Analisis Kendala Siswa Autis dalam Menyelesaikan Soal Matematika Bentuk Cerita (Kasus Low Function) Kamid Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Jambi E-mail: [email protected] Abstrak Matematika merupakan pelajaran yang diberikan pada semua jenjang pendidikan, baik sekolah umum maupun khusus. Pada sekolah umum keberagaman peserta didik sangat tinggi, baik kemampuan maupun karakteristiknya. Keberagaman itu juga termasuk gangguan yang disandang dalam diri peserta didik. Anak autis adalah salah satu peserta didik yang mempunyai gangguan emosi dan perilaku dan kebanyakan dari mereka mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Penelitian ini dilakukan pada siswa autis. Subjek penelitian adalah anak autis kelas V Sekolah Dasar yang mengalami kecenderungan hambatan hampir pada semua indicator DSMIV(kasus low function).. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek sangat sulit mengkomunikasikan hasil pembelajarannya kepada orang lain dan seakan-akan hanya mengungkapkan segala yang pernah ia terima tanpa bisa mengubah atau menyusun sendiri kalimatnya. Ia cenderung hanya mampu menjawab pertanyaan yang hanya memuat satu jawaban. Jika dihadapkan pada soal cerita secara low function maka ia akan membuat soal sejenis yang pernah ia terima sebelumnya. Kata kunci: kendala, siswa autis, low function Autis adalah suatu fenomena baru di Indonesia dibandingkan negara-negara barat seperti Amerika Serikat. Di Amerika Serikat autis telah menjadi suatu kajian sejak Leo Kanner mempublikasikan makalah pertamanya pada tahun 1943 (Spenley, 1995; Paradiz, 2002). Berdasarkan pengamatannya terhadap 11 anak di Johns Hopkins Hospital, Baltimore, Maryland. Kanner menemukan anak-anak yang mempunyai sekumpulan tingkah laku berbeda yang kemudian dinamakan sindrom early childhood autisme (Wing dalam Gopal, 2001). Selanjutnya ia juga menemukan beberapa ciri umum anak autis, yaitu: extreme autistic aloness, keinginan yang obsesif untuk mempertahankan kesamaan, kemampuan menghafal yang luar biasa, dan terbatasnya jenis aktivitas yang dilakukan secara spontan. Kata autis sendiri berasal dari perkataan Yunani, auto yang berarti diri sendiri atau sendiri. Eugen Blueler adalah orang pertama yang menggunakan istilah autis yang merujuk kepada sebuah arti kurang atau tidak ada hubungan dengan orang lain dan dunia luar (Gopal, 2001). Istilah autis sekarang lebih mengarah kepada masalah perkembangan khususnya masalah perkembangan mental. Masalah perkembangan mental pada individu autis dapat diamati dari perilaku yang ditunjukkan, sebagian besar tidak sesuai dengan harapan lingkungannya. Ciri-ciri yang mudah dijumpai pada individu autis adalah keterlambatan kemampuan bicara. Anak-anak (balita) biasanya mendapatkan keterampilan bicaranya pada usia 15 bulan hingga 24 bulan. Jika pada usia ini anak belum menunjukkan tandatanda berbahasa, maka dapat dicurigai bahwa anak tersebut mendapat gangguan autis, sebagian ahli menyatakan sebagai speech delay, selanjutnya kemampuan bicaranya akan muncul kembali setelah umur sekitar 3 tahun, yang masih belum jelas maknanya, sehingga sebagian orang menyebutnya dengan bahasa planet. 16 AKSIOMA, Volume 01 Nomor 01 Maret 2012 Pada awal-awal pemerolehan bahasa, individu autis akan sulit mengkomunikasikan keinginannya sehingga mudah marah dan bersifat merusak baik pada diri sendiri maupun lingkungan. Hal ini disebabkan harapan individu autis tidak dapat direspon dengan baik oleh lingkungan. Selain daripada itu, anak-anak autis terlihat lebih suka melakukan aktivitas tubuh secara berulang-ulang seperti berjalan berkeliling terus menerus, mengerak-gerakkan dan mengamati benda berputar dalam waktu yang tidak lazim, menyukai hanya satu jenis permainan pada periode waktu yang relatif lama dan tidak variatif. Individu autis juga suka menyendiri dan beraktivitas sendiri. Aktivitas-aktivitas ini dapat diamati ketika anak autis beraktivitas, yang pada dasarnya aktivitas yang dilakukan itu tidak mempunyai tujuan. Penentuan ciri-ciri individu autis pertama disumbangkan oleh Lorna Wing dan Judith Gould yang melakukan survey epidemiologis di daerah Camberwell, London pada tahun 1970. Lorna dan Judith menemukan ciri-ciri autis yang selalu muncul secara bersamaan, dan bukan hanya merupakan kebetulan. Hasilnya, mereka memperkenalkan istilah “spektrum autis” dengan triad impairments, yaitu sosialisasi, komunikasi dan imajinasi (Frith, 2003; Sacks, 1995). Ciri-ciri yang ditemukan Wing selanjutnya digunakan untuk menentukan kriteria individu autis yang dikenal dengan DSM-III (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, edisi ketiga) dan telah direvisi menjadi DSM-IV yang digunakan di seleruh dunia untuk menentukan kriteria individu autis hingga sekarang. Menurut DSM-IV individu autis dapat ditemukan apabila memenuhi sejumlah kondisi yaitu enam item (atau lebih) dari bagian (1), (2), dan (3) dengan sekurang kurangnya dua dari (1) dan sekurang-kurangnya satu dari masing-masing (2) dan (3)(Artwood, 1998; Ginanjar, 2007; Maulana, 2007). Kondisi-kondisi itu adalah: (1) gangguan kualitatif dalam interaksi sosial timbal balik, (2) gangguan kualitatif dalam komunikasi, dan (3) pola-pola repetitif dan stereotif yang kaku pada tingkah laku, minat dan aktivitas: Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial timbal balik meliputi: (a) gangguan yang nyata dalam berbagai tingkah laku nonverbal seperti kontak mata, ekspresi wajah dan posisi tubuh; (b) kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan tingkat perkembangannya; (c) kurangnya spontanitas dalam berbagi kesenangan, minat atau prestasi dengan orang lain; dan (d) kurang mampu melakukan hubungan sosial atau emosional timbal balik. Gangguan kualitatif dalam komunikasi meliputi: (a) keterlambatan perkembangan bahasa atau tidak bicara sama sekali (tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara); (b) pada individu yang mampu berbicara, terdapat gangguan pada kemampuan memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain. Individu yang bisa berbicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi; (c) penggunaan bahasa yang stereotif, repetitif atau sulit dimengerti, yaitu sering mengeluarkan bahasa yang aneh dan sulit dimengerti; (d) kurangnya kemampuan bermain pura-pura, bermain yang kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru. Pola-pola repetitif dan stereotif yang kaku pada tingkah laku, minat dan aktivitas meliputi: (a)mempertahankan satu pola minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan belebih-lebihan; (b) terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang spesifik dan non fungsional; (c) gerakan motor yang stereotif dan repetitif yaitu mempunyai gerakan-gerakan yang aneh dan khas yang diulang-ulang; dan (d) preokupasi yang menetap pada bagian-bagian obyek, yaitu sering kali sangat terpukau pada bagian-bagian benda seperti roda mobil-mobilan, bagianbagian benda yang bulat. Seorang individu dapat didiagnosis memiliki gangguan autis bila simptom-simpton di atas telah tampak sebelum anak mencapai usia 36 bulan. Kamid, Analisis Kendala Siswa Autis dalam Menyelesaikan Soal Matematika … 17 Dari kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh DSM-IV dapat dilihat bahwa DSM-IV tidak serta merta melihat berbagai hal yang melatar-belakangi individu dikategorikan autis. DSM-IV hanya melihat simptom-simpton yang muncul yang dapat diamati oleh individu lain. Dengan demikian kemampuan-kemampuan atau kelebihan-kelebihan lain yang dimiliki individu tidak dapat terdiagnosis oleh DSM-IV ini. Dalam hal individu menyandang hampir semua indikator yang termuat dalam DSM-IV, maka dalam makalah ini dikatakan sebagai kasus low function. Beberapa ahli mengingatkan bahwa individu autis adalah sosok yang unik, sehingga cara belajar dan penerimaan informasi juga berbeda dari individu lainnya. Hogdon (1995) menyatakan bahwa individu autis mempunyai kekuatan gaya belajar visual. Lebih lanjut Hogdon menyatakan bahwa 90% individu autis adalah pembelajar visual dan 10%nya adalah pembelajar auditori. Bagaimana dengan belajar matematikanya. Butts (1980) mengatakan, masalah dalam matematika dikelompokkan menjadi 5 bagian, yaitu (1) latihan mengingat (recognition exercises), (2) latihan algoritma (algorithmic exercises), (3) masalah aplikatif (application problem), (4) open-search problem, dan (5) masalah yang dikondisikan (problem situation). Masalah yang dikategorikan pada recognition exercises adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan ingatan, misalnya fakta, konsep, definisi, dan teorema. Masalah yang dikategorikan sebagai algorithmic exercises adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan langkah demi langkah suatu prosedur atau cara tertentu, application problem adalah masalah-masalah yang termasuk di dalamnya penggunaan atau penerapan algoritma, open-search problem adalah masalah-masalah pembuktian, menemukan sesuai dengan persyaratan tertentu dan problem situation adalah masalah-masalah yang penyajiannya berkaitan dengan situasi nyata atau kehidupan sehari-hari Memperhatikan uraikan di atas, maka pertanyaan yang diajukan dalam makalah ini adalah: apakah kendala yang dialami siswa autis (kasus low function) dalam menyelesaikan soal matematika bentuk cerita? METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif eksploratif. Peneliti hanya mengeksplor berbagai kendala yang dihadapi subjek dalam menyelesaikan soal matematika. Data penelitian ini adalah kata-kata yang direkam melalui handycam dan perilaku (lembar jawaban). Hasil pengumpulan data ditranskrip dan direduksi sesuai dengan tujuan penelitian. Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan tes DSM IV dengan criteria gangguan optimal (low function). Yaitu hampir semua komponen indicator DSM IV dipenuhi. Subjek penelitian adalah siswa kelas V Sekolah Dasar Umum. Triangulasi dilakukan kepada shadow dan guru kelas. Data yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis setelah proses reduksi dilakukan. Kesimpulan diperoleh berdasarkan kendala pengetahuan yang tidak dapat digunakan dalam menyelesaikan soal. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Analisis Kendala dalam Menyelesaikan Soal Cerita Penelitian ini dilakukan terhadap seorang subjek autis kelas V SD. Subjek autis yang dimaksud adalah subjek yang mengalami gangguan dengan kecenderungan hambatan pada hampir semua idikator DSM IV. Instrumen utama penelitian adalah peneliti yang dibantu dengan handycam dan lembar soal. Prosedur pengambilan data dilakukan dengan cara 18 AKSIOMA, Volume 01 Nomor 01 Maret 2012 memberikan soal matematika dalam bentuk soal cerita. Data dikumpulkan dengan cara subjek diamati melalui handycam dan lembar jawaban. Analisis data dilakukan melalui analisis terhadap transkrip hasil rekaman video dan task analisys tehadap pekerjaan subjek. Hasilnya dapat dilihat seperti di bawah ini: Melalui Rekaman Video. Hasil transkripsi dari aktivitas subjek mengerjakan soal adalah sebagai berikut: Pertama-tama setelah diminta mengerjakan soal, subjek terlihat mengamati soal (membaca). Selanjutnya ia diam cukup lama (berpikir tentang soal yang diberikan). subjek menggerak-gerakkan pena dan kemudian menuliskan jawaban (mungkin jawaban soal yang diberikan), tidak terlihat ekspresi kesulitan, raut muka terlihat datar dan tidak terdapat tanda-tanda cemas atau berkerut. Ia menuliskan lagi kalimat dalam lembar jawaban dan kemudian berhenti dan memberi isyarat kalau pekerjaanya telah selesai. Dari hasil transkripsi di atas terlihat bahwa anak autis dengan kecederungan hambatan wicara jika diberikan soal, ia juga beraktivitas seakan-akan mengerjakan soal. Ia tidak terlihat merasa sulit dan secara lancar menuliskan jawaban yang diperkirakan merupakan jawaban dari soal yang diberikan. Subjek tidak terlihat melakukan pengecekan ulang terhadap jawaban yang diberikan. Dari uraian di atas terlihat bahwa siswa autis dengan kecenderungan hambatan komunikasi, interaksi dan imajinasi (kasus low function) pada dasarnya tidak dapat melakukan analisis terhadap masalah yang terdapat dalam soal. Ia hanya menuliskan kalimat-kalimat yang tidak menuju pada jawaban yang diminta. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa subjek terlihat tidak berpikir, ia seakan memutar kembali informasi yang pernah diterima. Analisis selanjutnya menunjukkan bahwa siswa autis kategori kasus low function tidak dapat menyelesaikan soal cerita yang komplek. yaitu soal yang memuat banyak informasi dan konsep yang kemudian membentuk kumpulan data yang utuh. Hal ini senada dengan yang ditulis oleh Solso (1995) menyatakan bahwa perkembangan berpikir anak dengan jelas dapat dilihat dari perkembangan bahasanya. Senada dengan Solso, jauh sebelumnya itu Vygotsky (Solso, 1995) menyatakan bahwa "bahasa adalah penggabungan antara suara yang keluar yang terdengar dari anak dan suara bagian dalam yang ia pikirkan". Jika siswa autis terkendala dalam menyuarakan pikirannya hal ini merupakan kendala ntuk dapat berpikir secara optimal. Melalui Lembar Jawaban Hasil pekerjaan subjek ketika menyelesaikan soal matematika dapat ditampilkan seperti di bawah ini : Kamid, Analisis Kendala Siswa Autis dalam Menyelesaikan Soal Matematika … 19 Dari jawaban subjek terlihat bahwa subjek tidak mampu mnentukan penyelesaian yang diharapkan, ia bahkan membuat soal sejenis dan menuliskan jawaban di bawahnya. Ini menunjukkan bahwa subjek tidak memahami permasalahan dalam soal. Subjek hanya mengingat dan seakan memutar kembali pengetahuan yang telah tersimpan dengan memadankan permasalahann yang dihadapi. Subjek tidak melakukan proses berpikir serta mengevaluasi hhasil pekerjaanya. Jawaban “4 butir” juga dapat ditafsirkan bahwa alur berpikir siswa autis kasus low function ini berbeda dari rute yang harus dilakukan. Pertama-tama ia membagi 80 dengan 5 dan hasilnya ia kurangkan dengan 12. semua operasi ini ia simpan di dalam pikiran.subjek tidak memerlukan coretan untuk menjalankannya, meskipun operasi yang dijalankan itu tidak benar. Dengan memperhatikan urutan penyelesaiannya, dapat dikatakan bahwa subjek mengalami kendala dalam memahami soal matematika dalam bentuk soal cerita. Subjek juga tidak dapat mengusahakan strategi pemecahan masalah yang diharapkan. Unsur-unsur dalam soal tidak dipahami dengan baik, sehingga langkah-langkah yang seharusnya ia lakukan tidak dapat dipenuhi. Dari analisis terhadap lembar jawaban dapat dikatakan bahwa subjek autis dengan kecenderungan gangguan komunikasi, interaksi dan imajinasi (kasus low function) mengalami hambatan dalam memahami soal cerita sehingga ia juga mengalami hambatan dalam menentukan langkah dan jawaban yang diharapkan. KESIMPULAN Dari hasil analisis terhadap video rekaman dan task analysis, dapat disimpulkan bahwa subjek autis dengan kecenderungan gangguan low funciont mengalami kendala dalam memahami unsur-unsur soal, sehingga mengalami hambatan pula dalam menentukan langkah dan jawaban soal. Langkah-langkah yang dilakukan hanya bersifat stereotif dan repetitive saja. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2009. Penanganan Autis Secara Komprehensif. Bulletin : Ibu & Anak. Edisi 399. Februari – Maret 2009. Hal. 8. Artwood, Tony. 1998. Asperger’s Syndrome: A Guide for Parents and Profesionals. London: Jessica Kingsley Publisher Ltd. Butts, Thomas. 1980. Possing Problem Property, Problem Solving in School Mathematics, NCTM Frith, U. 2003. Autism. Explaining the enigma. 2th ed. Carlton: Blackwell Publishing. Ginanjar, A.S, 2007. Memahami Spektrum Autistik secara Holistik. Disertasi : Jakarta PPs Universitas Indonesia Gopal, Vijayen, 2001. Autisme: Satu Pengenalan. Jurnal Keningau. BIL.3. pp.27 – 34. Hogdon, Linda A. 1995. Visual Strategies for Improving Communication- Practical Supports for School and Home. Michigan. Quick Roberts Publishing. Maulana, Mirza. 2007. Anak Autis. Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju Anak Cerdas dan Sehat. Yogyakarta. Katahati. National Information Centre For Children and Youth with Disabilities. 2007. Emotional and Behavior Disorder. http://www.nichy.org/. Diakses tanggal 17 Nopember 2007. 20 AKSIOMA, Volume 01 Nomor 01 Maret 2012 Paradiz, V. 2002. Elijah’s cup. A family’s journey into the community and culture of high functioning-autism and asperger’s syndrome. New York: The Free Press. Sacks, O. 1995. An Antropologist on Mars. Seven Paradoxical Tales. New York: Vintage Books. Solso, Robert L. 1995. Cognitive Psychology, Allyn and Bacon. Boston Spensley, S. 1995. Frances Tustin. Makers of modern psychoteraphy. London: Routledge. Somantri, T. Sutjihati. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Refika Aditama. Bandung Van Tiel, Julia Maria. 2007. Anakku Terlambat Bicara. Anak Berbakat dengan Disinkronitas Perkembangan: Memahami dan Mengasuhnya. Jakarta. Prenada.