BAB II PROSEDUR PENYELESAIAN LI’AN MENURUT FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Tinjauan Umum TentangLi’an 1. Pengertian Li’an Menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam Li’an menurut bahasa berarti ala’nu bainatsnaini fa sha’idan yaitu saling melaknat yang terjadi diantara dua orang atau lebih. Menurut kitab Al-Mufashal fie ahkami al-mar’ah wa al-bait al-muslim fi al shari’ah al-islamiyah, karya Abdul karim Zaidan disitu dijelaskan bahwasannya secara leksikal kebahasaan al-la’nu berarti al-ab’adu yang memiliki arti arti berjauhan atau al-thordu min al-khoi yang berarti pengusiran dari kebaikan, bisa juga isimnya adalah al-la’nah, maka jama’nya adalah li’an, li’anat. 57 Abi Zakariya al-Anshari dalam kitabnya fatkhu al-wahab, mengatakan bahwa pengertian li’an menurut bahasa adalah masdar dari fiil “la’ana”yang berlaku dari bentuk jamak “li’ana”yakni membuang dan menjauhkan. 58 Li’an adalah kata masdar dari kata kerja la’ana, yyula’inu, li’anan yang diambil dari kata al-la’nu yang berarti 57 Abdul Karim Zaidan, Al-Mufahal fie ahkami al-mar’ah wa al-bait al-muslim fi al-shari’ah al-islamyah VII, hal., 320. 58 Abi Yahya Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhabi juz I, (Semarang : Toha Putra), hal., 98. Universitas Sumatera Utara jauh dari kebaikan, azab, laknat atau kutukan. 59 Disebut demikian, karena suami isti yang saling berli’an itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul bagi suami istri tersebut untuk hidup sebagai suami istri untuk selamalamana, atau karena di dalam li’an suami istri diharuskan bersumpah li’an yang didalam sumpah dan kesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia mendapat laknat Allah jika pernyataannya tidak benar. 60 Menurut bahasa kata li’an dan mu’la’anah berarti saling melaknat yang terjadi di antar dua orang atau lebih, li’an dalam kosa kata bahasa tidak sama dengan li’an yang dimaksud didalam munakahat walaupun memiliki tujuan yang sama-sama melakukan sumpah ataupun kutukan. Sedangkan menurut istilah shar’i, li’an ialah redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa istriya telah berzina dengan laki-laki lain atau ia menolak anak yang dikandung atau anak yang dilahirkan oleh istrinya sebagai anak kandungnya, dan istri pun bersedia bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu dusta. 61 Li’an secara terminologi adalah persaksian yang dikuatkan dengan sumpah, yang dilakuka oleh suami istri apabila seorang suami menuduh istrinya berzina atau tidak mengakui anak yang dilahirkan oleh istrinya sebagai anaknya dengan disertai kata laknat dari pihak suami dan sanggahan dari pihak istri. 62Li’an dapat diartikan sebagai tuduhan suami 59 Jamaluddin, Hukum Perkawinan Empat Mazhab Hanafi, MAliki, Syafi’i dan Hanbali, (Medan : Lembaga Peneliti dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Islam Sumatera Utara ), hal.,131 60 Ibid., hal., 132 61 Abdul Karim Zaidan, Op.Cit, hal.,321. 62 Ali Hasb Allah, al-Furqah,hal. 176. Universitas Sumatera Utara terhadap istri bahwa istrinya berzina dengan orang lain atau mengingkari kehamilan istri dengan disertai empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian sumpah kelima disertai ketersediaan menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya. 63 Kajian li’an didalam perspektif Fiqh Islam merujuk kepada pengertian li’an yang terdapat didalam Al-Quran dan juga Al-Hadist, karena perluasan penafsiran yang lebih lanjut terhadap defenisi li’an yang terdapat di dalam sumber Hukum Islam tersebut, maka kitab Fiqih adalah sebuah alternatif untuk menghubungkan pemahamanmengenai masalah li’an. Pengertian li’an menurut para ahli fiqih : a. Abi Yahya Zakariya al-Ansharimendefenisikan li’an adalah beberapa kalimat yang maklum digunakan sebagai hujjah bagi orang yang membutuhkannya untuk menuduh zina kepada istrinya, dan menetapkan kejelekan dengannya atau untuk menolak anaknya. 64 b. Imam Taqiyuddin Abi Bakr mendefenisikan li’an adalah ibarat dari kalimat yang biasa digunakan untuk menuduh zina suami kepada istrinya dan ia (suami) bersumpah bersedia menerima laknat apabila ia (suami) berbohong. 65 c. Ibnu ‘Abidin mendefenisikan li’an adalah beberapa kesaksian yang dikuatkan dengan sumpah, yang mana kesaksian suami disertai dengan laknat dan 63 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2008), hal., 239. Abi Yahya al-Anshari, Op. Cit. hal., 98. 65 Taqiyuddin Abi Bakr, Kifayah al-Ahyar, Juz II, (Mesir : Dar al-Kutub al-Araby), hal., 121. 64 Universitas Sumatera Utara kesaksian istri dengan qazf, yang menduduki kedudukan hak qazf pada suami dan menduduki kedudukan had zina pada hak istri. 66 Li’an dalam pengertian menurut para ulama mazhab: a. Ulama mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali mendefenisikan li’an dengan persaksian kuat dari pihak suami bahwa istrinya berbuat zina yang diungkapkan dengan sumpah yang yang dibarengi dengan lafal li’an, yang ditanggapi dengan kemarahan dari pihak istri. Bagi Ulama Mazhab Hanafi, li’an tidak sah dalam nikah fasid. 67 b. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan sumpah suami yang muslim dan cakap bertindak hukum bahwa ia melihat istrinya berzina atau ia mengingkari kehamilan istrinya sebagai hasil pergaulannya dengan istrinya itu, kemudian istri bersumpah bahwa tuduhan tersebut tidak benar sebanyak empat kali di hadapan hakim, baik nikah antara suami istri itu nikah shahih maupun fasid. Bagi mereka, li’an yang dilakukan suami yang kafir, anak kecil, orang gila dan orang mabuk tidak sah. 68 66 67 Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar, Juz V, (Lebanon : Dar al-Kutub al-‘Ilmiah), hal., 149. Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal., 1009. 68 Ibid Universitas Sumatera Utara c. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan kalimat tertentu yang dijadikan alasan untuk menuduh istri berbuat zina dan mempermalukannya atau mengingkari kehamilan istri sebagai hasil pergaulannya dengan istrinya. 69 Dalam kitab fiqih tradisional masih ditemukan pendapat pakar hukum Islam tentang apakah li’an itu sebagai sumpah atau kesaksian. Menurut Imam Maliki, Syafi’i dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa li’an adalah sumpah, sebab kalau dinamakan kesaksian tentulah seseorang tidak menyebut bersaksi bagi dirinya. 70 Sedangkan Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa li’an adalah kesaksian dengan alasan bahwa firman Allah yang menyebutkan tentang li’an penekanannya kepada “maka kesaksian salah seorang dari mereka (mengucapkan) empat kali kesaksian dengan menyebut nama Allah” dam juga Hadist Ibnu Abbas yang menyebutkan istri mengucakan kesaksian pula. 71 Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia mengklasifikasi perceraian kepada (1) kematian salah satu pihak, (2) perceraian karena talaq dan perceraian karena gugat, (3) keputusan pengadilan. 72 Pada dasarnya bahwa hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus, seperti dalam memeriksa 69 Abdul Rahman Al Jaziri, Kitab Al Fiqh ala Mazahibi al Arba’ah , (Mesir : Mathba’ah Tijariyah Al Kubra), hal., 244. 70 Abdul Manan, Op. Cit, hal., 147. 71 Ibid 72 Ibid, 127. Universitas Sumatera Utara perkara sengketa perkawinan. Hal-hal yang diatur dengan hukum secara khusus dalam sengketa perkawinan, meliputi perkara-perkara: 73 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) Cerai Talak Cerai Gugat Pembatalan Perkawinan Ijin Poligami Acara Li’an Acara Khuluk Penetapan Wali Adhol Sengketa harta perkawinan Li’an merupakan acara khusus di Pengadilan Agama yang diatur dalam pasal- pasal tertentu di dalam Kompilasi Hukum Islam. 74Li’an merupakan salah satu penyebab putusnya hubungan perkawinan antara suami istri, sesuai dengan Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam yang menekankan bahwa li’an juga menyebabkan putusnya perkawinan antara suami dan istri untuk selama-lamanya. 75 Pelaksanaan li’an hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama sebagaiman yang disebutkan dalam Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam. 76 Li’an merupakan perintah hakim kepada suami yang menuduh istrinya berselingkuh untuk mengucapkan sumpah.Apabila istrinya tidak hadir, maka harus disebutkan namanya oleh suami, dan jika istrinya hadir, maka harus ditunjuk dengan isyarat 73 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata di Pengadilan Agama, Cet. ke-2, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hal., 203. 74 Ibid, 226. 75 Lihat Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam. 76 Abdul Manan, Op.Cit, hal., 146. Universitas Sumatera Utara tangannya. Pendapat lain mengatakan harus dihubungkan antara menyebutkan nama dengan isyarat tangan. 77 A.Fuad Said, berpendapat bahwa li’an hanya dapat dilakukan didepan hakim, dan hakim disunatkan terlebih dahulu memperingatkan tentang siksaan yang berat yang akan diterimanya, apabila masing-masing suami istri memberikan keterangan yang tidak benar. 78 Pelaksanaan li’an oleh hakim dilakukan di hadapan beberapa orang beriman, dan harus berdasarkan ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam ayatayat Al-Qur’an. 79 Berlakunya li’an diantara suami dan istri apabila: 1) Mukallaf yaitu suami istri merupakan muslim, baligh , berakal, merdeka (bukan hamba sahaya), mempunyai kemampuan berbicara dengan jelas dan lancar. 2) Adanya pernikahan yang sah yang dilakukan oleh kedua belah pihak. 3) Status istri orang yang terhormat, istri merpakan sosok yang menjaga diri dari perbuat zina dan dapat menjaga marwah dirinya dan keluarganya. Maka berlaku sebaliknya, jika istri merupakan wanita yang kurang menjaga diri diperlukan li’an, untuk meyakinkan tuduhan atas dirinya. 4) Tidak terdapat saksi , tidak adanya alat bukti atau saksi jelas dan sah yang membenarkan tuduhan suami atas istrinya. Karena dengan mendatangkan empat laki-laki adil menjadi saksi perzinaan yang dilakkan istri, maka gugurlah praktek li’an saat itu juga. 5) Istri mengingkari tuduhan atas dirinya. Sehingga jika istri mengakui perbuatannya maka li’an tidak diperlukan lagi. 6) Didepan sidang Pengadilan , istri mendatangkan hakim. Dalam hal ini kedatangan hakim menjadi salah satu syarat sah diberlakukannya li’an, karena praktek li’an juga bisa dijadikan alat menghindarkan istri dari aib perusak nama baik. 77 Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Kunci Fiqh Syafi’i, alih bahasa Hafid Abdullah, cet. ke-1 , (Semarang: Asy Syifa’, 1992), hal., 257. 78 A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka AlHusna,1993),hal.,149. 79 Abu bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim (Minhajul Muslim) Mu’amalah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), hal., 219. Universitas Sumatera Utara Dalam hal percerian dalam masalah cerai gugat atas alasan zina telah diatur secara khusus dalam Pasal 87 dan 88 Undang-Undang Nomor7 Tahun 1989 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka sistem pembuktian dalam pemeriksaan cerai karena alasan zina adalah sistem pembuktian yang diatur dalam Al-Qur’an surah An-Nuur ayat 4, 6 dan 7 yakni harus ada empat orang saksi yang melihat perbuatan tersebut. Apabila suami tidak dapat menghadirkan empat orang saksi maka ia dianggap dalam keadaan qazf dan hakim secara ex officio dapat memerintahkan suami untuk mengucapkan sumpah li’an sesuai dengan tata cara yang diatur didalam Al-Qur’an dalam surat AnNuur ayat 6 dan 7. 80 Sesuai dengan ketentuan Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, sumpah li’an harus diperintahkan oleh hakim secara ex officio kepada suami, dan perintah itu dituangkan kedalam putusan sela. 81 Pihak istri berdasarkan surat An-Nuur ayat 8 dan 9 dapat menolak sumpah suami tersebut dengan mengucapkan sumpah yang sama di muka hakim Pengadilan Agama. Dengan terjadinya saling bersumpah antara suami dan istri dimuka hakim Pengadilan Agama, maka terwujud penyelesaian perkara perceraian karena alasan zina secara li’an. 82 Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada pasal yang secara rinci mengatur tentang proses penyelesaian perkara li’an, UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hanya menjelaskan bahwa suami boleh 80 Abdul Manan, Op.Cit, hal., 144. Abdul Manaf, Sumpah Li’an dan Teknis Penerapannya dalam Pemeriksaan Perkara Pereraian karena Alasan Zina, No 28 Tahun VII, (Mimbar Hukum, 1996), hal., 49. 82 Abdul Manan, , Op.Cit, hal., 145. 81 Universitas Sumatera Utara menyangkal anak yang dikandung atau dilahirkan oleh istrinya, dan suami berhak mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan Agama, didalam Kompilasi Hukum Islam dipaparkan dengan jelas tidak hanya pengertian tentang li’an namun proses penyelesaian dalam perkara li’an dijelaskan dalam beberapa pasal. 2. Dasar Hukum Li’an Berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist Didalam Al-Qur’an, Allah SWT telah menetapkan ketentuan-ketentuan tentang li’an yang menjadi acuan sebagai dasar atau asas dalam menentukan hukum li’an.Ada beberapa ayat didalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan li’an dan pada Hadist Rasullah SAW juga menerangkan tentang li’an. Firman Allah SWT surah An – Nuur ayat 6-7: ُ ُْﻭﻥ َﻭ َﻟ ْﻡ َﻟﻬُﻣْ َﻳ ُﻛﻥ ُﺷ َﻬﺩَ ﺍ ُء ﺃَ ْﻧﻔُ ُﺳﻬُﻣْ ﺈِ ﱠﻻ َﻓ َﺷ َﻬﺎﺩَ ﺓ َ ﺍﺟﻬُﻣْ َﻳﺭْ ﻣ َ ِﻳﻥ َﻭﺍﻟﱠ ﺃَ ْﺯ َﻭ َ ﺫ َ ِﺳ ُﺔ ﺃَﻥﱠ َﻟﻌْ َﻧ ٍ ﺃَ َﺣ ِﺩ ِﻫ ْﻡ ﺃَﺭْ َﺑ ُﻊ ۙ◌ ِﺑﺎﻟﻠﱠ ِﻬ َﺷ َﻬﺎﺩَﺍ ﺕ َ ﻭ ْﺍﻟ َﺧﺎﻣ.َ ِﻳﻥ َ ﺕ ﺇِ ﱠﻧ ُﻪ َﻟﻣ َِﻥ ﺍﻟﺻﱠﺎ ِﺩﻗ .ﻳﻥ ِ َﻋ َﻠﻳ ِْﻬ ﱠ َ ﺎﻥ ﻣ َِﻥ ْﺍﻟ َﻛﺎﺫ ِِﺑ َ ﺎہﻠﻟ ﺇِﻥْ َﻛ Artinya : “Dan orang –orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengannama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima :Bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.” (An-Nuur:6-7) 83 83 Departement Agama RI ,Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahan, (Bandung: CV.Penerbit Diponegoro, 2010), hal., 350. Universitas Sumatera Utara Berdasarkansurah An-Nuur ayat 6-7 ialah orang yang menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak dapat menghadirkan empat orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah SWT empat kali, bahwa ia adalah benar dalam tuduhannya itu, kemudian ia bersumpah sekali lagi bahwa ia akan menerima laknat Allah SWT jika ia berdusta, masalah ini dapat membawa kepada li’an. 84Pada ayat diatas menguraikan tentang tuduhan suami terhadap istrinya, Ayat tersebut menjelaskan sanksi hukum terhadap orang-orang yang menuduh istri mereka berbuat zina, padahal tidak ada bagi mereka saksi-saksi yang menguatkan tuduhannya itu selain dirinya sendiri, maka persaksian salah seorang mereka, yaitu suami ialah empat kali kesaksian yakni bersumpah empat kali sambil menggandengkan ucapan sumpahnya itu dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk kelompok orang-orang yang benar dalam tuduhannya kepada istrinya itu. Dan sumpah yang kelima adalah bahwa laknat Allah atasnya, jikaia berbohong sehingga dengan kebohongannya menuduh istrinya secara tidak sah menjadikan ia termasuk kelompok para pembohong. 85 Firman Allah SWT surah An-Nuur ayat 8-9: ٍ ﺍﺏ ﺃَﺭْ َﺑ َﻌ َﺗ ْﺷ َﻬ َﺩﺃَﻥْ َﺷ َﻬﺎﺩَﺍ .ﻳﻥ َ ﺎہﻠﻟ ﺇِ ﱠﻧ ُﻪ َﻟﻣ َِﻥ ْﺍﻟ َﻛﺎﺫ ِِﺑ ِ ﺕ ِﺑ ﱠ َ َﻭ َﻳ ْﺩ َﺭﺃ ُ َﻋ ْﻧ َﻬﺎ ْﺍﻟ َﻌ َﺫ .ِﻳﻥ َ ﺏ َ ﺿ َ َﻭ ْﺍﻟ َﺧﺎ ِﻣ َﺳ َﺔﺃَ ﱠﻧ َﻏ َ ﺎﻥ ﻣ َِﻥ ﺍﻟﺻﱠﺎ ِﺩﻗ َ ﺎہﻠﻟ ﺇِﻥْ َﻛ ِ ﺍﻋ َﻠ ْﻳ َﻬ ﱠ 84 Ibid M. Quraish Shihab, Al-Lubab Makna Tujuan dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), hal., 586. 85 Universitas Sumatera Utara Artinya : “Dan istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar ternasuk orang-orang yang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima : Bahwa lanat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (AnNuur : 8-9) 86 Ayat tersebut diatas menjelaskan bahwasannya apabila istri tidak membantah, maka ia dijatuhi sanksi hukum perzinaan, namun menurut ayat 8 sanksi hukum itu dapat dihindarkan darinya dengan jalan bersumpah demi Allah SWT, sebanyak empat kali sumpah, bahwa: “sungguh suaminya itu benar-benar termasuk kelompok para pembohong”, lalu sumpah kelima yang harus diucapkan oleh istrinya tersebut sesuai dengan surah An-Nuur ayat 9 yaitu “ Murka Allah SWT, menimpanya jika suaminya itu termasuk kelompok orang-orang yang benar”. 87Asbabun Nuzul turunnya ayat ini ialah ketka Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina dengan Syarik Ibnu Samha’, kepada Rasulullah saw turunlah wahyu melalui malaikat Jibril yaitu Surah An-Nuur ayat 6-7. 88Pada ayat diatas Allah SWT menguraikan bahwa apabila istri tidak membalas tuduhan suami dengan mengangkat sumpah balasan atau hanya berdiam diri maka ia dapat dijatuhi sanksi hukuman zina dan agar istri tersebut terhindar dari tuduhan yang dituduhkan oleh suami terhadap istrinya, Ayat tersebut menjelaskan maka istri harus mengajukan kesaksian dengan mengangkat sumpah atas nama Allah SWT sebanyak empat kali yang menegaskan bahwasannya suaminya itu adalah berbohong atas tuduhannya, dan untuk memperkuat kesaksian 86 Departement Agama RI, Loc.Cit. M. Quraish Shihab, Loc.Cit. 88 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juzz VIII, (Bandung : Alma’arif, 1980), hal., 135. 87 Universitas Sumatera Utara dan sumpah istrinya itu, maka istrinya itu harus mengangkat sumpah yang kelima bahwa murka Allah atasnya jika dia yakin suaminya itu termasuk kedalam golongan orang-orang yang benar. Penafsiran dari Surah An-Nuur ayat 6-9 tersebut diatas merupakan dasar hukum li’an yang dijelaskan melalui firman Allah SWT didalam Al-Qur’an. Pada surah An-Nuur ayat 6-7 menjelaskan tentang tuduhan suami terhadap istrinya yang melakukan perbuatan zina, tanpa memiliki bukti yang kuat ataupun tidak dapat menghadirkan empat orang saksi yang secara hukum merupakan alat bukti yang kuat dalam hal perzinaan maka keabsahan dari pada tuduhan suami yang seharusnya menghadirkan empat orang saksi, namun ia hanya memiliki keyakinan yang kuat atas dirinya, maka diharuskan kepadanya untuk melakukan kesaksian dengan mengangkat sumpah atas tuduhan terhadap istrinya, bahwa tuduhan perzinaan terhadap istrinya tersebut adalah benar dan pada keempat sumpahnya dia harus bersumpah atas nama Allah, dan sumpah yang kelima laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang yang berdusta. Pada surah An-Nuur ayat 8-9 merupakan kesempatan istri untuk menolak tuduhan suami dan menunjukkan kesuciannya serta kepalsuan sumpah suaminyaagar terhindar dari sanksi hukuman zina, dengan mengangkat kesaksian dan sumpah sebanyak empat kali atas nama Allah SWT, yang kelima murka Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang benar, dalam hal ini istri wajib melakukan sumpah balasan sebagai bukti penolakan atas tuduhan yang dituduhkan kepadanya oleh Universitas Sumatera Utara suaminya.Dengan adanya sumpah yang diucapkan oleh kedua belah pihak, dalam hal ini suami dan istri yang mengakibatkan terjadinya li’an. Didalam sejarah dicatat sahabat Rasulullah saw bahwa Uwaimir al-Ujlani dengan istrinya, serta antara Hilal bin Umayyah dengan istrinya, yang dimuat didalam hadist shahih. Juga berdasarkan petunjuk dansabda Rasulullah saw. 89 Bahwa Hilal bin Umayyah r.a pernah menuduh istrinya berzina dengan Syarik ibnu Sahma’ dihadapan Rasulullah saw. Kemudian Rasullah saw bersabda, “Kamu harus dapat mebuktikan, atau (kalau tidak) hukuman had menimpa punggung mu”. Lalu Hilal bin Umayyah r.a berkata, “Ya Rasullah, jika seorang di antara kami telah melihat seorang laki-laki berada diatas istrinya, masihkah dituntut untuk mencari bukti?”, Rasulullah saw bersabda, “Kamu harus dapat membuktikan, dan jika tidak maka hukuman had di punggungmu”, Hilal bekata , “Demi dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya saya benar-benar jujur. Maka saya harap sudi kiranya Allah menurunkan ayat Al-Qur’an yang bisa membebaskan punggungku dari hukuman dera”. 90 Maka turunlah malaikat Jibril dan menyampaikan wahyu kepada Beliau, yang artinya “Dan orang–orang yang menuduh istri mereka, padahal tidak ada bagi mereka saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian salah seorang mereka ialah empat orang saksi dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk 89 Rahmat Djatnika dan Ahmad Supemo, Op.Cit, hal., 217. Jalaluddin As Shuyuti, Lubabun Nuqul fi Asbabn Nuzul, Dar At Taqwa Kairo, (Jakarta : Gema Insani Press, 2008), hal., 389-391 90 Universitas Sumatera Utara orang-orang yang benar, dan yang kelima bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk para pendusta, dan dihindarkan darinya hukuman dengan bersaksi dengan empat kesaksian dengan nama Allah sesungguhnya dia benar-benar termasuk orang– orang yang benar, dan yang kelima bahwa murka Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta”. 91 Kemudian Rasullah beranjak dari tempatnya sambil menyuruh Hilal bin Umayyah menemui istrinya. Kemudian Hilal datang lagi kepada Rasulullah saw, lalu memberi kesaksian, Rasullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tahu bahwa seorang diantara kamu berdua ini ada yang bohong. Adakah diantara kalian berdua ini yang bertaubat?”, Kemudian istrinya bangun dan memberi kesaksiannya. Maka tatkala ia hendak mengucapkan sumpah yang kelima, maka orang-orang menghentikannya (agar tidak jadi mengucapkan sumpah yang kelima), dan mereka berkata, “Sesungguhnya perempuan ini wajib djatuhi hukuman”. Ibnu Abbas berkata, “Lalu ia (istrinya itu) pelan-pelan”. Kemudian ia berkata , “Aku tidak akan membuat malu kaumku sepanjang hari”. Kemudian terus berlalu begitu saja. Rasulullah saw bersabda , “ Perhatikan dia, jika dia datang dengan membawa bayi yang juling matanya, besar pinggulnya dan kedua betisnya besar juga maka ia (bayi itu) milik Syarik Ibnu Sahma’, Ternyata dia datang membawa bayi persis seperti yang disabdakan Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah bersabda, “Kalaulah tidak 91 Jamaluddin, hal., 132-133. Universitas Sumatera Utara ada ketetapan didalam Kitabullah, sudah barang tentu saya punya urusan dengan dia”. 92 Didalam Hadist Rasulullah saw yang lain diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’ad As-Sa’idiy ra , Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d Al-S’idi r.a , :”Uwaimir Al-‘Ajlani pernah menemui ‘Ashim bin ‘Adi Al-Anshari seraya bertanya , “Bagaimanakah pendapat engkau wahai ‘Ashim, kalau seorang suami mendapatkan istrinya berbut zina dengan laki-laki lain , bolehkah suaminya itu membunuhny, apakah engkau akan membunuh laki-laki itu atau bagaimanakah yang engkau lakukan terhadap laki-laki itu? Tanyakanlah hal itu kepada Rasulullah SAW wahai ‘Ashim !” Kemudian ‘Ashim menanyakan kepada Rasulullah SAW, tetapi beliau benci mendengar pertanyaan itu dan mencelanya sehingga ‘Ashim sendiri merasa kecewa mendengar celaaan Rasulullah SAW, setelah ‘Ashim pulang ke rumahnya , ‘Uwaimir datang menanyakannya. ‘Uwaimir berkata, “Hai ‘Ashim !Bagaimanakah kata Rasulullah SAW” ‘Ashim menjawab, “Maslah itu tidak membawa kebaikan bagi saya.Rasulullah SAW benar-benar benci setelah saya menanyakan kepada beliau.”‘Uwaimir berkata, “Demi Allah, saya tidak akan berhenti sebelum saya menanyakannya kepada beliau.” Kemudian ‘Uwaimir langsung bergegas menemui Rasulullah SAW., yang kebetulan saat itu Rasulullah SAW.sedang di tengah orang banyak .Dia bertanya , “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu apabila seorang suami mendapatkan istrinya sedang berbuat zina dengan laki-laki lain? Bolehkah sang suami membunuh laki-laki itu? Kalau suami itu membunuhnya, apakah engkau akan membunuhnya juga atau bagaimanakah yang engkau lakukan terhadap sang suami? “Lalu Rasulullah SAW.bersabda, “Telah diturunkan ayat Al-Qur’an berkenaan dengan kamu dan istri kamu, pergilah kamu dan bawalah dia kemari!”, Akhirnya kedua orang itu berli’an , sedangkan saya bersama orang banyak menyaksikan disamping Rasulullah SAW. Setelah selesai berli’an , ‘Uwaimir menalak istrinya dengan tiga talak sebelum Rasuullah SAW. Menyuruhnya. Ibn Sihab berkata , “Itulah cara melaksanakan li’an.. 93 92 Jalaluddin As Shuyuti, Op. cit, hal.393 Zaki Al-Din ‘Abd Al-‘Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, (Bandung : PT Mizan Pustaka), hal.,492-493. 93 Universitas Sumatera Utara Kedua Hadist yang diriwayatkan sahabat Rasulullah saw yang berisikan sunnah Rasul dalam menyelesaikan masalah perceraian karena tuduhan yang dituduhkan suami terhadap istrinya tanpa dapat menghadirkan saksi-saksi, namun hanya memiliki keyakinan atas dirinya dan bukti-bukti yang nyata. Maka Rasulullah saw bersabda sesuai dengan wahyu yang diturunkan kepada beliau, dan beliau menganjurkan kepada pasangan suami istri tersebut untuk mengangat sumpah li’an. Seorang suami jangan begitu mudah menuduh istrinya berzina, hanya dengan melihat laki-laki lain keluar dari tempat istrinya atau duduk bersama, sebab tuduhan itu haruslah disertai dengan bukti-bukti yang nyata.Seorang suami yang melihat istrinya mengandung jangan cepat-cepat menuduh berzina.Sebab anak yang di kandung bisa saja hasil hubungan dengan dirinya, kecuali sudah benar-benar yakin bahwa istrinya berbuat zina. Para Ulama berbeda pendapat mengenai waktu mulainya terjadi perkara li’an.Sebagian Ulama seperti Ibnu Hibban mengatakan bahwa perkara li’an.Orang yang pertama kali melakukan li’an adalah Hilal bin Umayyah,dalam islam terjadi pada bulan Sya’ban tahun 9 H tepat malam Jum’at di Mesjid Nabi. 94 Sebagian yang lain mengatakan bahwa perkara li’an dalam Islam terjadi pertama kali pada tahun 10 H, sedangkan Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. 95 Para ulama bersepakat bahwa 94 Ibid Abdurrahman Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala madzahib al-Arba’ah, Juz V, (Beirut : Dar Al-kutub al-Ilmiyah), hal., 97. 95 Universitas Sumatera Utara mengenai perkara li’an merupakan suatu ketentuan yang sah menurut Al-Qur’an, AsSunnah, Qiyas dan Ijma’. 96 B. Prosedur Perceraian dengan CaraLi’an Menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam serta Praktek di Pengadilan Agama 1. Penyelesaian Perkara Li’an Menurut Fiqih Islam Dari segi Fiqih Islam, apabila seorang suami sudah bersedia mengucapkan sumpah sebagai upaya pembuktian perbuatan zina yang dituduhkan kepada istri dan istri bersedia mengangkat sumpah sebagai penolakan terhadap tuduhan suami kepadanya, maka tidak ada suatu tata cara lain selain dari bentuk tata cara li’an. Di syariatkannya li’an adalah untuk menjaga hubungan suci antara anak dengan bapaknya (nasab) sehingga keturunnya menjadi jelas dan tidak kacau serta tidak ada keragu-raguan. Dalam melakukan li’an suami tidak boleh hanya berdasarkan desas-desus, fitnah atau tuduhan dari orang lain. Berdsarkan Hadist Rasulullah yang artinya Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata : Aku pernah ditanya di masa pemerintahan Mus’ab bin Zubair tentang suami-istri yang melakukan li’an, apakah keduanya itu harus dipisahkan, ia berkata, “ Maka aku tidak tahu apa yang aku katakan, lalu aku pergi ke rumah ‘Ibnu Umar di Mekkah, aku berkata kepada anak lelaki yang di rumahnya, “izinkanlah aku untuk bertemu denganya’, ia menjawab, “ia sedang tidur siang”. Lalu ia mendengar suaraku, ia bertanya, “Ibnu Jubair”, aku menjawab, “ya”. Ia berkata , “masuklah. Demi Allah, tidaklah membuatmu datang kemari disaat seperti ini, kecuali ada perlu”. Lalu aku masuk. Ternyata ia sedang tiduran dengan bertikar alas pelana dan memakai bantal yang isinya sabut. Aku berkata 96 Sayyid Sabiq, Fiqh al-sunnah, JuzII, (Kairo: Dar al-Fath lil I’lam al-‘Arabi, 1990), hal., 416. Universitas Sumatera Utara “Hai Abu Abdurrahman, apakah suami istri yang telah berli’an itu harus diceraikan antara keduanya?”. Ia menjawab, “Subhanallah, ya!.Sesungguhnya pertama kali orang yang bertanya tentang hal itu adalah Fulan bin Fulan”. Ia bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau kalau salah seorang diantara kami mendapat istrinya berbuat zina, apa yang harus ia lakukan? Jika ia berbicara berarti berbicara tentang urusan besar dan jika ia diam berarti ia mendiamkan perkara besar juga”.Ibnu Umar berkata, “Maka Nabi SAW diam, tidak menjawabnya”.Kemudiania datang lagi kepada Nabi SAW lalu berkata, “Sesungguhnya yang saya tanyakan kepada engkau menimpa diriku sendiri”. Maka, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat-ayat dalam surat An-Nuur “Dan orang-oran yang menuduh istrinya (berzina),…”. Kemudian Nabi SAW membacakan ayat-ayat tersebut kepadanya dan menasehatinya serta mengingatkannya dan memberitahukannya, bahwa siksa di dunia itu lebih ringan dari pada siksa di akhirat.Lalu orang itu berkata, “Tidak!Demi Zat yang telah mengutus engkau dengan membawa kebenaran, aku tidak berdusta tentang istriku”. Kemudian Nabi SAW memanggil istri orang itu lalu menasehatinya, mengingatkannya dan memberitahukannya , bahwa siksa dunia itu lebih ringan dari pada siksa di akhirat. Wanita itu berkata, “Tidak!DemiZat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya, suamiku itu dusta”.Lalu Nabi SAW memulai dari si laki-laki. Maka laki-laki itu bersumpah dengan nama Allah empat kali bahwa dia sesungguhnya di pihak yang benar, dan kelimanya semoga laknat Allah menimpa kepadanya jika ia bedusta. Lalu Rasulullah SAW beralih kepada si wanita, kemudian wanita itu bersaksi dengan nama Allah empat kali bahwa sesungguhnya suaminya itu berdusta, dan kelimanya semoga murka Allah ditimpakan kepadanya jika suaminya itu benar.Lalu beliau menceraikan keduanya untuk selama-lamanya.(HR. Muslim juz 2) 97 Pada Hadist Rasulullah saw yang lain juga telah dijelaskan yang artinya : “… Rasulullah SAW bersabda , “Sesungguhnya telah diturunkan (wahyu) tentang dirimu dan istrimu maka pergilah dan bawalah istimu kemari”, Sahl berkata : “Lalu kedua suami-istri itu melakukan li’an, sedangkan saya pada waktu itu bersama orang banyak berada disisi Rasulullah SAW. ……. “ 98 Berdasarkan kedua hadist tersebut, Maka li’an dilaksanakan melalui beberapa prosedur, yaitu: 97 98 Zaki Al-Din ‘Abd Al-‘Azhim Al-Mundziri, Op.Cit, hal., 494-495. Imam Muslim, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara 1) suami bersaksi dengan mengangkat sumpah dengan nama Allah sebanyak empat kali bahwa dia sungguh berada dipihak yang benar, dan suami bersaksi dengan mengangkat sumpah kelima semoga laknat Allah menimpa kepadanya jika ia berdusta, kemudian 2) istri bersaksi dengan mengangkat sumpah atas nama Allah sebanyak empat kali bahwa suaminya berkata dusta, dan istri mengangkat sumpah kelima semoga murka Allah menimpanya apabila suaminya berkata benar. 3) Lalu suami istri tersebut bercerai, dimana pengucapan sumpah li’an tersebut dilakukan dihadapan orang yang beriman dalam jumlah yang banyak. Dalam hal menuduh istri berbuat zina, apabila tanpa mengemukakan bukti yang nyata suami harus bersumpah bahwa istrinya berzina dan anak yang dikandung bukan hasil hubungan dengannya. Sumpah tersebut tidak boleh diputus “istrinya berzina” tetapi harus dilanjutkan sampai “anak yang dikandung bukan hasil hubungan dengannya”, dan tidak boleh dipotong dengan “anak itu bukan anaknya”, tetapi harus diawali dengan “istrinya berzina”. Sumpah diucapkan empat kali, dan ucapan yang kelima berbunyi “kalau saya berdusta sungguh laknat Allah akan menimpa saya”.Harus disebut kata laknat supaya orang tidak mudah bersumpah. 99 Para imam mazhab telah sepakat bahwa apabila suami menuduh istrinya berbuat zina atau menolak kehamilannya, sementara tidak ada bukti yang mendukungnya, maka ia mendapatkan hukuman had atau bersumpah sebanyak empat kali bahwa ia termasuk kedalam orang yang benar dalam tuduhannya, 99 Taqiyuddin Abi Bakr. Op. Cit, hal., 122. Universitas Sumatera Utara kemudian pasa sumpah kelima disertai pernyataan bahwa bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya. 100 Menurut Syafi’iyah, apabila suami sudah mengucapkan sumpah li’an, maka perceraian sudah jatuh tanpa menunggu li’an dari iatri. 101 Ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali mengemukakan tiga syarat dalam li’an yaitu : 102 1) Status mereka masih suami istri, sekalipun belum bergaul. 2) Adanya tuduhan berbuat zina dari suami terhadap istri. 3) Istri mengingkari tuduhan tersebut sampai berakhirnya proses dan hukum li’an Tentang kapan terjadi li’an, sebagaimana para ahli hukum Islam mengatakan sejak selesainya pengucapan li’an, maka sejak itu pula suami dan istri tersebut harus dipisahkan. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa terjainya pemisahan suami istri itu sejak putusan pengadilan diucapkan oleh hakim. Pendapat tentang sahnya terjadi li’an sejak putusnya pengadilan ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan as Tsauri, dan pendapat terakhir ini pula yang diikuti oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 103 100 Jalaluddin As Shuyuti,Op.Cit, hal., 132. Abdul Wahab al-Bagdadi, al-Maunah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal., 908. 102 Ibid 103 Abdul Manan,Op. cit. hal., 151. 101 Universitas Sumatera Utara Adapun syarat sahnya proses li’an, menurut mazhab Hanbali ada enam, sebagiannya disepakati oleh ulama lain dan sebagiannya tidak, yaitu : 104 1) Li’an dilakukan dihadapan hakim, sejalan dengan kasus Hilal bin Umayah dengan Syuraik as-Samha. Syarat ini disetjui oleh ulama lain. 2) Li’an dilaksanakan suami setelah diminta oleh hakim, Syarat ini disetujui oleh ulama lain 3) Lafal li’an yang lima kali itu diucapkan secara sempurna. Syarat ini disepakti ulama lain. 4) Lafal yang dipergunakan li’an itu sesuai dengan yang ditentukan Al-Qur’an. Terdapat perbedaan pendapat ulama jika lafal itu diganti dengan lafal lain. Misalnya, lafal “sesungguhnya saya adalah orang yang benar”, diganti dengan ”sesungguhnya ia (istri itu) telah berbuat zina”, atau lafal “bahwa dia (suami) termasuk orang yang berdusta” diganti dengan “sesungguhnya dia berdusta”. Jika lafal pengganti itu adalah salah satu lafal sumpah seperti “ahliful” dan “aqsimu” (kedua berarti “saya bersumpah”). Menurut ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali, tidak bisa digunakan dalam li’an. Menurut mereka kalimat yang dibolehkan itu hanya kalimat “asyhadu” (saya bersaksi). Pendapat ini juga dianut oleh ulama mazhab Hanafi dan mazhab Maliki. 5) Proses li’anharus berurut yang dimulai dengan sumpah suami sebanyak empat kali dan kelima seami melaknat dirinya, tidak boleh sebaliknya dan tidak boleh diubah. Syarat ini disetujui oleh ulama lain. 6) Jika suami hadir dalam persidangan li’an , maka keduanya boleh mengajukan isyarat untuk pihak lainnya. Akan tetapi jika ada diantara mereka yang tidak hadir, maka penunjukan harus dilakukan dengan penyebutan nama dan identitas lengkap. Syarat ini pun disetujui ulama lain. Ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali menyatakan proses tidak harus dihadiri oleh kedua belah pihak. Terdapat juga perbedaan pendapat dalam hal apakah diperlukan kehadiran saksi ketika terjadinya li’an. Ulama mazhab Syafi’idan mazhab Hanbali menyatakan bahwa li’an dianjurkan bahwa li’an dianjurkan dihadiri oleh jemaah umat islam. Sayyid Sabiq mengemukakan dengan penjelasannya yang terperinci bahwa didalam Hukum Islam li’an dibagi kepada dua macam yaitu:. 105 1) Suami menuduh istrinya berbuat zina, tetapi ia tidak mempunyai empat orang saksi laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya. Jika ada lakilaki yang menzinai seorang perempuan, suaminya melihat dan istri mengakui 104 105 Abdul Wahab al-Bagdadi, Loc.cit. Abdul Manan, Op. Cit, hal., 146. Universitas Sumatera Utara telah berbuat zina dengan laki-laki tersebut serta suami yakin dengan pengakuan istrinya, maka dalam hal ini tidak ditempuh dengan cara li’an tetapi lebih bagi diselesaikan perceraiannya dengan talak biasa, bukan mengadakan mula’anah. 2) Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai benihnya, maka dalam hal ini boleh bermula’anah jika merasa ia belum pernah mencampuri istrinya tetapisecara nyata ia hamil, atau ia merasa mencampurinya tetapi baru setengah tahun lalu atau juga telah lewat setahun, sedangkan umur kandungannya tidak sesuai. Ulama mazhab Maliki berpendapat, suami mengaku melihat istrinya berzina, maka disyaratkan untuk tidak melakukan senggama dengan istrinya tersebut setelah tuduhan dijatuhkan. 106 Mazhab Maliki menjadikan li’an itu wajib karena adanya tiga faktor: a. b. c. Jika suami mengaku istrinya berzina serta melihatnya dengan mata kepala sendiri. Jika sumi tidak mengakui kehamilan istrinya, karena yang diketahui oleh suami bahwa istrinya tidak dalam keadaan mengandung. Menuduh istrinya berzina tanpa adanya pengakuan dan bukti-bukti yang kuat yang dapat diajukan oleh suami. Berkaitan dengan Teori Li’an, Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pada hakekatnya li’an merupakan sumpah suami sebanyak empat kali atas tuduhannya terhadap istrinya atau penolakan terhadap anak yang dilahirkan istrinya kemudian dilanjutkan dengan kata-kata “Murka Allah atas dirinya jika tuduhan itu tidak benar”, dan istri meakukan sumpah penolakan sebanyak empat kali dan dilanjutkan dengan kata-kata “Murka Allah atas dirinya apabila suaminya berkata benar”. 107 Bagi Teori Li’an memandang proses perceraian li’an merupakan salah satu alternatif 106 107 Abdul Rahman al-Jaziri, Op.Cit.hal., 248. Sayyid Sabiq, Loc.Cit. Universitas Sumatera Utara yang ditawarkan oleh agama Islam kepada umat Islam.Jika ditengah-tengah perjalanan suami meyakini istrinya berzina ataupun merasa terdapat kejanggalan terhadap anak yang dikandung oleh istrinya, maka jalan yang dapat dilakukan untuk menyangkal anak tersebut yaitu dengan carali’an. 108 Tidak ada li’an diantara dua orang suami istri, tanpa ada khilaf. 109 Dalam kitab fiqih tradisional masih ditemukan pendapat para pakar Hukum Islam tentang apakah li’an itu sebagai sumpah atau kesaksian. Menurut Imam Maliki, Syafi’I dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa adalah sumpah, sebab kalau dinamakan kesaksian tentulah seseorang tidak menyebutkan bersaksi bagi dirinya. Sedangkan Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa li’an adalah kesaksian dengan alasan bahwa firman Allah yang menyebutkan tentang li’an adalah penekanan kepada “maka kesaksian salah seorang dari mereka (mengucapkan) empat kali kesaksian dengan menyebut nama Allah” dan juga hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa istri mengucapkan kesaksian pula. 110 Bagi para ahli Hukum Islam yang berpendapat li’an itu sumpah, maka li’an dipandang sah hanya suami istri yang sama-sama merdeka, atau sama-sama budak, atau yang satu merdeka yang lain budak,atau sama–sama orang yang adil, atau sama–sama orang yang durhaka, atau yang satu adil yang lain durhaka, sedangkan 108 Abdul Rahman Ghazali, Op. Cit, hal., 240 Sahal Machfudz, Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam, Ensiklopedi Ijmak, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hal.,350. 110 Abdul Manan, Op.Cit, hal., 147 109 Universitas Sumatera Utara para ahli Hukum Islam yang menganggap li’an itu kesaksian berpendapat bahwa tidak sah li’an suami istri yang kedua-duanya bukan orang yang kesaksiannya tidak dapat diterima, karena itu haruslah suami istri tersebut sama–sama orang yang merdeka dan muslim. 111 Ibnu Qayyim mengatakan bahwa dalam masalah ini yang benar adalah merupakan gabungan sumpah dan kesaksian, orang-orang yang bermula’anah harus punya sama-sama hak sumpah dan persaksian, maksudnya kesaksian yang dkuatkan dengan sumpah dan diucapkan berkali-kali dan sumpah berat yang disertai ucapan kesaksian berulang kali guna memutus perkaranya dan memperkuat pernyataannya. 112 2. Penyelesaian Perkara Li’an Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Pasal 126 disebutkan bahwa li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan atau mengingkari tersebut. 113 Pengertian li’an didalam Kompilasi Hukum Islam bersumber dari pengertian li’an berdasarkan firman Allah SWT surah An-Nuur ayat 6-9 yang diturunkan berdasarkan peristiwa yang dialami oleh para sahabat Rasulullah Saw.Bahwa terjadinya li’an karena adanya tuduhan perzinaan yang dituduhkan suami kepada istrinya, tanpa dapat menghadirkan empat orang saksi namun memiliki keyakinan atas tuduhannya dan atau mengingkari anak yang ada 111 Ibid Ibid, 148 113 Lihat Pasal 126 Kompilasi Hukum Islam 112 Universitas Sumatera Utara didalam kandungan istrinya sebagai anaknya, sedangkan istri menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut. Tata carali’an sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 127 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah sebagai berikut: 114 a. b. c. d. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau mengingkari anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”. Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar” diikuti sumpah kelima denagn kata-kata murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar; Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan; Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li’an. Pelaksanaan li’an pada Pasal 127 Kompilasi Hukum Islam telah disebutkan dengan jelas pada ayat (a) bahwa suami harus melakukan sumpah sebanyak empat kali yang harus diikuti dengan sumpah kelima sebagai penguat sumpah dengan menyebutkan atas nama Allah, bagi istri yang tertera pada ayat (b) istri menolak sumpah suami dengan mengankat sumpah penolakan sebanyak empat kali dan diikuti sumpah kelima atas nama Allah. Penolakan sumpah yang dilakukan oleh istri terhadap suaminya adalah sebagai hak, bukan kewajiban, karena itu istri boleh bersumpah, dan boleh juga tidak. Kalau istri bersumpah maka terjadilah penyelesaian perkara itu dengan cara li’an.Sebab baru dikatakan telah terjadi li’an, bila suami istri 114 Ibid , Universitas Sumatera Utara saling bersumpah dengan redaksi sumpah seperti tersebut dalam Pasal 127 pada ayat (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam. 115 Dalam Pasal 127 ayat (c) menegaskan bahwa didalam pelaksanaan ayat (a) dan (b) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, apabila suami telah melakukan sumpah atas tuduhan dan penolakannya terhadap istrinya maka istri harus melakukan sumpah penolakan atas tuduhan dari pihak suami terhadapnya, sesuai yang dijelaskan didalam ayat (b), bila kedua pihak yaitu pihak suami dan istri saling melakukan sumpah di muka hakim pengadilan, maka terjadilah li’an atas keduanya. 3. Praktek Perkara Perceraian Li’an di Pengadilan Agama Pelaksanaan li’an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 128 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Dari segi hukum Islam apabila suami sudah bersedia mengucapkan sumpah sebagai upaya pembuktian perbuatan zina yang dituduhkan kepada istri, tidak ada suatu tata cara lain selain tata cara li’an. Li’an merupakan tuduhan suami terhadap istri bahwa ia telah berbuat zina, misalnya sengan berkata: “Aku melihat istriku sedang berzina”, atau suami menolak janin yang dikandung isrtrinya sebagai anaknya, kemudian perkara tersebut diajukan ke hadapan hakim. Hakim kemudian meminta pihak suami untuk mengajukan bukti, yaitu dengan mengajukan empat orang saksi mata yang melihat istrinya berzina. 115 Abdul Manaf, Loc.Cit. . Universitas Sumatera Utara Apabila suami tidak membawa bukti, maka hakim menasihati keduanya, lalu suami diminta untuk bersumpah dengan empat kali kesaksian, yaitu: “Demi Allah, sesungguhnya aku melihat istriku berzina”, atau “janin yang dikandung istriku bukan turunanku”, kemudian suami mengatakan: “laknat Allah akan menimpaku seandainya aku termasuk orang-orang yang dusta”, Selanjutnya, jika istri memang mengakuinya, maka ditetapkan had atau hukuman kepadanya. Jika ia menolak tuduhan tersebut, maka ia diminta untuk bersumpah dengan empat kesaksian, yakni : “Aku bersumpah, aku tidak berzina” atau “janin yang ada didalam kandunganku ini adalah benar-benar keturunan oleh suamiku”, lalu ia mengatakan: “seandainya aku berbohong, maka aku siap menerima laknat Allah”. Selanjutnya hakim menceraikan keduanya, dan keduanya diharamkan untuk menikah selama-lamanya. Seorang suami yang menuduh istrinya telah berbuat zina, tidak boleh dipaksa untuk mengucapkan sumpah li’an , demikian juga dalam hal seorang istri yang dili’an oleh suaminya, tidak boleh dipaksa untuk melakukan sumpah balasan atas sumpah yang diangkat oleh suaminya. 116 Dalam sebagian besar kasus, terkadang terdapat kesulitan untuk mendapatkan saksi-saksi yang diperlukan untuk pembuktian. Dalam hal li’an, apabila suami tidak dapat mendatangkan saksi dan bukti maka ia 116 Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fiqh Islam Lengkap, Cetakan ke-2, (Jakarta : PT.Rineka Cipta, 1994), hal., 245. Universitas Sumatera Utara akan mendapatkan had atau hukuman. Oleh karena itu suami harus mengangkat sumpah li’an didalam pengadilan agama atau pengadilan syari’ah. 117 Pelaksanaan li’an sebagai mana yang telah diatur dalam Pasal 127 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan penerapan pelaksanaan perceraian li’an di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut: 118 1) Majelis Hakim memerintahkan kepada pemohon atau pihak suami untuk mengucapkan sumpah li’an dihadapan sidang Pengadilan.Pemohon atau pihak suami mengangkat sumpah sebanyak empat kali sebagai berikut :“Wallahi, Demi Allah saya bersumpah bahwa istri saya telah berbuat zina”. Dan apabila terjadi penolakan terhadap anak yang dikandung ataupun yang telah dilahirkan oleh istrinya, maka sumpah yang diucapkan oleh pemohon atau pihak suami sebanyak empat kali, sebagai berikut: “Wallahi, Demi Allah saya bersumpah bahwa istri saya telah berbuat zina dan anak yang dikandung oleh istri saya adalah bukan anak saya.” Dan pihak suami atau pemohon mengangkat sumpah yang kelima sebanyak satu kali, sebagai berikut : “Saya siap menerima laknat Allah apabila saya berdusta.” 2) Majelis Hakim memerintahkan kepada termohon atau pihak istri untuk mengangkat sumpah li’an dihadapan sidang Pengadilan Agama. Termohon atau pihak istri mengucapkan sumpah balik (nukul) sebanyak empat kali, sebagai berikut: “Wallahi, Demi Allah saya bersumpah bahwa saya tidak berbuat zina.” Dan apabila terjadi penolakan terhadap anak yang dikandung atau yang dilahirkan oleh termohon atau pihak istri, maka termohon atau pihak istri mengangkat sumpah balik (nukul) sebanyak empat kali, sebagai berikut: “Wallahi, Demi Allah saya bersumpah bahwa saya tiak berbuat zina dan anak yang ada didalam kandungan saya adalah anak suami saya.” Dan pihak istri mengucapkan sumpah yang kelima sebanyak satu kali, sebagai berikut: “Saya siap menerima murka Allah apabila saya berdusta.”. 117 Abdurrahman I. Doi, Inilah Syari’at Islam, alih bahasa Usman Effendi dan Abdul Khaliq, cet ke-1, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1991), hal., 326. 118 Putusan Pengadilan Agama Slawi Nomor 0609/Pdt.G/2010/PA.Slawi Universitas Sumatera Utara Tentang kapan terjadi li’an, sebagaimanapara ahli hukum Islam mengatakan sejak selesainya pengucapan li’an, maka sejak itu pula suami istri tersebut harus dipisahkan. Sebahagian ulama mengatakan bahwa terjadinya pemisahan suami istri itu sejak adanya putusan pengadilan yang diucapkan oleh hakim. 119 Pendapat yang terakhir ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan as Tsauri. Pendapat yang terakhir ini pula yang diikuti oleh pearturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 120 Dalam perkara perceraian apabila berakhir dengan kepada li’an ,maka suami harus mengucapkan kelima sumpah tersebut, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, perkataan tersebut adalah harus sesuai dengan perintah hakim, dan suami harus menyebutkan istrinya, jika istrinya berada diluar negeri atau tidak berada pada tempat yang sama, maka nama istrinya harus dihubungkan dengan nasab ayahnya agar terdapat perbedaan antara istrinya dengan perempuan yang lain, dan jika istrinya hadir maka cukup menunjuk kearah istrinya, karena berdasarkan hal tersebut, sudah cukup perbedaan antara istrinya dengan perempuan yang lain, sehingga tidak perlu disebutkan nama dan nasabnya. Jika suami ingin mengingkari anak yang berada didalam kandungan ataupun yang telah dilahirkan oleh istrinya, maka dalam sumpahnya suami harus menyebutkan bahwa ia mengingkari anak atau kandungan istrinya bukan anaknya. Apabila suami ingin menuduh istrinya berzina dan menolak anak dalam kandungan atau yang sudah dilahirkan istrinya sebagai hasil 119 Sahal Machfudz, Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam, Ensiklopedi Ijmak, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hal.,351. 120 Abdul Manan, Op.Cit, hal., 151. Universitas Sumatera Utara zina, namun ia lupa mengucapkan anak tersebut, maka suami wajib mengulangi sumpah li’an, jika tidak dilakukan pengulangan sumpah berarti suami tidak menolak anak yang berada didalam kandungan istrinya tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentan Peradilan Agama, yang merujuk kepada pendapat yang disampaikan oleh Ibnu Qayyim yang mengemukakan bahwa li’an itu merupakan gabungan sumpah dan kesaksian, meskipun secara tegas tidak menyampaikan demikian. Hal ini dapat dilihat sebagaimana tersebut dalam Pasal 87 ayat (1) dan (2), Pasal 88 ayat (1) yang sangat bersifat umum sehingga mengandung berbagai penafsiran dalam pelaksanaanya. 121Pasal 88 ayat (1) berisikan bahwa apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesaian dapat dilaksanakan dengan cara li’an. 122 Dalam hal ini jalan yang terbaik untuk memecahkan persoalan tersebut adalah cukup berpedoman kepada ketentuan yang tersebut dalam Pasal 87 ayat (1) yaitu hakim cukup menerapkan alat bukti sumpah dalam bentuk sumpah tambahan (suplatior eed) dan tidak dalam bentuk sumpah menentukan (decisoir eed) dalam membuktikan perbuatan zina dalam perkara perceraian. 123 Perkara perceraian li’an adalah dimana suami tidak dapat mendatangkan bukti untuk meyakinkan hakim tentang tentang apa yang telah ia tuduhkan kepada istrinya. Oleh karena itu hakim memerintahkan kepada suami untuk mengucapkan 121 Abdul Manaf,Op.Cit.,hal., 50. Lihat Pasal 87-88 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentan Peradilan Agama 123 Abdul Manan, Op.Cit.hal., 149. 122 Universitas Sumatera Utara sumpah sebagai alat bukti atas tuduhan yang ditujukan kepada istrinya atas tuduhan zina yang diyakininya tersebut, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 87 dan 88 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yang sudah direvisi dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2006 jo Undang-Undang No.50 Tahun 2009 . Tujuan pembuktian ialah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapat putusan hakim yang benar dan adil.Dalam lapangan ilmu Hukum menurut Andi Hamzahsebagaimana yang dikutip oleh Abdul Manaf bukti itu sesuatu yang meyakinkan kebenaran atas suatu dalil, pendirian maupun dakwaan. 124Hakim tidak dapat menjatuhkan perkara suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar-benar terjadi yakni bukti akan kebenarannya, sehingga terlihat adanya hubungan hukum antara para pihak. 125 Perkara li’an adalah proses penyelesaian dari perceraian atas alasan zina. Berdasarkan Pasal 87 dan 88 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 jo UndangUndang No.3 Tahun 2006 jo Undang-Undang No.50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka proses li’an adalah sebagai bukti terakhir dari perkara zina, setelah hakim menganggap bahwa alat bukti yang diajukan pemohon itu belum mencukupi. 126Dalam hukum Acara Perdata berdasarkan HIR/RBg, Hakim terikat 124 Abdul Manaf, Op.Cit.,hal.,37. A Mukti Orto, Praktek Perkara Perdata di Pengadilan Agama, cet. ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal. 135. 126 Lihat Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang No 50 Tahun 2009. 125 Universitas Sumatera Utara pada alat-alat bukti yang sah. Menurut Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat beberapa alat pembuktian yang sah yaitu: 127 a. b. c. d. e. Bukti tulisan; Bukti dengan saksi-saksi; Persangkaan-persangkaan; Pengakuan; Sumpah. Sehingga apabila suami telah mampu mengajukan bukti permulaan, hakim dapat memerintahkannya untuk mengucapkan sumpah tambahan dengan ketentuan suami dapat melaksanakannya atautidak dapat melaksanakannya. Jika ia melaksankan maka ia berhasil membuktikan dalil gugat, kalau tidak bersedia maka suami dianggap gagal membuktikan dalil gugat, dalam hal ini perkara yang diajukan itu dapat ditolak oleh hakim.Batas minimal pembuktian dengan sendirinya tunduk kepada hukum acara biasa (Pasal 169 HIR dan 306 RBg), tetapi jika suami mau mengucapkan sumpah tambahan itu menurut tata cara yang ditentukan dalam surat An-Nuur ayat 4, 6 dan 7 itu adalah lebh baik. Jadi ada kompromi dalam menerapkan li’an sebagaimana tersebut dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 1989 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dengan ketentuan yang tersebut dalam hukum Islam. 128 127 128 Lihat Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Abdul Manan, Op.Cit.hal., 149 Universitas Sumatera Utara Penerapan bukti sumpah dalam perkara gugat cerai alasan zina diajukan, tidak mengalami kesulitan, karena dalam hai ini berdasarkan Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama telah disebutkan bahwa tata cara agar berpedoman kepada hukum acara yang berlaku secara umum. 129 Berdasarkan pasal-pasal tersebut memberikan kemungkinan kepada istri untuk membuktikan perbuatan zina yang dituduhkan oleh pihak suami kepadanya dengan alat bukti sumpah. Hanya saja alat bukti sumpah yang diperbolehkan adalah terbatas pada alat bukti sumpah tambahan dan sama sekali tidak boleh mempergunakan alat bukti sumpah menentukan. Rasio dari penerapan alat bukti sumpah tambahan dalam hal gugat cerai karena alasan zina adalah untuk menjaga agara pihak istri tidak terlalu menggampangkan untuk perceraian, sebab kalau sumpah penentu yang diterapkan maka perkarapun cepat selesai. 130Disamping itu juga untuk berjaga-jaga agar sumpah penentu tidak disalahgunakan oleh pihak istri yang tidak jujur, di persidangan cukup bersumpah maka selesailah perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama. 131 129 Lihat Pasal 87-88Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Abdul Manan, Loc.Cit. 131 Ibid, 150. 130 Universitas Sumatera Utara