Nalar Politik Aswaja Telaah atas Pemikiran Politik KH Uwes Abubakar (1912-1973) Oleh: Zaenal Muttaqin1& Elly Nurlia2 Abstrak Nalar politik Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah meniscayakan ketaatan, bahkan pembelaan, warga negara terhadap pemerintahan yang sah. Ketaatan demikian merujuk pada sumber normatif, Al-Qur‟an dan Hadits, dan fakta historis pembentukan kedaulatan tunggal pemerintahan Islam guna menciptakan kondisi kehidupan umat yang harmonis. Representasi kekuasaan pemerintahan sendiri mengambil bentuk berupa lembaga kekuasaan kolektif (Ulil Amri) setara majelis konstituante, pemimpin (Imam), dan pemerintahan (Khilafah). Terkait tugas dan kewenangannya, Ulil Amri bertugas merumuskan perundang-undangan berorientasi kebaikan dan kemaslahatan bagi umat dan negara (Li Ishlahi-l ‘Ibad wa-l Bilad). Sementara imam dan khilafah bertugas menjaga ketertiban dan kelangsungan hidup masyarakat dengan merujuk pada prinsip-prinsip pengambilan hukum Islam dan pertimbangan kebutuhan masyarakat sesuai keragaman geokultural historis. Demikian nalar politik Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah seperti terangkum dalam pemikiran politik KH Uwes Abubakar, Ketua Umum Mathlaul Anwar periode 1939-1973. Kata Kunci: Ahlussunnah wal Jamaah, Ulil Amri, Bughat, Imam, Khalifah Mukadimah Sepanjang sejarah kehadiran organisasi kemasyarakatan Islam Mathla‘ul Anwar (MA), KH Uwes Abubakar merupakan salah satu tokoh MA yang mampu mencatatkan prestasi membanggakan atas kiprah keislaman dan pergerakan politiknya, baik di tataran lokal maupun nasional. Sebuah prestasi yang membuatnya menjadi salah satu sosok istimewa dibanding beberapa ketua umum yang memimpin organisasi keislaman yang berdiri sejak 10 Juli 1916 M (10 Ramadhan 1334 H) ini. 3 Sebab selain produk asli lembaga pendidikan MA mulai dari jenjang dasar hingga tertinggi, Uwes juga menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pengembangan MA dimana ia memimpin organisasi ini selama 34 tahun (1939-1973) dan tampil dalam berbagai pergerakan keislaman dan politik nasional di 28 tahun pertama kemerdekaan Indonesia (945-1978) mewakili MA. Dengan latar belakang pendidikan, karir keulamaan dan profesionalisme, serta pergaulannya yang luas memungkinkan Uwes memiliki kiprah dan pengaruh pemikiran yang layak untuk dibaca ulang. Diantara pemikirannya yang menarik dikaji adalah keikutsertaannya dalam diskursus keislaman, Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah (Aswaja). Sebuah diskursus yang tidak hanya melibatkan sudut pandang teologis, legal syariat, tetapi juga mendorong keterlibatan gagasan dan Bekerja di UIN Jakarta. Korespondensi bisa dilakukan melalui [email protected] Dosen Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Mathla‟ul Anwar. Korespondensi bisa dilakukan melalui [email protected] 3 Profil Singkat Mathla’ul Anwar, Jakarta: PB Mathla‟ul Anwar, 2015, h. 6. 1 2 praktik kehidupan politik. Melalui tulisan ini, penulis ingin menghadirkan rekonstruksi pemikiran politik Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah (Aswaja) melalui pembacaan pemikiran politik KH Uwes Abubakar. Penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan utama (main question): Apa konsep utama nalar politik Aswaja dalam pemikiran Politik KH Uwes Abubakar? Pertanyaan utama ini diturunkan dalam beberapa pertanyaan. Pertama, apa pengertian Politik Aswaja dalam pemikiran politik KH Uwes Abubakar? Kedua, apa definisi pemimpin, tugas, dan kewajiban pemimpin dalam nalar politik tersebut? Ketiga, apa kriteria pemimpin dalam pemikiran politik KH Uwes Abubakar? Keempat, apa hak dan tugas masyarakat sebagai warga negara? Kelima, apa batas-batas pemimpin bisa ditaati dan tidak ditaati? Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-historis. Sebab penelitian ini dibangun dari pembacaan atas gagasan-gagasan politik KH Uwes Abubakar melalui karya utamanya sebagai sumber primer, maupun referensi kepustakaan lain sebagai sumber sekunder. Mengingat KH Uwes Abubakar sendiri hidup dalam rentang waktu 1912-1973, maka penulisan ini menggunakan kerangka pendekatan historis dimana dilakukan rekonstruksi gagasan, pemikiran, maupun aktifitas politik sang tokoh sepanjang hidupnya. Menurut Gottschalk, dengan pendekatan sejarah, tahapan penelitian dimulai dengan pengumpulan material yang relevan dengan tema penelitian, baik berupa bahan-bahan tercetak, tertulis, maupun sumber lisan yang relevan. Selanjutnya, seluruh sumber yang dikumpulkan dipilah dan disingkirkan dari sumber yang sekiranya tidak autentik. Tahap ketiga, menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya atas bahan-bahan yang autentik, disusul tahapan selanjutnya penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi sebuah kisah atau penyajian yang berarti.4 Profil KH Uwes Abubakar: Ulama-Aktifis dari Menes KH Uwes Abubakar lahir di Menes, Pandeglang, 1912. Di kota kelahirannya, Uwes muda menempuh pendidikan di madrasah yang dikelola oleh Mathla‘ul Anwar, terhitung sejak 1919 hingga 1926. Seperti para pelajar lain, Uwes menempuh pendidikan di madrasah MA sambil nyantri di sejumlah pesantren yang tersebar di Menes untuk meningkatkan kedalaman pengetahuan keagamaan (Islam). Secara kebetulan, pesantren-pesantren tersebut diasuh oleh para kyai yang menjadi guru di madrasah Mathla‘ul Anwar seperti K.H. Entol Muhammad Rais, K.H. Abdul Latif, dan KH Mas Abdurrahman.5 Kepada para kyai yang juga guru dan pimpinan di 4Louis Gottchlack, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto dari Understanding History: A Primer of Historical Method, Jakarta: UI Press, 2015, cet. Ke-4, h. 39-43. 5 Lihat Didin Nurul Rosyidin, Introducing New Religious Ideas to Mathla’ul Anwar: K.H. Uwes Abu Bakar (1939-1973), www.mathlaulanwar.or.id. KH. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal (l. 1875/1882 – w. 1943 M) di Kampung Janaka, Jiput. Selain mendapat pendidikan langsung dari ayahnya, Abdurrahman berguru kepada sejumlah Kyai di Menes. Ia juga menikmati pendidikan Islam Mekkah. Selain aktif di Mathla‟ul Anwar, Abdurrahman tercatat produktif menulis sejumlah karya seperti AlJawa’is Fi’Ahkam Al-Jana’iz, Ilm al-Tajwid, Al-Takhfifi, Nahwu Al -Jamaliyyah, Miftah Bab Al-salam, dan Fi Arkan Al-Iman Wal Islam. Lihat skripsi sarjana Iin Soliin, Mathla’ul Anwar dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru, Jakarta: Prodi Ilmu Politik FISIP, 2010, h. 24-28. Mathlaul Anwar inilah Uwes menempa pendidikannya di bidang keislaman dan pengetahuan umumnya. Setelah menempuh pendidikan hingga tujuh tahun di madrasah MA, Uwes mendapat ijazah mengajar dari Pengurus Pusat Mathlaul Anwar. Dengan ijazah ini, Uwes berhak dan diizinkan untuk mengajarkan pengetahuan keagamaannya di berbagai madrasah MA, atau bahkan mendirikan madrasah sendiri. Sebagai catatan, murid yang mendapatkan ijazah mengajar adalah murid yang betul-betul terpilih. Hal ini disebabkan karena MA menerapkan kebijakan yang sangat ketat dalam memberikan ijazah mengajar kepada para alumni sekaligus calon gurunya. Hanya yang memiliki kualifikasi tinggi yang bisa diberi ijazah. Itu pun setelah melalui serangkaian seleksi ketat oleh Direktur Pendidikan MA kala itu, KH Mas Abdurrahman sehingga bisa mendapatkan ijazah dan mengajar di berbagai madrasah MA. Tak kurang dari delapan tahun sejak 1930-1938, Uwes mengajar di madrasah-madrasah MA di Lampung dan Sukamandi. Mengingat saat itu MA berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), Uwes juga mengajar di madrasah-madrasah NU. Tahun 1938, Uwes kembali ke Menes untuk mengajar di almamaternya. Kembali ke Menes memberi peluang lebih besar bagi Uwes untuk berkhidmat kepada MA. Setahun setelah kembali ke Menes, misalnya, Uwes dipercaya menjadi Ketua Umum MA melalui Kongres ketiga MA di Menes tahun 1939. Jabatan ini menempatkannya sebagai Ketua Umum MA ketiga setelah sebelumnya MA dipimpin KHE M. Yasin (1916-1937) dan KH Abdul Mu‘thi (1937-1939).6 Ia terpilih dari dua kandidat ketua umum lainnya, yakni KH Entol Djunaedi anak KHE M. Yasin, K. Asrori murid brilian KH Mas Abdurrahman, dan K. Chabri Abdurrahman, putera tertua KH Mas Abdurrahman. Jabatan ketua umum ini terus dipercayakan warga MA kepada Uwes hingga wafatnya di tahun 1973. Selain aktif di MA, Uwes juga sempat aktif di NU sebagai Ketua Pengurus NU Wilayah Pandeglang dari tahun 1939-1952. Namun, Uwes menarik dari dari NU setelah perbedaan pandangan partai politik-partai politik berhaluan Islam yang bermuara pada terpisahnya NU dari Masyumi, organisasi politik Islam terbesar Indonesia pasca Kemerdekaan 1945. Selain itu, Uwes juga tercatat sebagai anggota Masyumi, bahkan menjadi anggota parlemen Masyumi untuk tingkat Pandeglang dan Jawa Barat dari tahun 1945-1955. Dalam Pemilihan Umum 1955, Uwes terpilih sebagai anggota parlemen mewakili Masyumi sejak 1956-1959. 7 Namun pembubaran (abolishment) parlemen dan dikenalkannya model Demokrasi Terpimpin versi Presiden Soekarno tahun 1959 mengakhiri keanggotaan Uwes di parlemen, terlebih setelah pelarangan Masyumi pada tahun 1960. Tahun 1964, gerakan anti-Komunis yang dipimpin kelompok militer membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). 8 Sebagai bagian dari massa anti-Komunis, Uwes Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, Jakarta: Mathla‟ul Anwar, h. 12. Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997, h. 283. 8 Pada hari lahirnya Sekber Golkar pada tanggal 20 Oktober 1964, ada 97 organisasi Golongan Karya mendaftarkan diri menjadi anggota Sekber Golkar. Sebagian diantaranya organisasi dari Angkatan Buruh/Pegawai. Lihat Suhardiman & Ade Komaruddin Mochamad, Kupersembahkan Kepada Pengadilan Sejarah: Otobiografi Soehardiman, Jakarta: Yayasan Bina Produktivitas, 1993, Volume 1, h. 173. 6 7 turut bergabung bahkan menjadi salah satu wakil ketua umum sekretariat dan giat menyuarakan perlawanan terhadap komunisme yang diusung Partai Komunis Indonesia (PKI). Searah peralihan politik dari Orde Lama ke Orde Baru, di tahun 1967, Uwes bersama kawan-kawan seperjuangannya di Badan Kordinasi Amal Muslimin Indonesia (BKAMI) dimana ia duduk sebagai Wakil Ketua Umum-nya berusaha rehabilitasi Masyumi. Belakangan, Uwes dan rekannya yang tergabung di BKAMI mendirikan partai politik baru, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Namun setahun sebelum wafatnya di tahun 1973, Uwes meninggalkan aktifitas politik secara total dengan harapan bisa memberikan waktu lebih banyak bagi MA. Sementara itu, di tengah kesibukannya sebagai aktifis politik, Uwes tetaplah ulama yang menaruh perhatian besar pada pembangunan umat, terutama menyangkut pendidikan mereka. Perhatian ini dicurahkan Uwes melalui pengembangan organisasi MA, terutama di sektor pendidikan yang menjadi fokus organisasi. Salah satu pengembangan penting adalah didapatkannya pengakuan hukum (legal recognition) pemerintah atas madrasah-madrasah MA. Pengakuan ini menjadikan madrasah-madrasah MA sebagai lembaga pendidikan resmi dimana para lulusannya setara dengan lembaga-lembaga pendidikan formal pada umumnya. Selain itu, pengembangan juga dilakukan dengan penerapan sistem pentahapan pengajaran sekolah seperti diintroduksi pemerintah. Sistem ini membagi jenjang pendidikan ke dalam tiga jenjang utama, sekolah dasar (elementary school) enam tahun, sekolah menengah pertama (secondary school) tiga tahun, dan sekolah menengah atas (high school) selama tiga tahun. Di luar pengembangan sekolah modern yang terbagi ke dalam berbagai jenjang, Uwes juga memperkuat pengajaran mata pelajaran-mata pelajaran sekuler di sekolah-sekolah MA. Diantaranya dengan memasukan Mata Pelajaran Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Geografi dan Sejarah ke dalam kurikulum yang diajarkan di madrasah-madrasah MA.9 Latar belakang pendidikan pesantren, pergaulannya dengan banyak ulama dan aktifis pergerakan, dan keterlibatannya di sejumlah organisasi dan partai politik berhasil menempa Uwes sebagai figur ulama-aktifis. Sebagai aktifis, Uwes tidak membatasi diri untuk tidak terlibat aktif dalam pergerakan sosial politik keindonesiaan dan keislaman. Sebagai ulama, Uwes merupakan figur pendidik umat melalui lembaga MA yang dipimpinnya. Bahkan, Uwes merupakan penulis produktif dengan sejumlah karya seperti Al-Waqud, Targhibul Athfal, Surat Imam Malik kepada Harun al-Rasyid dan Wazirnya, Tuntunan Bergaul dan Bermasyarakat, dan Ishlahul Ummah fi Bayani Ahli Sunnah wa-l Jama’ah. Kendati menggunakan judul berbahasa Arab, namun dipastikan seluruh karyanya ditulis dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa ini diduga kuat karena keinginan Uwes agar tulisannya bisa dibaca luas oleh seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya kalangan santri yang mampu berbahasa Arab. Sayangnya, dari sejumlah karya tulisnya, hanya Ishlahul Ummah fi Bayani Ahli Sunnah wa-l Jama’ah yang masih bisa dibaca. Selebihnya hilang atau tidak terdokumentasikan dengan baik.10 9 Didin Nurul Rosidin, “Mathla'ul Anwar from Kampung to Kota: A Study of Transformation of Mathla'ul Anwar (Leiden: INIS/Leiden University, 2007), p. 60. 10 Untuk membaca narasi politik Islam Aswaja melalui pemikiran politik KH Uwes, tulisan ini sepenuhnya mengelaborasi Ishlahul Ummah fi Bayani Ahli Sunnah wa-l Jama’ah. Sebagai catatan, mengutip Didin, penulisan Ishlahul Ummah fi Bayani Ahli Sunnah wa-l Jama’ah dilakukan Uwes sebagai respon atas kegagalan politik Islam sejak kemerdekaan Indonesia. Sebuah konsekuensi atas realitas historis tentang sikap sosial-politik umat Islam yang cenderung beragam dan tidak tunggal. Jamak dimafhumi, dinamika sejarah Islam dipenuhi sikap dan klaim superioritas sebagian atau beberapa bagian umat Islam terhadap sebagian atau beberapa bagian umat Islam lain yang berbeda mazhab fiqih maupun kalam (teologis). Salah satunya dalam mendefinisikan Ahli Sunnah wa-l Jama’ah, masing-masing mengklaim ketepatan dan keterwakilan dirinya dalam pengertian istilah tersebut. Melalui buku ini, Uwes mencoba urun rembug menjernihkan perbedaan pendapat tentang siapa dan apa sebetulnya makna Ahl Sunnah wa-l Jama’ah tersebut, termasuk ditinjau dari perspektif politik.11 Konteks Keislaman dan Politik Meminjam gagasan Hassan Hanafi (1998) tentang at-turats ibn ashrihi, Mahmud Arif (2008) berpendapat, konstruksi kebudayaan dan pemikiran merupakan anak kandung zaman dimana kebudayaan dan pemikiran tersebut berlangsung. Dengan demikian, konstruksi sebuah kebudayaan dan pemikiran tidak bisa dilepaskan dari berbagai determinan historis yang melingkarinya. Berbagai determinan ini membangun hubungan dialektis sehingga terlahir kebudayaan dan pemikiran yang khas.12 Membaca sejarah hidupnya, Uwes merupakan ulama yang memiliki hubungan erat pada dua konteks penting, keislaman dan politik. Pada konteks keislaman, Uwes cukup dekat dengan, bahkan merupakan bagian dari, tradisi pesantren. Sedang konteks politik, Uwes sepanjang hidupnya terlibat dalam sejumlah aktifitas politik yang sebagian besar berada dalam periode pemerintahan politik Orde Lama. Sebagai seorang ulama didikan pesantren dan ulama-ulama di wilayah Menes memungkinkan Uwes mengakses karya-karya klasik keislaman. 13 Dalam menulis Ishlahul Ummah fi Bayani Ahli Sunnah wa-l Jama’ah, misalnya, Uwes merujuk sejumlah karya penting Didin Nurul Rosyidin, Introducing New Religious Ideas to Mathla’ul Anwar: K.H. Uwes Abu Bakar (1939-1973), www.mathlaulanwar.or.id 11 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, h. 1-3. 12 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008, h. 27-28. 13 Seperti beberapa daerah lain di Kabupaten Pandeglang, Menes merupakan wilayah dengan tradisi pesantren yang kuat. Hal ini terlihat dari sejumlah lembaga pendidikan Islam yang berdiri hingga kini.Beberapa diantaranya seperti Mathla‟ul Anwar Pusat di Cimanying, Mathla‟ul Anwar Linahdlatil „Ulama (MALNU) di alun-alun timur Menes, Nurul Amal Pusat di Kadu Bangkong, Anwarul Hidayah Pusat di Ciputri, Madrasah Ahlussunah Waljama‟ah di Cimanying, dan Sekolah Muhamadiyah di Kadu Logak. Beberapa lainnya berupa pesantren seperti Pesantren Al-Ishlah Kananga, Pesantren Al-Mu'awanah, Pesantren Tahfizhul Quran Kebon Jeruk, dan Pesantren Fathul Ma'ani Kananga. Data Kementerian Agama Provinsi Banten mencatat, Menes menyumbangkan 41 pondok pesantren dari total 1.154 pondok pesantren yang tersebar se-Kabupaten Pandeglang. Departemen Agama RI: Bagian Perencanaan dan Data Sesditjen Pendidikan Islam. Studi lembaga pendidikan di Menes diantaranya skripsi Nia Najiah, Peranan Pondok Pesantren Al-Ishlah dalam Mengembangkan Dakwah di Desa Kananga, Menes, Pandeglang Banten. UIN Jakarta: Skripsi FIDKOM, 2013. ulama-ulama tersebut.14 Diantaranya, Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli (l. 1389 M— w. 1459 M) dan Jalaluddin as-Suyuthi (l. 1445— w. 1505 M), Tafsir Ibnu Katsir karya Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi (l. 1301 M— w. 1372 M), al-Hadits wa-l Muhaditsun karya Muhammad Muhammad Abu Zahwa, naskah fiqih mazhab Syaf‘i Bughyatul Mustarsyidin karya al-Habib `Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin `Umar al-Masyhur (l. 1250H – w. 1320H), Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Abu Walid Muhammad bin Rusyd (l. 1126— w. 1198 M), Shohih Bukhori karya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ju'fi atau Imam Bukhari (l.194 H — w.2565 H), Tuhfatul Habib ‘alaa Syarhi al-Khathib atau dikenal Hasyiyah al-Bujairami ‘alaa alKhathib karya Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairamiy al-Mishriy al-Syafi‘i (w. 1221 H), Fathul Wahhab karya Syaikh Al-Islam Zakariyya Al-Anshari (l. 824 H—926 H/ 1520 M), Al-Muhazzab karya Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi (l. 393 H—w. 476 H). Kemampuannya mengakses karya-karya klasik memungkinkannya mengenal dan memahami diskursus legal (fiqh), teologis (kalam) dan politik (siyasah) dalam pandangan sejumlah ulama Islam yang merujuk pada kondisi kekuasaan politik Islam periode awal. Sebagai seorang aktifis politik, Uwes terlibat praktis dalam berbagai organisasi dan jabatan politik pada masa-masa awal kemerdekaan dan pemerintahan Orde Lama. Selain aktif di organisasi Mathla‘ul Anwar, diketahui Uwes pernah aktif di NU dan Sekber Golkar. Ia bahkan aktif dalam Partai Masyumi sebagai anggota parlemen, termasuk mendirikan Parmusi. Terkait keaktifannya di pentas politik dan pergerakan nasional, Djuwaeli menyebutkan, Mathla‘ul Anwar pernah memiliki kekosongan nama kader yang aktif di pentas nasional dalam waktu lama pasca wafatnya Uwes.15 Pernyataan Djuwaeli tidak berlebihan karena sepanjang hidupnya Uwes mampu menampilkan diri sebagai ulama sekaligus aktifis yang luwes untuk tampil di panggung pergerakan politik nasional. Dengan keterlibatannya dalam berbagai aktifitas politik di level nasional memungkinkan Uwes cukup memahami dinamika politik yang berlangsung sepanjang karirnya. Konteks demikian, bisa diduga, memungkinkan Uwes memiliki persentuhan gagasan politiknya dengan gagasan politik yang berkembang pada umumnya. Bahkan dengan posisinya sebagai ulama sekaligus aktifis politik, Uwes sempat direkomendasikan menjadi Menteri Agama era 1950-an meski kemudian ditolaknya karena lebih memilih membesarkan Mathla‘ul Anwar. 16 Aswaja dan Gagasan Politik a. Aswaja, Ulil-Amri, dan Pemerintahan yang Syah Melalui Ishlahul Ummah fi Bayani Ahli Sunnah wa-l Jama’ah, Uwes menjelaskan sekaligus meletakkan gagasan politiknya dalam konteks masyarakat Islam Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Dalam buku ini, Uwes terlebih dahulu mendefinisikan Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah 14 h. 269. Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathlaʾul Anwar ke Abad XXI, Jakarta: PB Mathla‟ul Anwar, 1996, h. 95. Lihat skripsi Aas Syatibi, Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar di Indonesia, UIN Jakarta: Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari‟ah dan Hukum, 2006. h. 70. 15 16 dengan merunut pada teks-teks normatif maupun kesejarahan Islam sendiri. Dari sumber normatif, pengertian Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah dirujuknya pada tiga hadits Nabi. Dua diantaranya dikutipnya dari kitab Al-Bariqatul Makhmudiah (Imam Al-Khadimi, Juz I: 156) dan satu lainnya terlacak pada kitab Al-Milal wa-l-Nihal (Muhammad bin Ahmad Abu Al-Fatah AsySyahrastani Asy-Syafi'i, 474-548 H).17 Secara ringkas, pada kedua hadits pertama, identitas Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah terletak pada beberapa aspek yang tersimpan dalam jati diri seorang mukmin seperti taat memenuhi kewajiban shalat lima waktu secara berjamaah, tidak menyebut sesamanya (Muslim) dengan panggilan buruk (su’), tidak melakukan pemberontakan terhadap penguasa yang sah, tidak ragu atas imannya (terhadap Allah dan rasul-Nya), mengimani ketetapan (qadr) baik dan buruk, tidak berdebat atas perkara agama Allah (din-ullah), dan tidak mengkafirkan seseorang dari kelompok ahl-qiblat. Di hadits ketiga, kelompok muslim dengan identitas Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah yang dijamin memperoleh keselamatan dari total 73 golongan Islam yang terpecah di akhir zaman.18 Secara historis, identitas Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah merujuk pada masyarakat Islam yang memilih tunduk pada pemerintahan yang sah segera setelah penyerahan kekuasaan dari Sayidina Hasan bin Ali RA kepada Mu‘awiyah RA. Hasan menyerahkan kekuasaan dengan mempertimbangan kesatuan masyarakat Islam sekaligus menghindarkan mereka dari perpecahan politik berkepanjangan. Merujuk peristiwa ini, Uwes mendefinisikan golongan ‘Jama’ah‘ ini sebagai umat yang bersedia hidup di bawah pemerintahan yang sah. Sebuah sikap yang membedakan mereka dari sementara golongan Islam yang menolak hidup di bawah pemerintahan yang sah dengan memberontak (bughat). Dengan demikian, ditegaskan Uwes, Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah adalah masyarakat Muslim yang taat dan patuh kepada suatu pemerintahan yang sah. Ketaatan terhadap pemerintahan yang sah sendiri, jelas Uwes, menempati urutan ketiga dalam daftar ketaatan seorang muslim setelah sebelumnya ia harus taat terhadap Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan ini sejalan dengan pesan normatif pada QS An-Nisa: 59, dimana seorang Islam dituntut mentaati Allah, Rasul, dan Ulil Amri secara bersamaan. Seorang Muslim Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah tidak cukup hanya mentaati pada dua hal pertama dan mengabaikan hal terakhir atau sebaliknya mentaati yang terakhir dan mengabaikan dua hal pertama.19 Lantas, siapa Ulil Amri sendiri? Menyempurnakan konstruksi gagasan politik aswaja-nya seperti disebutkan di atas, Uwes mendefinisikan Ulil Amri sebagai ‗lembaga yang terdiri dari orang banyak‘, bukan lembaga yang mempunyai anggota satu orang (kekuasaan tunggal). Dengan demikian, Ulil Amri dalam pengertian Uwes adalah lembaga kekuasaan kolektif yang terdiri dari banyak individu. Dalam konteks Indonesia modern, sebutnya, Ulil Amri sama dengan majelis-majelis konstituante Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan parlemen yang 17 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, 18 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, 19 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, h. 5-7. h. 5-7. h. 44. berfungsi merumuskan perundang-undangan. Pengertian ini dibangun dari penafsiran atas QS An-Nisa: 59, dimana digunakan istilah Ulu-l Amri. Dalam kaidah bahasa Arab, kalimat Ulu merupakan kalimat yang diserupakan (mulhaq) kepada Jamak Mudzakar Salim, jadi bukan kalimat Jamak Mudzakar Salim. Sebagai kalimat mulhaq, maka kata Ulu/Uli tidak memiliki bentuk tunggal (mufrad) meski ia juga bisa menunjukan makna tunggal (mufrad) maupun banyak (jam’u). Benang merahnya adalah Ulil Amri bukanlah kekuasaan perseorangan atau kewenangan tunggal, melainkan kekuasaan dan kewenangan kolektif. Untuk itu, maka Uwes mendefinisikan Ulil Amri sebagai majelis konstituante atau parlemen.20 Dengan pengertian demikian, Uwes membedakan Ulil Amri dengan Ashabul Amri atau pun Auliyaul Amri. Berbeda dengan Uli, kalimat Ashab pada Ashabul Amri maupun Auliya pada Auliyaul Amri secara etimologis memiliki bentuk tunggal (mufrad), masing-masing Shohib dan Wali. Pengertian ini memiliki konsekuensi bahwa kekuasaan yang dipegang Ashabul Amri maupun Auliyaul Amri bisa dipegang oleh seseorang. Pengertian ini tentu berbeda dengan karakter Ulul Amri yang tidak memiliki mufrad sehingga pemaknaan maupun praktisnya bisa berbentuk kolektif (jam’). Ketaatan terhadap Ulil Amri, dideskripsikan Uwes sebagai ketaatan pada produk perundang-undangan yang dirumuskan dan disusun secara kolektif oleh lembaga-lembaga konstituante.21 Menurutnya, seorang Muslim wajib mentaati peraturan perundang-undangan yang disusun dalam sebuah pemerintahan yang sah. Baginya, seorang Muslim bisa disebut sebagai Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah hanya jika ia mampu mentaati kewajibannya kepada Allah, Rasul, dan perundang-undangan (kebijakan negara). Sebaliknya, ketidaktaatan warga negara atas perundang-undangan bisa dikategorikan sebagai pemberontakan (bughat). Pada kelompok yang melawan undang-undang atau memberontak (bughat) ini, wajib dilakukan penyadaran bahkan jika perlu menggunakan kekerasan fisik sekali pun. Keyakinan ini didasarkan pada QS AlHujurat: 9. Namun jika masyarakat yang menentang kembali menyatakan ketaatannya, negara wajib menerima dan melindunginya.22 Menyangkut hak dan kewajibannya, segala hal yang dikerjakan Ulil Amri haruslah yang menyangkut kemaslahatan umat dan negara (Li Ishlahi-l ‘Ibad wa-l Bilad). Ulil Amri memiliki kebebasan dalam memikirkan kemaslahatan umat dan negara, terutama pada persoalan-persoalan duniawi (mu’amalah). Sementara persoalan akhirat (ubudiyah) yang telah dijelaskan ketentuannya dalam Al-Qur‘an dan Hadits, Ulil Amri wajib menjamin pelaksanaannya. Namun dari seluruh keputusan yang diundangkan oleh Ulil Amri tidak boleh menyalahi Al-Qur‘an dan Hadits. Bila melanggar kedua sumber normatif ini, maka perundangan tersebut tidak boleh disyahkan dan wajib dibatalkan. 23 Untuk itu, dalam menjalankan kewenangannya, sambung 20 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, 21 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, 22 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, 23 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, h. 45-46. h. 48-49. h. 48. h. 50-51. Uwes, Ulil Amri wajib bermusyawarah dalam menetapkan suatu kebijakan pemerintahan dengan memperhatikan matrik empat fondasi hukum (qawa’id) Ahl al-Sunnah, yakni Al-Qur‘an, Hadits, Ijma dan Qiyas. 24 Dengan memperhatikan keempat fondasi ini, pengambilan hukum harus merujuk pada ketentuan hukum dalam Al-Qur‘an maupun Hadits. Selanjutnya, penetapannya juga harus memperhatikan pendapat suara terbanyak (ijma‘) dan perbandingan sekaligus pertimbangan dari berbagai sudut pemikiran dan pengalaman (qiyas). Contohnya, saat Al-Qur‘an memerintahkan kewajiban berzakat dengan kalimat umum: ―Wa’aatuzzakat...‖ (terj. wajib atas kalian membayar zakat), lalu dijelaskan dalam berbagai hadits bahwa yang wajib dizakati adalah buah-buahan, uang logam mulia, dan binatang ternak. Pada masa hadits disampaikan, pengertian binatang ternak merujuk pada unta, sapi, dan kambing, tapi tidak memasukan kata kerbau. Padahal dalam berbagai sisi, kerbau merupakan binatang ternak yang memiliki nilai sama dengan unta, sapi, dan kambing. Dengan demikian, dengan menggunakan piranti qiyas, kerbau dihukum sama dengan unta, sapi, dan kerbau sehingga perlu dikeluarkan zakatnya. 25 Selain itu, dalam menjalankan fungsinya, Ulil Amri harus memperhatikan 10 pedoman berupa ketentuan dasar (qaidah ushuliyyah). Pertama, Yang lebih banyak mengalahkan yang lebih sedikit. Tiga mengalahkan dua, dan dua mengalahkan satu. Kedua, Bagi hukum perantara sama dengan hukum tujuan. Ketiga, segala urusan harus dilihat tujuannya. Keempat, kesulitan membolehkan suatu larangan. Kelima, dalam dua hal kesulitan, ambilah yang termudah. Keenam, menolak kerusakan harus lebih didahulukan dibanding mengambil kemaslahatan. Ketujuh, keyakinan tidak hilang karena syak (keraguan). Kedelapan, hukum berubah karena perbaruan masa dan tempat. Kesembilan, dimana terdapat kemaslahatan, disanalah ajaran Allah berada. Kesembilan, sesuatu yang wajib tak dapat sempurna kecuali dengannya, maka ia hukumnya wajib juga. Kesepuluh, adat itu dipandang hukum. 26 Kesepuluh prinsip ini bisa dijadikan pedoman dalam pengambilan kebijakan kehidupan ummat. Pada prinsip pertama misalnya, Uwes menyimpulkan, musyawarah dalam Islam merupakan persoalan prinsipil dan menjadi unsur mutlak. Dengan berbagai pengertian di atas, Uwes mendefinisikan pemerintahan yang berazaskan Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah adalah pemerintahan yang dibangun di atas struktur (bentuk) syura dan demokrasi terpimpin.27 Struktur syura memberikan batasan berupa pemerintahan sah yang menjalankan dan merumuskan kebijakannya dengan mengedepankan musyawarah, sedang demokrasi terpimpin menggariskan kewenangan yang dijalankan pemerintahan harus merujuk pada empat matrik pengambilan hukum, yakni Al-Qur‘an, Hadits, Ijma‘ dan Qiyas. Sementara representasi kekuasaannya sendiri mengambil bentuk kewenangan kolektif melalui lembaga Ulil h. 52. 24 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, 25 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, 26 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, 27 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, h. 51-52. h. 57-59. h. 49-51. Amri yang dalam menjalan kewenangannya harus berorientasi pada terciptanya kebaikan dan kemaslahatan umat dan negara (Li Ishlahi-l ‘Ibad wa-l Bilad). Dalam hal pengaturan kewenangannya, terdapat dua objek yang harus diperhatikan. Pertama, menyangkut persoalan keagamaan (ubudiyah) seperti telah dijelaskan Al-Quran dan Hadits, pemerintahan wajib menjamin dan melindungi pelaksanaannya. Kedua, menyangkut dinamika sosial yang tidak diatur secara rinci dan tegas oleh kedua sumber utama, Al-Qur‘an dan Hadits, maka pemerintahan harus merumuskannya dengan merujuk berbagai piranti pengambilan hukum sekaligus mempertimbangkannya dengan kebutuhan zaman dan perbedaan geo-kultural masyarakat dan negara. b. Khalifah, Imam, dan Khilafah Guna menjaga ketertiban dan kelangsungan hidup beragama dan bermasyarakat, Uwes berpandangan perlunya masyarakat memilih seorang pemimpin (khalifah atau imam) dan membentuk sebuah pemerintahan (khilafah). Keperluan memilih pemimpin dan pemerintahan merujuk pada sumber normatif QS Al-Baqarah: 30. 28 Selain menjaga ketertiban dan kelangsungan hidup manusia dan memelihara keseimbangan semesta, pemimpin dan pemerintahan berfungsi menegakan hukum Allah di muka bumi. 29 Untuk itu, setelah terpilih, imam dan pemerintahan wajib dibela guna menegakkan keadilan bagi manusia. Jika terjadi penentangan, maka wajib melakukan pembelaan bahkan jika perlu dengan jalan kekerasan sehingga imam dan pemerintahan bisa tetap terjaga dalam melaksanakan amanat kepemimpinan yang diembannya.30 Mengutip berbagai pendapat ahli fiqih, Uwes berpendapat, imam atau khalifah menjadi syah dengan menempuh salah satu dari empat jalan pengangkatan. Pertama, isyarat (nash) dari Nabi SAW. Jalan ini sepertinya hanya terjadi pada pengangkatan Abu Bakar RA yang diisyaratkan Nabi SAW mengimami shalat sebagai tanda melanjutkan tugas pemerintahan umat Islam. Kedua, persetujuan pemilik hak pilih atas pengangkatannya (ittifaq ahlul halli wal ‘aqdi). Ketiga, ditunjuk (diwasiatkan) oleh khalifah (imam) sebelumnya seperti penunjukkan Umar RA oleh Khalifah Abu Bakar RA sesaat sebelum wafatnya. Keempat, dengan kekuatan senjata (coup de etat) guna dengan tujuan situasi sosial politik menjadi tenang, tentram, dan aman. 31 Namun, tidak sembarang orang (Muslim) bisa menduduki jabatan imam atau khalifah. Seorang bisa diangkat menjadi imam atau khalifah bila telah memenuhi sejumlah persyaratan penting. Mengutip pendapat sejumlah shahabat dan tabi‘in, Uwes merilis sekurangnya 10 persyaratan yang harus dipenuhi seseorang yang ingin menduduki jabatan khalifah. Pertama, “Ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, sesungguhnya aku menjadikan (manusia sebagai) khalifah di muka bumi...” lihat Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, h. 83. 29 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, h. 86. 30 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, h. 87. 31 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, h. 89-90. 28 memiliki tekad menegakkan nilai-nilai Islam dan memelihara perintah ketaatan melaksanakan nilai-nilai tersebut secara lebih baik. Kedua, laki-laki. Ketiga, merdeka. Seorang budak tidak bisa menempati posisi Imam Azham (pemerintahan pusat), sebaliknya ia hanya boleh menempati wilayah kepemimpinan lebih kecil dan berada di bawah kontrol Imam Azham. Keempat, baligh. Persyaratan baligh didasarkan ukuran kemampuan dan kesanggupan seseorang dalam memegang jabatan kepemimpinan. Kelima, berakal. Syarat ini diperlukan karena jabatan pemimpin membutuhkan daya nalar yang sehat dan kuat. Keenam, adil. Tidak syah seseorang menjadi imam jika masih cenderung melakukan banyak kejahatan (fasiq). Ketujuh, cukup pengetahuan. Selain menempati jabatan pemimpin, seorang imam juga menjadi pemegang keputusan hukum tertinggi masyarakat (qadhi). Kedelapan, sehat jasmani. Seseorang bisa menjadi pemimpin yang baik bila ia didukung badan dan anggota badan yang sehat dan normal. Kesembilan, bijaksana. Seorang pemimpin harus memiliki keluasan wawasan di bidang kemasyarakatan dan kenegaraan sehingga mampu merumuskan kebijakan yang sesuai bagi pengembangan masyarakat dan kemajuan negara. Kesepuluh, tegas dalam menjalankan ketentuan hukum. Seorang pemimpin tidak bisa lemah dalam menerapkan hukum.32 Lebih lanjut, Uwes memberikan sejumlah catatan penting menyangkut kepemimpinan. Merujuk pada berbagai sumber normatif, Hadits, Uwes berpendapat bahwa masyarakat warga negara tetap wajib mentaati imam kendati sang imam melakukan kemaksiatan. Masyarakat hanya wajib membenci perbuatan kemaksiatan tersebut. Namun, dukungan warga negara bisa dicabut jika imam dan pemerintahan terang-terangan melakukan kekufuran. Selain itu, seorang imam atau pemimpin tidak boleh mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemimpin tanpa alasan mendesak. Keketatan agar mereka menjalankan tugas kepemimpinan karena karena mereka sudah diberi kepercayaan untuk mengurus dan mengatur kehidupan ummat. Pengecualian terjadi hanya apabila si imam sudah mulai lemah secara fisik atau kekuasannya menimbulkan kekacauan dan fitnah.33 Khatimah Bangunan pemikiran politik Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah KH Uwes Abubakar dibangun dari cita ideal kekuasaan politik pemerintahan yang merujuk pada sumber normatif, Al-Qur‘an dan Hadits, dan pengalaman kesejarahan Islam berupa penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Sayidina Hasan bin Ali RA kepada Muawiyah bin Abi Sufyan RA demi kepentingan terciptanya harmoni masyarakat Islam. Secara garis besar, konstruksi pemikiran politik ini menempatkan model pemerintahan yang menekankan ketaatan warga negara terhadap pemerintahan yang sah. Ketaatan terhadap pemerintahan yang sah, diletakkan sebagai prioritas ketiga tujuan ketaatan yang harus ditunaikan oleh setiap manusia (warga negara) setelah sebelumnya mentaati atas pesan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan ini sejalan dengan pesan normatif pada QS An-Nisa: 32 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, 33 Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016, h. 91-97. h. 98-105. ayat 59 dimana seorang Islam dituntut menaati Allah, Rasul, dan Ulil Amri. Ketiganya merupakan satu kesatuan prioritas ketaatan setiap Muslim Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Dalam struktur pemerintahan, Uwes menerjemahkan Ulil Amri sebagai kekuasaan kolektif, bukan perseorangan, yang bertugas merumuskan kebijakan (perundang-undangan) melalui musyawarah dan berorientasi pada terciptanya kebaikan dan kemaslahatan umat dan negara (Li Ishlahi-l ‘Ibad wa-l Bilad). Sementara itu, untuk menciptakan dan menjaga kelangsungan hidup beragama dan bermasyarakat, Uwes berpandangan perlunya masyarakat menetapkan seorang pemimpin (khalifah atau imam) dan membentuk sebuah pemerintahan (khilafah). Seorang pemimpin dan pemerintahan yang dipimpinnya memiliki tanggung jawab menjaga ketertiban dan kelangsungan hidup adalah menegakan nilai-nilai Islam di muka bumi dan menegakkan keadilan bagi manusia. Di sisi lain, warga negara juga wajib membela dan melindungi imam dan pemerintahan yang sah sehingga bisa menjalankan fungsinya dengan benar. Daftar Pustaka Aas Syatibi, Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar di Indonesia, UIN Jakarta: Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari‘ah dan Hukum, 2006. Didin Nurul Rosyidin, Mathla'ul Anwar from Kampung to Kota: A Study of Transformation of Mathla'ul Anwar, Leiden: INIS/Leiden University, 2007. __________________, Introducing New Religious Ideas to Mathla’ul Anwar: K.H. Uwes Abu Bakar (1939-1973), www.mathlaulanwar.or.id Iin Soliin, Mathla’ul Anwar dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru, UIN Jakarta: Prodi Ilmu Politik FISIP, 2010. Louis Gottchlack, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto dari Understanding History: A Primer of Historical Method, Jakarta: UI Press, 2015, cet. Ke-4. Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008. M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathlaʾul Anwar ke Abad XXI, Jakarta: PB Mathla‘ul Anwar, 1996. Nia Najiah, Peranan Pondok Pesantren Al-Ishlah dalam Mengembangkan Dakwah di Desa Kananga, Menes, Pandeglang Banten.UIN Jakarta: Skripsi FIDKOM, 2013. Profil Singkat Mathla’ul Anwar, Jakarta: PB Mathla‘ul Anwar, 2015, h. 6. Suhardiman & Ade Komaruddin Mochamad, Kupersembahkan Kepada Pengadilan Sejarah: Otobiografi Soehardiman, Jakarta: Yayasan Bina Produktivitas, 1993, Volume 1. Syibli Sarjaya, dkk. Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, Jakarta: Mathla‘ul Anwar. Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997. Uwes Abubakar, Ishlachul Ummah fi Bayani Ahl al-Sunnah wa-l Jama’ah. Jakarta: PB Mathlaul Anwar, Cet. II, 2016.