Bungaran Saragih, Guru dan Pemimpin Pembangunan Agribisnis

advertisement
Bungaran Saragih,
Guru dan Pemimpin Pembangunan
Agribisnis Indonesia
Dr. Delima Hasri Azahari Darmawan
Pendahuluan
Prof. Bungaran Saragih, adalah dosen IPB yang penulis kenal sebagai
dosen di Jurusan Agribisnis, Departemen Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor (IPB). Beliau, penulis anggap sebagai “abang” yang
penuh semangat dalam memperkenalkan konsep pembangunan agribisnis,
bahkan kalau boleh diberi gelar sebagai Pejuang Agribisnis. Walaupun penulis
tidak pernah secara langsung diajar beliau, tetapi penulis mendengar sepak
terjang beliau dalam memperkenalkan “Konsep Agribisnis” melalui tulisan
beliau sebagai kolomnis “Suara Dari Bogor”, makalah beliau dalam berbagai
seminar terutama di KADIN dan tentu saja dari disertasi pak Bungaran
tentang keyakinan beliau akan pengembangan kelapa sawit di Indonesia
dengan pendekatan agribisnis. Dari semua itu, penulis yang pada tahun
1990, sekembali dari menyelesaikan studi program Doktor dari University
of Illinois, Champaign-Urbana, USA, sebagai peneliti pada Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian, yang dipekerjakan sebagai Ketua Kelompok Bidang
Pertanian (Konsultan Ahli) di Center for Policy Implementation Studies
(CPIS), sebuah lembaga penelitian di bawah Departemen Keuangan dan juga
menjabat sebagai Pembantu Asisten Menteri Kordinator Bidang Ekonomi,
Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) merasa mempunyai “chemistry”
dengan pendekatan pembangunan pertanian yang tidak hanya menganggap
produksi pertanian hanya untuk subsisten dan mencapai self-sufficiency, namun
pembangunan pertanian harus dipandang sebagai suatu usaha komersial atau
bisnis yang sangat menjanjikan dengan memandang bahwa pertumbuhan
sektor pertanian sebagai mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia. Keyakinan
pak Bungaran akan hal ini sangat sejalan dengan pemikiran kami pada
saat di Ekuin membantu Prof. Saleh Afiff dan Dr. Djunaedi Hadisumarto,
keduanya ekonom dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, sebagai
atasan langsung penulis yang menugaskan penulis untuk memberikan
pertimbangan teknis peninjauan kembali kebijakan pembangunan pertanian
dengan pendekatan “at all cost” pada periode itu. Pemikiran Prof. Bungaran
Saragih tentang konsep Agribisnis, dimana seluruh pelaku atau stakeholders
R1_Refleksi AGB.indd 207
07/04/2010 19:05:02
208
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
yang terlibat dalam proses produksi, pemasaran dan pengolahan produk
pertanian haruslah memperoleh manfaat ekonomi secara adil merupakan
pendekatan yang dirasakan penulis paling tepat untuk meninjau kembali
kebijakan pembangunan pertanian pada saat itu yang dipandang oleh para
ekonom baik di Kantor Menko Perekonomian, Bappenas dan Departemen
Keuangan, sebagai kebijakan yang telah menghabiskan banyak uang negara
melalui kebijakan subsidi input pertanian terutama pupuk, benih, dan
pestisida dipandang terlalu banyak diintervensi oleh Pemerintah, sehingga
sektor swasta tidak berminat terlibat dan sebagai akibatnya sektor pertanian
menjadi tidak produktif.
Undangan sebagai Tantangan
Pertemuan penulis dengan Prof. Bungaran, terjadi pada bulan September
2000 setelah Rapat kordinasi terbatas Ketahanan Pangan yang diadakan oleh
Kantor Menko Ekuin di ruang Serbaguna, Bappenas. Setelah memperkenalkan
diri, penulis diundang Prof Bungaran yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Pertanian, untuk menemui beliau di kantornya, seraya menyampaikan sudah
saatnya penulis kembali ke Departemen Pertanian setelah selama 10 tahun
menjabat Eselon 2 di kantor Menko Ekuin/Perekonomian.
Pada bulan April 2001, penulis diangkat Prof. Bungaran Saragih, menjadi
Staf Ahli Menteri Bidang Kerjasama Luar Negeri, dengan Surat Keputusan
(SK) Menteri Pertanian atau SK internal, alasan beliau mengeluarkan SK
internal adalah karena beliau sedang mengusulkan penulis untuk diangkat
pada posisi yang lebih tepat dengan SK Presiden.
Pengangkatan penulis sebagai Staf Ahli Bidang Kerjasama Luar
Negeri, menggantikan posisi Ir. Natigor Siagian, yang diposisikan beliau
sebagai Sekretaris Menteri Pertanian. Penugasan pertama penulis adalah
mendampingi Direktur Jenderal Pengolahan Hasil Pertanian Primer, pada
waktu itu dijabat oleh Dr. Ir. Iskandar Andi Nuhung, menghadiri Konferensi
Tingkat Menteri (KTM) ke-IV di Qatar, Doha. Konferensi Tingkat Menteri
di Doha, merupakan titik awal pembahasan Putaran Baru WTO yang
meninjau kembali implementasi dari Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang
dirasakan tidak adil bagi negara berkembang. Sekembali dari KTM tersebut,
DirjenPengolahan Hasil Pertanian Primer dan penulis diminta melaporkan
hasil KTM pada Rapat Pimpinan (Rapim) Departemen Pertanian. Penulis
secara komprehensif melaporkan hasil KTM yang dikenal sebagai Doha
Development Agenda (DDA) dan penulis menyampaikan bahwa pemikiran
R1_Refleksi AGB.indd 208
07/04/2010 19:05:02
Dr. Delima Hasri Azahari Darmawan
209
Prof. Bungaran Saragih yang disampaikan beliau pada pertemuan Menteri
Perdagangan, G 20 di Punta Del Este, Uruguay, tentang keinginan Indonesia
khususnya posisi Indonesia dalam Agreement on Agriculture (AoA) dalam
putaran baru World Trade Organization (WTO) yaitu aturan perdagangan
yang bebas dan adil (free and fair trade). Penulis menyampaikan kepada
Menteri Perdagangan Republik Indonesia saat itu yaitu ibu Rini Suwandi,
pesan pak Bungaran yaitu “ We (Indonesia) do not want to be a “good” boy
anymore but we (Indonesia) do not want to be a “bad” boy either, we (Indonesia)
just want to be “another” boy” who want to follow what developed countries
did for their farmer and their agriculture sector”. Pesan Prof. Bungaran ini
sangat melekat di hati dan pemikiran penulis dalam setiap negosiasi di forum
internasional, yang belakangan menjadi salah satu tugas pokok penulis dalam
beberapa jabatan strategis yang kemudian dipercayakan oleh Prof. Bungaran
Saragih, sebagai Menteri Pertanian.
Dalam periode jabatan penulis sebagai Staf Ahli Bidang Kerjasama Luar
Negeri, Prof. Bungaran juga mengangkat penulis sebagai Ketua Emergency
Center, yang bertugas membantu Direktur Jenderal Peternakan, yang dijabat
oleh Prof. Drh. Sofyan Sudardjat, MS, pada saat itu. Tugas Tim Emergency
adalah mengkoordinasikan Tim Teknis, dalam memberikan pertimbangan
teknis kepada Menteri Pertanian bersama-sama dengan Dirjen Peternakan
dalam mengamankan Indonesia dari ancaman masuknya penyakit zoonosis
dan mempertahankan posisi Indonesia sebagai salah satu dari 5 negara yang
“country free of Foot and Mouth Disease” atau negara yang secara menyeluruh
(country) bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang biasanya
menyerang hewan ruminansia besar terutama sapi. Direktorat Jenderal
Peternakan, Departemen Pertanian, sangat bangga dengan posisi Indonesia
sebagai negara yang bebas PMK yang diakui oleh Organisasi Dunia untuk
Kesehatan Hewan (OIE) yang berkantor pusat di Paris, Perancis. Hal ini
dapat dimaklumi karena untuk mendapatkan pengakuan ini diperlukan
waktu 100 tahun, dana dan pengorbanan yang sangat besar dari peternak
serta dukungan ahli baik yang berasal dari domestik maupun internasional.
Dalam hal status Indonesia sebagai negara yang bebas PMK, Indonesia sejajar
dengan Amerika, Canada, Australia dan New Zealand, negara-negara yang
diakui OIE sebagai negara-negara bebas PMK. Konsekuensi dari status ini,
ekspor dan impor sapi hidup dan produk sapi hanya dapat diperdagangkan
antar negara dengan status yang sama.
Banyak cerita menarik dalam kedudukan penulis sebagai ketua emergency,
dari mulai upaya “penyogokan” oknum yang berusaha melakukan pemasukan
R1_Refleksi AGB.indd 209
07/04/2010 19:05:02
210
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
daging asal India, sampai upaya kolaborasi oleh oknum pengusaha/importir
yang ingin memonopoli importir daging dari suatu negara saja.
Kejadian yang juga tidak bisa penulis lupakan adalah suatu ketika
pengusaha asal Timur Tengah mendatangi kantor penulis, dengan
menawarkan pemberian uang yang jumlahnya tentu sangat banyak, karena
dalam bentuk US Dollar yang ditempatkan dalam tas ukuran medium, jika
penulis dapat “membujuk” Menteri Pertanian, menerima bantuan daging
dari Raja Saudi Arabia kepada masyarakat muslim Indonesia. Permintaan
ini tentu menempatkan posisi Prof. Bungaran, sebagai Menteri Pertanian,
yang kebetulan non-muslin, pada posisi yang serba salah. Beliau meminta
penulis untuk memberikan masukan. Tentu saja penulis teringat akan
pesan beliau pada saat pelantikan sebagai Staf Ahli Bidang Kerjasama Luar
Negeri untuk selalu berpegang pada aturan yang berlaku dalam mengambil
kebijakan. Kami sampaikan bahwa Saudi Arabia adalah negara yang belum
bebas PMK, karenanya bantuan daging tersebut harus ditolak. Masalah ini,
sampai kepada Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dijabat
Prof. Amien Rais, saat itu yang mengundang Menteri Pertanian, secara
khusus untuk menjelaskan hal ini secara langsung kepada beliau dengan
dasar informasi pertimbangan teknis yang beliau pahami bahwa Tempat
Pemotongan Hewan di Arafah lebih bersih dan hygiene dibandingkan Tempat
Pemotongan Hewan di Indonesia. Pada kesempatan pertemuan dengan
Ketua MPR tersebut, Prof. Bungaran sebagai Menteri Pertanian, mengajak
penulis sebagai Ketua Tim Emergency, untuk memberikan penjelasan teknis
terkait isu dimaksud. Penulis menyampaikan penjelasan teknis kepada Ketua
MPR, bahwa bukanlah kebersihan dan kecanggihan tempat pemotongan
hewan yang menjadi dasar penolakan bantuan daging dari raja Saudi Arabia
yang menjadi dasar penolakan melainkan status negara Saudi Arabia yang
belum bebas dari PMK. Penulis tambahkan juga bahwa penolakan tersebut
tidak ada kaitannya dengan agama yang dianut oleh Menteri Pertanian dan
hanya didasari pertimbangan teknis dan status Saudi Arabia yang menurut
OIE belum bebas PMK. Penulis menambahkan apakah Ketua MPR berani
menanggung resiko dunia akhirat jika karena kebijakan menerima bantuan
daging raja Saudi, Indonesia terkena PMK kembali. Pada akhirnya, ketua
MPR dapat memahami sikap penulis dan mendukung posisi yang diambil
oleh Menteri Pertanian.
Sikap terbuka (open-minded), mau mendengar, bahkan mau belajar,
arahan yang tegas dan wejangan yang bijaksana dari Prof. Bungaran sebagai
Menteri Pertanian, menjadikan para pembantu beliau menjadi nyaman dalam
R1_Refleksi AGB.indd 210
07/04/2010 19:05:02
Dr. Delima Hasri Azahari Darmawan
211
menjalankan tugas-tugas dan tidak pernah ragu terkait dengan posisi politik.
Prof. Bungaran selalu menekankan bahwa bekerjalah dengan profesional,
namun pintar saja tidak cukup, jadi harus pintar-pintarlah mengambil sikap.
Alhamdulillah, penulis terhindar dari semua godaan tersebut dan sampai saat
ini penulis tetap selalu menjaga profesionalisme dan integritas dengan baik.
Karantina sebagai Tools of Trade
Tidak sampai setahun, penulis menjabat sebagai Staf Ahli Bidang
Kerjasama Luar Negeri, suatu sore Prof. Bungaran menyampaikan bahwa
sebagai Menteri Pertanian, beliau telah mengusulkan penulis kepada Presiden
untuk diangkat sebagai Kepala Badan Karantina Pertanian, Unit Eselon 1 di
lingkup Departemen Pertanian yang baru disetujui oleh Presiden Republik
Indonesia yang dijabat oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, pada saat
itu. Sebelumnya Karantina hanyalah Pusat Karantina Pertanian, unit
eselon 2 dibawah Sekretariat Jenderal. Penulis, yang pada saat menjabat
sebagai Pembantu Asisten Menko Ekuin dan Staf Ahli Menteri Pertanian
Bidang kerjasama Luar Negeri dan Ketua Tim Emergency, merupakan salah
satu pejabat yang ikut mengusulkan agar Pusat Karantina Pertanian harus
diusulkan kenaikan eseloneringnya menjadi eselon 1. Berlandaskan konsep
CIQ yang sudah banyak diterapkan di negara maju, penulis mendukung
pemikiran agar Karantina diposisikan sejajar dengan Custom (Bea dan Cukai)
dan Immigration (Imigrasi) yang sudah lebih dahulu diposisikan sebagai unit
eselon 1 di Departemen Keuangan dan Departemen Kehakiman.
Prof. Bungaran menyampaikan bahwa beliau mengusulkan penulis
sebagai Kepala Badan Karantina, dengan pertimbangan bahwa selain latar
belakang pendidikan penulis dalam bidang perdagangan internasional dan
kebijakan pertanian, adalah juga karena kemampuan talenta komunikasi dan
diplomasi yang penulis miliki dalam pandangan beliau sesuatu yang akan
membantu pengembangan karantina sebagai “tools of trade” yang merupakan
bagian dari perjanjian Sanitary and Phito Sanitary (SPS) sebagai perjanjian
yang tidak terpisah dari Agreement on Agriculture (AoA). Alhamdulillah,
Presiden menyetujui pertimbangan ini dan penulis menjadi Kepala Badan
Karantina pertama di Indonesia. Sebenarnya ada alasan non-teknis lainnya
yang disampaikan beliau belakangan tentang penugasan ini, yang belakangan
juga baru diketahui penulis. Hal ini terkait dengan rasa “Spirit of the Corps”
Karantinawan yang sangat militan, dan sangat sulit menerima “penyusupan”
unsur baru di lingkungan ini, bahkan sempat disampaikan Karantina
sebagai “ kerajaan sendiri di dalam kerajaan Departemen Pertanian” dengan
R1_Refleksi AGB.indd 211
07/04/2010 19:05:02
212
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
kantor pusat di Jalan Pemuda yang terpisah dari Kantor Pusat Departemen
Pertanian di Pasar Minggu. Prof. Bungaran menyampaikan strategi beliau,
bahwa diperlukan kelembutan sekaligus ketegasan seorang wanita untuk
mendisiplinkan hal ini dan beliau melihat sosok itu ada pada diri penulis.
Sebenarnya penulis sempat bertanya kepada beliau, tentang usulan ini, karena
penulis tidak mempunyai pengalaman teknis di bidang perkarantinaan,
namun Prof. Bungaran menyampaikan bahwa tidak perlu khawatir dengan
pengalaman teknis, beliau sarankan agar penulis memanfaatkan tenagatenaga yang ahli di bidang ini, saat itu beliau memerlukan pembantu menteri
yang dapat mengangkat citra Badan Karantina, dan membangun percaya diri
para karantinawan dan karantinawati, agar sejajar dengan unsur Customs and
Immigration, dengan catatan bahwa penulis tidak akan lama di tempatkan
pada posisi/jabatan tersebut karena beliau telah merancang penugasan lainnya.
Kepercayaan Prof. Bungaran, sebagai Menteri Pertanian, tidak penulis siasiakan, penulis segera melakukan beberapa program dan strategi, yang paling
utama adalah merubah cara berfikir dan pandangan terhadap tugas pokok
dan fungsi karantina sebagai garda terdepan wilayah NKRI dari ancaman
masuk dan keluarnya hama dan penyakit tanaman dan hewan serta praktek
perdagangan illegal dan menghindari wilayah NKRI menjadi pasar bagi
komoditas pertanian yang tidak berkualitas dan tidak memenuhi persyaratan
food safety baik untuk manusia dan hewan. Perubahan paradigma ini menuntut
peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan kemampuan peralatan dan
fasilitas perkarantinaan yang memadai. Penulis mengusulkan perubahan
anggaran dari karantina semula hanya Rp. 20 miliar menjadi lebih dari Rp.
200 miliar dengan catatan bahwa Karantina akan menyumbang Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang lebih besar dari semula Rp 10 miliar per tahun
menjadi lebih dari Rp. 100 miliar. Caranya, penulis memintakan dukungan
Prof. Bungaran, sebagai Menteri Pertanian, untuk merubah tarif pemeriksaan
karantina yang ditetapkan melalui SK Menteri Pertanian sejak tahun 1980-an
diusulkan dirubah menjadi Peraturan Pemerintah, dengan meninjau kembali
besaran tarifnya yang disesuaikan dengan biaya pemeriksaan pada saat itu
dengan catatan bahwa sebagian besar dari PNBP tersebut dapat dikembalikan
dan digunakan kembali oleh Badan Karantina melalui mekanisme APBN.
Setelah pembahasan teknis di tingkat Departemen Teknis, dilanjutkan
pembahasan di Departemen Keuangan dan di kantor Sekretaris Negara dan
Sekretaris Kabinet, atas dukungan Prof. Lambock Nathahan, SH, LLM,
usulan ini ditetapkan sebagai PP No. 22 tahun 2002 oleh Presiden. Tentu
saja Peraturan Pemerintah yang radikal ini mendapat tanggapan beragam ada
R1_Refleksi AGB.indd 212
07/04/2010 19:05:02
Dr. Delima Hasri Azahari Darmawan
213
yang positif namun lebih banyak yang menentangnya. Tidak kurang Ketua
HKTI saat itu, Ir. Siswono Yudhohusodo, memberikan masukan kepada
Presiden Megawati Soekarnoputri, bahwa Karantina bukanlah lembaga
yang dimaksudkan untuk memberikan pemasukan keuangan kepada negara,
melainkan hanya lembaga teknis yang tujuannya adalah mencegah masuknya
hama dan penyakit hewan dan tumbuhan. Penetapan PP ini, menyebabkan
Prof. Bungaran Saragih, Menteri Pertanian periode itu, harus dipanggil
khusus oleh Presiden Megawati. Namun pak Menteri, tidak kehilangan
strategi, beliau mengajak penulis, sebagai Kepala Badan Karantina, untuk
menjelaskan pertimbangan teknis secara langsung kepada Presiden. Penulis
menyampaikan pertimbangan teknis dan juga pertimbangan non-teknis
lainnya, diantaranya bagaimana penyimpangan pelaksanaan SK Menteri
Pertanian, yang mencantumkan biaya pemeriksaan impor sapi hidup adalah
Rp. 100,- per ekor, yang dalam pelaksanaannya importir harus membayar
Rp. 10.000,- per ekor, karena biaya percetakan formulir karantinanya saja
sudah Rp. 1000,- dan biaya fotocopi sudah Rp. 50,- per lembar. Penulis
menjelaskan nilai positif dari PP No. 22, selain biaya resmi dan mudah
dikontrol, petugas karantina dapat lebih nyenyak tidur karena mendapatkan
penghasilan yang halal dan perbaikan fasilitas untuk bekerja seperti mobil
dan motor. Alhamdulillah, Presiden Megawati dapat menerima penjelasan ini
dan memberikan dukungan kepada Menteri Pertanian untuk dilaksanakan
dengan catatan ada beberapa biaya seperti biaya pemasukan benih sayuran
yang harus diturunkan. Kejadian ini menarik perhatian Presiden Megawati,
untuk menyetujui pembukaan Rapat Kerja Nasional Badan Karantina
Pertanian tahun 2002 untuk dibuka secara resmi oleh Presiden Republik
Indonesia di Istana Merdeka, yang memberikan kesempatan kepada seluruh
pimpinan unit kerja Badan Karantina di Indonesia, untuk bertatap muka dan
berdialog langsung dengan Presiden Republik Indonesia. Pada kesempatan
tersebut, presiden menyampaikan apresiasi kepada keluarga besar Karantina
atas dedikasi yang tinggi dalam menjaga wilayah NKRI dari ancaman bahaya
asymetrik termasuk serangan biologis seperti penyakit antrax dan penyakit
zoonosis lainnya baik yang berasal dari hewan maupun dari tanaman.
Pengalaman penulis lainnya yang menarik dalam era sebagai Kepala
Badan Karantina adalah ketika menolak importasi jagung dari Argentina,
dimana Prof. Bungaran, sebagai Menteri Pertanian, menyampaikan bahwa
beliau mendapat telepon bahwa impor jagung dari Argentina telah mendapat
restu dan didukung oleh Bapak Taufik Kiemas, suami Presiden Megawati.
Prof. Bungaran yang menyadari hubungan kekerabatan penulis dengan
R1_Refleksi AGB.indd 213
07/04/2010 19:05:02
214
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Bapak Taufik Kiemas, menugaskan penulis untuk mengecek kebenaran
informasi tersebut sekaligus menjelaskan pertimbangan teknis terhadap
penolakan pemasukan impor jagung dari Argentina tersebut kepada bapak
Taufik Kiemas. Penugasan Menteri ini, sebenarnya menempatkan penulis
pada posisi yang sangat tidak enak, namun tetap penulis laksanakan, dan
alhamdulillah, bapak Taufik Kiemas menyampaikan agar disampaikan
kepada pak Bungaran, lakukan sesuai dengan aturan yang berlaku dan insya
Allah beliau tidak akan pernah memberikan dukungan terhadap hal yang
melanggar aturan apalagi mengancam keamanan wilayah NKRI dari serangan
bahaya asimetrik. Dengan informasi ini, Prof. Bungaran sebagai Menteri
Pertanian mengambil sikap tegas dan memerintahkan penulis sebagai Kepala
Badan Karantina untuk melakukan penolakan pemasukan impor jagung
dari Argentina tersebut. Belakangan penulis mengetahui bahwa impor
jagung karantina telah ditolak pemasukannya ke beberapa negara antara
lain Singapura karena alasan kekhawatiran telah terkontaminasi PMK yang
virusnya bersifat “airborne”.
Karantina akan menjadi lembaga yang besar dan diakui jika dikaitkan
dengan fungsinya sebagai “tools of trade” di era perdagangan bebas, hal
itulah yang ditanamkan Prof. Bungaran kepada penulis. Strategi lain yang
diambil penulis dalam menjalankan tugas sebagai Kepala Badan Karantina
adalah penguatan kapasitas internal terutama dalam kemampuan intelejen
pasar. Dengan dukungan Prof. Bungaran, sebagai Menteri Pertanian, penulis
merintis kerjasama dengan Badan Intelejen Nasional (BIN) dan mengirimkan
staf untuk memperdalam kemampuan intelejen di Pusat Pelatihan Intelejen
di Cilendek Bogor, pelatihan kemampuan penyidikan dengan mengirimkan
staf karantina mengikuti pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
di bawah Pusat Pelatihan Penyidik Kepolisian Republik Indonesia di
Megamendung. Untuk meningkatkan rasa percaya diri para karantinawan
dan karantinawati, penulis mengusulkan penggantian seragam petugas
karantina. Prakasa ini mendapat dukungan Prof. Bungaran, sebagai Menteri
Pertanian, dan atas bantuan DR. Ir. Rachmat Pambudi, penulis meminta
perancang nasional terkemuka ibu Poppy Dharsono, untuk membuatkan
rancangan busana seragam untuk petugas Karantina Pertanian. Sampai saat
ini rancangan seragam ini masih terus digunakan.
Kebijakan Proteksi dan Promosi
Bulan April 2003, Prof. Bungaran Saragih, Menteri Pertanian pada
kabinet Gotong Royong, melantik penulis menjadi Direktur Jenderal Bina
R1_Refleksi AGB.indd 214
07/04/2010 19:05:02
Dr. Delima Hasri Azahari Darmawan
215
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Salah satu dasar pertimbangan
Menteri Pertanian mengusulkan penulis pada posisi tersebut karena Menteri
Pertanian memandang perlunya penguatan dalam negosiasi dan diplomasi
di bidang Pertanian baik secara bilateral, regional, dan multilateral. Prof.
Bungaran yang mempunyai perhatian khusus dalam hal negosiasi dan
diplomasi merasakan perlunya memperkuat pilar negosiasi ini, mengingat
banyaknya Duta Besar negara sahabat yang mendatangi beliau untuk
membicarakan secara khusus diplomasi bidang pertanian. Tercatat, duta
besar Amerika Serikat yang secara khusus menegosiasikan kemungkinan
dibukanya importasi Chicken Leg Quarter (CLQ); duta besar Australia yang
ingin mengamankan pasar produk peternakannya termasuk live cattle dan
produk daging dan susu lainnya, duta besar New Zealand yang ingin tetap
menjaga pangsa pasar susu; duta besar Jepang yang menginginkan dukungan
Indonesia terhadap proposal multifunctionality serta duta besar Uni Eropa
yang mengkampanyekan konsep Euro Good Agriculture Practice (GAP). Ada
juga duta besar Brazil dan duta besar negara negara ASEAN seperti Thailand
dan Malaysia yang melakukan diplomasi untuk produk peternakan dan
produk perkebunan lainnya.
Pada posisi penulis sebagai Direktur Jenderal Pengolahan Pemasaran,
penulis juga menjadi Ketua Perundingan Perdagangan dalam bidang Pertanian,
yang membuat penulis mendapat julukan “The Flying DG” karena seringnya
penulis mendapat penugasan dari Menteri Pertanian menghadiri sidangsidang dan pertemuan baik bilateral, regional, dan multilateral. Atas arahan
Prof. Bungaran Saragih, selaku Menteri Pertanian, penulis melaksanakan
diplomasi kebijakan “Proteksi dan Promosi” dan mengkampanyekan
konsep “Special Product” sebagai perjuangan kelompok negara berkembang
di forum perundingan WTO. Kepedulian Prof Bungaran dalam penguatan
diplomasi dan negosiasi di bidang pertanian tercermin dari dukungan beliau
dalam pendirian sekretariat Satuan Tugas G-33 di Direktorat Jenderal
Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian.
Sekretariat Satgas G-33 bertujuan memberikan pertimbangan dan masukan
teknis dalam menyusun posisi delegasi Indonesia dalam perundingan
perdagangan di bidang pertanian.
Konsep Kebijakan Proteksi dan Promosi yang merupakan ide murni
Prof. Bungaran, penulis implementasikan dengan koordinasi yang erat secara
internal bersama Direktur Jenderal Tanaman Pangan yang saat itu dijabat
oleh Dr. Ir. Jafar Hafsah dan Direktur Jenderal Perkebunan yang saat itu
dijabat oleh Dr. Ir. Soebagyono, dan koordinasi eksternal dengan Direktur
R1_Refleksi AGB.indd 215
07/04/2010 19:05:03
216
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Jenderal Perdagangan Dalam Negeri yang saat itu dijabat oleh Ir. Ardiansyah
dan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, yang saat itu dijabat oleh
Ir. Rifana Erni. Salah satu keberhasilan kebijakan proteksi ini adalah adanya
kenaikan tarif bea masuk beras dan gula dari semula 0 persen menjadi 10
persen dan pembatasan waktu impor pada saat musim paceklik, ternyata
berhasil meningkatkan produksi beras dan gula nasional secara signifikan.
Kebijakan promosi diimplementasikan dalam bentuk mempromosikan
keunggulan produk perkebunan Indonesia di ajang pameran internasional.
Penulis mendapat penugasan untuk mempromosikan produk pertanian
Indonesia di pameran dunia di Rostock, Jerman; pameran produk hotikultura
di Shenchen, China dan Pattaya, Thailand; pameran produk peternakan di
Kuala Lumpur,Malaysia. Sementara itu, implementasi kebijakan promosi
di dalam negeri, penulis implementasikan dalam bentuk dukungan dan
penyelenggaraan Pameran Pertanian yang berskala nasional dan internasional
serta Pameran Pertanian di tingkat daerah seperti Jawa Timur Expo dan
Soropadan Expo di Jawa Tengah. Koordinasi erat dan harmonis dengan
berbagai instansi Pemerintah seperti Badan Peningkatan Ekspor Nasional
(BPEN), Departemen Perdagangan dan Direktorat Jenderal Industri Hasil
Pertanian, Departemen Koperasi dan UKM, serta KADIN, menambah
upaya implementasi kebijakan promosi ini semakin lancar dan hampir tanpa
kesulitan.
Upaya pelaksanaan kebijakan promosi dilaksanakan melalui
pembentukan Dewan Komoditi. Atas arahan Prof. Bungaran, penulis
mengkoordinasikan pembentukan Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI),
cikal bakal pembentukan Dewan Minyak Sawit Indonesia, yang menyatukan
organisasi yang bergerak di bidang persawitan seperti GAPKI, AMNI dan
APOLIN; pembentukan Dewan Minyak Atsiri Indonesia dan Dewan Kakao
Indonesia. Pembentukan dewan komoditi ini, bertujuan agar pelaku usaha
dibidang komoditi pertanian dapat mengorganisasikan diri, menyamakan
langkah dan strategi dalam menghadapi persaingan di era perdagangan bebas.
Untuk meningkatkan daya saing produk pertanian, Prof. Bungaran,
selaku Menteri Pertanian, memberikan arahan agar melakukan pembangunan
industri pedesaan dan pembenahan atau modernisasi pasar tradisional.
Dukungan Menteri Pertanian, penulis implementasikan dalam program
rehabilitasi dan modernisasi penggilingan padi, dan bantuan alat-alat
pengolahan serta pembangunan subterminal dan terminal agribisnis. Beberapa
terminal agribisnis seperti Jetis dan Soropadan serta Pasar Jakabaring di
Sumatera Selatan, sampai hari ini menjadi model pasar tradisional modern.
R1_Refleksi AGB.indd 216
07/04/2010 19:05:03
Dr. Delima Hasri Azahari Darmawan
217
Dukungan Prof. Bungaran, selaku Menteri Pertanian, terhadap
penguatan pilar negosiasi dan diplomasi di bidang pertanian disambut
hangat oleh rekannya, Menteri Luar Negeri yang saat itu dijabat oleh DR.
Hasan Wirayudha dan Menteri Perdagangan saat itu, ibu Rini Suwandhi.
Pertemuan koordinasi para Duta Besar republik Indonesia di negara-negara
penghasil beras dan gula dilaksanakan di Kedutaan Besar Republik Indonesia
(KBRI) di Bangkok, dan untuk Kelapa Sawit dilaksanakan di hotel Grand
Hyatt, Jakarta. Kegiatan ini membuktikan pemikiran prof Bungaran bahwa
diplomasi yang harus dilakukan saat ini bukanlah hanya diplomasi politik
saja, melainkan juga diplomasi ekonomi dan diplomasi komoditi.
Penutup
Penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada prof. Bungaran
Saragih, yang telah memberi kesempatan kepada penulis, sehingga penulis
dapat menimba ilmu secara langsung dari beliau selama menjadi pembantu,
staf, murid beliau terutama pada periode dimana beliau menjabat sebagai
Menteri Pertanian pada Kabinet Gotong Royong. Nasihat, arahan dan
wejangan dan keikhlasan Prof. Bungaran dalam membagi ilmu dan
pengalaman, akan penulis amalkan selama meneruskan perjuangan beliau
dalam pembangunan agribisnis di Indonesia. Selamat menikmati masa Purna
Bakti pak Menteri, tetap sehat, semangat dan Tuhan memberkati.
R1_Refleksi AGB.indd 217
07/04/2010 19:05:03
R1_Refleksi AGB.indd 218
07/04/2010 19:05:04
Download