman, 1982). 7. Partisipasi adalah upaya yang terorganisasi untuk menguasai (mengendalikan) sumber-sumber daya dan kelembagaan yang mengatur di dalam situasi sosial tertentu, bagi kelompok atau gerakan mereka yang selama ini tersisihkan dari penguasaan/pengendalian tersebut (Pearse dan Stiefel, 1982). Pengertian lain, partisipasi juga diartikan sebagai kegiatan keikutsertaan seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan. Keikutsertaan tersebut dilakukan sebagai akibat dari terjadinya interkasi sosial antara individu yang bersangkutan dengan anggota masyarakat yang lain (Budi, 2014). Beal dalam Budi (2014), menyatakan bahwa partisipasi, khususnya partisipasi yang tumbuh karena pengaruh atau karena tumbuh adanya rangsangan dari luar, merupakan gejala yang dapat diindikasikan sebagai proses perubahan sosial. Dalam konteks pemerintahan, partisipasi masyarakat adalah berbagai orang seorang, kelompok atau badan hukum yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat (UU nomor 24 tahun 1992). Dalam kegiatan pembangunan, partisipasi masyarakat merupakan perwujudan dari kesadaran dan kepedulian serta tanggung jawab masyarakat terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu hidup mereka. Artinya, melalui partisipasi yang diberikan, berarti benar-benar Universitas Sumatera Utara menyadari bahwa kegiatan pembangunan bukanlah sekedar kewajiban yang harus dilaksanakan oleh (aparat) pemerintah sendiri, tetapi juga menuntut keterlibatan masyarakat yang akan diperbaiki mutu hidupnya (Suciati, 2006). Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat menjadi input sekaligus output. Partisipasi masyarakat menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan pembangunan. Di sisi lain, dapat dikatakan bahwa pembangunan akan dinilai berhasil kalau dapat meningkatkan kapasitas masyarakat, termasuk dalam merangkul masyarakat untuk berpartisipasi. 2.4. Tingkatan Partisipasi Tingkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dipandang sebagai salah satu tolak ukur berhasilnya suatu pembangunan, serta merupakan pencerminan bahwa dalam pembangunan masyarakat lebih memberikan fokus perhatian pada aspek manusia dan masyarakat, bukan semata-mata pada fisik materil. Menurut Keith Davis dalam Suciati (2006) dikemukakan bahwa bentukbentuk dari partisipasi masyarakat adalah berupa; a) pikiran, b) tenaga, d) keahlian, e) barang dan f) uang. Bentuk partisipasi masyarakat ini dilakukan dalam berbagai cara, yaitu; a) konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa, b) sumbangan spontanitas berupa uang dan barang, c) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan dibiayai oleh masyarakat sendiri, e) sumbangan dalam bentuk kerja, f) aksi massa, g) mengadakan pembangunan di dalam keluarga dan h) membangun proyek masyarakat yang bersifat otonom. Menurut Ericson dalam Slamet (1993), bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan terbagi atas tiga tahap, yaitu: 1. Partisipasi di dalam tahap perencanaan (idea planning stage); Universitas Sumatera Utara Partisipasi pada tahap ini adalah pelibatan seseorang pada tahap penyusunan rencana dan strategi dalam penyusunan kepanitiaan dan anggaran pada suatu kegiatan. Masyarakat berpartisipasi dengan memberikan usulan, saran, dan kritikan melalui pertemuan-pertemuan yang diadakan. 2. Partisipasi dalam tahap pelaksanaan (implementation stage); Partisipasi pada tahap ini adalah pelibatan seseorang pada tahap pelaksanaan pekerjaan suatu kegiatan. Masyarakat disini dapat memberikan tenaga, material, ataupun barang dan uang serta ide-ide sebagai salah satu bentuk partisipasinya pada pekerjaan tersebut. 3. Partisipasi dalam pemanfaatan (utilitazion stage); Partisipasi pada tahap ini adalah pelibatan seseorang pada tahap pemanfaatan suatu kegiatan setelah selesai dikerjakan. Partisipasi masyarakat pada tahap ini berupa tenaga dan uang untuk mengoperasikan dan memelihara proyek yang telah dibangun. Mahalli (2010) menjelaskan bentuk partisipasi masyarakat dapat dikategorikan dalam beberapa tahap, yaitu: tahap perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat, dan evaluasi. Supaya lebih jelas penjelasan tentang tahaptahap partisipasi masyarakat, berikut skemanya: Tahap-Tahap Partisipasi Masyarakat PERENCANAAN PELAKSANAAN MANFAAT EVALUASI Gambar 2.1 Tahap-Tahap Partisipasi Masyarakat (Mahalli, 2010) Universitas Sumatera Utara Dussedorp dalam Slamet (1993) mengemukakan bahwa bentuk partisipasi didasarkan pada sembilan hal yaitu; derajat kesukarelaan, cara keterlibatan, keterlibatan dalam proses pembangunan terencana, tingkatan organisasi, intensitas frekuensi kegiatan, lingkup liputan kegiatan, efektifitas, pihak yang terlibat dan gaya partisipasi. Untuk mengukur skala partisipasi masyarakat dapat diketahui dari kriteria penilaian tingkat partisipasi untuk setiap individu (anggota kelompok) yang diberikan oleh Chapin dalam Slamet (1993) sebagai berikut: 1. Keanggotaan dalam organisasi atau lembaga tersebut; 2. Frekuensi kehadiran (attendence) dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan; 3. Sumbangan/iuran yang diberikan; 4. Keanggotaan dalam kepengurusan; 5. Kegiatan yang diikuti dalam tahap program yang direncanakan; 6. Keaktifan dalam diskusi pada setiap pertemuan yang diadakan. Dussedorp dalam Slamet (1993) mengidentifikasi beragam bentuk-bentuk kegiatan partisipasi yang dilakukan oleh setiap warga masyarakat, antara lain: 1. Menjadi anggota kelompok-kelompok masyarakat 2. Melibatkan diri pada kegiatan diskusi kelompok 3. Melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan organisasi untuk mengerakkan partisipasi masyarakat yang lain. 4. Menggerakkan sumberdaya masyarakat 5. Mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan 6. Memanfaatkan hasil-hasil yang dicapai dari kegiatan masyarakatnya. Universitas Sumatera Utara Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat terdiri dari faktor dari dalam masyarakat (internal) dan faktor dari luar masyarakat (eksternal). Faktor internal yaitu kemampuan dan kesedian masyarakat untuk berpartisipasi, sedangkan faktor eksternal yaitu peran aparat dalam lembaga formal yang ada. Terdapat dua kategori tingkatan partisipasi masyarakat. Pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka menrefleksikan tindakan tersebut sebagai subjek yang sadar (Nasdian, 2014). Mahalli (2010) menjelaskan bahwa dimensi partisipasi dapat dilihat dari bentuk partisipasi yang diharapkan (apa), (siapa) yang berpartisipasi, dan (bagaimana) cara berpartisipasi tersebut berlangsung. Seperti yang terlihat di gambar 2.2 Dimensi Partisipasi Masyarakat DIMENSI PARTISIPASI MASYARAKAT APA 1. Pengambilan Keputusan (Desicion Making) 2. Implementasi (Implementation) 3. Manfaat (Benefit) 4. Evaluasi (Evaluation) SIAPA BAGAIMANA 1. Penduduk Setempat (Local Residence) 2. Pemimpin Setempat (Local Leaders) 3. Pengawas Pemerintah (Goverment Person) 4. Petugas Asing (Foreign Personal) 1. Dasar partisipasi (Basic Participation) 2. Bentuk Partisipasi (Form of participation) 3. Lingkup partisipasi (Extent of Participation) 4. Akibat Partisipasi (Effect of Participatrion) Gambar 2.2 Dimensi Partisipasi Masyarakat (Mahalli, 2010) Universitas Sumatera Utara Dalam tahap pembangunan infrastruktur, Pranoto dalam Adisasmita (2006) menguraikan partisipasi masyarakat sebagai berikut: 1. Survey dan investigasi, memberi informasi lokasi dan kondisi; 2. Perencanaan, persetujuan, kesepakatan, mempelancar proses; 3. Pembebasan tanah, memberi kemudahan, mempelancar proses; 4. Pembangunan, membantu pengawasan dan terlibat dalam pelaksanaan; 5. Operasi dan pemeliharaan, terlibat dalam pelaksanaan, ikut memelihara dan melaporkan jika ada kerusakan; 6. Monitoring dan evaluasi, memberikan data yang nyata di lapangan tentang dampak yang terjadi pasca pembangunan. Menurut Agussabti (2010), partisipasi dapat dibedakan menurut bentuk dan sifatnya, yaitu: 1. Bentuk partisipasi mendukung atau positif dan bentuk partisipasi menolak atau negatif; 2. Berdasarkan sifatnya partisipasi mandiri/otonom dan partisipasi bersifat dikerahkan/dimobilisasi. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat diambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan serta keterlibatan masyarakat di dalam suatu proses kegiatan. 2.5. Konsep Partisipasi Pemuda Partisipasi pemuda merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam parisipasi masyarakat secara umum. Artinya dalam pembahasan partisipasi masyarakat mengandung unsur partisipasi pemuda secara khusus. Dengan Universitas Sumatera Utara demikian, dalam pembahasan ini kajian tentang partisipasi pemuda menjadi bagian tidak terpisahkan dengan kajian partispasi masyarakat. Terkait partisipasi masyarakat, dalam hal ini pemuda, berdasarkan Undang-Undang nomor 25 tahun 2004, menjelaskan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional salah satunya bertujuan untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Selanjutnya tentang partisipasi masyarakat disebutkan pula pada pasal 5, 6, dan 7 Undang-undang yang sama. Dalam Undang-undang ini pembangunan merupakan kombinasi antara pendekatan top-down dan bottom-up yang menekankan pada cara-cara aspiratif dan partisipatif. Selain UU nomor 25 tahun 2004, terdapat juga peraturan perundang-undangan lain yang menekankan perlunya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan yaitu UndangUndang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Kelompok yang berpartisipasi dalam pengembangan masyarakat dan pembangunan perlu diorganisasikan menurut kepentingan masing-masing. Kepada anggota kelompok, baik secara individual ataupun kelompok, akan diserahkan tugas-tugas sesuai dengan keperluan pengembangan dan pembangunan. Pengorganisasian anggota kelompok penting, karena partisipasi anggota kelompok dalam kegiatan pengembangan dan pembangunan perlu diarahkan dalam tahap-tahap kegiatan; tahap identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi (Nasdian, 2014). Universitas Sumatera Utara Dalam proses pembangunan partisipatif, terkesan sering terjadi pengistimewaan salah satu pihak. Pemuda sering menjadi pihak yang lebih terbatasi geraknya dalam proses pembangunan yang melibatkan kedua kelompok tersebut, disebabkan karena adanya stereotype bahwa masyarakat golongan tua dianggap lebih unggul dibandingkan dengan kalangan muda, sehingga pelibatan pemuda hanya digunakan sebagai pelengkap untuk melaksanakan program terkait. Disisi lain, pemuda dianggap lebih tangguh dan lebih berenergi dibandingkan golongan tua, sehingga peran-peran khusus yang dilakukan pemuda tidak mendapatkan perhatian kalangan tua. Ketimpangan peran sedemikian sering terjadi dalam sebuah proses partisipasi pembangunan. Idealnya golongan pemuda dan golongan tua harusnya bersinergi dan bahu membahu dalam partisipasi pembangunan. Di Indonesia, strategi meningkatkan partisipasi pemuda dalam pembangunan telah diusung oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga melalui program Pengarusutamaan Pemuda (Youth Mainstreaming). Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan peran serta pemuda dalam seluruh aspek kehidupan manusia dan memperhatikan serta melibatkan pemuda ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Lebih jauhnya, strategi pengarusutamaan (peranserta) pemuda menuntut komitmen setiap pihak untuk memprioritaskan pembangunan kepemudaan dalam setiap proses pembangunan yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai kepada monitoring dan evaluasi, yang dilakukan secara koordinatif, sinergi, dan harmonis. (Kemenpora RI, 2010). Universitas Sumatera Utara Menurut United Nation Economic and Social Council dalam ECOSOC Agreed Conclusions 1997/2 dalam Sitti (2014), pengarusutamaan pemuda (youth mainstreaming) didefinisikan sebagai “Proses penilaian besarnya pengaruh (terhadap pemuda) dari tindakan yang telah direncanakan, termasuk pembuatan undang-undang, kebijakan atau program, dalam semua bidang dan pada semua tingkatan”. Termasuk di dalamnya strategi agar kepedulian dan pengalamanpengalaman tentang kepemudaan dijadikan sebagai sebuah dimensi integral dalam melakukan desain, implementasi, monitoring dan evaluasi terhadap kebijakan dan program dalam segala bidang, seperti politik, ekonomi dan sosial, agar pemuda memperoleh keuntungan dan manfaat yang setara. Menurut Sitti (2014), istilah pengarusutamaan mencakup semua kegiatan dan proses komunikasi yang bertujuan untuk melembagakan (institusionalisasi) norma-norma, konsep, panduan dan gambaran baru dalam rangka mengenalkan dan menguatkan rutinitas, prosedur dan ritual baru dalam organisasi. Dengan demikian, partisipasi pemuda merupakan sub-kegiatan dari manajemen perubahan. Tujuan dari pengarusutamaan adalah perubahan paradigma, yang dilakukan melalui tiga pendekatan parallel; komunikasi (bridging), penamaan identitas (branding), dan pembelajaran (boosting). Menurut Robert Geyer dalam Sitti (2014), terdapat prinsip partisipasi pemuda yang melibatkan tiga elemen administratif pokok, yaitu: 1. Adanya komitmen untuk membuka seluruh pintu kebijakan agar mengarah pada area kebijakan yang diarusutamakan. 2. Adanya sistem yang dapat mengevaluasi dampak dari kebijakan yang diarusutamakan. Universitas Sumatera Utara 3. Adanya strategi untuk memaksa/mendorong pelaku administratif agar memberi perhatian dan mengimplementasikan kebijakan yang diarusutamakan. Di Indonesia, kebijakan partisipasi dikenal dalam rangka memperkuat sinergi antarbidang dalam pembangunan. Pada dasarnya, pembangunan di setiap bidang untuk mencapai keberhasilan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan pembangunan di bidang lainnya. Dengan pembiayaan yang terbatas, untuk mencapai efektifitas, efisiensi dan hasil yang maksimal dalam mencapai sasaran pembangunan, harus dilakukan sinkronisasi pembangunan di setiap bidang sehingga kegiatan di setiap bidang saling terpadu, mendukung dan saling memperkuat. Setiap kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian yang melaksanakan pembangunan di setiap bidang harus memiliki komitmen yang kuat untuk mencapai sinergi tersebut melalui proses komunikasi, konsultasi, koordinasi serta monitoring, dan evaluasi dengan pemangku kepentingan terkait di pusat dan daerah dan mengedepankan keberhasilan bersama dalam pencapaian sasaran pembangunan (Bappenas, 2010). Menurut Bappenas (2010), pengarusutamaan dilakukan dengan cara yang terstruktur dengan kriteria sebagai berikut: (1) pengarusutamaan bukanlah merupakan upaya yang terpisah dari kegiatan pembangunan sektoral; (2) pengarusutamaan tidak mengimplikasikan adanya tambahan pendanaan (investasi) yang signifikan; dan (3) pengarusutamaan dilakukan pada semua sektor terkait namun diprioritaskan pada sektor penting yang terkait langsung dengan isu-isu pengarustamaan. Dalam hubungannya dengan pembangunan kepemudaan, strategi pengarusutamaan pemuda menuntut adanya komitmen pelaku kebijakan agar mau Universitas Sumatera Utara menjadikan isu dan pelibatan pemuda sebagai bagian penting dalam menunjang pembangunan partisipatif. Dengan kata lain pemerintah harus memastikan bahwa perspektif kepemudaan dapat terintegrasi dalam setiap paket kebijakan dan program pada segala bidang. Caranya bisa dengan membangun mekanisme yang mendukung keterlibatan pemuda, baik laki-laki maupun perempuan, dan memastikan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan maupun program yang berdampak terhadap mereka. Hal lainnya yang tidak kalah penting adalah munculnya kebijakan-kebijakan, program maupun kegiatan yang ditujukan untuk mempersempit kesenjangan yang ada selama ini pada bidangbidang tertentu dalam hal pemberdayaan pemuda. Dalam kegiatan evaluasi, pemuda sebagai pelaku sekaligus penerima manfaat program juga harus diikutsertakan. Pelibatan pemuda mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai kepada evaluasi kegiatan merupakan satu kesatuan dalam rangkaian kegiatan, di mana hal ini akan meningkatkan rasa memiliki (ownership) terhadap kegiatan serta dapat meningkatkan kemampuan manajemen mereka. Sistem evaluasi yang melibatkan stakeholder (pemuda) memiliki beberapa keuntungan, yaitu mendorong tumbuhnya rasa kepemilikan yang lebih besar dan tanggungjawab terhadap kegiatan, informasi dan data yang diperoleh bisa lebih akurat, berkembangnya keterampilan, wawasan dan pengetahuan peserta tentang proses evaluasi, pengumpulan data serta interpretasinya, munculnya pengetahuan-pengetahuan lokal yang tidak tergali sebelumnya, dan pembiayaan yang lebih efektif karena hasil yang diperoleh lebih akurat dan maksimal. Universitas Sumatera Utara 2.6. Pengertian Manggrove Ekosistem mangrove sangat penting yaitu berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dan perubahan lingkungan utama dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota baru. Harahab dalam Majid (2014) menyebutkan hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis dan merupakan komunitas yang hidup di dalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta dipengaruhi oleh pasang surut air laut.Mangrove disebut juga sebagai hutan pantai, hutan payau atau hutan bakau. Pengertian mangrove sebagai hutan pantai adalah pohon-pohonan yang tumbuh di daerah pantai (pesisir), baik daerah yang dipengaruhi pasang surut air laut maupun wilayah daratan pantai yang dipengaruhi oleh ekosistem pesisir. Menurut Kustanti (2011), sebagian mangrove dijumpai di sepanjang pantai terlindung yang berlumpur, bebas dari angin yang kencang dan arus (misalnya di mulut muara sungai besar). Mangrove juga dapat tumbuh di atas pantai berpasir dan berkarang, dan di pulau-pulau kecil. Sementara itu, air payau bukanlah hal yang pokok bagi pertumbuhan mangrove, karena mereka juga dapat tumbuh dengan subur jika terdapat persediaan endapan yang baik pada air tawar yang melimpah. 2.6.1. Fungsi dan Manfaat Manggrove Bengen dalam Silaen (2013) menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki fungsi antara lain : (1) sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak, arus dan angin, (2) sebagai tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak dan daerah asuhan berbagai jenis biota (3) sebagai penghasil bahan organik yang sangat produktif (detritus), (4) sebagai sumber bahan baku industri bahan bakar, (5) pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya, serta (6) tempat pariwisata Universitas Sumatera Utara Menurut Wibisono dalam Majid (2014) secara ekologis ekosistem mangrove mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, diantaranya: a. Sebagai penahan erosi dan abrasi pantai akibat hempasan ombak. b. Merupakan tempat ideal untuk perlindungan dan pembesaran (nursery ground) dari berbagai jenis larva udang dan ikan. c. Sebagai cadangan sumber alam (bahan mentah) untuk dapat diolah menjadi komoditi perdagangan. Kegunaan hutan mangrove yang dapat diberikan terhadap kehidupan manusia dibedakan berdasarkan tingkatan ekosistem, yaitu berdasarkan tingkat ekosistem secara keseluruhan dan berdasarkan tingkat ekosistem sebagai primarybiotic component. Hutan mangrove memiliki fungsi dan peranan seperti yang tertulis di dalam Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2008) yaitu : Pertama secara fisik sebagai penahan abrasi, penahan intrusi air laut, penahan angin, dan menurunkan kadar CO2. Kedua dari aspek biologi sebagai habitat bagi biota laut, sumber pakan organik bagi biota laut, dan habitat bagi satwa darat udara dan laut.Ketiga dari segi sosial dan ekonomi sebagai tempat kegiatan wisata alam, penghasil kayu, penghasil pangan dan obat-obatan, serta tempat mata pencaharian masyarakat lokal. Kusmana, dkk (2005), membagi manfaat hutan mangrove sebagai berikut: 1. Tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan a. Lahan tambak, lahan pertanian, dan kolam garam Lahan mangrove di beberapa daerah di Indonesia banyak dikonversi menjadi areal pertambakan tradisional udang dan bandeng, lahan pertanian padi dan holtikultura, dan pembuatan garam. Universitas Sumatera Utara b. Lahan pariwisata Potensi ekosistem hutan mangrove sebagai lahan pariwisata menawarkan keindahan alam dan hasil-hasil yang bisa diandalkan. Keindahan alam yang dapat dinikmati bagi wisata alam antara lain adalah terbit dan terbenamnya matahari, bentuk perakaran yang khas dari vegetasi hutan mangrove, buah mangrove yang bergelantungan pada pohon induknya, berbagai jenis flora dan fauna, atraksi adat istiadat masyarakat setempat -ngruwat laut- berkaitan dengan hutan mangrove, zonasi mangrove, dan lain sebagainya. Bentukbentuk wisata yang bisa dinikmati di hutan mangrove antara lain adalah memancing, fotografi, berperahu, pengamatan satwa afivauna, berjalan sepanjang track trail mangrove, pengamatan matahari terbit (sunrise) dan terbenam (sunset). 2. Tingkat komponen ekosistem sebagai Primary Biotic Component a. Flora mangrove Keberadaan flora mangrove dari vegetasi tumbuhan bawah sampai dengan pepohonan mempunyai manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat. Secara praktis, masyarakat sekitar hutan mangrove telah memanfaatkan tetumbuhan yang ada di hutan mangrove sebagai bahan makanan , kayu bangunan, kayu bakar dan obat-obatan b. Fauna mangrove Fauna yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri atas 5 kelas, yaitu mamalia, reptilia, aves, amphibi, dan pisces. Selain keindahan bentuk fisik fauna, dapat juga dinikmati keindahan suara dan keunikan habitatnya. Manfaat Universitas Sumatera Utara ekonomi yang langsung dapat dinikmati antara lain adalah: keberadaan ikan, kerang-kerangan, udang, dan kepiting, dan burung-burung. 2.6.2 Pengelolaan Hutan Mangrove Secara Berkelanjutan Kurangnya pemahaman tentang nilai dan manfaat mangrove sangat menentukan bentuk, strategi dan kegiatan dalam pengelolaan mangrove yang ada. Jikalau manfaat dan fungsi hutan mangrove dikategorikan secara umum pada dua bagian yaitu fungsi ekologis dan ekonomisnya maka sewajarnya pulalah pendekatan yang akan dilakkan dalam pengelolaannya ditarik dari kedua fungsi tersebut. Melihat keadaan yang ada saat ini terhadap hutan mangrove seharusnya upaya yang harus dilakukan disamping rehabilitasi ataupun pemulihan kembali terhadap hutan mangrove yang sudah rusak itu dilakukan, tentunya tidak kalah pentingnya diperlukan suatu strategi atas perlindungan untuk mengamankan mangrove itu dari segala bentuk gangguan yang akan terjadi. Pengelolaan ekosistem mangrove adalah untuk kepentingan manusia, maka faktor-faktor terkait kepentingan tersebut harus dipertimbangkan juga tidak hanya satu faktor saja, tetapi harus secara keseluruhan untuk menghindari gesekan kepentingan yang satu dan lainnya.Faktor-faktor penting tersebut adalah ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya (Kordi, 2012). Menurut Mahmud (2002) diacu oleh Harahab (2010) beberapa justifikasi untuk mengelola ekosistem mangrove secara berkelanjutan adalah: 1. Mangrove merupakan sumberdaya alam (SDA) yang dapat dipulihkan (renewable resources atau flow resources) yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis). Hutan mangrove merupakan penyedia berbagai keperluan hidup berbagai masyarakat lokal. Selain itu sesuai dengan Universitas Sumatera Utara perkembangan IPTEK, hutan mangrove menyediakan berbagai jenis sumberdaya sebagai bahan baku industri dan berbagai komoditas perdagangan yang bernilai ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa negara. 2. Mangrove mempunyai nilai produksi primer bersih (PBB) yang cukup tinggi, yakni biomassa (62,9-398,8 ton/ha), serasah (5,8-25,8 ton/ha/th) dan tiap volume (20 ton/ha/th, 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun). Besarnya nilai produksi primer ini cukup berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir itu sendiri. 3. Dalam skala internasional, regional, dan nasional, hutan mangrove luasnya relatif kecil bila dibandingkan, baik dengan luas daratan maupun luasan tipe hutan lainnya, padahal manfaatnya (ekonomis dan ekologis) sangat penting bagi kelangsungan kehidupan masyarakat (khususnya masyarakat pesisir), sedangkan di pihak lain ekosistem mangrove bersifat rentan (fragile) terhadap gangguan dan cukup sulit untuk merehabilitasi kerusakannya. 4. Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun biologis. 5. Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi yang saat ini sebagian besar manfaatnya belum diketahui. 2.7.Pengertian Ekowisata Mukhlison (2000) mengatakan bahwa Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Bahkan dalam strategi Universitas Sumatera Utara pengembangan ekowisata juga menggunakan startegi konservasi. Dengan demikian ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem diareal yang masih alami. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah di dalam pasal 1 butir 1 menyebutkan : ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggungjawab dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumberdaya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal. Kata ekowisata juga mengacu pada bentuk kegiatan wisata yang mendukung pelestarian. Ekowisata semakin berkembang tidak hanya sebagai konsep tapi juga sebagai produk wisata. Pada Gambar 2.3, diketahui bahwa segmen pasar di dalam ekowisata merupakan wisata berbasis alam.Pada gambar di atas memberikan penjelasan bahwa secara tidak langsung ekowisata juga mengenalkan budaya (wisata budaya), dan lingkungan tempat tinggal masyarakat lokal yang hidup di pedesaan (wisata rural). Gambar 2.3 Produk Ekowisata Dalam Pasar Wisata (Wood dalam Putra, 2014) Universitas Sumatera Utara 2.7.1. Prinsip dan Kriteria Di dalam Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan WWF Indonesia dalam Putra (2014), menyebutkan bahwa dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dan konservasi memiliki prinsip dan kriteria yang perlu diperhatikan yaitu “Keberlanjutan Ekowisata dari Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan”. Di dalam prinsip ini terkandung bahwa Ekowisata yang dikembangkan di kawasan konservasi adalah ekowisata yang hijau dan adil demi kepentingan pembangunan berkelanjutan dan konservasi, yang artinya ekowisata sebagai kegiatan usaha dengan tujuan untuk menyediakan alternatif ekonomi secara berkelanjutan bagi masyarakat lokal di kawasan yang dilindungi, sertadapat berbagi manfaat dari uptnjuaya konservasi dan mendukung kegiatan konservasi dengan meningkatkan kepedulian dan dukungan terhadap bentang lahan yang memiliki nilai biologis, ekologis dan nilai sejarah yang tinggi. Para pelaku dan pakar di bidang ekowisata sepakat untuk menekankan bahwa pola ekowisata harus mampu meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya lokal. Pola tersebut juga harus mampu meningkatkan nilai konservasi dan pendapatan ekonomi masyarakat lokal. Untuk mencapai tujuan tersebut maka adapun aspek kunci ekowisata yang perlu ditekankan sebagai berikut : 1. Jumlah pengunjung yang dibatasi atau diatur supaya sesuai dengan daya dukung lingkungan dan sosial budaya masyarakat. 2. Pola wisata ramah lingkungan. 3. Pola wisata ramah budaya dan adat setempat. 4. Membantu secara langsung perekonomian masyarakat lokal. Universitas Sumatera Utara Di dalam Mahdayani (2009) menyebutkan 5 butir prinsip dasar yang menjadi fungsi dari pengembangan kawasan ekowisata di Indonesia, antara lain : 1. Pelestarian Prinsip pelestarian pada ekowisata adalah kegiatan ekowisata yang dilakukan tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan dan budaya setempat. Salah satu cara menerapkan prinsip ini adalah dengan cara menggunakan sumber daya lokal yang hemat energi dan dikelola oleh masyarakat sekitar. 2. Pendidikan Kegiatan pariwisata yang dilakukan dengan memberikan unsur pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan pemberian informasi menarik seperti nama dan manfaat tumbuhan dan hewan yang ada disekitar kawasan ekowisata. 3. Pariwisata Pariwisata adalah aktivitas yang mengandung unsur kesenangan dengan berbagai motivasi wisatawan untuk mengunjungi suatu lokasi. Dengan demikian produk dan jasa pariwisata yang ada di daerah juga harus memberikan unsur kesenangan yang layak diterima oleh pasar. 4. Ekonomi Ekowisata juga membuka peluang ekonomi bagi masyarakat terlebih lagi apabila perjalanan wisata yang dilakukan menggunakan sumber daya lokal seperti transportasi, akomodasi dan jasa pemandu. 5. Partisipasi Masyarakat Setempat Universitas Sumatera Utara Partisipasi masyarakat akan timbul, ketika alam/budaya itu memberikan manfaat langsung/tidak langsung bagi masyarakat. Agar bisa memberikan manfaat maka alam/budaya tersebut harus dikelola dengan baik. 2.7.2. Pengembangan Ekowisata Pada prinsipnya, pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang aktivitasnya tetap memperhatikan keseimbangan alam, lingkungan, budaya dan ekonomi agar pariwisata tersebut terus berlanjut. Dengan kata lain, pengelolaannya haruslah dapat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi seluruh pihak terkait baik itu pemerintah, sektor swasta, serta masyarakat setempat (Mahdayani danRafiani, 2009). Pengembangan ekowisata pesisir dan laut harus mempertimbangkan dua aspek, yaitu aspek tujuan wisata dan aspek pasar. Pengembangan ekowisata menganut konsep produk atau pasar dan pengembangan produk wisata yang menjamin kelestarian sumberdaya alam dan budaya masyarakat pesisir dan laut. Pengembangan ekowisata pesisir dan laut lebih dekat kepada aspek pelestarian, karena didalamnya sudah terkandung aspek keberlanjutan. Pelestarian menjamin terwujudnya sumberdaya alam dan budaya masyarakat akan keberlanjutan pembangunan. Dalam pelaksanaanya, ekowisata pesisir dan laut hampir tidak dilakukan eksploitasi sumberdaya alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik, dan psikologis wisatawan (Tuwo, 2011) Menurut Satria, dalam Majid (2014) Pengembangan ekowista bahari yang hanya terfokus pada pengembangan wilayah pantai dan lautan sudah mulai tergeser, karena banyak hal lain yang bisa dikembangkan dari wisata bahari selain pantai dan laut. Salah satunya adalah konsep ekowisata bahari yang berbasis pada Universitas Sumatera Utara pemandangan dan keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karakteristik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masingmasing daerah. Selanjutnya kegiatan ekowisata lain yang juga dapat dikembangkan, antara lain: berperahu, berenang, snorkling, menyelam, memancing, kegiatan olahraga pantai dan piknik menikmati atmosfer laut (Satria, 2009) Menurut Springuel (2000) diacu oleh Wahyudi (2008) perencanaan ekowisata yang baik harus meliputi 4 (empat) hal, yaitu: a. Kerja sama antara pemerintah dengan lembaga non profit untuk melaksanakan pendidikan bagi masyarakat, pengawasan terhadap lingkungan yang sehat dari pengunjung serta penerapan dari perencanaan perlindungan habitat. b. Identifikasi daya dukung sosial dan daya dukung ekologi. c. Penetapan duta lingkungan yang bertujuan untuk mempromosikan sesuatu yang berhubungan dengan menjaga lingkungan seperti: “pergi tanpa sampah”. d. Inovasi dari pengusaha setempat agar pasar ekowisata semakin bertambah. 2.7.3. Kelayakan Pengembangan Ekowisata Mangrove Metode pengumpulan data dan informasi yang sering digunakan untuk keperluan analisis kondisi ekosistem mangrove adalah teknik survei.Survei kondisi ekosistem mangrove bertujuan untuk mendapatkan data dasar tentang kondisi sumberdaya mangrove, khususnya komponen tumbuhan atau flora dan satwa atau fauna mangrove. Teknik survei flora yang sering digunakan adalah analisis tumbuhan, sedangkan survei fauna adalah inventarisasi satwa, khususnya satwa berupa burung, primate, herbivorebesar (Tuwo, 2011). Universitas Sumatera Utara Kelayakan pengembangan ekowisata mangrove ditentukan berdasarkan analisis ekologi, sosial-ekonomi, dan faktor penunjang. Menurut Tuwo (2011) Kriteria ekologi mencakup keanekaragaman (kerapatan jenis, keragaman spesies, dan keberadaan fauna), keunikan, biota berbahaya, keaslian, karakteristik kawasan (substrat dan genangan pasang), dan konservasi.Kriteria sosial-ekonomi mencakup penerimaan masyarakat, kesehatan masyarakat, pendidikan, keamanan, dan tenaga kerja. Sedangkan kriteria faktor penunjang mencakup aksesbilitas dan air bersih. 2.8. Pengertian Geografi Sebelum mendefinisikan geografi lingkungan (environmental geography), sangat berguna untuk memandang terlebih dulu konsep geografi secara umum. Salah satu kesalahan konsep yang umum terjadi adalah memandang geografi sebagai studi yang sederhana tentang nama-nama suatu tempat. Implikasi dari pemahaman seperti itu menyebakan terjadinya reduksi terhadap hakekat geografi. Geografi menjadi pengetahuan untuk menghafalkan tempat-tempat dimuka bumi, sehingga bidang ini menjadi kurang bermakna untuk kehidupan. Geografi sering juga dipandanng identik dengan kartografi atau membuat peta (Hartono, 2007). Dalam prakteknya sering terjadi para geograf sangat trampil dalam membaca dan memahami peta, tetapi tidak tepat jika kegiatan membuat peta sebagai profesinya. Kata geografi berasal dari geo yang berarti bumi, dan graphein yaitu mencitra. Ungkapan itu pertama kali diungkapkan oleh Eratosthenes yang mengemukakan kata “geografika”. Kata itu berakar dari geo yaitu bumi dan graphika yaitu lukisan atau tulisan. Jadi kata geographika dalam bahasa Yunani, berarti lukisan tentang bumi atau tulisan tentang bumi. Bertahun-tahun manusia Universitas Sumatera Utara telah berusaha untuk mengenali lingkungan di permukaan bumi. Pengenalan itu diawali dengan mengunjungi tempat-tempat secara langsung di muka bumi, dan berikutnya menggunakan peralatan dan teknologi yang makin maju. Sejalan dengan pengenalan itu pemikiran manusia tentang lingkungan terus berkembang, pengertian geografi juga mengalami perubahan dan perkembangan. Pengertian geografi bukan sekedar tulisan tentang bumi, tetapi telah menjadi ilmu pengetahuan tersendiri disamping bidang ilmu pengetahuan lainnya. Geografi telah berkembang dari bentuk cerita tentang suatu wilayah dengan penduduknya menjadi bidang ilmu pengetahuan yang memiliki obyek studi, metode, prinsip, dan konsep-konsep sendiri sehingga mendapat tempat ditengah-tengah ilmu lainnya( Hartono, 2007). Wangsajaya (2010) Berkaitan dengan kemajuan, konsep geografi juga mengalami perkembangan. Ekblaw dan Mulkerne mengemukakan, bahwa geografi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari bumi dan kehidupannnya, mempengaruhi pandangan hidup kita, makanan yang kita konsumsi, pakaian yang kita gunakan, rumah yang kita huni dan tempat rekreasi yang kita nikmati. Bintarto (1977) mengemukakan, bahwa geografi adalah ilmu pengetahuan yang mencitra, menerangkan sifat bumi, menganalisis gejala alam dan penduduk serta mempelajari corak khas mengenai kehidupan dan berusaha mencari fungsi dari unsur bumi dalam ruang dan waktu. Hasil semlok peningkatan kualitas pengajaran geografi di Semarang tahun 1988 merumuskan, bahwa geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kewilayahan atau kelingkungan dalam konteks keruangan. James mengemukakan geografi berkaitan dengan sistem keruangan, Universitas Sumatera Utara ruang yang menempati permukaan bumi. Geografi selalu berkaiatan dengan hubungan timbal balik antara manusia dan habitatnya. Berdasarkan telaah terhadap konsep tersebut bahwa geografi merupakan studi yang mempelajari fenomena alam dan manusia dan keterkaitan keduanya di permukaan bumi dengan menggunakan pendekatan keruangan, kelingkungan, dan kompleks wilayah. Dalam pengertian itu beberapa aspek yang esensial, yaitu (1) adanya hubungan timbal balik antara unsur alam dan manusia (reciprocal). (2) Hubungan itu dapat bersifat interelatif, interaktif, dan intergratif sesuai dengan konteksnya. (3) cara memadang hubungan itu berisifat keruangan. Dalam kata yang lain, Geografi mempelajari penyebaran keruangan dari sesuatu (bahasa, kegiatan ekonomi, pencemaran, rote transportasi, tanah, iklim, dan dan fenomena lainnya) untuk menemukan mengapa fenomena itu menyebar sebagaimana adanya. Geografi selanjutnya mencoba untuk menggambarkan terjadinya distribusi itu, dan dengan pemahaman itu dapat mengusulkan pemecahan masalah yang terjadi (Wangsajaya, 2010) . 2.9 Pengertian Geografi lingkungan Keberadaan geografi lingkungan tak terlepas dari masalah lingkungan, khsususnya hubungan antara pertumbuhan penduduk, konsumsi sumberdaya, dan peningkatan intensitas masalah akibat ekploitasi sumberdaya yang berlebihan. Geografi lingkungan dapat memberikan kombinasi yang kuat perangkat konseptual untuk memahami masalah lingkungan yang kompleks. Geografi lingkungan cenderung pada geografi manusia atau intergrasi geografi manusia dan fisik dalam memahami perubahan lingkungan global. Geografi lingkungan Universitas Sumatera Utara menggunakan pendekatan holistik. Geografi lingkungan melibatkan beberapa aspek hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan. Untuk memahami masalah-masalah lingkungan tidak mungkin tanpa pemahaman proses ekonomi, budaya, demografi yang mengarah pada konsumsi sumberdaya yang meningkat dan generasi yang merosot (Wangsajaya, 2010). Arjana (2013) mengatakan Geografi lingkungan merupakan unsur dalam disiplin geografi yang fokus mengkaji lingkungan fisikal dan lingkungan sosial suatu wilayah secara spesifik dan komprehensif. Adapun lingkungan fisikal atau fisiogeografis dibentuk oleh unsur-unsur fisikal bumi yang bersifat benda atau materi, wujudnya adalah ruang dan berbagai benda atau materi yang mengitarinya.Wujud benda adalah air, tanah, atau lahan, topografi, bukit, gunung. Air dalam hal ini bisa kolam, danau, sungai, maupun samudera. Benda dalam bentuk udara atau angin serta suhu wujudnya adalah panas dingin sejuk. Lingkungan sosial dibentuk oleh komponen utama yaitu penduduk atau populasi, komunitas, organisasi, seni dan budaya. Lingkungan sosial hakikatnya dibentuk oleh lingkungan fisik.lingkungan fisikal yang paling berpengaruh seperti iklim, musim, topografi, vegetasi. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.4: Bagan Lingkungan Pada Permukaan Bumi (Hartono, 2007) Geografi lingkungan dikemukakan oleh Bintarto dan Hadisumarno (1987) dalam buku Metode Analisa Geografi yang membahas metode pendekatan dalam geografi dalam uraiannya mengadaptasi struktur lingkungan yang dikemukakan William Kirk sebagai berikut “ bahwa geografi lingkungan membahas lingkungan secara spesifik, seperti lingkungan pantai, lingkungan gunung api, lingkungan karst dan lain-lain. Merupakan kemustahilan jika mempelajari atau mengkaji lingkungan tanpa memahami bumi yang dibentuk oleh litosfer, hidrosfer, biosfer, atmosfer. Mempelajari lingkungan secara baik , mulailah pelajari bumi sebagai dasar untuk dapat masuk pada komponen lainnya dari lingkungan hidup manusia. Isu-isu lingkungan spesifik suatu wilayah dikaji berdasarkan pendekatan geografi (Arjana, 2013). Pendekatan Ekologi (Kelingkungan), adalah pendekatan dalam mengkaji fenomena geosfer yang terkhusus kepada interaksi antara organisme hidup dan lingkungannya, termasuk pada organisme hidup yang lain. Dalam organisme hidup, manusia menjadi satu komponen penting dalam proses interaksi. Oleh Universitas Sumatera Utara karena itu, muncul istilah ekologi manusia (huAman ecologi) yang mempelajari interaksi antar manusia serta antara manusia dengan lingkungannya. Aktivitas manusia erat kaitannya dengan interaksi dalam ruang khususnya terhadap lingkungannya dengan berbagai tahapan antara lain sebagai berikut. • Manusia bergantung terhadap alam (Fisis Determinisme). Manusia yang belum memiliki kebudayaan yang cukup sehingga memerlukan pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang dipenuhi dari pada di alam dan lingkungannya (hanya sebagai pengguna alam). Sehingga alam tidak menyediakan kebutuhannya yang akan pindah atau mungkin akan punah (kehidupan jaman purba). • Manusia dan alam saling mempengaruhi. Manusia memanfaatkan alam yang berlebihan dan tidak memperhatikan kemampuan alamnya, sehingga lingkungan alam rusak dan berakibat juga pengaruhnya terhadap manusia. Manusia telah mampu mengurangi ketergantungan dari alam tetapi manusia juga membutuhkan alam. • Manusia Menguasai Alam. Dengan berkembangnya ilmu, kemampuan, dan budayanya, manusia dapat memanfaatkan alam sebesar-besarnya (Wangsajaya, 2010). Universitas Sumatera Utara 2.10 Kerangka Pemikiran Berdasarkan landasan teori di atas, maka dapat dirumuskan kerangka pemikiran sebagai berikut: Kawasan Mangrove Kuala Langsa Partisipasi pemuda Geografi Lingkungan : 1. Perencanaan Lingkungan Fisik 1. Topologi a. Letak b. Luas c. Bentuk dan batas 2. Non biotik a. Tanah b. Air c. Iklim 3. Biotik a. Manusia b. Hewan c. Tumbuhan 2. Pelaksanaan 3. Pemanfaatan/ pemeliharaan 4. Evaluasi Lingkungan non fisik : Ekonomi , sosial, budaya , politik Pengembangan Ekowisata Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran Penelitian Universitas Sumatera Utara