-52- BABIV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam Bab ini akan membahas mengenai potensi perpajakan usaha jasa Internet dengan menganalisis obyek-obyek Pajak Penghasilan Pasai 23 dan PPN berupa penyerahan jasa yang berada dalam lingkungan Internet atau yang berhubungan dengan Internet atau jasa yang muncul akhir-akhir ini karena perkembangan Internet seperti yang telah digambarkan pada Bab III. Di samping itu juga akan menganalisis mengenai permasalahan-permasalahan yang terjadi sehubungan dengan peraturan dan perlakuan perpajakannya di mana dituntut adanya keadilan dan kepastian hukum terhadap usaha ini dan juga dijelaskan upaya-upaya optimalisasi potensi pajak yang terkait dengan usaha jasa Internet. A. Analisis Atas Peraturan Perpajakan yang Terkait 1. Peraturan di Bidang Pajak Penghasilan Mengingat perkembangan yang semakin marak usaha jasa Internet yang didukung dengan perkembangan teknologi telekomunikasi maupun teknologi informasi apabila dilihat dari aspek perpajakannya merupakan potensi yang patut diperhatikan bagi penerimaan negara. Munculnya perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam lingkungan Internet ini diharapkan dapat memberikan kontribusinya dalam pencapaian target penerimaan pajak yang telah -53- dituangkan dalam APBN yang merupakan tantangan yang semakin berat khususnya bagi Direktorat Jenderal Pajak. Perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang Internet ini diharapkan kesadarannya untuk melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya dalam hal ini pajak penghasilannya melaiui sistem self assessment, Pada akhir tahun pajak melaiui Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), perusahaan ini diberi wewenang untuk menghitung sendiri berapa besar pajak yang terutang dan melunasinya melaiui setoran akhir PPh Pasal 29 setelah diperhitungkan angsuran setoran PPh Pasal 25 selama tahun berjalan yang dibayar sendiri oleh wajib pajak. Namun demikian, dalam pelaksanaannya sistem pemungutan pajak berdasarkan self assessment mengandung kelemahan. Salah satunya adalah sistem ini sering disalahgunakan oleh wajib pajak untuk melakukan kecurangan atau tidak melaporkan penghasilan sebagaimana mestinya. Hal tersebut dapat terjadi karena penghitungan pajak dilakukan sendiri oleh wajib pajak, berdasarkan pembukuan yang dibuat wajib pajak. Oleh sebab itu dalam pelaksanaannya diterapkan juga sistem with holding yang berfungsi sebagai pelengkap dan pengawasan atas sistem self assessment berupa pemotongan/pemungutan pajak, oleh pihak ketiga. Dengan demikian DJP perlu melakukan pengawasan atas sistem self assessment yang merupakan penghitungan pajak yang terutang oleh wajib pajak sendiri yang bergerak dalam lingkungan Internet ini pada akhir tahun pajak yang bersangkutan yaitu -54- yang salah satunya melalui mekanisme pemotongan PPh Pasal 23. Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan Kep-176/PJ./2000 tanggal 26 Juni 2000 tentang Jenis Jasa Lain Dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (I) Huruf C Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994. Peraturan ini merupakan usaha-usaha ekstensifikasi obyek-obyek jasa lain yang dapat digali potensi PPh-nya melalui mekanisme pemotongan PPh Pasal 23. Mengenai jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi, termasuk jasa Internet dialur pada nomor 2 poin g Lampiran 1 I Keputusan tersebut, Dengan demikian hal ini merupakan usaha-usaha DJP dalam menggali potensi pajak usaha jasa Internet dalam bidang pajak penghasilan (PPh). Apabila diperhatikan tidak ada perincian yangjelas mengenai jasa-jasa apa saja yang termasuk dalam pengertian jenis jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi. hanya selanjutnya disebutkan termasuk jasa.lnternet. Lain halnya dengan jasa pada poin b, c, dan d yaitu jasa perancang/desain, jasa instalasi/pemasangan maupun jasa perawatan/pemeliharaan/ perbaikan, yang lebih jelas merinci jasa-jasa yang termasuk didalamnya. Misalnya adalah pada poin. b, di mana dirinci bahwa yang termasuk datam jasa perancang/desain adalah jasa perancang interior dan jasa peraneang pertamanan, jasa peraneang mesin dan jasa perancang peralatan, jasa perancang alat-alat transportasi/ kendaraan, jasa perancang iklan/logo dan jasa perancang alat kemasan. -55- Begitu pula dengan jasa penunjang di bidang penambangan migas yang dibuat dalam lampiran tersendiri menjelaskan pengertian dan perincian jasa (yaitu lampiran 3 peraturan tersebut). Hal ini lebih mencerminkan suatu kepastian hukum terutama yang terkait dengan syarat certainty suatu peraturan perpajakan mengenai jasa-jasa mana saja yang akan dipotong PPh Pasal 23. Menurut ketegasan pendapat penulis karena tidak adanya perincian atau lebih lanjut mengenai jenis jasa ini akan timbul pertanyaan- pertanyaan yang pada dasarnya mencerminkan keragu-raguan dari pihak-pihak yang terkait yang berkewajiban untuk memotong PPh Pasal 23 maupun pihak yang dipotong PPh Pasal 23. Bisa jadi masyarakat yang melakukan usaha di bidang Internet ketika melihat dan membaca Keputusan Direktorat Jenderai Pajak ini akan bertanya-tanya tentang hal ini seperti yang penulis amati pada suatu forum diskusi perpajakan di Internet. Misalnya saja ada pertanyaan mengenai usaha jasa warung Internet yang mereka jalani apakah termasuk di dalam pengertian jasa Internet. Selain akan menimbulkan keragu-raguan bagi pelaku usaha, bagi aparat pajak sendiri apabila tidak memahami jasa-jasa Internet menu rut penulis akan mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas-tugasnya. Mengingat jasa ini relatif baru sehingga perlu pemahaman atas jasa-jasa Internet mana saja yang merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 23. Sebagaimana diketahui para aparat pajak yang melakukan pengujian -56- kepatuhan dalam bentuk verifikasi terhadap penyelenggara jasa Internet maupun perusahaan yang menggunakan jasa Internet dengan adanya petunjuk yang jelas akan dapat. melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik mengikuti peraturan atau petunjuk tersebut. Misalnya dalam menerapkan law enforcement berupa sanksi hukum terhadap pelaku usaha yang diwajibkan/ditunjuk untuk melakukan pemotongan namun tidak dilaksanakan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku sehingga akan mendorong wajib pajak untuk mematuhi peraturan yang ada Dalam teori yang telah dijelaskan pada Bab II, syarat kepastian hukum itu harus dipenuhi dalam pembuatan peraturan perpajakan. Syarat ini menekankan pentingnya kepastian mengenai hukum yang mengaturnya sehingga menjamin setiap orang tidak ragu-ragu dalam menjalankan kewajibannya. Kepastian hukum berarti bahwa makna kalimat dan makna istilah harus tepat, tegas, dan tidak ambigius atau mengandung arti ganda, ataupun memberi kesempatan untuk ditafsirkan lain daripada yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang. Selanjutnya untuk menjawab ketidakpastian tersebut menurut penulis perlu dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak berupa penegasan mengenai pengertian jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi dan juga pengertian dari jasa Internet itu sendiri. Lalu perlu diberikan perincian jasa apa saja yang dapat dimasukkan di dalam jenis jasa ini mengingat banyak sekali jenis jasa dalam bisnis Internet ini di Indonesia mulai dari infrastruktur, service provider sampai bisnis content, arlinya apakah jasa itu yang merupakan -57- pendukung kehadiran (presence) di Internet atau jasa-jasa yang dijual melalui Internet. Hal seperti ini pernah dilakukan oleh DJP dalam menerangkan pengertian jasa teknik dan jasa manajemen sehubungan dengan adanya pertanyaan-peitanyaan yang ditujukan kepada DJP mengenai jasa-jasa itu. DJP pada akhirnya mengeluarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak No. SE08/PJ.222/1984 tanggai 15 Maret 1984 perihal jasa teknik dan jasa manajemen tersebut. Peraturan-peraturan yang dibuat untuk kepentingan Wajib Pajak harus diusahakan supaya peraturan-peraturan tersebut jelas dan tegas sehingga mencerminkan suatu kepastian hukum. Oleh karena itu DJP perlu memperhatikan pendapat-pendapat ataupun saran-saran dari pihak-pihak yang terkait dalam perumusan regulasi dan kebijakan Internet di Indonesia misalnya dalam hal ini adalah Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi yang membawahi Direktorat Jenderal Pos dan Teiekomunikasi. Saat ini Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi telah mempersiapkan rancangan kebijakan mengenai Internet misalnya rancangan keputusan tentang penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang di dalamnya mengatur pula jasa akses Internet, atau rancangan kebijakan tarip jasa akses Internet, dan Iain-Iain. Selanjutnya karena dalam Kep-176/PJ./2000 mengatur pula tentang jasa teiekomunikasi yang bukan untuk umum dan hal ini dapat terkait dengan pelaku usaha jasa Internet sebagai pemanfaat jasa telekomunikasi menurut penulis agar dalam pelaksanaan ketentuan tersebut tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda maka DJP perlu memberikan penegasan lebih lanjut mengenai jasa-jasa telekomunikasi mana saja yang atas -58- imbalannya dilakukan pemotongan oleh pemanfaat jasa. Walaupun sampai saat ini belum ada penegasan lebih lanjut, hal ini merupakan semacam dorongan bagi suatu perusahaan yang memanfaatkan jasa Internet untuk memotong pajak dan menyetor ke kas negara. Apabila tidak dilakukan maka perusahaan yang berkewajiban memotong dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Apabila dikaji lebih mendalam maka penulis dapat mengambil suatu gambaran bahwa dengan dimasukkannya jenis jasa lnternet.ini sebagai obyek PPh Pasal 23 tentunya ada beberapa alasan yang dapat diterima, yaitu sebagai berikut: a Saa. ini semakin marak jasa Interne, yang berkembang di Indonesia sehingga un.uk menarik penerimaan pajak dari perusahaan-perusahaan jasa Internet yang kemungkinannya suli, terpantau maka digunakanlah ketentuan PPh Pasa, 23 sebagaipembayaran pendahuluan pajak penghasilan. Pembayaran pajak dilakukan pada tahun berjalan melalui pemotongan oleh Pihak Iain yang menggunakan jasa.Dengan demikian pemotongan di sini bertujuan sebagai pengawasan bagi sistem self assessment oleh perusahaanperusahaan jasa Internet. - Wajib pajak yang dipotong penghasilannya tidak akan dirugikan karena pada akhir tahun PPh Pasa, 23 dapa, dikreditkan dalam perhitungan besarnya pajak terutang selama tahun pajak yang bersangkutan. Jadi penting bagi wajib pajak penyelenggara jasa Internet yang dipotong penghasilannya untuk menerima bukti pemotongan dari pihak-pihak yang wajib melakukan -59- pemotongan sehingga dapat digunakan sebagai kredit pajak. Jadi walaupun jenis jasa Internet yang diatur dalam Kep-176/PJ./2000 masih mengandung unsur ketidakpastian bagi pelaku usaha namun pada dasarnya PPh Pasal 23 yang dimaksudkan adalah bersifat tidak final sehingga bagi pihak penyelenggara jasa ,nternet yang dikenakan pemotongan dapat mengkreditkannya pada akhir tahun perhitungan SPT. 2. Peraturan di Bidang Pajak Pertambahan Nilai Mengenai jasa Internet di bidang PPN telah dikeluarkan peraturan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan surat edaran nomor: SE-45/PJ.53 1/1996 tanggal 25 November 1996 yang menyatakan bahwa jasa layanan Internet merupakan Jasa Kena Pajak. Penegasan ini merupakan jawaban Direktora, Jenderal Pajak terhadap semakin marak dan berkembangnya bisnis Internet di tanah air dan dengan dikeluarkannya surat edaran tersebut maka perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa layanan Internet (ISP) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dapat penulis katakan bahwa maksud dan tujuannya adalah agar ada suatu penegasan mengenai perlakuan perpajakannya sehingga tercipta perlakuan PPN yang sama di antara sesama pelaku bisnis Internet tersebut. Dengan adanya perlakuan PPN yang sama tersebut, pada akhirnya diharapkan akan menimbulkan suatu persaingan yang sehat di antara perusahaan-perusahaan penyelenggara jasa Internet. -60- Apabila diperhatikan dalarn SE-45/PJ.531/1996 yang diatur atau yang lebih ditekankan adalah jasa akses Internet saja. Hal tersebut nyata pada poin 3 mengenai Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPN temtang ataS penyerahan jasa layanan Internet adalah biaya sewa akses yang ditanggung atau dibayar atau seharusnya ditanggung atau dibayar oleh pelanggan. Dapat dimaklumi bahwa pada saat itu yang berkembang pesat adalah penyediaan jasa akses Internet saja, dengan kata lain jasa-jasa seperti hosting, desain, co-location belum banyak pemakainya. Memang pada pokotoya penyelenggara jasa Internet memberikan jasa akses Internet. Namun perkembangan yang begitu pesat dengan makin maraknya usaha-usaha dalam lingkungan Internet lainnya seperti hosting, detain, co-location dan Iain-Iain menyebabkan munculnya perusahaan-perusahaan baru yang memberikan jasa-jasa tersebut selain akses Internet kepada pelanggannya. Oleh karena jasa-jasa lain belum ada penegasan mengenai perlakuan PPN-nya dikhawatirkan ada pengusaha-pengusaha jasa Internet yang be.um mengenakan PPN atas jasa yang diberikan dan daiam prakteknya memang terdapat pengusaha-pengusaha jasa Internet yang belum melaksanakan kewajiban pemungutan dan penyetoran PPN. Menurut penulis hal ini dapat menyebabkan adanya perlakuan yang tidak seragam atas jasa-jasa Internet karena di satu pihak dikenakan PPN sedang di lain pihak tidak. Padahal sesuai dengan karakteritik PPN bahwa PPN mempakan pajak obyektif di mana PPN tidak membedakan siapa yang memanfaatkan jasa. Sepanjang pengguna jasa mengkonsumsi jasa yang sama maka akan diperlakukan sama. Oleh sebab Itu perlu adanya penegasan lebih -61- lanjut mengenai jasa-jasa Internet yang dikenakan PPN. B. Analisis Atas Obyek-Obyek Pajak Dalam Usaha Jasa Internet l.ObyekPPhPasaI23 a. Jasa Akses ke Internet Telah dibahas di atas mengenai jenis jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi, termasuk jasa Internet yang merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 23. Apakah dalam hal ini pemberian jasa akses Internet oleh penyelenggara jasa merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 23? Apabila pertama ditclusuri pada peraturan-peraturan sebelumnya, DJP kali menggunakan istilah Internet yailu pada surat edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-45/PJ.53I/1996 tanggal 25 November 1996 tentang PPN alas Jasa Layanan Jaringan Internet. Yang diatur di sini adalah hanya jasa akses Internet saja sebagaimana ditegaskan pada point 3 mengenai dasar pengenaan pajaknya adalah biaya sewa akses. Setelah tanggal tersebut DJP belum pernah mengeluarkan peraturan pelaksanaan lainnya mengenai jasa Internet. Jadi dalam hal ini keterkaitannya adalah mengenai jasa akses Internet itu sendiri. Namun DJP sendiri telah memanfaatkan Internet itu antara !ain dengan diresmikannya homepage Direktora. Jendera, Pajak sebagai sarana penunjang kinerja Direktorat Jenderal Pajak pada tanggal I Maret 1999 (SE-51/PJ./1999 tanggal 23 Maret 1999). Seperti telah dijelaskan pada Bab III, pemberian jasa ini ditujukan baik -62- pada pengguna dial-up maupun dedicated Namun sebenarnya apabila dikaji lebih lanjut ada dua target pasar yang menjadi incaran para penyelenggara jasa, yaitu pengguna individu dan pengguna korporat. Pengguna individu di sini pada umumnya akan menggunakan line telepon yang sudah dimiliki untuk mengakses Internet. Biaya paket akses yang tersedia untuk pelanggan individu tidak semaha! alau jauh lebih murah dibandingkan dengan paket untuk korporat. Dapat dimaklumi karena adanya keterbatasan kemampuan pelanggan perorangan misalnya dalam hal penyediaan dana anggaran untuk keperluan tersebut. Logikanya selain harus membayar biaya akses, pelanggan individu akan membayar biaya telepon yang dipakai sebagai media saluran Internet. Olch sebab itu paket yang diberikan pun terbatas untuk sekian belas atau puluh jam saja, jarang yang memakai paket akses unlimited misalnya. Menurut pengalaman penulis sebagai pengguna jasa Internet, ISP menyediakan laporan baikyang bersifat summary maupun detil kepada pelanggan dial-up untuk dapat mengetahui sudah seberapa jauh waktu pemakaian jasa oleh pelanggan.. Dengan demikian dapat saja informasi tersebut dipakai misalnya untuk menyesuaikan dengan anggaran yang dimiliki pelanggan. Lain halnya apabila perusahaan-perusahaan besar yang menginginkan akses Internet untuk kepentingan jaringan lokalnya, biasanya paket akses untuk jenis ini sangat mahal. Selain harus membayar biaya akses yang mahal ke ISP, perusahaan juga harus membayar media saluran telekomunikasi khusus yang juga memang mahal kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi tersebut. Biasanya -63- jaringan khusus yang diminta perusahaan ini bersifa. sambungan permanen (dedicated connection) sehingga perusahaan dapat memanfaatkan Internet setiap waktu (unlimited access), Lagipula karena sifatnya yang permanen menyebabkan jasa ini sulit untuk dipantau, lain dengan akses dial-up yang secara otomatis terekam waktu pemakaiannya pada server komputer perusahaan jasa. Menurut penulis karena ada potensi pajak penghasilan yang besar atas penghasilan yang diterima oleh ISP terutama dalam menyediakan akses Internet kepada perusahaan-perusahaan maka sudah selayaknya perlu ada pengawasan atas imbalan jasa yang diterima ISP dengan melakukan sistem pemotongan pajak penghasilan. Kemudian bahwa sesuai dengan SE- 45/PJ.53./.996 tanggal 25 November ,996 telah ditetapkan bahwa jasa â– ayanan Internet adalah jasa akses. Selain itu ada kemungkinan a.as pemberian jasa ini sulit dipantau oleh aparat perpajakan karena memang sangat . teknis sekali sifatnya. Jadi menurut penulis jasa Internet yang dimaksudkan dalam poin g Lampiran II KeP-l76/PJ./2000 tanggal 26 Juni 2000 meliputi jasa akses Internet. b. Jasa Hosting Web Pada dasarnya jasa-jasa hosting maupun co-location tidak dapat dipisahkan dari jasa akses Internet. Jasa nosiing maupun conation yang diberikan oleh penyelenggara jasa memanfaatkan infrastruktur salunm Internet -64- yang dimilikinya, sehingga jasa-jasa ini merupakan nilai tambah dari adanya koneksi Internet. Penyelenggara jasa yang menawarkan hosting Web baik yang bersifat .Wmaupun dedicated *Un menampung situs Web para pelanggannya dalam server milik mereka dan menyambungkannya ke jaringan Internet. Dan perusahaan hosting yang baik akan memberikan informasi-informasi laporan lalu lintas untuk situs pelanggan. Sebagian besar penyedia layanan penempatan Web akan memberikan data tersebu, dalam laporan yang mudah dibaca dan mengirimkannya ke pengguna jasa. Informasi-informasi penting tersebut misalnya jumlah pengguna unik (pengguna yang berbeda, karena ada satu atau lebih pengguna yang masuk oerulang kali) yang bisa diketahui berdasarkan alamat Internet mereka, serta jumlah halaman yang dilihat para pengunjung. Setiap individu maupun korporat yang akan menghadirkan profile mereka di Internet ataupun untuk tujuan lain memerlukan jasa ini apabila mereka tidak menginginkan untuk mempunyai server sendiri dan terhubung secara permanen ke Internet. Penawarannya pun terdiri dari paket-paket yang pada dasarnya semakin banyak fitur yang ditawarkan akan semakin mahal biaya yang harus dikeluarkan pelanggan seperti kapasitas tempat yang disediakan. Mengenai jasa hosting ini sebenarnya dapat dikategorikan sebagai sewa atau penggunaan harta sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 23 ayat 1 huruf c poin . UU PPh. Sebabnya adalah bahwa pelanggan menggunakan server Web -65- perusahaan penyelenggara jasa. Namun ada sifat unik yang menurut penulis tidak tepat apabila dikategorikan dalam sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, mengingat harta yaitu server Web yang digunakan tidak dikuasai oleh pelanggan artinya tidak ditempatkan di rumah atau di gedung milik pelanggan melainkan pelanggan hanya dapat memelihara situs Web mereka di server secara remote dari jarak jauh melalui Internet. Pelanggan tidak memelihara hardware-nya melainkan hal tersebut dilakukan oleh penyelenggara jasa. Selain itu karena dalam hal ini masih terkait dengan suatu lingkungan Internet sehingga lebih tepat apabila jasa hosting ini termasuk dalam jasa Internet yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23. Namun demikian apabila diperhatikan tidak ada perbedaan tarif efektif pemotongan atas imbalan dari sewa atau penggunaan harta dengan jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi (termasuk jasa Internet), yaitu sama-sama sebesar 6% dari jumlah penghasilan bruto. Mencermati makin banyaknya penyelenggara jasa ini di tanah air perlu kiranya dilakukan pengamanan penerimaan negara dengan pengawasan terhadap penghasilan yang diterima oleh mereka yang berusaha dalam bidang ini, sehingga perlu dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan yang diterima wajib pajak. c. Jasa Co-Location Server Web Jasa ini mirip dengan hosting jenis dedicated server di mana -66- perbedaannya hanyalah terlctak pada kepemilikan perangkat server Web. Kalau pada jasa dedicated server, server yang dipakai adalah milik penyelenggara jasa, sedangkan pada jasa co-location, perangkat server Webnya adalah milik pelanggan. Pada jasa co-location, server Web milik pelanggan dititipkan pada suatu tempat yang aman yang merupakan tanggung jawab perusahaan penyelenggara jasa untuk kemudian dihubungkan ke jaringan Internet secara terus-menerus. Tempat yang aman di sini bisa berarti kabinet yang aman, power yang stabil dan punya cadangan, maupun pemeliharaan rutin, di mana pada tempat perusahaan pelanggan tidak dapat menjamin keamanan tersebut. Jasa ini banyak dipakai oleh perusahaan-perusahaan berbasis Internet misalnya seperti perusahaan portal. Pelanggan dikenakan biaya bulanan atas jasa yang diterima dan besarnya biaya pada umumnya memperhatikan permintaan konsumen seberapa besar kapasitas bandwidth yang diminta, semakin besar akan semakin mahal. Jadi dapat dikatakan bahwa pemakai jasa ini adalah perusahaan-perusahaan yg mengandalkan Internet untuk berbagai kebutuhan. Penyelenggara jasa akan membebankan biaya penitipan server tersebut yang akan memasukkan unsur-unsur biaya koneksi Internet, biaya pemeliharaan dan biaya sewa tempat dalam menghitung harga jualnya. Oleh karena adanya unsur-unsur obyek PPh Pasal 23 atas penghasilan yang diterima oleh penyelenggara jasa terutama adanya pembebanan biaya koneksi ke Internet dan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya -67- bahwa jasa koneksi Internet secara permanen merupakan obyek PPh Pasal 23 maka atas jasa co-location ini menurut penulis akan termasuk juga dalam pengertian jasa Internet sebagaimana yang tertuang dalam jenis jasa lain Lampiran II poin g Kep-176/PJ.720OO tersebut. Jadi jelas dalam hal ini jasa co-location dapat dimasukkan sebagai obyek pemotongan PPh Pasal 23 dalam rangka pelengkap dan pengawasan bagi perusahaan penyelenggara jasa dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. d. Jasa Pembuatan Situs Web Untuk pembuatan suatu situs Web diperlukan orang-orang yang ahli merancang Web (Web design) maupun memprogram Web (Web programming). Saat ini sudah bermunculan dan makin bertambah banyak orang-orang yang memiliki keahlian tersebut dan banyak perusahaan yang memerlukan berani membayar mahal kepada mereka atau mereka diizinkan untuk bekerja secara paruh waktu (part time) pada perusahaan. Hal ini dapat dimengerti karena saat ini bisnis melalui Internet sedang gencar-gencarnya dilakukan oieh banyak orang. Seiring dengan itu mereka membutuhkan suatu situs Web yang mampu menarik para pengunjung untuk singgah pada situs mereka. Tidak dapat dihindari mereka membutuhkan tenaga perancang Web yang profesional. Contohnya dalam pembuatan situs portal di mana selain desain yang menarik juga diperlukan mesin pencari untuk memudahkan user dalam proses pencarian yang diperlukan, atau pemberian e-mail gratis pada user di mana diperlukan suatu pemrograman khusus untuk menangani database e-mail tersebut. -68- Menurut pendapat penulis jasa desain Web dan pemrograman Web ini dapat dikategorikan sebagai jasa teknik. Sedangkan dalarn Bab II telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jasa teknik yang telah adalah pemberian jasa dalam bentuk informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang meliputi suatu proyek tertentu, membuat suatu jenis produk tertentu, dan dapat juga dalam bentuk informasi yang berkenaan dengan pengalaman di bidang manajemen. Jasa ini bisa diberikan sekali saja atau berkali-kali sesuai dengan kontrak perjanjian yang telah disepakati. Maksudnya diberikan sekali saja bahwa si penerima jasa misalnya tidak ingin memperbahami situs Web mereka karena atas informasi yang diberikan oleh pembuat jasa mereka sudah dapat melakukannya sendiri, sedangkan berkali-kaii di sini dimaksudkan adalah situs Web penerima jasa perlu diperbaharui atau di-update dengan alasan-alasan tertentu dalam periode waktti tertentu. Misalnya supaya pengunjung tidak merasa bosan dengan tampilan yang itu-itu saja, atau situs-situs berita yang tiap saat perlu perbaharui sehubungan dengan adanya berita-berita baru misalnya dari pelosok tanah air, dan Iain-lain. Berkenaan dengan makin maraknya orang-perorangan maupun badan usaha yang bergerak dalam bidang ini menurut penulis perlu digali potensi pajaknya atas penghasilan yang diterima desainer. Untuk melakukan pengawasan atas penghasilan yang tidak dilaporkan perlu dilakukan pcmotongan pajak penghasilan oleh pihak ketiga. Dan berdasarkan analisis -69- di atas terhadap jasa pembuatan situs Web menurut penulis merupakan obyek dan potensi PPh Pasal 23. Atas jasa pembuatan situs Web (Web design maupun Web programming! ini belum diatur dalam Kep-176/PJ./2000 tanggal 26 Juni 2000 walaupun menurut penulis dapat saja dimasukkan dalam kategori jasa teknik. Namun dengan lebih spesifik menyebutkan jenis jasa ini dalam peraturan perpajakan ha! ini lebih menjamin adanya suatu kepastian hukum. Jadi dengan alasan-alasan di atas sebaiknya jasa pembuatan situs Web dapat dipertimbangkan sebagai perluasan obyek pajak PPh Pasal 23 dan dimasukkan dalam kategori jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994. Untuk perkiraan penghasilan neto adalah sesuai dengan jasa teknik sebesar 40%. e. Jasa-jasa Lainnya Penyelenggara jasa Internet dalam melayani pelanggan berupa perusahaan-perusahaan korporat atau pengusaha warung Internet biasanya akan melakukan instalasi-instalasi komputer dan peralatannya yang terkait dengan jaringan komputer (LAN) Tergantung tingkat kesukaran yang dihadapi maka atas pemasangan jaringan komputer pada perusahaan pelanggan biasanya akan dikenakan biaya. Atas imbalan jasa ini perusahaan pelanggan berkewajiban memotong PPh Pasal 23 sesuai dengan ketentuan dalam KepI76/PJ./2000 pada Lampiran- II poin c mengenai jasa instalasi/pemasangan -70- peralatan. Begitu juga atas pelatihan dan konsultasi di bidang Internet karena obyek-obyek ini pada dasarnya merupakan pemberian jasa teknik dan yang sudah jelas diatur dalam perundangan perpajakan yang berlaku yaitu Kep-176/PJ.720O0 tangga! 26 Juni 2000. Perlu diperhatikan juga apabila terjadi pelatihan yang terkait misalnya dengan jasa co-location ha! ini akan menimbuikan terutangnya PPh Pasal 23. Sebagai contoh adalah seperti yang pernah penulis baca pada media Internet atas terjadinya penyusupan crackers ke server co-location di AccessNet. Dalam media tersebut dijelaskan pula bahwa AccessNet juga menyediakan pelatihan untuk dua system administrator ten pelanggan yaitu PT Interaksi Intimedia dengan maksud untuk memperkecil resiko kemungkinan server pelanggan disusupi oleh crackers, Dalam pelatihan itu diterangkan mengenai beberapa lubang yang terdapat dalam sistem operas! pelanggan. Menurut penulis pemberian pelatihan tersebut masuk dalam kategori pemberian jasa teknik. Jadi dalam hal ini terjadi pemberian informasi mengenai sistem operasi yang digunakan dalam server pelanggan, sehingga apabila ada imbalan atas jasa yang diberikan maka hal ini akan menimbuikan terutangnya PPh Pasal 23. 2. Obyek Pajak Pertambahan Nilai Pada Bab II dijelaskan bahwa pertambahan nilai tercipta karena digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur pemisahaan dalam menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau dalam memberikan pelayanan jasa. Semua biaya yang berkaitan dengan menghasilkan, -71- menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau dalam memberikan pelayanan jasa merupakan unsur pertambahan nilai yang menjadi dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Berikut ini akan dibahas mengenai jasa-jasa Internet yang makin marak sebagai potensi PPN yang perlu diperhatikan oleh Direktorat Jenderal Pajak: a. Jasa Akses Internet Jasa akses Internet merupakan jasa yang disediakan oleh penyelenggara jasa Internet kepada pelanggan sehingga pelanggan dapat mengakses dan memanfaatkan Internet untuk berbagai macam kegiatan seperti sebagai sumber pencarian informasi, diskusi dan lain sehagainya. Akses ke Internet terjadi karena menggunakan infrastruktur saluran komunikasi yang telah ada seperti saluran telepon atau infrastruktur jaringan TV kabel. Dalam ha! ini pertambahan nilar tercipta karena adanya pemberian pelayanan jasa. Mengenai jasa akses Internet ini telah ditegaskan oleh Direktur Jenderal Pajak bahwa jasa akses Internet merupakan obyek PPN. Sementara itu, pada saat ini dengan makin majunya perkembangan teknologi telekomunikasi menyebabkan makin banyaknya metode untuk mengakses Internet. Menurut penulis pada dasarnya jasa akses Internet ini merupakan perpanjangan dari media telekomunikasi yang ada sehingga akibatnya adalah apabila seseorang mengakses Internet maka ia pun harus menggunakan jasa telekomunikasi. Jadi dengan makin banyaknya pengakses Internet maka pendapatan atas jasa telekomunikasi pun bertambah. Dengan kata lain potensi PPN -72- yang muncul daiam hal ini selain atas penyerahan jasa akses juga atas penyerahan jasa telekomunikasi yang digunakan. Dalam hal ini DJP perlu juga memperhatikan perkembangan usaha jasa di bidang telekomunikasi karena infrastruktur Internet tergantung dari teknologi jaringan telekomunikasi yang ada. Contohnya adalah perkembangan akses internet melalui satelit atau kabel serat optik yang disebut dengan layanan multimedia broadband. Pada saat pertama kali berlangganan pada umumnya pelanggan akan dikenakan biaya pendaftaran yaitu untuk men-setup atau pengadministrasian account pelanggan dan biaya bulan pertama berlangganan. Jadi perlu ditegaskan dasar pengenaan pajak (DPP) pada bulan pertama adalah biaya pendaftaran dan biaya akses yang ditanggung atau dibayar atau seharusnya ditanggung atau dibayar oleh pelanggan, sedangkan pada bulan-bulan berikutnya DPP-nya hanya berupa biaya akses saja. Namun demikian dari hasil pengamatan penulis hal ini tidak mutlak karena ada beberapa service provider yang tidak mengenakan charge atas pendaftaran. b. Jasa - jasa Hosting Web dan Co-location Server Web Telah dijelaskan pada Bab III, bahwa jasa-jasa yang diselenggarakan oleh perusahaan penyelenggara jasa Internet tidak hanya jasa akses Internet saja melainkan ada beberapa jasa-jasa lainnya terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan Internet. Jasa-jasa selain jasa akses adalah jasa Web hosting Web, dan co-location server Web. Melihat perkembangan belakangan ini maka perusahaan-perusahaan yang menawarkan jasa ini tidak hanya penyelenggara -73- jasa Internet (ISP) saja namun muncul perusahaan-perusahaan lain yang dalam hal ini menyelenggarakan jasa Internet namun tidak menawarkan jasa akses Internet yang disebut sebagai Internet Presence Provider. Menurut penulis hal ini menunjukkan makin banyaknya masyarakat baik pengusaha rnaupun bukan pengusaha yang menggunakan Internet untuk berbagai keperluan. Apabila mereka ingin menampilkan kehadiran mereka di Internet tentunya akan menggunakan jasa-jasa tersebut diatas. Apabila ditinjau dari pokok-pokok ketentuan mengenai pajak atas konsumsi di dalam negeri yang tercantum dalam Penjelasan Atas UU Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM, pertambahan nilai tercipta karena digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam memberikan pelayanan jasa. Perusahaan-perusahaan Internet seperti jasa hosting dan co-location sebenarnya menggunakan jasa akses Internet yang dimilikinya untuk dijual kepada pihak lain. Dalam jasa hosting, perusahaan menyediakan tempat pada server mereka untuk menampung situs-situs Web pelanggan, sedangkan dalam jasa co-location, perusahaan menyediakan tempat yang aman untuk menampung server pelanggan dan menghubungkannya secara permanen ke jaringan Internet. Di sini terjadi pertambahan nilai dari penjualan jasa hosting dan co-location kepada pelanggan dikurangi dengan penggunaan jasa akses Internet dari ISP. Berdasarkan perundangan perpajakan yang berlaku yang telah dinyatakan dalam landasan teori pada Bab II, yaitu sesuai dengan ketentuan Pasal 4A Undang- -74- undang No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPn BM sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 11 Tahun 1994 jo Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1994, jasa-jasa tersebut di atas tidak termasuk dalam jenis jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Dengan dernikian jasa-jasa atas pemanfaatan Internet seperti hosting, dan co-location yang diselenggarakan oleh ISP maupun IPP seperti yang telah dikemukakan di atas merupakan Jasa Kena Pajak. Atas penyerahan jasa ini akan terutang PPN apabila yang memanfaatkannya berada di dalam daerah pabean. Dasar pengenaan pajak untuk menghitung PPN yang terutang atas penyerahan jasa hosting Web maupun jasa co-location server Web adalah nilai penggantian yaitu semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penyelenggara jasa, atau dengan kata lain semua biaya yang dibayarkan oleh pelanggan termasuk adanya biaya pendaftaran pertama kali dan juga biaya berbagai fitur-fitur tambahan yang dikehendaki dan digunakan oleh pelanggan. c. Jasa Pembuatan Situs Web Jasa pembuatan situs Web rnakin marak sejalan dengan perkembangan makin banyaknya pengguna Internet di tanah air. Jasa ini belum diatur secara khusus oleh DJP namun menurut penulis perlu dipertegas karena merupakan potensi PPN yang perlu digali. Sesuai dengan pengertian Jasa Kena Pajak bahwa jasa menghasilkan ini termasuk barang (tak dalam pengertian jasa berwujud) karena yang pesanan dilakukan atas untuk petunjuk dari pemesan. Atas suatu karya situs Web yang dihasilkan maka pembuat situs atau -75- desainer menerima imbalan jasa. Sesuai ketentuan Pasal 4A UU PPN jo Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994, jasa pembuatan situs Web (desain dan pemrograman Web) tidak termasuk dalam jenis jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN., oleh karena itu jasa ini merupakan Jasa Kena Pajak. Dengan demikian atas penyerahan jasa ini harus terutang PPN apabila dimanfaatkan di dalam daerah pabean. Dasar pengenaan pajak untuk menghitung PPN yang terutang atas penyerahan jasa pembuatan situs Web adalah nilai penggantian yang diminta oleh pembuat situs Web atau harga yang telah disepakati dalam kontrak perjanjian. C. Analisis Atas Perlakuan Pcrpajakan Usaha Jasa Internet 1. Perlakuan PPh Pasal 23 Disebutkan pada Lampiran 11 poin nomor 2 huruf g Kep-176/PJ./2000, jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong PPh Pasal 23 adalah jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi, termasuk jasa internet. Jadi jenis jasa ini merupakan obyek PPh Pasal 23 dan dikenakan pajak dengan tarif 15% dari perkiraan penghasilan neto yang ditetapkan sebesar 40% sesuai dengan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak tersebut. Dengan demikian tarif efektifnya adalah sebesar 15% x 40% = 6% dari penghasilan bruto di luar PPN. Hal ini berlaku juga atas penyerahan jasa teknik yang diatur dalam poin nomor 2 huruf a dalam lampiran yang sama peraturan tersebut. Jadi tarif efektif PPh Pasal 23 atasjasa teknik adalah 6% juga. Dalam hal siapa yang melakukan pemotongan telah diatur dalam -76- Undang-undang PPh 1994. Pihak yang membayar penghasilan wajib melakukan pemotongan dan menyetorkannya ke kas negara, yaitu badan pemerintah, subyek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, kemudian orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong PPh Pasal 23. Mengenai orang pribadi sebagai pemotong pajak sejauh ini apabila diperhatikan pada peraturan perpajakan yang berlaku yaitu dalam Pasal I jo. Pasal 2 Keputusan Dirjen Pajak Nomor: Kep-50/PJ./1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang Penunjukkan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Tertentu sebagai Pemotong PPh Pasal 23 ditetapkan bahwa akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (kecuali Camat), pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas serta orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pcmbukuan, yang telah terdaftar sebagai wajib pajak ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa. Jadi selama ini orang pribadi yang melakukan pemotongan PPh Pasal 23 hanya atas sewa atau penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta saja (yaitu yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c poin 1 UU PPh). Menurut penulis melihat makin maraknya pengusaha-pengusaha warung Internet orang-perorangan saat ini, mereka dapat saja ditunjuk oleh DJP untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa akses Internet kepada ISP. Hal ini mengingat potensi pajak yang timbul yang pada dasarnya akses yang mereka -77- gunakan merupakan paket akses yang memerlukan waktu akses yang besar sehingga biaya yang dikeluarkan cukup besar dan bagi penyelenggara jasa juga merupakan potensi penerimaan yang besar. Apalagi sekarang bermunculan layanan akses broadband misalnya lewat satelit atau jaringan TV kabel yang merupakan alternatif menarik bagi pengusaha warung Internet selain meialui saluran telepon baik secara dial-up maupun leased line. Apabila pengusahapengusaha warnet ini ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas jasa Internet maka dalam hal ini perlu digalakkan penyuluhan-penyuluhan mengenai hak dan kewajibannya sebagai pemotong PPh Pasal 23 oleh DJP. Namun demikian menurut penulis penunjukan sebaiknya terbatas pada pengusaha warnet yang besar misalnya dengan karakteristik menggunakan saluran telekomunikasi permanen seperti leased line atau VSAT dan yang telah menjalankan usahanya dengan menyelenggarakan pembukuan. Hal yang sama berlaku juga bagi para pelanggan orang-perorangan yang memakaijasa hosting Web pada penyelenggara jasa Internet. Dampak harus melakukan pemotongan pajak penghasilan belum terasa karena pada dasarnya mereka tidak ditunjuk oleh DJP sebagai pemotong pajak. Dengan demikian atas pembayaran imbalan jasa-jasa akses Internet, hosting maupun desain yang dilakukan oleh individu pada umumnya tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23. Menurut penulis hal ini memang ditujukan bagi pemakai jasa. korporat sehingga mereka wajib melakukan pemotongan pajak atas pembayaran imbalan jasa. Namun bagi penyelenggara jasa Internet maupun usaha lain di bidang Internet serta -78- pengguna jasa Internet yang wajib melakukan pemotongan perlu diberikan penyuluhan agai di antara mereka terjadi keseragaman perlakuan perpajakan. Adanya ketidaseragaman perlakuan perpajakan dalam hal pemotongan PPh Pasal 23 menurut penulis dapat disebabkan dua hal. Pertama, ISP tidak tahu menahu mengenai hal ini, Alasan ini bisa disebabkan karena tidak adanya sosialisasi mengenai Kep-176/PJ./2000. Alasan lainnya bisa saja disebabkan karena ada unsur ketidakpastian mengenai jasa-jasa internet mana saja yang dilakukan pemotongan. Kedua, ISP tidak ingin dilakukan pemotongan atas penghasilan yang diterimanya. Mengenai hal ini ada dugaan bahwa pihak perusahaan jasa tidak ingin informasi penghasilan yang diterima dilaporkan dalam SPT. Selanjutnya atas biaya registrasi menurut penulis tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 dengan alasan biaya registrasi hanya berupa aktivasi account pelanggan dan kegiatan adminstrasi pembukuan atau sejenisnya. Namun apabila dalam biaya registrasi termasuk juga biaya imtalasi hardware ataupun pengaturan jaringan di tempat pelanggan, maka ha! ini menurut penulis termasuk obyek PPh Pasal 23 yang harus dilakukan pemotongan sesuai Kep-176/PJ./2000 mengenai jasa instalasi/pemasangan. Hal ini pun perlu dipertegas oleh DJP apakah biaya registrasi termasuk dalam pengertian jasa Internet. Selain itu perlu diperhatikan juga jumtah yang dipotong. Misalnya apabila perusahaan berlangganan 100.000,00 sebulan, apakah akses dalam hal Internet jenis dial-up seharga Rp ini pantas dilakukan pemotongan? -79- Tentunya apabila dipotong maka hanya sejumlah Rp 6.000,00 saja sehingga dapat terjadi biaya pemungutan/pemotongan dan penyetoran ke kas negara bisa lebih tinggi dari hasil yang rnasuk ke kas negara, yang menurut penulis tidak pantas dilakukan pemotongan dengan kata lain dapat diabaikan karena jumlah yang tidak material. Namun hal ini apabila dilakukan melalui kontrak misalnya selama satu tahun dan harus dibayar di muka maka jumlah yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp 1.200.000,00 setahun dan jumlah pajak yang harus dipotong menjadi lebih reaiistis yaitu sebesar Rp 72.000,00. Lebih banyak dijumpai seperti hal tersebut di atas adalah atas pemanfaatan jasa hosting karena harga yang ditawarkan relatif murah kecuali apabila kapasitas dan spesifikasi yang diininta adalah khusus yaitu sesuai dengan kebutuhan pelanggan yang membutuhkan space sangat besar. Jadi apabila perusahaan pelanggan melakukan pemotongan pajak atas imbalan jasa ini yang hanya katakanlah Rp 200.000 sebulan berarti 6% x Rp 200.000,00 adalah Rp 12.000,00. Menurut penulis perlu dilakukan pembatasan berapa batas imbalan minimal yang realistis untuk dilakukan pemotongan agar dapat memenuhi syarat economics of collection atau apabila besarnya pajak relatif tidak material jumlahnya maka tidak perlu dilakukan pemotongan dengan kata lain dapat diabaikan. Namun khusus untuk jasa hosting jenis dedicated server perlu dilakukan pemotongan atas imbalan jasa karena nilai transaksi yang terjadi relatif besar. Pada Bab II telah dijdaskan mcngenai saat tcrutang, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 23, yaitu: -80- • PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan. • PPh Pasal 23 yang hams disetorkan oleh pemotong pajak selambat- lambatnya tanggal sepuluh bulan berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak • Pemotong PPh Pemberitahuan Pasal 23 diwajibkan menyampaikan Surat Masa (SPM) selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. • Pemotong kepada PPh Pasal 23 harus member! tanda bukti pemotongan orang pribadi atau badan yang dibebani membayar pajak penghasilan yang dipotong. Untuk memperjelas ketentuan di atas mengenai perlakuan PPh Pasal 23, maka diberikan contoh mengenai jasa co-location server Web. PT ABC berniat menggunakan jasa server co-location yang diselenggarakan oleh perusahaan jasa Internet PT Indoteknet. Sesuai dengan permintaan PT ABC jumlah saluran kecepatan (bandwidth) yang diminta adalah sebesar 64 kbps. Untuk itu PT Indoteknet mcmbebankan biaya setup (registrasi dan instalasi) sebesar Rp 550.000,00 dan biaya bulanan sebesar Rp 4.400.000,00 minimal waktu kontrak adalah 4 bulan. PT Indoteknet juga mengadakan pelatihan bagi system administrator PT ABC yang menggunakan sistem operas! SunOS, sehingga total biaya yang harus dikeluarkan oleh PT ABC adalah sebesar Rp 21.450.000 (termasuk PPN). Pada saat penandatangan kontrak tanggal 3 Agustus 2000 -81 - jumlah tersebut dilunasi seluruhnya. Dalam hal ini PT ABC hams melakukan pcinotongan PPh Pasai 23 atas imbalan jasa Internet dan jasa teknik yang diterima oleh PT Indoteknet sebesar Rp 1.170.000,00 dengan perhitungan sebagai berikut: Jumlah jasa termasuk PPN Rp2 1 .450.000,00 -/- PPN (10/110 x Rp 21.450.000,00) Rp Jumlah jasa tidak termasuk PPN Rp 19.500.000,00 Perkiraan penghasiian neto (jasa Internet/teknik) Dasar pemotongan PPh Pasal 23 i 5 % PPh Pasal 23 yang harus dipotong PT ABC memotong sejumlah 40% Rp 7.800.000,00 Tarif PPh Pasal 23 Atas 1.950.000.00 Rp 1.170.000,00 Rp tersebut PT ]. 170.000,00 ABC harus dan menyetorkannya kepada kas negara selambat-lambatnya tanggal 10 September 2000 dengan menggunakan surat setoran pajak (SSP). Bukti pemotongan dibuat dengan tiga rangkap dan lembar pertama hams diserahkan kepada pihak perusahaan jasa yang menerima penghasiian dalam hal ini PT Indoteknet. Selambat-lambatnya tanggal 20 September 2000 PT ABC diwajibkan menyampaikan SPM ke KPP dengan dilampiri daftar bukti pemotongan, SSP, dan bukti pemotongan PPh Pasal 23. Sedikit penulis tambahkan mengenai kemungkinan adanya potensi pajak -82- lainnya dalam usaha ini yaitu mengenai PPh Pasal 26 Dalam gambaran usaha pada Bab III teiah dijelaskan adanya pernbayaran-pernbayaran jasa Internet ke luar negeri seperti atas sewa bandwidth ke upstream provider oleh penyelenggarajasa Internet di dalam negeri. Untuk itu perlu dicermati adanya potensi pajak PPh Pasal 26 atas pembayaran jasa tersebut dan perlu diteliti apakah penyelenggarajasa di dalam negeri melakukan pemotongan PPh Pasal 26 atas imbalan jasa yang diberikan. Selain itu banyak pula penyelenggara jasa hosting di tanah air yang memanfaatkan jasa dedicated server dari luar negeri yang mana atas pembayaran imbalan jasa menurut penulis akan timbul PPh Pasal 26 bersifat final yang harus diiakukan pemotongan oleh penerima jasa di Indonesia. Contohnya adalah PT A merupakan ISP yang berdiri dan berkedudukan di Indonesia. Setiap bulan PT A harus melakukan pembayaran sewa bandwidth berkapasitas 4 Mbps ke ISP Global di USA, setelah dikonversi ke dalam rupiah adalah sebesar Rp 250.000.000,00. Di samping itu untuk melayani kebutuhan pelanggan dalam negeri akan jasa hosting Web perusahaan menggunakan perangkat server Web sendiri yang berlokasi di Indonesia dan juga menyewa beberapa server Web dari perusahaan yang sama di USA. Biaya yang harus dikeluarkan untuk sewa server ini setelah dikonversi ke dalam mata uang dalam negeri adalah Rp 50.000.000,00 per bulan. Atas imbalan sejumlah Rp 300.000.000,00 ini PT A berkewajiban melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20% final dari jumlah tersebut. Jadi sejumlah Rp 60.000.000,00 merupakan PPh Pasal 26 yang harus disetor ke kas negara. -83- Apabila pihak pemberi jasa di luar negeri tidak bersedia dipotong pajak atas imbalan jasa Internet yang diterima atau diperolehnya, maka dalam hal ini pihak penerima jasa di dalam negeri harus menanggung potongan pajak tersebut. Jumiah imbalan jasa yang terutang atau yang dibayarkan ke luar negeri tersebut merupakan jumiah neto (yaitu suatu jumiah imbalan yang telah dipotong PPh Pasai 26) yang jumlahnya adalah sebesar 80% dari jumiah imbalan jasa bruto yang terutang atau dibayar. Oleh karena itu penghitungan PPh Pasal 26 (tarif 20% misalnya karena tidak ada tax treaty} menjadi 20% dikali jumiah imbalan bruto, yaitu 20% x 100/80 x imbalan jasa yang terutang atau dibayar atau 25% dikali jumiah imbalan jasa yang terutang atau dibayar. Melihat contoh di atas apabila ISP Global di USA tidak berkenan dilakukan pemotongan dalam arti ia hanya bersedia menerirna neto sebesar Rp 300.000.000,00 maka perhitungan dasar pengenaan PPh Pasal 26 adalah 100/80 x Rp 300.000.000,00 -Rp 375.000.000,00. Selanjutnya besarnya PPh Pasal 26 yang terutang adalah sebesar 20% x Rp 375.000.000,00 = Rp 75.000.000,00. Jadi perusahaan di USA tersebut tetap menerima imbalan jasa sejumlah Rp 300.000.000,00 sesuai yang dikehendakinya. 2. PerlakuanPPN Sesuai memori penjelasan Pasal 1 huruf f UU Nomor 11 tahun 1994 bahwa pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali ditentukan lain oleh undang- undang. Selanjutnya yang diatur secara rinci oleh PP 50 Tahun 1994 adaiah jenis- jenis jasa yang tidak dikenakan PPN. Akibat pemuatan dalam bentuk negative -84- list tersebut UU PPN memiliki kemampuan yang fleksibel dan mudah mengikuti perkembangan karena pengertian Jasa Kena Pajak menjadi sangat luas sehingga luas pula cakupan obyek pajaknya. Jadi penampilan negative list mempunyai dampak yang menguntungkan dalam menggali potensi pajak. Namun perlu diperhatikan pula bahwa dengan hanya mengandalkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 1994 tanpa peraturan pelaksanaan maupun petunjuk pelaksanaan akan menimbulkan tanda tanya besar dikalangan masyarakat wajib pajak tentang jenis-jenis jasa yang alas penyerahannya dikenakan PPN. Permasalahan ini selalu diselesaikan dengan jawaba.n-jawaban yang sama bahwa semua jasa selain 12 kelompok jasa yang diatur dalam peraturan pemerintah tersebut adalah Jasa Kena Pajak. Meskipun demikian, masyarakat tetap masih bertanya-tanya mengenai jenis jasa yang dimaksud oleh jawaban itu. Terlebih lagi dengan perkembangan dunia usaha Internet yang begitu banyak menawarkan jasa-jasa Internet sehingga perlu adanya penegasan mengenai jasa-jasa tersebut agar tercipta perlakuan PPN yang sama oleh pelaku-pelaku usaha di dalam negeri. Apabila disimak lebih mendalam, penetapan negative list memang kurang memberikan kepastian hukum. Pengamatan penulis pada situs-situs Web pemsahaan jasa Internet tidak seluruhnya menampilkan daftar harga dengan diserlai informasi apakah sudah termasuk PPN atau beium. Dikhawatirkan bahwa banyak usaha ini yang belum mehporkan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dengan kata lain dalam prakteknya masih banyak perusahaan-perusahaan tersebut yang -85- belum memenuhi kewajibannya memungut PPN atas pemanfaatan jasa hosting, desain, dan co-location. Hal ini menurut penulis dapat memberikan iklim persaingan yang tidak sehat bagi pelaku bisnis sejents terutama penyelenggara jasa Internet (ISP), di mana pengenaan dan pemungutan PPN ini mempakan kewajiban bagi Pengusaha Kena Pajak. Mengingat pada Bab II telah dijelaskan adanya prinsipprinsip dasar pengenaan pajak, saiah satunya adalah obyek dan subyek pajak dibuat seluas mungkin dengan tetap memperhatikan azas keadilan dalam pemungutan pajak. Maka jasa-jasa hosting, desain dan co-location mempakan obyek pajak bam yang semakin marak akhir-akhir ini yang perlu digali potensinya. Menurut penulis mengenai tidak dilakukannya pemungutan oleh perusahaan jasa Internet bisa disebabkan oleh beberapa alasan: a. Wajib pajak masih mempakan Pengusaha Kecil Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 huruf 1 UU PPN 1984, Pengusaha Kecil bukan Pengusaha Kena Pajak. Tetapi apabila terjadi hal yang sebaliknya, yaitu pengusaha yang tergolong sebagai Pengusaha Kecil mengajukan permohonan kepada Kepala KPP setempat memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak maka setelah dikukuhkan, Pengusaha Kecil tersebut menjadi Pengusaha Kena Pajak sepenuhnya sebagaimana diatur dalam Pasal 3A. ayat (2) UU PPN, Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 648/KMK,04/1994 tanggal 29 Desember 1994, yang dimaksud pengusaha kecil di bidang jasa adalah pengusaha yang -86- seiama satu tahun buku melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan jumlah bruto tidak lebih dari Rp 120.000.000,00. Jadi dalam hal ini apabila seorang pengusaha jasa hosting dan/atau jasa desain mempunyai omzet setahun kurang dari Rp 120.000.000,00 tidak diwajibkan untuk melaporkan usahanya kecuali ia memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak b. Wajib pajak sebenarnya sudah merupakan PKP tapi belum melapor Hal seperti ini bisa saja terjadi mengjngat banyaknya pengusahapengusaha baru yang bergerak dalam bidang ini. Ada kalanya mereka belum mengetahui mengenai ketentuan-ketentuan dalam perundangan perpajakan khususnya dalam masalah PPN ini. Namun hal lain adalah wajib pajak tidak man melapor dengan alasan karena pemerintah dalam hal ini Ditjen Pajak belum mcmberikan penegasan mengenai perlakuan atas jasa yang dimaksud. Menurut pendapat penulis perlu dikeluarkan penegasan bahwa jasa-jasa dalam lingkungan Internet lainnya selain jasa akses Internet terutama jasa hosting, desain, dan co-location merupakan Jasa Kena Pajak dan bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang tersebut wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dengan memperhatikan batasan Pengusaha Kecil. Jadi pada dasarnya DJP perlu mengeluarkan peraturan-peraturan perpajakan yang sifatnya berupa penegasan atas jasa-jasa Internet yang berkembang saat ini di tanah air. Salah satu karakteristik PPN adalah bahwa PPN merupakan pajak tidak -87- langsung. Karakteristik ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak (destinaris pajak) dengan penanggung jawab pajak atas pembayaran pajak ke kas negara berada pada pihak yang berbeda. Pemikul beban pajak ini secara nyata berkedudukan sebagai penerima Jasa Kena Pajak atas jasa Internet yang diberikan penyelenggara jasa. Sedangkan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas negara adalah Pengusaha Kena Pajak yang bertindak selaku penyelenggara jasa Internet Apabila terjadi penyimpangan pemungutan PPN, aparat pajak akan meminta pertanggungjawaban kepada Pengusaha Kena Pajak tersebut dan bukan kepada konsumen pelanggan penerima jasa Internet baik pelanggan itu merupakan orang pribadi ataupun korporat. Berdasarkan Pasal 3A ayat (1) UU PPN, pengusaha yang melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c wajib mempunyai Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Penarnbahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang temtang. Selanjutnya Pasal 3 A ayat (3) menyatakan bahwa orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Iuar Daerah Pabean sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan dan tata caranya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Jadi dalam hal ini penyelenggara jasa Internet menyerahkan Jasa Kena Pajak yaitu jasa akses Internet, jasa hosting Web, jasa desain Web dan/atau jasa co-location sesuai pengusaha jasa Internet pembahasan ini wajib memiliki sebelumnya nomor sehingga pengukuhan PKP, memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang. Apabila pengusaha memanfaatkan-jasa Internet dari luar negeri dalam hal ini adalah memanfaatkan akses Internet (link) ke jaringan backbone dari luar negeri dan/atau memanfaatkan server dalam hal ini adalah menyewa dedicated server dari perusahaan di luar negeri maka sesuai dengan Pasal 3 A ayat 3 UU PPN, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Niiai yang terutang yang penghitungan dan tata caranya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Di sini diatur iebih ianjut dalam Keputusan Menteri Keuangan No:597/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994 jo SE Dirjen Pajak Nomor SE-08/PJ.5/1995 tanggal 17Maret 1995. Untuk Iebih memperjelas mengenai pemanfaatan jasa Internet dari luar negeri oieh pengusaha jasa Internet berikut diberikan contoh penghitungan dan perlakuan PPN-nya. PT A memanfaatkan jasa Internet dari luar negeri dan diwajibkan melakukan pembayaran sewa bandwidth sebesar Rp 400.000.000,00 kepada perusahaan Internet di USA yang merupakan upstream provider-nya. Seperti yang telah dikemukakan dalam subbab sebelumnya PT A diharuskan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20% (non tax treaty), sedangkan mengenai perhitungan PPN yang terutang dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: -89- 1) 10% dari jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan dalam hal: a) jumlah yang dibayarkan belum termasuk PPN; b) tidakada surat perjanjian untuk pembayaran yang dimaksud; dan c) ada surat perjanjian tetapi tidak ada penegasan bahwa dalam harga kontrak sudah lermasuk PPN. 2) 10/1 10 dari jumlah pembayaran yang dinyatakan sudah termasuk PPN. Apabila kondisi pertama yang terjadi maka PT A wajib menyetor PPN terutang sebesar 10% x Rp 400.000.000,00 = RP 40.000.000,00, sedangkan apabila yang terjadi adalah sesuai dengan kondisi yang kedua maka PT A hams menyeior PPN sebesar 10/1 10 x Rp 400.000.000,00 = Rp 36.363.636,00 ke kas negara menggunakan surat sctoran pajak. Oleh karena PT A merupakan Pengusaha Kena Pajak maka PPN yang dibayarkan tersebut dapat dikreditkan dengan pajak keluaran. Pada kenyataannya di Indonesia sendiri terdapat pengusaha-pengusaha baik orang perorangan maupun yang berbentuk badan yang bertindak sebagai pengusaha hosting provider yang memanfaatkan jasa sewa dedicated server dari luar negeri., Menurut pendapat penuiis pengusaha-pengusaha ini agar dihimbau mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-08/PJ.5/1995 tanggal 17 Maret 1995 tentang Saat Dimulainya Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean, Penghitungan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya. Sesuai dengan poin nomor 4 surat edaran -90- tersebut bahwa orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus mendaftarkan diri sebagai wajib pajak untuk memperoleh NPWP kepada kantor pelayanan pajak yang berwenang atas wilayah tempattinggal atau tempat kedudukan orang pribadi atau badan tersebut. Berdasarkan Pasal II ayat (1) UU PPN, pada prinsipnya pajak terutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak. Kelentuan ini tidak mempersoalkan tentang penyerahan Jasa Kena Pajak. Ketentuan ini tidak mempersoalkan tentang pembayaran, sehingga prinsip timbulnya utang pajak dalam UU PPN adalah prinsip akrual. Karena pada saat itu sudah timbu! utang pajak, maka pajak tersebut wajib dipungut oieh Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan. Sarana untuk melakukan kewajiban ini adalah faklur pajak yang berdasarkan Pasal 1 huruf l UU PPN merumuskan bahwa faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Jasa Kena Pajak. Oleh karena itu, Pasal 13 ayat (1) UU PPN ditentukan bahwa PKP wajib membuat faktur pajak untuk setiap penyerahan Jasa Kena Pajak. Faktur pajak yang dibuat jenisnya bisa faktur pajak sederhana atau faktur pajak standar. Pengusaha Kena Pajak setiap bulan wajib menghitung jumlah pajak yang temtang dalam satu masa pajak, yang jangka waktunya sama dengan satu bulan takwirn. Dalam mekanisme penghitungannya, Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan menghitung selisih antara pajak keluaran yang dipungut dengan pajak rnasukan yang telah dibayar. Apabila jumlah pajak keluaran lebih besar -91 - daripada jumlah pajak masukan, Pengusaha Kena Pajak tersebut wajib menyetorkan selisihnya ke kas negara. Namun sebaliknya, apabila ternyata jumlah pajak keluaran lebih kecil daripada jumlah pajak masukan, maka Pengusaha Kena Pajak berhak memperoleh pengembalian atau dikompensasikan dengan utang pajak masa pajak berikutnya. Semua kegiatan penghitungan dan penyetoran ini wajib dilaporkan kepada kantor peiayanan pajak di tempat tinggal atau kedudukan Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.Khusus mengenai jasa hosting dan/atau desain Web dapat dilakukan tanpa pertemuan fisik antara penjuai dan pembeli dengan melakukan transaksi sccara elektronik. Bagi pengusaha-pengusaha di tanah air yang bergerak dalam usaha ini perlu diberikan penyuluhan-penyuluhan mengenai periakuan kesepakatan transaksi pajak internasional e-commerce khususnya dalam maka PPN. Karena penyelesaian menurut belum masalah penulis adanya perpajakan ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia sepanjang masih relevan dapat dipakai untuk mengatasi permasaiahan periakuan perpajakannya. Misalnya dalam hai terjadi pemesanan hosting maupun desain dari pelanggan luar negeri kepada pengusaha jasa dalam negeri maka sesuai dengan karakteristik PPN yang menganut prinsip tempat tujuan {destination principle} atas jasa yang diberikan tidak dikenakan PPN atau harus bebas dari komponen pajak. Namun sebaliknya atas pcmanfaatan jasa hosting dan/atau desain di dalam daerah pabean dari penyedia jasa di luar negeri harus dikenai -92- pajak. Untuk mengatasi perlakuan PPN atas jasa yang diberikan kepada pelanggan luar negeri perlu diberikan penyuluhan maupun himbauan untuk mencantumkan pernyataan dalam situs Web mereka bahwa pengenaan PPN hanya berlaku bagi pengguna jasa di dalarn daerah pabean (Indonesia) sedangkan pelanggan luar negeri tidak dikenakan pajak. Selanjutnya permasalahan lain yang muncul yang sudah tidak relevan lagi dengan peraturan perpajakan yang ada misalnya adalah pengguna atau konsiimen akhir jasa hosting dalam negeri yang memanfaatkan jasa dari luar negeri. Penulis tekankan di sini adalah pengguna yang merupakan konsumen akhir. Sesuai dengan Pasal 4 huruf e UU PPN menyatakan bahwa atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean terutang PPN, kemudian Pasal 3 A UU PPN menyatakan bahwa orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak tersebut wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang yang penghitungan dan tata caranya ditetapkan oleh Menteri Keuangan yaitu Keputusan Menteri Keuangan nomor: 597/KMK. 04/1994 tanggal 21 Desember 1994. Selanjutnya dalam petunjuk pelaksanaannya yaitu surat edaran Dirjen Pajak nomor SE-08/PJ.5/1995 tanggal 17 Maret 1995 pada poin 4 bahwa orang pribadi tersebut wajib mendaftarkan diri sebagai wajib pajak untuk memperoleh NPWP kepada KPP yang berwenang. Melihat hal-hal tersebut di atas menurut penulis periakuan perpajakan tersebut sudah tidak relevan lagi apabila konsumen akhir jasa hosting (bahkan jasa-jasa lainnya -93- maupun BKP tak berwujud misalnya beli software} yang dilakukan melalui Internet harus mendaftarkan diri sebagai wajib pajak dan melaporkan usahanya ke KPP. Padahal pemakai jasa merupakan konsumen akhir dan tidak melakukan usaha Iain halnya apabila seorang pengusaha jasa Internet maka ia wajib melaporkan usahanya. Permasalahan perlakuan PPN ini dialarni juga oleh negara-negara lain yang menerapkan Value Added Tax (VAT) seperti di Inggris. Dan belum ada penyelesaian yang pasti mengenai hal ini. Menurut penulis hal ini bukan berarti jasa hosting di Indonesia tidak akan dikenakan PPN, sebab pada dasarnya pengenaan PPN tersebut masih dapat dilaksanakan apabila pengguna maupun penyedia jasa berada di dalam daerah pabean. Lalu bagaimana dengan perlakuan PPN bagi konsumen akhir tersebut di atas? Menurut penulis sementara ini mereka yang menggunakan jasa tersebut tidak akan terjangkau oleh aparat perpajakan. Namun perlu diperhatikan bahwa untuk menggunakan jasa hosting di luar negeri mereka harus menggunakan kartu kredit. Apabila dilihat perkembangannya di Indonesia bahwa pemegang kartu kredit masih terbatas bagi kalangan tertentu dan hal lainnya adalah masih sedikitnya pemegang kartu kredit yang mau bertransaksi di Internet karena masih rendahnya tingkat kepercayaan mereka terutama dilihat dari aspek keamanan. Melihat hal ini menurut penulis banyak berkembang pengusaha-pengusaha hosting di tanah air yang memberi alternatif selain menerima kartu kredit juga transfer bank bagi pelanggan-pelanggan yang tidak dalam satu kota dengan -94- pengusaha jasa dan juga mencrima pembayaran tunai apabila si peianggan masih tinggal dalam satu kola. Bahkan menurut pengamatan penulis beberapa perusahaan jasa hosting tidak menerima pembayaran melalui kartu kredit sehingga mereka mencantumkan juga satu atau beberapa nomor rekening bank mereka. Hal ini merupakan informasi penting dalam hal melakukan suatu veriflkasi pada perusahaan jasa tersebut. D. Optimalisasi Potensi Pajak Atas Usaha Jasa Internet Optimalisasi penggalian potensi pajak dapat ditempuh dengan dua cara yaitu ekstensifikasi dan intensiflkasi. Apa yang penulis sajikan sebelumnya adalah merupakan upaya-upaya dalam pelaksanaan program ekstensifikasi khususnya perluasan obyek-obyek pajak PPh Pasal 23 maupun PPN. Dengan ekstensifikasi maksudnya adalah memperbanyak jumlah subyek pajak sehingga memperbanyak barisan jumlah pembayar pajak. Oleh karena itu perlu juga adanya informasi mengenai siapa pelaku usaha atau subyek pajaknya. Dalam upaya ekstensifikasi wajib pajak, perlu diidentiflkasikan pengusaha atau perusahaannya mengenai keberadaan atau domisilinya, dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan serta data yang berasal baik dari lingkungan DJP sendiri (intern) maupun data dari luar lingkungan DJP (ekstern). Data yang bersifat intern contohnya adalah pemanfaatan data yang bcrupa bukti pemotongan PPh Pasal 23 yang disampaikan ke KPP oleh pemotong pajak. Informasi yang dapat diambil udalah naina wajib pajak -95- yang berusaha dalam bidang jasa Internet, alamat atau kaiau tersedia juga NPWP-nya. Sedangkan meialui data ektern dapat dilakukan dengan melibatkan banyak pihak lain seperti kerja sama dengan APJII untuk mendapatkan informasi-informasi ISP yang menjadi anggotanya. Kemudian dapat juga dengan memanfaatkan Internet, misalnya mencari usaha terkait dengan mesin pencari (search engine), kemudian memasuki situs Web perusahaan yang bersangkutan dan melihat informasi yang ada baik nama perusahaan, alamat, telepon/fax, dan sebagainya. Atau dapat juga langsung menanyakan informasi yang diperlukan meialui e-mail pengusaha atau pemsahaan jasa Internet. Dengan pemanfaalan data dan informasi yang ada maka pengusaha (orang pribadi) atau perusahaan (badan) tersebut dapat dihubungi dan dihimbau untuk mendafiarkan diri sebagai wajib pajak untuk memperoleh NPWP apabila belum mempunyai NPWP dan/atau untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak yang berwenang atas wilayah tempat tinggal kedudukan orang pribadi atau badan tersebut. Dalam upaya intensifikasi. dimaksudkan agar para wajib pajak membayar pajak sesuai dengan jumlah obyek yang selengkapnya dan sebenarnya. Oleh karena itu dipandang perlu untuk melakukan pengujian kepatuhan wajib pajak yang bergerak dalam bidang usaha jasa Internet meialui kegiatan pemeriksaan oleh aparat pajak baik verifikasi lapangan maupun verifikasi kantor. Kegiatan pemeriksaan merupakan bentuk terjalinnya interaksi -96- dan komunikasi dengan wajib pajak sehingga aparat pajak dituntut untuk bisa menjelaskan maksud dari ketentuan peraturan perpajakan. Di samping itu perlu didukung dengan law enforcement berupa sanksi hukum secara konsisten, baik berupa sanksi administrasi inaupun sanksi pidana atas pelanggaran yang terjadi. Namun demikian untuk melakukan pemeriksaan atas usahajasa Internet, aparat perpajakan perlu membenahi diri dengan meningkatkan kemampuan memahami konsep-konsep audit pengolahan data elektronik. Begitu pula pemahaman akan usaha jasa Internet perlu dipelajari oleh aparat perpajakan. Dengan memanfaatkan fasilitas diskusi perpajakan dapat meningkatkan mailing list di berbagai pengetahuan Internet aparat dalam bidang teknologi telekomunikasi maupun teknologi informasi yang terkait dengan usaha jasa Internet. Contohnya adalah dengan mengikuti mailing list [email protected] khusunya bidang yang mernbahas masalah-masalah teknologi mikroelektronika kemudian [email protected] yang membahas masalah-masalah teknik, tip maupun trik serta segala hal mengenai jasa hosting dan jasa desain Web dan sebagainya. Dengan banyak bertanya mengenai suatu permasalahan dalam bidang jasa Internet yang sesuai menurut penulis sedikit demi sedikit aparat perpajakan dapat memahami konsep-konsep dasar atau mekanisme proses suatu jasa Internet yang akhirnya berguna dalam melaksanakan tugas verifikasi perpajakan dalam bidang jasa tersebut. Selain itu dapat pula aparat perpajakan memulainya dari tabloid-tabloid -97- telekomunikasi maupun komputer sehingga minimal istilah-istilah maupun konsep-konsep dasar dari usaha Internet dapat dipahami. Selanjutnya yang perlu diperhatikan oleh DJP adalah masalah kepatuhan sukarela (voluntary compliance} wajib pajak yang perlu ditingkatkan. Seperti yang telah dikemukakan di alas bahwa DJP telah melakukan upaya dalam menjaring potensi fiskalatas usaha jasa Internet yaitu dengan mengeluarkan peraturan perpajakan dalam bidang PPh maupun PPN. Namun mengingat tingkat kepatuhan (tax compliance) dan rasio pajak (tax ratio) yang relatif lebih rendah dibanding negara-negara lain perlu dilakukan upaya meningkatkan dan menguji kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya seperti perlu dilakukan kegiatan pemeriksaan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun dcmikian selain itu kepatuhan sukarela dapat pula dipengaruhi oleh suatu kesadaran pajak dari wajib pajak' tersebut. Sedangkan faktor yang mempengaruhi kesadaran pajak adalah pelayanan yang baik dari DJP. Menurut penulis di sini peran dari pusat penyuluhan perpajakan DJP dapat ditingkatkan. Pusat penyuluhan perpajakan memiliki tugas memberikan penyuluhan perpajakan guna meningkatkan kesadaran wajib pajak. Kesadaran wajib pajak, akan hak dan kewajiban perpajakannya, diyakini secara umum dapat meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan perpajakan wajib pajak itu sendiri. Ketidaktahuan akan peraturan perpajakan sering menjadi penyebab ketidapatuhan wajib pajak. Oleh sebab itu upaya penyuluhan yang dilakukan pusat penyuluhan DJP masih perlu -98- ditingkatkan sehingga semua lapisan masyarakat akan mengerti hak dan kewajiban perpajakannya. Diharapkan makin banyak orang secara sukarela mendaftarkan diri menjadi wajib pajak baru. Salah satu upaya yang telah dijalankan oleh pusat penyuluhan DJP adaiah dengan membuka homepage DJP (www.pajak.go.id). Menurut penulis sudah selayaknya dilakukan demikian karena dengan Internet dapat menjangkau setiap orang yang memanfaatkannya. Selama ini peraturan perpajakan menjadi bahan komersial penerbit buku perundangan. Apalagi harga yang ditawarkan adalah menurut penulis sangat mahai misalnya untuk suatu tahun masalah di bidang PPh dijual seharga Rp 60.000,00. Itu pun baru satu bidang yaitu PPh, masih ada bidang lainnya yaitu KUP, PPN, PBB, maupun Bea Meterai sehingga dapat dibayangkan berapa yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengetahui peraturan perpajakan yang berlaku. Belum lagi mereka yang memanfaatkan teknologi informasi dengan menjual compact disc berisi peraturan perpajakan yang cukup lengkap dari tahun 80-an. Menurut penulis sudah saatnya pemanfaatan Internet diberdayakan dengan mengisi setiap perundangan perpajakan dalam homepage DJP tersebut di samping dalam bentuk media-media lainnya. Dengan membuat situs jenis database dilengkapi dengan mesin pencari maka suatu masalah yang akan dicari dalam Form Field mesin pencari tersebut hanya dengan memasukkan keyword-nya saja dapat mempermudah pengakses menemukan peraturan perpajakan yang terkait. -99- Adalah amat kurang bijaksana apabila tercapainya rencana penerimaan pajak dan peningkatan ,„ mtio hanya dilaktikan 0,eh mm ^.^ ^ ^^ tanggung jawab tersebut terutama ada di tangan mereka. Yang periu disadari oleh semua pihak adalah bahwa masa.ah perpajakan ada,ah masalah nasional. Peningkatan penerimaan negara apalagi dalam suasana bangsa dan negara yang masih dilanda krisis berkepanjangan merupakan masa.ah besar yang membutuhkan kesadaran, semangat, bantuan dan kerja sama dari semua pihak yang terkait dengan perpajakan. Kesadaran dan kerelaan masyarakat khususnya bagi pelaku usaha jasa Fernet untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku adalah merupakan elemen penting dalam realisasi penerimaan pajak guna pembiayaan pengeluaran negara.