SENGKETA TANAH DAN PROSEDUR PENYELESAIANNYA (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Ilmu Sosial Dalam Bidang Antropologi Disusun Oleh DOMINIRIA HULU 050905028 DEPARTEMEN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK HALAMAN PERSETUJUAN Nama :Dominiria Hulu Nim :050905028 Departemen :Antropologi Judul :SENGKETA TANAH PENYELESAIANNYA DAN (Studi PROSEDUR Kasus tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias) Medan, Desember 2009 Pembimbing Skripsi Ketua Departemen (Dra. Rytha Tambunan, M.Si) Drs. Zulkifli Lubis, M. A. Nip.196308291990032001 Nip. 196401231990031001 Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (Prof. Dr. Arif Nasution, M.A) Nip. 196207031987111001 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Kata Pengantar Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Tritunggal Yesus Kristus yang dalam kemurahan hati dan kasihnya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, juga kepada Bunda Maria Anaivelangkani yang turut memberikan limpahan berkatnya bagi penulis sehingga segala tantangan yang dihadapi selalu berakhir dengan sukacita. Adapun yang menjadi judul skripsi ini adalah “Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias). Penulis menyadari masih banyak kesalahan dalam penyusunan skripsi ini, untuk itu penulis akan sangat berterimakasih jika kedepan akan ada saran dan kritik yang tentunya bertujuan untuk penyempurnaan skripsi ini. Selama penulisan skripsi, penulis banyak menerima bantuan baik dari segi moral dan materil, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang tak terhingga dan mengucapkan penghargaan yang setinggitingginya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M. A. sebagai Dekan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara 2. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, M.A sebagai Ketua Departemen Antropologi dan juga penasehat akademik penulis, yang selama ini banyak memberi ilmu, arahan, nasehat dan motivasi kepada penulis untuk bekarya. 3. Dra. Rytha Tambunan, selaku dosen pembimbing penulis yang telah meluangkan waktu, memberikan kontribusi teoritis dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan banyak terimakasih atas seluruh kebijaksanaan, bimbingan, ketulusan dan kesediaan beliau dalam membantu penulisan skripsi ini. 4. Drs. Ermansyah, M.Hum dan Dra. Mariana Makmur, MA yang telah menjadi penguji penulis dalam selesainya skripsi ini, terimakasih atas segala saran, arahan dan motivasi. 5. Ucapan terimakasih penulis kepada dosen Antropologi Mas Agus, Bang Fikarwin, Bang Edi Saputra, Bang Farid, Bang Lister, Bang Zulkifli, Bang Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Nurman, Bang Yance, Kak Sri Alem, Ibu Chalida, Kak Nita Savitri, Kak Sabariah, Kak Tjut, Kak Aida, Kak Emiyanti, dan Alm Nurdiani, terimakasih atas jasa kalian dalam mendidik dan membekali penulis dalam karya dengan ilmu pengetahuan. Terimakasih penulis untuk Kak Nur, Kak Sri dan Kak Sofie yang telah membantu penulis dalam memperlancar proses selesainya skripsi ini. 6. Bapak Christian Harefa selaku kepala desa Dahana Tabaloho, Bapak P.Joseph Ziraluo selaku ketua pengadilan negeri Gunungsitoli, dan Bapak Samuely Daely selaku kepala desa Onolimbu Raya yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan pengumpulan data guna selesainya skripsi ini. 7. Penghargaan sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada orangtua terkasih, almarhum Ayahanda Romanus F. Hulu dan Ibunda Emiliana Zebua yang dengan penuh kasih dan cinta membimbing penulis untuk tetap berkarya, untuk tetap menjadi kebanggaan mereka demi kebahagian dan keberhasilan anaknya, saya sangat mencintai kalian. Saya merindukannmu ayah. Untuk Bunda yang menjadi single parents terbaik bagi penulis, penulis ucapkan terimakasih banyak. Engkau adalah pahlawan penuh cinta bagiku, kegigihanmu dalam menuntun kami menjadi landasan kami anak-anakmu untuk tetap bertahan menjalani dan menikmati hidup ini dengan sukacita, aku mencintaimu.. 8. Terkhusus untuk kakak tersayang Miss Maria Sepniawatu Hulu, SPd. Kakak adalah motivator terbaik untuk kami adik-adikmu, cintamu kepada kami sungguh berharga, engkau adalah guru serta teladan bagiku. 9. Untuk Brother dan Sisterku terkasih Bro Markus, Miss Yana, Bro OktavMIPA USU, Miss Natalia, Miss Selvi, Bro Vincen, karena kasih, kebersamaan dan cinta tulus dari kalian semua, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, terimakasih. 10. Semua yang menjadi informan penulis Ama Ica Harefa, Bapak Rano, Ama Isa, Ama Johan, Ibu Masta Yunita, Ibu Saina Ndraha, Bapak Deky, praktisi adat Nias dalam hal ini Bapak Yas Harefa, Ibu Arniwati Zebua, kak Wuri Harefa, A/I Dewi, bang Erwin Harefa dan semua warga Desa Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dahana Tabaloho dan Desa Onolimbu Raya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis dalam memperoleh banyak informasi untuk selesainya skripsi ini. 11. Untuk keluarga Niat Daely dan Ama/Ina Dewi yang telah menerima penulis untuk tinggal, makan/minum. Terimakasih atas cinta kalian menggangap saya anak dan memberikan kesempatan kepada saya. Terkhusus buat adikku Niat yang telah menemani penulis untuk pengambilan data di Desa Onolimbu Raya, terimakasih atas perjalanan berliku yang kita lalui untuk dapat bertemu dengan informan penulis. 12. Untuk sahabat sekaligus saudaraku, Meyni, Minar, Santi, Muvida, GraceUKI Jakarta, Marsalina-Purwokerto, Yohanes-Sintang, Christin-Padang, Belinda-Bogor, Ronald, Ian, Willy, Mas Anton-Solo, Mendio, Yunus, Mas Dana/kak Mery di Jakarta serta Frangky Suciadi-Jakarta, yang telah mendukung, mendengar/berbagi cerita suka dan duka, tangis dan tawa sehingga penulis tetap semangat dan maju terus, terimakasih atas cinta kalian. 13. Untuk Group Bhumiksara, Group Nias di Facebook, ForMaN-USU, Buletin Kerabat, INSAN, Koor Gloria st Albertus Magnus, PMKRI cab. Medan, terimakasih atas semangat kalian kepada penulis, semoga kita semua menjadi penerus intelektul bangsa, selamat berjuang. 14. Untuk teman-teman kos Hijo gang Sempurna dan Maria CampPembangunan Medan, Erni, kak Dewi, kak Farah, Eva, bang Wija, Tyka, Ami, Medwin, terkhusus buat adik Oshie-Polmed Medan yang dah jadi adik sekaligus sahabat terbaik, terimakasih. 15. Buat abang dan kakak terbaik Kak Munthe-dosen Sosiologi USU, Kak Kekem, Bang Sandrak, Kak Lelyta, Kak Erlin, Kak Tety, Kak Lenti, Kak Rukun, Bang Hubert-Hukum USU, Bang Juliman Harefa hukum-USU, Bang Berwaddin- Kessos USU, Bang Onlyhu Ndraha-MIPA USU, Bang Amrin-Batam dan semuanya yang telah berperan sebagai kakak dan abang yang penuh talenta dalam membantu penulis merangkai kata dan bertahan untuk menyelesaikan skripsi ini, terimakasih. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 16. Untuk donatur terbaik saya Fr. Dion, Rm. Anton, Rm. Paulus- Flores, Rm Aloy-Sibolga, Uskup Anicetus Sinaga-Medan, Uskup Ludovicus-Sibolga, Bapak Haji Iskandar Leman-Jakarta, Mas Andre Goni-Medan, crew Training of Trainers Cordia, terimakasih. 17. Semua Tim Bhumiksara Pak Djokdwihatmono-Jakarta, Bapak Slamet S Sarwono-Universitas Atmajaya Yogyakarta, Bapak Ludovicus Ludin Lubis-Jakarta, kak Dominic-Singapura, Mas Eko-Jakarta, Tim Trainer Sanata Dharma –Yogyakarta, Tim Panti Semedi-Klaten, dan semuanya yang telah meringankan beban saya dalam menjalani perkuliahan baik dari segi materil dan pelatihan-pelatihan luar biasa yang melatih saya menjadi pribadi berharga. 18. Untuk crew Japan Disaster Relief-Nias, crew Help e.v Jermany-Nias, crew Mr-Net-Medan, crew stan Nias-Medan Fair, crew Surveyor KPE terimakasih atas kesempatan kerja yang telah kalian berikan kepada penulis sehingga penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat secara nyata. Terimakasih juga buat crew Jurnal Iman, Ilmu, Budaya, crew Jurnal Etnovisi, dan crew Buletin Insan Muda Antropologi yang memberikan nuansa ilmu terbaik yang sangat menunjang kreatifitas berpikir penulis. 19. Terkhusus Buat sahabat-sahabat se-Indonesia, Happy-Banjarmasin, komdik Bogor (Adit, Tuti, Rina, Hengky, Lusi, Monic, Yogi, Silver, Tjan), komdik Jakarta (Tanti, Angel, Bobby, Catrien, Noel, Ino, Lea, Leo, Marcel, Nikson, Rosa), Komdik Makasar (Cornel, Markus, Simon, Anto, Henny, Bogdan), Komdik Malang (Aan, Rita, Komang, Anton, Sieni, Dini, Krista, Mario, Sylvana, Sylvia, Lina, Olin, Yohanes), Komdik Padang (Mai dan alm Sapri), Komdik Palangkaraya (Arin, Lusia, Handaru), Yosua-Palembang, Komdik Purwokerto(Yogie, Ardi, Tiwi, Ayu, Benny, Aswin), Komdik Ruteng(Ana, Ira, Sary) Komdik Samarinda (Dimas, Marda), Komdik Semarang (Intan, Aurel, Dika, Teguh, Tuti, Andri, Cyntia, Rina, Sugeng, Wulan, Siska, Iren, Etta, Natalia, Pandu, Ruben, Lene, Yudith, Bayu), Komdik Sibolga (Imel, Marna), Komdik Sintang (Apeng, Yusi, Das, Alfung), Komdik Surabaya (Wenny, Kartika, Panca, Adit, Dety), Leonardus-Komdik Weetebula, Jimmy UsfunanDominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Hukum Univ Udayana-Denpasar. Terimakasih atas kebersamaan kita dalam pendampingan Jakarta-Yogya-Klaten, kebersamaan dalam dunia maya, sms/telp dalam berbagi saran/semangat luar biasa, semoga kita menjadi penerus intelektual dalam dunia realita, terimakasih atas persaudaraan kalian, miss you all. 20. Spesial buat seseorang yang luar biasa dalam hidup penulis yang telah menjadi patner terbaik, Mas Timotius Yanuardi Permana SatriawanYogya, yang telah setia berbagi kisah, saran, kebersamaan dan dengan kesabaran mendukung penulis untuk tetap menyelesaikan skripsi ini, I miss u and I luv you. 21. Terkhusus buat sahabat seperjuangan stambuk 2005, Very Laia, Andri, Tuti, Ando, Syahferry, Hery M, Hery S, Toni, Bambang, Alisha, Roseva, Sri, Salsa, Wendy, Juli, Marsono, Naomi, Fauzi, Mahruzi, Edison, Remaja, Seri Wedari, Yenni, Eldevia, Dwika, Fitri, Vera, Angga, Mia, Hendra, Erna, Vivi, Minartina, Ria, Tika, Sukma, Criston, Eva Manurung, Dangiel, Erold, Sulia Rimbi dan Darwin. 22. Buat pembanding penulis saat seminar Mas Dani dan Erika Nadeak, terimakasih atas saran dan pertanyaan dari kalian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dan buat semua kerabat antropologi stambuk 2001, 2002, 2003, 2004, 2006, 2007, 2008, 2009, terimakasih buat kisah luar biasa yang turut kalian berikan kepada penulis dalam menempuh studi di Antropologi serta semua pihak yang telah membantu yang tidak disebutkan satu persatu, penulis ucapkan terimakasih. Akhir kata, atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis mendoakan semoga Kasih dari Allah Tritunggal Yesus Kristus selalu memberikan limpahan kasih dan berkatnya kepada kita dan semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kita semua. Medan 13 Desember 2009 Salam Kasih, DOMINIRIA HULU Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Daftar Isi KATA PENGANTAR…………………………………………………..…… i DAFTAR ISI…………………………………………………………………. vi DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… viii DAFTAR DIAGRAM……………………………………………………….. xi DAFTAR TABEL………………………………………………….………… xii ABSTRAK……………………………………………………………………. xiii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah……………………………………. 1.2. Ruang Lingkup Masalah dan Lokasi Penelitian.................... 1.3. Tujuan penelitian................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian................................................................. 1.5. Tinjauan Pustaka…………………………………………… 1.6. Metodologi Penelitian............................................................ 1.7.Teknik Analisis Data dan Kendala yang Dihadapi Penelitian............................................................................... 1 8 8 9 9 18 saat 24 BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN NIAS 2.1. Letak dan Keadaan Geografis Kabupaten Nias.................... 2.2. Kependudukan ..................................................................... 2.3. Sejarah Suku Nias................................................................. 2.4. Keadaan Desa Penelitian....................................................... 2.4.1 Desa Dahana Tabaloho................................................. 2.4.2 Desa Onolimbu Raya..................................................... 2.5. Sistem Kekerabatan Masyarakat Nias……………………... 2.7. Perkawinan Suku Nias.......................................................... 26 31 36 38 38 46 48 57 BAB III ARTI TANAH DAN HUKUM PADA MASYARAKAT NIAS 3.1. Arti Tanah pada Masyarakat Nias......................................... 67 3.2. Sistem Kepemilikan Tanah pada Masyarakat Nias............... 75 3.2.1. Berdasarkan Keturunan/Kerajaan Tetehöli Ana’a....... 75 3.2.2. Berdasarkan Fondrakö Bonio oleh Sitölu Tua............. 78 3.2.3. Perolehan Kepemilikan Tanah Berdasarkan Komunitis. 78 3.2.4. Berdasarkan Sistem Kepemilikan Tanah Secara Ideal... 83 3.3. Hukum yang Berlaku pada Masyarakat Nias.......................... 88 3.3.1. Hukum Waris................................................................. 88 3.3.1.1. Kedudukan Pria dan Wanita Nias dalam Memperoleh Harta Waris.................................................................... 88 3.3.2. Hukum Adat.................................................................. 91 3.3.2.1. Hukum Adat Fondrakö......................................... 91 3.5. Susunan Lembaga Adat Nias................................................. 94 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. BAB IV SENGKETA TANAH DAN PROSEDUR PENYELESAIANNYA PADA MASYARAKAT NIAS 4.1. Sengketa Tanah yang Terjadi pada Masyarakat Nias……. 100 4.1.1 Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Tanah pada Masyarakat Nias……………………………………….… 101 4.2. Contoh Kasus Sengketa Tanah yang Terjadi Pada Masyarakat Nias…………………………………………………………. 104 4.2.1. Kasus Terhadap Harta Waris dari Pihak Suami yang Telah Meninggal……………………………………….…... 104 4.2.2 Kasus Sengketa Tanah karena Adanya Pembangun… 106 4.2.2.1. Kasus Sengketa Tanah antara Kontraktor dan Pemberi Bantuan…………………………….. 106 4.2.2.2. Kasus Sengketa Tanah antara Kontraktor dan Pemilik Lahan……………………………….. 109 4.2.3. Kasus yang berkaitan dengan status kepemilikan tanah dan kasus pembayaran piutang terjadi di desa Onolimbu Raya…………………………………………………… 113 4.3. Prosedur Penyelesaian Kasus Sengketa Tanah pada Mayarakat Nias.............................................................................................. 118 4.4. Peranan Siteoli dengan tokoh adat Nias, peranan Mediator dan Kepala Desa dalam penyelesaian sengketa tanah pada masyarakat Nias......................................................................................... 121 4.5. Analisis Penyelesaian Sengketa Tanah di desa Dahana Tabaloho dan Desa Onolimbu Raya.........................................................124 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan............................................................................ 129 5.2. Saran...................................................................................... 131 DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 133 Lampiran 1. Daftar Istilah 2. Peta Perjalanan Penelitian di Desa Dahana Tabaloho 3. Peta Perjalanan Penelitian di Desa Onolimbu Raya, Mandrehe Barat 4. Beberapa Surat Perjanjian dan Surat Penyelesaian Sengketa Tanah di Desa Dahana Tabaloho dan Desa Onolimbu Raya 5. Contoh Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi Tanah 6. Surat Izin Penelitian dan Surat Keterangan Penelitian Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Daftar Gambar Halaman Gambar 1. Gambar Pulau Nias yang menunjukkan banyaknya pulau-pulau di Nias………………………………………………………………………..26 Gambar 2. Gambar Pulau Nias yang menunjukkan keindahan alam Nias yang kaya akan keindahan pantai …………………………………………………27 Gambar 3. Peta perjalanan ke pulau Nias dari Kota Medan ke Sibolga dan dari Sibolga ke Nias…………………………………………………………..29 Gambar 4. Peta Pulau Nias ..........................................................................30 Gambar 5. Perumahan di Nias………………………………………………32 Gambar 6. Pertanian sebagai salah satu mata pencaharian terpenting dalam kehidupan masyarakat Nias……………………………………………33 Gambar 7. Perkebunan kelapa yang ada di pinggir pantai Sirmbu Nias ………………………………………………………………………33 Gambar 8. Ternak babi yang dimiliki oleh warga Sirombu Nias sebagai salah satu mata pencaharian dan kegiatan adat perkawinan……………………34 Gambar 9. Batu Megalith di desa Dahana Tabaloho………………………40 Gambar 10. Tradisi perkawinan di Nias dimana pihak laki-laki membuat penghormatan kepada pihak perempuan dengan memberi sirih…………………51 Gambar 11. Gambar lambang pulau Nias …………………………………64 Gambar 12. Megalith/tugu kebesaran pada masyarakat Nias dan rumah adat masyarakat nias..................................................................................................................69 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Gambar 13. Rumah adat bagian utara ………………………………70 Gambar 14. Rumah adat bagian selatan ………………………………….70 Gambar 15. Proyek pembangunan pariwisata di lokasi penelitian desa dahana dan Sirombu………………………………………………………… 73 Gambar 16. Salah satu contoh pembangunan gedung sekolah…………………70 Gambar 17. Rumah pengungsi……………………………………………74 Gambar 18. Penyebaran kepemilikan tanah pada masyarakat Nias, dari buku asal usul masyarakat Nias suatu interpretasi …………………………………75 Gambar 19. Pegesahan secara adat di desa dalam kegiatan perkawinan wamozi aramba………………………………………………86 Gambar 20. Pengesahan adat perkawinan wamozi aramba dihadiri para tokoh2 adat setempat …………………………………………………………… 86 Gambar 21. Daging babi yang digunakan untuk pengesahan adat…..………….86 Gambar 22. Penyerahan daging babi kepada pengetua adat ………………… 86 Gambar 23. Minuman yang disajikan serta sirih yang merupakan simbol dari pelaksanaan kegiatan adat ………………………………………………………87 Gambar 24. Isi dari larangan di arah pintu masuk lokasi lahan yang dipersengketakan..................................................................................... 107 Gambar 25. Isi dari larangan di arah pintu keluar lokasi lahan yang dipersengketakan.............................................................................. 107 Gambar 26. Lahan perumahan pengungsi yang menjadi sengketa……….… 110 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Gambar 27. Lahan yang dijanjikan oleh Ir. Adieli Gulö kepada Ibu Saina Ndraha...110 Gambar 28. Keadaan rumah Ibu Saina Ndraha yang hingga sekarang belum direnovasi oleh Alm. Ir. Adieli Gulö…………………………………….. 111 Gambar 29. Keadaan lantai dan dinding rumah Ibu Saina Ndraha yang belum juga direnovasi sesuai janji Alm. Ir. Adieli Gulö…………….. 111 Gambar 30. Ama Johan dan Rumah Ama Johan ……………………. 115 Gambar 31. Istri dari Ama Isa dan rumah dari Ama Isa ............................. 117 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Daftar Diagram Halaman Diagram 1: diagram kekerabatan asal usul masyarakat Nias Buku Bapak Faogöli Harefa “Hakayat dan cerita Bangsa dan Adat Nias Diterbitkan oleh Rapatfonds Residentte Tapanuli, 1939 ............................................... 49 Diagram 2 : Istilah kekerabatan ......................................................................... 52 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Daftar Tabel Halaman Tabel 1: tabel analisis sengketa tanah dan prosedur penyelesaian pada masyarakat Nias………………………………………………………………………… 118 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. ABSTRAK SENGKETA TANAH DAN PROSEDUR PENYELESAIANNYA, Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias, (Dominiria Hulu, 2009). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 137 halaman 1 tabel 2 diagram, 27 daftar pustaka, lampiran yang terdiri dari contoh surat akta tanah, surat perjanjian, peta desa dan surat penelitian. Penelitian ini dilakukan pada dua lokasi di Nias yakni Desa Dahana dan Desa Onolimbu Raya yang mengkaji hal yang mendasari terjadinya sengketa tanah, prosedur penyelesaiannya dan sistem hukum yang secara operasional berlaku pada masyarakat Nias Sengketa tanah pada masyarakat Nias pada umumnya terjadi disebabkan pada adanya batas-batas tanah yang belum jelas, sertifikat yang kurang sah, masyarakat yang hanya berpatok pada jenis tanaman yang dibuat sebagai batas tanah sehingga terkadang menimbulkan adanya kesalahpahaman ketika tanah tersebut sudah menghasilkan atau bernilai ekonomi serta permasalahan lainnya ketika anak dari pemilik tanah pergi merantau dan anaknya tersebut tidak mengetahui batas tanah yang diwariskan kepadanya. Sengketa tanah yang terjadi telah menunjukan adanya kemajemukan hukum yang secara operasional terjadi dalam penyelesaiannya yakni dengan adanya tiga tahapan penyelesaian sengketa tanah tersebut diantaranya kekeluargaan, musyawarah adat dan pengadilan. Dari ketiga tahapan penyelesaian sengketa tersebut, tahapan penyelesaian secara kekeluargaan dan musyawarah adat sangat berperan penting, tentunya dengan menggunakan mediasi. Hasil penelitian lapangan menunjukan peran dari kepala desa, tokoh agama dan tokoh adat pada masyarakat Nias telah memberikan pengaruh besar bagi terselesaikannya masalah-masalah sengketa tanah yang sering terjadi. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya sikap menghargai dari masyarakat Nias terhadap hal-hal yang diputuskan oleh ketiga tokoh tersebut dalam menyelesaikan permasalahan sengketa baik secara tertulis maupun secara lisan. Kesimpulan penelitian bahwasanya kekerabatan masih dijunjung tinggi dalam menyelesaikan masalah sengketa yang terjadi. Falsafah yang terjalin erat dalam kehidupan masyarakat Nias yang tertulis dalam jiwa-jiwa Fondrakhö telah menjadi acuan dalam terselesaikannya persengketaan yang terjadi. Hasil keputusan dari 5 (lima) kasus yang diteliti terdapat satu kasus yang selesai dengan cara membiarkan saja, 3 kasus yang tuntas dengan adanya bukti perjanjian yang dilaksanakan melalui musyawarah adat dan satu kasus yang menggunakan jasa mediator Pendeta dengan pihak yang memberi bantuan walaupun hingga sekarang permasalahannya masih belum selesai. Beberapa kasus yang terjadi awalnya menyebabkan beberapa pihak menjadi renggang namun ada juga masyarakat yang makin akrab karena terjadinya penyelesaian yang sama-sama tidak merugikan dan adanya sikap mengalah dari pihak lain demi tercapainya sebuah penyelesaian ditingkat lokal. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tanah sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Yakni sebagai kekuatan dan kekuasaan untuk diolah dan dimanfaatkan secara baik untuk memenuhi segala kebutuhannya. Sumber penghidupan ini selanjutnya akan memberikan pengaruh terhadap pola budaya dan sosial masyarakat. Pola budaya dan sosial masyarakat tersebut terlihat dari tanggapan yang berbeda dari setiap masyarakat yang ada di Indonesia dalam memaknai arti tanah. Menurut Ahmad Tohari (2007) tanah bagi masyarakat Jawa yakni ibu kehidupan dan sifatnya sangat suci, bahkan ada pepatah Jawa yang mengatakan Sakdumuk bathuk saknyari bumi dibelani nganti mati1. A Latief Wiyata (2008) juga mengungkapkan makna tanah pada masyarakat Madura yakni tanah pertanian merupakan aset kekayaan yang tidak ternilai harganya. Kehidupan mereka sangat bergantung sekaligus ditopang secara dominan oleh tanah. Lebih penting lagi, tanah yang mereka miliki merupakan warisan orangtua atau kakek-nenek secara turun-temurun. Status pemilikan tanah seperti ini memiliki makna dan kekuatan yang sangat suci. Carol Mampioper (2007) menuliskan sebuah filosofi tanah bagi orang Papua, bahwasanya tidak ada kehidupan diatas muka bumi ini jika tidak ada tanah. Tanah sama dengan manusia dan tanah itu adalah kehidupan, tanpa tanah orang Papua tidak akan hidup. 1 Pepatah yang menggambarkan tekad Masyarakat Jawa membela kepemilikan tanahnya sampai mati meskipun tanah tersebut hanya seluas jari. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Permasalahan pertanahan merupakan suatu permasalahan yang cukup komplek dan membutuhkan waktu yang panjang dalam penyelesaiannya. Masalah-masalah pertanahan tersebut akan menimbulkan sengketa tanah. Berbicara tentang sengketa tanah seperti dilangsir oleh media Suara Pembaruan (2007), sedikitnya 3.000 hektare (ha) tanah di kabupaten maupun kota di Sumatera Utara (Sumut) masih bermasalah. Sumatera Utara berada pada urutan ketiga dalam kasus sengketa tanah setelah DKI Jakarta, Surabaya dan Jawa Timur. Persoalan tanah memiliki dampak yang sangat besar, yakni di antara masyarakat yang terlibat persengketaan tersebut sering bertikai. Persoalan tanah sangat sensitif dan berdampak sangat luas, misalnya satu keluarga rela saling membunuh hanya demi mempertahankan status tanah yang dianggap sebagai miliknya. Pelaksanaan musyawarah dalam penyelesaian sengketa tanah yang terdapat pada masyarakat Madura merupakan fenomena pluralisme hukum yang nyata dalam menyelesaikan persoalan sengketa tanah. Hal ini dituliskan oleh Lucy Dyah Hendrawati (2005) yang mengungkapkan bahwa untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan, bisa dilakukan dengan jalan persahabatan dan perdamaian yaitu melalui sumpah pocong 2 sebagai upaya penyelesaian sengketa. Anto Achadiat dalam Ihromi (1993) menyatakan bahwa kasus sengketa yang terjadi pada dua masyarakat Tenda dan Kumba di kabupaten Manggarai Flores Barat, Nusa Tenggara Timur pada dasarnya menempati wilayah yang sama, 2 Pelaksanaan sumpah pocong selalu dilakukan di masjid, seperti halnya di mesjid Madegan desa Polagan sampang-Madura. Hal ini dilakukan di mesjid karena akan menambah kenyakinan bagi orang yang disumpah dan memiliki keampuhan dari sumpah pocong tersebut. Jadi, sumpah pocong berarti pernyataan tentang janji yang dilakukan oleh penganut agama Islam dengan cara dibalut seluruh tubuhnya dengan kain kafan seperti orang meninggal, disumpah di bawah kitab suci Al Qur’an. Sumpah pocong memiliki konsekuensi, apabila keterangan atau janjinya tidak benar, orang yang disumpah diyakini mendapat hukuman dari Tuhan Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. hanya dibatasi dan dipisahkan oleh jalan negara. Kedua warga masyarakat tersebut merupakan satu kerabat dekat menurut prinsip moety 3. Warga masyarakat tersebut diatas memperebutkan tanah lingko atau tanah adat yang disebut Lingko Gewek dan Lingko Poceng.Kasus tanah tersebut menjadi sangat penting karena penyelesaiannya bertingkat-tingkat mulai dari musyawarah sampai akhirnya pada keputusan Mahkamah Agung, tetapi penyelesaian yang diharapkan tidak tercapai bahkan menimbulkan ketegangan dan keretakan dalam kehidupan sosial kedua warga masyarakat yang pada dasarnya masih kerabat (Achadiat,1983. Masyarakat Nias menggangap tanah merupakan aset berharga, sumber penghidupan serta sebagai warisan yang tidak boleh dijual karena tanah tersebut kelak merupakan warisan buat anak cucunya. Dahulunya kekayaan orangtua diukur dari seberapa luas tanah yang dimilikinya. Seperti seorang Kepala Suku atau yang disebut Tuhenöri 4 setidaknya mempunyai tanah untuk 7 generasi berikutnya. Tidak hanya kaum bangsawan saja yang memiliki tanah luas, rakyat biasa atau Sato/banua 5 juga mempunyai lahan luas yang ditandai dengan dibukanya perladangan-persawahan baru. Menurut Pastor Flavius OFM Cap (2005), berharganya tanah bagi masyarakat Nias sehingga ada ungkapan mengatakan bila membeli tanah di Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan, berarti membeli masalah. Masalah timbul ketika adanya transaksi jual-beli tanah dan masalah tanah ini berlangsung hingga 3 Prinsip paruh masyarakat dimana suatu kesatuan masyarakat terbagi ke dalam dua klen yang dapat berlandaskan pada prinsip garis keturunan patrilineal atau matirineal atau dapat pula berlandaskan pada prinsip senioritas yang dihitung dari cikal bakal warga masyarakat tersebut. Paruh masyarakat Manggarai adalah gambaran gabungan antara patrilineal dan senioritas. 4 Kasta Bangsawan bagi masyarakat Nias. . Tuhenöri (sebutan pemimpin bagi nias utara sedangkan di nias selatan Si’ulu atau Salaŵa), merupakan orang yang memimpin beberapa kumpulan desa, menjalankan adat dan yang mengambil keputusan sebuah hukum adat dalam sebuah wilayah atau kampung yang dipimpinnya. 5 Kasta masyarakat biasa bagi masyarakat Nias. Sato merupakan rakyat biasa yang menjalankan perintah dari Si’ulu. Dalam hal mengamankan ketertiban desa dan sebagainya. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. bertahun-tahun. Harian Waspada (2008) juga menuliskan tentang “relokasi rumah pengungsi di Nias menjadi sengketa”. Pembangunan relokasi 109 unit rumah pengungsi korban gempa Nias di Desa Dahana, Kecamatan Gunungsitoli menjadi sengketa. Pasalnya lahan seluas 18.600 M2 untuk pertapakan pembangunan rumah yang didanai dari anggaran BRR tahun 2005 sampai saat ini masih belum tuntas. Dalam hal kepemilikan tanah pada masyarakat Nias, kebanyakan hanya berpatokan pada pilar-pilar tanah sebagai batas dari kepemilikan tanahnya dan keabsahannya hanya diketahui pihak keluarganya sendiri atau orang-orang yang berada disekitarnya. Pembatasan tanah yang dilakukan biasanya menggunakan berbagai macam tumbuhan seperti pohon pinang, pohon jati dan sebagainya dan cara penanamannya haruslah tegak lurus sesuai dengan batas tanah yang telah disepakati. Hal ini yang kemudian menimbulkan adanya sengketa. Sengketa terjadi ketika: 1. Penguasaan lahan produktif yang bukan hak milik 2. Status tanah yang tidak pasti 3. masalah penjualan tanah yang tidak jelas ukurannya 4. Masyarakat Nias yang merantau 5. Akibat adanya pembangunan dan; 6. Perolehan harta warisan dari pihak laki-laki (suami dari si pemilik lahan). Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Masyarakat Nias yang menganut sistem patrilineal memiliki hubungan kekerabatan antar sesama mado 6 yang cukup erat. Sengketa tanah yang sering terjadi antar warga desa terkadang meruntuhkan sistem kekerabatan yang telah erat dibangun selama ini. Akhir-akhir ini mulai terjadi, ketika tanah sudah mulai berharga. Tanah yang awalnya hanya sebagai lahan pertanian bahkan lahan yang tidak berproduktif menjadi perebutan antar saudara, tetangga bahkan antar desa karena adanya pembangunan. Sengketa tanah yang terjadi di Nias dimulai dari famadöge ola7, hingga timbul faudusa 8 antar dua pihak dan biasanya dua pihak ini merupakan tetangganya serta saudara kandungnya. Ketika ketegangan semakin menjadi dan tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak yang bertikai maka faudusa tersebut dibawa menjadi farakaro danö 9 kepada penetua-penetua adat untuk diselesaikan secara kekeluargaan melalui hukum adat. Menurut Ama Aldo Telambanua (2007), masyarakat Nias menganggap bahwa hukum adat merupakan buah karya yang tidak dapat ternilai harganya. Hukum adat ini di kenal dengan sebutan Fondrakō 10 dalam masyarakat Nias. Fondrakō merupakan hukum yang mengatur segala sesuatu kehidupan masyarakat Nias yang di dalamnya berisikan aturan-aturan dan hukum yang mengatur 6 Marga Batas tanah digeser 8 Perkelahian antar dua pihak/dua keluarga 9 Perkara tanah. Perkara ini muncul karena ketidakpuasan salah satu pihak dalam hal memperoleh hak dalam kepemilikan tanahnya . 10 Fondrakö ialah musyawarah dan upacara penetapan, pengesahan adat dan hukum yang akan diberlakukan dalam suatu lingkungan masyarakat, dipimpin oleh Pucuk Pimpinan Badan Kekuasaan Resmi. Fondrakö juga sebagai lembaga konstitusional legislatif dalam masyarakat tradisional masyarakat Nias dan hukum adat yang sifatnya hidup dan berkembang dengan fleksibel. 7 11. Desa Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. hubungan sosial antar masyarakat yang dapat menjamin keamanan dan kesejahteraan lahir batin sampai ke anak cucu. Farakaro tanö tidak hanya terjadi antar warga masyarakat saja namun antar desa dalam hal batas tanah juga seringkali terjadi bahkan ini menyebabkan adanya perang antar banua 11. Farakaro yang diselesaikan secara adat yakni; Ketua Adat menyuruh dubala (prajurit) untuk mengumpulkan para saksi, mengumpulkan orang-orang yang tanahnya berbatasan untuk bersama-sama pergi ke lokasi yang sedang diperebutkan dan melihat dimana batas tanah yang sebenarnya. Untuk mengetahui batas tanah yang sebenarnya maka Siteoli akan mempertanyakannya kepada para saksi yang tertera namanya dalam surat tanah, apabila terbukti orang yang bersangkutan telah melewati batas tanah dan mengaku bahwa itu merupakan kepunyaannya maka orang tersebut akan dikenakan hukuman. Hukuman itu berupa membayar sejumlah uang karena terbukti telah mengambil milik kepunyaan orang lain (huku zanga’i zitenga khōnia) dan uang tersebut akan dibagikan kepada para saksi, Ketua Adat, dubala dan orang-orang yang hadir pada saat itu. Jika pihak penetua adat tidak dapat menyelesaikan persoalan kedua belah pihak yang bertikai maka farakaro tersebut akan diserahkan ke pengadilan untuk diselesaikan dengan menggunakan hukum negara yang disebut huku amadöniwa tanö 12 di Lembaga Pengadilan Nias. Permasalahan sengketa diatas menimbulkan ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian mengenai proses terjadinya sengketa tanah tersebut dan prosedur penyelesaiannya. Gempa yang terjadi tanggal 28 maret tahun 2005 telah 12 Hukum sengketa tanah. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. membawa pengaruh yang signifikan dalam kehidupan suku bangsa Nias mulai dari pola tingkah laku, pola pikir hingga berharganya sejengkal tanah. Tanah mulai menjadi lahan basah yang menjanjikan bagi masyarakat Nias dan itu terlihat dari pelaksanaan proyek pengembangan pembangunan Nias. Proyek pembangunan Nias ini ditandai dengan masuknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Indonesia dan Non Government Organization (NGO) yang dari Luar Negeri, yang prioritasnya mengarah pada pembangunan yang membutuhkan tanah masyarakat. Penulis ingin melihat bagaimana proses hukum yang berlaku pada masyarakat Nias dalam menyelesaikan persoalan sengketa tanah. Mulai dari proses pra-konflik, konflik hingga terjadinya sengketa tanah. Adapun hukum yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa tanah di Nias adalah Hukum Adat yang disebut sebagai Fondrakö, Hukum Agama dan Hukum Negara. Hal ini menunjukan bahwa suatu proses penyelesaian sengketa tingkat apapun selalu menunjukan gejala yang dikenal dalam ilmu antropologi sebagai gejala pluralisme hukum (Achdiat,1983). Keadaan ini dimungkinkan karena sifat yang kompleks dari kehidupan manusia itu sendiri, karena manusia tidak hanya sebagai bagian dari kehidupan suatu negara, tetapi juga merupakan bagian dari kehidupan kebudayaannya, baik kebudayaan suku bangsanya, kebudayaan daerahnya, kebudayaan agamanya, dan dalam kehidupan sosialnya. Tentunya hal ini digunakan sebagai alat untuk meperoleh sumber daya yang berharga dan terbatas. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 1.2 Ruang Lingkup Masalah dan Lokasi Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka masalah penelitian ini adalah bagaimana sistem kepemilikan tanah yang ada di Nias serta prosedur dari penyelesaian sengketa tanah tersebut dengan mengunakan situasi pluralisme hukum. Maka penelitian ini akan menggambarkan : 1. Apa saja hal yang mendasari terjadinya sengketa tanah bagi masyarakat Nias? 2. Bagaimanakah prosedur penyelesaian sengketa tanah di Nias dan siapakah yang menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa tersebut? 3. Bagaimanakah sistem hukum tersebut secara operasional bekerja dalam kehidupan masyarakat Nias. Penelitian akan dilakukan di Desa dahana, Kecamatan Gunungsitoli dan Desa Onolimbu Raya Kecamatan Mandrehe Barat, Kabupaten Nias karena di dua desa tersebut terdapat masalah sengketa tanah yang menggunakan penyelesaian secara hukum lokal atau secara adat Nias, selain itu lokasi sangat mudah dijangkau dengan kendaraan motor maupun mobil. 1.3 Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini tidak hanya melihat hukum-hukum ideal tetapi menunjukkan perilaku dan persepsi orang terhadap hukum adat secara aktual. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perubahan dalam status kepemilikan tanah masyarakat Nias karena proyek pengembangan dan Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. pembangunan Nias sesudah gempa 28 maret 2005 yang membutuhkan banyak tanah. Penelitian ini juga menunjukan secara aktual pilihan-pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa tanah pada masyarakat Nias dan bagaimana Sitölungasi dan tokoh adat Nias lainnya memiliki peranan penting dalam menyelesaikan permasalahan sengketa tanah yang ada sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap masyarakat Nias maupun masyarakat adat lainnya dalam menyelesaikan permasalahan tanah dalam konteks kekeluargaan dan adat atau secara hukum lokal. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur dan khasanah pengetahuan budaya yang dikaitkan dengan hukum. Akibat adanya pluralisme hukum, diharapkan adanya penelitian lanjutan yang mengulas tentang budaya yang dihubungkan dengan pluralisme hukum yang ada di Indonesia. 1.5 Tinjauan Pustaka Pertanahan di Indonesia berperan sentral bagi seluruh rakyatnya. Menurut Joyo Winoto (2008) mengatakan bahwa tanah memiliki keterkaitan erat dengan kebangsaan, pembangunan, kemakmuran rakyat, identitas kebangsaan, fungsi keadilan sosial serta tanah untuk kehidupan. Suriani (2003) mengungkapkan bahwa di Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Bulukumba, masih terdapat komunitas masyarakat suku bangsa Kajang yang berpegang teguh pada adat dan tradisi yang menganggap tanah Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. laksana ibu yang harus dijaga dan dipelihara, karena telah memberikan segalagalanya bagi kehidupan manusia. Masyarakat Nias sangat menjunjung nilai tanah sebagai sesuatu yang sangat berharga dan merupakan titipan sementara dari Tuhan untuk diolah dan dimanfaatkan secara baik demi keberlangsungan hidup dan sewaktu-waktu tanah bisa menjadi masalah yang besar ketika tidak dipergunakan secara adil. Tanah bagi masyarakat Nias mengambil peranan penting dalam proses aktualisasi diri sebagai sebuah simbol pulau yang subur yang terdapat pada identitas masyarakat Nias, selain itu tanah menjadi pertanda kekuasaan seseorang serta laju perekonomian masyarakat Nias. Pentingnya arti tanah bagi kehidupan masyarakat lambat laun akan menimbukan terjadinya permasalahan sengketa karena akhir-akhir ini permasalahan sengketa selalu dijumpai dalam kehidupan manusia atau kehidupan bermasyarakat demikian juga pada masyarakat Nias. Ahli Antropologi Hukum seperti Nader dan Todd mengungkapkan ada tiga tahapan terjadinya suatu sengketa yakni: 1. Pra-konflik : keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang 2. Konflik : keadaan dimana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut 3. Sengketa : adalah keadaan dimana konflik tersebut dinyatakan dimuka umum atau dengan melibatkan pihak ketiga. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Sedangkan, menurut Comaroff dan Roberts dalam Ihromi (1993) sengketa dapat timbul diantara : 1. Individu -individu dari : a. kelompok yang berbeda, misalnya pada sengketa tanah yang terjadi antara individu dari klen yang berbeda. b. Satu kelompok (within group and inter group), misalnya pada sengketa tanah waris antar individu dari satu klen yang dinamakan “interhouse” atau “intergenerational”. 2. Kelompok-kelompok (antar kelompok atau intra group), yaitu sengketa antar sub-sub kelompok yang otonom dalam satu kelompok atau antar kelompok yang besar yang otonom dalam masyarakat yang dinamakan sengketa interhouse (Ihromi, 1993 :225). Menurut Sally Folk Moore dalam Ihromi (1993) mengatakan bahwa pendekatan dalam mempelajari hukum sebagai proses akan lebih menguntungkan karena lebih memungkinkan untuk melihat sejauh mana hukum itu berfungsi dalam masyarakat senyata-nyatanya. Suatu hukum yang tidak pernah dilanggar mungkin berupa suatu kebiasaan saja. Sifatnya sebagai hukum itu, barulah akan diketahui bila aturan itu dipertahankan dalam suatu perbuatan hukum melalui penerapan suatu sanksi hukum (Hoebel, 1954: 37). Hal ini dapat diketahui bila yang dikaji adalah kasus-kasus sengketa. Kemudian bila kasus-kasus itu diamati dan diperhatikan siapakah yang melakukan sesuatu terhadap perilaku penyimpangan dari norma, maka hal itu akan mengungkapkan petunjuk-petunjuk mengenai struktur dari masyarakat bersangkutan. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Roscoue Pound (1965) merasa bahwa hukum adalah rekayasa sosial. Pokok yang mendasari padangan rekayasa sosial ini adalah dugaan bahwa hubungan -hubungan sosial rentan terhadap kontrol manusia yang terkendali, dan alat untuk mencapai ini adalah hukum. Hukum adalah istilah ringkasan yang menggambarkan suatu himpunan yang kompleks dari prinsip-prinsip, normanorma, ide-ide, aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan, dan untuk kegiatan-kegiatan dari alat-alat perlengkapan negara yang berkenaan dengan perundang-undangan, pemerintahan, peradilan dan pelaksanaan putusannya yang didukung oleh kekuatan politik dan legitimasi. Hukum lokal sebagai bagian dari pluralisme hukum masih berlaku pada masyarakat Nias yang merupakan masyarakat adat yang hidup dan bersosialisasi berdasarkan garis keturunan laki-laki serta eratnya kaitan talifusö atau persaudaraan menjadi pemicu terselesaikannya permasalahan sengketa tanah yang ada. Pluralisme hukum dimunculkan sebagai tanggapan terhadap adanya paham sentralisme hukum, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa hukum sudah seharusnya merupakan hukum negara, berlaku seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan terpisah dari semua hukum yang lain dan dijalankan oleh seperangkat lembaga-lembaga negara. Bahkan Griffith berpendirian bahwa pluralisme hukum dan sentralisme hukum merupakan dua kutub yang secara tegas saling berhadapan. Sedangkan konsepsi pluralisme hukum menurutnya adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial (Ihromi, 1993). Frans Von Benda-Beckmann dalam Ihromi (1993) mengatakan bahwa jika keanekaragaman sistem hukum merupakan situasi yang umum, atau setidakDominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. tidaknya terjadi dalam suatu lapangan kajian tertentu, maka hal yang menarik bukanlah terletak pada tempat yang ditunjukkannya keanekaragaman peraturan hukum, tetapi yang lebih penting adalah apakah yang terkandung dalam keanekaragaman hukum itu, bagaimanakah sistem-sistem hukum itu saling berinteraksi satu sama lain, bagaimanakah keberadaan sistem-sistem hukum itu secara bersama-sama dalam suatu lapangan kajian tertentu. Pendekatan pluralisme hukum dalam suatu lapangan pengkajian apapun menurut Frans Von Benda-Beckmann akan sampai pada tiga perangkat pertanyaan mengenai sistem hukum yang beragam itu: 1. Sistem-sistem normatif yang bagaimanakah yang tercipta dan bagaimanakah sistem itu dipelihara dan diubah (oleh siapa, bagaimana) dalam setiap lapangan tertentu yang dipilih untuk dikaji. Bagaimanakah dalam sistemsistem normatif yang majemuk itu terbentuk saling hubungan satu sama lain; Apakah pengaruh dari konstelasi sistem normatif tertentu terhadap perilaku orang; 2. Pertanyaan ketiga berhubungan dengan apakah signifikasi yang terdapat pada perilaku bagi interaksi selanjutnya dan bagaimanakah pemeliharaan sistem hukum yang saling berhubungan itu. Pertanyaan-pertanyaan ini akan ditemukan dalam setiap usaha untuk melukiskan dan menganalisa setiap peristiwa khusus atau interaksi, meskipun jawabannya secara analitik akan berbeda dan biasanya jawaban tersebut akan ditemukan dalam perangkat-perangkat gejala yang sangat berbeda pula (Ihromi, 1993). Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Sulastriyono dalam Ihromi (2000) mengungkapkan bahwa dalam menyelesaikan kasus penguasaan tanah timbul di muara sungai Citandui kenyataannya terdapat dua hukum yang berlaku dalam menyelesaikan kasus tersebut yakni hukum Negara dan hukum lokal yang berlaku secara bersamasama digunakan sebagai dasar hukum oleh para pihak dalam melaksanakan penguasaan tanah timbul. Hoebel dalam Ihromi (1993), mengatakan penerapan metode kasus sengketa dengan memasukkan kajiannya sebagai alat mengungkapkan hukum secara substantif dan juga prosedur-prosedur yang ditempuh serta untuk dapat memperlihatkan nilai-nilai dalam hukum, atau malahan postulat-postulat hukum, maka Nader menekankan pada kajian tentang proses yang berlangsung mulai dari adanya keluhan-keluhan, ungkapan perasaan, adanya perlakuan yang tidak adil, selanjutnya melihat apakah sengketa mengalami proses eskalasi atau tidak, bagaimana penanganan selanjutnya dan adakah penyelesaian atau tidak. Cara-cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa tanah menurut S. Roberts yakni; penggunaan kekerasan secara langsung amupun pribadi, melalui upacara atau ritus, mempermalukan misalnya dengan sindiran/kiasan, melalui makhluk-makuhluk supranatural, pengucilan, melalui pembicaraan yang terdiri dari pembicaraan langsung atau negosiasi serta pembicaraan tidak langsung atau dengan bantuan pihak ke-3, baik yang bertindak sebagai penengah maupun sebagai pihak ikut yang menyelesaikan dalam hal ini peradilan. Sedangkan P.H Gulliver dan L. Nader secara khusus membahas sengketa dengan menekankan pada; hasil yang diperoleh dan para pihak yang terlibat atau model keputusan Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. yakni yang menyangkut dua pihak yang berkepentingan serta melibatkan pihak ketiga (Ihromi, 1993:226) Nader dan Todd dalam Ihromi (1993:210-212) mengungkapkan bahwa ada berbagai cara yang dilakukan dalam menyelesaikan sengketa yaitu; a. Membiarkan saja atau lumping it. Pihak yang merasakan perlakuan yang tidak adil, gagal dalam upaya untuk menekankan tuntutannya. Dia mengambil keputusan untuk mengabaikan saja masalah atau isu-isu yang menimbulkan tuntutannya dan dia meneruskan hubungan-hubungannya dengan pihak yang dirasakannya merugikannya. b. Mengelak atau Avoidance. Pihak yang merasa dirugikan, memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya bahkan sama sekali menghentikan hubungan tersebut. c. Paksaan atau coercion, satu pihak memaksakan pemecahan pada pihak lain. Ini bersifat unilateral. Tindakan yang bersifat memaksakan ini atau ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada umumnya mengurangi kemungkinan penyelesaian secara damai. d. Perundingan atau negotiation. Dua pihak yang berhadapan merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan dari masalah yang mereka hadapi dilakukan oleh mereka berdua, mereka sepakat, tanpa adanya pihak ketiga yang mencampurinya. e. Mediasi atau mediation. Dalam cara ini ada pihak ketiga yang membantu kedua pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. f. Arbitrase. Dua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk meminta perantara pihak ketiga, arbitrator, dan sejak semula telah setuju bahwa mereka akan menerima keputusan dari arbitrator itu. g. Peradilan atau adjudication. Disini pihak ketiga mempunyai wewenang untuk mencampuri pemecahan masalah, lepas dari keinginan para pihak bersengketa. Pihak ketiga itu juga berhak membuat keputusan dan menegakkan keputusan itu artinya berupaya bahwa keputusan dilaksanakan. Penyelesaian sengketa juga menggunakan proses mediasi. Mediasi dalam penyelesaian sengketa dikenal sebagai bentuk negosiasi antara dua individu (kelompok) dengan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis. Mediasi terjadi karena kehendak sendiri (mencalonkan diri sendiri), ditunjuk oleh pihak lain (misalnya tokoh adat) diminta oleh kedua belah pihak (Ihromi,1993:223). Alternatif yang biasanya dipergunakan dalam penyelesaian sengketa tanah pada masyarakat Nias yakni membiarkan saja, negosiasi dan mediasi. Proses membiarkan saja yang dilakukan dalam hal ini karena rasa kasih terhadap pihak yang bersengketa, Negosiasi yang dilakukan berdasarkan dari kesepakatan awal yakni jalan damai tanpa melibatkan banyak hal yang dapat merugikan. Proses negosiasi adalah proses yang bukan saja mencari kebenaran atau dasar hukum yang diterapkan namun lebih kepada penyelesaian masalah. Sedangkan mediasi dapat diterapkan dan dipergunakan sebagai cara penyelesaian sengketa diluar jalur pengadilan. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Proses Mediasi dilakukan oleh seorang mediator yang merupakan fasilitator yang akan membantu para pihak untuk mencapai kesepakatan yang dikehendaki oleh para pihak. Mediator tidak akan: membuat keputusan tentang mana yang salah atau yang benar, menginstruksikan para pihak tentang apa yang harus dilakukan, atau memaksakan para pihak untuk melaksanakan kesepakatan. Segala bentuk komentar, pendapat, saran, pernyataan atau rekomendasi yang dibuat oleh mediator bila ada tidak dapat mengikat para pihak yang bersengketa. Secara umum mediasi dapat dikategorikan seperti: mediasi untuk lingkungan tempat tinggal, mediasi untuk keluarga yang antara lain manangani sengketa dalam rumah tangga atau sengketa waris, mediasi untuk lingkungan industri yang biasanya menangani masalah-masalah hubungan kerja dan ketenagakerjaan, mediasi untuk pemulihan yang biasanya bertujuan untuk memungkinkan korban kejahatan dan remaja pelaku kejahatan dapat tiba pada penyelesaian sengketa dengan ganti rugi, bentuk mediasi lainnya seperti yang berkaitan dengan sengketa tanah, ganti rugi dan kejahatan ringan. Adapun tujuan dilaksanakannya mediasi yakni: a. Membantu mencarikan jalan keluar/alternative penyelesaian atas sengketa yang timbul diantara para pihak yang disepakati dan dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. b. Melalui proses mediasi diharapkan dapat dicapai terjalinnya komunikasi yang lebih baik diantara para pihak yang bersengketa. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. c. Menjadikan para pihak yang bersengketa dapat mendengar, memahami alasan/ penjelasan/ argumentasi yang menjadi dasar/pertimbangan pihak yang lain. d. Dengan adanya pertemuan tatap muka, diharapkan dapat mengurangi rasa marah/bermusuhan antara pihak yang satu dengan yang lain. Memahami kekurangan/kelebihan/kekuatan masing-masing, dan halini diharapkan dapat mendekatkan cara pandangdari pihak-pihak yang bersengketa, menuju suatu kompromi yang dapat diterima para pihak. Dalam situasi pluralisme hukum, pola-pola penyelesaian sengketa diasumsikan menampilkan bentuk-bentuk penyelesaian yang dipengaruhi oleh struktur dari sistem-sistem hukum yang berlaku dan faktor-faktor sosial budaya lainnya seperti struktur dan organisasi sosial dan perubahan-perubahan nilai yang diakibatkan oleh proses kebudayaan dari masyarakat tersebut. 1.6 Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian ini akan mengungkapkan pluralisme hukum dalam sengketa tanah dan prosedur penyelesaiannya pada masyarakat Nias sesudah terjadinya gempa tanggal 28 maret 2005 dan bagaimana peran hukum adat dan Siteoli sebagai mediator terhadap penyelesaian sengketa tanah yang terjadi. Selain itu akan menjelaskan kekuatan hukum atas keputusan yang dibuat oleh Siteoli sebagai tokoh adat dalam menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi . Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Nader dan Todd mengungkapkan ada tiga tahap terjadinya sengketa tanah yakni pra konflik, konflik dan sengketa. Mengacu pada pendapat Nader dan Todd diatas penulis ingin mengungkapkan sengketa tanah yang terjadi pada masyarakat di Nias melalui 3 proses tersebut. Dalam hal ini penulis mengungkapkan 5 kasus sengketa yang terjadi pada masyarakat Nias baik sebelum gempa maupun sesudah gempa terjadi. Alasan pengambilan kasus sebelum gempa yakni sebagai analisis penyelesaian kasus yang sama dengan sesudah gempa yang akan menunjukan adanya kekuatan hukum lokal yang bekerja terhadap penyelesaian sengketa yang terjadi. Sengketa tanagh yang diteliti terdiri dari kasus terhadap harta waris tanah dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan, kasus yang berkaitan dengan status kepemilikan tanah, kasus pembayaran piutang atas sengketa tanah yang terjadi serta kasus pembangunan sesudah terjadinya gempa 28 maret 2005. Informasi yang dibutuhkan melalui pengumpulan data dari beberapa jenis informan yang digunakan, diperoleh melalui: a. Observasi Observasi yang dilakukan di dua desa yakni untuk melihat kondisi tanah yang telah dipersengketakan yang akan berguna untuk menganalisis proses mengapa terjadinya sengketa dan bagaimana tanah tersebut sangat memiliki nilai ekonomis sehingga dipersengketakan. Dari observasi tersebut juga akan mengungkapkan bagaimana kondisi pembangunan yang didasarkan atas persengketaan apakah masih digunakan atau dibiarkan saja. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. b. Wawancara Wawancara dilakukan terhadap beberapa informan yakni: 1. Informan Pangkal Informan pangkal adalah informan yang pertama kali dimintai informasi tentang siapa saja warga masyarakat yang mengetahui tentang masalah sengketa tanah yang terjadi di Desa Dahana. Informan pangkal yakni Kepala Desa Dahana yakni bapak Christian Harefa dan Kepala Pengadilan Negri Nias yakni bapak P.Joseph Ziraluo. Serta Kepala Desa Dahana yakni Bapak Samueli Daeli. Adapun informasi yang diterima dari dua kepala desa yakni informasi berkaitan dengan masyarakat yang bersengketa di desa tersebut, proses terjadinya sengketa, mengenai tokoh-tokoh yang berperan dalam proses penyelesaian sengketa serta peranan kepala desa sebagai salah satu mediator dalam menangani permasalahan sengketa tanah. Informasi yang diterima dari Kepala Pengadilan Negri Nias yakni jumlah kasus yang telah diselesaikan secara pengadilan terutama kasus yang berasal dari desa dua desa tersebut. Setelah diadakannya penelitian di Pengadilan Negri Nias penulis mendapatkan informasi bahwasanya dari dua desa yang menjadi lokasi penelitian tidak terdapat kasus sengketa tanah, artinya kasus sengketa tanah yang dibawa ke pengadilan sama sekali tidak ada dan ini menegaskan bahwa peran hukum lokal sebagai landasan penyelesaian sengketa tanah masih dipertahankan. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 2. Informan Pokok atau Informan Kunci Informan pokok atau kunci adalah informan yang mengetahui tentang masalah sengketa tanah di desa Dahana atau orang yang berkaitan langsung dengan masalah tersebut. Informan pokok dalam hal ini yakni keluarga yang bersengketa, pihak penengah dari masing-masing keluarga yang bersengketa dan penetua adat. Informasi yang diterima dari keluarga yang bersengketa adalah bagaimana peristiwa sengketa tanah terjadi dan prosedur penyelesaiannya. Sengketa tanah yang diteliti terdiri dari kasus terhadap harta warisan berupa tanah dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan, kasus yang berkaitan dengan status kepemilikan tanah, kasus pembayaran piutang atas sengketa tanah yang terjadi serta kasus pembangunan sesudah terjadinya gempa 28 maret 2005. Kasus pertama yakni kasus terhadap harta waris tanah dari pihak suami yang telah meninggal. Permasalahan ini terjadi di desa Dahana dengan warga diluar desa Dahana yang memiliki lahan di desa Dahana yang dalam hal ini yakni Ina Game’i dangan bapak E Harefa. Penyelesaian ini dilakukan dengan dua proses yakini negosiasi dimana Ina Game’i mendatangi bapak E Harefa namun tidak ditanggapi baik oleh E Harefa maka Ina Game’i menggunakan jasa mediator bapak kepala Desa Dahana dan penetua adat di desa Dahana yang dalam hal ini bapak Lala’aro Harefa serta penetua adat lainnya. Kasus pembangunan yang memerlukan tanah sesudah terjadinya gempa 28 maret 2005 terjadi antara kontraktor dengan pemberi bantuan masalah dan sengketa yang terjadi antara kontraktor dengan pemilik tanah tempat pembangunan dilaksanakan. Permasalahan antara kontaktor dengan pemberi Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. bantuan terjadi karena tidak terealisasikannya dana pembangunan rumah pengungsi yang diambil alih oleh Ir. Adieli Gulö. Permasalahan bertambah karena Ir. Adieli Gulö telah meninggal. Sehingga istrinya dalam hal ini ibu Dra.Masta Yunita atau Ina Kori yang mengurus proses penyelesaian sengketa tersebut belum bisa mengambil keputusan secara pasti terhadap lahan yang dipersengketakan. Penyelesaian sengketa dilakukan dengan mengunakan jasa dari mediator, pembimbing rohani dari Ina Kori yang dalam hal ini yakni Pendeta Dyah Gea. Permasalahan kontraktor dengan pemilik lahan dalam hal ini yakni Ibu Saina Ndraha. Adapun hal yang dipersengketakan yakni tidak terlaksananya janji dari Bapak Ir. Adieli Gulö sebagai kontraktor yang membeli lahan tersebut. Hingga sekarang hal yang telah dilakukan oleh Ibu Saina Ndraha terhadap masalah tersebut yakni dengan cara membiarkan saja. Kasus yang berkaitan dengan status kepemilikan tanah dan kasus pembayaran piutang terjadi di desa Onolimbu Raya dimana ada dua keluarga yang bermasalah terhadap batas tanah mereka yakni keluarga Ama Johan. Ama Johan dipersengketakan oleh warga desa yang membeli lahan mereka yang telah dijual oleh ayahnya dalam hal ini warga yang mempersengketakan yakni Ama Rina dan Ama Fati Hia. Selanjutnya kasus pembayaran piutang yang dituntut oleh Ama Rina kepada Ama Johan sebagai pembayaran atas ganti rugi tanaman Ama Rina dan biaya pembicaraan adat yang terjadi pada saat terjadinya penyelesaiaan sengketa tanah secara adat. Kedua permasalahan yang terjadi diselesaikan secara kekeluargaan dengan melibatkan tokoh adat dan jasa mediator. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Kasus yang terakhir yakni kasus sengketa tanah dengan saudara kandung dan penyelesaiannya secara kekeluargaan dan adat. Permasalahan ini terjadi antara Ama Isa dan Ama Fati Zebua yang mana tanah yang telah ditanaminya dan menghasilkan diambil oleh anak-anak dari Ama Fati Zebua. 3. Informan Biasa Informan biasa adalah masyarakat yang dimintai informasi untuk melengkapi data yang ada. Informan biasa yakni masyarakat yang ada disekitar desa tersebut yeng mengetahui tentang sengketa tanah dan bagaimana prosedur penyelesaiannya selain itu informan biasa juga terdiri dari masyarakat lain yang menjadi saksi terhadap penyelesaian sengketa yang terjadi. Yang menjadi informan biasa yakni keluarga/kerabat, tetangga dan teman. Informan yang diwawancarai dalam hal ini yakni pihak pengadilan dalam hal ini Bapak Deky, praktisi adat Nias dalam hal ini Bapak Yas Harefa, Ibu Arniwati Zebua, Ama. Ica Harefa, Wuri Harefa dan warga lainnya yang dilakukan dengan wawancara sambil lalu. Wawancara yang dilakukan untuk informan biasa berkaitan dengan proses terjadinya sengketa tanah dan peran masyarakat dalam membantu terselesaikannya permasalahan tersebut. c. Studi Dokumentasi Data yang diperoleh dari observasi dan wawancara akan lebih disempurnakan dengan melakukan studi dokumentasi yang diperoleh dari majalah, jurnal, bulletin, artikel, internet dan lainnya yang berkaitan dangan masalah sengketa tanah, masyarakat Nias dan sebagainya.. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 1.7. Teknik Analisis Data dan Kendala yang Dihadapi saat Penelitian. a. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Proses Analisis yakni menganalisis kasus-kasus sengketa dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari wawancara kepada informan pangkal, informan pokok dan informan biasa. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: membaca keseluruhan dari kasus sengketa tanah yang telah terjadi mulai dari pra konflik, konflik hingga terjadinya sengketa tanah. Dengan analisa terjadinya sengketa tanah tersebut maka penulis dapat mengungkapkan sejauhmana terjadinya sengketa tanah, prosedur penyeslesaian dan sistem hukum yang secara operasional terjadi dalam kehidupan masyarakat Nias. Semua data yang telah diperoleh baik melalui pengamatan, wawancara dan studi dokumentasi kemudian diidentifikasikan dan disusun secara sistematis. b. Kendala yang Dihadapi pada Saat Penelitian Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan penelitian yakni pada saat wawancara, dimana informan takut untuk mengungkapkan informasi yang ditanyakan. Namun, setelah dijelaskan maksud dan tujuan penelitian akhirnya mereka memberikan informasi yang ditanyakan. Hal lain yang menjadi masalah yakni informan yang tidak lagi berada di lokasi penelitian atau pindah ke daerah lain seperti pada masalah tanah antara Ina Game’i dan Bpk E. Harefa dimana kedua informan ini sangat susah untuk ditemui, sehingga penulis hanya bisa Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. mendatangi dan memperoleh keterangan dari mediator kedua belah pihak. Masalah lain yakni mediator dari Ina Kori yang mempunyai masalah dengan pemberi bantuan, dalam hal ini Ibu. Pendeta Dyah Gea sangat susah untuk ditemui karena kesibukan pelayanan akhirnya informasi yang saya dapat hanya dari masyarakat yang bersengketa saja. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN NIAS 2.1. Letak dan Keadaan Geografis Kabupaten Nias Kabupaten Nias adalah salah satu daerah di Kabupaten Provinsi Sumatera Utara yang disebut Pulau Nias dan mempunyai jarak ±85 mil dari laut Sibolga. Ibukota Gunungsitoli dapat ditempuh dengan perjalanan darat mengunakan mobil kijang/taxi yang menempuh perjalanan darat ke sibolga selama 10 jam dan dari pelabuhan Sibolga menggunakan kapal laut menempuh perjalanan selama 10 jam dengan naik kapal Barau/Nias Indah, selain itu dari pelabuhan Sibolga menuju Gunung Sitoli dapat juga menggunakan kapal cepat yakni kapal Ferry selama 3 jam atau dengan perjalanan udara dari Medan selama 1 jam menggunakan pesawat SMAC (Fokker F-50) dan Merpati (CN 235). Gambar 1: Gambar Pulau Nias yang menunjukkan banyaknya pulau-pulau di Nias (Google, BPSNias 2009) Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Luas Kabupaten Nias adalah 3.495,40 Km² atau 4,88% dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara dan merupakan daerah gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau, membujur di lepas pantai barat Sumatera menghadap Samudra Hindia, namun tidak semua pulau-pulau tersebut berpenghuni. Hanya ada sekitar lima pulau besar yang dihuni oleh manusia, yaitu Pulau Nias (9.550 km²), Pulau Tanah Bala (39,67 km²), Pulau Tanah Masa (32,16 km²), Pulau Tello (18 km²), dan Pulau Pini (24,36 km²). Di antara kelima pulau tersebut, Pulau Niaslah yang berpenghuni paling padat, dan menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan. Gambar 2: Gambar pulau Nias yang menunjukan keindahan alam Nias yang kaya akan keindahan pantai (Google, BPS Nias 2009) Menurut letak geografis, Kabupaten Nias terletak pada garis 0º12’1º32’LU (Lintang Utara) dan 97º-98ºBT (Bujur Timur) dekat dengan garis khatulistiwa dengan batas-batas wilayah : Sebelah Utara : berbatasan dengan Pulau-pulau Banyak Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Sebelah Timur : berbatasan dengan Pulau Mursala, Kabupaten Tapanuli Tengah. Sebelah Barat : berbatasan dengan Samudera Hindia. Daerah Kabupaten Nias memiliki 127 sungai besar dan kecil (anak, induk dan cabang sungai) serta beberapa danau dan air terjun. Daerah Kabupaten Nias beriklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi yaitu mencapai 2.927,6 mm pertahun sedangkan jumlah hari hujan setahun 200-250 hari atau 86 %. Kelembaban udara rata-rata setiap tahun antara 90 %, dengan suhu udara berkisar antara 17,0ºC - 32,60ºC. Kondisi alam daratan Pulau Nias sebagian besar berbukit-bukit dan terjal serta pegunungan dengan tinggi diatas laut bervariasi antara 0-800 m, yang terdiri dari dataran rendah hingga bergelombang sebanyak 24% dari tanah bergelombang hingga berbukit-bukit 28,8% dan dari berbukit hingga pegunungan 51,2% dari seluruh luas daratan. Akibat kondisi alam yang demikian mengakibatkan adanya 102 sungai-sungai kecil, sedang, atau besar ditemui hampir diseluruh kecamatan. Ada 443 desa/kelurahan yang ada di Kabupaten Nias, sebanyak 3 desa/kelurahan terletak didaerah pantai, dan 350 desa/kelurahan berada didaerah bukan pantai/pegunungan. Demikian juga menurut ketinggian diatas permukaan laut ada sebanyak 236 desa/kelurahan berada pada ketinggian 0-500 m, 114 desa /kelurahan berada pada ketinggian 500-700 m dan 3 desa/kelurahan berada pada Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. ketinggian diatas 700 m. Luasnya desa menurut ukuran Nias adalah satu lauru bibit padi atau sambua lauru tanömö13. Peta Nias Gambar 3: Peta Perjalanan ke Pulau Nias dari kota Medan ke Sibolga, dan dari Sibolga ke Nias 13 1 lauru = 5 tumba atau 7 teko 1 tumba cukup untuk 1.000 meter persegi di ladang 1 lauru bibit cukup untuk 5.000 meter persegi ladang Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Gambar 4: Peta Pulau Nias (Google 2009 & dari buku asal usul masyarakat Nias suatu interpretasi, P. Johannes, 1999 ) Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Iklim Keadaan iklim Kabupaten Nias dipengaruhi oleh Samudra Hindia. Suhu udara dalam satu tahun rata-rata 26°C dan rata-rata maksimum 31°C. Kecepatan rata-rata dalam satu tahun 14 knot/jam dan bisa mencapai rata-rata maksimum sebesar 16 knot/jam dengan arah angin terbanyak berasal dari arah utara. 2.2. Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Nias tahun 2007 adalah 442.548 jiwa dengan kepadatan penduduk 127 jiwa/km² dan 85.361 rumahtangga. Keadaan penduduk menunjukan bahwasanya lebih banyak jumlah perempuan daripada laki-laki. a. Pendidikan Pendidikan merupakan patokan utama yang mendukung sumber daya pada masyarakat Nias. Kemajuan teknologi dan masuknya berbagai komunitas dan halhal modernisasi pada masyarakat Nias telah mengubah perspektif untuk lebih meningkatkan pendidikan. Jika dulu kebanyakan orangtua masih bersifat primitif dengan konsep perempuan sebagai pekerja rumah dan laki-laki sebagai pengubah kondisi keluarga namun dengan diberikannya kesempatan untuk mengecap pendidikan sehingga perubahan dalam dunia pendidikan sudah menjadi konsumsi sehari-hari bagi orangtua dengan tidak pilih kasih dan mau menyekolahkan anaknya baik perempuan maupun laki-laki. Terlebih dengan adanya pembangunan-pembangunan pasca gempa tanggal 28 maret 2005 perubahan tersebut semakin tampak, setidaknya anaknya mengecap pendidikan SD dan tidak buta huruf. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. b. Perumahan Rumah tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan yang sangat diperlukan oleh penduduk karena fungsi utama sebagai tempat berlindung bagi anggota rumahtangga. Menurut kepemilikannya pada tahun 2005, Nias dalam angka, BPS terdapat 76.962 rumahtangga di Kabupaten Nias yang mendiami rumah bangunan fisik artinya bukan tinggal di tenda/camp/barak. Perinciannya yakni; 65.120 rumahtangga diantaranya mempunyai status milik sendiri, 1.407 rumahtangga mengontrak, 850 rumahtangga menyewa, 1.579 rumahtangga bebas sewa, 854 rumahtangga mnempati rumah dinas, 6.904 rumahtangga menempati rumah milik orangtua/keluarganya. Gambar 5: Perumahan di Nias (dominirria hulu, 2008) Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. c. Mata Pencaharian 1. Pertanian Bidang pertanian merupakan salah satu mata pencaharian bagi masyarakat Nias, terutama yakni tanaman pangan. Jumlah produksi padi sawah sebesar 62.762 ton dan padi ladang sebesar 650 ton. Gambar 6: Pertanian sebagai salah satu mata pencaharian terpenting dalam kehidupan masyarakat Nias, Dominiria Hulu 2008 2. Perkebunan Tanaman perkebunan yang ada di Kabupaten Nias adalah tanaman perkebunan rakyat dengan komoditi andalan karet, kelapa, kakao dan beberapa komoditi yang lain seperti kopi, cengkeh, pala dan nilam. Selama tahun 2006 produksi tanaman karet di Kabupaten Nias mencapai 47.334 ton dari luas tanaman seluas 21.919 ha dan diusahakan oleh 21.033 rumahtangga petani. Gambar 7: Perkebunan kelapa yang ada di pinggir pantai Sirombu Nias, Dominiria Hulu 2008 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Untuk tanaman kelapa selama tahun 2006 mencapai 23.505 ton dari luas tanaman seluas 24.256 ha dan yang diusahakan oleh 16.939 rumahtangga petani. Demikian juga untuk tanaman kopi, produksinya mencapai 43 ton dari luas tanaman seluas 172 ha dan yang diusahakan oleh 1.254 rumahtangga petani, produksi cengkeh mencapai 17 ton dari luas tanaman seluas 1.117 ha, yang diusahakan oelh 2.070 rumahtangga petani. Hasil tanaman perkebunan rakyat dari Kabupaten Nias pada umumnya hampir seluruhnya dijual keluar daerah dalam bentuk bahan mentah, melalui para pedagang baik lokal maupun luar daerah. 3. Kehutanan; Luas hutan di Kabupaten Nias tahun 2006 adalah 119.399 ha terdiri dari hutan lindung seluas 80.836, 68 ha, hutan produksi seluas 4.759, 97 ha, hutan produksi terbatas seluas 26.063, 01 ha dan hutan konversi seluas 7.739,06 ha. 4. Peternakan Ternak yang paling dominan adalah ternak babi sebanyak 35.375 ekor, kambing sebanyak 10.926 ekor, sapi sebanyak 1.618 ekor, kerbau 829 ekor, kerbau 82 ekor, unggas berupa ayam dan itik, ayam sebanyak 565.154 ekor dan itik sebanyak 21.500 ekor. Gambar 8: Ternak babi yang dimiliki oleh warga Sirombu Nias sebagai salah satu mata pencaharian dan kegiatan adat perkawinan, (dominiria hulu 2008) Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 5. Perikanan; hasil produksi ikan di Kabupaten Nias selama tahun 2006 adalah 8.995, 61 ton terdiri dari produksi ikan laut sebesar 8.970, 31 ton dengan banyaknya nelayan 6.615 orang, prduksi ikan air tawar sebesar 25.30 ton. Ikan yang berasal dari sungai 3.6 ton, ikan rawa sebesar 12, 8 ton, ikan kolam 4,8 ton, dan ikan tambak 4 ton. 6 Perindustrian; selama tahun 2007 di Kabupaten Nias terdapat sebanyak 2.178 unit perusahaan/usaha industri kecil dimana menyerap tenaga kerja sebanyak 4.719 orang. d. Perhubungan dan komunikasi Tahun 2007, panjang jalan di daerah Kabupaten Nias adalah 2070, 37 km dengan kondisi permukaannya yang sudah di aspal sepanjang 466,92 km, jalan yang masih ada kerikil seluas 313,21 km dan jalan yang berupa tanah seluas 1.20, 44 km. Sarana komunikasi yang digunakan semakin bervariasi mulai dari penggunanan jasa telekomunikasi hingga dunia maya atau internet. Untuk jasa telepon, jumlah sambungan telepon yang ada di Kabupaten Nias pada tahun 2007 sebanyak 2.361 sambungan. e. Transportasi Tahun 2007 seluruh ibu kota Kecamatan di Kabupaten Nias kecuali kecamatan Afulu telah dapat dilalui bus umum yang memiliki izin trayek dari kota Gunungsitoli ke masing-masing ibukota kecamatan. Sarana transpotasi ada berbagai macam baik berupa roda dua hingga roda empat, mulai dari sepeda motor, becak bermotor hingga angkutan umum. Transportasi laut Kabupaten Nias memiliki 3 pelabuhan laut yaitu; pelabuhan laut Sirombu, Lahewa yang melayani Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. pelayaran rakyat khususnya pengangkut barang dan penumpang sedangkan pelabuhan laut Gunungsitoli melayani pelayaran nasional masyarakat Nias yang berasal dari Medan, Sibolga dan sebagainya. Pelayaran ini juga mengangkut barang dan penumpang. 2.3. Sejarah Suku Nias Nama pulau Nias memiliki cirikhas tersendiri dalam perkembangannya. Ini terlihat dengan berbagai tulisan dan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli yang peduli akan perkembangan Nias baik oleh orang Nias sendiri maupun masyarakat diluar komunitas Nias. Tulisan P. Johannes Maria Harmmerle dalam bukunya yang berjudul Interpretasi Asal Usul Masyarakat Nias suatu Interpretasi mengungkapkan bahwasanya ada beberapa nama yang pernah dijuluki di pulau Nias yakni: a. Hulo Ge’e, Hulo Ge’e berarti Pulau burung Kekek, yang berarti suatu pulau kecil yang ditemukan orang dengan susah payah dan tangisan ditengah lautan atau Me föna latötöi Hulo Ze’e, Eluahania hulo side-ide nisöndra niha zerege tödö ma sege’ege. b. Hulo Solaya-laya berarti pulau yang terapung-apung yang mana pulau ini dinilai kurang aman, yakni sebagai pulau yang menari-nari jika terjadi gempa bumi. c. Uli Danö-Uli Ndrao, orang Nias hidup pada kulit tanah atau ba guli danö, dikatakan juga pada kulit tanah liat keras atau ba guli ndrao. Ada tiga jenis ndrao di pulau Nias yakni merah, hitam dan putih. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. d. Uli Danö Hae, kelelahan hidup di atas tanah ini, tentu membuat orang bernafas dengan menghirup udara lewat mulut terbuka, mo-hae-hae. Maka dalam seni budaya Nias kita menemukan juga lagu atau tarian Böli Hae. Nama ini mengandung satu nasehat dan bagi yang membawakan tarian Böli Hae artinya jangan terengah-engah dengan kata lain para pemeran tidak menampilkan atraksi gemilang, sehingga nafas mereka terengah-engah atau humae-mae. e. Ölia Ulidanö. Ölia adalah nama dari suatu jenis Liana yang memanjat batang-batang pohon di hutan rimba dan kemudian mengikat sekian banyak pohon pada bagian atas sehingga menjadi satu kesatuan. Liana ini disebut Ölia dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai tangga untuk memanjat pohon-pohon raksasa dalam mendirikan kediaman mereka di atas pohon-pohon raksasa dan menghindarkan mereka dari berbagai macam ancaman misalnya; binatang- binatang buas, suhu yang lembab dan sebagainya f. Tanö Niha. Secara primodial banyak suku-suku di dunia menggangap dirinya lebih tinggi dari pada suku-suku lain. Gejala ini ditemukan pula di pulau Nias. Buktinya, orang Nias menyebut dirinya Niha atau Ono Niha, Artinya manusia atau anak manusia. Secara konsekwen mereka menyebut pulau tempat tinggal mereka Tanö Niha artinya Bumi Manusia. Sedangkan orang lain disebut ndrawa atau pendatang luar, orang asing. Zaman Hindia-Belanda mereka menyebut orang Belanda Ndrawa Hulandro istilah Hulandro tersebut diambil dari istilah Holland, lain halnya dengan keturunan Cina yang disebut Gehai atau Kehai. g. Payung Matahari,dalam tesis Yoshiko Yamamoto di Universitas Cornell, 1986 dalam Harmmerle (1999:8) mengungkapkan suatu dokumen yang historis Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. dari abad ke-15 yang menuliskan bahwa orang Cina menamakan pulau Nias sebagai payung matahari. Artinya bahwa di pulau Nias payung matahari merupakan sesuatu yang penting atau penghuni pulau ini menggemari pemakaian payung matahari. h. Teteheli Ana’a dalam tanggapan Pastor Johannes dalam tulisannya tentang asal-usul masyarakat Nias mengungkapkan bahwa Teteheli Ana’a tidak merupakan lawan kata dengan daerah tandus seperti gurun pasir. Teteheli Ana’a diartikan sebagai sebutan suci untuk mengungkapkan asal usul manusia dari rahim ibu, sebelum dilahirkan ke dunia ini. Tanah dipecahkan (ibago tanö) dalam mite diartikan sebagai perkawinan dan mengisyaratkan persetubuhan. Dengan berbagai gambaran bahasa mitos melukiskan, bahwa tubuh wanita makin berkembang. Perkembangan itu diuraikan dari dunia atau tanah pertama (tanö si sara) sampai pada dunia kesembilan (tanö si siŵa) . Sembilan bidang tanah atau sembilan dunia itu diartikan sebagai umur kehamilan . Sembilan bulan lamanya ibu mengandung, atau kendungan berkembang selama sembilan bulan. Kesimpulan Teteheli Ana’a atau dengan kata lainTeteheli Hamo adalah kata kiasan terhadap kandungan sang ibu. 2.4. Keadaan Desa Penelitian Penelitian tentang sengketa tanah dan prosedur penyelesaiannya dilaksanakan di dua desa yang berbeda di Kabupaten Nias, yakni desa Dahana Tabaloho dan Desa Onolimbu Raya. 2.4.1 Desa Dahana Tabaloho Desa Dahana Tabaloho berada di Kecamatan Gunungsitoli, Kabupaten Nias. Desa Dahana terdiri dari dua dusun. Sejarah Desa Dahana tidak terlepas dari Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. sejarah terbentuknya kota Gunungsitoli, karena awal pembentukan desa ini menjadi penyebaran terbentuknya Kota Gunungsitoli yang didirikan oleh tiga tokoh atau Sitölu Tua yakni Harefa, Telaumbanua dan Zebua. Tiga tokoh tersebut yang akhirnya menjadi marga bagi keturunannya. Sebelum terbentuk desa Dahana, masyarakat Nias pada awalnya menempati daerah Gomo Sihaya-haya, setelah daerah tersebut semakin padat maka tua Harefa melakukan perluasan wilayah. Awalnya beliau berhenti di desa Onozitoli kecamatan Gidö lalu pindah ke Hilimbelu Tabaloho dan terakhir yakni di desa Dahana Tabaloho. Sewaktu tua Harefa tiba di desa Dahana, awalnya desa ini merupakan hutan belantara yang memiliki banyak pohon dengan dahan dan rantingnya yang berjumlah banyak. Diantara tanaman-tanaman yang ada di hutan tersebut terdapat satu pohon yang sangat besar dan subur yang memiliki keunikan ranting. Maka tua Harefa memotong salah satu ranting pohon yang indah itu. Karena keunikan ranting-ranting dari dahan pohon tersebut maka tua Harefa yang memiliki gelar Tuada Laowo tersebut menamakan tempat tersebut Desa Dahana Tabaloho yang memiliki makna kesuburan dan kebersamaan. Desa Dahana yang didirikan oleh Tuada Laowo merupakan pemukiman tertua disekitar daerah Gunungsitoli yang mempunyai peninggalan sejarah masa lalu yang unik dengan berbagai benda budaya yang bersejarah berupa sepasang Batu Megalith (Gowe) yang tingginya kira-kira 3 m serta adanya rumah adat yang tingginya sekitar 25 m, namun sayang rumah adat tersebut telah punah dimakan usia, termasuk batu-batu bersejarah lainnya. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Gambar 9: Batu Megalith di desa Dahana Tabaloho, Dominiria Hulu 2008 Pendirian Gowe dalam budaya Nias dilakukan melalui proses yang cukup lama dengan biaya yang sangat besar, sehingga hanya dilaksanakan oleh keluarga yang memiliki harta yang banyak dan didukung oleh keluarga besar atau sitenga bö’ö. Mayarakat desa Dahana mengenal Tuada Laowo sebagai salah satu keturunan Harefa, yang merupakan pendiri Öri adat di Desa Dahana, yaitu suatu kumpulan masyarakat dalam suatu hokum adat yang lebih kecil yang disebut banua 14 atau kampung adat. 14 Banua (kampung) mempunyai pengertian sebagai berikut : • Banua = langit, ini dihubungkan dengan dengan daerah asal datangnya nenek moyang/leluhur yang berarti religius. • Susunan masyarakat yang terdiri dari seorang pemimpin yang disebut ”Salawa” dan onombanua (warga). Salawa didampingi oelh pembantu-pembantunya yaitu tambalina (orang kedua), fahandrona (orang ketiga), sidaöfa (orang yang ke’empat) dan seterusnya paling tidak kedelapan atau sampai dua belas orang. Seorang Salawa merupakan orang yang mendirikan kampung atau banua hada yang ditandai dengan sering mengadakan pesta Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Untuk mendirikan sebuah banua terlebih satu Öri diperlukan adanya kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat para tokoh masyarakat banua dan masyarakat Öri yang akan bersama-sama mendukung pengadaan biaya/bahan yang diperlukan untuk melakukan suatu pesta besar untuk meresmikan pendirian banua/Öri tersebut. Sebagai pemimpin, harus mampu mempertahankan bahkan meningkatkan banua tersebut dan melakukan berkali-kali pesta besar. Setelah melakukan pesta besar maka kepadanya diberikan nama kebesaran Balugu. Selain Owasa dia juga harus mampu mendirikan rumah adat besar sebagai tempat kediamannya sekaligus sebagai tempat pertemuan. Untuk meresmikan rumah adat maka dilaksanakan pesta besar yang dihadiri oleh banua, Öri dan undangan lainnya termasuk balugu yang ada disekitar ori tersebut. Jadi, dalam mendirikan sebuah batu megalith atau gowe 15 terlebih dahulu harus melakukan owasa, mendirikan rumah adat, menjadi pemimpin kesatuan adat baik ditingkat banua, maupun tingkat Öri sehingga pendirian atau Fanaru’ö Gowe terwujud setelah terpenuhinya syarat-syarat tersebut diatas. Gowe biasanya didirikan berpasangan, yaitu kelamin jantan dan betina atau simatua ba si’alawe yang diletakkan di depan rumah adat. Gowe yang didirikan di Desa Dahana didatangkan dari lokasi yang jauh. Gowe Simatua didatangkan dari Sarang Baung (Kecamatan Sawö, ±65 km dari Desa Dahana), sedangkan Gowe Si’alawe didatangkan dari Desa Ononamölö • Desa atau kampung yang kita kenal sekarang, dalam hal ini banua dikepalai salawa juga, tetapi salawa dalam pengertian kepala kampung. Jadi, sebagai kepala kampung adalah orang yang bertanggungjawab demi kelancaran roda pemerintahan, yang dipilih oleh warga desa. Dengan demikian seseorang dapat merangkap sebagai Salawa yang memimpin banua dan Kepala desa yang memimpin desa. Untuk membedakan salawa sebagai pemimpin banua dan kepala desa maka yang pertama disebut Salawa Hada dan yang kedua disebut sebagai Salawa wamareta 15 Suatu simbol bahwa seseorang telah mengadakan suatu pesta besar dengan mengundang beberapa Öri. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. (Kecamatan Botomuzöi, ±35 km dari Desa Dahana. Dalam pendirian Gowe tersebut harus dilengkapi juga dengan perlengkapan lainnya berupa binu 16. Setelah memperoleh binu sebanyak 3 maka kepala binu tersebut ditanam dibawah dasar kedua tugu, sebagai penambah kekuatan tegaknya Gowe tersebut. Desa Dahana Tabaloho berada di kecamatan Gunungsitoli, Kabupaten Nias Utara. Jarak dari desa ke kecamatan sekitar 3 Km. Adapun batas-batas Desa Dahana sebagai berikut : - Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tumöri - Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Madula - Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sisobahili dan Desa Dahadanö Sogawu-gawu - Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Orahili Tumöri dan Desa Madula Keadaan alamnya yakni dataran dan berbukit dengan ketinggian dari laut sekitar 25 m dengan luas keseluruhan ± 300 Ha. Desa Dahana dikelilingi oleh hutan dan perpohonan yang masih dijaga keasriannya dengan baik oleh penduduk desa. Pada umumnya penduduk menanam cokelat, karet, pisang, ubi kayu, ubi jalar dan tanaman lainnya yang berfungsi sebagai bumbu masakan. Adapun ternak yang dipelihara, seperti babi, ayam, anjing, dan kambing. Musim hujan rata-rata suhu udara 4 ºC dan pada masa kemarau suhu udara 23 ºC. Jika dulu penduduk dapat memperkirakan saat terjadinya kemarau maupun hujan baik dilihat dari bulan dan tanggal, tapi sejak terjadinya pemanasan (global warming) cuaca sangat tidak menentu. Hal ini memberikan pengaruh besar 16 Binu merupakan kepala orang yang dipenggal sebagai hasil buruan yang dicari dari daerah yang jauh dari lingkungannya dan menurut kepercayaan pada masa itu binu mengandung kekuatan. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. terhadap hasil pertanian penduduk. Terlebih bagi penduduk yang jenis usahanya karet dan cokelat. Masyarakat di desa Dahana kebanyakan keturunan suku Nias, sedangkan pendatang yakni suku Batak. Penggunaan bahasa daerah sangatlah kental di desa ini, ini terlihat dengan kegiatan musyawarah dan perkumpulan-perkumpulan yang lebih memproritaskan bahasa daerah Nias. Penggunaan bahasa Indonesia hanya dalam hal pengajaran. Jumlah penduduk di Desa Dahana dibagi atas 2 dusun yakni dusun I yakni 228 jiwa dan dusun II 568 jiwa. Jadi jumlah keseluruhannya yakni 796 jiwa dengan jumlah kepala keluarga dusun I yakni 46 kk dan dusun II yakni 108 kk. Adapun jumlah penduduk lebih didominasi perempuan daripada laki-laki dengan jumlah perempuan pada dusun I yakni 124 jiwa dengan jumlah laki-laki 106 jiwa dan dusun II jumlah perempuan yakni 293 jiwa dengan jumlah laki-laki 275 jiwa. Distribusi penduduk berdasarkan umur yakni, 0-11 bulan 8 orang, 11-36 bulan 44 orang, 36-60 bulan 36 orang, 5-12 tahun 161 orang, 12-14 tahun 44 orang, 14-20 tahun 98 orang, 20-35 tahun 184 orang, 35-39 tahun 42 orang, 3949 tahun 100 orang, 49-60 tahun 46 orang, dan 60 tahun 21 orang. Masyarakat Desa Dahana Tabaloho mayoritas menganut agama Kristen Protestan dan secara minoritas agama Katolik juga ada. Perbandingannya dimana Agama Kristen Protestan berjumlah 773 orang dan agama Katolik yakni 23 orang. Adapun kegiatan ibadah yang dilakukan misalnya acara Paskah, Natal dan kegiatan Persekutuan Doa. Pemuda-pemudi juga sangat antusias melakukan kegiatan-kegiatan seperti koor, vokal group dan adanya berbagai perlombaanDominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. perlombaan menjelang upacara keagamaan. Adapun nama gereja yang ada di desa Dahana yakni Banua Niha Keriso Protestan (BNKP), Angowuloa Masehi Indonesia Nias (AMIN), dan Gereja Bethel Indonesia (GBI). Untuk masyarakat yang beragama Katolik mereka mengikuti misa kudus di Gerja Santa Maria Bunda Para Bangsa. Sistem mata pencaharian masyarakat pada umumnya yakni petani. Ada juga yang berprofesi sebagai Pegawai Negri Sipil, Pegawai Swasta, Wiraswasta dan Buruh dan dalam bidang pendidikan, terdapat sebanyak 796 orang dengan perincian pendidikan sebagai berikut; SD sebanyak 200 orang, SMP sebanyak 127 orang, SLTA sebanyak 208, Akademi sebanyak 37 orang, Perguruan Tinggi sebanyak 44 orang, Tidak Sekolah/Belum Sekolah sebanyak 175 orang, dan paket B sebanyak 5 orang. Sarana dan Prasarana merupakan penunjang bagi aktivitas penduduk di desa Dahana, berikut ini merupakan sarana dan prasarana yang sangat penting yakni: 1. Transportasi dan Komunikasi; Sarana transportasi yang digunakan untuk menuju desa Dahana yakni Roda dua dan Roda empat, masyarakat juga menggunakan sarana komunikasi berupa handphone. 2.Fasilitas Kesehatan; Fasilitas Kesehatan yang disediakan di Desa Dahana dapat dibagi dalam 2 kategori yakni a. Pelayanan Kesehatan : Pustu sebanyak 1 unit, Polindes sebanyak1 unit, Praktek Bidan Swasta sebanyak 2 unit dan Posyandu sebanyak 1 unit Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. b. Tenaga Kesehatan, terdiri dari; Bidan sebanyak 6 orang, Perawat sebanyak 10 orang, Tenaga Non Kesehatan sebanyak 10 orang, Kader Kesehatan sebanyak 10 orang 3. Fasilitas umum, adapun fasilitas umum yang ada di Desa Dahana Tabaloho yakni Balai Desa. Balai desa ini dipergunakan sebagai tempat musyawarah dan kegiatan-kegiatan desa lainnya seperti tempat pelaksanaan kegiatan PKK, perlombaan-perlombaan dalam rangka memajukan minat masyarakat di desa Dahana baik dalam hal olahraga, kesenian dan lain-lain. 4. Fasilitas Ibadah, terdiri dari 3 unit yakni yakni Banua Niha Keriso Protestan, Gowuloa Masehi Indonesia Nias (AMIN), dan Gereja Bethel Indonesia (GBI). 5. Fasilitas Pendidikan merupakan hal yang penting dalam menunjang sumber daya manusia yang handal. Desa Dahana Tabaloho merupakan satu desa yang sangat menjunjung tinggi nilai pendidikan . Ini terlihat dari antusias orangtua dalam menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Kepedulian terhadap pendidikan tidak hanya diberikan kepada anak-anak yang tidak cacat secara fisik namun yang fisiknya kurang beruntung (cacat) juga mendapat tempat di desa ini. Ini terlihat dengan adanya salah satu sekolah dasar luar biasa (SDLB) yang merupakan sekolah luar biasa satu-satunya di Nias. Selain Sekolah Dasar, Taman Kanak-kanak juga ada di desa Dahana ini. 6. Fasilitas Keamanan merupakan hal yang diutamakan di desa Dahana, setiap orang yang datang ke Desa Dahana akan merasakan kenyamanan luar biasa. Hal ini dikarenakan sambutan hangat dan bersahabat dari setiap masyarakat yang ada Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. di desa tersebut karena kenyamanan tersebut di dukung dengan adanya sistem keamanan keliling atau siskamling di desa ini. 7. Fasilitas Olahraga.; Masyarakat di Desa Dahana memiliki fasilitas olahraga, seperti lapangan bulutangkis, tenis meja dan bola voli. Kegiatan-kegiatan olahraga diwaktu sore hari sering kita temui, dan ketiga kegiatan olahraga diatas sangatlah favorit dikalangan pemuda di desa tersebut. 2.4.2. Desa Onolimbu Raya Sebelum adanya desa Onolimbu Raya, penduduknya berdomisili di desa Lahagu kecamatan Mandrehe Utara. Akan tetapi karena jauh dari kota Kecamatan yang jaraknya 12 km kemudian kurangnya fasilitas jalan dan fasilitas lainnya maka penetua adat mencari lokasi yang strategis dengan kota Kecamatan dan akhirnya dibentuklah desa Onolimbu Raya yang berada dekat dengan kota Kecamatan Mandrehe. Nama Onolimbu karena pertama kali kepala desa yang dipilih dari daerah Onolimbu sedangkan kata Raya merupakan letak lokasi yang berada di Raya. Desa Onolimbu Raya diresmikan pada tanggal 13 agustus 1913, dirumah Ama Zilöbörö Hia Balugu Farokha sebagai pejabat Tuhenöri Ama Ngaebewagö Gulö Lölö Mboi Moro’o. Desa Onolimbu Raya berbatasan dengan; a. Sebelah utara berbatasan dengan Sisarahili dan Lasara Bagawu b. Sebelah selatan berbatasan dengan Iraono Gambö dan kecamatan Sirombu c. Sebelah timur berbatasan dengan Sisobahili d. Sebelah barat berbatasan dengan Lautan/Laut Nias. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Keadaan geografis desa Onolimbu Raya ketinggiannya dari permukaan laut yakni 300 meter dengan luas keseluruhan 300 ha, dan keadaan alam yang berbukit serta dataran yang banyak batu atau disebut tanah lempeng batu. Margamarga yang ada di Desa Onolimbu Raya terdiri dari Daely, Hia, Gulö, Waruwu, Marulafau, Ziliwu, Halawa, Laia, Ndruru, Zega, Zai dan Zebua. Desa Onolimbu Raya terdiri dari empat dusun dengan jumlah kepala keluarga yakni 950 kepala keluarga dimana jumlah laki-laki laki-laki lebih dominan daripada perempuan dengan jumlah laki-laki sebanyak 520 jiwa, perempuan sebanyak 409 jiwa. Adapun jenis pekerjaan yang mereka laksanakan yakni mayoritas bertani, berternak, nelayan dan sebagai guru. Hasil pertanian berupa kelapa, karet, cokelat, pinang dan padi dengan rata-rata penghasilan kirakira Rp.200.000/bulan. Sarana dan prasarana yang bisa kita jumpai yakni sarana pendidikan berupa SD sedangkan untuk mengecap pendidikan SMP, SMA, SLTA, hingga Perguruan Tinggi mereka ke Kecamatan/Kabupaten Nias atau merantau di luar daerah Nias. Sarana ibadah sebanyak 5 diantaranya 2 gereja ONKP (Orahua Niha Keriso Protestan), 1 gereja Katolik dan 1 gereja BNKP (Banua Niha Keriso Protestan). Sedangkan sarana olehraga terdiri dari lapangan sepakbola dan bola voli. Sarana kesehatan hanya terdapat satu yakni Posyandu. Kegiatan desa semakin diperkuat dengan adanya kegiatan ibu-ibu PKK dan adanya gotongroyong yang masih kuat berlaku di desa ini misalnya dalam membangun rumah, jalan, membagi hasil panen dan sebagainya. Desa Onolimbu Raya merupakan salah satu desa percontohan di Kecamatan Mandrehe sebagai apresiasi Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. dari pemerintah Kabupaten Nias melihat kebersamaan dan kekompakan yang masih terjalin pada masyarakat desa Onolimbu Raya. 2. 5 Sistem Kekerabatan Masyarakat Nias a. Garis Keturunan Suku bangsa Nias mengikuti garis keturunan patrilineal, yaitu mengikuti hitungan hubungan kekerabatan melalui laki-laki. Anak laki-laki maupun perempuan mengikuti garis keturunan ayah. Apabila anak laki-laki kawin, biasanya tinggal dirumah orangtuanya dalam waktu satu, dua, tiga tahun sampai lahir anak pertama. Tapi, anak perempuan yang sudah kawin harus keluar dari rumah orangtuanya mengikuti suaminya. Suku bangsa Nias yang berasal dari satu satu garis keturunan disebut sisambua mado 17. Mereka diikat oleh pertalian darah yang dihitung melalui lakilaki. Setiap nenek moyang dan keluarga keturunannya memiliki atia nadu 18. Sampai generasi yang kesembilan perkawinan diantara keturunannya dilarang untuk generasi selanjutnya perkawinan diantara keturunannya tidak menjadi masalah lagi. Hanya saja persyaratan harus dipenuhi yakni; memisahkan atia nadu keturunan tersebut dari kumpulan atia nadu nenek moyang dan membayar pemisahan itu dengan memotong babi sebesar 4 alisi. Babi tersebut diberikan oleh pihak laki-laki. Jadi dengan terjadinya perkawinan ini berarti kawin dalam lingkungan marga atau mado yang sama. Itulah sebabnya di daerah Nias kita jumpai suami/istri yang marganya sama. 17 Satu margas Susunan adu satua. Adu merupakan tanda kebesaran pada masyarakat Nias, pada zaman dahulu biasanya adu ini diukir/terbuat dari batu.Dahulu sebelum agama masuk ke Nias masyarakat Nias menyembah ada nenek moyang tersebut karena dipercaya sebagai pemberi ketentraman, kesejahteraan dan keselamatan, tapi saat ini kepercayaan tersebut tidak ada lagi. 18 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. b. Masyarakat Nias dalam Diagram Kekerabatan/Silsilah keturunan di Nias SIHAI TUHA SOGÖMI-GÖMI TUHA SAHONO-HONO LANGI SAGÖRÖ BANUA TUHA SIDUNIA LÖLÖMBAŴA MANGOLA TANÖ SIRAO MAMOLIKHE BIHARA NDRURU TANÖ HALUMÖGIA BURUTI RAO SILAUMA BA’UWA DANÖ BURUMEHAHA TALUHAĖ LAKINDRÖ LAI BALUGU LUO MEWÖNA SILÖGU NAWAÖNDRU ERE GOWASA HIA WALANGI SINADA LAHARI GÖZÖ TUHA ZANGARÖFA SI ADULO RAO ANA’A GÖZÖ HELAHELA DANÖ HULU HADA ANA’A DAELI MANGARAZA LANGI Diagram 1: diagram kekerabatan asal usul masyarakat Nias Buku Bapak Faogöli Harefa “Hakayat dan cerita Bangsa dan Adat Nias Diterbitkan oleh Rapatfonds Residentte Tapanuli, 1939 (Ditulis ulang dalam bentuk diagram kekerabatan oleh Dominiria Hulu, 2008) c. Kelompok Kekerabatan Kelompok kekerabatan orang Nias terkecil adalah sangambatö yaitu keluarga batih, tetapi kelompok yang penting adalah sangambatö sebua, yakni keluarga besar virilokal yang terdiri dari keluarga batih senior ditambah lagi dengan keluarga batih putra-putranya yang tinggal serumah, sehingga berupa Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. sebuah rumah tangga dan satu kesatuan ekonomis. Gabungan–gabungan dari sangambatö sebua dari satu leluhur disebut Mado (di Nias Utara, Timur dan Barat) atau Gana (di Nias Tenggara di Nias Selatan). Fungsi kelompok keluarga dari kedua belah pihak ini, paling menonjol dalam upacara peralihan dari tingkat hidup remaja ketingkat hidup berkeluarga. Jadi, apabila anak sangambatö tadi terutama anak perempuan kawin maka yang banyak memegang peranan ialah keluarga dari pihak suami. Mulai dari awal upacara sampai berakhir, mereka yang menjadi penghubung antara pihak laki-laki dan orangtua perempuan serta yang menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara tersebut. Mereka ini merupakan kelompok kekerabatan yang disebut menurut dekatnya dengan sangambatö tadi. Kelompok keluarga yang paling dekat yaitu yang sekandung dan sepupu dihitung dari garis keturunan pihak laki-laki yang disebut Iwa. Saudara sepupu tingkat kedua disebut Huwa dan saudara-saudara tingkat seterusnya disebut banua. Dari kelompok kekerabatan banua yang menerima hak dalam upacara-upacara adat ialah Salawa dan stafnya. Selain dari kelompok kekerabatan diatas, masih ada satu kelompok kekerabatan dari pihak suami yaitu kelompok-kelompok saudara perempuan yang sudah kawin beserta keluarga mereka masing-masing, yang disebut fadono atau ono alawe, termasuk keluarga yang mengawini anaknya perempuan. Fungsi dari fadono berbeda dengan Iwa, Huwa dan Banua. Kelompok kekerabatan ini merupakan pekerja dalam upacara yang olehsangambatö tadi. Itulah sebabnya dalam pembagian urakha 19 19 dilaksanakan yang menjadi Jambar/makanan yang diberikan dalam hal ini yakni babi. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. bagian mereka adalah tangan/kedua kaki sebelah muka sebagai lambang kecekatan. Keluarga dari pihak istri merupakan suatu kelompok kekerabatan yang disebut uwu. Jadi dari merekalah sumber hidup anak-anak sangambatö itu, hal inilah yang menjadikan derajat uwu lebih tinggi kedudukannya dari semua kelompok kekerabatan tadi dan selalu mendapat penghormatan yang tertinggi dari ngambatö tersebut. Selain itu keluarga yang memeberi istri bagi anak laki-laki sangambatö merupakan satu kekerabatan yang disebut sitenga bö’ö. Kelompok ini diundang apabila sangambatö mengawinkan anaknya, mengaadakan pesta kematian atau pesta adat lainnya. Gambar 10 : Tradisi perkawinan di Nias dimana pihak laki-laki memberi penghormatan kepada pihak perempuan dengan memberi sirih. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. c. Sistem istilah kekerabatan Istilah kekerabatan dibagi 2 yakni istilah menyebut atau terms of address dan istilah menyapa atau terms of reference. Masyarakat Nias juga memiliki istilah tersebut seperti yang terurai dalam skema kekerabatan dibawah ini: ▲ ОJ I DM C ОО ▲ О ▲H G A B E ▲ О F K N ▲ ▲ О О▲ O ▲A1 L О ▲P ▲B1 Diagram 2 : Istilah kekerabatan (Rosthina; Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nias, 1985) Keterangan : ▲: simbol anak laki-laki О : simbol keturunan : simbol kawin :simbol anak perempuan : simbol saudara kandung ▲ : terms of addres R : terms of reference Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Terms of addres: 1. A A B : Fo’omo atau istri 2. B A : Fo’omo atau suami A 3. A A E F : La’o atau uwu atau paman anak-anak 4. A A C D : Talifusö atau saudara 5. A A M :Fo’omo dalifusö atau fo’omo ga’a/fo’omo nakhi atau suami/istri adik. 6. B A C : Lakha 7. B A D : Ono Alawe atau anak perempuan 8. B A M : Kala’edo 9. A A G : Ina matua atau ibu mertua dari pihak perempuan 10. A A H : Ama matua atau ayah mertua dari pihak perempuan. B : Umönö atau menantu 12. G A A A : Umönö atau menantu 13. B A J : Ina Matua, Ina Sowöli atau ibu mertua dari pihak 11. I J A laki-laki. 14. B A I :Ama Matua, Ama Sowöli atau ayah mertu dari pihak laki-laki.s 15. A B A E F : Sibaya atau paman 16. A B A C D : Talifusö Ama atau saudara ayah 17. A B A M : Fo’omo Talifusö Amagu atau istri saudaaara ayah. 18. A B A J : Awegu Khö Namagu, Ina Namagu atau nenek dari ayah Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 19. A B A I : Tuagu Khö Namagu, Ama Namagu atau kakek dari ayah 20. E F A A1 B1 : Ono Mbene’ö atau keponakan 21. C A A1 B1 : Tana nono 22. I J G H A A1 B1 : Ma’uwu atau cucu 23. A1 B1 A L : Talifusö nina atau saudaara ibu 24. L A A1 B1 : Tana Nina 25. G H A I J : Mbambatö (sebaliknya) 26. A B A A1 B2 : Ono (anak) 27. A1 B1 A A B : Satua 28. A A K : Fo’omo La’o 29. A A L : Akhi Wo’omogu 30. A A N : Gabalö 31. A1 B1 A O P : Gasiwa Terms of reference : 1. A R B : Gelar waktu kawin atau ina… (nama anaknya) 2.B R A : Ga’a atau Ama…(nama anak) 3. B R C M : Ga’a atau Akhi atau Ama/Ina 4. B R D : Ga’a atau akhi atau namanya dipanggil, jika dia belum kawin. 5. A R E : Ga’a atau Akhi Atau namanya 6. A R F : Ga’a atau akhi/ ama…(nama anak kalau dia adik). 7. A R L : Ga’a atau akhi (jika belum menikah namanya yang dipanggil). Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 8. A R G H : Ina/Ama 9. B R J I : Ina/Ama 10. A1 B1 R A : Ama 11. A1 B1 R B : Ina 12. A1 B1 R E F : Sibaya 13. A1 B1 R L : Lawe 14. A B R C : Za’a (Kalau tua dari Bapak), Dalu (saudara Bapak yang tengah) dan Zakhi (kalau lebih muda dari Bapak. 15. A1 B1 R M : Za’a, Dalu, Zaki 16. A1 B1 R D : Za’a 17. A1 B1 R I1 H : Dua (tua) 18. I J R A1 B1 : Ma’uwu (Menantu) 19. G H R A1 B1 : Ma’uwugu (Menantu saya) 20. A1 B1 R O P : Ga’a atau akhi d. Sopan Santun Kekerabatan Semua anggota keluarga dan kerabat boleh saling menyapa, hanya saja cara menyapa dibedakan kepada yang lebih tua, daripada yang lebih muda. Kepada yang lebih tua harus lebih hormat daripada yang lebih muda umurnya. Antara mertua dengan menantunya perempuan dan antara mertua dengan menantunya laki-laki mempunyai hubungan yang erat sama seperti hubungan orangtua dengan anak kandungnya. Demikian juga di antara yang beripar yaitu suami dengan istri saudara laki-laki istrinya atau istri dengan saudara perempuan suaminya dianggap seperti saudara kandung. Tidak ada garis pemisah antara Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. mereka, boleh bebas berbicara, hanya saja yang muda harus menghormati yang lebih tua. Kelakar diantara kedua kelompok diatas boleh tapi harus dalam batasbatas kesopanan. Yang tidak bebas berkelakar ialah antara suami dengan saudara perempuan istrinya. Kelompok keluarga pihak istri lebih-lebih orangtua atau saudara laki-laki istri mendapat penghormatan yang lebih tinggi dari kelompok keluarga lainnya. Kalau mereka baru pertama kali datang/berkunjung kerumah saudara perempuannya, mereka harus memotong seekor anak babi minimal satu alisi. Tidak ada alasan tidak ada persediaan, harus dicari biarpun berutang. Selain memotong anak babi biasanya pemilik rumah tersebut haruslah memberikan oleholeh/bawaan berupa satu ekor anak babi. Jika tidak dia akan merasa malu terhadap tetangga dan orang sekampungnya apalagi kalau mereka mengetahui kepergiannya itu. Itu sebabnya pihak keluarga istri jarang datang kerumah anak perempuan, jika dilihatnya anaknya itu masih diperkirakan belum baik jalan hidupnya/sengsara. Perlu juga diketahui bahwa babi yang disuguhkan sebagai lauk, tidaklah dipotong secara sembarangan, karena yang disuguhkan daribabi itu adalah rahangnya beserta daging yang senyawa dengan rahang tersebut, jerohan atau alakhaö dan beberapa potong daging pahanya serta rusuknya. Inilah makanan penghormatan yang paling tertinggi, karena rahang atau simbi merupakan lambang sangkutan atau tempat bergantung. Cara memasak daging babi itu menurut adat hanya direbus saja bersama garam sedikit. Jika fadono atau ono alawe yang datang dan baru pertama kali datang atau jika dia telah panen maka ia akan membawa olöwöta/molöwö atau membawa Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. bingkisan makanan) berupa daging anak babi yang sudah direbus, nasi dan afo atau sirih kemudian ia akan dijamu dengan memotong seekor anak babi, tetapi yang lebih ditonjolkan untuk disuguhkan yakni kaki babi depan atau tangan babi bersama simbi. Tangan melambangkan kecekatan, jadi yang disuruh-suruh. Jika mereka pulang harus diserahkan manu atau ayam dan satu ekor anak babi bersama bingkisan makanan. Penghormatan diantara anggota kerabat, orang lain atau tamu haruslah memberi salam yakni ya’ahowu disusul dengan penyuguhan afo disusul dengan menyediakan minuman dan makanan. Kata ya’ahowu dipergunakan saat bertemu dengan siapa saja yang berasal dari Nias. 2.7. Perkawinan Suku Nias Pelaksanaan perkawinan pada suku Nias memperhatikan beberapa hal berikut, yakni: a. Tujuan Perkawinan bagi suku Nias Pada masyarakat Nias perkawinan memiliki empat tujuan yakni; pertama untuk memperoleh keturunan tempat mewariskan garis keturunannya. Garis keturunan tersebut diwariskan melalui anak laki-laki. Kedua, untuk memperoleh tingkatan kedudukan sosial dasar, sebagai batu loncatan untuk meraih tingkat kedudukan sosial yang lebih tinggi. Fangambatö 20 merupakan syarat untuk memperoleh bosi yang ketujuh. Dari bosi inilah dia mulai berjuang untuk memperoleh bosi yang lebih tinggi, akhirnya dia memperoleh gelar kebangsawanan Balugu, suatu gelar yang menjadi cita-cita hidup seorang laki-laki Nias pada zaman dahulu. Demikian juga dengan perempuan melalui perkawinan 20 perkawinan Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. dia memperoleh gelar, misalnya Valen Balaki, Dina Barasi, Lehe Wiro. Gelar inilah yang dipakai sebagai pengganti namanya. Menurut kebiasaan masyarakat Nias jika anak perempuan telah menikah maka nama kecilnya tidak pantas menjadi panggilannya. Apabila anaknya telah lahir barulah nama anaknya tersebut menjadi panggilan mereka misalnya, nama anaknya Yuda maka Ayah dan Ibunya dipanggil dengan sebutan Ama Yuda/Ina Yuda. Ketiga, tujuan perkawinan supaya dapat mewarisi kedudukan orangtuanya dalam adat. Kedudukan tersebut tidak selamanya diwariskan kepada anak sulung, tapi jika anak sulung tersebut tidak sanggup memenuhinya, maka saudaranya lakilaki yang sanggup menerima memenuhi persyaratan, itulah yang menerimanya. Jadi, jika belum kawin maka harta warisan berupa kedudukan dalam adat tidak dapat diwariskan kepadanya. Keempat, ialah untuk menyelesaikan permusuhan dalam kampung. Pada zaman dahulu sering terjadi peperangan antar kampung yang disebabkan ingin menguasai kampung orang lain, terhina dalam adat, dan lain-lainnya. Terjadinya perkawinan diantara anak Salawa kedua kampung yang bermusuhan tersebut, maka permusuhan diatara keduanya dapat diselesaikan. b. Bentuk-bentuk perkawinan Bentuk perkawinan yang telah diakui secara adat di Nias yakni : 1. Perkawinan yang didahului dengan famatuasa 21 Famatuasa yang sering dilaksanakan di Nias yakni Si’o 22 dan Sanema li 23 atau Samatöro24. 21 pertunangan telangkai dari pihak laki-laki 23 yang menerima permohonan si Si’o untuk disampaikan kepada orangtua si gadis yang dituju di pihak perempuan 22 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 2. Perkawinan yang disebut famalali bate’e25 Perkawinan ini merupakan perkawinan antara janda dengan saudara lakilaki suaminya. Perkawinan ini adalah suatu keharusan, karena seorang istri adalah hak keluarga suami. Apabila suaminya meninggal, maka saudara laki-laki suaminya berhak mengawininya. Mengenai böwö 26 dalam perkawinan ini dibayar juga oleh pihak laki-laki, hanya saja böwö yang dibayar besarnya berbeda dengan besarnya böwö dalam bentuk famatuasa. Böwö dalam bentuk perkawinan ini disebut böwö lakha 27, ketentuannya sebagai berikut : 1. Böwö yang dibayarkan kepada orangtua janda sebesar, emas 1 siwalu 28 dan satu ekor babi 4 alisi 29 2. Böwö yang dibayarkan kepada banua si laki-laki yakni 4 alisi. 3. Wajib membayar semua utang mendiang 4. Ana’a Fanöngöni yang dibayarkan kepada salawa sebesar tambali siwalu. Jika, janda tersebut dikawini oleh orang lain maka besarnya böwö lakha tersebut adalah sebagai berikut: 1. Böwö untuk orangtua janda tersebut sebesar, emas =sara siwalu dan satu ekor babi sebesar 4 alisi. 2. Dibayar kepada saudara mendiang berupa böwö lakha yaitu: satu ekor babi 4 alisi. 24 Penunjuk jalan Ganti tikar/bilik/kamar 26 jujuran 27 Jujuran untuk mengawini janda 28 1 pau emas muda 29 Alisi adalah satuan ukuran asli Nias untuk mengukur lingkar dada babi. Sistem ukuran ini disebut afore , cara mengambil ukuran adalah menggunakan pita dari daun kelapa muda yang dililitkan pada dada batas ketiak tungkai depannya. Hasilnya kemudian diukur dengan tongkat pengukur. Hitungan pokok (tuhe gafore) adalah 32 cm. 25 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 3. Howuhowu Zolakha, yang diterima oleh ahli waris almarhum berupa emas sebesar sara balaki 30 4. Fangali ŵe zusu, yang diterima oleh anak janda sebesar sara balaki 5. Famatörö zalawa, yang diterima oleh para salawa di desanya berupa emas sebesar fulu saga siwalu 31 6. Aya Nuwu,diterima oleh paman janda tersebut, berupa emas sebesar sara siwalu Diluar bentuk perkawinan yang biasa seperti diatas, ada juga bentuk perkawinan yang lainnya yang disebut : 1. Perkawinan sifagasiwa 32. Besarnya böwö dalam bentuk ini sama dengan böwö perkawinan pada perkawinan famatuasa. 2. Perkawinan sangawuli ba nuwu 33 dalam bentuk ini sama dengan böwö perkawinan pada perkawinan famatuasa. 3. Perkawinan lahalö ono yomo 34 4. Perkawinan duda dengan saudara istrinya. Bentuk perkawinan ini dilaksanakan supaya anak lebih terjamin pengurusannya dan supaya harta milik si mendiang tidak menjadi milik perempuan lain. Pembayaran böwö pada perkawinan pertama dan harus dimulai dari peminangan lagi. 30 1 pau emas perada = 10 gram, dizaman Belanda Fulu saga siwalu = ¼ siwalu (2,5 gram) 32 Dari pihak ibu 33 Dari pihak ibu 34 Perkawinan yang terjadi karena orangtua si perempuan tidak mempunyai anak laki-laki. Jadi, menantunya dianggapnya sebagai anaknya laki-laki. Dan dia harus tinggal dirumah mertuanya sampai mertuanya meninggal. Dialah yang mengurus pemakaman. Mado-nya tidak hilang demikian juga dengan anak-anaknya tetap mengikuti garis keturunannya. Setelah kedua mertuanya meninggal, dia bebas mencari tempat tinggalnya. 31 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. c. Syarat perkawinan Tingkatan yang harus dilalui oleh seorang anak laki-laki sebelum ia kawin adalah: A. Tingkat I atau bosi si sara yakni fangaruwusi dengan merestui anak dalam kandungan ibu. B. Masa kanak-kanak atau bosi wa’iraono terdiri dari: 1. Bosi si dua atau meminta periuk 2. Bosi sitölu atau pemberian nama 3. Bosi siöfa atau penyunatan C. Masa Pemuda terdiri dari : 1. Bosi si Lima atau Pemberian Keris 2. Bosi si Önö atau keris dihias Keenam tingkatan Bosi tersebut disebut bosi wairaono, bosi selanjutnya diperoleh jika si laki-laki telah kawin. Sedangkan bosi 8, 10 dan 12 diperoleh dengan berbagai persyaratan yang diresmikan dengan pelaksanaan pesta-pesta dan pesta adat yang disyahkan oleh raja-raja adat atau balugu yang tertua diantara balugu didalam dan diluar wilayah banua. Perkawinan dianggap sah apabila böwö wangowalu 35 sudah diselesaikan. böwö wangowalu terdiri dari emas, babi dan padi. Böwö diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, jadi semua pengeluaran dari pihak perempuan berupa alat perlengkapan dan sebagainya sudah diperhitungkan dari böwö yang diberikan pihak laki-laki. 35 Secara harafiah, Böwö artinya pemberian dan wangowalu artinya perkawinan. Jadi artinya pemeberian perkainan Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Böwö tidak sekaligus diberikan, tetapi bertahap sejalan dengan tahapan upacara yang dilaksanakan. Upacara tersebut yakni : 1. Fame’e li merupakan upacara penyampaian lamaran atau pinangan. Penyampaian lamaran bisa oleh keluarga pihak laki-laki, tapi alangkah baiknya jika menggunakan pihak perantara atau telangkai yang disebut samatöfa 36 dan Si’o 37. Pihak perempuan juga menyediakan orang yang berfungsi sebagai penerima penyampaian lamaran dari pihak laki-laki yakni samatöfa yang fungsinya sama dengan pihak laki-laki sebagai penghubung kedua belah pihak dan sanema li 38. 2. Fame’e laeduru atau memberikan cincin pertunangan dengan membawa jujuran ; emas sebanyak 2 siwalu, 2 ekor babi 4 alisi. Fame’e Laeduru merupakan pemberian cincin sebagai tanda telah melaksanakan famatuasa. Upacara ini bertujuan agar orang lain tidak mendekati gadis tersebut dan mempererat tali hubungan kekeluargaan antar kedua belah pihak. Adapun kegiatan yang dilaksanakan yakni; a. fame’e bola nafo atau penyerahan kembut sirih yang lengkap dengan lima jenis kembut diantaranya sirih, pinang, gambir, kapur, tembakau dan membawa alöwota atau bingkisan daging babi yang berisi simbi, alakhaö, daging b. famidi afo atau menyuguhkan sirih c. Olola huhuo atau musyawarah adat. d. Femanga atau acara makan bersama s36 Samatöfa berfungsi sebagai yang mendekatkan atau memperkenalkan kedua belah pihak keluarga. Samatöfa hanya berfungsi sampai pada acara penyampaian cincin. 37 Si’o merupakan telangkai yang berfungsi sampai upacara perkawinan selesai. 38 Sanema Li berfungsi untuk menerima segala apa yang disampaikan keluarga atau Si’o dari pihak laki-laki sampai terlaksana pesta perkawinan. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. e. Fanou’ laeduru atau penyerahan cincin f. Famöhögö ba ziraha afasi atau mengikatkan cincin tersebut pada patung Siraha Afasi. 3. Fanunu manu atau membakar ayam dengan membawa jujuran emas 1 balaki, 2 siwalu dan 3 ekor babi. Fanunu Manu berfungsi sebagai pemberitahuan kepada semua sanak keluarga. Dalam upacara ini sanak keluarga dan banua dari kedua belah pihak diundang. Upacara ini juga menandakan telah terjalinnya sebuah ikatan hubungan kekeluargaan atau fambabatö. 4. Famalua li atau menyampaikan hasrat dengan membawa jujuran emas tambali siwalu sebesar 5 gram. Famalua li merupakan peryataan bahwa upacara perkawinan tersebut akan dilanjutkan. Pihak laki-laki dalam upacara ini menanyakan kepada pihak perempuan berapakiranya jumlah jujuran yang harus dipenuhi. Adapun tahap-tahap yang dilaksanakan dalam famalua li yakni: a. pihak tome 39 mengirimkan utusan si’o kerumah sowatö 40 dengan membawa bola nafo dan olöwö famangelama41. b. tahap kedua dilaksanakan fangowai atau penyampaian tujuan c. tahap ketiga yakni fame’e afo atau pemberian sirih d. tahap keempat yakni fanaba’ö olola zumange atau pemotongan babi yang diberikan kepada pihak perempuan. e. tahap kelima yakni olola huhuo atau musyawarah adat. f. tahap keenam yakni femanga atau pemberian makan 39 Tome yakni sebutan untuk pihak laki, uwu:paman pihak perempuan. Sowatö yakni sebutan pihak perempuan 41 olöwö famangelama merupakan bingkisan untuk memperingatkan /mengingatkan sowatö bahwa pihak tome akan datang menanyakan böwö. 40 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. g. tahap ketujuh yakni fame’e bawi famalua li atau penyerahan babi untuk upacara famalua li. h. tahap kedelapan yakni fame’e sinulo atau penyerahan emas jujuran sebagai perjanjian. i. tahap kesembilan yakni fame’e ana’a famariŵa atau penyerahan emas jujuran sebagai perjanjian. j. tahap kesepuluh yakni fangötö bongi atau penentuan hari berlangsungnya perkawinan oleh salawa-salawa pihak sowatö. k. tahap terakhir yakni famözi atau pemukulan aramba/gong. 5. Fame’e fakhe toho atau membawa padi jujuran dengan membawa jujuran emas 1 siwalu, 2 saga tambali siwalu dan 4 ngaso’e padi. Fame’e fakhe toho maksudnya yakni mengantarkan padi/beras untuk keperluan pada pesta perkawinan. Tahap-tahap pelaksanaannya yakni: a. Si’o dan beberapa orang dari pihak keluarga laki-laki mengantarkan fakhe toho kerumah orangtua perempuan. b. Salawa dipihak sowatö menakar banyaknya padi/beras, apakah sesuai dengan yang sudah ditentukan. c. Menyerahkan sua’a wakhe 42 yang bertujuan untuk membayar adat untuk penakaran padi tersebut. d. Orang yang membawa fakhe toho dijamu dengan makan sederhana dengan lauk babi ni’owuru. 6. Fangandrö li nina atau memohon waktu dari ibu gadis dengan membawa jujuran emas 1 balaki dan 2 ekor babi. Fangandrö li nina maksudnya 42 Su’a wakhe yakni ukuran/takaran padi/beras. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. yakni memohon kepada ibu perempuan supaya ia menentukan hari perkawinan yang sebenarnya, karena hari perkawinan yang ditentukan oleh salawa-salawa dapat diubah atau diundur. Hari yang ditentukan oleh ibu disebut bongi adulo yakni hari/malam yang segera akan terjadi atau terlaksanakan dan pasti tidak dapat diubah oleh siapapun, kecuali kalau ada kemalangan. 7. Fame’e atau menasehati calon pengantin dengan membawa jujuran emas 1 siwalu dan babi 3 ekor. 8. Famaola ba nuwu atau memberitahukan kepada paman gadis dengan membawa jujuran emas 1 balaki, 2 siwalu dan 2 ekor babi. 9. Famaigi bawi walö ŵa atau menengok babi jujuran adat dengan membawa jujuran emas 2 siwalu dan suguhan makanan dengan lauk babi 4 alisi. Famaigi bawi yakni melihat keadaan atau besarnya babi jujuran perkawinan oleh pihak sowatö atau orangtua perempuan bersama dengan beberapa orang utusan warga kampung perempuan dirumah orangtua si laki-laki calon penganten. 10 . Foalau bawi/folohe bawi atau membawa babi jujuran dengan membawa jujuran emas tambali siwalu, 3 ekor anak babi yang sudah masak dengan cara dibungkus dan daging babi sebesar 4 alisi yang sudah dipotongpotong. 11. Falöŵa atau melangsungkan uapacara pernikahan dengan membawa emas 1 balaki dan 6,5 sese. 12. Fame’e gö atau memberi makan penganten dengan membawa emas 1 balaki dan 2 ekor babi. 13. Famuli nukha atau mengembalikan peralatan/pakaian dengan membawa emas jujuran 1,5 siwalu dan 2 ekor babi. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 14. Fanöröi Omo atau rumah saudara bapak yang disebut tana nama dengan membawa sirih. Semua böwö ini diterima oleh keluarga pihak perempuan yaitu, orangtua yang lazim disebut soboto, iwa, huwa, banua, uwu dan ere. Apabila böwö tersebut kurang atau tidak diberikan kepada keluarga yang disebut diatas dapat menyebabkan perkelahian. Pihak keluarga menyerang orangtua si perempuan, karena beranggapan bahwa semua böwö tersebut telah diberikan oleh pihak lakilaki, tetapi orangtua perempuan menggelapkannya. Jika hal tersebut terjadi maka penganten perempuan tidak akan diturunkan dari rumah karena keluarga menahannya. Böwö memberikan pengaruh yang cukup besar ditunda maupun dibatalkannya upacara perkawinan. Rangkaian kegiatan perkawinan diatas mengisyaratkan pentingnya suatu hubungan kekerabatan satu sama lain dalam memperoleh harta warisan berupa tanah maupun adanya kedudukan seseorang dalam menyelesaikan/ikut serta dalam penyelesaian sengketa tanah ataupun perebutan harta waris yang terjadi. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. BAB III ARTI TANAH DAN HUKUM YANG BERLAKU PADA MASYARAKAT NIAS 3.1. Arti Tanah pada Masyarakat Nias Tanah merupakan pemberian dari Tuhan yang mana setiap orang di dunia ini memiliki bagian masing-masing baik dalam struktur sosial, organisasi atau dalam kehidupan bermasyarakat. Tanah juga menyediakan makanan dan bahanbahan lainnya untuk bertahan hidup, dari tanah segala kebutuhan manusia dapat berjalan dengan lancar. Memiliki tanah yang banyak akan menjadi salah satu tolak ukur kekayaan yang kemudian dengan sendirinya membuat orang tersebut menjadi terpandang. Umumnya orang yang mempunyai tanah yang luas disebut tuan tanah atau Sokhötanö dan biasanya ia memiliki beberapa pekerja Ada beberapa alasan begitu pentingnya tanah dalam kehidupan masyarakat Nias yakni: a. Tanah sebagai identitas Tanah dalam bahasa daerah Nias disebut Tanö atau Danö hal ini semakin dipertegas dengan adanya lambang Kabupaten Nias yang bertuliskan Tanö Niha yang merupakan identitas yang tidak terlepas pada masyarakat Nias. Tulisan Tano Niha yang terdapat di lambang kabupaten adalah nama resmi Kabupaten Nias dalam bahasa daerah Nias. Gambar 11: Lambang pulau Nias, Google BPS-Nias 2009 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Sedangkan tulisan Datatuwu dengan warna hitam adalah semboyan Pemerintah Daerah Kabupaten Nias sebagai pemersatu untuk lebih membangkitkan semangat dan penyatuan tekad dalam meningkatkan laju pembangunan daerah Nias. Buah kelapa dengan warna kuning coklat menunjukkan salah satu hasil bumi utama daerah Nias, sedangkan jumlahnya yang yang 17 (tujuh belas) buah mengingatkan tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah tanggal 17 (tujuh belas). Mayang padi dan butirnya yang berjumlah 45 (empat puluh lima) buah mengingatkan tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah tahun 45 (empat puluh lima). Deretan Bukit Barisan yang kelihatan delapan buah berwarna hijau melambangkan keindahan alam Daerah Nias serta mengingatkan bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah bulan 8 (Agustus). Gambar Bintang dengan warna kuning mencerminkan kehidupan kerohanian masyarakat Nias yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tanö Niha banua somasido, Tanö si tumbu ya’o wöna.. Hemukoli ndrao ba zaröu, balö olifudo sa’ia... .Tanö si Tumbu do, mohili ba ebolo ndraso.. so nungoni tanö ba mbombo wasui asi sebolo... (tanah Nias tanah yang kucintai, tanah kebanggaanku... dimanapun aku berada, tidak akan terlupakan... tanah kelahiranku, berbukit dan sangat luas...tanah yang berada ditengah lautan yang sangat luas) Lirik lagu diatas merupakan lagu kebangsaan masyarakat Nias yang berjudul Tanö Niha yang selalu dinyanyikan pada acara-acara kebesaran misalnya acara peresmian, pesta Ya’ahowu dan sebagainya. Lirik lagu tersebut juga Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. mengisyaratkan secara nyata begitu dekatnya serta sangat berharganya nilai tanah dipandang sebagai identitas yang mempersatukan dan memberikan kekuasaan pada masyarakat Nias. Lirik lagu ini juga menandakan hubungan emosional dari masyarakat Nias untuk tetap menjaga dan mempertahankan kepemilikan tanahnya dari gangguan masyarakat luar yang belum sah secara adat menjadi penduduk di Nias. Lambang dan slogan Kabupaten Nias serta Lagu kebangsaan masyarakat Nias telah mengungkapkan tanah sebagai identitas pada masyarakat Nias yang secara turun temurun telah diwariskan dan dipertahankan. b. Tanah sebagai Kekuasaan Tanah sebagai kekuasaan terungkap dari sistem kekerabatan masyarakat Nias yang digariskan menurut garis keturunan laki-laki atau berdasarkan marga, selain itu tanah sebagai kekuasaan mempererat hubungan kekeluargaan atau talifusö pada masyarakat Nias. Tanah sebagai kekuasaan terungkap dengan pendirian rumah adat dan pendirian kampung atau banua sebagai kekuasaan tanah marga Gambar 12: megalith/tugu kebesaran pada masyarakat Nias dan rumah adat masyarakat Nias, Dominiria Hulu dan google photo, 2008. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Masyarakat Nias dahulunya dalam memperoleh kekuasaan atas sebidang tanah, haruslah mengadakan kegiatan pesta adat atau owasa yang bertujuan untuk meneguhkan kekuasaannya terhadap tanah tempat tinggalnya. Peneguhan tersebut akan dihadiri penetua/petinggi adat dan akan mensyahkan batas kekuasaan berupa luas tanah dari yang mendirikan rumah tersebut, biasanya yang melaksanakan kegiatan adat ini yakni orang-orang yang telah memiliki kekuasaan dan ingin memperluas daerah kekuasaanya. Setelah disyahkan maka orang tersebut akan diberi julukan Balugu. Kemudian Balugu inilah yang akan mewariskan tanah miliknya yang sangat luas kepada anak-anaknya sebagai penerus daerah kekuasaanya. Adapun bentuk rumah adat pada masyarakat Nias terdiri dari dua yakni: a. Bagian utara : bentuknya oval (lonjong) dan atapnya dari rumbia b. Bagian selatan: bentuknya persegi panjang berpetak Gambar 13: Rumah adat bagian utara (domi, 2008) Gambar 14: B.Rumah adat bagian selatan (google,2008) Kedua rumah adat diatas disebut sebagai Omo Hada. Tiang rumah adat Nias ukurannya besar mempunyai kolong, tangganya tinggi, dindingnya dirakit tanpa paku, tiang dinding diberi relief dengan motif khas Nias. Rumah adat pada Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. masyarakat Nias memiliki bentuk yang berbeda-beda, sesuai dengan kegunaan dan tingkat kedudukannya dalam adat. Bentuk rumah adat dibedakan atas empat kelompok yakni: 1. Omo Arö Gosali: berupa balai adat/balai pertemuan/tempat musyawarah seluruh warga kampung termasuk pemimpin, dalam rangka menyelesaikan permasalahan dan mendengarkan keberhasilan dari kegiatan desa baik adat, hukum, sosial dan kegiatan lainnya) 2. Omo Hada: berupa rumah adat tempat tinggal pimpinan masyarakat atau disebut Si’ulu atau penghulu di daerah Nias bagian selatan dan Balugu/Salawa pada masyarakat Nias bagian utara. Pada bagian bangunan Omo Hada terdapat ukiran-ukiran yang unik yang melambangkan kekuasaan dan kekayaan. 3. Omo Ni’olasara: berupa rumah adat yang tiangnya berukiran dengan motif ni’olasara, dan biasanya rumah ini ditempati oleh kaum bangsawan atau tokoh adat. 4. Omo Niha Sigölötö: berupa rumah rakyat biasa, berbentuk sama dengan rumah adat tetapi tiangnya tidak berukiran. Bangunan rumah adat diatas menegaskan pentingnya tanah sebagai tempat malaksanakan berbagai kegiatan misalnya pesta adat perkawinan, kegiatan musyawarah, pengembangan desa dan sebagainya. Luasnya tanah dan perkarangan pemilik rumah adat juga menandakan kekuasaan mutlak dari si pemilik tanah untuk memperoleh penghargaan pada acara-acara adat yang dilaksanakan di desanya. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. c. Tanah sebagai Laju Perekonomian Masyarakat Nias Tanah sebagai lahan perekonomian terlihat jelas dari beberapa kegunaan tanah yakni sebagai lahan pertanian dan perkebunan yang produktif seperti menanam tanaman durian, kelapa, padi, pisang, cokelat, karet dan tanamantanaman palawija. Selain itu tanah juga dijadikan sebagai tempat usaha, misalnya sebagai tempat industri skala besar maupun rumahtangga, sebagai pasar tempat terjadinya transaksi penjualan hasil-hasil usaha masyarakat di bidang pertanian dan sebagainya, selain itu digunakan sebagai tempat usaha peternakan babi, kambing, kerbau, ayam dan ternak unggas lainnya. Usaha pertokoan juga menjadi suatu cara pemanfaatan tanah tidak hanya bagi masyarakat Nias namun masyarakat lain seperti orang Tionghoa dengan usaha-usaha dibidang elektronik/bahan-bahan bangunan serta suku Minang dengan usaha rumah makan, toko pakaian dan sebagainya. Tanah juga bisa dijual sebagai modal usaha serta sebagai modal pendidikan untuk melanjutkan sekolah. Biasanya, tanah digadaikan atau dijual agar kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi. d. Tanah Digunakan sebagai Laju Pembangunan Perkembangan suatu daerah ditunjang dengan adanya pembangunan yang menggunakan banyak tanah, misalnya: 1) Pembangunan lokasi pariwisata atau tempat rekreasi. Pembangunan lokasi pariwisata menggunakan tanah masyarakat menjadi prioritas pemerintah Kabupaten Nias, mengingat Nias merupakan lokasi wisata yang memiliki banyak kekayaan alam maupun wisata sejarah, contohnya; wisata alam pantai Lagundri dan Sorakhe di Nias Selatan, wisata alam Pantai Bunda di daerah Fodo, wisata alam Pantai Sirombu, wisata sejarah megalit di desa Dahana dan wisata sejarah Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Tögi Nifo di Sirombu dan objek wisata lainnya. Pembangunan lokasi pariwisata tentunya membawa dampak ekonomis terhadap daerah maupun masyarakat yang berada disekitar objek wisata. Kebutuhan tanah akan perkembangan lokasi paeriwisata tentunya sebagian menggunakan tanah masyarakat, baik yang diberikan secara percuma oleh masyarakat maupun yang diberikan berdasarkan perjanjian penggunaan. Misalnya, objek wisata megalit yang dalam penggunaanya harus dipelihara dan dirawat dengan baik. Gambar 15: Proyek pembangunan pariwisata di lokasi penelitian desa dahana dan Sirombu, Dominiria Hulu, 2008 2). Terjadinya gempa 28 maret 2005 telah membawa pengaruh signifikan terhadap penggunaan tanah sebagai lokasi pembangunan yang tidak terelakkan. Tanah tersebut menjadi lahan komoditi yang diperjualbelikan kepada pihak luar untuk pembangunan dan hal ini telah membawa dampak adanya lahan kosong yang selama ini menjadi lahan tak berfungsi menjadi lahan produktif, hal ini ditandai dengan adanya kegiatan-kegiatan pengembangan usaha pertanian dari lembagaDominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. lembaga swadaya masyarakat berupa program livelihood 43 misalnya tempat peternakan, bibit cokelat, pembangunan jalan, pembangunan gedung perkantoran dan sekolah-sekolah serta program rekonstruksi pembangunan rumah pengungsi. . Gambar 16: Salah satu contoh pembangunan gedung sekolah, Dominiria Hulu 2008 Gambar 17: Rumah pengungsi, dominiria hulu;2008 43 Program-program dalam bidang pertanian misalnya sebagai lahan pembibitan coklat, tanah percontohan dan sebagainya Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 3. 2. Sistem Kepemilikan Tanah pada Masyarakat Nias Kepemilikan tanah pada Masyarakat di Kabupaten Nias yakni: 3.2.1. Berdasarkan Keturunan/ Kerajaan Tetehöli Ana’a. Silima Börödanömö yang merupakan pusat penyebaran penduduk yang memenuhi pelosok tanö niha sampai ke Kepulauan Hinako dan Kepulauan Batu. Penyebarannya tersebut dapat dilihat melalu peta etnografi dibawah ini: Gambar 18: Penyebaran kepemilikan tanah pada masyarakat Nias, dari buku asal usul masyarakat Nias suatu interpretasi, P. Johannes, 1999 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Gambar diatas menunjukan penyebaran marga dan tanah pada masyarakat Nias berdasarkan keturunan Kerajaan Tetehöli Ana’a dan Silima Börödanömö merupakan anak Raja Balugu Sirao yang melaksanakan penyebaran tersebut, hal ini terdiri dari: 1. Hiawalangi’adu yang tiba di bagian selatan Tanö Niha dan bermukim dikawasan hulu sungai Gomo. Beliau kemudian mendirikan banua atau kampung pertamanya Sifalagö-Gomo yang lebih terkenal dengan sebutan banua Börönadu, sampai sekarang masih dihuni penduduk dan disana-sini tampak peninggalan kuno megalitkultur seperti kuburan Hia Walangi’adu, tugu-tugu batu dan sebagainya. 2. Gözö Helaheladanö yang tiba dibagian utara Tanö Niha atau termasuk tanö nihayöu termasuk daerah Laraga Kecamatan Gunungsitoli dan Tuhemberua. Kemudian beliau pindah ke sebelah utara di daerah Kecamatan Lahewa dan mendirikan banua pertamanya di Gunung Hili Gözö bernama Hili Gözö, bukti peninggalannya sepasang tugu batu. 3. Hulu Hada yang tiba di bagian barat Tanö Niha dan mendirikan banua pertamanya Laehuwa di tepi sungai Oyo, Kecamatan Mandrehe, bukt i peninggalannya berupa tugu batu. 4. Daeli yang tiba di bagian timur Tanö Niha dan mendirikan banua pertamanya Tölamaera di tepi sungai Idanoi, Kecamatan Gidö, bukti peninggalannya yakni kuburan Daeli bernisan batu. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 5. Silögubanua yang tiba di sebelah barat Tanö Niha, lalu bermukim dan mendirikan banua pertamanya Hiambua di tepi sungai Oyo, sebelah timur banua Laehuwa, Kecamatan Mandrehe. Sekarang masih dihuni penduduk dan masih terdapat peninggalan kuno beberapa Tugu Batu. Silögu Banua adalah cucu, putera sulung dari Balugu Luomewöna. Keturunan dari masing-masing leluhur Silima Börödanömö memakai identitas. Mula-mula mereka memakai istilah ono atau anak atau iraono, misalnya Ono Delau, Ono Dohu, Iraono Las, Iraono Huna, dan sebagainya. Tetapi kemudian pada masa Pemerintahan Belanda sewaktu dikeluarkan Surat Pas atau kartu penduduk mulai dipergunakan istilah mado. Mado bukan hanya diambil dari leluhur pertama tetapi juga dari leluhur berikutnya yang lebih terkenal jaya menurut gelar karena pesta adat yang disebut owasa. Demikianlah hingga sekarang kita mengenal sampai ratusan nama mado atau marga pada masyarakat Nias, misalnya: - Dari keturunan Hiawalangi’adu yakni mado Hia, Lai’a, Dachi,Waruwu, Harefa, Telaumbanua, dan lain-lain. - Dari keturunan Gözö Helaheladanö yakni mado Baeha dan Dawölö - Dari keturunan Hulu Hada yakni mado Hulu, Nazara, Zaluchu dan lainlain. - Dari keturunan Daeli yakni mado Daeli, Gea, Larosa dan lain-lain. - Dari keturunan Silögubanua yakni mado Zebua, Zai, Zega, dan lain-lain. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 3.2.2. Berdasarkan Fondrakö Bonio oleh Sitölu Tua. Fondrakö Bonio atau Fondrakö Ni’owuluwulu memiliki teritorial huku m adat yang meliputi Kerajaan Öri Tumöri (Mado Zebua), Kerajaan Öri Dahana (Mado Harefa), Öri Ulu (Mado Telaumbanua). Ketetapan Fondrakö Bonio menetapkan batas teritorial yurisdiksi antara masing-masing Sitölu Tua atau yang tiga mado yakni: - Bagian untuk mado Zebua adalah kawasan tengah, terbentang antara anak sungai Bogalitö sebelah utara sampai sungai Nou sebelah selatan. - Bagian untuk mado Harefa adalah kawasan sebelah selatan yang berbatasan pada sungai Nou dengan bagian Mado Zebua - Bagian untuk Mado Telaumbanua adalah kawasan sebelah utara yang berbatas pada anak sungai Bogalitö dengan Mado Zebua. - Saota Luaha Nou atau pelabuhan Kuala Nou adalah hak kuasa bersama Sitölu Tua dalam hal ini yakni Mado Zebua, Harefa dan Telaumbanua. 3.2.3. Perolehan Hak Kepemilikan Tanah Berdasarkan Komunitis Perkembangan kota Gunungsitoli sebagai pusat dari kegiatan perekonomian Kabupaten Nias, telah mendatangkan berbagai etnis lain diantaranya yakni: 1. Kedatangan Etnis Aceh Pada tahun 1058 H atau 1639AD, dari Preumbeu-Melaboh (Aceh Utara), seorang Aceh bernama Lebai Pulit alias Tengku Polem dengan menumpang perahu seorang diri terdampar di kuala sungai Laraga dekat Kampung Luahalaraga. Karena dianggap emali dawa Ace atau orang Aceh penculik dan perampok, penduduk menangkapnya dan dianiaya kemudian dihadapkan kepada Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Raja Laraga, Tuhenöri Balugu Samönö Tuhabadanö Zebua. Setelah melalui proses, ia ditawan dan dikurung selama beberapa waktu. Kemudian Baginda Harimao Harefa dengan puteranya dari Onozitoli dating dari Luahalaraga menanyakan perihal Tengku Polem. Setelah dimengerti maka mereka meminta kepada Raja Laraga untuk menebusnya. Raja Laraga mengizinkannya, sehingga ia dibawa ke Onozitoli dan menjadi pekerja dalam keluarga Harimao Harefa. Beberapa tahun kemudian, karena telah bekerja baik dan jujur maka Tengku Polem dikawinkan dengan Kabowo, anak perempuan Harimao Harefa dengan sistem ono yomo atau menantu yang diangkat sementara, dari perkawinan tersebut mereka mendapat anak laki-laki yang bernama Simaöga atau Simeugung serta anak perempuan yang bernama Siti atau Siti Zahora. Setelah baginda Harimao Harefa meninggal dunia, Tengku Polem bersama dengan ipar-mertuanya Ka’owa Kahemanu Harefa pindah dari Onozitoli. Mula-mula mereka bermukim di Osalafache-Turewodo, lalu di Tetehesi-Miga terus ke Dahana’uwe yang merupakan kampung Bawölaraga Harefa dan kemudian di Lasara . Untuk sementara Tengku Polem sekeluarga tinggal bersama ipar-mertuanya Ka’owa Kahemanu Harefa di Lasara, kemudian diberikan tempat pemukimannya di Siwulu yang merupakan desa Mudik. Setelah bermukim di Siwulu, Tengku Polem menyuruh anaknya Simeugang belajar agama Islam di Meulaboh sampai belasan tahun di sana. 2. Kedatangan Etnis Minangkabau. Pada tahun 1109 H, sebuah perahu layar dari Minangkabau menuju Aceh Barat diserang angina taufan, sehingga terdampar di Teluk Tölubalugu atau Teluk Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Belukar 15 Km dari Gunungsitoli. Setelah mendapat informasi dari penduduk setempat, perahu tersebut kembali berlayar melalui pelabuhan Luahanou di Gunungsitoli. Pimpinannya ialah Datuk Ahmad Caniago bersama Ahmad Linto atau Rinto dan Datuk Kumango serta beberapa teman lain. Mereka berasal dari Kampung Dalam, Negeri Pariaman Padang Panjang, Luhak Tanah Datar, Minangkabau. Mereka berlabuh di Luahanou dan menemukan Tengku Polem di Siwulu. Kedatangan perahu Minangkabau itu, kemudian diberitahukan oleh penjaga pelabuhan kepada Raja-raja Sitölu Tua. Kemudian mereka datang ke Gunungsitoli di Luahanou untuk meminta bea pelabuhan. Maka Datuk Ahmad membayarkan bea pelabuhan itu sebagaimana mestinya dalam situasi damai. Beberapa hari kemudian Datuk Ahmad melamar Siti Zahora, anak perempuan Tengku Polem, dengan persetujuan ipar-mertua Tengku Polem di Lasara dan dengan syarat Datuk Ahmad harus tinggal menetap di Nias, lamaran itu terwujud dengan perkawinan yang dilangsungkan di Lasara, di rumah Kö’öwa Kahemanu Harefa. Saat itu, sesuai dengan tradisi mereka kepada Datuk Ahmad diberikan nama baru yaitu Raja Ahmad, sejak itu Raja Ahmad tinggal bersama temantemannya di Kampung Lasara. Setelah terjalin hubungan perkawinan tersebut maka Raja Ahmad meminta tempat pemukimannya dengan paman-mertuanya. Baginda Kö’öwa Kahemanu Harefa memberi lokasi sebelah hilir dari Siwulu. Raja Ahmad segera membangun rumahnya pada 11 syafar 1111 H. Pemukiman itu dinamakannya Kampung Dalam. Kemudian putera bungsu Raja Ahmad, Datuk Raja Meulimpah Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. mengembangkan kampung tersebut dan diberi nama Kampung Ilir, dalam perkembangannya kemudian dinamakan Kampung Baru. Karena Simeugang belum pulang dari Meulaboh, maka Raja Ahmad membawa kedua puteranya di rumahnya, hingga kedua mertuanya meninggal di situ. Setelah Simeugang kembali dari Meulaboh, tidak berapa lama kemudian ia menikah dengan seorang gadis dari mado Zebua. Setelah itu ia membangun rumahnya di Siwulu. Setelah rumahnya selesai, barulah ia mengadati kematian kedua orang tuanya sesuai dengan adat Islam dan sesuai dengan adat Nias dengan enam ekor babi untuk pihak pamannya di Lasara. Pada saat itulah pamannya memberi gelar kepadanya Amazihönö dan pemukimannya di Siwulu dinamakan Kampung Mudik. 3. Pengibahan Kuasa dan Tanah Wilayah oleh Salawa Lasara. Atas usul Simeugang dan Raja Ahmad, pamannya Kö’öwa Kahemanu Harefa melakukan musyawarah bersama untuk penentuan kekuasaan dan tanah wilayah mereka tersebut yang disyahkan dalam Fondrakö Heleduna dengan ketetapan sebagai berikut: a. Simeugang menjadi Kepala di kampung Mudik dan Raja Ahmad menjadi kepala di Kampung Dalam-Ilir, dengan menjalankan adatnya masing-masing, dengan tetap mengakui kebesaran pihak pamannya di Lasara hingga keturunan mereka. b. Tanah wilayah untuk kampung Mudik dan Ilir, mulai dari Heleduna, menyusur kaki gunung sampai Landatar dan terus di pinggir laut, dan dari Heleduna sampai di sungai Nou. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. c. Kalau ada musuh saling membantu, bila musuh dari laut maka Raja Ahmad dan Simeugang di depan dan bila musuh dari darat maka pihak pamannya yang di depan. 4. Kedatangan Orang Tionghoa Orang-orang Tionghoa atau Cina dinamai oleh Ono Niha Dawa Sina atau lebih populernya disebut Kehai. Sebenarnya orang Cina telah lama datang berdagang di Tanö Niha dan di Gunungsitoli. Mereka, selain sebagai pedagang biasa juga sebagai calo atau agen perdagangan budak dari orang Aceh, jauh sebelum VOC Belanda datang. Tetapi mereka tetap tinggal di daerah ini. Setelah pemerintahan Belanda berkeduduka n di Gunungsitoli tahun 1840 keamanan mulai terjamin, maka sekitar tahun 1850 orang Cina mulai berdomisili di kota Gunungsitoli. Mereka terdiri dari empat orang yakni Kehai Adulo, Kehai Bule, Kehai Saitö Bewe, dan Kehai Timba yang keturunanya yakni Sitorosi, Si Peng, Si Lem. Pertama-tama mereka mengambil lokasi pemukiman di pinggir sungai Nou sebelah utara dekat pelabuhan Luahanou. Sejak itu orang Cina berangsur-angsur datang dan berdomisili di Kota Gunungsitoli dengan pekerjaan sebagai pedagang. Pertambahan penduduk di Kota Gunungsitoli yang terasa padat dan kekurangan tempat perumahan, maka Pemerintah Belanda mengadakan perluasan lokasi kota dengan melokalisasi penduduk menurut etnisnya. Sistem ini, membentuk perkampungan dalam kota yaitu Kampung Cina mulai dari pinggir sungai Nou kearah utara terus Kampung Melayu. Kemudian diangkatlah kepala pemerintahannya yang disebut Kapitan. Demikianlah kampung Cina itu terbentuk dan dan sekarang masih tampak dalam kota Gunungsitoli. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 3.2.4. Berdasarkan Sistem Kepemilikan Tanah Secara Ideal Tanah pada masyarakat Nias terdiri dari tanah anak berdasarkan atas pembagian harta warisan, tanah ulayat yang merupakan tanah leluhur yang diwariskan kepada keturunan berdasarkan marga dan tanah milik pribadi yakni tanah yang dibeli dengan uang pribadi dan tidak di sahkan secara hukum adat. . Secara umum kepemilikan tanah bagi masyarakat Nias ada dua macam : a. Secara adat (tanah ulayat/tanah leluhur); ini biasanya diperoleh dari pembagian harta nenek moyang, yang dibagikan secara turun temurun berdasarkan garis keturunan laki-laki namun kebanyakan belum bersertifikat secara hukum atau belum terdaftar di kantor Pertanahan Negara. b. Milik Pribadi; kepemilikan tanah yang seperti ini, diperoleh dari pembelian pribadi yg tidak dipengaruhi oleh hukum adat dan biasanya memiliki sertifikat dari instansi pemerintah terkait sebagai bukti kepemilikan. Sedangkan secara khusus pada masyarakat Nias kepemilikan tanah dibagi atas empat yakni: a. Sotanö yakni yang mempunyai tanah, biasanya ini masyarakat asli dari desa tempat tinggalnya b. Nifotanö yakni kepemilikan tanah berdasarkan pemberian dari masyarakat setempat dimana seseorang ingin tinggal. Jika dulu biasanya ini dilakukan dengan adat : - ibe’e famaböbö löwi-löwi yakni sebuah ikatan janji bahwasanya ia akan bertanggungjawab/sepenuh hati memberikan yang terbaik terhadap desa tempat tinggalnya jika ada kejadian-kejadian yang mempertaruhkan nama desa. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. - Famolala bahele-hele dimana jika seseorang telah sah menjadi warga di desa tersebut dan memiliki tanah maka ia akan diterima untuk bergabung dengan masyarakat misalnya ke sumur, acara adat dan sebagainya. c. Nifobanua atau Sowaunua yakni seseorang yang telah sah menjadi warga di desa tempat ia tinggal, contohnya etnis Dawa keturunan Aceh dan Minangkabau yang telah disahkan secara adat Fondrakö Heleduna. d. Sifatewu yakni pendatang/penumpang yang belum terikat dengan adat setempat dan tidak memiliki hak atas tanah dan pemerintahan, kecuali kalau mereka telah mengikat dirinya dengan hukum adat dengan memenuhi syarat dan norma tertentu. Masyarakat Nias pada zaman dahulu jika ingin meneguhkan kepemilikan tanahnya maka ia mengadakan suatu kegiatan adat yang disebut Fanaru’ö Tanö 44. Adapun hal yang dipersiapkan dalam kegiatan tersebut yakni : 1. Mengundang Balugu/tokoh adat dan Salawa. 2. Menyiapkan sarigi firö yang merupakan mata uang dari logam pada zaman Belanda dan sekarang harganya kira-kira 700.000 dan diberikan kepada Tuhenöri. 3. Babi 1 ekor dan biasanya simbi merupakan penghormatan kepada Salawa. 4. Mengundang pihak-pihak yang berbatasan dengan tanahnya 5. Mengundang masyarakat di lingkungannya 44 Menancapkan batsa tanah berupa tanaman atau pilar yang terbuat dari semen. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Setelah menyiapkan beberapa hal tersebut diatas, maka dibuatlah hukum yang disebut dalam bahasa Nias Lafatörö goi’goi yang disahkan oleh Tuhenöri dengan mengatakan “Da’a banuagu, sino ufatörö nola, andrö haniha zangai sitenga khönia ba göna ia huku yaia daö öfa alisi bawi ba ibe’e gö mbanua“. Artinya, ini merupakan kebun saya, maka saya tancapkanlah batas kebun saya ini melalui kegiatan adat, jika kelak tanah saya diganggu/ dipersengketakan maka orang yang mempersentakan tersebut akan dihukum dengan membayar adat berupa membawa 4 alisi babi dan memberikan makanan kepada warga disini.” Keabsahan dari kepemilikan tanah pada masyarakat Nias juga terihat dengan adanya kegiatan adat perkawinan dan biasanya pengesahan secara tidak tertulis tersebut ketika diadakan pada saat pesta adat wamozi aramba. Wamözi Aramba yakni jika seorang laki-laki menikah dan disahkan secara adat di desanya maka secara otomatis dia akan memiliki hak dalam desa baik dalam hal kepemilikan tanah warisan orangtuanya maupun hak-hak lain dalam pelaksanaan musyawarah adat, seperti dalam penyelesaian sengketa, selain itu perkawinan juga sebagai tanda kepemilikan lahan kepada pihak wanita nias yang akan secara otomatis memiliki tanah dari warisan suaminya, sehingga dalam pengerjaan lahan ladang, sawah, atau mendirikan rumah di tanah warisan suaminya tidak akan diganggu gugat oleh masyarakat desa. Hal inilah yang menunjukkan bahwa perkawinan dalam adat Nias dapat memberi kemudahan dalam penyelesaian sengketa tanah, karena ini akan mendorong adanya ikatan kekerabatan berupa marga yang kelak dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Gambar 19: pegesahan secara adat di desa dalam kegiatan perkawinan wamozi aramba foto: Dominiria Hulu, 2009 Gambar 20: Pengesahan adat perkawinan wamozi aramba dihadiri para tokoh2 adat setempat, Dominiria Hulu, 2009 Gambar 21: Daging babi yang digunakan untuk pengesahan adat, Dominiria Hulu 2009 Gambar 22 :Penyerahan daging babi kepada pengetua adat, Dominiria Hulu 2009 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Pengesahan adat menggunakan babi dan uang serta minuman tuak/brendi sebagai simbol sangat berartinya kegiatan adat tersebut yang mana daging babi tersebut akan diberikan kepada pengetua adat dan pihak perempuan dari pengantin laki-laki yang disebut uwu. Pembagian kepada pengetua adat sesuai dengan kedudukan dari pengetua adat tersebut. Gambar 23 : minuman yang disajikan serta sirih yang merupakan simbol dari pelaksanaan kegiatan adat, Dominiria Hulu: 2009 Sistem kepemilikan lahan secara tradisional baik secara adat fanaru’ö tanö ataupun acara adat perkawinan Famözi Aramba hanyalah berfungsi sebagai peneguhan secara adat di desa tersebut. Peneguhan secara adat tanpa adanya bukti tertulis telah membawa pengaruh signifikan terhadap terjadinya sengketa tanah. Hal ini terjadi karena kurangnya bukti-bukti kepemilikan tanah yang selalu hanya didasarkan konsep kejujuran dan tanpa sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Hukum seperti Badan Pertahanan Nasional. Oleh karena itu, akhir-akhir ini mulai adanya penyadaran akan pentingnya sertifikat tanah sebagai kekuatan hukum untuk menghindari terjadinya pemanfaatan situasi misalnya, situasi tanaman yang sudah produktif dan ingin dikuasai, situasi pendidikan yang buta huruf dan sebagainya. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 3.3. Hukum yang Berlaku pada Mayarakat Nias Masyarakat Nias mengenal beberapa hukum yang satu sama lain sangat mendukung terhadap adanya ketentuan yang dijalani, baik hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Hukum tersebut yakni: 3.3.1. Hukum Waris Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia dan diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak. Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Pada masyarakat Nias ketiga hukum tersebut berlaku. Secara hukum waris adat Nias, yang berhak memperoleh harta peninggalan yakni lakilaki karena suku Nias menganut sistem patrilineal. 3.3.1.1. Kedudukan Pria dan Wanita Nias dalam Memperoleh Harta Waris 1. Kedudukan sebagai anak kandung Kedudukan sebagai anak kandung pembagian warisan masih berpatok pada sistem patrilineal yakni anak laki-laki yang berhak mendapat warisan, namun sekarang sudah adanya perubahan pola pikir dari pemberi warisan bahwasanya perempuan juga memiliki hak yang sama. Hanya saja dalam perolehan hak waris tidak sebanding dengan pemberian terhadap laki-laki karena pemberian warisan terhadap pihak perempuan dalam hal ini merupakan pembagian warisan yang disebut masi-masi atau pemberian karena rasa sayang, pemberian tersebut biasanya sebidang tanah untuk membangun rumah maupun berupa perhiasanDominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. perhiasan dengan syarat turut serta membantu orangtuanya mencari nafkah keluarga dengan bekerja di ladang, kebun dan melaksanakan pekerjaan rumah dengan baik. 2. Kedudukan sebagai Anak Angkat Pada masyarakat Nias anak angkat dibagi dua yakni ono yomo atau menantu laki-laki karena dalam keluarga tersebut hanya memiliki anak kandung yang perempuan maka suami dari anak perempuannya akan dijadikan ono yomo yang memiliki hak atas warisan orangtua kandung si perempuan. Untuk menjadi ono yomo maka harus mengikuti persyaratan yakni marga orangtua si perempuan menjadi marganya.. Selain ono yomo istilah lain yakni ono nisou. Ono nisou biasanya ada karena suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka keluarga tersebut mengambil anak saudaranya. Dalam hal ini anak saudara yang diambil berasal dari pihak laki-laki bukan dari pihak perempuan dengan alasan sebagai penerus marga. Biasanya dalam pengangkatan ono nisou diadakan acara peneguhan secara adat dengan menyediakan babi, membayar emas sebesar 3 fanulo atau 30 gram untuk berikan kepada pengetua adat dan pihak paman (saudara laki-laki dari ibu si anak) serta mengundang seluruh kerabat dan masyarakat yang berada di desanya Pada akhir acara penetua adat biasanya mengucapkan kata-kata peneguhan yakni Höli-höli wanuhugö sihasara tödö yang bermakna kesepakatan bersama telah sah dan sebagai tanda berakhirnya acara peneguhan ono nisou. Pembagian harta warisan terhadap ono nisou jika sudah sah menjadi anak dalam keluarga Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. yang mengangkatnya akan sama dengan anak kandung dari keluarga tersebut bahkan berlebih jika ono nisou berperilaku baik, menghargai kebaikan orangtua angkatnya, bekerja giat dan menyayangi saudara angkatnya. Masyarakat Nias mengenal beberapa jenis warisan yakni : g. Rumah h. Pertapakan i. Alat-alat rumah tangga yang berharga j. Harta emas k. Kebun l. Tanah kosong atau lahan kosong yang belum ditanami m. Kedudukan dalam hukum adat n. Hutang piutang Hukum waris Islam yang berlaku pada masyarakat Nias sama dengan hukum waris yang berlaku diseluruh wilayah Indonesia yakni perolehan hak waris lebih diutamakan terhadap pihak laki-laki. Sedangkan Hukum waris perdata dalam hal ini diperoleh dari selesainya sengketa atau permasalahan hak waris di pengadilan, jadi pihak yang menang akan berhak atas warisan yang dipersengketakan. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 3.3.2. Hukum Adat Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial yang sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Peraturan-peraturan hukum adat tidak tertulis dan memiliki kemampuan menyesuaikan diri serta elastis. Sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Hukum Adat mengenai tata negara 2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan). 3. Hukum Adat menganai delik (hukum pidana). Nias merupakan salah satu wilayah yang menggunakan hukum adat dalam kehidupan sosialnya. Hukum adat yang digunakan berasal dari aturan yang telah diamanahkan oleh para leluhur dan merupakan hasil kesepakatan pertama kalinya yang dimusyawarahkan di Arö Gosali 45 di desa Börönadu Gomo yang disebut Fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. 3.3.2.1. Hukum Adat Fondrakö Asal kata Fondrakö yaitu dari Fo dan Rako yang merupakan kata kerja yang berarti tetapkan dengan sumpah yang bersanksi kutuk bagi pelanggar. Fo di 45 Rumah raha atau tempat bermusyawarah Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. sini berarti Pe atau Ke sehingga fondrakö berarti penetapan, ketetapan-ketetapan dengan penyumpahan dan kutuk bagi yang melanggar. Istilah Rako adalah satu kata yang demikian tinggi dan dalam pengertiannya. Fondrakö merupakan kumpulan dan sumber segala hukum yang menjadi landasan hidup Ono Niha baik perorangan maupun masyarakat banyak. Pada dasarnya Fondrakö menekankan pada sikap agar berbuat baik dan melarang segala corak kejahatan serta memberi dorongan dan petunjuk untuk berbuat menurut jiwa dari Fondrakö tersebut. Jiwa Fondrakö tesebut dikenal menurut istilah aslinya, yang mengatakan : Masi-masi atau kasih sayang, Möli-möli atau pengasuhan/pencegahan dan Rourou atau pendorong berbuat/pengasahan. Dalam istilah Indonesia umum, kita dapat mengatakan: Asih, asuh dan asah. . Adapaun yang telah ditetapkan dalam Fondrakö Laraga Talu Idanoi seperti: a. Amakhöita dan Huku dalam hal-hal yang mengembirakan sepeti: pemberian nama anak, sunat, perkawinan, mendirikan rumah, menempa perhiasan rumah, melakukan owasa, mendirikan banua, mendirikan gowe (tugu), mendirikan Öri, bercocok tanam. b.Amakhöita dan Huku dalam dukacita seperti kematian, kebakaran, peperangan dan lain-lain. c. Amakhöita dan Huku dalam hal harta seperti harta pusaka, ternak, tanah, harta hibah, utang piutang dan lain-lain. d.Membuat dan menetapkan peraturan tentang alat ukur, yaitu: lauru (takaran padi), afore (meteran babi), fali’era (neraca emas), sagani’omanu-manu Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. (bungkal neraca), balö gondrekhata (pengukur nilai/gram emas), timbanga mbawi (alat penimbang babi) dan lain-lain. e. Amakhöita dan Huku tentang kegiatan menyangkut acara religius, dimana setiap kegiatan dimulai dengan doa. f. Amakhöita dan Huku tentang berburu dan menangkap ikan. g.Amakhöita dan Huku tentang kekeluargaan, pergaulan dan lain-lain h.Amakhöita dan Huku tentang pelabuhan seperti bea dan cukai, izin pendaratan, pandu pelabuhan dan lain-lain. i. Huku dan Ogauta pada pelanggaran susila, mulai dari mengedip mata pada wanita sampai pada kehamilan diluar nikah. j. Huku dan Ogauta mencuri, mulai dari mencuri ubi sampai menculik orang k.Huku dan Ogauta dalam hal persengketaan, mulai dari bertengkar sampai membunuh dan meracuni orang. Demikianlah Salawa dan Ono Salawa bersama semua warga laraga melakukan Fondrakö Laraga Talu Idanoi di Onositoli Tamomboho dengan musyawarah, kekeluargaan, persatuan dan kesatuan Laraga, berpedoman pada falsafah hidup nenek moyang kita : “Salawa Fa’atulöö, Salawa Fa’atuatua, Salawa Fa’abölö, Salawa Ökhöta,dan dan Salawa Söfu”46 Walaupun ketetapan fondrakö itu tidak tertulis, namun sangat di taati dan pelanggaran fondrakö di yakini berbahaya bagi pelanggarnya oleh karena di ikrarkan oleh semua warga dengan sumapah sakral fondrakö yang dipimpin oleh ere. Orang yang taat diberkati dan orang yang melanggar dikutuki dan dikenakan 46 Tinggi dalam hal : keadilan, ilmu dan kebijaksanaan, kuat jasmani dan rohani, berkeadaan dan berwibawa. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. hukuman yang setimpal melalui sidang pengadilan banua yang dipimpin oleh Salawa atau Tuhenöri. 3. 4. Susunan Lembaga Adat Nias Pemerintahan asli suku Nias adalah bentuk pemerintahan adat yang terdiri dari dua tingkatan yaitu: 1.Banua yang dipimpin oleh Salawa (istilah Nias bagian Utara) atau Si’ulu (istilah Nias bagian Selatan). 2.Õri yaitu merupakan perluasan dari banua yang dipimpin oleh Tuhenõri atau Si’ulu. Dalam setiap kesatuan masyarakat hukum, baik tingkat banua maupun tingkat ÕriI terdapat satu badan Pemerintahan adat (eksekutif) dengan susunan sebagai berikut: a. Sanuhe merupakan pemimpin didalam lingkungan adat dan berkewajiban mengadakan pesta yang disebut Fanaru’ö Banua atau mendirikan kampung. Istilah adatnya yakni solobö hili-hili danö atau sanekhe hili-hili danö maksudnya yakni yang menyusun lembaga baru di desa sedangkan Nias bagian selatan Sanuhe disebut sebagai Si’ulu. Proses perolehan gelar Sanuhe jika seseorang sudah menduduki Bosi kesembilan atau bosi kesepuluh dan telah beberapa kali melaksanakan pesta adat. Adapun tugas Sanuhe yakni sebagai: 1. Sebagai fulitö li atau tempat bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu; 2. Sebagai sangila huku atau yang mengerti akan hukum serta dapat memutuskan hukuman warga sesuai kesalahan yang diperbuat.; 3. Sebagai orangtua yang tahu tentang Fondrakö; Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 4. sebagai orangtua yang dapat membela warganya dari tekanan luar desanya dari segala hal. b. Tambalina merupakan orang kedua setelah Sanuhe. Tugasnya yakni membantu Sanuhe dalam melaksanakan tugasnya Istilah tambalina sering disebut solohe ba ngai danö, artinya yang menggariskan dan menjalankan segala peraturan dan nilai adat yang disesuaikan dalam hukum fondrakö. Adapun tugas tambalina yakni: 1. Mewakili sanuhe apabila berhalangan 2. Membantu sanuhe dalam menegakkan hukum fondrakö 3. Membantu sanuhe dalam memutuskan hukuman 4. Membantu sanuhe dalam mengadakan hubungan dengan desa lain c. Fahandrona Fahandrona dalam istilah Nias disebut sangehaogö lala ba hele artinya yang membuat atau membersihkan jalan ke permandian/sumur/pancuran. Adapun tugasnya yakni: 1. Membantu tambalina dalam memberikan petunjuk kepada seluruh warga untuk dapat mematuhi semua garis hukum adat sesuai dengan fondrakö 2. Membantu tambalina untuk memberikan dorongan kepada selutruh warga desa adat dalam mencari nafkah 3. Membantu tambalina dalam menggerakan masyarakat membangun desa dan bergotongroyong 4. Menerima dan melayani segala keluhan warga utuk disampaikan kepada sanuhe agar mendapat keringanan atau pertimbangan. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. d. Si Daöfa dalam istilah Nias disebut sanuturu lala ba nidanö artinya yang menunjuk jalan ke permandian/pancuran/sumur atau yang menunjuk jalan untuk mendapat kebaikan. Adapun tugasnya yakni: 1. Membantu pemimpin lainnya dalam melaksanakan kebersihan desa. 2. Membantu warga untuk mengatur pengukuran dan letak perumahan warga desa, serta mengatur bentuk rumah. 3. Membantu melaksanakan penguburan warga desa yang telah meninggal, letak dan tempatnya, serta melaksanakan apa yang perlu untuk penguburan dan segala pengorbanan lainnya. 4. Membantu fahandrona dalam menunjukan tempat bertani dan berternak warga desa. 5. Membantu menegakkan hukum adat dan hukuman bagi seluruh warga yang melanggar peraturan dalam desa. Keempat pilar ini secara simbolis biasanya diwujudkan pada keempat tiang utama dalam rumah adat Nias. Dewan pimpinan dalam bahasa Nias di kenal dengan istilah SITE’OLI. Baik di tingkat banua maupun di tingkat Öri seuua SITE’OLI (Dewan Pimpinan) disebut Salawa. Yang berkedudukan dan berfungsi di banua di sebut Salawa Mbanua dan yang berkedudukan di tingkat Öri di sebut Salawa Nöri. Masyarakat umum dewasa ini mengenal istilah Sanuhe (yang kini di sebut Ketua) untuk tingkat banua yang lazim disebut Salawa dan di tingkat Öri disebut Tuhenöri. Pemerintahan adat suku Nias juga mengenal adanya lembaga legislatif yang di sebut FONDRAKÕ, yaitu suatu badan musyawarah dari tokoh– tokoh adat untuk menetapkan hukum tentang berbagai bidang kehidupan dalam Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. suatu kelompok masyarakat (dapat berupa kelompok marga) dalam suatu wilayah tertentu dengan sangsi-sangsinya yang yuridis dan sakral yang sangat keras. Tugas empat orang ini juga mengunjungi seluruh warga setiap hari, melihat apakah warga sudah turun berladang, apakah sudah berternak apakah sudah bangun dari tidurnya atau diantara mereka sakit, dan sebagainya. Ke empat orang ini disebut Si’ao ba mbawa duwu tuwu artinya yang berteriak diatas tingkap untuk mendorong warga untuk bekerja dan lain-lain. e. Si Dalima dalam istilah Nias yakni soaya tugawa fondrani artinya pandai emas. Adapun tugasnya yakni: selain menempa perhiasan warga desa dan perhiasan ke empat pemimpin dan istri ke empat pemimpin diatas juga membantu dengan cara lainnya untuk mendukung segala pembangunan dalam desa, membantu tambalina dalam menegakkan adat, membantu fahandrona dalam membersihkan jalan serta turut membersihkan jalan serta turut bergotong royong, mambantu sidaöfa dalam mendorong warga untuk bertani, menjaga kesehatan, serta mengukur dan mengatur letak perumahan warga. f. Si Daönö adalah orang ke enam yang bekerja untuk membantu warga desa mengenai; membantu warga untuk menunjukkan segala kebutuhan hidup warga desa dalam bertani yang baik dan berterna dan membantu warga untuk penentuan waktu turun berladang, ia disebut samataro wangahalö ba danö atau sanuturu tanö anga’iwa . g. Si Dafitu yang ketujuh, tugasnya yakni:membantu sinuhe sampai sidaönö untuk menemukan tempat perburuan binmatang hutan yang disebut sanuturu naha mbolokha, orang ini biasanya disebut Fu, membantu para warga untuk melaksanakan gotongroyong, membantu warga untuk mencari dan menunjukan Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. letak perladangan yang baik dan tanaman apa yang perlu ditanam di daerah itu, mendorong warga untuk kebersihan lingkungan dan kesehatan dan membantu warga untuk mendorong mendirikan rumahnya dan menunjukan dimana kayu dapa diambil yang baik. h. Si dawalu juga disebut hogu artinya pangkal atau puncak/ujung. Tugasya yakni membantu Sinuhe sampai ke si dafitu untuk mencari dimana tempat menunggu ikan di sungai, istilahnya di sebut fafuasa atau berburu ikan, udang dan belut disungai, istilah lainnya disebut manakhe. i. Si Dasiwa mempunyai tugas sebagai penempa peralatan dari besi yang di buat menjadi alat-alat pertanian, seperti cangkul, parang, kapak serta peralatan senjata misalnya tombak, keris, menempa baju besi dan perisai yang disebut dange dan tetenaulu. Biasanya orang ini disebut si ambu atau pandai besi j. Si Dafulu disebut samatötö artinya yang bisa menerobos atau sebagai mata-mata dari pada sanuhe, tambalina, fahandrona dan sidaöfa. Adapun tugasnya yakni: sebagai mata-mata dan penerobos segala sesuatu yang terjadi, untuk mencari kebenaran dan menangkap pelaku yang lari atau pembangkang dan samaeri fatuwusö artinya yang mendidik dan melatih pemuda-pemuda untuk segala kepandaian berperang, bela diri, berjiwa berani, gagah dan tangguh sebagai pembela warga desa serta sebagai pasukan perang dan membantu mendorong pemuda unuk berjiwa gotongroyong membangun desa dan membela kebenaran. k. Si Felezara, orang yang berada di tingkat ini mempunyai tugas yang sangat penting membantu sanuhe, tambalina sampai ke sidaöfa. Si felezara sering juga disebut bohalima atau balözanuwö yang selalu memakai alat perang sehingga disebut soaya dange. Adapun tugasnya yakni: membantu si dafulu dalam Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. ketertiban desa dan keamanan, membantu si dafulu dalam menyusun bala pasukan atau prajurit desa, membantu menjadi mata-mata dan membantu memilih para fatuwusö yang baik dan berani. l. Si Felendrua, orang-orang yang berada pada tingkat ini adalah seluruh warga masyarakat yang disebut istilahnya ono wobarahao. Seluruh warga harus tunduk kepada pimpinan dan mematuhi segala hokum yang berlaku sesuai yang telah digariskan dalam hukum adat fondrakö yang melanggar akan dihukum. Tugas mereka secara merata adalah mencari nafkah dan berperang bila ada yang menyerang, dibawah pimpinan bohalima dan para fatuwusuö yang gagah dan berani. Susunan kepengurusan adat tersebut sangat membantu warga terhadap adanya penyelesaian sengketa tanah yang terjadi pada masyarakat Nias, karena semuanya mempunyai peran dan tugas mengupayakan adanya perdamaian secara kekeluargaan atau adat dan berusaha untuk tidak melibatkan pihak pengadilan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. BAB IV SENGKETA TANAH DAN PROSEDUR PENYELESAIANNYA PADA MASYARAKAT NIAS 4.1. Sengketa Tanah yang terjadi pada masyarakat Nias Masyarakat Nias merupakan masyarakat yang masih hidup dalam lingkaran kebudayaan dan adat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan. Tanah merupakan wadah untuk mencari dan mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Pentingnya arti tanah dalam kehidupan masyarakat Nias menyebabkan sering terjadinya kesalahpahaman yang ujung-ujungnya terjadi persengketaan. Kepemilikan tanah pada masyarakat adat 47 Nias yang didasarkan atas kepemilikan bersama berdasar marga dan kekuasaan hingga sekarang masih berlaku, namun karena hukum adat kepemilikan tanah berdasarkan hak ulayat 48 yang tertuang dalam Fondrakö masih bersifat lisan tidak tertulis menyebabkan kekuatan hukum adat itu sendiri semakin jauh dari harapan apalagi dengan keadaan generasi sekarang yang sudah tidak mengerti dengan adat Fondrakö dan lebih mengunakan jalur hukum kepemilikan tanah menurut Undang-undang Agraria. Akhir-akhir ini tanah memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Nias, bahkan tanah dekat pantai pun bernilai sangat ekonomis. Pentingnya arti tanah tersebut kemudian menimbulkan masalah pertanahan yang akhir-akhir ini menjadi masalah yang semakin banyak kita jumpai dimana-mana 47 Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Nias yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya. 48 Hak ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya yang meliputi hak memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesai dengan peraturan perundang-undangan. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. termasuk wilayah adat Nias. Sebenarnya masalah tanah telah terjadi jauh sebelum adanya kemajuan di wilayah kabupaten Nias, misalnya saja persengketaan antar desa dalam memperebutkan tanah kekuasaan yang hingga sekarang masih bisa kita jumpai di daerah pelosok-pelosok Kabupaten Nias, dan lain sebagainya. 4.1.1 Faktor Penyebab terjadinya Sengketa Tanah pada Masyarakat Nias Terjadinya masalah pertanahan di Nias biasanya terjadi karena beberapa faktor diantaranya: a. Penguasaan Lahan Produktif Yang Bukan Hak Milik Penguasaan akan lahan produktif ini terjadi ketika tanah yang dahulunya tidak memiliki nilai namun setelah dikerjakan dan diolah serta menghasilkan menjadikan tanah itu semakin bernilai. Namun, berharganya tanah tersebut kemudian menimbulkan adanya konflik kepentingan dan pemanfaatan situasi oleh pihak-pihak yang ingin memperoleh tanah yang bukan miliknya. Hal ini semakin bermasalah ketika tanah tersebut hanya diukur berdasarkan tanaman atau tanpa sertifikat dan kepemilikannya hanya diketahui oleh beberapa saksi yang menandatangani surat tanah yang dikeluarkan oleh kepala desa. Permasalahan makin rumit ketika yang menjadi saksi telah meninggal dan hal inilah yang kemudian menjadikan pihak lain memanfaatkan kesempatan tersebut, karena ia yakin akan menang pada saat adanya penyelesaian sengketa. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. b. Status Tanah Yang Tidak Pasti Permasalahan status tanah yang tidak mempunyai kekuatan badan hukum menjadi permasalahan yang sering kita dengar akhir-akhir ini. Apalagi dalam kehidupan masyarakat Nias bukti surat akan tanah itu sendiri hanya diperoleh dari adanya kekuatan hukum lokal diatas materai, terlebih lagi pada masyarakat yang berada jauh dari pusat perekonomian masyarakat Nias, kepemilikan tanah makin tidak jelas karena kepemilikan tanah masih bersifat bersama berdasarkan atas tanah ulayat. Tanah ulayat dalam hal ini seperti perladangan baru yang dibuka, otomatis kepemilikannya masih didasarkan atas kepercayaan bersama dengan warga yang juga sama-sama membuka lahan disekitar tempat tersebut. c. Masalah Penjualan Tanah Yang Tidak Jelas Ukurannya Masyarakat Nias dahulunya dalam pembagian harta warisan bahkan dalam penjualan tanah hanya didasarkan sejauh orangtua melemparkan bibit tanaman, misalnya jika ia melemparkan bibit tanaman durian sejauh 5 km maka sejauh itulah tanah yang akan diperoleh masing-masing anaknya atau jika tanaman itu tumbuh maka tanaman tersebutlah yang akan menjadi batas tanaman anakanaknya satu sama lain. Kondisi inilah yang akhirnya menjadikan kepemilikan tanah makin rumit, terlebih lagi jika orangtua yang mewariskan tanah tersebut meninggal dunia, akhirnya meninggalkan konflik berkepanjangan dalam kehidupan anak-cucunya kelak. Jika dulu sistem tersebut sah-sah saja berlaku karena tanah di Nias cukup luas, tapi kondisi sekarang tidaklah menunjang diberlakukannya cara demikian malah lambat laun sistem tersebut akan punah disebabkan cucu-cucunya yang memperoleh warisan berupa tanah tidak akan mendapat warisan. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. d. Masyarakat Nias Yang Merantau Permasalahan sengketa tanah juga terjadi karena situasi keluarga. Desakan ekonomi dan kurangnya ketrampilan dalam mengolah lahan pertanian menjadikan anak-anak dari orangtua yang akan mewariskan tanah orangtuanya pergi merantau. Keputusan merantau dan tanpa mengetahui batas tanah dari orangtuanya menjadi masalah di kemudian hari, masalah juga semakin rumit ketika orangtua si anak tersebut meninggal dunia. Permasalahan lainnya ketika orangtuanya semasa hidupnya telah menjual beberapa bagian tanahnya kepada orang lain karena tidak sanggup mengolah maupun karena desakan ekonomi, hubungannya kelak dengan terjadinya sengketa ketika pihak yang membeli tanah tersebut memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan. d. Akibat Adanya pembangunan Pembangunan sangatlah penting bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat Nias. Terlebih di era modernisasi yang semakin canggih, pembangunan itu sendiri mengambil peranan penting. Kegiatan pembangunan di Nias semakin marak ketika terjadinya gempa 28 maret 2005, gempa yang telah meluluhlantakan bangunan dan sistem perekonomian masyarakat Nias menjadi salah satu motivasi berharganya dan sangat dibutuhkannya tanah. Masalah kemudian timbul ketika terjadinya proses pembelian tanah didasarkan kepercayaan, janji dan ketidaktahuan hukum oleh si pemilik lahan. e. Perolehan Harta Warisan Dari Pihak Laki-Laki (suami dari si pemilik lahan) Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Pernikahan secara adat Nias sekaligus menjadi pengesahan bagi kepemilikan tanah berdasarkan warisan dari pihak laki-laki terhadap istrinya. Permasalahan sengketa tanah terjadi ketika suaminya meninggal dunia sementara si istri pergi merantau ke desa lain. Hal ini pun dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang merasa bisa mempermainkan situasi tersebut, dengan cara mengambil secara diam-diam hasil-hasil dari lahan tersebut bahkan mengeser batas tanah agar kelak tanah tersebut menjadi miliknya. 4. 2. Contoh Kasus Sengketa Tanah yang Terjadi pada Masyarakat Nias Adapun contoh kasus sengketa tanah yang didasarkan beberapa faktor diatas yang terjadi pada masyarakat Nias pada umumnya dan masyarakat desa Dahana Tabaloho serta masyarakat desa Onolimbu Raya pada khususnya yakni: 4.2.1. Kasus Terhadap Harta Waris Tanah dari Pihak Suami yang Telah Meninggal Permasalahan yang terjadi dengan warga diluar desa dahana ini karena sebagian dari tanah warga yang bersengketa memiliki lahan di desa dahana. Permasalahan ini terjadi pada tahun 1986 antara Ina Game’i yang berstatus janda berselisih paham dengan dengan E. Harefa. Permasalahan terjadi karena tanah milik Ina Game’i diatasnamakan sebagai milik E harefa dan E Harefa mengambil hasil dari tanaman yang ditanam diatas tanah milik Ina Game’i. Padahal seluruh masyarakat desa maupun yang berbatasan tanah dengan Ina Game’i mengetahui bahwa tanah tersebut merupakan milik Ina Game’i, namun E harefa terus mengklaim bahwa itu merupakan tanah miliknya. Berartinya tanah walaupun sejengkal telah mendorong niat Ina Game’i untuk mempertahankan apa yang menjadi haknya. Ia pun menemui Kepala Desa Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dahana dan juga tokoh adat di desa tersebut. Mempertimbangkan laporan tersebut maka dibuatlah surat panggilan untuk memanggil kedua pihak yang bersengketa tersebut. Karena Ina Game’i yang melapor maka dalam hal ini segala biaya pada saat kegiatan musyawarah tersebut Ina Game’i yang sediakan seperti membawa 4 kilo babi, 15 botol minuman tuak khas Nias dan uang sebesar Rp.25.000. Permasalahan yang diselesaikan secara kekeluargaan tersebut akhirnya dimenangkan oleh pihak Ina Game’i, karena ia mempunyai bukti-bukti yang sah berupa surat tanah dan juga adanya keterangan-keterangan dari saksi serta masyarakat desa dahana yang hadir pada saat itu. Hal ini juga semakin diperkuat karena Ina Game’i sudah menjalankan adat perkawinan yang merupakan bukti sah tanpa tertulis kepemilikan lahan dari suaminya yang telah meninggal. Sebagai bukti telah selesainya sengketa tersebut maka kepala desa membuat surat yang isinya : 1. tanah tersebut sah milik Ina Game’i artinya, dalam hal ini tanah serta tanaman yang selama ini dipergunakan oleh E Harefa kembali sah menjadi milik Ina Game’i. Ina Game’i kembali berhak menanam tanaman apapun diatas tanah tersebut tanpa di permasalahkan lagi oleh E. Harefa. 2. Jika E Harefa keberatan dan ingin mengajukan kembali pengaduan atas tanah tersebut maka yang menyelesaikan sengketa tersebut yakni tokoh adat. Artinya, jika ke depan E Harefa mengungkit kembali permasalahan tanah tersebut ataupun mengambil tanaman yang telah menjadi milik Ina Game’i maka E Harefa tidak berhak mengklaim Ina Game’i secara langsung, melainkan akan bermasalah dengan tokoh adat yang mensyahkan penyelesaian dan memberi keputusan atas Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. sengketa tanah tersebut. Jadi, tokoh adat dalam hal ini menjadi keamanan bagi Ina Game’i untuk kembali mengolah tanah miliknya tanpa ragu lagi akan dipersengketakan. Sahnya perjanjian tersebut di tandatangani di atas materai oleh kedua belah pihak yang bersengketa serta diketahui oleh saksi-saksi, tokoh adat dan kepala desa. Mengenai biaya adat yang dikeluarkan oleh Ina Game’i tidak diganti lagi oleh E Harefa karena Ina Game’i tidak menuntut kerugian tersebut karena yang diinginkannya yakni kejelasan dari kepemilikan tanahnya. 4.2.2. Kasus Sengketa Tanah karena Adanya Pembangunan Pembangunan yang terjadi setelah peristiwa gempa 28 Maret 2005 telah menimbulkan masalah baru dalam kehidupan masyarakat Nias. Salah satu masalah tersebut yakni masalah pertanahan karena pembangunan yang telah dan akan dilaksanakan sangat membutuhkan tanah yang jumlahnya banyak. 4.2.2.1.Kasus Sengketa Tanah antara Kontraktor dan Pemberi Bantuan Permasalahan ini tejadi pada tahun 2005, sengketa tanah yang terjadi yakni antara kontraktor Ir. Adieli Gulö atau Ama Kori Gulö dengan pemberi bantuan rumah pengungsi. Hal ini disebabkan karena pihak pemberi bantuan yang menangani pembangunan rumah pengungsi di desa Dahana belum melunasi segala dana yang dikeluarkan oleh Ir. Adieli Gulö sebagai kontraktor atas proyek tersebut. Permasalahan bertambah parah karena Ir. Adieli Gulö meninggal sementara permasalahan belum selesai. Akhirnya istri dari Ir. Adieli Gulö dalam hal ini Ibu Dra. Masta Yunita atau Ina Kori Gulö mengambil tindakan dengan Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. memasang plangkat yang isinya larangan untuk menempati lahan rumah pengungsi tersebut. Gambar 24: Isi dari larangan di arah pintu masuk lokasi lahan yang dipersengketakan, Dominiria Hulu, 2008 Gambar 25 : Isi dari larangan di arah pintu keluar lokasi lahan yang dipersengketakan Dominiria Hulu, 2008 Plangkat larangan tersebut menjadikan masyarakat yang membutuhkan bantuan rumah tidak bisa menempati rumah tersebut, padahal rumah tersebut kondisinya sangat layak untuk ditempati oleh para pengungsi yang tidak mempunyai rumah atau masih tidur di tenda. Plangkat tersebut dibuat oleh Ina Kori bukan dengan sengaja, itu merupakan bentuk kekecewaanya terhadap pihak pemberi bantuan yang telah berjanji kepadanya akan melunasi segala macam Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. pengeluaran yang telah di pergunakan oleh suaminya saat menjadi kontraktor bangunan tersebut. Tuntutan keras dari Ina Kori, sebenarnya dilandasi oleh desakan pihak lain terhadapnya, karena saat pembangunan rumah tersebut di laksanakan seluruh bahan bangunan hingga gaji tukang bangunan tersebut merupakan hasil pinjaman dari Bank, yang saat itu dipinjam oleh suaminya. Sehingga ketika suaminya meninggal, utang tersebut terbebani kepada Ina Kori selaku istri dari Ama Kori. Permasalahan tersebut akhirnya oleh Ina Kori diselesaikan melalui jalur mediasi dengan pihak pemberi bantuan. Adapun pihak yang menjadi mediatornya yakni pembimbing rohani dari Ina Kori yakni Pendeta Dyah Gea. Pada bulan November tahun 2008 permasalahan tesebut di bicarakan secara kekeluargaan dan di selesaikan dengan beberapa ketentuan : a. Pihak pemberi bantuan melunasi segala utang-piutang yang berkenaan dengan pembangunan rumah pengungsi tersebut. b. Jika telah selesai maka rumah tesebut boleh ditempati oleh para pengungsi. Namun dalam kenyataanya, perjanjian tersebut hanya ditetapkan tanpa dilaksanakan. Hal ini terbukti ketika penulis ke lapangan pada pelaksanaannya permasalahan tersebut semakin rumit dan tidak terselesaikan bahkan terkesan diperlambat dan di tandai dengan tidak di tempatinya rumah tersebut oleh para pengungsi. Saat ini permasalahan tersebut masih belum menemukan titik terangnya, walaupun pada tahun 2008 sudah pernah diselesaikan melalui jalur mediasi dengan pihak pihak pemberi bantuan, namun masih belum ditempati bahkan Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. larangan keras untuk tidak menempati/melewati bangunan tersebut makin dipertegas oleh Ina Kori dengan meminta bantuan pengawalnya untuk mengusir bilamana ada pihak-pihak yang mencoba memasuki/menemparti areal bangunan tersebut. Gambar 26: Lahan perumahan pengungsi yang dipersengketakan, Dominiria Hulu, 2008 4.2.2.2 Kasus Sengketa Tanah antara Kontraktor dan Pemilik Lahan Sengketa tanah yang terjadi antara kontraktor Bapak Ir. Adieli Gulö dengan pemilik lahan Ibu Saina Ndraha dikarenakan janji dari kontraktor kepada pemilik lahan. Adapun kesepakatan tersebut yakni : a. Ir. Adieli Gulö berkewajiban menyediakan tanah kosong 10m X 20m kepada Ibu Saina Ndraha Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Gambar 27 : Lahan yang dijanjikan oleh Ir. Adieli Gulö kepada Ibu Saina Ndraha (Dominiria Hulu, 2008) Gambar diatas menunjukan adanya tanah kosong yang telah disediakan oleh Alm.Ama Kori untuk Ibu Saina Ndraha. Namun, hingga sekarang status penggunaan tanah tersebut belum diserahterimakan oleh Almarhum kepada Ibu Saina Ndraha. b. Ir. Adieli Gulö berkewajiban membangun rumah yang rusak berat akibat gempa berupa perbaikan dinding, plaster luar-dalam rumah, lantai keramik, plavon dan daun jendela. Sesuai dengan kesepakatan mereka, maka janji tersebut ditepati saat pembangunan di lokasi tanah penampungan bila pihak pemberi bantuan telah merealisasi janjinya. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Gambar 28: Keadaan rumah Ibu Saina Ndraha yang hingga sekarang belum direnovasi oleh Alm. Ir. Adieli Gulö , Dominiria Hulu, 2008 Gambar 29 keadaan lantai dan dinding rumah Ibu Saina Ndraha yang belum juga direnovasi sesuai janji Ir. Adieli Gulö, Dominiria Hulu, 2008 Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Kesepakatan diatas hingga sekarang belum ditepati, hanya kesepakatan lahan kosong yang di janjikan Ama Kori yang telah disepakati itupun belum bisa dipergunakan oleh Ibu Saina Ndraha dikarenakan Ama Kori telah meninggal dunia dan Ina Kori belum meberi izin penggunaan lahan tersebut. Penyelesaian permasalahan ini dibiarkan begitu saja oleh pihak keluarga karena masih belum selesainya permasalahan Ina Kori dengan pihak pemberi bantuan namun, karena permasalahan tersebut semakin tidak jelas akhirnya permasalahan tersebut dilaporkan kepada anggota DPRD Kabupaten Nias yang kebetulan saat itu mengadakan kunjungan kerja di desa Dahana. Dari diskui Ibu Saina Ndraha dengan anggota DPRD tersebut maka Ibu Saina Ndraha disarankan untuk membuat laporan kepada pemerintahan desa Dahana Tabaloho agar dapat di tindaklanjuti. Namun, saat mengadakan penelitian di desa ini belum ada juga titik terang dari realisasi permasalahan tersebut. Tanggapan yang masih kurang dari pihak desa maupun Ina Kori sebagai ganti dari suaminya untuk menepati janji-janji tersebut membuat pihak Ibu Saina Ndraha memilih metode dari Nader dan Todd yang membiarkan saja masalah tersebut dikarenakan Ir. Adieli Gulö telah meninggal dan rasa kasihan terhadap istri Ir. Adieli Gulö. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 4.2.3. Kasus yang berkaitan dengan status kepemilikan tanah dan kasus pembayaran piutang terjadi di desa Onolimbu Raya 1. Kasus sengketa tanah dengan tiga pihak dari tiga desa yang berbeda. Permasalahan ini terjadi di Desa Onolimbu Raya kecamatan Mandrehe Barat dengan Masyarakat Desa Lasara Bagawu dan Desa Ononamölö kecamatan Mandrehe. Adapun masyarakat yang bersengketa yakni : - yang mempunyai lahan : Ama Johan atau Peringatan Daeli - yang membeli tanah : Ama Rina atau Atofona Gulö - yang berbatasan dengan lahan A. Rina : Ama Fati Hia atau Yohane Hia Sengketa tanah yang terjadi antara Ama Johan dengan Ama Rina dan Ama Fati Hia merupakan kelalaian dari orangtua Ama Johan atau Nurdin Daeli (Ama Muna) pada saat menjual tanahnya sepuluh tahun yang lalu kepada Ama Rina. Hingga pada bulan 8 tahun 2008 yang berbatasan tanah dalam hal ini Ama Fati mengetahui jika tanahnya telah ditanami oleh Ama Rina, padahal tanah tersebut telah sah menjadi miliknya. Sementara Ama Rina juga mengklaim bahwasanya tanah tersebut merupakan miliknya, bahkan ia menunjukkan buktinya kepada Ama Fati. Masalah sengketa ini berlanjut karena Ama Fati menebangi tanamantanaman yang telah ditanami Ama Rina. Hal ini membuat kecewa Ama Rina karena tidak ada pemberitahuan secara baik-baik dari Ama Fati. Ama Rina kemudian menjumpai Ama Johan untuk memberikan penjelasan mengenai batas tanah siapa yang salah dan yang benar. Tapi, Ama Johan tidak tahu menahu tentang penjualan tanah tersebut yang dilakukan oleh ayahnya 10 tahun yang lalu karena saat itu ia pergi merantau. Maka, Ama Johan menyarankan agar Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. penyelesaian tersebut dilakukan dipihak desa saja. karena secara kekeluargaan tidak akan bisa diselesaikan. Merasa diabaikan oleh Ama Johan maka Ama Rina menemui kepala desanya dan meminta agar ada keadilan diantara mereka. Akhir bulan 8 kepala desa Ononamölö tempat tinggal Ama Rina memberikan surat panggilan terhadap ketiga pihak yang bersengketa tersebut. Selain itu Kepala Desa Ononamölö juga mengundang kepala desa Lasara Bagawu dan tokoh masyarakatnya serta kepala desa Onolimbu Raya dan tokoh masyarakat desa Onolimbu Raya. Dalam kegiatan penyelesaian secara adat tersebut Ama Johan yang bertugas menyediakan keperluan rapat seperti babi sebanyak tiga alisi, beras dua lauru dan hua meja salawa atau uang meja kepala desa sebesar Rp.500.000,-. Kegiatan rapat yang dihadiri beberapa pihak tersebut menghasilkan beberapa keputusan yakni: a. Bahwasanya persengketaan yang terjadi antara Ama Rina dan Ama Fati dikarenakan penumbangan tanaman karet milik Ama Rina oleh Ama Fati dan ketidakjelasan dari luas lahan kepemilikan dari Ama Rina yang ia beli dari orangtua Ama Johan yang dalam hal ini yakni Ama Muna. b. Ama Fati Hia melakukan penumbangan tanaman milik Ama Rina karena tanah tempat tanaman Ama Rina tersebut merupakan milik sah dari Ama Fati yang ia beli dari Dalimanö Gulö. c. Keputusan dari kepala desa dan tokoh adat yang terlibat dalam membicarakan masalah tersebut membenarkan bahwa tanah yang dipersengketakan merupakan milik A. Fati dan kerugian yang dialami oleh Ama Rina atas tanaman yang telah ia tanam dilahan Ama Fati merupakan Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. tanggungjawab dari Ama Johan yang dalam hal ini telah keliru dalam menentukan batas tanah dari Ama Rina. d. Jenis-jenis kerugian Ama Rina yang ditanggung oleh Ama Johan yakni: 1. Ganti rugi tanah dan tanaman karet Ama Rina sebesar Rp. 1.500.000,2. Biaya pembicaraan secara adat dan pemerintahan desa sebesar Rp.1.710.000,e. Tanah tempat tanaman Ama Rina yang telah ditumbangi oleh Ama Fati kembali menjadi milik Ama Fati. Demikianlah permasalahan tesebut terselesaikan melalui pembicaraan adat yang dilakukan oleh ketiga belah pihak. Gambar 30 : Ama Johan dan Rumah Ama Johan , Dominiria Hulu, 2008 2. kasus pembayaran piutang Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Kasus ini masih berkaitan dengan Ama Johan dan Ama Rina. Pembayaran piutang yang dituntut oleh Ama Rina kepada Ama Johan sebagai pembayaran atas ganti rugi tanaman Ama Rina dan biaya pembicaraan adat yang terjadi pada saat terjadinya penyelesaiaan sengketa tanah secara adat sebanyak Rp. 2. 710.000 mengalami permasalahan karena Ama Johan tidak mempunyai uang untuk mengganti kerugian Ama Rina. Sehingga dalam hal ini Kepala desa Onolimbu Raya mengambil alih atas Ama Johan dengan meminjamkan uangnya kepada Ama Johan agar dibayarkan kepada Ama Rina, akhirnya pada tanggal4 oktober 2008 permasalahan yang terjadi dapat diselesaikan. 3. Kasus sengketa tanah dengan saudara kandung dan penyelesaiannya secara kekeluargaan dan adat. Ama Isa Zebua dan Ama Fati Zebua merupakan saudara kandung yang mana Ama Fati merupakan paman dari Ama Isa Zebua yang terjadi pada tahun 2008. Sengketa tanah yang terjadi antara mereka merupakan permasalahan yang pernah tejadi setahun sebelum dilakukan penyelesaian secara adat atau pemerintahan desa. Perdamaian berdasarkan kekeluargaan tersebut tidak membawa pengaruh dalam perdamaian antara Ama Isa dan Ama Fati dikarenakan seringnya anak-anak dari Ama Fati Zebua membuat masalah dengan Ama Isa dengan cara menderes karet milik Ama Isa. Jika Ama Isa menegur anak-anak dari Ama Fati maka dengan lantang anak-anak dari Ama Fati mengatakan bahwa tanah dan karet tersebut merupakan milik dari ayah mereka. Ama Isa akhirnya mengambil inisiatif dengan mengundang kepala desa dan tokoh adat lainnya ke rumahnya dan membicarakan hal tersebut. Kepala desa dan tokoh adat lainnya mendengarkan pengaduan dari Ama Isa dan meninjau Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. lahan yang dipersengketakan kemudian mempertimbangkan beberapa hal dan akan mengundang pihak Ama Fati Zebua. Beberapa hari kemudian diadakanlah musyawarah adat dengan menghadirkan kedua belah pihak dan secara bersama mendengarkan penjelasan kepemilikan lahan tersebut. Eratnya kaitan kekeluargaan antara Ama Isa dengan Ama Fati membuat Ama Isa mengalah dan bersedia menganti kerugian kelurga Ama Fati tehadap karet yang mereka klaim sebagai hak mereka agar ada kejelasan dari kepemilikan lahannya. Ama Fati sepakat akan keinginan dari Ama Isa dan perdamaian terjadi dengan menandatangani surat perjanjian kepemilikan lahan tersebut menjadi milik Ama Isa. Gambar 31 : istri dari Ama Isa dan rumah dari Ama Isa , Dominiria Hulu, 2008 4. 3. Prosedur Penyelesaian Sengketa Tanah pada Mayarakat Nias a. Secara kekeluargaan Sengketa ini juga biasanya berhubungan dengan tanah adat dan tanah ulayat. Hanya saja, proses penyelesaiaannya dilakukan oleh internal keluarga saja tanpa dihadiri oleh penetua adat. Atau adanya penyelesaian secara adat yaitu Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. dengan mengundang keluarga yang sedang bersengketa dan juga saksi-saksi (orang tua yang mengetahui dengan pasti silsilah/ sejarah dari tanah yang dipersengketakan). Sengketa tanah ini biasanya terjadi antar saudara kandung yang mempermasalahkan hak warisan tanah yang diberikan oleh orangtuanya, atau adanya pergeseran batas tanah. Penyelesaian yang dilakukan tentunya diselesaikan oleh orangtua mereka atau jika orangtuanya meninggal yang menyelesaikan yakni paman dari pihak laki-laki atau disebut sibaya. Namun terkadang penyelesaian ini tetap saja dibawa ke jalur adat karena keputusan yang diambil oleh orangtua/paman mereka tidak adil, tapi ada juga keluarga yang tetap mengikuti keputusan orangtuannya. b. Secara adat Sengketa tanah yang diselesaikan dengan cara ini adalah tanah adat dan tanah ulayat. Ini biasanya diselesaikan melalui forum keluarga dengan mengundang keluarga besar dan penatua adat yg ada pada garis keturunan tersebut. Penyelesaian secara adat memerlukan keterlibatan dari Siteoli dan tokoh adat yang berada di lokasi terjadinya sengketa. Hal ini disebut sebagai pembicaraan adat, dalam pembicaraan adat akan di saksikan oleh warga yang bersengketa dan semua masyarakat yang berada di lokasi kejadian sengketa. Pembicaraan adat akan dilaksanakan untuk menyampaikan informasi berkaitan dengan keputusan yang akan dilaksanakan dalam penyelesaiaan sengketa tanah tersebut. Informasi tersebut berupa; keterangan-keterangan dari saksi kedua belah pihak, keterangan dari pihak mediator kedua belah pihak, rentetan permasalahan hingga dibawa ke jalur adat dan pengukuran batas tanah Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. kedua belah pihak yang bersengketa atau informasi tentang keadaan tanah yang di persengketakan. Setelah diungkapkan informasi tersebut maka Siteoli dan tokoh adat lainnya melaksanakan pembuktian terhadap laporan dari masing-masing yang bersengketa dengan bukti yang telah mereka peroleh. Bukti-bukti tersebut berupa surat tanah atau surat perjanjian, informasi dari saksi yang menandatangani surat perjanjian. Kemudian merka memutuskan siapakah yang berhak memperoleh kembali tanah yang dipersengketakan, biasanya keputusan ini disyahkan melalui surat keputusan hasil rapat musyawarah adat dengan ditandatangani oleh Siteoli dan tokoh adat lainnya yang kemudian akan menjadi saksi jika di kemudian hari tanah tersebut dipermasalahkan. Kegiatan musyawarah adat ini sekaligus sebagai upaya mempererat hubungan kekerabatan dengan yang bersengketa agar ke depannya menjadi lebih baik, kegiatan musyawarah yang berdasarkan asas keterbukaan dan kejujuran ini sangat dipercaya oleh masyarakat Nias sebagai keputusan hukum yang sah. Konsekuensi jika masalah tersebut dipersengketakan lagi, oleh semua warga secara otomatis akan mengucilkan masyarakat yang kembali mempersengketakan tanah. Sanksi ini berupa masyarakat yang bersengketa tersebut tidak dianggap dalam kegiatan desa, disindir dengan kata-kata kiasan, bila ada yang ia butuhkan tidak dibantu, anaknya nikah tidak akan didatangi, kematian keluarganya juga tidak didatangi dan pada akhirnya warga tersebut lambat laun meninggalkan desa tersebut. Konsekunsi ini akhirnya menjadi landasan kepercayaan akan segala Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. keputusan dari siteoli dan tokoh adat lainnya dan menjadikan masyarakat saling menjaga kepercayaan atas kepemilikan tanah satu sama lain. c. Secara hukum Sengketa ini biasanya dilakukan pada proses penyelesaian tanah milik pribadi. Dalam proses ini, pihak yang keberatan harus bisa menunjukkan beberapa bukti kepemilikan atas tanah tersebut. Seperti : sertifikat, surat pembelian dan juga izin bangunan jika tanah tersbut telah didrikan bangunan. Permasalahan sengketa tanah melalui jalur hukum biasanya dilakukan oleh suku lain yang merantau ke Nias atau warga Nias yang mengalami perkawinan campur dengan suku lain yang belum diadati secara adat Nias, dan biasanya permasalahan sengketa tanah yang terjadi hanya di daerah perkotaan yang sudah bersifat individual atau tidak berada dalam ruang lingkup adat. Walaupun ia berada di dalam lingkungan adat namun masyarakat tersebut belum disyahkan secara adat jadi ia berhak mengajukan masalah tanahnya melalui jalur hukum. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 4.4. Peranan Siteoli dengan tokoh adat Nias, peranan Mediator dan Kepala Desa dalam penyelesaian sengketa tanah pada masyarakat Nias. a. Peranan Siteoli dengan tokoh adat Nias Adapun peranan Siteoli dengan tokoh adat Nias yakni: 1. menerima informasi yang bersengketa dari kepala desa. Informasi yang diperoleh dari kepala desa yakni awal terjadinya permasalahan dan hal-hal yang berkaitan dengan laporan dari masing-masing yang bersengketa. 2. mempertimbangkan permasalahan tersebut apakah layak dimusyawarahkan secara adat atau secara kekeluargaan serta membuat keputusan terhadap penyelesaian sengketa tanah tanpa memihak salah satu yang bersengketa tapi berdasarkan kronologis sengketa yang terjadi. b. Peranan Mediator Sebelum kita membahas peranan mediator dalam proses penyelesaian sengketa tanah pada masyarakat Nias, perlu kita ketahui bahwasanya mediator ditunjuk sebagai pihak ketiga karena; kehendaknya sendiri, ditunjuk oleh tokoh adat, dan diminta kedua belah pihak. Sebagai mediator tugas utamanya yakni bertindak sebagai fasilitator sehingga pertukaran informasi dapat dilaksanakan serta dituntut untuk bersikap bijaksana, dapat dipercaya, dan cekatan. Masyarakat Nias dalam menyelesaikan permasalahan sengketa tanah juga menggunakan mediator sebagai suatu cara agar proses penyelesaian berjalan dengan lancar. Hal ini didasarkan karena kuatnya kekerabatan antara pihak mediator dengan yang bersengketa karena biasanya mediator yang digunakan yakni dari pihak keluarga atau masyarakat desa yang dipercaya sering menjadi mediator dan dalam hal ini mediator yang bersifat netral atau tidak memihak satu Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. dengan yang lain sehingga proses penyelesaian sengketa tanah dapat dilaksanakan secara lancar dan tanpa menyimpan dendam kelak jika permasalahan tersebut selesai terhadap yang menjadi mediator. Adapun yang menjadi peranan mediator dalam hal ini yakni: 1. Sebagai Perantara Antar Pihak yang Bersengketa Sebagai perantara antara pihak yang bersengketa mediator berfungsi mendengarkan permasalahan yang terjadi. Jika ia telah menerima informasi tersebut maka ia berhak menyampaikan ke pihak siteoli apabila diadakannya penyelesaian secara adat, apabila secara kekeluargaan maka mediator sekaligus berhak menjadi penentu terhadap keputusan yang diambil oleh keluarga karena ia memiliki peran ganda sebagai pendengar dan pengambil keputusan terhadap selesainya masalah. Hal ini terjadi karena dalam penyelesaian sengeketa tanah yang terjadi kedua belah pihak yang bersengketa sama-sama mengambil menjadikan mediator mereka yakni paman atau sibaya mereka tersebut. 2. Sebagai Penasehat Kepada Pihak yang Bersengketa Nasehat yang diberikan berkaitan dengan permasalahan yang terjadi, penyampaian nasehat haruslah sesuai dengan proses terjadinya sengketa tanah. Artinya, mediator berperan menjadi orang yang meredakan emosional dari orang yang menunjuknya menjadi mediatornya apabila terjadi kemungkinan- kemungkinan fatal jika diadakannya musyawarah. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 3. Peranan Kepala Desa Adapun peranan kepala desa dalam menyelesaikan sengketa yakni: a) menerima informasi dari yang bersengketa, informasi yang diterima berupa kronologis dari kejadian yang ada b) kemudian menindaklanjuti dengan memanggil kedua pihak yang bersengketa, mediator dan beberapa tokoh masyarakat. c) apabila pertemuan tersebut belum menghasilkan kesepakatan maka kepala desa kembali mengundang kedua belah pihak beserta seluruh pengurus desa, tokoh agama, tokoh adat dan masyarakat. d) membuat surat keputusan penyelesaian sengketa dengan ditandatangani kedua belah pihak dan tokoh masyarakat serta warga yang ada pada saat musyawarah adat tersebut. Peranan Siteoli dengan tokoh adat Nias, peranan mediator dan kepala desa pada kehidupan masyarakat Nias telah banyak membantu terhadap adanya keadilan dalam penyelesaian sengketa tanah yang terjadi baik permasalahan desa maupun permasalahan individual/masyarakat desa. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. BAB V Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan Tanah sebagai sumber penghidupan memberikan pengaruh terhadap pola budaya dan sosial masyarakat. Persoalan tanah juga memberi pengaruh yang besar dan sensitif terhadap kehidupan masyarakat baik berdasarkan garis keturunan maupun karena kepentingan semata. Berharganya tanah bagi masyarakat Nias sebagai sumber penghidupan dan warisan yang tidak boleh dijual kini hanya menjadi fenomena semata. Pertikaian yang terjadi akibat sejengkal tanah seringkali menimbulkan hubungan pertalian darah menjadi putus walaupun setelah masalah tersebut selesai semua terlihat lebih baik dari sebelumnya. Fondrakö yang telah menjadi acuan bagi terciptanya kesejahteraan kepemilikan tanah mulai pudar hanya karena keinginan menguasai. Hal ini semakin diperkuat karena adanya batas-batas tanah yang belum jelas dan tanpa sertifikat serta masyarakat yang hanya berpatok pada jenis tanaman yang dibuat sebagai batas sehingga terkadang menimbulkan adanya kesalahpahaman ketika tanah tersebut sudah menghasilkan atau bernilai ekonomis. Sistem patrilineal yang juga menjadi prioritas utama dalam kehidupan masyaraka Nias menjadikan kepemilikan tanah lebih didominasi oleh kaum lakilaki, sementara kaum perempuan hanya menerima warisan tanah yang didasarkan atas kasih sayang dan besar harta yang dimiliki oleh orangtuanya. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Ketidaksetaraan dalam pembagian harta warisan juga menjadi pemicu terjadinya ketidaksenangan antar saudara kandung dan ini terkadang dipicu oleh keinginan keturunanya yang selalu mempersoalkan mengapa hak dari orangtuanya tidak sebaik dari keluarganya yang lain. Pembagian warisan berupa tanah bagi masyarakat Nias dilakukan ketika orangtuanya sudah lanjut usia dan akan menghembuskan nafasnya dimana anakanaknya akan melakukan pesta adat yang dinamakan fangotome’ö. Kegiatan adat ini merupakan simbolisasi dari pemberitahuan secara lisan pembagian warisan dari orangtua kepada anak-anaknya yang dihadiri oleh para kepala desa dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Biasanya apa yang menjadi keputusan dalam kegiatan pesta tersebut telah sah walaupun suratnya menyusul untuk ditandatangani. Penyelesaian sengketa tanah pada masyarakat Nias didasarkan pada kekeluargaan, adat dan yang terakhir diselesaikan di pengadilan, tapi kebanyakan masalah sengketa yang terjadi diselesaikan secara kekeluargaan dan adat. Masyarakat Nias masih mengenal dan menjunjung tinggi ungkapan dari orangtua mereka terdahulu yakni jika seseorang keluarga membawa permasalahan di pengadilan maka tidak akan dianggap sebagai saudara lagi bahkan akan dikucilkan dalam kegiatan masyarakat. Maka, segala perkara tanah yang terjadi pada masyarakat Nias selalu diselesaikan secara kekeluargaan dan adat dengan menggunakan jasa dari pihak ketiga agar mereka dihargai di tempat mereka tinggal. Pihak ketiga yang diambil tentunya bukan dari garis keturunan kekerabatan mereka melainkan pihak lain yang bukan dari keluarga mereka. Biasanya mereka menggunakan jasa dari Pendeta dan tokoh-tokoh agama. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Penyelesaian secara kekeluargaan dan adat bagi masyarakat Nias tidak terlepas dengan adanya pembayaran adat berupa babi, uang dan hal-hal lainnya yang menjadi keputusan dalam musyawarah. Jika secara kekeluargaan dan adat biasanya pihak keluarga yang mengadukan akan menanggung pengeluaran berupa penyedian makanan, barulah diganti ketika hasil keputusan menyatakan orang yang dilaporkan telah melanggar batas tanah. Namun, terkadang pihak pelapor tidak mempersoalkan pengeluaran yang telah ia keluarkan asalkan apa yang menjadi miliknya terbukti. Jadi, secara operasional hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa tanah bagi masyarakat Nias lebih mengarah pada proses membiarkan, perundingan serta mediasi seperti yang diungkapkan oleh Nader dan Todd. 5.2. Saran 1. Perlu adanya kejelasan dalam kepemilikan tanah dalam bentuk akta tanah karena selama ini kepemilikan tanah hanya didasarkan batas tanah berupa tanaman maupun pilar dan surat tanah yang berupa materai. Jadi, dengan jelasnya kepemilikan tanah maka akan kecil kemungkinan terjadinya pertikaian antar saudara maupun warga. 2. Agar pemerintah desa bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam membantu warganya yang mempunyai kesulitan dana dalam memperoleh surat tanah yang sah. 3. Jika pemerintah ingin memberikan bantuan kepada masyarakat jangan hanya berdasarkan janji tetapi merealisasinya dan menindaklanjuti hasil pembangunan yang dilakukan oleh pihak pemberi bantuan agar bantuan tersebut benar-benar terealisasikan kepada masyarakat yang membutuhkan Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 4. Perlu adanya ketegasan hukum dan sanksi adat yang diberikan kepada masyarakat yang selalu memperkarakan dan menggeser batas tanah yang bukan miliknya secara tertulis. 5. Sudah sepantasnya agar Hukum Waris Adat bagi kaum wanita yang sistem garis Patrilineal perlu ketegasan dalam pembagian harta warisan dengan tidak pemberian secara prihatin atau karena sayang dengan anaknya perempuan bila perlu dibuat Undang-undangnya. 6. Perlu adanya inisiatif dari pihak aparat desa dalam menangani pembelian serta dalam penyelesaian masalah sengketa tanah agar beberapa pihak tidak dirugikan 7. Dalam pembagian warisan diharapkan agar adanya kesetaraan dilihat dari keuletan kaum laki-laki dan perempuan dalam mengusahakan ekonomi keluarga. 8. Pihak yang menjadi mediator tetap adil dan bukan menjadi bumerang bagi berkembangnya masalah sengketa tanah yang terjadi. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Daftar Pustaka Achdiat, Anto 1983 “Penyelesaian Sengketa dan Hancurnya Hubungan Kekerabatan” dalam Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebagai Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Benda-Beckmann, K.Von 1993 “The Law of Things : Legalization and Delegalization in the relationship between the first and the world” dalam Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebagai Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2000 Goyahnya Tangga Menuju Mufakat: Peradilan Nagari dan Pegadilan Negri di Minangkabau” Jakarta: PT Grasindo. Bungin Burhan 2003 Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Grafindo Persada. Harefa, Faogöli 1939 Hikajat dan Tjeritera Bangsa dan Adat Nias Rapatfonds Residentic Tapanoeli. Ihromi, TO 1993 “Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa Yang Digunakan dalam Antropologi Hukum” dalam Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebagai Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Johanes, P 2001 Asal-usul Masyarakat Nias Suatu Interpretasi Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias. J.F Hollemen 1993 “Kasus-kasus Sengketa dan Kasus-kasus diluar Sengketa dalam pengkajian Mengenai Hukum dan Kebiasaan dan Pembentukan Hukum” dalam Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebagai Bunga Rampai Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Krickhoff, L.J Valerine 1993 “Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum)” dalam Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebagai Bunga Rampai” Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Laoli, Rosthina dkk 1985 Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nias Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara Lawang M.Z Robert 1999 Konflik Tanah di Manggarai Flores Barat. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Mendröfa, Welther Sökhiaro 1981 Fondrakö Ono Niha (Agama purba-hukum adat mitologi-hikayat masyarakat Nias Jakarta : Inkultura Fondation Inc. Moleong J Lexy 2006 Metodologi Penelitian Kualitatif : edisi revisi Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Moore, Sally Folk 1993 “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Semi Otonom Sebagai Suatu Topik Studi yang tepat” dalam Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebagai Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suandra, I Wayan 1994 Hukum Pertanahan di Indonesia Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sudiyat Iman 1982 Beberapa Masalah Penguasaan Tanah di Berbagai Masyarakat sedang berkembang. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. Sulastriyono 2000 “Pluralisme Hukum dan Permasalahan Pertanahan” dalam Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebagai Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tarigan, Talenta 2007 “Peranan Dalihan Na Tolu dalam Proses Penyelesaian Sengketa Studi Kasus Tentang Penyelesaian Sengketa Waris di Desa Sitorang Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir, Skripsi Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, tidak terbit. Zebua, Faondragö 1996 Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya Gunungsitoli: ……………. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Sumber-sumber Lain: Diakses tanggal 19 mei 2008 dan 23 Meis 2008 Gulö, Tolona, dkk 2006 Hasil Rumusan Musyawarah Adat (Fondrakhö) Tingkat Kecamatan Mandrehe Barat. Panitia Peyelenggara Musyawarah Adat (Fondrakhö) Hendrawati, Lucy Dyah & Sri Endah Kinasih 2005 Makna Sumpah Pocong Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Pada Masyarakat Madura: Studi Kasus di Masjid Madegan, Polagan Sampang, Madura http:// www.journal.unair.ac.id. MacDougall, John 1995 Arti Tanah bagi Suku Amungme. http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1995/09/25/0001.html. [email protected] Mampioper , Carol 2007 Tanah : Adalah Kehidupan Dan Identitas orang Papua. http://tabloidjubi.wordpress.com/2007/08/20/html Suriani 2005 Tanah Laksana Ibu Bagi suku Kajang. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0602/08/sh06.html. Susuwongi 2005 Tanah Rekonstruksi Nias http://:kompas.com/kompascetak/0512/05/daerah/2265114.html Syalabhi, Ahmad 2005 PEPRES 36 TAHUN 2005 : UNTUK SIAPA?. http://www.mail archive.com/[email protected] Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Telambanua, Ama Aldo 2005 Famasindro Omo, Banua Ba Öri (Pendirian Rumah, Banua dan Öri) ………… Winoto, Joyo 2007 Mewujudkan Keadilan dan Kesejahteraan http://brighten.or.id/index.php.com ………………… 2007 Sumut Urutan Ketiga Kasus Sengketa Tanah http://www.suarapembaruan.com/News/2007/08/07/index.html . Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Istilah-istilah dalam Bahasa Daerah Nias 1. Ama : Ayah 2. Amakhaita : Hubungan 3. Ambö : Kurang 4. Ahatö : Dekat 5. Balugu : gelar kebangsawanan masyarakat Nias artinya Raja 6. Banua : Kampung 7. Böwö : jujuran 8. Fangambatö : perkawinan 9. Gowe : merupakan lambang kebesaran bangsawan berupa batu megalith 10. Kabu : Kebun 11. Mado/Gana : Marga 12. Niha : Manusia 13. Okhöta : Harta 14. Ono Niha : Anak manusia 15. Ono Alawe : Anak perempuan 16. Ono Matua : Anak laki-laki 17. Owasa : pesta 18. Siteoli : kelompok yang memberikan pengaruh terhadap adat Nias yang terdiri dari Banua, Talifusö dan uwu 19. Tuhenöri : Pimpinan 20. Tanö : Tanah 21. Talifusö : saudara 22. Sibaya : Paman Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. LAMPIRAN 1. Peta Perjalanan Penelitian di Desa Dahana Tabaloho 2. Peta Perjalanan Penelitian di Desa Onolimbu Raya, Mandrehe Barat Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 2. Beberapa Surat Perjanjian dan Surat Penyelesaian Sengketa Tanah di Desa Dahana Tabaloho dan Desa Onolimbu Raya Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. a. Surat Perjanjian antara Ibu Saina Ndraha dan Ir. Adieli Gulö b. surat perjanjian antara Ama Isa dan Ama Fati Zebua. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. c. surat perjanjian pelunasan piutang dan perjanjian penyelesaian sengketa tanah antara Ama Rina dan Ama Johan Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 3. Contoh Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi Tanah. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. 5. Surat Izin Penelitian dan Surat Keterangan Penelitian Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010. Dominiria Hulu : Sengketa Tanah Dan Prosedur Penyelesaiannya (Studi Kasus Tentang Kemajemukan Hukum Terhadap Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias), 2010.