konsep modernisasi pondok pesantren menurut kh. abdurrahman

advertisement
KONSEP MODERNISASI
PONDOK PESANTREN MENURUT KH. ABDURRAHMAN WAHID
(STUDI ANALISIS BUKU MENGGERAKKAN TRADISI ESAI-ESAI
PESANTREN)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.1)
Pendidikan Agama Islam
Oleh :
LUKMAN KHAQIM
NIM: 131310000299
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ JEPARA
2015
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab penulis menyatakan bahwa skripsi
ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan oleh
orang lain. Demikian pula skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan sebagai bahan
rujukan.
Jepara, September 2015
Deklarator
Lukman Khaqim
NIM : 131310000299
xi
NOTA PEMBIMBING
Lamp
: 1 Berkas
Hal
: Naskah Skripsi
A.n.Sdr Lukman Khaqim
Kepada Yth,
Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
UNISNU Jepara
Assalamualaikum Wr. Wb
Setelah membaca, mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya,
maka berasama ini saya kirimkan naskah skripsi saudara
:
Nama
: Lukman Khaqim
NIM
: 131310000299
Fakultas
: Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Judul Skripsi
: Konsep Modernisasi Pondok Pesantren Menurut
KH.Abdurrahman Wahid ( Studi Analisis Buku
Menggerakkan Tradisi Esai- esai Pesantren).
Dengan
ini
saya
mohon
agar
skripsi
saudara
tersebut
dapat
dimunaqosahkan. Demikian nota pembimbing ini atas perhatian Bapak, kami
sampaikan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jepara, 28 September 2015
Pembimbing,
Drs. H. Mahalli Djufri M.Pd.
ii
MOTTO
“Segala sesuatu yang kita dapat merupakan buah dari apa yang kita lakukan.”
“Tetap berusaha dan selalu memperbaiki semua kesahalan
yang sudah pernah kita lakukan.”
“Jalan yang diberikan Allah itu unik, tergantung seberapa kita mampu
menafsirkannya.”
“Tidak ada sesuatu yang tidak indah, kecuali kita senantiasa bersyukur atas
karunianya.”
(Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan)
seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi,
niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah
Maha Halus lagi Maha mengetahui. (QS. Luqman : 16).1
1
Kementrian Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, ( Jakarta : PT Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), hlm.582
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi yang sederhana ini, penulis persembahkan kepada
orang-orang yang telah menuliskan tinta indah dan kesan
yang manis dalam hidup penulis :
Kepada Bapak dan Ibukku
tercinta yang telah mendidik penulis,
memberikan semangat dan dorongan
sehingga skripsi ini dapat selesai.
Sungguh tak terbayangkan jika
anakmu ini mampu menempuh studi
hingga selesai.
Keluarga tercinta baik yang ada di
Rumah, yang ada di Kampus, dan
yang ada di Madrasah, yang telah
memberikan pengalaman serta ilmu
yang tak akan pernah terlupakan.
Kepada orang - orang yang telah
memberikan
sumbangsih
pemikirannya
didalam
dunia
pendidikan, utamannya Ki Hajar
Dewantara. Di dunia pesantren
KH. Abdurrahman Wahid, yang
menjadi inspirasi buat penulis.
Kepada yang terkasih orang yang
mendampingiku kelak, mengarungi
bahtera kehidupan di dunia dan di
akhirat.
v
KATA PENGANTAR
‫ﻤﯿﻦ واﻟﺼﻼ ة واﻟﺴﻼ م ﻋﻠﻲ اﺷﺮف اﻻ ﻧﺒﯿﺊ واﻟﻤﺮﺳﻠﯿﻦ وﻋﻠﻲ اﻟﮫ وﺻﺤﺒﮭﻲ اﺟﻤﻌﯿﻦ‬
Dengan menyebut Nama Allah SWT Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang, puji syukur kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan
kesehatan serta petunjuk bagi penulis. Shalawat dan salam semoga terlimpah
kepada baginda Nabiyyuna Wa Habibina Muhammad SAW, rasul mulia suri
tauladan bagi manusia yang diharapkan syafa’atnya kelak di hari akhir nanti.
Dengan berbekal ketekunan dan kemampuan serta bantuan dari berbagai
pihak, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu penulis
mengucapkan rasa terima kasih kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhtarom HM, selaku Rektor UNISNU Jepara
2. Bapak Drs. H. Akhirin Ali, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan UNISNU Jepara dan Bapak Ibu dosen lainnya yang telah
mendidik, membimbing serta memberikan pengarahan kepada penulis.
3. Bapak Drs. H. Mahalli, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah sabar,
tulus, dan ikhlas dalam membimbing, mengarahkan, dan memberi
petunjuk kepada penulis sehingga pada akhirnya penulisan skripsi ini
dapat terselesaikan.
4. Perpustakaan UNISNU Jepara yang telah membantu penulis dalam
menyediakan buku-buku refrensi sebagai bahan-bahan utama skripsi ini.
vi
5. Segenap keluarga tercinta, khususnya Bapak, Ibu Dan Kakakku tercinta
yang
telah
senantiasa
mendorong,
memotivasi,
membimbing,
mengarahkan dan mendampingi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Penerbit LKis Yogyakarta yang telah memberikan banyak refrensi kajian
tentang Gus Dur sehingga dapat membantu kelancaran pembuatan skripsi
ini.
7. Temen-temen Oraganisasi kampus tercinta, MENWA, Jamuro ArRabbaniyin Jepara yang telah memberikan ruang bagi penulis untuk
mengerjakan skripsi ini.
8. Serta semua pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung
dalam memberikan motivasi dan sumbangsihnya kepada penulis, sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Untuk semuanya, peneliti tidak dapat membalas atas segala bantuannya,
hanya dapat berdo’a kepada Allah semoga amal baik mareka dibalas oleh Allah
dengan balasan yang lebih baik.
Akhirnya peneliti menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan
dan mudah-mudahan bermanfaat bagi peneliti khususnya dan bagi semua pihak.
Jepara, 28 September 2015
Penulis
vii
ABSTRAK
LUKMAN KHAQIM (NIM : 131310000299). Konsep Modernisasi Pondok
Pesantren ( Studi Analisis Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid Dalam Buku
Menggerakkan Tradisi : Esai – Esai Pesantren ). Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan UNISNU Jepara.
Kata Kunci : Modernisasi, Pondok Pesantren
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Konsep Modernisasi Pondok Pesantren
Menurut KH. Abdurrahman Wahid.
Skripsi ini mengkaji pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid atau yang biasa
disebut Gus Dur. Pemikirannya tentang pesantren banyak menginspirasi sebagian
ulama atau pemimpin pondok untuk melakukan instropeksi terhadap pesantren.
Kolaborasi studi Gus Dur di Timur Tengah dan di Barat menjadikan
pemikirannya jauh melebihi tokoh lain yang serumpun dengannya.
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan
menggunakan metode kualitatif dan menggunakan pendekatan naturalistik.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content
analysis) dan menggunakan metode perbandingan tetap atau Constant
Comparative Method.
Hasil penelitian ini adalah pemikiran Gus Dur terhadap modernisasi pendidikan
pesantren yang mana Gus Dur menyampaikan pendapatnya yang mengharuskan
adanya pembaharuan di tubuh pesantren. Pesantren harus bisa melebur diri
dengan dunia modern dengan cara mengontekstualkan tujuan pesantren terhadap
tuntutan zaman. Banyak cara yang harus dilakukan pesantren untuk
mengupayakan pembaharuan di dalam pendidikannya, yaitu dengan mulai
memasukkan sekolah umum ke dalam pesantren, merekontruksi kurikulumnya,
serta membangun pemimpin yang cakap. Manajemen pesantren diperbaiki dengan
mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak, dan menyediakan perpustakaan
dan lembaga penelitian kepesantrenan, sehingga pesantren akan menjadi lebih
baik dari tahun ke tahun dan mampu bersaing dengan lembaga pendidikan yang
lain serta mampu merespon tantangan zaman modern.
xii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ...........................................................................................................
i
Nota Pembimbing ......................................................................................................
ii
Pengesahan ................................................................................................................ iii
Motto .........................................................................................................................
iv
Persembahan .............................................................................................................
v
Kata Pengantar ..........................................................................................................
vi
Daftar isi .................................................................................................................... viii
Deklarasi ...................................................................................................................
x
Abstraksi ...................................................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .....................................................................
1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................
4
C. Tujuan Penelitian................................................................................
5
D. Manfaat Penelitian..............................................................................
5
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................
6
F. Metode Penelitian...............................................................................
9
G. Sistematika penulisan ........................................................................ 15
BAB II
MODERNISASI PONDOK PESANTREN ............................................ 17
A. Modernisasi ....................................................................................... 17
1. Pengertian .................................................................................... 17
viii
2. Syarat-syarat Modernisasi ............................................................ 20
B. Pondok Pesantren .............................................................................. 23
1. Pengertian Pesantren ................................................................... 23
2. Elemen-Elemen Pondok Pesantren............................................... 25
3. Tujuan Pondok Pesantren ............................................................. 32
C. Konsep Modernisasi Pesantren........................................................... 36
BAB III MODERNISASI PONDOK PESANTREN MENURUT KH.
ABDURRAHMAN WAHID .................................................................... 47
A. Biografi KH. Abdurrahman Wahid ................................................... 47
B. Karya-Karya Dan Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid ................... 53
C. Modernisasi Pondok Pesantren Menurut KH. Abdurrahman
Wahid ................................................................................................. 54
1. Memasukkan Sekolah Umum ke Pondok Pesantren .................... 57
2. Pengembangan Kurikulum Pesantren........................................... 62
3. Pengembangan Kepemimpinan .................................................... 68
BAB IV
ANALISA MODERNISASI PONDOK PESANTREN MENURUT
KH. ABDURRAHMAN WAHID............................................................. 72
A. Analisa Memasukkan Sekolah Umum Ke Dalam Pesantren ............. 72
B. Analisa Pengembangan Kurikulum ................................................... 78
C. Analisa Pengembangan Kepemimpinan ............................................ 89
BAB V
PENUTUP................................................................................................. 100
A. Kesimpulan......................................................................................... 100
B. Saran-Saran......................................................................................... 101
ix
C. Penutup ............................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 104
Lampiran-Lampiran ................................................................................................... 107
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak Islam datang ke Indonesia, pendidikan Islam telah mengalami
pertumbuhan dan perkembangan, karena melalui pendidikan Islam itulah,
transmisi dan sosialisasi ajaran agama Islam dapat dilaksanakan dan dicapai
hasilnya sebagaimana kita lihat sekarang ini. 1
Upaya pergerakan pendidikan ini berlangsung dari zaman pra
kemerdekaan, hingga zaman kemerdekaan dan zaman modern sekarang ini.
Gerakan pendidikan tersebut telah mendapat pengaruh dari model pendidikan
Belanda dan juga tantangan internal dalam negeri, juga dipengaruhi oleh
pergerakan yang berkembang di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, Turki
India dan sebagainya. Pengaruh itu terjadi karena adanya hubungan yang kuat
antara ulama yang ada di kepulauan Nusantara dengan ulama-ulama yang ada di
Timur Tengah.2
Pada zaman modern sekarang ini pendidikan dipengaruhi oleh
perkembangan sains dan teknologi. Namun tanpa harus menjadikan sains sebagai
“Pseudo-Religion” jelas bahwa maju atau mundurnya suatu masyarakat di masa
kini dan mendatang banyak ditentukan tingkat penguasaan dan kemajuan
1
Taufiq Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, ( Jakarta : Bulan Bintang,1986), cet. ke-1,hlm.57.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya,
1995), cet. ke- V, hlm.17.
2
1
2
dibidang sains dan teknologi khususnya. Meski masa kini dan masa mendatang
disebut sebagai zaman globalisasi dalam kedua bidang ilmu ini tetap saja
terbatas. Negara-negara paling terkemuka dalam sains dan teknologi tidak begitu
saja memberikan informasi atau melakukan transfer sains dan teknologi kepada
negara berkembang. Dengan demikian tantangan bagi masyarakat muslim di
bagian dunia manapun untuk mengembangakan sains dan teknologi sekarang dan
masa datang akan semakin berat.3
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern sudah memasuki
dunia Islam, terutama sesudah abad ke sembilan belas, yang dalam sejarah Islam
dipandang sebagai permulaan dunia modern. Kontak dengan dunia barat
selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme,
nasionalisme, demokrasi dan sebagainya. Sebagai halnya di barat, di dunia Islam
juga timbul pemikiran-pemikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham
keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu
dan teknologi modern itu. Dengan jalan demikian pemimpin-pemimpin Islam
modern berharap akan dapat melepaskan umat Islam dari kondisi kemunduran
untuk selanjutnya dibawa ke araha yang lebih maju.4
Pondok pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam yang tertua di
Indonesia yang didirikan oleh para ulama tempo dulu sejak ratusan tahun silam,
3
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 32.
4
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: PT.
Bulan Bintang. 1991), hlm. 11.
3
hingga kini masih eksis bahkan terus berkembang. Keberadaan pondok pesantren
menjadi bagian dari sistem kehidupan umat Islam sekaligus penyangga budaya
masyarakat Islam dan bangsa Indonesia, terutama pada masa penjajahan.
5
Perkembangan yang paling aktual di pondok pesantren adalah adanya
perubahan sikap yang terjadi dalam masyarakat pesantren. Di samping kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat di era globalisasi, yang kini
tengah melanda dunia dengan sebutan abad modern, ditandai dengan adanya
kompetensi bebas tanpa mengenal belas kasihan, menjadi ciri yang paling
menonjol. Hal tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan
manusia, termasuk di lingkungan pesantren.
Dalam
kenyataannya,
pesantren
telah
berperan
dalam
merespon
modernisasi yang telah berkembang saat ini, yakni dengan menyediakan
pedoman spiritual pada masyarakat dengan cara menyesuaikan agama dengan
tantangan modernisasi. Dengan kata lain agama tidak cukup dimanifestasikan
dalam rangkaian upacara-upacara keagamaan, tetapi merumuskan kembali
rangkaian pekerjaan keagamaan yang patut dilakukan.6
Oleh karena itu, melihat kembali orientasi pendidikan sangat penting,
terutama di abad global ini. Dengan demikian, dapat dirancang konsep
pendidikan yang mengandung keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan
jasmani dan rohani anak didik, serta untuk memenuhi kebutuhan manusia di
5
Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren, ( Bandung : Humaniora, 2006), cet. ke-1, hlm.2.
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Raja
Grafindo Persada , 2005), hlm. 353.
6
4
dunia maupun di akhirat kelak. Orientasi pendidikan yang hanya mementingkan
sisi rohani semata atau kebutuhan jasmani semata, sama sekali tidak sejalan
dengan ajaran Islam. Begitu juga dengan institusi pendidikan yang hanya
mementingkan keakhiratan semata tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Orientasi pendidikan Islam, khususnya dalam dunia pesantren yang
demikian itu perlu terus dikaji dan dikembangkan agar mencapai bentuk idealnya
sehingga mampu mengantarkan umat Islam dalam kehidupan yang seimbang.
Dalam konteks ini, modernisasi pendidikan pesantren dalam perspektif ulama
sangat menarik untuk dikaji. Dalam hubungan ini, penulis ingin mengkaji
modernisasi pendidikan pesantren melalui pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur.
Untuk mengetahui hal-hal tersebut diatas, penulis mencoba meneliti
pemikiran Gus Dur tentang modernisasi pesantren dalam “Buku Menggerakkan
Tradisi : Esai-Esai Pesantren”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang tersebut di atas, maka dalam
perumusan masalah ini, peneliti
mencoba menganalisa lebih jauh tentang
bagaimana konsep pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang modernisasi
pondok pesantren.
5
Selanjutnya pokok permasalahan di atas dirinci lebih lanjut dalam
beberapa indikator permasalahan, yang menurut Patton (1990)7 karena penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif maka penggunaan istilah yang tepat yaitu
fokus penelitian, yang diantaranya diuraikan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Modernisasi Pondok Pesantren Menurut Pemikiran K.H.
Abdurrahman Wahid?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menggali dan mengungkapkan
serta menjelaskan berbagai masalah yang berkaitan dengan “ Modernisasi
Pondok Pesantren ”.
Adapun yang menjadi tujuan pembahasan masalah dalam penelitian ini
adalah Untuk Mengetahui Modernisasi Pondok Pesantren Menurut Pemikiran
KH. Abdurrahman Wahid.
D. Manfaat Penelitian
1. Dengan dilaksanakan penelitian ini, peneliti berharap bahwa hal ini akan
memberikan kontribusi kepada bertambahnya kajian ilmiah khususnya
tentang Modernisasi Pesantren di Universitas Islam Nahdlatul Ulama’
(UNISNU) Jepara.
7
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis Dan Metodologis
Kearah Penguasaan Model Aplikasi (Ed), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2010), hlm. 41
6
2. Diharapkan masyarakat akan mendapatkan informasi yang lebih luas dan
mendalam tentang pemikiran seorang tokoh besar di negara ini yaitu KH.
Abdurrahman Wahid terhadap modernisasi pondok pesantren.
3. Penelitian ini menjadi wahana latihan untuk meningkatkan kreatifitas dan
prokdutifitas dalam menuangkan idea tau gagasan-gagasan dalam bentuk
tulisan atau karya ilmiah.
E. Tinjauan Pustaka
Esensi dari penelitian ini adalah difokuskan pada konsep modernisasi
pondok pesantren yang mana pembahasan tentang modernisasi pondok pesantren
sekarang sedang gencar-gencarnya disuarakan. Modernisasi pondok pesantren
dirasa sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat maupun bernegara,
modernisasi pondok pesantren berkembang tidak serta merta ada akan tetapi
melalui proses pembentukan lewat sejarah yang panjang, pengalaman sesaui
dengan perkembangan zaman sekarang. Pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan yang berkembang dimasyarakat mempunyai pengaruh yang besar
sehingga menjadi pionir terbentuknya manusia yang mampu mengamalkan nilainilai pendidikan agama akan tetapi dengan berkembangnya kehidupan
masyarakat dewasa
ini semakin kompleks mau tidak mau pesantren harus
mengimbanginya. Sebagaimana buah fikiran yang diungkapkan oleh beliau K.H
Abdurrahman Wahid dalam bukunya “ Menggerakkan Tradisi Esai-Esai
Pesantren“
7
Tidak sedikit skripsi maupun buku yang membahas masalah modernisasi
pondok pesantren, diantaranya:
1. Skripsi dengan judul “Konsep Pendidikan Pesantren Menurut DR. KH. MA
Sahal Mahfud” oleh Dliaul Khaq. Dalam penelitian tersebut diuraikan
bagaimana konsep pendidikan pesantren menurut DR. KH. MA. Sahal
Mahfud, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Terbentuknya santri akrom (taqwa) dan sholih (mewarisi, mengatur, dan
memelihara bumi).
b. Materi pendidikan tidak terfokus pada pengetahuan agama saja, tetapi
juga pengetahuan (ketrampilan) umum yang dibutuhkan masyarakat.
c. Metode individual merupakan metode yang tepat untuk diterapkan
dipondok pesantren.
d. Evaluasi tidak hanya ditekankan pada hasil, tetapi lebih dititikberatkan
terhadap proses.
e. Mempertahankan sistem dan metode yang baik dan menambah atau
merubah system, metode, dan evaluasi yang lebih baik.
Dalam penelitian tersebut diatas fokus penelitian lebih kepada konsep
pendidikan pondok pesantren secara umum.
2. Skripsi yang berjudul “ Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Modernisasi
Sistem Pesantren, “ karangan Afiful Mi’ah (Skripsi, IAIN Sunan Ampel
Surabaya, Fakultas Adab, Surabaya, 2013) mengatakan bahwa pada
perkembangan terakhir dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan oleh
8
kolonial Belanda (modern) lembaga pendidikan Islam (pesantren) semakin
tersurut keberadaanya. Dan enggan menerima hal-hal yang baru. Berangkat
dari fenomena di atas Nurcholish Madjid mengklasifikasikan konsep
modernisasi sistem pesantren menjadi tiga bagian, Pertama, KeIslaman
dengan cara mengIslamkan ilmu pengetahuan. Kedua, Keindonesaian
menciptakan lembaga pendidikan yang mempunyai kultur asli indonesia.
Ketiga, Keilmuan menghilangkan dualisme pendidikan menjadi tunggal. 8
3. Mahpuddin Noor dalam bukunya Potret Dunia Pesantren , penulis
menjelaskan tentang bagaimana keadaan pesantren dari masa dahulu sampai
sekarang serta tantangan pesantren di era modern. Dalam bidang pendidikan
lebih menjelaskan keterlibatan pesantren dengan pendidikan nasional terutama
membahas pelaksanaan wajar dikdas untuk sekolah dasar dan dan lanjutan
pertama yang berciri khas agama Islam diselenggarakan oleh Departemen
Agama dengan sebutan Madrasah Ibtidaiyyah dan Madrasah Tsanawiyah atau
pesantren.
Berdasarkan penelusuran dari beberapa tulisan yang peneliti temukan
belum ada yang membahas secara khusus tentang konsep modernisasi pondok
pesantren
dengan fokus penelitian pada hasil buah pengalaman K.H
Abdurrahman Wahid di dalam buku “ Menggerakkan Tradisi Esai-esai
Pesantren“ maka peneliti ingin mengkajinya dimana diharapkan hasil dari
8
Afiful Mi’ah “ Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Modernisasi Sistem Pesantren, “ (Skripsi,
IAIN Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Adab, Surabaya, 2013), https://google.com/search/skripsi,
diakses pada hari selasa, 4 Juli 2015 pada 20.14 WIB
9
pengkajian ini dapat dimanfaatkan masyarakat luas mengingat pemikiran beliau
yang sangat mendalam dan relevan dengan kondisi sekarang.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian dapat diartikan sebagai prosedur atau tata cara yang
sistematis yang dilakukan seorang peneliti dalam upaya mencapai tujuan seperti
memecahkan masalah atau menguak kebenaran atas fenomena tertentu. Menurut
Mardaly, metode penelitian adalah suatu metode ilmiah yang memerlukan
sistematika dan prosedur yang harus ditempuh dengan tidak mungkin
meninggalkan setiap unsur, komponen yang diperlukan dalam suatu penelitian. 9
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut
terdapat empat kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu, cara ilmiah, data, tujuan
dan kegunaan.10
1. Pendekatan dan jenis penelitian
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan pendekatan kualitatif analisis kritis. Penelitian Kualitatif adalah
penelitian yang menggunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan
menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar
belakang yang berkonteks khusus. Pengertian ini hanya mempersoalkan dua
9
Masyhuri dan Zainuddin, Metode Penelitian Pendekatan Praktis dan Aplikatif, ( Bandung: PT
Refika Aditama, 2009), hlm. 13-15
10
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan RND, (Bandung: Alfabeta, 2012), Cet.
XVII, hlm.2.
10
aspek yaitu pendekatan penelitian yang digunakan adalah naturalistik sedang
upaya dan tujuannya adalah memahami suatu fenomena dalam suatu konteks
khusus.11
Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian
“library reseach”, yaitu pemikiran yang didasarkan pada studi literature.
Dengan membatasi obyek studi dan sifat permasalahannya library research
adalah termasuk jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
deduktif
bersifat
betolak dari data yang bersifat khusus untuk menemukan
kesimpulan umum.
2. Fokus Penelitian
Penetapan fokus
penelitian berarti
membatasi
kajian. Dengan
menetapkan fokus masalah berarti peneliti telah melakukan pembatasan
bidang kajian, yang berarti pula membatasi bidang temuan. Menetapkan fokus
penelitian berarti menetapkan kriteria dan penelitian. 12
Dalam pandangan penelitian kualitatif, gejala yang ada bersifat holistik
(menyeluruh, tidak dapat dipisah-pisahkan), sehingga penelitian kualitatif
tidak akan menetapkan penelitiannya hanya berdasarkan variabel penelitian,
tetapi keseluruhan situasi sosial yang diteliti yang meliputi aspek tempat
11
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2014),Cet. XIV, hlm.5-6.
12
Trianto, Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi pengembangan Profesi Pendidikan dan Tenaga
Kependidikan, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 187.
11
(place), pelaku (actor), dan aktifitas (actiyity), yang berinteraksi secara
sinergis.13
Pada penelitian ini difokuskan pada bagaimana nilai modernisasi dalam
pondok pesantren dan mengambil pemikiran KH. Abdurrahman Wahid yang
tertuang dalam buku yaitu “Menggerakkan Tradisi : Esai-Esai Pesantren ”.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau
variabel berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen
rapat, legger, agenda dan sebagainya. Dokumen sudah lama digunakan dalam
penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai
sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk
meramalkan, karena sifatnya yang alamiah, sesuai dengan konteks, lahir dan
berada dalam konteks. Dokumen biasanya dibagi atas dokumen pribadi dan
dokumen resmi.14
Dalam mencari data-data tentang nilai modernisasi pondok pesantren
dalam pondok pesantren ini menggunakan data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Sumber data primer yaitu sumber data yang langsung berkaitan
dengan obyek riset. Adapun data primer dalam penelitian ini adalah Buku
13
14
Sugiyono, Op.Cit., hlm. 207.
Lexy. J. Moleong, Op.Cit., hlm. 217.
12
“Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren”, KH. Abdurrahman Wahid
Yang diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta tahun 2001.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang mendukung dan
melengkapi data-data primer. Data sekunder yang digunakan adalah data
yang relevan dengan fokus penelitian, seperti buku karya Zamakhsyari
Dhofier “ Tradisi Pesantren”, Nurcholis Madjid “ Bilik-bilik Pesantren”,
M. Sulthon dan Moh. Khusnurdilo “ Manajemen Pondok Pesantren “,
Greg Barton “Biografi Gus Dur – the authorized biography of
ABDURRAHMAN WAHID”,dan lain-lain, serta dari jurnal dan internet.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif (Bogdan & Biklen, 1982) adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain. 15
Analisis data yang digunakan adalah analisis isi (content analysis)
metode analisis yang diarahkan pada materi atau teks yang terdapat dalam
buku “Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren. Sebagaimana dinyatakan
oleh Holtsi bahwa content analys adalah suatu tehnik yang digunakan untuk
15
Ibid.,hlm. 248.
13
menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan yang
dilakukan secara objektif dan sistematis. 16
Metode yang digunakan dalam analisis data kualitatif adalah metode
perbandingan tetap atau Constant Comparative Method karena dalam analisis
data secara tetap membandingkan satu datum dengan datum yang lain, dan
kemudian secara tetap membandingkan kategori dengan kategori lainnya.
Metode ini juga disebut Grounded Research oleh Glaser & Strauss, secara
umum meliputi:17
a. Reduksi data
1) Identifikasi satuan unit, yaitu bagian terkecil yang ditemukan dalam data
yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah
penelitian, yaitu modernisasi pondok pesantren.
2) Membuat koding, yaitu memberikan kode pada setiap satuan supaya
dapat tetap ditelusuri data atau satuannya berasal dari mana.
b. Kategorisasi
Adalah upaya memilah-milah setiap satuan kedalam bagian-bagian
yang memiliki kesamaan.
c. Sintesisasi
Berarti mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori lainnya.
5. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
16
Soejono dan Abdurrahman, Bentuk penelitian suatu pemikiran dan penerapan, (Jakarta:
Rieneka Cipta, 1999), hlm. 18.
17
Lexy. J. Moleong, Op.Cit., hlm. 288-289.
14
Pemeriksaan keabsahan data menggunakan tehnik Triangulasi yaitu
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain
diluar data itu untuk keparluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap
data itu. Denzin (1978) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik
pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan
teori.18
Triangulasi merupakan cara terbaik untuk menghilangkan perbedaanperbedaan kontruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu
mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai
pandangan untuk me-recheck temuannya, untuk itu maka peneliti dapat
melakukan dengan jalan: 19
a. Mengajukan berbagai macam variasi pertanyaan.
b. Mengeceknya dengan berbagai sumber data.
c. Memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan kepercayaan data dapat
dilakukan.
Dalam penelitin ini peneliti akan mengeceknya dengan berbagai
sumber data yang membahas fokus yang sama tentang modernisasi pondok
pesantren, yaitu hasil pemikiran di dalam buku “Menggerakkan Tradisi EsaiEsai Pesantren” dengan hasil pemikiran konsep modernisasi pondok
pesantren yang lain seperti pemikiran Bilik-bilik Pesantren karangan
18
19
Ibid., hlm. 330.
Ibid., hlm. 332.
15
Nurcholis Madjid cetakan Dian Rakyat, dan dari sumber yang lainnya
sehingga mampu memperoleh keabsahan data yang akurat.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui keseluruhan isi atau materi-materi skripsi ini secara
global, maka penulis perlu mengemukakan sistematika skripsi ini yang terdiri
dari tiga bagian yaitu :
1. Bagian muka
Bagian muka ini terdiri dari: halaman judul, halaman abstrak, halaman nota
pembimbig, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto,
halaman persembahan, halaman kata pengantar, dan halaman daftar isi.
2.
Bagian Isi/ Batang Tubuh
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Tinjauan Pustaka
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan
BAB II : LANDASAN TEORI
A. Modernisasi
1) Pengertian
16
2) Syarat-Syarat Modernisasi
B. Pondok Pesantren
1) Pengertian Pondok Pesantren
2) Elemen-Elemen Pondok Pesantren
3) Tujuan Pesantren
C. Konsep Modernisasi Pondok pesantren
BAB III : Objek Kajian
A. Biografi
B. Karya-Karya Dan Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid
C. Modernisasi Pondok Pesantren Menurut KH. Abdurrahman Wahid
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Memasukkan Sekolah Umum ke Pesantren
B. Analisis Pengembangan Kurikulum
C. Analisis Pengembangan Kepemimpinan
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-Saran
C. Penutup
3. Bagian Akhir
Dalam bagian ini terdiri dari, daftar kepustakaan, Biografi penulis
dan daftar lampiran-lampiran.
BAB II
MODERNISAI PONDOK PESANTREN
A. Modernisasi
1. Pengertian
Secara bahasa modernisasi berasal dari kata modern yang berarti
terbaru; sikap dan cara berfikir serta bertindak sesuai dengan tuntunan zaman.
Kemudian mendapat akhiran “sasi”, yakni modernisasi, sehingga mempunyai
pengertian suatu proses yang proses pergeseran sikap dan mentalis sebagai
warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntunan masa kini. 1
Ditinjau dari segi bahasa, kata modernisasi menunjukkan bahwa
tradisi dan kehidupan masa lampau merupakan kondisi yang tidak sesuai
dengan masa kini dan tuntutan zaman. Sehingga agar tradisi atau pola hidup
seseorang itu dapat eksis dalam perjalanan masa, maka diadakan suatu
perombakan atau perubahan, dan proses inilah yang dimaksud dengan
modernisasi. Proses perubahan disini bukan hanya terkait dengan persoalan
sikap mentalis semata, bahkan seiring dengan perputaran waktu, pemikiran
dan prilaku seseorang senantiasa juga mengalami perubahan.
Sedangkan secara istilah dapat ditemui dalam beberapa pendapat para
pakar, meskipun diantara mereka memakai susunan kalimat yang berbeda,
1
Departemen Pendidika dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indoneisa, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1989),hlm.589.
17
18
namun pada dasarnya memiliki inti pembicaraan yang sama, perbedaannya
hanya terletak pada sudut pandang sesuai dengan konteks pembicaraan
masing-masing.
Menurt Prof. Dr. Harun Nasution modernisasi dalam masyarakat barat
mengandung arti pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk merubah
paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, untuk
disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. 2
Menurut Daniel Lerner yang dikutip oleh Sidi Gazalba modernisasi
adalah istilah baru untuk suatu proses yang panjang, yaitu proses perubahan
sosial dimana masyarakat yang kurang berkembang memperoleh ciri-ciri yang
biasa bagi masyarakat lebih berkembang. 3 Modernisasi sebagai perubahan
nilai-nilai, lembaga-lembaga yang memindahkan masyarakat tradisional
kearah industrialisasi dan urbanisasi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi nampaknya menjadi
pemicu utama dari adanya proses modernisasi. Semakin banyak penemuanpenemuan ilmiah yang dilakukan maka semakin tinggi peradaban umat
manusia. Sementara itu pakar intelektual muslim, Dr. Nurcholis Madjid
menyatakan bahwa meodernisasi adalah proses perombakan pola pikir dan
2
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah dan Gerakan, ( Jakarta : Bulan
Bintang, 1991),hlm.11
3
Sidi Gazalba, Modernisasi Dalam Persoalan, Bagaimana Sikap Islam, ( Jakarta : Bulan
Bintang, 1985),hlm.4-5.
19
tata kerja lama yang tidak aqliyah (rasional), dan menggantinya dengan pola
berpikir dan tata kerja baru aqliyah.4 Dalam hal ini Prof. Dr. H. Noeng
Muhadjir, menyatakan dengan pernyataan yang lebih tegas bahwa kata
modern dalam identifikasinya bukan westernisasi yang sekuler, tetapi lawan
dari tradisional dan konvensional, karakter utamanya adalah rasional efesien
sekaligus mengintregasikan wawasan dan wahyu. 5
Modernisasi bisa juga disebut dengan reformasi yaitu mebentuk
kembali, atau mengadakan perubahan kepada yang lebih baik, dapat pula
diartikan dengan
perbaikan. Dalam bahasa arab sering diartikan dengan
tajdid yaitu memperbarui, sedangkan pelakunya disebut Mujaddid yaitu orang
yang melakukan pembaharuan. 6
Menurut Abudin Nata, sebagaimana yang dikutip oleh Harpandi Dahri
modern diartikan sebagai yang terbaru atau mutakhir. Selanjutnya kata
modern erat kaitannya dengan kata modernisasai yang berarti pembaharuan
atau tajdid dalam Bahasa Arab. Dalam Islam, modernisasi sering juga
diartikan upaya sungguh-sungguh untuk melakukan reinterpretasi terhadap
pemahaman, pemikiran, dan pendapat tentang masalah keIslaman yang
dilakukan oleh pemikir terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan
4
hlm.172.
5
Nurcholis Madjid, Islam Kemerdekaan dan Keindonesiaan, ( Bandung : Mizan, 1993),
Noeng Muhajir, Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dalam Perspektif Modern, AlTa’dib, Forum Kajian Ilmiah Kependidikan Islam, No.1 (Juni,2008),hlm.38.
6
Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam
(Dirasah Islamiyah), Ed.I Cet.II ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.1-2.
20
zaman. Selanjutnya aspek yang dihasilkan oleh modernisasi disebut
modernitas.7
Modernisasi atau pembaharuan dalam dunia Islam mengandung arti
upaya atau aktivitas untuk mengubah kehidupan umat Islam dari keadaankeadaan yang sedang berlangsung kepada keadaan yang baru yang hendak di
wujudkan demi kemashlahatan hidup dan masih dalam garis-garis yang tidak
melanggar ajaran dasar yang disepakati oleh para ulama Islam.
Sedangkan gagasan program modernisasi pendidikan berasal dari
gagasan tentang modernisasi pemikiran Institusi Islam secara keseluruhan.
Dengan kata lain modernisasi pendidikan Islam secara keseluruhan adalah
bahwa modernisasi pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasayarat
bagi kebangkitan kaum muslim di masa era modern. Karena itu, pemikiran
dan kelembagaan Islam termasuk pendidikan haruslah dimodernisasi,
sederhananya diperbarui sesuai dengan kerangka modernitas. 8
2. Syarat-syarat Modernisasi
Modernisasi tidak sama dengan reformasi yang menekankan pada
faktor-faktor rehabilitasi. Modernisasi bersifat preventif dan konstruktif dan
agar proses tersebut tidak mengarah pada angan-angan sebaliknya.
Modernisasi harus dapat memproyeksikan kecenderungan yang ada dalam
7
Harpandi Dahri, Modernisasi Pesantren, (Jakarta : Balai penelitian dan Pengembangan
Agama, tt),hlm.73.
8
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
Jakaerta : Logos Wacana Ilmu, 1993),hlm.31.
21
masyarakat ke arah waktu-waktu yang mendatang. Teori modernisasi yang
digagas oleh Soerjono Soekamto memiliki beberapa syarat yaitu :
a. Cara berfikir yang ilmiah (scientific thinking).
b. Sistem administrasi yang baik yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
c. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur dan terpusat.
d. Penciptaan iklim yang favourable dari masyarakat terhadap modernisasi
dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.
e. Tingkat organisasi yang tinggi.
f. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial. 9
Apabila dibedakan menurut asal faktornya, maka faktor-faktor yang
mempengaruhi modernisasi pesantren dapat dibedakan atas faktor internal dan
eksternal.
1) Faktor-faktor internal, merupakan faktor-faktor perubahan yang berasal
dari dalam masyarakat, misalnya :
a) Perubahan aspek demografi (bertambah dan berkurangnya penduduk),
b) Konflik antar-kelompok dalam masyarakat
c) Terjadinya gerakan sosial dan
d) Penemuan-penemuan baru, yang meliputi (a) discovery, atau penemuan
ide/alat/hal baru yang belum pernah ditemukan sebelumnya (b)
invention, penyempurnaan penenmuan-penemuan pada discovery oleh
9
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996),
cet. XXII, hlm.387.
22
individu atau serangkaian individu, dan (c) innovation, yaitu
diterapkannya ide-ide baru atau alat-alat baru menggantikan atau
melengkapi ide-ide atau alat-alat yang telah ada.
2) Faktor-faktor eksternal, atau faktor-faktor yang berasal dari luar
masyarakat, dapat berupa :
a) Pengaruh kebudayaan masyarakat lain, yang meliputi proses-proses
difusi (penyebaran unsure kebudayaan), akulturasi (kontak kebudayaan),
dan asimilasi (perkawinan budaya).
b) Perang dengan negara atau masyarakat lain, dan
c) Perubahan lingkungan alam.
Sedangkan dilihat dari faktor-faktor modernisasi pesantren menurut
jenisnya dapat dibedakan antara faktor-faktor yang bersifat material yang
bersifat immaterial.
1) Faktor-faktor yang bersifat material, meliputi :
a) Perubahan lingkungan alam,
b) Perubahan kondisi fisik-biologis dan
c) Alat-alat dan teknologi baru, khususnya Teknologi Informasi dan
Komunikasi.
2) Faktor-faktor yang bersifat immaterial, meliputi :
a) Ilmu pengetahuan, dan
23
b) Ide-ide atau pemikiran baru, ideology dan nilai-nilai lain yang hidup
dalam masyarakat.10
Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk
menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir
ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam
rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahanperubahan yang bisa dilihat di pesantren modern yakni mulai akrabnya
dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar
dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan
luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat. 11
B. Pondok Pesantren
1. Pengertian Pesantren
Kata pesantren berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua
kata yaitu “Sa” dan “Tra”. “Sa” yang berarti orang yang berperilaku baik. Dan
“Tra” berarti suka Menolong. 12 Selanjutnya kata pesantren berasal dari kata
dasar “santri” yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat
10
http://agsasman3yk.wordpress.com/2009/08/04/perubahan-sosial-modernisasi Dan
pembangunan/ diakses pada 06 September 2015, pukul. 00.15 WIB
11
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999),
hlm.155.
12
Abu Hamid, Sistem Pesantren Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan ( Ujung
Pandang: Fakultas Sastra UNHAS, 1978), hlm.3.
24
tinggal para santri.13 Begitu pula pesantren sebuah kompleks yang mana
umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya, dalam kompleks itu berdiri
beberapa bangunan rumah kediaman pengasuh. Dapat pula dikatakan
pesantren adalah kata santri yaitu orang yang belajar agama Islam.14
Sementara menurut KH. Abdurrahman Wahid, pesantren diartikan
sebagai suatu tempat yang dihuni oleh para santri. Pernyataan ini
menunjukkan makna pentingnya ciri-ciri pesantren sebagai sebuah lingkungan
pendidikan integral. Sebagai mana beliau mengumpakan layaknya sebuah
akademi militer.15
Sebagaimana yang dikutip oleh Zamaksyari menurut C.C Berg bahwa
kata santri berasal dari kata shastri berasal dari India yang berarti buku-buku
suci, buku-buku keagamaan dan buku-buku tentang ilmu pengetahuan. 16
Bila mendengar makna pesantren itu sendiri, maka orientasi secara
spontanitas tertuju kepada lembaga pendidikan Islam yang diasuh oleh para
kyai atau ulama dengan mengutamakan pendidikan agama dibandingkan
pendidikan umum lainnya.
Abu Ahmadi memberikan pengertian pesantren sebagai suatu sekolah
bersama untuk mempelajari Ilmu agama, kadang-kadang lembaga demikian
13
Wahjoetimo, Perguruan tinggi Pesantren Pendidikan Alternative Masa Depan (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997),hlm.70.
14
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Pustaka Ilmu, tt), hlm. 310.
15
Said Agil Siraj et. AL. Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan Dan Transformasi
Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), cet. 1, hlm.13.
16
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3S , 2011), hlm.41.
25
ini mencakup ruang gerak yang luas sekali dan mata pelajaran yang dapat
diberikan dan meliputi hadits, ilmu kalam, fiqih dan ilmu tasawuf. 17
Dari pengertian tersebut diatas, maka dapatlah dipahami bahwa
pesantren adalah wadah yang mana di dalamnya terdapat santri yang dapat
diajar dan belajar dengan berbegai ilmu agama. Demikian pula sebagai tempat
untuk menyiapkan kader-kader da’i yang professional dibidang penyiaran
Islam.
2. Elemen – Elemen dalam Pondok Pesantren
Unsur terpenting bagi sebuah pesantren adalah adanya kyai, para
santri, masjid, tempat tinggal, serta buku-buku atau kitab-kitab teks.18
Sebagaimana yang di jelaskan oleh Zamakhsyari Dhofier ada lima elemen
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Pondok
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan
Islam tradisional di mana siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah
bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan
“kyai”. Asrama untuk para santri berada dalam lingkungan komplek
pesantren di mana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah
masjid untuk beribadah, ruangan untuk belajar dan kegiatan-kegiatan
17
Abu Hamid,Op.Cit, hlm.18.
Departemen Agama Republik Indonesia, Pondok Pesantren dan Madrasah
Diniyah,Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta : Dirjen Kelembagaan Islam Indonesia, 2003),
hlm.3.
18
26
keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya dikelilingi oleh
tembok untuk menjaga keluar dan masuknya para santri sesuai dan tamutamu (orang tua santri, keluarga yang lain, dan tamu-tamu masyarakat luas)
dengan peratuaran yang berlaku.
Pondok, asrama bagi para santri, merupakan ciri khas tradisi
pesantren, yang membedakannya dengan sistem pendidikan tradisional di
masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negaranegara lain. Sistem pendidikan surau di daerah Minangkabau atau Dayah di
Aceh pada dasarnya sama dengan sistem pondok, yang berbeda hanya
namanya.19
b. Masjid
Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi
pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan
Islam tradisional. Dengan kata lain, kesinambungan sistem pendidikan
Islam yang berpusat pada masjid sejak Masjid Qubba di dirikan dekat
Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tetap terpancar pada sistem
pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam.
Di manapun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunakan masjid
sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktivitas administrasi, dan
kultural. Hal ini berlangsung selama 13 abad. 20
19
20
Zamakhsyari Dhofier, Op.Cit, hlm.81.
Ibid, hlm.86
27
Berdasarkan pengamatan peneliti tidak semua pondok pesantren
mempunyai fasilitas masjid, terutama pesantren-pesantren yang masuk
kategori kecil. Pesantren semacam ini kadang hanya memiliki musholla,
bahkan ada yang mempergunakan aula (tempat yang sedikit lebar) untuk
difungsikan sebagai pengganti peran masjid.
c. Pengajaran Kitab Islam Klasik
Pada masa lalu, pengajaran kitab Islam klasik, terutama karangankarangan ulama yang menganut faham syafii, merupakan satu-satunya
pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan
utamanya ialah untuk mendidik calon-calon ulama.
Untuk mendalami kitab-kitab tersebut, menurut Nurcholish Majid
biasanya digunakan sistem wetonan atau bandingan dan sorogan. Kitab
kuning sebagai salah satu unsur mutlak dari proses belajar mengajar di
pesantren sangat penting dalam membentuk kecerdasan intelektual dan
moralitas kesalehan (kualitas keberagamaan) pada diri santri. 21
Dalam catatan Nurcholis Madjid, setidaknya kitab-kitab klasik yang
diajarkan dipesantren mencakup ilmu-ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, dan
nahwu-sharaf.22 Diantara kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren,
menurut
21
Dhofier
dapat
digolongkan
menjadi
8
kelompok
Yasmadi, Modenisasi Pesantren Kritik Nurchalish Madjid Atas Pendidikan Islam
Tradisional, (Jakarta : Ciputat Press, 2002), cet.I, hlm.68.
22
Nurchalish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, ( Jakarta :
Paramadina, 1997), hlm. 29.
jenis
28
pengengetahuan: 1. Nahwu (syntax) dan shorof (morfologi), 2. Fiqh, 3.
Ushul fiqh, 4. Hadits, 5. Tafsir, 6. Tauhid, 7. Tasawuf dan etika, 8. Cabangcabang lain seperti tarikh dan balaghah.
Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks
yang terdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqh, ushul fiqh
dan tasawuf. Kesemuanya dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok
tingkatan, yaitu: 1) Kitab dasar, 2) Kitab tingkat menengah, 3) Kitab
tingkat tinggi.23
d. Santri
Menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan orang-orang
pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kyai bilamana memiliki
pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren untuk mempelajari
kitab-kitab Islam klasik. Oleh karena itu, santri merupakan elemen penting
dalam suatu lembaga pesantren.
Para santri menuntut agama kepada kiai dan mereka bertempat
tinggal di pondok pesantren. Karena posisi santri seperti ini. Maka
kedudukan santri dalam komunitas pesantren menempati status subordinat,
sedangkan kiai menempati posisi superordinat. Santri memiliki kebiasaankebiasaan tertentu, seperti santri memberikan penghormatan yang
berlebihan kepada kiai. Kebiasaan ini menjadikan santri bersikap pasif
karena khawatir kehilangan barokah. Kekhawatiran ini menjadi salah satu
23
Ibid, hlm.87.
29
sikap yang khas pada santri dan cukup membedakan dengan kebiasaan
yang cukup membedakan dengan kebiasaan siswa-siswi sekolah maupun
siswa-siswi lembaga kursus.24
Perlu diketahui bahwa, menurut tradisi pesantren, santri terdiri dari
dua :
1) Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah jauh dan
menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang paling lama
tinggal di pesantren biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang
memang bertanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren seharihari; mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri muda
tentang kitab-kitab dasar dan menengah.
2) Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa sekitar
pesantren, biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti
pelajarannya dipesantren, mereka bolak-balik (nglaju) dari rumahnya
sendiri.
Biaya untuk belajar di pesantren pada waktu dulu mahal (baik
untuk pelajaran, ongkos hidup, maupun kitab-kitab yang harus dibeli),
bahkan kadang harus ditanggung oleh keluarga dekat. 25 Apakah hal
tersebut masih berlaku untuk saat ini? Seperti yang penulis cermati bahwa
24
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi
,(Jakarta : Erlangga, tt), hlm.20.
25
Ibid., hlm.90-92
30
pendidikan pesantren memang merupakan pendidikan yang membutuhkan
biaya tidak sedikit.
Tetapi anggapan diatas memang ada benarnya karena sebagian
besar santri yang menuntut ilmu di pesantren kebanyakan merupakan dari
keluarga yang berkecukupan. Biaya pendidikan di pesantren yang santrinya
tidak bisa nyambi untuk bekerja, maka hal itu menjadi beban tersendiri
bagi keluarganya. Tetapi hal ini perlu kajian lebih lanjut untuk
mendapatkan data yang lebih akurat.
Walaupun demikian biaya pendidikan di pondok pesantren jauh
lebih terjangkau, hal ini terbukti bahwa sebagian besar santri yang
mengenyam pendidikan di pondok pesantren adalah kalangan masyarakat
dengan taraf ekonomi menengah ke bawah. Walaupun akhir-akhir ini
sudah mulai banyak santri yang berasal dari kalangan ekonomi atas, tetapi
prosentasenya masih relatif kecil.
e. Kyai
Menurut konsep Islam, semua orang adalah pemimpin. Oleh karena
itu, setiap orang harus mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya
kepada sesama manusia semasa hidup di dunia dan kepada Tuhannya
kelak. Namun demikian, yang dimaksud pemimpin dalam dunia pesantren
tidak lain adalah sosok seorang kyai.
31
Dalam bahasa Jawa, kiai adalah sebutan ‘a<lim ‘ulama<’, cerdik
pandai dalam agama Islam.26 Kyai merupakan elemen paling esensial dari
suatu pesantren. Ia seringkali merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya
bahwa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata bergantung pada
kemampuan pribadi kyainya.
Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dipakai untuk ketiga jenis
gelar yang saling berbeda :
1) Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat;
umpamanya, “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan kerata
emas yang ada di keraton Yogyakarta.
2) Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3) Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada ahli agama Islam yang
memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitabkitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kyai, ia juga
sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).
Sebutan kyai sangat beragam, antara lain: ajengan, elang di Jawa
Barat; tuan guru, tuan syaikh di Sumatra. Kyai adalah tokoh karismatik
yang diyakini memiliki pengetahuan agama yang luas sebagai pemimpin
dan pemilik pesantren. Kyai merupakan figur sentral yang merencanakan,
26
hlm.505.
W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesai, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1986),
32
menyelenggarakan, dan mengendalikan seluruh pelaksanaan kegiatan
pendidikan di pesantren. 27
Memang betul bahwa lembaga-lembaga pesantren terikat kuat
dengan formulasi eksplisit Islam tradisional. Tetapi para kyai yang menjadi
penghubung antara Islam Tradisional dan dunia nyata ini juga meupakan
bagian nyata kehidupan bangsa Indonesia. Kedudukan ganda kyai ini
memang unik, dan menjadi inti dari kualitas yang menonjol. Memang
benar, kedudukan ganda ini pula yang seringkali menjadi sumber tragedi
yang dialami oleh para kyai ; tetapi justru pada kedudukan ganda ini pula
terletak keagungan mereka.28
3. Tujuan Pesantren
Pesantren merupakan salah satu bentuk pendidikan luar sekolah yang
berada di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren sudah
barang tentu memberikan corak tersendiri dibandingkan dengan lembaga
pendidikan lainnya. Dalam penyelenggaraan pendidikan, pesantren memiliki
dasar pendidikan yang selaras dengan misi yang diembannya yaitu
penyelenggara pendidikan Islam. Alasan yang digunakan tidak lepas dari
ajaran Islam yaitu Al Qur’an dan As-sunnah, al Qur’an adalah sumber
kebenaran dalam Islam. Kebenerannya tidak dapat diragukan lagi, terutama
sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwwa kepada Firman Allah SWT :
27
Ahmad Muthohar, Ideologi Pendidikan Pesantren; Pesantren Di Tengah Arus IdeologiIdeologi Pendidikan, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2007), hlm.32.
28
Ibid., hlm. 281.
33
(٢ : ‫ )اﻟﺒﻘﺮة‬         
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
29
bertaqwa. (Al- Baqarah : 2).
Berdasarkan ayat hadits di atas, bahwa dalam pandangan Islam, ilmu
itu sangat berguna dalam kehidupan seorang muslim. Sebab dengan
mempunyai ilmu maka seorang dapat melaksanakan apa yang terdapat dalam
ajaran Islam jadi, Islam sangat memperhatikan pendidikan terutama
pendidikan agama yang menjadi dasar dari azas pokoknya. Begitu juga dengan
pesantren yang merupakan salah satu lembaga pendidikan agama Islam.
Dengan demikian secara otomatis dengan menjadi dasar pendidikannya adalah
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Secara institusi, tujuan pendidikan pesantren memiliki kesamaan antara
pesantren yang satu dengan pesantren yang lainnya. Tidak ada perumusan
tujuan ini disebabkan adanya kecenderungan visi dan tujuan diserahkan pada
proses improvisasi (spontanitas) yang dipilih sendiri oleh seorang kyai (
berasama-sama dengan dewan asatidz) secara intuitif yang disesuaikan dengan
perkembangan pesantrennya. Bisa dibilang bahwasanya pesantren itu sendiri
adalah pancaran kepribadian pendirinya. 30
29
Kementrian Agama RI, Al’Qur’an dan Terjemahnya,( Jakarta : PT Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), hlm.2.
30
Nurcholish Majid, Op.Cit, hlm.6.
34
Berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain, yang pada umumnya
menyatakan tujuan pendidikan yang jelas, misalnya dirumuskan dalam
anggaran dasar, maka pesantren, terutama pesantren-pesantren lama pada
umumnya tidak merumuskan secara eksplisit dasar dan tujuan pendidikannya.
Hal ini terbawah oleh sifat kesederhanaan pesantren yang sesuai dengan
motivasi berdirinya, dimana kyainya mengajar dan santrinya belajar, atas dasar
untuk ibadah dan tidak pernah di hubungkan dengan tujuan tertentu dalam
lapangan penghidupan atau tingkat dan jabatan tertentu dalam hirarki sosial
maupun ekonomi.
Karena untuk mengetahui tujuan dari pada pendidikan yang
diselenggarakan oleh pesantren, maka jalan yang harus ditempuh adalah
dengan pemahaman terhadap fungsi yang dilaksanakan dan dikembangkan
oleh pesantren itu sendiri baik hubungannya dengan santri maupun dengan
masyarakat sekitarnya.31
Demikian juga seperti yang pernah dilakukan oleh para wali di jawa
dalam merintis suatu lembaga pendidikan Islam, misalnya Syeih Maulana
Malik Ibrahim yang dianggap sebagai bapak pendiri pondok pesantren, Sunan
Bonang atau juga Sunan Giri. Yaitu mereka mendirikan pesantren bertujuan
31
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: Darma Bhakti, 1994), hlm.33.
35
lembaga yang dipergunakan untuk menyebarkan agama dan tempat
mempelajari agama Islam.32
Tujuan dari fungsi pesantren sebagai lembaga penyebaran agama Islam
adalah, agar ditempat tersebut dan sekitar dapat dipengaruhi sedemikian rupa,
sehingga yang sebelumnya tidak atau belum pernah menerima agama Islam
dapat berubah menerimanya bahkan menjadi pemeluk-pemeluk agama Islam
yang taat. Sedangkan pesantren sebagai tempat mempelajari agama Islam
adalah, karena memang aktivis yang pertama dan utama dari sebuah pesantren
diperuntuhkan mempelajari dan menadalami ilmu pengetahuan agama Islam.
Dan fungsi-fungsi tersebut hampir mampu mempengaruhi pada kebudayaan
sekitarnya, yaitu pemeluk Islam yang teguh bahkan banyak melahirkan ulama
yang memiliki wawasan keIslaman yang tangguh.
Dari pada transformasi sosial dan budaya yang dilakukan pesantren
pada proses berikutnya melahirkan dampak-dampak baru dan salah satunya
reorientasi yang semakin kompleks dari seluruh perkembangan masyarakat.
Bentuk reorientasi itu diantaranya, karena pesantren kemudian menjadi
legitimasi sosial. Bagian dari reorientasi dari fungsi dan tujuan tersebut
digambarkan oleh Abdurrahman Wahid, diantaranya pesantren memiliki peran
mengajarkan keagamaan, yaitu nilai dasar dan unsure-unsur ritual Islam. Dan
pesantren sebagai lembaga sosial budaya, artinya fungsi dan perannya
32
hlm.4.
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti, 1980),
36
ditujukan pada pembentukan masyarakat yang ideal. Serta fungsi pesantren
sebagai kekuatan sosial, politik dalam hal ini pesantren sebagai sumber dan
tindakan politik, akan tetapi lebih diarahkan pada penciptaan kondisi moral
yang akan selalu melakukan control dalam kehidupan dalam kehidupan sosial
politik.33
C. Konsep Modernisasi Pesantren
Di zaman modern ini, modernisasi merupakan salah satu prasyarat bagi
kebangkitan
kaum
muslim. Oleh karena itu pemikiran dan kelembagaan
pendidikan Islam, salah satunya adalah pesantren haruslah dimodernisasi atau
dengan
kata lain harus disesuaikan dengan kerangka modernitas, karena
mempertahankan kelembagaan Islam tradisional hanya akan memperpanjang
nestapa ketidakmampuan kaum muslim dalam menghadapi tantangan zaman
modern dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Modernisasi di Indonesia lebih dikenal dengan istilah pembangunan
(development) adalah proses multidimensional yang komplek. Pada suatu segi
pendidikan dipandang sebagai variable modernisasi. Dalam kontek ini
pendidikan dianggap merupakan prasyarat dan kondisi yang mutlak bagi
masyarakat untuk menjalankan program dan tujuan-tujuan modernisasi atau
pembangunan. Dengan pendidikan yang berkualitas masyarakat akan menjadi
maju, tanpa pendidikan masyarakat sulit untuk maju. Oleh karena itu banyak
33
M. Dawam Rahardjo, Editor Pergulatan Dunia Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 8.
37
para ahli yang berpandangan bahwa pendidikan merupakan kunci yang membuka
pintu kearah modernisasi.
Namun disisi lain, pendidikan sering dianggap objek modernisasi. Dalam
konteks ini pendidikan di negara-negara yang telah menjalankan modernisasi
pada umumnya dipandang belum maju dalam beberapa hal, dan karena itu sulit
diharapkan bisa memenuhi dan mendukung program modernisasi. Karena itulah
pendidikan harus diperbaharui atau dimodernisasi, agar dapat memenuhi harapan
dan fungsi pendidikan yang ditanggung jawabkan kepadanya.
Modernisasi yang mengandung pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk
mengganti paham, adat istiadat, institusi lama kepada baru yang ditimbulkan
oleh perkembangan dan pengetahuan teknologi modern. Karena kata modernisasi
yang datang dari barat sering mengandung hal negatif, maka di negara Indonesia
modernisasi sering disebut dengan pembaruan.
Dalam bahasa arab modernisasi dikenal dengan kata tajdid. Modernisasi
ataupun pembaruan berarti proses pergeseran sikap dan mentalitas mental
sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa
kini.34 Jadi modernisasi Pondok Pesantren yang dimaksud dalam skripsi ini
adalah penyesuaian Pondok Pesantren dengan kemajuan zaman modern.
Pesantren dengan sifat khas telah menjelma menjadi pusat pendidikan
Islam yang survive keberadaanyya. Transfer ilmu-ilmu keIslaman yang
disalurkan oleh pesantren merupakan bukti nyata keseriusan pesantren menjaga
34
Abudin Nata. Sejarah Pendidikan Islam, (Jakrta: PT Grafindo Persada, 2004), hlm.187
38
kelestarian dan
kelangsungan Islam. Tidak hanya itu, kader-kader atau
intelektual Islam pun akan lahir disini. Peran seperti ini akan menghasilkan
pribadi muslim yang tangguh, harmonis dan mampu
mengatasi persoalan-
persoalan yang timbul disekitarnya. 35
Visi pendidikan dan perkembangan dunia keilmuan yang sering kali
terjadi di masyarakat tidak pernah dilihat sebagai salah satu faktor yang
seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam melakukan pembenahan dan
pengembangan pendidikan pesantren. Oleh karena itu peran yang dapat
dilakukan adalah bagaimana memfasilitasi para santri untuk dapat menguasai
pengetahuan yang elementer dan menjadi basis keilmuan yang lebih tinggi masa
yang akan datang.36
Perkembangan dunia telah
melahirkan suatu kemajuan zaman yang
modern. Perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosio-kultural seringkali
membentur pada aneka kemapanan. Hal ini berakibat pada keharusan untuk
mengadakan usaha kontekstualisasi bangunan-bangunan sosio-kultural dengan
dinamika modernisasi, tak terkecuali dengan sistem pendidikan
pesantren.
Karena itu, sistem pendidikan pesantren harus selalu melakukan upaya
rekonstruksi pemahaman tentang ajaran-ajaran Islam agar tetap relevan dan
survive. Pesantren modern berarti pesantren yang selalu tanggap terhadap
35
Irwan Abdullah, Muhammad Zain & Hasse J (Eds), Agama, Pendidikan Islam dan
Tanggung Jawab Sosial Pesantren, ( Yogyakarta : Sekolah Pascasarjana UGM bekerja sama dengan
Pustaka Pelajar, 2008), cet, ke-1, hlm.1.
36
Ibid, hlm.118.
39
perubahan dan tuntutan zaman, berwawasan masa depan, selalu mengutamakan
prinsip efektifitas dan efisiensi dan sebagainya. Namun demikian, "modernisasi
pesantren tidak harus mengubah atau mereduksi orientasi dan idealisme
pesantren. Demikian pula, nilai-nilai pesantren tidak perlu dikorbankan demi
program
modernisasi
pesantren
kendati
harus
berubah,
menyesuaikan,
metomorphose, atau apa pun namanya, dunia pesantren harus tetap hadir dengan
jati dirinya yang khas.
Sebagai mana yang dikutip Marwan Saridjo menurut Azyumardi Azra
melihat bahwa dalam dunia pendidikan modernisasi umumnya dilihat dari dua
segi. Pada satu segi, pendidikan dipandang sebagai suatu variabel modernisasi.
Tanpa pendidikan yang memadai akan sulit bagi masyarakat mana pun untuk
mencapai tujuan. Pada segi lain, pendidikan dipandang sebagai objek
modernisasi.37 Dalam konteks ini, pendidikan pada umumnya dipandang masih
terbelakang dalam berbagai hal, karena itulah pendidikan harus diperbarui,
dibangun kembali sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan
kepadanya. Sistem pendidikan pesantren yang secara tradisional merupakan
lembaga pendidikan Islam indigenous juga diperbarui.
Pondok pesantren dengan kekhasan corak dan wataknya serta
kemandiriannya yang kemudian disebut lembaga pendidikan Islam tradisional,
kini berada di abad modern. Abad dimana ilmu pengetahuan dan teknologi
37
hlm.2.
Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam ( Jakartan : CV Amissco, 1996 ),
40
senantiasa terus berubah dan berkembang pesat sesuai dengan perubahan waktu
yang dialami manusia. Dengan ciri menonjol semakin besar nilai matrealisme,
kompetisi global dan bebas tanpa mengenal belas kasih, serta menurunnya nilai
agama. Bagaimana pesantren dalam menyikapi perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi amat diperlukan dalam kehidupan manusia saat
ini. Sehingga manusia tidak dapat terpisah dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern yang senantiasa berkembang dan terus berubah. 38
Perkembangan
saint-teknologi,
penyebaran
arus
informasi
dan
perjumpaan budaya dapat menggiring kecenderungan masyarakat untuk berfikir
rasional, bersikap inklusif dan berperilaku adaptif. Mereka dihadapkan semacam
pada pilihan-pilihan baru yang menarik dan cukup menggoda untuk
mengikutinya.
Masyarakat sekarang ini begitu intens menjumpai perubahan-perubahan
baik, menyangkut pola pikir, pola hidup, kebutuhan sehari-hari hingga proyeksi
kehidupan di masa depan. Kondisi ini tentu berpengaruh secara signifikan
terhadap standart kehidupan masyarakat. Mau tidak mau, mereka sanantiasa
berusaha berfikir dan bersikap progresif sebagai respon terhadap perkembangan
dan
tuntutan
zaman.
Bentuk
responsif
ini
selanjutnya
yang
perlu
dipertimbangkan oleh kalangan pesantren.
38
89.
Noor Mahpuddin, Potret Dunia Pesantren, (Bandung : Humaniora, 2006), cet. ke-1, hlm.
41
Pesantren tidak bisa bersikap isolatif dalam menghadapi tantangan diera
modern ini. Respon yang positf adalah dengan memberikan alternatif-alternatif
yang berorientasi pada pemberdayaan santri dalam menghadapi era modern yang
membawa persoalan-persoalan makin komplek sekarang ini. Sebaliknya respon
yang tidak kondusif seperti bersikap isolatif pada masa penjajahan dulu justru
menjadikan pesantren kelewat konservatif yang tidak memberikan keuntungan
bagi kemajuan dan pembaharuan pesantren. 39
Oleh karenanya, diharapkan perkembangan pesantren pada masa yang
akan datang menjadi perkembangan yang mengarah kepada peningkatan peran
kualitatif. Sehingga eksisitensinya menjawab tantangan kebutuhan masyarakat
sesuai dengan tuntutan zaman yang kini serba modern dengan memanfaatkan
teknologi modern yang ada dalam pesantren. Bentuk konkritnya adalah dengan
selain belajar ilmu agama, para santri juga dididik dan dilatih ketrampilan dengan
harapan selepas menyelesaikan pendidikannya di pondok, para santri bisa
mandiri dalam mengarungi kehidupannya di masyarakat.
Keberadaan pondok pesantren saat ini, yang telah banyak mengalami
perubahan dan perkembangan, berarti kehidupan pondok pesantren tidak statis.
Pesantren telah menunjukkan kemampuan dalam mengimbangi perkembangan
zaman yang tengah dan dialaminya. Namun demikian, pesantren harus tetap
menjaga dan mempertahankan jati dirinya sebagi lembaga tafaqquh fiddien. Oleh
karena itu, pesantren hendaknya memperoleh perhatian dan dukungan serta
39
Mujammil Qomar, Op.Cit, hlm. 73.
42
kerjasama dengan berbagai pihak yang memiliki kepedulian dan keterpanggilan
terhadap dunia pendidikan.
Sedangkan, untuk dapat berperan secara sentral di masa mendatang,
pesantren perlu membenahi diri untuk melakukan antisipasi terhadap berbagai
kecenderungan dan kemungkinan yang akan terjadi di masa - masa akan
datang.40
Respon pesantren terhadap laju modernisasi tidak dapat dilepaskan dari
peran sentral kiai sebagai pemimpin sekaligus penggerak dan pemegang kendali
atas kelangsungan pesantren. Dalam merespon modernisasi yang melanda,
setidaknya terdapat tiga tipologi kiai, yaitu: Pertama, tipologi apologi, yaitu
mengikuti dengan upaya penyesuaian diri dan adaptasi terhadap proses
modernisasi. Sebagian mereka telah mengambil nilai-nilai Barat, baik disertai
dengan adanya konflik batin maupun tidak sama sekali. Kedua, tipologi
resistensi, yaitu menganggap modernisasi sama dengan westernisasi dan
sekulerisasi. Akan tetapi, sebagian mereka melakukan resistensi sebatas pada
tataran formal saja, sebab dalam realitas sehari-hari mereka juga menerima nilainilai Barat. Ketiga, tipologi tanggapan yang kreatif, yakni menempuh model
dialogis dengan mengedepankan pendekatan intelektual dalam menanggapi
modernisasi. Penganut pola ini memiliki keyakinan bahwa nilai-nilai dan ajaranajaran agama dapat digali lebih jauh dan diinterpretasikan kembali untuk bisa
40
Mahpudin, Op.Cit, hlm. 91.
43
memberikan respon yang cerdas dan kreatif dalam menghadapi gempuran
modernisasi.41
Implikasi dari kemodernan itu jelas positif, yaitu berupa kemajuankemajuan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi, setelah
melihat dampak yang dibawa oleh kemajuan-kemajuan tersebut makin banyak
orang yang bersikap kritis dengan mengemukakan implikasi negatifnya. Bentuk
implikasi negatif yang sering dikontarkan adalah merosotnya nilai-nilai
kehidupan rohani, tercabutnya budaya-budaya local, dan degradasi moral
terutama yang melanda generasi muda kita. 42
Realitas lainnya, perkembangan pesantren dimasa depan akan ditentukan
oleh kemampuannya mengantisipasi dan mengatasi kesulitan, tantangan dan
dilema yang selama ini menyelimutinya. Pesantren yang mampu merespon,
minimal tidak termarjinalkan oleh desakan-desakan pengaruh global. Dengan
demikian, pesantren perlu mengambil beberapa tindakan-tindakan sebagai
berikut:
1. Penerapan strategi adaptif-selektif, artinya pesantren perlu mengadakan
pembaharuan yang bisa mengimbangi kemajuan zaman tetapi materi
pembaharuannya harus terlebih dahulu diseleksi secara ketat berdasarkan
parameter ajaran-ajaran Islam.43
41
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai Kontruksi Sosial Berbasis Agama, (Yogyakarta :
LKiS , 2007), hlm. 63.
42
Norcholis Madjid, Op.Cit, hlm. 96
43
Mujamil Qomar, Op.Cit, hlm.75.
44
2. Pesantren dituntut bersikap kreatif dalam mengelola diri, dengan melakukan
improvisasi dan inovasi tanpa merubah watak dan karakteristik tradisional
dalam rangka merespon tuntutan pendidikan. 44
3. Memunculkan pemikiran dan langkah-langkah transformatif, yaitu langkahlangkah bukan hanya sekedar merubah bentuk dari aslinya menjadi bentuk
yang baru, tetapi yang lebih penting justru terletak pada nilai-nilai positifkontruktif dari perubahan itu. Misalnya, perubahan dari sikap eksklusif
menjadi inklusif, perubahan dari kepemimpinan individual menjadi kolektif,
perubahan dari pembelajaran yang membelenggu santri menjadi emansipatoris
dan sebagainya. Jadi langkah transformatif disini lebih diarahkan pada
langkah strategis.
4. Membuat kurikulum terpadu, gradual, sistematik, egaliter, dan bersifat bottom
up (tidak top down). Artinya penyusunan kurikulum tidak lagi didasarkan
pada konsep plain for student tetapi plain by student.
5. Melengkapi sarana penunjang proses pembelajaran, seperti perpustakaan
buku-buku klasik dan kontemporer; majalah, sarana berorganisasi, sarana
olahrag, internet kalau (memungkinkan) dan lain sebagainya.
6. Memberikan kebebasan kepada para santri yang ingin mengembangkan
talenta mereka masing-masing , baik yang berkenaan dengan pemikiran, ilmu
pengetahuan, teknologi dan kewirausahaan.
7. Menyediakan wahana akulturasi diri di tengaha-tengah masyarakat.45
44
Irwan Abdullah, Muhammad Zain dan Jasse J,Op.Cit. cet. ke-I, hlm.13.
45
Secara garis besar, pesantren menghadapi tantangan makro dan mikro.
Pada tataran
makro, pesantren ditantang untuk menggarap “triumvirat”
kelembagaan, yakni keluarga, lingkungan kerja dan pesantren sendiri. Sedangkan
pada tataran mikro, pesantren dituntut menata ulang interaksi antara santri dan
kiai, konsep pendidikan yang digunakan serta kurikulum. 46
Selanjutnya, dalam menghadapi tantangan yang berakibat dari perubahan
global tersebut, pesantren dituntut memiliki tiga kemampuan:
1) Kemampuan untuk survive (bertahan hidup) ditengah-tengah perubahan dan
persaingan yang terus bergulir
2) Kemampuan untuk meningkatkan kualitas kehidupannya (rohaniah dan
jasmaniah);
3) Kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi dengan tuntutan zaman yang
terus berubah.47
Dengan demikian, pesantren diharapkan tidak hanya memainkan fungsifungsi tradisonalnya, yaitu; pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam;
kedua, pemelihara tradisi Islam; ketiga,reproduksi ulama. 48
Sementara itu, menurut Azyumardi Azra, “ pesantren diharapkan bukan
hanya mampu bertahan, melainkan juga mampu mengembangkan diri, dan
45
Amin Haedari, dkk, Amin Haedari &Abdullah Hanif, (Eds.), Masa Depan Pesantren
Dalam Tantangan Modernitas Dan Tantangan Komplesitas Modern, ( Jakarta : IRD Press, 2004),
hlm. 86-87.
46
Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, (Malang :
Kalimasada Press, 1993), hlm.104.
47
Mujamil Qomar, Op.Cit, hlm.77.
48
Azyumardi Azra, Op.Cit, hlm.104.
46
bahkan kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam sistem
pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan”. 49 Lebih dari itu, pesantren
diharapkan mampu memberikan sumbangan dan berfungsi pada pengembangan
sistem pendidikan lainnya yang dipandang positif untuk diintegrasikan.
49
Ibid, hlm. 106.
BAB III
MODERNISASI PONDOK PESANTREN MENURUT
KH. ABDURRAHMAN WAHID
A. Biografi KH. Abdurrahman Wahid
Jombang merupakan kota agraris yang sebagaian besar penduduknya
bermata pencaharian sebagai petani dan kerja di ladang. Apalagi didekat
Pondok Pesantren Denanyar terhampar luas sawah ditanami padi. Di samping
Jombang dikenal sebagai kota petani, Jombang juga dikenal sebagi kota santri
atau kota pondok pesantren. Di Kabupaten Jombang ini lahir sejumlah kiai
yang memiliki pengaruh besar secara Nasional. Bahkan pendiri dan pengurus
pertama Pengurus Besar Nahdaltul Ulama (PBNU) adalah K.H. Hasyim
Asy’ari yang juga mendirikan dan menjadi pengasuh pertama Pondok
Pesantren Tebuireng dan yang kemudian dilanjutkan oleh putranya, K.H
Wahid Hasyim (Mantan Menteri Agama RI) setelah K.H Wahid Hasyim
wafat digantikan oleh K.H Yusuf Hasyim sebagai pengasuhnya dan sekarang
PP Tebuireng diasuh oleh Dr (HC) Ir. K.H Sholahuddin Wahid.
Sedangkan kiai yang juga berpengaruh besar adalah K.H Wahab
Hasbullah yang telah mendirikan Ponpes Tambakberas Jombang, K.H Bisri
Syamsuri yang telah mendirikan Ponpes Denanyar, dan kiai Romli Tamim
sebagai tokoh tarekat Naqsabandiyah yang juga dari Jombang, lalu juga lahir
Universitas Darul ‘Ulum yang sangat maju ketika dipimpin oleh K.H
47
48
Mus’tain Romli. Mereka adalah tokoh-tokoh agama yang memilih
nasionalisme yang tinggi dan mengajarkan Ahlusunnah Wal Jamaah
dikalangan warga NU.1
Kemudian tidak kalah menarik adalah tokoh yang menjadi kajian
dalam skripsi ini yaitu K.H Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus
Dur yang menjabat Presiden RI ke-4 mulai 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli
2001. Beliau lahir tanggal 4 Agustus 1940 di Desa Denanyar, Jombang,
Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya
adalah seorang pendiri organisasi besar Nahdlatul Ulama, yang bernama
K.H Wahid Hasyim. Sedangkan, ibunya bernama Hj. Sholehah adalah putri
pendiri Pesantren Denanyar, Denanyar, Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. 2
Bagi Solichah, Wahid Hasyim adalah seseorang yang sempurna.
Kematiannya pada bulan April 1953 membuatnya mengalihkan semua
ambisi dan aspirasinya kepada Gus Dur. Baginya adalah hal yang wajar bila
Gus Dur harus meneruskan kerja yang telah dirintis oleh sang ayah dan
memenuhinya. Bagi Gus Dur muda, Wahid Hasyim dijadikan sebagi
seorang teladan. Kehidupan sang ayah menjadi jalan hidup yang harus
ditempuhnya sendiri nanti. Walaupun ia dikenal sering bergurau dan bukan
seorang penurut, Gus Dur selalu menghormati ibunya. Ia selalu menuruti
kata-kata sang ibu, paling tidak di hadapannya.3
1
Moh. Dahlan, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, (Yogyakarta : Kaukaba
Dipantara, 2013), hlm.16.
2
Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), hlm.71.
3
Greg Barton, Terjemahan Biografi Gus Dur The Authorized Biography of
ABDURRAHMAN WAHID, (Yogyakarta : LkiS , 2003), hlm.46.
49
Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran
membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain
itu, beliau juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada
usia belasan tahun, Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat
kabar, novel, dan buku-buku. Di samping membaca, beliau juga hobi
bermain bola, catur, dan mendengarkan musik. Bahkan, Gus Dur pernah
diminta menjadi komentator sepak bola disebuah televise. Kegemaran
lainnya yang ikut melengkapi hobinya adalah menonton bioskop.
Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia
film. Inilah sebabnya pada tahun 1986-1987 Gus Dur diangkat sebagai
ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan
Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai
meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di Pesantren
Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. 4
Setelah belajar ilmu agama di Mesir, ia kemudian belajar ilmu
agama di Baghdad. Di sini ia merasa puas dengan belajar sejarah,filsafat,
sastra Arab dan bahasa Prancis, serta belajar tentang sejarah, tradisi dan
komunitas Yahudi. Ketika Abdurrahman Wahid belajar di Baghdad, ia lalu
berteman dengan ilmuan liberal dan inklusif yang bernama Ramin dari
komunitas Yahudi Irak di Baghdad. Mereka selalu mendiskusikan masalah-
4
Faisol, Op.Cit., hlm.72
50
masalah ilmu agama dan mengupas eksistensi agama Yahudi dalam
kehidupan diaspora sebagai kaum minoritas teraniayah.
Pada
tahun
1970-an,
KH
Abdurrahman
Wahid
berhasil
menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana S-1 selama empat tahun di
Universitas Baghdad. Setelah menempuh pendidikannya di Timur Tengah,
ia ingin melanjutkan pendidikan ke Eropa, tetapi setelah sampai di Eropa, ia
kecewa karena Universitas Leiden dan seluruh Universitas Eropa tidak
mengakui lembaga pendidikan di Universitas Baghdad. Pada waktu itu,
Universitas Eropa menetapkan persyaratan bagi lulusan Timur Tengah
untuk mengulang mulai dari Sarjana S-1 lagi. Untuk mengurangi rasa
kekecewaan, ia lalu berkeliling Eropa selama dua tahun dan kemudian
kembali ke tanah air pada pertengahan 1971. Sejak tinggal di tanah air, ia
mulai berkarir dan bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) LP3ES
Jakarta serta merintis karir organisasi keagamaan di Nahdlatul Ulama.5
Di Jombang Gus Dur mengalami suatu pertemuan yang jauh lebih
penting daripada pertemuan dengan karya sastra pengarang-pengaranag
terkenal yang dibacanya dengan penuh kegairahan. Sebagai remaja, Gus
Dur belum pernah mengalami kisah cinta. Lebih lagi, ia tinggal dalam satu
dunia keagamaan yang secara nyata tidak menyetujui pemuda-pemuda yang
cemerlang untuk bercinta dalam usia muda. Oleh karena itu, walaupun
berusia dua puluhan, ia belum pernah berkencan, apalagi mempunyai pacar.
5
Moh. Dahlan, Op.Cit, hlm.19.
51
Boleh dikatakan, semangat pemberontakan pemuda yang ada dalam dirinya
disalurkan dengan kedekatannya yang singkat dengan Islam radikal.
Hingga saat itu, wanita-wanita yang sempat digandrunginya
hanyalah yang menatapnya dari layar perak. Namun, ketika ia mulai
mengajar di madrasah di Tambakberas pada awal tahun 1960-an, ia mulai
tertarik kepada seorang siswi yang bernama Nuriyah. Gadis ini salah satu
dari gadis-gadis yang paling
menarik di kelasnya. Ia juga cerdas dan
berfikir bebas serta dapat menarik perhatian sejumlah pemuda di lingkungan
pesantren pada masa itu. Oleh karena itu, cukup mengherankan bahwa ia
bisa tertarik pada sang guru yang agak canggung, seorang kutu buku, agak
gemuk, dan lagi pula mengenakan kecamata besar dan tebal.6
Akhirnya sebelum Gus Dur berangkat ke Mesir, pamannya telah
melamarkan seorang gadis untuknya,dialah sinta Nuriyah anak Haji Muh.
Sakur, perempuan yang menjadi idam-idamannya saat menjadi guru di
Tambak Beras. Pernikahanya dilaksanakan ketika Gus Dur berada di Mesir.
Dari pernikahannya dengan Sinta Nuriyah, mereka dikaruniai empat orang
anak yaitu Alissa Qotrunnada Munawwaroh, Zannuba Arifah Chafsoh,
Annita Hayatunnufus dan Inayah Wulandari.7
Beberapa penghargaan yang pernah Gus Dur raih semasa hidup
bahkan sampai akhir hayat :

Bintang tanda jasa kelas 1, bidang Ilmu Pengetahuan dan
Kebudayaan dari Pemerintahan Mesir
6
7
Greg Barton, Op.Cit., hlm.56
Faisol, Op.Cit., hlm. 72
52

Ramon Magsaysay, Filipina (1993)

Pin Penghargaan Keluarga Berancana dari PKBI (1994)

Bintang Mahaputera Utama (1998)

Doktor Honoris Causa Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)

Doktor Honoris Causa Bidang Hukum dari Universitas Thammasat
Anant Anantakul, Thailand (2000)

Doktor Honoris Causa Bidang Perdamaian dari Soka University,
Jepang (2002).

Global Tolerance Award dari Friends of the United Nations, New
York (2003)\

World Peace Prize Award dari World Peace Prize Awarding
Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan (2003)

Presiden World Headquarters on Non-Violence Peace Movement
(2003)

Global Tolerance Award dari Friends of the United Nation, New
York, AS (2003)

Suardi Tasrif Award dari Aliansi Jurnalis Independen (2006)

Penghargaan dari Dewan Adat Papua (2006)

Penghargaan dari Simon Wiethemtal Center, Amerika Serikat
(2008)

Penghargaan dari Mebal Valor, Amerika Serikat (2008)

Penghargaan dan Kehormatan dari Temple University, Philadelpia,
Amerika Serikat, yang memakai namanya untuk penghargaan
53
terhadap studi dan pengkajian kerukunanm antarumat beragama,
Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study (2008).8
B. Karya-Karya Dan Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid
K.H Abdurrahman Wahid kurun waktu sejak 1970-an hingga awal
tahun 2000. Ternyata ditemukan ada 493 buah tulisan. Hingga akhir hayat
(2009), bisa jadi telah lebih dari 600 buah tulisan Gus Dur. Karya
intelektualnya
yang
ditulis
selama
lebih
dari
dua
dasawarsa
itu
diklasifikasikan ke dalam depalan bentuk tulisan, yakni tulisan dalam bentuk
buku, terjemahan, kata pengantar buku, epilog buku, antologi buku, artikel,
kolom, dan makalah. Rincian jumlah setiap klasifikasi tersebut adalah sebagai
berikut :
Jumlah Tulisan Gus Dur Dengan Berbagai Bentuknya Tahun 1970-An
Hingga Tahun 2000
No.
Bentuk Tulisan
Jumlah
Keterangan
1
Buku
12 buku
Terdapat pengulangan tulisan
2
Buku terjemahan
1 buku
Bersama Hasyim Wahid
3
Kata Pengantar Buku
20 Buku
-
4
Epilog Buku
1 Buku
-
5
Artikel
41 Buku
-
6
Antologi Buku
263 Buku
8
Di berbagai majalah, surat
Penerbit Buku Kompas, Gus Dur Santri Par Excellent : Teladan Sang Guru Bangsa
(Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2010)., hlm.xvii
54
kabar, jurnal, dan media massa
7
Kolom
105 Buku
Di berbagai majalah
8
Makalah
50 Buku
Sebagian
besar
tidak
dipublikasikan
Tabel 1. Jumlah Tulisan Gus Dur dengan Berbagai Bentuknya Tahun
1970-an hingga Tahun 2000
Dari tabel diatas, jelaslah bahwa Gus Dur tidak sekedar membuat
pernyataan dan melakukan aksi-aksi sosial politik, kebudayaan, dan
pemberdayaan masyarakat sipil belaka, tetapi juga merefleksikannya ke
dalam tulisan, baik dalam bentuk artikel, kolom, makalah, maupun kata
pengantar buku. Sebagian tulisan tersebut belakangan diterbitkan dalam
bentuk buku. Hanya saja, karena buku-buku yang diterbitkan itu dalam
bentuk bunga rampai tanpa ada rekonstruksi dari Gus Dur, kesan
ketidakutuhan bangunan pemikiran tidak bisa dihindari. Akan tetapi,
barangkali itulah cermin latar intelektual Gus Dur yang bukan berasal dari
tradisi akademik “ sekolahan modern ” yang setiap tulisan mesti terikat
dengan suatu metodologi dan refrensi formal.9
C. Modernisasi Pondok Pesantren Menurut KH. Abdurrahman Wahid
dalam Buku “Menggerakkan Tradisis : Esai – Esai Pesantren”.
Pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana dapat
disimpulkan dari gambaran lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah kompleks
9
Faisol, Op.Cit., hlm.74
55
dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam
kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan rumah kediaman pengasuh (di
daerah berbahasa Jawa disebut kiai, di daerah berbahasa Sunda anjengan ,
dan di daerah berbahasa Madura nun atau bendara, disingkat ra), sebuah
surau atau masjid, tempat pengajaran diberikan (bahasa Arab madrasah, yang
juga terlebih sering mengandung konotasi sekolah); dan asrama tempat
tinggal para siswa pesantren (santri, pengambilalihan dari bahasa Sansekerta
dengan perubahan pengertian).10
Dengan pola kehidupannya yang unik, pesantren mampu bertahan
selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri.
Oleh karena itu, dalam jangka panjang pesantren berada dalam kedudukan
kultural yang relative lebih kuat daripada masyarakat di sekitarnya.
Kedudukan ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren untuk melakukan
transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya, tanpa ia sendiri
harus mengorbankan identitas dirinya.11
Modernisasi merupakan bagian dari kata dinamisasi yang pada
dasarnya mencakup dua buah proses, yaitu penggalakan kembali nilai-nilai
hidup positif yang telah ada, selain mencakup pula pergantian nilai-nilai lama
itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Proses penggantian
nilai itu dinamai modernisasi. Jelaslah dari keterangan ini bahwa pengertian
modernisasi sebenarnya telah terkandung dalam kata dinamisasi.
10
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Esai-esai Pesantren, ( Yogyakarta : Lkis,
2001), Cet.I,hlm.3.
11
Ibid, hlm.8.
56
Sedangkan kata dinamisasi itu sendiri, dalam penggunaannya di sini
akan memiliki konotasi atau mafhum “perubahan ke arah kesempuranaan
keadaan”, dengan menggunakan sikap hidup dan peralatan yang telah ada
sebagai dasar. Dikemukakan prinsip itu di sini, karena ada keyakinan,
konsep-konsep yang dirasa asing oleh pesantren, akan menghadapi hambatan
luar biasa nantinya. Kita percaya, pendekatan untuk memperoleh penerimaan
dari pesantren sendiri, dalam jangka panjang akan memberikan hasil yang
lebih baik daripada konsep mana pun juga.12
Selanjutnya untuk mengemukakan tentang bagaimana seharusnya
proses dinamisasi itu berlangsung perlu adanya langkah-langkah sebagai
berikut.
Pertama, perbaikan keadaan di pesantren sebenarnya bergantung
sebagian besar pada kelangsungan proses regenerasi yang sehat dalam
pimpinannya. Yang dimaksud dengan regenerasi pimpinan yang berlangsung
dengan sehat adalah pergantian pemimpin secara bertahap dan teratur, yang
memungkinkan penumbuhan nilai-nilai baru dalam kehidupan pesantren
secara konstan. Pemimpinan muda di pesantren , bila mana disertakan dalam
proses memimpin secara berangsur-angsur, akan mampu menciptakan
perpaduan antara kebutuhan praktis akan kemajuan (terutama material ) dan
antara tradisi keagamaan yang mereka warisi dari generasi sebelumnya. Yang
menjadi persoalan penting sekarang ini adalah bagaimana menyertakan
12
Ibid, hlm.38.
57
pemimpin-pemimpin muda pesantren dalam forum-forum semacam ini
secara tetap dan massif.
Kedua, prasayarat utama bagi suatu proses dinamisasi berluas
lingkup penuh dan dalam adalah rekonstruksi dan bahan pengajaran ilmuilmu agama dalam sekala besar-besaran. Kitab kuno maupun buku-buku
pengajaran “modern” ala Mahmud Junus dan Hasbi Ash-Shiddieqi, telah
kehabisan daya pendorong untuk mengembangkan rasa kesejahteraan (sense
of belonging) dalam beragama. Dari tingkatan dasar hingga perguruan tinggi,
para santri disuapi dengan kaidah-kaidah yang sudah tidak mampu mereka
cernakan lagi. Penguasaan atas kaidah-kidah itu lalu menjadi masinal, tidak
memperlihatkan watak berkembang lagi. Inilah yang justru harus dibuat
rekonstruksinya, dengan tetap tidak meninggalkan pokok-pokok ajaran
keagamaan yang kita warisi selama ini. Tradisionalisme yang masak adalah
jauh lebih baik daripada sikap pseodomodernisme yang dangkal.13
Demikianlah gagasan Gus Dur mengenai dinamisasi pesantren
yang didalamnya tercakup pula proses modernisasi. Selanjutnya untuk
melakukan perubahan dalam pendidikan pesantren sebagai respon terhadap
modernisasi Gus Dur berpendapat setidaknya pesantren harus mengawali dan
menekankan pada hal-hal sebagai berikut:
1. Memasukkan sekolah umum ke dalam pesantren
Dunia pendidikan kita dewasa ini masih berada dalam taraf yang
boleh dikata kritis. Dengan banyaknya jumlah anak didik yang putus
13
Ibid, hlm.47.
58
sekolah (drop out), kemampuan kita semua untuk menyediakan
kesempatan kerja yang lebih merata juga menjadi lebih terbatas lagi.
Belum pula diingat bahwa di antara mereka yang dapat melanjutkan
sekolah masih cukup banyak didapati ketimpangan antara kemampuan,
biayanya, dan motivasinya.
Oleh karena itu, seluruh kemampuan untuk membuka lembagalembaga pendidikan berupa sekolah harus digali terus – menerus dari
masyarakat, baik yang berasal dari dana pemerintah (sekolah negeri)
maupun nonpemerintah (sekolah swasta).
Untuk menggali kemungkinan mendirikan sekolah-sekolah baru
dalam jumlah besar, sebenarnya dapat ditempuh pemecahan lain yang
bersifat lebih langsung. Pemecahan tersebut adalah yang berbentuk ajakan
serius pada pesantren untuk mendirikan “sekolah umum” di lingkungan
masing-masing. Sekolah-sekolah yang tidak berorientasi keagamaan
dikenal dengan nama “sekolah umum” di kalangan pesantren, seperti SDSMP-SMA dapat diserahkan pengelolaannya dari segi fisik dan material
pada
pesantren,
semenjak
mendirikan
hingga
memelihara
dan
mengembangkannya. Pesantren memiliki kemampuan potensial untuk
mengarahkan dana-dana yang diperlukan untuk tujuan tersebut dari
masyarakat, jika pesantren sendiri bersedia melaksanakannya.
Demikian pula instruksi untuk memindahkan titik berat kurikulum
pada orientasi yang bersifat melulu keagamaan, tidak berarti akan
terjadinya perubahan besar dalam kualitas siswa yang ditampung oleh
59
madrasah. Paling banyak akan terjadi perubahan kualitatif belaka, sebagai
hasil perubahan orientasinya. Adalah lebih relalistis untuk mendorong
pesantren agar menciptakan dan mengelola sekolah-sekolah baru yang
bersifat “umum”.14
Ada dua sebab yang akan mendorong pertambahan jumlah siswa
baru dengan adanya “sekolah umum” di pesantren nantinya. Pertama,
mayoritas warga pesantren yang tidak belajar di madrasah, akan mendapat
diserap oleh “sekolah umum” itu. Kedua, mereka yang selama ini berada
di persimpangan jalan antara berada di “sekolah umum” atau mempelajari
ilmu agama di pesantren akan terdorong untuk memasuki pesantren dan
sekaligus memasuki “sekolah umum” di lingkungan pesantrennya itu.
Hilangnya konflik kejiwaan yang selama ini mengakibatkan
jumlah ratusan ribu siswa terkatung-katung tidak sekolah dan tidak pula
pula masuk pesantren, dengan pemecahan sederhana konsepsinya ini, akan
berarti pertambahan besar-besaran dalam populasi anak didik pesantren
ini; pada gilirannya akan berarti pula pertambahan jumlah anak didik yang
berpendidikan formal di negeri kita secara keseluruhan.
Selama ini, pesantren dirumuskan hanya sebagai wadah pendidikan
keagamaan yang bertugas “mencetak” para ulama atau ahli agama belaka.
Perumusan ini mengakibatkan luasnya anggapan bahwa hanya sekolah
agama atau madrasah saja yang dapat didirikan di lingkungan pesantren.
Bahkan sekolah agama yang tidak bersifat madrasah , seperti PGA,
14
Ibid, hlm.50.
60
hampir-hampir tidak memperoleh tempat di pesantren di masa lampau.
Tekanan yang terlampau luas (overstress) pada ilmu-ilmu keagamaan pada
akhirmya menciptakan semacam penghalang mental yang sangat besar di
kalangan
pesantren
untuk
menerima
“sekolah
umum”
dalam
lingkungannya sendiri.
Dua alasan utama sering diajukan untuk membenarkan sikap
menolak “sekolah umum” itu. Alasan pertama adalah tidak sesuainya
“sekolah umum” itu dengan tujuan keagamaan yang dimiliki pesantren;
sedangkan alasan kedua adalah ketidak mampuan pesantren mengelola
“sekolah umum”. Kedua sebab itu ditunjang pula oleh eksklusivitas
Departemen Agama sebagai klien pesantren selama ini, selain hampirhampir tidak adanya hubungan dengan Departemen P dan K dari jenjang
teratas hingga ke aparat terbawah.15
Keberatan pertama dapat diatasi dengan menunjukkan kenyataan
bahwa dalam sistem pendidikan agama yang paling eksklusif sekalipun,
tidak semua siswanya dapat dicetak menjadi ulama atau ahli agama. Oleh
karena itu, apa salahnya pesantren menerima “sekolah umum” dalam
lingkungannya. Kepada siswa “sekolah umum” itu dapat diberikan
pendidikan agama sebagai kegiatan ekstrakulikuler yang diatur berjenjang,
sesuai dengan jenjang “sekolah umum” yang mereka lalui. Sedangkan bagi
mereka yang berkeinginan untuk menjadi ulama, masih terbuka
kesempatan untuk sepenuhnya mempelajari ilmu-ilmu agama, baik dalam
15
Ibid,hlm.51.
61
bentuk pendidikan formal di madrasah maupun dalam bentuk pengajian
sebagai pendidikan nonformal. Dengan memberikan kesempatan kepada
calon-calon
ulama
untuk
mengejar
cita-cita,
selain
memberikan
kesempatan kepada para siswa yang belajar di “sekolah umum” untuk
belajar, menurut bakat masing-masing, pesantren dapat membantu mengisi
kurangnya wadah pendidikan formal bagi generasi muda kita.
Adapun keberatan kedua yang sebenarnya adalah hasil perwujudan
rasa rendah diri di kalangan pesantren sendiri, adalah suatu sikap jiwa
yang tidak berdasar sama sekali. Dengan melalui penyesusaian dan
peningkatan kerja, pesantren tentu akan dapat mengemban amanat
pengelola itu dengan baik. Bahkan sikap hidup berswadaya, idealism
moral, dan kebiasaan untuk hidup serba sederhana, yang selama ini
menjadi karakteristik kehidupan pesantren, akan menyerap ke dalam
kehidupan “sekolah umum” di negeri kita, sehingga dalam jangka panjang
pengenlolaan pesantren atas “sekolah umum” dalam lingkungannya justru
akan meperbaiki kualitatif bagi kehidupan “sekolah umum” di tanah air
kita secara keseluruhan. Dengan kata lain, pengelolaan di atas akan dapat
membawaa penyegaran ke dalam kehidupan “sekolah umum” yang pada
tahun-tahun
belakangan
ini
mengalami
kegoncangan
dalam
pengarahannya.
Oleh karena itu, tibalah saatnya bagi kita semua untuk
merencanakan dan melaksanakan pembentukan “sekolah-sekolah umum”
secara meluas dalam lingkungan pesantren dengan cara sebaik-baiknya
62
dan berhati-hati. Kita semuanyalah yang akan memetik hasil dari program
semacam itu dalam jangka panjang, terutama dari segi hilangnya dualism
pendidikan di negeri kita secara berangsur-angsur, terutama tanpa
merugikan pihak manapun yang bersangkut paut dengan dunia pendidikan
itu sendiri.16
2. Pengembangan Kurikulum Pesantren
Kurikulum
yang
berkembang
di
pesantren
selama
ini
memperlihatkan sebuah pola yang tetap. Pola itu dapat diringkas ke dalam
pokok-pokok berikut:
a) Kurikulum ditujukan untuk “mencetak” ulama di kemudian hari.
b) Struktur dasar kurikulum itu adalah pengajaran pengetahuan agama
dalam segenap tingkatannya dan pemberian pendidikan dalam bentuk
bimbingan kepada santri secara keseluruhan kurikulum yang ada
berwatak lentur/fleksibel, dalam artian setiap santri berkesempatan
menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya atau sebagian sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuannya, bahkan pada pesantren yang
memiliki sistem pendidikan berbentuk sekolah sekalipun.17
Kurikulum telah banyak mengalami perubahan dan berkembang
dalam variasi bermacam-macam, tetapi kesemua perkembangan itu tetap
mengambil bentuk pelestarian watak utama pendidikannya sebagai tempat
menggembleng ahli-ahli agama formasi total atas kehidupan masyarakat di
16
17
Ibid, hlm.53.
Ibid, hlm.109.
63
tempat masing-masing. Beberapa jenis kurikulum utama perlu ditinjau
sepintas lintas dalam hubungan ini :
- Kurikulum pengajian non sekolah, dimana santri belajar pada beberapa
orang kiai/guru dalam sehari semalamnya. Sistem pendidikan seperti
ini, yang dinamai sistem lingkaran (pengajian halaqah) memberikan
kebebasan sepenuhnya kepada santri untuk membuat kurikulumnya
sendiri, dengan jalan menentukan sendiri pengajian mana yang akan
diikutinya.
- Kurikulum
sekolah
tradisional
(madrasah
salafiyah),
dimana
pembelajaran telah diberikan di kelas dan disusun berdasarkan
kurikulum tetap yang berlaku untuk semua santri. Akan tetapi, ini tidak
berarti
pendidikannya
sendiri
telah
menjadi
klasikal,
karena
kurikulumnya masih didasarkan pada penahapan dan penjejangan
berdasarkan urut-urutan teks kuno secara berantai.
- Pondok modern, dimana kurikulumnya telah bersifat klasikal dan
masing-masing kelompok mata pelajaran agama dan nonagama telah
menjadi bagian integral dari sebuah sistem yang telah dibuat dan
berimbang. Akan tetapi, di sini pun mata pelajaran nonagama,
walaupun telah diakui pentingnya, masih ditundukkan pada kebutuhan
penyebaran ilmu-ilmu agama, sehingga kelompok adalah mata
pelajaran tersebut memiliki perwatakan intelektualistis dengan tekanan
pada penumbuhan ketrampilan skolastis.18
18
Ibid, hlm.114.
64
Melihat tiga buah kurikulum utama yang berkembang di pesantren
pada umunya tersebut setidaknya ada lima percobaan yang dapat
dilakukan untuk mengembangkan kurikulum pesantren secara lebih
dinamis yaitu :
a) Madrasah negeri. Sistem pendidikan ini telah lama dikembangkan dan
telah berusia belasan tahun, tetapi belum memiliki pola menetap, karena
senantiasa mengalami perubahan kurikulum dalam jarak telalu dekat.
Pendidikan nonagama didalamnya mengikuti pola kurikulum sekolahsekolah nonagama, tetapi secara kualitatif hasilnya belum lagi
memuaskan. Masih terlalu pagi untuk mengetahui hasil apa yang dapat
diharapkan dari sistem pendidikan ini dalam hubungannya dengan
penyediaan angkatan kerja, karena percobaab terakhir untuk membuat
kurikulumnya relavan dengan kebutuhan baru saja dijalankan. Dengan
kesempatan yang disediakan oleh Surat Keputusan Bersama Tiga
Menteri (Agama, Dalam Negeri, dan Pendidikan dan Kebudayaan)
untuk melanjutkan pelajaran sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
nonagama bagi lulusannya, persoalannya juga belum dapat diselesaikan
secara memuaskan. Bagaimanakah halnya dengan mereka yang putus
sekolah dari sistem pendidikan ini, bagaimanakah penyelasaran
kurikulumnya dengan kebutuhan penciptaan tenaga setengah terlatih,
dan banyak pertanyaan lain masih belum ditemukan jawabannya
disekitar sistem pendidikan ini.
65
b) Program
ketrampilan di
pesantren. Program
ini,
yang dapat
dilaksanakan sebagai kegiatan kurikuler sistem pendidikan sekolah di
pesantren maupun sebagai kegiatan nonkurikuler, dimaksudkan untuk
menyediakan sarana memperoleh ketrampilan yang diperlukan untuk
hidup atas kaki sendiri dalam kehidupan setelah keluar dari pesantren
nanti. Penghargaan dalam arti kerja dan sifat melakukan perhitungan
rasional dalam mengambil keputusan diharapkan akan tumbuh dari
program ini. Orientasi kehidupan pada kerja nyata juga diharapkan akan
dihasilkan oleh pendidikan ketrampilan di pesantren ini. Struktur
pendidikannya juga sangat sederhana : penyediaan program terminal
berjangka sangat pendek untuk masing-masing jenis ketrampilan yang
diajarkan. Jika direncanakan secera tepat, program ini sebenarnya
memiliki kemungkinan berkembang menjadi unsure luar sekolah yang
penting bagi pesantren, sebagai semacam program deschooling di mana
kegiatan ketrampilan tidak terlalu direncanakan secara kaku dengan
menggunakan tenaga pengajar formal, melainkan cukup dilayani oleh
tukang-tukang dan perajin dari masyarakat sekitar pesantren sendiri.
Konsep pendidikan ketrampilan yang seperti ini akan mirip dengan
gagasan sekolah-masyarakat (community schools) yang dicetuskan
akhir-akhir ini.
c) Program penyuluhan dan bimbingan. Berbeda dengan program
ketrampilan yang ditujukan kepada seroang santri sebagai infdividu,
program ini ditujukan pada pemberian peranan kepada santri sebagai
66
penyuluh dan pembimbing pengembangan beberapa jenis profesi di
masyarakat. Dalam program ini, para santri secara bergiliran dididik
bersama-sama dengan para petani dan perajin dari masyarakat dalam
bimbingan untuk mengembangkan profesi mereka, dengan mengundang
tenaga pembimbing dari luar. Program ini telah dilaksanakan oleh
beberapa pesantren, tetapi secara sporadic dan belum direncanakan
dengan matang, sehingga sulitlah untuk mengetahui pola pendidikan
yang dibawakannya.
d) Program sekolah-sekolah nonagama di pesantren, dasar dari program
ini adalah penilaian lebih baik bagi pesantren untuk mendirikan
sekolah-sekolah nonagama dalam lingkungannya daripada bertindak
“setangah-setengah” seperti kebanyakan pesantren dengan berbagai
jenis madrasah mereka. Sebagai kegiatan nonkurikuler, pengajaran
pengetahuan agama dapat diberikan di luar sekolah dalam lingkungan
pesantren sendiri. Sebagai program yang mengintegrasikan sekolah
nonagama
ke
dalam
sistem
pendidikan
pesantren
tradisional,
diharapkan para santri yang mengikutinya akan kampu menguasai
pengetahuan dasar tentang agama pada waktu mereka menyelesaikan
sekolah nonagama mereka di pesantren. Bagi yang ingin memperdalam
pengetahuan agama, tinggal lagi meperdalam pengajian mereka sebagai
spesialisasi kegamaan dalam jangka pendek (4 atau 5 tahun selain
sekolah lanjutan tingkat atas).
67
e) Program pengembangan masyarakat oleh pesantren. Program ini
bermaksud menciptakan tanaga-tenaga pembangunan masyarakat
(change agents) dari pesantren, yang bertugas membantu warga desa
untuk mengenal dan memanfaatkan potensi yang mereka miliki untuk
memperbaiki kehidupan mereka, dengan jalan merencanakan dan
melaksanakan proyek-proyek pengembangan desa mereka. Dalam
konteks yang lebih besar sedikit, para santri dididik untuk
merencanakan pembuatan UDKP pada tingkat kecamatan. Program ini
baru dicoba dilaksanakan di sebuah pesantren dewasa ini, tetapi ia
diharapkan akan dapat diperluas dengan cepat ke banyak pesantren lain
nantinya.19
Jelaslah dari tinjauan di atas bahwa beberapa pedoman harus
senantiasa diingat dalam merencanakan sebuah kurikulum bagi pesantren,
yang memenuhi tuntutan dan kebutuhan penyediaan angkatan kerja di era
modern ini. Pertama-tama haruslah diingat bahwa terdapat kesulitan untuk
membuat pesantren menerima kurikulum yang bertentangan dengan tujuan
penyebaran agama dan fungsi transformasi kultural yang dimilki
pesantren. Penyediaan tenaga yang trampil dan terlatih untuk berbagai
jenis profesi haruslah dilakukan dalam sebuah program yang memiliki
hubungan dengan tujuan dan fungsi pesantren sebagaimana dipahami oleh
warga pesantren selama ini.
19
Ibid, hlm.117.
68
3. Pengembangan Kepemimpinan
Pondok pesantren dalam wacana teknis merupakan suatu tempat
yang dihuni para santri, hal ini menunjukkan makna pentingnya ciri-ciri
pesantren sebagai sebuah lingkungan pendidikan yang integral dan
memiliki kultur yang unik. Karenanya, pesantren digolongkan ke dalam
subkultur tersendiri dalam masyarakat Indonesia.
Kepemimpinan dalam pesantren pada umumnya bercorak alami.
Baik pengembangan pesantren maupun proses pembinaan calon pimpinan
yang akan menggantikan pimpinan yang ada belum memiliki bentuk yang
teratur dan menetap. Disatu sisi pembinaan dan pengembangan seperti itu
dapat menghasilkan persambungan kepemimpinan yang baik, namun pada
umumnya hasil sedemikian tidak tercapai. Akibatnya terjadi penurunan
kualitas kepemimpinan dengan pergantian pemimpin dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Sehingga banyak dari kepemimpinan yang ada tidak
mampu mengimbangi kemajuan dan perkembangan pesantren dikelolanya
sehingga terjadi penyusutan kewibawaan kepemimpinan dalam satu masa
ke masa yang berbeda.20
Sebab belum menetapnya pola kepemimpinan di pesantren
disebabkan karena watak kharismatik yang dimilikinya. Dengan kata lain,
kharisma adalah keunggulan kepribadian individu yang mengalahkan
individu yang lain. Sifat demikian, memiliki banyak kerugian diantaranya
adalah: [1] munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren
20
Ibid, hlm. 133.
69
yang bersangkutan dikarenakan semua hal tergantung pada keputusan
pribadi sang pemimpin, [2] munculnya watak pasif yang dimiliki
pesantren dalam pengembangan dirinya, sehingga hanya menggantungkan
ajakan dari luar, dan itupun terkadang dilakukan tanpa pengertian penuh
akan maksud dan tujuan ajakan dari luar, [3] pola pergantian pemimpin
yang tiba-tiba dan tidak direncanakan sehingga lebih banyak ditandai
sebab-sebab alami, seperti
mendadak,
[4]
terjadinya
meninggalnya sang pemimpin secara
pembauran
dalam
tingkat-tingkat
kepememimpinan pesantren, antara tingkat lokal, regional maupun
nasional.21
Meskipun kepemimpinan kharismatik terdapat banyak kekurangan,
namun bukan berarti kepemimpinan tersebut harus dihapuskan, tetapi
menuntut pola kepemimpinan yang lebih direncanakan dan dipersiapkan
sebelumnya. Dengan kata lain meminjam diktum yang sudah lama dikenal
di pesantren sendiri yaitu “Melestarikan nilai-nilai lama yang baik, dan
mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.”
Selanjutnya, dalam merespon perkembangan dunia pendidikan yang
semakin hari terus berkembang, maka menuntut adanya pemimpin
pesantren yang memiliki kepemimpinan yang relevan dengan kebutuhan
sekarang dan masa depan serta harus mampu pula memahami kebutuhan
akan integrasi pesantren ke dalam pendidikan nasional. Kepemimpinan
21
Ibid, hlm.135.
70
yang dinamis di pesantren haruslah mampu mengadakan gebrakan dalam
dunia pendidikan baik dalam tingkatan lokal, regional, dan nasional.22
Dalam
taraf
lokal,
kepemimpinan
pesantren
harus
mampu
mengadakan proyek-proyek rintisan yang menonjolkan pada sumbangansumbangan positif pesantren bagi pendidikan nasional. Pada taraf regional,
harus mampu menciptakan dukungan dan topangan bagi proyek rintisanrintisan, lebih-lebih pengayoman kepada semua pihak yang terkait dalam
perkembangan pendidikan. Sedangkan pada taraf nasional, harus mampu
menyuguhkan
kerangka
teoritis
dan
filosofis
bagi
pembentukan
pendidikan nasional yang relevan dengan kebutuhan dan negara di masa
depan.
Banyak yang dapat diperbuat oleh kepemimpinan pesantren untuk
mewujudkan apa yang dikemukakan di atas. Bagaimana aspek-aspek
negatif dari perkembangan pengetahuan dan teknologi harus diatasi dan
dikendalikan;
bagaimana kebutuhan dan kesadaran bangsa akan
pendidikan nasional yang relevan dengan kebutuhan secara konkret,
dengan tidak mengorbankan kepentingan masyarakat secara keseluruhan;
bagaimana kesadaran akan perlunya dihindari penyeragaman sistem
pendidikan guna menampung kebutuhan yang berbeda-beda pula. Yang
diperlukan adalah pendayagunaan kepemimpinan yang sudah memiliki
ketrampilan praktis yang sempit di bidang pengawasan, administrasi, dan
22
Ibid.,hlm. 141.
71
perencanaan itu guna mengintegrasikan tujuan yang lebih besar :
bagaimana mengintegrasikan pesantren ke dalam pendidikan nasional.23
23
Ibid., hlm. 142-143.
BAB IV
ANALISA MODERNISASI PONDOK PESANTREN
MENURUT KH. ABDURRAHMAN WAHID
1.
Analisa Masuknya Sekolah Umum Ke Dalam Pesantren
Pada
awal
tahun
1970-an
muncul
fenomena
perubahan
dan
perkembangan pendidikan pesantren dengan adanya integrasi sekolah umum
ke dalam pendidikan pesantren, yang terkenal dengan sebutan pondok
modern.
Pondok modern merupakan perpaduan model klasikal pesantren yang
khas dengan sistem pendidikan modern. Pendidikan pesantren klasikal
merupakan pendidikan yang masih menggunakan sistem sorogan,bondongan.
Sedangkan pesantren modern adalah yang telah memasukkan sistem
pendidikan formal
seperti halnya pesantren Darussalam Gontor, yang
merupakan salah satu pesantren yang mengintegrasikan sekolah umum
dengan pesantren.
Pengintegrasian sekolah umum ke dalam pendidikan pesantren
merupakan upaya sadar yang dilakukan pesantren dalam merespon laju
perkembangan
agar
tetap
eksis
dalam
dunia
modern
dan
untuk
mempersiapkan lulusannya kompatible dalam mengarungi kehidupannya di
era modern ini. Arus perkembangan masyarakat yang berkembang begitu
cepat membuat pesantren mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan
cepat.
72
73
Pendirian sekolah umum di pesantren dapat dilakukan dengan
memadukan ilmu-ilmu agama dengan pengetahuan umum, hal ini sangatlah
penting dan perlu dilakukan mengingat mayoritas santri yang belajar di
pesantren tidak semua bertujuan menjadi kiai, dengan begitu santri memiliki
kemampuan lain agar lebih dapat mengembangkan potensi dirinya,
memindahkan titik berat kurikulum pada orientasi yang bersifat melulu
keagamaan, tidak berarti akan terjadinya perubahan besar dalam kualitas
siswa yang ditampung oleh madrasah. Paling banyak hanya akan terjadi
perubahan kualitatif belaka, sebagai hasil perubahan orientasinya. Adalah
lebih realistis untuk mendorong pesantren agar menciptakan dan mengelola
sekolah-sekolah baru yang bersifat umum.1
Pengintegrasian sekolah umum ke dalam pesantren akan berpengaruh
kepada kelangsungan pesantren itu sendiri. Zamakhsyari Dhofier melaporkan
bahwa kebanyakan pesantren kecil mati pada 1950-an. Salah satu
penyebabnya dikarenakan kebijakan pemerintah yang mengembangkan
sekolah umum seluas-luasnya, akibatnya anak muda yang belajar di pesantren
menurun sebab memilih pendidikan sekolah umum. Pesantren-pesantren
besar dapat bertahan, tetapi hanya dengan memasukkan lembaga-lembaga
pendidikan umum di dalamnya.2
Akan tetapi ada juga pesantren yang menolak mengintegrasikan sekolah
umum ke dalam pesantren dengan dua alasan utama, yaitu: pertama, tidak
1
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, ( Yogyakarta : Lkis,
2001), hlm. 50.
2
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonseia, ( Jakarta : LP3ES, 2011), hlm. 75.
74
sesuainya sekolah umum tersebut dengan tujuan keagamaan yang dimiliki
pesantren. Kedua, ketidakmampuan pesantren mengelola sekolah umum. 3
Bukan tidak beralasan mengapa ada pesantren menolak adanya integrasi
sekolah umum ke dalam pesantren, ini dikarenakan ketika banyak santri
mengirim surat dengan huruf latin sebagai akibat adanya proses “sekularisasi”
(didirikannya SMP, SMA, dan PGA), sehingga banyak wali murid yang
mulai gelisah. Mereka gelisah karena menganggap anaknya sudah
meninggalkan ciri kepesantrenan.4
Jalan keluar yang bisa diterapkan pesantren terkait dua alasan
keengganan pesantren mengintegrasikan pendidikan umum dalam pendidikan
pesantren, yaitu dengan jalan menunjukkan kenyataan bahwa dalam sistem
pendidikan agama yang paling eksklusif sekalipun, tidak semua siswanya
dapat dicetak menjadi seorang ahli agama atau ulama dan melalui
penyesuaian serta peningkatan cara kerja. Solusi yang tidak pernah
terpikirkan oleh para pemerhati pesantren sebelumnya.
Ketika pesantren dapat diintegrasikan dengan sekolah umum setidaknya
ada manfaat yang dapat di ambil dari program tersebut. Mereka siswa yang
notabene hanya mengikuti sekolah umum setidaknya akan mendapat
pengetahuan agama dari kegiatan ekstra yang diberikan berjenjang sesuai
dengan jenjang sekolah umum yang di lalui. Dan bagi siswa yang ingin
menjadi ulama maka dapat memperlajari ilmu-ilmu agama secara lebih dalam
dengan bentuk pendidikan formal di madrasah dan mengikuti pengajian3
4
Abdurrahman Wahid, Op.Cit., hlm. 51.
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, ( Jakarta : Dian Rakyat, tt), hlm. 30.
75
pengajian yang diberikan. Selain itu juga dengan memberikan kesempatan
kepada calon-calon ulama untuk mengejar cita-cita mereka, selain
memberikan kesempatan kepada para siswa yang belajar di “sekolah umum”
untuk belajar, menurut bakat masing-masing, pesantren dapat membantu
mengisi kurangnya wadah pendidikan formal bagi generasi muda kita.
Dalam sensus kelembagaan pendidikan dasar oleh pemerintah
(Bappenas), Madrasah Ibtidaiyah (MI) secara berdampingan dengan Sekolah
Dasar (SD). Dapat kita perkirakan bahwa harapan akhirnya adalah menuju
pemberdayaan secara optimal lembaga ini untuk membangun sumber daya
manusia Indonesia. Inilah salah satu fakta ilustratif keberadaan dan posisi
madrasah sebagai salah satu wujud etnis budaya Indonesia. Secara teknis
madrasah menggambarkan secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah.
Hanya dalam lingkup kultural, madrasah memiliki konotasi spesifik. Di
lembaga ini anak memperoleh pembelajaran hal ihwal atau seluk-beluk
agama dan keagamaan.5
Secara birokratik, madrasah-madrasah berada dibawah naungan
Kemantrian dan Departemen Agama. Sementara sekolah-sekolah pada
umumnya berada di bawah naungan departemen pendidikan Nasional.6
Madrasah dalam hal ini (MI, MTs, MA) berada dalam naungan pesantren
atau pondok pesantren. Madrasah yang berada dalam naungan pesantren
memberi kesempatan kepada para siswanya (santri) untuk menambah
kekurangan ilmu pengetahuan agama melalui pengajian-pengajian kitab di
5
A. Malik fajar, Holistika pemikiran pendidikan. ( Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2005), hlm. 230.
6
Ibid, hlm. 236.
76
luar jam madrasah dibawah bimbingan para kiai atau ustadz. Dengan tinggal
di pondok pesantren, siswa madrasah dapat memperoleh bimbingan dan
kesempatan menjalankan agama lebih intensif. Demikianlah, realitas
madrasah menampilkan sosok beragam sebagai dampak diverisikasi
pendidikan yang berlangusng di dalamnya.7
Pondok pesantren dapat dibilang merupakan sub sistem pendidikan
nasional, pesantren masuk tercantum pada pasal 30 ayat (4), Undang-Undang
Sistem
Pendidikan
menyatakan,”pendidikan
Nasional
Nomor
keagamaan
20
berbentuk
tahun
2003,
pendidikan
yang
diniyah,
pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis”.8 Ini
berarti pendidikan pondok pesantren saat ini sama dan sejajar dengan
pendidikan formal lainnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila saat
ini pesantren tengah bersentuhan dengan madrasah atau sekolah dari tingkat
sekolah lanjutan pertama hingga perguruan tinggi. Pesantren jenis ini dikenal
dengan sebutan pondok pesantren modern. Dengan kata lain, pondok
pesantren kini telah mengalami perubahan bentuk dari keadaan semula.
Agaknya masuknya sekolah umum ke pesantren bukan hanya menjadi
sebuah solusi namun juga jalan yang baik bagi pesantren, hal ini karena
pesantren salafiyah masuk menjadi penyelenggara Wajib Belajar Pendidikan
Dasar (Wajar Dikdas) 9 tahun. Serta terbitnya SK Menteri Pendidikan
Nasional No.011/2002 yang dijadikan dasar dalam penentuan kelulusan
7
Ibid, hlm. 239.
Direktorat Jendral Pendidikan Islam Depag RI, Undang-Undang Dan Peraturan
Pemerintah RI Tentang Pendidikan,( Depag RI, 2006), hlm. 22.
8
77
pendidikan dasar jenjang SD.9 Maka dengan masuknya sekolah umum ke
pesantren, pesantren tidak perlu membuat sistem sendiri yang begitu rumit
sebagai penyelenggara pendidikan formal untuk dapat menyesuaikan diri
setara dengan SD, SMP, maupun SMA.
Dengan tujuan dari integrasi sekolah umum dalam pendidikan pesantren
diharapkan lulusan pesantren memiliki suatu kepribadian yang utuh dan bulat,
yang menggabungkan dalam dirinya unsur-unsur keimanan yang kuat dan
penguasaan atas pengetahuan secara berimbang.
Sekalipun penting pengintegrasian sekolah umum ke dalam pendidikan
pesantren, namun ada batasan pokok yang tidak boleh dilanggar yaitu tetap
menjadikan ilmu-ilmu agama sebagai pondasi keilmuan pesantren dan
menjadikan ilmu-ilmu umum sebagai penunjang bagi ilmu-ilmu agama.
Dalam pandangan lain Gus Dur juga menilai, pemaduan ini juga
menyebabkan pesantren mengalami krisis identitas. Disatu pihak, pesantren
tetap memiliki watak populisnya, karena elastisnya program individual yang
telah berlangsung selama berabad-abad, minimal dalam pengajaran ekstrakurikuler berbentuk pengajian. Di pihak lain, kecenderungan untuk
menumbuhkan pendidikan berwatak elitis juga berjalan cukup kuat. Krisis
identitas ini akibat kesulitan mendamaikan kedua watak yang saling
bertentangan ini hingga sekarang belum teratasi.
9
M. Sulthon Masyud dan Moh. Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, ( Jakarta :
Dian Pustaka, 2003), hlm.95.
78
2.
Analisa Pengembangan Kurikulum Pesantren
Salah satu komponen pesantren yang harus diperhatikan guna
menghadapi modernisasi adalah kurikulum. Kurikulum memegang peranan
penting guna menentukan arah modernisasi dalam tubuh pesantren.
Kurikulum yang berkembang dalam pesantren masih terbatas dalam
kerangka sistem pendidikan pesantren yaitu menjadikan seorang santri
menjadi ulama atau kyai, disamping itu sistem pengajaran serta
pendidikannya bergantung pada bimbingan pribadi dari kyai serta model
kurikulum yang masih fleksibel. Fleksibel yang dimaksud adalah ketika
seorang santri dapat menentukan sendiri sistem kurikulum yang diinginkan
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Kurikulum di pesantren sudah banyak mengalami perubahanperubahan, menurut Gus Dur kurikulum di pesantren mengalami perubahanperubahan dan perkembangan dalam variasi yang bermacam-macam, akan
tetapi kesemua perkembangan itu tidak terlepas dari
mengambil bentuk
pelestarian watak utama pendidikan pesantren sebagai tempat menggembleng
dan mencetak ahli-ahli agama.10
Esensi yang sesungguhnya kurikulum pendidikan Islam harus
berpusat pada potensi, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya. Kurikulum pendidikan dikembangkan berdasarkan prinsip
bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk dikembangkan potensinya
10
Abdurrahman Wahid, Op.Cit., hlm. 113.
79
supaya menjadi menusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha
Esa.11
Realitas yang ada menunjukkan saat ini lembaga pesantren telah
berkembang secara bervariasi baik dilihat dari segi ini ( kurikulum) dan
bentuk atau manajemen, strukutur organisasinya. Hasan Basri yang di kutip
oleh M. Syulton Mashud menggambarkan lembaga non formal (pesantren) ini
ke dalam lima pola : (1) pesantren hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai;
(2) pesantren terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, atau asrama; (3)
pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, dan madrasah; (4)
pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, rumah
kyai, pondok, madrasah, tempat ketrampilan, universitas, gedung pertemuan,
tempat olah raga dan sekolah umum.
Pesantren pola pertama lebih sederhana, dimana kyai menggunakan
masjid atau rumahnya untuk mengajar, santri datang dari sekitar pondok
dengan metode wetonan, atau sorogan. Latar belakang berdirinya pun pola
pesantren ini biasanya karena inisiatif kyainya pribadi, tetapi sering pula
karena adanya pihak sponsor, yakni tokoh anggota masyarakat yang
mewakafkan tanahnya untuk dimanfaatkan menjadi pesantren. Pesantren pola
kedua, sedikit lebih maju karena dilengkapi dengan pondok atau asrama
untuk mukim para santri yang datang dari tempat lain, dengan metode
pengajaran
yang sama
dengan
pola
pertama.
Pola
ketiga,
mulai
mengkombinasikan sistem salaf dan modern, dengan memakai sistem
11
Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam (Upaya Mengembalikan Esensi Pendidikan di Era
Global),(Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 67.
80
klasikal, dimana para santri dapat dari mereka yang mukim di dalam maupun
mereka yang datang dari rumah masing-masing. Pola keempat merupakan
perkemabangan pola ketiga, di mana disamping menyelenggarakan sistem
madrasah atau klasikal juga menyiapkan latihan ketrampilan yang menunjang
kecakapan hidup (life skill), misalnya : pertanian, peternakan, kerajinan
tangan, bengkel, dan sebagianya. Adapun pola kelima tampil lebih lengkap
dengan evolusi dibandingkan dengan pola-pola sebelumnya, yang mendorong
dilakukannya redefinisi tentang konsep pesantren pertama kali.12
Menurut Gus Dur pola kurikulum yang berkembang di pesantren
memiliki tiga pola berbebda dengan pola yang di tetapkan Hasan Basri di
atas, pola yang di usung oleh Gus Dur lebih simpel. Pertama, Kurikulum
pengajian non sekolah, dimana santri belajar pada beberapa orang kiai/guru
dalam sehari semalamnya. Sistem pendidikan seperti ini, yang dinamai sistem
lingkaran (pengajian halaqah) memberikan kebebasan sepenuhnya kepada
santri untuk membuat kurikulumnya sendiri, dengan jalan menentukan sendiri
pengajian mana yang akan diikutinya.13
Kecakapan yang dimiliki seorang santri yang menggunakan kurikulum
pengajian non sekolah tidak akan teruji kreadibilitasnya, padahal seorang
santri harus memiliki kecapakan setalah belajar di pesantren dalam kurun
waktu tertentu. Misalnya, untuk jenjang dasar (Ibtidaiyah/awaliyah/ula)
adalah kecakapan santri memahami dan menjalankan ajaran agama Islam
untuk peribadinya. Untuk jenjang menengah pertama (tsanawiyah/wustha)
12
13
M. Sulthon Masyud dan Moh. Khusnurdilo, Op.Cit., hlm.74.
Abdurrahman Wahid, Op.Cit., hlm. 113
81
untuk keluarganya kelak. Untuk jenjang menengah keatas (‘aliyah/’ulya)
untuk lingkup komunitasnya. Dan untuk jenjag pesantren luhur (ma’had/’aly)
untuk dapat mengambangkan segi keilmuan agama tertentu.14
Kedua, Kurikulum sekolah tradisional (madrasah salafiyah), dimana
pembelajaran telah diberikan di kelas dan disusun berdasarkan kurikulum
tetap yang berlaku untuk semua santri. Akan tetapi, ini tidak berarti
pendidikannya sendiri telah menjadi klasikal, karena kurikulumnya masih
didasarkan pada penahapan dan penjejangan berdasarkan urut-urutan teks
kuno secara berantai.15 Penahapan dan penjejangan berdasarkan urut-urutan
teks kuno secara berantari mengakibatkan santri yang memahami secara
lambat, cepat membutuhkan layanan khusus, dan yang berhak atas pengayaan
bahan belajar dapat dilayani.16
Ketiga, Pondok modern, dimana kurikulumnya telah bersifat klasikal dan
masing-masing kelompok mata pelajaran agama dan nonagama telah menjadi
bagian integral dari sebuah sistem yang telah dibuat dan berimbang. Akan
tetapi, disini pun mata pelajaran nonagama walaupun telah diakui pentingnya,
masih ditundukkan pada kebutuhan penyebaran ilmu-ilmu agama, sehingga
kelompok adalah mata pelajaran tersebut memiliki perwatakan intelektualistis
dengan tekanan pada penumbuhan ketrampilan skolastis.17
Dalam hal pengembangan kurikulum pesantren, Gus Dur mempunyai
pemikiran yang lebih terstruktur dan barawal dari akar permasalahan yang
14
M. Sulthon Mashyud dan Moh. Khusnurdilo,Op.Cit., hlm. 87.
Abdurrahman Wahid, Op.Cit. hlm. 114.
16
M. Sulthon Masyud dan Moh. Khusnurdilo, Op.Cit, hlm. 89
17
Ibid., hlm.114.
15
82
mengharuskan adanya pengembangan atau inovasi kurikukum pesantren.
Pembaharuan Kurikulum Pesantren dalam Prespektif Abdurrahman Wahid
Berlandaskan adagium yang dipakai oleh Nahdlatul Ulama yaitu “Tetap
menggunakan hal-hal yang lama yang baik, dan hanya menggunakan hal-hal
baru yang lebih baik”.18
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kalimat tersebut mempunyai
arahan untuk melakukan pembaharuan dari berbagai aspek. Melihat gejala
sosial yang tumbuh di masyarakat sekarang menuntut semua pihak dalam
pesantren untuk memperbarui segala komponen yang berkaitan dengan
pendidikan yang ada di pesantren tersebut, sehingga keberadaan pesantren
dapat berperan sebagai pusat pengembangan masyarakat atau melakukan
modernisasi. Maka pesantren pada saat ini harus bisa menjadi lembaga
pendidikan yang mendidik manusia untuk bisa menjalani kehidupan dalam
arti yang sesungguhnya.
Menurutnya, untuk menganalisa hal tersebut harus difahami dahulu nilainilai dasar yang terdapat di pesantren. Sistem nilai di pesantren mendukung
sikap hidup yang tersendiri dan mempunyai pengaruh yang besar bagi
perkembangan kurikulum pendidikannya. Salah satu sistem nilai yang
berkembang di pesantren adalah ilmu-ilmu agama di pesantren difahami dan
dipandang sebagai sarwa ibadah, dan dari pandangan itulah supremasi mutlak
ilmu-ilmu agama ditegakkan, termasuk di dalamnya sistem pewarisan
pengetahuan dengan transmisi oral. Apa yang dikemukakan Gus Dur tidaklah
18
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat (Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantra, 2007), hlm.129.
83
sama dengan apa yang dikemukakan oleh M. Sulthon dan Moh, Khusnuridho
yang mengatakan bahwa pengembangan kurikulum pesantren dasarnya tidak
dapat
dilepaskan
dari
visi
pembangunan
nasional
yang
berupaya
menyelamatkan dan memperbaiki kehidupan nasional yang tertera dalam
Garis-garis Besar Haluan Nageri.19
Namun dalam pemikiran selanjutnya dapat dilihat bahwa Gus Dur
menginginkan
pembaharuan
kurikulum
pesantren
diharapkan
dapat
mensinergikan antara pendidikan umum dan agama, dengan menghilangkan
dikotomis diantara keduanya. Dengan catatan penguasaan ilmu agama harus
diberi porsi yang lebih besar dalam kurikulum pesantren tersebut. Porsi besar
tersebut diberikan dalam ukuran besar secara kualitatif bukan dalam segi
kuantitatif.
Model pengembangan kurikulum pesantren ini dapat dilihat dari empat
aspek, yaitu: tujuan pendidikan, bahan pembelajaran, proses pembelajaran,
dan penilaian.
Dari aspek tujuan pendidikan, memperlihatkan adanya kesamaan misi
dan visi yang diusung oleh Gus Dur dan beberapa pemerhati pesantren, yaitu
pembentukan insan kamil. Dalam aplikasinya, kurikulum tersebut diterapkan
di pesantren modern, yang memadukan antara ilmu umum dengan ilmu
agama serta bahan pembelajarannya mengembangkan spesialisasi pesantren
dengan disiplin ilmu pengetahuan lain yang bersifat praktis yang melalui jalur
aplikasi teknologi sehingga kurikulumnya tidak terlalu bersifat akademik.
19
M. Sulthon Masyud dan Moh Khusnurdilo, Op,Cit., hlm. 73
84
Dan juga mengembangkan kurikulum dengan pendekatan multidisipliner
dalam pengembangan kurikulum yang relevan dengan dengan penyediaan
angkatan kerja bagi pesantren, yang berupa jenis-jenis pengajaran, media
kegiatan antara aspek kurikuler dan nonkurikuler serta dalam penyediaan
sumber-sumber pengetahuan yang digunakan. Terakhir, dalam sistem
penilaian dengan mengembangkan sistem penilaian yang komprehensif, baik
yang menyangkut domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dalam kenyataannya, pemikiran Gus Dur dalam pengembangan
kurikulum pesantren ini tidaklah mencakup seluruh empat aspek yang
disebutkan diatas, tetapi beliau menawarkan suatu alternatif dalam
pengembangan kurikulum di pesantren, yaitu yang pertama merubah
madrasah menjadi madrasah negeri yang pada tahun-tahun ini sudah mulai di
banyak berdiri di daerah-daerah, pendidikan nonagama mengikuti pendidikan
nonagama yang ada di sekolah umum. Yang kedua adalah pemberian
program bimbingan atau penyuluhan, seorang santri dididik bersama
masyarakat luas, bisa bersama petani, nelayan ataupun yang lain dengan
mendatangkan pemateri ahli sehingga pesantren menjadi sebuah fasilitator
penyuluhuan disamping santrinya juga mengikuti penyuluhan tersebut. Yang
ketiga yaitu program ketrampilan, program ini agaknya yang lebih cocok
dilaksanakan dikarenakan dengan pemberian ketrampilan baik secara sekuler
di madrasah ataupun ektrakulikuler dapat memberikan sedikit bekal bagi para
santri sehingga jika masyarakat membutuhkan jasa dapat di atasi langsung
oleh santri di sekitar masayarakat tersebut. Yang keempat adalah program
85
pengembangan masyarakat oleh pesantren, dan program sekolah umum. yang
pada akhirnya bila program-program tersebut berhasil akan memberikan
dampak yang sangat besar bagi santri maupun bagi masyarakat.
Namun dalam upaya adalah memasukkan nilai-nilai kerampilan dalam
dunia pendidikan Islam. Bisa jadi bukanlah sesuatu yang buruk, namun
kegunaannya menurun bila ada kecenderungan untuk melakukan meniru dan
melakukan sesuatu yang dimiliki oleh kemampuan yang ada di luar ruh
pendidikan Islam. Dengan demikian, hal tersebut hanya menghasilkan
manusia – manusia yang seperti robot, tanpa adanya analisis yang tajam
terhadap permasalahan yang dihadapi. Kita pun melihat suatu perubahan di
Pesantren Darul Falah, Bogor. Di sana, pelajaran agama sangatlah minim,
tetapi pesantren tersebut melatih ketrampilan pertanian, peternakan, dan lainlain. Sebenarnya hampir bisa dikatakan hal tersebut bukanlah yang penting,
melainkan merupakan arti sebuah penyadaran arti agama yang jauh lebih
penting.20
Yang terpenting ialah pada mereka ditanam kesadaran dan keinginan
mengubah kehidupan masyarakat melalui penciptaan etos kerja berdasarkan
suatu pandangan agama di bidang pertanian misalnya. Dan itu tidaklah
menjadi soal. Ia bukanlah suatu yang buruk. Asal saja memang ada
kerangkanya. Di sinilah letak kelemahan program keterampilan yang
diadakan departemen agama. Tidak diciptakan kerangkanya, sepanjang yang
saya dengar hanya untuk menumbuhkan sifat ketrampilan di kalangan santri,
20
Faisol, Op.Cit, hlm.123
86
agar santri bisa mencari makanya sendiri. Akan tetapi yang lebih dibutuhkan
ialah kerangka yang mampu menumbuhkan sikap jiwanya. Sebab kalau hanya
ketrampilan yang diajarkan tanpa dibilang mengapa dan apa gunanya,
hasilnya seperti yang disaksikan sekarang. Banyak pesantren yang menolak
pendidikan ketrampilan dari departemen agama. Ini suatu kenyataan yang
harus diakui. Program semacam ini hanyalah diterima oleh pesantren yang
kecil saja sedangkan pesantren dan berpengaruh menolaknya. Kalaupun
mereka menerimanya, hanyalah sebagai hiasan bibir belaka. Dan tidak ada
yang menerima secara terbuka dan menjadikannya suatu program, karena
memang tidak ada kerangkanya. Dan karena itu orang tidak merasakan
komitmen kepada suatu tujuan.21
Kurikulum pesantren menurut Nurcholis Madjid merupakan bahwa segi
kurikulum adalah segi yang paling penting daripada yang lainnya, akan tetapi
harus dirubah karena tidak ada kecocokan dengan dunia luar, ini dapat terlihat
dari beberapa segi. Yang pertama dari segi agama, yang masuk dalam
pelajaran agama biasanya apa saja (yang untuk mudahnya) “ tertulis dan
mengandung unsure bahasa Arab”. Fiqh merupakan segi yang paling utama.
Kemudian menyusul aqaid. Sedangkan tasawuf, salah satu dari trio ilmu-ilmu
Islam, hanya merupakan anjuran yang lemah dan menjadi hak istimewa
orang-orang tertentu. Yang kedua nahwu-sharaf, adalah hal aneh bahwa
pelajaran gramatika bahasa (Arab) cenderung untuk dimasukkan ke dalam
ilmu agama. Nahwu-sharaf menempati kedudukan penting sekali, sehingga
21
hlm. 115.
KH. Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, ( Yogyakarta : Lkis , 1999),
87
menuntut waktu dan tenaga yang sangat banyak (ingat: menghafal sya’irsya’ir Awamil, Imriti, dan Alfiyah ). Mungkin nahwu-sharaf ini memang
penting sebagai “alat ilmu” mempelajari agama yang tertulis dalam kitabkitab berbahasa Arab, tetapi di pesantren-pesantren keadaannya sudah tidak
proporsional lagi dan kurang relavan.22
Yang selanjutnya adalah pengetahuan umum : barangkali sekarang ini
praktis semua pesantren mengajarkan ilmu-pengetahuan umum. Tetapi
tampaknya dilaksanakan secara setengah-tengah, sekedar memenuhi syarat
atau agar tidak dinamakan kolot saja. Sehingga kemampuan santri pun
biasanya sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan umum. Yang
terakhir adalah sistem pengajaran : sistem yang biasanya dipakai dalam
pesantren itu terkenal tidak efisien. Ini disebabkan caranya yang unik dan
memang khas pesantren. Sistem pengajaran penjenjangan (graduation) yang
tidak sistematis (sering terjadi pengulangan), pemilihan kitab yang kurang
relavan, cara membaca kitab dengan terjemah harfiah (kata demi kata) dan
seterusnya.23
Untuk mengembangkan kurikulum tidak bisa secara serampangan hal ini
harus sesuai dengan rambu-rambu penyusunan kurikulum pendidikan islam
yang dirumuskan Omar Mohammad at-Taoumy Asy-Syaibany ke dalam tujuh
prinsip berikut :
a. Prinsip pertautan dengan agama ; yaitu semua hal yang berkaitan dengan
kurikulum, termasuk tujuan, kandungan, metode dan lain-lain, yang
22
23
Nurcholis Madjid, Op.Cit., hlm. 100.
Ibid., hlm. 101.
88
berlaku dalam proses pendidikan Islam, selalu berdasarkan pada ajaran dan
akhlak Islam.
b. Prinsip Universal ; yaitu tujuan dan kandungan kurikulum pendidikan
islam harus meliputi segala aspek yang bermanfaat, baik bagi peserta
didik, seperti pembinaan akidah, akal, jasmani, maupun bagi masyarakat,
seperti perkembangan spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi , politik dan
lain-lain.
c. Prinsip kesemibangan di dalam tujuan kurikulum dengan kandungannya.
Kurikulum pendidikan islam yang berdasar pada filasafat dan ajaran Islam
senantiasa menekankan pentingnya kehidupan dunia dan akhirat secara
seimbang.
d. Prinsip keterhubungan kurikulum dengan bakat, minat, kemampuan dan
kebutuhan peserta didik, serta dengan lingkungan sosial menjadi tempat
berinteraksi peserta didik. Dengan prinsip ini, kurikulum pendidikan islam
bermaksud memelihara keaslian peserta didik yang dapat disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat.
e. Prinsip memperhatikan perbedaan individu agar kurikulum pendidikan
islam memiliki relevansi dengan kebutuhan dan masyarakatnya.
f. Prinsip perkembangan dan perubahan ; yaitu kurikulum pendidikan islam
selalu sejalan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum ke arah yang
memiliki nilai maslahat bagi masyarakat merupakan suatu keharusan.
89
g. Prinsip pertautan antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman, dan
aktivitas pendidikan yang terkandung dalam kurikulum. Pertautan ini
menjadi penting agar kurikulum pendidikan islam senantiasa mengikuti
perkembangan zaman, yang selaras dengan kebutuhan peserta didik dan
masyarakatnya.24
Jelaslah dari tinjauan di atas bahwa beberapa pedoman harus senantiasa
diingat dalam merencanakan sebuah kurikulum bagi pesantren, yang
memenuhi tuntutan dan kebutuhan penyediaan angkatan kerja di era modern
ini. Pertama-tama haruslah diingat bahwa terdapat kesulitan untuk membuat
pesantren menerima kurikulum yang bertentangan dengan tujuan penyebaran
agama dan fungsi transformasi kultural yang dimilki pesantren.
Penyediaan tenaga yang trampil dan terlatih untuk berbagai jenis profesi
haruslah dilakukan dalam sebuah program yang memiliki hubungan dengan
tujuan dan fungsi pesantren sebagaimana dipahami oleh warga pesantren
selama ini.
3.
Analisa Pengembangan Kepemimpinan
Kepemimpinan
dalam
suatu
lembaga
tidak
dapat
dielakkan
keberadaannya. Begitu pula dengan pesantren memerlukan adanya seorang
pemimpin dalam rangka sebagai nahkoda mengarungi perjalanannya dari
masa ke masa. Dalam struktur pesantren, kiai merupakan pemegang tapuk
kepemimpinan tertinggi, hal ini dapat dimaklumi karena kiai merupakan
24
98.
M. Dian Nafi’ dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren, ( Yogyakarta : Lkis, 2007), hlm.
90
pendiri sekaligus pemilik dari pesantren yang dipimpinnya. Dengan
demikian, kedudukan kiai dalam pesantren menduduki kedudukan ganda:
sebagai pengasuh sekaligus pemilik pesantren. Secara kultural kedudukan ini
sama dengan kedudukan bangsawan feodal yang biasa dikenal dengan istilah
kanjeng di pulau Jawa.
Selama ini kepemimpinan kiai dalam pesantren pada umumnya
bercorak alami. Hal ini ditunjukkan dengan belum adanya bentuk yang
teratur dan tetap dalam suksesi kepemimpinan dalam pesantren. Dengan
kata lain bahwa kepemimpinan kiai dalam pesantren selama ini
berdasarkan kharisma. Sehingga ditemukan banyak kekurangan dan
kelemahan dalam kepemimpinan kiai seperti ini.25
Pemimpin yang hanya mengandalkan kharisma saja pada akhirnya
akan mengalami kemunduran. Sifat yang demikian ini memiliki banyak
kerugian. Menurut Gus Dur ada empat kerugian yang akan terjadi :
1. Munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren yang
bersangkutan dikarenakan semua hal tergantung pada keputusan
pribadi sang pemimpin.
2. Munculnya watak pasif yang dimiliki pesantren dalam pengembangan
dirinya, sehingga hanya menggantungkan ajakan dari luar, dan itupun
terkadang dilakukan tanpa pengertian penuh akan maksud dan tujuan
ajakan dari luar.
25
Abdurrahman Wahid, Mengerakkan Tradisi…, hlm. 133
91
3. Pola pergantian pemimpin yang tiba-tiba dan tidak direncanakan
sehingga
lebih
banyak
ditandai
sebab-sebab
alami,
seperti
meninggalnya sang pemimpin secara mendadak.
4. Terjadinya pembaharuan dalam tingkat-tingkat kepememimpinan
pesantren, antara tingkat lokal, regional maupun nasional.26
Nurcholis Madjid berpendapat berbeda tentang kepempinan pesantren
yang mempunyai karisma, menurutnya kenyataan bahwa pola kepemimpinan
seorang kiai adalah pola kempimpinan karismatik sudah cukup menunjukkam
segi tidak demokratisnya, sebab tidak rasional. Apalagi jika disertai dengan
tindakan-tindakan yang secara sadar maupun tidak bertujuan memlihara
karisma itu, seperti prinsip “keep distance” atau “ keep aloof” (jaga jarak dan
ketinggian) dari para santri, maka pola kepemimpinan itu benar-benar akan
kehilangan kualitas demokratisnya.27
Pada
akhirnya
hal
yang
dapat
ditawarkan
sebagai
wacana
kepemimpinan yang baik yaitu kepemimpinan yang bersifat kolektif dalam
pesantren, yakni dengan membentuk suatu yayasan, dimana dilakukan
pembagian tugas secara proposional sesuai dengan keahliannya dan tugas
masing-masing yang memilki kaitan hirarkis dan fungsional sehingga
membentuk mekanisme sistemik. Gagasan inilah yang tidak disampaikan oleh
Gus Dur dalam masalah kepemimpinan dalam pesantren ini.
Pesantren mempunyai dictum yang sudah lama dikenal dan dijadikan
sebagai acuan bagi pengembangan pesantren yaitu : “Melestarikan nilai-nilai
26
27
Ibid, hlm.135.
Nurcholis Madjid, Op.Cit. hlm. 103.
92
lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.” Dengan
adanya dictum tersebut diharapkan adanya pola kepemimpinan yang lebih
direncanakan dan dipersiapkan sebelumnya. Dengan kata lain dapat
disimpulkan bahwa dikehendaki adanya kepemimpinan
yang dinamis di
pesantren yang mampu membuat gebrakan di tingkat lokal, regional dan
nasional, serta miliki kepemimpinan yang relavan dengan kebutuhan sekarang
dan masa depan, harus pula mampu memahami kebutuhan akan integrasi
pesantren ke dalam pendidikan nasional. 28
Sebagaimana yang disebutkan oleh M. Sulthon dan Moh. Khusnurdilo
bahwa salah satu bentuk kepemimpinan adalah kepemimpinan yang strategik,
strategik dalam hal ini adalah kemampuan seorang pemimpin menetapkan
isu-isu strategs. Pada tataran ini, pengasuh pesantren aktif menyimak
perkembangan
global
sehingga
mampu
mengidentifikasi
kekuatan,
kelemahan, peluang, dan atau ancaman yang mungkin muncul.29
Dengan demikian, apa yang diharapkan Gus Dur dengan adanya
perubahan
dalam
tubuh
pesantren
tertutama
dalam
pendidikannya
memberikan sebuah pengharapan sekaligus tantangan bagi pesantren untuk
mempersiapkan di dalam mengarungi era modern ini dengan menunjukkan
eksistensinya.
Dalam pemikiran Abdurrahman Wahid, pesantren bukan saja harus
mampu tampil sebagai agen perubahan kebudayaan (cultural broker) bagi
masyarakat sekitar. Sesuatu yang sebenarnya bisa dilaksanakan dengan baik
28
29
Ibid, hlm. 141.
M. Sulthon dan Moh. Khusnurdilo., Op.Cit. hlm. 30.
93
karena pesantren memiliki sistem nilai yang ditransmisikan secara turuntemurun baik kepada santri maupun masyarakat di sekitar pesantren. Namun,
di sisi lain, pesantren juga harus mampu menyerap perubahan-perubahan
kultural yang sedang dan akan berkembang di masyarakat, tanpa harus
kehilangan tata nilai yang telah dimiliki selama ini.30
Kepemimpinan pesantren yang cenderung bercorak tradisional, dalam
banyak hal menggunakan keunggulan karisma kyainya, sehingga dikatakan
oleh sebagian pengamat sebagai feodalistik melalui relasi semacam patronclient, namun, melalui basis kitab kuningnya, kita pun menyaksikan betapa
pesantren menampakkan kemandiriannya (high-independence) yang luar
biasa dalam relasi sosial yang lebih luas dengan pihak luar, melebihi lembaga
yang mengklaim dirinya independen sekalipun.31
Kepemimpinan kyai di pesantren sangat berbeda pola dan coraknya, hal
ini oleh Abdurrahman Wahid dicirikan sama seperti kepemimpinan
pramodern, sebagaimana hubungan antara pemimpin dan pengikut. Konsep
barakah merupakan ciri pembeda yang ada dalam pola kepemimpinan di
pesantren. Konsep barakah oleh Abdurrahman Wahid, dinyatakan sebagai hal
yang sangat mendasari pada terbentuknya pola kepemimpinan tersebut,
merupakan wujud dari pandangan di lingkungan pesantren bahwa semua hal
dalam kehidupan ini harus dilandasi pada peribadatan dan pengabdian kepada
30
Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur Dan Amin Rais Tentang Demokrasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm.125
31
Marzuki Wahid, Metamorfosis Pesantren: Pergulatan Tradisi Pesantren, Kebudayaan
Lokal Dan Politik Kekuasaan Dalam Ideologi Pendidikan Pesantren, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra,2007), hlm.129
94
Allah dan Rasul-Nya. Dan ketundukan yang mutlak dari seorang santri
kepada kyainya merupakan wujud peribadatan tersebut.
Dalam pendidikan, kepemimpinan kyai di pesantren menjadi faktor
yang sangat penting, yaitu pelestarian tradisi Islam, dimana ulama’ berperan
sebagai penjaga ilmu-ilmu agama. Peran ini tidak bisa dilimpahkan kepada
anggota masyarakat lain, karena berhubungan dengan doktrin “ulama’ adalah
pewaris para nabi” sebagaimana tercantum dalam sebuah hadist.32
Kepemimpinan pesantren adalah suatu lembaga yang turun-temurun
atau modelnya hierarkis. Karena itu sulit untuk diadakan perpindahan yang
wajar secara teratur baik dan pembinaan calon penggantinya. Inilah yang
harus dipecahkan. Dan cara pemecahannya adalah komunikasi yang lebih
efektif antara calon pemimpin pesantren. Bilamana mereka yang tua telah
mapan dan sulit berubah, maka hal semacam itu haruslah lebih dituntut dari
mereka yang lebih muda. Dari mereka yang lebih muda diminta suatu
pemikiran dalam konteks makro, yaitu memikirkan pesantren secara
keseluruhan dan bukannya pesantrennya sendiri saja.33
Pola kepemimpinan di pesantren membentuk formulasi yang unik yang
berbeda dengan kepemimpinan yang ada di luar lingkungan pesantren, pola
ini mengambil bentuknya sendiri dari sistem tata nilai yang ada di dalamnya
yang berakar pada penggunaan literatur-literatur kuno yang termanifestasi
pada moral keagamaan yang berkembang di pesantren.
32
33
116.
Wahid,. Op. Cit., hlm. 173
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gusdur, ( Yogyakarta : LKiS, 1999), hlm.
95
Pola kepemimpinan karismatik yang menurut paradigma kepemimpinan
modern sudah tidak layak untuk diterapkan pada era modern sekarang ini,
oleh Abdurrahman Wahid telah dicarikan solusinya yaitu dengan jalan
mengadakan pelatihan kepemimpinan di lembaga-lembaga pesantren,
sehingga kelemahan yang terjadi pada pesantren selama ini, dengan sukarnya
mereka mencari pengganti pemimpin (kyai pengasuh) sudah terantisipasi
sejak awal. Pada akhirnya keberlangsungan pendidikan pesantren akan terus
terjaga dengan adanya pimpinan baru yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Walaupun
demikian,
kepemimpinan
model
karismatik,
menurut
Abdurrahman Wahid masih tetap dibutuhkan di dalam masyarakat yang
masih tradisional seperti di Indonesia ini.
Kedudukan kyai atau ulama’ yang oleh Geertz diakui memiliki
kedudukan sebagai perantara budaya “cultural brokers” yang dianggapnya
lebih banyak memiliki watak kepemimpinan yang sifatnya transisional,
dimana para kyai itu berdiri diantara “elite yang berwatak hidup kekotaan”
(very urbanized elite) dan “kelompok petani tradisional di pedesaan” (very
traditional peasantry). Dalam menerjemahkan aspirasi “budaya-kota” (urban
culture) yang mulai merembes ke pedesaan, para kyai “diharuskan” untuk
dapat mencari dasar-dasar hukumnya yang seringkali merupakan hasil
pemahaman baru terhadap ajaran-ajaran agama yang ada.34
Berbeda dengan “ulama” yang biasanya menekankan otoritas, para
pemikir Islam bisa dibilang adalah termasuk golongan “pemberontak”.
34
Ibid., hlm. 76.
96
Mereka, dengan kegelisahan intelektualnya, selalu mempertanyakan mengapa
Islam yang normatif dan skriptural tidak lagi mengalirkan pesannya yang
mendasar dalam zaman baru. Orang-orang seperti ini (sebagai anak
zamannya), sesungguhnya memiliki kreativias sejarah, yang dapat melakukan
transformasi dan transendensi dalam memajukan peradaban. Oleh karena
pada dasarnya, mereka itu adalah orang yang hidup dalam iman dan
pikirannya yang selalu berjuang melawan formalisme dan strukturalisme
keberagaman. “Formalisme” ialah suatu bentuk penghayatan agama yang
menempatkan iman hanya sebagai rutinitas ritual. Sementara itu, penekanan
“strukturalisme” Islam yang mensucikan tradisi telah mematikan ruh
pencarian ijtihad untuk menghidupkan inovasi, kreativitas, dan perubahan.35
Jika dilihat dari pandangan Muslim Abdurrahman di atas, sosok
Abdurrahman Wahid merupakan gabungan antara ulama dan pemikir.
Kepemimpinan
pesantren secara kukuh masih terpola dengan
kepemimpinan yang sentralistik dan hierarkis yang berpusat pada satu orang
kyai. Ihwal pendirian pesantren memang mempunyai sejarah yang unik.
Berdirinya pesantren biasanya atas usaha pribadi kyai. Maka dalam
perkembangan selanjutnya dia menjadi figur pesantren. Pola semacam ini tak
pelak mengimplikasikan sistem manajemen yang otoritarianistik. Pembaruan
menjadi hal yang sangat sulit dilakukan karena sangat bergantung pada sikap
sang kyai. Pola seperti ini pun akan berdampak kurang prospektif bagi
35
Muslim Abdurrahman, Setangkai Pemikiran Islam, Dalam Islam Pribumi;
Mendialogkan Agama Membaca Realitas, (Jakarta: penerbit erlangga,2003), hlm. Vii.
97
kesinambungan pesantren di masa depan banyak pesantren yang sebelumnya
populer tiba-tiba “hilang” begitu saja karena sang kyai meninggal.36
Dalam rangka mencapai visi dan misi pesantren yang agung, patut
kiranya para pemimpin pesantren mempertimbangkan beberapa saran berikut
yaitu :
a. Mengadaptasikan kurikulum untuk memenuhi tuntutan kebutuhan belajar
santri;
mendayagunakan
otoritas
pesantren
yang
besar
untuk
memanfaatkan sumber pendidikan secara kreatif; dan selalu menempatkan
guru dan staf dalam team work yang solid untuk menjalankan misi
pesantren.
b. Memahami pola manajemen pesantren secara tepat dalam rangka meraih
peluang memenangkan persaingan global.
c. Selalu aktif mengadaptasi model-model manajemen pendidikan yang
cocok untuk mengembangkan program pesantren.
d. Melaksanakan pengembangan mutu guru berdasarkan rencana yang jelas.
e. Melaksanakan pengembangan program bagi, wali santri dan murid secara
serempak sesuai dengan kultur pesantren salafiyah.
f. Mengembangkan kualitas guru melalui kerjasama dengan instansi terkait
(Depdiknas, Depag, LSM, dan sebagainya).37
Respon pesantren terhadap laju modernisasi tidak dapat dilepaskan
dari peran sentral kiai sebagai pemimpin sekaligus penggerak dan pemegang
kendali atas kelangsungan pesantren. Dalam merespon modernisasi yang
36
37
A. Malik fajar,Op.Cit., hlm. 222.
M. Sulthon Masyud, Op.Cit , hlm. 41.
98
melanda, setidaknya terdapat tiga tipologi kiai, yaitu: Pertama, tipologi
apologi, yaitu mengikuti dengan upaya penyesuaian diri dan adaptasi
terhadap proses modernisasi. Sebagian mereka telah mengambil nilai-nilai
Barat, baik disertai dengan adanya konflik batin maupun tidak sama sekali.
Kedua, tipologi resistensi, yaitu menganggap modernisasi sama dengan
westernisasi dan sekulerisasi. Akan tetapi, sebagian mereka melakukan
resistensi sebatas pada tataran formal saja, sebab dalam realitas sehari-hari
mereka juga menerima nilai-nilai Barat. Ketiga, tipologi tanggapan yang
kreatif, yakni menempuh model dialogis dengan mengedepankan pendekatan
intelektual dalam menanggapi modernisasi. Penganut pola ini memiliki
keyakinan bahwa nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama dapat digali lebih jauh
dan diinterpretasikan kembali untuk bisa memberikan respon yang cerdas dan
kreatif dalam menghadapi gempuran modernisasi.38
Secara apologetic sering dibanggakan bahwa kepemimpinan atau pola
pemimpin dalam pesantren adalah demokratis, ikhlas, sukarela, dan
seterusnya. Mungkin jika dibandingkan dengan pola pemimpin di sekolahsekolah Hindia Belanda anggapan ini memang benar. Tetapi bila diukur
dengan perkembangan zaman keadaannya menjadi lain, klise-klise itu perlu
dipertanyakan lagi kebenarannya. Banyak criteria yang dijadikan tolak-ukur
bagi seorang pimpinan pesantren :
a. Personal : karena kepemimpinan kiai adalah karismatik maka dengan
sendirinya juga bersifat pribadi atau personal. Karena kenyataan itu
38
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai Kontruksi Sosial Berbasis Agama, (Yogyakarta
: LKiS, 2007), hlm. 63.
99
mengandung implikasi bahwa seorang kiai tak mungkin digantikan oleh
orang lain serta sulit ditundukkan kebawah “rule of the game”-nya
administrasi dan managemen modern.
b. Religio-feodalisme : seorang kiai selain menjadi pemimpin agama
sekaligus merupakan “traditional mobility” dalam adalah masyarakat
feodal.
Dan
feodalisme
yang berhubungan
keagamaan
ini
bila
disalahgunakan jauh lebih berbahaya daripada feodalisme biasa. Kiai lebih
mampu mengerahkan masa dari pada pemimpin feodal biasa, apalagi
banyak kiai yang sekaligus juga membanggakan dirinya sebagai
bangsawan. Seorang kiai memiliki “inertia” terhadap gejala-gejala
perubahan sosial. Ini disebabkan oleh kecenderungan bawah sadar untuk
tetap mempertahankan kedudukannya yang menguntungkan itu.
c. Kecakapan teknis : karena dasar kepemimpinan dalam pesantren adalah
seperti diterangkan di atas, maka dengan sendirinya faktor kecakapan
teknis menjadi tidak begitu penting. Dan kekurangan ini menjadi salah
satu sebab pokok tertinggalnya pesantren dari perkembangn zaman.39
39
Nurcholis Madjid, Op.Cit., hlm. 103.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis
dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagaimana berikut:
Modernisasi pondok pesantren menurut KH. Abdurrahman Wahid
merupakan proses mengembangkan nilai-nilai positif yang sudah ada selain
itu mengganti nilai lama dengan nilai yang baru yang lebih baik dan
sempurna. Dalam pesantren mencakup tiga hal :
1. Integrasi sekolah umum ke dalam pesantren, bahwa mengingat tidak
semua mayoritas warga pesantren (santri) belajar di madrasah sehingga
akan diserap ke sekolah umum, dan juga mereka yang berada di antara dua
pilihan apakah sekolah umum atau belajar agama di pesantren akan
terdorong masuk sekaligus dua-duanya yaitu masuk pesantren dan sekolah
umum yang berada di lingkungan pesantren.
2. Mengembangkan kuriukulum dalam pesantren, bahwa pesantren tidak saja
diapersepsikan sebagai lembaga yang mencetak ulama/kiai saja akan tetapi
harus pula memenuhi tuntutan dan kebutuhan penyediaan lapangan
pekerjaan. Hal ini dilakukan dengan menselaraskan tujuan dan fungsi
pesantren dengan beberapa percobaan yaitu, madrasah negeri, program
ketrampilan, program penyuluhan dan bimbingan, program sekolah
100
101
nonagama, program pengembangan masyarakat sebagai solusi memenuhi
tuntutan zaman.
3. Mengembangkan kepemimpinan dalam pesantren, bahwa pesantren
memiliki kepemimpinan karakteristik yang khas yaitu pemimpin yang
kharismatik namun masih belum memiliki bentuk yang teratur dan
menetap sehingga terjadi penurunan kualitas kepemimpinan. Sedangkan
pemimpin harus mampu merespon perkambangan dunia pendidikan yang
semakin berkembang, maka pengembangan kepemiminan harus dilakukan
demi tercapai kepemimpinan yang relevan dengan kebutuhan sekarang dan
masa depan serta yang mampu memahami kebutuhan integrasi pesantren
dalan pendidikan nasional.
B. Saran – Saran
1. Walaupun
sudah
banyak
pesantren
yang
melaksanakan
gagasan
modernisasi pesantren seperti membuka sekolah umum bahkan sekolah
formal, masih belum membuka mata hati masyarakat secara keseluruhan
bahwa dalam akar tradisi pesantren telah berkembang sebuah watak
pemikiran yang terbuka baik terhadap pemikiran dan pendapat orang
maupun menerima dan mau menyerap teori-teori dari luar. Namun, watak
serapan tersebut seringkali dikalahkan oleh dominasi formal yang
membuat pesantren terjebak dalam pusaran dogmatisme yang membuat
mereka tidak mau berkembang dan tertutup. Oleh karena itu, merupakan
sebuah harapan besar hasil kajian ini dapat\ditindak lanjuti dalam forum
diskusi atau forum lain yang lebih mendalam untuk kemudian secara
102
dinamis dapat menemukan konsep baru kepesantrenan yang lebih inklusif
dan berwatak humanis.
2. Modernisasi yang dikembangkan di Barat sangat tidak sesuai dan tidak
cocok bila diterapkan di pesantren. Pesantren harus tetap memegang teguh
tradisinya, namun bukan berarti pesantren tidak peduli dengan perubahan,
tetapi bagaimana melakukan penyesuaian yang tidak mengorbankan esensi
dari pesantren, dengan berpedoman kaidah “Melestarikan nilai-nilai lama
yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.”
3. Penulis masih banyak menemukan kekurangan dalam penelitian ini,
diantaranya adalah pemikiran Gus Dur terkait bagaimana sistem
kepemimpinan yang benar serta proses pembentukan kepemimpinan yang
ideal dan juga rekontruksi kurikulum pesantren dalam menghadapi era
global ini. Meskipun secara sekilas telah penulis bahas dalam penelitian
ini, tetapi masih dalam kerangka yang sangat dangkal. Oleh karana itu
diharapkan bagi peneliti berikutnya untuk melakukan penelitian lebih
mendalam lagi dalam kajian tersebut.
C. Penutup
Dengan segala kerendahan hati penulis tidak henti-hentinya selalu
memanjatkan segala puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha
Berkehendak lagi Maha Mengetahui Segala Sesuatu. Tidak lupa, Shalawat
dan Salam selalu berkumandang dan tercurah ke pangkuan baginda
nabiyyuna wa habibuna Muhammad SAW sebagai the best teacher suri
tauladan yang baik (uswatun hasanah) bagi manusia, sang inspirator bagi
103
seluruh umat yang ada dimuka bumi ini. Dan tidak lupa penulis memohon
beribu terimakasih kepada semua pihak yang dengan keikhlasn serta
ketulusannya membantu skripsi ini dari awal proses pengerjaan hingga
terselesaikan baik material maupun spiritual.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnan,
karena masih banyak kekurangan di dalamnya. Hal ini tak lain adalah karena
keterbatasan penulis sendiri. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka untuk
menerima kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah , Irwan, Muhammad Zain dan Hasse J Eds,Agama, Pendidikan Islam
Dan Tanggungjawab Sosial Pesantren, Yogyakarta : Sekolah Pascasarjana
UGM Bekerja Sama Dengan Pustaka Pelajar, 2008.
Abdullah, Taufiq, Sejarah Dan Masyarakat, Jakarta : Bulan Bintang,1986,
Cet.Ke-1.
Abdurrahman ,Muslim, Setangkai Pemikiran Islam, Dalam Islam Pribumi;
Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003.
Ali , Muhammad, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta : Pustaka Ilmu, Tt.
Haedari , Amin Dan Hanif , Abdullah, Eds., Masa Depan Pesantren Dalam
Tantangan Modernitas Dan Tantangankomplesitas Modern, Jakarta : IRD
Press, 2004.
Arifin , Imron, Kepemimpinan Kiai Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, Malang
: Kalimasada Press, 1993.
Asmuni , Yusran, Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam
Dunia Islam Dirasah Islamiyah, Ed.I , Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
1996, Cet.II
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam : Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1993
__________, Surau Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi Dan
Modernisasi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003, Cet. Ke- 1.
Barton , Greg, Terjemahan Biografi Gus Dur The Authorized Biography Of
ABDURRAHMAN WAHID, Yogyakarta : Lkis , 2003.
Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis Dan
Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi Ed,Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010.
Dahlan, Moh, Paradigma Ushul Fiqh Multikultural Gus Dur, Yogyakarta :
Kaukaba Dipantara, 2013
Dahri , Harpandi, Modernisasi Pesantren, Jakarta : Balai Penelitian Dan
Pengembangan Agama, Tt,Hlm.73.
Departemen Agama Republik Indonesia, Pondok Pesantren Dan Madrasah
Diniyah,Pertumbuhan Dan Perkembangannya, Jakarta : Dirjen
Kelembagaan Islam Indonesia, 2003
Departemen Pendidika Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indoneisa, Jakarta
: Balai Pustaka, 1989
Dhofier , Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta : LP3S , 2011.
Direktorat Jendral Pendidikan Islam Depag RI, Undang-Undang Dan Peraturan
Pemerintah RI Tentang Pendidikan, Depag RI, 2006.
Faisol, Gus Dur & Pendidikan Islam Upaya Mengembalikan Esensi Pendidikan
Di Era Global,Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011.
Fajar ,A. Malik, Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2005.
104
105
Gazalba , Sidi, Modernisasi Dalam Persoalan, Bagaimana Sikap Islam, Jakarta :
Bulan Bintang, 1985
Hamid , Abu, Sistem Pesantren Madrasah Dan Pesantren Di Sulawesi Selatan ,
Ujung Pandang: Fakultas Sastra UNHAS, 1978
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1999
Kementrian Agama RI, Al’Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta : PT Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012
Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta :
Paramadina, 1997.
____________, Islam Kemerdekaan Dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1993
____________, Bilik-Bilik Pesantren, Jakarta : Dian Rakyat,tt.
Mahpuddin , Noor, Potret Dunia Pesantren, Bandung : Humaniora, 2006.
Masdar, Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur Dan Amin Rais Tentang
Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Masyhuri Dan Zainuddin, Metode Penelitian Pendekatan Praktis Dan Aplikatif,
Bandung: PT Refika Aditama, 2009.
Masyud , M. Sulthon Dan Khusnurdilo , Moh., Manajemen Pondok Pesantren,
Jakarta : Dian Pustaka, 2003.
Mi’ah, Afiful, “ Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Modernisasi Sistem
Pesantren, “Skripsi, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Adab,
Surabaya, 2013.
Moesa , Ali Maschan, Nasionalisme Kiai Kontruksi Sosial Berbasis Agama,
Yogyakarta : Lkis , 2007.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2014 ,Cet. XIV.
Muhajir , Noeng, Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dalam Perspektif
Modern, Al-Ta’dib, Forum Kajian Ilmiah Kependidikan Islam, No.1
Juni,2008
Muthohar , Ahmad, Ideologi Pendidikan Pesantren; Pesantren Di Tengah Arus
Ideologi-Ideologi Pendidikan, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2007
Nafi , M. Dian’ Dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren, Yogyakarta : Lkis, 2007.
Nasution , Harun, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran Dan Gerakan,
Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1991.
Nata , Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia,
Jakarta: Raja
___________, Sejarah Pendidikan Islam, Jakrta: PT Grafindo Persada, 2004.
Noor , Mahpuddin, Potret Dunia Pesantren, Bandung : Humaniora, 2006.
Penerbit Buku Kompas, Gus Dur Santri Par Excellent : Teladan Sang Guru
Bangsa Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2010.
Qomar, Mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi
Institusi , Jakarta : Erlangga, Tt.
Rahardjo, M. Dawam, Editor Pergulatan Dunia Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1985.
Saridjo , Marwan, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Jakartan : CV
Amissco, 1996.
106
______________, Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia , Jakarta: Dharma
Bhakti, 1980.
Siraj , Said Agil Et. AL.Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan Dan
Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Soejono Dan Abdurrahman, Bentuk Penelitian Suatu Pemikiran Dan Penerapan,
Jakarta: Rieneka Cipta, 1999.
Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 1996, Cet. XXII
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan RND, Bandung:
Alfabeta, 2012, Cet. XVII.
Trianto, Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi Pengembangan Profesi
Pendidikan Dan Tenaga Kependidikan, Jakarta: Kencana, 2010.
W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umumbahasa Indonesai, Jakarta: Balai Pustaka,
1986.
Wahid , Abdurrahman, Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: Darma Bhakti, 1994.
_____________, Menggerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta : Lkis,
2001.
_____________, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantra, 2007.
_____________, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta : Lkis , 1999.
Wahid,Marzuki, Metamorfosis Pesantren: Pergulatan Tradisi Pesantren,
Kebudayaan Lokal Dan Politik Kekuasaan Dalam Ideologi Pendidikan
Pesantren, Semarang: Pustaka Rizki Putra,2007.
Wahjoetimo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternative Masa Depan ,
Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Yasmadi, Modenisasi Pesantren Kritik Nurchalish Madjid Atas Pendidikan Islam
Tradisional, Jakarta : Ciputat Press, 2002.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Mutiara
Sumber Widya, 1995, Cet. Ke- V
Http://Agsasman3yk.Wordpress.Com/2009/08/04/Perubahan-Sosial-Modernisasi
Dan Pembangunan.
Download