Permusuhan Iran-Israel 2005-2009 Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, dan Kebijakan Luar Negeri Kedua Negara dan Pengaruhnya terhadap Dinamika Kawasan Timur Tengah Esai Kelompok Mata Kuliah Dinamika Kawasan Timur Tengah dan Afrika Dita Amelia 0806393044 Studi Arab FIB UI Carolina D. Rainintha Siahaan 0706165551 Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI Tangguh 0706291426 Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI Pada periode 2005-2009, Ahmadinejad mengemban masa baktinya yang pertama sebagai Presiden Iran melalui proses pemilu Juni 2009 lalu, sementara Israel sempat dipimpin oleh tiga perdana menteri, yakni Ariel Sharon, Ehud Olmert, dan Benjamin Netanyahu. Dalam esai ini, tim penulis akan membahas bagaimana sejarah bilateral, leadership, opini publik, dan kebijakan luar negeri Iran dan Israel periode 20052009 memengaruhi politik dan hubungan antara kedua negara tersebut serta kawasan Timur Tengah. Dinamika Hubungan Iran-Israel Hingga saat ini kedua negara tidak membuka hubungan diplomatik satu sama lain. Iran tidak mengakui eksistensi Israel sebagai negara, hal ini juga ditekankan oleh propaganda pemerintah yang kerap merujuk Israel sebagai rezim zionis. Sesungguhnya, Iran pernah memberikan pengakuan atas keberadaan Israel pada 1948, namun hal ini dianulir pada 1951 oleh Pemerintah Muhammad Mussadeq sesaat setelah kemenangannya dalam pemilu sebagai perdana menteri. Iran dan Israel tidak pernah saling membuka hubungan diplomasi khususnya semenjak lengsernya pemerintahan Syiah pada 1979. Hubungan Israel dan Iran telah bertransformasi dari aliansi politik yang erat khususnya di bawah Dinasti Pahlevi menjadi ketegangan dan permusuhan seiring dengan naiknya kekuasaan Ayatollah Ruhollah Khomeini. Relasi kian memburuk ketika Ayatollah Khomeini memutuskan untuk bergabung pada kelompok Arab yang mendeklarasikan dirinya sebagai anti-Israel. Padahal, sebelumnya Iran merupakan mitra dagang dan penghasil cadangan minyak bagi Israel pada 1953-1979, ketika dinasti Pahlevi sedang berkuasa. Untuk mengadakan hubungan timbal balik yang mutual, Israel pernah melakukan ekspor perangkat perang dan militer serta memberikan asistensi kepada angkatan bersenjata Iran. Badan intelijen kedua negara juga pernah bekerja sama dalam mengadakan pelatihan dan bersama-sama mengembangkan Project Flower dalam pengembangan misil bersama. Bahkan, Iran pernah penjadi supplier minyak bagi Israel pasca Israel dikucilkan negara tetangganya karena Six Day War. Sejak memburuknya relasi Israel dan Iran, Israel selalu merujuk kepada pengaruh Amerika Serikat di kawasan untuk membantu mempertahankan eksistensinya dan membela diri dari negara tetangga di kawasan. Sampai pada 1980, tercatat bahwa estimasi diaspora 1 Yahudi di Iran mencapai angka 300.000 jiwa. Bisa dikatakan bahwa Iran memiliki komunitas Yahudi terbanyak di kawasan Timur Tengah. Jadi, terbukti bahwa friksi yang kemudian berkembang sebenarnya adalah fenomena baru atas keadaan damai dan bersahabat di antara dua negara. Hubungan Iran-AS: Pendorong Hubungan Iran-Israel sebelum Revolusi Selain itu, hubungan Iran dengan Israel pra-Revolusi Islam Iran 1979 juga didukung oleh kedekatan Iran dengan AS. Pada 1953, dinas intelijen AS dan Inggris mengatur sebuah kudeta di mana para perwira militer Iran menurunkan Perdana Menteri Mussadeq, yang berniat menasionalisasi industri minyak. 1 Di sini, CIA membantu mengembalikan kekuasaan Shah Iran Muhammad Reza Pahlevi.2 Selama pemerintahan Presiden Lyndon B. Johnson, hubungan baik dengan Iran adalah prioritas utama bagi pembuat kebijakan AS, yang sepakat atas pentingnya Iran secara strategis dan memperhatikan ancaman potensial terhadap stabilitas jangka panjang rezim Pahlevi. Foreign Relations, 1964-1968, volume XXII, Iran, yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri AS, membuktikan kebijakan dukungan Johnson terhadap Shah dan perhatian terhadap keamanan internal Iran dengan mendorong program reformasi politik, sosial, dan ekonomi Shah yang disebut “Revolusi Putih”. Hubungan personal Johnson dengan Shah juga dekat; kedua pemimpin saling berkorespondensi, dan Shah bertemu dengan Johnson tiga kali selama masa kepresidenannya.3 Dari 1969 hingga 1972, AS pun menjalin hubungan kukuh dan setia dengan Iran, karena AS memandang Irak sebagai musuh berbahaya potensial, dan Iran adalah rival Irak. Presiden Richard Nixon juga menganggap Iran di bawah Pahlevi sebagai pilar stabilitas keamanan AS di Timur Tengah. Satu-satunya perdebatan antara Iran-AS adalah hasrat Shah akan persenjataan teknologi tinggi yang mahal namun tidak penting, sementara AS khawatir bahwa penambahan kekuatan persenjataan akan membahayakan stabilitas internal Iran dengan mengalihkan dana untuk usaha-usaha sosial dan merumitkan hubungan regional.4 Hubungan Opini Publik dengan Kebijakan Luar Negeri Hubungan opini publik dengan kebijakan luar negeri diwarnai debat antara pendekatan liberaldemokratis dan pendekatan realis. Tradisi liberal-demokratis memandang bahwa kebijakan luar negeri negara-negara demokratis lebih damai (daripada kebijakan negara-negara nondemokratis) salah satunya karena akuntabilitas terhadap publik membuat publik memiliki peran konstruktif dalam membatasi para pembuat kebijakan; sementara tradisi realis memandang bahwa opini publik adalah rintangan terhadap diplomasi yang bijaksana dan koheren, karena “syarat-syarat rasional kebijakan luar negeri yang baik pada BBC NEWS | Middle East | Timeline: US-Iran ties, diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/3362443.stm 14 Oktober 2009 9:43 1 Ups and Downs of US-Iran Relations – IslamOnline.net – Politics in Depth, diakses dari http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?c=Article_C&cid=1180421223793&pagename=Zone-EnglishMuslim_Affairs%2FMAELayout 14 Oktober 2009 9:46 3 Summary: Foreign Relations of the United States 1964-1968, Volume XXII, Iran, diakses dari http://www.parstimes.com/history/relations_64-68.html 14 Oktober 2009 10:06 4 Summary: Foreign Relations, 1969-1972, Volume E-4, Iran and Iraq, diakses dari http://www.state.gov/r/pa/ho/frus/nixon/e4/72108.htm 14 Oktober 2009 10:26 2 2 permulaannya tak dapat memperhitungkan dukungan opini publik yang memiliki preferensi yang lebih emosional daripada rasional” (Hans J. Morgenthau, 1978:558).5 Rudi Guraziu (2008) mengungkapkan bahwa menurut kaum Liberal Wilsonian, opini publik memengaruhi pembuatan kebijakan publik dengan mencegah para pembuat keputusan mengambil tindakan-tindakan berisiko karena khawatir bahwa pemerintahan tersebut akan kehilangan dukungan publik, sehingga meyakinkan mereka untuk memilih kebijakan yang lebih disukai publik. Pengaruh opini publik terhadap kebijakan luar negeri, menurut Foyle, “ditentukan oleh interaksi antara kepercayaan pembuat kebijakan tentang peran opini publik yang tepat dalam perumusan kebijakan luar negeri dan konteks keputusan di mana kebijakan luar negeri harus dibuat”. Menanggapi debat antara realis dan liberalis, yang menunjukkan pentingnya opini publik dalam pembuatan kebijakan luar negeri, Guraziu membuktikan bahwa pengaruh opini publik pada urusanurusan luar negeri berubah-ubah dari kasus ke kasus. Guraziu menunjukkan keterbatasan opini publik dalam memengaruhi kebijakan luar negeri, menggunakan referensi dan contoh seperti walaupun polling menunjukkan opini publik di Inggris mengkritik kebijakan di Irak, Tony Blair tetap melakukan perang di Irak; juga seperti walaupun publik Amerika tidak menyetujui kebijakan Bush di Irak, Bush tetap melakukan perang di Irak; serta seperti walaupun polling menunjukkan bahwa mayoritas populasi Uni Eropa menentang masuknya Turki ke Uni Eropa, para pemimpin Austria, Prancis, dan Yunani tetap membuka pembicaraan aksesi Uni Eropa-Turki.6 Pandangan publik Iran Menurut Terror Free Tomorrow, survei opini publik nasional terhadap Iran pada 20077 menemukan bahwa terdapat ketidakpuasan terhadap sistem pemerintahan, keadaan ekonomi Iran, dan isolasi dari Barat di seluruh Iran. 61% menentang sistem pemerintahan Iran sekarang, di mana Pemimpin Tertinggi tak dapat dipilih atau diganti berdasarkan suara langsung rakyat. Sebaliknya, 79% mendukung sistem demokratis, di mana Pemimpin Tertinggi, bersama seluruh pemimpin, dapat dipilih dan diganti berdasarkan suara rakyat yang bebas dan langsung. Senjata nuklir menjadi prioritas terakhir bagi rakyat Iran: hanya 29% memandang pengembangan senjata nuklir sebagai prioritas penting, bahkan 80% mendukung inspeksi penuh dan jaminan bahwa Iran takkan mengembangkan senjata nuklir sebagai ganti perdagangan dan bantuan dari negara-negara lain. Mayoritas rakyat Iran mendukung Iran untuk mengakui Palestina dan Israel sebagai negara-negara yang merdeka, menghentikan dukungan Iran Ole R. Holsti, ―Public Opinion and Foreign Policy: Challenges to the Almond—Lippman Consensus‖, dalam Robert J. Lieber (ed.), Eagle Rules? Foreign Policy and American Primacy in the Twenty-First Century (Prentice Hall, 2002), 3616 Rudi Guraziu, ―To what extent is foreign policy making affected by public opinion in a liberal democracy? ‖ diakses dari http://www.atlanticcommunity.org/app/webroot/files/articlepdf/To%20what%20extent%20is%20foreign%20policy%20making%2 0affected%20by%20public%20opinion.pdf 6 Oktober 2009 21:45 7 Terror Free Tomorrow, ―Polling Iranian Public Opinion: An Unprecedented Nationwide Survey of Iran‖, http://www.terrorfreetomorrow.org/upimagestft/TFT%20Iran%20Survey%20Report.pdf diakses pada 3 Oktober 2009 04:00 5 3 terhadap kelompok-kelompok bersenjata di dalam Irak, serta transparansi penuh Iran terhadap Amerika Serikat untuk meyakinkan bahwa tidak ada usaha Iran mengembangkan senjata nuklir. Survei tersebut juga menemukan hal-hal penting lain: Hampir dua pertiga rakyat Iran mendukung bantuan finansial kepada kelompok oposisi Palestina seperti Hamas dan Islamic Jihad, sebagaimana Hizbullah Lebanon dan milisi Syiah Irak; namun hanya sepertiga yang menganggap bahwa hal pemerintah Iran menyediakan dukungan finansial kepada kelompok-kelompok tersebut adalah penting; Hampir dua pertiga mendukung Hamas dan Hizbullah, namun 55% mendukung pengakuan Palestina dan Israel masing-masing sebagai negara terpisah dan merdeka sebagai bagian dari pembinaan hubungan normal dengan Amerika Serikat; 78% mendukung kuat pengembangan energi nuklir, namun hanya 33% mendukung kuat senjata nuklir; 56% menyatakan bahwa Presiden Ahmadinejad gagal menjaga janji kampanyenya untuk “menyampaikan uang minyak kepada rakyat sendiri”; Pandangan publik Israel Hubungan Iran dan Israel pasca Revolusi Iran, seperti dijabarkan, bersifat konfliktual. Pandangan ini ternyata juga terinternalisasi oleh penduduk Israel sendiri.Pada intinya, rakyat setuju bahwa eksistensi Israel merupakan kepentingan absolut. Mereka juga memberikan dukungan penuh terhadap Pemerintah untuk mengambil langkah koersif dalam menindak musuh terhadap eksistensi Israel. Penulis akan meminjam sebuah laporan berjudul "The People Speak : Israeli Public Opinion on National Security", yang mengambil sampel 100 orang responden asal Isrrael dan dengan menggunakan skala 1-10, dan studi dilakukan pada periode 2005-2007. Proyek nuklir Iran dipersepsikan sebagai ancaman paling tinggi saat itu bagi publik Israel. Di tahun 2006, khususnya pasca beredar kabar pengayaan uranium Iran. Publik Israel memiliki rasa paranoia yang cukup tinggi, kendati proyek pengayaan uranium disbuetkan hanya untuk mendukung proyek nuklir untuk tujuan damai. Tingkat ancaman Iran bagi Israel berkisar 6,1. Persetujuan rakyat atas penggunaan ancaman senjata dan kekerasan oleh Israel terhadap musuh yang memiliki senjata kimia dan biologis adalah 5,9. Kedua rating tersebut membuktikan bahwa rakyat memang menyetujui bahwa Iran adalah musuh terhadap eksistensi Israel. 49% responden menyetujui serangan unilateral Israel kepada Iran untuk melucuti fasilitas nuklirnya. Sementara 37% responden internasional menyetujui keterlibatan AS untuk juga menyerang Iran, karena Iran dianggap mengancam keamanan internasional.8 Kebijakan Luar Negeri Iran 2005-2009 Yehuda Ben Meir dan Dafra Shaked,The People Speak:Israeli Public Opinion On National Security.Memorandum no.90, Mei.2007. Institute of National Security 8 4 Kebijakan luar negeri adalah rangkaian tindakan, atau susunan tindakan, yang diadopsi dalam hubungan dengan situasi atau entitas di luar aktor; 9 dapat pula diambil oleh berbagai bagian pemerintah suatu negara dalam hubungan dengan berbagai badan lain yang bertindak serupa pada tingkat internasional, yang seharusnya ditujukan untuk memajukan kepentingan nasional;10 dapat pula dengan maksud memajukan tujuan berkelanjutan individu yang diwakilkan olehnya; 11 dengan tujuan dapat berupa tujuan jangka panjang maupun sasaran jangka pendek.12 Setelah terpilih pada Juni 2005, Mahmoud Ahmadinejad, yang menyadari kekuatan retorika antiimperialis dan anti-Israel sebagai alat kebijakan luar negeri dan domestik, mengakhiri retorika konsiliatoris pendahulunya, Akbar Hashemi Rafsanjani and Muhammad Khatami, dan kembali kepada retorika konfrontasi revolusioner. Ia memulai kembali kebijakan pengayaan uranium nuklir Iran pada Agustus 2005 dan menggunakan kesempatan menginternasionalisasi konflik nuklir tersebut dengan menyerang Israel dan mempertanyakan Holocaust; retorika yang cocok dengan konsep keamanan nasional yang dimajukan unsur-unsur garis keras, yang kembali menonjol setelah peristiwa 11 September dan setelah Amerika Serikat memasukkan Iran dalam “Axis of Evil”. Tujuan mereka adalah mengatasi isolasi strategis Iran di Timur Tengah sebagai negara Syiah non-Arab dengan memperpanjang perimeter keamanan Iran hingga wilayah Lebanon dan Palestina. Selain itu, dengan mereposisi Iran Syiah sebagai kekuatan pan-Islam yang berjuang demi Palestina (Sunni), Iran mencoba mengurangi perpecahan etnosektarian yang disebabkan perang sipil Irak.13 Iran mengumumkan bahwa program nuklirnya bertujuan damai dan Iran akan memenuhi inspeksi IAEA. Iran menolak proposal EU3 (para menteri luar negeri Prancis, Jerman, dan Inggris) yang menawarkan konsesi ekonomi apabila Iran menghentikan pengayaan uranium. Iran juga tidak memenuhi Resolusi 1737 Dewan Keamanan PBB yang menjatuhkan sanksi secara khusus pada program nuklir Iran, serta menyatakan telah memulai pengayaan “skala industri” (menggunakan ribuan mesin pemusing untuk pengayaan uranium, memungkinkan Iran memproduksi material yang cukup untuk senjata nuklir), yang diperkirakan IAEA melibatkan 4.000 rod bahan bakar. Iran tetap anggota NPT (anggota NPT berhak mengembangkan program nuklir untuk tujuan damai, termasuk pengayaan), sehingga Iran berulang kali menekankan bahwa mereka hanya melakukan hak mereka. Namun, menurut Nihat Ali Özcan and Özgür Özdamar, kekhawatiran Amerika Serikat, Uni Eropa, dan aktor-aktor regional bukan tidak berdasar, karena IAEA mengonfirmasi bahwa Iran merahasiakan program pengayaannya selama 18 tahun hingga P.A. Reynolds, An introduction to international relations (London: Longman Group Limited, 1971), 13-14 Ibid., 36 11 Ibid., 48 12 Ibid., 51 13 Bidjan Nashat, Iran’s Tactical Foreign Policy Rhetoric , http://www.atlanticcommunity.org/app/webroot/files/articlepdf/Nashat%20%20Iran%5C%27s%20Tactical%20Foreign%20Policy%20Rhetoric.pdf diakses pada 3 Oktober 2009 02:36 9 10 5 terungkap pada 2002. Walaupun Iran telah menyangkal dugaan bahwa programnya bertujuan memproduksi senjata nuklir, hal itu tidak meyakinkan beberapa pihak lain, terutama Amerika Serikat. 14 Ahmadinejad terus-menerus menggunakan retorika anti-Israel, seperti ketika ia mengelaborasi gagasannya merelokasi Israel ke Eropa pada Desember 2007. Iran memiliki tujuan utama sebagai “pelindung Islam” untuk menyebarkan filosofi Muslim fundamentalisnya ke seluruh dunia.15 Ahmadinejad menggunakan diplomasi publik dan retorika antiimperialis yang efektif untuk meningkatkan jangkauan internasional Iran, dengan pesan tentang kecukupan kemajuan teknologi sendiri dan keadilan dalam hubungan internasional serta target utama anggota Gerakan Non-Blok (GNB).16 Berbagai retorika ini (anti-Israel, pan-Islam, dan antiimperialis) menjadi alat kebijakan luar negeri Iran pascarevolusi. Pemerintahan Ahmadinejad memperkenalkan kembali retorika Ayatollah Khomeini dan memperkuatnya sebagai cara taktis mengatasi isolasi Iran di wilayah tersebut dan menginternasionalisasi pendiriannya tentang program nuklirnya. Penolakan Ahmadinejad terhadap Holocaust dan usahanya menghubungkan konflik Israel-Palestina dengan program nuklir Iran telah meningkatkan jangkauan panIslami Iran ke berbagai negara Arab dan menjadikan mereka defensif. Pada tingkat internasional, kepemimpinan Iran berhasil menginternasionalisasi program nuklirnya dengan menghubungkannya dengan konflik Utara-Selatan dan menekankan tema-tema keadilan internasiona, kedaulatan negara, dan kecukupan teknologi sendiri.17 Kebijakan Luar Negeri Israel 2005-2009 Politik luar negeri Israel tehradap Iran bersifat konfrontasi, namun penulis lebih suka menyebutkannya sebagai belligerent karena konfrontasi ini berlangsung resiprokal. Sebenarnya, puncak eskalasi dapat dilihat terutama ketika Iran berada di bawah pemerintahan Ahmadinejad. Terdapat dua isu penting yang menyebabkan Ariel Sharon dan Ehud Olmert melancarkan politik konfrontasi kepada Iran: 1) Pada masa pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad, isu proyek pengayaan uranium yang berpotensi pada pengembangan senjata nuklir sangat merebak di kawasan dan dunia internasional. Sebagai salah satu nuclear weapon states, ditambah memanasnya hubungan Iran-Israel saat itu, Israel mulai merasa khawatir terhadap proyek pengayaan uranium Israel yang kemungkinan berdampak pada pengembangan proyek senjata nuklir. Iran juga terbukti memiliki rudal Shahab-3 dengan jangkauan rudal sejauh 200.000 kilometer, sementara jarak Israel dan Iran hanyalah 2.000 kilometer—sebuah jarak yang relatif kecil dalam jangkauan teknologi nuklir mutakhir.18 Kebijakan luar negeri Israel terhadap Iran sangat vokal, keras dan belligerent. Israel vokal terhadap proyek nuklir terutama bagaimana dia melihat banyak terdapat proxy Iran Nihat Ali Özcan and Özgür Özdamar, ―Iran’s Nuclear Program and the Future of U.S.-Iranian Relations‖, diakses dari http://www3.interscience.wiley.com/cgi-bin/fulltext/122263547/PDFSTART 3 Oktober 2009 03:03 15 DLA Piper, Iran: Foreign Policy Challenges and Choices (DLA Piper US LLP dan GlobalOptions, 2006), 21 16 Ibid. 17 Bidjan Nashat, op. cit. 18 The Geopolitcal Intelligence http://www.stratfor.com 14 6 seperti Hizbullah dan Hamas, yang notabene adalah musuh abadi dari Israel. Sebuah jurnal intelijen bernama Geopolitical Intelligence Report edisi September 2009 melaporkan bahwa kecurigaan Israel terhadap nuklir Iran semakin bertambah, terutama sejak Benjamin Netanyahu mengadakan kunjungan rahasia ke Moskow untuk bertemu dengan ahli radioaktif dan nuklir Rusia yang direkrut dalam proyek nuklir Iran, yang disinyalir sesungguhnya adalah proyek pengembangan senjata nuklir. 2) Friksi kedua negara memburuk ketika pada 8 Desember 2005 dalam sebuah konferensi negara-negara Muslim di Mekkah, Mahmoud Ahmadinejad menyampaikan pidato dengan satu kalimat paling kontroversial, “Some European countries insist on saying that during World War II, Hitler burned millions of Jews and put them in concentration camps. Any historian, commentator or scientist who doubts that is taken to prison or gets condemned.”19. Kalimat ini merujuk pada penolakan atau keraguan Ahmadinejad atas sejarah Holocaust Nazi terhadap kaum Yahudi Eropa. Di saat yang sama Ahmadinejad juga mengimbuhkan sugesti bahwa, demi terwujudnya negara Palestina. Pernyataan ini jelas menimbulkan respon negatif dan amarah dari pemerintahan Israel dan reaksi dunia bergejolak.20 New York Times Juni 2008 mengungkapkan bahwa Israel melalui Menteri Luar Negeri Silvan Shalom juga berusaha menginternasionalisasikan friksi antara Iran dan Israel. Israel dan politik lobinya pada Amerika Serikat secara implisit telah meminta Amerika Serikat untuk menyerang kompleks nuklir Iran di Natanz, meskipun akhirnya pemerintah Bush menolak permintaan tersebut. Israel juga menghadap DK PBB dan permintaan agar Iran dikeluarkan dari keanggotaan PBB dan membalas Iran juga bisa dihapus dari peta dunia, karena pernyataan tersebut dianggap sebagai propaganda menghasut yang mampu mengancam keamanan nasional dan bahkan hakikat eksistensi Israel sebagai negara. Sejak PBB didirikan pada 1945, tidak pernah ada rekam sejarah yang mengungkapkan seorang pemimpin negara mengusulkan agar satu negara dihapuskan dari muka bumi. Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB kala itu, Kofi Annan, hanya merespon dengan mengutuk pidato Ahmadinejad dan berargumen bahwa tindakan tersebut bisa dikategorikan sampai skala pencemaran nama baik negara dan bentuk rasisme terhadap etnis tertentu. Leadership dan Linkage Politics Selayaknya pertanyaan semacam ini muncul: Mengapa Iran di bawah Mahmoud Ahmadinejad sangat vokal terhadap penentangan eksistensi Israel? Secara teori, K.J Holsti (1992) berpendapat bahwa faktorfaktor mikro, seperti opini publik dan leadership, serta faktor makro, seperti sistem dunia internasional, merupakan faktor kunci dalam menganalisis tingkah laku negara. Sesuai dengan kasus yang berkembang di bawah tema esai, maka fator kepemimpinanlah yang akan lebih dieksplorasi penulis dalam analisis "Iranian President at Teheran Conference: 'Very Soon, This Stain of Disgrace [Israel] Will Be Purged from the Center of the Islamic World - and This is Attainable,'" Middle East Media Research Institute 19 (MEMRI) Special Dispatch Series, No. 1013, 28 September 2009. 20 Manfred Gerstenfeld. Ahmadinejad Calls for Israel's Elimination and Declares War on the West: A Case Study of Incitement to Genocide, diakses dari http://www.jcpa.org/jl/vp536.htm pada Selasa 06 Oktober 2009, pukul 10.26 WIB 7 berikut. Faktor kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad di Iran merupakan salah satu faktor kunci dalam menganalisa tingkah laku negara dalam suatu periode tertentu. Negara tidak membuat kebijakan, meskipun penggunaan bahasa kita sering mengimplikasikan hal demikian. Negara hanyalah personifikasi dari seseorang atau sekelompok manusia dalam negara yang menciptakan kebijakan. Pemimpin pemerintahan, baik itu perdana menteri atau presiden atau entitas ekuivalen seperti menteri luar negeri, yang berada dalam jajaran elit eksekutif politik memiliki otoritas dalam membuat kebijakan. Maka, tidak jarang kebijakan luar negeri dalam suatu masa pemerintahan merupakan produk agregasi dari karakter seorang pemimpin negara.21 Ini terbukti sebagaimana kita sangat sering mengasosiasikan nama seorang pemimpin dengan kebijakannya, misalnya kebijakan Bush di Timur Tengah atau kebijakan ekonomi fiskal Ahmadinejad dalam menangkal efek samping krisis finansial global. Bahkan, kebijakan luar negeri dalam suatu negara bisa menjadi 180 derajat berbeda, di bawah dua kepemimpinan yang berbeda. Gaya kepemimpinan Ahmadinejad, misalnya, berbeda dengan tipe pemerintahan Mehdi Bazargan (Presiden Irak 1979-1981) Bazargan sangat pro-AS dan terkesan takluk kepada kebijakan AS terhadap Iran saat Perang Dingin, sedangkan Ahmadinejad dengan terbuka dan berani mengkritik AS secara terang-terangan karena perubahan minor dalam agregasi kebijakan luar negeri. Publik bukanlah satu-satunya entitas yang memiliki persepsi bahwa pemimpin negara adalah tokoh sentral dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Teori individual model of policy menungkapkan bahwa para pembuat kebijakan mempersepsikan dirinya sebagai agen pengubah dunia dan history maker. Bahkan, pemimpin sendiri sering merasakan pentingnya dirinya (self-importance) ketika berhadapan dengan pemimpin negara lain.22 Hal ini senada dengan Hans J. Morgenthau yang menyatakan bahwa pemimpin negara biasanya memilih kebijakan yang bisa mereka gunakan untuk mendapatkan kepentingan nasional. Kepentingan nasional bisa bermanifestasi dalam isu keamanan, prestise, ekonomi dan sektor lain. Ariel Sharon, Perdana Menteri Israel 2001-2006, lebih mengadopsi gaya memimpin ala Machiavelli, di mana pemimpin dibenarkan untuk menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kepentingan negaranya. 23 Bagi Sharon, mempertahankan eksistensi Israel harus dilakukan dalam berbagai cara, termasuk menyerang fasilitas nuklir Iran dan penolakan atas dialog damai dengan Iran—terbukti ini hanyalah retorika gertak sambal. Sedangkan, Benjamin Netanyahu pernah mengemukakan dalam kampanye politiknya pada 2006 bahwa, apabila ia terpilih lagi dan Iran belum juga melucuti persenjataan nuklirnya, ia tidak akan segansegan menyerang fasilitas nuklir Iran. Sementara, Knesset—parlemen Israel—melihat isu nuklir Iran belum bisa dibuktikan keberadaannya dan fakta bahwa para pemimpin Israel mengumandangkan isu nuklir ke permukaan hanyalah politisasi isu untuk membentuk opini publik guna memberikan dukungan terhadap diri mereka sebelum pemilu saja.24 K.J Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, (New York: Prentice Hall,1992) hal. 67-68. Amos Yoder, International Politics & Policymakers’ Ideas: Revised Edition (USA:King’s Court Communications, Inc,1988), 27-28 21 22 23 24 Ibid Steven A. Cook, Why Israel Won't Attack Iran, diakses dari 8 Faktor-faktor yang menyebabkan seorang pemimpin mengartikulasikan kebijakan tertentu pada periode tertentu adalah faktor politik dan psikologis; hakikatnya sangat bergantung pada kondisi (circumstantial), kepercayaan dan ideologi pemimpin, serta preferensi politik pribadi. Kondisi ini juga didukung oleh faktor sistemik, yakni bagaimana tekanan global membatasi apa yang bisa dilakukan oleh pemimpin dalam sistem internasional yang anarki atau interdependensi sangat jelas, bahwa pemimpin dihadapkan pada alternatif pilihan yang terbatas. Hal ini sesuai dengan bagaimana substansi kebijakan luar negeri Iran terhadap Israel, yang dibuat dan dilaksanakan di bawah Mahmoud Ahmadinejad. Bila kita mengambil referensi latar belakang dan pandangan politiknya, kita akan menemukan sosok Ahmadinejad berasal dari keluarga sederhana, di mana orang tuanya sangat menganut prinsip antikemapanan. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh konservatif yang sangat selektif terhadap arus modernisasi dan kerap mengkritisi bagaimana sistem kapitalisme dan globalisasi telah menghancurkan rakyat miskin. Keterlibatannya dalam Perang Irak dan Iran pada 1986 mengubah pandangan Ahmadinejad muda terhadap dunia, sehingga membuatnya menganut paham antikemapanan dari keluarganya dan menentang arus modernisasi Barat. Ahmadinejad juga disebut sebagai penganut ajaran Islam yang taat, sehingga tidak jarang bahwa kebijakannya yang cenderung memihak Palestina dalam isu Israel-Palestina sering dikaitkan dengan ideologinya yang menentang gerakan Zionis dan sebagai indikasi solidaritas terhadap kaum Muslim termarjinalisasi dan negara-negara anggota Liga Arab. Diskresi pilihan terhadap kebijakan luar negeri Iran dan Israel pada 2005-2009 turut memainkan peran untuk memengaruhi pengambilan keputusan oleh pemimpin negara. Fenomena ini bisa dianalisis menggunakan teori linkage politics (keterkaitan politik). Teori ini dipopulerkan oleh ilmuwan politik James Rossenau dan digunakan untuk melihat bagaimana sistem politik nasional dan internasional mengalami penetrasi ke dalam sistem politik domestik. Sesuai dengan ini, penulis melihat bahwa terdapat kesesuaian antara keadaan politik regional dan global dalam mempengaruhi politik domestik Iran, sehingga menyebabkan terjadinya politik internasional yang belligerent terhadap Israel. Pengaruh politik Iran-Israel terhadap kawasan Timur Tengah Pascapidato Ahmadinejad mengenai penyangkalan tentang holocaust dan penghapusan Israel dari peta dunia, salah satu bentuk dinamika yang muncul di kawasan Timur Tengah adalah reaksi publik baik dari media dan para petinggi-petinggi negara Arab di Timur Tengah maupun internasional. Reaksi publik ini terbagi menjadi reaksi positif dan reaksi negatif. Penulis mendapatkan bahwa pascapidato kontroversial dan inspeksi terhadap nuklir Iran, kepentingan negara-negara di Timur Tengahpun terbagi menjadi dua. Meskipun respon negatif dan pengutukan banyak dilayangkan kepada Iran, namun tidak sedikit juga pihak yang kedapatan mendukung Iran. Seorang anggota parlemen di Pakistan bernama Farid Ahmad Pracha menyatakan dukungan penuhnya terhadap opini Presiden Iran tersebut. Negara-negara seperti http://www.foreignpolicy.com/story/cms.php?story_id=4983.hmtl 3 Oktober 2009 11:20 9 Suriah, Jordania, dan Lebanon mendukung penuh aksi dari politik luar negeri Ahmadinejad yang konfrontatif.25 Sementara, negara-negara Arab yang lain, terutama bila dilihat dari kepentingan ekonomi dan penguasaan terhadap sumber-sumber minyak di kawasan Teluk, memilih untuk tidak mendukung kebijakan luar negeri Iran yang dianggap kurang menghormati etika berdiplomasi di arena internasional. Negara-negara Arab kaya seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab melihat bahwa friksi di antara Iran dan Israel bisa mengancam kepentingan ekonominya di kawasan. Sesungguhnya, politik belligerent Iran terhadap Israel tidak rasional, karena sebelumnya, opini publik yang mendukung pembebasan Palestina sudah berhasil menjaring perhatian dan simpati negara-negara Liga Arab. Namun, akhirnya dukungan terdistorsi menjadi kubu pro-Iran dan kontra-Iran. Bahkan salah satu rekan ideologisnya, Hugo Chaves— presiden Venezuela yang menolak pengajuan proposal mengenai penghentian pengembangan nuklir Iran di dewan IAEA, tidak menyatakan dukungannya terhadap kebijakan Ahmadinejad ke Israel. Banyak negara-negara Eropa seperti Swedia dan Perancis melakukan walk-out ketika Ahmadinejad terbukti hendak mengulangi hal yang sama dalam Sidang Majelis Umum PBB 24 September 2009 silam, di mana pidato kenegaraannya di hadapan segenap anggota PBB kembali menyinggung terhadap penghancuran Israel.26 Penulis ingin menunjukkan bahwa pidato dan pernyataan Ahmadinejad mengenai Israel terbukti mampu membahayakan stabilitas internasional dan terhadap kebebasan berpendapat. Iran tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari negara-negara Timur Tengah mengenai keberadaan proyek pengayaan uraniumnya, kecuali dari sekutu abadinya di kawasan yakni Suriah. Publik khawatir bahwa satelit Iran di kawasan seperti Hizbullah dan Hamas bisa beroperasi di bawah payung nuklir Iran, sehingga tidak ada lagi leverage bagi dunia internasional dan kawasan untuk mengadakan perjanjian damai. Hal ini ditambah profil negara Iran yang rawan, teokratik, dan semi-otoriter. Maka, pengembangan proyek nuklir untuk tujuan damai seperti yang diklaim pemerintah Iran selama ini bisa saja berkembang menjadi sebuah bentuk senjata mematikan. Terhadap kasus anti-Zionis dan pengembangan fasilitas nuklir Iran, ternyata Israel memiliki alternatif untuk meluncurkan serangan unilateral terhadap fasilitas nuklir Iran, dan gertakan Israel ini diharapkan bisa memadamkan ambisi nuklir Tehran. Iran terus melakukan perlawanan terhadap ancaman serangan dari negara-negara yang menginginkan Iran menghentikan program nuklirnya. Para pejabat militer Iran mengeluarkan peringatan keras bahwa negara mereka akan mengambil langkah tegas jika serangan itu benar-benar terjadi. Iran juga dipastikan bisa menyerang pangkalan militer AS di kawasan teluk dengan misilnya. Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Republik Islam Iran, Mayor Jenderal Hassan Firouzabadi, menyatakan akan menutup Selat Hormuz jika kepentingan-kepentingan negara Iran di tempatkan pada posisi yang membahayakan. "Selat Hormuz adalah jalur perairan yang strategis, oleh Sami Moubayed, Syria’s One True Friend-Iran, diakses dari http://www.haaretz.com/hasen/spages/952358.html 07 Oktober 2009 07:30 26 Roni Sofer, "Hostile Speech Proves Danger", diakses dari Ynet News http://www.ynetnews.com/articles/0,7340,L-3781206,00.html pada 24 September 2009 06;10 25 10 sebab itu sangat penting bagi kami untuk tetap membuka perairan itu. Tapi akan kami perjelas, kami tidak akan membiarkan siapa pun melewati perairan itu, jika kepentingan regional negara Iran ditempatkan pada posisi bahaya," tandas Mayjen Firouzabadi. Ia juga mengecam AS yang selalu tunduk pada perintah Israel. "Militer AS milik pemerintah AS. Orang-orang yang gemar berperang seperti Bush dan Zionis seharusnya tidak dibiarkan memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari militer AS, " tukas Mayjen Firouzabadi. Apabila konflik terjadi dan merebak, Teluk Hormuz sebagai arena konflik yang merupakan jalur ramai jalannya kapal tanker pembawa minyak akan terganggu.27 Teluk Hormuz menyimpan 40% dari cadangan minyak dan gas alam dunia. Negara yang paling akan terganggu kepentingannya bila konflik merebak adalah Oman, Uni Emirat Arab, dan negara anggota GCC seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Bahrain. Sementara itu, pengembangan proyek nuklir dan pengayaan uranium telah menciptakan hawa perlombaan persenjataan di kawasan timur Tengah. Arab Saudi yang takut kepentingannya di Teluk Hormuz terancam karena politik Iran dan Israel yang belligerent dilaporkan baru saja membeli sistem persenjataan seperti misil pertahanan—US Theater High Altitude Air Defense System. Oman juga baru saja mengimpor dua pesawat F-35 Stealth Fighter dan dua kapal induk.28 Kesimpulan Terdapat tiga faktor penting yang mempengaruhi hubungan konfrontatif Iran dan Israel khususnya pada masa Pemerintahan Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Ketiga faktor ini adalah sejarah hubungan kedua negara, leadership dalam negeri, dan opini publik kedua negara. Leadership merupakan faktor penting pembuat kebijakan luar negeri Iran dan Israel terhadap negara masing-masing. Penulis menyimpulkan bahwa profil kepemimpinan Ahmadinejad, Sharon, Olmert, dan Netanyahu merupakan amunisi kebijakan yang dijalankan, ditambah dengan faktor historis yang berperan dalam memperburuk hubungan satu sama lain. Kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad yang sederhana, antikemapanan, dan konservatif menjadikan kebijakan luar negeri Iran sangat menentang Barat. Ahmadinejad yang juga seorang penganut ajaran Islam yang taat pun cenderung memihak Palestina dalam isu Israel-Palestina, menambah permusuhannya terhadap Israel. Retorika Ahmadinejad yang konfrontatif dan revolusioner pun memberinya insentif dalam program nuklir Iran, juga karena hal tersebut cocok unsur-unsur garis keras dalam pemerintahan Iran, yang kembali menonjol setelah peristiwa 11 September dan setelah AS memasukkan Iran dalam “Axis of Evil”.Israel sesuai dengan teori politik internasional, memberikan respond an melakukan kebijakan yang resiprokal terhadap Iran. Peran opini publik terhadap kebijakan luar negeri di Iran dapat dipahami dari pendekatan realis, karena walaupun senjata nuklir tidak menjadi prioritas bagi publik Iran, Iran tetap melakukan pengayaan uranium: suatu usaha yang terus memupuk kekhawatiran AS. Walaupun mayoritas rakyat Iran mendukung transparansi penuh Iran terhadap AS untuk meyakinkan bahwa tidak ada usaha Iran Rongxing Guo, Territorial Disputes and Resource Management (USA: Macmillan’s,2001), 137 Efraim Imbar, ―Frost&Sullivan Report : Iran Threat Continues Driving Middle East Defense Spending‖ diakses dari http://meria.idc.ac.il/journal/2001/issue2/jv5n2a5.html 7 Oktober 2009 06:05 27 28 11 mengembangkan senjata nuklir, Presiden Ahmadinejad terus melakukan langkah-langkah sebaliknya: menolak proposal EU3, tidak memenuhi Resolusi 1737 Dewan Keamanan PBB, bahkan menyatakan telah memulai pengayaan “skala industri”. Dapat dilihat bahwa rasionalitas kebijakan luar negeri Iran periode ini tidak memperhitungkan dukungan opini publik, sebagaimana diusulkan tradisi realis. Oleh karena itu, opini publik Iran tidak begitu memengaruhi politik dan hubungan antara Iran-Israel. Kebijakan luar negeri Iran pun penuh dengan retorika anti-Israel, pan-Islam, dan antiimperialis. Program nuklir Iran pun menjadi suatu ancaman bagi Israel, karena jangkauan rudal Iran mencapai wilayah Israel. Berbagai hal ini menyebabkan politik dan hubungan Iran dengan Israel menjadi sangat bermusuhan (belligerent). Sementara, dalam kasus Israel, kami melihat bahwa dampak pelaksanaan kebijakan luar negeri Iran dan Israel tidak hanya memberikan pengaruh antara dua negara melainkan juga kepada kawasan Timur Tengah. Kasus pidato Ahmadinejad yang provokatif dan proyek nuklir Iran dan kerjasama rahasia Iran dalam mengembangkan misil Suriah membuat terbelahnya respon negara anggota Liga Arab menjadi dua, pendukung Iran dan pendukung Israel, hanya untuk kasus pidato kontroversial Ahmadinejad yang dianggap melanggar kebebasan berekspresi. 12