Asas Keadilan dalam Pengaturan Pengelolaan Pertambangan di

advertisement
BAB II
KONSEP KEADILAN ATAS PENGUASAAN DAN PENGGUNAAN
KEKAYAAN ALAM
Konsep keadilan atas penguasaan dan penggunaan kekayaan alam.
Pada
dasarnya
manusia
menghendaki
keadilan,
manusia
memiliki
tanggungjawab besar terhadap hidupnya, karena hati nurani manusia
berfungsi sebagai index, ludex, dan vindex.1 Pembicaraan keadilan memiliki
cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai
pada keadilan sosial.
Konsep keadilan, bahkan konsep kepastian dan kebenaran akan selalu
berevolusi, oleh karena itu keadilan harus mampu melakukan interaksi
sirkular dengan perkembangan ilmu-ilmu lain, antara lain teologi, ideologi,
dan teknologi. Perkembangan keadilan di Barat misalnya, konsep keadilan
yang pada mulanya sifatnya mytologicaI, pada masa ini keadilan hanya
terdapat pada para dewa. Aristoteles dan Plato kemudian mengembangkan
konsep keadilan tersebut menjadi intelektual-rasional. Keadilan kemudian
dikaitkan dengan institusi dan kolektifitas kehidupan manusia.
Perubahan konsep keadilan dari waktu ke waktu lebih banyak terjadi
pada dataran operasional, sedangkan sifatnya selalu statis dan politis.
1
Sebagai index : menilai perbuatan yang akan datang. Sebagai ludex : menilai
perbuatan yang sedang dilakukan. Sebagai vindex : menilai perbuatan yang telah
berlangsung. Poedjawijatna, 1978, Pembimbing ke Alam FiIsafat, Pembangunan, Jakarta,
hal 12.
31
Keadilan berkaitan erat dengan pendistribusian hak dan kewajiban, hak yang
bersifat mendasar sebagai anugerah Ilahi sesuai dengan hak asasinya yaitu
hak yang dimiliki seseorang sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat. Dari
konsep perubahan dan dengan berpegang pada konsep "hak" kemudian
dikembangkan diferensiasi jenis keadilan. Tantangan utama dalam
pembentukan prinsip keadilan di zaman sekarang ini adalah bagaimana
mencari celah di antara benturan liberalisme dan sosialisme, terutama yang
menyangkut perkembangan ekonomi, sehingga keadilan menjadi erat
kaitannya dengan ekonomi. Selain itu, keadilan merupakan salah satu tujuan
sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Dalam hal inilah, maka keadilan
adalah kehendak yang ajeg atau tetap untuk memberikan kepada siapa pun
sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan tuntutan
jaman.
Pembahasan dalam Bab ini akan dilakukan dalam tiga tataran
analisis. Pertama, pada tataran konseptual dan filsafat penulis akan
menjelaskan konsep keadilan dari pandangan tradisional, pandangan modern,
pandangan tokoh bangsa Indonesia. Tata rakit antara konsep keadilan dengan
filsafat sebagai induk ilmu (mother of science) adalah untuk mencari jalan
keluar dari belenggu kehidupan secara rational dengan menggunakan hukum
yang berlaku untuk mencapai keadilan dalam hidupnya, oleh sebab itu
penulis akan menggali konsep keadilan berdasarkan pandangan-pandangan
32
tokoh-tokoh dan doktrin-doktrin hukum yang berkembang dalam Ilmu
Hukum. Kedua, pada tataran analitik dalam bab ini akan menjelaskan konsep
fungsi pemerintah, dalam hal ini berkaitan dengan fungsi pemerintah sebagai
pewujud keadilan sosial dalam masyarakatnya. Ketiga, pada tataran yuridis,
penulis akan menjelaskan konsep asas keadilan dalam materi muatan
peraturan perundang-undangan dan makna keadilan dalam penguasaan dan
penggunaan kekayaan alam menurut Pasal 33 UUD 1945.
A.
Konsep Keadilan
Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal
dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang
berbeda yaitu: (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair
(sinonimnya justness); (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan
hukum atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman
(sinonimnya judicature); dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak
menentukan persyaratan sebelum suatu perkara di bawa ke pengadilan
(sinonimnya judge, jurist, magistrate).2 Sedangkan kata “adil” dalam bahasa
Indonesia merupakan serapan dari bahasa Arab “al ‘adl” yang artinya
2
Muchamad Ali Safa’at, Pemikiran Keadilan (Plato, Aristoteles, dan John Rawls),
http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/12/keadilan.pdf, diakses pada tanggal 2 Maret 2012.
33
sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang
dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan.3
Dari pengertian keadilan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
keadilan adalah kehendak yang ajeg dan menetap untuk memberikan kepada
masing-masing bagiannya. Dalam bahasa Inggris terjemahannya berbunyi
“to give everbody his owm” atau memberikan kepada setiap orang yang
menjadi haknya. Inti dari pengertian tersebut bahwa memberikan masingmasing haknya dan tidak lebih, tapi juga tidak kurang daripada haknya.4
Pada bahasan konsep keadilan ini, penulis akan menguraikan konsep
keadilan dari pandangan tradisional, pandangan modern, pandangan tokoh
bangsa Indonesia dan berdasarkan pasal 33 UUD 1945.
1.
Pandangan Tradisional
Gagasan keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal
munculnya filsafat Yunani. Teori-teori Hukum Alam tetap mempertahankan
keadilan sebagai mahkota hukum—yang dalam hal ini menurut penulis:
konsep keadilan dari teori hukum alam merupakan konsep keadilan
tradisional. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”.5
Pandangan tradisional mengenai keadilan, dapat dirunut dari
pemikiran Plato. Plato adalah seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui
3
Ibid.
O. Notohamidjojo, Op.cit, hal. 86.
5
Theo Huijebers, Op.cit, hal 196.
4
34
kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional
masuk dalam filsafatnya. Demikian pula halnya dengan masalah keadilan,
Plato berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa.
Oleh sebab itu ia sangat dipengaruhi oleh cita-cita kolektivistik yang
memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai
organisme sosial. Setiap warga Negara harus melakukan tugasnya sesuai
dengan posisi dan sifat alamiahnya.6
Pendapat Plato tersebut di atas merupakan pernyataan kelas, maka
keadilan Platonis berarti bahwa para anggota setiap masyarakat harus
menyelesaikan pekerjaan masing-rnasing dan tidak boleh mencampuri
urusan anggota kelas lain.7 Pembuat peraturan harus menempatkan dengan
jelas posisi setiap kelompok masyarakat di mana dan situasi bagaimana yang
cocok untuk seseorang. Pendapat tersebut berangkat dari asumsi dasar bahwa
manusia bukanlah suatu jiwa yang terisolir dan bebas melakukan apa saja
yang dikehendakinya, tetapi manusia adalah jiwa yang terikat dengan
peraturan dan tatanan universal yang harus menundukkan keinginan
pribadinya kepada organik kolektif. Dari sini terkesan pemahaman bahwa,
keadilan dalam konsep Plato sangat terkait dengan peran dan fungsi individu
dalam masyarakat. Idealisme keadilan akan tercapai bila dalam kehidupan
6
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gajahmada University Press,
Yogyakarta, 2009, hal 47.
7
Krishna Djaya Darumurti, Pemerintah Memiliki Tanggungjawab Menciptakan
Keadilan, Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, 2011, (tidak dipublikasikan), hal 4.
35
semua unsur masyarakat berupa individu dapat menempatkan dirinya pada
proporsi masing-masing dan bertanggung jawab penuh terhadap tugas yang
diemban, selanjutnya tidak dapat mencampuri urusan dan tugas kelompok
lain.8 Dalam hubungan dengan kehidupan bernegara, keadilan menurut Plato
itu terletak pada persesuaian dan keselarasan antara fungsi di satu pihak
kecakapan serta kesanggupan di pihak lain.9
Pandangan tradisional mengenai keadilan dapat dirunut juga dari
pandangan Aristoteles tentang keadilan yang bisa kita dapatkan dalam
karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya,
dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi
keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap
sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan
dalam kaitannya dengan keadilan”.10
Menurut Aristoteles, di samping keadilan sebagai keutamaan umum
(yaitu ketaatan kepada hukum alam dan hukum positif) terdapat juga
keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yang menetukan sikap manusia
pada bidang tertentu. Sebagai keutamaan khusus keadilan itu ditandai oleh
sifat-sifat yang berikut:11
8
Ibid.
Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Cetakan II Edisi Revisi, Pustaka
Mizan, 1997, Bandung, hal. 5.
10
Carl Joachim Friedrich, Op.cit, hal. 24
11
Theo Huijebers, Op.cit, hal.29.
9
36
a. Keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara
orang yang satu dengan yang lain.
b. Keadilan berada di tengan dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya
dalam mengejar keuntungan terciptalah keseimbangan antara dua
pihak: jangan mengutamakan pihaknya sendiri dan jangan juga
mengutamakan pihak lain.
c. Untuk menentukan di manakah terletak keseimbangan yang tepat
antara orang-orang digunakan ukuran kesamaan; kesamaan ini
dihitung secara aritmetis atau geometris.
Selain itu, menurut Aristoteles, keadilan yang mengatur hubungan
dengan sesama manusia, meliputi beberapa bidang:12
a. Terdapat keadilan mengenai pembagian jabatan-jabatan dan harta
benda publik. Pembagian ini harus sesuai dengan bakat dan
kedudukan orang dalam negara.
b. Terdapat keadilan dalam bidang transaksi jual beli.
c. Keadilan dalam hukum pidana diukur secara geometris juga.
d. Terdapat keadilan juga dalam bidang privat yaitu dalam hukum
kontrak dan dalam delik privat. Kesamaan yang dituju dalam bidangbidang ini ialah kesamaan aritmetis.
12
Ibid, hal 31.
37
e. Terdapat semacam keadilan juga dalam bidang penafsiran hukum, di
mana hukum diterapkan pada perkara-perkara yang konkret. Di sini
Aristoteles menghendaki, agar seorang hakim yang mengambil
tindakan in concreto hendaknya mengambil tindakan seakan-akan ia
menyaksikan sendiri peristiwa konkret yang diadilinya. Dalam
menerapkan hukum pada perkara-perkara konkret itu kesamaan
geometris atau aritmetris tidak berperanan lagi. Apa yang diperlukan
adalah epikea yaitu suatu rasa tentang apa yang pantas. Sebagai
demikian epikea termasuk prinsip-prinsip regulatif, yang memberi
pedoman bagi praktek hidup negara menurut hukum.
Aristoteles memberikan arti keadilan sebagai, “ius suum cuique
tribuendi” adalah memberikan masing-masing bagiannya.13 Lebih lanjut,
Aristoteles membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan
keadilan korektif. Keadilan distributif dan korektif sama-sama rentan
terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam
kerangkanya.
Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa
imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang
kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan
oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.
13
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983,
hal. 23.
38
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,
kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah
bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang
berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku di kalangan warga. Distribusi
yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai
kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.14
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang
salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka
keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi
pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman
yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun,
ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah
mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali
kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif
merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan
bidangnya pemerintah.15
Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya
dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat
kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim,
14
15
Theo Huijebers, Op.cit, hal. 25.
Carl Joachim Friedrich, Op.cit.
39
dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum
tertentu. Pembedaan ini jangan dicampur adukkan dengan pembedaan antara
hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat—
karena berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu
dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas
tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain kendati diwujudkan dalam
bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa
didapatkan dari fitrah umum manusia.16
Selanjutnya, dari pemikiran Thomas Aquinas kemudian terbit
pemahaman mengenai keadilan proposional. Keutamaan yang disebut
keadilan menurut Thomas Aquinas menentukan bagaimana hubungan orang
dengan orang lain dalam hal iustum, yakni mengenai ’apa yang sepatutnya
bagi orang lain menurut sesuatu kesamaan proporsional’ (aliquod opus
adaequatum alteri secundum aliquem aequalitatis modum).17
Filsuf Hukum Alam, Thomas Aquinas, membedakan keadilan atas
dua kelompok, yaitu keadilan umum (justitia generalis) dan keadilan khusus.
Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak Undang-Undang, yang
harus ditunaikan demi kepentingan umum. Selanjutnya keadilan khusus
16
17
Ibid, hal. 26-27.
Theo Huijebers, Op.cit, hal 42.
40
adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus
ini dibedakan menjadi:18
a. Keadilan distributif (justitia distribution).
Keadilan distributif adalah keadilan yang secara proporsional
diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum.
b. Keadilan komutatif (justitia commutative).
Keadilan komutatif adalah keadilan dengan mempersamakan antara
prestasi dan kontraprestasi. Keadilan ini juga sering disebut sebagai
keadilan tukar menukar. Ukurannya bersifat aritmetis.
c. Keadilan vindikatif (justitia vindication).
Keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman
atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Keadilan ini termasuk dalam
keadilan tukar menukar.
d. Keadilan legal (justitia legalis).
Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat
dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung dalam keadilan legal
ini. Keadilan legal menuntut supaya orang tunduk pada semua undangundang, oleh karena undang-undang itu menyatakan kepentingan
umum. Dengan mentaati hukum adalah sama dengan bersikap baik
18
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.cit, hal. 156-157.
41
dalam segala hal, maka keadilan legal disebut keadilan umum (justitis
generalis).
Pandangan Modern
2.
Menurut John Rawls, pada masyarakat yang telah maju (modern),
hukum baru akan ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip
keadilan.19 Pemikiran mengenai keadilan John Rawls inilah, yang penulis
anggap sebagai kategori konsep keadilan modern. Menurut pendapat Rawls,
berbicara mengenai keadilan, maka hukum tidak boleh dipersepsikan sebagai
wasit yang tidak memihak dan bersimpati dengan orang lain. Hukum justru
harus menjadi penuntun agar orang dapat mengambil posisi tetap
memperhatikan kepentingan individunya. Jika bidang utama keadilan adalah
struktur dasar masyarakat, problem utama keadilan, menurut Rawls, adalah
merumuskan dan memberikan alasan pada sederet prinsip-pisnsip yang harus
dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil. Dengan
diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan
harus mengerjakan dua hal:20
a. Prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya
institusi-institusi dan praktik institusional.
19
20
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. cit., hal. 161.
Ibid, hal. 162-163.
42
b. Prinsip-prinsip
keadilan
memperkembangkan
harus
membimbing
kebijakan-kebijakan
dan
kita
ke
dalam
hukum
untuk
mengoreksi ketidakadilan alam struktur dasar masyarakat.
Rawls
mengakui
bahwa
kecenderungan
manusia
untuk
mementingkan diri sendiri merupakan kendala utama dalam mencari prinsipprinsip keadilan itu. Apabila dapat menempatkan diri pada posisi asli,
manusia akan sampai pada dua prinsip keadilan yang paling mendasar,
yaitu:21
1)
Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest
equal liberty). Menurut pinsip ini setiap orang mempunyai hak yang
sama atas seluruh keuntungan masyarakat.
2)
Prinsip ketidaksamaan atau perbedaan, yang menyatakan bahwa
situasi perbedaan (sosial ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian
rupa sehingga dapat menguntungkan golongan masyarakat yang
paling lemah (paling tidak mendapat peluang untuk mencapai
prospek kesejahteraan, pendapatan dan otoritas). Rumusan prinsip
kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan dari dua prinsip, yaitu
prinsip perbedaan (difference principle) dan prinsip persamaan yang
adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity).
21
Ibid, hal 165.
43
Menurut Rawls, kekuatan dalam keadilan dalam arti Fairness justru
terletak pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan sejauh juga
memberikan keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus memberi prioritas
pada kebebasan.22 Ini merupakan dua tuntutan dasar yang dipenuhi dan
dengan demikian juga membedakan secara tegas konsep keadilan sebagai
Fairness dari teori-teori yang dirumuskan dalam napas intuisionisme dalam
cakrawala teologis. Untuk terjaminnya efektivitas dari kedua prinsip keadilan
itu, Rawls menegaskan bahwa keduanya harus diatur dalam suatu tatanan
yang disebutnya serial order.23 Dengan pengaturan seperti itu, Rawls
menegaskan bahwa hak-hak serta kebebasan-kebebasan dasar tidak dapat
ditukar dengan keuntungan sosial dan ekonomis. Ini berarti prinsip keadilan
yang kedua hanya bisa mendapat tempat dan diterapkan apabila prinsip
keadilan yang pertama telah dipenuhi. Artinya penerapan dan pelaksanaan
prinsip keadilan yang kedua tidak boleh bertentangan dengan prinsip
keadilan yang pertama. Dengan demikian hak-hak dan kebebasan-kebebasan
dasar dalam konsep keadilan memiliki priroritas utama atas keuntungan
sosial dan ekonomis.
Setelah era pandangan tradisional mengenai keadilan, Karen Lebacqz
mengevaluasi pemikiran enam tokoh mengenai keadilan, yaitu: Mill, Rawls,
Nozick, Para Uskup, Niebuhr, dan Miranda. Mereka menggunakan keadilan
22
23
Abdul Ghofur Anshori, Op.cit, hal.52.
Ibid.
44
distributif dalam maknanya yang luas: pertanyaannya bukan lagi “Siapa yang
memperoleh?”, namun juga “Apakah jenis yang diperoleh semestinya?” dan
“Siapa yang berhak memutuskannya?”.24 Berikut ini merupakan ringkasan
pemikirin keadilan Mill, Rawls, Nozick, Para Uskup, Niebuhr, dan Miranda:
a.
John Stuart Mill25
Pendekatannya terhadap keadilan terletak di dalam analisis mengenai
akal sehat dan kepekaan moral pada saat itu. Keadilan dipahami oleh
Mill ketika berhadapan dengan klaim atau hak personal, dan berusaha
melandasi klaim-klaim tersebut dengan argumen utilitarian. Menurut
Mill, tidak ada teori teori keadilan yang bisa dipisahkan dari tuntutan
kemanfaatan. Keadilan adalah istilah yang diberikan kepada aturanaturan yang melindungi klaim-klaim yang dianggap esensial bagi
kesejahteraan masyarakat, klaim untuk memegang janji, diperlakukan
setara, dan sebagainya. Klaim seperti ini merupakan pokok-pokok
hitungan utilitarian. Sifat esensial keadilan dalam skema utilitarian
adalah: keadilan mengakui hak-hak individu yang didukung
masyarakat. Keadilan mensyaratkan aturan-aturan yang ditetapkan
menjadi kebaikan masyarakat demi menjamin pemenuhan kewajiban
tertentu yang keras dan demi melindungi hak-hak individu. Keadilan
24
Karen Lebacqz, Teori-teori Keadilan (Six Theories of Justice), Nusa Media,
Bandung, 1986, hal. 2.
25
Ibid, hal. 13-41.
45
bisa memadukan konsep mengenai perlakukan setara dan pengabaian.
Keadilan bukan Sui Generis, karena dia bergantung sepenuhnya pada
kemanfaatan sosial sebagai fondasinya. Semua aturan keadilan bisa
tunduk
kepada
tuntutan-tuntutan
kemanfaatan.
Apapun
yang
membawa kebaikan terbesar bagi semuanya dapat disebut adil.
b.
John Rawls26
Prinsip-prinsip keadilan diperoleh bukan dengan mengevaluasi
kemanfaatan dari tindakan-tindakan melainkan dari pilihan rasional
di dalam kondisi adil. Prinsip-prinsip tersebut dilekatkan pada
struktur dasar masyarakat, bukannya setiap tindakan atau setiap
tingkatan di mana keadilan dipersoalkan. Teori keadilan Rawls,
menggunakan kontrak sosial sebagai basis teori keadilan. Prinsipprinsip Rawls melindungi pihak-pihak yang paling kurang beruntung
di masyarakat. Tidak ada pertukaran kebebasan atau kesejahteraan
mereka
dengan
kesejahteraan
orang
lain
yang
dibolehkan.
Kebebasan-kebebasan dasar harus didistribusikan setara dan tidak
boleh dikorbankan demi pencapaian ekonomi.
c.
Robert Nozick27
Nozick menolak peran negara di dalam keadilan distributif. Keadilan
dibatasi hanya pada ruang komutatif pertukaran individu. Keadilan
26
27
Ibid, hal. 49-79.
Ibid, hal 89-113.
46
terdapat di dalam pertukaran yang adil. Keadilan tidak dapat
membuat klaim yang substantif apapun, selain hanya mengandung
persyaratan prosedural bagi keadilan pertukaran. Keadilan tidak
terdapat di dalam propaganda
kebaikan terbesar untuk jumlah
terbesar dan tidak juga di dalam upaya untuk melindungi pihak-pihak
yang kurang beruntung.
d.
Para Uskup28
Keadilan berakar pada tradisi iman yang merespon Tuhan yang adil
dan penuh kasih. Para Uskup mengajukan konsep keadilan sebagai
kebaikan bersama. Kebaikan bersama didasarkan pada keberpihakan
kepada orang miskin, tidak pernah kebaikan yang lebih besar
sejumlah orang dapat menjustifikasi keterpurukan orang lain.
Keberpihakan kepada orang-orang yang malang menjadi tongkat
pengukur keadilan suatu masyarakat.
e.
Reinhold Niebuhr29
Pendekatan Niebuhr terhadap keadilan adalah dengan penekanan
terhadap konsep dosa. Menurut Niebuhr, di sebuah dunia yang sudah
dirembesi dosa, tidak ada satu pun prinsip atau pendekatan dapat
menghasilkan prinsip keadilan yang sahih selamanya. Keadilan tetap
harus dicirikan pertama dan terutama oleh keseimbangan kekuasaan.
28
29
Ibid, hal 119-146.
Ibid, hal 157-184.
47
Yang ideal adalah harmoni diri dengan diri, sehingga keadilan
berusaha mendekati yang ideal dengan menyeimbangkan kekuasaan
sehingga yang lemah akan terlindungi dari yang kuat. Kesimbangan
seperti itu bukan harmoni yang relatif, melainkan harmoni yang
dibutuhkan dan adil. Keadilan tidak pernah bersifat mutlak dan
tercapai seutuhnya. Setiap keadilan relatif adalah sekaligus ketidakadilan relatif.
f.
Jose Porforio Miranda30
Miranda berfokus pada kasih istimewa Tuhan bagi kaum papa dan
tertindas. Keadilan dimulai dari menolak ketidakadilan. Tuhan
dikenal hanya dari tindakan keadilan, dan tindakan keadilan berarti
bertindak adil kepada orang miskin. Tidak ada pemisahan ruang
ekonomi dan politik, karena keadilan meliputi segala sesuatu.
Tradisi menyebutkan bahwa prinsip resmi keadilan distributif adalah
”bagi masing-masing sesuai dengan yang layak baginya.”31 Pemikiran enam
tokoh mengenai keadilan, yaitu: Mill, Rawls, Nozick, Para Uskup, Niebuhr,
dan Miranda—berbeda dengan pandangan tradisional yaitu:32
a.
John Stuart Mill: Bagi masing-masing sesuai dengan kecenderungan
tindakan yang memaksimalkan kemanfaatan bagi semuanya.
30
Ibid, hal 196-233.
Karen Lebacqz, Op.cit, hal. 236.
32
Ibid.
31
48
b.
John Rawls: Bagi masing-masing sesuai dengan struktur dasar yang
dapat menguntungkan pihak-pihak kurang beruntung (di mana
batasannya
adalah
kesetaraan
hak-hak
politik,
kesetaraan
kesempatan, dan pelestarian yang adil bagi generasi masa depan)
c.
Robert Nozick: Bagi masing-masing sesuai dengan pilihan-pilihan
yang sudah menjadi hak mereka.
d.
Para Uskup: Bagi masing-masing sesuai dengan martabat mereka
sebagai makhluk yang diciptakan secitra Allah (dengan kewajiban
dan hak yang sesuai dengan citra tersebut dalam bentuk tiga aspek
keadilan)
e.
Reinhold Niebuhr: Bagi masing-masing sesuai dengan prinsip
kebebasan, khususnya kesetaraan, yang diimbangi kasih da keadilan.
f.
Jose Porforio Miranda: Bagi masing-masing sesuai dengan campur
tangan Tuhan di dalam sejarah dalam membebaskan orang miskin
dan tertindas.
Dari pemikiran enam tokoh di atas mengenai keadilan, yang
mengejutkan adalah hilangnya beberapa konsep tradisional seperti klaim
aristotelian bahwa keadilan bisa dimaknai sebagai distribusi asalkan
beriringan dengan kebaikan.33 Dalam hal pencapaian keadilan, tentunya
33
Ibid, hal 237.
49
dibutuhkan persyaratan. Karen Lebacqz juga mengevaluasi pemikiran enam
tokoh mengenai persyaratan keadilan, yaitu:34
a.
John Stuart Mill: Persyaratan keadilan tercapai melalui pencarian
hakikat umum di dalam konsep-konsep yang ada selama ini mengenai
apa yang adil dan tidak adil.
b.
John Rawls: Persyaratan keadilan tercapai melalui pilihan rasional di
dalam setting yang fair.
c.
Robert Nozick: Persyaratan keadilan bagi hak-hak minimal tercapai
melalui pendeduksian maksim Kantian yang memperlakukan setiap
pribadi sebagai tujuan akhir, bukan hanya sebagai alat/cara.
d.
Para Uskup: Persyaratan keadilan tercapai melalui perwujudan visi
keadilan berbasis iman dalam prinsip-prinsip filosofis dan teologis
mengenai kewajiban dan hak.
e.
Reinhold Niebuhr: Persyaratan keadilan tercapai melalui prinsip
kasih berbasis iman yang selalu tarik ulur dengan realitas-realitas
dosa.
f.
Jose Porforio Miranda: persyaratan keadilan tercapai melalui
konfirmasi Alkitab bagi analisis Marxis tentang ketidakadilan yang
dialami kaum tertindas.
34
Ibid.
50
Dari Mill dan kaum utilitarian, keadilan mencakup pengertian
fundamental mengenai kesetaraan, karena setiap kebaikan pribadi haruslah
terhitung sama dengan kebaikan orang lain.35 Di mata Rawls, teori keadilan
pada akhirnya harus bergerak menuju kesetaraan distribusi, meskipun dia
tidak mensyaratkan kesetaraan sebagai prinsip distribusi. Jika bidang utama
keadilan adalah struktur dasar masyarakat, problem utama keadilan, menurut
Rawls, adalah merumuskan dan memberikan alasan pada sederet prinsippisnsip yang harus dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil.
Keadilan dalam pandangan Niebuhr lebih kepada fundamental hakikat
manusia. Perhatian Nozick terarah kepada keniscayaan dan batasan-batasan
negara; perhatian Miranda terfokus kepada cara berpikir Alkitab; sedangkan
perhatian para uskup terfokus langsung pada kemiskinan.
3.
Pandangan Tokoh bangsa Indonesia
Konsep keadilan sosial di negara Indonesia telah mendapat tempat
yang utama oleh para tokoh bangsa Indonesia. Salah satunya adalah
Soekarno, hal ini jelas sekali dapat dibuktikan dari gagasan Soekarno dalam
pembicaraannya tentang Dasar Negara Indonesia di dalam sidang BPUPKI
(1 Juni 1945). Menurut Soekarno, yang dimaksud sebagai keadilan sosial
ialah:
“Suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur,
berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada
35
Karen Lebacqz, Op.cit, hal. 233.
51
penindasan, tidak ada penghisapan. Tidak ada exploitation de
I’homme par I’homme. Semuanya berbahagia, cukup sandang, cukup
pangan, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.”36
Pemikiran Soekarno tentang keadilan sosial di atas sungguh jelas,
tepat, sistematis dan tegas. Tampak sekali bahwa Seoekarno sangat
memprioritaskan nilai keadilan dan menjunjung tinggi nilai hak-hak asasi
manusia dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sudah tentu, lahirnya
gagasan tentang definisi keadilan sosial ini merupakan hasil refleksi
Soekarno tentang masa gelap sejarah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia
telah mengalami penderitaan, penindasan, penghinaan dan penghisapan oleh
penjajahan Belanda dan Jepang. Pernyataan teks di atas membuktikan bahwa
Soekarno ingin mencanangkan keadilan sosial sebagai warisan dan etika
bangsa Indonesia yang harus diraih. Selain itu, cita-cita keadilan Soekarno
juga berdasarkan penggunaan industrialisme modern untuk kepentingan
umum, Soekarno pernah mengatakan bahwa:
“Sudah pernah saya katakan bahwa cita-cita dengan keadilan sosial
ialah suatu masyarakat yang adil dan makmur. Saya tekankan adil
dan makmur, makmur dan adil, dengan menggunakan alat-alat
industri, alat-alat teknologi yang sangat modern....Tetapi
industrialisme modern itu kita pergunakan untuk kepentingan
umum.”37
Upaya agar keadilan sosial dapat terwujud, maka keadilan sosial itu
harus dimulai dari hidup bermasyarakat. Soekarno menyadari bahwa negara
36
Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Media Pressindo,
Yogyakarta, 2006, hal 277-278.
37
Ibid, hal 295.
52
Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa akan mencapai
keadilan sosial asalkan rakyat Indonesia telah dipersatukan menjadi satu
bangsa, yakni bangsa Indonesia. Pemahaman aspek persatuan ini jelas tidak
bisa terlepas dari aspek “rasa” setiap orang. Rupanya konsep tentang
persatuan bangsa ini sudah lama digagas oleh Soekarno. Hal ini dapat dibaca
dalam isi pidatonya di Sidang BPUPKI:
“Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan
buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan,
maupun golongan yang kaya, - tetapi “semua buat semua”. Inilah
salah satu dasar pikiran yang nanti yang akan saya kupas lagi. Maka,
yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di
dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai ini,
akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama,
yang baik dijadikan dasar buatan Negara Indonesia, ialah dasar
kebangsaan.”38
Berbicara tentang cara mencapai keberhasilan ide menunju keadilan
sosial ini, maka Soekarno melihat bahwa keadilan sosial tidak bisa terlepas
dari usaha mempersatukan bangsa. Demikian juga bahwa persatuan bangsa
juga tidak bisa lepas dari tata negara “Gotong Royong”. Apa yang dimaksud
dengan Gotong Royong? Menurut Soekarno :
“Gotong-royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari
“kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah salah satu
faham yang statis, tetapi gotong-rouong menggambarkan satu usaha,
satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat
Soekardjo: satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo,
gawe, pekerjaan amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah
pembanting tulang bersama pemerasan keringat bersama, perjuangan
38
Saafroedin Bahar (ed), Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus
1945. Edisi kedua. Sekretaris Negara RI, Jakarta, 1995, hal. 71.
53
bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua,
keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat
kepentingan bersama! Itulah gotong-royong!” 39
Soekarno memiliki buah pikiran yang cemerlang tentang keadilan
sosial. Gagasan keadilan sosial tidak bisa terlepas dari gerakan persatuan dan
gotong royong. Justru bangsa yang tahu bersatu dan mau berkerjasama akan
dapat memahami nilai keadilan sosial. Pernyataan ini ditegaskan lagi oleh
Soekarno dalam pidatonya yang berbicara tentang nilai kebersamaan untuk
mencapai cita-cita bangsa, yakni menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Selain Soekarno, tokoh bangsa Indonesia adalah Sutan Syahir. Sjahrir
dalam pidato di depan Kongres Majelis Pemuda Kristen Oikumenia IV di
Bandung, 18 April 1957, berkata, "Tujuan itu haruslah membangun suatu
masyarakat yang berbahagia, yang berdasarkan kerakyatan serta keadilan
sosial. Rasa kemanusiaan harus kita perkuat."40 Menurut Sjahrir, kita harus
pula menyadarkan rakyat kita bahwa rasa kemanusiaan, kerakyatan, dan
keadilan sosial hanya berarti serta dapat diwujudkan dengan sempurna, jika
masyarakat kita berdasarkan pada kemakmuran bersama serta merata.41
Jakob Oetama (Pimpinan Umum Kompas) ketika menyampaikan makna
Peringatan Seratus Tahun Sutan Sjahrir mengatakan, buah pemikiran Sjahrir
adalah sistem ekonomi pasar sosial yang mengombinasikan peran sosial
39
Ibid, hal 82.
Kompas, Sosok Sjahrir Relevan bagi Masa Depan Bangsa,
http://nasional.kompas.com/read/2009/03/31/20504632/, diakses pada tanggal 7 Maret 2012.
41
Ibid.
40
54
peran negara dan peran pasar, yang bertujuan untuk menyejahterakan
rakyat.42 Apa yang dinyatakan oleh Sjahrir tersebut senada dengan Muh.
Yamin yang menyatakan bahwa kesejahteraan rakyat yang menjadi dasar dan
tujuan Negara Indonesia Merdeka adalah pada ringkasannya keadilan
masyarakat atau keadilan sosial.43
Mohammad Hatta juga menyadari mengenai pentingnya keadilan
sosial bagi rakyat Indonesia, yang berakibat kepada kesejahteraan rakyat,
namun hal ini menurutnya harus mengandaikan kedaulatan rakyat. Dalam
sebuah pidato di Aceh pada tahun 1970, ia mengatakan:
“Apakah yang dimaksud dengan Indonesia yang adil? Indonesia yang
adil maksudnya tak lain daripada memberikan perasaan kepada
seluruh rakyat bahwa ia dalam segala segi penghidupannya
diperlakukan secara adil dengan tiada dibeda-bedakan sebagai warga
negara. Itu akan berlaku apabila pemerintahan negara dari atas
sampai ke bawah berdasarkan kedaulatan rakyat.”44
Pemikiran Bung Hatta yang sangat komprehensif tentang keadilan
sosial dapat dilihat dan ditelusuri pada saat ia berbicara tentang Pancasila,
suatu dasar yang dibelanya secara sungguh-sungguh baik dalam teori
maupun praktek. Bagi Hatta sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan
prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Prinsip spiritual
dan etik ini memberikan bimbingan kepada semua pihak yang baik bagi
42
Kompas, Buah Pikiran Sjahrir Tidak Lekang oleh Waktu,
http://nasional.kompas.com/read/2009/03/05/22073081/Buah.Pikiran.Sjahrir.Tidak.Lekang.
oleh.Waktu, diakses pada tanggal 7 Maret 2012.
43
Saafroedin Bahar (ed), Op.cit, hal. 28.
44
Mohammad Hatta, dalam Franz Magnis Suseno, Bung Hatta dan Demokrasi,
Tempo, 18 Agustus 2002.
55
rakyat dan bangsa. Sejalan dengan prinsip dasar ini, sila kemanusiaan yang
adil adan beradab adalah kelanjutan dari sila pertama dalam praktik. Begitu
pula sila ketiga dan keempat. Sedangkan sila kelima, “Keadilan Sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”, menjadi tujuan terakhir dari ideologi Pancasila.45
Hatta juga menegaskan bahwa di bawah bimbingan sila pertama, sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, kelima sila itu saling mengikat.46
Hal yang pernah diperjuangkan Bung Hatta dalam rangka
penyusunan konsep keadilan sosial dalam UUD 1945 adalah dengan
keberhasilannya memasukkan perihal ekonomi dan kesejahteraan rakyat
pada pasal 33 sebelum diamandemen yang berbunyi:
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk
kemakmuran rakyat.
Dari isi Pasal 33 UUD 1945 ini sangat terasa bahwa HAM dalam
artian berpihak pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia cukup
45
A. Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan
dalam Konstituante. LP3ES, Jakarta, 1987, hal. 155.
46
Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, Idayu Press, Jakarta, 1977, hal.20.
56
dijamin.47 Hatta ingin agar Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya itu dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat—
dengan demikian nasionalisme Indonesia jika ingin difungsikan dalam
kenyataan tidak harus sekedar ditujukan untuk melawan eksploitasi dan
dominasi asing dalam politik, ekonomi, dan budaya, tetapi juga harus
dihadapkan kepada unsur kolonial domestik.48
Senada dengan konsep keadilan Bung Hatta, Abdurrahman Wahid
juga menyatakan bahwa keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup
mikro dari kehidupan warga masyarakat Indonesia secara perorangan,
melainkan juga lingkup makro kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri.49
O. Notohamidjojo juga menuturkan bahwa keadilan itu menuntut perlawanan
terhadap kesewanang-wenangan kepada manusia, keadilan memberikan
kepada masing-masing haknya, dengan kata lain keadilan merupakan
postulat (tuntutan atau dalil, yang tidak dapat dibuktikan, yang harus
diterima untuk memahami fakta atau peristiwa tertentu) bagi perbuatan
manusia—karena keadilan menuntut untuk melihat sesama manusia sebagai
47
Todung Mulya Lubis, Hak Azasi Manusia dan Kita. Sinar Harapan, Jakarta,
1982, hal 18.
48
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia: Kumpulan Karangan.
Gramedia, Jakarta, 1981, hal.120.
49
Abdurrahman
Wahid,
Konsep
Keadilan,
http://www.gusdur.net/Pemikiran/Detail/?id=28/hl=id/Konsep_Keadilan,
diakses
pada
tanggal 5 Maret 2012.
57
manusia, mewajibkan memanusiakan manusia (Vermenschlichung den
Menschen).50
B.
Fungsi Pemerintah Sebagai Pewujud Keadilan Sosial
Negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau
beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu
hidup di dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang
berdaulat.51 Mengenai tugas negara dibagi menjadi tiga kelompok:52
Pertama, negara harus memberikan perlindungan kepada penduduk dalam
wilayah tertentu. Kedua, negara mendukung atau langsung menyediakan
berbagai pelayanan kehidupan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan
kebudayaan. Ketiga, negara menjadi wasit yang tidak memihak antara pihakpihak yang berkonflik dalam masyarakat serta menyediakan suatu sistem
yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam hubungan kemasyarakatan.
Tugas negara menurut faham modern sekarang ini (dalam suatu Negara
Kesejahteraan atau Social Service State), adalah menyelenggarakan
kepentingan umum untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang
sebesar-besarnya berdasarkan keadilan dalam suatu Negara Hukum.53
50
O. Notohamidjojo, Op. cit., hal. 89.
Moh Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Edisi Revisi),
Penerbit Renaka Cipta, Jakarta, 2000, hal 64.
52
Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan, Problem dan Upaya Pembenahan, PT. Gramedia
Widiarsana Indonesia, Jakarta, 2009, hal.1.
53
Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi
dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, hal. 110.
51
58
Keadilan sosial yang berakibat kepada kesejahteraan umum adalah
cita-cita setiap negara, demikian halnya Negara Indonesia, hal ini tercermin
dalam cita-cita luhur dan tujuan negara Indonesia dalam pembukaan UUD
1945, yang berbunyi :
“Berkat rahmat Allah Maha Kuasa dan dengan didorongkan atas
keinginan luhur supaya berperikehidupan kebangsaan yang bebas,
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur maka rakyat Indonesia
menyatakan kemerdekaannya …dan membentuk pemerintah negara
Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.”
Indonesia sebagai negara hukum (Rechtsstaat) pada prinsipnya
bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial. Hukum dan cita hukum
(Rechtidee) sebagai perwujudan budaya. Perwujudan budaya dan peradaban
manusia tegak berkat sistem hukum, tujuan hukum dan cita hukum
(Rechtidee) ditegakkan dalam keadilan yang menampilkan citra moral dan
kebajikan adalah fenomena budaya dan peradaban. Manusia senantiasa
berjuang menuntut dan membela kebenaran, kebaikan, kebajikan menjadi
cita dan citra moral kemanusiaan dan citra moral pribadi manusia. Keadilan
senantiasa terpadu dengan asas kepastian hukum (Rechtssicherkeit) dan
kedayagunaan hukum (Zeweckmassigkeit). Tiap makna dan jenis keadilan
merujuk nilai dan tujuan apa dan bagaimana keadilan komutatif, distributif
maupun keadilan protektif demi terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin
59
warga negara, yang pada hakikatnya demi harkat dan martabat manusia.
Hukum dan keadilan sungguh-sungguh merupakan dunia dari trans empirical
setiap pribadi manusia.
Dalam mencapai tujuan dari negara dan menjalankan negara,
dilaksanakan oleh pemerintah. Mengenai
pemerintah,
terdapat dua
pengertian, yaitu pemerintah dalam arti luas dan pemerintah dalam arti
sempit. Pemerintah dalam arti luas (regering) adalah pelaksanaan tugas
seluruh badan-badan, lembaga-lembaga dan petugas-petugas yang diserahi
wewenang mencapai tujuan Negara.54 Sedangkan, pemerintah dalam arti
sempit (bestuur) mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas
pemerintahan.55
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, keadilan merupakan hak
mutlak bagi setiap warga negara. Pemerintah harus mampu menegakkan
keadilan bagi setiap warga negaranya. Keadilan tersebut harus menyangkut
semua aspek kehidupan, baik keadilan hukum, politik, maupun kesejahteraan
ekonomi.56 Pengendalian dan pengorganisasian fungsi negara mengusahakan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tersebut dilakukan dengan perantaraan
pemerintah beserta segala alat-alat perlengkapannya. Sebab dalam
kenyataannya, pihak atau organ yang meyelenggarakan kekuasaan negara
54
Kuntjoro Purbopranoto, Perkembangan Hukum Administrasi Indonesia,
Binacipta, Bandung, 1981, hal.1.
55
Ibid.
56
Krishna Djaya Darumurti, Op.cit, hal.28.
60
adalah pemerintah, baik dalam arti sempit—lembaga eksekutif—maupun
dalam arti luas, meliputi seluruh badan kenegaraan yang terdapat di dalam
Negara—hal ini merupakan fungsi pemerintah sebagai administrasi negara.
Administrasi (Negara) adalah badan atau jabatan dalam lapangan kekuasaan
eksekutif yang mempunyai kekuasaan mandiri berdasarkan hukum untuk
melakukan tindakan-tindakan pemerintahan baik di lapangan pengaturan,
maupun penyelenggaraan administrasi negara.57 Keterlibatan pemerintah
yang sedemikian luas dalam tugas Negara ini menempatkan dirinya sebagai
servis publik, yakni menyelenggarakan dan mengupayakan suatu keadilan
dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakatnya.58
Dalam mewujudkan keadilan sosial, kekuasaan dan atau kewenangan
pemerintah ditetapkan secara umum dalam Undang-undang Dasar,
sedangkan kekuasaan dan atau kewenangan pemerintah daerah termasuk
dalam pembentukan produk hukum ditetapkan oleh lembaga pembuatan
undang-undang di tingkat pusat.59 Negara Indonesia adalah negara yang
berbentuk kesatuan (unitary state). Kekuasaan asal berada di pemerintah
pusat, namun kewenangan (authorithy) pemerintah pusat ditentukan batasbatasnya dalam UUD dan Undang-undang, sedangkan kewenangan yang
tidak disebutkan dalam UUD dan Undang-undang ditentukan sebagai
57
Ibid, hal.29.
Ibid.
59
Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Ghalia, Bogor, 2007.hal 111.
58
61
kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah.60 Asas pemerintahan
daerah ditegaskan di dalam Pasal 18 Ayat (2) bahwa pemerintahan daerah
propinsi dan daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Oleh sebab itu
secara universal asas pemerintahan daerah mencakup 3 (tiga) asas penting
yaitu:61
1. Asas desentralisasi.
2. Asas dekonsentarsi.
3. Tugas pembantuan.
Pemerintah pusat sebagai pihak yang melimpahkan wewenang tetap
bertanggungjawab terhadap pelaksanaan urusan yang telah dilimpahkan.
Penyelenggaraan asas desentralisasi dan dekonsentralisasi dilaksanakan di
propinsi. Desentralisasi menggambarkan pengalihan tugas operasional ke
pemerintahan lokal dan juga menggambarkan pendelegasian atau devolusi
kewenangan pembuatan keputusan kepada pemerintah yang tingkatannya
lebih rendah.62 Dengan kata lain desentralisasi merupakan pelaksanaan
60
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI, The
Habibie Centre, Jakarta, 2001, hal. 28.
61
Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Sinar Harapan, Jakarta,
2000, hal 32.
62
Ibid.
62
pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
dalam negara kesatuan dalam rangka otonomi daerah.63
Di dalam Undang Undang 32 Tahun 2004, pada Pasal 1 Angka 6
pengertian daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pembentukan daerah otonom merupakan “perintah” (amanat) konstitusi.
Daerah otonom tersebut pada dasarnya merupakan satu kesatuan wilayah
sebagai kesatuan masyarakat yang mempunyai ikatan serta mempunyai
kewenangan untuk mengurus kepentingan dengan tetap berada dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.64 Daerah otonom dibangun melalui
perangkat substansi (kaidah) hukum, yang memiliki kewenangan “otonomi”.
Penguatan otonomi menciptakan keseimbangan antara penyerahan dan
pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah dan menjaga keutuhan
NKRI.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
dikemukakan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.65 Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk
63
Mustamin Dg Matutu, dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di
Indonesia, UIII Press, Yogyakarta, 2004, hal. 35-36.
64
Lihat Penjelasan Umum UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
65
Ibid.
63
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dan daerah diharapkan
mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
urusan pemerintahan, di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan
membuat kebijakan daerah berupa peraturan-peraturan untuk memberi
pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat
yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat—yang berakibat pada
keadilan sosial.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi
yang nyata dimana urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas,
wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan
daerah.66 Hal senada diungkapkan oleh Hatta67 bahwa dasar kedaulatan
rakyat adalah hak rakyat untuk menentukan nasibnya, yang tidak hanya ada
66
Penjelasan Umum angka 1 huruf b.UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
67
Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka Kumpulan Karangan Jilid I,
Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hal. 103.
64
pada pucuk pemerintah negeri, melainkan juga pada setiap tempat (daerah).
Tiap-tiap golongan atau bagian rakyat mendapat otonomi (membuat dan
menjalankan peraturan sendiri) dan zelfbestuur (menjalankan peraturan yang
dibuat oleh dewan yang lebih tinggi). Hal ini menjadi penting karena
keperluan tiap tempat dalam satu negeri tidak sama, melainkan berbedabeda.
Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu
sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggung jawab menurut Undang-undang Pemerintahan Daerah 2004
adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan
dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang
merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu
penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan
aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi
daerah, juga harus menjamin keserasian hubungan antara Daerah dengan
Daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar
Daerah.
65
Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus
mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah,
artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan
tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka
mewujudkan tujuan Negara. Kewenangan daerah otonom secara jelas
disebutkan dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu:
“Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lain”.68
Memperhatikan kewenangan yang telah dikemukakan, maka dapat
diketahui bahwa terdapat sejumlah kewenangan di bidang pemerintahan
yang tidak diserahkan kepada daerah, sehingga kewenangan tersebut tetap
menjadi wewenang pemerintah pusat dalam wujud dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Inti otonomi daerah adalah demokratisasi dan pemberdayaan.69
Sebagai demokratisasi berarti ada keserasian antara pusat, daerah dan daerah
mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan,
kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya. Aspirasi dan kepentingan daerah
mendapat perhatian dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pusat,
68
Lihat Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Wahidudin Adam, Permasalahan Hukum yang berkaitan dengan Peraturan
Daerah, disampaikan pada Pelatihan Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan
Tahun 2008, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, tanggal 17 Desember 2008, hal. 3.
69
66
sedangkan otonomi daerah pemberdayaan daerah merupakan suatu proses
pembelajaran dan penguatan bagi daerah untuk mengatur, mengurus dan
mengelola kepentingan dan aspirasi masyarakat sendiri. Undang Undang
Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan
bertanggungjawab kepada daerah sehingga daerah diberikan peluang untuk
mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat setempat dan potensi daerahnya.
Kewenangan ini merupakan upaya untuk membatasi kewenangan Pemerintah
dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, karena Pemerintah dalam
hal ini pemerintah pusat dan pemerintah Propinsi hanya diberi kewenangan
meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi
pada semua aspek pemerintahan.
Selain itu, dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang intinya menyatakan
bahwa hak menguasai negara terhadap pengelolaan kekayaan sunber daya
alam itu harus benar-benar ditujukan bagi kemakmuran rakyat, pernyataan
pasal ini sudah menggarisbawahi pemerintah bahwa tidak satupun alasan dari
pemerintah untuk tidak melaksanakan pasal tersebut secara konsekuen. Di
dalam merealisasikan fungsi pemerintah mewujudkan kesejahteraan sosial
atau keadilan sosial tersebut, administrasi negara harus selalu berpegang
pada asas legalitas sebagai salah satu asas penting negara hukum. Asas the
rule of law demikian ini menghendaki setiap tindakan administrasi Negara
67
harus berdasarkan wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang diperoleh melalui kewenangan atribusi.70 Setiap tindakan
badan/pejabat tata usaha negara tidak boleh bertentangan dengan hukum
(onrechtmatige overheidsdaad), sewenang-wenang (wellekeur/abus de droit)
dan menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir).
Sehubungan dengan mewujudkan keadilan sosial, baik Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah di dalam menjalankan fungsinya yang
secara normatif dituangkan melalui penetapan berbagai produk hukum yang
bersifat penetapan, menurut Sjachran Basah ada beberapa persyaratan yang
perlu diperhatikan, yakni :71
a. memenuhi asas legalitas (wetmatige) dan asas yuridis (rechtmatige)
b. tidak menyalahi atau menyimpang dari ketaatasasan hierarkhi peraturan
perundang-undangan;
c. tidak melanggar hak dan kewajiban asasi warga masyarakat;
d. diterapkan
dalam
rangka
mendukung
(memperlancar)
upaya
mewujudkan atau merealisasi kesejahteraan umum.
70
Kewenangan atribusi adalah bentuk kewenangan yang didasarkan atau diberikan
oleh UUD atau Undang-Undang kepada suatu lembaga negara/pemerintahan. Kewenangan
tersebut terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan,
sesuai dengan batas-batas yang diberikan. Contoh: kewenangan yang dimiliki oleh
pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat.
71
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi
Negara, Alumni, Bandung, 1986, hal 4.
68
C.
Asas Keadilan Dalam Materi Muatan Peraturan PerundangUndangan
Kebijakan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan
sebenarnya telah diatur sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 15 Tahun 1970 tentang Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang
dan
Rancangan
Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia,
namun
pengaturannya tidak secara tegas dan rinci. Pengaturan lebih tegas terkait
harmonisasi kemudian diatur berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998
tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, yang
merupan pengganti Inpres Nomor 15/1970 tersebut.
Kebijakan pengharmonisasian berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun
1998 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan
amanat dari Pasal 22A UUD 1945.72 Oleh karena Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 dalam tataran praktik empririkal masih banyak mengandung
kelemahan, maka DPR bersama Pemerintah telah berhasil menyusun kembali
dan melakukan penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011
tentang Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan,
sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
72
Pasal 22A UUD 1945 mengatur bahwa Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara
pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
69
Pembentukan suatu Undang-Undang bilamana ditinjau dari aspek
substansialnya, pada dasarnya berkaitan dengan masalah pengolahan isi dari
suatu peraturan perundang-undangan yang memuat asas-asas dan kaidah
hukum sampai dengan pedoman perilaku konkret dalam bentuk aturan-aturan
hukum.73 Lebih jauh aspek materiil ini berkenaan dengan pembentukan
struktur, sifat dan penentuan jenis kaidah hukum yang akan dirumuskan
dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan aspek formal berkaitan
dengan
kegiatan
pembentukan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlangsung terutama diarahkan pada upaya pemahaman terhadap metode,
proses dan teknik perundang-undangan.74
Aspek materiil dan aspek formal ini saling berhubungan secara timbal
balik dan dinamis. Aspek materiil yang memuat jenis-jenis kaidah
memerlukan aspek formal agar pedoman-pedoman perilaku yang hendak
direalisasikan
dalam
bentuk
peraturan
perundang-undangan
dapat
diwujudkan atau dikonkretkan memiliki legitimasi dan daya laku efektif
dalam realitas kehidupan kemasyarakatan.75 Demikian sebaliknya dimana
sebah produk perundang-undangan yang dihasilkan melalui aspek formal/
prosedural yang terdiri dari metode, proses dan teknik perundang-undangan
sampai menjadi aturan hukum positif agar mempunyai makna serta mendapat
73
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik,
PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal.222.
74
Ibid.
75
Ibid.
70
respek dan pengakuan yang memadai dari pihak yang terkena dampak
pengaturan tersebut memerlukan landasan dan legitimasi dari aspek materiil/
substansial.76 Melalui proses sinkronisasi materi muatan Undang-Undang
akan mendukung pelaksanaan harmonisasi sehingga dapat mencegah
terjadinya pengaturan ganda dan pertentangan norma antar berbagai UndangUndang.
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mengandung asas-asas sebagai berikut:77
a. Asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hakhak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Asas kebangsaan, bahwa setiap muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik
76
Ibid, hal. 223.
Lihat Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
77
71
(kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia.
d. Asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat
dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia
dan
materi
muatan
peraturan
perundang-undangan
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila.
f. Asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang
menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
g. Asas keadilan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara tanpa kecuali.
h. Asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang
72
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama,
suku, ras, golongan, gender atau status sosial.
i. Asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban
dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
j. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi
muatan
peraturan
perundang-undangan
harus
mencerminkan
keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu
dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
k. Asas lain, sesuai substansi peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tersebut, salah satu asas yang harus ada dalam materi muatan Peraturan
Perundang-undangan adalah asas keadilan. Berpijak pada hal inilah, maka
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan mengenai pengaturan
pengelolaan pertambangan harus mempertanyakan makna pemahaman asas
yang dimaknai sebagai keadilan secara secara proporsional, sesuai dengan
yang dimaksudkan dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tersebut.
Jika kita kaji lebih dalam lagi, keadilan sosial dalam UUD 1945
sesungguhnya tidak identik dengan konsep keadilan dalam Penjelasan Pasal
73
6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Keadilan sosial dalam UndangUndang Dasar 1945 merupakan sesuatu yang harus diwujudkan secara
dinamis dalam suatu bentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012,
keadilan dimaknakan sebagai proporsional. Dalam hal inilah, maka penulis
perlu menelaah pemaknaan keadilan dalam materi muatan peraturan
perundang-undangan mengenai pengaturan pengelolaan pertambangan
apakah merupakan keadilan proporsional ataukah merupakan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
D.
Makna Keadilan Dalam Penguasaan dan Penggunaan Kekayaan
Alam Menurut Pasal 33 UUD 1945
Dalam konteks negara Indonesia, arti penting kekayaan alam sebagai
kebutuhan dasar manusia yang membutuhkan jaminan akses bagi seluruh
rakyat sangat disadari oleh para founding fathers di negeri ini. Hal ini terlihat
dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Sifat kekayaan alam yang memiliki jumlah yang
terbatas sedangkan jumlah penduduk yang terus meningkat membutuhkan
keseriusan pemerintah dalam penanganannya, baik masalah peruntukan,
74
penggunaan dan pengaturannya yang terus meningkat seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk dan penggunaannya yang beranekaragam.
Payung
hukum
dari
konsep
keadilan
dari
Undang-Undang
Pertambangan adalah Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 yang
berbunyi:78
1. Ayat (1): Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan;
2. Ayat (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
3. Ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat;
4. Ayat (4): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional;
5. Ayat (5): Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini
diatur dengan Undang-Undang.
Penguasaan negara atas kekayaan alam yang bersifat nasional untuk
pemenuhan kesejahteraan rakyat. Pemenuhan kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia sebagai suatu manifestasi perjuangan Bangsa Indonesia dalam
melepaskan diri dari penjajahan yang telah menciptakan penderitaan bagi
rakyat Indonesia. Sehingga diharapkan penderitaan itu berakhir dan
kewajiban bangsa Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan sebagai
konsekuensi kesepakatan seluruh rakyat Indonesia untuk mendirikan negara
78
Lihat Undang-Undang Dasar 1945, Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Nasional.
75
yang bernama Indonesia. Jaminan hak atas kekayaan alam bagi seluruh
rakyat Indonesia merupakan bentuk kesejahteraan tersebut. Hak menguasai
negara tersebut adalah untuk melancarkan pengurusan, penggunaan
kekayaan nasional.79 Bung Hatta menginterprestasikan mengenai penguasaan
negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut:
Dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak berarti
negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Lebih
tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat
peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, peraturan yang melarang
pula “pengisapan” orang yang lemah oleh orang lain yang
bermodal.80
Selanjutnya
dalam
perihal
Bung
Hatta
menginterprestasikan
mengenai peranan modal dalam keterlibatan perekonomian di Indonesia,
sebagai berikut:
“Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi
yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah
dengan bantuan kapital pinjaman luar negeri. Apabila siasat ini tidak
berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing
menanamkan modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan
Pemerintah …. “Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa
melaksanakan pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD
1945. Terutama digerakkan tenaga-tenaga Indonesia yang lemah
dengan jalan koperasi, kemudian diberi kesempatan kepada golongan
swasta untuk menyerahkan pekerjaan dan kapital nasional. Apabila
tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam
tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila
bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi
kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di tanah air
79
Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press,
Yogjakarta, 1990, hal. 37.
80
Mohammad Hatta, Cita-cita Kooperasi dalam Pasal 33 UUD 1945, Pidato Hari
Kooperasi 12 Juli 1977, dalam Mohammad Hatta, Satu Abad Bung Hatta, Demokrasi Kita,
Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan, UI Press, Jakarta, 2002, hal 225.
76
kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia
sendiri. Syarat-syarat yang ditentukan itu terutama menjamin
kekayaan alam kita, seperti hutan kita dan kesuburan tanah air kita,
tetap terpelihara.” 81
Berdasarkan kutipan interprestasi Bung Hatta mengenai peranan
modal dalam keterlibatan perekonomian di Indonesia, maka dapat penulis
gambarkan secara hirarki sebagai berikut:
Gambar 1.
Hirarki Peranan Modal Dalam Keterlibatan Perekonomian di Indonesia
Sumber: Mohammad Hatta, diolah penulis.
Gambar 1. di atas menunjukkan pemikiran Bung Hatta bahwa
perekonomian Indonesia di masa datang diusahakan dengan jenjang prioritas
berikut: Pertama, mendayagunakan rakyat sebagai pelaku pembangunan
ekonomi dengan jalan koperasi; kedua, yaitu golongan swasta dan modal
nasional; ketiga, bila tenaga dan modal nasional tidak mencukupi, maka
81
Ibid, hal 226-227.
77
kegiatan produksi dilakukan dengan meminjam tenaga dan modal asing;
keempat, bila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan modalnya, maka
diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modal di Indonesia
dengan syarat-syarat oleh pemerintah agar kekayaan alam Indonesia tetap
terjaga. Bila pemikiran Hatta pada tahun 1946 dimaknai pada hari ini sebagai
tafsir historis atas Pasal 33 UUD 1945, tentu penggolongan yang bersifat
prioritas oleh Hatta harus dilaksanakan dalam pembentukan undang-undang
dan dinamika sosial ekonomi dalam hal sumberdaya alam pertambangan.
Dalam kaitannya dengan konsep keadilan, maka keterkaitan dengan
hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan
mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut:82
1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat
(kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat.
2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di
dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu
yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh
rakyat.
82
Pan Mohamad Faiz, Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal
33 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi, http://dosen.narotama.ac.id/wpcontent/uploads/2011/04/PENAFSIRAN-KONSEP-PENGUASAAN-NEGARA.pdf, diakses
pada tanggal 8 Maret 2012.
78
3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan
menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan
kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak
penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan
pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan
pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk
melakukan tindakan sendiri (eigensdaad) atas kekayaan alam.
Landasan pemikiran lahirnya Pasal 33 UUD 1945 tidak terlepas dari
nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri, seperti tolong
menolong dan usaha bersama yang membedakannya dengan paham
kapitalisme, yang justru menegasikan nilai-nilai tersebut. Karena paham
kapitalisme dalam pengelolaan ekonomi dengan mengandalkan modal dan
alat produksinya hanyalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya
dengan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat yang lemah. Karena
dalam paham kapitalisme kepemilikan modal dan alat produksi hanya
dimiliki segelintir orang saja. Dalam konteks negara Indonesia, dalam hal
pengelolaan sesuatu yang menjadi hajat hidup orang banyak harus dikuasai
seperti yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, dalam kerangka
keadilan sosial. Hal ini untuk mencegah terjadinya monopoli oleh seseorang
atau segelintir orang saja sehingga peranan negara dalam menguasai
79
kekayaan nasional untuk memberikan jaminan terhadap seluruh rakyat yang
berujung pada kesejahteraan seluruh rakyat.
Asas kekeluargaan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 itu ialah
kooperasi. Bung Hatta menginterprestasikan mengenai kooperasi dalam
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, sebagai berikut:
Dalam pada itu ada baiknya diperingatkan di sini, bagaimana kita
memahamkan kooperasi seperti yang terpancang dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945. Cita-cita kooperasi Indonesia
menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental.
Paham kooperasi Indonesia menciptakan masayarakat Indonesia yang
kolektif, berakar pada adat istiadat hidup Indonesia yang asli, tetapi
ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan
zaman modern. Semangat kolektivisme Indonesia yang akan
dihidupkan kembali dengan kooperasi mengutamakan kerjasama
dalam suasana kekeluargaan antar manusia pribadi, bebas dari
penindasan dan paksaan ... Pada kooperasi, sebagai badan usaha
berdasarkan asas kekeluargaan, didamaikan dalam keadaan harmonis
kepentingan orang-seorang dengan kepentingan umum. Kooperasi
yang semacam itu memupuk selanjutnya semangan toleransi—aku
mengakui pendapat masing-masing—dan rasa tanggungjawab
bersama. Dengan ini kooperasi mendidik dan memperkuat demokrasi
sebagai cita-cita bangsa. 83
Oleh karena itu, sistem ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai
Indonesia menurut Mohammad Hatta adalah sistem sosialisme kooperatif
yang kemudian dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Sistem sosialisme
kooperatif mengandung tiga unsur penting, yaitu:
1. Cita-cita sosialisme barat yang mengemukakan perikemanusiaan
dengan pelaksanaan demokrasi mengenai demokrasi politik,
83
Mohammad Hatta, Op.cit, hal 227-228.
80
2. Ajaran agama yang mengemukakan dasar-dasar keadilan dan
persaudaraan serta penilaian yang tinggi kepada manusia pribadi
sebagai makhluk Allah,
3. Gotong-royong sebagai pembawaan masyarakat Indonesia yang
asli.84
Dari unsur-unsur penting di atas, terlihat bahwa pengelolaan
kekayaan alam sebagai salah satu kekayaan nasional yang terdapat dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sangat bersandar pada nilai-nilai yang hidup
dalam Bangsa Indonesia, seperti nilai religius dan nilai gotong-royong. Akan
tetapi Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dan sedang membangun
tidak menutup diri juga terhadap nilai-nilai yang dapat menunjang dan sesuai
dengan
perkembangan
masyarakat
Indonesia
yaitu
dalam
bentuk
pengadopsian cita-cita sosialisme barat dengan tetap memperhatikan dan
mempertahankan nilai dan falsafah bangsa Indonesia. Yang terpenting adalah
bagaimana nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat kita selalu menjadi
acuan utama dalam proses pengambilan kebijakan sehingga melahirkan
kebijakan yang populis dan partisipatif—serta berkeadilan sosial.
Berdasarkan uraian di atas, maka aspek-aspek keadilan sosial atas
penguasaan dan penggunaan kekayaan alam yang terkandung di dalam Pasal
33 UUD 1945 dapat dikategorikan sebagai berikut:
84
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004, hal 13.
81
1. Orientasi
Orientasi dalam pemanfaatan kekayaan alam adalah kemakmuran
rakyat. Dalam hal ini, keadilan sosial harus sesuai dengan rumusan yang
terdapat dalam Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dimana bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
2. Keberpihakan
Keterkaitan
hak
penguasaan
negara
dengan
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat menurut Bagir Manan akan mewujudkan kewajiban
Negara yang memiliki keberpihakan kepada rakyat.85 Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa penguasaan negara atas sumberdaya alam lahir dari
konsep hubungan publik. Dikatakan sebagai konsep hubungan publik karena:
“Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum
publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut
dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun
ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu,
rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus
pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai
dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula
pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.”86
3. Hubungan dengan pemilik modal.
85
86
Ibid, hal. 17.
Lihat Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003
82
Dalam hal hubungan dengan pemilik modal, Mohammad Hatta
menyatakan sebagai berikut:
“Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan
pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD 1945. Terutama
digerakkan tenaga-tenaga Indonesia yang lemah dengan jalan
koperasi, kemudian diberi kesempatan kepada golongan swasta untuk
menyerahkan pekerjaan dan kapital nasional. Apabila tenaga nasional
dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan
kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak
bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada
mereka untuk menanam modalnya di tanah air kita dengan syaratsyarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. Syaratsyarat yang ditentukan itu terutama menjamin kekayaan alam kita,
seperti hutan kita dan kesuburan tanah air kita, tetap terpelihara.” 87
Perkataan Mohammad Hatta di atas jelas bahwa terhadap peranan
modal, beliau mengkonstruksi keterlibatan modal sebagai alternatif atau
pelengkap dari usaha-usaha sektor produksi atau sumberdaya alam yang
besar setelah dimaksimalisasi pengusahaannya oleh dalam negeri (koperasi
dan badan usaha negara). Kutipan di atas menunjukkan pemikiran
Mohammad Hatta bahwa perekonomian Indonesia di masa datang
diusahakan dengan jenjang prioritas berikut: Pertama, mendayagunakan
rakyat sebagai pelaku pembangunan ekonomi dengan jalan koperasi (badan
usaha negara); kedua, yaitu golongan swasta dan modal nasional (swasta
nasional dan badan usaha negara); ketiga, bila tenaga dan modal nasional
tidak mencukupi, maka kegiatan produksi dilakukan dengan meminjam
tenaga dan modal asing (Production Sharing); keempat, bila bangsa asing
87
Mohammad Hatta, Op.cit, hal 225.
83
tidak bersedia meminjamkan modalnya, maka diberi kesempatan kepada
mereka untuk menanam modal di Indonesia dengan syarat-syarat oleh
pemerintah agar kekayaan alam Indonesia tetap terjaga (Perijinan).
4. Akses Mengusahakan.
Akses mengusahakan berkisar pada kata kunci ”dikuasai negara” vis
a vis ekonomi pasar bebas yang mendominasi perekonomian dunia.
Mengenai makna ”dikuasai negara”, Mahkamah Konstitusi berpendapat
antara lain sebagai berikut:
… pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup
makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan
diturunkan dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia atas segala
sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian publik oleh
kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat
secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan
mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan
tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)
untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi
pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah
dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas
perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie).
Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi
oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan
melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau
melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik
Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen
kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah,
mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu
untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Demikian
pula
fungsi
pengawasan
oleh
negara
(toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah,
84
dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan
penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud
benar-benar dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat …
Yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang-cabang
produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak; atau (ii) penting bagi Negara, tetapi tidak menguasai hajat
hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi Negara, tetapi
menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh
Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.88
Berdasarkan tafsiran Mahkamah Konstitusi di atas, maka dengan kata
lain, makna “dikuasai negara” tidak harus diartikan bahwa negara sendiri
yang langsung mengusahakan sumber daya alam. Aksentuasi “dikuasai
negara” atau kedaulatan negara atas sumber daya alam terletak pada tindakan
negara
dalam
hal
pembuatan
kebijakan,
pengaturan,
pengurusan,
pengelolaan, dan pengawasan terhadap kegiatan usaha di bidang sumber
daya alam. Dalam menafsirkan makna frasa “dikuasai oleh negara” dari
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi
mengkonstruksi 5 (lima) fungsi negara dalam menguasai cabang-cabang
produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, hal ini dapat dilihat pada
tabel 1.
88
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003.
85
Tabel 1.
Panca Fungsi Negara Dalam Menguasai Sumberdaya Alam89
No
Fungsi
1
Pengaturan
(regelendaad)
2
3
4
5
Penjelasan
Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan
Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif).
Jenis peraturan yang dimaksud sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 7 UU No 12 Tahun 2011, serta Surat
Keputusan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah
(eksekutif) yang bersifat mengatur (regelendaad).
Pengelolaan
Dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share(beheersdaad)
holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam
manajemen Badan Usaha Milik Negara. Dengan kata
lain negara c.q. Pemerintah (BUMN) mendayagunakan
penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan untuk
digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam peyelenggaraan pemerintahan daerah, fungsi ini
dilakukan oleh perusahaan daerah
Kebijakan (beleid)
Dilakukan oleh pemerintah dengan merumuskan dan
mengadakan kebijakan
Pengurusan
Dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya
(bestuursdaad)
untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan
(vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie)
Pengawasan
Dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka
(toezichthoudensdaad) mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan
penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang
penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang
banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesarbesarnya kemakmuran seluruh rakyat. Termasuk dalam
fungsi ini yaitu kewenangan pemerintah pusat
melakukan pengujian Perda (executive review)
Sumber: Yance Arizona, 2008.
89
Yance Arizona, Konstitusi Dalam Intaian Neoliberalisme: Konstitusionalitas
Penguasaan Negara Atas Sumberdaya Alam Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi,
Makalah disampaikan dalam Konferensi Warisan Otoritarianisme: Demokrasi Indonesia di
Bawah Tirani Modal. Panel Tirani Modal dan Ketatanegaraan, Selasa, 5 Agustus 2008 di
FISIP Universitas Indonesia.
86
Download