PENGANTAR Konflik dalam Pernikahan Pernikahan melibatkan dua individu yang berbeda dan unik, baik dari kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing pasangan menuntut adanya penyesuaian yang tak jarang dapat menimbulkan konflik. Persoalan dalam pernikahan sangat dinamis dan memiliki berbagai variasi yang luas. Mulai dari pemilihan pasangan, gaya komunikasi, kontribusi ekonomi, pengambilan keputusan mengenai jumlah anak, perbedaan sikap terhadap suatu permasalahan, tetap bertahan dalam pernikahan atau bercerai, bahkan keputusan untuk menikah lagi (Day, 2003). Perceraian sendiri memiliki beberapa penyebab, salah satunya adalah perselingkuhan pasangan. Saat seorang istri mengetahui suaminya berselingkuh, ada perasaan dikhianati dan kepuasan pernikahannya akan menurun (Fan & Lui, 2004). Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa perselingkuhan menempati daftar teratas penyebab terjadinya perceraian. Di antaranya adalah penelitian Amato & Previti (2003) terhadap 208 subjek yang baru saja bercerai di Amerika Serikat. Penelitian tersebut menyimpulkan 18 kategori penyebab terjadinya perceraian, yakni : (1) perselingkuhan/ketidaksetiaan , (2) ketidakcocokan, (3) mengkonsumsi narkoba atau alkohol, (4) percekcokan, (5) masalah kepribadian, (6) masalah komunikasi, (7) kekerasan fisik atau psikis, (8) kehilangan perasaan cinta, (9) kurangnya 2 tanggungjawab terhadap keluarga, (10) masalah pekerjaan, (11) tidak tahu penyebab perceraian, (12) perkawinan tidak bahagia, (13) masalah keuangan, (14) sakit fisik atau mental, (15) pertumbuhan pribadi, (16) campur tangan keluarga, (17) ketidakmatangan, dan (18) sebab-sebab lain. Dari 18 kategori tersebut, perselingkuhan atau ketidaksetiaan menjadi penyebab perceraian yang paling dominan dibandingkan dengan kekerasan dalam rumah tangga. Hasil penelitian yang serupa juga ditemukan di Indonesia. Sebuah studi kualitatif terhadap 7 perempuan yang mengalami KDRT di Palu menunjukkan bahwa pihak perempuan (istri) memilih untuk bercerai lebih karena suami memiliki wanita idaman lain (WIL) daripada dengan kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Di sisi lain, beberapa wanita yang menjadi korban KDRT memilih bertahan dalam pernikahan karena memiliki keyakinan bahwa suami bisa berubah serta demi kepentingan anak-anaknya, (Sahi, 2009). Penelitian dengan tema serupa juga ditemukan di Yogyakarta. Sebuah studi kualitatif dilakukan terhadap tiga perempuan yang menggugat cerai suaminya di Yogyakarta. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum, istri menggugat cerai suaminya akibat hubungan suami istri yang dijalani tidak sesuai dengan harapan. Faktor-faktor lain yang menyebabkan istri menggugat suami antara lain, tidak setia, melakukan kekerasan fisik, verbal dan seksual, malas dalam bekerja sehingga tidak punya penghasilan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga (tidak bertanggungjawab), istri merasa dieksploitasi, cemburu tidak rasional, campur tangan pihak keluarga suami dan anggapan perempuan adalah ’kanca wingking’ yang bisa diperlakukan sesuai keinginan pihak suami semata atau tidak menghargai istri, 3 Khumas dalam Khumas (2012). Perceraian bukanlah satu peristiwa yang berdiri sendiri namun lebih merupakan proses dari peristiwa-peristiwa di masa lalu yang penuh dengan konflik. Konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan dalam sebuah hubungan antar pribadi (Tsang, Mc Cullough & Fincham, 2006). Bahkan pada pernikahan yang paling baik sekalipun, seorang pasangan terkadang menyakiti atau melukai pasangan yang lain (Ripley & Worthington, 2002). Konflik dalam pernikahan yang tidak mampu dikelola dengan baik, dapat memberikan efek merugikan terhadap kesehatan mental, fisik, dan keluarga. Konflik pernikahan yang tidak sehat berhubungan dengan munculnya gejala depresi, gangguan makan, perilaku alkoholisme, kesehatan yang buruk dan beberapa penyakit spesifik, seperti kanker, sakit jantung, dan nyeri kronis (Fincham, 2003). Frustenberg dan Kathleen (2003) menyebutkan bahwa variasi definisi perceraian sangatlah luas, mulai dari memandang sebuah perceraian sebagai peristiwa tunggal, hingga perceraian merupakan sebuah proses yang kompleks. Plummer dan Kock-Hattem (1986) menyebutkan bahwa perceraian merupakan akhir dari sebuah hubungan keluarga. Dampak yang terjadi adalah adanya penyesuaian paska perceraian dengan kondisi keluarga yang tidak lagi utuh. Studi mengenai perceraian sebagian besar diawali dengan adanya asumsi bahwa gangguan yang terjadi dalam pernikahan merupakan masa transisi yang penuh tekanan baik bagi orang dewasa sebagai orangtua dan pasangan, maupun bagi anak-anak (Amato, 4 2000). Amato dan Previti (2003) menyebutkan bahwa perceraian merupakan peristiwa yang kompleks, yang bisa dilihat dari banyak sudut pandang, baik itu sudut pandang psikologi ataupun sosiologi. Kompleksitas ini muncul seiring dengan banyaknya konflik sebelum perceraian terjadi meskipun kedua pasangan ini hidup terpisah dan jarang berinteraksi (Stevenson & Black, 1995). Lasswell dan Lasswell (1987) mengungkapkan bahwa perceraian adalah solusi dari persoalan yang tidak bisa diselesaikan karena meningkatnya kekecewaan yang dialami oleh pasangan pernikahan. Kekecewaan dan kemarahan yang dirasakan terutama oleh istri yang diselingkuhi oleh suami memiliki dampak pada penurunan kesejahteraan subjektif mereka. Turunnya kesejahteraan subjektif ini ditandai dengan adanya penuruan kepuasan pernikahan (Fan & Lui, 2004), dan meningkatnya emosi negatif seperti kerentanan terhadap perasaan cemas dan depresi (Hirst, 2003). Olson et al (2002) juga menyebutkan bahwa perselingkuhan dapat memunculkan perilaku-perilaku negatif seperti mudah marah, boros dalam menggunakan uang dan perilaku penyalahgunaan obat-obatan. Keputusan untuk bercerai tidak terjadi dengan cara yang sederhana. Bodenmann, Pihet, Shantinath, Cina dan Widmer (2006) menjelaskan bahwa banyaknya perceraian itu terjadi karena kurangnya ketrampilan yang dimiliki oleh masing-masing pasangan seperti ketrampilan dalam berkomunikasi, pemecahan masalah serta coping dalam menghadapi masalah-masalah yang dialami. 5 Ketrampilan-ketrampilan tersebut merupakan prediktor penting pada proses perceraian. Pemaafan Pemaafan merupakan satu dari tiga perilaku prososial menurut Snyder dan Lopez (2007). Thompson dkk. (dalam Snyder & Lopez, 2007) mengatakan bahwa pemaafan adalah pembebasan diri dari hal-hal negatif yang melekat pada sumber (baik itu diri sendiri, orang lain, maupun situasi) yang telah menyakitinya. Enright (2003) menyebutkan bahwa memaafkan itu adalah sebuah proses. Memaafkan seringkali tidak cukup dengan berkata, “saya telah memaafkanmu,” karena perasaan marah dapat muncul kembali. Seseorang menjadi lebih sulit untuk memaafkan ketika ia harus menghadapai rentetan peristiwa yang menyakitkan. Memaafkan juga merupakan konsep yang kompleks dan sering tumpang tindih dengan konsep lain yang berkaitan seperti penerimaan atau perdamaian (Siassi, 2007). Proses pemaafan terdiri dari beberapa tahapan. Enright (2003) menjelaskan empat tahap proses pemaafan, yaitu: (1) Uncovering phase, yaitu fase dimana individu mengeksplorasi seburuk apa rasa marah atau perasaan-perasaan negatif berdampak terhadap hidupnya; (2) Decision phase, yaitu fase dimana individu membuat pilihan untuk mau berusaha dan memaafkan; (3) Work phase, yaitu fase dimana individu mencoba memaafkan dengan menghadirkan kembali gambaran tentang kejadian yang telah terjadi, menerima rasa sakit yang dialami, dan mencoba 6 untuk menemukan pemahaman empatik mengapa orang lain melakukan hal tersebut kepadanya; (4) Deepening phase, yaitu fase dimana individu mencoba untuk mendapatkan kedalaman pemaknaan sebagai hasil dari mengalami suatu rasa sakit. Fase keempat juga berhubungan dengan menyadari bahwa terdapat orang-orang lain yang juga mengalami banyak rasa sakit. Hal ini memberikan pemahaman bahwa ia tidak sendirian dalam mengalami rasa sakit. Jung dalam Gassin (1998) menyebutkan bahwa proses pengakuan untuk meminta maaf dapat membantu “penyerang” mengatasi mekanisme psikologis yang membahayakan, mencapai kepribadian yang lebih terintegrasi dan melepaskan perasaan negatif seperti rasa bersalah. Pengalaman untuk dimaafkan akan membuat penyerang menjadi individu yang lebih mudah memaafkan dalam hidupnya. Selain itu, nilai-nilai positif yang lain seperti kesabaran, integritas dan penghargaan pada diri sendiri, akan berkembang seiring dengan meningkatnya kemampuan untuk memaafkan. Hubungan secara personal dan sosial menyediakan banyak pengalaman, baik itu pengalaman yang menyenangkan atau menyakitkan (Kelley, 1998). Hubungan yang dimaksud termasuk hubungan dengan orangtua, saudara, rekan kerja, atasan, bawahan, termasuk juga hubungan yang terjadi karena pernikahan seperti hubungan dengan pasangan dan anak-anak. Pernikahan dapat memberikan manfaat bagi individu yang menjalaninya. Pendapat ini diperkuat oleh Diener, Gohm, Suh dan Oishi (2000) yang menyebutkan bahwa individu yang menikah, memiliki 7 kesejahteraan subjektif yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang memutuskan tidak menikah. Sementara itu, kesejahteraan subjektif individu yang tidak menikah relatif lebih besar daripada individu yang pernah memiliki pengalaman pernikahannya berakhir seperti bercerai. Perceraian sendiri bisa meninggalkan rasa sakit dan memiliki efek jangka panjang bagi individu yang mengalaminya. Individu yang mengalami rasa sakit akibat konflik ini tentu akan berusaha agar perasaannya menjadi lebih baik. Coates dan LaCrosse (2003) menyebutkan bahwa, untuk membuat perasaan menjadi lebih baik, muncul perilaku untuk menyalahkan mantan pasangan dan membangun pola pikir bahwa dirinyalah yang paling benar. Sayangnya perilaku menyalahkan ini hanya akan membuat individu yang bersangkutan tidak segera menyelesaikan masalah dan mengalami kesulitan dalam menemukan ketenangan batin dalam dirinya. Selain itu, perilaku menyalahkan orang lain selalu membutuhkan objek untuk disalahkan, sehingga individu yang bersangkutan selalu membutuhkan orang lain untuk disalahkan. Coates dan LaCrosse (2003) memberikan rekomendasi untuk memaafkan, baik itu memaafkan diri sendiri, orang lain dan situasi atau peristiwa yang pernah menimbulkan luka. Memaafkan itu bermanfaat bagi diri sendiri karena mampu membebaskan individu yang bersangkutan dari perilaku menyalahkan dan rasa marah serta membuat individu yang bersangkutan bisa terus bergerak menjalani kehidupannya di masa depan dengan perilaku yang lebih konstruktif (Coates & 8 LaCrosse, 2003). Memaafkan juga memiliki dampak pada kesehatan fisik (Kitchen, 2001). Kesejahteraan Subjektif Para ahli berpendapat bahwa komponen kesejahteraan subjektif meliputi dua hal, yakni komponen kognitif dan afektif (Nieboer et al, 2005). Arthaud-Day, Rode, Mooney, dan Near (2005) menyebutkan bahwa kesejahteraan subjektif memiliki tiga domain, yaitu evaluasi kognitif individu, afek positif dan afek negatif. Kepuasan dalam hidup merupakan pendekatan yang paling sering digunakan dalam mengevaluasi komponen kognitif (Diener, Eid dan Diener dalam Nieboer, 2005). Sedangkan komponen afektif seringkali menggunakan pengukuran antara afek positif dan negatif (Bradburn dan Watson dalam Nieboer, 2005). Eid dan Larsen (2008) mengungkapkan bahwa orang yang bahagia cenderung lebih terlibat dalam aktivitas sosial, altruis, aktif, percaya diri, memiliki fisik dan daya tahan tubuh yang kuat dan memiliki kemampuan resolusi konflik yang lebih baik. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dinamika psikologis dan kesejahteraan subjektif wanita yang memiliki keinginan untuk menggugat cerai pasangannya setelah diberikan pelatihan pemaafan. 9