Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014, hal 111-123 ISSN 2302-5719 Vol II, Nomor 1 PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA SURAJIYO1 Dosen Tetap pada Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta Surel: [email protected] Diterima: 5 Januari 2014 Disetujui: 28 Maret 2014 ABSTRACT Essentially, Pancasila is the source of all moral and legal norms in Indonesia which are then applied nationally. Pancasila as political ethics is closely associated with the ethics of forms, objects, and political issues of material objects that covers the legitimacy of the state, law, power, and critical assessment for the said legitimacy. Based on MPR RI Decree Number: VI/MPR/2001, about national ethics, political ethics in the life of the nation, a concept that derived its legitimacy from religious values, especially values which are by nature universal, as well as cultural values originated from Indonesia, all those values are reflected in Pancasila as the basic reference in thinking, behaving, and acting in the spirit of nationalism. Pancasila as political ethics can be used as a tool to examine political behavior of a country, especially as a critical method to decide the truth or falsity of government’s actions and policies, by examining the implied correspondence between objective values with inter-subjective value. The results are then examined more thoroughly to weigh the synergy between government’s policies and actions with each principle of Pancasila. In political realm, a country should be based on democratic values which is then developed and actualized on its policies. In Indonesian context, these policies should be based on morality, divinity, humanity, and unity which bind the nation within the framework of Pancasila. This paper aims to expand the discussion on how Pancasila is applied as Indonesia’s most original and trustworthy political ethics. Keywords: Nilai-nilai Pancasila, Etika, Moral, Etika Politik, Etika Kehidupan Berbangsa. Pendahuluan Pancasila sebagai dasar negara pada hakikatnya merupakan sumber dari segala norma, baik norma hukum, norma moral, maupun norma kenegaraan lainnya. ���� Nor- 1 ma hukum adalah suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum di negara Indonesia. Norma moral berkaitan dengan Dosen tetap pada Universitas Indraprasta PGRI, dengan Jabatan Akademik Lektor Kepala. Pengampu Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (Civics) di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang. Alumnus Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (S1) dan Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta. 008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 111 4/24/2014 10:39:49 AM 112 PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA tingkah laku manusia sebagai manusia untuk mengukur baik atau buruknya sebagai manusia. Dalam kapasitas inilah nilai-nilai Pancasila telah dijabarkan dalam normanorma moralitas atau norma-norma etika sehingga Pancasila merupakan sistem etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jadi, sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah merupakan pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praktis melainkan sistem etika yang menjadi sumber norma moral maupun norma hukum, yang harus dijabarkan lebih lanjut ke dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan. Berdasarkan pandangan, keyakinan dan kesepakatan bersama para bapak pendiri bangsa bahwa Pancasila merupa­ kan dasar negara (Philosophische grondslag) maka konsekuensinya Pancasila merupakan sumber norma hukum, norma moral, dan norma kenegaraan lainnya. Dalam konteks Pancasila sebagai sumber norma moral inilah p����������������������� ermasalahan muncul yakni sejauh mana Pancasila merupakan etika politik di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan besar ini, permasalahan yang terkait dengan etika politik yakni tentang pengertian etika, nilai, moral, dan norma akan dibahas lebih dahulu. Kemudian, dilanjutkan dengan pembahasan pengertian etika politik, Pancasila sebagai nilai dasar fundamental bagi bangsa dan negara Republik Indonesia, nilai-nilai Pancasila sebagai sumber etika, dan tulisan akan diakhiri dengan pelaksanaan etika politik Pancasila. Pengertian Etika, Nilai, Moral, dan Norma 1. Etika Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam 008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 112 VOL II, 2014 hubungannya dengan baik-buruk. Yang dapat dinilai baik atau buruk adalah sikap manusia yang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya. Sedangkan motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang dikerjakan dengan kesadaran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan dengan tak sadar tidak dapat dinilai baik atau buruk. Menurut Sunoto (1982: 5), etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika. Sedangkan etika normatif sudah memberikan penilai­ an yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak. Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti pengertian dan pemahaman tentang nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan se­ bagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum di atas, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan se­ bagainya. Pembagian etika yang lain adalah etika individual dan etika sosial. Etika individual membicarakan perbuatan atau tingkah laku manusia sebagai individu. Misalnya tujuan hidup manusia. Etika sosial membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan orang lain. Misalnya; baik/buruk dalam kehidup­ an keluarga, masyarakat, negara. (Sunoto, 1982: 5-6) Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak mem­berikan ajaran melainkan memeriksa ke­­biasaan-kebiasaan, nilai-nilai, normanor­ma dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggung- 4/24/2014 10:39:49 AM PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA jawaban yakni karena banyak sekali ajaran moral dan pandangan moral seperti dalam kitab-kitab suci, petuah, wejangan dari para kyai, pendeta, orang tua dan sebagainya, dan manusia harus memilih dengan kritis dan meng­ikuti ajaran moral tertentu sehingga bisa dipertanggungjawabkan atas pilihannya. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral tidak dapat dipertanggungjawab­an. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral. Misalnya seorang ibu yang mengandung dan difonis oleh dokter untuk memilih dua pilihan apakah bertahan tetap mengandung sampai melahirkan dengan resiko jiwa ibu terancam karena kandungannya lemah atau menggugurkan dengan resiko tidak punya anak. Masalah-masalah seperti itu perlu tinjauan kritis untuk mengambil keputusan. Sedangkan kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia bila dilihat dari segi kebaikannya. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Misalnya kalau seorang wartawan ternyata tidak bisa membuat berita dan ketika mencari warta juga tidak bisa maka sebagai peran wartawan salah, tetapi sebagai manusia bisa juga seorang itu baik karena selalu berbuat jujur, adil, disiplin dan sebagainya (Magnis-Suseno, 1987: 18). Objek etika menurut Franz MagnisSuseno (dalam Zubair, 1987: 18) adalah pernyataan moral. Apabila diperiksa segala macam moral, pada dasarnya hanya ada dua macam, yaitu: pernyataan tentang tindakan manusia dan pernyataan tentang manusia sendiri atau tentang unsur-unsur kepribadian manusia seperti motif-motif, maksud, dan watak. Ada himpunan pernyataan ketiga yang tidak bersifat mo­ral, tetapi penting dalam rangka pernyataan tentang tindakan. 008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 113 SURAJIYO 113 Berdasarkan pendapat Franz MagnisSuseno tersebut Zubair (1987: 18) membuat skema sebagai berikut : Etika Pandangan Moral Pernyataan Moral Persoalan Moral Pernyataan tentang tindakan manusia, Pernyataan tentang manusia sendiri Pernyataan bukan moral. Berdasarkan skema tersebut, Zubair (1987: 19) merincinya sebagai berikut : 1. Dalam beberapa pernyataan kita me­ ngatakan bahwa suatu tindakan tertentu sesuai atau tidak sesuai dengan norma-norma moral dan oleh karena itu adalah betul, salah, dan atau wajib. Contoh: “Engkau seharusnya mengembalikan uang itu”. “Mencuri itu salah”, “Perintah jahat tidak boleh ditaati” Ketiganya disebut sebagai pernyataan kewajiban. 2. Orang, kelompok orang dan unsur-unsur kepribadian (motif, watak, maksud, dan sebagainya) kita nilai sebagai baik, buruk, jahat, mengagumkan, suci, memalukan, bertanggung jawab, pantas ditegur, disebut sebagai pernyataan penilaian moral. 3. Himpunan pernyataan ketiga yang harus diperhatikan adalah penilaian bukan moral. Contoh: Mangga itu enak, Anak itu sehat. Mobil itu baik, Kertas ini jelek, dan sebagainya. Perbedaan penting mengenai beberapa pernyataan di atas : 1. Pernyataan kewajiban tidak mengenal tingkatan. Wajib atau tidak wajib, betul atau salah Tidak ada tengahnya. 4/24/2014 10:39:49 AM 114 PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA VOL II, 2014 2. Penilaian moral dan bukan moral me­ ngenal tingkatan. Rasa dari sebuah mangga dapat agak enak atau enak sekali. Watak bersifat amat jahat atau agak jahat; dan lain sebagainya. ri-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Magnis-Suseno (1987: 14) membedakan antara ajaran moral dengan etika. Ajaran 2. Nilai moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-weDi dalam Dictionary of Sociology and Related jangan, khotbah-khotbah, peraturan-peraScience (dalam Kaelan, 2004: 87) dikemuka- turan lisan atau tertulis tentang bagaimana kan bahwa nilai adalah kemampuan untuk manusia seharusnya hidup dan bertindak dapat dipercayai yang ada pada suatu ben- agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber da sehingga ia dapat memuaskan manusia. langsung bagi ajaran moral adalah pelbagai Sifat dari suatu benda yang menyebabkan orang dalam kedudukan yang berwenang, menarik minat seseorang atau kelompok. seperti orang tua dan guru, para pemuka Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat masyarakat dan agama, juga tulisan para atau kualitas yang melekat pada suatu ob- bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi jek, dan bukan objek itu sendiri. Jika sebuah ajaran moral tetapi filsafat atau pemikiran objek mengandung nilai maka artinya ada kritis dan mendasar tentang ajaran dan sifat atau kualitas yang melekat pada objek pandangan moral. Etika adalah sebuah itu. ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi etika Di dalam nilai itu sendiri terkandung dan ajaran moral tidak berada di tingkat cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dam- yang sama. Hal yang mengajarkan bagaibaan dan keharusan. Jika kita berbicara ten- mana kita seharusnya menjalani hidup butang nilai, maka sebenarnya kita berbicara kanlah etika melainkan ajaran moral. Etika tentang hal yang ideal, tentang hal yang mau mengerti ajaran moral tertentu, atau merupakan cita-cita, harapan dambaan bagaimana kita dapat mengambil sikap dan keharusan. Berbicara tentang nilai be- yang bertanggung jawab dalam menghararti berbicara tentang das Sollen, bukan das dapi pelbagai ajaran moral. Sein, kita masuk ke dunia ideal dan bukan dunia riil. Meskipun demikian, di antara 4. Norma keduanya, antara das Sollen dan das Sein, Pada mulanya norma berarti alat tukang antara dunia ideal dan dunia riil mereka batu atau tukang kayu yang berupa segitisaling berhubungan atau saling berkait ga. Dalam perkembangannya norma berarsecara erat. Artinya das Sollen seharusnya ti ukuran, garis pengarah, atau aturan, dan menjelma menjadi das Sein, yang ideal ha- kaidah bagi pertimbangan serta penilaian. rus menjadi real, dan hal yang bermakna Nilai yang menjadi milik bersama di dalam normatif harus direalisasikan dalam per- satu masyarakat dan telah tertanam de­ buatan sehari-hari yang merupakan fakta. ngan emosi yang mendalam akan menjadi norma yang disepakati bersama. (Kaelan, 2004; 87-88) Segala hal yang kita beri nilai baik, 3. Moral cantik atau berguna akan kita usahakan Moral berasal dari kata latin “mos” ja- supaya diwujudkan kembali di dalam permaknya “mores” yang berarti adat atau cara buatan kita. Sebagai hasil usaha itu maka hidup. ������������������������������� Etika dan moral mengandung mak- timbul ukuran perbuatan atau norma tinna yang sama, tetapi dalam penilaian seha- dakan. Norma yang diterima oleh anggota 008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 114 4/24/2014 10:39:49 AM PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA SURAJIYO 115 gar norma hukum pasti dikenai sanksi. masyarakat selalu mengandung sanksi dan Tetapi norma hukum tidak sama de­ pahala. - Tidak dilakukan sesuai norma – hu­ ngan norma moral. kum­an; celaan dan lain sebagainya. 3. Norma Moral - Dilakukan sesuai dengan norma – pu- Norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur ke­ jian; balas jasa dan sebagainya. baikan seseorang. Maka dengan nor­ma Jadi skemanya sebagai berikut : moral, kita benar-benar dinilai. Itulah sebabnya penilaian moral selalu berNilai Penilaian bobot. Manusia tidak dilihat dari salah satu segi melainkan sebagai manusia. Apakah seseorang merupakan warga Norma negara yang selalu taat, atau seorang munafik. Apakah kita ini baik atau buAda banyak macam norma. Ada norruk, maka hal itulah yang menjadi perma-norma khusus, yaitu norma yang masalahan moral. hanya berlaku dalam bidang dan situasi yang khusus, misalnya bola tidak boleh Ketiga macam norma kelakuan itu, mana­ disentuh oleh tangan, hanya berlaku kalau kah yang mengalah apabila ada tabrak­an dan sewaktu kita main sepak bola dan kita di antara keduanya? Norma sopan santun bukan kiper. Disamping norma khusus ada mengalah baik terhadap norma-norma juga norma umum. Norma umum menurut hukum maupun norma-norma moral. BaMagnis-Suseno (1987: 19) ada tiga macam, gaimana kalau norma hukum bertabrakan yaitu : dengan norma moral? Misalnya, seorang 1. Norma Sopan Santun ayah yang sama sekali tidak mempunyai Norma ini menyangkut sikap lahiriah uang lagi, di satu pihak ia berwajib (moral) manusia. Meskipun sikap lahiriah dapat untuk memberi makan anak serta istri, di mengungkapkan sikap hati dan karena lain pihak satu-satunya jalan yaitu dengan itu mempunyai kualitas moral, namun mengambil uang orang lain secara diamsikap lahiriah sendiri tidak mempunyai diam. Thomas Aquinas berpendapat bahkualitas moral. Orang yang melanggar wa suatu hukum yang bertentangan dennorma kesopanan karena tidak mengegan hukum moral (hukum kodrat) akan tahui tatakrama di daerah itu, atau dikehilangan kekuatannya. Norma-norma tuntut oleh situasi, maka ia tidak dapat moral muncul sebagai kekuatan yang amat dianggap melanggar norma moral. besar dalam hidup manusia, karena ���� ber2. Norma Hukum dasarkan norma morallah manusia benar Norma hukum adalah norma yang dibenar dinilai. tuntut dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselama5��� . Hubungan �������������������������������������� etika, nilai, moral, dan nor� tan dan kesejahteraan umum. Norma ma hukum adalah norma yang tidak boleh Agar nilai menjadi lebih berguna dalam dilanggar. Hukum tidak dipakai untuk menuntun sikap dan tingkah laku manumengukur baik buruknya seseorang sesia, maka ia perlu lebih dikonkretkan lagi bagai manusia, melainkan untuk menserta diformulasikan menjadi lebih objekjamin tertib umum. Jadi yang melangtif se­hingga memudahkan manusia un- 008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 115 4/24/2014 10:39:49 AM 116 PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA tuk menjabarkannya dalam tingkah laku. Wujud yang lebih konkret dari nilai adalah norma. Terdapat berbagai macam norma. Dari berbagai macam norma tersebut norma hukumlah yang paling kuat keberlakuannya, karena dapat dipaksakan oleh kekuatan eksternal seperti penguasa atau penegak hukum. Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia (Kaelan, 2004: 92-93). Pengertian Etika Politik Dalam hubungan dengan etika politik pengertian politik harus dipahami dalam pengertian yang lebih luas yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara. Hukum dan kekuasaan negara merupakan aspek yang berkaitan langsung dengan etika politik. Hukum sebagai penataan masyarakat secara normatif, serta kekuasaan negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif pada hakikatnya sesuai dengan struktur sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Setiap ilmu terkandung dua macam objek yakni objek forma dan objek material. Objek forma adalah sudut pandang subyek menelaah objek materialnya. Objek material adalah sasaran penyelidikan dari disiplin ilmu. Etika politik berkaitan de­ngan obyek forma etika, dan obyek material politik. Jadi etika politik mempelajari politik 008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 116 VOL II, 2014 dari sudut pandang etika, yang dalam politik mencakup masalah legitimai negara, hukum, kekuasaan serta penilaian kritis terhadap legitimasi-legitimasi tersebut. Secara substansial pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berda­ sarkan kenyataan bahwa pengertian ‘moral’ senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajib­ an-kewajiban lainnya. Kewajiban moral adalah kewajiban yang dilakukan manusia sebagai manusia atas kesadarannya, sedangkan kalau melakukan kewajiban atas dasar karena perintah di luar diri maka kewajiban itu bukan kewajiban moral. Misalnya jika seorang pelatih memberikan perintah kepada anak buahnya “besuk anda wajib latihan”. Kemudian anak buah itu besuk hadir latihan, namun karena anak buah itu menjalankan kewajiban atas dasar perintah di luar diri maka tidak termasuk kewajiban moral. Tetapi kalau ada orang dengan merasa wajib mengembalikan uang yang bukan haknya dan kewajiban ini dilkakukan atas dasar dari hati nurani maka inilah kewajiban moral. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia (Magnis-Suseno, 1987: 14-15). Etika politik tidak langsung mencampuri urusan politik praktis. Tugas etika politik ialah membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologis dapat dijalankan secara objektif. Etika politik dapat memberikan patokan orientasi dan pegangan normatif bagi mereka yang memang mau menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolok ukur martabat manusia atau mempertanyakan legitimasi moral sebagai keputusan politik. Suatu keputus- 4/24/2014 10:39:49 AM PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA an bersifat politis apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Prinsip-prinsip etika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu negara adalah adanya cita-cita rule of law, partisipasi demokratis masyarakat, jaminan hak-hak asasi manusia menurut paham kemanusiaan dan struktur sosial budaya masyarakat masing-masing serta keadilan sosial (Syarbaini, 2003: 29). Pancasila sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia Dalam Dictionary of Sociology and Related Science (dalam Kaelan, 2004: 87), nilai secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan yang dipercayai ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda itu yang menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai pada hakekatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai yang berarti ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Notonagoro (dalam Kaelan, 2004; 8990) membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu : 1. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia, atau kebutuhan material dari raga manusia. 2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas. 3. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian ini dapat dibedakan menjadi empat macam : - Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia. 008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 117 SURAJIYO 117 - Nilai keindahan, atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasa­ an (rasa) manusia. - Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (karsa) manusia. - Nilai religius, yang merupakan nilai korahian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia. Notonagoro berpendapat bahwa nilainilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital (Kaelan, 2004: 90). Dalam kaitannya dengan derivasi atau penjabarannya, nilai dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: a. Nilai Dasar Nilai dasar bersifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu misalnya hakikat Tuhan, manusia atau yang lainnya. Nilai dasar dapat juga disebut sebagai sumber norma yang pada gilirannya dijabarkan atau direalisasikan ke dalam kehidup­ an yang bersifat praksis. Konsekuensinya aspek praksis dapat berbeda-beda namun secara sistematis tidak dapat bertentangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma serta realisasi praksis tersebut. b. Nilai Instrumental Untuk dapat direalisasikan dalam suatu kehidupan praksis maka nilai dasar harus memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai instrumental inilah yang merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan. Nilai �������������������������� instrumental merupakan suatu pengejawantahan dari nilai dasar. c. Nilai Praksis Nilai praksis pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai 4/24/2014 10:39:49 AM 118 PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA VOL II, 2014 instrumental dalam kehidupan yang hukum yaitu prinsip ‘legalitas’. Ne­gara Innyata. Nilai praksis ini merupakan per- donesia adalah negara hukum. Oleh karena wujudan dari nilai instrumental. itu ‘keadilan’ dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam Hubungan antara nilai dengan norma sila V merupakan tujuan dalam kehidupan ialah norma merupakan wujud konkrit dari negara. Terkait dengan itu, dalam pelaksanilai. Selanjutnya nilai dan norma senantia- naan dan penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenang­an serta sa berkaitan dengan moral dan etika. pembagiannya harus senantiasa berdasarkan pada hukum yang berlaku. PelangNilai-nilai Pancasila sebagai Sumber Etika garan atas prinsip-prinsip keadilan dalam Sebagai dasar filsafat negara, Pancasila kehidupan kenegaraan akan menimbulkan tidak hanya merupakan sumber bagi pera- ketidakseimbangan dalam keberlang­sung­an turan perundangan, melainkan juga sum- kehidupan negara. ber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan Etika Politik dalam Kehidupan Berbangsa dan penyelenggaraan negara. Oleh karena dan Bernegara itu negara seharusnya sesuai dengan nilai- Dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 nilai yang berasal dari Tuhan terutama hu- tentang Etika Kehidupan Berbangsa, di­ kum serta moral dalam kehidupan negara. nyatakan bahwa pengertian etika politik Asas kemanusiaan seharusnya merupakan dalam kehidupan berbangsa merupakan ruprinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan musan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nidan penyelenggaraan negara. Dalam pelaksanaan dan penyeleng- lai-nilai luhur budaya bangsa yang tercergaraan negara, etika politik menuntut agar min dalam Pancasila sebagai acuan dasar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dalam berpikir, bersikap, dan ber­tingkah dengan 1) Asas legalitas, yaitu dijalankan laku dalam kehidupan berbangsa. Pola berpikir untuk membangun kesesuai dengan hukum yang berlaku, 2) disahkan dan dijalankan secara demokratis, hidupan berpolitik secara jernih mutlak serta 3) dilaksanakan berdasarkan prinsip- diperlukan. Pembangunan moral politik prinsip moral (legitimasi moral) (Kaelan, yang berbudaya mengandung tujuan untuk melahirkan kultur politik yang ber2004: 101). Legitimasi etis mempersoalkan keab- dasarkan kepada iman dan takwa terhadap sahan kekuasaan politik dari segi norma- Tuhan yang Maha Kuasa, menggalang suanorma moral. Legitimasi ini muncul da- sana kasih sayang sesama manusia Indonelam konteks bahwa setiap tindakan negara sia, yang berbudi kemanusiaan luhur, yang baik dari legislatif maupun eksekutif da- mengindahkan kaidah-kaidah musyawarah pat dipertanyakan dari segi norma-norma secara kekeluargaan, yang bersih dan jujur, moral. Tujuannya agar kekuasaan dapat di- dan menjalin asas pemerataan keadilan di arahkan pada kebijakan dan cara-cara yang dalam menikmati dan menggunakan kesesuai dengan tuntutan-tuntutan kemanu- kayaan negara. Membangun etika politik berdasarkan Pancasila akan diterima baik siaan yang adil dan beradab. Selain itu, pelaksanaan dan penyeleng- oleh segenap golongan dalam masyarakat garaan negara harus berdasarkan legitimasi (Syarbaini, 2010: 48). 008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 118 4/24/2014 10:39:49 AM PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA Pembinaan etika politik dalam kehidup­ an berbangsa dan bernegara sangatlah mendesak untuk dilaksanakan. Langkah permulaan dimulai dengan membangun konstruksi berpikir dalam rangka menata kembali kultur politik bangsa Indonesia. Kita sebagai warga negara telah memiliki hak-hak politik, maka pelaksanaan hak-hak politik dalam kehidupan bernegara akan saling bersosialisasi, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan sesama warga negara dalam berbagai wadah, yaitu dalam wadah infrastruktur dan superstruktur (Syarbaini, 2003: 44). Pada hakikatnya etika politik tidak diatur dalam hukum tertulis secara lengkap, tetapi melalui moralitas yang bersumber dari hati nurani, rasa malu kepada masyarakat, dan rasa takut kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Adanya kemauan dan itikad baik dalam hidup bernegara dapat diukur secara seimbang antara hak yang telah dimiliki dengan kewajiban yang telah ditunaikan, tidak mengandung ambisi yang berlebihan dalam merebut jabatan, namun membekali diri dengan kemampuan yang kompetitif serta terbuka untuk menduduki suatu jabatan, tidak melakukan cara-cara yang terlarang seperti penipuan untuk memenangkan persaingan politik. Dengan kata lain, tidak menghalalkan segala macam cara untuk mencapai suatu tujuan politik (Syarbaini, 2003: 46). Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa di antaranya mengedepankan kejujuran, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa. Dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/ 2001 diuraikan enam etika kehidupan berbangsa yakni etika sosial dan budaya, etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika penegakan hukum yang 008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 119 SURAJIYO 119 berkeadilan, etika keilmuan, dan etika lingkungan. Berikut adalah uraian singkatnya: 1. Etika Sosial dan Budaya Etika sosial dan budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan saling menolong di antara sesama manusia dan warga bangsa. Sejalan dengan itu, kita perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yakni: malu untuk berbuat kesalahan, semua yang bertentangan dengan moral agama serta nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu, juga perlu menumbuhkembangkan kembali budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin formal maupun informal dalam setiap lapisan masyarakat. Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kembali kehidupan berbangsa yang berbudaya tinggi dengan menggugah, menghargai, dan mengembangkan budaya nasional agar mampu melakukan adaptasi, interaksi dengan bangsa lain, dan tindakan proaktif yang sejalan dengan tuntutan globalisasi. Untuk itu, diperlukan penghayatan dan pengamalan agama yang benar, kemampuan adaptasi, ketahanan, dan kreativitas budaya dari masyarakat. 2. Etika Politik dan Pemerintahan Etika politik dan pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, mengharagai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan antara hak dengan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. 4/24/2014 10:39:49 AM 120 PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara. Masalah potensial yang dapat menimbulkan permusuhan serta pertentangan diselesaikan secara musyawarah dengan penuh kearifan sekaligus kebijaksanaan yang sesuai dengan nilai-nilai agama, nilai-nilai luhur budaya, dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah. Etika politik dan pemerintahan diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar-pelaku dan antar-kekuatan sosial politik serta antar-kelompok kepen­ tingan lainnya untuk mencapai sebesarbesar kemajuan bangsa maupun negara dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan. Etika politik dan pemerintahan me­ ngandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti secara hukum melakukan kesalah­ an dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum serta rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang sesuai dengan tata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohong­ an publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. VOL II, 2014 bisnis, baik oleh perseorangan, institusi, maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja daya tahan ekonomi dan saing, dan terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil melalui kebijakan secara berkesinambungan. Etika ini mencegah terjadinya praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang meng­ arah kepada perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme, diskriminasi yang berdampak negatif terhadap efisiensi, persaingan sehat, keadilan, dan menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memeroleh keuntungan. 4. Etika Penegakan Hukum yang Berkea� dilan Etika penegakan hukum yang berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan dalam hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan ter­ hadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak kepada keadilan. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi serta kepastian hukum yang sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadil­an yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama, tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya. 5. Etika Keilmuan 3. Etika Ekonomi dan Bisnis Etika keilmuan dimaksudkan untuk menEtika ekonomi dan bisnis dimaksudkan junjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, agar prinsip dan perilaku ekonomi dan ilmu pengetahuan dan teknologi agar 008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 120 4/24/2014 10:39:50 AM PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan yang sesuai dengan nilai-nilai agama maupun budaya. Etika ini diwujudkan secara pribadi ataupun kolektif dalam karsa, cipta, dan karya, yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, dan komunikatif, dalam kegiatan membaca, belajar, meneliti, menulis, berkarya, serta menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Etika keilmuan menegaskan pentingnya budaya kerja keras dengan menghargai dan memanfaatkan waktu, disiplin dalam berpikir dan berbuat, serta menepati janji dan komitmen diri untuk mencapai hasil yang terbaik. Di samping itu, etika ini mendorong tumbuhnya kemampuan dalam menghadapi hambatan, rintangan, dan tantangan dalam kehidupan, mampu mengubah tantangan menjadi peluang, mampu menumbuhkan kreativitas untuk penciptaan kesempatan baru, tahan uji serta pantang menyerah. 6. Etika Lingkungan Etika lingkungan menegaskan pentingnya kesadaran menghargai dan melestarikan lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Dalam kehidupan politik Indonesia, tidak sedikit suara masyarakat yang menuntut agar dibentuk dewan kehormatan dalam berbagai institusi kenegaraan dan kemasyarakatan, dengan harapan agar etika politik dapat terwujud dalam kehidup­an bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Presiden, DPR, DPA, MA, dan BPK, ditegaskan bahwa DPR perlu meningkatkan kinerja anggotanya dengan landasan moral, 008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 121 SURAJIYO 121 etika, dan rasa tanggung jawab yang besar. Dalam pasal 6 Tata Tertib DPR mengenai kode etik DPR, diungkapkan dalam ayat (1) bahwa anggota DPR harus mengutamakan tugasnya dengan cara menghadiri secara fisik setiap rapat yang menjadi kewajibannya. Ayat (2) menegaskan bahwa ketidakhadiran anggota secara fisik seba­ nyak tiga kali berturut-turut dalam rapat sejenis dan tanpa izin dari pimpinan fraksi merupakan pelanggaran kode etik. Pelaksanaan Etika Politik Pancasila Menurut Aryaning Arya Kresna dkk. (2012: 53-54) ada beberapa cara yang mudah untuk memahami politik Pancasila, yang dapat dipakai untuk mengajukan kritik terhadap praktik Pancasila. Pertama mempertanyakan tingkatan dijalankannya prinsip moral “menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia”. Apakah sebuah tindakan yang dilakukan sebuah lembaga pemerintahan telah menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia? Kedua, mempertanyakan tingkatan kesesuaian antara nilai obyektif dengan nilai intersubyektif. Apakah sebuah tindakan yang dilakukan lembaga pemerintahan yang berdasarkan prinsip nilai intersubjektif “keadilan” se­ suai dengan nilai objektif “adil”? Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu kiranya usaha untuk membuat sebuah rambu dan batasan dalam penilaian etika politik Pancasila, sehingga dari titik tersebut dapat ditarik kesimpulan logis, yaitu hal-hal mana saja yang dapat dipakai sebagai acuan penilaian yang lebih kon­ kret. Rambu dan batasan tersebut dimulai dengan cara menentukan nilai objektif, nilai intersubjektif dan pemaknaannya dalam tiap-tiap sila: 1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa , Nilai objektif: Tuhan; Nilai intersubjektif: Ketuhanan; mengandung makna: 4/24/2014 10:39:50 AM 122 PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA keyakinan terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Esa sebagai Causa Prima 2. ���������������������������������� Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Nilai objektif: manusia; Nilai intersubjektif: Kemanusiaan; mengandung makna: pengakuan terhadap adanya harkat dan martabat manusia, pe­ng­ akuan terhadap asas kesamaan dan kebebasan manusia 3. Sila Persatuan Indonesia Nilai objektif: satu; Nilai intersubjektif: Persatuan; mengandung makna: pe­ ngakuan terhadap perbedaan sebagai hakikat, dan pengakuan akan sifat koeksistensi manusia. 4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan Nilai objektif: rakyat; Nilai intersubjektif: Kerakyatan; mengandung makna: pengakuan bahwa kedaulatan negara di tangan rakyat, musyawarah untuk mufakat dalam permusyawaratan wakil-wakil rakyat, penjaminan tidak adanya tirani minoritas dan dominasi mayoritas 5. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Nilai objektif: adil; Nilai intersubjektif: Keadilan; mengandung makna: peng­ akuan akan kesamaan hak dan kesempatan bagi seluruh rakyat Indonesia di bidang agama, ekonomi, politik, sosialbudaya dan pertahanan-keamanan. VOL II, 2014 dilanjutkan de­ngan menelaah kesesuaian antara kebijakan, dan tindakan pemerintah dengan makna dari sila-sila dalam Panca­ sila tersebut. Kesimpulan dan Rekomendasi Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan nilai sehingga ia menjadi sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Etika politik berkaitan dengan objek formal etika, dan obyek material politik yang meliputi legitimasi negara, hukum, kekuasaan serta penilaian kritis terhadap legitimasi-legitimasi tersebut. Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber etika politik yakni : Sebagai dasar filsafat negara, Pancasila tidak hanya merupakan sumber bagi per­ aturan perundangan, melainkan juga me­ rupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasa­ an, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Secara moralitas kehidupan negara - terutama hukum serta moral dalam kehidupan negara- harus sesuai dengan nilainilai yang berasal dari Tuhan. Asas kemanusiaan seharusnya menjadi prinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan: asas legalitas, disahkan dan diMemperhatikan analisis singkat atas si- jalankan secara demokratis, serta dilaksana­ la-sila di atas, etika politik Pancasila da­pat kan berdasarkan prinsip-prinsip moral. digunakan sebagai alat untuk menelaah Sila-sila Pancasila tersusun atas urutperilaku politik negara, terutama sebagai urutan sistematis. Dalam politik negara metode kritis untuk memutuskan benar seharusnya didasarkan pada prinsip ke­ salahnya sebuah kebijakan serta baik bu- rakyatan (Sila IV). Adapun pengembangan, ruknya tindakan pemerintah dengan cara dan aktualisasi politik negara berdasarkan meneliti kesesuaian antara nilai objektif pada moralitas berturut-turut moral Ketudengan nilai intersubjektifnya, kemudian hanan (Sila I), moral kemanusiaan (Sila II), 008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 122 4/24/2014 10:39:50 AM PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DI INDONESIA dan moral persatuan yaitu ikatan moralitas sebagai suatu bangsa (Sila III). Adapun aktualisasi dan pengembangan politik negara demi tercapainya keadilan dalam hidup bersama (Sila V). Jadi, pengembang­an politik negara terutama dalam proses reformasi seharusnya mendasarkan diri, dan aktualisasinya pada moralitas sebagaimana tertuang dalam sila-sila Pancasila sehingga, se­bagai konsekuensinya, praktek politik yang menghalalkan segala cara de­ ngan memfitnah, memprovokasi, menghasut rakyat yang tidak berdosa untuk diadudomba, seharusnya segera diakhiri. DAFTAR PUSTAKA Fudyartanto. (1974). Etika, Cetakan Keempat. Yogyakarta: Warawidyani. Hadiwijono, H. (1990). Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cetakan Keempat. Yogyakarta: Kanisius. Kaelan. (2004). Pendidikan Pancasila, Edisi Reformasi. Yogyakarta: Penerbit Paradigma. 008-[Surajiyo] PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK.indd 123 SURAJIYO 123 Ketetapan MPR Pada Sidang Tahunan MPR 2002. Jakarta: Sinar Grafika. Kresna, Aryaning A., Agus Riyanto dan Hendar Putranto. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan (Civics). Tangerang: UMN Press. Magnis-Suseno, F. (1987). Etika Dasar : Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius. _____. (1988). Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia. Sunoto. (1982). Bunga Rampai Filsafat. Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM. Syarbaini, S. (2003). Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Syarbaini, S., Rusdiyanta, Fatkhuri. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan Implementasi Karakter Bangsa. Jakarta: Hartomo Media Pustaka. Zubair, Achmad C. (1987). Kuliah Etika. Jakarta: Rajawali Pers. 4/24/2014 10:39:50 AM