Eksekutabilitas Ketentuan Peralihan Undang

advertisement
Bab II
Kerangka Teori
Perlu dikemukakan lebih dahulu bahwa UUY adalah
bagian dari sistem hukum Nasional1. Dalam posisi yang
demikian, UUY tidaklah berdiri sendiri. Ia senan-tiasa
bertautan dengan elemen lain dalam sistem hu-kum
guna mewujudkan tujuan hukum nasional. Hal ini
dibuktikan dengan asas, proses pembentukan, dan
lembaga pembentuknya mengacu pada ketentuan hukum nasional. Apa yang hendak dicapai oleh UUY merupakan bagian yang integral dari cita hukum nasional.
Bahasan berikut menjelaskan hal-hal di atas lebih
detail. Di bagian awal akan dibahas konsep yayasan
dalam beberapa sudut pandang, dilanjutkan dengan
bahasan posisi UUY dalam sistem hukum nasional,
serta posisi tujuan UUY dalam kerangka tujuan hukum
nasional. Bahasan ini diperlukan untuk membantu
memahami urgensi eksekusi ketentuan peralihan UUY
dalam upaya mencapai tujuan hukum nasional.
Dalam Alinea kedua penjelasan UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dijelaskan bahwa
sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di
Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu
dengan yang lain dalam rangkan mengantisipasi dan mengatasi
permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1
28
A. Konsep Yayasan
Istilah yayasan dan kegiatannya sudah lama
dikenal dan dilaksanakan di berbagai tempat, termasuk di Indonesia. Umumnya dipahami bahwa yayasan adalah sebuah lembaga atau organisasi yang
didirikan untuk melaksanakan misi sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Kendati demikian, bagaimana
ketiga misi itu dipahami dan dipraktekkan, cenderung beragam sesuai dengan penafsiran masingmasing penyelenggara yayasan. Hal ini terjadi karena sebelum adanya UUY, ketentuan tentang keberadaan yayasan belum diatur dalam ketentuan khusus.
Untuk mendapat gambaran tentang apa dan
bagaimana yayasan dipahami, berikut ini akan dikemukakan konsep yayasan sebagaimana diajarkan
oleh ahli hukum, pandangan masyarakat secara
umum, dan konsep yang dianut oleh UUY.
1. Yayasan Menurut Ahli Hukum
Tidak dapat dipungkiri bahwa para ahli
hukum umumnya memahami yayasan sebagai
salah satu bentuk badan hukum (rechtspersoon)
di samping badan hukum lain yang diakui dalam
pergaulan hukum. Ia digolongan sebagai badan
hukum karena secara konseptual dan empirik
ada unsur-unsur yang dimiliki badan hukum
yang juga terdapat pada yayasan. Untuk mema29
hami hal tersebut, berikut ini akan dikemukakan
beberapa pendapat mengenai badan hukum.
L.J. Van Apeldoorn2, merumuskan badan
hukum (purusa hukum) dalam dua pengertian,
yaitu:
1. Tiap-tiap persekutuan manusia, yang bertindak dalam pergaulan hukum seolah-olah
ia suatu “purusa” yang tunggal; 2. Tiap-tiap
harta dengan tujuan yang tertentu, tetapi
dengan tiada yang empunya, dalam pergaulan hukum diperlakukan seolah-olah ia suatu
purusa (yayasan).”
Dari batasan di atas tampak bahwa badan
hukum bukanlah manusia dalam arti individu
atau perseorangan. Badan hukum dapat berupa
persekutuan atau perkumpulan atau organisasi
manusia, dan dapat pula berupa harta yang
terpisah dari harta siapa pun, sehingga disebut
tidak ada yang mempunyainya, namun memiliki
tujuan tertentu. Pandangan ini agakya sama
dengan pandangan J.J. Dormeier dalam Chidir
Ali3, yang menyatakan bahwa:
“Istilah badan hukum dapat diartikan dua,
yaitu: a. Persekutuan orang-orang yang di
dalam pergaulan hukum bertindak selaku
2
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Pradnya
Paramita, Jakarta, Cet. ke-32, tahun 2008, hal 193-194
3
Chidir Ali, Badan Hukum, Penerbit Alumni Bandung, Cet. ke-4
2001,hal. 21
30
seorang saja; b. Yayasan, yaitu suatu harta
atau kekayaan, yang dipergunakan untuk suatu maksud yang tertentu dan diperlakukan
sebagai oknum.”
Chidir Ali4 sendiri, berpendapat bahwa titik
tolak dalam menentukan badan hukum adalah
jawaban atas pertanyaan apa itu subyek hukum.
Dalam hal ini, adalah manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat dan oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Menurutnya, hal terakhir itulah yang disebut badan hukum. Selanjutnya, jawaban atas pertanyaan siapa badan
hukum itu, maka titik tolaknya adalah siapa
subyek hukum menurut hukum pisitip, yaitu
manusia dan badan hukum. Jadi, siapa badan
hukum itu, akan sangat tergantung pada hukum
positip setiap negara.
Untuk
memerjelas
pengertian
pokok
itu
Chidir5, mengutip pandangan ahli lain seperti
Meijers yang menyatakan, badan hukum meliputi
sesuatu
yang
kewajiban;
menjadi
Logeman6,
pendukung
hak
dan
yang menyatakan, badan
hukum suatu personifikasi (personificatie), yaitu
sesuatu perwujudan (bestendingheid) atau penjel4
Chidir Ali, Ibid, hal. 18 dan 21
5
Chidir Ali, Ibid, hal. 18
6
Chidir Ali, Ibid, hal. 18
31
maan hak-kewajiban. Hukum organisasi, tegas
Logemann, menentukan struktur intern dari personifikasi tersebut; atau E. Utrecht7 yang menyatakan:
“badan hukum (rechtspersoon) yaitu badan
yang menurut hukum berkuasa (berwenang)
menjadi pendukung hak. Selanjutnya dijelaskan bahwa badan hukum ialah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat
yang bukan manusia.”
Selain pandangan di atas, masih ada pandangan lain tentang pengertian badan hukum,
namun karena varian dari pandangan di atas,
maka tidak disebutkan di sini. Kesimpulan Chidir
Ali, bahwa badan hukum merupakan gejala
kemasyarakatan, gejala nyata, benar-benar ada
dalam pergaulan hukum, sekalipun tidak berwujud manusia atau berbentuk benda nyata lainnya
seperti besi atau kayu bisa diterima. Yang paling
penting dalam pergaulan hukum, simpul Chidir
Ali, ialah bahwa badan hukum itu memunyai
kekayaan (vermogen) yang sama sekali terpisah
dari kekayaan anggotanya, yaitu apabila badan
hukum itu berbentuk korporasi.
Dari pengertian di atas tampak bahwa badan
hukum dapat memiliki banyak bentuk. Ia dapat
merupakan persekutuan individu yang menyatu7
Chidir Ali, Ibid, hal 18
32
kan diri dalam satu persekutuan, dapat berbentuk organisasi seolah-olah satu individu atau
persoon (person), tetapi bukan atau tidak sama
dengan manusia. Hal ini dapat dilihat pada
badan hukum seperti perseroan terbatas yakni
badan hukum yang memiliki anggota dan memiliki hak-kewajiban sendiri yang terpisah dari hakkewajiban masing-masing anggota. Oleh karena
itu, ia merupakan personifikasi atau perwujudan
dari hak dan kewajiban, yang memiliki kewenangan hukum untuk melakukan hubunganhubungan hukum.
Badan hukum juga dapat berupa harta yang
memiliki tujuan tertentu tetapi tanpa ada seorang
pun individu yang memilikinya tetapi diperlakukan seolah-olah ia suatu purusa seperti halnya
manusia. Bentuk yang terakhir ini mirip dengan
pendapat R. Ali Rido8 yang menyatakan bahwa :
“Sering terjadi dalam suatu organisasi yang
bersifat hukum publik sebagai negara atau
bahwa seorang manusia memisahkan suatu
harta kekayaan tertentu untuk memperjuangkan suatu tujuan tertentu. Dalam hal ini
yang pertama dinamakan Lembaga Umum
(instelling) dan yang kedua adalah yayasan.
Dengan demikian, kita menemukan keoknuman (rechtspersoonlijkheid) tidak hanya
8 R. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum
Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Pen. Alumni
Bandung, Cet. ke-3, 2012, hal. 3
33
pada suatu korporasi, tetapi juga pada instelling dan pada yayasan.”
Dalam pergaulan hukum, status atau kedudukan hukum atau kewenangan hukum badan
hukum itu, entah berupa persekutuan manusia
maupun harta kekayaan yang dipisahkan, tidak
timbul dengan sendirinya, melainkan karena
diberikan oleh hukum. Hal ini, sejalan dengan
pendapat Van Apedoorn9, bahwa kewenangan
hukum (persoonlijkheid) ialah kecakapan untuk
menjadi pendukung (subyek) hukum. Kewenangan ini merupakan suatu sifat yang diberikan oleh
hukum obyektif dan hanya boleh dimiliki oleh
mereka yang diberikan oleh hukum.
Pandangan Apeldoorn itu memberi petunjuk
bahwa tidak setiap persekutuan atau harta yang
dipisahkan untuk tujuan tertentu dapat disebut
badan hukum. Ia dapat disebut badan hukum
apabila diakui oleh hukum, dan agar diakui oleh
hukum, sudah barang tentu ada syarat-syarat
yang wajib dipenuhi oleh persekutuan manusia
tersebut atau harta kekayaan yang dipisahkan
itu sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan
hukum positip.
Pertanyaan
yang
muncul
ialah
mengapa
manusia perlu mengadakan persekutuan? Atas
9
L.J. Van Apeldoorn, Op.cit, hal. 191
34
pertanyaan ini, R. Ali Rido10 berpendapat bahwa
“manusia mempunyai kepentingan perseorangan
(individueel), sehingga untuk melindunginya perlu
hak. Di samping itu, dalam kenyataannya manusia mempunyai kepentingan bersama. Kepentingan bersama atau suatu tujuan tertentu diperjuangkan bersama dengan cara mereka berkumpul
dan menyatukan diri, lalu membentuk organisasi
serta memilih pengurus yang mewakili mereka.
Untuk mencapai maksud itu, mereka mengumpulkan harta kekayaan, menetapkan peraturanperaturan bertingkah laku bagi mereka dalam
hubungan satu dengan lainnya. Hal ini dilakukan
karena dalam setiap hal mustahil mereka lakukan secara bersama-sama.
Pendapat Ali Rido itu disetujui Chidir Ali11
dengan menyatakan:
“Hukum memberikan kemungkinan bahwa
suatu perkumpulan atau badan lain dianggap
sebagai orang, yang merupakan pembawa
hak, suatu subyek hukum dan karenanya
dapat menjalankan hak-hak seperti orang
biasa, dan begitu pula dapat dipertangunggugatkan. Sudah barang tentu badan hukum
ini bertindaknya harus dengan perantaraan
orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak
itu tidak bertindak untuk dirinya sendiri me10
R. Ali Rido, Op.cit, hal. 2
11
Chidir Ali, Op.cit. hal. 20
35
lainkan untuk dan atas pertanggung-gugat
badan hukum.”
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa badan hukum memiliki ciriciri: ia merupakan perkumpulan orang atau organisasi, memiliki harta kekayaan yang terpisah
dari kekayaan anggota-anggotanya atau harta
kekayaan yang dipisahkan itu sendiri, memiliki
tujuan tertentu, dapat melakukan perbuatanperbuatan hukum dalam hubungan-hubungan
hukum, memiliki pengurus, memunyai hak dan
kewajiban, dapat digugat dan menggugat di depan pengadilan, dan merupakan gejala nyata dalam pergaulan hukum.
Sekalipun badan hukum berupa persekutuan
dan harta (yayasan) terkesan sama, namun di
antara dua golongan badan hukum itu terdapat
perbedaan. Menurut Rido Ali:
“Pada yayasan dan Lembaga Umum (instelling) dipisahkan suatu kekayaan tertentu,
diadakan suatu organisasi dengan tujuan
tertentu yang memunyai kekayaan tersendiri
yang terpisah, yaitu harta yang diberi tujuan
yang dipisahkan oleh seorang manusia dalam
hal yayasan dan oleh negara dalam hal Lembaga Umum. Agar organisasi itu dapat mencapai tujuannya, diadakan untuk itu suatu
pengurus...”
Dikaitkan dengan teori-teori yang mencari
dasar hukum dari badan hukum, tampak bahwa
36
para ahli tidak memiliki kesepakatan pandangan
terhadap perwujudan berbagai bentuk badan
hukum. Chidir Ali12 menggolongkan teori-teori
yang ada dalam dua golongan besar, yaitu
golongan yang meniadakan persoalan badan
hukum,
dan
lainnya
adalah
golongan
yang
memertahankan persoalan badan hukum.
Yang termasuk golongan pertama antara lain
adalah teori organ yang dipelopori oleh Otto Von
Gierke dan teori kekayaan bersama oleh Rudolf
Von Jhering, sedangkan teori lainnya antara lain
teori fiksi oleh Friedrich Carl Von Savigny, teori
kekayaan bertujuan oleh A. Brinz, dan teori
kenyataan yuridis oleh E.M. Meijers dan dianut
oleh Paul Scholten.
Penganut teori fiksi13 misalnya menyatakan
bahwa
hanyalah
manusia
yang
memunyai
kehendak, sedangkan badan hukum tidak. Lagi
pula badan hukum itu hanyalah suatu abstraksi,
fiksi, hanya merupakan buatan pemerintah atau
negara, bukan sesuatu yang konret. Oleh karena
itu, badan hukum tidak mungkin menjadi subyek
dari hubungan hukum.
12
13
Chidir Ali, Ibid. hal. 30
Chidir Ali, Ibid., hal. 31-32; R. Ali Rido, Op.cit, hal. 7-8.
37
Yang searah dengan itu adalah teori kekayaan bertujuan.14 oleh A. Brinz. Menurut teori ini
yang
dapat
menjadi
subyek
hukum
hanya
manusia. Badan hukum bukan subyek hukum.
Hak-hak yang diberikan kepada suatu badan
hukum pada hakekatnya adalah hak-hak yang
tidak memiliki subyek hukum. Kekayaan badan
hukum menurut teori ini bukanlah hak-hak
sebagaimana lazimnya, yaitu adanya manusia
sebagai pendukung hak, melainkan kekayaan
tersebut telepas dari manusia pemegangnya dan
diurus untuk tujuan tertentu.
Pandangan yang sebaliknya mengakui badan
hukum sebagai subyek hukum. Prinsip pandangan ini ialah bahwa manusia bukanlah satusatunya subyek hukum, pendukung hak-hak dan
kewajiban-kewajiban. Selain manusia, ada subyek hukum lain, yang juga merupakan pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban, yaitu
apa yang disebut badan hukum.
Gierke misalnya menjelaskan, badan hukum
itu bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi sebuah realita yang memiliki sifat yang sama dengan
alam manusia dalam pergaulan hukum. Melalui
alat-alat atau organnya seperti pengurus atau
anggotanya, badan hukum memiliki kehendak
14
. R. Ali Ridho, Ibid., hal. 8.
38
atau kemauan yang dibentuk oleh dan melalui
alat-alat atau organ tersebut.
Badan hukum menurut teori ini bukanlah
suatu kekayaan atau hak yang tidak bersubyek,
tetapi nyata ada. Lagi pula, persoalan badan
hukum bukanlah soal nyata tidak nyata seperti
manusia
dalam
kualitasnya
sebagai
subyek
hukum. Kualitas subyek hukum pada manusia
dan
badan
hukum
sama-sama
tidak
dapat
ditangkap dengan panca indera, dan bertindaknya bukan pula dalam kesatuan wujud orang
atau badan hukum, tetapi melalui organ dari
orang atau badan hukum tersebut.
Mirip dengan teori organ, teori kekayaan
bersama yang menyatakan bahwa badan hukum
adalah kumpulan manusia. Kepetingan badan
hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya.
Badan
hukum
menurut
teori
ini, bukanlah
abstraksi dan bukan organisme. Hak dan kewajiban badan hukum menurut teori ini adalah hak
dan kewajiban anggotanya bersama-sama, tanggung jawab bersama. Mereka berhimpun dalam
satu kesatuan dan membentuk suatu pribadi
yang disebut badan hukum. Jadi, badan hukum
dipandang sebagai konstruksi yuridis.
Selain teori-teori di atas, masih banyak teori
lain seperti teori Leer Van Het Ambtelijk Vermogen
(Teori tentang harta kekayaan yang dimiliki
39
Seseorang dalam Jabatan), teori Leon Duguit,
dan tentu masih banyak yang lain. Teori-teori
tersebut tampaknya tak perlu dibahas, sebab
selain merupakan varian dari teori yang sudah
dikemukakan, tidak seluruhnya cocok diterapkan
pada badan hukum, termasuk yayasan. Contohnya adalah teori kekayaan bersama. Bila dicermati, tampak bahwa teori tersebut hanya cocok
untuk badan hukum yang memunyai anggota,
tetapi tidak cocok bagi yayasan. Teori yang cocok
bagi yayasan adalah teori kekayaan bertujuan
karena tidak memunyai anggota dan teori harta
kekayaan seseorang dalam jabatan (Leer van het
ambtelijk vermogen).15
Pertanyaannya ialah apa yang dimaksud
dengan yayasan dan mengapa ia disebut badan
hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu
dikemukakan pandangan beberapa ahli hukum.
Para sarjana hukum Belanda16 misalnya berpendapat, bahwa:
15 Menurut teori ini, harta kekayaan yang dimiliki seseorang dalam
jabatannya adalah suatu hak yang melekat pada suatu kualitas.
Bagi teori ini, tidak mungkin memunyai hak jika tidak dapat
melakukan hal itu. Tanpa daya kehendak (wilsvermogen) tidak ada
kedudukan sebagai subyek hukum. Ini konsekuensi luas dari teori
yang menitik beratkan pada daya kehendak. Untuk badan hukum
yang berkehendak adalah pengurus. Dalam kualitas sebagai
pengurus mereka adalah berhak, maka dari itu disebut ambtelijk
vermogen. Chidir Ali, Op.cit., hal. 33.
16
Chidir Ali, Ibid. hal 86
40
Stichting (yayasan) adalah suatu badan
hukum yang berbeda dengan badan hukum
perkumpulan atau perseroan terbatas, tidak
memunyai anggota atau persero, oleh karena
apa yang Stichting dianggap badan hukum
adalah sejumlah kekayaan berupa uang dan
lain-lain benda kekayaan.
Dari pandangan di atas diketahui bahwa
yang disebut yayasan adalah harta kekayaan,
baik berupa uang maupun bentuk lain. Ia mirip
dengan perkumpulan, tetapi tidak sama dengan
perkumpulan atau perseroan sebagaimana diatur
dalam hukum positip, karena harta kekayaan
tersebut tidak memunyai anggota.
Memerjelas pandangan di atas, perlu ditinjau
pandangan Paul Scholten17 yang menyatakan:
Yayasan adalah suatu badan hukum yang
dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak.
Pernyataan tersebut harus berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan
tertentu, dengan menunjukkan cara kekayaan itu diurus dan digunakan.
Dengan rumusan itu, tampak bahwa kekayaan yang disebut badan itu lahir dari pernyataan sepihak. Tentu saja pernyataan dimaksud
adalah tertulis dan istilah pihak menunjuk pada
pendiri. Isi pernyataan, tidak lain adalah pernyataan tentang pemisahan kekayaan dari kekayaan
17
Chidir Ali, Ibid, hal. 86.
41
pendiri. Secara tegas pula disebutkan pemisahan
kekayaan tersebut dan pengurusannya adalah
semata-mata untuk mencapai tujuannya.
N.H. Bregstein18 menambahkan bahwa:
Yayasan adalah suatu badan hukum yang
didirikan dengan suatu perbuatan hukum,
yang tidak bertujuan untuk membagikan
kekayaan dan/atau penghasilan kepada pendiri atau pengurusnya di dalam yayasan itu
atau kepada orang-orang lain, kecuali untuk
tujuan idiil.
Pandangan Bregstein rupanya memerjelas
tujuan kekayaan yang dipisahkan tersebut beserta penghasilan yang diperoleh darinya bukanlah
untuk kepentingan pendiri. Oleh sebab itu tidak
patut dibagikan kepada pendiri, pengurus, atau
siapa pun jika bukan bertujuan idiil.
W.L.G Lemaire19 kemudian menambahkan:
Yayasan diciptakan dengan suatu perbuatan hukum, yakni pemisahan suatu harta
kekayaan untuk tujuan yang tidak diharapkan keuntungan (altrustische doel) serta
penyusunan suatu organisasi (berikut pengurus), dengan mana sungguh-sungguh dapat
terwujud tujuannya dengan alat-alat itu.
Dari Lemaire diketahui pemisahan kekayaan
tersebut bukan bertujuan mencari keuntungan.
18
Chidir Ali, Ibid, hal. 86.
19
Chidir Ali, Ibid, hal. 86.
42
Oleh karena itu diperlukan suatu organisasi dan
pengurus sebagai alat organisasi, alat yayasan,
untuk mencapai tujuannya.
Lebih lanjut Meijers20 menyatakan bahwa
pada yayasan pokoknya terdapat :
Penetapan tujuan dan organisasi oleh para
pendirinya; tidak ada organisasi anggotanya;
tidak ada hak bagi pengurusnya untuk mengadakan perubahan yang berakibat jauh dalam tujuan dan organisasi; perwujudan dari
suatu tujuan, terutama dengan modal yang
diperuntukkan untuk itu.
Pendapat Meijers ini menekankan pentingnya
tujuan yayasan di mana pengurus hanya boleh
bertindak
untuk
mengupayakan
pencapaian
tujuan itu. Pengurus tidak boleh melakukan
perubahan yang sifatnya mengubah atau mengakibatkan perubahan pada tujuan yayasan, terutama mengenai modal atau kekayaan yang diperuntukkan untuk tujuan tersebut.
Menegaskan apa yang dikemukakan Mijers di
atas, A. Pitlo21 memberi uraian sebagai berikut:
Sebagaimana hanya untuk tiap-tiap perbuatan hukum, maka untuk pendirian yayasan
harus ada sebagai dasar suatu kemauan
yang sah. Pertama-tama harus ada maksud
untuk mendirikan suatu yayasan, selanjut20
Chidir Ali, Ibid, hal. 86
21
Chidir Ali, Ibid, hal. 87
43
nya perbuatan hukum itu harus memenuhi
tiga syarat materiil, yakni adanya pemisahan
kekayaan, tujuan, dan organisasi, dan satu
syarat formal, yakni surat. Yayasan adalah
suatu badan hukum tanpa diperlukan
campur tangan penguasa (pemerintah).
Dari uraian itu, tampak bahwa aspek yang
ditekankan A. Pitlo adalah kemauan yang sah.
Kemauan sah ini tampaknya menunjuk pada
suatu keinginan untuk melakukan sesuatu yang
bermanfaat dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
harus sesuai dengan nilai-nilai yang diterima
masyarakat dan dan diakui oleh hukum positip.
Jika itu terpenuhi, maka syarat materil dan
formal perlu dipenuhi guna memenuhi prosedur
hukum. Dengan terpenuhinya semua aspek itu
maka pemerintah tidak perlu turut campur
dalam kelembagaan dan kegiatan yayasan.
Secara lebih lengkap, Van Apeldoorn menjelaskan demikian:
Yayasan (stichting) adalah harta yang memunyai tujuan yang tertenyu, tetapi dengan tiada yang empunya. Juga suatu kenyataan,
bahwa dalam pergaulan hukum ia diperlakukan seolah-olah suatu purusa. Contohnya,
orang menghibahkan, menjual, mewariskan
barang-barang pada suatu rumah yatim
piatu, rumah sakit, gereja. Konstruksi yuridis
dari peristiwa itu adalah harta dengan tujuan
tertentu, tetapi tidak dapat ditunjuk suatu
subyek, sehingga dalam pergaulan hukum
44
diperlakukan seolah-olah ia adalah subyek
hukum.
Berdaarkan beberapa pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa yayasan memiliki beberapa
unsur, yaitu:
a. Terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dari
kekayaan pendiri;
b. Memiliki tujuan tertentu yang sesuai dengan
nilai-nilai masyarakat dan sah secara hukum;
c. Tidak mencari keuntungan;
d. Memiliki organisasi;
e. Kegiatan yang dilakukan melulu untuk mewujudkan tujuan yayasan;
f. Memiliki alat perlengkapan organisasi, yaitu
pengurus;
g. Didirikan secara sepihak tanpa ada campur
tangan penguasa atau pemerintah;
h. Didirikan dengan memenuhi syarat materiil
dan syarat formal, surat pernyataan;
i. Kedudukannya dalam hukum dipersamakan
dengan manusia sebagai subyek hukum.
Berdasarkan jalan pikiran di atas, dapat
disimpulakan bahwa konsep yayasan memiliki
kesamaan dengan konsep badan hukum yang
lain tetapi dengan bentuk, tujuan, dan cara pengorganisasiannya berbeda. Utamanya mengenai
tujuan pendirian, kedudukan kekayaan, dan kedudukan pendirinya. Bagi yayasan, aspek tujuan
45
adalah yang pokok. Aspek inilah yang menjadi
faktor pengikat dan pemilik hak atas kekayaan
badan hukum, sementara pendiri dan pengurus
hanyalah alat organsiasi yang bertindak untuk
dan
atas
nama
yayasan
guna
mewujudkan
tujuan yayasan.
Dari uraian itu pula diketahui bahwa yayasan
dalam
pandangan
para
ahli
hukum
sudah
merupakan badan hukum. Status ini melekat
pada diri yayasan atau harta yang dipisahkan itu
untuk mencapai tujuan peruntukannya. Dengan
kata lain, status badan hukum yayasan diperoleh
tidak didasarkan pada prosedur khusus, tetapi
pada terpenuhinya unsur
sahkan
untuk
organisastoris
tujuan
diurus
kekayaan yang dipi-
tertentu
oleh
yang
secara
pengurus
untuk
mencapai tujuan tertentu tersebut.
2. Yayasan Menurut Pemahaman Masyarakat.
Sebelum adanya UUY, pemahaman masyarakat Indonesia tentang yayasan dapat dikatakan
sangat beragam. Sekalipun istilah dan kegiatan
yayasan sudah dikenal dan dipraktekkan namun
karena belum adanya ketentuan yang mengatur
keberadaan yayasan dalam suatu aturan khusus,
maka dalam mendirikan yayasan masyarakat
cenderung
melakukan
penafsiran
pemahaman masing-masing.
46
berdasakan
Secara konsptual memang dipahami bahwa
yayasan adalah lembaga yang bermisi sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan, namun dengan
tidak adanya ketentuan khusus tersebut, tidak
jarang orang mendirikan yayasan untuk tujuan
bisnis. Banyak yayasan didirikan dengan motivasi mencari keuntungan dengan atau tanpa
ditonjolkan seperti misi sosial, keagamaan, atau
kemanusiaan.
Pada bab sebelumnya, hal tersebut sudah
diuraikan. Sekedar contoh, dapat disebutkan
yayasan penyelenggara pendidikan dan rumah
sakit. Banyak yang mendirikan yayasan dan
menyelenggarakan pendidikan atau rumah sakit
dari kekayaan satu atau beberapa orang pendiri,
dan mengelolanya seperti halnya perusahaan
pada umumnya. Pendiriannya memang selalu
bermotif sosial dan kemanusiaan. Akan tetapi,
status yayasan umumnya dianggap sebagai hak
milik
pendiri
sehingga
kekayaan
awal
dan
penghasilan atau keuntungan (kalau ada) yang
didapatkan dari usaha yayasan dikolola oleh
pendiri sebagaimana lazimnya harta kekayaan
pribadi.
Salah satu contoh adalah Yayasan Perguruan
Pembangunan Daerah Nias di Gunungsitoli (secara resmi disingkat YAYASAN PEMBDA NIAS),
Propinsi Sumatera Utara.
47
Motivasi pendirian
yayasan ini memang bukan bisnis. Benar-benar
dimaksudkan untuk memajukan pendidikan di
Nias. Sejak didirikan pada tahun 1970, yayasan
ini telah memberikan
kontribusi besar bagi
pengembangan pendidikan di Nias, khususnya di
tingkat SMP, SMA dan Sekolah Kejuruan.22 Pada
tahun pelajaran 2014/2015, jumlah siswa di
seluruh sekolah di yang dikelola yayasan lebih
2.000 orang.
Yayasan
ini
menyelenggarakan
5
(lima)
sekolah, yaitu 2 (dua) unit SMP, 2 (dua) unit
SMA, dan 1 (satu) unit SMK. Hal ini diawali
dengan pendirian STM Pembda (sekarang SMK
pembda)
pada
tahun
1970,
kemudian
SMP
Pembda-1 tahun 1978, SMA Pembda-1 tahun
1979, SMP Pembda-2 dan SMA Pembda-2 tahun
1982 oleh 8 (delapan) orang pendiri. Biaya awal
bersumber dari harta kekayaan pribadi para
pendiri, mulai dari pengadaan tanah, mendirikan
bangunan secara berangsur-angsur, sampai pada
penyediaan peralatan pengajaran.
Sejak awal yayasan tersebut dikelola langsung oleh pendiri, yaitu dengan menugaskan
salah seorang pendiri menjadi Ketua Yayasan
yang sehari-hari mengurus yayasan. Untuk mem22 Wawancara via telpon dengan KS. Halawa, salah seorang
Pengurus Harian Yayasan PEMBDA Gunungsitoli, tanggal 12
September 2014.
48
bantu Ketua Yayasan diangkat bendahara yayasan dan beberapa staf sekretariat untuk menangani administrasi yayasan. Penghasilan dari
berbagai kewajiban resmi siswa di lima sekolah
tersebut terutama dipakai untuk mengembangkan kegiatan pendidikan, namun bila ada keuntungan maka keuntungan tersebut dibagi kepada
para pendiri berdasarkan ketentuan yang mereka
tetapkan sendiri.
Setelah Ketua Yayasan meninggal dunia,
posisi ketua pengurus yayasan diwariskan kepada salah seorang anak beliau dan masih tetap
dikelola seperti sebelumnya, walaupun organisasi
organ yayasan sudah diatur dalam angaran dasar
yayasan setelah dilakukan penyesuaian dengan
ketentuan UUY pada tahun 2009. Bagi mereka,
Yayasan PEMBDA Nais adalah milik keluarga dari
8 (delapan) pendiri tersebut.
Sekalipun demikian, di kalangan masyarakat
ada juga yang mendirikan yayasan melulu untuk
kepentingan sosial. Contohnya adalah yayasan
yang memelihara anak-anak miskin, anak-anak
terlantar, anak-anak cacat, yatim-piatu, atau
kaum jompo, dan sebagainya. Contoh lain adalah
pendirian Lembaga Wakaf. Di antaranya, ada
yang melulu untuk kepentingan sosial seperti
penghibahan harta dan tanah untuk mendirikan
mesjid dan berbagai perlengkapan ibadah. Dalam
49
Islam wakaf ini disebut wakaf khairi. Selain
wakaf khairi, ada juga wakaf dzuuri, yaitu wakaf
dengan memeruntukkan sebagai dari kekayaan,
dan kekayaan tersebut lebih bersifat warisan
untuk kepentingan anak-cucu si pemberi wakaf
atau wakif.
Sebelum adanya UUY, yayasan-yayasan yang
ada di Indonesia, termasuk yayasan tersebut di
atas, umumnya didirikan dengan akta notaris
dengan atau tanpa didaftarkan di Pengadilan
Negeri setempat.
3. Yayasan menurut UUY
Berbeda dengan buku teks, konsep yayasan
dalam UU tidak dijelaskan. Yang ada hanyalah
pengertian umum sebagaimana dinyatakan pada
Pasal 1 ayat (1) UUY sebagai berikut:
“yayasan adalah badan hukum yang terdiri
atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di
bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan”.
Rumusan di atas ada kemiripannya dengan
teori A. Brinz sebagaimana telah disebutkan di
depan. Hanya saja Brinz tidak mengakui yayasan
sebagai subyek hukum, sebab yang menjadi subyek hukum menurut beliau hanya manusia saja.
Kesamaan antara Brinz dan rumusan di atas
adalah bahwa kekayaan yang dipisahkan itu
50
tidak terikat kepada siapa pun selain kepada
tujuannya. Bagi UUY, unsur ini menjadi unsur
pokok yang ditetapkan sebagai faktor pembentuk
badan hukum.
Dengan penegasan itu tampak bahwa sebuah
yayasan disebut badan hukum apabila ia memiliki kekayaan yang dipisahkan terlepas dari kekayaan pendiri, dan pendiriannya melulu dimaksudkan untuk kepentingan sosial, keagamaan,
dan kemanusiaan. Ketiga tujuan ini memang
tidak harus dicakup secara lengkap oleh tiap
yayasan. Yayasan boleh hanya fokus pada satu
atau dua bidang, tetapi bisa juga ketiga-tiganya.
Yang terpenting pada rumusan pasal tersebut
ialah bahwa kekayaan yayasan adalah kekayaan
yang dipisahkan dari kekayaan pendiri dan
semata-mata dimaksudkan untuk tujuan sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan. Apabila hal-hal
tersebut terpenuhi, maka yayasan dimaksud
diakui sebagai badan hukum. Sebaliknya, badan
hukum yang demikian merupakan yayasan.
Berdasarkan
rumusan
Pasal
1
ayat
(1)
tersebut, tampak bahwa UUY mengonstruksi
konsep yayasan dalam satu bentuk yang sama
dan tunggal. Hal ini dapat diketahui dalam
jabaran pengaturan yayasan pada pasal-pasal
selanjutnya. Contohnya adalah rumusan Pasal 2
tentang organ yayasan yang diimplementasikan
51
secara
rinci
pada
beberapa
pasal
tentang
pembina, pengurus, dan pengawas pada Pasal 28
– Pasal 47. Demikian pula ketentuan Pasal 5
tentang kekayaan yayasan dan ketentuan pada
Pasal 3, Pasal 7, dan Pasal 8 tentang usaha atau
badan usaha yang dapat diselenggarakan oleh
yayasan. (lihat bahasa detail pada bab III, B.3.b.
dan c. pada halaman 117-135).
Dalam pasal-pasal tersebut yayasan dikonstruksi sebagai sebuah lembaga yang bentuknya
pasti sama dari aspek organ dan kewenangannya,
struktur organisasi, status kekayaan yayasan,
dan larangan-larangan kepada pengurus. Perbedaan-perbedaan yang nyata ada dalam yayasan
dianggap tidak penting sehingga tidak perlu diatur. Akibatnya, materi pengaturan UUY tampak
banyak yang janggal dan terkesan bukan mengatur yayasan yang nyata ada, melainkan yayasan
yang dibayangkan ada.
Untuk menjelaskan hal tersebut dapat ditinjau
ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001
yang mengatur siapa saja yang dapat mendirikan
yayasan. Rumusannya demikian: “Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai
kekayaan awal.” Istilah “orang”23 dalam ayat
23
Penjelasan Pasal 9 ayat (1), UU No. 16 tahun 2001
52
tersebut diartikan sebagai orang perseorangan
atau badan hukum24.
Persoalannya ialah penyamaan posisi orang
perseorangan dan orang dalam arti beberapa orang tampaknya kurang tepat. Dalam prakteknya
penyamaan tersebut dapat menimbulkan masalah hukum yang mengakibatkan ketidak-adilan
yang justru bertentangan dengan tujuan hukum.
Pandangan ini didasarkan pada tiga argumen
berikut:
a. Perbedaan Secara Konseptual. Secara konseptual orang perseorangan berbeda dengan orang dalam arti beberapa orang. Perbedaan
juga dapat tampak atau ditampakkan dalam
hal inisiatif pendirian yayasan. Yayasan dengan inisiatif pendiri berbeda dari inisiatif
pewaris seperti wakaf, dan inisiatif orangorang dalam korporasi. Demikian pula motivasi dan tujuan mendirikan yayasan, kekaya-
Dalam pandangan hukum positip, penyamaan orang perseorangan dan badan hukum sebagai pihak yang berhak mendirikan
yayasan memang sah karena telah menjadi doktrin yang diakui
oleh hukum positip. Akan tetapi dalam kenyataannya pemosisian
orang perseorangan dengan latar belakang diri sendiri secara
pribadi dan orang perseorangan dengan latar belakang sebagai
perwakilan badan hukum, baik badan hukum publik maupun
korporasi memiliki perbedaan yang cukup dignifikan. Penghayatan
atau sense of belonging orang-orang seperti ini terhadap yayasan
bisa sangat berbeda yang berakibat pada cara padanganya
terhadap status yayasan serta segala kegiatannya.
24
53
an awal dan sumber dana, penggunaan kekayaan setelah yayasan berdiri, dan sebagainya.
b. Perbedaan Wujud. Wujud nyata dari yayasan
juga berbeda-beda sesuai dengan latar belakang pendirian ataupun sasaran kegiatannya.
Yayasan yang bertujuan sosial dengan kegiatan memelihara anak-anak cacat, anak-anak
terlantar, kaum jompo, mengurus kematian,
berbeda dengan yayasan yang menyelenggarakan pendidikan atau rumah sakit, dan
berbeda pula dengan yayasan yang didirikan
untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan
dalam sebuah instansi.
c. Perbedaan Sumber Kekayaan. Yayasan yang
didirikan dengan kekayaan awal bersumber
dari pemisahan kekayaan pribadi berbeda dengan yayasan yang kekayaan awalnya bersumber dari wakaf. Demikian pula dengan yayasan yang kekayaan awalnya bersumber dari
keuangan negara seperti pada Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia, yayasanyayasan dalam lingkungan Tentara Nasional
Indonesia atau di berbagai BUMN atau BUMD.
Kekayaan awal dari perseorangan atau wakaf adalah kekayaan pribadi yang tak ada
hubungannya dengan publik. Kekayaan awal
yang bersumber dari keuangan negara, ins54
tansi pemerintah, berkaitan dengan publik.
Sudah tentu penggunaan kekayaan yayasan
yang sumbernya dari instansi pemerintah,
tidak tepat kalau hanya dimanfaatkan untuk
menyejahterakan karyawan atau mantan karyawan pada instansi bersangkutan. Uang
negara adalah milik umum. Jika milik umum
dipakai untuk kepentingan sebagian orang,
maka tindakan itu dapat digolongkan sebagai
penyelewengan atas keuangan negara25. Uang
negara yang ada dalam BUMN/BUMD kemudian dipisahkan sebagai modal awal yayasan
tetap merupakan kekayaan negara26.
Perbedaan yang dikemukakan di atas memang
tidak selalu menimbukan masalah apabila diatur
Lihat UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 1
ayat (1), yang menyatakan bahwa keuangan negara adalah semua
hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban tersebut; jo ayat (10) Pengeluaran negara adalah
uang yang keluar dari kas negara; dan jo ayat (17), yang
menyatakan bahwa Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang
perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima
kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun
tahun-tahun anggaran berikutnya.
25
Pasal 2 huruf g UU No. 17 Tahun 2003 menyatakan bahwa
“kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta
hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan
yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah.
26
55
berdasarkan kenyataan. Van Apeldoorn27 menyatakan bahwa:
Hukum objektif mengatur pelbagai hubungan.
Peraturan itu adalah baik jika ia cocok dengan
sifat hubungan-hubungan yang diaturnya,
sebab peraturan itu harus sesuai dengan apa
yang diautur.
Oleh karena itu, isi peraturan-peraturan hukum itu bergantung pada hakekat hubungan
yang diaturnya. Pengaturan hubungan adalah
pengaturan kepentingan-kepentingan dari
yang bersangkutan, karena hubungan hukum
adalah kepentingan-kepentingan yang mendapat perlindungan. Jadi, isi pengaturan hukum bergantung kepada hakekat kepentingankepentingan yang diatur oleh hukum.
Apa yang ditekankan Apeldoorn di atas, tampaknya terlewat dari perhatian pembentuk UUY.
Keadaan inilah yang berpotensi menimbukkan
masalah hukum, sebab mengatur hal-hal yang
berbeda secara sama atau menerapkan ketentuan hukum yang sama pada hal-hal yang berbeda tentu saja tidak adil, bertentangan dengan
Konteks uraian Apeldoorn adalah konteks pembagian hukum
dalam golongan besar yaitu menyangkut pembagian isi hukum
publik danhukum privat. Dalam hal ini Apeldoorn menyebutkan
bahwa kepentingan-kepentingan yang diatur oleh hukum terdiri
atas dua, yaitu kepentingan-kepentingan umum atau kepentingankepentingan publik dan kepentingan-kepentingan khusus atau
kepentingan-kepentingan perdata. Dalam kedua isi hukum ini
Apeldoorn menekankan tetap terpenuhinya perlindungan atas
kepentingan umum dan kepentingan tiap-tiap pribadi. Van
Apeldoorn, Op.ci., hal 171-182
27
56
tujuan hukum (lihat uraian pada Bab II.C.2.
halaman 81-90)
Disadari atau tidak, keadaan tersebut memengaruhi rumusan ketentuan UUY, dan barang
tentu pada penerapannya di seluruh yayasan.
Apabila hal itu dipaksakan semata-mata karena
sudah menjadi hukum positip, maka upaya
mengembalikan
fungsi
yayasan
sebagaimana
dikehendaki oleh UUY dapat menyimpang, bahkan bisa menimbulkan persoalan keadilan dan
kemanfaatan bagi adresat hukum.
Akan terasa tidak adil apabila hak atas kekayaan pribadi pendiri yayasan serta merta hilang
hanya dengan hadirnya UUY. Jika yang bersangkutan serta merta menghentikan kegiatan
yayasan karena tidak menerima pengaturan UUY
tentu saja menimbulkan persoalan hukum juga.
Bila kegiatan dimaksud adalah kegiatan pendidikan formal atau rumah sakit yang justru sangat dibutuhkan oleh masyarakat sudah pasti
persoalannya lebih rumit.
Untuk mengatasi masalah itu, penulis berpendapat bahwa upaya mengembalikan fungsi yayasan secara adil sesuai dengan tujuan hukum,
pengaturan yayasan semestinya dilakukan dengan melakukan pemilahan yayasan dan mengaturnya sesuai dengan klasifikasi atau jenis atau
keadaan yayasan.
57
B. Keragaman Yayasan dan Pengaturannya
Dengan beragamnya pemahaman yayasan, terutama dalam prakteknya Indonesia, menunjukkan
bahwa pengaturan yang dilakukan dalam UUY tidak
sepenuhnya mengacu pada kondisi nyata. Untuk
itu, jalan pikiran yang dikemukakan oleh Budiono
Kusumohamidjojo sebagaimana terpapar di halaman
65-66 patut diperhitungkan oleh pembuat UU.
Menurut penulis, solusi yang tepat ditempuh ialah
memilah-milah yayasan berdasarkan keadaan nyatanya dan membuat peraturan yang sesuai dengan
keadaan tersebut.
1. Pemilahan Yayasan
Yayasan yang ada perlu dipilah berdasarkan
latar belakang dan motivasi pendirian,
bentuk-
bentuk kegiatan, sasaran kegiatan yayasan, dan
sumber kekayaan awal yang dipisahkan. Dalam
kaitan ini, gagasan Suharto28 tampaknya dapat
dipertimbangkan. Menurut Suharto, berdasarkan
sumber dananya ada dua golongan yayasan,
yaitu yayasan murni dan yayasan pura-pura atau
kamuflase.
Yayasan murni adalah yayasan yang modal
awalnya bersumber dari orang perseorangan dan
28 Suharto, Membedah Konflik Yayasan, Menuju Konstruksi Hukum
Bermartabat, Cakrawala Media, Cet. I, Juni 2009, hal. 125
58
sumbangan. Yayasan ini benar-benar bersifat karitatif. Ia didirikan untuk memelihara anak-anak
terlantar, yatim piatu, kaum miskin, mengurus
kematian, atau mengurus kepentingan umum
seperti lingkungan hidup, pengembangan ilmu
pengetahuan, museum, keagamaan, pendidikan,
dan rumah sakit.
Motivasi pendirian yayasan semacam itu mirip
dengan apa yang dilakukan Plato sebagaimana
dijelaskan Anwar Borahima29 bahwa menjelang
kematiannya pada tahun 347 SM, Plato menyumbangkan hasil pertanian tanah miliknya untuk
selama-lamanya bagi academia yang didirikannya. Dalam agama Islam, tulis Anwar, motivasi
semacam
itu
dikenal
dengan
upaya
untuk
mewujudkan amal saleh atau wakaf khaidir.
Wakaf ini diberikan oleh seseorang semata-mata
untuk membantu memenuhi kepentingan umum
seperti membangun masjid, pesantren, kuburan,
sekolah.
Dengan
motivasi
beramal,
mereka
menyumbangkan sebagian harta miliknya untuk
kepentingan orang lain secara sukarela (tabarru).
Menurut Rudhi Prasetya30, yayasan murni
masih dapat dibedakan berdasarkan kegiatannya.
29
Anwar Borahima, Op.cit, hal.11-19.
30 Rudhi Prasetya, Yayasan dalam Teori dan Praktik, Sinar Grafika,
Cet. I, April 2012, hal. 62
59
Ada yayasan yang semata-mata mengumpulkan
dana dari para dermawan kemudian menyalurkannya kepada yang memerlukan seperti beasiswa bagi kaum miskin, biaya hidup anak-anak
panti asuhan, dan orang terlantar lainnya. Tipe
lainnya,
adalah
yayasan
yang
tidak
hanya
sebagai penyalur dana, tetapi sebagai penyelenggara langsung kegiatan seperti pendidikan,
poliklinik, rumah sakit.
Dalam agama Islam, yayasan tipe terakhir itu,
banyak yang didirikan dengan kekayaan awal
dari wakaf ahli. Selain dimaksudkan untuk membantu memenuhi kepentingan umum, pendirian
yayasan dimaksudkan untuk menciptakan lapangan
kerja
dan
pemenuhan
kebuhutuhan
ekonomi keluarga yang berwakaf. Yayasan tipe ini
dipahami sebagai yayasan milik pribadi, milik
keluarga, dan keturunan pewakaf.
Berbeda
dengan
yayasan
murni,
yayasan
pura-pura atau kamuflase adalah yayasan yang
didirikan untuk kesejahteraan anggota atau mantan anggota pendiri. Contohnya adalah yayasan
yang didirikan instansi Pemerintah, TNI, Bank
Indonesia, Pertamina, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, yang modal awalnya
bersumber dari uang negara. Motivasi dan tujuan
pendirian
dimaksudkan
60
untuk
kepentingan
karyawan atau mantan karyawan pada instansi
yang bersangkutan.
Yayasan yang mirip dengan itu ialah yayasanyayasan yang didirikan oleh perusahaan swasta.
Kekayaan awal pada yayasan ini dipisahkan dari
kekayaan perusahaan dan dimaksudkan untuk
kesejahteraan karyawan atau mantan karyawan
perusahaan. Bedanya, yayasan ini selain untuk
kepentingan karyawan atau mantan karyawan,
ada di antaranya yang tergolong yayasan murni.
Hal ini didirikan untuk membantu kepentingan
umum,
masyarakat
miskin,
mengembangkan
ilmu, dan melestarikan lingkungan.31
Contohnya adalah PT Astra Internasional yang mendirikan
beberapa yayasan sosial. Di antaranya ialah (1) Yayasan Agro
Lestari, yang bergerak di bidang pendidikan di 3 wilayah
operasionalnya yaitu Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi yang
sampai tahun 2012 telah membina 24 sekolah yang terdiri dari 19
Sekolah Dasar (SD), 5 Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan
didukung oleh 403 guru; (2) Yayasan Dharma Bhakti Astra, yang
mendampingi sekitar 7.482 UMKM, 432 training mekanik, 11
pendirian LPB, 10 pendirian LPM, 61 UKM Mandiri, dan 244 UKM
subkon Astra di bidang pembinaan manajemen, teknologi, akses
pasar, fasilitas pembiayaan, dan teknologi informasi; Contoh lain
adalah PT Unilever yang mendirikan beberapa yayasan sosial
dengan kegiatan promosi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat
di sekolah-sekolah
dan posyandu, pemberian beasiswa,
pelaksanaan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat tetang bahaya HIV/AID di sekolah-sekolah di beberapa
kota di Jawa Timur dan Bali, Jakarta, dan Medan yang
menjangkau ratusan sekolah dan ratusan ribu siswa, program
pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sampah menjadi
kompos atau mengolah barang bekas menjadi sumber
pencaharian, dan sebagainya.
31
61
2. Materi Pengaturan Undang-Undang Yayasan
Dengan dipilahnya
yayasan, maka
materi
pengaturan yayasan perlu disesuaikan dengan
keadaan nyata yayasan. Paling sedikit, materi
pengaturan yayasan murni dijabarkan secara
berbeda dengan yayasan kamuflase. Hal ini harus
eksplisit dirumuskan dalam syarat dan prosedur
penyesuaian AD bagi yayasan yang sudah berdiri
sebelum UUY. Bagi yayasan yang serupa, tetapi
berdiri setelah UUY, pengaturannya perlu dibedakan juga. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya ketidak-adilan dalam UUY.
Berdasarkan jalan pikiran tersebut tampak
bahwa konsep yayasan pada Pasal 1, ayat (1)
perlu dijabarkan pengaturannya pada pasal-pasal
berikutnya guna mewadahi keadaan nyata yayasan. Pengaturan organ pada yayasan yang didirikan oleh perseorangan dengan sumber kekayaan
pribadi pendiri dan wakaf umpamanya perlu diatur secara berbeda dari yayasan yang didirikan
oleh badan hukum.
Sekedar contoh, pembina pada yayasan yang
didirikan oleh perseorangan haruslah dari pendiri
atau anggota keluarga dan keturunannya, seperti
hanya pada yayasan wakaf. Posisi pengurus dan
pengawas diangkat berdasarkan prosesionalisme
yang ditetapkan dalam AD. Sedangkan untuk
62
yayasan yang oleh badan hukum, organ yayasan
sepatutnya diangkat dari perseorangan menurut
kriteria badan hukum pendiri yayasan, yang juga
diatur dalam AD yayasan.
Pengaturan yang demikian, terkait dengan
status kekayaan yayasan. Pengaturan yang tampaknya patut ialah status kekayaan pendiri tetap
diakui dan dapat diambil kembali manakala
yayasan bubar atau dibubarkan. Tentang bagaimana pengaturan hak pendiri atas perkembangan kekayaan tersebut dalam yayasan perlu diatur
secara proporsional agar kegiatan yayasan dapat
terus berlangsung dan berkembang.
Pengaturan Pasal 9 ayat (1) jo Pasal 5 tentang
kekayaan yayasan tampaknya lebih cocok pada
yayasan di Negara Barat yang mengonsepkan
yayasan melulu bersifat karitatif atau filantropis.
Hal yang demikian tidak mewadahi keadaan
nyata masyarakat. Yang tampak, malahan sebaliknya, yaitu mengingkari prinsip bahwa hukum
adalah bagian dari budaya atau paling sedikit
apa yang sudah menjadi praktek hidup masyarakat Indonesia.
Dengan prinsip tersebut, masyarakat Barat
tidak
dapat
disamakan
dengan
masyarakat
Indonesia. Masyarakat Indonesia hidup dengan
budayanya sendiri, berbeda dengan masyarakat
lainnya. Penyangkalan atas prinsip itu sama hal63
nya dengan penyangkalan atas prinsip hukum
yang semestinya lahir dari dan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, penyangkalan
tersebut memosisikan UUY lepas dari akarnya,
budaya masyarakat Indonesia.
Menurut
Budiono
Kusumohamidjojo32
hal
tersebut tidak tepat, sebab aspek-aspek kebudayaan itu jalin-menjalin dan saling memengaruhi
satu dengan lainnya. Jika memusatkan perhatian
pada hukum sebagai salah satu aspek kebudayaan,
maka
realisasinya
berbeda
dari
satu
masyarakat dengan masyarakat lainnya. Perbedaan itu melahirkan perbedaan dalam realisasi
hukum karena apa pun yang ada tidak terjadi
dengan cara dan hasil yang sama. Apa yang
dilarang pada suatu masyarakat, bisa tidak
dilarang pada masyarakat lain, tulis Budiono.
Secara lebih tegas, Theo Huijbers33 menulis:
“Dalam menyelengarakan politik hukum,
pemerintah negara tidak bertolak dari normanorma keadilan yang abstrak, melainkan dari
kepentingan-kepentingan yang ada sangkut
pautnya dengan situasi konkret masyarakat
yang bersangkutan. Situasi dan kondisi
masyarakat dunia sangat berbeda, baik secara
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum, Problematik
Ketertiban Yang Adil, Mandar Maju Bandung, Cet ke-1 September
2011, hal. 189
32
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius Yogakarta, Cet ke-15,
tahun 2012, hal. 116
33
64
budaya maupun secara ekonomi. Oleh sebab
itu, tiap-tiap negara harus menentukan tujuannya sendiri, sesuai dengan situasi budaya
dan ekonomi bangsa.”
Mengacu jalan pikiran di atas, maka ketentuan UUY mengubah status kekayasaan yayasan
yang bersumber dari kekayaan pribadi dan badan
hukum secara sama tidak relevan karena tidak
sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia.
Tentang persyaratan dan prosedur penyesuaian anggaran dasar perlu dibedakan antara
yayasan murni dengan yayasan pura-pura atau
yayasan kamuflase. Bagi yayasan murni pengaturan UUY semestinya dibatasi sebagai alat
kendali pertumbuhan yayasan, mengatur batasbatas kegiatan yang relevan dan pemanfaatan
kekayaan yayasan secara proposional antara
kepentingan pengembangan yayasan dan hak
pendiri. Itu artinya materi pengaturan kekayaan
yayasan merupakan harmonisasi antara kepentingan pendiri yayasan dan kepentingan umum.
Menurut penulis, pengaturan semacam itu
mampu mewadahi partisipasi masyarakat untuk
merealisasikan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat seperti diamanatkan dalam Pasal
34 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945.34 Tentu
Ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara
oleh negara; ayat (2) Negara mengembangkan sistem jaminan
34
65
saja tidak semua yayasan yang didirikan oleh
perseorangan disamaratakan. Oleh karena itu,
materi pengaturan tersebut harus mampu mencegah tindakan kejahatan seperti pengalihan
dana hasil pencucian uang ke dalam yayasan.
Persyaratan dan prosedur penyesuaian AD
bagi yayasan pura-pura atau kamuflase, bukan
saja perlu dilaksanakan berdasarkan ketentuan
UUY, keberadaan yayasan seperti ini malahan
harus dievaluasi. Jika masih memilih bentuk
yayasan, maka sasaran kegiatan tidak boleh
dibatasi hanya untuk kepentingan karyawan atau
mantan karyawan saja, tetapi dibuka untuk kepentingan umum. Upaya meningkatkan kesejahteraan karyawan atau mantan karyawan tentu
saja dibolehkan, tetapi tidak dengan cara memanfaatkan kekayaan negara, melainkan dengan
cara lain yang sah secara hukum. Pengaturan
seperti inilah yang dinilai sesuai dengan cita
hukum nasional.
Tanpa memertimbangkan aspek-aspek tersebut di atas, disadari atau tidak, upaya menegakkan hukum melalui UUY sulit (untuk tidak mengatakan mustahil) dilaksanakan secara konse-
sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan;
ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan dasilitas pelayanan umum yang layak.
66
kuen berdasarkan cita hukum, baik bagi yayasan
yang telah berdiri sebelum UUY maupun sesudahnya. Pemaksaan penerapan aturan UUY, khususnya ketentuan
peralihan secara sama bagi
yayasan, bukan saja tidak menjawab kebutuhan
hukum masyarakat, tetapi eksekusi sanksi bagi
pelanggar ketentuan tersebut menjadi tidak urgen. Upaya UUY mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum tidak akan tercapai.
Yang mungkin dapat dicapai terbatas pada penciptaan kepastian hukum dan ketertiban administrasi.
C. Undang-Undang Yayasan Dalam Sistem
Hukum Nasional
Lawrence M. Friedman35 dalam bukunya berjudul
Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial terjemahan
dari buku Legal System a Social Science Perspective,
menyatakan bahwa hukum adalah sebuah sistem.
Sebagai sistem, hukum terdiri atas banyak komponen pembentuknya yang saling berinteraksi dan
secara keseluruhan bermuara pada upaya untuk
mencapai tujuan hukum. Secara garis besar, komponen sistem hukum terdiri atas komponen struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum36.
M.Friedman, Lawrence, Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial,
Nusa Media, Cet. IV, Agustus 2011, hal. 6-18
35
36
Lihat juga Achmad Ali, Op.cit, hal.204.
67
Struktur hukum meliputi keseluruhan institusi
hukum yang ada dalam masyarakat. Dalam cara
pandang tertentu sering didefinisikan berdasarkan
profesi para aparat hukum mulai dari para pembuat
hukum seperti legislatif dan anggotanya sampai
pada pelaksana operasional hukum. Dalam cara
pandang lain, didefinisikan sebagai keseluruhan
institusi hukum yang ada, termasuk apa yang
dipraktekkan oleh masyarakat sederhana dalam
menata kehidupan bersama dan menyelesaikan
sengketa. Substansi hukum meliputi berbagai peraturan, baik dalam bentuk peraturan per-UU-an,
maupun norma lain yang mengatur pola perilaku
dalam kehidupan bersama. Sedangkan kultur hukum adalah elemen sikap dan nilai sosial yang ada
dalam masyarakat yang tampil dalam bentuk tuntutan-tuntuan, opini-opini, pilihan-pilihan mengenai
apa yang dianggap benar dan berguna dalam kehidupan bersama.
Apa dan bagaimana bentuk sistem hukum serta
bagaimana ia bekerja dalam masyarakat sangat
ditentukan oleh interaksi ketiga komponen tersebut.
Ada hubungan timbal balik antara kultur hukum
dengan struktur dan substansi yang kesemuanya
dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan hukum.
Bagi Friedman, inti sebuah sistem hukum terletak pada caranya mengubah input menjadi output.
Awalnya mulai dari adanya tuntutan masyarakat
68
atas sebuah kondisi yang diharapkan, yaitu yang
memberi mereka peluang, bukan saja untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi agar dalam memenuhi
kebutuhan hidup tersebut akan tercipta suasana
kehidupan bersama yang tertib dan teratur (inputs).
Tuntutan ini kemudian diproses oleh lembaga pembuat hukum (misalnya legislatif) sampai terbentuknya norma hukum menjadi peraturan-peraturan,
baik tertulis maupun tak tertulis (output). Peraturan
dimaksud mengikat semua orang, tak terkecuali
pembuat peraturan, dalam kehidupan bersama.
Sejak diterapkan, peraturan tersebut dapat memunculkan siklus di atas sampai menghasilkan aturan
baru seiring dengan perkembangan masyarakat.
Munculnya respon, opini, atau tuntutan atas
peraturan hukum yang baru dapat disebabkan oleh
banyak hal. Bisa terkait dengan institusi hukum,
substansi, maupun kultur hukum. Para penegak
hukum yang tidak bekerja sesuai dengan ketentuan
hukum; atau substansi hukum yang tidak sesuai
dengan
amanat
konstitusi
dan/atau
nilai-nilai
dalam masyarakat yang tidak terwadahi dalam
ketentuan hukum; atau kultur hukum penegak
hukum yang tidak serasi dengan kultur masyarakat
dapat menimbulkan tuntutan baru atas hukum37.
Contoh mutakhir adalah respon masyarakat atas tertangkapnya
Akil Mochtar atas tuduhan korupsi pada Pilkada Kabupaten
Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan dugaan suap sengketa
37
69
Apa yang dikemukakan Friedman tampaknya
mirip dengan proses lahirnya UUY. Belum adanya
peraturan yang jelas mengenai keberadaan yayasan
sebelumnya mengakibatkan pertumbuhan yayasan
tak terkendali. Yayasan yang seharusnya hanya
bergerak dalam bidang kegiatan sosial, keagamaan
dan kemanusiaan justru disalahgunakan oleh orang
atau kelompok tertentu untuk tujuan bisnis atau
untuk kepentingan pribadi pendiri dan pengurus.
Keadaan itulah yang mendorong Pemerintah dan
DPR membuat UUY untuk mengatur dan mengendalikan yayasan dengan membuat UUY.
Dibandingkan dengan apa yang digambarkan
Friedman, tuntutan pengaturan yayasan tidak muncul dari anggota masyarakat, melainkan dari pemerintah dan legislator (DPR). Chatamarrasjid38 menulis bahwa selama pembahasan rancangan UUY di
DPR, sebagian anggota masyarakat penyelengara yayasan dan organisasi non pemerintah keberatan atas
materi-materi rancangan UUY. Mereka beranggapan
Pilkada Lebak, Banten serta tuduhan Pencucian Uang memicu
terbitnya Perpu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas
UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Konstitusi yang
disahkan dengan UU No 4 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu
No. 1 Tahun 2003 tersebut. Terbitnya UU No. 28 Tahun 2004
Tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan
merupakan contoh belum sesuainya UU No. 16 Tahun 2001
dengan kebutuhan masyarakat dalam mengelola Yayasan.
38
Chatamarrasjid, Op.cit, hal 68.
70
materi rancangan UUY membuka peluang campur
tangan pemerintah terhadap kehidupan sipil.
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa tujuan
pemerintah dan DPR mengatur yayasan belum
selaras dengan harapan masyarakat. Tampaknya
ada perbedaan kebutuhan hukum masyarakat di
satu pihak dan kebutuhan hukum pemerintah serta
DPR pada pihak lain. Pemerintah dan DPR, tampak
lebih menitikberatkan aspek penertiban yayasan
sementara masyarakat lebih menitikberatkan aspek
haknya dalam menyelenggarakan kegiatan yayasan.
Munculnya UU No 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan UU No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
sempat memberikan harapan kepada masyarakat.
Rumusan konsideran menimbang a dan b UU No 28
Tahun 2004 seakan-akan memberikan jawaban
terhadap kebutuhan hukum masyarakat seperti
dikemukakan Friedman. Rumusan konsideran a dan
b demikian:
a. bahwa Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan mulai berlaku pada tanggal 6
agustus 2002, namun Undang-undang tersebut dalam perkembangannya belum menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan
hukum dalam masyarakat, serta terdapat
beberapa substansi yang dapat menimbulkan
berbagai penafsiran, maka perlu dilakukan
perubahan terhadap Undang-undang tersebut;
71
b. bahwa perubahan tersebut dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban
hukum, serta memberikan pemahaman yang
benar kepada masyarakat mengenai Yayasan;
Kenyataannya, janji konsideran tersebut tidak
sepenuhnya diaplikasikan dalam materi pengaturan
yayasan. Dari 18 pasal yang diubah, 2 (dua) pasal
yang dihapus, dan 3 (tiga) pasal tambahan tidak ada
pasal
yang
mengatur
pemilahan
yayasan
dan
mengaturnya berdasarkan klasifikasi itu. Keadaan
ini menunjukkan bahwa UU No 16 Tahun 2001 yang
telah diubah dalam UU No 28 Tahun 2004 belum
merupakan jawaban atas kebutuhan hukum adresat
UUY.
Konsekuensinya ialah menerapkan UUY, dan
secara khusus eksekusi sanksi ketentuan peralihan
bagi yayasan yang telah berdiri sebelum adanya UUY
kehilangan urgensi. Ia tidak mampu menjadi alat
untuk menegakkan hukum yang memberi manfaat
secara adil bagi yayasan.
1. Posisi Undang-Undang Yayasan Dalam hirarki
Peraturan Perundang-undangan
Di setiap negara peraturan hukum atau perUU-an memiliki banyak bentuk dan tingkat
cakupannya. Paling tinggi di antaranya ialah
konsititusi
negara.
Di
Indonesia,
dimaksud ialah Undang-Undang
konstitusi
Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). UUD 1945
72
inilah hukum dasar39 dan menjadi acuan seluruh
peraturan per-UU-an yang ada, maupun yang
akan dibentuk kemudian, baik tertulis maupun
tak tertulis seperti hukum adat40. Salah satu di
antaranya yang tertulis ialah UUY (lihat bagan-1
pada halaman 74).
Peraturan per-UU-an tersebut berada dalam
suatu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang
sekaligus berkelompk-kelompok, mulai dari peraturan
tertinggi,
UUD
1945,
sampai
pada
peraturan terendah, peraturan daerah41. Semua
peraturan tersebut mengacu pada nilai-nilai yang
sama,
nilai-nilai
ideal
bangsa
dan
negara
Indonesia yaitu Pancasila. Nilai-nilai itulah yang
merupakan cita hukum, yang
menjadi sumber
segala sumber hukum42.
39 Lihat Pasal 3 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan,
Bunyi Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UndangUndang” merupakan penegasan hukum atas posisi UUD terhadap
peraturan-peraturan yang ada.
40
Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
41
42
Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011, Ibid.
73
Bagan-1
Hirarki Peraturan Perundang-Undangan43
UUD 1945
Kepetapan MPR
UU/PERPU
UU Yayasan
Peraturan Pemerintah
PP No 63 dan PP No 2
Peraturan Presiden
Perda Propinsi
Perda Kab/Kot
Sebagai
peraturan
tertulis
dalam
konsep
hirarkis, UUY berada di bawah UUD 1945 dengan
cakupan terbatas pada bidang pengaturan yayasan. Di antaranya ialah mengatur dan menertibkan pendirian, pengorganisasian, dan pelaksanaan kegiatan yayasan, tak terkecuali pengatur43
Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, Ibid.
74
an penyesuaian anggaran dasar yayasan dengan
UUY agar diakui sebagai badan hukum.
Peraturan yang mengatur yayasan terdiri atas
dua jenis peraturan dengan jengjang yang berbeda, yaitu : pertama UUY, yaitu yang mengatur
hal-hal yang harus ada atau diadakan, yang
harus dilakukan, dapat dilakukan atau dianjurkan, serta hal-hal yang tidak boleh dilakukan
atau dilarang dilakukan oleh yayasan; Kedua, PP
yaitu mengatur pelaksanaan segala hal yang
diatur dalam UUY tersebut.
Secara hirarkis, UUY merupakan norma hukum di bawah konstitusi dan dibentuk oleh lembaga legislatif (DPR), sedangkan PP merupakan
norma hukum di bawah UU dan dibentuk oleh
Presiden
berdasarkan
prinsip
pendelegasian
kewenangan regulasi atau mengatur (legislative
delegation of rule-making power).
Dalam posisi yang demikian, norma hukum
dan materi ketentuan UUY haruslah bersumber
dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.
UUY merupakan jabaran norma dan aturan
pokok serta rincian lebih lanjut mengenai norma
hukum yang ada dalam UUD 194544. Selanjutnya, Norma hukum dan materi ketentuan PP juga
44 Ni’matul Huda &R. Nazriyah, Teori & Pengujian Peraturan
Peundang-Undangan, Nusa Media, Cet. 1, Desmber 2011, hal. 96
75
harus bersumber dan tidak boleh bertentangan
dengan peraturan UUY serta konstitusi. Apa yang
diatur PP, menurut Ni’matul Huda &R. Nazriyah45
hanyalah berisi ketentuan lebih lanjut (rincian)
dari ketentuan yang terdapat dalam UUY. Prinsip
ini ditegaskan pula dalam Pasal 12 UU No. 12
Tahun 2011, bahwa “Materi muatan Peraturan
Pemerintah berisi materi untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya.”
Dalam posisi yang demikian, Ni’matul Huda &
R. Nazriyah46
menambahkan bahwa PP tidak
dapat mengubah, menambah, mengurangi, atau
menyisipi suatu ketentuan atau memodifikasi
materi dan pengertian yang telah ada dalam UU
yang induknya, dalam hal ini.
Dalam kaitan itu, Bagir Manan47 menyatakan,
apabila peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka
peraturan yang lebih rendah itu dapat dituntut
45
Ni’matul Huda &R. Nazriyah, ibid, hal. 103
46
Ni’matul Huda & R. Nazriyah, ibid, hal 106.
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstiusi, FH UII Press, Cet. II,
Juni 2004. Bandingkan juga Maria Farida Indrati S. Ilmu
Perundang-undangan 1, Kanisius Yogyakarta, Cet. ke-1, tahun
2007. hal 243-244. Lihat juga Pasal 12 UU No 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
menyatakan bahwa materi muata Peraturan Pemerintah berisi
materi
untuk
menjalankan
Undang-Undang
sebagaimana
mestinya.
47
76
untuk dibatalkan bahkan batal demi hukum (van
rechtswege nietig). Hal serupa berlaku bagi UUY.
Apabila materi PP menyimpang atau bertentangan dengan materi UUY, maka materi PP tersebut
tidak memiliki kekuatan hukum untuk melaksanakan aturan UUY bahkan harus dibatalkan
demi hukum. Pandangan ini didasarkan pada
asas lex superior derogat legi inferior.
Berdasarkan struktur dan materi muatan
tampak bahwa keberadaan UUY dalam sistem
dan hirarki hukum (nasional) Indonesia merupakan aktualisasi dari konstitusi Negara (UUD
1945). Nilai-nilai yang ada di dalamnya merupakan implementasi nilai-nilai konstitusi yang
bersumber dari Pancasila sebagai sumber segala
sumber hukum nasional.
Pandangan tersebut bertitik tolak dari paling
sedikit empat argumentasi. Pertama, UUY dibentuk berdasarkan perintah konsititusi. Pasal 1
ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Negara
Indonesia adalah negara hukum.” Perintah UUD
1945 ini mengandung banyak makna. Satu di
antaranya ialah bahwa setiap kegiatan yang
dilaksanakan dalam kehidupan bersama, termasuk oleh orang perseorangan, harus didasarkan
pada ketentuan hukum. Sebagai perintah konstitusi, maka materi pengaturan UUY haruslah
merupakan rincian lebih lanjut dari konstitusi
77
Negara. Keharusan tersebut diatur dalam Pasal
10 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa,
“Materi yang Harus diatur dengan UndangUndang berisi: a. pengaturan lebih lanjut
mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Kedua,
dibentuknya
UUY
bukan
sekedar
memenuhi perintah konstitusi untuk menata
keberadaan yayasan. Yang pokok ialah bahwa
pengaturan tersebut merupakan upaya untuk
menegakkan supremasi hukum yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dalam penyelenggaraan
kegiatan yayasan.
Ketiga, dari perspektif kultur hukum, tuntutan dibentuknya UUY berawal dari kondisi ketiadaan aturan hukum yang jelas mengenai yayasan. Dalam banyak pasal di berbagai peraturan
per-UU-an istilah yayasan sebagai badan hukum
memang banyak disebut-sebut. Namun, dalam
ketentuan tersebut tidak ada kejelasan mengenai
konsep yayasan, apa status hukumnya, serta
cara-cara pendiriannya48.
Sebagai contoh dapat dibaca pada Pasal 365, Pasal 899, 900,
1680 KUHPerdata. Permen No. 01/Per/Menpen/1969 tentang
Pelaksanaan Ketentuan-ketentuan mengenai Perusahaan Pers juga
menyebutkan Yayasan sebagai badan hukum, dan masih banyak
lagi. Anwar Borahima, Op.cit, hal 1-2
48
78
Di sisi lain, menurut Anwar Borahima49 yang
juga diakui oleh penulis lain tentang yayasan,
peran Yayasan dalam berbagai sektor kehidupan
seperti pendidikan, kegiatan sosial dan keagamaan,
cukup
menonjol.
Akibatnya,
masyarakat
mendirikan dan menyelenggarakan kegiatan yayasan mau tidak mau didasarkan pada kebiasaan
yang dilihat atau didengar atau pada yurisprudensi Mahkamah Agung RI tentang Yayasan.
Ditinjau dari konsep sistem hukum Friedman,
kondisi tersebut dapat disebut sebagai kultur
hukum masyarakat yang mendorong terciptanya
hukum, dalam hal ini UU No. 16 Tahun 2001.
Setelah diberlakukan beberapa tahun, masyarakat ternyata tidak memberi respon sesuai dengan
tujuan pembentukannya. Banyaknya yayasan
yang tidak melakukan penyesuaian AD pada
ketentuan UU No 16 Tahun 2001 memberi sinyal
bahwa UU tersebut belum memenuhi kebutuhan
hukum masyarakat. Keadaan ini kembali mendorong dibentuknya UU No. 28 Tahun 2004.
Kondisi seperti itu merupakan bagian dari
kultur hukum juga. Dalam kerangka berpikir
Friedman, keadaan tersebut merupakan masukan
(inputs)
untuk
menyempurnakan
hukum
yayasan (UUY). Apa yang diproses oleh DPR dan
49
Anwar Borahima, Ibid., hal.11-19
79
pemerintah untuk menerbitkan UU No 28 Tahun
2004 semestinya bertitik tolak dari kondisi yang
ada. Dengan demikian, UU No 28 Tahun 2004
dapat menjadi out put atau produk sistem hukum
nasional yang lebih sempurna di bidang Yayasan.
Keempat, lahirnya reformasi yang ditandai
dengan runtuhnya rezim Suharto pada bulan Mei
1998 dengan semboyan “berantas KKN” (KorupsiKolusi-Nepotisme)
turut
mendorong
lahirnya
refomasi dalam bidang hukum di berbagai aspek,
termasuk yayasan. Adanya tindakan-tindakan
penyalahgunaan bentuk-bentuk yayasan untuk
tujuan-tujuan komersial pada masa pemerintahan Presiden Suharto merupakan faktor pemicu penetapan pengaturan yayasan melalui UUY.
Berdasarkan jalan pikiran di atas, tampak
bahwa posisi UUY dalam sistem hukum nasional
cukup
penting.
pada pandangan
Pembentukannya
didasarkan
filosofi, politis, sosial, dan
yuridis yang kuat. Cakupan materinya memang
terbatas, yaitu mencakup keberadaan yayasan,
tetapi nilai yang terkandung di dalamnya turut
menentukan bagaimana memanifestasikan nilainilai dalam norma dasar hukum atau Norma
Fundamental Negara melalui UUY.
80
2. Tujuan Undang-Undang Yayasan
Tujuan hukum dalam suatu negara didasarkan pada nilai (-nilai) filosofi tertentu yang dianut
karena dianggap baik dan dicita-citakan terwujud
melalui berbagai kegiatan penyelenggaraan negara, salah satu di antaranya tercermin dalam
ketentuan hukum. Nilai filosofi tersebut dikonkretkan
melalui
keseluruhan
sistem
hukum,
tertulis dan tak tertulis. Dengan demikian, tiap
sistem hukum memiliki tujuan hukumnya sendiri
yang berbeda dari sistem hukum yang lain.
Penganut aliran yuridis dogmatis atau legal
positivism misalnya memosisikan nilai kepastian
hukum sebagai nilai ideal, yang hendak diwujudkan dalam segala peraturan hukum. Hukumnya
sendiri didominasi oleh hukum per-UU-an. Yang
terpenting bagi penganut aliran ini adalah adanya
jaminan kepastian hukum dalam masyarakat,
tidak peduli apakah itu adil atau tidak, bermanfaat atau tidak.
Bagi penganut aliran utilitarianisme50, lain
lagi. Tujuan hukum bagi aliran ini adalah terwujudnya kemanfaatan dan kebahagiaan sebesarbesarnya bagi sebanyak mungkin warga masyarakat.
50
Achmad Ali, Op. cit, hal. 272.
81
Hal yang lain lagi, dapat dilihat pada sistem
hukum Timur, salah satunya Jepang51. Bagi
bangsa Jepang, tujuan hukum bukanlah keadilan, kemanfaatan, atau kepastian, melainkan
hanyalah “chian hanji” (justice of the peace) atau
keadilan dari perdamaian. Dengan terciptanya
perdamaian, maka dengan sendirinya keadilan
terwujud.
Sistem hukum di Indonesia adalah kombinasi
atau
campuran
dari
banyak
sistem
(mixed
system)52. Tujuan hukumnya adalah kombinasi
dari banyak nilai yang juga terdapat dalam
banyak sistem hukum. Hal ini diketahui melalui
prinsip-prinsip dan asas-asas hukum di Indonesia yang tidak hanya berasaskan keadilan dan
kepastian hukum atau kemanfaatan semata-mata
seperti pernah dianut dalam sistem hukum Barat
klasik dengan teori etis, teori utilitaris, dan teori
legalistiknya53.
51
Achmad Ali, Ibid., hal. 214
52 Achmad Ali menggolongkan sistem hukum atas lima sistem,
yaitu: 1. Civil law, yang berlaku di Benua Eropa dan negara-negara
mantan jajahannya; 2. Common Law yang berlaku di Inggris ,
Amerika
Serikat,
dan
negara-negara
berbahasa
Inggris
(Commowealht); 3. Costomory Law yang berlaku di beberapa
negara Afrika, Cina, dan India; 4. Muslim Law yang berlaku di
negara-negara Muslim, terutama di Timur Tengah; dan 5. Mixed
System, salah satunya di Indonesia yang didalamnya berlaku
sistem hukum perundang-undangan, hukum adat, dan hukum
Islam. Achmad Ali, Ibid hal. 203
53
Achmad Ali Ibid, hal. 213
82
Kombinasi tujuan hukum seperti itu sesuai
dengan ajaran Gustav Radbruch54, yang oleh
para ahli hukum modern diakui dan diterima.
Ajaran ini dilatari oleh kekuatiran Radbruch atas
ajaran
hukum
murni
Hans
Kelsen
dengan
Grundnorm-nya dan rasa traumanya atas kekejian Nazi yang memobilisasi tata hukum positif
untuk melegalkan genosida ras Yahudi55. Untuk
mencegah berlanjutnya keadaan itu, Radbruch
menggagas kembali nilai keadilan sebagai mahkota tata hukum. Esensi hukum menurutnya
haruslah terarah pada rechtsidee yaitu keadilan.
Dengan mengikuti ajaran Aristotles, Radbruch
menggambarkan keadilan yang hendak diwujudkan itu dengan pernyataan ‘yang sama diperlakukan sama, dan yang tidak sama diperlakukan
tidak sama’.
Dalam pandangan Radbruch56 ada tiga unsur
hukum yang dimaknai sebagai tujuan hukum,
yaitu keadilan, finalitas (kemanfaatan), dan kepastian (legalitas). Dikataknnya, bahwa:
54
Achmad Ali Ibid, hal 288-298
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y Hage, Teori
Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta
Publishing, Yogyakarta, Cet. III., April 2010, hal. 128-129
55
56
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Ibid.,
hal. 130
83
“Aspek keadilan menunjuk kesamaan hak
di depan hukum. Aspek finalitas menunjuk
pada tujuan keadilan, yaitu mamajukan
kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini
menentukan isi hukum. Sedangkan aspek
kepastian menunjuk pada adanya jaminan
bahwa hukum (yang berisi keadilan dan
norma-norma yang menunjukan kebaikan)
benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang
ditaati. Dapat dikatakan, dua aspek yang disebut pertama merupakan kerangka ideal dari
hukum. Sedangkan aspek ketiga (kepastian)
merupakan kerangka operasional hukum”
Pada awalnya, Radbruch meyakini bahwa
ketiga unsur tersebut merupakan tujuan hukum
yang dapat diwujudkan secara bersama-sama dalam berbagai masalah hukum. Namun, pandangan ini dikoreksinya sendiri. Berdasarkan kenyataan yang sering dialami, ia sadar bahwa hal
tersebut mustahil diwujudkan secara seimbang.
Dalam sistem hukum apa pun ketiga unsur nilai
tersebut cenderung berbenturan. Benturan yang
muncul
kerap
terjadi
antara
keadilan
dan
finalitas (kemanfaatan) atau antara finalitas dan
legalitas. Hal ini sering tampak ketika seorang
hakim
memutuskan
hukuman
bagi
seorang
terdakwa. Menurut keadilan formal yang difahami
dan diyakini hakim, putusan yang diambil adalah
adil, namun putusan itu justru tidak memberi
bermanfaat bagi masyarakat umum. Sebaliknya,
ketika
putusan
dinilai
84
bermanfaat
kepada
masyarakat, kenyataannya justru menggerogoti
keadilan bagi individu.
Untuk mengatasi benturan, Radbruch memberikan solusi berupa penerapan hukum dalam
dua model, yaitu penerapan hukum dengan
model prioritas baku atau prioritas kasuistik.
Prioritas
baku,
yaitu
prioritas
manakala
ditentukannya
terjadi
benturan
pilihan
antara
keadilan dan finalitas atau kepastian dalam
mengadili masalah hukum. Dalam prioritas baku
ini aspek keadilan merupakan prioritas utama,
sedangkan aspek finalitas dan legalitas merupakan prioritas berikutnya.
Seiring dengan makin kompleksnya perkembangan masyarakat, pendekatan prioritas baku
ternyata
kerap
tidak
memenuhi
kebutuhan
hukum masyarakat. Oleh karena itu, Radbruch
menawarkan
model
kedua,
yaitu
Prioritas
kasuistik. Penyelesaian masalah hukum dalam
model ini dilakukan dengan pendekatan kasus
per kasus. Untuk kasus-kasus tertentu mungkin
aspek kemanfaatan dijadikan prioritas utama
sementara aspek keadilan dan kepastian hukum
menjadi prioritas berikutnya. Untuk kasus lain
mungkin lebih memerlukan aspek keadilan ketimbang kemanfaatan dan kepastian hukum, maka prioritasnya diletakkan pada aspek keadilan
85
disusul kemanfaatan, baru kepastian, demikian
seterusnya.
Jalan pikiran terakhir, nampaknya lebih dapat
diterima. Sebab dalam kenyataannya sistem hukum memang beragam. Hukum pun memiliki banyak bidang, dan setiap bidang memiliki tujuan
masing-masing secara spesifik. Hukum pidana
dan hukum privat memiliki tujuannya masingmasing. Demikian pula hukum formal dan hukum materil memiliki tujuan yang spresifik.
Tampaknya spesifikasi seperti itulah yang
dimaksudkan
oleh
Friedman
dengan
istilah
alokasi nilai-nilai dalam hukum. Sesuai dengan
kasus yang dihadapi perlu dialokasikan nilai apa
yang tepat dan mendatangkan kebaikan bagi
masyarakat. Peter Mahmud menyebutnya “damai
sejahtera”.57 Kedamaian atau damai sejahtera itu
57 Dalam hal ini hukum ditempatkan sebagai bagian yang
terintegrasi dengan kenyataan hidup bersama manusia dalam
masyarakat. Dalam keadaan nyata, manusia selalu memiliki
perbedaan dalam banyak hal, tak terkecuali kebutuhan dan citacita hidupnya. Perbedaan-perbedaan itu dikelola secara harmonis
seperti dalam sebuah paduan suara. Dengan begitu setiap orang
dalam kehidupan bersama berkesempatan mengekspresikan diri
dan memenuhi kebutuhannya secara optimal dalam suasana
harmonis dengan sesamanya. Hal-hal inilah yang diatur dan
dilindungi oleh hukum, bukan untuk mewujudkan ketertiban
tetapi keadaan damai sejahtera. Sebab ketertiban bolehjadi ada
penindasan, kesenjangan, dan pengekangan perbedaan pendapat,
sedangkan dalam keadaan damai sejahtera hal itu dikelola untuk
mencapai kualitas kehidupan. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar
Ilmu Hukum, Kencana, Cet ke-4 Agustus 2012, hal. 128-136
86
nampaknya melebihi nilai keadilan, kemanfaatan,
atau kepastian hukum semata. Dalam damai
sejahtera itu terkandung keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian hukum. Peter Mahmud menyatakan bahwa dalam masyarakat yang damai sejahtera, memang terdapat kelimpahan, tetapi yang
kuat tidak menindas yang lemah sehingga setiap
orang mendapatkan haknya melalui perlindungan
hukum.
Berdasarkan pemahaman tersebut tampak
bahwa
penggunaan
ajaran
Radbruch
dalam
mengalisis tujuan hukum di Indonesia, khususnya dalam penerapan UUY, dan lebih khusus lagi
tentang eksekusi ketentuan peralihan UUY terhadap yayasan tampaknya sesuai dengan citacita hukum nasional dalam arti bahwa urutan
prioritas dimaksud tidak bersifat kaku seperti
teknik atau ilmu pasti. Dengan kata lain, penerapan urutan prioritas yang digagas Radbruch
harus selalu ditempatkan dalam bentuk harmonisasi antara ketiganya. Bahwa prioritas pertama
diletakkan pada aspek keadilan tidak berarti
aspek kemanfaatan dan kepastian ditinggalkan
sama sekali.
Aspek kemanfaatan dan kepastian hukum
tetap harus diupayakan secara harmonis dengan
keadilan
sejahtera
guna
mewujudkan
sebagaimana
87
keadaan
damai
dikemukakan
Peter
Mahmud. Sikap ini bertitik tolak pada pendirian
bahwa tujuan hukum pada akhirnya bukanlah
pencapaian keadilan semata-mata, tetapi pengupayaan perwujudan kedamaian, kebahagiaan,
dan kesejahteraan
dalam kehidupan bersama.
Hal inilah yang menurut penulis sesuai dengan
norma dasar atau norma fundamental negara
yang dicita-citakankan oleh masyarakat Indonesia sebagaimana tercermin dalam Pancasila.
Pandangan
tersebut
tampaknya
sejalan
dengan gagasan Notohamidjojo58 tentang memanusiakan manusia dalam penyelenggaraan negara. Menurutnya, dalam menyelenggarakan negara
berdasarkan Pancasila, negara memiliki tanggungjawab untuk memosisikan manusia sebagai
objek, subyek, dan relasi. Sebagai objek, manusia
merupakan sebuah sosok yang secara fisik dapat
dilihat, dapat dicandra, dan dapat dideterminasikan dan diatur. Sebagai subyek, manusia itu
adalah “aku” yang hidup di dunia nyata. Oleh
sebab itu ia tidak hanya ditentukan, melainkan
juga menentukan,
memilih dan menentukan
pilihan secara bebas karena ia bukan mesin
tetapi pribadi yang tidak dapat dideterminasikan.
Menurut Notohamidjojo, keadaan tersebut belum cukup. Manusia Indonesia juga merupakan
58 Tri Budiono (editor), O. Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat
Hukum, Griya Media, Cet. I, November 2011, hal 55-62.
88
sesuatu yang berada dalam relasi dengan kenyataan, yaitu berada dalam relasi dengan sesama
manusia dan alam. Dengan demikian, manusia
Indonesia itu bukanlah manusia dalam kebebasan saja, melainkan kebebasan dan keterikatan
atau kebebasan dalam tanggung jawab. Inilah
alasan mengapa negara membuat hukum, UU,
mengadili pelanggaran, mengawasi ketaatan individu terhadap hukum, dan mengambil tindakan
untuk melayani kesejahteraan umum atau inisiatif sendiri yang bebas.
Dalam kaitannya dengan UUY, tujuan hukum
di atas merupakan acuan yang menjiwai pengaturan yayasan. Materi pengaturan dan pelaksanaannya diwarnai oleh cita hukum nasional
dengan pendekatan ajaran Radbruch. dpa yang
hendak diwujudkan, merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari tujuan hukum nasional, yaitu
yang mendatangkan damai sejahtera sehingga
manusia dalam yayasan merasa diri benar-benar
dimanusiakan. Anggapan ini bertitik tolak dari
prinsip bahwa ketentuan-ketentuan yang ada
dalam UUY memenuhi paling sedikit tiga syarat
berikut:
a. Yayasan yang ada di Indonesia dipahami
sebagai lembaga yang tumbuh berdasarkan
kondisi nyata masyarakat Indonesia.
89
b. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUY
mampu
menjawab
kebutuhan
yayasan
berdasarkan kondisi nyata masayrakat.
c. Bekerjanya hukum melalui UUY tidak sematamata didasarkan pada sifat UUY sebagai
hukum positif yang harus diterapkan, tetapi
karena UUY menjamin terciptanya keadaan
damai sejahtera bagi yayasan.
Apabila tiga syarat di atas terpenuhi dapat
dipastikan bahwa ketaatan yayasan terahadap
UUY tidak lagi didasarkan pada rasa takut pada
sanksi, melainkan didasarkan pada kesadaran
adanya nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang mendatangkan keadaan damai
sejahtera itu dalam melaksanakan dan mengembangkan kegiatan yayasan. Apa dan bagaimana
keadaan yang sesungguhnya dapat dicermati
melalui uraian berikut.
3. Konsistensi Tujuan Hukum Dalam UU Yayasan
Salah satu prinsip dalam pembentukan UU
adalah asas kejelasan tujuan59, yaitu setiap pembentukan peraturan per-UU-an harus memunyai
tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Hal ini
dimaksudkan
agar
rumusan-rumusan
norma
59 Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang_undangan.
90
hukum dalam peraturan per-UU-an dapat dipahami dan dilaksanakan persis seperti yang dimaksudkan oleh pembuat UU.
Tujuan
tersebut
biasanya
tercermin
pada
konsideran60 sebagai jawaban atas pertanyaan
mengapa sebuah UU perlu dibuat. Secara tersirat, ia merefleksikan lima landasan ideal pembuatan sebuah UU, yaitu landasan filosofi, sosiologis, politis, yuridis, dan landasan adminis-trastif.
Dalam sebuah UU yang baik, empat yang disebut
pertama (landasan filosofi, sosiologis, politis, dan
yuridis) merupakan landasan mutlak ada dan
dikemukakan secara eksplisit. Landasan yang
disebut terakhir (landasan administrasi) bersifat
fakultatif. Keempat landasan itulah yang kemudian dijabarkan secara operasional menjadi peraturan dalam pasal-pasal UU.
Jimly Asshiddiqie61 menyatakan bahwa landasan filosofis merupakan landasan norma hukum
yang
merupakan
cita-cita
luhur
yang
diidealkan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Beliau menyebutnya sebagai cermin
cita-cita kolektif masyarakat tentang nilai-nilai
luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan da-
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Cet
ke-2 September 2011, hal 117
60
61
Jimly Asshiddiqie, Ibid., hal 117-118
91
lam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan
UU.
Landasan sosiologis merupakan cerminan tentang tuntutan kebutuhan nyata dalam masyarakat akan norma hukum yang sesuai dengan
kebutuhan
nyata
tersebut.
Landasan
politis
mencerminkan rujukan konstitusi sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum
yang melandasi pembentukan UU. Di sini UU
dipandang sebagai media untuk menyalurkan
kebijakan operasional yang bersumber dari ideide, cita-cita, dan kebijakan politik yang terkandung dalam konstitusi. Sedangkan landasan
yuridis adalah konstitusi, UUD 1945, hukum
dasar, yang dijadikan rujukan UU yang dibentuk
tersebut.
Menurut teori pembentukan undang-undang,
landasan filosofi, sosiologis, dan politis perlu
dinyatakan secara eksplisit dalam konsideran
menimbang. Fungsinya ialah sebagai jawaban
dasar atas pertanyaan mengapa sebuah UU perlu
dibentuk sekaligus menjadi patokan dasar dalam
perumusan ketentuan atau peraturan yang ada
pada pasal demi pasal. Dalam kenyataannya,
UUY tidak begitu. Dasar pertimbangan UUY
melulu aspek politis, sosial, dan yuridis sebagaimana terpapar di bawah.
92
“a. bahwa pendirian yayasan di Indonesia
selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan
dalam masyarakat, karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang yayasan; b. Bahwa yayasan di Indonesia
telah berkembang dengan berbagai kegiatan,
maksud, dan tujuan; c. Bahwa berdasarkan
perimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan b, serta untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan
berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan
akuntabilitas kepada masyarakat, perlu membentuk undang-undang tentang yayasan.”
Bila dicermati, konsideran di atas cenderung
hanya memberi jawaban politis, sosial, dan yuridis atas pertanyaan mengapa UUY perlu dibentuk. Hal ini dapat dijelaskan pada telaah rumusan-rumusan konsideran UU No. 16 Tahun 2001
berikut.
Pertama,
pembentukan
yayasan
menurut
konsideran a didasarkan pada dua pertimbangan
(1) yayasan-yayasan yang didirikan sebelumnya
hanya didasarkan pada kebiasaan; (2) belum ada
peraturan per-UU-an. Kedua alasan ini mengarah
pada pengambilan kebijakan. Dalam ilmu perUU-an alasan semacam itu disebut alasan politis.
Kedua, alasan pada konsideran b ialah bahwa yayasan di Indonesia telah berkembang pesat
dengan berbagai kegiatan, maksud, dan tujuan.
93
Asumsi di belakang alasan ini adalah kegiatan
yang dilakukan yayasan yang didasarkan pada
kebiasaan itu banyak yang menyimpang. Untuk
mencegah hal itu di masa yang akan datang
maka perlu dibuat UUY. Alasan dibuatnya UUY
untuk
mengendalikan
pertumbuhan
yayasan
merupakan alasan politis.
Ketiga, alasan pada konsideran c, ialah selain
a dan b, juga menjamin kepastian dan ketertiban
hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan
maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas, maka alasan pembentukan UUY dianggap cukup. Untuk melengkapi konsideran a dan b, alasan bagian c merupakan penegasan alasan yuridis.
Dengan tidak dicantumkannya landasan filosofi, secara teoritis menunjukkan ketiadaan konsistensi pembuat UUY dalam menegakkan supremasi
hukum
yang
didasarkan
pada
norma
fundamental negara, Pancasila. Hal ini tercermin
pada pasal-pasal dalam UUY, antara lain dapat
diketahui dengan tidak adanya penggolong-golongan yayasan berdasarkan latar belakang dan
motivasi pendirian, bentuk, dan sasaran kegiatan.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa UUY
belum mampu memosisikan diri sebagai salah
94
satu wadah untuk mewujudkan tujuan hukum
berdasarkan amanat konstitusi dan filosofi bangsa. Apa yang ditonjolkan dalam UUY terbatas
pada aspek ketertiban dan kepastian hukum.
Konsekuensinya ialah yayasan yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan UUY, termasuk ketentuan peralihan pada Pasal 71, dapat saja diberikan sanksi berdasarkan ketentuan Pasal 71
ayat (4), tetapi sanksi tersebut cenderung hanya
menghasilkan nilai ketertiban dan kepastian
hukum. Nilai keadilan dan kemanfaatan atau
keadaan damai sejahtera sebagai tujuan hukum
yang sesungguhnya malahan terabaikan. Pemberian sanksi seperti itu mengarah pada pengerdilan makna penegakan hukum menjadi sekedar
penegakan undang-undang. Hal ini, tentu tidak
dapat
dibenarkan
dalam
hukum
Indonesia,
karena tindakan itu memosisikan masyarakat
sebagai sekedar objek hukum.
Hal tersebut akan memengaruhi keseluruhan
ketentuan dalam UUY. Jika dikaitkan dengan
eksekusi ketentuan peralihan bagi yayasan yang
telah
berdiri
sebelum
UUY,
maka
eksekusi
tersebut tidak memiliki urgensi sebagai upaya
mencapai tujuan hukum dalam UUY. Eksekusi
secara
paksa
tanpa
melihat
yayasan
kasus
perkasus, akan mencederai cita hukum nasional.
95
Download