Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education), Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan, 27 Agustus 2016 p-ISSN: 2540-752x e-ISSN: 2528-5726 AKTIVITAS ANTIFUNGI KITOSAN TERHADAP KAPANG KONTAMINAN PADA IKAN KAYU Resmila Dewi1, Endang S. Soetarto2 Mahasiswa Universitas Gadjah Mada1 Jln. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 5228, Indonesia Email1: [email protected] Abstrak Kitosan merupakan polimer hasil ekstraksi kulit udang yang dapat digunakan sebagai pengawet makanan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kehadiran jenis-jenis kapang kontaminan pada ikan kayu yang diperoleh dari Pasar Banda Aceh dan menganalisis aktivitas antifungi kitosan terhadap kapang. Penelitian ini diawali dengan menyiapkan kitosan dari kulit udang. Isolasi kapang dari ikan kayu dilakukan dengan metode serial dilution dan spread plate. Uji aktivitas antifungi kitosan dilakukan dengan metode difusi sumur pada media PDA dengan berbagai konsentrasi (0, 0,5, 1, 1,5, dan 2%). Hasil isolasi diperoleh tiga isolat kapang kontaminan pada ikan kayu yaitu Aspergillus flavus, A. ochraceus, dan A. niger. Uji antifungi kitosan terhadap kapang menunjukkan bahwa kitosan mampu membentuk zona hambat terbesar pada A. ochraceus dibandingkan kedua jenis lainnya. Pemberian kitosan 0,5 dan 1% pada A. niger tidak terbentuk zona hambat, sedangkan kedua jenis kapang lainnya menunjukkan adanya zona hambat dengan pemberian kitosan 0,5%. Konsentrasi penghambatan minimum kitosan adalah pada konsentrasi 1,5% karena dapat membentuk zona hambat terhadap A. flavus, A. ochraceus, dan A. niger. Kata kunci: kitosan, antifungi, kapang, ikan kayu Pendahuluan Ikan kayu merupakan salah satu makanan tradisional khas Aceh yang dibuat dari ikan tongkol (Euthynnus affinis). Ikan tongkol diolah melalui serangkaian proses yaitu pencucian, perebusan, pelapisan ikan dengan tepung terigu, dan pengeringan di bawah sinar matahari. Pada saat dijual di pasar umumnya ikan tersebut dijual tanpa kemasan sehingga memungkinkan ikan tersebut terkontaminasi oleh mikroba, khususnya kapang. Hasil penelitian terdahulu (Safika, 2008) menunjukkan bahwa hampir semua ikan kayu yang diperoleh dari pasar Banda Aceh terkontaminasi oleh Aspergillus, terutama Aspergillus flavus dengan populasi yang bervariasi. Hasil penelitian Putri (2015) menunjukkan bahwa ikan kayu yang dijual di 5 pasar tradisional Kota Banda Aceh positif mengandung formalin. Resiko kesehatan yang ditimbulkan jika konsumen mengonsumsi produk yang telah terkontaminasi oleh 435 Resmila Dewi, Endang S. Soetarto – Aktivitas Fungi Kitosan.... kapang patogen maupun produk yang mengandung formalin sangat berbahaya karena bersifat karsinogen. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu pencegahan kontaminasi kapang menggunakan bahan alami yang diharapkan lebih efektif dan aman dalam upaya menghambat pertumbuhan kapang kontaminan. Penggunaan biomaterial kitosan merupakan salah satu cara alternatif yang dapat mengatasi permasalahan kapang kontaminan pada bahan pangan. Kitosan merupakan biopolimer yang berlimpah di alam pada limbah perikanan seperti kulit udang (No et al., 2002). Kitosan memiliki aktivitas antimikroba dan tidak toksik bagi manusia (Wang, 1992; Muzzarelli, 1996; Paul et al., 2013). Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kehadiran jenis-jenis kapang kontaminan pada ikan kayu yang diperoleh dari Pasar Banda Aceh, menganalisis aktivitas antifungi kitosan terhadap kapang, dan menentukan konsentrasi penghambatan minimum (MIC) kitosan terhadap kapang kontaminan. Metode Penyiapan Kitosan dari Kulit Udang Pembuatan kitosan menggunakan metode Hong et al. (1989) sebagaimana telah diterapkan oleh Silvia et al. (2014). Kulit udang yang telah dihaluskan ditempatkan dalam wadah dan ditambahkan NaOH 3,5% (1:10 b/v). Kemudian dipanaskan pada suhu 65ºC selama 2 jam sambil diaduk. Setelah campuran dingin, disaring dan dicuci dengan aquadest sampai pH netral dan dikeringkan (deproteinasi). Hasilnya ditimbang dan ditambahkan HCl 1 M (1:10 b/v). Dibiarkan selama 30 menit pada suhu kamar sambil diaduk. Setelah selesai, dicuci dengan aquadest sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 65ºC hingga kering (demineralisasi). Hasil dari proses ini disebut kitin. Hasil ditimbang dan ditambahkan NaOH 50% (1:10 b/v) dalam wadah dan diaduk sambil dipanaskan pada suhu 100ºC selama 30 menit (deasetilasi). Setelah dingin disaring dan dicuci sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 65ºC. Hasil yang diperoleh berupa kitosan. Isolasi Kapang dari Ikan Kayu Isolasi kapang dilakukan dengan metode serial dilution dan spread plate. Sebanyak 10 g sampel ikan kayu yang telah dihaluskan dilarutkan dalam 90 ml aquadest 436 Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education), Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan, 27 Agustus 2016 p-ISSN: 2540-752x e-ISSN: 2528-5726 steril dengan cara divorteks (diperoleh pengenceran 10-1). Dari larutan tersebut diambil 1 ml dan dilarutkan dalam 9 ml aquadest steril sehingga diperoleh pengenceran 10-2 dan divorteks hingga homogen. Masing-masing suspensi hasil pengenceran diambil 0,1 ml diinokulasikan ke dalam petridisc yang berisi media PDA. Dari masing-masing pengenceran dibuat 2 ulangan dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Pengamatan dilakukan dengan mengamati pertumbuhan koloni pada permukaan media. Koloni yang tumbuh kemudian diambil untuk dipurifikasi hingga diperoleh kultur murni. Selanjutnya dilakukan pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis mengacu pada Barnet dan Hunter (1998), Gandjar et al. (1999), Samson et al. (1999), dan Watanabe (2002). Uji Aktivitas Antifungi Kitosan terhadap Kapang Pengujian aktivitas antifungi kitosan terhadap kapang kontaminan dilakukan dengan metode difusi sumur (Rios et al., 1988) pada media PDA. Kapang ditumbuhkan secara spread dipermukan media. Selanjutnya dibuat lubang sumuran menggunakan cork borrer dengan diameter 6 mm. Setiap petridisc dibuat 6 sumuran. Sumuran diisi dengan larutan kitosan sebanyak 25 µL sesuai dengan kelompok perlakuan. Adapun konsentrasi kitosan yang digunakan adalah 0,5, 1, 1,5, dan 2%. Pada perlakuan kontrol negatif digunakan 0% kitosan dan kontrol positif digunakan ketokonazole 2%. Masingmasing perlakuan terdiri dari 2 ulangan. Biakan diinkubasi selama 7 hari dan dilakukan pengukuran diameter zona hambat dengan menggunakan penggaris dengan satuan millimeter (mm). Hasil dan Pembahasan Identifikasi mikroskopis. kapang Pengamatan dilakukan secara dengan makroskopis pengamatan dilakukan makroskopis dengan dan mengamati karakteristik koloni yang tampak pada permukaan media PDA dan pengamatan secara mikroskopis dilakukan dengan mengamati bentuk vesikel, metula, fialid, konidia, dan konidiofor dengan mikroskop. Hasil penelitian diperoleh 3 jenis kapang kontaminan pada ikan kayu yaitu Aspergillus flavus, A. ochraceus dan A. niger (Gambar 1). 437 Resmila Dewi, Endang S. Soetarto – Aktivitas Fungi Kitosan.... Gambar 1. Pengamatan kapang hasil isolasi dari ikan kayu secara makroskopis (a) dan mikroskopis (b) ; A: Aspergillus flavus,B: A. ochraceus, dan C: A. niger. Uji aktifitas antifungi kitosan terhadap kapang dilakukan dengan metode difusi sumur. Pengamatan dilakukan pada hari ke-7 dengan mengukur diameter zona bening di sekitar sumuran. Pengujian kitosan dengan menggunakan 4 seri konsentrasi (0,5; 1; 1,5; dan 2%) terhadap 3 spesies kapang (A. flavus, A. ochraceus,dan A. niger). Hasil pengukuran diameter zona hambat kitosan terhadap pertumbuhan A. flavus, A. ochraceus dan A. niger setelah diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Hasil pengukuran diameter zona hambat Spesies Kapang Perlakuan KK+ Kitosan 0,5 % A. flavus Kitosan 1% Kitosan 1,5 % Kitosan 2% KK+ Kitosan 0,5 % A. ochraceus Kitosan 1% Kitosan 1,5 % Kitosan 2% KK+ Kitosan 0,5 % A. niger Kitosan 1% Kitosan 1,5 % Kitosan 2% Keterangan: N=2; ± SD Diameter zona hambat (mm) 0,00±0,00 12,25±2,47 1,75±0,35 3,00±0,00 3,75±0,35 7,50±2,83 0,00±0,00 25,25±5,30 4,50±0,71 5,25±1,06 7,25±2,47 11,75±4,60 0,00±0,00 6,75±0,35 0,00±0,00 0,00±0,00 1,50±0,00 3,50±0,00 Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi kitosan yang diberikan maka semakin besar zona hambat yang terbentuk. Menurut Jawetz et al. (2007) semakin besar zona hambat yang terbentuk maka semakin baik antifunginya. Perbandingan diameter zona hambat kitosan terhadap kapang dapat dilihat dalam Gambar 2. 438 Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education), Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan, 27 Agustus 2016 p-ISSN: 2540-752x e-ISSN: 2528-5726 . Gambar 2. Perbandingan diameter zona hambat kitosan terhadap kapang Gambar 2 menunjukkan bahwa kitosan mampu membentuk zona hambat terbesar pada A.ochraceus dibandingkan kedua jenis lainnya. Pemberian kitosan 0,5 dan 1% pada A. niger tidak terbentuk zona hambat, sedangkan kedua jenis kapang lainnya menunjukkan adanya zona hambat dengan pemberian kitosan 0,5%. Melihat variasi diameter zona hambat yang terbentuk, menurut metode David Stout (Hutasoid et al., 2013) bahwa bila diameter zona hambatan 20 mm atau lebih maka aktivitas penghambatannya dikategorikan sangat kuat, 11-20 mm dikategorikan kuat, 6-10 mm dikategorikan sedang, dan 5 mm atau kurang dikategorikan lemah. Zona hambat kitosan terhadap A. flavus Hasil pengukuran diameter zona hambat kitosan terhadap A. flavus menunjukkan bahwa zona hambat tertinggi pada konsentrasi kitosan 2% dengan ratarata diameter zona hambat 7,5 mm dan daya hambat terendah pada konsentrasi 0,5% (1,75 mm). Zona hambat pada kontrol negatif (kitosan 0%) tidak terbentuk. Zona hambat yang terbentuk dapat dilihat dalam Gambar 3. Menurut Cappucino dan Sherman (1999), kemampuan difusi bahan antimikroba kedalam media dan interaksinya dengan mikroba yang diuji merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi zona hambat. Rhoades dan Roller (2000) menyatakan bahwa pemberian kitosan akan menghambat pertumbuhan hifa cendawan patogen dengan adanya aktivitas dari enzim-enzim kitinase, glukanase dan senyawa antifungal lain yang terdapat dalam kitosan. Berdasarkan penelitian Restuati (2008), kitosan dapat menghambat pertumbuhan A. flavus dengan konsentrasi minimum 0,2%. Berdasarkan kategori David Stout (Hutasoid 439 Resmila Dewi, Endang S. Soetarto – Aktivitas Fungi Kitosan.... et al., 2013), zona hambat yang terbentuk dikategorikan lemah (kitosan 0,5, 1 dan 1,5%) dan sedang (2%). Gambar 3. Hasil uji penghambatan kitosan terhadap A. flavus. a) kontrol positif (ketokonazole 2%); b) kontrol negatif (kitosan 0%); c) kitosan 2%; d) kitosan 1,5%; e) kitosan 1%; f) kitosan 0,5%. Zona hambat kitosan terhada A. ochraceus Hasil pengukuran diameter zona hambat kitosan terhadap A. ochraceus menunjukkan bahwa pemberian kitosan dengan konsentrasi 2% memiliki zona hambat terbesar (11,75 mm). Akan tetapi, diameter zona hambat tersebut masih kecil dibandingkan zona hambat dengan pemberian ketokonazole 2% (25,25 mm). Diameter zona hambat pada kontrol negatif tidak terbentuk. Zona hambat yang terbentuk tersebut, berdasarkan kategori David Stout (Hutasoid et al., 2013), dikategorikan lemah (0,5%), sedang (1% dan 1,5%) dan kuat (2%). Pembentukan zona hambat kitosan terhadap A. ochraceus dapat dilihat dalam Gambar 4. Gambar 4. Hasil uji zona hambat kitosan terhadap A. ochraceus. a) kontrol positif (ketokonazole 2%); b) kontrol negatif (kitosan 0%); c) kitosan 2%; d) kitosan 1,5%; e) kitosan 1%; f) kitosan 0,5%. Zona hambat kitosan terhadap A. niger Berdasarkan uji antifungi dengan metode difusi sumur menunjukkan bahwa pemberian kitosan dengan kosentrasi 0; 0,5; dan 1% tidak menunjukkan adanya aktivitas antifungi terhadap A. niger yang ditandai dengan tidak terbentuknya zona hambat. Obistioiu et al. (2014) melaporkan bahwa konsentrasi komponen senyawa aktif 440 Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education), Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan, 27 Agustus 2016 p-ISSN: 2540-752x e-ISSN: 2528-5726 antifungi yang rendah akan mengurangi aktifitas antifunginya. Zona hambat pada biakan A. niger mulai terbentuk pada konsentrasi kitosan 1,5% (diameter zona hambat 1,5 mm) dan 2% (diameter zona hambat 3,5 mm). Berdasarkan kategori David Stout (Hutasoid et al., 2013), zona hambat yang terbentuk pada kitosan 1,5 dan 2% dikategorikan lemah. Pembentukan zona hambat kitosan terhadap A. niger dapat dilihat dalam Gambar 5. Gambar 5. Hasil uji zona hambat kitosan terhadap A. niger. a) kontrol positif (ketokonazole 2%); b) kontrol negatif (kitosan 0%); c) kitosan 2%; d) kitosan 1,5%; e) kitosan 1%; f) kitosan 0,5%. Diameter zona hambat pada kontrol negatif (kitosan 0%) untuk semua spesies kapang yang diuji tidak terbentuk. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas antifungi tidak dipengaruhi oleh pelarut (asam asetat) sehingga aktivitas antifungi yang dianalisis merupakan potensi yang dimiliki oleh kitosan. Pada kontrol positif (ketokonazole 2%) memiliki zona hambat yang tinggi dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi kitosan. Ketokonazole merupakan antifungi berspektrum luas yang berefek fungistatik dan fungisidal. Antifungi golongan azol berinteraksi dengan C-14 α-demetilase (enzim P450 sitokrom) untuk menghambat demetilase lanosterol menjadi ergosterol. Penghambat ini mengganggu fungsi membran sel dan meningkatkan permeabilitas sel kapang (Katzung, 2001; Mycek et al.,2001). Griffin (1981) menyatakan bahwa suatu antifungi mampu menghambat pertumbuhan fungi uji dengan bekerja mempengaruhi dinding sel, membran sitoplasma, maupun nukleus. Menurut Rogis et al. (2007) aktivitas antifungi dari kitosan terjadi karena adanya aktivitas enzim kitinase (β-1,3-glukanase) yang dihasilkan oleh kapang dan adanya senyawa-senyawa kimia yang terurai dari kitosan seperti polimer Dglukosamin yang bersifat toksin bagi kapang. Enzim β-1,3-glukanase mengakibatkan kitosan terurai menjadi senyawa D-glukosamin yang akan mengurai kitin pada dinding hifa dan sporangium kapang sehingga pertumbuhan koloni terhambat. 441 Resmila Dewi, Endang S. Soetarto – Aktivitas Fungi Kitosan.... Hernandez-Lauzardo et al. (2011) juga menyatakan bahwa, sebagai antifungi, kitosan berinteraksi langsung dengan membran sel kapang sehingga mengganggu permeabilitas membran dan dapat menyebabkan kematian sel. Rhoades dan Roller (2000) mengemukakan bahwa kitosan ketika diaplikasikan ke kapang patogen akan menghalangi germinasi dan pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena kitosan berfungsi sebagai agen pengkelat yang akan mengikat trace elemen dan nutrisi esensial sehingga menyebabkan pertumbuhan kapang terganggu. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jenis kapang yang ditemukan mengkontaminasi ikan kayu adalah Aspergillus flavus, A. ochraceus, dan A. niger. Kitosan memiliki aktivitas antifungi yang dapat menghambat pertumbuhan Aspergillus. Konsentrasi penghambatan minimum kitosan adalah pada konsentrasi 1,5% karena dapat membentuk zona hambat terhadap A. flavus, A. ochraceus, dan A. niger. Aplikasi kitosan dapat digunakan sebagai antifungi dalam upaya menghambat pertumbuhan Aspergillus, yaitu sebagai pengawet bahan pangan, sehingga diharapkan intensitas serangan Aspergillus lebih rendah. 442 Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education), Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan, 27 Agustus 2016 p-ISSN: 2540-752x e-ISSN: 2528-5726 Daftar Pustaka Barnett, H. L. dan Hunter. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Burgess Publishing Company. Cappucino, J. G dan Sherman, N. 1999. Microbioloy A Laboratory Manual. AddisonWesley Publishing Company, New York. Gandjar, I., Samson, R. A, Tweel-Vermeulen, K., Oetari, A. dan Santoso, I. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Griffin, D. H. 1981. Fungal Physiology. John Wiley & Sons. New York. Hernandez-Lauzardo, A. N., Miguel, G. V. V., dan Maria, G. G. 2011. Current status of action mode and effect of chitosan against phytopathogens fungi. African Journal of Microbiology Research. 5 (25): 4243-4247. Hutasoit, S., I Ketut, S., I Gede. K. T. 2013 Uji Aktivitas antijamur ekstrak beberapa jenis biota laut terhadap Aspergillus flavus LINK dan Penicillium sp. LINK. EJurnal Agroekoteknologi Tropika. 2 (1): 27-38. Jawetz., Melnick, dan Adelberg, 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran. EGC, Jakarta. Katzung, B. G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik: Obat Antijamur. Edisi 5. EGC, Jakarta. Muzzarelli, R. A. A. 1996. Chitosan-based dietary foods. Carbohydr Polym. 29: 309316. Mycek, M.J., Harvey, R. A., Champe, P. C, dan Fisher, B. D. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar: Obat-obat Antijamur. Edisi 2. Widya Medika, Jakarta. No, H. K., Na, Y. P., Lee, S. H., dan Meyers S. P. 2002. Antibacterial activity of chitosans and chitosan oligomers wit different molecular weights. International Journal Food Microbiol. 74: 65-72. Obistioiu, D., Cristina, R. T., Schmerold, I., Chizzola, R., Stolze, K., Nichita, I., dan Chiurciu, V. 2014. Chemical characterization by GC-MS and in vitro activity Candida albicans of volatile fractions prepared from Artemisia drcunculus, Artemisia abrotanum, Artemisia absinthium, and Artemisia vulgaris. Chemistry Central Journal. 8 (6). Paul, J., Sharmila, J. J. W, dan Mohan, K. 2013. Development of chitosan based activity film to extend the shelf life of minimally processed fish. International Journal of Research in Engineering & Technology. 1 (5): 15-22. Putri, C. N. 2015. Deteksi kandungan formalin pada ikan kayu (keumamah) di pasar tradisional kota Banda Aceh. Electronic Thesis and Dissertation Unsyiah. Banda Aceh. Restuati, M. 2008. Perbandingan chitosan kulit udang dan kulit kepiting dalam menghambat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi, Lampung. 582-590. 443 Resmila Dewi, Endang S. Soetarto – Aktivitas Fungi Kitosan.... Rios, J. L., Recio, M., dan Villar, A. 1988. Screening methods for natural products with antimicrobial activity. Journal Ethnopharmacol. 23: 127-149. Rhoades dan Roller. 2000. Antimicrobial actions actions of degraded and native chitosan against spoilage organisms in laboratory media and foods. Appl Environ Microbiol. 66 (1): 80-86. Rogis, A., Pamekas, T., dan Mucharromah. 2007. Karakteristik dan uji efikasi bahan senyawa alami chitosan terhadap patogen pascapanen antraknosa. JIPI. 9 (1): 58-63. Safika. 2008. Korelasi Aspergillus flavus dengan konsentrasi aflatoksin B1 pada ikan kayu. Jurnal Kedokteran Hewan. 2 (2): 170-175. Samson, R. A., Hoekstra, E. S., Frisvad, J. C., dan Filtenborg, O. 1999. Introduction to Food Borne Fungi, Ed ke-4. Ponsen & Looyen, Netherlands. Silvia, R., Sari, W. W., dan Farida, H. 2014. Pemanfaatan kitosan dari cangkang rajungan (Portonus sanginolentus L.) sebagai pengawet ikan kembung (Rastrelliger sp.) dan ikan lele (Clarias batrachus). Jurnal Teknik Kimia USU. 3 (4): 18-24. Wang, G. H. 1992. Inhibition and activation of five species of foodborne pathogens by chitosan. Journal Food Protect. 55: 916-919. Watanabe, T. 2002. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi: Morphologies of Cultured Fungi and Key to species, Second Edition. CRC Press, New York. 444