PETITA, VOL 2 No.1 Juni 2015 PROSEDUR HUKUM ATAS

advertisement
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
PROSEDUR HUKUM ATAS PERCERAIAN SUAMI DAN ISTRI BERSTATUS
PEGAWAI NEGERI SIPIL TINJAUAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45
TAHUN 1990 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI
NEGERI SIPIL
(Studi Kasus PutusanNomor 1406/Pdt.G/2013/PA.BTM)
Ahars Sulaiman
Fakultas Hukum, Universitas Riau Kepulauan
Batam, Indonesia
[email protected]
ABSTRAK
Untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan, sejahtera dari lingkungan terkecil yaitu
lingkungan rumah tangga yang di awali dengan adanya suatu perkawinan. Melalui perkawinan akan diperoleh
keturunan yang kemudian menjadi manusia-manusia baru yang akan mempertahankan kehadiran manusia di
dunia dan akan hidup dalam kelompok-kelompok masyarakat. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
Untuk Prosedur Hukum Atas Perceraian Suami Dan Istri Berstatus Pegawai Negeri Sipil Tinjauan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil dan Untuk
mengetahuistudi atas kasus prosedur hukum perceraian pada putusan Nomor 1406/Pdt.G/2013/PA.BTMdi
Batam. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa hendaknya masalah perceraian dikalangan
Pegawai Negeri Sipil dan juga masalah hak dan kewajiban suami terhadap istri setelah terjadi perceraian
mendapat perhatian dari semua instansi terkait terutama lembaga Pengadilan Agama. Mengingat Pegawai
Negeri Sipil merupakan unsurAparatur Negara, abdi Negara dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan
yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku. Karena banyak pasangan suami istri yang mengajukan gugatan
perceraian tidak mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Maka harus diadakannya penyuluhanpenyuluhan kepada para pihak-pihak terkait tentang undang-undang perkawinan dan aturan-aturan lainnya
tentang Undang-undang Perkawinan, Peraturan pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 danaturan-aturanlainnya.
Kata kunci :Perkawinan, Perceraian, Pegawai Negeri Sipil.
I.
PENDAHULUAN
Sebagai negara yang sedang berkembang dan membangun, Negara Republik
Indonesia terus berupaya meningkatkan dan melaksanakan pembangunan di segala bidang,
upaya tersebut dilaksanakan dengan suatu pola pembangunan terarah, terpadu dan
berkesinambungan. Hal ini dimaksud agar tujuan pembangunan nasional yang telah
22
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
dirancangkan tercapai, yaitu menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945. Tujuan tersebut akan tercapai
apabila ada partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa memandang
suku, agama maupun tingkat kehidupan.
Untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan, sejahtera dari lingkungan
terkecil yaitu lingkungan rumah tangga yang di awali dengan adanya suatu perkawinan.
Membentuk keluarga yang diawali dengan perkawinan merupakan keinginan yang normal
pada
setiap
manusia,
karena
perkawinan
merupakan
mekanisme
survival
(cara
mempertahankan kelangsungan hidup). Melalui perkawinan akan diperoleh keturunan yang
kemudian menjadi manusia-manusia baru yang akan mempertahankan kehadiran manusia di
dunia dan akan hidup dalam kelompok-kelompok masyarakat.1
Dengan terjadinya perkawinan maka timbullah sebuah keluarga yang merupakan inti
dari pada hidup bermasyarakat, sehingga diharapkan timbulnya suatu kehidupan masyarakat
yang teratur dan berada dalam suasana damai.2 Agar terbentuk suatu rumah tangga dalam
suasana kehidupan yang aman dan tentram diperlukan adanya perlindungan hukum.
Salah satu wujud kebesaran Allah SWT bagi manusia ciptaannya adalah
diciptakannya manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan berpasang-pasangan. Manusia
diberikan sebuah wadah untuk berketurunan sekaligus beribadah dengan cara melaksanakan
perkawinan sesuai tuntunan agama. Perkawinan menjadi jalan utama utnuk membentuk
rumah tangga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Suatu perkawinan yang sah akan menjadi sarana untuk mencapai cita-cita mebina
rumah tangga yang bahagia, dimana suami dan isteri serta anak-anak dapat hidup rukun dan
1
2
R. Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung, Sumur Bandung, 1984, hal. 7
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 103
23
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
tenteram menuju terwujudnya masyarakat sejahtera meteriil dan sprituil. Disamping itu
perkawinan bukanlah semata-mata keperntingan dari orang yang melangsungkannya namun
juga kepentingan keluarga dan masyarakat.
Pelaksanaan perkawinan memberikan tambahan hak dan kewajiban pada seseorang,
baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun masyarakat. Akan tetapi denga berubahnya
status seseorang akibat dari perkawinan tersebut belum berarti seseorang telah mengerti hakhak dan kewajjibannya dalam hubungan perkawinan tersebut. Untuk mencapai tujuan dari
dilaksanakannya perkawinan, perlu adanya peraturan-peraturan yang akan menjadi dasara
dan syarat yang harus dipenuhi sebelum dilaksanakannya perkawinan.
Salah satu prinsip yang terkandung didalam Undang- Undang perkawinan adalah
perlindungan bagi calon sekaligus pendewasaan usia individu yang akan melaksanakan
perkawinan, artinya bahwa calon suai dan isteri harus matang secara kejiwaan.
Perkawinan menurut hukum agama sedangkan menurut agama islam pernikahan
sudah dianggap sah bila sudah diucapkan Ijab Kabul oleh laki-laki dihadapan saksi-saksi
pegawai pencatat nikah. Semua agama umumnya mempunyai hokum perkawinan yang
tekstular. Manusia dalam menempuh pergaulan hidup dalam masyarakat ternyata tidak
terlepas dari adanya saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang
lainnya. Hal ini dikarenakan sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk social yang
suka berkelompok atau berteman dengan manusia lainnya.
Sebagai upaya memberikan perlindungan hukum maka pada tanggal 2 Januari 1974
diundangkannya suatu Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang berlaku secara effektif pada tanggal 1 Oktober 1975, ditandai dengan
keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai produk nasional yang
24
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
merupakan kebanggaan bangsa Indonesia, karena Undang-Undang ini diciptakan untuk
mewujudkan cita-cita luhur yang dikandung oleh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu
kesatuan dan persatuan bangsa.
Hak untuk menikah adalah hak yang paling mendasar dan bergantung sepenuhnya
pada pilihan setiap individu. Pengaturan pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap perkawinan
tidak dibatasi perbedaan agama, sehingga dala pelaksanaanya perkawinan yang berbeda
agama dapat disahkan. “ Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia,
sejak zaman dhulu hingga kini. Karena perkawinan merupaka masalah yang actual untuk
dibicarakan di dalam maupum di luar percaturan hukum. 3
Kelangsungan hidup suatu perkawinan ditentukan oleh berbagai faktor, salah satu
faktor yang mendukung adalah keberhasilan mencapai tujuan perkawinan. Akan tetapi, tidak
semua perkawinan berhasil mencapai tujuannya, hal ini disebabkan oleh banyaknya masalah
yang muncul, sehingga dalam kehidupan perkawinan terkadang terjadi ketidakharmonisan
suami istri, saling menyalahkan, saling egoisme, mau mencari menang sendiri, bahkan saling
Tampar-menampar, sehingga keutuhan rumah tangga terancam runtuh dan sulit untuk
dipertahankan. Keadaan demikian berakibat putusnya hubungan perkawinan. Dan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga telah ditegaskan bahwa putusnya perkawinan
disebabkan oleh tiga faktor yaitu, kematian, perceraian, dan karena putusan hakim.
Dengan demikian perceraian merupakan salah satu faktor penyebab putusnya
perkawinan. Dan perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
3
MR. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing,
2007, hal. 1
25
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
pihak.4Pengadilan merupakan upaya terakhir untuk mempersatukan kembali suami dan istri
yang berniat bercerai tadi dengan jalan membuka lagi pintu perdamaian dengan cara
musyawarah memakai penengah yakni hakim, untuk orang yang beragama Islam akan
membawa permasalahan ini kepada Pengadilan Agama sementara untuk agama lainnya
merujuk kepada Pengadilan Negeri tempat mereka tinggal.
Hal ini merupakan suatu kejadian yang menghilangkan suatu hak-hak dan kewajiban
dalam hidup berumah tangga. Dengan adanya perceraian ini akan menimbulkan akibat
hukum, baik terhadap suami ataupun istri yang ditinggalkan, anak maupun terhadap harta
benda dalam perkawinan. Dari akibat hukum tersebut, maka yang sering menjadi
persengketaan bagi para pihak adalah mengenai harta benda dalam perkawinan yang
berwujud harta bersama.5
Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, khususnya untuk
kelompok warga negara Indonesia yang berstatus Pegawai Negeri Sipil, oleh pemerintah pada
tanggal 21 April 1983 telah di undangkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Dalam konsiderans Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 disebutkan bahwa,
Pegawai Negeri Sipil wajib memberikan contoh yang baik bagi bawahannya dan menjadi
teladan
sebagai
warga
negara
yang
baik
dalam
masyarakat
termasuk
dalam
menyelenggarakan kehidupan keluarga. Selanjutnya dalam penjelasan umum Peraturan
Pemerintah tersebut, disebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil adalah unsur Aparatur Negara,
Abdi Negara dan Abdi Masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat
dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada Peraturan Perundang-undangan yang
4
5
K. Wantjik Saleh, SH, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal 40Ibid.
43.
26
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
berlaku untuk dapat melaksanakan kewajibannya. Untuk dapat melaksanakan kewajiban yang
demikian itu, maka kehidupan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam melaksanakan tugasnya
tidak akan banyak terganggu oleh Masalah-masalah keluarga.
Ketidakharmonisan kehidupan keluarga yang terus menerus bagi seorang Pegawai
Negeri Sipil (PNS) seperti kasus yang yang terdapat dalam perkara 1406/Pdt.G/2013 pada
Pengadilan Agama Batam, oleh karena itu perceraian adalah hal yang mungkin dilakukan
untuk mengatasi ketidakharmonisan tersebut. Namun disisi lain Pegawai Negeri Sipil juga
terikat oleh Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun
1990, yang tentunya tidak mudah bagi seorang Pegawai Negeri Sipil melaksanakan
perceraian.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Prosedur Hukum Atas Perceraian Suami Dan Istri Berstatus Pegawai
Negeri Sipil Tinjauan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Izin
Perkawinan Dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil?
2. Bagaimana studi atas kasus prosedur hukum perceraian pada
putusan Nomor
1406/Pdt.G/2013/PA.BTMdi Batam?
Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode sistemtika, dan
pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau bebarapa gejala hukum
dalam masyarakat, dan jalan menganalisanya. Penelitian pada umumnya bertujuan untuk
menemukan, mengembangkan atau menguji kebenaran pengetahuan. Menemukan berarti
berusaha memperoleh sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan, mengembangkan
berarti memperluas dan menggali lebih dalam sesuatu yang sudah ada, masih atau menjadi
diragukan kebenarannya.
27
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :6
1. Jenis Penelitian.
Penelitian ini menggunakan yuridis normatif, yaitu cara pandang dengan melihat
peraturan perundang-undangan dalam realitas yang ada dimasyarakat. Penelitian ini
diharapkan mampu memberikan Gambaran-gambaran secara rinci, sistematis dan
menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan hak istri setelah diceraikan oleh
suami dan isteri yang berstatus Pegawai Negeri Sipil ditinjau dari Peraturan Pemerintah No.
45 Tahun 1990.
2.
Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan data primer dan sekunder, yaitu
sebagai berikut :
a. Data Primer adalah data yang diperoleh melalui penelitian lapangan dan diperoleh
langsung dari sumber asalnya dan belum diolah dan diuraikan oleh orang lain.
b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh peneliti, yang sebelumnya telah diolah
oleh orang lain. Data sekunder antara lain meliputi dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku harian, dan lain-lain.
Data sekunder ini meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier.
-
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang
berupa Peraturan Perundang-undangan. Bahan hukum primer yang
digunakan oleh penulis dalam penelitian ini, yaitu :
1. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
6
Marzuki, C, Metodologi Riset, Jakarta, Erlangga, 1999, hal 4
28
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang
– Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang izin Perkawinan
dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil;
5. Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor
08/SE/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai
Negeri Sipil;
6. Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor
48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai
Negeri Sipil;
7. Surat Edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.2630/V.252.2535/99 tentang Hukuman disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil
yang melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian Bagi Pegawai Negei Sipil.
-
Bahan hukum sekunder
Yaitu bahan-bahan yang membahas atau menjelaskan bahan hukum
primer, yang berupa buku, Bahan-bahan bacaan dan berbagai macam
referensi yang berkaitan dengan masalah perkawinan di Indonesia.
29
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
-
Bahan hukum tersier
Yaitu bahan-bahan penunjang yang menjelaskan dan memberikan
informasi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa
kamus-kamus hukum, buku petunjuk atau buku pegangan, buku mengenai
istilah-istilah yang sering dipergunakan dalam masalah perkawinan di
Indonesia sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi lapangan
Studi lapangan dilakukan dengan metode wawancara yang bersifat terbuka, dimana
daftar pertanyaan telah disiapkan oleh peneliti sebelumnya. Dengan wawancara
terbuka diharapkan akan diperoleh jawaban yang lebih luas dan mendalam.
Wawancara dilakukan dengan narasumber yang berasal dari Pejabat Pengadilan
Agama Karawang yang berkompeten dalam memperoleh data-data yang akan
digunakan oleh penulis dalam penelitian ini.
b. Studi kepustakaan
Studi kepustakaan ini bertujuan untuk memperoleh data sekunder, yaitu berupa bahan
pustaka yang berhubungan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.
4. Analisis Data
Data yang dikumpulkan Mula-mula disusun dan dijelaskan kemudian dianalisa
dengan metode deskriptif kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analitis yaitu dalam
mengukur, menguji, dan menganalisa data tidak menggunakan angka tetapi menggunakan
30
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor. 45
Tahun 1990 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Digunakan metode kualitatif karena penulis hanya meneliti dengan mengungkapkan
tentang hak istri setelah diceraikan oleh suami yang berstatus Pegawai Negeri Sipil dengan
ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor. 45 Tahun 1990. Penulis dalam melakukan analisa
berdasarkan kasus yang diperoleh dari Pengadilan Agama Agama Batam dengan nomor
putusan nomor 1406/Pdt.G/2013/PA.BTM.
B. PEMBAHASAN
Prosedur Hukum Atas Perceraian Suami Dan Istri Berstatus Pegawai Negeri Sipil
Tinjauan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Izin Perkawinan Dan
Perceraian Pegawai Negeri Sipil.
Izin perkawinan dan perceraian pegawai negeri sipil diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai
Negeri Sipil Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, Wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai
Negeri
Sipil
wanita
tidak
diizinkan
untuk
menjadi
isteri
kedua/ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.
(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua / ketiga / keempat
dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari
Pejabat.
(4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diajukan
secara tertulis
31
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
(5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus
dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri
lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat.
Kemudian dinyatakan pada Pasal 5 PP no. 10 tahun 1983
(1) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diajukan
kepada Pejabat melalui saluran tertulis.
(2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam
lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian atau untuk beristeri lebih dari
seorang, maupun untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, wajib memberikan
pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam
jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia
menerima permintaan izin dimaksud.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 Mengubah ketentuan ayat (2) Pasal 5
sehingga berbunyi sebagai berikut “(2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari
Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk
beristri lebih dari seorang, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada
Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung
mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud”.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 Pasal 10
(1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila
memenuhi sekurang kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat
kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.
(2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
32
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
c.
Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pada ayat (3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) alah:
a. Ada persetujuan tertulis dari isteri;
b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup
untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan
surat keterangan pajak penghasilan; dan
c. Ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
Pada ayat (4) Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat
apabila:
a. Bertentangan dengan ajaran atau peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan.
b. Tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga
syarat kumulatif dalam ayat (3);
c. Bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;
d. Alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau Pasal 11 (1) Izin
bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), hanya dapat diberikan oleh Pejabat
apabila:
1. Ada persetujuan tertulis dari isteri bakal suami;
2. Bakal suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari
seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak
penghasilan; dan
33
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
3. Ada jaminan tertulis dari bakal suami bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteriisteri dan anak-anaknya.
Pada ayat (2) Izin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua, ketiga
atau keempat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), tidak diberikan oleh Pejabat
apabila:
a. Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh Pegawai Negeri Sipil
wanita yang bersangkutan atau bakal suaminya;
b. Tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
c. Bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; dan/atau
d. Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan
e. Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
Ketentuan pasal 11 tersebut di atas sudah dihapus semua oleh Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990 Dan sanksi pelanggarannya: di jelaskan di pasal 15 Peraturan
Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 Pasal 15
(1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar Pasal 4 ayat (1) beristeri lebih dari 1
tanpa ijin, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri
Sipil;
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2) yaitu
jadi isteri kedua/ketiga/keempat dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian
tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil;
(3) Atasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2), dan Pejabat yang
melanggar ketentuan Pasal 12, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat
34
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal, maka perceraian sejauh mungkin dihindarkan dan hanya
dapat dilakukan dalam hal-hal yang sangat terpaksa. Perceraian hanya dapat dilakukan
apabila ada alasan-alasan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundangundangan. Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur Negara dan abdi masyarakat harus
menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan
kepada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Pegawai Negeri Sipil dan pejabat yang tidak menaati atau melanggar ketentuan
mengenai izin perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil dijatuhi hukuman disiplin.
Untuk kepentingan penyelenggaraan sistem informasi kepegawaian, setiap perkawinan,
perceraian, dan perubahan dalam susunan keluarga Pegawai Negeri Sipil harus segera
dilaporkan kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara menurut tata cara yang ditentukan.
Perkawinan Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan wajib segera melaporkan
perkawainannya kepada pejabat. Laporan perkawinan disampaikan secara tertulis selambatlambatnya l (satu) tahun terhitung mulai tanggal pernikahan.
Ketentuan tersebut di atas juga berlaku untuk janda atau duda Pegawai Negeri Sipil
yang melakukan pernikahan kembali atau Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pernikahan
dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat. Catatan:Yang dimaksud dengan pejabat ialah
pejabat yang berwenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri
Sipil, atau pejabat lain yang menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
35
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
memiliki wewenang memberikan atau menolak permintaan izin perkawinan atau perceraian
Pegawai Negeri Sipil.
Untuk dapat melakukan perceraian, Pegawai Negeri Sipil yang hendak bercerai harus
memperoleh izin tertulis lebih dahulu dari pejabat. Pegawai Negeri Sipil hanya dapat
melakukan perceraian apabila terdapat alasan-alasan sebagai berikut: Salah satu pihak
berbuat zina, Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar
disembuhkan, Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuan atau
kemauannya, Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat secara terus menerus setelah perkawinan berlangsung, Salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain, Antara suami dan isteri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.
Surat permintaan izin perceraian diajukan kepada pejabat melalui saluran hirarki.
Permintaan izin perceraian harus dilengkapi dengan salah satu atau lebih bahan pembuktian
mengenai alasan-alasan untuk melakukan perceraian seperti tersebut di atas.
Apabila usahanya tidak berhasil, maka ia meneruskan permintaan izin perceraian
tersebut kepada pejabat melalui saluran hirarki dengan disertai pertimbangan tertulis. Dalam
surat pertimbangan tersebut antara lain dikemukakan keadaan obyektif suami isteri tersebut
dan memuat saran-saran sebagai bahan pertimbangan bagi pejabat untuk mengambil
keputusan.
Kewajiban Atasan Setiap atasan yang menerima surat permintaan izin perceraian
harus berusaha lebih dahulu merukunkan kembali suami isteri yang hendak bercerai tersebut.
Setiap atasan yang menerima surat permintaan izin perceraian, wajib menyampaikannya
36
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
kepada pejabat selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima surat
permintaan izin perceraian. Setiap pejabat harus mengambil keputusan selambat-lambatnya 3
(tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima surat permintaan izin perceraian tersebut.
Kewajiban Pejabat Sebelum mengambil keputusan, pejabat berusaha lebih dahulu
merukunkan kembali suami isteri yang akan bercerai dengan cara memanggil mereka, baik
bersama-sama maupun sendiri-sendiri.
Apabila tempat suami isteri yang bersangkutan jauh dari kedudukan pejabat, maka
pejabat dapat menginstruksikan kepada pejabat lain dalam lingkungannya untuk melakukan
usaha merukunkan suami isteri itu. Apabila dipandang perlu pejabat dapat meminta
keterangan dari pihak lain yang dipandang mengetahui keadaan suami isteri yang
bersangkutan.
Apabila usaha merukunkan kembali suami isteri yang bersangkutan tidak berhasil,
maka pejabat mengambil keputusan atas permintaan izin perceraian. Dalam mengambil
keputusan pejabat mempertimbangkan dengan seksama, alasan-alasan yang diajukan oleh
Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin perceraian, pertimbangan atasan
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, serta keterangan dari pihak lain yang dipandang
mengetahui keadaan suami istri tersebut.
Permintaan izin untuk bercerai diberikan, apabila:Tidak bertentangan dengan ajaran
atau peraturan agama yang dianutnya, Alasan yang dikemukakan benar atau salah, Tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan atau Alasan
perceraian yang dikemukakan tidak bertentangan dengan akal yang sehat.
Penolakan atau pemberian izin untuk melakukan perceraian dinyatakan dengan surat
keputusan pejabat. Pegawai Negeri Sipil menerima gugatan cerai, melaporkan adanya
gugatan perceraian tersebut kepada pejabat melalui saluran hirarki selambat-lambatnya 6
37
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
(enam) hari setelah menerima surat gugatan percerai. Atasan dan pejabat yang menerima
laporan gugatan perceraian berusaha merukunkan kembali suami istri yang hendak bercerai
tersebut.
Apabila usaha untuk merukunkan kembali suami istri tidak berhasil, maka pejabat
mengeluarkan surat keterangan untuk melakukan perceraian Pegawai Negeri Sipil yang
menerima surat izin cerai atau surat keterangan untuk melakukan perceraian, apabila telah
melakukan perceraian wajib melaporkan perceraian tersebut selambat-lambatnya 1 (satu)
bulan terhitung mulai tanggal perceraian tersebut.
Pembagian Gaji Akibat Perceraian apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai
Negeri Sipil pria, maka ia wajib menyerahkan sepertiga gajinya untuk penghidupan bekas
isteri dan sepertiga gajinya untuk anak-anaknya. Apabila pernikahan mereka tidak dikaruniai
anak, maka setengah dari gajinya diserahkan kepada isterinya. Apabila perceraian terjadi atas
kehendak suami isteri, maka pembagian gaji dilaksanakan berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak yang bercerai.
Bekas isteri berhak atas bagian gaji walaupun perceraian terjadi atas kehendak isteri
(Pegawai Negeri Sipil pria menjadi pihak tergugat) apabila alasan perceraian tersebut adalah
karena dimadu, atau karena Pegawai Negeri Sipil pria melakukan zina, melakukan kekejaman
atau penganiayaan, menjadi pemabok atau pemadat atau penjudi, atau meninggalkan isteri
selama 2 (dua) tahun atau lebih tanpa alasan yang sah.
Pembagian gaji seperti tersebut diatas tidak harus dilaksanakan apabila alasan
perceraian karena pihak isteri melakukan zina, melakukan kekejaman atau penganiayaan,
menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan atau meninggalkan suami selama 2 (dua) tahun atau
lebih tanpa alasan yang sah.
38
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
Apabila bekas isteri yang bersangkutan kawin lagi, maka pembagian gaji dihentikan
terhitung mulai bulan berikutnya bekas isteri yang bersangkutan kawin lagi. Agar supaya
pembagian gaji seperti tersebut benar-benar dilaksanakan, maka pejabat wajib mengatur tata
cara penyerahan bagian gaji kepada masing-masing pihak yang berhak melalui saluran dinas.
Pegawai Negeri Sipil pria yang menolak melakukan pembagian gaji menurut
ketentuan yang berlaku dan atau tidak mau menandatangani daftar gajinya sebagai akibat
perceraian dijatuhi hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30
Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil Pria yang
akan beristeri lebih dari seorang Undang-undang Nomor l Tahun 1974 tentang Perkawinan
menganut azas monogami, yaitu seorang pria hanya mempunyai seorang isteri dan seorang
wanita hanya mempunyai seorang suami.
Namun hanya apabila dipenuhi persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan
seorang pria dimungkinkan beristeri lebih dari seorang, apabila ajaran agama yang dianutnya
mengizinkan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang wajib memperoleh
izin tertulis lebih dahulu dari pejabat. Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat
diberikan apabila memenuhi syarat-syarat alternatif dan syarat-syarat kumulatif sebagai
berikut.
Syarat alternatif, yaitu: Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,
isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau isteri tidak
dapat melahirkan keturunan.
Syarat kumulatif, yaitu: Ada persetujuan tertulis dari isteri Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri
39
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan, dan ada
jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh pejabat apabila
dipenuhi sekurang-kurangnya satu dari semua syarat alternanif, dan semua syarat kumulatif
yang ada.
Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang wajib
memperhatikan dengan saksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan
izin dan atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan tersebut kurang
meyakinkan, maka pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri
Sipil yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat
memberikan keterangan yang meyakinkan.
Sebelum mengambil keputusan, pejabat memanggil Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat.
Permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang ditolak apabila bertentangan dengan
ajaran/peraturan agama yang dianutnya/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang di
hayatinya, Tidak memenuhi salah satu syarat alternatif dan semua syarat alternatif,
Bertentangan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, Alasan yang dikemukakan untuk
beristeri lebih dari seorang bertentangan dengan akal sehat, dan atau Ada kemungkinan
mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan, yang dinyatakan dalam surat keterangan atasan
langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
Penolakan atau pemberian izin untuk beristeri lebih dari seorang dinyatakan dengan
surat keputusan pejabat. Pegawai Negeri Sipil Wanita Tidak Diizinkan Menjadi Isteri kedua,
40
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
ketiga atau keempat. Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan menjadi isteri kedua,
ketiga, atau keempat dari seorang pria yang berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil,
maupun seorang pria yang bukan Pegawai Negeri Sipil.
Seorang wanita yang berkedudukan sebagai isteri kedua, ketiga atau keempat tidak
dapat melamar menjadi calon Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil wanita yang
setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 ternyata berkedudukan
sebagai isteri kedua, ketiga atau keempat dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian
tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan tertentu Pegawai Negeri Sipil yang
akan melakukan perceraian dan Pegawai Negeri Sipil Pria yang akan menikah lebih dari
seorang yang berkedudukan sebagai: Menteri, Jaksa Agung, Kepala Lembaga Pemerintah
Non
Departemen,
Pimpinan
Kesekretariatan
Lembaga
Keperesidenan,
Pimpinan
Kesekretariat-an Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga lain
yang bukan merupakan bagian dari Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen,
Gubernur Bank Indonesia, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, Gubernur,
dan Wakil Gubernur, wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Presiden, Bupati, Walikota,
Wakil Bupati, dan Wakil Walikota harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Menteri
Dalam Negeri, Pimpinan/Direksi Bank Milik Negara dan Pimpinan/Direksi Badan Usaha
Milik Negara, wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Presiden, Pimpinan atau Direksi
Bank Milik Daerah dan Pimpinan atau Direksi Badan Usaha Milik Daerah, wajib
mempereloh izin terlebih dahulu dari Gubernu, Bupati atau Walikota yang bersangkutan,
Anggota Lembaga Negara atau Komisi wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Presiden,
Kepala Desa, Perangkat Desa, dan Petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
desa, wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Bupati yang bersangkutan.
41
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
Hidup bersama di luar ikatan perkawinan yang sah Pegawai Negeri Sipil dilarang
hidup bersama di luar ikatan perkawinan yang sah.Yang dimaksud hidup bersama di luar
ikatan perkawinan yang sah adalah melakukan hubungan sebagai suami isteri dengan wanita
yang bukan isterinya atau pria yang bukan suaminya seolah-olah merupakan suatu rumah
tangga.
Setiap pejabat yang mengetahui atau menerirna laporan adanya Pegawai Negeri Sipil
dalam lingkungannya melakukan hidup bersama di luar ikatan perkawinan yang sah, wajib
memanggil Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan untuk diperiksa. Pemeriksaan tersebut
dilakukan oleh pejabat atau pejabat lain yang ditunjuk olehnya dan dituangkan dalam berita
acara pemeriksaan.
Apabila dari hasil pemeriksaan itu ternyata bahwa Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan memang benar melakukan hidup bersama di luar ikatan perkawinan yang sah,
maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil.
Sanksi Pegawai Negeri Sipil, atasan atau pejabat dijatuhi salah satu hukuman disiplin
berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil, apabila melakukan satu atau lebih perbuatan sebagai berikut. Tidak
memberitahukan perkawinan pertamanya secara tertulis kepada pejabat dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan berlangsung, melakukan perceraian
tanpa memperoleh izin tertulis bagi yang berkedudukan sebagi penggugat, atau tanpa surat
keterangan bagi yang berkedudukan sebagai tergugat, terlebih dahulu dari pejabat, beristeri
lebih dari seorang tanpa memperoleh izin tertulis dahulu dari pejabat, Melakukan hidup
42
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
bersama di luar perkawainan yang sah dengan wanita yang bukan isterinya atau dengan pria
yang bukan suaminya.
Tidak melaporkan perceraiannya kepada pejabat dalam jangka waktu selambatlambatnya 1 (satu) bulan setelah terjadinya perceraian, Tidak melaporkan perkawinannya yang
kedua, ketiga atau keempat kepada pejabat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu)
tahun setelah perkawinan dilangsungkan, Setiap atasan yang tidak memberikan pertimbangan
dan tidak meneruskan permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian, dan atau
permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah ia
menerima permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian, Pejabat yang tidak
memberikan keputusan terhadap permintaan izin perceraian atau tidak memberikan surat
keterangan atas pemberitahuan adanya gugatan perceraian, dan atau tidak memberikan
keputusan terhadap permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan setelah ia menerima permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan
perceraian.
Pejabat tidak melakukan pemeriksaan dalam hal mengetahui adanya Pegawai Negeri
Sipil dalam lingkungannya yang melakukan hidup bersama di luar perkawinan yang
sah. Laporan mutasi keluarga adalah semua perubahan yang terjadi pada susunan keluarga
Pegawai Negeri Sipil yang meliputi perkawinan, perceraian, kelahiran anak, kematian
suami/isteri, dan kematian anak Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil wajib
melaporkan setiap mutasi keluarga kepada pejabat.
Dalam rangka penyelenggaraan dan pemeliharaan manajemen informasi kepegawaian
setiap pejabat wajib melaporkan setiap mutasi keluarga Pegawai Negri Sipil kepada Kepala
Badan Kepegawaian Negara. Kartu Isteri/Suami Kepada setiap isteri Pegawai Negeri Sipil
diberikan Kartu Isteri disingkat KARIS, dan kepada setiap suami Pegawai Negeri Sipil
43
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
diberikan Kartu Suarni disingkat KARSU. KARIS atau KARSU adalah kartu identitas isteri
atau suami sah dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. KARIS atau KARSU berlaku
selama pemegangnya menjadi isteri atau suami sah Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
KARIS atau KARSU Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Nornor 8 Tahun 1974 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun
1999 ditetapkan oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara. Pendelegasian wewenang Pejabat
dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada pejabat lain dalam lingkungannya
serendah-rendahnya pejabat eselon IV atau yang setingkat dengan itu mengenai penolakan
atau pemberian izin atau surat keterangan untuk melakukan perceraian atau beristeri lebih
dari seorang bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pengatur Tingkat I golongan ruang
II/d ke bawah dan yang setingkat dengan itu.
Studi
Atas
Kasus
Prosedur
Hukum
Perceraian
Pada
Putusan
Nomor
1406/Pdt.G/2013/PA.Btm di Batam.
Setelah perceraian terjadi dan masing-masing pasangan telah menerima akta
perceraian, maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil pasal 8 ayat 1 dan 2 :” Apabila perceraian terjadi atas
kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk
penghidupan bekas istri dan anak-anaknya”.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut diatas maka apabila ada pengaduan dari
mantan istri dari seorang Pegawai Negeri Sipil , menerima pengaduan dengan meminta:
1. Meminta salinan atau foto copy akta cerai dari Pengadilan Agama
2. Meminta foto copy surat nikah (bila masih ada)
44
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
3. Meminta surat pengaduan dengan isi alasan pengaduan dan ditanda tangani oleh
sipelapor
Selanjutnya pengaduan dan syarat-syarat tersebut akan diproses oleh Dinas dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Memanggil Pegawai Negeri Sipil pria tersebut dan meminta keterangan apakah
benar isi pengaduan dari bekas istri PNS tersebut.
2.
Apabila benar adanya pengaduan dari bekas istri Pegawai Negeri Sipil tersebut,
maka Dinas akan memberi pemahaman bahwa setelah terjadi perceraian maka ada
peraturan yang mengatur hak bekas istri dan anak-anak yang ditinggalkannya.
3.
Apabila dengan segala daya upaya hak bekas istri tidak dapat dibayarkan maka
Pegawai Negeri Sipil pria tersebut telah melanggar aturan Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri
Sipil. Dan Pegawai Negeri Sipil tersebut dikenakan hukum displin Pegawai Negeri
Sipil Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010.
Hambatan-hambatan sulitnya membayarkan hak istri yang terjadi antara lain:
1. Pegawai Negeri Sipil pria saat proses perceraian terjadi dia sudah berhutang pada
Bank sehingga sisa gaji tidak mencukupi untuk pembayaran hak istri dan anak-anak
yang dia tinggalkan .
2. Pegawai Negeri Sipil pria saat perceraian terjadi pindah tugas diluar propinsi
3. Pegawai Negeri Sipil pria tidak mau memberikan gajinya untuk bekas istri dan anakanaknya.
4. Terjadi ketidak pahaman pada Pegawai Negeri Sipil pria tentang kewajibannya
sebagai konsekuensi dari perceraiannya
45
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
Tindakan pimpinan apabila tidak terpenuhinya hak istri setelah diceraikan oleh
suaminya yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Menindak lanjuti proses hukum tentang hak
istri setelah diceraikan seorang Pegawai Negeri Sipil pria maka sesuai dengan aturan yang
berlaku, maka:
1. Setelah melalui proses yang panjang agar terpenuhinya hak istri setelah perceraian
tetapi dengan banyaknya persoalan dan hambatan sehingga hak bekas istri dan anak
tidak dapat dibayarkan maka, dijatuhkan sanksi disiplin kepada Pegawai Negeri Sipil
pria dengan sanksi berat: " Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga)
tahun sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010".
2. Apabila pada awal perceraian hak istri dapat dibayarkan tetapi setelah beberapa bulan
kedepan hak istri diberikan apabila Pegawai Negeri Sipil pria ingat , maka setelah
diberi pemahaman dan tidak terjadi perubahan maka akan dikenakan sanksi disiplin
Pegawai Negeri Sipil dengan sanksi hukum sedang seperti ditunda kenaikan pangkat
selama 1 tahun.
Pada kasus Putusan Nomor 1406 / Pdt .G / 2013 / PA. BTM Di Batam, diketahui
bahwa suami dan istri yang telah menikah pada tanggal 11 September 2000 yang dimana
dalam hal ini suami berstatuskan Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan mengajukan perceraian
yang dimana suami yang menjadi pemohon dalam kasus perceraian tersebut.
Suami mengajukan perceraian dengan alasan bahwa istrinya tidak menghargainya dan
kurang memperhatikan dirinya melainkan sang istri lebih mementingkan dirinya sendiri,
keretakan hubungan tersebut terjadi mulai bulan Agustus 2008. Dalam proses peradilan yang
telah dilalui dengan proses mediasi ternyata suami tetap pada permohonannya.
Dalam putusan pengadilan Nomor 1406 / Pdt .G / 2013 / PA. BTM Di Batam Hakim
memutuskan memberi izin pada suami untuk menjatuhkan talak satu raj’I terhadap istrinya di
46
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
hadapan siding Pengadilan Agama Batam, Menghukum Suami untuk membayar kepada istri
berupa: nafkah iddah sebesar Rp 2.000.000,- ( dua juta rupiah) dan Muth’ah berupa uang
sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) serta membebankan kepada suami untuk
membayar biaya perkara.
Dalam kasus putusan Nomor 1406 / Pdt . G / 2013 / PA.BTM Di Batam telah jelas
di lihat bahwa dalam perceraian yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil (PNS) hak istri
yang berstatus Pegawai Negeri Sipil setelah perceraian terjadi adalah hak berupa nafkah
iddah dan muth’ah yang harus dibayarkan oleh suami yang menceraikanya
C. KESIMPULAN
1. Prosedur hukum atas perceraian suami dan istri berstatus pegawai negeri sipil tinjauan
peraturan pemerintah nomor 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian
pegawai negeri sipil. Dalam proses perceraian terlihat seperti diperlambat karena
perceraian berdampak negatif atau kurang baik bagi keluarga yang mengalaminya.
Walaupun dalam Peraturan Pemerintah sudah diatur hak istri dan anak namun apapun
kebijakan yang ada tetap berdampak merugikan bagi korban, bisa pada Pegawai Negeri
Sipil pria, bekas istri dan anak-anak yang akan kehilangan kasih sayang salah satu dari
orang tua mereka.
2. Studi
atas
kasus
prosedur
hukum
perceraian
pada
putusan
Nomor
1406/Pdt.G/2013/PA.BTMdi Batam. Hendaknya masalah perceraian dikalangan Pegawai
Negeri Sipil dan juga masalah hak dan kewajiban suami terhadap istri setelah terjadi
perceraian mendapat perhatian dari semua instansi terkait terutama lembaga Pengadilan
Agama. Seorang Pegawai Negeri Sipil seharusnya sebelum menjadi Pegawai Negeri
Sipil diberikan pengarahan tentang perkawinan dan perceraian serta hal-hal yang menjadi
47
PETITA, VOL 2 No.1
Juni 2015
konsekuensi dari perkawinan serta perceraian Pegawai Negeri Sipil. Perceraian yang
dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil berbeda dengan masyarakat biasa yang dimana ada
hal-hal yang harus diperhatikan oleh Pegawai Negeri Sipil, jadi sebelum melakukan
perceraian Pegawi Negeri Sipil harus melalui jalur-jalur yang cukup rumit juga.
DAFTAR PUSTAKA
K. Wantjik Saleh, SH, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980.
Marzuki, C, Metodologi Riset, Jakarta, Erlangga, 1999.
MR. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal
Center Publishing, 2007.
R. Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung, Sumur Bandung, 1984.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty,
Yogyakarta, 1982.
48
Download