ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN PERCERAIAN YANG TIDAK DILAKUKAN DI DEPAN SIDANG PENGADILAN BERDASARKAN HUKUM ADAT MUNA DI KECAMATAN TIWORO SELATAN SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo OLEH: MUSRITA H1 A2 12 008 BAGIAN HUKUM KEPERDATAAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016 HALAMAN PERSETUJUAN Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing untuk dipertahankan dihadapan Panitia Ujian Skripsi pada hari Jum’at tanggal 15 April 2016 dan telah lulus dengn hasil yang sangat memuaskan pada Program Studi Ilmu Hukum Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo. JUDUL : ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN PERCERAIAN YANG TIDAK DILAKUKAN DI DEPAN SIDANG PENGADILAN BERDASARKAN HUKUM ADAT MUNA DI KECAMATAN TIWORO SELATAN NAMA : MUSRITA STAMBUK : H1 A2 12 008 PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM BAGIAN HUKUM KEPERDATAAN : Menyetujui : Pembimbing I Pembimbing II Muh.Nazar S.Ag.,M.HI. NIP. 19710110 200312 1 002 Haris Yusuf. SH,M.H. NIP.19840524 201012 1 005 Mengetahui: Dekan Fakultas Hukum Koordinator Program Studi Prof. Dr. H. Muhammad Jufri , SH.,M.S. NIP. 19600809 198511 1 001 Haris Yusuf. SH,M.H. NIP.19840524 201012 1 005 HALAMAN PENGESAHAN Analisis Yuridis Keabsahan Perceraian Yang Tidak Dilakukan Di Depan Sidang Pengadilan Berdasarkan Hukum Adat Muna Di Kecamatan Tiworo Selatan. Di Susun Oleh: MUSRITA H1 A2 12 008 Telah dipertahankan dihadapan Panitia Ujian Skripsi pada Program Studi Ilmu Hukum Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo guna memperoleh Gelar Sarjana Hukum Strata Satu (S1) pada Hari Jum’at tanggal 15 April 2016 dan telah dinyatakan lulus dengan hasil yang sangat memuaskan. PANITIA UJIAN Ketua : Muh.Nazar S.Ag M.Hi. (………………………) Sekretaris : Haris Yusuf SH.,MH. (………………………) Pembimbing I : Muh.Nazar S.Ag M.Hi. (………………………) Pembimbing II : Haris Yusuf SH.,MH. (………………………) Tim Penguji (………………………) : 1. Dr. Guswan Hakim SH.,MH. 2. Heriyanti SH.,MH. (………………………) 3. Jumiati Ukkas SH., MH. (………………………) Kendari. April 2016 Disahkan Oleh ; Dekan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Prof. Dr. H. Muhammad Jufri, SH.,M.S. NIP. 19600809 198511 1 001 ABSTRAK Musrita (Stb. H1A2 12 008) “Analisis Yuridis Keabsahan Perceraian Yang Tidak Dilakukan Di Depan Sidang Pengadilan Berdasarkan Hukum Adat Muna Di Kecamatan Tiworo Selatan”. Di bawah bimbingan Bapak Muh.Nazar sebagai pembimbing I dan Bapak Haris Yusuf sebagai pembimbing II. Penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui keabsahan perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang pengadilan berdasarkan Hukum Adat Muna di Kecamatan Tiworo Selatan 2. Untuk mengetahui fakor-faktor apakah yang menyebabkan proses perceraian tidak dilakukan di depan sidang pengadilan. Tipe penelitian yang digunakan dalam penyusunan Skripsi ini adalah tipe penelitian hukum empiris, dengan teknik pengumpulan data melalui studi literatur, dan penelitian lapangan secara langsung dengan menggunakan wawancara, kapada seluruh pihak terkait dengan pelaksanaan perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang pengadilan berdasarkan Hukum Adat Muna di Kecamatan Tiworo Selatan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa (1) Keabsahan perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang pengadilan berdasarkan Hukum Adat Muna sah, karena disepakati oleh kedua bela pihak yang dilakukan dihadapan tokoh adat Muna dan keluarga kedua bela pihak yang dibuktikan dengan surat pernyataan sehingga dianggap memiliki kekuatan untuk dijadikan sebagai bukti akan sahnya sebuah perceraian yang dilakukan. Sedangkan dalam undang-undang perkawinan maupun dalam undang-undang kompilasi hukum islam telah dijelaskan bahwa sahnya perceraian hanya bisa dilakukan didepan sidang pengadilan baik yang beragama Islam maupun Agama lain karena hal ini akan berakibat hukum baik mengenai status kedudukan suami istri, anak maupun harta bersama. Akan tetapi hal seperti ini tidak menjadi masalah bagi sebagian pasangan suami istri yang bercerai tidak di pengadilan karena kebiasaan perceraian seperti ini sudah biasa terjadi dikalangan nenek moyang mereka terdahulu dan tidak pernah ada yang mempermasalahkan hal tersebut. Sehingga mereka tetap melakukan proses perceraian dengan hanya dihadapan tokoh adat Muna hingga sekarang. (2) Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat tidak bercerai didepan sidang pengadilan di Kecamatan Tiworo Selatan yaitu a). Faktor kekeluargaan yang mana unsur kekeluargan dalam kesatuan masyarakat adat Muna merupakan hal yang paling utama dalam proses penyelesaian sebuah masalah, b). faktor ekonomi yang mana masyarakat yang biasa melakukan perceraian tidak di depan sidang pengdilan kebanyakan orang kurang mampu. c). Faktor Kurangnya Pengetahuan Masyarakat Tentang Akibat Hukum Terhadap ketidakabsahan Perceraian, d). Faktor`dari aparat pemerintah yang kurang memberikan sosialisasi mengenai akibat dari ketidakabsahan perceraian. KATA PENGANTAR Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah banyak memberikan rahmat, hidayah serta pertolongan-Nya sehingga penulis memperoleh kesehatan lahir dan bathin dan dapat menyelesaikan studi serta penulisan Skripsi ini yang berjudul “Analisis Yuridis Keabsahan Perceraian Yang Tidak Dilakukan Di Depan Sidang Pengadilan Berdasarkan Hukum Adat Muna Di Kecamatan Tiworo Selatan”. Tak lupa pula Shalawat dan salam bagi baginda nabi Muhammad SAW, nabi yang membawa kehidupan manusia dapat mendapatkan ilmu sebaik-baiknya seperti halnya ilmu yang penulis dapatkan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo. Seluruh kegiatan penyusunan penulis senantiasa mendapatkan bimbingan serta petunjuk dari Bapak Muh.Nazar S.Ag.,M.HI selaku pembimbing I dan Bapak Haris Yusuf. SH,M.H selaku pembimbing II untuk itu penulis menghaturkan banyak terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Teristimewah penulis ucapkan terimah kasih dan penghargaan yang tak terhingga`kepada kedua orang tua yang kucintai dan kusayangi (ayahanda La Pendudu dan Ibunda Wa Fia) yang telah mengasuh, membimbing dan membesarkan serta selalu memberikan dukungan moril dan materil yang tiada mampu terbalas kecuali dengan doa dan bakti yang tulus kepada keduanya. Tak lupa pula ucapan terimah kasih kepada ketiga kakaku (La Sabar, La Ute dan Sumarlin) dan kedua adiku tercinta (Marlina dan Sri Dewi Wulandaa) serta kemanakan-kemanakanku yang kusayangi. Serta tak lupa pula saya ucapkan terimah kasih kapada kedua orang tua angkatku (bapak Asmada SP dan ibu Siti Wajib) yang telah memberikan motivasi, doa dan semangat kepada penulis dalam proses menyelesaikan studi. Ucapan terima kasih tak lupa penulis tunjukan kepada: 1. Bapak Prof. Ir. Usman Rianse, M.S Selaku Rektor Universitas Halu Oleo Kendari. 2. Bapak prof. Dr. H. Muhammad Jufri Dewa, SH.,M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 3. Ibu Heriyanti, SH.,MH. Selaku Ketua Bagian Ilmu Hukum Fakults Hukum Universitas Halu Oleo Kendari. 4. Bapak Muh.Nazar S.Ag.,M.HI selaku pembimbing I dan Bapak Haris Yusuf. SH,M.H selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan arahan untuk penulis. 5. Bapak Dr. Sukring, S.pd.M.Pdi, Bapak Dr. Guswan Hakim SH.,MH, dan Ibu Jumiati Ukkas SH., MH, selaku dosen penguji. 6. Seluruh bapak dan ibu dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo atas segala ilmunya yang telah diberikan kepada penulis selama masa studi hingga penulis dapat menyelasikan hsail penelitian ini. 7. Seluruh Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, terima kasih atas kerjasamanya. 8. Hajarul Aswat selaku kekasih penulis yang selalu memberikan motivasi, masukan, dukungan, dan doa agar semua dapat berjalan lancar. 9. Kepada sahabat-sahabat penulis bernama: Ety Sri Narianti SH, Ayu Puspitasari, Cucu Cahya Wunandari, Muhmmad Fandi SH, Julianti, Marni, Asniatih, Nelianti, Musliana, Laode Yusuf Kaimudin, Fatmawati, Fitriana, Ulfa, Asmiyanti Ahmad, Nur Harsyan Halua, Juasar dkk. Yang telah memberikan semangat dan dukungan dari awal hingga akhir. Terimah kasih atas persahabatan yang begitu indah semoga akan selalu terjaga. 10. Teman KKN Reguler Kecamatan Parigi Kelurahan Kosundano atas nama La Ode Anton (FISIP-Sosiologi), Agnia Tahira (FEKON-Manajemen), Riskayanti (FKIP-PGSD), Melta Jannatanissa B (FISIP-Jurnalistik), dan Arjuna Ruslan (PERTANIAN). Yang telah memberikan motivasi kepada penulis 11. Kepada semua pihak yang tidak tercantum namanya tetapi membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan hasil penelitian skaripsi ini. Terimah kasih atas semua masukan dan dukungannya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari kesempurnaan, sebab kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Namun demikian besar harapan, semoga ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu, khususnya ilmu hukum. Kendari, Maret 2016 Penulis Musrita H1A2`12 008 DAFTAR ISI HALAMAN PERSETUJUAN .......................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii ABSTRAK ........................................................................................................ iii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv DAFTAR ISI ..................................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D. Latar Belakang Masalah ..................................................................... Rumusan Masalah .............................................................................. Tujuan Penelitian................................................................................ Mnfaat Penelitian ............................................................................... 1 7 7 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .................................................................... 9 1. Pengertian Perkawinan ................................................................. 9 2. Syarat Syarat Perkawinan ........................................................... 11 3. Pengertian Perceraian ................................................................... 14 4. Syarat Putusnya perkawinan…………………. … ..................... 16 5. Akibat Hukum Perceraian .......................................................... 19 B. Konsep Perceraian Menurut Hukum Islam ....................................... 25 1. Pengertian Perceraian .................................................................. 28 2. Syarat Putusnya Perkawinan ....................................................... 30 3. Akibat Hukum Perceraian ........................................................... 31 C. Konsep PerceraianMenurut Hukum Adat ......................................... 38 D. Konsep Perceraian Menurut Hukum Adat Muna .............................. 41 1. Bentuk Perkawinan MasyarakatAdat Muna................................ 41 2. Bentuk Perceraian Masyarakat Adat Muna................................. 44 3. Akibat Perceraian Hukum Adat Muna ........................................ 47 BAB III METODE PENELITIAN A. B. C. D. Tipe Penelitian .................................................................................. Lokasi Penelitian ............................................................................... Populasi Dan Sampel ........................................................................ Pendekatan Dalam Masalah .............................................................. 49 49 50 50 E. F. G. H. Sumber Bahan Hukum ...................................................................... Metode Pengumpulan Data .............................................................. Teknik Analisis Data ......................................................................... Defenisi Operasional ......................................................................... 51 52 53 53 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Keabsahan Perceraian Yang Tidak Dilakukan Di Depan Sidang Pengadilan Berdasarkan Hukum Adat Muna ............................... 55 B. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Perceraian Tidak Dilakukan Di Depan Sidang Pengadilan .......................................................... 63 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................ 70 B. Saran .................................................................................................. 71 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia itu diciptakan secara berpasang- pasangan antara laki-laki dan perempuan. Dimana kodrat itu telah melekat dalam setiap diri manusia sejak mereka lahir di dunia ini dan tidak ada satupun yang dapat mengambil atau mencegahnya. Maka untuk menyatukan pasangan itu mereka akan terikat oleh sebuah pernikahan antara laki-laki dan perempuan dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Pada umunya perkawinan tidak cukup dengan ikatan lahir atau batin saja tetapi harus kedua-duanya. Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah sehingga perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan hukum di samping perbuatan keagamaan. Sebagai perbuatan hukum karena perbuatan ini menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa hak atau kewajiban bagi keduanya.Sedangkan sebagai akibat perbuatan keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan kepercayaannya yang sejak dahulu sudah memberi aturan-aturan bagaiman perkawinan itu harus dilaksanakan. Perkawinan merupakan salah satu perbuatan hukum yang pelaksanaannya diatur dengan tata cara yang telah ditentukan. Pelaksanaan perkawinan dapat dilakukan berdasarkan ketentuan undang-undang, mengikuti kebiasaan adat 1 istiadat yang dianut dan atau mengikuti ajaran agama yang diyakini benar sesuai petunjuk dari tuhannya. Ketiga pedoman pelaksanaan perkawinan tersebut diatas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Berdasarkan hukum positif yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia, rukun dan syarat sahnya perkawinan telah ditentukan. Baik menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, keabsahan perkawinan mutlak ditentukan oleh hukum agama dan dicatatkan pada kantor pencatatan yang telah ditunjuk oleh negara. Dengan demikian tidak dapat dikatakan perkawinan bila mana tidak mengikuti ketentuan tersebut. Lembaran Negara Republik Indonesia tentang undang-undang perkawinan menyebutkan, bahwa perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai sumai istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir batin maksudnya adalah perkawinan tidak cukup dengan adanya ikatan lahir bathin saja atau ikatan batin saja, tetapi harus ada keduanya, sehingga akan terjalin ikatan lahir batin yang merupakan dasar yang kuat dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia.1 Berdasarkan undang-undang perkawinan pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing masing agama dan kepercayaannya”. Bila mana suatu perkawinan dikatakan 1 sah apabila R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tahun 2003, hlm 537. 2 dilaksanakan dengan tata cara berdasarkan undang-undang, kebiasaan adat istiadat dan ajaran agamanya masing-masing begitu pula dalam hal perceraian. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam undang-undang perkawinan dalam pasal 39 ayat (1)” bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak” begitu pula yang telah dijelaskan dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam2 dalam hal mengajukan perceraian di pengadilan, pengadilan tidak serta merta menerima permohonan para pihak untuk mengajukan cerai, karena sesunguhnya perceraian dapat dilakukan apabila para pihak sudah tidak ada lagi kecocokan sama sekali dan atau salah satu pihak sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami atau seorang istri. Undang-undang perkawinan yang dianut Indonesia bersifat nasional, karena bersumber dari budaya dan agama yang ada di Indonesia dan berpijak pada keanekaragaman suku bangsa dan budaya serta adat istiadat bangsa yang tentunya berlaku bagi semua golongan dan daerah di seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, dengan berlakunya undang-undang perkawinan, maka telah ada unifikasi hukum dalam perkawinan di Indonesia. Sehingga pengaturan hukum tentang perkawinan, telah berlaku sama terhadap semua warga negara dan dijadikan sebagai pedoman di dalam pelaksanaan perkawinan.3 2 Lihat Pasal 115 KHI Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, hlm. 518-519. 3 3 Dalam mempertahankan suatu rumah tangga tidak semudah dalam membangunnya. Dimana masalah yang timbul akibat suatu perbedaan sulit untuk dihindari sehingga tidak jarang perkawinan itu berujung pada perceaian yang mengakibatkan rumah tangga menjadi hancur dan tidak dapat disatukan lagi. Akibat ketidak cocokan dan ketidak harmonisan ini suami atau istri tidak ingin lagi lama-lama mempertahakan rumah tangganya dan tidak ingin lagi berdamai sehingga mereka lebih memilih bercerai hanya dihadapan para tokoh adat atau tokoh masyarakat setempat. Padahal sejatinya jika kita kembali mengacu pada undang-undang perkawinan bahwa perceraian itu hanya boleh di lakukan di hadapan sidang pengadilan. Apalagi negara kita adalah negara hukum yang mana semua hal yang dilakukan berdasarkan hukum akan berakibaat hukum pula. Dari segi hukum nasional upaya untuk menghindari terjadinya suatu perceraian adalah dikeluarkannya undang-undang perkawinan dengan aturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 untuk mengatur persyaratan dan aturan perceraian dan untuk mengatur adanya perkawinan. Didalam peraturan pelaksanaan tersebut telah ditetapkan secara limitative alasanalasan untuk dapat melaksanakan suatu perceraian. Tanpa mengajukan perceraian secara yuridis tidak mungkin perceraian dapat terlaksana, dan hanya dapat dilangsungkan di depan sidang setelah upaya untuk mendamaikan atau merukunkan pasangan suami istri yang bersengketa tidak berhasil diselesaikan di meja persidangan. Perlu diketahui bahwa pelaksanaan dalam perkawinan yang terpenting itu adalah sahnya perkawinan, baik itu menurut undang-undang, agama maupun adat 4 istiadat begitu pula dalam hal perceraian. Apalagi sekarang telah ada unifikasi hukum yang mengatur tentang pekawinan. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang kurang menyadari akan hal itu, terutama masyarakat yang tinggal di daerahdaerah terpencil khususnya masyarakat adat Muna yang mana unsur kepercayaan terhadap adat istiadat mereka masih sangat kental . Sehingga tidak jarang dalam suatu masalah perceraian hanya dilakukan di hadapan para pemuka tokoh adat mereka saja tanpa memikirkan akibat hukum yang terjadi. Berdasarkan hasil observasi sementara penulis tentang perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang pengadilan pada sebagian pasangan suami istri yang ada di Kecamatan Tiworo Selatan. Hasil observasi awal tanggal 22 bulan November 2015 antara pasangan La Ode Miru dan Wa Ati mengatakan bahwa mereka telah menikah sejak tahun 1999 secarah sah dan telah didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan dan bercerai pada tahun 2015. Seringnya pertengkaran yang terjadi secara terus-menerus didalam rumah tangga mereka sehingga mereka sepakat untuk bercerai, dan perceraian itu hanya mereka lakukan di depan para tokoh adat. Sedangan hasil observasi tanggal 25 November 2015 antara pasangan La Ode Sumaeli dan Wa Lidi, menikah pada tahun 2004 secara sah. Pernikahan mereka telah didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan, dan mereka bercerai pada tahun 2015. Mereka menikah karena dijodohkan, dan dari pernikahan mereka tidak memiliki anak. Kurangnya komunikasi dan banyaknya masalahmasalah yang terjadi, sehingga istrinya meminta bercerai dengan cara menemui 5 tokoh adat. Setelah itu mereka dihadirkan di depan para tokoh adat dan keluarga kedua belapihak dan disuruh membuat surat pernyataan kalau mereka sepakat untuk bercerai, setelah itu mereka tanda tangan. Dan setelah surat pernyataan itu selesai ditanda tangan mereka langsung dinyatakan resmi bukan suami istri lagi oleh tokoh masyarakat dan para pihak keluarga yang hadir. Menurut undang-undang perkawinan, bahwa perceraian hanya bisa dilakukan di depan sidang pengadilan, baik yang beragama Islam maupun non muslim, begitupula dengan masyarakat adat Muna. Apalagi sekarang telah ada unifikasi hukum yang mengatur tentang perkawinan dalam hal perceraian. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi di lapangan banyak sekali pasangan suami istri yang melakukan perceraian tidak di depan sidang penagdilan dan hanya mereka lakukan di depan para tokoh adat, padahal pernikahan yang mereka lakukan adalah sah dan didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Maka dengan melihat kondisi yang terjadi di lapangan terutama masyarakat adat Muna, penulis merasa ada ketidak sesuaian pelaksanaan perceraian dengan yang telah ditetapkan oleh undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Maka berdasarkan uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat judul tentang ” Analisis Keabsahan Perceraian Yang Tidak Dilakukan Di Depan Sidang Pengadilan Berdasarkan Hukum Adat Muna Di Kecamatan Tiworo Selatan”. 6 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan penulis bahas adalah : 1. Bagaimanakah keabsahan perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang Pengadilan berdasarkan Hukum Adat Muna Di Kecamatan Tiworo Selatan? 2. Fakor-faktor apakah yang menyebabkan proses perceraian tidak dilakukan di depan sidang pengadilan? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah : 1. Untuk mengetahui keabsahan perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang Pengadilan berdasarkan Hukum Adat Muna di Kecamatan Tiworo Selatan. 2. Untuk mengetahui fakor faktor apakah yang menyebabkan proses perceraian tidak dilakukan di depan sidang pengadilan. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian adalah : 1. Manfaat Akademik 7 a) Dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembanagn ilmu hukum, khusunya yang berkaitan dengan hukum adat tentang perceraian serta undang-undang tentang perkawinan. b) Memberikan informasi mengenai peraturan perundang-undangan mengenai perceraian. c) Menambah pengetahuan untuk menunjang pengembanagn ilmu bagi penulis. 2. Manfaat praktis a) Hasil penelitian dapat memberikan masukan dan sumbangan pemikiran bagi pihak yang berkepentingan. b) Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperolehnya. 8 BAB II TINJAUN PUSTAKA A. Konsep Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 1. Pengertian perkawinan Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 adalah ”ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian perkawinan terdapat lima unsur didalamnya adalah sebagai berikut : 1) Ikatan lahir dan batin 2) Antara seorang pria dengan seorang wanita. 3) Sebagai suami isteri. 4) Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. 5) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut undang-undang perkawinan pasal 1 merumuskan bahwa ikatan suami isteri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut suami isteri. Hidup bersama suami isteri dalam perkawinan tidak semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual tetap pada pasangan suami isteri tetapi dapat membentuk rumah tangga yang bahagia, rumah tangga yang rukun, aman dan 9 harmonis antara suami isteri. Perkawinan salah satu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia: Menurut Sajuti Thalib salah satu pakar Indonesia mendefenisikan bahwa “perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara laki-laki dengan perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia”. Sedangkan pengertian perkawinan menurut pasal 26 KUHPerdata, undang-undang disana ditegaskan bahwa perkawinan dipandang sebagai hubungan keperdataan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena itulah, maka untuk memahami arti perkawinan kita melihat pada ilmu pengetahuan/pendapat para sarjana”. Menurut K. Wantjik Saleh, arti perkawinan adalah “ ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri”. Lebih lanjut beliau mengatakan ikatan lahir batin itu harus ada. Ikatan lahir mengungkapkan hubungan formal, sedang ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal, tak dapat dilihat namun harus tetap ada, sebab tanpa ikatan batin ikatan lahir akan rapuh. Ikatan lahir batin menjadi dasar utama pembentukan dan pembinaan keluarga bahagia dan kekal. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal sebagai bentuk ibadah kepada tuhan yang maha esa dan diperlukan persiapan fisik dan mental untuk melaksanakannya. 10 2. Syarat-Syarat Perkawinan Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam undang-undang perkawinan pasal 6 yaitu meliputi : a. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. c. Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. e. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), pasal (3) dan pasal (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka penagdilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat 11 memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), pasal (3) dan pasal (4) pasal ini. f. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Sedangkan menurut pasal 2 undang-undang perkawinan menjelaskan bahwa: a) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu. b) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya pasal 29 undang-undang perkawinan menjelaskan bahwa: a) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersebut. b) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batasbatas hukum, agama dan kesusilaan. c) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. d) Selama perkawinan dilangsungkan perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perssetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. 12 Menurut Hasbullah bahwa perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya. Di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pendapat tersebut bahwa perkawinan hanya dikatakan sah apabila dilakukan berdasarkan hukum agamanya masing-masing. Undang-undang perkawinan menganut asas monogami tidak mutlak. Hal tersebut dapat dilihat dari isi pasal 3 sebagai berikut: a) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. b) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan. Ijin pengadilan diberikan kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari satu orang apabila memenuhi syarat fakultatif dan syarat kumulatif. Syarat fakultatif adalah syarat yang terdapat dalam pasal 4 ayat (2) undang-undang perkawinan yaitu: a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan syarat kumulatif tersebut terdapat pada pasal 5 ayat (1) undang-undang perkawinan yaitu sebagai berikut: a) Ada persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteriisteri dan anak-anak mereka; 13 c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-isteri dan anak-anak mereka. Jadi seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang harus memenuhi salah satu syarat fakultatif dan semua syarat kumulatif yang telah ditentukan oleh undang-undang. KUHPerdata juga menganut asas monogamy, tapi monogaminya adalah mutlak. Hal ini dapat disimpulkan dari pasal 27 dan 28 KUHPerdata yang menyatakan bahwa asas kebebasan kata sepakat diantara para calon sumi istri, melarang adanya poligami. 3. Pengertian Perceraian Perceraian menurut bahasa berasal dari kata dasar cerai yang berarti pisah, kemudian mendapat awalan per yang berfungsi penbentuk kata benda abstrak kemudian menjadi perceraian yang berarti hasil dari perbuatan cerai. Sedangkan defenisi perceraian dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak dijelaskan secara pasti. Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta sebab akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami-istri itu perkawinannya putus. Kemudian tidak kalah urgensinya adalah alasan-alasan yang mendasari putusnya perkawinan itu serta sebab-sebab apa terjadi perceraian.4 4 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, 2002, hal. 46 14 Perceraian merupakan bagian dari perkawinan. Karena itu perceraian senantiasa diatur oleh hukum perkawinan. Hukum perkawinan di Indonesia tidak hanya satu macam, tetapi berlaku berbagai peraturan hukum perkawinan untuk berbagai golongan warga negara dan untuk berbagai daerah. Hal ini disebabkan oleh ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang telah membagi golongan penduduk Indonesia menjadi tiga golongan, yaitu : a) Golongan Penduduk Eropa dan yang dipersamakan, untuk mereka berlaku Hukum Perdata Barat (Burgelijk Wetboek/BW) b) Golongan Indonesia Asli (Bumi Putra), berlaku Hukum Adat c) Golongan Timur Asing, masing-masing dengan hukumnya sendirisendiri.5 Meskipun sistem perkawinan Indonesia diatur sesuai golongannya tapi saat ini sudah tidak bisa lagi dilakukan karena telah ada unifikasi hukum yang mengatur tentang perkawinan yang mana berlaku bagi semua golongan yang ada diseluruh Indonesia. Perceraian hanya dapat terjadi apabila dilakukan di depan pengadilan, baik itu karena suami yang telah menjatuhkan cerai (thalaq), ataupun karena istri yang menggugat cerai atau memohonkan hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam ajaran agama Islam, perceraian telah dianggap sah apabila diucapkan seketika itu oleh si suami, namun harus tetap dilakukan di depan 5 Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, , 1981, hal. 15 15 pengadilan. Tujuannya untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai dari akibat hukum atas perceraian tersebut.6 Perceraian adalah hal yang tidak diperbolehkan baik dalam pandangan Agama maupun dalam lingkup Hukum Positif. Agama menilai bahwa perceraian adalah hal terburuk yang terjadi dalam hubungan rumah tangga. Namun demikian, Agama tetap memberikan keleluasaan kepada setiap pemeluk Agama untuk menentukan jalan islah atau terbaik bagi siapa saja yang memiliki permasalahan dalam rumah tangga, sampai pada akhirnya terjadi perceraian. Hukum Positif menilai bahwa perceraian adalah perkara yang sah apabila memenuhi unsur-unsur cerai, diantaranya karna terjadinya perselisihan yang menimbulkan percek-cokan yang sulit untuk dihentikan, atau karna tidak berdayanya seorang suami untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. 7 4. Syarat Putusnya Perkawinan Di mata hukum, perceraian tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Artinya, harus ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan sebuah perceraian. Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang notabene berwenang memutuskan, apakah sebuah perceraian layak atau tidak untuk dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang menyangkut konsekuensi terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan melakukan perceraian. Misalnya soal hak asuh anak, serta pembagian harta gono-gini.8 6 Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai , 2007, hal. 17. Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 18. 8 ibid, hal. 21 7 16 Undang-undang perkawinan pasal 38 dan undang-undang kompilasi hukum islam pasal 113 sama-sama menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Selanjutnya menurut pasal 39 undang-undang perkawinan, alasan-alasan perceraian haruslah bermuara pada ketidak mungkinan pasangan suami istri hidup bersama dalam satu rumah tangga. Terlepas dari penilaian apakah perceraian itu baik atau buruk, hal itu bagi hukum tidaklah begitu relevan untuk dipermasalahkan. akan tetapi semua aturan perceraian merupakan suatu tindakan yang kurang bijaksana. Oleh karena itu diberi penekanan agar pengadilan mendamaikan terlebih dahulu keduanya. Pasal 199 BW menyebutkan bahwa perkawinan itu terputus karena : 1. Oleh karena meninggal dunia 2. Oleh karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami istri selama sepuluh tahun dan diikuti dengan perkawinan baru sesudah itu oleh istri atau suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian kelima bab delapan belas. 3. Oleh karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur (perceraian gantung) dan pendaftaran putusnya perkawinan itu 17 dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagi kedua bab ini 4. Oleh karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini.9 Selain itu menurut Ordonasi Perkawinan Indonesia Kristen (pasal 52 HOCI) alasan-alasan adalah sebagai berikut: 1) Zina 2) Meninggalkan istri atau suami dengan maksud jahat 3) Salah satu pihak dihukum dua tahun ataau lebih 4) Penganiaayaan salah satu pihak terhadap pihak lain sehingga membahayakan jiwa atau luka yang berbahaya 5) Cacat tubuh atau penyakit yang terjadi setelah perkawinan sehingga perkawinan itu tidak bermanfaat 6) Percekcokan terus menerus antara suami istri. Secara garis besar, prosedur gugatan perceraian dibagi kedalam 2 (dua) jenis, tergantung pihak mana yang mengajukan gugatannya. Pertama, gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak istri (disebut gugat cerai). Kemudian dalam mengajukan gugatan percearaian, yang juga harus diperhatikan adalah pengadilan mana yang berwenang untuk menerima gugatan tersebut, untuk selanjutnya 9 Djamil Latif, Op.cit, hal. 87. 18 memeriksa perkara perceraian yang diajukan, berdasarkan kompetensi absolutnya (peradilan umum atau peradilan agama).10 Proses pengajuan gugatan perceraian ditempuh melalui sejumlah tahapan, yaitu sebagai berikut : 1) Mengajukan permohonan atau gugatan perceraian. 2) Pengadilan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah permohonan tersebut diajukan, harus memanggil pasangan suami-istri terkait untuk dimintai penjelasan atas alasan gugatan perceraian yang diajukan. Namun sebelumnya, pengadilan harus mengupayakan jalan perdamaian. 3) Proses persidangan mulai dari pengajuan gugatan sampai dengan putusan. 4) Tahap eksekusi. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya di Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Gugatan diajukan ke Pengadilan ditempat kediaman penggugat, jika alamat orang yang digugat (Tergugat) tidak jelas atau tidak diketahui. Bilamana tergugat berada di Luar Negeri, maka gugatan diajukan ditempat kediaman tergugat. Pengadilan akan menyampaikan gugatan itu kepada tergugat (PP 9-1975, Pasal 20 ayat (3)) melalui Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri itu.11 5. Akibat Hukum Perceraian Perceraian mempunyai akibat hukum yang luas, baik dalam lapangan Hukum Keluarga 10 11 maupun dalam Hukum Kebendaan serta Hukum Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 18. . Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, 2002, hal. 42 19 Perjanjian.12Akibat pokok dari perceraian adalah bekas suami dan bekas istri, kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah. Dalam pemutusan perkawinan dengan melalui lembaga perceraian, tentu akan menimbulkan akibat hukum diantara suami-istri yang bercerai tersebut, dan terhadap anak serta harta dalam perkawinan yang merupakan hasil yang diperoleh mereka berdua selama perkawinan. Akibat putusnya hubungan perkawinan karena perceraian maka akan menimbulkan berbagai kewajiban yang dibebankan kepada suami-istri masingmasing terhadapnya yaitu: 1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,Pengadilan memberi keputusannya: 2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; 3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas suami. Sedangkan perceraian yang terjadi antara pasangan suami istri akan menimbulkan beberapa akibat yaitu: 12 . .Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, hal. 46. 20 a. Terhadap Hubungan Suami-Istri Meskipun diantara suami-istri yang telah menjalin perjanjian suci (miitshaaqan ghaliizhaan), namun tidak menutup kemungkinan bagi suami-istri tersebut mengalami pertikaian yang menyebabkan perceraian dalam sebuah rumah tangga. Hubungan suami-istri terputus jika terjadi putusnya hubungan perkawinan. Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, tidak boleh melaksanakan atau melangsungkan perkawinan sebelum masa iddahnya habis atau berakhir, yakni selama 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari atau 130 (seratus tiga puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf a). Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari (Pasal 39 ayat (1) huruf b). serta apabila ketika pada saat istrinya sedang hamil, maka jangka waktu bagi istri untuk dapat kawin lagi adalah sampai dengan ia melahirkan anaknya (Pasal 39 ayat (1) huruf c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan apakah si-istri itu sedang hamil atau tidak. Seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya dan akan menikah lagi dengan wanita lain ia boleh langsung menikah, karena laki-laki tidak mempunyai masa iddah. b. Terhadap Anak Menurut Undang-undang perkawinan meskipun telah terjadi perceraian, bukan berarti kewajiban suami istri sebagai ayah dan ibu terhadap anak di bawah 21 umur berakhir. Suami yang menjatuhkan talak pada istrinya wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sesuai dengan kedudukan suami. Kewajiban memberi nafkah anak harus terus-menerus dilakukan sampai anak-anak tersebut baliq dan berakal serta mempunyai penghasilan sendiri. Baik bekas suami maupun bekas istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak. Suami dan istri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Apabila suami tidak mampu, maka pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu yang memikul biaya anak-anak. c. Terhadap Harta Bersama Akibat lain dari perceraian adalah menyangkut masalah harta benda perkawinan khususnya mengenai harta bersama seperti yang ditentukan dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Menurut penjelasan resmi pasal tersebut, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya. Memperhatikan pada Pasal 37 dan penjelasan resmi atas pasal tersebut undangundang ini tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana harta bersama apabila terjadi perceraian. Tentang yang dimaksud pasal ini dengan kata “Diatur”, tiada lain dari pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian. Maka sesuai dengan cara pembagian, undang-undang menyerahkannya kepada “Hukum yang hidup” dalam 22 lingkungan masyarakat dimana perkawinan dan rumah tangga itu berada. Kalau kita kembali pada penjelasan pasal 37 maka undang-undang memberi jalan pembagian : 1) Dilakukan berdasar hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian; 2) Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan; 3) Atau hukum-hukum lainnya. Harta bawaan atau harta asal dari suami atau istri tetap berada ditangan pihak masing-masing. Apabila bekas suami atau bekas istri tidak melaksanakan hal tersebut diatas, maka mereka dapat digugat melalui pengadilan negeri ditempat kediaman tergugat, agar hal tersebut dapat dilaksanakan. Mengenai penyelesaian harta bersama karena perceraian, suami-istri yang bergama Islam menurut Hukum Islam, sedangkan bagi suami-istri non-Islam menurut Hukum Perdata.13 d. Terhadap Nafkah Menurut pendapat umum sampai sekarang biaya istri yang telah ditalak oleh suaminya tidak menjadi tanggungan suaminya lagi, terutama dalam perceraian itu si-istri yang bersalah. Namun dalam hal istri tidak bersalah, maka paling tinggi yang diperolehnya mengenai biaya hidupnya ialah pembiayaan hidup selama ia masih dalam masa iddah yang lebih kurang selama 90 (sembilan puluh) 13 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, 1999), hal. 2, mengutip Prof. Dr. Hazairin., S. H., Hukum Kekeluargaan Indonesia, 1961), hal. 189 23 hari. Tetapi sesudah masa iddah, suami tidak perlu lagi membiayai bekas istrinya lagi. Bahkan sesudah masa iddah, bekas istri itu harus keluar dari rumahsuaminya andaikata ia masih hidup di rumah yang disediakan oleh suaminya. Jadi baik wanita yang masih dalam masa iddah ataupun masa iddahnya telah habis asal dalam perceraian ia bukan berada di pihak yang bersalah, maka ia berhak menerima atas biaya penghidupan. Ketentuan itu bisa dengan damai atas persetujuan bekas suami begitupun mengenai jumlah biaya hidupnya atau dapat pula dengan putusan perdamaian apabila bekas suami tidak dengan sukarela menyediakan diri untuk memberi biaya hidup tersebut. Ketentuan kemungkinan pembiayaan sesudah bercerai itu dalam undang-undang perkawinan diatur dalam pasal 41 huruf c, yang berbunyi “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri”. Dan apabila bekas istri tidak mempunyai mata pencaharian untuk nafkah sehari-harinya, maka bekas suami harus memberikan biaya hidup sampai bekas istrinya itu menikah lagi dengan pria lain. Perceraian dan ketidak bahagiaan dalam pernikahan memiliki dampak yang sangat buruk bagi individu maupun masyarakat. Perceraian tidak hanya mengakibatkan kerugian material namun juga kerugian mental yang besar bagi individu dan masyarakat. Oleh karena itu, membentuk suatu pernikahan yang kuat merupakan hal yang sangat penting. Pernikahan yang stabil dan aman memberikan keuntungan bagi orang dewasa, anak-anak, dan masyarakat. 24 B. Konsep Perceraian Menurut Hukum Islam Pengertia perkawinan menurut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang terdapat dalam bab 2 pasal 2 mengatakan bahwa” perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitssaqanghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” Perkawinan merupakan salah satu sunah Allah yang umum berlaku pada semua mahluk Allah, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Semua yang diciptakan oleh Allah adalah berpasang-pasangan dan berjodohjodohan, sebagaimana berlaku pada mahluk yang paling sempurna, yakni manusia. Dalam surat Al-Dz‟ariya‟t ayat (49) yang Artinya” Dan segala sesuatu kami ciptakan berrpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” Tanpa perkawinan, manusia tidak dapat melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan manusia disebabkan oleh adanya perkawinan. Akan tetapi jika perkawinan manusia tidak didasarkan pada hukum Allah, sejarah dan peradaban manusia akan hancur oleh bentuk-bentuk perzinahan, sehingga manusia tidak berbeda dengan binatang yang tidak berakal dan hanya mementingkan hawa nafsunya.14 Menurut Watjk Saleh bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Maka untuk suatu yang 14 . HilmanHadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, 2007, hlm. 5. 25 salah satu syarat sahnya perkawinan itu, haruslah menurut ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya.15 Berdasarkan pasal 5 dalam Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa dengan syarat-syarat perkawinan ini dimaksudkan: a. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. b. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Apabila syarat-syarat terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab qabul. Dalam menjelaskan masalah syarat nikah ini, terdapat juga perbedaan dalam penyusunan syarat akan tetapi tetap pada inti yang sama. Syari‟at Islam menetukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon kedua mempelai yang sesuai dan berdasarkan ijtihad para ulama. Syarat perkawinan merupakan dasar sah tidaknya suatu perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi dari perkawinan antara lain yaitu: a) Syarat-syarat calon suami : 15 . Watjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia.1976, hlm. 16 26 1. Agama Islam 2. Bukan mahram dari calon istri dan jelas halal kawin dengan calon istri. 3. Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki 4. Orangnya diketahui dan tertentu 5. Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya. 6. Calon suami rela (tidak dipaksa/terpaksa) untuk melakukan perkawinan itu dan atas kemauan sendiri. 7. Tidak sedang melakukan ihram 8. Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri 9. Tidak sedang mempunyai istri empat. b) Syarat-syart calon istri: 1. Beragama islam dan ahli kitab 2. Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak dalam sedang iddah. 3. Terang bahwa ia wanita bukan khuntsa (banci) 4. Wanita itu tentu orangnya (jelas orangnya) 5. Tidak dipaksa (merdeka, atas kemauan sendiri/ikhtiar). 6. Tidak sedang ihram haji atau umrah. c) Syarat-syarat Ijab Qabul Perkawinan wajib dilakukan dengan Ijab dan Qabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan syarat tangan atau kepala yang bisa dipahami. Ijab 27 dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya, sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya. d) Syarat-syarat Wali. Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Adapun syarat-syaratnya ialah seorang wali hendaknya: 1. Laki-laki 2. Muslim 3. Baliqh 4. Waras akalnya 5. Adil (tidak fasik) 6. Tidak dipaksa 7. Tidak sedang berihram. Dalam hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW: Yang artinya: “ tidak sah perkawinan tanpa wali” (Rowahu Homsah) dan :” perempuan mana saja yang kawin tanpa seizin walinya maka perkawinan itu batal (3x). 1. Pengertian Perceraian Perceraian menurut ahli fikih disebut talaq atau firqoh. Thalaq diambil dari kata (ق ط الit}la>q), artinya melepaskan, atau meninggalkan. Sedangkan dalam istila syara, thalaq adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan perkawinan.16 Putusnya perkawinan adalah perceraian. Dalam istilah 16 Slamet Abidin, Aminuddin, Fikih Munakahat, hal 9 28 hukum Islam disebut dengan thalaq, artinya melepaskan atau meniggalkan ikatan perkawinan. Apabila telah terjadi perkawinan yang harus dihindari adalah perceraian meskipun perceraian adalah bagian dari hukum adanya persatuan atau perkawinan. Beberapa rumusan yang diberikan ahli fikih tentang defenisi talak diantaranya adalah 1. Sayyid Sa>biq, memberikan pengertian sebagai berikut : Talak diambil dari kata it}la>q artinya melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan dalam istila syara; talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau mengakhiri hubungan perkawinan. 2. Muhammad bin Isma>i>l as}-S}an‟a>niy memberikan pengertian sebagai berikut: Talak menurut bahasa adalah melepaskan kepercayaan yang diambil dari kata it}la>q yang berarti meninggalkan. Sedangkan pengertian talak menurut istila adalah melepaskan tali perkawinan. Pengertian talak menurut istilah juga banyak didefenisikan oleh ahli hukum, mereka dalam memberikan defenisi bervariasi akan tetapi maksudnya sama yaitu talak dapat diartikan sebagai lepasnyakatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan. Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami istri yang dilakukan atas kehendaknya suami dan istri tersebut atau karena adanya putusan pengadilan. 29 2. Syarat Putusnya Perkawinan Pada umumnya proses pengajuan gugatan dan perceraian menurut Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam tidak jauh berbeda dengan undang-undang pekawinan. Dimana, pemerintah telah mengatur mekanisme dan syarat sahnya sebuah perceraian di mata hukum, yaitu perceraian yang dilaksanakan di depan sidang pengadilan. Namun, ditengah masyarakat masih ditemukan adanya praktik perceraian yang tidak mengikuti aturan hukum tersebut yang sering disebut dengan talak di luar pengadilan. Hal ini terjadi karena masyarakat mengetahui bahwa pendapat mayoritas ulama dalam literatur fiqih tidaklah mengharuskan talak dilakukan melalui sidang pengadilan. Talak di luar pengadilan yang dimaksud adalah perceraian yang telah memenuhi semua syarat dan rukun talak yang ditetapkan dalam syariat Islam, namun tanpa penetapan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.17 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB XVI mengenai Putusnya Perkawinan, juga disebutkan sejumlah alasan yang sah untuk mengajukan gugatan perceraian. Secara substansi, inti dari BAB tersebut sama dengan apa yang tertuang dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Hanya saja, ada beberapa tambahan penting yang disampaikan dalam bab tersebut, yaitu : a. Suami Melanggar Taklik-Talak Saat akad perkawinan biasanya mempelai pria membacakan atau setidaktidaknya menandatangani sighat taklik-talak, atau perjanjian yang diucapkan 17 . Zahri Hamid, Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, 1978, hal. 102. 30 mempelai pria setelah akad nikah, yaitu, berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu, dan mungkin saja terjadi di masa mendatang. Dalam hal ini, pihak suami dengan sengaja meninggalkan istri tanpa memberi nafkah selama 2 (dua) tahun berturut-turut, kemudian pihak suami melakukan tindak kekerasan pada istri. Maka, si istri memiliki hak untuk memohonkan penjatuhan talak pada dirinya, kepada pengadilan yang berwenang. b. Peralihan Agama atau Murtad Yang Menyebabkan Terjadinya Ketidak Rukunan Dalam Rumah Tangga. Perkawinan hanya diperkenankan bagi pasangan yang seagama. Jika dalam perjalanan mengarungi rumah tangga, salah satu pihak (suami atau istri) murtad, atau berpindah agama, maka secara otomatis perkawinan pun berakhir. Jika perkawinan tersebut dipaksakan tetap berlangsung, pada akhirnya hanya akan menimbulkan ketidak rukunan. 3. Akibat Hukum Perceraian Perkawinan yang putus karena perceraiaan akan menimbulkan beberapa akibat hukum. Sedangkan akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut pasal 156 undang-undang Kompilasi Hukum Islam ialah sebagai berikut : a) anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1) wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2) ayah; 3) wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 31 4) saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5) wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah b) anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahatau ibunya; c) apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula; d) semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). e) bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d); f) pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. Putusnya ikatan perkawinan yang terjadi dapat dikelompokan beberapa karakteristik, yaitu: a. Akibat Talak Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai beberapa akibat hukum berdasarkan pasal 149 Kompilasi Hukum Islam yaitu: 32 1) Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul; 2) Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak balin atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil; 3) Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul; 4) memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun b. Akibat perceraian (cerai gugat) Cerai gugat, yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan. Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian (cerai gugat).18 c. Akibat Khulu’ Perceraian yang terjadi akibat Khulu‟, yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus karena pihak istri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Selain itu, khulu adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suami. Oleh karena itu, khulu adalah perceraian yang terjadi dalam 18 Kompilasi Hukum Islam pasal 156. 33 bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Hal ini berdasarkan Pasal 161 Kompilasi Hukum Islam. d. Akibat Syiqa>q Syiqa>q itu berarti perselisihan atau menurut istilah fikih berarti perselisiahan suami istri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami satu orang dari pihak istri. e. Akibat Li’an Perceraian yang terjadi sebagai akibat Li‟an yaitu ikatan perkawinan yang putus selama-lamanya. Dengan putusnya perkawinan dimaksud, anak yang dikandung oleh istri dinasabkan kepadanya (ibu anak) sebagai akibat Li‟an. Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam merumuskan garis hukumnya. f. Akibat Fasakh Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atau permintaan salah satu pihak oleh hakim pengadilan Agama. Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan seorang istri menuntut fasakh di pengadilan ialah: a) Suami sakit gila; b) Suami menderita penyakit menular yang tidak mungkin untuk sembuh; c) Suami tidak mau atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin. d) Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada istrinya; 34 e) Istri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami; f) Suami pergi tanpa diketahui tempat tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama.19 g. Akibat Ta'li>q t}ala>q Arti dari pada ta'li>q ialah menggantungkan, jadi pengertian ta'li>q t)ala>q ialah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu. Pembacaan ta'li>q t}ala>q ini tidak merupakan keharusan hanya secara sukaarela, tetapi pada umumnya hampir semua suami mengucapkan ta'li>q setelah melakukan akad nikah. Ta'li>q t}ala>q ini diadakan dengan tujuan untuk melindungi kekepentingan si istri supaya tidak dianiaya oleh suami. h. Akibat Ila>’ Ila>’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan menurut Sulaiman Rasyid ila>’ artinya sumpah suami yang tidak akan mencampuri istrinya dalam masa yang lebih dari 4 bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya. Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut hendaknya ditunggu sampai 4 bulan, kemudian kembali baik kepada istrinya sebelum sampai 4 bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat) saja. Tapi kalau sampai 4 bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih di antara dua perkara; membayar kaffarat sumpah serta kembali baik kepada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau tidak mau menjalankan 19 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal 174 35 salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka dengan paksa. i. Akibat Z}iha>r Z}iha>r adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila>'. Arti z}iha>r ialah seorang suami yang bersumpah bahwa istrinya baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti suami telah menceraikan istrinya. j. Akibat Ditinggal Mati Suami Ikatan perkawinan putus sebagai akibat meninggalnya suami, maka istri menjalani masa iddah dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anakanaknya serta mendapat bagian harta warisan dari suaminya Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Hukum Islam adalah sebagai berikut : 1. Mengenai Hubungan Bekas Suami dan Bekas Istri a) Pada perceraian yang telah memasuki tingkat tidak mungkin dicabut kembali (thalaq-ba’in), persetubuhan menjadi tidak boleh lagi, tetapi boleh kawin kembali, asal saja belum lebih dari dua pernyataan thalaq. b) Dalam hal thalaq juga dijatuhkan, perkawinan kembali hanya dapat dilakukan setelah memenuhi syarat-syarat tertentu yang berat, sedang dalam perceraian karena li‟an; perkawinan kembali tidak mungkin lagi dilakukan untuk selamanya. 36 c) Suami atau istri yang meninggal dalam jangka waktu „iddah-thalaq yang dapat dicabut kembali (thalaq-raj’i), berhak mendapat harta warisan dari harta peninggalan yang meninggal. d) Pada perceraian yang tidak dapat dicabut kembali (thalaq-ba‟in) tidak seorang pun dari suami ataupun istri berhak mendapat warisan dari harta peninggalan yang meninggal dunia dalam „iddah tersebut. 2. Mengenai Anak Keempat Imam Mahzab sepakat bahwa hanya ibunyalah yang berhak memelihara dan mengasuh (hadlanah) anak-anak yang dibawah umur itu. Hanya mereka berbeda pendapat tentang batas hak hadlanah ibu itu sampai umur anak beberapa tahun. Menurut Syafe‟i ibu berhak sebelum anak itu berusia 7 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Tapi Maliki, Hambali membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Menurut Maliki; anak laki-laki sebelum baligh dan anak perempuan sebelum kawin dan telah dicampuri oleh suaminya, Hambali; anak laki-laki sebelum berumur 7 tahun, demikian juga Hanafi. 3. Harta Benda Mengenai harta benda Dan dengan berakhirnya hak hadlanah ibu, maka anak tersebut bebas memilih sendiri dimana ia suka tinggal, pada ibunya atau pada ayahnya. Jika selama perkawinan diperoleh harta, maka harta ini adalah harta sirkah, yaitu harta bersama yang menjadi milik bersama dari suami istri. Karena 37 itu dalam Islam ada harta suami yang terpisah (tidak bercampur) dan harta kekayaan tidak terpisah (yang bercampur).20 C. Konsep Perceraian Menurut Hukum Adat Menurut undang-undang perkawinan pasal 40 perceraian merupakan gugatan yang diajukan kepada pengadilan. Hal mengajukan gugutan perceraian kepada pengadilan ini sebenarnya tidak dikenal dalam hukum adat dibeberapa lingkungan masyarakat adat. Namun demikaian, dikalangan masyarakat adat yang membolehkan terjadinya perceraian perbuatan mengajukan perceraian kepada pengadilan banyak juga terjadi.21 Dikalangan masyarakat adat dimana peradilan adat (desa) atau peradilan adat kekerabatan itu masih berjalan, maka setiap perselisihan suami isteri harus dicarikan jalan penyelsaian oleh kerabat agar mereka dapat rukun dan damai. Kecuali apabila kerabat sudah tidak dapat lagi menyelasaikan perselisihan itu secara damai, barulah ditersuskan pada pengadilan resmi.22 Menurut Hukum Adat, perkawinan itu termasuk “urusan keluarga dan kerabat,” Walaupun dalam pelaksanaannya pribadi yang bersangkutan yang menentukan untuk berlangsung terus atau terputusnya suatu perkawinan, karena “berkumpulnya dua orang untuk pergaulan suami istri adalah urusan yang bersifat perseorangan.” Karena itu perkawinan menurut Hukum Adat mempunyai berbagai fungsi : 20 Hasbi As-Shiddiqy, Pedoman Rumah Tangga, hal. 40. Asas-asas dan susunan hukum adat (beginselen en stelsel van het adatrecht) oleh Mr. B. Ter haar bzn. Terjemahan dari K. Ng. Soebakti Poesponoto. 1973. PT Pratnya Paramitha. Hlm 177 22 Ibid hlm 177 21 38 1) Untuk memungkinkan pertumbuhan secara tertib daripada masyarakat, kerabat kearah angkatannya. 2) Anak-anak yang lahir dalam perkawinan itu meneruskan masyarakat sanak saudaranya. 3) Meneruskan bagian clan, suku, dan keluarga 4) Mempertahankan masyarakat dusun dan wilayah sebagai kesatuankesatuan masyarakat. 5) Mempertahankan hubungan golongan-golongan sanak saudara satu sama lain. 6) Meneruskan hubungan yang timbal balik. Dalam Hukum Adat, pada umumnya kerabat dan masyarakat menginginkan agar perkawinan yang sekali dilangsungkan dapat bertahan buat selama-lamanya. Tapi dapat timbul keadaan-keadaan, dimana kepentingan kerabat dan masyarakat menghendaki putusnya. perkawinan itu, disamping itu ada hal-hal yang bersifat perseorangan oleh masyarakat dianggap sebagai alasan untuk bercerai. Hukum Adat memungkinkan perceraian perkawinan. Perceraian mungkin dimana kepentingan kerabat dan masyarakat menghendaki keputusan perkawinan itu, disamping itu ada hal-hal yang bersifat perseorangan oleh masyarakat dianggap sebagai alasan untuk bercerai.23 Tetapi yang pada umumnya dianggap sebagai alasan untuk perceraian ialah zina dari pihak si istri. 23 Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, 1954, hal. 108 39 Di masyarakat adat ada suatu sistem perkawinan dimana setiap sistem itu mempengaruhi status anak, waris, kedudukan anak didalam masyarakat adat itu sendiri, adapun penjelasan sistem perkawinannya sebagai berikut: 1) Sistem Endogami ialah suatu perkawinan yang hanya memperbolehkan seseorang kawin harus dengan keluarga/marganya sendiri. Salah satu yang menerapkan sistem ini di daerah Toraja. 2) Sistem Eksogami memperbolehkan ialah suatu sistem seseorang nikah perkawinan yang hanya harus diluar dari keluarganya sendiri/marganya. Istilah eksogami ini mempunyai pengertian yang sangat nisbi (relatif).. 3) Sistem Eleuthrogami didalam sistem ini seorang pria tidak diharuskan atau dilarang untuk mencari isteri diluar atau didalam lingkungan kerabat atau suku melainkan dalam batas-batas hubungan keturunan yang dekat biasa disebut “nasab” atau periparan sebagaimana yang ditentukan dalam Islam atau dalam perundang-undangan yang berlaku.24 Asas-asas perkawinan dalam hukum adat yaitu: a) perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal. b) Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat. 24 Hilman Hadikusuma, “Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia”, 1992, hlm. 69 40 c) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan anggota keluarga dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui masyarakat adat d) Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seseorang pria dengan beberapa wanita, sebagai istri kedudukannya masing masing ditentukan menurut hukum adat setempat. e) Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan ijin orang tua/ keluarga dan kerabat. f) Perceraian ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak boleh. Perceraian antara suami istri dapat berakibat pecahnya kekerabatan antara kedua belah pihak. g) Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga. D. Konsep Perceraian Menurut Hukum Adat Muna 1. Bentuk Perkawinan Masyarakat Adat Muna Dalam bahasa Muna kata Kawin diserap menjadi kata Kawi. Bahasa asli bahasa Muna menyebutkan kata kawin disebut dengan gaa. Gaa artinya kawin. Kata gaa memiliki beberapa sinomin di antaranya: 1) Foporae. Foporae berasal dari kata dasar porae yang artinya calon suami/istri, suami atau istri. Jadi foporae dapat diartikan sebagai proses 41 sebelum perkawinan atau dapat diartikan dengan kata pinangan. Istri/suami atau calon istri/suami secara halus kadang-kadang disebut porae. Bahasa yang lebih halus lagi disebut kata mieno lambu (orang rumah). 2) Pofileigho. Pofileigho berasal dari kata filei yang berarti lari. Pofileigho biasa diartikan sebagai saling melarikan atau kawin lari. 3) Polambu. Polambu berasal dari kata dasar lambu yang berarti rumah. Polambu dapat diartikan sebagai berumah tangga. Dalam budaya Muna perkawinan adalah hal yang sakral dimana dikenal istilah “nobhari pande gaa, taaka suano pokagaa-gaa” artinya adalah banyak orang yang bisa kawin (menikah) tetapi bukan sekedar kawin/menikah atau bukan sekedar menunaikan salah satu sunnah Nabi. Maknanya adalah bahwa 2 (dua) orang yang akan menikah berarti sudah matang untuk membetuk keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah dan tidak akan berpisah atau bercerai (porunsa). Didalam Islam jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan maka ada sejumlah mahar atau mas kawin yang harus diberikan kepada sang perempuan. Dalam tradisi masyarakat Muna, dikenal dengan jenis mahar yaitu: a. Mahar adat (katandugho) . Mahar adat (katandugho) atau dikenal dengan nama katandugho adalah sejumlah uang yang harus dikeluarkan oleh pihak laki-laki kepada keluarga 42 perempuan dalam satuan bhoka. Sistem bhoka ini umumnya dikenal di Muna induk sedangkan untuk Tiworo mengenal satuan riali (rial). Besarnya katandugho didasarkan pada status sosial (stratifikasi). Ada 4 (empat) golongan dalam masyarakat Muna, yakni: 1) Golongan Kaomu (kaum bangsawan, pada masa kerajaan Kerajaan Muna umumnya memegang jabatan eksekutif seperti Raja, panglima, kapitalau, imam serta jabatan eksekutif lainnya) 2) Golongan Walaka (golongan adat, pada masa Kerajaan Muna umumnya memegang jabatan Legislasi, mengangkat dan memberhentikan raja bahkan menghukum raja jika bersalah) 3) Golongan Anangkolaki (golongan ketiga, jabatan yang dipegang misalnya Moji dan bisa menjadi pemimpin kampung dalam golongan yang sama atau di bawahnya) 4) Golongan Maradika (golongan keempat, dipersamakan dengan budak). Dalam ke empat (4) golongan tersebut berbeda-beda uang maharnya seperti: a) Golongan kaomu (La ode) menikahi golongan kaomu (Wa ode) atau golongan bawahnya, maharnya senilai 20 boka (saat ini 1 bhoka bernilai Rp.48.000); b) Jika golongan walaka menikah dengan golongan kaomu maka maharnya senilai 35 boka. Akan tetpi kalau menikah dengan golongan walaka juga maka maharnya bernilai 10 boka 10 suku (1 suku bernilai 0,25 boka jadi 10 boka atau 10 suku sekitar 12,5 boka) akan tetapi golongan sara-kaomu 43 maharnya adalah 15 boka. Golongan sara-kaomu (perempuan sara-kaomu) artinya ayahnya golongan walaka sementara ibunya golongan kaomu. c) Jika golongan anangkolaki menikahi golongan kaomu, maka maharnya adalah 75 boka. Jika menikahi golongan walaka maharnya adalah 35 boka akan tetapi jika menikahi golongan anangkolaki juga atau di bawahnya maharnya adalah 7 boka 2 suku (atau 7,5 boka) d) Jika golongan maradika menikahi golongan kaomu maharnya adalah 2 x 75 boka jika menikahi golongan walaka maharnya adalah 75 boka jika menikahi anangkolaki maharnya 7 boka 2 suku (7,5 boka). Setelah uang mahar tersebut sudah disetujui oleh kedua belah pihak antara keluarga pihak perempuan dan keluarga pihak laki-laki maka prosesi perkawinan dapat terlaksanakan.25 2. Bentuk Perceraian Masyarakat Adat Muna Perceraian dapat timbul karena kepentingan kerabat dan masyarakat maupun yang bersifat perorangan. Setiap perselisihan suami istri harus dicarikan jalan penyelesaian oleh kerabat agar mereka dapat hidup rukun dan damai. Kecuali apabila kerabat sudah tidak dapat lagi menyelesaikan perselisihan secara damai, barulah diteruskan ke pengadilan resmi. Menurut hukum adat diadakan pemutusn perkawinan atas permufakatan dan kemauan kedua pihak. Proses penjatuhan talak dalam adat Muna sama dengan proses penjatuhan talak dalam agama Islam, yaitu dengan mengucapkan rumus menolak “talak”. 25 http://www.slideshare.net/septianraha/adat-pernikahan-suku-Muna di akses pada tanggal 08-05-2015 44 Setelah talak pertama dan kedua si istri masih bisa diambil kembali asal dalam waktu seratus hari rujuk (posuliki). Tetapi bila tidak diambil kembali, maka setelah habis waktunya dan juga setelah talak yang ketiga, perceraian sudah terjadi dan tidak bisa diubah lagi. Dan jika perceraian telah terjadi sedangkan mereka ingin kembali memperbaiki perkawinan yang telah putus maka pihak lakilaki harus membayar ulang kembali mas kawinnya (suli dhotandugho adhati). Perceraian diucapakan dengan hadirnya saksi-saksi dan terjadi didepan seorang pejabat agama yang berwenang untuk menikahkan. Bila sang suami yang minta bercerai, ia memberitahukannya pada modhi bhalano, sedangkan sang istri harus mengajukan permohonan kepada beliau. Bila perceraian diucapkan oleh modhi bhalano maka harus diadili oleh sekurang-kurangnya empat orang modhi bhalano lainnya. Pada dasarnya suatu perkawinan itu dapat putus dikarenakan kematian atau perceraian. Dalam masyarakat adat yang bersifat bilateral, apabila suami wafat, maka isteri yang putus perkawinannya dapat kembali kekerabat asalnya. Tetapi dikalangan masyarakat patrilineal dalam bentuk perkawinan yang jujur, apabila suami wafat, isteri tetap di rumah kerabat suami, oleh karena kedudukan istri bukan lagi warga adat dari kekerabatan asalnya, tetapi telah menjadi warga adat kekerabatan suami.26 Dalam masyarakat adat Muna syarat untuk dapat bercerai terbagai dua. Dimana, syarat suami atau istri untuk dapat mengajukan perceraian itu berbeda: 26 Hilman Hadikusuma, “Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia”, CV. Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm. 182 45 a). Dalam masyarakat adat Muna alasan-alasan untuk dapat mengajukan perceraian bagi seorang suami: 1) Tidak mengurus makanannya secara teratur 2) Sering keluar kampong tanpa izinnya. 3) Karena berzina. 4) Bermain cinta dengan laki-laki lain. 5) Tidak mengikuti perintah atau larangan suaminya 6) Tidak mau bersenggama dengan suaminya 7) Tidak mengijinkannya suaminya masuk rumah mereka, dengan itucara menutup pintu. 8) Memberi makanan dan hadiah kepada orang lain tanpa meminta ijin suaminya. 9) Mengijinkan laki-laki lain memasuki rumah tanpa izin suaminya b). Sedangkan alasan-alasan untuk dapat mengajukan perceraian bagi seorang istri: 1) Bila si suami tidak datang kerumah dan/atau tidak ada berita selama lima bulan (kalau ia tinggal di Muna) atau selama 1 tahun (kalau tinggal di luar negeri). 2) Kalau selama 40 hari tidak pernah memberi nafkah kepada istrinya. 3) Kalau ia tidak lagi mampu bersenggama dengannya. 4) Kalau dia penyakit lepra, tetapi baru sesudah 1 tahun diobati dan tidak berhasil sembuh. 5) Kalau dia sakit gila 46 6) Kalau ia berpenyakit kelamin, akan tetapi seperti pada lepra, baru setelah 1 tahun ia berobat dan tidak berhasil. Bila sang istri mengajukan permohonan perceraian berdasarkan salah satu alasan tersebut diatas, maka sang suami tidak usah membayar denda (redea). Dan perceraian itu harus diucapkan dengan hadirnya saksi-saksi dan terjadi didepan seorang pejabat agama yang berwenang untuk menikahkan. 3. Akibat Perceraian Hukum Adat Muna Dalam hukum adat Muna apabila pasangan suami istri ingin bercerai, maka akan ada akibat hukum atau konsekuensi yang harus diterima oleh kedua belah pihak. Jika sang suami yang meminta bercerai pada istrinya, maka istri atau pihak keluarga berhak meminta denda (redea) sampai 35 bhoka = Rp 84 pada golongan La Ode; 25 bhoka = Rp 60 pada golongan walaka; 15 bhoka = Rp 36 pada golongan anangkolaki; 7 bhoka 2 suku pada golongan = Rp 18 pada golongan maradikano ghoera; 10 suku = Rp 6 pada maradika poinokontu lakonosau. 27 Seorang suami harus membayar denda (redea), baik dia mampu atau tidak. Karena jika laki-laki tidak membayar denda (redea), maka ada kemungkinan terjadi perselisihan antara keluarga kedua belah pihak. Maka untuk menghindari kekacauan seperti ini, maka Syara Muna yang berhak untuk mengambil tindakan dengan cara memaksa si suami memenuhi dendanya, dan kalau si suami tetap tidak membayar maka semua harta miliknya disita untuk melunasi denda (redea) 27 Couvreur, Sejarah Dan Kebudayaan Kerajaan Muna, Artha Wacana Press, Kupang, 2001. Hlm 148 47 kepada pihak istri. Sedangkan akibat jika istri yamg meminta cerai, istri tidak akan mendapat bayaran denda (redea) dari pihak suami. Akibat terhadap harta bersama dalam perceraian hukum adat Muna yaitu: 1) Bila suami yang meminta cerai, maka rumah dan semua yang ada didalamnya menjadi milik istri. Pohon-pohon pisang dihalaman sekitar rumah dan unggas dianggap termasuk rumah sehingga jatuh pada istrinya. Sedangkan pohon-pohon lainnya dan ternak tidak. Milik lainnya yang diperoleh dalam perkawinan dibagi dalam tiga bagian, sang suami mendapat dua bagian dan sang istri mendapat satu bagian. 2) Sedangkan bila istri yang minta diceraikan, ia mendapat separuh dari yang ada didalam rumah dan halaman, milik lainnya yang diperolehnya dalam perkawinan, diperuntunkkan bagi sang suami. Dalam hal ini, rumah suami istri jatuh pada si istri jika dia tidak mau meninggalkannya. Bila ia pindah, umpama kembali ke rumah orang tuannya, maka sang suami mendapat rumah tersebut. 48 BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang saya gunakan dalam penyusunan Skripsi ini menggunakan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat dengan cara melakukan penelitian secara langsung dilapangan. Penelitian ini memerlukan data empiris karena pentingnya bahan hukum yang telah dikumpulkan dilakukan secara mendalam baik terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum serta teori hukum yang ada relevansinya dengan perceraian. Penelitian hukum empiris adalah memberikan kerangka pembuktian atau kerangka pengujian untuk memastikan suatu kebenaran.28 B. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di Kecamatan Tiworo Selatan, Kabupaten Muna Barat. Peneliti memilih lokasi penelitian dengan pertimbangan pada wilayah ini banyak sekali terjadi masalah perkawinan. Dimana perkwinan yang mereka lakukan sah dan tercatat di Kantor Pencatatan Perkawinan akan tetapi perceraiannya tidak dilakukan di Depan Sidang Pengadilan sehingga status perkawinannya pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum. 28 . Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, 1997, hlm, 44 49 C. Penentuan Populasi Dan Sampel 1. Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh gejala atau seluruh unit yang akan diteliti, atau dapat dikatakan populasi merupakan jumlah manusia yang mempunyai karakteristik sama.29 Dalam penulisan Skripsi ini yang akan dijadikan populasi dalam penelitian ini adalah Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tiworo Selatan, Kepala Desa Kecamatan Tiworo Selatan, tokoh adat Muna Di Kabupaten Muna, dan masyarakat di Kecamatan Tiworo Selatan. 2. Sedangkan Sampel adalah sebagian dari jumlah populasi. Penentukan sampel yang akan diteliti penulis menggunakan metode” Proporsional Purposive Sampling”, yaitu suatu metode mengambil sampel yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan dan tujuan penulis dalam rangka memenuhi data yang diinginkan penulis.30 Sampel yang penulis ambil untuk melengkapi data penelitian penulis yaitu: Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamataan Tiworo Selatan : 1 orang Kepala Desa Di Kecamatan Tiworo Selatan : 2 orang Tokoh Adat Muna : 3 orang Pasangan Suami Istri Yang Tidak Bercerai Di Pengadilan : 3 orang Jumlah responden : 9 orang D. Pendekatan Dalam Masalah Dalam penelitian ini akan mengemukakan beberapa pendekatan sebagai saran untuk mengatasi persoalan yang terdapat dalam penelitian ini, diantaranya: 29 . Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Dan Yurimetri Ghalia, 1994, hal. 30 .Ibid, hal 58 42 50 1. Pendekatan konsep (Conceptual Approach). Pendekatan ini berawal dari adanya pemikiran-pemikiran dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Keberadaan pendekatan ini akan digunakan sebagai usaha dan keinginan untuk menemukan ide atau gagasan, yang akan menghasilkan sebuah konsep dan argumentasi hukum yang berkaitan dengan alternative penyelesaian sengketa perceraian pada kesatuan masyarakat adat suku Muna. 2. Pendekatan undang-undang (Statute Approach). Pendekatan ini dilakukan untuk menganalisis semua Undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, dalam lingkup hukum penyelesaian sengketa perceraian. E. Sumber Bahan Hukum Untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi digunakan bahan hukum sebagai sumber penelitian hukum.31Ilmu hukum dengan sifat keilmuan yang khas, pengkajian hukum tipe penelitian ini beranjak dari telaah hukum positif yang kajiannya meliputi tiga lapisan dari ilmu hukum, yakni Dogmatik Hukum, Pragmatik Hukum, Filsafat Hukum. Pada penelitian ini juga, akan melakukan sistematisasi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum. Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa: a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum autoritatif artinya yang mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri atas : Undang- 31 . Dyah Octorina Susanti Dan A‟an Effendi, Penelitian Hukum (Legal Research), 2014. hlm 48 51 Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, peraturan perundangundangan (UU), catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. b. Bahan Hukum Sekunder yaitu berupa semua publikasi tentang hukum, yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar putusan pengadilan. c. Bahan-Bahan Non Hukum adalah sumber-sumber non hukum yang berguna bagi identifikasi dan analisis fakta secara akurat dan menemukan isu hukum atas fakta yang kompleks. Salah satu bahan non hukum dalam penelitian ini adalah wawancara.32 Dengan wawancara Interprestasi yuridis dalam lingkungan hukum adat dapat dilakukan berdasarkan pada keputusan-keputusan dari petugas hukum adat yang sebagian besar tidak tetulis. Dari keputusan ini disusun suatu kesimpulan umum tentang bagaimana prinsip-prinsip dalam hukum adat tentang sesuatu persoalan yang dapat dianggap sebagai persoalan hukum. Penemuan prinsipprinsip tersebut dibuat atas dasar suatu analisis terhadap apa yang disebut sebagai Yurisprudensi hukum adat.33 F. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 32 . Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum , 2014, hlm. 206 . Muhammad Koesnoe, Dasar dan Metode Ilmu Hukum Positif, 2010, hlm.154 33 52 1. Wawancara yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewanwancara dengan si responden. 2. Studi kepustakaan, peneliti berusaha mengumpulkan data berdasarkan referensi Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Desa, buku atau sumber bacaan lainnya tentang pelaksanaan perceraian dan status hukumnya serta sumber lain yang mendukung dalam penelitian ini. G. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari penelitian lapangan akan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan. H. Defenisi Operasional Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Perkawinan adalah ikatan hukum antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga baru berdasarkan ketuhanan yang maha esa 53 b. Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri. c. Keabsahan perkawinan adalah legalitas perkawinan menurut ketentuan undang-undang yang berlaku. d. Talak suatu perbuatan yang dilakukan oleh suami berupa menolak berlangsungnya perkawinan. e. Tokoh adat adalah orang yang memiliki kharisma adat dan memahami hukum adat yang diperoleh secara turun temurun 54 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Keabsahan Perceraian Yang Tidak Dilakukan Didepan Sidang Pengadilan Berdasarkan Hukum Adat Muna Di Kecamatan Tiworo Selatan Di Indonesia peraturan yang mengatur tentang perceraian adalah UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sedangkan Pengaturan lebih khusus bagi orang Islam tentang perkawinan terdapat didalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres No.1 Tahun 1991). Akan tetapi didalamnya tidak ditemukan interpretasi mengenai istilah perceraian. Putusnya perkawinan adalah perceraian. Dalam istilah hukum Islam disebut dengan talak, artinya melepaskan atau meninggalkan ikatan perkawinan. Talak menurut Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam yaitu ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Dengan demikian, talak menurut hukum adalah ikrar suami yang diucapkan di depan Sidang Pengadilan Agama. Sedangkan apabila talak dilakukan atau diucapkan di luar Pengadilan, maka perceraian sah secara hukum agama saja, tetapi belum sah secara hukum negara karena belum dilakukan di depan Sidang Pengadilan Agama. Akibat dari talak yang dilakukan di luar Pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum, atau dengan kata lain, baik suami atau istri tersebut masih sah tercatat sebagai suami- 55 istri. Sedangkan perceraian menurut R. Subekti adalah pengahapusan perkawinan dengan keputusan hakim atau tuntutan salah satu pihak selama perkawinan.34 Putusnya ikatan perkawinan telah dijelaskan baik didalam undang-undang perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal 38 undang-undang perkawinan telah menjelaskan bahwa perkawinan dapat putus: a. karena kematian, b. karena perceraian dan c. atas keputusan pengadilan. Begitu pula yang dijelaskan dalam pasal 113 Kompilasi Hukum Islam. Didalam Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan juga menyebutkan bahwa : a) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. b) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri, tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Sedangkan dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian hanya dapat terjadi apabila dilakukan di depan pengadilan, baik itu karena suami yang telah menjatuhkan cerai (thalaq), ataupun karena istri yang menggugat cerai atau memohonkan hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam ajaran agama Islam, perceraian telah dianggap sah apabila diucapkan seketika itu oleh si suami, namun harus tetap dilakukan di depan 34 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, hal 42 56 pengadilan. Tujuannya untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai dari akibat hukum atas perceraian tersebut.35 Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan La Oka, S.Ag selaku pejabat KUA pada Kecamatan Tiworo Selatan mengatakan bahwa perceraian yang tidak dilakukan didepan sidang pengadilan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Karena akan mengakibatkan ketidak pastian hukum bagi pasangan suami istri, baik itu mengenai kedudukan suami istri, anak, maupun harta dalam perkawinan.36 Sedangkan berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu tokoh adat Muna La Ode Suru pada tanggal 2 Maret 2016, mengatakan bahwa perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang pengadilan itu sah munurut hukum adat Muna. Karena meskipun telah ada undang-undang yang mengharuskan atau mewajibkan bahwa perceraian hanya akan sah jika dilakukan di depan sidang pengadilan tapi bagi mereka itu bukan suatu masalah besar karena yang penting telah ada kata sepakat dari kedua belah pihak bahwa mereka ingin bercerai dan tidak ingin hidup bersama lagi sebagai pasangan suami istri maka perceraian mereka menjadi sah.37 Pada umumnya proses pengajuan gugatan dan perceraian menurut Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam tidak jauh berbeda dengan undang-undang pekawinan. Dimana, pemerintah telah mengatur mekanisme dan 35 Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai , 2007, hal. 17. . Wawancara Dengan Pejabat KUA Kecamatan Tiworo Selatan, La Oka S.Ag tanggal 24 Februari 2016 37 Wawancara Dengan Tokoh Adat Muna, Lo Ode Suru, tanggal 2 Maret 2016 36 57 syarat sahnya sebuah perceraian di mata hukum, yaitu perceraian yang dilaksanakan di depan sidang Pengadilan. Di mata hukum, perceraian tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Artinya, harus ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan sebuah perceraian. Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang notabene berwenang memutuskan, apakah sebuah perceraian layak atau tidak untuk dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang menyangkut konsekuensi terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan melakukan perceraian. Misalnya soal hak asuh anak, serta pembagian harta gono-gini.38 Undang-undang perkawinan pasal 38 dan undang-undang Kompilasi Hukum Islam pasal 113 sama-sama menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan. perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antar suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri.39 Pada prinsipnya undang-undang perkawinan mempersulit adanya perceraian tetapi tidak berarti undang-undang perkawinan tidak mengatur sama sekali tentang tata cara perceraian bagi para suami isteri yang akan mengakhiri ikatan perkawinannya dengan jalan perceraian. 38 39 ibid, hal. 21 Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, 1982 hlm 12 58 Dalam Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa perceraian bagi umat Islam dapat terjadi karena adanya permohonan talak dari pihak suami atau yang biasa disebut dengan cerai talak ataupun berdasarkan gugatan dari pihak istri atau yang biasa disebut dengan cerai gugat. Cerai talak adalah perceraian yang berlaku bagi mereka yang beragama Islam dan merupakan wewenang pengadilan Agama. Tata cara talak diatur dalam pasal 14 sampai dengan pasal 18 peraturan pemerintah tentang perkawinan. Sedangkan cerai gugat dapat diajukan oleh pihak suami atau pihak isteri, jadi berbeda dengan talak dimana hanya pihak suami yang dapat melakukan. Cerai gugat diatur dalam pasal 20 samapi dengan pasal 36 peraturan pemerintah tentang perkawinan dan termaksud wewenang dari pengadilan Agama maupun pengadilan Negeri. Mengenai alasan-alasan perceraian ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut: 1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar dismbuhkan. 2) Salah satu pihak meningalkan pihak lainnya selama dua tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain karena diluar kemampuannya. 3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 59 4) Salah satu pihak melakukan penganiayaan berat atau kekejaman yang membahayakan pihak lain. 5) Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban suami istri. 6) Anatara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi berumah tangga. Sedangkan didalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa alasan untuk dapat melakukan perceraian sama dengan alasan perceraian yang dijelaskan dalam pasal 19 peraturan pemerintah tentang pelaksanaan perceraian. Hanya saja ada beberapa tambahan penting yang dijelaskan dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yaitu: 1) Suami melanggar taklik talak; 2) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Perceraian merupakan hal yang biasa terjadi dalam kehidupan setiap orang yang pernah menjalani ikatan perkawinan sebagai suami istri begitu pula dengan kesatuan masyarakat adat Muna. Perceraian terjadi akibat kegagalan suami istri dalam mempertahankan rumah tangganya, yang disebabkan oleh banyaknya masalah dan seringnya terjadi percekcokan yang sulit dihentikan, atau karena tidak berdayanya suami untuk melaksanakan tanggunga jawab. Perselisihan yang terjadi secara terus menerus menyebabkan pasangan suami istri sudah tidak ingin lagi melanjutkan kehidupan rumah tangga mereka sehingga mereka mengambil jalan pintas dengan cara memutuskan ikatan tali perkawinan. 60 Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan La Musuh selaku tokoh adat di Kecamatan Tiworo Selatan mengatakan bahwa perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang pengadilan berdasarkan hukum adat Muna masih tetap sah. Karena dalam kesatuan masyarakat adat Muna bahwa perceraian merupakan hak setiap pasangan yang ingin bercerai, hanya saja untuk mensahkan perceraian mereka dipertemukan (rompuane) oleh modhi bhalano dan dikasih nasehat. Apakah mereka benar-benar sudah tidak ada keinginan untuk memperbaiki rumah tangganya atau tetap ingin bercerai, dan jika pasangan suami istri tersebut tetap bersikeras untuk tetap bercerai maka mereka dibuatkan surat pernyataan setelah itu mereka disuruh tandatangan dan selesai tandatangan maka perceraian mereka dinyatakan sah.40 Sedangkan hasil wawancara penulis dengan pasangan La Ode Miru dan wa Ati sebagai warga masyarakat di Desa Sangia Tiworo mengatakan bahwa mereka tidak pernah tau kalau perceraian yang hanya dilakukan dihdapan tokoh adat itu tidak sah menurut hukum yang berlaku di Indonesia, bahkan mereka juga tidak pernah tau kalau perceraian harus dilakukan didepan sidang pengadilan.41 Lebih lanjut hasil wawancara penulis dengan pasangan La Gamuna dan Wa Siana, sebagai warga masyarakat Desa Sinar Surya mengatakan bahwa mereka tau kalau perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang pengadilan itu tidak sah menurut hukum tapi mereka tetap memilih bercerai hanya dihadapan tokoh adat karena proses perceraian seperti ini tidak membutuhkan waktu lama 40 41 Wawancara Dengan Tokoh Adat Muna La Musuh tanggal 7 Maret 2016 Wawancara Dengan Pasangan La Ode Miru Dan Wa Ati, Desa Sangia Tiworo tanggal 5 Mare t 2016 61 dan tidak berbeli-belit. Juga karena bagi mereka yang terpenting perceraian yang mereka lakukan itu sah menurut hukum adat Muna, maka hal itu menjadi tidak masalah bagi mereka untuk tidak bercerai di depan pengadilan.42 Dalam kesatuan masyarakat adat Muna perceraian yang biasa mereka lakukan tidak didepan sidang pengadilan merupakan hal biasa, karena perceraian merupakan hak setiap individu untuk memilih membubarkan perkawinan mereka. Perceraian dalam adat Muna tidak jauh berbeda dengan tata cara perceraian dalam hukum Islam, karena hukum perkawinan adat Muna masih dipengaruhi hukum Islam dan juga karena mayoritas masyarakat adat Muna beragama Islam. Tokoh adat Muna di Desa Sangia Tiworo untuk Kecamatan Tiworo Selatan sebanyak 4 orang yaitu: 1) La Musuh 2) La Dhima 3) La Gampa 4) La Kalimpou Keempat (4) orang tokoh adat ini merupakan orang-orang yang di Tuakan dan dipercaya oleh masyarakat adat Muna di Desa Sangia Tiworo untuk menyelesaikan segala perselisiahan adat. Sedangkan struktur organisasi peradilan adat Muna di Desa Sangia Tiworo itu tidak disusun secara pasti. Karena keempat tokoh adat ini, memiliki kedudukan yang sejajar satu sama lainnya dalam hal pengambilan keputusan penyelesaian perselisiahan masalah adat. Olehnya itu, saat 42 Wawancara Dengan Pasangan La Gamuna Dan Wa Siana, Desa Sinar Surya tanggal 5 Maret 2016 62 ada permasalahan mengenai adat perkawinan keempat tokoh adat ini selalu dihadirkan semua agar dalam proses pengambilan keputusan akhir menjadi jelas dan tidak menimbulkan permasalahan baru dikemudian hari seperti dalam hal perceraian. Terkecuali jika salah satu pihak berhalangan untuk hadir maka keputusan hanya ditetapkan oleh tokoh-tokoh yang hadir saja. B. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Perceraian Tidak Dilakukan Di Depan Sidang Pengadilan Perceraian yang terjadi dalam masyarakat khususnya di daerah pedesaan banyak terjadi, akan tetapi perceraian didalam masyarakat pedesaan banyak yang dilakukan secara hukum adat (kebiasaan) dimana tidak perlu melakukan perceraian di pengadilan karena masih kurang pahamnya terhadap aturan-aturan atau hukum yang berlaku dalam proses perceraian dalam masyarakat pedesaan tersebut dan juga masih besarnya pengaruh hukum adat (kebiasaan) yang digunakan oleh masyarakat dalam proses penyelesaian perceraian. Proses perceraian yang rumit di pengadilan membuat masyarakat pedesaan jarang melakukan perceraian di pengadilan dan memilih cara-cara kebiasaan yang berlaku didalam masyarakat tersebut. Dalam budaya Muna perkawinan adalah hal yang sakral dimana dikenal istilah “nobhari pande gaa, taaka suano pokagaa-gaa” artinya adalah banyak orang yang bisa kawin (menikah) tetapi bukan sekedar kawin/menikah atau bukan sekedar menunaikan salah satu sunnah Nabi. Maknanya adalah bahwa 2 (dua) orang yang akan menikah berarti sudah matang untuk membetuk keluarga 63 sakinah, mawaddah dan warahmah dan tidak akan berpisah atau bercerai (porunsa). Berdasarkan hasil wawancara dengan La Setia selaku Kepala Desa Sangia Tiworo mengatakan bahwa banyak sekali masyarakatnya yang bercerai tidak didepan sidang pengadilan disebabkan faktor kekeluargaan yang mana masih kuatnya pengaruh adat dalam hal penyelesaian perselisihan perceraian dan faktor kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai akibat hukum dari perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang pengadilan.43Lebih lanjut Kepala KUA Kecamataan Tiworo Selatan mengatakan bahwa ada beberapa faktor lain yang menyebabkan masyarakat tidak bercerai didepan sidang pengadilan salah satunya adalah faktor Aparat Pemerintah sendiri yang kurang memberikan sosialisasi mengenai akibat hukum dari ketidakabsahan perceraian. Sehingga menyebabkan banyak masyarakat tetap melakukan perceraian hanya dihadapan tokoh adat saja. Dalam Hukum Adat, pada umumnya kerabat dan masyarakat menginginkan agar perkawinan yang sekali dilangsungkan dapat bertahan buat selama-lamanya. Tapi dapat timbul keadaan-keadaan, dimana kepentingan kerabat dan masyarakat menghendaki putusnya. perkawinan itu, disamping itu ada hal-hal yang bersifat perseorangan oleh masyarakat dianggap sebagai alasan untuk bercerai. 43 Wawancara Dengan Kepala Desa Sangia Tiworo, La Setia, tanggal 24 Februari 2016 64 1. Faktor Kekeluargaan Faktor kekeluargaan merupakan hal yang paling utama dalam hal penyelesaian perselisihan perceraian. Karena bagi kedua belah pihak meskipun mereka sudah tidak bersama sebagai suami istri. Tapi, sesungguhnya perceraian seperti itu merupakan aib bagi keluarga besar kedua belah pihak. Lebih lanjut Wa Ati dan La Ode Miru mengatakan bahwa faktor utama mereka melakukan perceraian hanya dihadapan tokoh adat dan keluarga kedua belapihak. Karena, proses perceraian seperti ini sangat mudah dan cepat serta tidak membutuhkan banyak waktu untuk meresmikan perceraian mereka. Hal sama yang diungkapkan oleh pasangan La Ode Sumaili dan Sunarti selaku warga Desa Sangia Tiworo bahwa mereka juga telah resmi bercerai dengan kesepakatan kedua belah pihak dan perceraian mereka itu diresmikan oleh tokoh adat yang mereka hormati sebagai tokoh yang paling berhak untuk meresmikan perceraian mereka dan dilakukan dihadapan para keluarga kedua belah pihak. perceraian seperti ini mereka pilih karena tidak ingin perceraian yang mereka lakukan tersebar dilingkungan masyarakat sekitar.44 Dikalangan masyarakat adat dimana peradilan adat (desa) atau peradilan adat kekerabatan itu masih berjalan, maka setiap perselisihan suami isteri harus dicarikan jalan penyelesaian oleh kerabat agar mereka dapat rukun dan damai.45Menurut Hukum Adat, perkawinan itu termasuk “urusan keluarga dan kerabat,” Walaupun dalam pelaksanaannya pribadi yang bersangkutan yang 44 Wawancara Dengan La Ode Sumaili dan Sunarti di Desa Sangia Tiworo Kecamatan Tiworo Selatan tanggal 26 Maret 2016 45 Ibid hlm 177 65 menentukan untuk berlangsung terus atau terputusnya suatu perkawinan, karena “berkumpulnya dua orang untuk pergaulan suami istri adalah urusan yang bersifat perseorangan.” 2. Faktor Ekonomi Faktor ekonomi merupakan salah satu alasan masyarakat Adat Muna tidak melakukan perceraian di depan sidang pengadilan. Lebih lanjut La Ode Sumaili dan Sunarti mengatakan bahwa faktor lain yang menyebabkan mereka memilih bercerai hanya dihadapan tokoh adat karena tidak terlalu banyak memakai biaya selain itu prosesnya cepat dan tidak berbeli-belit. Masyarakat yang melakukan perceraian hanya dihadapan para tokoh adat kebanyakan dari kalangan masyarakat yang tidak mampu. Karena kebanyakan penghasilan masyarakat di Kecamataan Tiworo Selatan hanya dari sektor pertanian. Lebih lanjut hasil wawancara penulis dengan La Ompa selaku Kepala Desa Sinar Surya mengatakan bahwa kebanyakan masyarakatnya orang yang tidak mampu sehingga mereka memilih bercerai hanya dihadapan tokoh adat karena tidak perlu mengeluarkan biaya yang banyak. Sedangkan jika harus mengajukan perceraian di pengadilan itu lama dan membutuhkan uang yang banyak karena letak pengadilan dari tempat mereka tinggal sangat jauh. 3. Faktor Kurangnya Pengetahuan Masyarakat Tentang Akibat Hukum Terhadap Perceraian Yang Tidak Dilakukan Di depan Sidang Pengadilan Selanjutnya berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa pasangan yang tidak bercerai di depan sidang pengadilan disebabkan pemahaman mereka terhadap akibat hukum dari ketidakabshan perceraian sangat kurang, 66 bahkan ada yang tidak mengerti sama sekali apa maksud dari ketidakabsahan perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang. Karena bagi mereka perceraian bukan sesuatu perbuatan buruk yang dapat merugikan orang sehingga ia harus menerima sanksi lain lantaran mereka bercerai. Menurut La Ompa selaku Kepala Desa Sinar Surya mengatakan bahwa faktor lain yang menyebabkan masyarakat tidak bercerai didepan sidang pengadilan disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap akibat hukum dari ketidakabsahan perceraian. Karena orang tua mereka terdahulu tidak pernah melakukan proses perceraian di pengadilan dan sampai sekarang tidak ada masalah akan hal itu. Jadi mereka tidak pernah takut untuk tidak melakukan perceraian di pengadilan.46 Lebih lanjut La Setia Mengatakan bahwa mengapa sampai sekarang masih banyak masyarakat yang masih tetap melakukan perceraian tidak di penagdilan karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai akibat hukum dari ketidakabsahan perceraian. 4. Faktor Aparat Pemerintah Aparat pemerintah dalam hal ini kelurahan atau desa merupakan salah satu unsur yang berperan dalam mengurangi terjadinya perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang pengadilan karena secara hukum perceraian seperti ini jelas tidak diakui oleh undang-undang. Pemerintah dalam hal ini aparat desa harusnya bisa memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang akibat dari 46 Wawancara Dengan kepala desa sinar surya La Ompa, tanggal 26 februari 2016 67 ketidakabsahan perceraian. Karena akan berakibat hukum baik mengenai anak maupun harta bersama. Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh dari tokoh adat Muna La Dhima bahwa perceraian yang tidak dilakukan didepan sidang pengadilan terjadi sejak dulu dan sudah sering terjadi dikalangan orang tua nenek moyang dan tidak ada masalah akan hal itu apalagi sampai memperebutkan anak dan harta gono gini.47 Lebih lanjut La Gamuna dan Wa Siana juga mengatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabakan mereka tidak bercerai didepan sidang pengadilan karena prosesnya lama dan berbelit-belit sementara mereka sudah ingin segera bercerai. Karena bagi mereka perceraian seperti ini juga tidak ada masalah yang terpenting perceraian mereka dianggap sah oleh adat. Dalam hukum adat Muna apabila pasangan suami istri ingin bercerai, maka akan ada akibat hukum atau konsekuensi yang harus diterima oleh kedua belah pihak. Jika sang suami yang meminta bercerai pada istrinya, maka istri atau pihak keluarganya berhak meminta denda (redea) kepada pihak suami. Denda (redea) yang harus dibayar oleh pihak suami tersebut tergantung dari seberapa besar yang diminta oleh pihak istri dan pihak suami wajib membayar itu, baik dia mampu atau tidak. Terkecuali jika pihak istri sendiri tidak meminta atau menolak denda tersebut maka pihak suami bisa tidak membayar denda. Denda tersebut merupakan hak yang harus diperoleh oleh seorang istri atas perceraian yang diajukan oleh suami. Dalam hal ini, suamilah yang bersalah karena telah 47 Wawancara dengan tokoh adat muna di Kecamatan Tiworo Selatan La Dhima, tanggal 5 Maret 2016 68 menceraikan istrinya, jadi untuk menebus kesalahan tersebut pihak suami wajib membayar denda sebesar yang diminta oleh pihak istri. Sedangkan akibat jika istri yamg meminta cerai, istri tidak akan mendapat bayaran denda (redea) dari pihak suami. Karena yang mengajukan perceaian istri itu sendiri, dan dalam hal seperti ini pihak suami tidak bersalah sehingga suami tidak berhak untuk membayar denda kepada pihak istri, sebab istrilah yang bersalah. . 69 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai berikut: 1. Keabsahan perceraian yang tidak dilakukan didepan sidang pengadilan berdasarkan hukum adat Muna sah dan tidak ada masalah karena hal tersebut merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang dilakukan dihadapan tokoh adat yang dituangkan dalam sebuah surat pernyataan sehingga dianggap memiliki kekuatan untuk dijadikan bukti sebagai sahnya perceraian yang mereka lakukan. Sedangkan menurut undang-undang perkawinan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam (pasal 39 ayat (1) undang-undang perkawinan) bahwa perceraian hanya bisa dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan tidak berhasil mendamaikan kedua belapihak. Begitu pula yang telah dijelaskan dalam undang-undang kompilasi hukum islam pasal 115 bahwa “perceraian hanya bisa dilakukan di depan sidang pengadilan Agama setelah pengadilan Agama yang bersangkutan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak” . Berarti dalam hal ini telah jelas bahwa perceraian yang tidak dilakukan didepan sidang pengadilan tidak sah menurut hukum meskipun dalam hukum adat Muna tetap mensahkan perceraian tersebut. 70 2. Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab perceraian tidak dilakukan di depan sidang pengadilan di Kecamatan Tiworo Selatan adalah 1). Faktor kekeluargaan yang mana unsur kekeluargaan dalam kesatuan masyarakat adat Muna merupakan hal yang paling utama dalam proses penyelesaian sebuah masalah. 2). Faktor ekonomi, dimana masyarakat adat Muna yang melakukan perceraian hanya dihadapan tokoh adat Muna kebanyakan orang tidak mampu. 3). Faktor kurangnya pengetahuan masyarakat tentang akibat hukum terhadap ketidakabsahan perceraian 4). Faktor`dari aparat pemerintah yang kurang memberikan sosialisasi mengenai akibat dari ketidakabsahan perceraian. B. Saran Adapun yang menjadi saran dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Disarankan kepada masyarakat yang ingin bercerai agar melakukan perceraian di pengadilan baik yang beragama Islam maupun agama lain. Agar status perceraiannya sah dan memiliki kekuatan hukum, sehingga kedudukan suami istri, status anak dan harta dalam perkawinan menjadi jelas. 2. Disarankan kepada pihak pemerintah yang berwenang, untuk dapat memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait keabsahan perceraian. Karena ternyata masih banyak masyarakat yang kurang mengetahui akibat hukum dari perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang pengadilan. 71 DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Couvreur, Sejarah Dan Kebudayaan Kerajaan Muna, Artha Wacana Press, Kupang, 2001. Hadikusuma Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2007). Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia”, CV. Mandar Maju, Bandung 1992. Hukum Waris Adat, Alumni Bandung, 1980. Hamid H. Zahry, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam , Bina Cipta, Jakarta, 1978. Koesnoe Muhammad, Dasar dan Metode Ilmu Hukum Positif, Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair, Surabaya, Jakarta, 2010. Latif. Djamil, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981 Lubis Ibrahim, Agama Islam Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2014. Prodjohamidjojo Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, 2002, Prodjodikoro R Wiryono, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung 1974). Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesi, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2002. Rasyidi, Alasan Percerain Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Alumni, Bandung, 1983. Shiddiqy. Hasbi As, Pedoman Rumah Tangga, Pustaka Maju, Medan,.Soemitro Roni Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997. 72 Soekanto Soerjono , Meninjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta, 1954 Somiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, 1982. Susanti Dyah Octorina dan A‟an Effendi, Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar Grafika, Jakarta, 2014. Subekti R dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta, Pradya Paramitha, 2003), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1991. Susilo.Budi, Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2007, Thalib Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet.5, (Jakarta: UI-press, 1986). Watjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia .Galia Indonesia, Jakarta. 1976. Zahri. Hamid, Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, 1978 2. Peraturan Perundang-Undangan 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1) 2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12). 3) Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3. Sumber Lainnya http://www.slideshare.net/septianraha/adat-pernikahan-suku-Muna diakses pada tanggal 08-05-2015. 73