Nalar Politik Aswaja Telaah atas Pemikiran Politik

advertisement
Nalar Politik Aswaja
Telaah atas Pemikiran Politik KH Uwes Abubakar (1912-1973)
Oleh: Zaenal Muttaqin1& Elly Nurlia2
Abstrak
Nalar politik Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah meniscayakan ketaatan, bahkan pembelaan, warga negara
terhadap pemerintahan yang sah. Ketaatan demikian merujuk pada sumber normatif, Al-Qur‟an dan Hadits,
dan fakta historis pembentukan kedaulatan tunggal pemerintahan Islam guna menciptakan kondisi
kehidupan umat yang harmonis. Representasi kekuasaan pemerintahan sendiri mengambil bentuk berupa
lembaga kekuasaan kolektif (Ulil Amri) setara majelis konstituante, pemimpin (Imam), dan pemerintahan
(Khilafah). Terkait tugas dan kewenangannya, Ulil Amri bertugas merumuskan perundang-undangan
berorientasi kebaikan dan kemaslahatan bagi umat dan negara (Li Ishlahi-l ‘Ibad wa-l Bilad). Sementara
imam dan khilafah bertugas menjaga ketertiban dan kelangsungan hidup masyarakat dengan merujuk
pada prinsip-prinsip pengambilan hukum Islam dan pertimbangan kebutuhan masyarakat sesuai
keragaman geokultural historis. Demikian nalar politik Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah seperti terangkum
dalam pemikiran politik KH Uwes Abubakar, Ketua Umum Mathlaul Anwar periode 1939-1973.
Kata Kunci:
Ahlussunnah wal Jamaah, Ulil Amri, Bughat, Imam, Khalifah
Mukadimah
Sepanjang sejarah kehadiran organisasi kemasyarakatan Islam Mathla‘ul Anwar (MA), KH
Uwes Abubakar merupakan salah satu tokoh MA yang mampu mencatatkan prestasi
membanggakan atas kiprah keislaman dan pergerakan politiknya, baik di tataran lokal maupun
nasional. Sebuah prestasi yang membuatnya menjadi salah satu sosok istimewa dibanding
beberapa ketua umum yang memimpin organisasi keislaman yang berdiri sejak 10 Juli 1916 M
(10 Ramadhan 1334 H) ini. 3 Sebab selain produk asli lembaga pendidikan MA mulai dari
jenjang dasar hingga tertinggi, Uwes juga menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam
pengembangan MA dimana ia memimpin organisasi ini selama 34 tahun (1939-1973) dan tampil
dalam berbagai pergerakan keislaman dan politik nasional di 28 tahun pertama kemerdekaan
Indonesia (945-1978) mewakili MA.
Dengan latar belakang pendidikan, karir keulamaan dan profesionalisme, serta pergaulannya
yang luas memungkinkan Uwes memiliki kiprah dan pengaruh pemikiran yang layak untuk
dibaca ulang. Diantara pemikirannya yang menarik dikaji adalah keikutsertaannya dalam
diskursus keislaman, Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah (Aswaja). Sebuah diskursus yang tidak hanya
melibatkan sudut pandang teologis, legal syariat, tetapi juga mendorong keterlibatan gagasan dan
Bekerja di UIN Jakarta. Korespondensi bisa dilakukan melalui [email protected]
Dosen Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Mathla‟ul Anwar. Korespondensi bisa dilakukan melalui
[email protected]
3 Profil Singkat Mathla’ul Anwar, Jakarta: PB Mathla‟ul Anwar, 2015, h. 6.
1
2
praktik kehidupan politik. Melalui tulisan ini, penulis ingin menghadirkan rekonstruksi
pemikiran politik Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah (Aswaja) melalui pembacaan pemikiran politik
KH Uwes Abubakar. Penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan utama (main question): Apa
konsep utama nalar politik Aswaja dalam pemikiran Politik KH Uwes Abubakar? Pertanyaan
utama ini diturunkan dalam beberapa pertanyaan. Pertama, apa pengertian Politik Aswaja dalam
pemikiran politik KH Uwes Abubakar? Kedua, apa definisi pemimpin, tugas, dan kewajiban
pemimpin dalam nalar politik tersebut? Ketiga, apa kriteria pemimpin dalam pemikiran politik
KH Uwes Abubakar? Keempat, apa hak dan tugas masyarakat sebagai warga negara? Kelima,
apa batas-batas pemimpin bisa ditaati dan tidak ditaati?
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-historis. Sebab penelitian ini dibangun
dari pembacaan atas gagasan-gagasan politik KH Uwes Abubakar melalui karya utamanya
sebagai sumber primer, maupun referensi kepustakaan lain sebagai sumber sekunder. Mengingat
KH Uwes Abubakar sendiri hidup dalam rentang waktu 1912-1973, maka penulisan ini
menggunakan kerangka pendekatan historis dimana dilakukan rekonstruksi gagasan, pemikiran,
maupun aktifitas politik sang tokoh sepanjang hidupnya. Menurut Gottschalk, dengan
pendekatan sejarah, tahapan penelitian dimulai dengan pengumpulan material yang relevan
dengan tema penelitian, baik berupa bahan-bahan tercetak, tertulis, maupun sumber lisan yang
relevan. Selanjutnya, seluruh sumber yang dikumpulkan dipilah dan disingkirkan dari sumber
yang sekiranya tidak autentik. Tahap ketiga, menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya atas
bahan-bahan yang autentik, disusul tahapan selanjutnya penyusunan kesaksian yang dapat
dipercaya itu menjadi sebuah kisah atau penyajian yang berarti.4
Profil KH Uwes Abubakar: Ulama-Aktifis dari Menes
KH Uwes Abubakar lahir di Menes, Pandeglang, 1912. Di kota kelahirannya, Uwes muda
menempuh pendidikan di madrasah yang dikelola oleh Mathla‘ul Anwar, terhitung sejak 1919
hingga 1926. Seperti para pelajar lain, Uwes menempuh pendidikan di madrasah MA sambil
nyantri di sejumlah pesantren yang tersebar di Menes untuk meningkatkan kedalaman
pengetahuan keagamaan (Islam). Secara kebetulan, pesantren-pesantren tersebut diasuh oleh para
kyai yang menjadi guru di madrasah Mathla‘ul Anwar seperti K.H. Entol Muhammad Rais, K.H.
Abdul Latif, dan KH Mas Abdurrahman.5 Kepada para kyai yang juga guru dan pimpinan di
4Louis
Gottchlack, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto dari Understanding History: A Primer of Historical
Method, Jakarta: UI Press, 2015, cet. Ke-4, h. 39-43.
5 Lihat Didin Nurul Rosyidin, Introducing New Religious Ideas to Mathla’ul Anwar: K.H. Uwes Abu Bakar (1939-1973),
www.mathlaulanwar.or.id. KH. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal (l. 1875/1882 – w. 1943 M) di Kampung Janaka, Jiput. Selain
mendapat pendidikan langsung dari ayahnya, Abdurrahman berguru kepada sejumlah Kyai di Menes. Ia juga menikmati
pendidikan Islam Mekkah. Selain aktif di Mathla‟ul Anwar, Abdurrahman tercatat produktif menulis sejumlah karya seperti AlJawa’is Fi’Ahkam Al-Jana’iz, Ilm al-Tajwid, Al-Takhfifi, Nahwu Al -Jamaliyyah, Miftah Bab Al-salam, dan Fi Arkan Al-Iman
Wal Islam. Lihat skripsi sarjana Iin Soliin, Mathla’ul Anwar dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru, Jakarta: Prodi
Ilmu Politik FISIP, 2010, h. 24-28.
Mathlaul Anwar inilah Uwes menempa pendidikannya di bidang keislaman dan pengetahuan
umumnya.
Setelah menempuh pendidikan hingga tujuh tahun di madrasah MA, Uwes mendapat ijazah
mengajar dari Pengurus Pusat Mathlaul Anwar. Dengan ijazah ini, Uwes berhak dan diizinkan
untuk mengajarkan pengetahuan keagamaannya di berbagai madrasah MA, atau bahkan
mendirikan madrasah sendiri. Sebagai catatan, murid yang mendapatkan ijazah mengajar adalah
murid yang betul-betul terpilih. Hal ini disebabkan karena MA menerapkan kebijakan yang
sangat ketat dalam memberikan ijazah mengajar kepada para alumni sekaligus calon gurunya.
Hanya yang memiliki kualifikasi tinggi yang bisa diberi ijazah. Itu pun setelah melalui
serangkaian seleksi ketat oleh Direktur Pendidikan MA kala itu, KH Mas Abdurrahman sehingga
bisa mendapatkan ijazah dan mengajar di berbagai madrasah MA. Tak kurang dari delapan tahun
sejak 1930-1938, Uwes mengajar di madrasah-madrasah MA di Lampung dan Sukamandi.
Mengingat saat itu MA berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), Uwes juga mengajar di
madrasah-madrasah NU.
Tahun 1938, Uwes kembali ke Menes untuk mengajar di almamaternya. Kembali ke Menes
memberi peluang lebih besar bagi Uwes untuk berkhidmat kepada MA. Setahun setelah kembali
ke Menes, misalnya, Uwes dipercaya menjadi Ketua Umum MA melalui Kongres ketiga MA di
Menes tahun 1939. Jabatan ini menempatkannya sebagai Ketua Umum MA ketiga setelah
sebelumnya MA dipimpin KHE M. Yasin (1916-1937) dan KH Abdul Mu‘thi (1937-1939).6 Ia
terpilih dari dua kandidat ketua umum lainnya, yakni KH Entol Djunaedi anak KHE M. Yasin,
K. Asrori murid brilian KH Mas Abdurrahman, dan K. Chabri Abdurrahman, putera tertua KH
Mas Abdurrahman. Jabatan ketua umum ini terus dipercayakan warga MA kepada Uwes hingga
wafatnya di tahun 1973.
Selain aktif di MA, Uwes juga sempat aktif di NU sebagai Ketua Pengurus NU Wilayah
Pandeglang dari tahun 1939-1952. Namun, Uwes menarik dari dari NU setelah perbedaan
pandangan partai politik-partai politik berhaluan Islam yang bermuara pada terpisahnya NU dari
Masyumi, organisasi politik Islam terbesar Indonesia pasca Kemerdekaan 1945. Selain itu, Uwes
juga tercatat sebagai anggota Masyumi, bahkan menjadi anggota parlemen Masyumi untuk
tingkat Pandeglang dan Jawa Barat dari tahun 1945-1955. Dalam Pemilihan Umum 1955, Uwes
terpilih sebagai anggota parlemen mewakili Masyumi sejak 1956-1959. 7 Namun pembubaran
(abolishment) parlemen dan dikenalkannya model Demokrasi Terpimpin versi Presiden
Soekarno tahun 1959 mengakhiri keanggotaan Uwes di parlemen, terlebih setelah pelarangan
Masyumi pada tahun 1960.
Tahun 1964, gerakan anti-Komunis yang dipimpin kelompok militer membentuk Sekretariat
Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). 8 Sebagai bagian dari massa anti-Komunis, Uwes
Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, Jakarta: Mathla‟ul Anwar, h. 12.
Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997, h. 283.
8 Pada hari lahirnya Sekber Golkar pada tanggal 20 Oktober 1964, ada 97 organisasi Golongan Karya mendaftarkan
diri menjadi anggota Sekber Golkar. Sebagian diantaranya organisasi dari Angkatan Buruh/Pegawai. Lihat Suhardiman & Ade
Komaruddin Mochamad, Kupersembahkan Kepada Pengadilan Sejarah: Otobiografi Soehardiman, Jakarta: Yayasan Bina
Produktivitas, 1993, Volume 1, h. 173.
6
7
turut bergabung bahkan menjadi salah satu wakil ketua umum sekretariat dan giat menyuarakan
perlawanan terhadap komunisme yang diusung Partai Komunis Indonesia (PKI). Searah
peralihan politik dari Orde Lama ke Orde Baru, di tahun 1967, Uwes bersama kawan-kawan
seperjuangannya di Badan Kordinasi Amal Muslimin Indonesia (BKAMI) dimana ia duduk
sebagai Wakil Ketua Umum-nya berusaha rehabilitasi Masyumi. Belakangan, Uwes dan
rekannya yang tergabung di BKAMI mendirikan partai politik baru, Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi). Namun setahun sebelum wafatnya di tahun 1973, Uwes meninggalkan aktifitas politik
secara total dengan harapan bisa memberikan waktu lebih banyak bagi MA.
Sementara itu, di tengah kesibukannya sebagai aktifis politik, Uwes tetaplah ulama yang
menaruh perhatian besar pada pembangunan umat, terutama menyangkut pendidikan mereka.
Perhatian ini dicurahkan Uwes melalui pengembangan organisasi MA, terutama di sektor
pendidikan yang menjadi fokus organisasi. Salah satu pengembangan penting adalah
didapatkannya pengakuan hukum (legal recognition) pemerintah atas madrasah-madrasah MA.
Pengakuan ini menjadikan madrasah-madrasah MA sebagai lembaga pendidikan resmi dimana
para lulusannya setara dengan lembaga-lembaga pendidikan formal pada umumnya. Selain itu,
pengembangan juga dilakukan dengan penerapan sistem pentahapan pengajaran sekolah seperti
diintroduksi pemerintah. Sistem ini membagi jenjang pendidikan ke dalam tiga jenjang utama,
sekolah dasar (elementary school) enam tahun, sekolah menengah pertama (secondary school)
tiga tahun, dan sekolah menengah atas (high school) selama tiga tahun. Di luar pengembangan
sekolah modern yang terbagi ke dalam berbagai jenjang, Uwes juga memperkuat pengajaran
mata pelajaran-mata pelajaran sekuler di sekolah-sekolah MA. Diantaranya dengan memasukan
Mata Pelajaran Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Geografi dan Sejarah ke dalam kurikulum
yang diajarkan di madrasah-madrasah MA.9
Latar belakang pendidikan pesantren, pergaulannya dengan banyak ulama dan aktifis
pergerakan, dan keterlibatannya di sejumlah organisasi dan partai politik berhasil menempa
Uwes sebagai figur ulama-aktifis. Sebagai aktifis, Uwes tidak membatasi diri untuk tidak terlibat
aktif dalam pergerakan sosial politik keindonesiaan dan keislaman. Sebagai ulama, Uwes
merupakan figur pendidik umat melalui lembaga MA yang dipimpinnya. Bahkan, Uwes
merupakan penulis produktif dengan sejumlah karya seperti Al-Waqud, Targhibul Athfal, Surat
Imam Malik kepada Harun al-Rasyid dan Wazirnya, Tuntunan Bergaul dan Bermasyarakat, dan
Ishlahul Ummah fi Bayani Ahli Sunnah wa-l Jama’ah. Kendati menggunakan judul berbahasa
Arab, namun dipastikan seluruh karyanya ditulis dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa ini
diduga kuat karena keinginan Uwes agar tulisannya bisa dibaca luas oleh seluruh lapisan
masyarakat, tidak hanya kalangan santri yang mampu berbahasa Arab. Sayangnya, dari sejumlah
karya tulisnya, hanya Ishlahul Ummah fi Bayani Ahli Sunnah wa-l Jama’ah yang masih bisa
dibaca. Selebihnya hilang atau tidak terdokumentasikan dengan baik.10
9 Didin Nurul Rosidin, “Mathla'ul Anwar from Kampung to Kota: A Study of Transformation of Mathla'ul Anwar
(Leiden: INIS/Leiden University, 2007), p. 60.
10
Untuk membaca narasi politik Islam Aswaja melalui pemikiran politik KH Uwes, tulisan ini
sepenuhnya mengelaborasi Ishlahul Ummah fi Bayani Ahli Sunnah wa-l Jama’ah. Sebagai
catatan, mengutip Didin, penulisan Ishlahul Ummah fi Bayani Ahli Sunnah wa-l Jama’ah
dilakukan Uwes sebagai respon atas kegagalan politik Islam sejak kemerdekaan Indonesia.
Sebuah konsekuensi atas realitas historis tentang sikap sosial-politik umat Islam yang cenderung
beragam dan tidak tunggal. Jamak dimafhumi, dinamika sejarah Islam dipenuhi sikap dan klaim
superioritas sebagian atau beberapa bagian umat Islam terhadap sebagian atau beberapa bagian
umat Islam lain yang berbeda mazhab fiqih maupun kalam (teologis). Salah satunya dalam
mendefinisikan Ahli Sunnah wa-l Jama’ah, masing-masing mengklaim ketepatan dan
keterwakilan dirinya dalam pengertian istilah tersebut. Melalui buku ini, Uwes mencoba urun
rembug menjernihkan perbedaan pendapat tentang siapa dan apa sebetulnya makna Ahl Sunnah
wa-l Jama’ah tersebut, termasuk ditinjau dari perspektif politik.11
Konteks Keislaman dan Politik
Meminjam gagasan Hassan Hanafi (1998) tentang at-turats ibn ashrihi, Mahmud Arif
(2008) berpendapat, konstruksi kebudayaan dan pemikiran merupakan anak kandung zaman
dimana kebudayaan dan pemikiran tersebut berlangsung. Dengan demikian, konstruksi sebuah
kebudayaan dan pemikiran tidak bisa dilepaskan dari berbagai determinan historis yang
melingkarinya. Berbagai determinan ini membangun hubungan dialektis sehingga terlahir
kebudayaan dan pemikiran yang khas.12 Membaca sejarah hidupnya, Uwes merupakan ulama
yang memiliki hubungan erat pada dua konteks penting, keislaman dan politik. Pada konteks
keislaman, Uwes cukup dekat dengan, bahkan merupakan bagian dari, tradisi pesantren. Sedang
konteks politik, Uwes sepanjang hidupnya terlibat dalam sejumlah aktifitas politik yang sebagian
besar berada dalam periode pemerintahan politik Orde Lama.
Sebagai seorang ulama didikan pesantren dan ulama-ulama di wilayah Menes
memungkinkan Uwes mengakses karya-karya klasik keislaman. 13 Dalam menulis Ishlahul
Ummah fi Bayani Ahli Sunnah wa-l Jama’ah, misalnya, Uwes merujuk sejumlah karya penting
Didin Nurul Rosyidin, Introducing New Religious Ideas to Mathla’ul Anwar: K.H. Uwes Abu Bakar (1939-1973),
www.mathlaulanwar.or.id
11 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
h. 1-3.
12 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008, h. 27-28.
13 Seperti beberapa daerah lain di Kabupaten Pandeglang, Menes merupakan wilayah dengan tradisi pesantren yang
kuat. Hal ini terlihat dari sejumlah lembaga pendidikan Islam yang berdiri hingga kini.Beberapa diantaranya seperti Mathla‟ul
Anwar Pusat di Cimanying, Mathla‟ul Anwar Linahdlatil „Ulama (MALNU) di alun-alun timur Menes, Nurul Amal Pusat di Kadu
Bangkong, Anwarul Hidayah Pusat di Ciputri, Madrasah Ahlussunah Waljama‟ah di Cimanying, dan Sekolah Muhamadiyah di
Kadu Logak. Beberapa lainnya berupa pesantren seperti Pesantren Al-Ishlah Kananga, Pesantren Al-Mu'awanah, Pesantren
Tahfizhul Quran Kebon Jeruk, dan Pesantren Fathul Ma'ani Kananga. Data Kementerian Agama Provinsi Banten mencatat,
Menes menyumbangkan 41 pondok pesantren dari total 1.154 pondok pesantren yang tersebar se-Kabupaten Pandeglang.
Departemen Agama RI: Bagian Perencanaan dan Data Sesditjen Pendidikan Islam. Studi lembaga pendidikan di Menes
diantaranya skripsi Nia Najiah, Peranan Pondok Pesantren Al-Ishlah dalam Mengembangkan Dakwah di Desa Kananga, Menes,
Pandeglang Banten. UIN Jakarta: Skripsi FIDKOM, 2013.
ulama-ulama tersebut.14 Diantaranya, Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli (l. 1389 M—
w. 1459 M) dan Jalaluddin as-Suyuthi (l. 1445— w. 1505 M), Tafsir Ibnu Katsir karya Ismail
bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi (l. 1301 M— w. 1372 M), al-Hadits
wa-l Muhaditsun karya Muhammad Muhammad Abu Zahwa, naskah fiqih mazhab Syaf‘i
Bughyatul Mustarsyidin karya al-Habib `Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin `Umar
al-Masyhur (l. 1250H – w. 1320H), Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Abu
Walid Muhammad bin Rusyd (l. 1126— w. 1198 M), Shohih Bukhori karya Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ju'fi atau Imam Bukhari (l.194 H —
w.2565 H), Tuhfatul Habib ‘alaa Syarhi al-Khathib atau dikenal Hasyiyah al-Bujairami ‘alaa alKhathib karya Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairamiy al-Mishriy al-Syafi‘i (w. 1221
H), Fathul Wahhab karya Syaikh Al-Islam Zakariyya Al-Anshari (l. 824 H—926 H/ 1520 M),
Al-Muhazzab karya Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi (l. 393 H—w. 476 H). Kemampuannya
mengakses karya-karya klasik memungkinkannya mengenal dan memahami diskursus legal
(fiqh), teologis (kalam) dan politik (siyasah) dalam pandangan sejumlah ulama Islam yang
merujuk pada kondisi kekuasaan politik Islam periode awal.
Sebagai seorang aktifis politik, Uwes terlibat praktis dalam berbagai organisasi dan
jabatan politik pada masa-masa awal kemerdekaan dan pemerintahan Orde Lama. Selain aktif di
organisasi Mathla‘ul Anwar, diketahui Uwes pernah aktif di NU dan Sekber Golkar. Ia bahkan
aktif dalam Partai Masyumi sebagai anggota parlemen, termasuk mendirikan Parmusi. Terkait
keaktifannya di pentas politik dan pergerakan nasional, Djuwaeli menyebutkan, Mathla‘ul
Anwar pernah memiliki kekosongan nama kader yang aktif di pentas nasional dalam waktu lama
pasca wafatnya Uwes.15 Pernyataan Djuwaeli tidak berlebihan karena sepanjang hidupnya Uwes
mampu menampilkan diri sebagai ulama sekaligus aktifis yang luwes untuk tampil di panggung
pergerakan politik nasional. Dengan keterlibatannya dalam berbagai aktifitas politik di level
nasional memungkinkan Uwes cukup memahami dinamika politik yang berlangsung sepanjang
karirnya. Konteks demikian, bisa diduga, memungkinkan Uwes memiliki persentuhan gagasan
politiknya dengan gagasan politik yang berkembang pada umumnya. Bahkan dengan posisinya
sebagai ulama sekaligus aktifis politik, Uwes sempat direkomendasikan menjadi Menteri Agama
era 1950-an meski kemudian ditolaknya karena lebih memilih membesarkan Mathla‘ul Anwar. 16
Aswaja dan Gagasan Politik
a. Aswaja, Ulil-Amri, dan Pemerintahan yang Syah
Melalui Ishlahul Ummah fi Bayani Ahli Sunnah wa-l Jama’ah, Uwes menjelaskan
sekaligus meletakkan gagasan politiknya dalam konteks masyarakat Islam Ahl al-Sunnah wa-l
Jama’ah. Dalam buku ini, Uwes terlebih dahulu mendefinisikan Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah
14
h. 269.
Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathlaʾul Anwar ke Abad XXI, Jakarta: PB Mathla‟ul Anwar, 1996, h. 95.
Lihat skripsi Aas Syatibi, Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar di Indonesia, UIN Jakarta: Jurusan Jinayah Siyasah
Fakultas Syari‟ah dan Hukum, 2006. h. 70.
15
16
dengan merunut pada teks-teks normatif maupun kesejarahan Islam sendiri. Dari sumber
normatif, pengertian Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah dirujuknya pada tiga hadits Nabi. Dua
diantaranya dikutipnya dari kitab Al-Bariqatul Makhmudiah (Imam Al-Khadimi, Juz I: 156) dan
satu lainnya terlacak pada kitab Al-Milal wa-l-Nihal (Muhammad bin Ahmad Abu Al-Fatah AsySyahrastani Asy-Syafi'i, 474-548 H).17 Secara ringkas, pada kedua hadits pertama, identitas Ahl
al-Sunnah wa-l Jama’ah terletak pada beberapa aspek yang tersimpan dalam jati diri seorang
mukmin seperti taat memenuhi kewajiban shalat lima waktu secara berjamaah, tidak menyebut
sesamanya (Muslim) dengan panggilan buruk (su’), tidak melakukan pemberontakan terhadap
penguasa yang sah, tidak ragu atas imannya (terhadap Allah dan rasul-Nya), mengimani
ketetapan (qadr) baik dan buruk, tidak berdebat atas perkara agama Allah (din-ullah), dan tidak
mengkafirkan seseorang dari kelompok ahl-qiblat. Di hadits ketiga, kelompok muslim dengan
identitas Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah yang dijamin memperoleh keselamatan dari total 73
golongan Islam yang terpecah di akhir zaman.18
Secara historis, identitas Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah merujuk pada masyarakat Islam
yang memilih tunduk pada pemerintahan yang sah segera setelah penyerahan kekuasaan dari
Sayidina Hasan bin Ali RA kepada Mu‘awiyah RA. Hasan menyerahkan kekuasaan dengan
mempertimbangan kesatuan masyarakat Islam sekaligus menghindarkan mereka dari perpecahan
politik berkepanjangan. Merujuk peristiwa ini, Uwes mendefinisikan golongan ‘Jama’ah‘ ini
sebagai umat yang bersedia hidup di bawah pemerintahan yang sah. Sebuah sikap yang
membedakan mereka dari sementara golongan Islam yang menolak hidup di bawah
pemerintahan yang sah dengan memberontak (bughat). Dengan demikian, ditegaskan Uwes, Ahl
al-Sunnah wa-l Jama’ah adalah masyarakat Muslim yang taat dan patuh kepada suatu
pemerintahan yang sah. Ketaatan terhadap pemerintahan yang sah sendiri, jelas Uwes,
menempati urutan ketiga dalam daftar ketaatan seorang muslim setelah sebelumnya ia harus taat
terhadap Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan ini sejalan dengan pesan normatif pada QS An-Nisa: 59,
dimana seorang Islam dituntut mentaati Allah, Rasul, dan Ulil Amri secara bersamaan. Seorang
Muslim Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah tidak cukup hanya mentaati pada dua hal pertama dan
mengabaikan hal terakhir atau sebaliknya mentaati yang terakhir dan mengabaikan dua hal
pertama.19
Lantas, siapa Ulil Amri sendiri? Menyempurnakan konstruksi gagasan politik aswaja-nya
seperti disebutkan di atas, Uwes mendefinisikan Ulil Amri sebagai ‗lembaga yang terdiri dari
orang banyak‘, bukan lembaga yang mempunyai anggota satu orang (kekuasaan tunggal).
Dengan demikian, Ulil Amri dalam pengertian Uwes adalah lembaga kekuasaan kolektif yang
terdiri dari banyak individu. Dalam konteks Indonesia modern, sebutnya, Ulil Amri sama dengan
majelis-majelis konstituante Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan parlemen yang
17
Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
18
Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
19
Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
h. 5-7.
h. 5-7.
h. 44.
berfungsi merumuskan perundang-undangan. Pengertian ini dibangun dari penafsiran atas QS
An-Nisa: 59, dimana digunakan istilah Ulu-l Amri. Dalam kaidah bahasa Arab, kalimat Ulu
merupakan kalimat yang diserupakan (mulhaq) kepada Jamak Mudzakar Salim, jadi bukan
kalimat Jamak Mudzakar Salim. Sebagai kalimat mulhaq, maka kata Ulu/Uli tidak memiliki
bentuk tunggal (mufrad) meski ia juga bisa menunjukan makna tunggal (mufrad) maupun banyak
(jam’u). Benang merahnya adalah Ulil Amri bukanlah kekuasaan perseorangan atau kewenangan
tunggal, melainkan kekuasaan dan kewenangan kolektif. Untuk itu, maka Uwes mendefinisikan
Ulil Amri sebagai majelis konstituante atau parlemen.20
Dengan pengertian demikian, Uwes membedakan Ulil Amri dengan Ashabul Amri atau
pun Auliyaul Amri. Berbeda dengan Uli, kalimat Ashab pada Ashabul Amri maupun Auliya pada
Auliyaul Amri secara etimologis memiliki bentuk tunggal (mufrad), masing-masing Shohib dan
Wali. Pengertian ini memiliki konsekuensi bahwa kekuasaan yang dipegang Ashabul Amri
maupun Auliyaul Amri bisa dipegang oleh seseorang. Pengertian ini tentu berbeda dengan
karakter Ulul Amri yang tidak memiliki mufrad sehingga pemaknaan maupun praktisnya bisa
berbentuk kolektif (jam’).
Ketaatan terhadap Ulil Amri, dideskripsikan Uwes sebagai ketaatan pada produk
perundang-undangan yang dirumuskan dan disusun secara kolektif oleh lembaga-lembaga
konstituante.21 Menurutnya, seorang Muslim wajib mentaati peraturan perundang-undangan yang
disusun dalam sebuah pemerintahan yang sah. Baginya, seorang Muslim bisa disebut sebagai Ahl
al-Sunnah wa-l Jama’ah hanya jika ia mampu mentaati kewajibannya kepada Allah, Rasul, dan
perundang-undangan (kebijakan negara). Sebaliknya, ketidaktaatan warga negara atas
perundang-undangan bisa dikategorikan sebagai pemberontakan (bughat). Pada kelompok yang
melawan undang-undang atau memberontak (bughat) ini, wajib dilakukan penyadaran bahkan
jika perlu menggunakan kekerasan fisik sekali pun. Keyakinan ini didasarkan pada QS AlHujurat: 9. Namun jika masyarakat yang menentang kembali menyatakan ketaatannya, negara
wajib menerima dan melindunginya.22
Menyangkut hak dan kewajibannya, segala hal yang dikerjakan Ulil Amri haruslah yang
menyangkut kemaslahatan umat dan negara (Li Ishlahi-l ‘Ibad wa-l Bilad). Ulil Amri memiliki
kebebasan dalam memikirkan kemaslahatan umat dan negara, terutama pada persoalan-persoalan
duniawi (mu’amalah). Sementara persoalan akhirat (ubudiyah) yang telah dijelaskan
ketentuannya dalam Al-Qur‘an dan Hadits, Ulil Amri wajib menjamin pelaksanaannya. Namun
dari seluruh keputusan yang diundangkan oleh Ulil Amri tidak boleh menyalahi Al-Qur‘an dan
Hadits. Bila melanggar kedua sumber normatif ini, maka perundangan tersebut tidak boleh
disyahkan dan wajib dibatalkan. 23 Untuk itu, dalam menjalankan kewenangannya, sambung
20
Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
21
Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
22
Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
23
Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
h. 45-46.
h. 48-49.
h. 48.
h. 50-51.
Uwes, Ulil Amri wajib bermusyawarah dalam menetapkan suatu kebijakan pemerintahan dengan
memperhatikan matrik empat fondasi hukum (qawa’id) Ahl al-Sunnah, yakni Al-Qur‘an, Hadits,
Ijma dan Qiyas. 24 Dengan memperhatikan keempat fondasi ini, pengambilan hukum harus
merujuk pada ketentuan hukum dalam Al-Qur‘an maupun Hadits. Selanjutnya, penetapannya
juga harus memperhatikan pendapat suara terbanyak (ijma‘) dan perbandingan sekaligus
pertimbangan dari berbagai sudut pemikiran dan pengalaman (qiyas). Contohnya, saat Al-Qur‘an
memerintahkan kewajiban berzakat dengan kalimat umum: ―Wa’aatuzzakat...‖ (terj. wajib atas
kalian membayar zakat), lalu dijelaskan dalam berbagai hadits bahwa yang wajib dizakati adalah
buah-buahan, uang logam mulia, dan binatang ternak. Pada masa hadits disampaikan, pengertian
binatang ternak merujuk pada unta, sapi, dan kambing, tapi tidak memasukan kata kerbau.
Padahal dalam berbagai sisi, kerbau merupakan binatang ternak yang memiliki nilai sama
dengan unta, sapi, dan kambing. Dengan demikian, dengan menggunakan piranti qiyas, kerbau
dihukum sama dengan unta, sapi, dan kerbau sehingga perlu dikeluarkan zakatnya. 25
Selain itu, dalam menjalankan fungsinya, Ulil Amri harus memperhatikan 10 pedoman
berupa ketentuan dasar (qaidah ushuliyyah). Pertama, Yang lebih banyak mengalahkan yang
lebih sedikit. Tiga mengalahkan dua, dan dua mengalahkan satu. Kedua, Bagi hukum perantara
sama dengan hukum tujuan. Ketiga, segala urusan harus dilihat tujuannya. Keempat, kesulitan
membolehkan suatu larangan. Kelima, dalam dua hal kesulitan, ambilah yang termudah.
Keenam, menolak kerusakan harus lebih didahulukan dibanding mengambil kemaslahatan.
Ketujuh, keyakinan tidak hilang karena syak (keraguan). Kedelapan, hukum berubah karena
perbaruan masa dan tempat. Kesembilan, dimana terdapat kemaslahatan, disanalah ajaran
Allah berada. Kesembilan, sesuatu yang wajib tak dapat sempurna kecuali dengannya, maka ia
hukumnya wajib juga. Kesepuluh, adat itu dipandang hukum. 26 Kesepuluh prinsip ini bisa
dijadikan pedoman dalam pengambilan kebijakan kehidupan ummat. Pada prinsip pertama
misalnya, Uwes menyimpulkan, musyawarah dalam Islam merupakan persoalan prinsipil dan
menjadi unsur mutlak.
Dengan berbagai pengertian di atas, Uwes mendefinisikan pemerintahan yang berazaskan
Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah adalah pemerintahan yang dibangun di atas struktur (bentuk) syura
dan demokrasi terpimpin.27 Struktur syura memberikan batasan berupa pemerintahan sah yang
menjalankan dan merumuskan kebijakannya dengan mengedepankan musyawarah, sedang
demokrasi terpimpin menggariskan kewenangan yang dijalankan pemerintahan harus merujuk
pada empat matrik pengambilan hukum, yakni Al-Qur‘an, Hadits, Ijma‘ dan Qiyas. Sementara
representasi kekuasaannya sendiri mengambil bentuk kewenangan kolektif melalui lembaga Ulil
h. 52.
24
Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
25
Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
26
Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
27
Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
h. 51-52.
h. 57-59.
h. 49-51.
Amri yang dalam menjalan kewenangannya harus berorientasi pada terciptanya kebaikan dan
kemaslahatan umat dan negara (Li Ishlahi-l ‘Ibad wa-l Bilad). Dalam hal pengaturan
kewenangannya, terdapat dua objek yang harus diperhatikan. Pertama, menyangkut persoalan
keagamaan (ubudiyah) seperti telah dijelaskan Al-Quran dan Hadits, pemerintahan wajib
menjamin dan melindungi pelaksanaannya. Kedua, menyangkut dinamika sosial yang tidak
diatur secara rinci dan tegas oleh kedua sumber utama, Al-Qur‘an dan Hadits, maka
pemerintahan harus merumuskannya dengan merujuk berbagai piranti pengambilan hukum
sekaligus mempertimbangkannya dengan kebutuhan zaman dan perbedaan geo-kultural
masyarakat dan negara.
b.
Khalifah, Imam, dan Khilafah
Guna menjaga ketertiban dan kelangsungan hidup beragama dan bermasyarakat, Uwes
berpandangan perlunya masyarakat memilih seorang pemimpin (khalifah atau imam) dan
membentuk sebuah pemerintahan (khilafah). Keperluan memilih pemimpin dan pemerintahan
merujuk pada sumber normatif QS Al-Baqarah: 30. 28 Selain menjaga ketertiban dan
kelangsungan hidup manusia dan memelihara keseimbangan semesta, pemimpin dan
pemerintahan berfungsi menegakan hukum Allah di muka bumi. 29 Untuk itu, setelah terpilih,
imam dan pemerintahan wajib dibela guna menegakkan keadilan bagi manusia. Jika terjadi
penentangan, maka wajib melakukan pembelaan bahkan jika perlu dengan jalan kekerasan
sehingga imam dan pemerintahan bisa tetap terjaga dalam melaksanakan amanat kepemimpinan
yang diembannya.30
Mengutip berbagai pendapat ahli fiqih, Uwes berpendapat, imam atau khalifah menjadi
syah dengan menempuh salah satu dari empat jalan pengangkatan. Pertama, isyarat (nash) dari
Nabi SAW. Jalan ini sepertinya hanya terjadi pada pengangkatan Abu Bakar RA yang
diisyaratkan Nabi SAW mengimami shalat sebagai tanda melanjutkan tugas pemerintahan umat
Islam. Kedua, persetujuan pemilik hak pilih atas pengangkatannya (ittifaq ahlul halli wal ‘aqdi).
Ketiga, ditunjuk (diwasiatkan) oleh khalifah (imam) sebelumnya seperti penunjukkan Umar RA
oleh Khalifah Abu Bakar RA sesaat sebelum wafatnya. Keempat, dengan kekuatan senjata (coup
de etat) guna dengan tujuan situasi sosial politik menjadi tenang, tentram, dan aman. 31
Namun, tidak sembarang orang (Muslim) bisa menduduki jabatan imam atau khalifah.
Seorang bisa diangkat menjadi imam atau khalifah bila telah memenuhi sejumlah persyaratan
penting. Mengutip pendapat sejumlah shahabat dan tabi‘in, Uwes merilis sekurangnya 10
persyaratan yang harus dipenuhi seseorang yang ingin menduduki jabatan khalifah. Pertama,
“Ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, sesungguhnya aku menjadikan (manusia sebagai) khalifah di muka
bumi...” lihat Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II,
2016, h. 83.
29 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
h. 86.
30 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
h. 87.
31 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
h. 89-90.
28
memiliki tekad menegakkan nilai-nilai Islam dan memelihara perintah ketaatan melaksanakan
nilai-nilai tersebut secara lebih baik. Kedua, laki-laki. Ketiga, merdeka. Seorang budak tidak bisa
menempati posisi Imam Azham (pemerintahan pusat), sebaliknya ia hanya boleh menempati
wilayah kepemimpinan lebih kecil dan berada di bawah kontrol Imam Azham. Keempat, baligh.
Persyaratan baligh didasarkan ukuran kemampuan dan kesanggupan seseorang dalam memegang
jabatan kepemimpinan. Kelima, berakal. Syarat ini diperlukan karena jabatan pemimpin
membutuhkan daya nalar yang sehat dan kuat. Keenam, adil. Tidak syah seseorang menjadi
imam jika masih cenderung melakukan banyak kejahatan (fasiq). Ketujuh, cukup pengetahuan.
Selain menempati jabatan pemimpin, seorang imam juga menjadi pemegang keputusan hukum
tertinggi masyarakat (qadhi). Kedelapan, sehat jasmani. Seseorang bisa menjadi pemimpin yang
baik bila ia didukung badan dan anggota badan yang sehat dan normal. Kesembilan, bijaksana.
Seorang pemimpin harus memiliki keluasan wawasan di bidang kemasyarakatan dan kenegaraan
sehingga mampu merumuskan kebijakan yang sesuai bagi pengembangan masyarakat dan
kemajuan negara. Kesepuluh, tegas dalam menjalankan ketentuan hukum. Seorang pemimpin
tidak bisa lemah dalam menerapkan hukum.32
Lebih lanjut, Uwes memberikan sejumlah catatan penting menyangkut kepemimpinan.
Merujuk pada berbagai sumber normatif, Hadits, Uwes berpendapat bahwa masyarakat warga
negara tetap wajib mentaati imam kendati sang imam melakukan kemaksiatan. Masyarakat
hanya wajib membenci perbuatan kemaksiatan tersebut. Namun, dukungan warga negara bisa
dicabut jika imam dan pemerintahan terang-terangan melakukan kekufuran. Selain itu, seorang
imam atau pemimpin tidak boleh mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemimpin tanpa
alasan mendesak. Keketatan agar mereka menjalankan tugas kepemimpinan karena karena
mereka sudah diberi kepercayaan untuk mengurus dan mengatur kehidupan ummat.
Pengecualian terjadi hanya apabila si imam sudah mulai lemah secara fisik atau kekuasannya
menimbulkan kekacauan dan fitnah.33
Khatimah
Bangunan pemikiran politik Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah KH Uwes Abubakar dibangun
dari cita ideal kekuasaan politik pemerintahan yang merujuk pada sumber normatif, Al-Qur‘an
dan Hadits, dan pengalaman kesejarahan Islam berupa penyerahan kekuasaan pemerintahan dari
Sayidina Hasan bin Ali RA kepada Muawiyah bin Abi Sufyan RA demi kepentingan terciptanya
harmoni masyarakat Islam. Secara garis besar, konstruksi pemikiran politik ini menempatkan
model pemerintahan yang menekankan ketaatan warga negara terhadap pemerintahan yang sah.
Ketaatan terhadap pemerintahan yang sah, diletakkan sebagai prioritas ketiga tujuan ketaatan
yang harus ditunaikan oleh setiap manusia (warga negara) setelah sebelumnya mentaati atas
pesan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan ini sejalan dengan pesan normatif pada QS An-Nisa:
32
Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
33
Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016,
h. 91-97.
h. 98-105.
ayat 59 dimana seorang Islam dituntut menaati Allah, Rasul, dan Ulil Amri. Ketiganya
merupakan satu kesatuan prioritas ketaatan setiap Muslim Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah.
Dalam struktur pemerintahan, Uwes menerjemahkan Ulil Amri sebagai kekuasaan
kolektif, bukan perseorangan, yang bertugas merumuskan kebijakan (perundang-undangan)
melalui musyawarah dan berorientasi pada terciptanya kebaikan dan kemaslahatan umat dan
negara (Li Ishlahi-l ‘Ibad wa-l Bilad). Sementara itu, untuk menciptakan dan menjaga
kelangsungan hidup beragama dan bermasyarakat, Uwes berpandangan perlunya masyarakat
menetapkan seorang pemimpin (khalifah atau imam) dan membentuk sebuah pemerintahan
(khilafah). Seorang pemimpin dan pemerintahan yang dipimpinnya memiliki tanggung jawab
menjaga ketertiban dan kelangsungan hidup adalah menegakan nilai-nilai Islam di muka bumi
dan menegakkan keadilan bagi manusia. Di sisi lain, warga negara juga wajib membela dan
melindungi imam dan pemerintahan yang sah sehingga bisa menjalankan fungsinya dengan
benar.
Daftar Pustaka
Aas Syatibi, Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar di Indonesia, UIN Jakarta: Jurusan Jinayah
Siyasah Fakultas Syari‘ah dan Hukum, 2006.
Didin Nurul Rosyidin, Mathla'ul Anwar from Kampung to Kota: A Study of Transformation of
Mathla'ul Anwar, Leiden: INIS/Leiden University, 2007.
__________________, Introducing New Religious Ideas to Mathla’ul Anwar: K.H. Uwes Abu
Bakar (1939-1973), www.mathlaulanwar.or.id
Iin Soliin, Mathla’ul Anwar dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru, UIN Jakarta:
Prodi Ilmu Politik FISIP, 2010.
Louis Gottchlack, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto dari Understanding History: A
Primer of Historical Method, Jakarta: UI Press, 2015, cet. Ke-4.
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008.
M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathlaʾul Anwar ke Abad XXI, Jakarta: PB Mathla‘ul Anwar,
1996.
Nia Najiah, Peranan Pondok Pesantren Al-Ishlah dalam Mengembangkan Dakwah di Desa
Kananga, Menes, Pandeglang Banten.UIN Jakarta: Skripsi FIDKOM, 2013.
Profil Singkat Mathla’ul Anwar, Jakarta: PB Mathla‘ul Anwar, 2015, h. 6.
Suhardiman & Ade Komaruddin Mochamad, Kupersembahkan Kepada Pengadilan Sejarah:
Otobiografi Soehardiman, Jakarta: Yayasan Bina Produktivitas, 1993, Volume 1.
Syibli Sarjaya, dkk. Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, Jakarta:
Mathla‘ul Anwar.
Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.
Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul
Anwar, Cet. II, 2016.
Download