Bab II Kerangka Teori Perlu dikemukakan lebih dahulu bahwa UUY adalah bagian dari sistem hukum Nasional1. Dalam posisi yang demikian, UUY tidaklah berdiri sendiri. Ia senan-tiasa bertautan dengan elemen lain dalam sistem hu-kum guna mewujudkan tujuan hukum nasional. Hal ini dibuktikan dengan asas, proses pembentukan, dan lembaga pembentuknya mengacu pada ketentuan hukum nasional. Apa yang hendak dicapai oleh UUY merupakan bagian yang integral dari cita hukum nasional. Bahasan berikut menjelaskan hal-hal di atas lebih detail. Di bagian awal akan dibahas konsep yayasan dalam beberapa sudut pandang, dilanjutkan dengan bahasan posisi UUY dalam sistem hukum nasional, serta posisi tujuan UUY dalam kerangka tujuan hukum nasional. Bahasan ini diperlukan untuk membantu memahami urgensi eksekusi ketentuan peralihan UUY dalam upaya mencapai tujuan hukum nasional. Dalam Alinea kedua penjelasan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dijelaskan bahwa sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangkan mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 1 28 A. Konsep Yayasan Istilah yayasan dan kegiatannya sudah lama dikenal dan dilaksanakan di berbagai tempat, termasuk di Indonesia. Umumnya dipahami bahwa yayasan adalah sebuah lembaga atau organisasi yang didirikan untuk melaksanakan misi sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Kendati demikian, bagaimana ketiga misi itu dipahami dan dipraktekkan, cenderung beragam sesuai dengan penafsiran masingmasing penyelenggara yayasan. Hal ini terjadi karena sebelum adanya UUY, ketentuan tentang keberadaan yayasan belum diatur dalam ketentuan khusus. Untuk mendapat gambaran tentang apa dan bagaimana yayasan dipahami, berikut ini akan dikemukakan konsep yayasan sebagaimana diajarkan oleh ahli hukum, pandangan masyarakat secara umum, dan konsep yang dianut oleh UUY. 1. Yayasan Menurut Ahli Hukum Tidak dapat dipungkiri bahwa para ahli hukum umumnya memahami yayasan sebagai salah satu bentuk badan hukum (rechtspersoon) di samping badan hukum lain yang diakui dalam pergaulan hukum. Ia digolongan sebagai badan hukum karena secara konseptual dan empirik ada unsur-unsur yang dimiliki badan hukum yang juga terdapat pada yayasan. Untuk mema29 hami hal tersebut, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat mengenai badan hukum. L.J. Van Apeldoorn2, merumuskan badan hukum (purusa hukum) dalam dua pengertian, yaitu: 1. Tiap-tiap persekutuan manusia, yang bertindak dalam pergaulan hukum seolah-olah ia suatu “purusa” yang tunggal; 2. Tiap-tiap harta dengan tujuan yang tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya, dalam pergaulan hukum diperlakukan seolah-olah ia suatu purusa (yayasan).” Dari batasan di atas tampak bahwa badan hukum bukanlah manusia dalam arti individu atau perseorangan. Badan hukum dapat berupa persekutuan atau perkumpulan atau organisasi manusia, dan dapat pula berupa harta yang terpisah dari harta siapa pun, sehingga disebut tidak ada yang mempunyainya, namun memiliki tujuan tertentu. Pandangan ini agakya sama dengan pandangan J.J. Dormeier dalam Chidir Ali3, yang menyatakan bahwa: “Istilah badan hukum dapat diartikan dua, yaitu: a. Persekutuan orang-orang yang di dalam pergaulan hukum bertindak selaku 2 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. ke-32, tahun 2008, hal 193-194 3 Chidir Ali, Badan Hukum, Penerbit Alumni Bandung, Cet. ke-4 2001,hal. 21 30 seorang saja; b. Yayasan, yaitu suatu harta atau kekayaan, yang dipergunakan untuk suatu maksud yang tertentu dan diperlakukan sebagai oknum.” Chidir Ali4 sendiri, berpendapat bahwa titik tolak dalam menentukan badan hukum adalah jawaban atas pertanyaan apa itu subyek hukum. Dalam hal ini, adalah manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat dan oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Menurutnya, hal terakhir itulah yang disebut badan hukum. Selanjutnya, jawaban atas pertanyaan siapa badan hukum itu, maka titik tolaknya adalah siapa subyek hukum menurut hukum pisitip, yaitu manusia dan badan hukum. Jadi, siapa badan hukum itu, akan sangat tergantung pada hukum positip setiap negara. Untuk memerjelas pengertian pokok itu Chidir5, mengutip pandangan ahli lain seperti Meijers yang menyatakan, badan hukum meliputi sesuatu yang kewajiban; menjadi Logeman6, pendukung hak dan yang menyatakan, badan hukum suatu personifikasi (personificatie), yaitu sesuatu perwujudan (bestendingheid) atau penjel4 Chidir Ali, Ibid, hal. 18 dan 21 5 Chidir Ali, Ibid, hal. 18 6 Chidir Ali, Ibid, hal. 18 31 maan hak-kewajiban. Hukum organisasi, tegas Logemann, menentukan struktur intern dari personifikasi tersebut; atau E. Utrecht7 yang menyatakan: “badan hukum (rechtspersoon) yaitu badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak. Selanjutnya dijelaskan bahwa badan hukum ialah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia.” Selain pandangan di atas, masih ada pandangan lain tentang pengertian badan hukum, namun karena varian dari pandangan di atas, maka tidak disebutkan di sini. Kesimpulan Chidir Ali, bahwa badan hukum merupakan gejala kemasyarakatan, gejala nyata, benar-benar ada dalam pergaulan hukum, sekalipun tidak berwujud manusia atau berbentuk benda nyata lainnya seperti besi atau kayu bisa diterima. Yang paling penting dalam pergaulan hukum, simpul Chidir Ali, ialah bahwa badan hukum itu memunyai kekayaan (vermogen) yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu apabila badan hukum itu berbentuk korporasi. Dari pengertian di atas tampak bahwa badan hukum dapat memiliki banyak bentuk. Ia dapat merupakan persekutuan individu yang menyatu7 Chidir Ali, Ibid, hal 18 32 kan diri dalam satu persekutuan, dapat berbentuk organisasi seolah-olah satu individu atau persoon (person), tetapi bukan atau tidak sama dengan manusia. Hal ini dapat dilihat pada badan hukum seperti perseroan terbatas yakni badan hukum yang memiliki anggota dan memiliki hak-kewajiban sendiri yang terpisah dari hakkewajiban masing-masing anggota. Oleh karena itu, ia merupakan personifikasi atau perwujudan dari hak dan kewajiban, yang memiliki kewenangan hukum untuk melakukan hubunganhubungan hukum. Badan hukum juga dapat berupa harta yang memiliki tujuan tertentu tetapi tanpa ada seorang pun individu yang memilikinya tetapi diperlakukan seolah-olah ia suatu purusa seperti halnya manusia. Bentuk yang terakhir ini mirip dengan pendapat R. Ali Rido8 yang menyatakan bahwa : “Sering terjadi dalam suatu organisasi yang bersifat hukum publik sebagai negara atau bahwa seorang manusia memisahkan suatu harta kekayaan tertentu untuk memperjuangkan suatu tujuan tertentu. Dalam hal ini yang pertama dinamakan Lembaga Umum (instelling) dan yang kedua adalah yayasan. Dengan demikian, kita menemukan keoknuman (rechtspersoonlijkheid) tidak hanya 8 R. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Pen. Alumni Bandung, Cet. ke-3, 2012, hal. 3 33 pada suatu korporasi, tetapi juga pada instelling dan pada yayasan.” Dalam pergaulan hukum, status atau kedudukan hukum atau kewenangan hukum badan hukum itu, entah berupa persekutuan manusia maupun harta kekayaan yang dipisahkan, tidak timbul dengan sendirinya, melainkan karena diberikan oleh hukum. Hal ini, sejalan dengan pendapat Van Apedoorn9, bahwa kewenangan hukum (persoonlijkheid) ialah kecakapan untuk menjadi pendukung (subyek) hukum. Kewenangan ini merupakan suatu sifat yang diberikan oleh hukum obyektif dan hanya boleh dimiliki oleh mereka yang diberikan oleh hukum. Pandangan Apeldoorn itu memberi petunjuk bahwa tidak setiap persekutuan atau harta yang dipisahkan untuk tujuan tertentu dapat disebut badan hukum. Ia dapat disebut badan hukum apabila diakui oleh hukum, dan agar diakui oleh hukum, sudah barang tentu ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh persekutuan manusia tersebut atau harta kekayaan yang dipisahkan itu sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan hukum positip. Pertanyaan yang muncul ialah mengapa manusia perlu mengadakan persekutuan? Atas 9 L.J. Van Apeldoorn, Op.cit, hal. 191 34 pertanyaan ini, R. Ali Rido10 berpendapat bahwa “manusia mempunyai kepentingan perseorangan (individueel), sehingga untuk melindunginya perlu hak. Di samping itu, dalam kenyataannya manusia mempunyai kepentingan bersama. Kepentingan bersama atau suatu tujuan tertentu diperjuangkan bersama dengan cara mereka berkumpul dan menyatukan diri, lalu membentuk organisasi serta memilih pengurus yang mewakili mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mengumpulkan harta kekayaan, menetapkan peraturanperaturan bertingkah laku bagi mereka dalam hubungan satu dengan lainnya. Hal ini dilakukan karena dalam setiap hal mustahil mereka lakukan secara bersama-sama. Pendapat Ali Rido itu disetujui Chidir Ali11 dengan menyatakan: “Hukum memberikan kemungkinan bahwa suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang, yang merupakan pembawa hak, suatu subyek hukum dan karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang biasa, dan begitu pula dapat dipertangunggugatkan. Sudah barang tentu badan hukum ini bertindaknya harus dengan perantaraan orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya sendiri me10 R. Ali Rido, Op.cit, hal. 2 11 Chidir Ali, Op.cit. hal. 20 35 lainkan untuk dan atas pertanggung-gugat badan hukum.” Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa badan hukum memiliki ciriciri: ia merupakan perkumpulan orang atau organisasi, memiliki harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya atau harta kekayaan yang dipisahkan itu sendiri, memiliki tujuan tertentu, dapat melakukan perbuatanperbuatan hukum dalam hubungan-hubungan hukum, memiliki pengurus, memunyai hak dan kewajiban, dapat digugat dan menggugat di depan pengadilan, dan merupakan gejala nyata dalam pergaulan hukum. Sekalipun badan hukum berupa persekutuan dan harta (yayasan) terkesan sama, namun di antara dua golongan badan hukum itu terdapat perbedaan. Menurut Rido Ali: “Pada yayasan dan Lembaga Umum (instelling) dipisahkan suatu kekayaan tertentu, diadakan suatu organisasi dengan tujuan tertentu yang memunyai kekayaan tersendiri yang terpisah, yaitu harta yang diberi tujuan yang dipisahkan oleh seorang manusia dalam hal yayasan dan oleh negara dalam hal Lembaga Umum. Agar organisasi itu dapat mencapai tujuannya, diadakan untuk itu suatu pengurus...” Dikaitkan dengan teori-teori yang mencari dasar hukum dari badan hukum, tampak bahwa 36 para ahli tidak memiliki kesepakatan pandangan terhadap perwujudan berbagai bentuk badan hukum. Chidir Ali12 menggolongkan teori-teori yang ada dalam dua golongan besar, yaitu golongan yang meniadakan persoalan badan hukum, dan lainnya adalah golongan yang memertahankan persoalan badan hukum. Yang termasuk golongan pertama antara lain adalah teori organ yang dipelopori oleh Otto Von Gierke dan teori kekayaan bersama oleh Rudolf Von Jhering, sedangkan teori lainnya antara lain teori fiksi oleh Friedrich Carl Von Savigny, teori kekayaan bertujuan oleh A. Brinz, dan teori kenyataan yuridis oleh E.M. Meijers dan dianut oleh Paul Scholten. Penganut teori fiksi13 misalnya menyatakan bahwa hanyalah manusia yang memunyai kehendak, sedangkan badan hukum tidak. Lagi pula badan hukum itu hanyalah suatu abstraksi, fiksi, hanya merupakan buatan pemerintah atau negara, bukan sesuatu yang konret. Oleh karena itu, badan hukum tidak mungkin menjadi subyek dari hubungan hukum. 12 13 Chidir Ali, Ibid. hal. 30 Chidir Ali, Ibid., hal. 31-32; R. Ali Rido, Op.cit, hal. 7-8. 37 Yang searah dengan itu adalah teori kekayaan bertujuan.14 oleh A. Brinz. Menurut teori ini yang dapat menjadi subyek hukum hanya manusia. Badan hukum bukan subyek hukum. Hak-hak yang diberikan kepada suatu badan hukum pada hakekatnya adalah hak-hak yang tidak memiliki subyek hukum. Kekayaan badan hukum menurut teori ini bukanlah hak-hak sebagaimana lazimnya, yaitu adanya manusia sebagai pendukung hak, melainkan kekayaan tersebut telepas dari manusia pemegangnya dan diurus untuk tujuan tertentu. Pandangan yang sebaliknya mengakui badan hukum sebagai subyek hukum. Prinsip pandangan ini ialah bahwa manusia bukanlah satusatunya subyek hukum, pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Selain manusia, ada subyek hukum lain, yang juga merupakan pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban, yaitu apa yang disebut badan hukum. Gierke misalnya menjelaskan, badan hukum itu bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi sebuah realita yang memiliki sifat yang sama dengan alam manusia dalam pergaulan hukum. Melalui alat-alat atau organnya seperti pengurus atau anggotanya, badan hukum memiliki kehendak 14 . R. Ali Ridho, Ibid., hal. 8. 38 atau kemauan yang dibentuk oleh dan melalui alat-alat atau organ tersebut. Badan hukum menurut teori ini bukanlah suatu kekayaan atau hak yang tidak bersubyek, tetapi nyata ada. Lagi pula, persoalan badan hukum bukanlah soal nyata tidak nyata seperti manusia dalam kualitasnya sebagai subyek hukum. Kualitas subyek hukum pada manusia dan badan hukum sama-sama tidak dapat ditangkap dengan panca indera, dan bertindaknya bukan pula dalam kesatuan wujud orang atau badan hukum, tetapi melalui organ dari orang atau badan hukum tersebut. Mirip dengan teori organ, teori kekayaan bersama yang menyatakan bahwa badan hukum adalah kumpulan manusia. Kepetingan badan hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya. Badan hukum menurut teori ini, bukanlah abstraksi dan bukan organisme. Hak dan kewajiban badan hukum menurut teori ini adalah hak dan kewajiban anggotanya bersama-sama, tanggung jawab bersama. Mereka berhimpun dalam satu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang disebut badan hukum. Jadi, badan hukum dipandang sebagai konstruksi yuridis. Selain teori-teori di atas, masih banyak teori lain seperti teori Leer Van Het Ambtelijk Vermogen (Teori tentang harta kekayaan yang dimiliki 39 Seseorang dalam Jabatan), teori Leon Duguit, dan tentu masih banyak yang lain. Teori-teori tersebut tampaknya tak perlu dibahas, sebab selain merupakan varian dari teori yang sudah dikemukakan, tidak seluruhnya cocok diterapkan pada badan hukum, termasuk yayasan. Contohnya adalah teori kekayaan bersama. Bila dicermati, tampak bahwa teori tersebut hanya cocok untuk badan hukum yang memunyai anggota, tetapi tidak cocok bagi yayasan. Teori yang cocok bagi yayasan adalah teori kekayaan bertujuan karena tidak memunyai anggota dan teori harta kekayaan seseorang dalam jabatan (Leer van het ambtelijk vermogen).15 Pertanyaannya ialah apa yang dimaksud dengan yayasan dan mengapa ia disebut badan hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dikemukakan pandangan beberapa ahli hukum. Para sarjana hukum Belanda16 misalnya berpendapat, bahwa: 15 Menurut teori ini, harta kekayaan yang dimiliki seseorang dalam jabatannya adalah suatu hak yang melekat pada suatu kualitas. Bagi teori ini, tidak mungkin memunyai hak jika tidak dapat melakukan hal itu. Tanpa daya kehendak (wilsvermogen) tidak ada kedudukan sebagai subyek hukum. Ini konsekuensi luas dari teori yang menitik beratkan pada daya kehendak. Untuk badan hukum yang berkehendak adalah pengurus. Dalam kualitas sebagai pengurus mereka adalah berhak, maka dari itu disebut ambtelijk vermogen. Chidir Ali, Op.cit., hal. 33. 16 Chidir Ali, Ibid. hal 86 40 Stichting (yayasan) adalah suatu badan hukum yang berbeda dengan badan hukum perkumpulan atau perseroan terbatas, tidak memunyai anggota atau persero, oleh karena apa yang Stichting dianggap badan hukum adalah sejumlah kekayaan berupa uang dan lain-lain benda kekayaan. Dari pandangan di atas diketahui bahwa yang disebut yayasan adalah harta kekayaan, baik berupa uang maupun bentuk lain. Ia mirip dengan perkumpulan, tetapi tidak sama dengan perkumpulan atau perseroan sebagaimana diatur dalam hukum positip, karena harta kekayaan tersebut tidak memunyai anggota. Memerjelas pandangan di atas, perlu ditinjau pandangan Paul Scholten17 yang menyatakan: Yayasan adalah suatu badan hukum yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak. Pernyataan tersebut harus berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan tertentu, dengan menunjukkan cara kekayaan itu diurus dan digunakan. Dengan rumusan itu, tampak bahwa kekayaan yang disebut badan itu lahir dari pernyataan sepihak. Tentu saja pernyataan dimaksud adalah tertulis dan istilah pihak menunjuk pada pendiri. Isi pernyataan, tidak lain adalah pernyataan tentang pemisahan kekayaan dari kekayaan 17 Chidir Ali, Ibid, hal. 86. 41 pendiri. Secara tegas pula disebutkan pemisahan kekayaan tersebut dan pengurusannya adalah semata-mata untuk mencapai tujuannya. N.H. Bregstein18 menambahkan bahwa: Yayasan adalah suatu badan hukum yang didirikan dengan suatu perbuatan hukum, yang tidak bertujuan untuk membagikan kekayaan dan/atau penghasilan kepada pendiri atau pengurusnya di dalam yayasan itu atau kepada orang-orang lain, kecuali untuk tujuan idiil. Pandangan Bregstein rupanya memerjelas tujuan kekayaan yang dipisahkan tersebut beserta penghasilan yang diperoleh darinya bukanlah untuk kepentingan pendiri. Oleh sebab itu tidak patut dibagikan kepada pendiri, pengurus, atau siapa pun jika bukan bertujuan idiil. W.L.G Lemaire19 kemudian menambahkan: Yayasan diciptakan dengan suatu perbuatan hukum, yakni pemisahan suatu harta kekayaan untuk tujuan yang tidak diharapkan keuntungan (altrustische doel) serta penyusunan suatu organisasi (berikut pengurus), dengan mana sungguh-sungguh dapat terwujud tujuannya dengan alat-alat itu. Dari Lemaire diketahui pemisahan kekayaan tersebut bukan bertujuan mencari keuntungan. 18 Chidir Ali, Ibid, hal. 86. 19 Chidir Ali, Ibid, hal. 86. 42 Oleh karena itu diperlukan suatu organisasi dan pengurus sebagai alat organisasi, alat yayasan, untuk mencapai tujuannya. Lebih lanjut Meijers20 menyatakan bahwa pada yayasan pokoknya terdapat : Penetapan tujuan dan organisasi oleh para pendirinya; tidak ada organisasi anggotanya; tidak ada hak bagi pengurusnya untuk mengadakan perubahan yang berakibat jauh dalam tujuan dan organisasi; perwujudan dari suatu tujuan, terutama dengan modal yang diperuntukkan untuk itu. Pendapat Meijers ini menekankan pentingnya tujuan yayasan di mana pengurus hanya boleh bertindak untuk mengupayakan pencapaian tujuan itu. Pengurus tidak boleh melakukan perubahan yang sifatnya mengubah atau mengakibatkan perubahan pada tujuan yayasan, terutama mengenai modal atau kekayaan yang diperuntukkan untuk tujuan tersebut. Menegaskan apa yang dikemukakan Mijers di atas, A. Pitlo21 memberi uraian sebagai berikut: Sebagaimana hanya untuk tiap-tiap perbuatan hukum, maka untuk pendirian yayasan harus ada sebagai dasar suatu kemauan yang sah. Pertama-tama harus ada maksud untuk mendirikan suatu yayasan, selanjut20 Chidir Ali, Ibid, hal. 86 21 Chidir Ali, Ibid, hal. 87 43 nya perbuatan hukum itu harus memenuhi tiga syarat materiil, yakni adanya pemisahan kekayaan, tujuan, dan organisasi, dan satu syarat formal, yakni surat. Yayasan adalah suatu badan hukum tanpa diperlukan campur tangan penguasa (pemerintah). Dari uraian itu, tampak bahwa aspek yang ditekankan A. Pitlo adalah kemauan yang sah. Kemauan sah ini tampaknya menunjuk pada suatu keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupan masyarakat. Hal ini harus sesuai dengan nilai-nilai yang diterima masyarakat dan dan diakui oleh hukum positip. Jika itu terpenuhi, maka syarat materil dan formal perlu dipenuhi guna memenuhi prosedur hukum. Dengan terpenuhinya semua aspek itu maka pemerintah tidak perlu turut campur dalam kelembagaan dan kegiatan yayasan. Secara lebih lengkap, Van Apeldoorn menjelaskan demikian: Yayasan (stichting) adalah harta yang memunyai tujuan yang tertenyu, tetapi dengan tiada yang empunya. Juga suatu kenyataan, bahwa dalam pergaulan hukum ia diperlakukan seolah-olah suatu purusa. Contohnya, orang menghibahkan, menjual, mewariskan barang-barang pada suatu rumah yatim piatu, rumah sakit, gereja. Konstruksi yuridis dari peristiwa itu adalah harta dengan tujuan tertentu, tetapi tidak dapat ditunjuk suatu subyek, sehingga dalam pergaulan hukum 44 diperlakukan seolah-olah ia adalah subyek hukum. Berdaarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yayasan memiliki beberapa unsur, yaitu: a. Terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri; b. Memiliki tujuan tertentu yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat dan sah secara hukum; c. Tidak mencari keuntungan; d. Memiliki organisasi; e. Kegiatan yang dilakukan melulu untuk mewujudkan tujuan yayasan; f. Memiliki alat perlengkapan organisasi, yaitu pengurus; g. Didirikan secara sepihak tanpa ada campur tangan penguasa atau pemerintah; h. Didirikan dengan memenuhi syarat materiil dan syarat formal, surat pernyataan; i. Kedudukannya dalam hukum dipersamakan dengan manusia sebagai subyek hukum. Berdasarkan jalan pikiran di atas, dapat disimpulakan bahwa konsep yayasan memiliki kesamaan dengan konsep badan hukum yang lain tetapi dengan bentuk, tujuan, dan cara pengorganisasiannya berbeda. Utamanya mengenai tujuan pendirian, kedudukan kekayaan, dan kedudukan pendirinya. Bagi yayasan, aspek tujuan 45 adalah yang pokok. Aspek inilah yang menjadi faktor pengikat dan pemilik hak atas kekayaan badan hukum, sementara pendiri dan pengurus hanyalah alat organsiasi yang bertindak untuk dan atas nama yayasan guna mewujudkan tujuan yayasan. Dari uraian itu pula diketahui bahwa yayasan dalam pandangan para ahli hukum sudah merupakan badan hukum. Status ini melekat pada diri yayasan atau harta yang dipisahkan itu untuk mencapai tujuan peruntukannya. Dengan kata lain, status badan hukum yayasan diperoleh tidak didasarkan pada prosedur khusus, tetapi pada terpenuhinya unsur sahkan untuk organisastoris tujuan diurus kekayaan yang dipi- tertentu oleh yang secara pengurus untuk mencapai tujuan tertentu tersebut. 2. Yayasan Menurut Pemahaman Masyarakat. Sebelum adanya UUY, pemahaman masyarakat Indonesia tentang yayasan dapat dikatakan sangat beragam. Sekalipun istilah dan kegiatan yayasan sudah dikenal dan dipraktekkan namun karena belum adanya ketentuan yang mengatur keberadaan yayasan dalam suatu aturan khusus, maka dalam mendirikan yayasan masyarakat cenderung melakukan penafsiran pemahaman masing-masing. 46 berdasakan Secara konsptual memang dipahami bahwa yayasan adalah lembaga yang bermisi sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, namun dengan tidak adanya ketentuan khusus tersebut, tidak jarang orang mendirikan yayasan untuk tujuan bisnis. Banyak yayasan didirikan dengan motivasi mencari keuntungan dengan atau tanpa ditonjolkan seperti misi sosial, keagamaan, atau kemanusiaan. Pada bab sebelumnya, hal tersebut sudah diuraikan. Sekedar contoh, dapat disebutkan yayasan penyelenggara pendidikan dan rumah sakit. Banyak yang mendirikan yayasan dan menyelenggarakan pendidikan atau rumah sakit dari kekayaan satu atau beberapa orang pendiri, dan mengelolanya seperti halnya perusahaan pada umumnya. Pendiriannya memang selalu bermotif sosial dan kemanusiaan. Akan tetapi, status yayasan umumnya dianggap sebagai hak milik pendiri sehingga kekayaan awal dan penghasilan atau keuntungan (kalau ada) yang didapatkan dari usaha yayasan dikolola oleh pendiri sebagaimana lazimnya harta kekayaan pribadi. Salah satu contoh adalah Yayasan Perguruan Pembangunan Daerah Nias di Gunungsitoli (secara resmi disingkat YAYASAN PEMBDA NIAS), Propinsi Sumatera Utara. 47 Motivasi pendirian yayasan ini memang bukan bisnis. Benar-benar dimaksudkan untuk memajukan pendidikan di Nias. Sejak didirikan pada tahun 1970, yayasan ini telah memberikan kontribusi besar bagi pengembangan pendidikan di Nias, khususnya di tingkat SMP, SMA dan Sekolah Kejuruan.22 Pada tahun pelajaran 2014/2015, jumlah siswa di seluruh sekolah di yang dikelola yayasan lebih 2.000 orang. Yayasan ini menyelenggarakan 5 (lima) sekolah, yaitu 2 (dua) unit SMP, 2 (dua) unit SMA, dan 1 (satu) unit SMK. Hal ini diawali dengan pendirian STM Pembda (sekarang SMK pembda) pada tahun 1970, kemudian SMP Pembda-1 tahun 1978, SMA Pembda-1 tahun 1979, SMP Pembda-2 dan SMA Pembda-2 tahun 1982 oleh 8 (delapan) orang pendiri. Biaya awal bersumber dari harta kekayaan pribadi para pendiri, mulai dari pengadaan tanah, mendirikan bangunan secara berangsur-angsur, sampai pada penyediaan peralatan pengajaran. Sejak awal yayasan tersebut dikelola langsung oleh pendiri, yaitu dengan menugaskan salah seorang pendiri menjadi Ketua Yayasan yang sehari-hari mengurus yayasan. Untuk mem22 Wawancara via telpon dengan KS. Halawa, salah seorang Pengurus Harian Yayasan PEMBDA Gunungsitoli, tanggal 12 September 2014. 48 bantu Ketua Yayasan diangkat bendahara yayasan dan beberapa staf sekretariat untuk menangani administrasi yayasan. Penghasilan dari berbagai kewajiban resmi siswa di lima sekolah tersebut terutama dipakai untuk mengembangkan kegiatan pendidikan, namun bila ada keuntungan maka keuntungan tersebut dibagi kepada para pendiri berdasarkan ketentuan yang mereka tetapkan sendiri. Setelah Ketua Yayasan meninggal dunia, posisi ketua pengurus yayasan diwariskan kepada salah seorang anak beliau dan masih tetap dikelola seperti sebelumnya, walaupun organisasi organ yayasan sudah diatur dalam angaran dasar yayasan setelah dilakukan penyesuaian dengan ketentuan UUY pada tahun 2009. Bagi mereka, Yayasan PEMBDA Nais adalah milik keluarga dari 8 (delapan) pendiri tersebut. Sekalipun demikian, di kalangan masyarakat ada juga yang mendirikan yayasan melulu untuk kepentingan sosial. Contohnya adalah yayasan yang memelihara anak-anak miskin, anak-anak terlantar, anak-anak cacat, yatim-piatu, atau kaum jompo, dan sebagainya. Contoh lain adalah pendirian Lembaga Wakaf. Di antaranya, ada yang melulu untuk kepentingan sosial seperti penghibahan harta dan tanah untuk mendirikan mesjid dan berbagai perlengkapan ibadah. Dalam 49 Islam wakaf ini disebut wakaf khairi. Selain wakaf khairi, ada juga wakaf dzuuri, yaitu wakaf dengan memeruntukkan sebagai dari kekayaan, dan kekayaan tersebut lebih bersifat warisan untuk kepentingan anak-cucu si pemberi wakaf atau wakif. Sebelum adanya UUY, yayasan-yayasan yang ada di Indonesia, termasuk yayasan tersebut di atas, umumnya didirikan dengan akta notaris dengan atau tanpa didaftarkan di Pengadilan Negeri setempat. 3. Yayasan menurut UUY Berbeda dengan buku teks, konsep yayasan dalam UU tidak dijelaskan. Yang ada hanyalah pengertian umum sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 ayat (1) UUY sebagai berikut: “yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan”. Rumusan di atas ada kemiripannya dengan teori A. Brinz sebagaimana telah disebutkan di depan. Hanya saja Brinz tidak mengakui yayasan sebagai subyek hukum, sebab yang menjadi subyek hukum menurut beliau hanya manusia saja. Kesamaan antara Brinz dan rumusan di atas adalah bahwa kekayaan yang dipisahkan itu 50 tidak terikat kepada siapa pun selain kepada tujuannya. Bagi UUY, unsur ini menjadi unsur pokok yang ditetapkan sebagai faktor pembentuk badan hukum. Dengan penegasan itu tampak bahwa sebuah yayasan disebut badan hukum apabila ia memiliki kekayaan yang dipisahkan terlepas dari kekayaan pendiri, dan pendiriannya melulu dimaksudkan untuk kepentingan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Ketiga tujuan ini memang tidak harus dicakup secara lengkap oleh tiap yayasan. Yayasan boleh hanya fokus pada satu atau dua bidang, tetapi bisa juga ketiga-tiganya. Yang terpenting pada rumusan pasal tersebut ialah bahwa kekayaan yayasan adalah kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri dan semata-mata dimaksudkan untuk tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Apabila hal-hal tersebut terpenuhi, maka yayasan dimaksud diakui sebagai badan hukum. Sebaliknya, badan hukum yang demikian merupakan yayasan. Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (1) tersebut, tampak bahwa UUY mengonstruksi konsep yayasan dalam satu bentuk yang sama dan tunggal. Hal ini dapat diketahui dalam jabaran pengaturan yayasan pada pasal-pasal selanjutnya. Contohnya adalah rumusan Pasal 2 tentang organ yayasan yang diimplementasikan 51 secara rinci pada beberapa pasal tentang pembina, pengurus, dan pengawas pada Pasal 28 – Pasal 47. Demikian pula ketentuan Pasal 5 tentang kekayaan yayasan dan ketentuan pada Pasal 3, Pasal 7, dan Pasal 8 tentang usaha atau badan usaha yang dapat diselenggarakan oleh yayasan. (lihat bahasa detail pada bab III, B.3.b. dan c. pada halaman 117-135). Dalam pasal-pasal tersebut yayasan dikonstruksi sebagai sebuah lembaga yang bentuknya pasti sama dari aspek organ dan kewenangannya, struktur organisasi, status kekayaan yayasan, dan larangan-larangan kepada pengurus. Perbedaan-perbedaan yang nyata ada dalam yayasan dianggap tidak penting sehingga tidak perlu diatur. Akibatnya, materi pengaturan UUY tampak banyak yang janggal dan terkesan bukan mengatur yayasan yang nyata ada, melainkan yayasan yang dibayangkan ada. Untuk menjelaskan hal tersebut dapat ditinjau ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001 yang mengatur siapa saja yang dapat mendirikan yayasan. Rumusannya demikian: “Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal.” Istilah “orang”23 dalam ayat 23 Penjelasan Pasal 9 ayat (1), UU No. 16 tahun 2001 52 tersebut diartikan sebagai orang perseorangan atau badan hukum24. Persoalannya ialah penyamaan posisi orang perseorangan dan orang dalam arti beberapa orang tampaknya kurang tepat. Dalam prakteknya penyamaan tersebut dapat menimbulkan masalah hukum yang mengakibatkan ketidak-adilan yang justru bertentangan dengan tujuan hukum. Pandangan ini didasarkan pada tiga argumen berikut: a. Perbedaan Secara Konseptual. Secara konseptual orang perseorangan berbeda dengan orang dalam arti beberapa orang. Perbedaan juga dapat tampak atau ditampakkan dalam hal inisiatif pendirian yayasan. Yayasan dengan inisiatif pendiri berbeda dari inisiatif pewaris seperti wakaf, dan inisiatif orangorang dalam korporasi. Demikian pula motivasi dan tujuan mendirikan yayasan, kekaya- Dalam pandangan hukum positip, penyamaan orang perseorangan dan badan hukum sebagai pihak yang berhak mendirikan yayasan memang sah karena telah menjadi doktrin yang diakui oleh hukum positip. Akan tetapi dalam kenyataannya pemosisian orang perseorangan dengan latar belakang diri sendiri secara pribadi dan orang perseorangan dengan latar belakang sebagai perwakilan badan hukum, baik badan hukum publik maupun korporasi memiliki perbedaan yang cukup dignifikan. Penghayatan atau sense of belonging orang-orang seperti ini terhadap yayasan bisa sangat berbeda yang berakibat pada cara padanganya terhadap status yayasan serta segala kegiatannya. 24 53 an awal dan sumber dana, penggunaan kekayaan setelah yayasan berdiri, dan sebagainya. b. Perbedaan Wujud. Wujud nyata dari yayasan juga berbeda-beda sesuai dengan latar belakang pendirian ataupun sasaran kegiatannya. Yayasan yang bertujuan sosial dengan kegiatan memelihara anak-anak cacat, anak-anak terlantar, kaum jompo, mengurus kematian, berbeda dengan yayasan yang menyelenggarakan pendidikan atau rumah sakit, dan berbeda pula dengan yayasan yang didirikan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan dalam sebuah instansi. c. Perbedaan Sumber Kekayaan. Yayasan yang didirikan dengan kekayaan awal bersumber dari pemisahan kekayaan pribadi berbeda dengan yayasan yang kekayaan awalnya bersumber dari wakaf. Demikian pula dengan yayasan yang kekayaan awalnya bersumber dari keuangan negara seperti pada Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia, yayasanyayasan dalam lingkungan Tentara Nasional Indonesia atau di berbagai BUMN atau BUMD. Kekayaan awal dari perseorangan atau wakaf adalah kekayaan pribadi yang tak ada hubungannya dengan publik. Kekayaan awal yang bersumber dari keuangan negara, ins54 tansi pemerintah, berkaitan dengan publik. Sudah tentu penggunaan kekayaan yayasan yang sumbernya dari instansi pemerintah, tidak tepat kalau hanya dimanfaatkan untuk menyejahterakan karyawan atau mantan karyawan pada instansi bersangkutan. Uang negara adalah milik umum. Jika milik umum dipakai untuk kepentingan sebagian orang, maka tindakan itu dapat digolongkan sebagai penyelewengan atas keuangan negara25. Uang negara yang ada dalam BUMN/BUMD kemudian dipisahkan sebagai modal awal yayasan tetap merupakan kekayaan negara26. Perbedaan yang dikemukakan di atas memang tidak selalu menimbukan masalah apabila diatur Lihat UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 1 ayat (1), yang menyatakan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut; jo ayat (10) Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara; dan jo ayat (17), yang menyatakan bahwa Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. 25 Pasal 2 huruf g UU No. 17 Tahun 2003 menyatakan bahwa “kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah. 26 55 berdasarkan kenyataan. Van Apeldoorn27 menyatakan bahwa: Hukum objektif mengatur pelbagai hubungan. Peraturan itu adalah baik jika ia cocok dengan sifat hubungan-hubungan yang diaturnya, sebab peraturan itu harus sesuai dengan apa yang diautur. Oleh karena itu, isi peraturan-peraturan hukum itu bergantung pada hakekat hubungan yang diaturnya. Pengaturan hubungan adalah pengaturan kepentingan-kepentingan dari yang bersangkutan, karena hubungan hukum adalah kepentingan-kepentingan yang mendapat perlindungan. Jadi, isi pengaturan hukum bergantung kepada hakekat kepentingankepentingan yang diatur oleh hukum. Apa yang ditekankan Apeldoorn di atas, tampaknya terlewat dari perhatian pembentuk UUY. Keadaan inilah yang berpotensi menimbukkan masalah hukum, sebab mengatur hal-hal yang berbeda secara sama atau menerapkan ketentuan hukum yang sama pada hal-hal yang berbeda tentu saja tidak adil, bertentangan dengan Konteks uraian Apeldoorn adalah konteks pembagian hukum dalam golongan besar yaitu menyangkut pembagian isi hukum publik danhukum privat. Dalam hal ini Apeldoorn menyebutkan bahwa kepentingan-kepentingan yang diatur oleh hukum terdiri atas dua, yaitu kepentingan-kepentingan umum atau kepentingankepentingan publik dan kepentingan-kepentingan khusus atau kepentingan-kepentingan perdata. Dalam kedua isi hukum ini Apeldoorn menekankan tetap terpenuhinya perlindungan atas kepentingan umum dan kepentingan tiap-tiap pribadi. Van Apeldoorn, Op.ci., hal 171-182 27 56 tujuan hukum (lihat uraian pada Bab II.C.2. halaman 81-90) Disadari atau tidak, keadaan tersebut memengaruhi rumusan ketentuan UUY, dan barang tentu pada penerapannya di seluruh yayasan. Apabila hal itu dipaksakan semata-mata karena sudah menjadi hukum positip, maka upaya mengembalikan fungsi yayasan sebagaimana dikehendaki oleh UUY dapat menyimpang, bahkan bisa menimbulkan persoalan keadilan dan kemanfaatan bagi adresat hukum. Akan terasa tidak adil apabila hak atas kekayaan pribadi pendiri yayasan serta merta hilang hanya dengan hadirnya UUY. Jika yang bersangkutan serta merta menghentikan kegiatan yayasan karena tidak menerima pengaturan UUY tentu saja menimbulkan persoalan hukum juga. Bila kegiatan dimaksud adalah kegiatan pendidikan formal atau rumah sakit yang justru sangat dibutuhkan oleh masyarakat sudah pasti persoalannya lebih rumit. Untuk mengatasi masalah itu, penulis berpendapat bahwa upaya mengembalikan fungsi yayasan secara adil sesuai dengan tujuan hukum, pengaturan yayasan semestinya dilakukan dengan melakukan pemilahan yayasan dan mengaturnya sesuai dengan klasifikasi atau jenis atau keadaan yayasan. 57 B. Keragaman Yayasan dan Pengaturannya Dengan beragamnya pemahaman yayasan, terutama dalam prakteknya Indonesia, menunjukkan bahwa pengaturan yang dilakukan dalam UUY tidak sepenuhnya mengacu pada kondisi nyata. Untuk itu, jalan pikiran yang dikemukakan oleh Budiono Kusumohamidjojo sebagaimana terpapar di halaman 65-66 patut diperhitungkan oleh pembuat UU. Menurut penulis, solusi yang tepat ditempuh ialah memilah-milah yayasan berdasarkan keadaan nyatanya dan membuat peraturan yang sesuai dengan keadaan tersebut. 1. Pemilahan Yayasan Yayasan yang ada perlu dipilah berdasarkan latar belakang dan motivasi pendirian, bentuk- bentuk kegiatan, sasaran kegiatan yayasan, dan sumber kekayaan awal yang dipisahkan. Dalam kaitan ini, gagasan Suharto28 tampaknya dapat dipertimbangkan. Menurut Suharto, berdasarkan sumber dananya ada dua golongan yayasan, yaitu yayasan murni dan yayasan pura-pura atau kamuflase. Yayasan murni adalah yayasan yang modal awalnya bersumber dari orang perseorangan dan 28 Suharto, Membedah Konflik Yayasan, Menuju Konstruksi Hukum Bermartabat, Cakrawala Media, Cet. I, Juni 2009, hal. 125 58 sumbangan. Yayasan ini benar-benar bersifat karitatif. Ia didirikan untuk memelihara anak-anak terlantar, yatim piatu, kaum miskin, mengurus kematian, atau mengurus kepentingan umum seperti lingkungan hidup, pengembangan ilmu pengetahuan, museum, keagamaan, pendidikan, dan rumah sakit. Motivasi pendirian yayasan semacam itu mirip dengan apa yang dilakukan Plato sebagaimana dijelaskan Anwar Borahima29 bahwa menjelang kematiannya pada tahun 347 SM, Plato menyumbangkan hasil pertanian tanah miliknya untuk selama-lamanya bagi academia yang didirikannya. Dalam agama Islam, tulis Anwar, motivasi semacam itu dikenal dengan upaya untuk mewujudkan amal saleh atau wakaf khaidir. Wakaf ini diberikan oleh seseorang semata-mata untuk membantu memenuhi kepentingan umum seperti membangun masjid, pesantren, kuburan, sekolah. Dengan motivasi beramal, mereka menyumbangkan sebagian harta miliknya untuk kepentingan orang lain secara sukarela (tabarru). Menurut Rudhi Prasetya30, yayasan murni masih dapat dibedakan berdasarkan kegiatannya. 29 Anwar Borahima, Op.cit, hal.11-19. 30 Rudhi Prasetya, Yayasan dalam Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Cet. I, April 2012, hal. 62 59 Ada yayasan yang semata-mata mengumpulkan dana dari para dermawan kemudian menyalurkannya kepada yang memerlukan seperti beasiswa bagi kaum miskin, biaya hidup anak-anak panti asuhan, dan orang terlantar lainnya. Tipe lainnya, adalah yayasan yang tidak hanya sebagai penyalur dana, tetapi sebagai penyelenggara langsung kegiatan seperti pendidikan, poliklinik, rumah sakit. Dalam agama Islam, yayasan tipe terakhir itu, banyak yang didirikan dengan kekayaan awal dari wakaf ahli. Selain dimaksudkan untuk membantu memenuhi kepentingan umum, pendirian yayasan dimaksudkan untuk menciptakan lapangan kerja dan pemenuhan kebuhutuhan ekonomi keluarga yang berwakaf. Yayasan tipe ini dipahami sebagai yayasan milik pribadi, milik keluarga, dan keturunan pewakaf. Berbeda dengan yayasan murni, yayasan pura-pura atau kamuflase adalah yayasan yang didirikan untuk kesejahteraan anggota atau mantan anggota pendiri. Contohnya adalah yayasan yang didirikan instansi Pemerintah, TNI, Bank Indonesia, Pertamina, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, yang modal awalnya bersumber dari uang negara. Motivasi dan tujuan pendirian dimaksudkan 60 untuk kepentingan karyawan atau mantan karyawan pada instansi yang bersangkutan. Yayasan yang mirip dengan itu ialah yayasanyayasan yang didirikan oleh perusahaan swasta. Kekayaan awal pada yayasan ini dipisahkan dari kekayaan perusahaan dan dimaksudkan untuk kesejahteraan karyawan atau mantan karyawan perusahaan. Bedanya, yayasan ini selain untuk kepentingan karyawan atau mantan karyawan, ada di antaranya yang tergolong yayasan murni. Hal ini didirikan untuk membantu kepentingan umum, masyarakat miskin, mengembangkan ilmu, dan melestarikan lingkungan.31 Contohnya adalah PT Astra Internasional yang mendirikan beberapa yayasan sosial. Di antaranya ialah (1) Yayasan Agro Lestari, yang bergerak di bidang pendidikan di 3 wilayah operasionalnya yaitu Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi yang sampai tahun 2012 telah membina 24 sekolah yang terdiri dari 19 Sekolah Dasar (SD), 5 Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan didukung oleh 403 guru; (2) Yayasan Dharma Bhakti Astra, yang mendampingi sekitar 7.482 UMKM, 432 training mekanik, 11 pendirian LPB, 10 pendirian LPM, 61 UKM Mandiri, dan 244 UKM subkon Astra di bidang pembinaan manajemen, teknologi, akses pasar, fasilitas pembiayaan, dan teknologi informasi; Contoh lain adalah PT Unilever yang mendirikan beberapa yayasan sosial dengan kegiatan promosi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di sekolah-sekolah dan posyandu, pemberian beasiswa, pelaksanaan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tetang bahaya HIV/AID di sekolah-sekolah di beberapa kota di Jawa Timur dan Bali, Jakarta, dan Medan yang menjangkau ratusan sekolah dan ratusan ribu siswa, program pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah menjadi kompos atau mengolah barang bekas menjadi sumber pencaharian, dan sebagainya. 31 61 2. Materi Pengaturan Undang-Undang Yayasan Dengan dipilahnya yayasan, maka materi pengaturan yayasan perlu disesuaikan dengan keadaan nyata yayasan. Paling sedikit, materi pengaturan yayasan murni dijabarkan secara berbeda dengan yayasan kamuflase. Hal ini harus eksplisit dirumuskan dalam syarat dan prosedur penyesuaian AD bagi yayasan yang sudah berdiri sebelum UUY. Bagi yayasan yang serupa, tetapi berdiri setelah UUY, pengaturannya perlu dibedakan juga. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya ketidak-adilan dalam UUY. Berdasarkan jalan pikiran tersebut tampak bahwa konsep yayasan pada Pasal 1, ayat (1) perlu dijabarkan pengaturannya pada pasal-pasal berikutnya guna mewadahi keadaan nyata yayasan. Pengaturan organ pada yayasan yang didirikan oleh perseorangan dengan sumber kekayaan pribadi pendiri dan wakaf umpamanya perlu diatur secara berbeda dari yayasan yang didirikan oleh badan hukum. Sekedar contoh, pembina pada yayasan yang didirikan oleh perseorangan haruslah dari pendiri atau anggota keluarga dan keturunannya, seperti hanya pada yayasan wakaf. Posisi pengurus dan pengawas diangkat berdasarkan prosesionalisme yang ditetapkan dalam AD. Sedangkan untuk 62 yayasan yang oleh badan hukum, organ yayasan sepatutnya diangkat dari perseorangan menurut kriteria badan hukum pendiri yayasan, yang juga diatur dalam AD yayasan. Pengaturan yang demikian, terkait dengan status kekayaan yayasan. Pengaturan yang tampaknya patut ialah status kekayaan pendiri tetap diakui dan dapat diambil kembali manakala yayasan bubar atau dibubarkan. Tentang bagaimana pengaturan hak pendiri atas perkembangan kekayaan tersebut dalam yayasan perlu diatur secara proporsional agar kegiatan yayasan dapat terus berlangsung dan berkembang. Pengaturan Pasal 9 ayat (1) jo Pasal 5 tentang kekayaan yayasan tampaknya lebih cocok pada yayasan di Negara Barat yang mengonsepkan yayasan melulu bersifat karitatif atau filantropis. Hal yang demikian tidak mewadahi keadaan nyata masyarakat. Yang tampak, malahan sebaliknya, yaitu mengingkari prinsip bahwa hukum adalah bagian dari budaya atau paling sedikit apa yang sudah menjadi praktek hidup masyarakat Indonesia. Dengan prinsip tersebut, masyarakat Barat tidak dapat disamakan dengan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia hidup dengan budayanya sendiri, berbeda dengan masyarakat lainnya. Penyangkalan atas prinsip itu sama hal63 nya dengan penyangkalan atas prinsip hukum yang semestinya lahir dari dan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, penyangkalan tersebut memosisikan UUY lepas dari akarnya, budaya masyarakat Indonesia. Menurut Budiono Kusumohamidjojo32 hal tersebut tidak tepat, sebab aspek-aspek kebudayaan itu jalin-menjalin dan saling memengaruhi satu dengan lainnya. Jika memusatkan perhatian pada hukum sebagai salah satu aspek kebudayaan, maka realisasinya berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Perbedaan itu melahirkan perbedaan dalam realisasi hukum karena apa pun yang ada tidak terjadi dengan cara dan hasil yang sama. Apa yang dilarang pada suatu masyarakat, bisa tidak dilarang pada masyarakat lain, tulis Budiono. Secara lebih tegas, Theo Huijbers33 menulis: “Dalam menyelengarakan politik hukum, pemerintah negara tidak bertolak dari normanorma keadilan yang abstrak, melainkan dari kepentingan-kepentingan yang ada sangkut pautnya dengan situasi konkret masyarakat yang bersangkutan. Situasi dan kondisi masyarakat dunia sangat berbeda, baik secara Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban Yang Adil, Mandar Maju Bandung, Cet ke-1 September 2011, hal. 189 32 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius Yogakarta, Cet ke-15, tahun 2012, hal. 116 33 64 budaya maupun secara ekonomi. Oleh sebab itu, tiap-tiap negara harus menentukan tujuannya sendiri, sesuai dengan situasi budaya dan ekonomi bangsa.” Mengacu jalan pikiran di atas, maka ketentuan UUY mengubah status kekayasaan yayasan yang bersumber dari kekayaan pribadi dan badan hukum secara sama tidak relevan karena tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia. Tentang persyaratan dan prosedur penyesuaian anggaran dasar perlu dibedakan antara yayasan murni dengan yayasan pura-pura atau yayasan kamuflase. Bagi yayasan murni pengaturan UUY semestinya dibatasi sebagai alat kendali pertumbuhan yayasan, mengatur batasbatas kegiatan yang relevan dan pemanfaatan kekayaan yayasan secara proposional antara kepentingan pengembangan yayasan dan hak pendiri. Itu artinya materi pengaturan kekayaan yayasan merupakan harmonisasi antara kepentingan pendiri yayasan dan kepentingan umum. Menurut penulis, pengaturan semacam itu mampu mewadahi partisipasi masyarakat untuk merealisasikan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat seperti diamanatkan dalam Pasal 34 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945.34 Tentu Ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara; ayat (2) Negara mengembangkan sistem jaminan 34 65 saja tidak semua yayasan yang didirikan oleh perseorangan disamaratakan. Oleh karena itu, materi pengaturan tersebut harus mampu mencegah tindakan kejahatan seperti pengalihan dana hasil pencucian uang ke dalam yayasan. Persyaratan dan prosedur penyesuaian AD bagi yayasan pura-pura atau kamuflase, bukan saja perlu dilaksanakan berdasarkan ketentuan UUY, keberadaan yayasan seperti ini malahan harus dievaluasi. Jika masih memilih bentuk yayasan, maka sasaran kegiatan tidak boleh dibatasi hanya untuk kepentingan karyawan atau mantan karyawan saja, tetapi dibuka untuk kepentingan umum. Upaya meningkatkan kesejahteraan karyawan atau mantan karyawan tentu saja dibolehkan, tetapi tidak dengan cara memanfaatkan kekayaan negara, melainkan dengan cara lain yang sah secara hukum. Pengaturan seperti inilah yang dinilai sesuai dengan cita hukum nasional. Tanpa memertimbangkan aspek-aspek tersebut di atas, disadari atau tidak, upaya menegakkan hukum melalui UUY sulit (untuk tidak mengatakan mustahil) dilaksanakan secara konse- sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan dasilitas pelayanan umum yang layak. 66 kuen berdasarkan cita hukum, baik bagi yayasan yang telah berdiri sebelum UUY maupun sesudahnya. Pemaksaan penerapan aturan UUY, khususnya ketentuan peralihan secara sama bagi yayasan, bukan saja tidak menjawab kebutuhan hukum masyarakat, tetapi eksekusi sanksi bagi pelanggar ketentuan tersebut menjadi tidak urgen. Upaya UUY mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum tidak akan tercapai. Yang mungkin dapat dicapai terbatas pada penciptaan kepastian hukum dan ketertiban administrasi. C. Undang-Undang Yayasan Dalam Sistem Hukum Nasional Lawrence M. Friedman35 dalam bukunya berjudul Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial terjemahan dari buku Legal System a Social Science Perspective, menyatakan bahwa hukum adalah sebuah sistem. Sebagai sistem, hukum terdiri atas banyak komponen pembentuknya yang saling berinteraksi dan secara keseluruhan bermuara pada upaya untuk mencapai tujuan hukum. Secara garis besar, komponen sistem hukum terdiri atas komponen struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum36. M.Friedman, Lawrence, Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Cet. IV, Agustus 2011, hal. 6-18 35 36 Lihat juga Achmad Ali, Op.cit, hal.204. 67 Struktur hukum meliputi keseluruhan institusi hukum yang ada dalam masyarakat. Dalam cara pandang tertentu sering didefinisikan berdasarkan profesi para aparat hukum mulai dari para pembuat hukum seperti legislatif dan anggotanya sampai pada pelaksana operasional hukum. Dalam cara pandang lain, didefinisikan sebagai keseluruhan institusi hukum yang ada, termasuk apa yang dipraktekkan oleh masyarakat sederhana dalam menata kehidupan bersama dan menyelesaikan sengketa. Substansi hukum meliputi berbagai peraturan, baik dalam bentuk peraturan per-UU-an, maupun norma lain yang mengatur pola perilaku dalam kehidupan bersama. Sedangkan kultur hukum adalah elemen sikap dan nilai sosial yang ada dalam masyarakat yang tampil dalam bentuk tuntutan-tuntuan, opini-opini, pilihan-pilihan mengenai apa yang dianggap benar dan berguna dalam kehidupan bersama. Apa dan bagaimana bentuk sistem hukum serta bagaimana ia bekerja dalam masyarakat sangat ditentukan oleh interaksi ketiga komponen tersebut. Ada hubungan timbal balik antara kultur hukum dengan struktur dan substansi yang kesemuanya dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan hukum. Bagi Friedman, inti sebuah sistem hukum terletak pada caranya mengubah input menjadi output. Awalnya mulai dari adanya tuntutan masyarakat 68 atas sebuah kondisi yang diharapkan, yaitu yang memberi mereka peluang, bukan saja untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi agar dalam memenuhi kebutuhan hidup tersebut akan tercipta suasana kehidupan bersama yang tertib dan teratur (inputs). Tuntutan ini kemudian diproses oleh lembaga pembuat hukum (misalnya legislatif) sampai terbentuknya norma hukum menjadi peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tak tertulis (output). Peraturan dimaksud mengikat semua orang, tak terkecuali pembuat peraturan, dalam kehidupan bersama. Sejak diterapkan, peraturan tersebut dapat memunculkan siklus di atas sampai menghasilkan aturan baru seiring dengan perkembangan masyarakat. Munculnya respon, opini, atau tuntutan atas peraturan hukum yang baru dapat disebabkan oleh banyak hal. Bisa terkait dengan institusi hukum, substansi, maupun kultur hukum. Para penegak hukum yang tidak bekerja sesuai dengan ketentuan hukum; atau substansi hukum yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi dan/atau nilai-nilai dalam masyarakat yang tidak terwadahi dalam ketentuan hukum; atau kultur hukum penegak hukum yang tidak serasi dengan kultur masyarakat dapat menimbulkan tuntutan baru atas hukum37. Contoh mutakhir adalah respon masyarakat atas tertangkapnya Akil Mochtar atas tuduhan korupsi pada Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan dugaan suap sengketa 37 69 Apa yang dikemukakan Friedman tampaknya mirip dengan proses lahirnya UUY. Belum adanya peraturan yang jelas mengenai keberadaan yayasan sebelumnya mengakibatkan pertumbuhan yayasan tak terkendali. Yayasan yang seharusnya hanya bergerak dalam bidang kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan justru disalahgunakan oleh orang atau kelompok tertentu untuk tujuan bisnis atau untuk kepentingan pribadi pendiri dan pengurus. Keadaan itulah yang mendorong Pemerintah dan DPR membuat UUY untuk mengatur dan mengendalikan yayasan dengan membuat UUY. Dibandingkan dengan apa yang digambarkan Friedman, tuntutan pengaturan yayasan tidak muncul dari anggota masyarakat, melainkan dari pemerintah dan legislator (DPR). Chatamarrasjid38 menulis bahwa selama pembahasan rancangan UUY di DPR, sebagian anggota masyarakat penyelengara yayasan dan organisasi non pemerintah keberatan atas materi-materi rancangan UUY. Mereka beranggapan Pilkada Lebak, Banten serta tuduhan Pencucian Uang memicu terbitnya Perpu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan dengan UU No 4 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2003 tersebut. Terbitnya UU No. 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan merupakan contoh belum sesuainya UU No. 16 Tahun 2001 dengan kebutuhan masyarakat dalam mengelola Yayasan. 38 Chatamarrasjid, Op.cit, hal 68. 70 materi rancangan UUY membuka peluang campur tangan pemerintah terhadap kehidupan sipil. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa tujuan pemerintah dan DPR mengatur yayasan belum selaras dengan harapan masyarakat. Tampaknya ada perbedaan kebutuhan hukum masyarakat di satu pihak dan kebutuhan hukum pemerintah serta DPR pada pihak lain. Pemerintah dan DPR, tampak lebih menitikberatkan aspek penertiban yayasan sementara masyarakat lebih menitikberatkan aspek haknya dalam menyelenggarakan kegiatan yayasan. Munculnya UU No 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sempat memberikan harapan kepada masyarakat. Rumusan konsideran menimbang a dan b UU No 28 Tahun 2004 seakan-akan memberikan jawaban terhadap kebutuhan hukum masyarakat seperti dikemukakan Friedman. Rumusan konsideran a dan b demikian: a. bahwa Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan mulai berlaku pada tanggal 6 agustus 2002, namun Undang-undang tersebut dalam perkembangannya belum menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, serta terdapat beberapa substansi yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang tersebut; 71 b. bahwa perubahan tersebut dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai Yayasan; Kenyataannya, janji konsideran tersebut tidak sepenuhnya diaplikasikan dalam materi pengaturan yayasan. Dari 18 pasal yang diubah, 2 (dua) pasal yang dihapus, dan 3 (tiga) pasal tambahan tidak ada pasal yang mengatur pemilahan yayasan dan mengaturnya berdasarkan klasifikasi itu. Keadaan ini menunjukkan bahwa UU No 16 Tahun 2001 yang telah diubah dalam UU No 28 Tahun 2004 belum merupakan jawaban atas kebutuhan hukum adresat UUY. Konsekuensinya ialah menerapkan UUY, dan secara khusus eksekusi sanksi ketentuan peralihan bagi yayasan yang telah berdiri sebelum adanya UUY kehilangan urgensi. Ia tidak mampu menjadi alat untuk menegakkan hukum yang memberi manfaat secara adil bagi yayasan. 1. Posisi Undang-Undang Yayasan Dalam hirarki Peraturan Perundang-undangan Di setiap negara peraturan hukum atau perUU-an memiliki banyak bentuk dan tingkat cakupannya. Paling tinggi di antaranya ialah konsititusi negara. Di Indonesia, dimaksud ialah Undang-Undang konstitusi Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). UUD 1945 72 inilah hukum dasar39 dan menjadi acuan seluruh peraturan per-UU-an yang ada, maupun yang akan dibentuk kemudian, baik tertulis maupun tak tertulis seperti hukum adat40. Salah satu di antaranya yang tertulis ialah UUY (lihat bagan-1 pada halaman 74). Peraturan per-UU-an tersebut berada dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang sekaligus berkelompk-kelompok, mulai dari peraturan tertinggi, UUD 1945, sampai pada peraturan terendah, peraturan daerah41. Semua peraturan tersebut mengacu pada nilai-nilai yang sama, nilai-nilai ideal bangsa dan negara Indonesia yaitu Pancasila. Nilai-nilai itulah yang merupakan cita hukum, yang menjadi sumber segala sumber hukum42. 39 Lihat Pasal 3 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Bunyi Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UndangUndang” merupakan penegasan hukum atas posisi UUD terhadap peraturan-peraturan yang ada. 40 Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 41 42 Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011, Ibid. 73 Bagan-1 Hirarki Peraturan Perundang-Undangan43 UUD 1945 Kepetapan MPR UU/PERPU UU Yayasan Peraturan Pemerintah PP No 63 dan PP No 2 Peraturan Presiden Perda Propinsi Perda Kab/Kot Sebagai peraturan tertulis dalam konsep hirarkis, UUY berada di bawah UUD 1945 dengan cakupan terbatas pada bidang pengaturan yayasan. Di antaranya ialah mengatur dan menertibkan pendirian, pengorganisasian, dan pelaksanaan kegiatan yayasan, tak terkecuali pengatur43 Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, Ibid. 74 an penyesuaian anggaran dasar yayasan dengan UUY agar diakui sebagai badan hukum. Peraturan yang mengatur yayasan terdiri atas dua jenis peraturan dengan jengjang yang berbeda, yaitu : pertama UUY, yaitu yang mengatur hal-hal yang harus ada atau diadakan, yang harus dilakukan, dapat dilakukan atau dianjurkan, serta hal-hal yang tidak boleh dilakukan atau dilarang dilakukan oleh yayasan; Kedua, PP yaitu mengatur pelaksanaan segala hal yang diatur dalam UUY tersebut. Secara hirarkis, UUY merupakan norma hukum di bawah konstitusi dan dibentuk oleh lembaga legislatif (DPR), sedangkan PP merupakan norma hukum di bawah UU dan dibentuk oleh Presiden berdasarkan prinsip pendelegasian kewenangan regulasi atau mengatur (legislative delegation of rule-making power). Dalam posisi yang demikian, norma hukum dan materi ketentuan UUY haruslah bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. UUY merupakan jabaran norma dan aturan pokok serta rincian lebih lanjut mengenai norma hukum yang ada dalam UUD 194544. Selanjutnya, Norma hukum dan materi ketentuan PP juga 44 Ni’matul Huda &R. Nazriyah, Teori & Pengujian Peraturan Peundang-Undangan, Nusa Media, Cet. 1, Desmber 2011, hal. 96 75 harus bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan UUY serta konstitusi. Apa yang diatur PP, menurut Ni’matul Huda &R. Nazriyah45 hanyalah berisi ketentuan lebih lanjut (rincian) dari ketentuan yang terdapat dalam UUY. Prinsip ini ditegaskan pula dalam Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011, bahwa “Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.” Dalam posisi yang demikian, Ni’matul Huda & R. Nazriyah46 menambahkan bahwa PP tidak dapat mengubah, menambah, mengurangi, atau menyisipi suatu ketentuan atau memodifikasi materi dan pengertian yang telah ada dalam UU yang induknya, dalam hal ini. Dalam kaitan itu, Bagir Manan47 menyatakan, apabila peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka peraturan yang lebih rendah itu dapat dituntut 45 Ni’matul Huda &R. Nazriyah, ibid, hal. 103 46 Ni’matul Huda & R. Nazriyah, ibid, hal 106. Bagir Manan, Teori dan Politik Konstiusi, FH UII Press, Cet. II, Juni 2004. Bandingkan juga Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan 1, Kanisius Yogyakarta, Cet. ke-1, tahun 2007. hal 243-244. Lihat juga Pasal 12 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa materi muata Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 47 76 untuk dibatalkan bahkan batal demi hukum (van rechtswege nietig). Hal serupa berlaku bagi UUY. Apabila materi PP menyimpang atau bertentangan dengan materi UUY, maka materi PP tersebut tidak memiliki kekuatan hukum untuk melaksanakan aturan UUY bahkan harus dibatalkan demi hukum. Pandangan ini didasarkan pada asas lex superior derogat legi inferior. Berdasarkan struktur dan materi muatan tampak bahwa keberadaan UUY dalam sistem dan hirarki hukum (nasional) Indonesia merupakan aktualisasi dari konstitusi Negara (UUD 1945). Nilai-nilai yang ada di dalamnya merupakan implementasi nilai-nilai konstitusi yang bersumber dari Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum nasional. Pandangan tersebut bertitik tolak dari paling sedikit empat argumentasi. Pertama, UUY dibentuk berdasarkan perintah konsititusi. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Perintah UUD 1945 ini mengandung banyak makna. Satu di antaranya ialah bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan dalam kehidupan bersama, termasuk oleh orang perseorangan, harus didasarkan pada ketentuan hukum. Sebagai perintah konstitusi, maka materi pengaturan UUY haruslah merupakan rincian lebih lanjut dari konstitusi 77 Negara. Keharusan tersebut diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Materi yang Harus diatur dengan UndangUndang berisi: a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Kedua, dibentuknya UUY bukan sekedar memenuhi perintah konstitusi untuk menata keberadaan yayasan. Yang pokok ialah bahwa pengaturan tersebut merupakan upaya untuk menegakkan supremasi hukum yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dalam penyelenggaraan kegiatan yayasan. Ketiga, dari perspektif kultur hukum, tuntutan dibentuknya UUY berawal dari kondisi ketiadaan aturan hukum yang jelas mengenai yayasan. Dalam banyak pasal di berbagai peraturan per-UU-an istilah yayasan sebagai badan hukum memang banyak disebut-sebut. Namun, dalam ketentuan tersebut tidak ada kejelasan mengenai konsep yayasan, apa status hukumnya, serta cara-cara pendiriannya48. Sebagai contoh dapat dibaca pada Pasal 365, Pasal 899, 900, 1680 KUHPerdata. Permen No. 01/Per/Menpen/1969 tentang Pelaksanaan Ketentuan-ketentuan mengenai Perusahaan Pers juga menyebutkan Yayasan sebagai badan hukum, dan masih banyak lagi. Anwar Borahima, Op.cit, hal 1-2 48 78 Di sisi lain, menurut Anwar Borahima49 yang juga diakui oleh penulis lain tentang yayasan, peran Yayasan dalam berbagai sektor kehidupan seperti pendidikan, kegiatan sosial dan keagamaan, cukup menonjol. Akibatnya, masyarakat mendirikan dan menyelenggarakan kegiatan yayasan mau tidak mau didasarkan pada kebiasaan yang dilihat atau didengar atau pada yurisprudensi Mahkamah Agung RI tentang Yayasan. Ditinjau dari konsep sistem hukum Friedman, kondisi tersebut dapat disebut sebagai kultur hukum masyarakat yang mendorong terciptanya hukum, dalam hal ini UU No. 16 Tahun 2001. Setelah diberlakukan beberapa tahun, masyarakat ternyata tidak memberi respon sesuai dengan tujuan pembentukannya. Banyaknya yayasan yang tidak melakukan penyesuaian AD pada ketentuan UU No 16 Tahun 2001 memberi sinyal bahwa UU tersebut belum memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Keadaan ini kembali mendorong dibentuknya UU No. 28 Tahun 2004. Kondisi seperti itu merupakan bagian dari kultur hukum juga. Dalam kerangka berpikir Friedman, keadaan tersebut merupakan masukan (inputs) untuk menyempurnakan hukum yayasan (UUY). Apa yang diproses oleh DPR dan 49 Anwar Borahima, Ibid., hal.11-19 79 pemerintah untuk menerbitkan UU No 28 Tahun 2004 semestinya bertitik tolak dari kondisi yang ada. Dengan demikian, UU No 28 Tahun 2004 dapat menjadi out put atau produk sistem hukum nasional yang lebih sempurna di bidang Yayasan. Keempat, lahirnya reformasi yang ditandai dengan runtuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998 dengan semboyan “berantas KKN” (KorupsiKolusi-Nepotisme) turut mendorong lahirnya refomasi dalam bidang hukum di berbagai aspek, termasuk yayasan. Adanya tindakan-tindakan penyalahgunaan bentuk-bentuk yayasan untuk tujuan-tujuan komersial pada masa pemerintahan Presiden Suharto merupakan faktor pemicu penetapan pengaturan yayasan melalui UUY. Berdasarkan jalan pikiran di atas, tampak bahwa posisi UUY dalam sistem hukum nasional cukup penting. pada pandangan Pembentukannya didasarkan filosofi, politis, sosial, dan yuridis yang kuat. Cakupan materinya memang terbatas, yaitu mencakup keberadaan yayasan, tetapi nilai yang terkandung di dalamnya turut menentukan bagaimana memanifestasikan nilainilai dalam norma dasar hukum atau Norma Fundamental Negara melalui UUY. 80 2. Tujuan Undang-Undang Yayasan Tujuan hukum dalam suatu negara didasarkan pada nilai (-nilai) filosofi tertentu yang dianut karena dianggap baik dan dicita-citakan terwujud melalui berbagai kegiatan penyelenggaraan negara, salah satu di antaranya tercermin dalam ketentuan hukum. Nilai filosofi tersebut dikonkretkan melalui keseluruhan sistem hukum, tertulis dan tak tertulis. Dengan demikian, tiap sistem hukum memiliki tujuan hukumnya sendiri yang berbeda dari sistem hukum yang lain. Penganut aliran yuridis dogmatis atau legal positivism misalnya memosisikan nilai kepastian hukum sebagai nilai ideal, yang hendak diwujudkan dalam segala peraturan hukum. Hukumnya sendiri didominasi oleh hukum per-UU-an. Yang terpenting bagi penganut aliran ini adalah adanya jaminan kepastian hukum dalam masyarakat, tidak peduli apakah itu adil atau tidak, bermanfaat atau tidak. Bagi penganut aliran utilitarianisme50, lain lagi. Tujuan hukum bagi aliran ini adalah terwujudnya kemanfaatan dan kebahagiaan sebesarbesarnya bagi sebanyak mungkin warga masyarakat. 50 Achmad Ali, Op. cit, hal. 272. 81 Hal yang lain lagi, dapat dilihat pada sistem hukum Timur, salah satunya Jepang51. Bagi bangsa Jepang, tujuan hukum bukanlah keadilan, kemanfaatan, atau kepastian, melainkan hanyalah “chian hanji” (justice of the peace) atau keadilan dari perdamaian. Dengan terciptanya perdamaian, maka dengan sendirinya keadilan terwujud. Sistem hukum di Indonesia adalah kombinasi atau campuran dari banyak sistem (mixed system)52. Tujuan hukumnya adalah kombinasi dari banyak nilai yang juga terdapat dalam banyak sistem hukum. Hal ini diketahui melalui prinsip-prinsip dan asas-asas hukum di Indonesia yang tidak hanya berasaskan keadilan dan kepastian hukum atau kemanfaatan semata-mata seperti pernah dianut dalam sistem hukum Barat klasik dengan teori etis, teori utilitaris, dan teori legalistiknya53. 51 Achmad Ali, Ibid., hal. 214 52 Achmad Ali menggolongkan sistem hukum atas lima sistem, yaitu: 1. Civil law, yang berlaku di Benua Eropa dan negara-negara mantan jajahannya; 2. Common Law yang berlaku di Inggris , Amerika Serikat, dan negara-negara berbahasa Inggris (Commowealht); 3. Costomory Law yang berlaku di beberapa negara Afrika, Cina, dan India; 4. Muslim Law yang berlaku di negara-negara Muslim, terutama di Timur Tengah; dan 5. Mixed System, salah satunya di Indonesia yang didalamnya berlaku sistem hukum perundang-undangan, hukum adat, dan hukum Islam. Achmad Ali, Ibid hal. 203 53 Achmad Ali Ibid, hal. 213 82 Kombinasi tujuan hukum seperti itu sesuai dengan ajaran Gustav Radbruch54, yang oleh para ahli hukum modern diakui dan diterima. Ajaran ini dilatari oleh kekuatiran Radbruch atas ajaran hukum murni Hans Kelsen dengan Grundnorm-nya dan rasa traumanya atas kekejian Nazi yang memobilisasi tata hukum positif untuk melegalkan genosida ras Yahudi55. Untuk mencegah berlanjutnya keadaan itu, Radbruch menggagas kembali nilai keadilan sebagai mahkota tata hukum. Esensi hukum menurutnya haruslah terarah pada rechtsidee yaitu keadilan. Dengan mengikuti ajaran Aristotles, Radbruch menggambarkan keadilan yang hendak diwujudkan itu dengan pernyataan ‘yang sama diperlakukan sama, dan yang tidak sama diperlakukan tidak sama’. Dalam pandangan Radbruch56 ada tiga unsur hukum yang dimaknai sebagai tujuan hukum, yaitu keadilan, finalitas (kemanfaatan), dan kepastian (legalitas). Dikataknnya, bahwa: 54 Achmad Ali Ibid, hal 288-298 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, Cet. III., April 2010, hal. 128-129 55 56 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Ibid., hal. 130 83 “Aspek keadilan menunjuk kesamaan hak di depan hukum. Aspek finalitas menunjuk pada tujuan keadilan, yaitu mamajukan kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum. Sedangkan aspek kepastian menunjuk pada adanya jaminan bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang menunjukan kebaikan) benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Dapat dikatakan, dua aspek yang disebut pertama merupakan kerangka ideal dari hukum. Sedangkan aspek ketiga (kepastian) merupakan kerangka operasional hukum” Pada awalnya, Radbruch meyakini bahwa ketiga unsur tersebut merupakan tujuan hukum yang dapat diwujudkan secara bersama-sama dalam berbagai masalah hukum. Namun, pandangan ini dikoreksinya sendiri. Berdasarkan kenyataan yang sering dialami, ia sadar bahwa hal tersebut mustahil diwujudkan secara seimbang. Dalam sistem hukum apa pun ketiga unsur nilai tersebut cenderung berbenturan. Benturan yang muncul kerap terjadi antara keadilan dan finalitas (kemanfaatan) atau antara finalitas dan legalitas. Hal ini sering tampak ketika seorang hakim memutuskan hukuman bagi seorang terdakwa. Menurut keadilan formal yang difahami dan diyakini hakim, putusan yang diambil adalah adil, namun putusan itu justru tidak memberi bermanfaat bagi masyarakat umum. Sebaliknya, ketika putusan dinilai 84 bermanfaat kepada masyarakat, kenyataannya justru menggerogoti keadilan bagi individu. Untuk mengatasi benturan, Radbruch memberikan solusi berupa penerapan hukum dalam dua model, yaitu penerapan hukum dengan model prioritas baku atau prioritas kasuistik. Prioritas baku, yaitu prioritas manakala ditentukannya terjadi benturan pilihan antara keadilan dan finalitas atau kepastian dalam mengadili masalah hukum. Dalam prioritas baku ini aspek keadilan merupakan prioritas utama, sedangkan aspek finalitas dan legalitas merupakan prioritas berikutnya. Seiring dengan makin kompleksnya perkembangan masyarakat, pendekatan prioritas baku ternyata kerap tidak memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Oleh karena itu, Radbruch menawarkan model kedua, yaitu Prioritas kasuistik. Penyelesaian masalah hukum dalam model ini dilakukan dengan pendekatan kasus per kasus. Untuk kasus-kasus tertentu mungkin aspek kemanfaatan dijadikan prioritas utama sementara aspek keadilan dan kepastian hukum menjadi prioritas berikutnya. Untuk kasus lain mungkin lebih memerlukan aspek keadilan ketimbang kemanfaatan dan kepastian hukum, maka prioritasnya diletakkan pada aspek keadilan 85 disusul kemanfaatan, baru kepastian, demikian seterusnya. Jalan pikiran terakhir, nampaknya lebih dapat diterima. Sebab dalam kenyataannya sistem hukum memang beragam. Hukum pun memiliki banyak bidang, dan setiap bidang memiliki tujuan masing-masing secara spesifik. Hukum pidana dan hukum privat memiliki tujuannya masingmasing. Demikian pula hukum formal dan hukum materil memiliki tujuan yang spresifik. Tampaknya spesifikasi seperti itulah yang dimaksudkan oleh Friedman dengan istilah alokasi nilai-nilai dalam hukum. Sesuai dengan kasus yang dihadapi perlu dialokasikan nilai apa yang tepat dan mendatangkan kebaikan bagi masyarakat. Peter Mahmud menyebutnya “damai sejahtera”.57 Kedamaian atau damai sejahtera itu 57 Dalam hal ini hukum ditempatkan sebagai bagian yang terintegrasi dengan kenyataan hidup bersama manusia dalam masyarakat. Dalam keadaan nyata, manusia selalu memiliki perbedaan dalam banyak hal, tak terkecuali kebutuhan dan citacita hidupnya. Perbedaan-perbedaan itu dikelola secara harmonis seperti dalam sebuah paduan suara. Dengan begitu setiap orang dalam kehidupan bersama berkesempatan mengekspresikan diri dan memenuhi kebutuhannya secara optimal dalam suasana harmonis dengan sesamanya. Hal-hal inilah yang diatur dan dilindungi oleh hukum, bukan untuk mewujudkan ketertiban tetapi keadaan damai sejahtera. Sebab ketertiban bolehjadi ada penindasan, kesenjangan, dan pengekangan perbedaan pendapat, sedangkan dalam keadaan damai sejahtera hal itu dikelola untuk mencapai kualitas kehidupan. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Cet ke-4 Agustus 2012, hal. 128-136 86 nampaknya melebihi nilai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semata. Dalam damai sejahtera itu terkandung keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Peter Mahmud menyatakan bahwa dalam masyarakat yang damai sejahtera, memang terdapat kelimpahan, tetapi yang kuat tidak menindas yang lemah sehingga setiap orang mendapatkan haknya melalui perlindungan hukum. Berdasarkan pemahaman tersebut tampak bahwa penggunaan ajaran Radbruch dalam mengalisis tujuan hukum di Indonesia, khususnya dalam penerapan UUY, dan lebih khusus lagi tentang eksekusi ketentuan peralihan UUY terhadap yayasan tampaknya sesuai dengan citacita hukum nasional dalam arti bahwa urutan prioritas dimaksud tidak bersifat kaku seperti teknik atau ilmu pasti. Dengan kata lain, penerapan urutan prioritas yang digagas Radbruch harus selalu ditempatkan dalam bentuk harmonisasi antara ketiganya. Bahwa prioritas pertama diletakkan pada aspek keadilan tidak berarti aspek kemanfaatan dan kepastian ditinggalkan sama sekali. Aspek kemanfaatan dan kepastian hukum tetap harus diupayakan secara harmonis dengan keadilan sejahtera guna mewujudkan sebagaimana 87 keadaan damai dikemukakan Peter Mahmud. Sikap ini bertitik tolak pada pendirian bahwa tujuan hukum pada akhirnya bukanlah pencapaian keadilan semata-mata, tetapi pengupayaan perwujudan kedamaian, kebahagiaan, dan kesejahteraan dalam kehidupan bersama. Hal inilah yang menurut penulis sesuai dengan norma dasar atau norma fundamental negara yang dicita-citakankan oleh masyarakat Indonesia sebagaimana tercermin dalam Pancasila. Pandangan tersebut tampaknya sejalan dengan gagasan Notohamidjojo58 tentang memanusiakan manusia dalam penyelenggaraan negara. Menurutnya, dalam menyelenggarakan negara berdasarkan Pancasila, negara memiliki tanggungjawab untuk memosisikan manusia sebagai objek, subyek, dan relasi. Sebagai objek, manusia merupakan sebuah sosok yang secara fisik dapat dilihat, dapat dicandra, dan dapat dideterminasikan dan diatur. Sebagai subyek, manusia itu adalah “aku” yang hidup di dunia nyata. Oleh sebab itu ia tidak hanya ditentukan, melainkan juga menentukan, memilih dan menentukan pilihan secara bebas karena ia bukan mesin tetapi pribadi yang tidak dapat dideterminasikan. Menurut Notohamidjojo, keadaan tersebut belum cukup. Manusia Indonesia juga merupakan 58 Tri Budiono (editor), O. Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Cet. I, November 2011, hal 55-62. 88 sesuatu yang berada dalam relasi dengan kenyataan, yaitu berada dalam relasi dengan sesama manusia dan alam. Dengan demikian, manusia Indonesia itu bukanlah manusia dalam kebebasan saja, melainkan kebebasan dan keterikatan atau kebebasan dalam tanggung jawab. Inilah alasan mengapa negara membuat hukum, UU, mengadili pelanggaran, mengawasi ketaatan individu terhadap hukum, dan mengambil tindakan untuk melayani kesejahteraan umum atau inisiatif sendiri yang bebas. Dalam kaitannya dengan UUY, tujuan hukum di atas merupakan acuan yang menjiwai pengaturan yayasan. Materi pengaturan dan pelaksanaannya diwarnai oleh cita hukum nasional dengan pendekatan ajaran Radbruch. dpa yang hendak diwujudkan, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tujuan hukum nasional, yaitu yang mendatangkan damai sejahtera sehingga manusia dalam yayasan merasa diri benar-benar dimanusiakan. Anggapan ini bertitik tolak dari prinsip bahwa ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUY memenuhi paling sedikit tiga syarat berikut: a. Yayasan yang ada di Indonesia dipahami sebagai lembaga yang tumbuh berdasarkan kondisi nyata masyarakat Indonesia. 89 b. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUY mampu menjawab kebutuhan yayasan berdasarkan kondisi nyata masayrakat. c. Bekerjanya hukum melalui UUY tidak sematamata didasarkan pada sifat UUY sebagai hukum positif yang harus diterapkan, tetapi karena UUY menjamin terciptanya keadaan damai sejahtera bagi yayasan. Apabila tiga syarat di atas terpenuhi dapat dipastikan bahwa ketaatan yayasan terahadap UUY tidak lagi didasarkan pada rasa takut pada sanksi, melainkan didasarkan pada kesadaran adanya nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang mendatangkan keadaan damai sejahtera itu dalam melaksanakan dan mengembangkan kegiatan yayasan. Apa dan bagaimana keadaan yang sesungguhnya dapat dicermati melalui uraian berikut. 3. Konsistensi Tujuan Hukum Dalam UU Yayasan Salah satu prinsip dalam pembentukan UU adalah asas kejelasan tujuan59, yaitu setiap pembentukan peraturan per-UU-an harus memunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Hal ini dimaksudkan agar rumusan-rumusan norma 59 Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang_undangan. 90 hukum dalam peraturan per-UU-an dapat dipahami dan dilaksanakan persis seperti yang dimaksudkan oleh pembuat UU. Tujuan tersebut biasanya tercermin pada konsideran60 sebagai jawaban atas pertanyaan mengapa sebuah UU perlu dibuat. Secara tersirat, ia merefleksikan lima landasan ideal pembuatan sebuah UU, yaitu landasan filosofi, sosiologis, politis, yuridis, dan landasan adminis-trastif. Dalam sebuah UU yang baik, empat yang disebut pertama (landasan filosofi, sosiologis, politis, dan yuridis) merupakan landasan mutlak ada dan dikemukakan secara eksplisit. Landasan yang disebut terakhir (landasan administrasi) bersifat fakultatif. Keempat landasan itulah yang kemudian dijabarkan secara operasional menjadi peraturan dalam pasal-pasal UU. Jimly Asshiddiqie61 menyatakan bahwa landasan filosofis merupakan landasan norma hukum yang merupakan cita-cita luhur yang diidealkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Beliau menyebutnya sebagai cermin cita-cita kolektif masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan da- Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Cet ke-2 September 2011, hal 117 60 61 Jimly Asshiddiqie, Ibid., hal 117-118 91 lam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan UU. Landasan sosiologis merupakan cerminan tentang tuntutan kebutuhan nyata dalam masyarakat akan norma hukum yang sesuai dengan kebutuhan nyata tersebut. Landasan politis mencerminkan rujukan konstitusi sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan UU. Di sini UU dipandang sebagai media untuk menyalurkan kebijakan operasional yang bersumber dari ideide, cita-cita, dan kebijakan politik yang terkandung dalam konstitusi. Sedangkan landasan yuridis adalah konstitusi, UUD 1945, hukum dasar, yang dijadikan rujukan UU yang dibentuk tersebut. Menurut teori pembentukan undang-undang, landasan filosofi, sosiologis, dan politis perlu dinyatakan secara eksplisit dalam konsideran menimbang. Fungsinya ialah sebagai jawaban dasar atas pertanyaan mengapa sebuah UU perlu dibentuk sekaligus menjadi patokan dasar dalam perumusan ketentuan atau peraturan yang ada pada pasal demi pasal. Dalam kenyataannya, UUY tidak begitu. Dasar pertimbangan UUY melulu aspek politis, sosial, dan yuridis sebagaimana terpapar di bawah. 92 “a. bahwa pendirian yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang yayasan; b. Bahwa yayasan di Indonesia telah berkembang dengan berbagai kegiatan, maksud, dan tujuan; c. Bahwa berdasarkan perimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, serta untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat, perlu membentuk undang-undang tentang yayasan.” Bila dicermati, konsideran di atas cenderung hanya memberi jawaban politis, sosial, dan yuridis atas pertanyaan mengapa UUY perlu dibentuk. Hal ini dapat dijelaskan pada telaah rumusan-rumusan konsideran UU No. 16 Tahun 2001 berikut. Pertama, pembentukan yayasan menurut konsideran a didasarkan pada dua pertimbangan (1) yayasan-yayasan yang didirikan sebelumnya hanya didasarkan pada kebiasaan; (2) belum ada peraturan per-UU-an. Kedua alasan ini mengarah pada pengambilan kebijakan. Dalam ilmu perUU-an alasan semacam itu disebut alasan politis. Kedua, alasan pada konsideran b ialah bahwa yayasan di Indonesia telah berkembang pesat dengan berbagai kegiatan, maksud, dan tujuan. 93 Asumsi di belakang alasan ini adalah kegiatan yang dilakukan yayasan yang didasarkan pada kebiasaan itu banyak yang menyimpang. Untuk mencegah hal itu di masa yang akan datang maka perlu dibuat UUY. Alasan dibuatnya UUY untuk mengendalikan pertumbuhan yayasan merupakan alasan politis. Ketiga, alasan pada konsideran c, ialah selain a dan b, juga menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas, maka alasan pembentukan UUY dianggap cukup. Untuk melengkapi konsideran a dan b, alasan bagian c merupakan penegasan alasan yuridis. Dengan tidak dicantumkannya landasan filosofi, secara teoritis menunjukkan ketiadaan konsistensi pembuat UUY dalam menegakkan supremasi hukum yang didasarkan pada norma fundamental negara, Pancasila. Hal ini tercermin pada pasal-pasal dalam UUY, antara lain dapat diketahui dengan tidak adanya penggolong-golongan yayasan berdasarkan latar belakang dan motivasi pendirian, bentuk, dan sasaran kegiatan. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa UUY belum mampu memosisikan diri sebagai salah 94 satu wadah untuk mewujudkan tujuan hukum berdasarkan amanat konstitusi dan filosofi bangsa. Apa yang ditonjolkan dalam UUY terbatas pada aspek ketertiban dan kepastian hukum. Konsekuensinya ialah yayasan yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan UUY, termasuk ketentuan peralihan pada Pasal 71, dapat saja diberikan sanksi berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (4), tetapi sanksi tersebut cenderung hanya menghasilkan nilai ketertiban dan kepastian hukum. Nilai keadilan dan kemanfaatan atau keadaan damai sejahtera sebagai tujuan hukum yang sesungguhnya malahan terabaikan. Pemberian sanksi seperti itu mengarah pada pengerdilan makna penegakan hukum menjadi sekedar penegakan undang-undang. Hal ini, tentu tidak dapat dibenarkan dalam hukum Indonesia, karena tindakan itu memosisikan masyarakat sebagai sekedar objek hukum. Hal tersebut akan memengaruhi keseluruhan ketentuan dalam UUY. Jika dikaitkan dengan eksekusi ketentuan peralihan bagi yayasan yang telah berdiri sebelum UUY, maka eksekusi tersebut tidak memiliki urgensi sebagai upaya mencapai tujuan hukum dalam UUY. Eksekusi secara paksa tanpa melihat yayasan kasus perkasus, akan mencederai cita hukum nasional. 95