Panduan Identifikasi Potensi dan Pemantauaan Biofisik - KKJI

advertisement
SUPLEMEN
PEDOMAN E-KKP3K
Panduan Identifikasi Potensi
dan Pemantauaan Biofisik
Kawasan Konservasi Perairan,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Kementerian Kelautan dan Perikanan
i
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam rangka mendukung upaya pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulaupulau kecil (KKP3K) secara efektif dan berkelanjutan telah ditetapkan sebagai bagian dari 2 (dua)
target strategis nasional. Pertama, konservasi berkelanjutan ditetapkan menjadi salah satu
indikator kinerja utama pembangunan kelautan dan perikanan (IKU KKP). Kedua, konservasi
berkelanjutan dijadikan sebagai prioritas capaian dalam Millennium Development Goals (MDGs)
dalam rangka mendukung pembangunan berkeadilan seperti yang dituangkan dalam Instruksi
Presiden 03/2010 tentang pembangunan berkeadilan.
Indikator pengelolaan kawasan konservasi secara berkelanjutan diartikan sebagai pengelolaaan
dengan memperhatikan kaidah-kaidah pemanfaatan dan pengelolaan yang menjamin ketersediaan
dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragaman sumberdaya yang ada. Untuk mengukur pengelolaan berkelanjutan, ditetapkan
standar indikator berdasarkan capaian pengelolaan kawasan konservasi. Parameter yang
digunakan adalah SK Pencadangan; Lembaga Pengelola; Rencana Pengelolaan; Penguatan
Kelembagaan (Kemitraan, Jejaring & SDM); Upaya Pengelolaan; Infrastruktur dan Sarana
Pengelolaan. Efektivitas pengelolaan dibagi dalam 5 tingkat berdasarkan parameter di atas
berupa: tingkat 1 (merah), telah memiliki SK Pencadangan; tingkat 2 (kuning), tingkat 1 +
lembaga pengelola terbentuk, rencana pengelolaan tersedia; tingkat 3 (hijau), tingkat 2 +
penguatan kelembagaan, infrastruktur dan upaya-upaya pokok pengelolaan; tingkat 4 (biru),
tingkat 3 + pengelolaan kawasan konservasi telah berjalan baik; tingkat 5 (emas), tingkat 4 +
mekanisme pendanaan berkelanjutan terbentuk (SK, kontribusi dari lembaga non Pemerintah).
Pedoman E-KKP3K disusun sebagai panduan dalam rangka mengevaluasi efektivitas pengelolaan
berkelanjutan kawasan konservasi di masing-masing lokasi dengan menggunakan indikatorindikator pengelolaan yang telah ditetapkan. Pedoman E-KKP3K merupakan pedoman baku
yang masih bersifat umum, oleh karena itu diperlukan pedoman-pedoman pelengkap
(supplemen) untuk memberikan arahan yang lebih detail kepada Kementerian Kelautan dan
Perikanan secara umum maupun pengelola kawasan secara khusus dalam mengukur kinerja
pengelolaan kawasan.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud disusunnya pedoman pelengkap (supplemen) aspek biofisik ini untuk memberikan
penjelasan dan panduan yang lebih rinci dalam mengukur dan mengevaluasi capaian pengelolaan
dari sudut pandang aspek biofisik di suatu kawasan konservasi seperti yang tercantum pada
PerMen KP Nomor PER. 17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, PerMen KP Nomor PER.02/MEN/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan
Konservasi Perairan serta PerMen KP Nomor PER.30/MEN/2010 tentang Rencana Pengelolaan
dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan.
1
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL.................................................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................................
iii
1.
PENDAHULUAN.......................................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................
1.2 Maksud dan Tujuan .............................................................................................
1
1
PEDOMAN UMUM SURVEI PENILAIAN POTENSI DAN
PEMANTAUAN ASPEK BIOFISIK KAWASAN
KONSERVASI PERAIRAN, PESISIR, DAN
PULAU-PULAU KECIL .............................................................................................
3
2.
2.1 Pendahuluan ..........................................................................................................
2.2 Panduan Penggunaan Alat Ukur Aspek Biofisik Kawasan ...........................
2.3 Alur Proses Identifikasi dan Pemantauan Aspek Biofisik
Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil ...................
2.3.1 Menentukan tujuan survei dan kerangka pemikiran .........................
2.3.2 Menentukan parameter dan indikator biofisik ...................................
2.3.3 Rancangan lokasi survei ..........................................................................
2.3.4 Melaksanakan survei pemantauan .........................................................
2.3.5 Melakukan evaluasi secara berkala .......................................................
2.4 Pengelolaan Data .................................................................................................
8
9
9
9
14
14
14
PEDOMAN TEKNIS IDENTIFIKASI DAN PEMANTAUAN
ASPEK BIOFISIK KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL .............................................................................................
15
CONTOH STUDI KASUS HASIL PEMANTAUAN
EKOSISTEM PESISIR DAN LAUT DI KAWASAN
KONSERVASI PERAIRAN .......................................................................................
75
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................
80
3.
4.
ii
3
4
DAFTAR TABEL
1.1
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
Daftar pertanyaan terkait aspek biofisik pada pedoman E-KKP3K .................
Lembar data ekologi metode Manta Tow ............................................................
Lembar data informasi survei metode Manta Tow.............................................
Lembar data pencatatan substrat dasar terumbu karang ..................................
Lembar data pencatatan genera/spesies karang...................................................
Daftar penggolongan bentuk pertumbuhan biota habitat
dasar terumbu karang dan kode yang digunakan ................................................
3.6 Lembar data pencatatan jenis substrat dasar .....................................................
3.7 Lembar data pencatatan jenis substrat dasar .....................................................
3.8 Lembar data pencatatan menggunakan metode Reef Check ..........................
3.9 Lembar data pencatatan rekrutmen karang ........................................................
3.10 Lembar data pencatatan makro invertebrata ......................................................
3.11 Lembar data penilaian tingkat lokasi .....................................................................
3.12 Lembar data penilaian tingkat koloni ....................................................................
3.13 Kode penilaian kemiringan terumbu .....................................................................
3.14 Kode penilaian tingkat pemutihan (lokasi) ...........................................................
3.15 Kode penilaian tingkat pemutihan (koloni karang) ............................................
3.16 Lembar data pencatatan ikan karang .....................................................................
3.17 Lembar data metode timed swim (ikan karang) .................................................
3.18 Lembar data pencatatan pemijahan ikan karang .................................................
3.19 Lembar data pencatatan data lamun menggunakan
metode Seagrass Watch ...........................................................................................
3.20 Lembar data pencatatan metode tepi padang lamun .........................................
3.21 Lembar data pencatatan data mangrove ..............................................................
3.22 Lembar data pencatatan kanopi mangrove ..........................................................
3.23 Lembar data pencatatan metode kesehatan mangrove ....................................
3.24 Parameter lingkungan perairan, peralatan, dan metode analisis .....................
3.25 Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air..............................
3.26 Standar baku mutu air laut ......................................................................................
3.27 Parameter, metode, dan instrument pengukuran baku mutu
air laut..........................................................................................................................
iii
5
20
21
24
26
28
29
32
34
38
41
44
45
46
46
46
49
51
54
58
62
65
68
71
72
74
74
74
DAFTAR GAMBAR
2.1 Diagram alir identifikasi, inventarisasi, dan pemantauan aspek
biofisik kawasan konservasi perairan .....................................................................
2.2 Diagram alir proses perancangan survei identifikasi dan
Pemantauan kawasan .................................................................................................
2.3 Ilustrasi penentuan titik survei dengan beberapa pendekatan ..........................
2.4 Illustrasi pengelompokan titik lokasi survei berdasarkan zona,
menggunakan pendekatan model terstratifikasi di sebuah
kawasan konservasi perairan. ..................................................................................
2.5 Illustrasi aplikasi penempatan lokasi titik survei pemantauan
berdasarkan zonasi di sebuah kawasan konservasi perairan ............................
3.1 Cara melakukan pengamatan denga manta tow ..................................................
3.2 Papan manta tow .......................................................................................................
3.3 Posisi pengamatan dalam metode manta tow ......................................................
3.4 Kategori persentase penutupan substrat ..............................................................
3.5 Posisi peletakan transek untuk survei invertebrata, transek
Sepanjang 100 meter diletakkan secara seri sejajar garis
Pantai di dua kedalaman; di masing-masing kedalaman
Dilakukan 2 ulangan ...................................................................................................
3.6 Lebar transek metode visual sensus ikan karang.................................................
3.7 Peletakan transek garis dan transek kuadrat pada metode
Seagrass watch .............................................................................................................
3.8 Jenis lamun beserta kode pencatatan dan ciri khususnya ..................................
3.9 Estimasi persen penutupan lamun ..........................................................................
4.1 Rata-rata ((+SE) tutupan karang keras (%) di 27
Lokasi survei: perbandingan antara wilayah pengelolaan
pada dua kedalaman yang berbeda .........................................................................
4.2 Rata-rata (+SE) tutupan karang keras (%) berdasarkan
wilayah pengelolaan, pada dua kedalaman yang berbeda ...................................
4.3 Biomassa (kg/ha) rata-rata (±SE) ikan karang hasil
pengamatan tahunan di setiap zona di KKPD
Kepulauan Ujung Cakrawala. ....................................................................................
4.4 Kelimpahan (no/ha) Rata-rata (±SE) ikan karang hasil
pengamatan tahunan di setiap zona di KKPD
Kepulauan Ujung Cakrawala ...................................................................................
4.5 Kelimpahan (ind/ha) ikan karang (±SE) berdasarkan
kelas ukuran tiap tahun pengamatan di KKPD
Ujung Cakrawala .........................................................................................................
iv
7
8
11
12
13
16
16
17
17
40
48
57
59
60
76
76
78
78
79
Adapun tujuan pedoman pelengkap biofisik sendiri adalah sebagai berikut:
(1) Memberikan penjelasan dan panduan yang lebih rinci dari pedoman E-KKP3K, khususnya
yang terkait dengan aspek biofisik kepada pengelola dan pemangku kepentingan terkait.
(2) Menyediakan perangkat yang bisa digunakan oleh pengelola kawasan serta pemangku
kepentingan terkait di tingkat daerah maupun nasional dalam merencanakan dan
melakukan proses identifikasi serta pemantauan aspek biofisik di suatu kawasan dalam
rangka mendukung pengelolaan kawasan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulaupulau kecil yang efektif dan berkelanjutan.
2
BAB 2
PEDOMAN UMUM SURVEI PENILAIAN POTENSI DAN PEMANTAUAN ASPEK
BIOFISIK KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PEISISR, DAN PULAU-PULAU
KECIL
2.1 Fungsi dan Manfaat Pemantauan Biofisik
Salah satu tujuan pendirian kawasan konservasi perairan adalah untuk perlindungan
keanekaragaman sumberdaya hayati serta ekosistem pesisir dan laut yang ada di dalamnya.
Ekosistem pesisir dan laut yang terdiri dari ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu
karang merupakan ekosistem penting dimana ketiganya merupakan sumber dari berbagai biota
dan pusat keanekaragaman hayati laut. Keberadaan ketiga ekosistem tersebut memiliki
keterkaitan fungsi dan peran antar ekosistem. Ketiga ekosistem tersebut memiliki fungsi nilai
dilihat dari aspek ekologis maupun aspek ekonomis. Dalam kaitannya dengan sumberdaya hayati,
ketiga ekosistem tersebut merupakan tempat mencari makan (i), tempat memijah (ii), serta
merupakan daerah asuhan (iii) bagi berbagai biota laut yang berasosiasi.
Berdasarkan SK Dirjen KP3K No.44 tahun 2012 mengenai Pedoman Penilaian Efektivitas
Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (E-KKP3K), kondisi
ekosistem pesisir dan laut disuatu kawasan yang merupakan bagian dari aspek biofisik
pengelolaan perlu diidentifikasi, dinilai potensinya, serta dipantau (monitor) secara berkala
sebagai bagian dari proses pengelolaan.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk tetap menjaga keberadaan potensi sumberdaya di suatu
kawasan konservasi perairan adalah dengan penyediaan informasi mengenai kondisi biofisik di
dalamnya. Penyediaan informasi melalui pemantauan merupakan tahapan penting dalam rangka
menilai kinerja impelementasi program pengelolaan yang dilakukan di suatu kawasan.
Pemantauan merupakan proses pengumpulan data dan informasi yang dilakukan oleh seseorang
atau kelompok orang secara periodik dan berulang menjadi satu basis data dan informasi yang
baku. Secara lengkap dapat dikatakan bahwa pemantauan merupakan sekumpulan survei yang
dilakukan secara periodik dan berulang yang dikumpulkan dalam satu basis data dan informasi
yang baku. Pada umumnya pemantauan diawali dengan survei dasar (survei awal) yang dapat
digunakan sebagai acuan terhadap parameter-parameter yang dapat tetap/berubah terhadap
waktu.
Pemantauan dan survei merupakan salah satu tahapan dari proses pengelolaan. Tahapan tersebut
dinilai penting karena dilakukan dalam rangka menilai kinerja implementasi program pengelolaan
sehingga dapat dilakukan evaluasi untuk perbaikan siklus tahapan pengelolaan berikutnya.
Pemantauan dapat dilakukan terhadap kinerja pengelolaan ataupun dampak atau hasil dari
pengelolaan tersebut.
Survei pemantauan dalam senuah kawasan konservasi bertujuan untuk memantau, melihat, dan
mengamati perubahan-perubahan yang terjadi terhadap parameter dalam suatu lingkungan
sehingga perubahan-perubahan tersebut dapat dijadikan masukan dalam pengelolaan. Secara
umum, survei pemantauan bermanfaat untuk:
3
a. Peningkatan kinerja
Pemantauan mampu mendukung peningkatan kinerja pengelolaan dari sisi input pengelolaan
(apa, berapa, mengapa, kapan), proses pengelolaan (bagaimana input digunakan dan bagaimana
output dihasilkan), serta output dari pengelolaan itu sendiri (apa, berapa, mengapa dan
kapan).
b. Peningkatan dampak
Pemantauan mampu merangsang peningkatan dampak pengelolaan, karena hasil dari kegiatan
pemantauan dapat menjadi input sebagai dasar untuk mengendalikan program sesuai dengan
tujuan pengelolaan.
c. Proses belajar/pemberdayaan
Pemantauan merupakan proses yang mengandung kegiatan belajar dan sekaligus
pemberdayaan, termasuk memperkuat organisasi dan inisiatif pembangunan yang mandiri di
masyarakat.
d. Keberlanjutan
Pemantauan dan survei dapat menjamin keberlanjutan pengelolaan.
e. Membangun teori agar lebih mengerti arti masyarakat dan pembangunan.
Pemantauan dapat digunakan sebagai wahana pembangunan teori untuk memahami arti
masyarakat, pembangunan, serta pemberdayaan.
Panduan ini memberikan gambaran serta arahan dalam melakukan kajian aspek biofisik untuk
mengukur efektivitas pengelolaan di kawasan konservasi perairan dan pulau-pulau kecil. Secara
garis besar buku panduan ini terbagi kedalam tiga bagian utama yaitu: (i) rancangan serta
perencanaan survei identifikasi dan pemantauan, (ii) metode teknis pengambilan data biofisik
(bio-ekologi dan kualitas air), serta (iii) contoh studi kasus hasil pemantauan biofisik di kawasan
konservasi perairan.
Metode-metode teknis pengambilan data aspek biofisik yang disajikan dalam buku panduan ini
adalah metode yang umum digunakan, dan tidak menutup kemungkinan penggunaan metodemetode lain yang diakui secara ilmiah. Metode-metode lain terkait kajian terhadap spesies atau
jenis ikan tertentu yang mungkin menjadi target konservasi (mis: penyu, dugong, hiu) tidak
tercakup di dalam panduan ini. Pada prakteknya, pengelola kawasan dapat berkonsultasi dan
bekerjasama dengan pihak maupun lembaga yang berkompeten dalam melaksanakan survei
pemantauan untuk spesies/jenis ikan tertentu tersebut. Selanjutnya, rancangan survei dan
pemilihan metode sangat ditentukan oleh berbagai faktor, diantaranya: tujuan survei,
karakteristik lokasi, luas kawasan, jenis dan ekosistem/habitat yang menjadi target konservasi di
suatu kawasan konservasi.
2.2 Panduan Penggunaan Alat Ukur Aspek Biofisik Kawasan
Aspek biofisik merupakan salah satu dari tiga aspek Pengelolaan Kawasan Konservasi Pesisir,
Perairan, dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) yang diukur menggunakan pedoman E-KKP3K. Aspek
biofisik diukur dan dipantau di empat tingkatan status pengelolaan, yaitu tingkat merah (kawasan
4
diinisiasi), kuning (kawasan didirikan), hijau (kawasan dikelola secara minimum), serta biru
(kawasan dikelola secara optimal).
Pada tingkat merah, aspek biofisik diukur dan diinventarisasi sebagai bagian dari proses penilaian
potensi dari sebuah KKP3K. Pada tingkat kuning aspek biofisik sumberdaya yang sudah diukur
dan diinventarisasi harus dimuat di dalam dokumen rencana pengelolaan. Pada tingkat hijau
aspek biofisik sumberdaya diukur sebagai data kondisi awal yang akan menjadi tolok ukur bagi
proses-proses lanjutan pengelolaan sumberdaya kawasan. Pada tingkat biru, aspek biofisik
diukur kembali sebagai bagian dari proses pemantauan (monitoring) terhadap dampak
pengelolaan sumberdaya kawasan atau spesies target yang dilindungi di dalam suatu kawasan.
Secara detil, pertanyaan-pertanyaan di dalam pedoman E-KKP3K yang terkait dengan aspek
biofisik disajikan pada Tabel 2.1. Selanjutnya alur proses identifikasi, inventarisasi, dan
pemantauan aspek biofisik serta alat verifikasinya di masing-masing tingkatan pengelolaan
disajikan pada Gambar 2.1.
Tabel 1.1 Daftar pertanyaan terkait aspek biofisik pada pedoman E-KKP3K
MERAH
Kriteria
2: Identifi-kasi &
Inventarisasi
calon kawasan
KUNING
5: Rencana
Pengelolaan dan
Zonasi
HIJAU
10: Pelaksanaan
Rencana
pengelolaan dan
Zonasi
Nomor
M3
Pertanyan
Apakah survei dan penilaian potensi
calon kawasan konservasi sudah
dilakukan berdasarkan PerMen KP
Nomor PER.02/MEN/2009 dan/atau
PerMen KP Nomor PER.17/MEN/2008?
Alat Verifikasi
Laporan kajian sesuai
PerMen KP Nomor
PER.02/MEN/2009
dan/atau PerMen KP
Nomor
PER.17/MEN/2008.
K14
Apakah dokumen rencana pengelolaan
sudah memuat informasi sumberdaya &
sosial-ekonomi-budaya yang dapat
dijadikan sebagai data garis dasar (t0)?
 Dokumen Rencana
Pengelolaan:
Matriks/Ringkasan
Rencana pengelolaan,
yang berisi Informasi
sumberdaya – garis
dasar.
 Dokumen Pendukung
Lainnya.
H34
Apakah pengukuran kondisi awal
sumberdaya sudah dilaksanakan?
Dokumen rencana
pengelolaan dan atau
laporan survei.
B57
Bagaimana kondisi habitat sumberdaya
ikan dalam kawasan?
Apakah terjadi perbaikan kondisi habitat
di zona inti, zona perikanan
berkelanjutan, zona pemanfaatan,
pemanfaatan terbatas dan/atau zona
lainnya, seperti yang ditunjukkan oleh
peningkatan tutupan ekosistem
terumbu karang dan/atau padang lamun
BIRU
14: Pengelolaan
Sumberdaya
Kawasan
B57A
5
Kondisi t0 (garis dasar)
di masing-masing zona
dibandingkan dengan
hasil pemantauan
habitat sumberdaya ikan
di zona-zona tersebut
(harus menunjukkan
B57B
B57C
B58
B58A
B58B
B58C
dan/atau hutan bakau?
Apakah terjadi perbaikan kondisi habitat
di zona inti, zona perikanan
berkelanjutan, zona pemanfaatan,
pemanfaatan terbatas dan/atau zona
lainnya, seperti yang ditunjukkan oleh
peningkatan luasan ekosistem terumbu
karang dan/atau padang lamun dan/atau
hutan bakau?
Apakah kualitas fisika-kimia-geologi
perairan di zona inti, zona perikanan
berkelanjutan, zona pemanfaatan,
pemanfaatan terbatas, dan/atau zona
lainnya, terjaga/terpelihara?
Bagaimana kondisi populasi ikan atau
species target non-ikan di dalam
kawasan?
Apakah kondisi populasi ikan terpelihara
atau meningkat di zona inti, zona
perikanan berkelanjutan dan zona
pemanfaatan?
Apakah kondisi kualitas (ukuran
panjang/berat) ikan dominan yang ada di
dalam zona inti, zona perikanan
berkelanjutan, zona pemanfaatan
dan/atau zona pemanfaatan terbatas,
terpelihara atau meningkat?
Apakah jumlah tangkapan nelayan di zona
perikanan berkelanjutan/zona
pemanfaatan terbatas (perikanan
tangkap) tetap atau meningkat?
B58D
Apakah jumlah produksi nelayan di zona
perikanan berkelanjutan/zona
pemanfaatan terbatas (budidaya) tetap
atau meningkat?
B58E
Apakah jumlah dan keanekaragaman
jenis/species target non-ikan di zona inti,
zona perikanan berkelanjutan, zona
pemanfaatan dan/atau zona pemanfaatan
terbatas, terpelihara atau meningkat?
Apakah populasi species endemik
kawasan tetap atau meningkat?
B58F
6
data deret waktu).
Kondisi t0 (garis dasar)
di masing-masing zona
dibandingkan dengan
hasil pemantauan
habitat sumberdaya ikan
di zona-zona tersebut
(harus menunjukkan
data deret waktu).
Kondisi t0 (garis dasar)
di masing-masing zona
dibandingkan dengan
hasil pemantauan
kualitas fisika-kimiageologi perairan di
zona-zona tersebut
(harus menunjukkan
data deret waktu).
Laporan pemantauan
populasi ikan sesuai
target konservasi
(termasuk biomassa,
jumlah jenis ikan,
kelimpahan,
keragaman).
Laporan pemantauan
kualitas (ukuran
panjang/berat) ikan di
zona-zona dimaksud.
Laporan pemantauan
jumlah tangkapan ikan
oleh nelayan (biomassa
total per jumlah nelayan
per satuan/periode
waktu tertentu).
Laporan pemantauan
produksi hasil budidaya
(biomassa total per
jumlah nelayan per
satuan/ periode waktu
tertentu).
Laporan pemantauan
jumlah dan
keanekaragaman
jenis/species target
non-ikan.
Laporan pemantauan
populasi species
endemik.
NOTE : hapus bag atas level ekkp3k, keterangan kuning dan hijau lihat sosek
Kawasan mandiri
Kawasan
dicadangkan
Kawasan
didirikan
Kawasan dikelola
minimum
Kawasan dikelola
optimum
Kondisi habitat sumberdayaikan
Survei dan penilaian potensi
calon kawasan konservasi sudah
dilakukan berdasarkan PerMen
KP Nomor PER.02/MEN/2009
dan/atau PerMen KP Nomor
PER.17/MEN/2008
Dokumen rencana
pengelolaan sudah
memuat informasi
sumberdaya yang dapat
dijadikan sebagai data
garis dasar (t0)
Pengukuran kondisi awal
sumberdaya sudah
dilaksanakan
• Terjadi perbaikan kondisi habitat di masing-masing
zona
• Kualitas fisika-kimia-geologi perairan di masingmasing zona terjaga/terpelihara
Kondisi populasi ikan atau species target non-ikandi
dalamkawasan
• Kondisi populasi ikan terpelihara atau meningkat di
zona inti, zona perikanan berkelanjutan dan zona
pemanfaatan.
• Kondisi kualitas (ukuran panjang/berat) ikan dominan
yang ada di dalam zona inti, zona perikanan
berkelanjutan, zona pemanfaatan dan/atau zona
pemanfaatan terbatas, terpelihara atau meningkat.
• Jumlah tangkapan nelayan di zona perikanan
berkelanjutan/zona pemanfaatan terbatas (perikanan
tangkap) tetap atau meningkat.
• Jumlah produksi nelayan di zona perikanan
berkelanjutan/zona pemanfaatan terbatas (budidaya)
tetap atau meningkat.
• Jumlah dan keanekaragaman jenis/species target nonikan di zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona
pemanfaatan dan/atau zona pemanfaatan terbatas,
terpelihara atau meningkat.
• Populasi species endemik kawasan tetap atau
meningkat.
Alatverifikasi
Alatverifikasi
Alatverifikasi
Alatverifikasi
Laporan kajian sesuai PerMen KP
Nomor PER.02/MEN/2009 dan/atau
PerMen KP Nomor
PER.17/MEN/2008.
• Dokumen Rencana
Pengelolaan:
Matriks/Ringkasan Rencana
pengelolaan, yang berisi
Informasi sumberdaya –
garis dasar.
• Dokumen Pendukung
Lainnya
Dokumen rencana
pengelolaan dan atau laporan
survei.
• Kondisi t0 (garis dasar) di masing-masing zona dibandingkan
dengan hasil pemantauan habitat sumberdaya ikan di zona-zona
tersebut (harus menunjukkan data deret waktu).
• Laporan pemantauan populasi ikan sesuai target konservasi
(termasuk biomassa, jumlah jenis ikan, kelimpahan, keragaman).
• Laporan pemantauan kualitas (ukuran panjang/berat) ikan di
zona-zona dimaksud.
• Laporan pemantauan jumlah tangkapan ikan oleh nelayan
(biomassa total per jumlah nelayan per satuan/periode waktu
tertentu).
• Laporan pemantauan produksi hasil budidaya (biomassa total
per jumlah nelayan per satuan/ periode waktu tertentu).
• Laporan pemantauan jumlah dan keanekaragaman jenis/species
target non-ikan.
• Laporan pemantauan populasi species endemik.
Gambar 2.1. Diagram alir identifikasi, inventarisasi, dan pemantauan aspek biofisik kawasan
konservasi perairan
2.3 ALUR PROSES IDENTIFIKASI DAN PEMANTAUAN ASPEK BIOFISIK
KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PESISIR, DAN PULAU-PULAU
KECIL
Sebelum melakukan survei, khususnya untuk pengambilan data dasar (baseline survey) maka perlu
dilakukan kajian-kajian awal untuk membuat sebuah rancangan survei, sehingga survei yang akan
dilakukan menghasilkan output yang optimal dan sesuai dengan tujuan pengelolaan di sebuah
7
kawasan konservasi. Secara umum alur proses tersebut terbagi atas lima tahapan yang dimulai
dari penentuan tujuan survei dan kerangka pemikiran, pementuan parameter dan indikator
biofisik, hingga proses evaluasi secara berkala (Gambar 2.2).
MENENTUKAN TUJUAN SURVEI DAN
KERANGKA PEMIKIRAN
Sangat menentukan dalam pengambilan
keputusan dan mengkaji capaian pengelolaan
MENENTUKAN PARAMETER DAN
INDIKATOR BIOFISIK
-
Habitat penting
Ikan target konservasi
Spesies non-ikan penting
Parameter fisika/kimia perairan
RANCANGAN SURVEI
- Variabilitas
- Keterwakilan dan metode pengambilan data
- Sebab akibat dan kontrol
MALAKSANAKAN SURVEI
PEMANTAUAN
MELAKUKAN EVALUASI SECARA BERKALA
Evalusi secara berkala dilakukan pada saat survei
berjalan dan setelah survei dilakukan.
Gambar 2.2 Diagram alir proses perancangan survei identifikasi dan pemantauan kawasan
2.3.1 Menentukan tujuan survei dan kerangka pemikiran
Menentukan tujuan dari survei yang akan dilakukan merupakan dasar dalam mengambil
keputusan dalam mengkaji capaian pengelolaan setelah survei dilakukan yang digambarkan
dengan indikator keberhasilan. Penentuan tujuan ini sangat penting karena akan sangat
menentukan rancangan survei secara keseluruhan. Salah satu contoh dari sebuah tujuan survei
8
misalnya: ‘mengukur kondisi penutupan substrat dasar terumbu karang di zona inti dan zona
pemanfaatan sebagai indikator efektivitas pengelolaan kawasan’.
2.3.2 Menentukan parameter dan indikator biofisik
Langkah selanjutnya adalah menentukan parameter dan indikator biofisik yang digunakan dalam
mengukur dampak pengelolaan disebuah kawasan yang akan dilakukan pemantauan. Penentuan
paramater biofisik yang diukur didasarkan atas beberapa hal diantaranya: (i) tujuan konservasi,
(ii) target ekosistem dan jenis yang dikonservasi, dan/atau (iii) parameter lainnya yang umum
digunakan dalam mengukur kesehatan suatu ekosistem, kestabilan populasi suatu spesies, serta
dampak pengelolaan di suatu kawasan konservasi.
2.3.3 Rancangan lokasi survei
Langkah ketiga adalah mengembangkan rancangan lokasi survei, yang ditetapkan berdasarkan
tujuan survei. Rancangan survei berhubungan dengan metode analisis dan pendekatan statistik
yang akan dilakukan terhadap data yang telah dikumpulkan. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam merancang lokasi survei antara lain:
 Variabilitas
Variabilitas merupakan variasi kondisi lokasi survei berdasarkan waktu, ruang dan kesalahan
data. Variabilitas waktu suatu daerah, misalnya musim dapat dijadikan pertimbangan kapan
waktu yang tepat untuk melakukan kegiatan survei. Selanjutnya variabilitas
ruang/geografi/spasial suatu wilayah dapat menjadi pertimbangan penentuan titik lokasi survei.
Rancangan survei dengan stratifikasi berdasarkan pertimbangan waktu dan ruang lebih baik
dibandingan dengan metode acak.
 Keterwakilan dan teknik pengambilan data
Data yang diambil pada saat survei harus merupakan representasi atau keterwakilan dari
suatu kawasan. Biasanya bias informasi terjadi disebabkan karena lokasi survei bukan
merupakan representasi dari suatu kawasan. Beberapa teknik pengambilan data dapat
digunakan untuk mengurangi bias yang kemungkinan terjadi. Salah satu teknik pengambilan
data yang umum digunakan adalah teknik pengambilan data dengan metode acak. Beberapa
teknik pengambilan data lainnya dapat digunakan dengan pertimbangan kondisi wilayah yang
akan di sampling. Selanjutnya tentukan teknik/metode pengambilan data berdasarkan
parameter yang akan diukur, sebagai contoh:
- Coral cover (tutupan karang)
: Manta Tow, Point Intercept Transect (PIT)
- Struktur komunitas
: Line intersept Transect (LIT)
- Biomassa
: Belt Transect
Catatan penting: setelah metode pengambilan data untuk pemantauan dipilih/ditetapkan di
suatu kawasan, maka metode tersebut menjadi metode baku yang digunakan seterusnya
untuk kegiatan pemantauan secara periodik di kawasan tersebut; sehingga data kondisi
biofisik antar waktu dapat diperbandingkan.
9
 Perlakuan zonasi dan lokasi kontrol
Pada beberapa lokasi yang memiliki perlakuan zonasi seperti kawasan konservasi perairan,
maka pengambilan data perlu mempertimbangan adanya pengelompokan terhadap perlakuan
zonasi tersebut. Adanya perbedaan aturan di masing-masing zona di suatu kawasan
konservasi dapat menyebabkan perubahan terhadap kondisi biofisik yang menjadi parameter
yang diukur. Oleh karena itu perlu dilakukan pengambilan data yang memenuhi keterwakilan
dari masing-masing zona serta di lokasi lainnya sebagai kontrol atau pembanding. Lokasi
kontrol harus memiliki kondisi fisik dan ekologi yang relatif sejenis dengan lokasi utama
pengambilan data. Selanjutnya, maka beberapa hal yang perlu dilakukan dalam proses
menentukan titik lokasi pengambilan data adalah:
 Studi awal
Studi awal berdasarkan informasi yang ada atau desktop study dapat dilakukan untuk
menentukan titik lokasi pengambilan data dan kontrol. Studi awal berguna untuk
menghemat waktu dan biaya dalam menentukan lokasi survei. Hal ini dilakukan pada
proses identifikasi awal potensi suatu kawasan konservasi.
 Titik lokasi Pengambilan data
Sebagai contoh, lokasi sampling harus mempertimbangkan keterwakilan tipe-tipe
ekosistem terumbu karang yang ada di suatu kawasan (reef flat, main reef atau reef slope).
Beberapa metode yang dapat dilakukan untuk menentukan titik sampling antara lain
(Gambar 2.3):
- Metode acak
- Metode sistematis
- Acak terstratifikasi
 Lokasi Kontrol
Menentukan lokasi kontrol harus mempertimbangan kemiripan dengan kondisi lokasi
utama pengambilan data.
 Estimasi ukuran pengambilan data.
Ukuran pengambilan data (jumlah titik survei atau jumlah ulangan transek di masing-masing
titik survei) harus mempertimbangkan tingkat akurasi data yang diharapkan, disesuaikan
dengan tujuan survei.
10
a. Metode Acak
c. Metode Sistematis
c. Metode Terstratifikasi
Gambar 2.3 Ilustrasi penentuan titik survei dengan beberapa pendekatan
Untuk tujuan pemantauan sumberdaya kawasan secara periodik dimana zonasi telah
ditetapkan, pendekatan yang umum dilakukan dalam penentuan lokasi survei adalah metode
terstratifikasi. Metode ini membantu memastikan keterwakilan titik-titik survei di masingmasing zona di suatu kawasan. Sebagai illustrasi, sistematika pengelompokan dan penentuan
titik-titik survei berdasarkan zonasi yang ada di suatu kawasan disajikan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 hanya memberikan illustrasi minimum, oleh karena itu pengambilan titik survei di
zona-zona lainnya serta jumlah ulangan transek di masing-masing titik survei sangat
dimungkinkan untuk ditambah yang disesuaikan dengan rancangan survei.
Aplikasi
penempatan lokasi titik survei pemantauan diilustrasikan pada Gambar 2.5. Pada gambar
tersebut dicontohkan bahwa lokasi pemantauan diletakkan untuk memenuhi keterwakilan
zona inti, pemanfaatan, dan rehabilitasi dengan jumlah. Sekali lagi bahwa penentuan lokasi
titik survei sangat ditentukan oleh tujuan survei tersebut.
11
T1
T2
T3
T1
T2
T3
T1
T2
T3
S3
T1
T2
T3
S1
T1
T2
T3
S2
ZI-2
T1
T2
T3
S3
T1
T2
T3
S1
T1
T2
T3
S2
ZI-3
T1
T2
T3
S3
T1
T2
T3
S1
T1
T2
T3
S2
ZP-1
T1
T2
T3
S3
T1
T2
T3
S1
T1
T2
T3
S2
ZP-2
T1
T2
T3
S3
T1
T2
T3
S1
ZONA PEMANFAATAN
T1
T2
T3
S2
ZP-3
T1
T2
T3
S3
T1
T2
T3
S1
T1
T2
T3
S2
ZB-1
T1
T2
T3
S3
T1
T2
T3
S1
T1
T2
T3
S2
ZB-2
T1
T2
T3
S3
T1
T2
T3
S1
T1
T2
T3
S2
ZB-3
T1
T2
T3
S3
ZONA PERIKANAN BERKELANJUTAN
12
Gambar 2.4 Illustrasi pengelompokan titik lokasi survei berdasarkan zona, menggunakan pendekatan model terstratifikasi di sebuah kawasan
konservasi perairan. Keterangan: ZI=Zona Inti, ZP=Zona Pemanfaatan, ZB=Zona Perikanan Berkelanjutan, S=Tiik Survei, T=Transek
(Modifikasi dari Wilson and Green 2009).
S2
S1
ZI-1
ZONA INTI
KAWASAN KONSERVASI PESISIR, PERAIRAN, DAN PULAU-PULAU KECIL
13
Gambar 2.5 Illustrasi aplikasi penempatan lokasi titik survei pemantauan berdasarkan zonasi di sebuah kawasan konservasi perairan
2.3.4 Melaksanakan survei pemantauan
Langkah keempat merupakan kegiatan teknis survei itu sendiri. Pada pelaksaan survei tersebut
sebaiknya dilakukan pendokumentasian kegiatan sebagai bukti atau data pendukung dalam
interpretasi data dan laporan. Dalam kegiatan survei terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan
untuk meminimalisasi kesalahan, diantaranya:
 Data harus ditulis dengan jelas.
 Pengecekan lembar data selama survei untuk memastikan data sudah terisi dengan lengkap
dan benar.
 Jika survei dilakukan oleh lebih dari satu tim (satu pasang), maka diperlukan standarisasi agar
tidak terjadi perbedaan dalam pengambilan dan interpretasi data.
2.3.5 Melakukan evaluasi secara berkala
Evalusi secara berkala dilakukan pada saat survei berjalan dan setelah survei dilakukan. Evaluasi
pada saat survei berjalan dilakukan dengan menitik-beratkan pada evaluasi satu hari kegiatan
survei untuk perbaikan kegiatan esok hari. Evaluasi setelah survei dilakukan adalah evaluasi yang
menyeluruh untuk melihat capaian dari tujuan survei.
2.4 Pengelolaan Data
Hal teknis lain yang perlu dipertimbangkan adalah pengelolaan data untuk persiapan analisis data.
Dalam pengelolaan data yang perlu dipertimbangkan adalah:
• Menentukan salah seorang dari tim survei sebagai penanggung jawab data.
• Mengecek lembar data setiap selesai pengambilan data untuk memastikan data sudah terisi
dengan lengkap dan benar.
• Selalu buat back-up data dan simpan di tempat yang khusus dan aman.
• Input data dalam database dengan format yang konsisten.
• Verifikasi database dengan membandingkan hasil print out data dengan data mentah.
• Selalu buat back-up file data dan simpan di folder yang khusus.
14
BAB 3
PEDOMAN TEKNIS IDENTIFIKASI DAN PEMANTAUAN ASPEK BIOFISK
KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
SURVEI EKOSISTEM TERUMBU KARANG
1. Manta Tow
Definisi
Manta Tow merupakan survei area substrat dasar terumbu karang pada wilayah dengan kondisi
air yang jernih (jarak pandang yang baik) dengan cakupan daerah yang luas. Survei ini dilakukan
oleh penyelam snorkel yang ditarik di belakang perahu kecil. Umumnya metode ini digunakan
untuk mengamati perubahan secara menyeluruh pada komunitas bentik yang ada pada terumbu
karang, termasuk kondisi terumbu karang tersebut. Selain itu, metode ini juga digunakan untuk
mengetahui pengaruh gangguan berskala luas, misalnya: badai, coral bleaching, dan ledakan
populasi Acanthaster planci (bintang laut berduri). Teknik ini juga berguna untuk mengetahui
kondisi umum, keragaman dan keseragaman suatu komunitas karang sehingga dapat dipakai
untuk menentukan lokasi-lokasi yang mewakili area terumbu karang yang luas, untuk kemudian
di survei lebih lanjut dengan metode yang lebih teliti.
Tujuan
Manta Tow dilakukan untuk mendapatkan pandangan umum mengenai suatu wilayah
menyangkut berbagai jenis dan jumlah habitat dan hal-hal lain yang bisa diamati.
Alat yang dibutuhkan
-
Perahu kecil berbahan bakar (mesin bertenaga 5 pk)
Masker dan snorkel (dengan fin lebih baik)
Papan Manta
Papan Sabak
Kertas tulis bawah air (jika ada)
Alat tulis (pensil, spidol, penggaris)
Peta wilayah
Jam tangan terutama yang memiliki satuan hitungan detik
Tali 20 meter (berdiameter minimal 1 cm dan ditandai pada 6 m dan 12 m dari salah satu
ujungnya dengan menggunakan pelampung kecil)
GPS atau kompas
Pelampung
Survei lokasi (peta dan lapangan)
Administrasi
Logistik
15
Metode Pengamatan:
1. Satu tim terdiri dari minimal 3 orang:
a. pencatat data (observer);
b. pencatat waktu: bertugas untuk mencatat waktu pengambilan data, mencatat posisi (GPS
atau Kompas), dan mengawasi keselamatan observer;
c. pengemudi.
2. Observer dihubungkan dengan menggunakan perahu menggunakan tali sepanjang lebih kurang
18 meter. Kemudian pada jarak 6 dan 12 meter dari salah satu ujung tali diikatkan
pelampung sebagai alat bantu pencatat data mengukur kecerahan air (Gambar 3.1).
Gambar 3.1 Cara melakukan pengamatan denga manta tow
3. Papan manta berukuran 60 x 40 x 2 cm digunakan sebagai alat berpegangan dan mencatat
bagi observer. Observer melakukan pencatatan pada sabak atau kertas bawah air (jika ada)
dengan menggunakan pensil (Gambar 3.2).
Gambar 3.2 Papan manta tow
16
4. Kapal bergerak dengan kecepatan yang tidak terlalu cepat, sehingga memberikan cukup
waktu bagi observer untuk mengamati dan mencatat hasil pengamatan dengan baik. Observer
menduga persentase penutupan dari komponen-komponen yang sudah disepakati
sebelumnya (misal: penutupan karang hidup, karang lunak, alga, pasir dan ikan karang)
(Gambar 3.3 dan 3.4).
Gambar 3.3 Posisi pengamatan dalam metode manta tow
Gambar 3.4 Kategori persentase penutupan substrat
17
5. Pencatat waktu mencatat posisi awal dan akhir pengamatan dengan menggunakan GPS, atau
menggunakan kompas dengan berpatokan pada tanda-tanda alam di sekitar lokasi.
6. Setelah keseluruhan kegiatan pengamatan, maka semua data yang didapat disalin kedalam
lembar data untuk kemudian digambarkan/diplotkan kedalam peta dasar yang telah
dipersiapkan sebelumnya, lengkap dengan nilai-nilai yang didapat.
Komponen-komponen yang diamati
a. Substrat dasar terumbu karang
Yang dimaksud dengan substrat dasar terumbu karang adalah:
“Semua komponen yang tidak bergerak/menempel pada dasar laut”. Komponen-komponen
ini banyak jenisnya, tetapi dalam metoda pengamatan Manta Tow hanya 5 kategori yang
dicatat yaitu:
-
Karang keras hidup
-
Karang lunak
-
Alga
-
Pasir, dan
-
Patahan karang
Dalam pengamatan ini, komponen-komponen tersebut dicatat persentasenya.
Komponen berikutnya yang juga dicatat adalah jenis/bentuk karang yang umum ditemukan.
Komponen ini perlu juga dicatat untuk mengetahui jenis-jenis karang apa yang umum di
suatu lokasi. Jenis/bentuk karang juga banyak jenisnya, tetapi dalam metoda pengamatan ini
hanya dicatat sebanyak 4 jenis saja yaitu:
-
Karang bercabang
-
Karang padat (massive)
-
Karang lembaran
-
Karang meja
Komponen-komponen tersebut juga dicatat dalam persentasenya.
b. Ikan karang
Ikan karang adalah komponen yang juga sangat penting bagi kehidupan terumbu karang. Oleh
karena itu, dalam metoda pengamatan ini juga dilakukan pencatatan terhadap ikan karang
yang ditemukan. Ada 4 jenis ikan yang perlu dicatat, yaitu:
-
Kerapu
-
Kakap
-
Napoleon
-
Sweetlips (Haemulidae)
18
Untuk komponen ikan, dicatat jumlahnya. Jika jumlah ikan tersebut cukup banyak, dapat
menggunakan perkiraan. Contoh format lembar data tersaji di dalam Tabel 3.1 dan 3.2.
c. Catatan tambahan
Ada beberapa catatan tambahan yang juga perlu diperhatikan/dicatat jika ditemukan selama
melakukan pengamatan, yaitu:
-
Bintang laut berduri / Crown of Thorns (Achantaster plancii.), dicatat jumlahnya.
-
Kerusakan karang (karang patah-patah/hancur) yang cukup besar, dicatat jenis karang
yang rusak dan perkiraan luasannya.
Informasi ini sebaiknya dicatat pada kolom ‘Keterangan’ pada lembar data yang tersedia.
Prosedur dan urutan proses pelaksanaan
1. Salinlah peta wilayah pengamatan keatas sabak;
2. Tandailah fitur (landmark dan batas-batas) dan zona (pemanfaatan atau perlindungan) di atas
peta;
3. Rencanakan dan tandailah alur survei tarikan (biasanya sejajar batas terumbu atau kontur
kedalaman yang dipilih) pada peta;
4. Ikatlah papan manta ke perahu dengan menggunakan tali;
5. Ketika observer sudah siap dan tanda OK sudah diberikan, tariklah observer sejajar garis
pantai;
6. Dalam setiap tarikan, observer menduga persen penutupan dari komponen-komponen yang
dipilih. Persentase dari berbagai komponen tidak harus dijumlahkan menjadi 100% (Wilayah
yang diamati sampai dengan lebar 10 m tergantung kepada kedalaman dan kejernihan air) –
Sementara itu, pencatat waktu tetap mengukur waktu pengamatan dan mengawasi
keselamatan observer serta mengarahkan kapal dan memberitahukannya kepada pengemudi.
7. Setelah 2 menit tarikan (sekitar 100 sampai dengan 150 meter), pengatur waktu harus
memberitahukan kepada pengemudi untuk berhenti dan memberikan kesempatan lepada
observer untuk mencatat (misalnya dengan menarik tali atau menggunakan peluit). Observer
kemudian mencatatkan hasil pengamatannya di atas papan selama 2 menit, pencatat waktu
mencatat nomor tarikan pada posisi ini di atas peta. Posisi awal dan akhir pengamatan dapat
ditentukan dengan menggunakan GPS, dengan melihat bentang alam, atau baringan kompas.
8. Ulangi langkah 6 sampai dengan 8 sampai seluruh lokasi telah tersurvei seluruhya.
9. Salin data ke format data dan masukkan hasilnya kedalam peta pengamatan (dengan jumlah
tarikan dan alur yang dilalui) berikut data mentahnya.
10. Ubahlah perkiraan persentasi tutupan karang ke dalam lima kategori seperti berikut ini:
19
Kategori
Persen penutupan
Kategori I
0 – 10%
Kategori II
11 – 30%
Kategori III
31 – 50%
Kategori IV
51 – 75%
Kategori V
76 – 100%
11. Plot nilai persentase kedalam peta.
Pembelajaran
Metode ini merupakan metode yang umum digunakan oleh banyak lembaga termasuk
masyarakat pesisir karena sangat mudah dilakukan dan dapat mencakup area yang luas. Metode
ini pernah digunakan oleh:
1. Fisheries Diving Club – Institut Pertanian Bogor
2. Masyarakat dampingan Wildlife Conservation Society – Indonesia Marine Program
3. Badan Pengelola Daerah Perlindungan Laut – Pulau Sebesi
4. Australian Institute of Marine Sciences
5. GCRMN
Tabel 3.1 Lembar data ekologi metode Manta Tow
Manta Tow (Lembar Data Ekologi)
Lokasi:
No sampel:
Tanggal:
Waktu:
Koordinat awal:
Pengambil data:
Koordinat akhir:
Keterangan:
Tow
No
Substrat
Karang
hidup
Karang
lunak
Alga
Kondisi perairan:
Bentuk Karang
Pasir
Cabang
Padat
Lembaran
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
20
Kec
Ikan
Meja
Kerap
u
Kakap
Na
o
leo
n
Swee
t
lips
Keteranga
n
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
Tabel 3.2 Lembar data informasi survei metode Manta Tow
Manta Tow (Lembar Data Informasi)
Lokasi:
No sampel:
Tanggal:
Waktu:
Koordinat awal:
Pencatat data:
Koordinat akhir:
Keterangan:
Lama
Tow
Pengambil
pengamatan
No
data
(Menit:Detik)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Kondisi perairan:
Koordinat GPS
21
Keterangan
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
2. Timed Swim Terumbu Karang
Definisi
Timed swim Terumbu Karang merupakan metode survei untuk mengetahui kondisi umum suatu
perairan, penutupan substrat dasar, serta kekayaan jenis karang. Survei ini dilakukan oleh
penyelam dengan alat snorkel maupun SCUBA yang berenang selama 30 – 40 menit.
Tujuan
Survei ini biasa digunakan untuk mengetahui persen penutupan substrat dasar habitat terumbu
karang dan kekayaan genera/spesies terumbu karang.
Alat yang dibutuhkan
-
Buku identifikasi substrat dasar dan buku identifikasi genera/spesies karang
22
-
Alat dasar selam (masker, snorkel, dan fins)
-
Papan sabak
-
Kertas tulis bawah air
-
Pensil
-
Jam tangan
-
Pelampung
-
GPS atau kompas
-
Kamera bawah air (jika ada)
-
Administrasi
-
Logistik
Metode pengamatan
1. Pencatatan data dilakukan dengan berenang secara acak setiap 3 menit untuk 10 ulangan
dalam satu lokasi pengamatan. Setelah setiap 3 menit berenang, observer melakukan
pencatatan data.
2. Fin swimming dilakukan selama 30 – 40 menit.
3. Pengambilan data dilakukan pada daerah dengan kedalaman dangkal (2 – 5 meter) atau
daerah yang memiliki air yang jernih (jarak pandang yang baik) untuk memudahkan dalam
pencatatan data.
Komponen-komponen yang diamati
a. Substrat dasar terumbu karang
Yang dimaksud dengan substrat dasar terumbu karang adalah:
“Semua komponen yang tidak bergerak/menempel pada dasar laut”. Komponen-komponen
ini banyak jenisnya, tetapi dalam metode ini kategori yang dicatat yaitu:
-
Karang keras hidup
-
Karang lunak
-
Alga
-
Seagrass
-
Pasir, patahan karang, batu, lumpur
-
Karang mati
-
Sponge
-
Biota lain (invertebrata laut, sea fan, dll.)
Dalam pengamatan ini, komponen-komponen tersebut dicatat persentasenya.
23
b. Genera/spesies karang
Dengan bantuan buku identifikasi karang atau kamera bawah air karang keras hidup yang
ditemukan kemudian diidentifikasi sampai tingkat genera/spesies. Contoh format lembar data
dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Prosedur dan urutan proses pelaksanaan
1. Tentukan titik pengamatan yang akan diambil datanya, kemudian catat koordinatnya
menggunakan GPS dan catat juga kondisi umum perairan (arus, gelombang, dll).
2. Tandai pada jam tangan, awal mula waktu pencatatan data.
3. Pencatatan data dilakukan selama 30 – 40 menit sambil bergerak (fin swimming) sejajar garis
pantai.
4. Setelah selesai, catat waktu akhirnya
Pembelajaran
Metode ini pernah digunakan oleh beberapa lembaga atau program, namun durasi waktu yang
digunakan dan tujuan pengambilan data bervariasi, antara lain:
1. The Nature Conservancy (kekayaan genera/spesies)
2. World Wide Fund For Nature (kekayaan genera/spesies)
3. Komodo National Park
4. Wildlife Conservation Society – Indonesia Marine Program
Tabel 3.3 Lembar data pencatatan substrat dasar terumbu karang
Timed Swim Terumbu Karang (substrat dasar)
Lokasi:
No sampel:
Tanggal:
Waktu:
Waktu mulai:
Pengambil data:
Waktu selesai:
Koordinat:
Ulanga kategori
Persen
Ulanga
n
penutupan
n
1
Karang keras
6
hidup
Karang lunak
Algae
Seagrass
Sponge
Biota lain
Karang mati
Pasir
Patahan karang
Batu
2
Karang keras
7
24
Kedalaman:
Kondisi perairan:
Keterangan:
Visibility:
Kategori
Persen
penutupan
Karang keras hidup
Karang lunak
Algae
Seagrass
Sponge
Biota lain
Karang mati
Pasir
Patahan karang
Batu
Karang keras hidup
3
4
5
hidup
Karang lunak
Algae
Seagrass
Sponge
Biota lain
Karang mati
Pasir
Patahan karang
Batu
Karang keras
hidup
Karang lunak
Algae
Seagrass
Sponge
Biota lain
Karang mati
Pasir
Patahan karang
Batu
Karang keras
hidup
Karang lunak
Algae
Seagrass
Sponge
Biota lain
Karang mati
Pasir
Patahan karang
Batu
Karang keras
hidup
Karang lunak
Algae
Seagrass
Sponge
Biota lain
Karang mati
Pasir
Patahan karang
Batu
8
Karang lunak
Algae
Seagrass
Sponge
Biota lain
Karang mati
Pasir
Patahan karang
Batu
Karang keras hidup
9
Karang lunak
Algae
Seagrass
Sponge
Biota lain
Karang mati
Pasir
Patahan karang
Batu
Karang keras hidup
10
Karang lunak
Algae
Seagrass
Sponge
Biota lain
Karang mati
Pasir
Patahan karang
Batu
Karang keras hidup
Karang lunak
Algae
Seagrass
Sponge
Biota lain
Karang mati
Pasir
Patahan karang
Batu
Tabel 3.4 Lembar data pencatatan genera/spesies karang
Timed Swim Terumbu Karang (genera/spesies list)
Lokasi:
No sampel:
Tanggal:
Waktu:
Waktu mulai:
Pengambil data:
Waktu selesai:
Koordinat:
No Genera/spesies
1
2
25
Kedalaman:
Kondisi perairan:
Keterangan:
Visibility:
Lifeform
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
3. Line Intercept Transect
Definisi
Line intercept transect merupakan metode survei substrat dasar terumbu karang dengan tingkat
kesulitan yang cukup tinggi. Survei ini digunakan untuk mengetahui persen penutupan dan
komposisi substrat dasar dari suatu daerah terumbu karang. Selain itu metode ini digunakan
untuk menggambarkan struktur komunitas karang dengan melihat tutupan karang hidup, karang
mati, bentuk substrat (pasir, lumpur), alga dan keberadaan biota lain.
26
Tujuan
Survei ini biasa digunakan untuk mengetahui persen penutupan dan komposisi penyusun substrat
dasar ekosistem terumbu karang, serta keanekaragaman jenis karang.
Alat yang dibutuhkan
-
Buku identifikasi substrat dasar dan buku identifikasi genera/spesies karang
-
Alat dasar selam (masker, snorkel, dan fins)
-
Alat SCUBA
-
Papan sabak
-
Kertas tulis bawah air
-
Pensil
-
Rol meter (100 meter)
-
GPS atau kompas
-
Kamera bawah air (jika ada)
-
Administrasi
-
Logistik
Metode pengamatan
1. Transek garis dibuat dengan cara membentangkan rol meter berskala sejajar dengan garis
pantai sepanjang 85 meter. Transek kemudian dibagi ke dalam 3 ulangan masing-masing
sepanjang 25 meter dengan jeda tiap transek sepanjang 5 meter.
2. Substrat dasar yang dicatat merupakan jenis yang hanya bersinggungan dengan transek garis.
Pencatatan data dilakukan secara akurat sampai tingkat centimeter.
3. Pengamatan biota pengisi habitat dasar dicatat berdasarkan bentuk pertumbuhan terumbu
karang (sampai tingkat genera/spesies lebih baik), biota, dan komponen abiotik lain yang
ditemukan sepanjang transek garis.
4. Secara umum, dalam satu titik pengamatan terdapat dua jenis kedalaman yang dicatat, yaitu
kedalaman dangkal (2 – 3 meter) dan dalam (6 – 8 meter).
Komponen-komponen yang diamati
Komponen yang diamati dalam line intercept transect adalah substrat dasar terumbu karang dan
dengan ditambahkan genera/spesies karang. Bentuk pertumbuhan biota habitat dasar dan kode
pencatatan yang digunakan dijelaskan pada Tabel 3.5 di bawah ini.
Tabel 3.5 Daftar penggolongan bentuk pertumbuhan biota habitat dasar terumbu karang dan
kode yang digunakan
Kelompok
Stony Coral (Karang Keras)
Kode
27
Acropora
Branching
Digitate
Encrusting
Submassive
Tabulate
Non-Acropora
Encrusting
Branching
Foliose
Massive
Submassive
Mushroom
Millepora
Heliopora
Dead Coral
Dead Coral with algae
Other Fauna
Soft Coral
Sponges
Zoantids
Other
Algae
Algae Assemblage
Coralline Algae
Halimeda
Macro Algae
Turf Algae
Abiotik
Sand
Rubble
Silt
Water
Rock
ACB
ACD
ACE
ACS
ACT
CE
CB
CF
CM
CS
CMR
CME
CHL
DC
DCA
SC
SP
ZO
OT
AA
CA
HA
MA
TA
S
R
SI
WA
RC
Prosedur dan urutan pelaksanaan
1. Tentukan titik pengamatan yang akan diambil datanya, kemudian catat koordinatnya
menggunakan GPS dan catat juga kondisi umum perairan (arus, gelombang, dll).
2. Tentukan kedalaman yang akan diambil datanya (dangkal atau dalam)
3. Transek garis dibuat dengan membentangkan rol meter sepanjang 85 meter sejajar dengan
garis pantai. Pastikan bahwa rol meter yang dibentangkan memiliki rata-rata kedalaman yang
sama.
4. Tentukan jenis substrat (misal: karang keras, algae, karang mati) yang hanya menyinggung
transek garis. Pengelompokan substrat berdasarkan: Hard Coral, Soft Coral, Fleshy Algae, Turf
Algae, Red Coralline Algae, Calcareous Algae (Halimeda), Sponge dan pasir. Untuk jenis substrat
28
karang keras pencatatan berdasarkan life form tipe pertumbuhan dan genus karang.
Pencatatan data menggunakan form pada Tabel 3.6.
5. Bagi transek garis ke dalam 3 ulangan yang masing-masing panjang ulangan transek adalah 25
meter dan dipisah dengan jeda 5 meter. 0 – 25 meter merupakan transek pertama, 30 – 55
meter merupakan transek kedua, dan 60 – 85 merupakan transek ketiga.
Pembelajaran
Metode ini tergolong cukup sulit untuk dilaksanakan secara teknis. Metode ini membutuhkan
keahlian menyelam yang cukup mahir. Metode ini pernah digunakan oleh beberapa lembaga atau
program, namun panjang transek yang digunakan bervariasi, antara lain:
1. COREMAP-LIPI
2. Fisheries Diving Club – Institut Pertanian Bogor
3. GCRMN
Tabel 3.6 Lembar data pencatatan jenis substrat dasar
Line Intercept Transect
Lokasi:
No sampel:
Tanggal:
Waktu:
Koordinat:
Visibility:
Pengambil data:
Transis Kategori
Lifefor
Keteranga
i (cm)
m
n
3
15
57
134
Hard
coral
Abiotik
Others
Hard
coral
ACB
Acropora
S
OT
CME
Sand
Diadema sp
Millepora
Kedalaman:
Kondisi perairan:
Keterangan:
Transisi
(cm)
29
Kategori
Lifeform
Keterang
an
4. Transek Titik atau Point Intercept Transect
Definisi
Transek titik merupakan survei substrat dasar terumbu karang yang secara teknis hampir sama
dengam metode transek garis menyinggung (LIT). Metode ini digunakan untuk tujuan yang sama
dengan metode LIT, yaitu untuk mengetahui persen penutupan, komposisi substrat dasar, dan
struktur komunitas karang dari suatu daerah terumbu karang dengan melihat tutupan karang
hidup, karang mati, bentuk substrat (pasir, lumpur), alga dan keberadaan biota lain. Metode ini
tidak sedetail metode LIT dalam pengambilan data nya, tetapi mampu mencakup area yang lebih
luas. Metode PIT umumnya digunakan jika daerah yang diamati cukup luas, sehingga penggunaan
metode ini diharapkan dapat memaksimalkan keterwakilan secara spasial. Survei ini dilakukan
dengan mencatat jenis substrat dasar yang menyinggung transek garis dengan interval jarak
tertentu (titik). Survei ini lebih baik digunakan dengan alat SCUBA, namun tidak menutup
kemungkinan untuk menggunakan alat sorkel pada kedalaman dangkal.
Tujuan
Survei ini biasa digunakan untuk mengetahui persen penutupan dari substrat dasar habitat
terumbu karang serta keanekaragaman jenis karang.
Alat yang dibutuhkan
-
Buku identifikasi substrat dasar dan buku identifikasi genera/spesies karang
-
Alat dasar selam (masker, snorkel, dan fins)
30
-
Alat SCUBA
-
Papan sabak
-
Kertas tulis bawah air
-
Pensil
-
Rol meter (100 meter)
-
GPS atau kompas
-
Kamera bawah air (jika ada)
-
Administrasi
-
Logistik
Metode pengamatan
1. Transek garis dibuat dengan cara membentangkan rol meter berskala sejajar dengan garis
pantai sepanjang 100 meter. Transek kemudian dibagi ke dalam 2 ulangan masing-masing
sepanjang 50 meter.
2. Substrat dasar yang dicatat merupakan jenis yang hanya bersinggungan dengan transek garis.
Jenis yang dicatat adalah substrat yang terletak pada titik (point) interval setiap kelipatan
setengah (0,5) meter.
3. Pengamatan biota pengisi habitat dasar dicatat berdasarkan bentuk pertumbuhan terumbu
karang (sampai tingkat genera/spesies lebih baik), biota, dan komponen abiotik lain yang
ditemukan sepanjang transek garis.
4. Secara umum, dalam satu titik pengamatan terdapat dua jenis kedalaman yang dicatat, yaitu
kedalaman dangkal (2 – 3 meter) dan dalam (6 – 8 meter).
Komponen-komponen yang diamati
Komponen yang diamati dalam transek titik persis sama dengan yang diamati dalam metode
transek garis menyinggung yaitu substrat dasar terumbu karang dan dengan menambahkan
komponen genera/spesies karang. Bentuk pertumbuhan biota habitat dasar dan kode pencatatan
yang digunakan dijelaskan pada Tabel 3.5.
Prosedur dan urutan pelaksanaan
1. Tentukan titik pengamatan yang akan diambil datanya, kemudian catat koordinatnya
menggunakan GPS dan catat juga kondisi umum perairan (arus, gelombang, dll).
2. Tentukan kedalaman yang akan diambil datanya (dangkal atau dalam)
31
3. Transek garis dibuat dengan membentangkan rol meter sepanjang 100 meter sejajar dengan
garis pantai. Pastikan bahwa rol meter yang dibentangkan memiliki rata-rata kedalaman yang
sama.
4. Dengan menggunakan metode point transek tentukan jenis substrat (misal: karang keras,
algae, karang mati) setiap 50 cm. Pengelompokan substrat berdasarkan: Hard Coral, Soft
Coral, Fleshy Algae, Turf Algae, Red Coralline Algae, Calcareous Algae (Halimeda), Sponge dan
pasir. Untuk jenis substrat karang keras pencatatan berdasarkan life form tipe pertumbuhan
dan genus karang. Pencatatan data menggunakan form pada Tabel 3.7.
Pembelajaran
Metode ini digunakan oleh beberapa lembaga atau program, namun panjang transek yang
digunakan bervariasi antara lain:
1. Yayasan Reef Check Indonesia
2. Wildlife Coservation Society – Indonesia Marine Program
3. Balai Taman Nasional Karimunjawa
Tabel 3.7 Lembar data pencatatan jenis substrat dasar
Point Intercept Transect
Lokasi:
Tanggal:
Koordinat:
Pengambil data:
Posisi
Kategori/Lifefor
(m)
m
No sampel:
Waktu:
Visibility:
Kedalaman:
Kondisi perairan:
Keterangan:
Keterangan
Posisi
(m)
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
6.5
7
7.5
8
8.5
9
9.5
10
10.5
11
25.5
26
26.5
27
27.5
28
28.5
29
29.5
30
30.5
31
31.5
32
32.5
33
33.5
34
34.5
35
35.5
36
32
Kategori/Lifeform Keterangan
11.5
12
12.5
13
13.5
14
14.5
15
15.5
16
16.5
17
17.5
18
18.5
19
19.5
20
20.5
21
21.5
22
22.5
23
23.5
24
24.5
25
36.5
37
37.5
38
38.5
39
39.5
40
40.5
41
41.5
42
42.5
43
43.5
44
44.5
45
45.5
46
46.5
47
47.5
48
48.5
49
49.5
50
5. Reef Check
Definisi
Reef check atau pemeriksaan terumbu karang dilakukan untuk mengidentifikasi keadaan terumbu
karang dan pengaruh yang diperoleh dari kegiatan manusia. Metode ini melibatkan masyarakat
lokal. Metode ini bertujuan untuk mendorong kepedulian masyarakat lokal akan pentingnya
terumbu karang dan bagaimana cara untuk memecahkan masalah terumbu karang dan untuk
mendapatkan data berkualitas mengenai kondisi terumbu karang. Metode ini dikembangkan oleh
Hodgson (1996). Secara teknis pengambilan data, metode ini identik dengan metode Point
Intercept Transect.
Tujuan
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap nilai penting terumbu karang dan pemecahan
masalahnya.
2. Mendapatkan data yang cukup berkualitas tentang kondisi terumbu karang.
Alat yang dibutuhkan
-
Peta Lokasi
33
Buku identifikasi
Masker, snorkel dan fins
Rol meter (100 m)
Papan sabak
Kertas tulis bawah air
Pensil
Pelampung
Perahu
Kompas/GPS
Transek permanen
Administrasi
Logistik
-
Metode pengamatan
Pengamatan dilakukan dengan mengunakan transek garis untuk mengamati kondisi terumbu
karang dan dampak aktivitas manusia. Pencatatan dilakukan dengan papan tulis bawah air dan
hasilnya dapat disajikan berupa data tabulasi persentasi kondisi terumbu karang dan
dokumentasi.
Tabel 3.8 Lembar data pencatatan menggunakan metode Reef Check
Reef Check
Lokasi:
Waktu:
Kedalaman: 2m/6m
Pengamat:
Tanggal:
Pimpinan tim:
Pencatatan substrat
Transek Belt Indikator
Poin
Contoh
0.0
0.5
1
Substrat
A
B
C
Indikator
Jumlah Ukuran
D
A
2.5
3
3.5
6
Indikator
D
(Chaetodontid
(Stenopus
ae)
hispidus)
Bibir Tebal
(Haemulidae)
Bulu Babi
Kakap
(Diadema sp)
(Lutjanidae)
Bulu Babi Pensil
Kerapu Tikus
(Heterocentratus
(Cromileptes)
mammilatus)
Kakatua >20
cm
Kima Raksasa
Kerapu >30
(Tridacna spp)
cm
Tandukuhan
Biatriton
(Bolbometopo
(Charitonia
n muricatum)
34
Jumlah Ukuran
A
Kupu-kupu
5
5.5
C
Bergaris
4
4.5
B
Udang Karang
1.5
2
Transek Belt Ikan
B
C
D
6.5
tritonis)
Maming,
7
Lobster
Napoleon
7.5
Karang Rusak
(Cheilinus
8
Jangkar;(0=tak
undulatus
8.5
ada, 1=sedikit,
Pari Manta
2=banyak,
Mooray
9
3=hancur)
9.5
Karang Rusak
10
Bom;(0-3)
10.5
Karang Rusak
11
Lainnya;(0-3)
Teripang (hanya
11.5
yang dapat
12
dimakan)
Bulu Seribu
12.5
(Acanthaster
13
planci)
13.5
Sampah: jaring (0-
14
3)
14.5
Sampah: lainnya
15
15.5
(0-3)
16
Penyu
16.5
17
17.5
18
18.5
19
19.5
20
cm
0-19.5
20-45.5
45-69.5
70-100
KK: Karang Keras
KM: Karang Mati
KL: Karang Lunak
SP: Spons
BK: Batu Karang
P: Pasir
L: Lumpur
L: Lainnya
Ukuran Kerapu (cm);
Penggelantungan (% dari populasi dan % dari koloni)
Catatan:
Prosedur dan urutan pelaksanaan
1. Tentukan titik pengamatan yang akan diambil datanya, kemudian catat koordinatnya
menggunakan GPS dan catat juga kondisi umum perairan (arus, gelombang, dll).
2. Transek garis sepanjang 100 meter dipasang diletakkan pada kedalaman 2 – 6 meter sejajar
dengan garis pantai.
3. Pencatatan data dapat dilakukan oleh tiga orang pengamat, dengan pengamatan sebagai
berikut: substrat dilakukan pada tiap poin dengan interval 0,5 meter; biota indikator dan ikan
dilakukan pada setiap 20 meter.
35
4. Ulangi pengamatan di tempat berbeda apabila data dirasa kurang mewakili keberadaan
substrat, hewan indikator dan ikan yang menjadi target pengamatan.
Pembelajaran
Metode ini sudah cukup banyak yang menggunakan karena tergolong metode yang sederhana
dan mudah diaplikasikan. Metode ini pernah digunakan oleh:
1. Yayasan Reef Check Indonesia
2. Fisheries Diving Club – Institut Pertanian Bogor
3. Marine Diving Club – Universitas Diponegoro
4. Lembaga-lembaga anggota Jaringan Kerja Reef Check
6. Foto Kuadrat Permanen
Definisi
Metode ini melibatkan pengambilan foto (still photograph) pada suatu kuadrat yang permanen
untuk mengukur perubahan kondisi komunitas karang. Identifikasi jenis dan kondisi komunitas
karang pada metode ini selanjutnya dilakukan di dalam laboratorium. Metode ini umumnya
adalah melengkapi metode survei yang umum digunakan (LIT dan PIT), dan cocok untuk melihat
perubahan komunitas karang dalam skala kecil dari waktu ke waktu. Metode ini umumnya juga
digunakan untuk mengukur pertumbuhan, kematian (mortalitas), rekrutmen, dan persen
penutupan dalam skala yang kecil.
Tujuan
Metode survei ini digunakan untuk mengukur perubahan kondisi komunitas karang pada skala
kecil dari waktu ke waktu, dan dilakukan pada titik yang tetap/permanen.
Alat yang dibutuhkan
- Penanda titik peletakan kuadrat permanen (contoh: patok berbahan aja stainless)
- Kuadrat transek portable berukuran 1 x 1 meter yang didalamnya terbagi menjadi 16 bujur
sangkar sama besar menggunakan senar/tali (Gambar 3.5).
- Penggaris dan kaliper berbahan plastic
- Kamera digital bawah air dengan ukuran lensa 15mm, flash.
- Rangka tatrapod untuk meletakan kamera secara tetap pada jarak 0,8 meter dari substrat
dasar perairan
- Tagging penanda dan tali pengikat (cable ties)
36
1 meter
1 meter
Senar/tali
Rangka transek kuadrat
Gambar 3.5 Gambar illustrasi penampang transek kuadrat
Metode pengamatan
- Tandai lokasi peletakan kuadrat permenen pada 4 sudutnya dengan luasan 1 x 1 m
menggunakan patok baja stainless;
- Tandai secara hati-hati penanda pada beberapa koloni karang yang menjadi acuan untuk
diukur perubahannya secara berkala;
- Gambar sebuah peta sketsa untuk jenis karang, posisi, dan ukuran koloni di masing-masing
kuadrat serta catat posisi koloni yang ditandai;
- Ukur dimensi panjang dan lbar dari koloni karang yang ditanda;
- Ukur dimensi sisi terpanjang dan terlebar dari koloni karang hidup non-branching;
- Tandai dengan tagging cabang-cabang yang menjadi referensi untuk diukur secara berkala;
- Letakan kamera pada tetrapod tegak lurus menghadap substrat;
- Ambil gambar foto sebanyak 4x untuk masing-masing kuadrat permanen;
- Perkecil ukuran kuadrat untuk area dengan tingkat kecerahan perairan yang rendah.
Selanjutnya analisis persentase penutupan karang dan perubahan-perubahan pada organisme
target dilakukan di labiratorium menggunakan alat bantu komputer.
umum dilakukan pada analisis foto adalah metode grid dan digitasi.
Dua pendekatan yang
Pendekatan digitasi
membutuhkan biaya yang lebih mahal, memakan waktu, serta membutuhkan perangkat lunak dan
keahlian khusus. Tingkat akurasi sangat tergantung pada alat yang digunakan di lapangan, presisi
posisi pengambilan di lokasi yang persis sama antar waktu survei, serta perbedaan kemampuan
37
analisis dan identifikasi jika ada 2 pengamat yang berbeda. Jika dua pengamat dilatih secara
bersamaan maka presisi diharapkan akan lebih baik.
Tabel 3.9 Lembar data pencatatan metode transek foto permanen
Transek Kuadrat Permanen Karang
Lokasi:
No sampel:
Tanggal:
Waktu:
Koordinat:
Visibility:
Pengambil data:
# ID
# ID
Jenis/Spesies Lifeform
Transe Tag
(bentuk
k
koloni
pertumbuha
n koloni
1
1.001
Acropora sp.
Branching
Dimen
si
lebar
(cm)
12,4
Dimensi
lebar (cm)
Kode
Foto
10
1
1.002
Porites sp.
Massive
25,1
18,5
1
1.003
Pocillopora sp.
Submassive
32,7
20,2
1
1
1.004
1.....
Submassive
Branching
...
...
2
2
2
2
2
3
2.001
2.002
2.003
2.004
2.005
Acropora sp.
Seriatopora
sp.
Acropora sp.
Porites sp.
Podabacia sp.
Montipora sp.
Pocillopora sp.
DSC2456 1
DSC2457
DSC2458
DSC2459
DSC2460 1
DSC2461
DSC2462
DSC2463
DSC2464 1
....
....
1
1
Branching
Submassive
Foliose
Encrusting
Submassive
Kedalaman:
Kondisi perairan:
Keterangan:
#ID
Peta
sketsa
2
2
2
2
2
3
3
3
3
Pembelajaran
Metode ini sudah dicontohkan aplikasinya oleh Great Barrier Reef Marine Park Authority,
Australia.
38
7. Transek Kuadrat Rekrutmen Karang
Definisi
Metode ini merupakan pengamatan yang dilakukan untuk melihat karang yang baru saja tumbuh
dan menempel di substrat dasar perairan (recruitment) di suatu lokasi dengan menggunakan
transek kuadrat. Survei ini biasanya dilakukan bersamaan dengan penggunaan metode transek
garis menyinggung atau transek titik. Metode ini dilakukan dengan mencatat jumlah koloni
karang keras yang berdiameter kurang dari 4 cm. Survei ini lebih baik digunakan dengan alat
SCUBA, namun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan alat sorkel pada kedalaman
dangkal.
Tujuan
Survei ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pemulihan (recovery) dari karang keras di suatu
lokasi pengamatan.
Alat yang dibutuhkan
-
Buku identifikasi genera/spesies karang
-
Alat dasar selam (masker, snorkel, dan fins)
-
Alat SCUBA
-
Papan sabak
-
Kertas tulis bawah air
-
Pensil
-
Rol meter (100 m)
-
Transek kuadrat ukuran (0.5 m x 0.5 m) atau (1 m x 1 m)
-
GPS atau kompas
-
Kamera bawah air (jika ada)
-
Administrasi
-
Logistik
Metode pengamatan
1. Pengamatan dilakukan dengan meletakkan transek garis 100 m sejajar dengan garis pantai
yang digunakan sebagai patokan dalam peletakkan transek kuadrat.
39
2. Substrat dasar yang dicatat adalah genera/spesies karang yang memiliki diameter kurang dari
4 cm yang terletak di dalam transek kuadrat dengan menghitung jumlah koloninya. Substrat
dasar tempat menempelnya koloni karang juga dicatat, seperti (batu, karang mati, pasir, dll).
Prosedur dan urutan pelaksanaan
1. Tentukan titik pengamatan yang akan diambil datanya, kemudian catat koordinatnya
menggunakan GPS dan catat juga kondisi umum perairan (arus, gelombang, dll).
2. Tentukan kedalaman yang akan diambil datanya (dangkal atau dalam)
3. Transek garis dibuat dengan membentangkan rol meter sepanjang 100 meter sejajar dengan
garis pantai. Pastikan bahwa rol meter yang dibentangkan memiliki rata-rata kedalaman yang
sama.
4. Letakkan transek kuadrat di sekitar titik interval kelipatan 10 meter pada transek garis.
Peletakkan transek kuadrat tidak selalu harus menyinggung dengan transek garis, tetapi
cukup berdekatan dengan transek garis yang telah dipasang.
5. Pencatatan data terdiri dari 11 transek kuadrat, yaitu pada meter ke 0, 10, 20, 30, dst hingga
meter ke 100. Pencatatan data menggunakan form pada Tabel 3.9.
Pembelajaran
Metode ini digunakan oleh beberapa lembaga atau program, namun dengan jumlah ulangan dan
ukuran transek kuadrat yang bervariasi, antara lain:
1. Wildlife Conservation Society – Indonesia Marine Program
2. Balai Taman Nasional Karimunjawa
3. Atlantic and Gulf Rapid Reef Assessment (AGRRA)
Tabel 3.10 Lembar data pencatatan rekrutmen karang
Transek Kuadrat Karang Rekrutmen
Lokasi:
No sampel:
Tanggal:
Waktu:
Koordinat:
Visibility:
Pengambil data:
#Transek Genera/spesi Jumla Substra
es
h
t
1
1
2
2
2
2
3
4
Acropora
Montipora
Porites
Montipora
Astreopora
Fungia
Acropora
3
2
1
4
2
2
2
Kedalaman:
Kondisi perairan:
Keterangan:
#Transe
k
Rock
Rock
Sand
Sand
Rock
Sand
Rock
40
Genera/spesi
es
Jumlah
Substra
t
8. Transek Sabuk Makro Invertebrata
Definisi
Survei ini merupakan pengamatan yang dilakukan untuk menghitung kelimpahan jenis/spesies
makro invertebrata laut dengan menggunakan metode transek sabuk (belt transect). Survei ini
biasanya dilakukan bersamaan dengan penggunaan metode transek garis menyinggung atau
transek titik. Metode ini dilakukan dengan mencatat jumlah individu tiap spesies makro
invertebrata yang ditemukan di dalam transek sabuk. Survei ini lebih baik digunakan dengan alat
SCUBA, namun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan alat sorkel pada kedalaman
dangkal.
Tujuan
Survei ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan makro invertebrata yang memiliki nilai
ekologis dan ekonomis penting, antara lain: kima (Famili Tridacnidae), teripang (Famili
Holothuridae), bulu babi (Famili Echinoidea), bintang laut (Famili Asteroidea, terutama
Acanthaster planci = bintang laut mahkota berduri).
41
Alat yang dibutuhkan
-
Buku identifikasi spesies invertebrata laut
-
Alat dasar selam (masker, snorkel, dan fins)
-
Alat SCUBA
-
Papan sabak
-
Kertas tulis bawah air
-
Pensil
-
Rol meter (200 m)
-
Tongkat PVC 1 meter (untuk mengukur lebar)
-
GPS atau kompas
-
Kamera bawah air (jika ada)
-
Administrasi
-
Logistik
Metode pengamatan
1. Pengamatan dilakukan dengan meletakkan transek garis 200 m sejajar dengan garis pantai
pada kedalaman dangkal (2-3 m) atau dalam (6-8 m).
2. Pencatatan dilakukan dengan metode transek sabuk pada transek (1 x 100) m x 2 transek
3. Satu transek (100 meter) dibagi ke dalam 5 sub transek (panjang 20 meter). Jenis yang
dicatat adalah jumlah dan jenis/spesies dari Sea Urchin (Bulu babi), Star Fish (termasuk bulu
seribu), Clam (kima), Snail (Gastropoda) dan Sea Cucumber (teripang).
4. Untuk pencatatan kima, selain dihitung jumlahnya juga dicatat panjang cangkangnya dalam
sentimeter. Snail dan Sea Urchin tidak dicatat pada seluruh sub transek. Gambaran
pencatatan ditunjukkan pada Gambar 3.6.
Gambar 3.6. Posisi peletakan transek untuk survei invertebrata, transek sepanjang 100 meter
diletakkan secara seri sejajar garis pantai di dua kedalaman; di masing-masing
kedalaman dilakukan 2 ulangan.
42
Prosedur dan urutan pelaksanaan
1. Tentukan titik pengamatan yang akan diambil datanya, kemudian catat koordinatnya
menggunakan GPS dan catat juga kondisi umum perairan (arus, gelombang, dll).
2. Tentukan kedalaman yang akan diambil datanya (dangkal atau dalam)
3. Transek garis dibuat dengan membentangkan rol meter sepanjang 200 meter sejajar dengan
garis pantai. Pastikan bahwa rol meter yang dibentangkan memiliki rata-rata kedalaman yang
sama.
4. Bagi satu ulangan transek 100 meter ke dalam 5 bagian, kemudian catat berdasarkan
pembagian pada Gambar 3.5. Pencatatan data dapat menggunakan form pada Tabel 3.10.
Pembelajaran
Metode ini digunakan oleh beberapa lembaga atau program, namun ukuran transek bervariasi:
1. Wildlife Conservation Society – Indonesia Marine Program
2. Balai Taman Nasional Karimunjawa
3. Yayasan Reef Check Indonesia
4. Australian Institute of Marine Sciences
Tabel 3.11 Lembar data pencatatan makro invertebrata
Transek Sabuk Makro Invertebrata
Lokasi:
No sampel:
Tanggal:
Waktu:
Koordinat:
Visibility:
Pengambil data:
#Transek #Sub
Famili
transek
1
1
Holothuroidea
1
Asteroidea
1
Tridacnidae
2
2
2
2
2
Kedalaman:
Kondisi perairan:
Keterangan:
Spesies
Bohadschia sp.
Acanthaster planci
Tridacna crocea
Holothuroida nobilis
Acanthaster planci
Tridacna gigas
Tridacna gigas
Linckia laevigata
43
Abundanc
e
1
3
1
2
4
1
1
4
Size (kima)
12 cm
20 cm
27 cm
-
9. Pemantauan Pemutihan Karang atau Coral Bleaching
Definisi
Survei ini merupakan pengamatan yang dilakukan untuk melihat fenomena pemutihan pada
karang, yaitu hilangnya pigmen warna pada karang yang salah satunya disebabkan oleh
meningkatnya suhu perairan (coral bleaching). Pemutihan terumbu karang merupakan isu global,
sangat penting bagi pihak-pihak terkait untuk memonitor perubahan terumbu karang. Meskipun
kita tahu bahwa perubahan iklim berada di luar kuasa kita. Dengan menggunakan metode ini, kita
dapat memperoleh kesempatan untuk mendokumentasikan, melakukan estimasi dan menaksir
keadaan terumbu karang selama poses bleaching. Metode ini juga memberikan kesempatan untuk
mengatur kebijakan bila terjadi pemutihan terumbu karang secara masal. Metode ini diadopsi
dari Setiasih (2001).
Tujuan
1. Mendokumentasikan pemutihan karang dan memantau kesehatan karang
44
2. Menduga dan meningkatkan pemahaman terhadap pemutihan karang dan dampaknya
3. Melakukan respons pengelolaan apabila terjadi pemutihan karang, misalnya mitigasi terhadap
dampak sosio-ekonomi.
Alat yang dibutuhkan
-
Buku identifikasi karang
-
Alat dasar selam (masker, snorkel, dan fins)
-
Alat SCUBA
-
Papan sabak
-
Kertas tulis bawah air
-
Pensil
-
Rol meter (100 m)
-
GPS atau kompas
-
Pelampung
-
Transek permanen
-
Kamera bawah air (jika ada)
-
Administrasi
-
Logistik
Metode pengamatan
Pengamatan pemutihan karang dapat dikombinasikan dengan metode survei terumbu karang lain
yaitu Manta Tow dan Reef Check. Pengamatan dapat juga dilakukan dalam waktu yang sama
dengan survei terumbu karang tersebut. Pengamatan sebaiknya dilakukan sebelum, selama dan
sesudah periode suhu air laut maksimum terjadi.
Prosedur dan urutan pelaksanaan
1. Menentukan lokasi terumbu karang yang akan disurvei dengan tanda permanen atau dengan
transek sepanjang 100 meter
2. Transek dipasang sejajar garis pantai pada kedalaman 2 – 6 m, dan pada kedalaman 10 m bila
menggunakan SCUBA
3. Berenang sepanjang transek
4. Duga persentasi karang hidup
5. Duga persentasi karang yang mengalami pemutihan
6. Duga tingkat pemutihan
45
7. Untuk tingkat koloni, karang dapat diberi tag (tanda)
Analisa Data
Penilaian untuk tingkat koloni karang dapat dijumlahkan untuk mendapatkan penilaian untuk
lokasi dengan persamaan:
CBI = ..(0*n0+1*n1+2*n2+3*n3+4*n4+5*n5)
CBI
= Coral Bleaching Index
n
= jumlah koloni karang
Angka 0 – 5
= kategori pemutihan
Pembelajaran
Metode ini pernah digunakan oleh:
1. Wildlife Conservation Society – Indonesia Marine Program
2. Fisheries Diving Club – Institut Pertanian Bogor
3. Great Barrier Reef Marine Park Authority
Tabel 3.12 Lembar data penilaian tingkat lokasi
Pemutihan Karang:
Penilaian tingkat lokasi
Lokasi:
Kota/propinsi:
No transek:
Koordinat GPS:
Tanggal
Pengamat:
Kejernihan Horizontal:
Kedalaman:
1
2
3
4
Persentase
Penutupan Karang
75
50
90
90
5
50
Topografi:
Kemiringan:
terumbu:
Catatan habitat:
No
Zona
Proporsi Pemutihan
Tingkat Pemutihan
50
20
10
15
3
1
0
0
30
3
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
46
Keterangan
Tambahan
2 COTs
Sebagian ditutupi
alga
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Tabel 3.13 Lembar data penilaian tingkat koloni
Pemutihan Karang:
Penilaian tingkat koloni
Lokasi:
Kota/propinsi:
No transek:
Koordinat GPS:
Tanggal
Pengamat:
Kejernihan Horizontal:
Kedalaman:
Topografi:
Kemiringan:
terumbu:
Catatan habitat:
No
Zona
Bentuk Tutupan (Lifeform)
Genera
Tingkat Pemutihan
1
Bercabang/branching
Acropora
4
2
Padat/massive
Porites
2
3
Mengerak/encrusting
Montipora
1
4
Semi padat/Sub-massive
Favia
3
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
47
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Tabel 3.14 Kode penilaian kemiringan terumbu
Kemiringan Terumbu
Kategori Deskripsi
1
Datar (0 - 20º)
2
Moderat (21 – 45º)
3
Curam (46 - 75º)
4
Vertikal (76 - 90º)
5
Pecahan-tepi terumbu hancur, atau terdiri dari pecahan-pecahan bommies
6
Belakang terumbu-bagian atas curam dan bagian bawah datar, berpasir
Tabel 3.15 Kode penilaian tingkat pemutihan (lokasi)
Tingkat Pemutihan Untuk Lokasi
Kategori Persentase Deskripsi
-1
Tingkat pemutihan tidak
diketahui
0
<1
Pemutihan tidak terjadi
1
1-10
Pemutihan tidak parah
2
3
4
10-50
50-90
>90
Pemutihan moderat
Pemutihan parah
Pemutihan sangat parah
Penilaian Visual
Pemutihan sangat jarang, karang-karang
yang mengalami pemutihan tersebar (satu
atau dua koloni per penyelam/transek)
Terdapat karang-karang yang mengalami
pemutihan
tapi jarang, dan sebagian besar karang tidak
mengalami pemutihan
Karang-karang yang mengalami pemutihan
banyak
Tabel 3.16 Kode penilaian tingkat pemutihan (koloni karang)
48
Tingkat Pemutihan Untuk Koloni Karang
Kategori Deskripsi
0
Tidak ada pemutihan
1
Pemutihan hanya pada permukaan/ujung karang
2
Koloni memucat tapi belum putih
3
Keseluruhan karang putih total
4
Keseluruhan karang mengalami pemutihan dan sebagian mati
5
Seluruh koloni baru saja mati (ditumbuhi alga)
49
SURVEI KOMUNITAS IKAN KARANG
1. Sensus Visual Ikan atau Fish Visual Cencus
Definisi
Sensus ikan secara visual adalah pengindentifikasian dan penghitungan ikan yang diobservasi pada
suatu area tertentu. Sensus ikan secara visual dapat digunakan untuk mengestimasi jenis, jumlah,
dan juga ukuran ikan pada umumnya (biomassa ikan), mudah dilihat, mudah diidentifikasi pada
wilayah dengan kecerahan yang baik. Survei ini biasanya dilakukan bersamaan dengan penggunaan
metode transek garis menyinggung atau transek titik.
Tujuan
Sensus visual ikan dapat digunakan untuk menduga keragaman, jumlah dan ukuran ikan
(biomassa). Informasi ini dapat mencerminkan kesehatan dari sediaan ikan dalam wilayah
terumbu karang yang diamati.
Alat yang dibutuhkan
-
Buku identifikasi ikan karang
Alat dasar selam (masker, snorkel, dan fins)
Alat SCUBA
Papan sabak
Kertas tulis bawah air
Pensil
Rol meter (100 meter)
GPS atau kompas
Kamera bawah air (jika ada)
Administrasi
Logistik
Metode pengamatan
1. Metode ini menggunakan transek garis yang dibuat dengan cara membentangkan rol meter
berskala sejajar dengan garis pantai sepanjang 100 meter. Transek kemudian dibagi ke dalam
2 ulangan masing-masing sepanjang 50 meter.
2. Teknik pencatatan yang digunakan adalah teknik pencatatan visual sensus, yaitu mencatat
jenis dan jumlah ikan yang ditemukan sepanjang transek garis dengan batasan 2,5 meter ke
kiri dan ke kanan.
3. Biomassa ikan (kg ha-1) setiap spesies atau famili dihitung berdasarkan kelimpahan, ukuran
dan luas wilayah karang.
50
Prosedur dan urutan pelaksanaan
1. Tentukan titik pengamatan yang akan diambil datanya, kemudian catat koordinatnya
menggunakan GPS dan catat juga kondisi umum perairan (arus, gelombang, dll).
2. Tentukan kedalaman yang akan diambil datanya (dangkal atau dalam)
3. Transek garis dibuat dengan membentangkan rol meter sepanjang 100 meter sejajar dengan
garis pantai. Pastikan bahwa rol meter yang dibentangkan memiliki rata-rata kedalaman yang
sama.
4. Untuk informasi biomassa ikan, dilakukan juga pencatatan estimasi panjang total ikan.
Pencatatan panjang total ikan pada:
-
Transek sabuk dengan ukuran 2 (5 x 50 m) untuk ikan > 10cm
-
Transek sabuk dengan ukuran 2 (2 x 50 m) untuk ikan < 10 cm
Ilustrasi pencatatan data dapat dilihat pada Gambar 3.6.
Ukuran ikan >10cm
Ukuran ikan <10cm
2.5 m
1m
50 m
50 m
Gambar 3.7. Lebar transek metode visual sensus ikan karang
Pembelajaran
Metode ini digunakan oleh beberapa lembaga atau program, namun ukuran transek dan tujuan
survei bervariasi, antara lain:
1. Wildlife Conservation Society – Indonesia Marine Program
2. Fisheries Diving Club – Institut Pertanian Bogor
3. Balai Taman Nasional Karimunjawa
4. Australian Institute of Marine Sciences
5. GCRMN
6. Yayasan Reef Check Indonesia
51
Tabel 3.17 Lembar data pencatatan ikan karang
Date
Time
Species
:
:
FREQUENCY OF FISHES
Site
:
Depth
:
Collector
:
Note
:
0-5
cm
1 2
5 - 10
cm
1 2
10 15 cm
1
2
15 20 cm
1
2
20 25
cm
1 2
25 30
cm
1 2
30 35 cm
1
2
35 40 cm
1
2
> 40
cm
1 2
2. Timed Swim Ikan Karang
Definisi
Timed swim ikan karang merupakan metode survei untuk mengetahui kekayaan spesies ikan
karang. Survei ini dilakukan oleh penyelam dengan alat snorkel atau SCUBA yang mengayuh
selama 30 – 40 menit secara acak dari kedalaman dangkal hingga kedalaman yang lebih dalam.
Tujuan
Survei ini digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai kekayaan spesies ikan karang.
52
Alat yang dibutuhkan
-
Buku identifikasi ikan
Alat dasar selam (masker, snorkel, dan fins)
Alat SCUBA
Papan sabak
Kertas tulis bawah air
Pensil
Jam tangan
GPS atau kompas
Kamera bawah air (jika ada)
Administrasi
Logistik
Metode pengamatan
1. Pencatatan data dilakukan dengan melakukan kayuhan (fin swimming) pada daerah terumbu
karang dari kedalaman dangkal hingga kedalaman dalam.
2. Untuk mendapatkan data yang berkualitas disarankan untuk menggunakan alat SCUBA untuk
mencakup perairan yang lebih dalam.
3. Fin swimming dilakukan selama 30 – 40 menit.
Prosedur dan urutan proses pelaksanaan
1. Tentukan titik pengamatan yang akan diambil datanya, kemudian catat koordinatnya
menggunakan GPS dan catat juga kondisi umum perairan (arus, gelombang, dll).
2. Tandai pada jam tangan, awal mula waktu pencatatan data.
3. Pencatatan data dilakukan selama 30 – 40 menit sambil bergerak (fin swimming) menyusuri
area terumbu karang
4. Setelah selesai, catat waktu akhirnya
Pembelajaran
Metode ini digunakan oleh beberapa lembaga atau program, namun ukuran transek dan tujuan
survei bervariasi, antara lain:
1. Wildlife Conservation Society – Indonesia Marine Program
2. The Nature Conservancy (kekayaan genera/spesies)
3. World Wide Fund For Nature (kekayaan genera/spesies)
4. Komodo National Park
53
Tabel 3.18 Lembar data metode timed swim (ikan karang)
Timed Swim Ikan Karang
Lokasi:
No sampel:
Tanggal:
Waktu:
Waktu mulai:
Pengambil data:
Waktu selesai:
Koordinat:
No
Famili
Spesies
No
1
36
2
37
3
38
4
39
5
40
6
41
7
42
8
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
54
Kedalaman:
Kondisi perairan:
Keterangan:
Visibility:
Famili
Spesies
3. Pemantauan Pemijahan Ikan Karang atau Fish SPAGs Monitoring
Definisi
Pemantauan pemijahan ikan karang atau Fish Spawning Agregations Monitoring merupakan sebuah
metode yang digunakan untuk mengetahui lokasi yang merupakan tempat berkumpulnya ikan
untuk memijah, terutama ikan kerapu (Famili Serranidae) dan Napoleon (Famili Labridae).
Metode ini dilakukan dengan mengobservasi lokasi yang secara spesifik dapat diketahui waktu
dan lamanya pemijahan, ukuran dan jumlah yang mungkin dihasilkan, juga dukungan kondisi
alamnya.
Tujuan
1. Menentukan lokasi-lokasi yang merupakan tempat agregasi (tempat berkumpul ikan dalam
jumlah besar) dan pemijahan ikan target.
2. Mengetahui jumlah dan ukuran ikan dalam agregasi pemijahan.
Alat yang dibutuhkan
-
Buku identifikasi ikan karang
Alat dasar selam (masker, snorkel, dan fins)
Alat SCUBA
Papan sabak
Kertas tulis bawah air
Pensil
2 buah rol meter @100 m
GPS atau kompas
Kamera bawah air (jika ada)
Administrasi
Logistik
Metode pengamatan
1. Pada lokasi yang telah diindikasikan sebagai tempat pemijahan ikan, lakukanlah pengamatan
lanjutan masing-masing dua lokasi sehari selama dua hari, pada selang purnama maupun
selang bulan baru.
2. Ukurlah ukuran ikan dan catat jenis ikan karang yang ditemukan selama 30 sampai 45 menit
pengamatan yang dilakukan selama 200 meter garis transek dengan kedalaman 20 – 30
meter.
3. Catat pula keterangan mengenai tingkatan pada tingkah laku pemijahan. Pencatatan data
dapat menggunakan form pada Tabel 3.18.
55
Prosedur dan urutan proses pelaksanaan (tambahkan pra survei SPAG –
wawancara, visual sensus rapid, design survei (waktu, jenis ikan)
1. Pastikan bahwa pengambil data (observer) telah mendapatkan pelatihan mengenai estimasi
ukuran ikan, identifikasi tingkah laku ikan memijah dan identifikasi lokasi pemijahan.
2. Lokasi tempat ikan memijah biasanya merupakan tempat yang memiliki arus air yang
bergerak menuju laut lepas, terdapat tempat persembunyian (gua atau celah batu karang)
dan lokasi berada di terumbu karang yang menjorok ke laut lepas (tanjung). Namun hal itu
belum bisa dipastikan terjadi. Oleh karena itu sebaiknya sebelum memilih stasiun
pengamatan terlebih dahulu melakukan survey pendahuluan mengenai lokasi dengan
melakukan penilaian terhadap tanda-tanda pemijahan ikan sebagai berikut:
Kode
1
Tanda Pemijahan
Grouping/kumpul – berkumpulnya ikan dalam kelompok yang lebih padat dari kondisi
normal pada waktu dan lokasi lain
2
Fighting/tarung – terjadi perkelahian antar ikan jantan
3
Coloring/pewarnaan – terjadi perubahan warna tubuh ikan
4
Gravit/bunting – perut ikan betina membengkak/bunting
5
Bite wound/luka gigitan – terdapat luka gigitan yang masih segar yang diduga disebabkan oleh
perkelahian antar ikan
6
Courtship/miring-miring – ikan jantan dan ikan betina saling berpasangan
7
Spawning/semprot – pelepasan sel telur dan sel sperma secara bersamaan ke kolom air
3. Pilih lokasi yang memang sering dijadikan pemantauan ikan karang
Pembelajaran
Metode ini digunakan oleh beberapa lembaga atau program, namun ukuran transek dan tujuan
survei bervariasi, antara lain:
1. The Nature Conservancy
2. Marine Diving Club – Universitas Diponegoro
3. Balai Taman Nasional Karimunjawa
4. Yayasan TAKA
56
Tabel 3.19 Lembar data pencatatan pemijahan ikan karang
Fish SPAGs Monitoring
Lokasi:
Tanggal:
Pengambil data:
Jenis Ikan
No sampel:
Waktu:
Koordinat:
Bulan Purnama
Tanggal:
Ukuran
Tanggal:
Tanda Pemijahan
ikan (cm)
1. Ephinephelus tukula
2. Ephinephelus polyphekadion
3. Ephinephelus fuscoguttatus
4. Ephinephelus malabaricus
5. Ephinephelus chlorostigma
6. Plectropomus leopardus
7. Plectropomus laevis
8. Plectropomus areolatus
9. Plectropomus oligocanthus
10. Variola louti
11. Cromileptes altivelis
12. Cheilinus undulatus
Kedalaman:
Kondisi perairan:
Visibility:
Bulan Mati
Ukuran ikan
Tanda Pemijahan
(cm)
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6
7
7
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6
7
7
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6
7
7
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6
7
7
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6
7
7
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6
7
7
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6
7
7
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6
7
7
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6
7
7
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6
7
7
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6
7
7
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6
7
7
Bulan Purnama
1 - Grouping/kumpul
2 - Fighting/tarung
3 - Coloring/pewarnaan
57
Bulan Mati
4 - Gravit/bunting
5 - Bite wound/luka gigitan
6 - Courtship/miring-miring
7 - Spawning/semprot
Keterangan:
58
SURVEI KOMUNITAS LAMUN
1. Seagrass Watch
Definisi
Survei pengamatan lamun dilakukan dengan mengukur perubahan distribusi dari komunitas
lamun. Perubahannya termasuk: distribusi lamun pada posisi di quadrat transek, komposisi
spesies pada kuadrat transek, kelimpahan dan penutupan lamun. Metode ini juga akan
mendorong kepedulian lokal pada monitoring komunitas lamun, menggunakan standarisasi
manual.
Tujuan
Metode ini digunakan untuk mengukur perubahan-perubahan pada komunitas lamun dalam hal
distribusinya dalam suatu area tertentu, komposisi jenis (spesies) yang ditemukan di sepanjang
transek kuadrat, dan kelimpahan lamun.
Alat yang dibutuhkan
-
Buku identifikasi jenis lamun
Alat dasar selam (masker, snorkel, dan fins)
Papan sabak
Kertas tulis bawah air
Pensil
Transek kuadrat ukuran (50 x 50 cm)
3 set rol meter @50 meter
GPS atau kompas
Kamera bawah air (jika ada)
Administrasi
Logistik
Metode pengamatan
Metode ini menggunakan transek garis sebagai patokan peletakan transek kuadrat. Transek garis
diletakkan secara paralel tegak lurus garis pantai dengan jeda masing-masing transek garis 25
meter. Transek kuadrat diletakkan di sekitar titik interval kelipatan 5 meter. Setiap 50 meter
transek garis yang dibentangkan terdapat 11 titik observasi transek kuadrat. Peletakkan transek
garis dapat dilihat pada Gambar 8. Pencatatan data komunitas lamun dilakukan dengan mencatat
jenis alga, jenis sedimen, biota lain serta mengestimasi persen penutupan jenis lamun.
59
50 m
45 m
40 m
35 m
30 m
25 m
20 m
15 m
10 m
5 m
0 m
Transek
1
25 m
25 m
Transek
2
Transek
3
Gambar 3.8 Peletakan transek garis dan transek kuadrat pada metode Seagrass Watch
Prosedur dan urutan proses pelaksanaan
1. Tentukan titik pengamatan yang akan diambil datanya, kemudian catat koordinatnya
menggunakan GPS dan catat juga kondisi umum lokasi.
2. Bentangkan 3 set rol meter secara paralel dengan jarak interval 25 meter, yang terlihat
seperti pada Gambar 3.7.
3. Catat jenis alga, jenis sedimen, biota lain serta mengestimasi persen penutupan jenis lamun
pada transek kuadrat sepanjang transek garis dengan interval tiap 5 meter.
4. Ukur tinggi kanopi untuk tiap jenis lamun. Pengukuran dilakukan dari dasar hingga ujungujung daun. Pencatatan data dapat menggunakan form pada Tabel 3.19
Pembelajaran
Metode ini digunakan oleh beberapa lembaga atau program antara lain:
1. Wildlife Conservation Society – Indonesia Marine Program
2. Balai Taman Nasional Karimunjawa
60
% algae
Canopy Height
HP
SI
TH
HU
HO
CS
CR
EA
% Seagrass
Sediment Type
End Time
Start Time
Date
1
:
:
:
2
0
3
1
2
5
3
1
2
10
3
1
2
15
3
1
61
2
20
3
Observer
1
Site Name
2
25
:
:
3
1
2
30
3
Seagrass Watch Data Sheet
Tabel 3.20 Lembar data pencatatan data lamun menggunakan metode Seagrass Watch
1
2
35
3
1
2
40
Note
3
:
1
2
45
3
1
2
50
3
Gambar 3.9 Jenis lamun beserta kode pencatatan dan ciri khususnya
62
Gambar 3.10 Estimasi persen penutupan lamun
63
2. Tepi Padang Lamun
Definisi
Tepi padang lamun merupakan sebuah metode yang digunakan untuk mengukur pergerakan tepi
komunitas padang lamun pada daerah yang mengalami gangguan/ancaman dan daerah kontrol.
Tujuan
Metode ini digunakan untuk mengetahui tingkat kesehatan padang lamun pada daerah yang
terkena tekanan alami dan atau manusia dengan daerah kontrol.
Alat yang dibutuhkan
-
Buku identifikasi jenis lamun
Alat dasar selam (masker, snorkel, dan fins)
Papan sabak
Kertas tulis bawah air
Pensil
Pasak permanen
Rol meter (50 meter)
GPS atau kompas
Peta lokasi
Kamera bawah air (jika ada)
Administrasi
Logistik
Metode pengamatan
Pemantauan dilakukan dengan melakukan pengukuran jarak antara dua tepi padang lamun, yaitu
pada lamun di daerah terdangkal dan daerah terdalam. Patok penanda yang telah dipasang pada
tiap sisi lamun (dangkal dan dalam) kemudian diukur jaraknya dalam satuan sentimeter. Lihat
perubahannya berdasarkan waktu.
Prosedur dan urutan proses pelaksanaan
1. Pilih lokasi pengamatan yang memiliki komunitas lamun dengan pertumbuhan menahun yang
memiliki batas yang jelas pada kedalaman dangkal maupun terdalam.
2. Pelajari daerah yang terkena dampak dan kontrol (jauh dari pengaruh manusia) dengan
bertanya pada penduduk setempat, dan apabila memungkinkan gunakanlah foto udara.
3. Setelah lokasi dipilih, pasang pasak permanen sebagai penanda di daerah terdangkal dan
daerah terdalam yang berdekatan dengan batas (tepi) lamun. Gambarkan dalam peta posisi
patok penanda berada.
64
4. Gunakan kamera untuk mendokumentasikan perubahan yang terjadi apabila dibutuhkan.
Tabel 3.21 Lembar data pencatatan metode tepi padang lamun
Tepi Padang Lamun
Lokasi:
Kota/propinsi:
Tanggal:
Observer:
Posisi GPS:
Bertambah
Jarak dari pasak
Kedalaman air
Tetap
cm
Berkurang
cm
0 – 5 meter
6 – 10 meter
cm
11 – 15
meter
JENIS-JENIS LAMUN DOMINAN
DAMPAK MANUSIA DAN ALAM
KONTROL
Cyomodocea serrulata
Cymodocea rotundata
+
TERGANGGU
Enhalus acroides
+
Pengaruh Manusia
Thallasia hemprichii
+
Polusi Industri
Syringodium isoetifolium
Pulosi Limbah Padat
Halodule uninervis
Pengerukan
Halophila minor
Pertambangan (minyak, dll)
Halophila decipiens
Perikanan Rekreasi
Halophila ovalis
Perikanan Komersial
Tidak tahu
Budidaya Perairan
+
+
+
Jangkar/Mooring
Pariwisata Komersial
…..................................
Pengaruh Alam
Badai
Lintasan Mulut Sungai
Kenaikan Suhu Air
......................................
65
+
SURVEI EKOSISTEM MANGROVE
1. Transek Garis Kuadran
Definisi
Transek garis kuadran merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui keanekaragaman,
kepadatan, dan obyek penting lain yang berhubungan dengan kondisi hutan mangrove pada suatu
tempat dan waktu tertentu. Metode ini diadopsi dari Knight dan Tighe (2003).
Tujuan
Metode ini digunakan untuk mengetahui kepadatan, jenis, persen tutupannya, dan tingkat
kerusakan dari mangrove
Alat yang dibutuhkan
-
Buku identifikasi bakau
Rol meter
GPS atau Kompas
Peta lokasi
Papan sabak
Kertas tulis bawah air
Pensil
Sepatu boot
Perahu Kecil
Kantong plastik
Topi
Pengawet
Lensa binokuler
Pisau
Prosedur dan urutan proses pelaksanaan
1. Pengukuran garis pantai
Pengukuran garis pantai dilakukan dengan cara mengukur panjang garis pantai dari
batas/ujung kampung yang satu dengan batas ujung kampung lainnya. Alat yang diperlukan
adalah: kompas, meteran, kertas serta pensil untuk menulis dengan skala di lapangan yang
kita tentukan sendiri. Setelah itu kita akan mentransfer data yang dari skala lapangan itu ke
atas kertas dengan skala yang kita inginkan.
66
2. Mengukur garis terluar bakau
Mengukur garis terluar bakau dengan cara mengambil posisi terluar bakau dengan
menggunakan GPS. Bisa juga dengan mengukur secara kasar yakni dengan mengukur di atas
peta.
3. Luas areal bakau
Luas areal bakau ini dapat dihitung secara kasar dengan menggunakan peta dasar Lingkungan
Pantai (BAKOSURTANAL).
4. Posisi bakau terhadap pantai
Buatlah deskripsi tentang posisi bakau yang akan dimonitor. Penggambaran posisinya dalam
peta akan lebih baik.
5. Penentuan jumlah transek dan titik-titik awal transek
Setelah kita mendapatkan total panjang garis pantai dan banyaknya transek yang akan kita
ambil, kita langsung mengambil posisi titik awal transek dengan menggunakan GPS. Titik ini
akan menjadi titik permanen untuk setiap kali pengambilan data. Titik awal tersebut
sebaiknya ditandai menggunakan patok permanen atau dengan mengecat salah satu pohon di
awal transek tersebut.
6. Penentuan arah kompas
Arah kompas ini fungsinya untuk menetapkan posisi transek yang tegak lurus garis pantai.
Karena mengingat posisi garis pantai ada yang berlekuk ataupun ada yang lurus. Sehingga
pada garis pantai yang berlekuk tidak terjadi kemungkinan untuk transek tersebut bertemu.
7. Pengambilan Data
Ada beberapa tahapan dalam mengambil data transek yaitu:
a. Menarik meteran ke arah laut dengan posisi awal yang sudah ditetapkan sebagai posisi
tetap (paten) dalam pengambilan data untuk monitoring selanjutnya. (Biasanya meteran
yang digunakan adalah dengan panjang meteran 50 m).
b. Buat transek dengan panjang 10 m x 10 m untuk diamati/untuk pengambilan data. Jadi
setelah ada garis memanjang ke laut, kita membagi pada setiap 10 m sebelah kiri dan 10
m (membentuk bujur sangkar) sebelah kanan untuk diamati.
c. Pengamatan.
Komponen-komponen yang diamati
1. Jenis dan jumlah bakau
Jenis bakau: hitung semua jenis bakau yang ada dalam areal bujur sangkar (10m x 10m). Jenis
beserta jumlahnya.
2. Jumlah anakan
67
Hitung jumlahnya saja.
3. Diameter pohon
Untuk diameter pohon, ambil sampel 3 pohon besar dan 3 pohon kecil dan hitung linkar
pohonnya. Diameter didapat dengan melakukan perhitungan rumus di bawah ini.
Diameter = lingkar pohon/3.14
4. Pendugaan Tinggi pohon
Ukur tinggi pohon sample.
5. Substrat dasar
Catat jenis substrat dalam areal bakau tersebut. Apakah berpasir, berlumpur, tanah, berbatu,
dll.
6. Biota yang berasosiasi
Catat biota-biota apa saja yang ada di lokasi tersebut.
7. Potensi gangguan pada bakau
a. Jarak dengan areal pemukiman
b. Bentuk pemanfaatan kayu bakau (buat rumah, pagar dll)
c. Kebijakan pemerintah setempat
Untuk gangguan potensi ini, catat secara deskriptif baik proses maupun hasilnya.
8. Informasi sejarah perubahan bakau
a. Wawancara kepada masyarakat sekitar
b. Melihat/mendata bekas akar/pokok bakau
c. Biota indikator
d. Melihat gundukan bekas galian kepiting
e. Hasil penelitian sebelumnya
Tabel 3.22 Lembar data pencatatan data mangrove
Transek Garis Kuadran
Lokasi:
Tanggal:
Pukul:
N Jarak
Mete
Kiri
o
(m)
r ke
Pohon kecil
Pohon besar
Jeni
s
1
50 (1)
Diamet
er tinggi
Jeni
s
Diamet
er tinggi
Kota:
Posisi GPS
Propinsi:
Pengamat:
Kanan
Pohon kecil
Jenis
0-10
1020
2030
3040
40-
68
Diamet
er tinggi
Pohon besar
Jeni
s
Diamet
er tinggi
Jumlah/Jenis
Kiri
Kanan
Poho Poho Poho Poho
n
n
n
n
kecil besar kecil besar
2
50 (2)
3
50 (3)
4
50 (4)
50
0-10
1020
2030
3040
4050
0-10
1020
2030
3040
4050
0-10
1020
2030
3040
4050
69
2. Kanopi Mangrove
Definisi
Kanopi mangrove merupakan metode yang digunakan untuk menghitung tutupan kanopi, jumlah
anakan dan komposisi jenis mangrove dominan. Metode ini diadopsi dari Knight dan Tighe
(2003).
Tujuan
Metode ini digunakan untuk mengetahui penutupan kanopi (canopy), jumlah biji dan jenis yang
mendominasi mangrove pada suatu daerah.
Alat yang dibutuhkan
-
Buku identifikasi bakau
Rol meter (100 meter)
GPS dan Kompas
Peta lokasi atau foto udara daerah yang diteliti (jika ada)
Papan sabak
Kertas tulis bawah air
Pensil
Sepatu boot
Tali untuk pembuatan kuadran 10m x 10m
Patok kayu
Metode pengamatan
Pencatatan data dilakukan dengan meletakkan transek garis pada daerah pasang surut mangrove
tegak lurus garis pantai sepanjang 100 meter. Setiap 10 meter transek garis buat pengamatan
menggunakan kuadran transek 10m x 10m hingga mencapai 100 meter transek garis.
Prosedur dan urutan proses pelaksanaan
1. Pilih lokasi pengamatan yang mewakili vegetasi mangrove di wilayah tersebut
2. Pada setiap lokasi tentukan stasiun-stasiun pengamatan berdasarkan keterwakilan lokasi.
3. Buat transek garis ke arah laut tegak lurus garis pantai sepanjang 100 meter hanya pada
daerah pasang surut. (catat posisi dan waktu pengamatan).
4. Buat kuadran transek setiap 10 meter dengan ukuran 10m x 10m. Setiap kuadran hitung
kanopi tanaman, jumlah anakan dan jumlah tanaman mangrove yang dominan. Catat juga tipe
substrat (lumpur, lempung, pasir, dll.).
5. Catat dampak kegiatan manusia yang terjadi berdasarkan kriteria di bawah ini:
A = Tidak ada/sedikit pengaruh manusia
70
B = Dampak ringan
C = Dampak sedang
D = Dampak berat
E = Dampak sangat berat
Pencatatan data dapat menggunakan form pada Tabel 3.23.
Tabel 3.23 Lembar data pencatatan metode kanopi mangrove
Kanopi Mangrove
Lokasi:
Kota/Kab:
Propinsi:
Tanggal:
Posisi GPS awal:
Pengambil data:
Waktu:
Posisi GPS akhir
#
Transek
1
Kuadran
Kanopi
Jumlah
(%)
anakan
Jumlah pohon dewasa
Apiapi
Nipah
0-10 m
10-20m
20-30m
30-40m
40-50m
50-60m
60-70m
70-80m
80-90m
90-100m
2
0-10 m
10-20m
20-30m
30-40m
40-50m
50-60m
60-70m
70-80m
80-90m
90-100m
3
0-10 m
10-20m
71
Tipe
substrat
Dampak
kegiatan
manusia
20-30m
30-40m
40-50m
50-60m
60-70m
70-80m
80-90m
90-100m
3. Kesehatan Mangrove
Definisi
Metode ini digunakan dengan cara menghitung jumlah pohon yang hidup dan mati dalam 100 m2
dan mengestimasi persentase daun hidup pada 20 pohon mangrove yang telah diberi tanda (tag).
Metode ini berguna untuk memonitor keadaan (kesehatan) hutan mangrove pada suatu daerah
yang akan dipengaruhi oleh keberadaan dan pengembangan potensi wilayah pesisir. Metode ini
diadopsi dari Knight dan Tighe (2003).
Tujuan
Metode ini digunakan untuk melihat kesehatan hutan bakau di daerah yang mungkin dipengaruhi
oleh aktivitas manusia oleh dalam rangka pengembangan potensi wilayah pesisir.
Alat yang dibutuhkan
-
Buku identifikasi bakau
Rol meter
GPS atau Kompas
Peta lokasi atau foto udara daerah yang diteliti (jika ada)
Papan sabak
Kertas tulis bawah air
Pensil
Sepatu boot
Plastik label
Patok kayu
Metode pengamatan
Pencatatan data dilakukan dengan membuat transek kuadrat dengan ukuran 10m x 10m.
Pengukuran dilakukan dengan mencatat jumlah tanaman bakau yang hidup dan mati dalam
72
transek kuadrat dan mencatat estimasi persentase daun yang hidup dan yang mati dari 20
tanaman bakau dewasa sebagai sampel.
Prosedur dan urutan proses pelaksanaan
1. Pilihlah lokasi yang memiliki kemungkinan terancam oleh kegiatan pengembangan atau
daerah yang dijadikan tujuan pembangunan. Pilih lokasi yang memiliki jumlah tanaman bakau
dewasa yang cukup dan berada pada daerah terdalam bakau atau yang paling jauh dari garis
pantai (karena sangat rentan terhadap perubahan lingkungan).
2. Tentukan titik pengamatan dan catat koordinatnya menggunakan GPS.
3. Buat transek kuadrat dengan ukuran 10m x 10m dan tandai setiap sudut transek dengan
patok kayu atau memberi tanda pada tanaman.
4. Pilih sebanyak 20 tanaman bakau dewasa sebagai sampel, beri label dan beri nomor urut.
5. Petakan lokasi tanaman tersebut pada peta.
6. Pada survei berikutnya, monitoring dapat dilakukan dengan mencatat jumlah tanaman sampel
yang hidup dan mati. Catat perkiraan persentase daun yang hidup dan mati. Catat juga
perkiraan persentase penutupan kanopi tanaman tersebut. Perkiraan persentase penutupan
kanopi dapat menggunakan skala sebagai berikut:
Kode
Persentase
A
75-100%
B
50-100%
C
25-49%
D
1-24%
E
0%
7. Transek kuadrat kontrol juga dapat dibuat untuk membandingkan tutupan kanopi dengan
tanaman yang jauh dari aktivitas manusia. Pencatatan data dapat menggunakan form pada
Tabel 3.24.
Tabel 3.24. Lembar data pencatatan metode kesehatan mangrove
Kesehatan Mangrove
Lokasi:
Tanggal:
Waktu:
#
No
Transek
Pohon
% Daun mati/hidup
Kota:
Propinsi:
Posisi GPS:
Pengamat:
% Penutupan kanopi
73
Keteranga
n
Dampak manusia dan
alam
(video/fot
o)
% Daun
hidup
%
Daun
Polusi industri
A
B
C
D
E
mati
1
Polusi sampah
2
Konversi lahan
3
Pertambangan
4
Perikanan
5
Budidaya perikanan
6
Kerusakan jangkar
7
Pariwisata
8
Badai
9
Muara sungai
10
Suhu air naik
11
Penggelantungan
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Pengamatan lain yang diperlukan
Jenis bakau dominan:
Jumlah tanaman bakau yang mati dalam kuadran:
1.
Jumlah tanaman bakau yang hidup dalam kuadran:
2.
Jumlah tanaman bakau di kuadran:
3.
4.
74
PENGUKURAN KUALITAS PERAIRAN
Parameter lain yang menjadi bagian dari aspek biofisik adalah fisika dan kimia perairan.
Parameter fisika perairan yang umum diukur diantaranya adalah suhu, salinitas, dan kecerahan
perairan.
Sedangkan parameter kimia yang umum diamati diantaranya adalah: nitrat, nitrit,
fosfat, DO (dissolved oxygen), BOD (biochemical oxygen demand), dan pH (derajat keasaman).
Tujuan dan Kegunaan
Pemantauan kualitas perairan diperlukan sebagai data pendukung yang dapat memberikan
informasi tentang keadaan suatu perairan. Misalnya peningkatan kadar senyawa nitrat atau fosfat
di suatu perairan menandakan bahwa telah terjadi pengayaan nutrisi (eutrofikasi) yang
bersumber dari limbah domestik atau pertanian. Demikian halnya dengan peningkatan
kandungan fitoplankton atau chlorofil-a, yang memberikan gambaran adanya pengayaan nutrisi.
Data kualitas lingkungan dapat dijadikan sebagai :
1.
Data pendukung yang dapat merefleksikan kondisi perairan di suatu ekosistem pesisir atau
habitat sumberdaya ikan (terumbu karang, lamun).
2.
Memberikan informasi tentang adanya jenis atau sumber pollutan di suatu lokasi.
Teknis Pengukuran :
Pengambilan sampel air untuk pengukuran senyawa Nitrit, Nitrat dan Fosfat menggunakan
wadah yang terbuat dari bahan poliethilen, sedangkan untuk Oksigen digunakan wadah gelas.
Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel parameter/senyawa tertentu dirangkum dalam
Tabel 3.25. Detail pelaksanaan di lapangan dan analisis laboratorium dapat dilihat di berbagai
literature, diantaranya Hutagalung dkk. (1997); Strickland and Parson (1968). Pengambilan
sampel plankton dilakukan secara vertikal dan horizontal mengikuti acuan menurut Whickstead
1965. Selanjutnya seluruh pengukuran parameter fisika seperti suhu, salinitas, kecerahan
dilakukan in situ.
Tabel 3.25 Parameter lingkungan perairan, peralatan, dan metode analisis
Parameter
Nitrit, Nitrat, Fosfat
DO, BOD
Fitoplankton
Zooplankton
Alat ukuran dan alat yang
digunakan dalam pengambilan
sampel
Wadah Polietilen
Wadah gelas
Plankton net 30-50 µm
Plankton net 150-170 µm
75
Analisis
Laboratorium
Spektrofotometer
Winkler
Suhu
Salinitas
Kecerahan
Kedalaman
KEcepatan arus
Termometer
Refraktometer
Sechi disc
Depth meter
Current meter
Penentuan status Baku Mutu Air (BMA)
Secara sederhana, penentuan status mutu air dilakukan dengan cara membandingkan hasil
pemantauan kualitas air dengan BMA yang diterapkan. Mengacu pada Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air telah diatur2
(dua) metode untuk menentukan status mutu air yaitu metode Storet dan metode indeks
pencemaran.
Secara prinsip metode penentuan BMA adalah dengan membandingkan antara data kualitas air
dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air.
Cara penentuan BMA yang umum dilakukan adalah metode Storet yang menggunakan sistem
nilai dari US – EPA (Environmental Protection Agency) dengan mengklasifikasikan mutu air dalam
empat kelas, yaitu:
1. Kelas A : baik sekali
skor = 0; memenuhi baku mutu
2. Kelas B : baik
skor = -1 s/d -10; cemar ringan
3. Kelas C : sedang
skor = -11 s/d -30; cemar sedang
4. Kelas D : buruk
skor ≤ -31; cemar berat
Penentuan status mutu air dengan menggunakan metode Storet dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut:
1. Lakukan pengumpulan data kualitas air dan debit air secara periodik sehingga
membentuk data dari waktu ke waktu (time series data);
2. Lakukan perhitungan nilai maksimum, minimum, dan nilai rata-rata dari sampel data yang
diambil;
3. Bandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air dengan nilai baku
mutu yang sesuai dengan kelas air.
4. Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran < baku mutu)
maka diberi skor 0.
5. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran > baku
mutu), maka diberi skor mengacu pada table 3.26.
76
6. Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status mutunya dari
jumlah skor yang didapat dengan menggunakan sistem nilai.
Tabel 3.26 Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air.
Jumlah
Nilai
parameter
< 10
Maksimum (max)
Minimum (min)
Rata-rata (mean)
≥ 10
Maksimum (max)
Minimum (min)
Rata-rata (mean)
Fisika
-1
-1
-3
Parameter
Kimia
-2
-2
-6
Biologi
-3
-3
-9
-2
-2
-6
-4
-4
-12
-6
-6
-18
Standar baku mutu air laut yang umum diukur dan digunakan di perairan terumbu karang serta
metode pengukurannya disajikan pada Tabel 3.27. Untuk standar baku mutu wilayah perairan
lain dapat mengacu kepada standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
Selanjutnya metode dan instrumen yang digunakan dalam pengukuran parameter-parameter
tersebut disajikan pada Tabel 3.28.
Tabel 3.27 Standar baku mutu air laut
Parameter
Kecerahan
Kebauan
Total suspended solid
Suhu
Salinitas
Satuan
Baku Mutu
Meter Perubahan euphotic depth antara 5-10%
Alami
mg/l
Perubahan konsentrasi rata-rata musiman
berkisar antara 10-20%
o
C
Terumbu karang: 28-30
‰
Terumbu Karang: 33-34
Tabel 3.28 Parameter, metode, dan instrument pengukuran baku mutu air laut
Parameter
Metode
Instrumen
Kebauan
Kecerahan
Total Suspended Solid
Temperatur
Salinitas
Penciuman
Visual
Menimbang
Pemuaian
Visual dengan alat
Sechi disc
Timbangan elektronik
Termometer
Refraktometer
77
BAB 4
CONTOH STUDI KASUS HASIL PEMANTAUAN EKOSISTEM PESISIR DAN
LAUT DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
4.1. Contoh Kajian Ekosistem Terumbu Karang: Penutupan substrat dasar terumbu
karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh, berdasarkan wilayah pengelolaan.
Kondisi perairan di Pulau Aceh menunjukkan tutupan karang yang relatif rendah dibanding
perairan di Pulau Weh. Tutupan karang Kepulauan Aceh di daerah dangkal memiliki rata-rata
11,7% dan daerah dalam 1,8%. Perbedaan tutupan ini diduga dikarenakan kondisi perairan di
Pulau Aceh yang cenderung landai, dimana karang keras lebih banyak ditemukan di daerah yang
lebih dangkal. Daerah yang dalam lebih didominasi oleh substrat pasir (12,3%) dan karang mati
(79,6%) sehingga peluang karang hidup/tumbuh kecil (Gambar 14).
KKPD Pulau Weh memiliki tutupan karang rata-rata yang relatif lebih tinggi dibanding
daerah lainnya (open access). Tutupan karang hidup (live coral cover) rata-rata di wilayah KKPD
pada kedua kedalaman relatif sama yaitu 53,1% (dalam) dan 53,6% (dangkal), tutupan rata-rata di
TWAL Iboih 30,9% (dalam) dan 44,9% (dangkal). Tutupan karang Pulau Weh di luar daerah
perlindungan laut rata-rata 23,5% (dalam) dan 28,5% (dangkal).
Secara umum terdapat perbedaan yang signifikan (F=97,846; P<0,05) pada tutupan rata-rata
karang keras antar wilayah pengelolaan, di mana tutupan rata-rata karang di semua wilayah
berbeda nyata, tertinggi ke terendah secara berurutan adalah wilayah KKPD (53,3%), TWAL
(37,9%), daerah open acces Pulau Weh (26%) dan Pulau Aceh (6,5%). Selain itu juga terdapat
perbedaan signifikan (F=8,911; P<0,05) antar kedalaman, di mana tutupan rata-rata di lokasi yang
lebih dangkal (30,9%) relatif lebih tinggi dibanding lokasi dalam (23,1%). Kondisi ini menunjukkan
terumbu karang di Pulau Aceh dan Pulau Weh merupakan tipe terumbu dangkal. Selain itu
substrat dasar yang lebih dalam di sebagian lokasi didominasi oleh pasir, dan sebagian lagi –
terutama di sisi barat Pulau Weh - merupakan substrat batu vulkanik yang sedikit sekali
ditemukan penempelan karang keras.
78
100
Dalam
Dangkal
Penutupan karang (%)
90
80
70
60
50
40
30
20
10
P. Aceh (open access)
P. Weh (open access)
TWAL Iboih
Ujung Seuke
Ujung Kareung
Benteng
Sumur Tiga
Anoi Itam
Ujung Seurawan
Rubiah Sea Garden
Lhok Weng
Rubiah Channel
Pulau Klah
Batee Meuronon
Lhong Angin 3
Lhong Angin 2
Jaboi
Lhong Angin 1
Gapang
Beurawang
Ba Kopra
Pasi Janeng 2
Pasi Janeng 1
Lhoh
Paloh
Leun Balee 2
Leun Balee 1
Lapeng
Lamteng
Deudap
0
KKPD Sabang
Lokasi survei dan wilayah pengelolaan
Gambar 4.1
Rata-rata (+SE) tutupan karang keras (%) di 27 Lokasi survei: perbandingan antara
wilayah pengelolaan pada dua kedalaman yang berbeda.
Penutupan karang (%)
100.0
Dalam
Dangkal
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
P. Aceh (open
access)
P. Weh (open
access)
TWAL Iboih
KKPD Sabang
Wilayah Pengelolaan
Gambar 4.2
Rata-rata (+SE) tutupan karang keras (%) berdasarkan wilayah pengelolaan, pada
dua kedalaman yang berbeda.
79
4.2. Contoh Kajian Sumberdaya Ikan Karang : Kajian Kelimpahan dan Biomassa
Ikan Karang di KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala
Ikan karang di KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala merupakan salah satu faktor
terpenting dari ekosistem terumbu karang yang dimanfaatkan oleh peduduk setempat, karena
sebagian besar penduduk Karimunjawa (65,88%) mengandalkan sumber daya ikan sebagai mata
pencaharian dan sumber makanan utama. Secara ekologis, keragaman hayati ikan karang di
KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala dan di perairan Laut Jawa pada umumnya lebih rendah
dibandingkan dengan kawasan terumbu karang di bagian timur Indonesia. Hal ini dikarenakan
tipe habitat yang lebih homogen dan tekanan perikanan yang lebih tinggi (Allen dan Werner,
2002).
Kondisi ikan karang di KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala mengalami penurunan yang
signifikan pada tahun 2009, baik dalam hal biomassa (Gambar 20) maupun kelimpahan (Gambar
21), namun yang terutama adalah biomassa. Biomassa total ikan karang pada tahun 2009 dengan
mengesampingkan data ikan dari famili Pomacentridae adalah 200,33 kg/ha, turun sebesar 25,5%
dari pengambilan data sebelumnya pada tahun 2007. Penurunan ini tidak sebanding dengan
penurunan kelimpahan ikan karang yang hanya sebesar 13,4%. Dilihat dari sebaran data kelas
ukuran ikan per tahun, penurunan kelimpahan terjadi pada ikan-ikan pada kelas ukuran kecil,
sedangkan ikan berukuran lebih dari 25 cm mengalami peningkatan yang signifikan (Gambar 22),
yang sebagian besar berasal dari ikan herbivora kelompok fungsional browsers (Kyphosidae,
Acanthuridae, Siganidae, dan Ephippidae) dan large excavators (Chlorurus sp, Cetoscarus sp,
Bolbometopon sp). Hal ini menunjukkan gejala yang baik, dimana peningkatan kelimpahan
kelompok ikan herbivora menunjukkan adanya peningkatan daya kelentingan ekosistem terumbu
karang (resilience) di KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala.
Penurunan nilai biomassa dan kelimpahan ikan karang sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor alam, antara lain kerusakan habitat, daya kelentingan ekosistem, juga tekanan perikanan.
Berdasarkan data kondisi karang tahun 2009 di KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala, persentase
penutupan karang keras mengalami peningkatan, yang menunjukkan adanya perbaikan kondisi
habitat bagi ikan karang. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor terbesar dalam penurunan nilai
biomassa dan kelimpahan ikan karang adalah berasal dari tekanan perikanan. Hasil dari
pemantauan sumberdaya ikan karang di KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala menunjukkan bahwa
pengelola kawasan perlu mempernaiki efektivitas pengelolaan untuk menjamin keberlanjutan
sumberdaya ikan karang di kawasan ini.
80
Gambar 20. Biomassa (kg/ha) rata-rata (±SE) ikan karang hasil pengamatan tahunan di setiap
zona di KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala.
12000
2004
Kelimpahan Ikan Karang (ind.ha-1)
2005
2006
10000
2007
2009
8000
6000
4000
2000
0
Inti
Pemanfaatan
Perikanan
Berkelanjutan
Luar Kawasan
Total
ZONA
Gambar 21. Kelimpahan (no/ha) Rata-rata (±SE) ikan karang hasil pengamatan tahunan di setiap
zona di KKPD Kepulauan Ujung Cakrawala.
81
1600
Rata-rata kelimpahan ikan karang (ind.ha-1)
2004
1400
2005
2006
1200
2007
1000
2009
800
600
400
200
0
10-15 cm
Gambar 22.
15-20 cm
20-25 cm
25-30 cm
30-35 cm
35-40 cm
>40 cm
Kelimpahan (ind/ha) ikan karang (±SE) berdasarkan kelas ukuran tiap tahun
pengamatan di KKPD Ujung Cakrawala.
82
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2009. Seagrass Watch Risk Assessment Ver. 4: 8 April 2009.
Allen, G. R. and T. B. Werner (2002). Coral Reef Fish Assessment in the 'Coral Triangle' of
Southeastern Asia. Environmental Biology of Fishes 65(2): 209-214.
Ardiwijaya, R.L., T. Kartawijaya, Y. Herdiana, F. Setiawan. 2007. Laporan Teknis - Survei ekologi
terumbu karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh – Propinsi NAD, April 2006. WCS
Marine Program Indonesia. Bogor, Indonesia. 24pp.
Azhar, I., H. Tioho, B. Pratasik, FORPPELA Streering Committee. 2003. Panduan
PemantauanWilayah Pesisir oleh FORPPELA (1), dalam Koleksi Dokumen Proyek Pesisir
1997-2003, Seri PemantauanWilayah Pesisir, M. Knight, S. Tighe (editor); Coastal
Resources Center, University of Rhode Island, Narragansett, Rhode Island, USA.
Boston University. 2007. The American academy of underwater sciences standards for scientific
diving. Boston.
Choat, JH and DR Bellwood (1985). Interactions Amongst Herbivorous Fishes on a Coral Reef:
Influence of Spatial Variation. Marine Biology 89: 221-234.
COREMAP 2006. Manual Monitoring Kesehatan Karang (Reef Health Monitoring). LIPI-CRITIC.
Jakarta.
English, S., C. Wilkinson, and V. Baker. 1994. Survey manual for tropical marine resources.
ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources. Australian Institute
of Marine Science, Townsville. Pp.12 - 51.
Green, AL (1996a). Spatial, Temporal and Ontogenetic Patterns of Habitat Use by Coral Reef
Fishes (Family Labridae). Marine Ecology Progress Series 133: 1-11.
Green, AL (1996b). Status of the Coral Reefs of the Samoan Archipelago. Report to the
Department of Marine and Wildlife Resources. PO Box 3730, Pago Pago, American
Samoa. 96799: 120.
Green, AL (2002). Status of Coral Reef on the Main Volcanic Islands of American Samoa: A
Resurvey of Long-term Monitoring Sites (Benthic Communities, Fish Communities, and
Key Macroinvertebrates). A Report Prepared for the Dept of Marine and Wildlife
Resources. Pago Pago, American Samoa. 96799: 133.
Harvey A & Yusamandra H (2010), Reef Fish Spawning Aggregations in Komodo National Park:
Status 2009. The Nature Conservancy & PT Putri Naga Komodo, Bali, Indonesia.
Herdiana, Y. 2007. Panduan pelatihan pengamatan kondisi ekosistem terumbu karang berbasis
masyarakat, , Wildlife Conservation Society- Marine Indonesia Program, Bogor
Hill, J. dan C. Wilkinson. 2004. Methods for Ecological Monitoring of Coral Reefs: A Resource
for Managers, ver 1. Australian Institute of Marine Science. Townsville
Hodgson, G (2003). Reef Check Instruction Manual,
http://www.reefcheck.org/infocenter/ publications.asp
Reef
Check
Foundation,
Knight, M. dan S. Tighe, (editor) 2003. Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003; Coastal
Resources Center, University of Rhode Island, Narragansett, Rhode Island, USA. (5 Seri,
30 Buku, 14 CR-ROM).
McClanahan, T.R., N.A. Muthiga, S. Mangi. 2001. Coral and Algal Changes After the 1998 Coral
Bleaching: Interaction with Reef Management and Herbivores on Kenyan Reefs. Coral
Reefs, 19: 380-391.
83
McClanahan, TR .2004. The relationship between bleaching and mortality of common corals.
Marine Biology, 144: 1239-1245.
McKenzie, L.J., and S. J. Campbell. 2002. Seagrass-Watch; Western Pacific Manual for
Community (citizen) Monitoring of Seagrass Habitat. QFS, NFC, Cairns. 43p.
McKenzie, L.J. 2003. Draft guidelines for the rapid assessment of seagrass habitats in the
western Pacific (QFS, NFC, Cairns) 43pp.
Moran, P. J. and De'ath. 1992. Suitability of the manta tow method for estimating the relative
and absolute abundance of crown of thorn starfish and corals. Australian Journal of Marine
and Freshwater Research, 43:357-378.
Muttaqin, E, R.L, Ardiwijaya, S. Pardede, F. Setiawan, A.M. Siregar. 2011. Laporan Teknis Survei Pemutihan Karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh – Propinsi NAD. WCS Marine
Program Indonesia. Bogor, Indonesia. Tidak dipublikasikan
Reckhow K. H. dan W. W. Hicks. 1997. Biological Criteria: Technical Guidance for Survey
Design and Statistical Evaluation of Biosurvey Data. US Environmental Protection
Agency. Washington.
Sugiarto, D. Siagian, l. Ti Sunaryanto, D. Soetomo. 2001, Teknik sampling, Gramedia pustaka
utama, Jakarta.
Sukmara, A., A.J. Siahainenia, C. Rotinsulu. 2001. Panduan pemantauan terumbu karang berbasis
masyarakat dengan metode Manta Tow. Proyek Pesisir – CRMP Indonesia
Wibowo, J.T. 2006. Laporan Monitoring: Aspek Sosial Pengelolaan Taman Nasional
Karimunjawa, 2005. Wildlife Conservation Society-Marine Program Indonesia. Bogor.
Indonesia.
Wildlife Conservation Society-Marine Indonesian Program. 2005. Panduan Perancangan
Program Monitoring Untuk Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut. Bogor.
Wilson J.R. and Green A.L. 2009. Biological monitoring methods for assessing coral reef health
and management effectiveness of Marine Protected Areas in Indonesia. Version 1.0.
TNC Indonesia Marine Program Report 1/09. 44 pp.
84
Download