Perkusi Rasa Nusantara

advertisement
Home >> Koran >> Urbana
Perkusi Rasa Nusantara
Jumat, 29 Agustus 2014, 14:00 WIB
Suara pukulan rebana santer terdengar, dibarengi dengan iringan kolintang sunda. Iramanya cepat menggebu-gebu, bak
musik iringan perang di pementasan drama kolosal. Sang vokalis yang juga bermain kendang betawi sesekali berseru,
"Yae yae, yae yaee …."
Di tengah lagu, irama musik memelan, tabuhan instrumen taganing dari Batak ikut terdengar. Harmonisasi alat-alat musik
daerah ini membuat penonton terenyak takjub. Para penonton yang sebagiannya adalah warga negara asing ikut larut
dalam ramuan musik kontemporer etnik-mistikal yang dibawakan oleh sebuah grup yang juga bernama unik, Kunokini.
Grup ini sengaja fokus kepada penampilan yang menyuguhkan musik fusi dari berbagai alat musik yang ada di Indonesia.
Foto:Yasin Habibi/Republika
Kunokini bermain perkusi, Jakarta, Ahad (24/8).
Bertempat di aula Galeri Seni Kunstkring di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Kunokini tampil dalam pementasan musik
etnik bertajuk "Kembali ke Akar". Nama mereka yang tersohor di kalangan pencinta musik etnik dan kontemporer sukses
membuat semua tiket habis terjual. Kunokini membawakan tak kurang dari lima lagu yang diambil dari album pertama
mereka, Re-inkarnasi, ataupun lagu baru mereka dari album setelahnya.
Memang hasrat untuk berkesenian tidak harus mengikuti ‘pakem’ yang sudah ada. Pasar musik modern di Indonesia kini
yang begitu sesak dengan musik musik pop-Melayu pop-rock, bahkan Melayu-rock tidak menyurutkan semangat Kunokini
untuk mengusung musik tradisional.
Tren pasar tampaknya tak bisa membendung hasrat mereka untuk terus melestarikan penggunaan alat musik daerah.
Sang musikus, Bhismo dan Bebi, sadar betul pilihan musik mereka bukanlah sesuatu yang populer. Dalam penampilan
mereka pada Ahad (24/8), mereka berhasil menunjukkan ‘perlawanan’ mereka dalam gelaran berjudul "Kembali ke Akar".
Konser yang bernuansa etnik ini lengkap dengan dekorasi ruangan yang juga serbaetnik. Konsernya sendiri tidak melulu
tentang musik tradisional. Kunokini dengan ‘seenaknya’ mencampur-campur bebunyian dari berbagai alat musik
tradisional. Para musikus yang tampil juga tidak canggung untuk saling bercanda, melempar ejekan, dan menggoda
penonton. Tak jarang penonton dibuat tertawa oleh aksi mereka.
Grup musik yang berdiri sejak 2003 sekilas terpengaruh besar oleh jenis musik reggae. Di sejumlah lagu gubahan
mereka, tampak sekali aliran reggae yang mereka usung. Belum lagi dandanan dan gaya panggung yang jadi ciri khas
aliran musik itu. Namun, itu tak lantas mereka sah dicap anak reggae.
Justru di beberapa lagu karangan mereka terbukti kalau khasanah musik mereka begitu luas. Sebutlah di lagu berjudul
"Forrest Addict" yang alunan irama dari instrumen khas Dayak. Atau, di lagu "Kulintang" yang juga membawa suasana
yang tenang atau kerap disebut musik "ambience".
Dalam pembukaan konser, Kunomini membawakan lagu mereka yang berjudul "Lagu Jawa". Meski judulnya terdengar
begitu Jawa, dalam bermain, mereka mencoba mengolaborasikan instrumen musik nusantara, seperti gendang, rebana,
kolintang, taganing, gambuh dari Bali, semprong dari Kalimantan, bahkan ada juga jimbey yang berasal dari Afrika. Dari
semua alat itu, mereka berhasil menciptakan musik yang dengan mudah bisa diterima semua kalangan.
Di tengah pertunjukan, Bhismo, sang vokalis, meminta semua penonton ditutup matanya. "Anda akan mengalami
pengalaman musik yang luar biasa," ujarnya membujuk. Sesaat kemudian hening. Kemudian, perlahan terdengar suara
denting saron. Suaranya pelan, diikuti dengan bunyi kolintang dan juga kendang betawi. Ditambah lagi dengan tiupan
suling sunda. Semuanya menumbuhkan harmonisasi yang kuat dan menenangkan.
Kejutan yang diberikan oleh Kunokini ini merupakan teknik manual audio panning di mana mereka menyebar alat-alat
musik ke sudut sudut ruangan dan memainkannya sehingga suara musik akan lebih anggun terdengar.
Di ujung penampilannya, Kunokini sempat menyampaikan alasannya mengapa konsisiten di jalur musik etnik
eksperimental seperti ini. Bagi mereka, penting untuk rakyat Indonesia agar kembali lagi mengenal alat musik sendiri.
"Sekarang gimana caranya mereka tertarik lagi dengan seni budaya? Nah, dari kami ya caranya dengan bermain musik
yang seru didengar. Yang penting anak muda suka dulu," ujar Bhismo.
Kunokini, kependekan dari kuno dan kini. Kuno mereka usung untuk menunjukkan alat-alat musik tradisional yang dimiliki
Indonesia. Kini adalah perihal rasa atau gaya musik. "Kami bawakan yang kuno-kuno itu dengan cara yang kini. Yang
modern. Jadi, meskipun kuno, masih enak didengar pada zaman sekarang," lanjut Bhismo.
Kunokini adalah bentuk dari perlawan insan musik yang kritis dengan perkembangan musik masa kini. Bagi mereka,
mengritik tak harus dengan berteriak di jalan. Kritik mereka melalui karya dan tabuh-tabuhan alat musik tradisional. Cara
yang mereka gunakan ini bisa lebih ampuh dibanding kritik dengan kekerasan sekalipun.
Penampilan perkusi Kunonini ditutup dengan membawakan lagu "Rasa Sayange". Grup yang setia mengusung tradisi ini
mengakhiri penampilannya yang apik. Pada akhirnya, perlawanan dan komposisi mereka mengilhami penonton untuk
kembali lagi akar mereka. Tanah air pusaka. rep:c85 ed: dewi mardiani
Download