BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi menyebabkan perkembangan dalam berbagai bidang kehidupan. Perkembangan teknologi utamanya membawa dampak besar pada penyebaran informasi, kemudahan dalam memperoleh informasi membuat individu menjadi lebih update dengan perubahan trend yang berlangsung. Saat ini trend kecantikan sudah menjadi gaya hidup bagi masyarakat. Banyak individu berlomba-lomba untuk menjadikan diri mereka tampil menarik baik dengan cara menggunakan kosmetik ataupun melakukan perawatan di klinik kecantikan. Trend kecantikan menyebabkan permintaan pasar akan produk kecantikan (kosmetik) dan perawatan kecantikan menjadi meningkat. Para produsen dalam industri kecantikan melihat peluang tersebut dan mengembangkan industri kecantikan di Indonesia. Menariknya, menurut Presiden Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi), Nuning S. Barwa (dalam Wulandari, 2015), pasar kosmetik kini tidak lagi didominasi perempuan karena kaum pria juga banyak yang membeli produk kosmetik dan perawatan kulit. Berdasarkan catatan Euromonitor International (dalam Wulandari, 2015), industri kosmetik Indonesia telah mencapai lebih dari US$ 5 miliar dengan pertumbuhan rata-rata 12%. Indonesia diperkirakan menjadi negara dengan potensi pertumbuhan yang tinggi di industri kecantikan. Dikutip dari sumber yang sama, Monika Ardianti, Bussiness Unit Manager Maybeline Indonesia, pada tahun 2015 sepanjang kuartal I (Januari sampai April), pasar kosmetik bertumbuh sekitar 8% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Akan tetapi, meskipun pasar kosmetik meluas dengan mencakup konsumen pria, dominasi konsumen kosmetik masih dipegang oleh kaum wanita. Hal tersebut dibuktikan dengan pertumbuhan pasar kosmetik di Indonesia terjadi disebabkan tingginya permintaan konsumen terhadap produk kosmetik yang merupakan salah satu kebutuhan utama kaum wanita (Monika dalam Wulandari, 2015). Survai yang dilakukan oleh bagian beauty subscription service Glossybox (dalam McKnight, 2014) terhadap 8000 wanita menyebutkan bahwa, 75% wanita menggunakan make-up setiap hari. Ada beragam hal yang mendorong wanita untuk senantiasa tampil cantik dan menarik secara fisik. Survai oleh Glossybox (dalam McKnight, 2014), menyatakan sebanyak 82% wanita menyatakan bahwa, make-up dapat membuat mereka tampil lebih menarik. Alasan wanita menggunankan make-up antara lain, 18% persen menyatakan untuk mengekspresikan kepribadian mereka, 11% menyatakan untuk menarik pasangan dan 74% dari responden menggunakan make-up karena mereka merasa lebih percaya diri dengan menggunakan make-up. Survai yang dilakukan kepada 1000 wanita oleh Daily Mail Reporter (2014), menyatakan bahwa, 1 dari 10 wanita menggunakan make-up setiap hari untuk menarik lawan jenis. Survai lainnya (The Renfrew Center Foundation, 2012) sebanyak 44% menyatakan bahwa, alasan wanita menggunakan make-up adalah make-up dapat menutupi kekurangan kulit mereka. Responden juga menyebutkan alasan emosional dibalik penggunaan make-up yaitu mereka menyukai penampilan mereka dengan make-up (44%), make-up membuat diri mereka merasa lebih baik (32%) dan make-up merupakan salah satu norma yang terdapat dalam budaya masyarakat (11%). Riset yang dilakukan atas wanita usia 20 sampai 40 tahun (dalam Femina, 2012) menunjukkan bahwa, wanita merasa perlu memanjakan diri dengan ritual perawatan kecantikan dan kesehatan agar senantiasa tampil prima. Para wanita tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk membeli peralatan kosmetik dan melakukan perawatan untuk membuat diri mereka tampil cantik dan menarik. Sekitar 80% dari responden mengikuti trend kecantikan, 62% responden menyatakan bahwa mereka secara rutin sebanyak 2 kali dalam sebulan mengunjungi klinik perawatan kecantikan dengan budget untuk sekali perawatan hingga Rp 2,5 juta. Hal tersebut mengindikasikan bahwa, wanita cenderung konsumtif dalam bidang kecantikan. Perilaku konsumtif didefinisikan sebagai perilaku membeli yang berlebihan sebagai usaha seseorang untuk memperoleh kesenangan dan kebahagian yang hanya bersifat semu (Fromm, 2008b). Seseorang yang konsumtif membeli barang yang diinginkan, bukan yang dibutuhkan, secara berlebihan dan tidak wajar untuk menunjukkan status dirinya. Hardipranata (dalam Jessica, 2008) mengamati bahwa wanita mempunyai kecenderungan lebih besar untuk berperilaku konsumtif dibandingkan pria. Hal tersebut disebabkan konsumen wanita cenderung lebih emosional, sedangkan konsumen pria lebih menggunakan logika dalam membelanjakan uang mereka. Keinginan untuk menjadi cantik dan menarik tidak hanya muncul pada wanita dewasa. Survai yang dilakukan oleh Haris Interactive untuk kepentingan The Renfrew Center Foundation (2012) menyebutkan bahwa, hampir sebagian wanita mulai menggunakan make-up pada rentang usia antara 14 dan 16 tahun (51 %), dan sebagian lainnya mulai menggunakan make-up pada rentang usia antara 11 dan 13 tahun (27%). Akan tetapi, wanita baru mulai berani mencoba beragam jenis make-up dan mulai konsumtif terhadap make-up saat menginjak usia 19 tahun (McKnight, 2014). Batasan usia remaja untuk masyarakat Indonesia adalah dari umur 11 sampai 24 tahun dan belum menikah (Sarwono, 2003). Fase remaja kemudian dibagi lagi menjadi tiga masa, yaitu masa remaja awal 12 sampai 15 tahun, masa remaja tengah 15 sampai 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 sampai 21 tahun (Monks, dkk., 2002). Reynold (dalam Hasibuan, 2009) menyatakan bahwa, remaja putri lebih banyak membelanjakan uangnya daripada remaja putra untuk keperluan penampilan, seperti pakaian, kosmetik, aksesoris dan sepatu. Hal tersebut menunjukkan bahwa, perilaku konsumtif terhadap produk kecantikan sudah mulai ditunjukkan sejak wanita menginjak fase perkembangan remaja. Ada beberapa faktor yang menyebabkan individu menunjukkan perilaku konsumtif. Faktor-faktor penyebab perilaku konsumtif tersebut, secara garis besar, terbagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi motivasi, harga diri, pengamatan proses belajar, persepsi, kepribadian dan konsep diri. Faktor eksternal meliputi kebudayaan, kelas sosial, kelompok referensi atau konformitas (Swatsha & Handoko, 1997). Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif pada remaja adalah faktor budaya. Budaya mempengaruhi kebutuhan (needs) dan cara yang digunakan individu dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Budaya mempengaruhi pengambilan keputusan terkait produk yang dibeli dan dikonsumsi oleh individu dalam perilaku konsumen. Budaya mencakup norma, nilai, simbol, ritual, dan keyakinan yang ada di masyarakat dan diturunkan dari generasi ke generasi. Karz dan Barley (dalam Schneider, 2005) menyatakan salah satu produk budaya adalah stereotip. Stereotip yang ada dalam budaya mempengaruhi kategorisasi diri dan kategorisasi sosial pada individu (Sarwono, 2003). Kategorisasi terjadi dalam kognisi dan atas dasar kategorisasi kognitif tersebut individu bereaksi atau berperilaku. Robby, Schot dan Visser (1989, dalam Sarwono, 2003) menyatakan individu melakukan kategorisasi untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri (economic self interest). Salah satu dari stereotip yang ada dalam budaya masyarakat adalah stereotip daya tarik fisik (physical attractiveness stereotypes). Stereotip daya tarik fisik mengkategorisasikan individu atau kelompok sebagai kelompok cantik atau jelek. Konsep stereotip daya tarik fisik pertama kali diperkenalkan oleh Dion, Berscheid, dan Walster pada tahun 1972 dan populer dengan istilah “what is beautiful is good” stereotype. Stereotip daya tarik fisik merupakan keyakinan bahwa seseorang yang menarik akan memiliki trait yang lebih disukai oleh lingkungan sosial dan diprediksi memiliki kehidupan yang lebih sukses daripada mereka yang tidak menarik dalam segi fisik/ penampilan (Dion, dkk., 1972). Rohner dan Rasmussen (2012) menyatakan bahwa, efek dari stereotip daya tarik fisik adalah seseorang yang menarik akan memperoleh perlakuan yang lebih positif daripada seseorang yang kurang menarik. Seseorang yang memiliki daya tarik fisik juga akan lebih disukai dan dicintai daripada mereka yang kurang menarik (Myers, 2010). Keyakinan yang dimiliki remaja terhadap stereotip daya tarik fisik mendorong remaja putri untuk melakukan upaya-upaya untuk membuat dirinya menjadi lebih menarik dan cantik. Menurut teori planned behavior (Ajzen, 1991), kepercayaan yang dimiliki oleh individu terhadap suatu hal akan membentuk sikap individu terhadap hal tersebut dan kemudian mempengaruhi intensi perilaku individu. Berdasarkan teori tersebut, jika seorang wanita percaya pada stereotip daya tarik fisik, wanita tersebut akan membentuk sikap positif terhadap stereotip daya tarik fisik. Hal tersebut kemudian akan membentuk intensi wanita untuk menjadikan diri mereka cantik dan menarik, salah satu caranya adalah dengan membeli dan menggunakan produk kosmetik. Remaja wanita menggunakan produk kosmetik untuk membuat diri mereka menarik. Penampilan yang menarik akan membuat remaja putri memperoleh keuntungan akibat adanya bias stereotip daya tarik fisik sehingga memungkinkan remaja putri untuk memiliki kehidupan yang lebih bahagia. Selain faktor budaya, faktor lain yang mempengaruhi perilaku konsumtif pada remaja adalah keadaan emosional remaja. Keadaan emosional memegang peranan penting dalam perilaku konsumen. Keadaan emosional individu berpengaruh pada pengambilan keputusan, persepsi, pemrosesan informasi, pemilihan produk, dan pengambilan resiko dalam perilaku konsumen (Cryder, dkk., 2008; Brooks & Schweitzer, 2011; Agrawal, dkk., 2012; Duclos, dkk., 2013). Menurut Hall (dalam Santrock, 2012), masa remaja merupakan masa terjadinya kekacauan emosi. Pada masa remaja individu mengalami berbagai macam perubahan emosional yang disebabkan oleh perubahan biologis dan perubahan situasi lingkungan remaja. Salah satu keadaan emosional yang cenderung timbul pada masa remaja adalah perasaan kesepian. Perasaaan kesepian yang dialami remaja merupakan manifestasi dari kegagalan remaja dalam melaksanakan tugas perkembangan yaitu untuk menjalin hubungan yang baru dan matang dengan teman sebaya. Blackwell, Miniard dan Engel (2001) menjelaskan bahwa, keadaan emosional individu dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dan evaluasi terkait produk yang akan dibeli dan dikonsumsi oleh individu. Produk yang seringkali digunakan untuk meningkatkan hubungan interpersonal pada remaja putri adalah produk kosmetik. Menurut Maslow (dalam Solomon, 2007), kesepian merupakan pengalaman tidak menyenangkan yang timbul akibat kurang terpenuhinya kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Produk yang relevan dalam memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih sayang yaitu produk fashion dan produk kosmetik (dalam Solomon, 2007). Perasaan kesepian meningkatkan motivasi remaja untuk berbelanja (Davis & Seepersad, 2010). Remaja yang kesepian cenderung menjadikan aktivitas berbelanja sebagai sarana untuk membeli barang-barang yang dapat mengurangi perasaan negatif yang timbul dari kesepian. Fromm (2008a) menyatakan individu yang kesepian mengurangi perasaan cemas dan bosan yang dirasakan dengan melakukan pembelian yang berlebihan dan berulang. Pada situasi pembelian yang memungkinkan adanya evaluasi dari lingkungan, individu yang kesepian akan lebih memilih produk-produk yang banyak dipilih oleh kelompok mayoritas atau sesuai trend (Wang, dkk., 2012). Hal tersebut dilakukan untuk menghindari evaluasi negatif dari lingkungan sosial. Individu yang kesepian membelanjakan uang sebagai upaya untuk bisa sesuai dengan lingkungan atau menjadi bagian dari lingkungan (Mead, dkk., 2010). Duclos, Wan dan Jiang (2013) menyatakan individu yang kesepian lebih berani mengambil resiko dalam membelanjakan uang mereka. Akibat dari hilangnya dukungan sosial, individu yang kesepian, lebih banyak membelanjakan uang untuk mendapatkan hal yang diinginkan di luar dari sistem sosial (Duclos, dkk., 2013). Berdasarkan penjelasan di atas, remaja putri yang kesepian cenderung membeli produk kosmetik yang sedang trend secara berlebihan dan berulang, untuk menghindari evaluasi negatif dari lingkungan dan menjaga eksistensi mereka dalam lingkungan. Konsumsi produk kosmetik merupakan upaya untuk mengurangi emosi negatif yang timbul akibat dari kesepian dan upaya untuk bisa menjadi bagian dalam lingkungan. Mahasiswi merupakan individu yang termasuk dalam kelompok remaja akhir (usia 18-21 tahun), yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Hasil pengumpulan data awal yang dilakukan penulis dengan metode observasi dan wawancara pada mahasiswi Universitas Sebelas Maret (UNS) menunjukkan bahwa dari sepuluh fakultas, terdapat tiga fakultas yang cenderung lebih banyak mahasiswinya menunjukkan perilaku menggunakan produk kosmetik pada saat di kampus. Bentuk perilaku yang tampak antara lain pemakaian make-up yang cukup kentara pada saat di kampus, perbaikan make-up di sela-sela jeda jam kuliah, dan pemakaian pewarna rambut bagi mahasiswi yang tidak berkerudung. Salah satu dari tiga fakultas tersebut adalah mahasiswi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Hasil wawancara dengan mahasiswi FISIP UNS yang menggunakan make up untuk mengetahui perilaku konsumtif mahasiswi terhadap produk kosmetik. Hasil wawancara menyatakan bahwa, responden mulai berani mencoba produk make up ketika memasuki smester awal perkuliahan. Responden menyatakan bahwa, saat mereka masuk kuliah, maka mereka dianggap sudah mulai dewasa dan memiliki hak untuk mencoba-coba beragam hal. Responden secara rutin membeli produk make up minimal sebulan sekali dengan budget yang dikeluarkan berkisar antara 100 hingga 200 ribu rupiah sekali pembelian. Pertimbangan harga dan kualitas produk kosmetik mempengaruhi keputusan responden untuk membeli produk kosmetik. Responden lebih memilih untuk membeli produk kosmetik dengan potongan harga yang besar dikarenakan budget yang terbatas dan rata-rata responden belum memiliki penghasilan sendiri. Saat ada produk kosmetik yang diinginkan tetapi memiliki harga diluar kemampuan, responden akan menabung untuk bisa mendapatkannya. Penampilan menarik membuat responden merasa percaya diri dan senang. Bagi responden, memakai make up adalah cara untuk menunjukkan bahwa, mereka bisa merawat diri. Responden memperoleh kepuasan dari menggunakan produk make up. Penampilan yang menarik menurut responden sangatlah penting dalam kehidupan sehari-hari. Saat berhubungan dengan orang lain, penampilan adalah hal pertama yang dinilai dan mungkin akan mempengaruhi keberhasilan hubungan kedepannya. Responden juga menyatakan bahwa, dalam hubungan romantis dengan lawan jenis, penampilan adalah salah satu hal yang dapat menarik perhatian lawan jenis. Responden percaya bahwa, penampilan yang menarik akan membawa keuntungan bagi diri mereka. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk meneliti mengenai hubungan antara stereotip daya tarik fisik dan kesepian dengan perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik pada mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret. Peneliti menyusun rancangan penelitian kuantitatif dengan metode survai untuk menguji asumsi dalam penelitian ini. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai hal-hal yang mendasari perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik pada remaja, khususnya mahasiswi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah terdapat hubungan antara stereotip daya tarik fisik dan kesepian dengan perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik pada mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret? 2. Apakah terdapat hubungan antara stereotip daya tarik fisik dengan perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik pada mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret? 3. Apakah terdapat hubungan antara kesepian dengan perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik pada mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut: a. Mengetahui hubungan antara stereotip daya tarik fisik dan kesepian dengan perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik pada mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. b. Mengetahui hubungan antara stereotip daya tarik fisik dengan perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik pada mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. c. Mengetahui hubungan antara kesepian dengan perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik pada mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut: 1) Secara umum manfaat dari penelitian ini adalah untuk memperkaya khasanah psikologi sebagai ilmu perilaku, dalam hal penelitian ilmiah dan memperkaya kajian keilmuan psikologi sosial, psikologi perkembangan dan psikologi industri dan organisasi khususnya dalam bidang perilaku konsumen. 2) Memberikan pengetahuan mengenai hubungan antara stereotip daya tarik fisik dan kesepian dengan perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik pada remaja, khususnya mahasiswi. b. Manfaat praktis 1) Bagi responden Memberikan gambaran mengenai hal-hal yang mendorong perilaku konsumtif produk kosmetik pada mahasiswi, sehingga mahasiswi bisa mempertimbangkan keputusan sebelum membeli produk kosmetik. 2) Bagi produsen industri produk kosmetik Memberikan gambaran mengenai hal-hal yang berpotensi mendorong perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik pada konsumen, khususnya konsumen mahasiswi/ remaja, yang dapat dijadikan acuan dalam menyusun strategi pemasaran kedepannya. 3) Bagi peneliti lainnya Menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya mengenai perilaku konsumtif.