SKRIPSI FIKRI ADRIAN

advertisement
IDENTITAS ETNIS DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
(STUDI PEMILIHAN GUBERNUR DKI JAKARTA
TAHUN 2012)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Fikri Adrian
106033201173
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
PERNYATAAN BEI}AS PI,AGIARISMII
Slcripsi yang berjudul
:
IDENTITAS ETNIS DAI,AM PEMILIHAN I(EPALA DAI]RAII ( STTIDI
PtrMILIFIAN GUBERNI]R DKI JAKARTA TAHI]N 2(112)
l.
Merupakan karya ur11 saya yang diajukan ttntuk nrementrhi salah sat!-l
persyaratan rnemperoleh gelar Strata I di Universitas lslam Negeri (UfN)
Syarif Iliclayatul lah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan telah saya cantttmkan sesltai dengan
kerentuan yang berlaku
di
Universitas Islam Negeri
(tllN)
Syarif
I{idayatul lah Jakarta.
3.
Jiha cli kemlclian hari terbLrkti bahwa karya ini bttl<an lcarya saya ataLt
merupakan hasil jiplakan dari l<arya orang lain. r.traka sava bersedia
menerima sanksi yang beriaku cli Universitas Islarn Negeri (tJIN) S1'ari1'
Il idayatul lah Jakarta.
2$14.
METERAI s,t,')
TEMPEL W
Ja\<arta 7 Tanrurri
Ilq4BAAF2858868Sj
ifwgti&,ffi
Irikri Adriarr
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Deirgan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahrva mahasisrva
:
Fikri Adrian
Nama
:
NIM
:106033201173
Program Studi: Ilmu Politik
Telah menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul
:
IDENTITAS ETNIS DALAIVI PENIILIHAN KEPELA DAER-\TI ( STUDI
PENIILIHAN GUBERNUR DKI JAKARTA TAHUN 2012
)
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, T Januan2014
Mengetahui,
Menyetujui,
Ketua Program Studi
Pembimbing
/^
NIP. I 96512121992$1004
1r9730921200501 I 008
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
IDENTITAS ETNIS DALAM PEI\{ILIIIAN KEPALA DAERAH
(STUDI PEMILIHAN GUBERNUR DKI JAKARTA TAHUN 2OI2)
Oleh
Fikri Adrian
10603320r 173
Telah dipertahankan dalam ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan llmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidal.atullah Jlkarta pada tanrg:rl l6 Januari
2014. Skripsi ini telah diterima sebagai s),arat nremperoleh gelar Srrjana Sosial
(S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Kefua,
Sekretaris,
NIP. I 96512121992031 004
NIP. I 9730927200501
I
008
Penguji I,
.rJ/ t
Survani. I\I.Si
niah
NIP. I 97704242007 I 02 003
NIP.
I 961
05242000032 002
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada langgal I 6 Januari 201-l
Ketua Program Studi
FISIP{JIN Jakarta
NIP. I 96st2t2t992031 004
llt
,r
!
ABSTRAK
Fikri Adrian
Identitas Etnis dalam Pemilihan Kepala Daerah
“Studi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2012”
Kepulauan Indonesia yang terdiri dari beragam etnis dan agama ini, sungguh merupakan
suatu kekayaan tersendiri. Keanekaragaman budaya menghasilkan berbagai hasil budaya tingkat
tinggi, seperti tarian, nyanyian, bangunan bersejarah, dan ciri khas budaya lainnya.
Keanekaragaman itu menghasilkan sebuah identitas tersendiri bagi masyarakat dan wilayah.
Dengan adanya identitas, pertalian dan kedekatan seseorang bisa bertambah, atau malah
sebaliknya. Identitas bisa muncul melalui kesamaan etnis, ideologi, atau agama. Dalam percaturan
politik di negeri ini, masalah identitas kerap dijadikan salah satu cara untuk menjelekkan atau
menjatuhkan, lawan politiknya.
Otonomi daerah telah memberi tempat yang seluas - luasnya kepada etnis tertentu untuk
menunjukkan identitas politiknya. Identitas politik etnis dibangun oleh elite dalam melakukan
tindakan-tindakan yang terkait pada kepentingan wilayah etnis. Sebagian elite memandang
etnisitas sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, persaingan untuk memperoleh
sumberdaya,menciptakan solidaritas dan kebersamaan,mengukuhkan dan memperkuat
identitas,serta membedakan dengan kelompok etnik yang lain. Penelitian ini dilakukan melalui
studi pustaka dan analisis melalui buku dan literatur lainnya. Studi ini menggambarkan partisipasi
etnis dan preferensi pemilih dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Identitas yang dikonstruksi
oleh elite sangat jelas bertujuan untuk menjaga dan mengamankan kehormatan etnik, dalam hal ini
etnik dijadikan sebagai sumber identitas masyarakat, khususnya pada etnis Jawa, Betawi dan
Tionghoa. Studi ini memberikan pemahaman tentang perilaku elite yang mengatasnamakan etnis
untuk mendapatkan kembali identitas yang dianggap terkubur. Etnisitas kenyataannya digunakan
untuk kepentingan politik dan etnik, karena keduanya merupakan legitimasi untuk memperoleh
identitas. Inti dari persepektif di atas menyebutkan bahwa identitas etnis adalah sesuatu yang
muncul tidak secara alamiah, karena keberadaannya merupakan sumber politik sekaligus sebagai
instrumen artikulasi politik demi kepentingan individu dan kelompoknya. Politik identitas adalah
tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu
kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras,
etnisitas, jender, atau keagamaan..
Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori etnisitas dan politik
identitas. Dari hasil analisa menggunakan kedua teori tersebut dapat disimpulkan bahwa para elit
politik dan calon kepala daerah, seolah sengaja memelihara atau memainkan politik identitas itu,
untuk kepentingan politik dan hegemoni kekuasaan. Seperti kita lihat dalam realitas politik di
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 lalu. Masalah identitas selalu muncul dalam setiap
Pilkada. Dengan identitas tertentu, calon kandidat bisa melakukan posisi tawar, ini menunjukkan
faktor etnis dan agama cukup signifikan untuk mendapatkan dukungan dan mempengaruhi pilihan
masyarakat dalam Pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2012.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang selalu
mencurahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada para hamba yang serius
dalam urusan dunia dan akhiratnya. Sholawat dan salam tetap terlimpahkan untuk
junjungan Nabi agung Muhammad SAW sebagai penebar cinta dan kasih sayang
pada semua makhluk yang dinantikan syafa’atnya di hari kiamat nanti.
Rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis berikan untuk kedua
orang tua penulis, Bapak Firmansyah dan Ibu Yasmeini yang tak pernah lelah
mendoakan dan memotivasi penulis selama ini dan seterusnya yang selalu sabar
merawat dan membimbing penulis, semoga Allah SWT selalu menurunkan segala
rahmat, ampunan dan syurga-nya untuk mereka di sini (dunia) dan di sana nanti
(akhirat). Saudara penulis Aditya Ramadhan yang selalu memberikan semangat
dan motivasi kepada penulis dalam melaksanakan kewajiban sebagai seorang
muslim yaitu menuntut ilmu.
Secara khusus penulis ucapkan terimakasih kepada:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Prof. DR. Komarudin Hidayat.
MA
2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA.
3. Bapak. Ali Munhanif, Ph.D selaku Ketua Prodi Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
v
4. Dosen Pembimbing sebelumnya Bapak Chaider Bamualim dan pembimbing
berikutnya Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si atas bimbingannya dalam
penyelesaian skripsi ini.
5. Ibu Suryani, M.Si
dan Ibu Haniah Hanafie, M.Si selaku penguji satu dan
dua, terima kasih atas masukan dan sumbangsihnya dalam pengerjaan skripsi
ini
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis. Staf Akademik Fakultas
yang selalu siap membantu mahasiswa.
7. Seluruh teman-teman yang tak pernah lelah untuk membantu dan memotivasi
dalam menyelesaikan skrpisi (Agam, M. Thoriq, Aryo, Ridho Abdi Winahyu
S.Sos, Ihwanuddin S. Sos, Eko, Anwar, Rifat , dll yang tak bisa disebutkan satu
per satu)
Semoga segala bentuk bantuan dan kontribusi yang diberikan dinilai ibadah
oleh Allah SWT, Jazakumullahu Khairal Jaza.Amiin
Jakarta, 7 Januari 2014
Fikri Adrian
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR BEBAS PLAGIARISME ............................................................
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI .............................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI.............................
iii
ABSTRAK ......................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................
v
DAFTAR ISI ...................................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................
1
B. Pertanyaan Penelitian ...................................................................
13
C.Tujuan dan Manfaat .....................................................................
14
D. Tinjauan Pustaka ..........................................................................
14
E. Metodologi Penelitian .................................................................
15
F. Sistematika Penulisan ...................................................................
17
BAB II LANDASAN TEORI
A. Teori Etnisitas ..............................................................................
18
1. Identitas Etnis...........................................................................
23
B. Teori Politik Identitas ...................................................................
27
BAB III PROFIL DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA DAN
PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH
A. Sejarah Daerah Khusus Ibukota Jakarta .........................................
30
B. Kondisi Geografis dan Demografis Daerah Khusus Ibukota Jakarta
31
C. Kondisi Sosial Politik Daerah Khusus Ibukota Jakarta ..................
34
D. Aspek Budaya Daerah Khusus Ibukota Jakarta ............................
36
E. Pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta tahun 2012......................
38
F. Sejarah dan Perkembangan Etnis Tionghoa di Daerah Khusus Ibukota
Jakarta ..............................................................................................
43
G. Organisasi Etnis Tionghoa .............................................................
49
vii
BAB IV SENTIMEN ETNIS DAN AGAMA DALAM PEMILIHAN
KEPALA DAERAH DKI JAKARTA TAHUN 2012
A. Sentimen Etnis dalam pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibukota
Jakarta tahun 2012..........................................................................
55
B. Sentimen Agama dalam pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibukota
Jakarta tahun 2012..........................................................................
59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan dan Saran ............................................................
69
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
viii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ..............................................................
Tabel.I.A. .............................................................................................
8
Tabel.II.B ............................................................................................
9
DAFTAR GAMBAR
Gambar IV.1 .......................................................................................
56
Gambar IV.2 .......................................................................................
56
Gambar IV.3 .......................................................................................
57
Gambar IV.4 .......................................................................................
60
Gambar IV.5 .......................................................................................
61
Gambar IV.6 .......................................................................................
62
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemilihan kepala daerah adalah sebuah ajang demokrasi dalam rangka
mencari pemimpin yang sah. Pemilihan kepala daerah merupakan perjalanan
politik panjang yang diwarnai tarik menarik antara kepentingan elite dan
kehendak publik, kepentingan pusat dan daerah, atau bahkan antara
kepentingan nasional dan internasional.1 Dalam setiap pelaksanaan pemilihan
kepala daerah, dari tahap awal hingga akhir, mulai saat pasangan kandidat
melakukan deklarasi, pendaftaran, pemeriksaan kesehatan, penetapan calon,
pengumuman harta kekayaan, pengambilan nomor urut, kampanye, pemaparan
visi-misi, debat kandidat, minggu tenang hingga hari pencoblosan selalu saja
ada dinamika yang berkembang, seperti isu suku, agama dan politisasi agama,
kampanye negatif, kisruh daftar pemilih tetap.2
Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah salah satu daerah strategis dari
kancah perpolitikan di Indonesia. Realitas bahwa daerah tersebut adalah pusat
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan juga pusat kegiatan
ekonomi
di
Indonesia
semakin
menguatkan
posisi
Jakarta.
Dalam
kenyataannya, 70% perputaran uang di Indonesia berada di Jakarta. Dari segi
1
Joko J. Prihatmoko, pengantar Kacung Marijan: Mendemokratiskan Pemilu : dari sistem
sampai elemen teknis (Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengabdian
Masyarakat, Universitas Wahid Hasyim Semarang, 2008), 157.
2
http://politik.kompasiana.com/2012/10/12/belajar-dari-pilkada-dki-jakarta-495172.html.
Diakses tanggal 13 Desember 2013.
1
politis, kunci pemenangan Presiden Republik Indonesia selanjutnya juga
terletak di daerah ini. Tak dapat dipungkiri lagi Jakarta menjadi idaman bagi
banyak orang, mulai dari warga di daerah lain yang ingin merubah nasib,
hingga para pejabat publik untuk mendapatkan kursi kekuasaan di Jakarta,
termasuk yang paling strategis kursi DKI Jakarta 1. Sehingga pergantian
pemimpin di Jakarta
sebagai apresiasi rakyat untuk menyerahkan mandat
untuk memimpin suatu daerah sangatlah penting untuk dicermati. Karena itu
masyarakat perlu pembelajaran politik dan hal tersebut akan berjalan jika
kontestan pemilukada memiliki kedewasaan politik yang mapan, karena
demokrasi sangat menghormati perbedaan dan sangat melarang pemaksaan dan
intimidasi.
Sejatinya pemilihan kepala daerah adalah sarana pendidikan politik
bagi masyarakat agar dapat mengetahui bagaimana memilih pemimpin.
Pemimpin diharapkan selain kharismatik juga harus mempunyai kecakapan,
kemampuan, integritas, pengetahuan kepemimpinan, moralitas yang tinggi dan
bertanggung jawab.3 Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan salah satu kota
di Asia yang masyarakat kelas menengahnya cukup besar. Pada Tahun 2009,
13% masyarakat Jakarta berpenghasilan di atas US$ 10000.4 Jakarta juga kota
dengan tingkat keberagaman penduduk yang tinggi. Seluruh suku bangsa di
Indonesia dapat ditemukan di Jakarta dan keberagaman agamanya juga cukup
tinggi. Namun, selayaknya daerah megapolitan lain, kota yang berpenduduk di
3
H. A. W, Wijaya, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia : Dalam Rangka Sosialisasi
UU No. 32 tentang pemerintahan daerah (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2007), 126.
4
http://forum.pasardomain.com/showthread.php?t=5667 Diakses tanggal 13 Desember
2013.
2
atas 10 juta orang ini juka menyimpan masalah-masalah klasik kriminalitas,
kemiskinan, permasalahan lahan, lemahnya interaksi sosial karena sifat warga
Jakarta yang semakin individualistik dan tata ruang kota yang tidak terencana
dengan baik juga turut memperparah kondisi daerah ini.
Dapat dikatakan kemenangan Jokowi dan Ahok, dan munculnya calon
gubernur dari kalangan independen seperti Faisal Basri memberi pengaruh
yang besar terhadap kehidupan politik dan pola partisipasi politik masyarakat
di Daerah Khusus Ibukota Jakarta ini. Selain itu, faktor semakin meningkatnya
kesadaran warga dalam berpolitik dan semakin berkembangnya jurnalisme
warga di media-media sosial sangat mempengaruhi interaksi politik yang ada.
Pada dasarnya, DKI Jakarta saat ini mulai mengalami pergeseran dari pola
pemerintahan lokal berkembang menjadi pola pemerintahan demokrasi.
Semakin berkembangnya informasi teknologi turut serta mendukung semakin
kritisnya publik terhadap pemimpin mereka.
Sejak tahun 1965, dimulai oleh Brigjen. Dr. H. Sumarno
Sastroatmodjo, yang menggantikan Henk Ngantung, Jakarta selalu dipimpin
oleh militer.5 Sumarno digantikan oleh Letjen. TNI/KKO. Ali Sadikin,
kemudian berturut-turut Letjen. TNI. Tjokropranolo, Letjen. TNI. Soeprapto,
Letjen. TNI. Wiyogo Atmodarminto, Letjen.TNI. Soerjadi Soedirdja dan
terakhir Letjen. TNI. Soetiyoso.
Pada tahun 2007, Fauzi Bowo yang menjadi Wakil Gubernur ketika
Soetiyoso menjabat sebagai Gubernur, berhasil memenangkan pemilihan
5
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Gubernur_Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta:
daftar gubernur provinsi DKI Jakarta. Diakses tanggal 18 Desember 2013.
3
Gubernur, mengungguli Mayjen. Pol. (Purn.) Adang Daradjatun. 6 Yang
menjadi Wakil Gubernurnya Bowo masih dari kalangan militer, yaitu Mayjen.
TNI (Purn.) Priyanto. Ketika maju menjadi Calon Gubernur dalam pilkada
2012, Bowo masih didampingi oleh seorang militer, Mayjen.TNI. (Purn.)
Nachrowi Ramli.
Dalam pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta putaran pertama,
sejumlah petinggi militer masih ikut meramaikan pesta demokrasi di Jakarta
tersebut. Tercatat selain Mayjen. TNI (Purn.) Nachrowi Ramli (Cawagub dari
Fauzi Bowo) yang masuk ke putaran kedua, ada Mayjen.TNI (Purn.) Hendardji
Soepandji (Cagub Independen), dan Letjen. TNI (Purn.) Nono Sampono
(Cawagub dari Alex Nurdin).
Sejarah baru yang tercatat dengan kemenangan Jokowi-Ahok di
putaran kedua pada 20 September 2012 lalu, untuk pertama kalinya sejak tahun
1965 gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jokowi maupun Ahok tidak
mempunyai latar belakang militer.
Hal yang patut dicermati, kemenangan Jokowi-Ahok juga menjadi
sebuah bukti kemenangan masyarakat DKI Jakarta. Karena pola pemenangan
gubernur-gubernur Jakarta sebelumnya sangat identik dengan peta kekuatan
partai politik. Pada kenyataannya, Jokowi dan Ahok hanya didukung oleh dua
parpol di Jakarta, yaitu PDIP dan Gerindra. Sebaliknya, Foke didukung oleh
partai-parta penguasa di pemerintah pusat, yaitu : Demokrat, Golkar, PKS,
PAN, PPP dan Hanura.
6
www.kpujakarta.go.id :Rekap hasil pilkada DKI Jakarta tahun 2007. Diakses tanggal
14 Desember 2013.
4
Partai Politik ternyata tidak lagi efektif menjadi basis massa dan basis
ideologis dari masyarakat Jakarta. Pada akhirnya, Jokowi-Ahok memperoleh
kemenangan di angka 54 % dan Foke hanya 46%.7 Jika dilihat dari posisi di
dalam parpol pun seharusnya Fauzi Bowo yang menjadi Dewan Pembina Partai
Demokrat dan Nachrowi Ramli yang menjadi ketua Partai Demokrat di DKI
Jakarta seharusnya lebih diuntungkan, mengingat Partai Demokrat pada pemilu
2009 lalu memperoleh 30% suara di DKI Jakarta.
Pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta lalu akan menjadi
titik balik perubahan pola hubungan situasi perpolitikan. Masyarakat yang
tadinya mayoritas bersifat pasif akan bersikap lebih aktif dalam menuntut hakhaknya dan berpartisipasi dalam kebijakan-kebijakan publik.
Untuk itu gubernur Daerah Khusus Ibukota
Jakarta mempunyai
tanggung jawab yang cukup berat, terlebih lagi bagi masyarakat Jakarta yang
memberikan hak suaranya melalui pemilihan kepala daerah secara langsung,
tentu berharap perubahan yang mendasar di Jakarta dan momen pemilihan
kepala daerah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta tahun 2012 ini diharapkan
menjadi barometer demokrasi di Indonesia.
Pada pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2012 tahap 1 tanggal 11 Juli
2012 ini diikuti oleh 6 peserta yaitu, no urut (1) Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli,
no urut (2) Hendardji Soepandji - Ahmad Riza Patria, no urut (3) Joko Widodo
- Basuki Tjahaja Purnama, no urut (4) Hidayat Nur Wahid - Didik J Rachbini ,
no urut (5) Faisal Basri - Biem Benyamin, no urut (6) Alex Noerdin - Nono
7
www.kpujakarta.go.id :Rekap hasil pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Diakses tanggal
14 Desember 2013.
5
Sampono sedangkan pada putaran kedua tanggal 20 September diikuti oleh
pasangan Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli dan Joko Widodo - Basuki Tjahaja
Purnama.8
Dan pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta putaran kedua yang diikuti oleh
dua pasangan Cagub/Cawagub Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dan Joko
Widodo-Basuki Tjahaja Purnama tersebut digelar serentak di seluruh wilayah
Jakarta dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) 6.996.951 pemilih.9
Pemilihan Kepala Daerah DKI tahun 2012 Jakarta ini sangat menarik
untuk dicermati, terutama jika dikaitkan dengan perkembangan kehidupan
demokrasi,
khususnya menyangkut kredibilitas kedua kandidat pemilihan
kepala daerah DKI Jakarta tahun 2012 putaran kedua. Dalam pilkada ini para
pemilih dihadapkan pada dua perspektif yang berbeda, yakni pertarungan
antara kenyataan dan harapan. Ketercapaian unjuk kerja kandidat incumbent
Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli diposisikan sebagai suatu pengalaman yang
dijadikan kekuatan, sementara kandidat lain Joko Widodo dan Basuki Tjahaja
Purnama melontarkan gagasan penuh harapan berupa perubahan Jakarta
menjadi lebih baik.
Dinamika politik yang terjadi di Indonesia diawali dengan runtuhnya
orde baru yang otoriter berubah menjadi sistem politik demokratis, pada saat
itu terjadi interaksi antara kekuatan eks orde baru dengan kekuatan baru yakni
kelompok reformasi dalam perubahan politik di tingkat nasional yang
8
2012.
www. kpujakarta.go.id, kandidat Pilkada DKI Jakarta 2012 diakses tanggal 1 November
9
http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/12/09/20/man4bvpilkada-dki-putaran-kedua, Diakses tanggal 14 Desember 2012.
6
kemudian turut pula mempengaruhi perubahan politik di tingkat lokal, dimana
sistem pemerintahan sentralisasi berubah menjadi desentralisasi dengan
dikeluarkannya Undang-Undang NO. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi
dengan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Otonomi Daerah) Pasal 56 jo Pasal119 dan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun
2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang membuka
peluang seluas-luasnya kepada rakyat untuk mewujudkan aspirasi daerah
dengan memiliki pemimpin lokal yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan
kepala daerah secara langsung. Desentralisasi bertujuan agar pemerintah
daerah mengalami proses pemberdayaan yang signifikan dan bertanggung
jawab dengan tidak lagi dibawah dominasi pemerintah pusat, pemerintah pusat
hanya berperan melakukan supervisi, memantau, mengawas dan mengevaluasi
pelaksanaan otonomi daerah.10Dalam bidang politik, otonomi daerah adalah
hasil dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka harus dipahami
sebagai suatu proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala daerah yang
dipilih secara demokratis, memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan yang
tanggap terhadap kepentingan masyarakat dan memelihara suatu mekanisme
pengambilan keputusan yang taat pada azas pertanggungjawaban publik.11
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah diatur melalui UndangUndang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah),
yang merupakan
10
11
Ryaas Rasyid, Desentralisasi & Otonomi Daerah, (Jakarta: LIPI Press, 2005), 8-9.
Ryaas Rasyid, Desentralisasi & Otonomi Daerah, 10.
7
Tidak bisa dipungkiri lagi pemilihan kepala daerah secara langsung
sangat erat kaitannya dengan partisipasi politik masyarakatnya dalam
memberikan dukungan suara kepada partai politik dan kandidat yang ada.
Pemilihan kepala daerah secara langsung ini akan menggambarkan perilaku
politik dari masing-masing pemilih.
Perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan seseorang atau
kelompok dalam kegiatan politik.12 Dalam pembentukan perilaku politik
seseorang salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan ini bisa
termasuk juga lingkungan etnis seseorang itu dibesarkan. Lebih lanjut lagi jika
menggunakan pendekatan struktural untuk mempelajari perilaku politik
seseorang akan dikaitkan dengan suku atau etnisitasnya. Hal ini juga tidak
terlepas dari budaya politik yang dianut oleh etnis tertentu, sehingga untuk
mengetahui perilaku politik seseorang terlebih dahulu harus diketahui sejauh
mana tingkat orientasi seseorang terhadap sistem politiknya dengan kata lain
perilaku politik seseorang dapat dipahami melalui budaya politiknya.
Tabel.I.A.
Jumlah Suku Bangsa Provinsi DKI Jakarta, Tahun 2010.
Jakarta
Pusat
Jakarta
Utara
Jakarta
Barat
Jakarta
Selatan
Jakarta
Timur
JAWA
258.142
635.073
715.836
816.019
1.026.571
BETAWI
301.667
257.104
677.561
659.799
SUNDA
136.154
267.234
333.343
272.069
CINA
68.186
198.248
313.178
BATAK
21.031
46.322
MINANGKABAU
33.726
MELAYU
16.315
Etnis
Kep.
Seribu
DKI
Jakarta
%
1.807
3.453.448
36.17
795.826
8.765
2.700.722
28.29
383.143
3.082
1.395.025
14.61
22.979
29.767
14
632.372
6.62
56.450
56.350
146.433
59
326.645
3.42
23.948
41.955
72.440
99.918
31
272.018
2.85
28.840
46.703
36.437
50.575
352
179.222
1.88
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS).
12
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT.Grasindo, 1992), 167.
8
Tabel II.A.
Jumlah Penduduk menurut Agama dan Kepercayaan, Provinsi DKI Jakarta,
Tahun 2012.
Agama dan
Kepercayaan
Jakarta
Pusat
Jakarta
Utara
Jakarta
Barat
Jakarta
Selatan
Jakarta
Timur
Kep.
Seribu
DKI
Jakarta
%
ISLAM
857.609
1.262.516
1.643.734
1.869.682
2.434.612
23.115
8.091.268
82,93
PROTESTAN
105.354
174.340
233.211
110.310
229.275
12
852.502
8,74
50.219
81.525
136.592
56.096
78.437
1
402.870
4,13
HINDU
3.632
4.119
2.794
3.831
5.416
1
19.793
0,20
BUDHA
43.684
121.490
197.005
11.691
15.717
0
389.587
3,99
KHONGHUCU
78
181
279
60
150
0
748
0,01
KEPERCAYAAN
31
9
21
34
81
0
176
0,00
1.060.607
1.644.180
2.213.636
2.051.704
2.763.688
23.129
9.756.944
100,00
KATHOLIK
JUMLAH
Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta.
Dengan persentase penduduk seperti di atas, tentunya menjadi penting
untuk masing-masing calon untuk menyiapkan strategi dalam mengambil
simpati masyarakat. Dari berbagai pemberitaan tentang pemilihan kepala
daerah DKI Jakarta tahun 2012 ini, dapat dilihat fenomena yang menarik dan
dianggap fenomenal karena dilakukan secara berkelanjutan, massif dan
mendapat sorotan yang luas dari berbagai komponen masyarakat, salah satunya
ialah sentimen etnis dan agama pada pemilihan kepala daerah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta tahun 2012 lalu.
Bercermin dari data diatas diketahui bahwa mayoritas penduduk di
Jakarta adalah Jawa dan menganut agama islam tentunya menjadi. Sorotan
yang tajam tertuju pada pasangan Joko Wi, yaitu Ahok yang berasal dari etnis
Tionghoa dan beragama kristen. Seperti ramai diberitakan media massa, isu
rasialisme makin menyeruak menjelang putaran kedua pemilihan kepala daerah
9
di Daerah Khusus Ibukota Jakarta tahun 2012. Tahapan menuju kursi gubernur
dan wakil gubernur DKI Jakarta kian panas. Para calon pemilih di putaran
kedua pemilihan umum kepala daerah mendapat hasutan untuk tak memilih
pasangan dengan suku dan agama tertentu.13 Hasutan beredar lewat selebaran,
situs-situs jejaring sosial, forum-forum internet, dan pesan berantai lewat
telepon seluler. Pemilih mendapat hasutan agar tak memilih orang non-Jakarta,
apalagi berasal dari agama dan etnis tertentu, dalam hal ini etnis tionghoa.
Ditambah lagi karena adanya faktor kebencian terhadap etnis Tionghoa yang
sengaja ditiupkan oleh pihak pihak tertentu.14
Seperti yang kita ketahui diskriminasi dan kekerasan terhadap orangorang keturunan Tionghoa di Indonesia telah dicatat setidaknya sejak tahun
1740, ketika Pemerintah Kolonial Belanda membunuh sampai dengan 10.000
orang keturunan Tionghoa selama peristiwa Geger Pacinan.15 Kejadian
terburuk terjadi pada tahun 1998, ketika ratusan orang Tionghoa tewas dan
puluhan lainnya diperkosa selama kerusuhan Mei 1998. Satu hal yang perlu
diperhatikan adalah dampak kekuasaan mereka dalam bidang ekonomi
terhadap politik dan masa depan Indonesia khususnya di Daerah Khusus
Ibukota Jakarta. Secara formal, sebagian besar warga Cina memang tak peduli
urusan politik, tapi ketidakpeduliannya justru menjadikan mereka leluasa,
termasuk menjadi cukong dan investor politik. Dari sinilah kekuasaannya
13
http://www.republika.co.id/berita/menuju-jakarta-1/news/12/07/18/m7cge5-isu-sara-mulaimengelinding. Diakses tanggal 16 Desember 2012.
14
http://politik.kompasiana.com/2012/08/25/sara-di-pilgub-dki-jakarta-etnis-tionghoa-jadisasaran-488547.Diakses tanggal 16 Desember 2012.
15
http://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi_terhadap_Tionghoa-Indonesia. Diakses tanggal
18 Desember 2013.
10
makin menggurita dan membuat segan banyak pihak. Dan hal tersebut menjadi
sorotan tajam dalam pemilihan kepala daerah di Daerah Khusus Ibukota
Jakarta 2012.
Beberapa gambaran isu sentimen etnis dalam pemilihan kepala daerah
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tahun 2012 ini dalam menjaring pemilih
telah diukur dalam berbagai lembaga survey.
Salah satunya exit poll yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research
and Cosulting (SMRC) berdasarkan suku, ras, survei yang digelar Saiful
Mujani Research and Consulting pada 20 September 2012 menemukan hanya
etnis Betawi yang mayoritas memilih pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli
(75,1 persen), namun etnis-etnis lain sebagian besar memilih pasangan Joko
Widodo-Basuki Tjahaja Purnama dan Etnis Jawa, 63,3 persen memilih JokowiAhok. Kemudian 50,5 persen etnis Sunda juga memilih pasangan yang diusung
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya ini.
Paling tinggi, 92,5 persen etnis China dan 93,1 persen etnis Batak memilih
Jokowi-Ahok kemudian 74,1 persen etnis Minang juga pilih Jokowi-Ahok,
sementara mayoritas etnis-etnis lain (76,3 persen) juga memilih pasangan Joko
Wi-Ahok.16
Indonesia adalah negara yang terdiri dari multi identitas dan etnisitas,
politik perbedaan tumbuh subur dan memicu munculnya perjuangan kelompok
atau golongan yang terpinggirkan yang mencoba eksis dan bertahan. Dapat
dipahami pertumbuhan masyarakat di suatu tempat menggambarkan bahwa
16
http://metro.news.viva.co.id-exit-poll–pemilih-foke-dan-jokowi-berdasar-etnis diakses
tanggal 5 November 2012.
11
semakin kompleksnya masyarakat, di satu sisi juga memperlihatkan adanya
persaingan yang semakin ketat dari yang lainnya, kebutuhan yang semakin
banyak jumlah ragamnya telah meningkatkan keperluan dan kesabaran
berorganisasi masyarakat Indonesia.17 Dalam konstelasi politik di Indonesia
terkadang muncul kekerasan dalam interaksi antaretnis, apalagi menyangkut
aspek kepemimpinan, perebutan kekuasaan, yang merupakan sifat egois
masing-masing identitas etnis. Sebagai contoh adalah ketika terjadinya
perubahan oleh reformasi politik yang kemudian memunculkan ketegangan
etnis dalam pemilihan kepala daerah.
Dalam kontek demokrasi lokal seperti pemilihan kepala daerah untuk
pemilihan gubernur yang dilaksanakan di daerah, maka pemilih lebih
cenderung memilih kandidat yang berasal dari etnis yang sama artinya etnis
dari kandidat yang ada akan mempengaruhi pilihan pemilih. Slogan yang
sering didengungkan separti putra daerah menjadi isu yang sering mewarnai
kampanye para kandidat. Dalam menggalang solidaritas etnis dalam pemilihan
kepala daerah, peranan tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama serta
organisasi sosial masyarakat sangat signifikan perannya sebagai suatu gerakan
kepentingan politik mereka, simbol simbol dan berbagai atribut etnis dijadikan
obyek kepentingan politik. Banyak etnis di Indonesia dengan sendirinya akan
melahirkan berbagai organisasi yang bersifat primordial atau kesukuan dan
atas dasar persamaan keyakinan dan bertujuan menjalin kekerabatan diantara
para anggotanya. Organisasi tersebut sebagai wadah untuk menyatukan para
17
Arbi Sanit, Swadaya Politik Masyarakat: Telaah tentang keterlibatan organisasi
masyarakat, (Jakarta:C.V Rajawali, 1985), 40.
12
anggota khususnya di DKI Jakarta seperti ormas betawi seperti FBR dan
organisasi massa etnis tionghoa.
Etnisitas menjadi isu yang hangat dalam pemilihan gubernur Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2012 karena ada keyakinan di benak para
kandidat atau tim suksesnya bahwa cara termudah dan paling efektif menarik
hati orang untuk memilih seorang kandidat adalah dengan cara membangkitkan
ikatan emosional pemilih pada calon. Ikatan emosional mana yang bisa
melebihi kecintaan seseorang pada identitas primordialnya seperti suku, agama,
ras, dan golongan atau komunitas diantara semua identitas ini, suku-agama dan
ras menjadi identitas yang paling kuat sehingga mudah menyulut emosi dan
dapat dimobilisasi. Dalam ras, agama dan etnisitas ada stigmatisasi dan
pelabelan yang pada akhirnya akan berujung pada kebencian, kecurigaan,
kecemburuan sosial, inklusi dan eksklusi. Oleh karena itu peran pemilih pada
pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2012 sangat erat
kaitannya dengan identitas etnis.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, maka berikut adalah
rumusan masalah dalam penelitian ini. Bagaimana sentimen etnis dan agama
digunakan, baik itu secara positif atau secara negatif terhadap para pemilih
untuk dapat meraih simpati publik dalam pemilihan gubernur Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta 2012 ?
13
C. Tujuan dan Manfaat
Secara umum, karya ilmiah ini bertujuan untuk untuk mengetahui
perilaku politik dari etnis tertentu dalam hubungannya dengan preferensi calon
kepala daerahnya, sekaligus untuk melihat pola-pola mobilisasi etnis dalam
pemilihan Gubernur secara langsung di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta
2012. Melalui analisis ini diharapkan dapat menjadi sebuah parameter perilaku
antar etnis dalam ajang pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI)
Jakarta
2012.
Tujuan
teoritis
dalam
penelitian
ini
adalah
untuk
mengembangkan serta memperkaya studi ilmu politik dalam bidang etnisitas
dan menjadi referensi bagi pemilih.
Manfaat akademis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi
tambahan bagi penelitian selanjutnya sehingga mampu memberikan hasil yang
lebih berkualitas tentang identitas etnis dan politik identitas dalam pemilihan
Gubernur Jakarta 2012. Sedangkan untuk manfaat kritik sosial, penelitian ini
diharapkan menjadi masukan bagi pemilih agar memilih pemimpin berdasar
kapasitasnya. Dengan sadarnya masyarakat tentang etnisitas, konflik etnis di
Indonesia pada umumnya dan Jakarta pada khususnya,dalam ajang pemilihan
kepala daerah bisa diminimalisir.
D. Tinjauan Pustaka
Karya ilmiah maupun hasil penelitian adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari unsur-unsur lainnya, baik berkaitan langsung maupun tidak
langsung dengan permasalahan yang sedang dibahas oleh seorang penulis.
14
Sebuah karya ilmiah setidaknya membutuhkan acuan yang menopang
karya ilmiah yang sedang dikerjakannya. Penulis telah melakukan beberapa
penelusuran dan menemukan beberapa penelitian dengan mengangkat topik
mengenai peran politik etnis dan identitas etnis dalam Pemilihan Kepala
Daerah secara langsung. Terdapat beberapa penelitian terdahulu mengenai
identitas etnis yang menurut penulis paling mendekati fokus. Adalah Skripsi
yang berjudul Etnis Betawi Dalam Politik (Studi Tentang Peran Forkabi Dalam
Pilkada DKI Jakarta 2007) karya Ahmad Rikih mahasiswa Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang menguraikan tentang peran organisasi massa
kedaerahan, dalam hal ini Forkabi dan FBR yang sangat erat kaitannya dengan
pemilihan kepala daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta tahun 2007.
E. Metodologi Penelitian
E.1 Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang diaplikasikan dalam karya tulis
ini adalah
penelitian kualitatif, di mana prosedur penelitian ini menghasilkan data
deskriptif analisis, yakni menggambarkan dan menjabarkan hal-hal yang
berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti, dalam hal ini pengaruh etnis
dalam pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibukota ( DKI ) Jakarta 2012.
15
E.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam
penelitian
tentunya
penulis
akan
membutuhkan
data
pendukung sebagai bahan penelitian atau penulisannya, untuk itu dalam hal ini
penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
1.
Dokumentasi18, adalah mencari atau mengumpulkan data mengenai hal-hal
atau masalah yang akan diteliti melalui literatur buku, catatan, transkrip,
surat kabar, majalah, agenda, internet, dan bisa saja dari notulen rapat.
E.3 Teknik Analisis
Analisis jika diartikan secara harfiah berarti uraian, namun yang
dimaksud analisis dalam hal ini adalah suatu bahasan dengan cara mengolah
data, kemudian memberikan interprestasi terhadap data-data yang terkumpul
dan tersusun. Dalam penelitian ini teknik analisis yang digunakan adalah
deskriptif analisis, yakni pembahasan yang bertujuan untuk membuat
gambaran terhadap data-data yang telah terkumpul dan tersusun dengan cara
memberikan interprestasi terhadap data tersebut. Dengan menggunakan teknik
deskriptif analisis penulis berharap agar dapat memberikan gambaran yang
sistematis, faktual, dan komprehensif mengenai mobilisasi etnis dalam
pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibukota( DKI) Jakarta 2012.
Sebagai pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan buku
Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi 2012, yang diterbitkan
oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
18
Prof.Dr Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta:PT.
Rineka Cipta, 2006), hal. 231.
16
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulis dalam menyusun skripsi ini, maka
penulis akan menguraikan secara singkat dari sistematika pembahasan dalam
susunan penulisan skripsi ini. Sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut :
Bab I penulisan skripsi ini terdiri dari latar belakang masalah,
pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II penulisan skripsi ini berdasarkan teori etnisitas dan politik
identitas.
Bab III penulisan skripsi ini menjelaskan profil wilayah DKI Jakarta
termasuk kondisi demografis dan geografis serta pelaksanaan pemilihan
Gubernur Jakarta tahun 2012.
Bab IV membahas mengenai sentimen etnis dan agama, dan
dampaknya terhadap pemilih dalam pemilihan Gubernur Jakarta 2012.
Pada bab V membahas kesimpulan dan saran yang dibutuhkan dalam
penulisan karya ilmiah ini.
17
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Etnisitas
Sejarah Indonesia ditandai dengan adanya keragaman adat dan etnis
dalam konteks persatuan sehingga konsepsi ini menjadi model bagaimana
etnisitas menjadi penanda pluralitas, namun dibingkai dalam semangat
persatuan. Dari sejumlah golongan etnis (suku bangsa) yang beragam secara
umum bangsa Indonesia terbagi dalam dua golongan besar, yakni golongan
etnis pribumi dan golongan etnis pendatang atau dalam hal ini etnis cina.1
Tapi dalam kenyataannya isu etnis sebagai komoditas politik masih kerap
terjadi. Keanekaragaman etnis di Indonesia dengan karakteristiknya masingmasing berpengaruh dalam menentukan persepsi yang berbeda terhadap
permasalahan sosial dan politik yang terjadi. Secara teoritis, etnis dapat
menjadi persoalan yang serius dalam pemilihan kepala daerah. Upaya politisasi
dengan maksud menyamakan persepsi anggota atau perkumpulan sesama etnis,
dengan memakai baju etnisitas bisa menjadi sumber masalah.
Sebagai sebuah Negara bangsa, Indonesia seakan-akan terkotak - kotak
dalam kedaerahan. Semangat primordialisme di daerah muncul dan
berkembang. Hal itu terjadi karena terpendamnya semangat nasionalisme
selama hampir 40 tahun, sejak pemerintah Orde Baru berkuasa. Ketika
1
Prihartanti, Nanik dkk, Jurnal Penelitian Humaniora, Mengurai Akar Kekerasan Etnis pada
Masyarakat Pluralis,Vol.10.No.2 Agustus 2009, 108.
18
reformasi bergulir, isu etnisitas muncul dan menguat, bahkan cenderung
meluas ditengah masyarakat yang majemuk di Indonesia.
Etnis menurut Frederich Barth menunjuk pada suatu kelompok tertentu
yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari
kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya.2
Lalu menurut John M. Echols, suku bangsa atau etnis adalah segolongan
rakyat yang masih dianggap mempunyai hubungan biologis.3
Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa etnis adalah sekumpulan
manusia yang memiliki kesamaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan
memiliki sejarah yang sama sehingga mereka memiliki keterikatan sosial
sehingga mampu menciptakan sebuah sistem budaya dan mereka terikat
didalamnya. Etnisitas juga mengandung makna luas dan sempit. Dalam arti
luas, etnisitas dicirikan dengan kesamaan karakteristik budaya dan ciri-ciri
fisik. Dalam arti sempit, etnisitas dibatasi kepada karateristik dan perbedaan
budaya. Dapat diinterpretasikan bahwa, etnisitas dalam arti luas dapat
menimbulkan masalah, karena menyandarkan terutama kepada ciri - ciri fisik
yang dapat dibedakan sebagai penanda keanggotaan anggota kelompok, dan
meminimalkan proses psikologis dan budaya yang dipercayai memiliki peran
penting dalam keanggotaan kelompok etnis.4
2
Frederik Barth, Kelompok Etnik dan Batasannya (edisi bahasa Indonesia), merupakan
terjemahan dari Ethnic Group in Boundaries, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh
Nining I. Susilo, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1988), 11.
3
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris, (Jakarta: PT.
Gramedia,1992), cet.3, 161.
4
Cokley Awad dan Heppner, dkk, Research Designin Counseling, Chapter 15, Belmont:
Isu Isu Konseptual dan Metodologis dalam Hubungan dengan Penelitian Multikultural Judul.
19
Dewasa ini, etnisitas menjadi aspek yang penting dalam hubungan
politik. Pada dasarnya, istilah ini muncul karena menyangkut gagasan tentang
pembedaan, dikotomi kami dan mereka dan pembedaan terhadap dasar asal
usul, dan karakteristik budaya. Dari perspektif politik, etnisitas berkaitan
dengan nasionalisme. Kehidupan politik suatu masyarakat sangat dipengaruhi
oleh etnisitas dan demikian pula sebaliknya etnisitas dapat mempengaruhi
kehidupan politik.
Syarat kemunculan etnisitas adalah kelompok tersebut sedikitnya paling
tidak telah menjalin hubungan, kontak dengan kelompok etnis yang lain dan
masing masing menerima gagasan dan ide ide perbedaan di antara mereka, baik
secara kultural maupun politik. Dengan kata lain, etnisitas muncul dalam
kerangka hubungan relasional, dalam interaksinya dengan dunia luar dan
komunitas kelompoknya.
Indonesia adalah suatu negara yang berbentuk multi budaya, multi etnis,
agama, ras, dan multi golongan.5 Dan terdapat kesetiaan etnis (ethnic loyalty)
yang
relatif
tinggi,
mengabaikan
faktor
etnis
dapat
menimbulkan
kesalahpahaman mengenai politik di Indonesia. Maka dapat dikatakan hal
diatas menunjukan adanya pengaruh etnisitas terhadap perilaku politik
seseorang.
Ada tiga pendekatan utama dalam melihat fenomena etnisitas ini, yang
pertama adalah pendekatan primordialisme. Primordialisme melihat fenomena
Asli: Conceptual And Methodological Issues Related Tomulticultural Research) Thomson
Brooks/Cole Disarikan oleh: Sunardi, (PLB FIP Universitas Pendidikan Indonesia, 2008), 2
5
Lihat alinea kedua Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008
Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
20
etnis dalam ketegori-kategori sosio-biologis, pendekatan ini umumnya
beranggapan bahwa kelompok-kelompok sosial dikarakteristikkan oleh
gambaran seperti kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa, dan organisasi
sosial yang memang disadari secara objektif sebagai hal yang “given”, dari
sananya,
dan
tak
bisa
dibantah.6
Yang
kedua
adalah
pendekatan
transaksionalisme. Pandangan transaksionalisme melihat kelompok etnis
sebagai suatu unit yang ditentukan batas-batas sosialnya.7 Yang ketiga ialah
pendekatan intrumentalisme. Instrumentalisme lebih menaruh perhatian pada
proses manipulasi dan mobilisasi politik manakala kelompok-kelompok sosial
tersebut tersusun atas dasar atribut-atribut awal etnisitas seperti kebangsaan,
agama, ras, dan bahasa.8
Dalam kajian antropologi, Frederik Barth mengasumsikan bahwa etnis
adalah populasi yang 1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan,
2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan
dalam suatu bentuk budaya, 3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi
sendiri, 4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok
lain dan dapat dibedakan dengan kelompok populasi lain.9
Etnisitas semakin menguat dan memperoleh tempatnya dalam dinamika
politik lokal di Indonesia seiring dengan penerapan sistem desentralisasi pasca
tumbangnya Orde Baru Tahun 1998. Dalam perkembangan di Indonesia
6
H. A. R. Tilaar, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2007), 6.
7
H. A. R. Tilaar, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, 7.
8
H. A. R. Tilaar, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, 7.
9
Frederik Barth, Kelompok Etnik dan Batasannya (edisi bahasa Indonesia), merupakan
terjemahan dari Ethnic Group in Boundaries, diterjemahkan ke dalamBahasa Indonesia oleh
Nining I. Susilo, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1988), 11.
21
etnisitas telah mengalami proses pemanipulasian oleh elite dan dijadikan
instrumen perjuangan politik dan budaya untuk memperebutkan kekuasaan. Di
tingkat lokal terutama pada masyarakat dimana sistem primordial etnis masih
kuat berpengaruh, identitas etnis masih menjadi daya tawar yang menarik.10
Ada tiga sumber kekuatan etnis yang diangggap dominan yaitu agama, suku,
dan adat. Tiga kekuatan etnisitas tersebut kemudian menjadi rebutan untuk
menguatkan posisi elit politik dengan berbagai macam cara. Kekuatan dari
ketiga aspek identitas tersebut seringkali dieksploitasi untuk kekuasaan dan
keuntungan elite politik itu sendiri.
Kekuatan-kekuatan primordial di tingkat lokal telah menjelma menjadi
kekuatan politik yang terus direproduksi dan dimainkan oleh elite sehingga
mampu mempengaruhi aktivitas politik di tingkat lokal. Kekhawatiran ini
menjadi beralasan ketika hampir semua daerah di Indonesia ditandai dengan
struktur masyarakat yang majemuk yang berpotensi bagi munculnya sentimensentimen etnis dalam kehidupan politik lokal. Sentimen lokal yang sangat kuat
dapat mengarah pada munculnya konflik horisontal yang bersifat primordial.11
Dalam bentuk yang lebih konkret, konflik primordial ini dapat berupa
diskriminasi terhadap kelompok primordial yang jumlahnya lebih sedikit
bahkan dapat juga mengarah pada berkembangnya etnosentrisme atau
semangat kedaerahan yang berlebihan. Kasus-kasus pemilihan kepala daerah
mengungkapkan semakin meluasnya penggunaan istilah “putra daerah” sebagai
10
Seminar Internasional ke IX yang mengambil topik Politik Identitas: Agama, Etnisitas,
dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik Lokal di Indonesia dan Asia Tenggara, diselenggarakan
sejak tanggal 15 sampai 17 Juli 2008, di Kampung Percik Salatiga diakses tanggal 3 November
2012.
11
Mariana Dede, Demokrasi dan Politik Desentralisasi, (Jakarta: Graha Ilmu, 2008), 84.
22
parameter etnisitas yang seringkali tidak diimbangi dengan pertimbangan
profesionalisme dan prinsip persamaan hak bagi setiap komponen masyarakat
lokal untuk berkompetisi dalam rekrutmen politik maupun rekrutmen
birokrasi.12
A.1. Identitas Etnis
Identitas berasal dari Bahasa Inggris, yakni “Identity” yang berarti ciriciri, tanda-tanda atau jati diri. Ciri-ciri ini dapat berupa ciri-ciri fisik maupun
nonfisik. Sebagai jati diri, identitas memiliki dua pengertian. Pertama, merujuk
pada sesuatu yang melekat dalam diri seseorang. Kedua, merupakan surat
keterangan atau riwayat hidup seseorang. Identitas didapat melalui dua sumber,
yakni aturan-aturan sosial yang menjelaskan definisi dari tingkah laku tertentu
dan sejarah hidup seseorang. Identitas dapat diketahui dengan cara melakukan
interaksi dengan orang lain. Interaksi ini menjadi jalan bagi seseorang untuk
mendapat pengakuan atas identitasnya dan penentu diterima atau tidaknya
seseorang dalam suatu golongan. Hank Johnston, Enrique Larana dan Joseph
R. Gusfied (1994) menyatakan bahwa identitas terbagi menjadi identitas
individu dan identitas kolektif.13
1. Identitas Individu
Individu merupakan makhluk yang independen ke dalam dirinya.
Identitas individu berkaitan dengan siapa dan diakui sebagai apa seseorang
dalam masyarakat terlepas dari ketergantungannya dengan orang lain.
Ketika bergabung dalam suatu komunitas sosial, seseorang bisa memiliki
12
Mariana Dede, Demokrasi dan Politik Desentralisasi,85.
Enrique Larana, and Joseph R. Gusfield, Identities, Grievances and New Social
Movements.(Philadelphia:Temple University Press 1994), 12-24.
13
23
satu bahkan lebih identitas individu. Identitas ini diperoleh sejak lahir dan
melalui interaksi dengan sesamanya.
2. Identitas Kolektif
Identitas ini muncul akibat adanya interaksi yang terjadi antar individu
di dalamnya. Identitas kolektif dinilai dari kesungguhan individu dalam
menjalin kerjasama dan membangun kedekatan antar sesama.
Identitas muncul dan ada dalam suatu interaksi yang dilakukan oleh
sesama individu, sesama kelompok dan lain sebagainya. Keberadaan akan
identitas seseorang akan diakui ketika seseorang melakukan interaksi
dengan sesamanya. Seseorang memerlukan identitas sebagai pengakuan
jatidiri atas drinya. Identitas diri seseorang memungkinkannya terletak pada
satu posisi yang sesuai untuk menjalankan peranannya dalam masyarakat.
Dalam menyandang identitas, seseorang butuh atribut identitas. Atribut ini
yang memberikan corak dan nantinya akan menjadikan seseorang mampu
hidup dan berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan peranannya. Atribut
identitas utamanya dilihat secara fisik dan secara non-fisik.
Sebenarnya akan lebih mudah bila kita memahami konsep identitas ini
dalam bentuk contoh. Ketika seseorang lahir, ia tentu akan mendapatkan
identitas yang bersifat fisik dan juga non-fisik. Identitas fisik yang utama
dimiliki adalah apakah ia berjenis kelamin pria atau perempuan. Sedangkan
untuk identitas non-fisik adalah nama yang ia sandang, juga status yang ada
pada keluarga mana ia dilahirkan. Dan yang termasuk
pembentuk identitas non fisik
unsur-unsur
diantaranya adalah 1) Suku bangsa, 2)
24
Agama, 3) Kebudayaan, 4) Bahasa. Dalam bahasan ini penulis fokus pada
unsur suku bangsa dan agama :
1.
Suku bangsa
Suku bangsa sebagai
unsur pembentuk identitas non fisik
adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak
lahir).14 Kekhususan dari suku bangsa dari sebuah golongan sosial
ditandai oleh ciri-cirinya, yaitu didapat begitu saja bersama dengan
kelahirannya, muncul dalam interaksi berdasarkan atas adanya
pengakuan oleh warga suku bangsa yang bersangkutan dan diakui oleh
suku bangsa lainnya.
Kesetiaan etnis atau suku di Indonesia masih tampak signifikan
dan mengabaikan faktor ini dapat menimbulkan kesalah pahaman
mengenai politik di Indonesia. Maka dapat dikatakan hal di atas
menunjukkan adanya pengaruh kesukuan atau etnis terhadap perilaku
politik seseorang.
2.
Agama
Agama adalah unsur pembentuk identitas non fisik. Agamaagama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia adalah Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu
pada masa orde baru tidak diakui sebagai agama resmi negara. Namun
sejak pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi
negara dihapuskan.
14
http://www.pustakapedia.com/2012/09/unsur-unsur-pembentuk-dentitasnasional.html
diakses tanggal 4 September 2012.
25
Agama memang tidak secara langsung mencetuskan kekerasan,
namun agama dapat berperan dalam membentuk jati diri yang
berpengaruh pada konsep diri dan mewarnai pola perilaku dan relasi
yang menumbuhkan perasaan negatif dan memicu kekerasan.
Dari pendapat diatas, dapat diketahui bahwa identitas etnis
seseorang ternyata tidak berhenti ketika seseorang itu ditasbihkan
sebagai anggota etnis tertentu melalui bukti darah/garis keturunan.
Identitas terbentuk melalui sosialisasi, baik dalam keluarga maupun
masyarakat lingkungannya. Misalnya, seorang yang terlahir sebagai
keturunan Jawa, misalnya, tidak akan merasa memiliki identitas etnis
Jawa jika sebelumnya tidak ada sosialisasi identitas terhadapnya. Faktor
utama yang mendorong terbentuknya identitas etnis adalah adanya
kesamaan-kesamaan besar (seperti pengalaman, latar belakang, adatistiadat, bahasa, dan perilaku) antar anggota kelompok etnis yang
terbentuk melalui sebuah proses sosialisasi. Kesamaan-kesamaan itu
pada awalnya akan menumbuhkan perasaan seidentitas dan pada
akhirnya akan menumbuhkan pula kesadaran bahwa mereka adalah
kelompok yang berbeda dengan kelompok lain. Dengan kata lain,
terbentuknya identitas etnis ternyata juga memerlukan kehadiran entitas
atau etnis lain sebagai komparasi dan penegas identitas etnis yang
bersangkutan.
Hal ini menegaskan kembali bahwa identitas etnis merupakan
hasil dari interaksi sosial. Kelompok yang tidak berinteraksi dengan
26
kelompok lain mungkin tidak akan menyadari bahwa mereka memiliki
kesamaan-kesamaan yang besar. Hanya dengan interaksi dengan
kelompok lain identitas etnis mereka terbangun, dan semakin intens
interaksi itu, semakin berkembang pula identitas etnisnya.
B. Teori Politik Identitas
Dalam dinamika politik di negeri ini, masalah identitas kerap dijadikan
salah satu cara untuk menjatuhkan lawan politiknya. Identitas muncul ketika
kita lahir. Seorang anak dari bapak Jawa dan Ibu Jawa, maka ia akan
menyandang identitas sebagai suku Jawa. Ketika ia lahir dari seorang ayah
Tionghoa dan ibu Tionghoa, secara otomatis ia akan mendapatkan identitas
sebagai etnis Tionghoa dan ketika seseorang lahir dari ayah dan ibu seorang
pemeluk agama Islam, seorang anak akan langsung mendapat identitas sebagai
pemeluk agama Islam. Sama juga ketika dia lahir dari pasangan Kristen, secara
identitas ia akan menjadi seorang penganut agama Kristen. Dengan kata lain
secara sederhana, yang dimaksud identitas adalah karakteristik esensial yang
menjadi basis pengenalan dari sesuatu hal. Ini adalah definisi umum yang
sederhana mengenai identitas.
Sementara Klaus Von Beyme menganalisis karakter gerakan politik
identitas dalam beberapa tahap perkembangannya mulai dari tahap:
A. Pramodern: dimana gerakan politik mengalami perpecahan fundamental,
kelompok kelompok kesukuandan kebangsaan dan memunculkan gerakan
politik yang menyeluruh. Dalam hal ini mobilisasi secara ideologis
27
dipelopori oleh para pemimpin.15
B. Modern: gerakan muncul dengan adanya pendekatan kondisional,
keterpecahan membutuhkan sumber sumber untuk dimobilisasi. Terjadi
keseimbangan mobilisasi dari atas dan partisipasi bawah,peran pemimpin
tak lagi dominan dan tujuan akhirnya adalah pembagian kekuasaan.
C. Post modern: gerakan muncul dari dinamika gerakan itu sendiri, protes
lahir dari atas berbagai macam kesempatan individual tidak ada satu
kelompok yang dominan.
Selanjutnya Politik Identitas dapat dimaknai sebagai tindakan politis
untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu
kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, yang berdasar
ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Bahasan utama politik identitas adalah
ide perbedaan, misal tentang ideologi, ras, agama, kepercayaan, bahasa, dll.
Studi ini mulai diwacanakan pada simposium di Wina, Swiss, 1994.16 Berikut
ini dua jenis aliran politik identitas:17
Anglophone fokus pada masalah hak dan klaim penduduk asli, pribumi
(indigenous people), penganutnya antara lain negara Australia, New Zealand,
Kanada.
Anglo-american fokus pada masalah pembangunan seperti gelombang
imigrasi, keberadaan kelompok-kelompok religius di masyarakat, pengaruh
15
Abdillah Ubed, Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, (Magelang
Indonesiatera, 2002), 17.
16
xa.yimg.com/kq/groups/.../Pertemuan+ke-7,+politik+identitas.ppt hal 2 diakses
tanggal 3 November 2012
17
Ibid hal 3.
28
budaya, sosial akibat munculnya gerakan perempuan, gay perdebatan tentang
kemerosotan civic culture dan bangkitnya anti-politik.
Yang mesti dipahami bahwa politik identitas bukanlah politik dalam
makna tradisional saja. Politik identitas fokus perhatiannya ialah perbedaan
identitas yang meliputi etnik, agama, dan hal lain yang dipakai untuk
menghimpun orang atas dasar kesamaan yang dimiliki.
Politik identitas juga dibangun dalam proses pemilihan kepala daerah
yang dilakukan secara intens dalam bentuk interaksi simbolik
untuk
memobilisasi dukungan massa. Penguatan identitas diri dari seorang pasangan
calon dilakukan dengan membangun identitas diri secara intens di masyarakat.
Politik identitas yang berangkat dari base on identity (identitas) dan base on
interest (kelompok kepentingan) dijadikan instrumen untuk memperoleh
simpati dari masyarakat. Selanjutnya perkembangnan politik identitas saat ini
telah mengalami pergeseran makna identitas sesungguhnya karena identitas
digunakan bukan untuk kepentingan identitas itu sendiri tetapi lebih untuk
kepentingan elite itu sendiri. Ini terlihat jelas dalam ajang pemilihan kepala
daerah DKI Jakarta tahun 2012.
29
BAB III
PROFIL DKI JAKARTA DAN PELAKSANAAN PILKADA
A. Sejarah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta
Sejarah Jakarta dimulai sekitar 500 tahun yang lalu, berawal dari
sebuah bandar kecil di daerah sungai Ciliwung.1 Kota ini belum bernama
Jakarta saat itu, namun sudah dikenal selama berabad-abad sebagai pusat
perdagangan lokal dan internasional yang sangat ramai. Menurut laporan
penulis Eropa, pada abad-16 ketika orang eropa (Portugis) datang ke nusantara
ini menyebutkan, ada sebuah kota bernama Kalapa, yang menjadi bandar
utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda, yang beribukota
Padjajaran dan terletak sekitar 40 kilometer di kota Bogor sekarang ini.2
Ketika pertama kali datang ke kota kalapa ini, rombongan besar orang-orang
eropa (Portugis) diserang oleh seorang pemuda yang bernama Fatahillah.
Pemuda ini berasal dari kerajaan yang berkuasa didaerah Kalapa kemudian
merubah sebutan Sunda dan Kalapa (Sunda Kelapa) menjadi Jayakarta yang
mempunyai arti „Kemenangan yang tercapai‘ pada tanggal 22 Juni 1527.
Peristiwa tersebut yang pada akhirnya menjadi sejarah kelahiran kota jakarta
setiap tahunnya.
Sejalan dengan berjalannya waktu, Belanda masuk dan menguasai
nusantara pada abad-16 juga turut menguasai Jayakarta pada masa itu
1
http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta diakses
tanggal 12 November 2012.
2
http://www.jakarta.go.id/web/news/1970/01/Sejarah-Jakarta diakses tanggal 13
November 2012.
30
sehingga nama Jayakarta diubah menjadi Batavia. Pemberian nama Batavia
oleh orang belanda didasari dengan adanya kemiripan di negeri Belanda yang
pada masa itu masih terdapat banyak rawa-rawa. Orang belanda mulai
membangun kanal - kanal, bendungan dan pengairan untuk melindungi
Batavia dari bencana banjir. Mereka juga membangun balai kota sebagai
pusat kota mereka saat itu.
Ketika Jepang masuk ke Indonesia dan menduduki nusantara pada
tahun 1942 – 1945, nama Batavia diubah oleh orang Jepang menjadi Jakarta.
Kota
ini
akhirnya
menjadi
tempat
pertama
dibacakan
proklamasi
kemerdekaan RI dengan pengibaran bendera merah putih oleh Ir. Soekarno
pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah Jepang menyerah tanpa syarat, karena
kota Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh sekutu dan Indonesia mendapatkan
kedaulatan secara resmi pada tahun 1949 sekaligus menjadi anggota
Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) pada tahun 1966 dengan memasukkan
Jakarta sebagai ibukota resmi.
B. Kondisi Geografis dan Demografi DKI Jakarta
Letak Jakarta adalah di bagian barat laut dari Pulau Jawa. Sebagai
Ibukota Negara Indonesia, Jakarta merupakan Kota Metropolitan terbesar di
Indonesia dan menjadi kota metropolitan ke-6 di dunia. Jakarta secara
geografis terletak di dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 8 meter diatas
permukaan laut (dpl). Dimana, dengan ketinggian ini Jakarta sering dilanda
banjir. Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah Kota administrasi dan
31
satu Kabupaten administratif, 44 kecamatan, 267 kelurahan. Kota
administrasi Jakarta Pusat dengan luas 47,90 km2, Jakarta Utara dengan luas
142,20 km2, Jakarta Barat dengan luas 126,15 km2, Jakarta Selatan dengan
luas 145,73 km2, dan Kota administrasi Jakarta Timur dengan luas 187,73
km2, serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dengan luas 11,81
km2.3
Jakarta berbatasan dengan beberapa wilayah-wilayah disekitarnya,
adapun batas-batas wilayah meliputi, sebelah utara membentang pantai
sepanjang 35 km, yang menjadi tempat bermuaranya 13 buah sungai dan 2
buah kanal. di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Kota Depok,
Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat dengan
Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang, serta di sebelah utara dengan
Laut Jawa.
Demografi atau komposisi penduduk warga DKI Jakarta yang terdiri
dari multi etnik bisa dianggap mewakili suku-suku bangsa Indonesia. Dengan
demikian, dapat dikatakan DKI Jakarta sebagai miniatur Indonesia. Dalam
Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah(RTRW) 2030,
ditetapkan penduduk DKI Jakarta hanya mencapai 12,5 juta orang. Sensus
penduduk 2010 menunjukkan angka pertumbuhan penduduk DKI Jakarta
meningkat dari 0,78 persen pada tahun 2009 menjadi 1,4 persen pada tahun
2010. Sehingga jumlah total penduduk Jakarta tahun 2010 mencapai
3
Perda No 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Tahun 2007-2012.
32
9.607.787 jiwa.4 Dan ditambah warga luar yang beraktivitas di Jakarta pada
siang hari sebanyak 2,5 juta.
Komposisi etnis penduduk Jakarta tahun 2010, tercatat setidaknya
terdapat tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta, terdiri dari orang Jawa
sebanyak 36,17 %, Betawi (28,29 %), Sunda (14,61 %), Cina (6,62 %), Batak
(3,42 %), Minangkabau (2,85 %) dan Melayu (1,88 %). Dari data tersebut,
tampak terjadi peningkatan prosentase pada suku Jawa, Betawi, Cina dan
Melayu. Namun terjadi penurunan prosentase pada suku Sunda, Batak dan
Minangkabau.
Dari sisi kepercayaan, Agama yang dianut oleh penduduk DKI Jakarta
beragam. Menurut data pemerintah DKI pada tahun 2005, komposisi
penganut agama di kota ini adalah Islam (84,4%), Kristen Protestan (6,2 %),
Katolik (5,7 %), Hindu (1,2 %), dan Buddha (3,5 %).5 Jumlah umat Buddha
terlihat lebih banyak karena umat Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya.
Angka ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 1980, dimana umat
Islam berjumlah 84,4%; diikuti oleh Protestan (6,3%), Katolik (2,9%), Hindu
dan Buddha (5,7%), serta Tidak beragama (0,3%).
Dan menurut data pemerintah DKI pada tahun 2012, komposisi
penganut agama di kota ini adalah Islam (82,93 %), Kristen Protestan
4
Badan Pusat Statistik. Tabel Hasil Sensus Penduduk 2010 Provinsi DKI JAKARTA,
diakses pada 11 November 2012.
5
Data pemerintahan tidak ikut menghitung data kependudukan kecamatan Pesanggrahan
dan Cilandak di Jakarta Selatan. Kedua kecamatan ini penduduknya adalah 300.000 jiwa atau
sekitar 4 % penduduk Jakarta. Data ini tidak mencatat para penganut agama Kong Hu CuData
pemerintahan tidak ikut menghitung data kependudukan kecamatan Pesanggrahan dan Cilandak di
Jakarta Selatan. Kedua kecamatan ini penduduknya adalah 300.000 jiwa atau sekitar 4 %
penduduk Jakarta. Data ini tidak mencatat para penganut agama Kong Hu Cu.
33
(8,74 %), Katolik (4,13 %), Hindu (0,20 %), dan Buddha (3,99 %) dan
Konghucu (0,01 %). Angka ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada tahun
2005, dimana umat Islam berjumlah 84,4%; diikuti oleh Protestan (6,2 %),
Katolik (5,7 %), Hindu (1,2 %) dan Buddha (3,5 %), Jumlah umat Buddha
terlihat lebih sedikit meski ummat Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya.
Sejak tahun 1980, sensus penduduk tidak mencatat agama yang dianut selain
keenam agama yang diakui pemerintah.6
C. Kondisi Sosial Politik DKI Jakarta
Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia, mempunyai karakteristik
tersendiri dibandingkan dengan provinsi lainnya. Kompleksitas Jakarta selalu
berkaitan erat dengan keberadaan sebagai pusat pemerintahan, faktor luas
wilayah yang terbatas dan kepadatan penduduk yang tinggi.
Krisis multi dimensi yang begitu rumit sekarang ini, membawa
konsekuensi pada kondisi masyarakat Jakarta yang rentan terhadap
munculnya gejolak sosial yang disertai dengan kekerasan, sehingga
masyarakat cenderung mencari jalan pintas dalam menyelesaikan berbagai
masalah yang dihadapi, kondisi sosial tersebut seringkali terjadi tindak
pelanggaran diluar koridor hukum yang ada, baik yang dilakukan oleh
6
http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta. Diakses pada 5 Desember
2013.
34
perorangan maupun kelompok masyarakat.7 Oleh karena itu, upaya
menanggulangi
masalah
tersebut
diperlukan
penanganan
melalui
kelembagaan secara tepat dan terencana dengan baik.
Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah otonom tidak hanya dihadapkan
pada permasalahan sosial di Jakarta, tetapi lebih banyak muncul
permasalahan yang berskala nasional yang dilakukan oleh para elit politik,
individu, golongan, atau kelompok yang tentunya mempengaruhi dinamika
kehidupan masyarakat Jakarta, sehingga diperlukan fasilitasi untuk mencapai
keharmonisan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan masyarakat
Jakarta.
Tantowi Yahya, politisi partai Golkar mengatakan suhu politik di
Jakarta semakin meningkat. Karena Agustus lalu, Jakarta melaksanakan
Pilkada langsung untuk yang kedua kali. Jika menggunakan pendekatan teori
survei yang hanya mengambil sampel dari sejumlah populasi tertentu, maka
sikap dan pilihan warga DKI dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta juga
dapat menjadi sampel secara nasional atas kecenderungan sikap pemilih pada
pemilihan Presiden tahun 2014. Ada beberapa daerah di Pulau Jawa yang
merepresentasikan pemilih di Indonesia. Namun, DKI Jakarta merupakan
daerah yang paling merepresentasikan pemilih di Indonesia. Jakarta sangat
mendekati profil Indonesia. Dilihat dari berbagai segi dan jumlah suku yang
ada di Indonesia, Jakarta memang terdiri dari banyak suku sehingga Jakarta
7
http://bakesbangpoljakarta.com/index.php?pilih=hal&id=13
November 2012.
35
diakses
tanggal
4
bisa merepresentasikan pemilih Pemilu di Indonesia.8
Momentum pemilihan kepala daerah ini tidak hanya penting bagi
proses demokrasi, tetapi juga proses pemerintahan yaitu bagaimana masingmasing komponen pemerintahan bersinergi mencapai tujuan bersama.9 Salah
satu tugas pemerintah dalam proses politik adalah menciptakan ruang yang
kondusif dan fasilitatif bagi warganya agar dapat menyalurkan aspirasi dan
kepentingannya secara aman, damai dan toleran. Di sisi lain masyarakat
bertindak proaktif dengan melakukan pengawasan dan memberikan masukan
terhadap proses tersebut.
D. Aspek Budaya di DKI Jakarta
Keragaman penduduk Ibu Kota membuat Pemprov DKI Jakarta
memberikan ruang bagi seluruh masyarakatnya untuk mengembangkan
kesenian tradisional. Kesenian tradisional menjadi daya tarik Jakarta untuk
mengundang para wisatawan. Dalam kehidupan sehari-harinya penduduk asli
DKI Jakarta (orang betawi) berada dalam anekaragam lingkungan sosial
dengan berbagai latar belakang budaya yang beranekaragam dari berbagai
penjuru nusantara.10
Jakarta merupakan provinsi yang terbuka untuk seluruh masyarakat
Indonesia. Maka dari itu pemerintah DKI Jakarta merawat dan memberikan
8
Pendapat Wasekjen DPP Partai Golkar Tantowi Yahya dikutip dari
http://international.sindonews.com/read/2012/07/16/12/658965/4-pilgub-di-jawa-jadi-barometerpilpres diakses tanggal 13 November 2012.
9
Pilkada
DKI
Jakarta:
Barometer
Resolusi
Konflik,
dikutip
dari
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=34173 diakses tanggal 14 November 2012.
10
http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta diakses
taggal 14 November 2012.
36
kesempatan
seluas-luasnya
beraktivitas.
Jakarta
kepada
memberikan
penggiat
ruang
seni
kepada
tradisional
untuk
masyarakat
untuk
mengembangkan kesenian tradisional daerah masing-masing. Hal itu
dibuktikan dengan banyaknya sanggar seni yang membina generasi muda
untuk mengembangkan budaya tradisional. Di antaranya di bidang seni tari,
vokal, dan seni pertunjukan. Dari sanggar itu, penggiat seni ini
mengembangkan bakat anak muda mengenali kesenian tradisional. Peserta
yang mempelajari kesenian tradisional ini tidak hanya dari orang satu daerah
tapi dari daerah lain.
Sebagai suatu daerah yang berawal dari sebuah bandar maka wajar
bila masyarakat Jakarta berasal dari kumpulan berbagai etnis dan bahkan
berbagai bangsa, dengan latar belakang yang berbeda-beda pula, namun
pergaulan dan pembauran antar mereka akhirnya berhasil membentuk
masyarakat baru, yang berkebudayaan baru pula. Masyarakat ini dikenal
sebagai
Masyarakat
Betawi
yang
yang
anggotanya
adalah
Orang
Betawi. Karena itulah dalam Budaya Betawi tersirat juga unsur budaya lain.
Dari segi bahasa, sekilas seperti bahasa Indonesia dengan dialek khusus.
Mungkin bahasa Melayu pernah berperan sebagai lingua franca yang katakatanya kemudian diperkaya dengan unsur-unsur kata kata bahasa dari
berbagai etnis yang ada waktu itu.
Dalam kehidupan sehari-hari penduduk asli DKI Jakarta (orang
betawi) berada dalam lingkungan sosial dengan latar belakang budaya yang
beranekaragam dari berbagai penjuru nusantara. Dalam kaitannya dengan
37
sistem kekerabatan, misalnya dalam penarikan garis keturunan, mereka
mengikuti prinsip bilineal yaitu menarik garis keturunan dari pihak ayah dan
pihak ibu. Orang betawi mengenal bermacam-macam upacara adat, mulai
sejak bayi dalam kandungan sampai kepada kematian dan sesudah kematian
itu sendiri seperti selamatan nuju bulanin atau kekeba, upacara kerik tangan
dalam rangka kelahiran, khitanan (pengantin sunat), khatam Qur‟an
(pengantin tamat), adat berpacaran bagi kaum remaja (ngelancong), upacara
perkawinan dan lain sebagainya.11 Sesuai dengan latar belakang suku betawi
ini, maka DKI Jakarta menjadi tempat bercampurnya berbagai budaya, akan
tetapi kemudian muncul budaya yang bisa disebut sebagai sesuatu yang khas
seperti tarian betawi yang memiliki ciri khas kebudayaan Melayu.
E. Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2012
Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta kali ini mempunyai kedudukan
strategis secara nasional, baik dari sisi sosial, budaya dan politik. Jakarta
adalah pusat pemerintahan, memiliki bentuk otonomi yang khusus, jumlah
penduduk yang besar, stratifikasi sosial dan prularitas yang tinggi, tingkat
pertumbuhan ekonomi juga sangat tinggi dan berbagai masalah kompleks
lainnya. Kedudukan strategis ini bukan semata karena Pilkada 2012, karena
setiap event politik besar yang terjadi di Jakarta selalu bersifat strategis secara
nasional dan internasional.
Pilkada DKI merupakan barometer demokrasi nasional dan diamati
banyak pihak, tidak saja masyarakat Indonesia, tetapi juga dunia
11
http://www.jakarta.go.id” nilai budaya betawi” diakses tanggal 4 November 2012.
38
internasional. Karena itu, diharapkan pesta rakyat ini dapat berjalan dengan
lancar, aman, tertib, jujur, adil, dan demokratis. Tentu jumlah kelas menengah
yang besar di DKI akan memberikan dampak positif bagi terselenggaranya
pilkada yang lancar. Pemilih Jakarta merupakan pemilih dengan tingkat sadar
media yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Karena itu
dari berbagai hasil survei, kecenderungan pilihan warga Jakarta lebih
digerakkan faktor figur: integritas, moralitas, komitmen, konsistensi, rekam
jejak, keberpihakannya kepada rakyat, dan kemampuan komunikasi politik.
Warga di harapkan dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik agar
Pilkada DKI dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah lain. Para elite yang
bertarung maupun tim sukses di belakangnya juga harus mempunyai
kesadaran politik yang tinggi agar kompetisi ini dapat berlangsung elegan dan
demokratis tanpa adanya penyimpangan- penyimpangan. Karena, masa depan
demokrasi Indonesia ditentukan di Jakarta. Pasalnya Jakarta adalah pusat
dinamika politik, pusat aktivitas ekonomi, dan pusat gerakan sosial dan
budaya.
Pilkada DKI Jakarta secara sosiologis politik dapat juga berpotensi
menjadi barometer pemilihan Presiden tahun 2014. Pertimbangannya, sebagai
ibu kota negara, DKI Jakarta adalah barometer politik nasional karena
posisinya sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis. Secara umum
pemilihan kepala daerah ( Pilkada ) secara langsung merupakan babak baru
dalam tatanan politik dan sekaligus tatanan ketatanegaraan di Indonesia.
Mekanisme politik demokratis ini merupakan terobosan besar setelah sekian
39
lama, sejak zaman kemerdekaan pemilihan kepala daerah dilakukan dengan
sistem perwakilan yang dinilai manipulatif terhadap prinsip-prinsip
demokrasi. Melalui Pilkada langsung ini diharapkan prosesnya semakin
partisipatif yang sekaligus diharapkan dapat menjadi acuan resolusi konflik.12
Secara yuridis, Pilkada langsung diatur dalam pasal 24 ayat (5) UU
No. 32 Tahun 2004.13 Pilkada langsung ini merupakan kelanjutan proses
reformasi politik dan kelembagaan pemerintahan yang bergulir kencang sejak
lengsernya Soeharto. Sejak itu terjadi berbagai reformasi di berbagai bidang,
misalnya lahirnya UU No22/1999 kemudian diubah menjadi UU No32/2004,
yang
disusul
oleh
PP
No6/2005
tentang
Pemilihan,
Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(selanjutnya PP No6/2005) dan beberapa pasal diubah melalui Peraturan
Pemerintah No17/2005 (selanjutnya PP No17/2005).
Dan jika terjadi konflik Pilkada, maka Mahkamah Agung diberikan
hak untuk memberikan putusan. Sebagaimana dalam Pasal 106 UU
Pemerintah Daerah disebutkan Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk
menerima, memeriksa, dan memutus sengketa hasil penetapan perhitungan
suara Pilkada & Pilwakada dan KPUD.
Tanggal 11 Juli 2012 lalu, warga DKI Jakarta memilih gubernur dan
wakil gubernur yang memimpin Ibu Kota selama lima tahun ke depan.
Berdasarkan daftar pemilih tetap terakhir, tercatat 6.962.348 orang berhak
12
http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=34173 “Pilkada DKI Jakarta: Barometer
Resolusi Konflik diakses tanggal 14 November 2012.
13
http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1634-permasalahan-dan-solusi
pemilukada.html “Permasalahan dan Solusi Pemilukada” diakses tanggal 15 November 2013.
40
memberikan suara. Pemberian suara akan dilakukan di tempat pemungutan
suara yang tersebar di 267 kelurahan, mulai dari pukul 07.00 hingga 13.00.
Ada enam pasang calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta yang akan
dipilih. Mereka adalah Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, Hendardji SoepandjiAhmad Riza Patria, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, Hidayat Nur
Wahid-Didik J Rachbini, Faisal Basri-Biem T Benjamin, dan Alex NoerdinNono Sampono.
Selanjutnya rekapitulasi suara yang dilakukan KPU DKI Jakarta
menghasilkan dua pasangan calon yaitu Jokowi-Ahok dan Foke-Nara yang
akan maju pada pemungutan suara putaran kedua. Pemungutan suara putaran
kedua diselenggarakan 20 September 2012.2012. Memasuki putaran kedua,
Partai Golongan Karya dan Partai Persatuan Pembangunan memberikan
dukungan kepada pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli. Sementara,
hasil pemilukada DKI Jakarta putaran 2 diumumkan pada Sabtu, 29
September 2012. Penetapan dilakukan sesuai dengan hasil rekapitulasi
penghitungan suara di tingkat provinsi sehari sebelumnya. Pasangan JokowiAhok meraih 2.472.130 (53,82%) suara, sedang Foke-Nara mendapatkan
2.120.815 (46,18%) suara. Dengan selisih 351.315 (7,65%) suara.
41
Tabel III. A.
Tabel Nama Kandidat dan Perolehan Suara Putaran Pertama dan Kedua
dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012
Calon
GubernurNo
Wakil
Gubernur
Joko Widodo
dan Basuki
3
Tjahaja
Purnama
Fauzi Bowo
1 dan Nachrowi
Ramli
Hidayat Nur
Wahid dan
4
Didik J.
Rachbini
Faisal Batubara
dan Biem
5
Triani
Benjamin
6
Alex Noerdin
dan Nono
Sampono
Putaran 1
Partai Politik
Pemilih
%
Putaran 2
Pemilih
%
PDIP dan Gerindra
1.847.157 42,60% 2.472.130 53,82%
PD, PAN, Hanura, PKB,
PBB, PMB, dan PKNU
1.476.648 34,05% 2.120.815 46,18%
PKS
508.113
11,72%
Independen
215.935
4,98%
Golkar, PPP, PDS, PP,
PKPB, PKDI,
RepublikaN, PPIB, Partai 202.643
Buruh, PPNUI, PNI
Marhaenisme
4,67%
Hendardji
Soepandji dan
2
Independen
Ahmad Riza
Patria
Jumlah suara sah
Jumlah suara tidak sah
Golput
Jumlah seluruh suara
Jumlah Total DPT
Sumber:Kpud DKI Jakarta
85.990
1,98%
4.336.486
4.592.945
93.047
2.555.207 36,6% 2.349.657
4.429.533
6.962.348 100% 6.996.951 100%
42
F. Sejarah dan Perkembangan Etnis Tionghoa di Daerah Khusus Ibukota
Jakarta
Isu SARA memang sulit dipisahkan dalam dunia politik di Indonesia. Isu
yang masih menarik di cermati saat ini mengenai pemilihan Gubernur DKI
Jakarta. Hal ini diperkuat dari hasil exit poll yang dilakukan Lembaga Survei
Indonesia (LSI) yang menunjukkan 100 persen warga Tionghoa Jakarta
menjatuhkan pilihan pada pasangan Jokowi-Ahok.
Memang dalam kultur masyarakat kita yang cukup heterogen baik dari
sisi suku, agama maupun ras, kehidupan politik tidak bisa dipisahkan di
dalamnya. Dan untuk pencapaian tujuan politik, SARA bisa jadi dua sisi yang
bertolak belakang, bisa positif maupun negatif terhadap tujuan isu yang
dilontarkan. Pemilihan Ahok sebagai pendamping Jokowi merupakan unsur
SARA yang “menguntungkan” untuk pemilihan Gubernur DKI Jakarta, di
mana cukup banyak potensi pemilih aktif dari kalangan bisnis yang berasal dari
etnis Tionghoa. Jokowi yang berasal dari suku Jawa juga merupakan
komoditas SARA yang cukup potensial mengambil suara dari para banyak
pendatang dari Jawa yang menetap di Ibukota. Kubu Foke pun sebenarnya
tidak kalah seru dalam menyebarkan isu SARA untuk mengambil simpati
pemilih dari etnis Betawi.
Indonesia adalah negara yang besar dan persebaran geografis orang
tionghoa sangat tidak merata. Mulai dari pulau Bangka di mana jumlahorang
Tionghoa hampir seperempat dari seluruh penduduk,sedangkan di Indonesia
bagian Timur jumlahnya kurang dari 2 persen.Di Jakarta jumlahnya sekitar 10
43
persen dari jumlah penduduk.14
Bangsa Cina mendarat di Indonesia sekitar abad ke 5, di pesisir pantai
Jawa Timur. Mereka adalah pedagang yang berlayar untuk mencari rempah
rempah, dan kemudian mereka menetap di Indonesia dan berasimilasi dengan
penduduk setempat. Para pedagang Cina ini juga diyakini membawa agama
dan tradisi Islam masuk ke Indonesia, karena berkat Jalan Sutra, agama Islam
yg berasal dari Arab, masuk ke Cina melalui India. Bahkan menurut sejarah,
beberapa orang dari Wali Songo adalah keturunan Cina seperti Sunan Ampel,
Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.
Pada waktu itu di Batavia Lama berbagai kelompok etnis yang berbeda
bermukim di daerah tersendiri atau di kampung kampung yang ada di
pinggiran, pola ini terus diberlakukan untuk orang orang Tionghoa sampai
abad ke 20, ketika pembatasan tempat tinggal mereka dihapuskan, mereka
menyebar ke penjuru kota Jakarta.15 Tahun 1680 pada jaman Kolonial Belanda,
para pedagang Tionghoa mempunyai peranan penting dalam perekonomian di
Batavia. Bahkan usaha penjajah untuk memonopoli pun terhambat dan mereka
terpaksa berbisnis dengan para pedagang Tionghoa tersebut. Akibatnya,
penjajah merasa terancam karena keberadaan orang Tionghoa secara tidak
langsung menyokong kehidupan pribumi di Indonesia, dan jika orang Tionghoa
dan pribumi bersatu untuk melawan, itu akan menjadi masalah bagi penjajah
Belanda. Karena itu, para penjajah berusaha mengadu domba pribumi dan
orang Tionghoa, dan mereka berhasil.
14
Justian, Suhandinata, WNI keturunan Tionghoa dalam stabilitas ekonomi dan politik
Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 97.
15
Lance Castles, Profil Etnik Jakarta, (Jakarta:Komunitas Bambu, 2007), 77
44
Mereka juga diberi fasilitas untuk memegang monopoli garam, pelaksana
rumah pegadaian, dan memungut pajak. Tetapi ada pembatasan-pembatasan
yang dilakukan Kompeni terhadap orang Cina, antara lain tidak dibenarkan
memiliki tanah dan dibatasi ruang geraknya.
Sejak tahun 1690, migrasi orang Cina makin meningkat hingga
jumlahnya mencapai 50% dari seluruh penduduk kota. Mereka didominasi oleh
kaum miskin yang mencoba mengadu nasib di Batavia. Namun pada tahun
1870 penduduk Cina tidak hanya tinggal di daerah Glodok , tetapi banyak yang
tinggal bersama-sama dengan orang pribumi di kampung-kampung sambil
berdagang.
Turunnya harga gula di pasar global pada tahun 1740 menyebabkan
krisis ekonomi, karena itu Belanda hendak mengikis upah gaji para pekerja
dengan cara memindahkan para kuli yang sebagian besar adalah pribumi ke
Afrika. Padahal maksud sebenarnya adalah mereka bermaksud membuang para
kuli itu ke laut lepas diam diam. Kemudian isu tersebut tersebar dan para
pedagang Tionghoa di Batavia menggalang kekuatan untuk menyerbu kapal
kapal Belanda tersebut dan pertumpahan darah pun tidak dapat dihindari.
Akibat perlawanan tersebut, Belanda mengeluarkan perintah untuk
memeriksa dan melucuti para pedagang Tionghoa, namun yg terjadi
sebenarnya adalah pembantaian besar di mana dalam 3 hari, sekitar 50.00060.000 orang Tionghoa dibunuh. Belanda juga mengeluarkan dekrit bahwa
orang Tionghoa lah yg berencana membunuh para kuli pribumi dan mereka
seolah olah bertindak sebagai penyelamat bagi orang orang pribumi. Lalu
45
Belanda juga menjanjikan imbalan bagi setiap kepala orang Tionghoa yang
berhasil dibunuh. Inilah awalnya perselisihan antara Tionghoa dan pribumi.
Nama “Kali Angke” yang ada di daerah Jakarta Utara berasal dari kata “Sungai
Merah” yang menggambarkan kejadian pembantaian saat itu di mana sungai
menjadi warna merah oleh darah orang Tionghoa.
Pada jaman pemerintahan Soeharto, orang Tionghoa di Indonesia
diharuskan mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Hal ini
merupakan sesuatu yang sangat pedih karena mereka menjadi kehilangan
marga dan nama keluarga mereka. Segala tradisi yang berbau Cina
diharamkan, dan bahasa Mandarin pun dilarang karena mereka dituduh
menyebarkan paham komunis. Pada periode 1965-1975, aparat dapat dengan
seenaknya mengeksploitasi orang Cina dengan merampok dan memperkosa
keluarga mereka. Cara satu satunya untuk bertahan hidup pada masa itu adalah
dengan menyogok. Bahkan para Tionghoa yang berjasa bagi Indonesia pun
ditangkap, dipenjara, dan dibunuh, dan hal ini menyebabkan orang Tionghoa
menjadi memisahkan diri dengan Indonesia.
Mereka tidak senang disebut sebagai warga “Indonesia” Hal ini terjadi
hingga hari ini. Walaupun generasi muda saat ini tidak seekstrim leluhurnya
dalam menjalani tradisi Tionghoa, tapi tetap mereka merasa berbeda dan
menjaga jarak dengan pribumi. Pada kerusuhan 1998, orang Tionghoa dituduh
menjadi biang krisis ekonomi dan KKN di Indonesia karena mereka sering
menggunakan sogokan untuk mendapatkan kemudahan dari pemerintah.
Ratusan ribu orang Tionghoa di Indonesia, dibunuh, diperkosa, dan milik
46
mereka dijarah massa. Hal ini menyebabkan banyak orang Tionghoa
memutuskan untuk lari dari Indonesia, dan pindah ke negara negara tetangga
seperti Australia dan New Zealand. Dan bahkan setelah reformasi, sebagian
besar memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia karena mereka
menemukan bahwa negara barat lebih menghormati hak hak mereka ketimbang
Indonesia.
Setelah reformasi, pada masa pemerintahan Gus Dur, pemerintah
mencabut larangan bagi orang Tionghoa untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan. Kwik Kian Gie dijadikan menteri perekonomian. Gus Dur juga
memberikan ijin bagi orang orang Tionghoa untuk menjalankan tradisinya
tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah. Pada masa pemerintahan
Megawati, hari raya Imlek pun ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Setelah 45 tahun dilarang di Indonesia (sejak tahun 1965), pada tahun
2000, Metro TV menjadi stasiun televisi pertama yang menggunakan bahasa
mandarin. Pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan undang undang yang
menghapus segala perbedaan antara Tionghoa dan pribumi. Dan pada tahun
2007,
pemerintahan
Susilo
Bambang
Yudoyono
meresmikan
istilah
“Tionghoa” sebagai nama bagi penduduk keturunan Cina di Indonesia.
Setelah membaca uraian di atas, dapat dilihat bahwa pada awal mulanya,
orang Tionghoa dan pribumi hidup berdampingan. Diskriminasi terjadi akibat
usaha penjajah Belanda untuk memecah belah Indonesia.
Seperti yang telah diketahui perubahan sistem politik era Orba ke era
Reformasi menjadi faktor penyebab utama keterlibatan etnis Cina Indonesia
47
dalam politik. Kedua, membawa dampak signifikan atas perubahan politik
internal etnis Cina Indonesia dari titik nol kekuasaan di era Orba, mencapai
puncak kekuasaan politik di era Reformasi. Akibatnya etnis Melayu dan etnis
Dayak terganggu kemapanan politiknya. Ketiga, respons beragam dari etnis
Melayu, etnis Dayak, dan pejabat pemerintah daerah setempat yakni sebagai
pulihnya hak politik etnis Cina Indonesia, dulu menguasai ekonomi sekarang
menguasai politik.
Di era Reformasi, yang mengusung isu HAM dan demokratisasi, sangat
menguntungkan bagi etnis Tionghoa karena dibidang ekonomi dan politik
berlaku persaingan bebas. Akibatnya penguasaan ekonomi oleh mereka
semakin dahsyat, dan terbuka pula peluang di bidang politik karena berlaku
persaingan bebas.
Dalam demokrasi yang berlandaskan persaingan bebas, siapa yang
memiliki dana yang besar, mudah mendapat dukungan publik. Popularitas dan
elektabilitas dapat dibangun dengan banyak beriklan di media terutama
Televisi, melakukan blusukan ke masyarakat bawah, melakukan bakti sosial
dengan membagi sembako dan pengobatan gratis ke masyarakat, karena
banyak sekali masyarakat yang miskin dan kurang pendidikan.
Itu sebabnya di beberapa daerah di Indonesia, calon dari etnis Tionghoa
terpilih menjadi anggota parlemen dalam pemilu parlemen ditingkat daerah dan
nasional, dan beberapa dari mereka bahkan terpilih menjadi Bupati, Walikota,
Gubernur dan Wakil Gubernur dalam pemilukada.
Kekuatan finansial yang dimiliki etnis Tionghoa yang dijadikan sandaran
48
oleh pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan kebersamaan
diantara mereka yang amat kuat sebagai satu etnis telah menghantarkan mereka
semakin berjaya di bidang ekonomi dan dalam beberapa kasus mereka berjaya
pula di bidang politik, seperti yang terlihat dalam pemilihan kepala daerah
DKI Jakarta 2012. Etnis Tionghoa atau Cina diwakili oleh Ahok.
G. Organisasi Etnis Tionghoa
Setelah rezim Orde Baru jatuh dan masuk pada era reformasi, tumbuh
kesadaran di sebagian kalangan etnis Tionghoa bahwa kedudukan mereka
terutama di bidang sosial dan politik, sangatlah lemah. Kesadaran itu pada
akhirnya membangkitkan keberanian untuk menolak kesewenang-wenangan
yang menimpa diri mereka dan menuntut keadilan sebagai warga negara
Republik Indonesia.
Kesadaran itu dimulai dengan lahirnya berbagai organisasi baik partai
politik, organisasi kemasyarakatan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Di antaranya adalah Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti),
Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Formasi,
Simpatik, Gandi, PSMTI, Perhimpunan INTI.
Lebih dari 500 organisasi berdiri di berbagai kota di Indonesia.
Organisasi-organisasi tersebut didirikan berdasarkan asal provinsi, kabupaten,
distrik, dan kampung halaman di Tiongkok, suku, marga, alumni sekolah,
kesenian, kesusasteraan, dan sebagainya. Kegiatan utama organisasi- organisasi
ini adalah menyelenggarakan pertemuan/resepsi di antara anggotanya tanpa
49
tujuan jelas. Namun, ada hal yang menggembirakan, karena akhir-akhir ini ada
beberapa organisasi yang melakukan berbagai kegiatan sosial.
Setelah Presiden KH Abdurrahman Wahid mencabut seluruh larangan
yang memojokkan etnis Tionghoa, termasuk larangan bahasa dan aksara
Tionghoa
dan
berdirinya
organisasi-organisasi
Tionghoa
tersebut,
bermunculanlah berbagai penerbitan berbahasa Mandarin baik harian maupun
majalah, seperti Indonesia Shangpao, International Daily News, Universal
Daily, Qian Dao Re Bao (Harian Nusantara), dan lain-lain. Dan ada juga juga
berbagai penerbitan seperti harian, tabloid, dan majalah antara lain Naga Pos,
Glodok Standard, Suar, Nurani, Sinergi, Suara Baru. Pada umumnya mediamedia cetak tersebut digunakan untuk mempublikasikan kegiatan-kegiatan
organisasi-organisasi Tionghoa atau kegiatan-kegiatan tokohnya.
Dihapusnya segala peraturan yang bersifat rasis dan diskriminatif oleh
Presiden Wahid, Tahun Baru Imlek dijadikan hari libur nasional oleh Presiden
Megawati dan agama Khonghucu dikembalikan menjadi agama resmi di
Indonesia oleh Presiden Yudhoyono, juga merupakan suatu kemenangan yang
diperjuangkan berbagai organisasi Tionghoa di Indonesia.
Di samping itu, masih banyak kelemahan dan kendala yang dihadapi
organisasi-organisasi Tionghoa. Di antaranya masih langkanya pemimpin yang
mempunyai integritas tinggi dan mempunyai visi jauh ke depan, serta SDM
yang memadai yang dibutuhkan untuk memimpin dan menggerakkan roda
organisasi. Kebanyakan pemimpin/ pengurus organisasi Tionghoa telah berusia
lanjut dan merupakan pengusaha-pengusaha mapan yang sudah tentu
50
mempunyai kepentingan tertentu. Untuk mengatasinya, para tokoh Tionghoa
harus dengan legowo mau melakukan peremajaan kader-kader yang akan
memimpin organisasi-organisasi tersebut.
Apabila ingin bertahan, organisasi-organisasi Tionghoa harus dijadikan
organisasi modern dan demokratis, yang mempunyai visi ,misi, dan program
yang jelas. Dengan kata lain, organisasi-organisasi Tionghoa harus membawa
seluruh anggotanya masuk ke dalam mainstream bangsa Indonesia tanpa harus
menanggalkan identitas ketionghoaannya, dan bergandeng tangan dengan
seluruh komponen bangsa lainnya membangun bangsa dan negara. Organisasiorganisasi Tionghoa harus mau membuka diri dan melakukan kerja sama
dengan organisasi-organisasi di luar kalangannya, sehingga tidak terjadi
keinklusifitasan di organisasi tersebut.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,
disahkannya Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia No
12/2006 dengan tegas menyatakan yang ada di Indonesia hanya WNI dan
WNA, dan tidak ada lagi istilah pribumi dan non pribumi. Undang-Undang
tentang Administrasi Kependudukan No 23/ 2006, yang membatalkan seluruh
UU dan Staatsblad diskriminatif peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang
telah membagi-bagi kedudukan hukum dan sosial bangsa Indonesia, telah
melengkapi penghapusan hampir seluruh peraturan yang selama ini
mendiskriminasi etnis Tionghoa.
Dilihat dari kehidupan berpolitik, kesadaran politik etnis Tionghoa mulai
tampak meningkat. Tapi, trauma masa lalu masih saja mengganjal sebagian
51
besar etnis Tionghoa, sehingga mereka selalu berusaha menghindari wilayah
politik. Namun demikian beberapa tahun terakhir mulai bermunculan anggota
DPR, DPRD, bupati, wakil bupati dari kalangan etnis Tionghoa.16 Itu menjadi
bukti nyata bahwa kaum Tionghoa dapat duduk di sistem pemerintahan
Indonesia, mengingat potensi yang sangat besar dapat disumbangkan etnis
Tionghoa dalam membangun bangsa dan negara. Seperti yang terlihat dalam
pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 lalu dengan munculnya Basuki
Tjahaya Purnama alias Ahok sebagai wakil Gubernur. Potensi etnis Tionghoa
dan organisasinya inilah yang dimanfaatkan oleh pasangan Joko Wi Ahok
untuk dapat meraih dukungan masyarakat dalam pemilihan Gubernur DKI
Jakarta tahun 2012.
Adanya kandidat dari etnis Tionghoa dalam pemilihan Gubernur DKI
Jakarta tahun 2012 karena jika dilihat dari tinjauan budaya, secara karakter
masyarakat Tionghoa kebanyakan masih menganut nilai solidaritas antar
sesama etnis yang kuat, sehingga menempatkan kandidat Tionghoa dalam peta
perpolitikan DKI hampir dipastikan akan mendapatkan dukungan mayoritas
dari masyarakat Tionghoa di DKI. Apalagi jika Jokowi jadi maju calon wakil
Presiden di pemilihan Presiden 2014, Ahok secara otomatis akan menjadi
gubernur DKI.
Jokowi dan Ahok setidaknya berhasil menggandeng 21 komunitas Jawa
di DKI untuk mendukung Jokowi. Begitu pula dengan skema Ahok, Prabowo
melihat, merangkul etnis Tionghoa merupakan syarat penting dalam
16
https://iccsg.wordpress.com/2007/09/03/seputar-kebangkitan-organisasi-tionghoa/
Oleh Benny G Setiono, pengamat sosial dan politik diakses tanggal 4 November 2012.
52
memenangkan DKI. Sebab, etnis Tionghoa harus diakui menjadi pemutar roda
perekonomian DKI yang vital, sehingga posisi tawar masyarakat etnis
Tionghoa.
Yang perlu dicermati adalah keberhasilan Jokowi – Ahok memperoleh
suara bulat dari komunitas Tionghoa di DKI. Ini menandakan bebeberapa
strategi yang dijalankan Jokowi – Ahok dalam meraih dukungan komunitas
Tionghoa DKI cukup berhasil. Salah satu strategi keberhasilan itu ada pada
kesepakatan Prabowo dengan para Taipan Tionghoa (para pemegang modal
ekonomi) untuk mengusung Ahok alias Basuki.17
Berikut alasan yang membuat para Taipan Tionghoa juga berinvestasi ke
Ahok. Seperti yang telah diketahui bersama para Taipan Tionghoa yang telah
menjadi “pelindung” bisnis para donatur utama Partai Demokrat
Seperti yang telah diketahui bahwa nama-nama dinasti Taipan Tionghoa
seperti Salim (Indofood), Riady (Lippo), Hartati Poo (Berca), Sugianto
Kusuma alias A Guan (Artha Graha), Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas), Eka
Tjipta (Sinarmas), Ted Sioeng (Nasional News), Alim Markus (Maspion) dan
sebagainya, merupakan donatur utama Partai Demokrat. Hal itu terjadi karena
telah ada kesepakatan antara para Taipan Tionghoa dengan Partai Demokrat,
yang dimotori keluarga Riady (Lippo), untuk perlindungan bisnis para Taipan
Tionghoa oleh Partai Demokrat. Maka sudah pasti jika para Taipan Tionghoa
mendapat perlindungan bisnis selama pemerintahan Partai Demokrat.
Selama 5 tahun pertama pemerintahan Demokrat (2004 – 2009), semua
17
http://politik.kompasiana.com/2012/09/13/kesepakatan-rahasia-prabowo-dan-paranaga-untuk-dukung-ahok-492596 diakses tanggal 3 November 2012.
53
masih dapat dikendalikan. Namun pada pemerintahan kedua Demokrat (2009 –
2014), mulai menunjukkan tanda-tanda jatuhnya pamor Partai Demokrat.
Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan petinggi Demokrat seperti
kasus Nazarudin dan Anas Urbaningrum,
Angelina Sondakh, Andi
Malarangeng, kemudian juga pernyataan SBY bahwa keluarga tidak akan ikut
serta dalam Pilpres 2014 sehingga Demokrat dapat dikatakan tidak memiliki
tokoh. Situasi tersebut menyebabkan para Taipan Tionghoa mulai berpikir
melakukan investasi di tempat lain, partai lain. Prabowo Subianto sebagai
pucuk tertinggi Partai Gerindra mengetahui gejala gejala hijrahnya para Taipan
Tionghoa ini. Peluang menggandeng para Taipan Tionghoa ini pun digarap
Prabowo dalam ajang pemilihan gubernur DKI 1, melalui Ahok sebagai pilot
project.18
Pada akhir 2011, Prabowo melakukan pembahasan dengan para Taipan
Tionghoa untuk ajang DKI 1. Kesepakatan yang terjadi adalah para Taipan
Tionghoa meminta Prabowo memberikan kandidat etnis Tionghoa untuk
melindungi bisnis para Taipan Tionghoa di DKI, sedangkan jika proyek ini
berhasil, Prabowo akan dapat dukungan para Taipan Tionghoa di pemilihan
umum 2014. Sebab, para Taipan Tionghoa tahu, jika mereka meninggalkan
Demokrat, maka harus ada yang mengamankan bisnisnya. Demikianlah Ahok
masuk menjadi kandidat Pilkada DKI, untuk tujuan tersebut, mengamankan
bisnis para Taipan Tionghoa.
18
http://politik.kompasiana.com/kesepakatan-rahasia-prabowo-dan-para - naga-untukddukung-ahok-492596 diakses tanggal 3 November 2012naga-untuk-dukung-ahok-492596 diakses
tanggal 3 November 2012.
54
BAB IV
SENTIMEN ETNIS DAN AGAMA DALAM PEMILIHAN KEPALA
DAERAH DKI JAKARTA 2012
A. Sentimen Etnis dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2012
Gambaran sentimen etnis memang melekat pada beberapa pasangan
yang bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta. Pasangan Fauzi Bowo dan
Nachrowi Ramli misalnya, sulit melepaskan diri dari sosok yang
mengidentifikasikan dirinya sebagai satu-satunya pasangan calon asli putra
Betawi.1
Begitu juga halnya terjadi pada pasangan Joko Widodo-Basuki
Tjahaja Purnama. Meskipun Jokowi tidak secara khusus mengidentifikasikan
diri sebagai sosok dari suku Jawa dan daerah Surakarta, sentimen itu tetap
melekat padanya. Latar belakang Jokowi sebagai Wali Kota Surakarta dinilai
banyak pihak sebagai representasi figur dari Jawa dibandingkan dengan nama
calon lain yang juga berasal dari etnis yang sama. Demikian pula sosok
wakilnya, Ahok, yang berasal dari etnis Tionghoa.
Melihat peluang berdasarkan ras, suku, agama, dan kapabilitasnya,
maka semua pasangan calon memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dari
gambaran beberapa pasangan tersebut jelas akan membelah warga Jakarta
yang beragam akan mengelompok berdasar latar belakang primordialnya.
1
http://www.perludem.or.id/index.php?option=com_k2&view=item&id=709:pilkadadki-yang-menembus-sekat diakses tanggal 13 oktober 2012.
55
Gambar IV. 1.
Tulisan Anti Cina di dinding warga Puri Indah
Sumber: Kompas.com
Isu persaingan berbau SARA menjelang Pilkada DKI putaran kedua.
Tulisan tersebut terdapat di Jalan Puri Indah Raya di dekat Sekolah Notre
Dame, Kembangan, Jakarta Barat. Ini menunjukkan adanya sentimen etnis
dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012
Gambar IV. 2.
Selebaran Pribumi Bersatu Kuasai Jakarta
Sumber: http://www.change.org/
Gambar di atas adalah selebaran yang berisi pribumi harus bersatu. Ini
menunjukkan adanya kompetisi politik berdasarkan politisasi etnis bukan
56
pada etika politik. Selayaknya sebagai masyarakat
Jakarta kita harus
berpartisipasi secara terhormat, bukan provokasi yang memecah belah.
Gambar IV. 3.
Spanduk Mau Jakarta Aman pilih Joko Wi dan Ahok
Sumber: Detik News
Nama dan foto Hercules terpampang di spanduk di atas adalah
kampanye salah satu pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta. Seperti yang
diketahui Hercules berasal dari Timor – Timur dan ingin membangkitkan
rasa primordial dalam bentuk kampanye negatif dalam pemilihan kepala
daerah DKI Jakarta 2012
Keberadaan sentimen kedaerahan dalam kontestasi politik ini disebut
oleh pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Haryadi, sebagai retorika
etnosentrisme. ”Ini retorika yang paling mudah mengaduk emosi publik
57
meskipun tidak sekuat dulu, tetapi tetap penting.”2 Hal ini terbukti dengan
beberapa aktivitas sejumlah pasangan calon yang berupaya mendekatkan
sentimen etnosentrik tersebut.
Sentimen etnis acap kali menjadi komoditas politik dan dipakai saat
memilih para calon gubernur. Isu etnis untuk sementara diperlukan untuk
mendulang suara, bila ini dilakukan, justru akan memberikan pendidikan
politik buruk bagi masyarakat.3 Isu etnis yang digulirkan ini sebetulnya
bukan secara langsung dari publik, tapi digulirkan oleh elit-elit politik.
Konstruksi elit ini kemudian diartikan oleh konsultan-konsultan politik di
belakang para cagub ini.4
Melalui penelitian berkala yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) Jakarta terkait pilkada DKI Jakarta, diketahui setelah putaran pertama
pilkada
DKI,
pemberitaan
yang
menyangkut
suku,
agama,
ras,
antargolongan (SARA) mendominasi.5 Dengan kata lain isu SARA itu
digunakan untuk mengkondisikan pilihan masyarakat pemilih terhadap
kandidat yang sedang bertarung.
Pemberitaan
yang cukup dominan pada periode
ini adalah
menyangkut SARA, yaitu pemberitaan yang menggambarkan serangan atas
identitas dari calon wakil gubernur Joko Widodo yaitu Basuki Tjahaja
2
http://www.perludem.or.id/index.php?option=com_k2&view=item&id=709:pilkada
-dki-yang-menembus-sekat diakses tanggal 13 oktober 2012.
3
Pengamat Politik LIPI Siti Zuhro dalam diskusi “Isu Primordial Pemilukada DKI:
Relevankah” di Kantor The Indonesia Institute (TII), Jakarta, Rabu (18/4/2012).Seperti dikutip
http://www.jurnas.com/news/.
4
Peneliti TII The Indonesia Institute (TII), Hanta Yudha seperti yang di kutip
http://www.jurnas.com/news/58476 yang diakses tanggal 15 November 2012.
5
http://www.beritasatu.com/pilgub-dki-2012/71955-lipi-media-ikut-menggoreng-isusara-dalam-pilkada diakses tanggal 12 Oktober 2012.
58
Purnama.6 Sementara peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Siti Zuhro menyatakan perkembangan isu SARA memang tak bisa
dilepaskan dari tanggung jawab media. Menurut dia, media berpotensi ikut
dalam upaya mengedepankan salah satu kandidat dan hal tersebut tidak
memberikan informasi yang baik bagi publik. Primodialisme, sering
digunakan oleh kandidat agar mendapat suara dari kelompok dominan.
B. Sentimen Agama dalam Pemilihan Kepala daerah DKI Jakarta 2012
Suatu kenyataan yang tak terelakkan bahwa tidak satu negara pun di
dunia yang memiliki identitas nasional yang tunggal. Tidak ada negara yang
dihuni hanya oleh satu suku bangsa. Setiap Negara selalu didukung oleh
pluralitas penduduk dari segi etnis. Pengaruh dari pluralitas etnis adalah
lahirnya pluralitas dalam aspek budaya , bahasa, agama , bahkan kelas sosial
dalam satu negara. Terlebih lagi Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan
memiliki ratusan etnis. Di sisi lain , karakteristik pluralitas Indonesia adalah
kompleksitasnya dalam hal etnis dan agama. Dari sejumlah golongan etnis
(suku bangsa) yang beragam secara umum bangsa Indonesia terbagi dalam
dua golongan besar, yakni golongan etnis pribumi dan golongan etnis
pendatang atau dalam hal ini etnis cina.7 Selain itu, berbagai etnik itu pada
umumnya menganut agama masing-masing yang satu dengan yang lainnya
6
Direktur LSPP dan Konsultan Riset, Ignatius Haryanto di gedung Dewan Pers, Jakarta,
Minggu 16-9-2012, seperti yang dikutip www.beritasatu.com yang diakses 17 November 2012.
7
Prihartanti Nanik dkk,Jurnal Penelitian Humaniora, Mengurai Akar Kekerasan Etnis
pada Masyarakat Pluralis,(Vol.10.No.2 Agustus 2009).108.
59
berbeda. Di Indonesia terdapat banyak sekali agama yang di akui oleh
negara yaitu
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Sesuai
dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang sesuai dengan kondisi bangsa
Indonesia yang demikian majemuk dan heterogen.
Dengan kemajemukan komponen bangsa Indonesia itu, di satu sisi
kita dapat menghimpun dan mengembangkan berbagai potensi bangsa yang
ada. Pluralitas budaya yang ada di tanah air misalnya, merupakan kekayaan
yang tiada tara dan harus disyukuri. Namun, di sisi lain pluralitas tradisi dan
agama, mudah sekali menimbulkan gesekan antar kelompok, yang
berpotensi menimbulkan konflik dan sentimen etnis
Pluralitas bangsa Indonesia itu ternyata sangat rentan terhadap tindak
kekerasan akibat konflik sosial terutama antar-etnik dan antar-agama, di
samping antarkelas dan antar-golongan, yang dalam pembinaan politik di
Indonesia pada zaman orde baru lazim disebut dengan SARA (suku, agama,
ras, dan antar golongan).
Gambar IV.4.
Pedangdut Rhoma Irama Terkait Ceramah yang Berbau Sentimen
Agama
Sumber: Tempo.co/
60
Gambar di atas adalah pedangdut Rhoma Irama yang menyatakan
ceramah Ramadan yang berujung pada dugaan pidana pemilihan umum
tidak berisi penghinaan maupun hasutan kepada salah satu pasangan calon.
Padahal pada saat itu isi ceramahnya menyatakan
bahwa Ahok itu
beragama Kristen dan beretnis Tionghoa. Rhoma diduga melakukan
kampanye terselubung dalam bentuk ceramah tarawih di Masjid Al-Isra,
Tanjung Duren, Jakarta Barat, Minggu, 29 Juli 2012. Dalam ceramah
berdurasi tujuh menit itu, Rhoma disangka menggunakan isu suku, agama,
dan ras untuk menyerang pasangan calon Joko Widodo dan Basuki Tjahaja
Purnama. Dalam hal ini terlihat adanya sentimen agama yang terjadi untuk
mempengaruhi pilihan publik dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta
2012.
Gambar IV. 5.
Spanduk dukungan warga Tionghoa dan umat Kristiani kepada
pasangan Cagub dan Wagub DKI Jakarta Joko Wi dan Ahok
Sumber: Tempo.co
61
Gambar diatas adalah ajakan warga tionghoa untuk mendukung
Jokowi Ahok dalam pemilihan gubernur 2012. Spanduk itu justru dibuat
oleh pihak ketiga yang berupaya memanfaatkan isu SARA untuk
mendiskreditkan salahsatu kandidat dan sangat kental dengan sentimen
agama.
Gambar IV.6.
Spanduk Laskar Kristus Bertebaran di Jakarta
Sumber: Salam online. com
Jelang Pilkada DKI putaran kedua yang akan berlangsung pada 20
September lalu, perang spanduk dan statemen terus marak. Setelah
sebelumnya beredar spanduk berisi dukungan terhadap Jokowi-Ahok
dengan latar gambar mantan preman Tanah Abang, Hercules Rosario
Marshal, kini beredar spanduk yang mengatasnamakan Laskar Kristus.
Spanduk dengan latar putih dan tulisan merah-hitam mencolok tersebut
bertuliskan, “Ayo Kita Pilih Anak Tuhan untuk Jakarta Baru”. Di bawah
sebelah kanan tertera “Laskar Kristus”. Ini menunjukkan adanya dukungan
kepada Jokowi Ahok dalam bentuk spanduk yang bernada sentimen Agama.
62
Sentimen agama merupakan perilaku manusia, khususnya umat
beragama (yang diwujudkan melalui kata, tindakan, kebijakan, keputusan)
yang merendahkan, membatasi, dan meremehkan agar orang yang berbeda
agama dan etnis mendapatkan hak-haknya serta mampu mengaktualisasi
dirinya secara utuh
Pada umumnya, faktor utama yang menunjang sentimen Agama
adalah dorongan dorongan dari pihak luar kepada seseorang. Pihak luar
yang dimaksud antara lain, para tokoh-tokoh atau pemimpin Agama, politik,
penguasa, pengusaha, pemerintah, kepala suku. Mereka adalah orang-orang
yang ingin meraih keuntungan dari suatu perbedaan. Bagi mereka,
perbedaan merupakan suatu kesalahan dan ketimpangan sosial, sehingga
perlu diperbaiki melalui pemurnian dengan cara menghilangkan atau
menghancurkan semua hal yang berbeda.
Dengan itu, mudah dimengerti jika ada perusakan tempat usaha etnis
tertentu.Tempat ibadah etnis tertentu dan membangun opini publik melalui
media massa, agar seseorang yang berbeda Agama tidak menduduki jabatan
politik di lingkungan pemerintah
Pada konteks kekinian, khususnya di Indonesia, muncul banyak
konflik baru, konflik yang terjadi di dalam wilayah negara, misalnya perang
antar suku, gerakan separatis dengan kekerasan, dan lain-lain. Sentimen
Agama terjadi secara terang-terang maupun tertutup. Secara terang-terangan
berupa, penodaan, pengrusakan, dan penghacuran fasilitas sosial-ekonomi
atau pun ibadah milik etnis serta agama-agama. Secara tertutup berupa
63
pengambilan keputusan pada lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif,
maupun legislatif, bahkan militer dan politik.
Sentimen Agama adalah bahaya laten yang sewaktu-waktu meledak
hanya karena sedikit masalah kecil dan sepele.8 Sentimen Agama juga
memungkinkan interaksi antar umat beragama penuh kemunafikan serta
ketidakjujuran.
Dan tidak bisa dibantah oleh siapapun, bahwa sentimen Agama telah
hal yang menakutkan pada situasi dan lingkungan pergaulan sosial,
hubungan antar umat agama, pengangkatan dan pemilihan pemimpin,
khususnya dalam pemilihan Gubernur di Jakarta tahun 2012.
Sentimen negatif yang berkaitan dengan agama bisa terjadi akibat
kemunculan aliran-aliran yang bersifat sekterian pada agama-agama. Pada
umumnya, sekte atau mazhab tersebut mempunyai karakteristik yang
hampir sama. Yaitu, bersifat sempalan atau skismatik dari arus utama
agama; adanya tokoh kharismatik yang menguasai bagian-bagian tertentu
dari ajaran agamanya, kemudian mengklaim diri sebagai pemegang ajaran
yang benar, sang tokoh mewariskan ajaran-ajaran kepada para pengikutnya,
sangat menekankan satu atau dua ajaran agama, sambil mengkesampingkan
yang lain jika mendapat nasehat atau masukan untuk perbaikan, maka
dianggap sebagai perlawan terhadap ajaran agama, dan oleh sebab itu patut
dilawan, bila perlu dengan kekerasan. Dengan situasi seperti itu, maka
biasanya, umat beragama
yang mempunyai sifat sentimen keagamaan,
8
Perbedaan SARA ,Anugrah sekaligus petaka, oleh Jappy Pelokia dikutip
http://jappy.8m.com/whats_new.html diakses tanggal 12 oktober 2013.
64
muncul dari sekte-sekte atau mazhab-mazhab keagamaan. Dan hampir
semua agama di dunia, mempunyai sekte atau mazhab seperti itu. Mereka
biasanya mempunyai corak keberagamaan yang tertutup dan mempunyai
militansi keagamaan sangat tinggi.Peran elite elite agama di sana sangat
jelas menempatkan agama sebagai salah satu pendorong munculnya
konflik.9
Penulis sendiri menjadi saksi pasalnya beberapa Mesjid di Jakarta
secara terang-terang melakukan pelabelan kualitas manusia berdasarkan
agamanya. Dalam beberapa kali khutbah Jumat di sebuah Masjid di Jakarta
Selatan, khatib jelas-jelas menghimbau dan melarang umat Islam untuk
memilih pemimpin atau wakil pemimpin non-muslim karena dapat
dipastikan akan merusak Islam. Sang pengkhutbah mengancam dengan
mengatasnamakan Allah bahwa siapapun yang melanggar akan masuk
neraka.
Dalam konteks komunikasi politik, eksploitasi kekurangan lawan
adalah taktik utama dalam melancarkan kampanye. Kelemahan lawan
ditonjolkan dan dimanfaatkan sedemikian rupa dalam rangka memperoleh
keunggulan diri. Dalam kasus pilkada DKI, pihak tertentu, yang jelas
penulis katakan adalah pihak dari Foke - Nara, memanfaatkan kelemahan
pasangan Jokowi - Ahok yang kebetulan salah satunya adalah non-muslim.
Dengan atribut Ahok sebagai non-muslim, pihak Foke - Nara melancarkan
serangan dengan mengatasnamakan ajaran agama bahwa memilih pemimpin
9
Zuly, Qodir, Islam Syariah vis-a-vis Negara: ideologi gerakan politik di Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 87.
65
non-muslim adalah sebuah dosa. Eksploitasi atribut agama ini terlihat
seakan-akan wajar dalam komunikasi politik.
Walaupun di dalam
komunikasi politik membenarkan eksploitasi
kelemahan lawan, namun dalam demokrasi modern, agama bukanlah
kelemahan. Mengingat agama adalah isu yang sangat sensitif bagi
masyarakat Indonesia kebanyakan, diangkatnya isu agama oleh tim sukses
Foke - Nara telah menciptakan sentimen antar-agama yang semakin
meruncing.
Dengan mengatakan bahwa kaum muslim hanya wajib memilih
pemimpin muslim, maka masyarakat non-muslim merasa telah dilucuti hak
politik nya untuk menjadi seorang pemimpin karena masyarakat Indonesia
mayoritas adalah muslim, dimana jika mayoritas muslim tersebut "haram"
untuk memilih pemimpin non-muslim, maka otomatis masyarakat nonmuslim tidak akan pernah mendapatkan posisi sebagai pemimpin.
Jika elit politik di Jakarta menggunakan isu sentimen Agama sebagai
senjata dalam meraih suara, maka bukannya tidak mungkin daerah lain akan
mengikuti cara tersebut, yang mana hal tersebut sangat berbahaya bagi
kedamaian dan keutuhan negara. Model komunikasi politik yang
mengeksploitasi agama akan merambat dengan sangat cepat, apalagi di
daerah-daerah yang sentimen keagamaannya masih sangat kuat seperti
Ambon, Maluku, Aceh, Papua dan lain sebagainya. Agama hanyalah sebuah
atribut, dia bukan substansi. Seorang yang berstatus Islam dalam KTP nya
belum tentu berperilaku Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Bahkan bisa
66
saja seorang non-muslim berperilaku lebih Islami ketimbang orang yang
punya status beragama Islam. Status Islam tidak memberikan jaminan dalam
bentuk apapun bahwa orang tersebut akan menjadi Islam dalam perilaku.
Oleh karena itu berbagai cara dilakukan, kelompok Islam akan
mengunjungi pesantren, ulama, kiai agar mendapat dukungan. Dukungan
orang Islam diharapkan mengalir tentunya. Demikian pula umat agama lain
pun akan menggalang dukungan sebagaimana saudara mereka yang
beragama Islam Demikian pula golongan tertentu akan didatangi sesuai misi
cagub yang bersangkutan.
Politisasi agama adalah politik manipulasi mengenai pemahaman dan
pengetahuan keagamaan
atau kepercayaan dengan menggunakan cara
propaganda, Indoktrinasi, kampanye, disebarluaskan, sosialisasi dalam
wilayah publik dilaporkan atau diinterpretasikan agar terjadi migrasi
pemahaman, permasalahan dan menjadikannya seolah-olah merupakan
pengetahuan keagamaan/kepercayaan, kemudian, dilakukan tekanan untuk
memengaruhi konsensus keagamaan/kepercayaan dalam upaya memasukan
kepentingan sesuatu kedalam sebuah agenda politik pemanipulasian
masyarakat atau kebijakan publik.10
Proses politisasi agama adalah dengan mengeksploitasi hal-hal yang
merupakan identitas dan wilayah personal ke arena publik. Keberagamaan
dan menganut agama adalah hak asasi karena merupakan kebebasan sipil
yang dijamin Konstitusi Indonesia dan berbagai instrumen internasional hak
10
http://id.wikipedia.org/wiki/Politisasi_agama diakses tanggal 13 okober 2012.
67
asasi manusia. Namun, di tengah dinamika politik yang tidak sehat, semua
kebebasan sipil itu bisa dieksploitasi untuk dua kepentingan, melemahkan
lawan atau untuk menghimpun dukungan baru.
Jika politisasi dipergunakan untuk melemahkan lawan politik, bisa
diduga pemicu politisasi dari seberang seorang kandidat. Sementara jika
dimaksudkan untuk menghimpun dukungan baru dan memperluas
konstituensi, politisasi agama sengaja didesain oleh diri sendiri.
Dua model kerja politisasi (identitas) agama dalam praktik politik
adalah tindakan yang mencederai demokrasi
sebuah mekanisme yang
seharusnya bekerja pada arena rasional.11 Indonesia dengan demokrasinya
memperlakukan siapa pun warga secara setara di muka hukum dan
pemerintahan. Dengan demokrasi pula, siapa pun, tanpa melihat agama,
etnis, dan ras, memiliki kesempatan sama untuk menduduki jabatan apa pun
dalam sistem politik dan pemerintahan.
Sifat buruk yang melekat dalam praktik politisasi agama adalah
stigma berdasar cara pandang dan sikap diskriminatif terhadap personal
maupun golongan, yang nantinya terjadi penghapusan hak-haknya untuk
diperlakukan setara.
11
www. nasional.kompas.com/read/2009/07/03/04523717 “Demokrasi dan Politisasi
Agama diakses tanggal 13 November 2012.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta semakin memanas dengan
ramainya isu sentimen suku, agama, dan ras (SARA) yang dimainkan
masing-masing tim sukses kedua pasangan calon gubernur dan wakil
gubernur DKI. Terutama berkembangnya isu agama yang menyudutkan salah
satu pasangan calon. Dan hal tersebut menunjukkan faktor etnis dan agama
cukup signifikan dalam mempengaruhi pilihan warga DKI terhadap calon
gubernurnya. Perbedaan etnis ini membelah pilihan di mana Foke dan Nara
lebih unggul pada pemilih Betawi, Sunda, dan Minang. Dan Jokowi-Ahok
unggul dalam etnik Jawa, Tionghoa dan lainnya. Namun ada faktor lain yaitu
terhadap pilihan Foke versus Jokowi adalah evaluasi atas kinerja Fauzi Bowo
sebagai gubernur terdahulu yang dirasa kurang memuaskan dalam memimpin
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Kemenangan
Jokowi-Ahok
dan
kekalahan
Foke-Nara
juga
menunjukan bahwa, tanpa kelembagaan yang kuat, klaim dukungan dari
partai politik tidak akan berjalan lurus dengan pilihan politik publik. Saat
partai politik
lemah, sosok figur dominan menjadi faktor kemenangan.
Fenomena Pilkada DKI Jakarta membuktikan hal itu. Publik dan media massa
memandang sosok Jokowi dan Ahok lebih merakyat, ramah, hangat, tidak
arogan, egaliter, dan lebih bisa diterima karena menyentuh kalangan
masyarakat bawah. Sedangkan Foke-Nara justru sebaliknya.
69
Lemahnya kinerja partai politik dapat terlihat dari strategi komunikasi
politik yang digunakan kandidat selama masa kampanye berlangsung. Slogan
Kotak-Kotak dan Kumis, misalnya, terlihat lebih dominan dan populer
daripada simbol-simbol partai politik yang mengusung para calon kandidat.
Lambang partai politik dan kerja sistem kelembagaannya sangat jelas terlihat
tidak menjadi sarana yang begitu diandalkan oleh kedua kandidat sebagai alat
penarik dukungan publik. Lemahnya kelembagaan partai politik juga diikuti
dengan munculnya isu SARA selama masa kampanye putaran kedua.
Munculnya propagada nasionalisme SARA sebagai alat politik, adalah bukti
yang paling mencolok tentang bagaimana lemahnya kelembagaan Parpol
penggusung kedua kandidat.
Kemenangan Jokowi Ahok tidak lepas dari peran media dalam
membentuk opini publik publik berdasarkan isi atau berita yang dimuat dan
media yang juga dalam hal tertentu mampu membentuk orang. Selain itu,
keberhasilan Jokowi-Ahok juga ditentukan oleh sikap mereka di depan media
massa. Pasangan tersebut tidak pernah tampil emosi dalam menyikapi
"serangan" dari pihak lain. Hal tersebut semakin membangun citra mereka
sebagai pemimpin yang tenang dan sabar dalam menghadapi segala
persoalan. Harus diakui, media demikian gencar mengangkat sosok Jokowi
dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012.
Media memang sangat berperan penting dalam pembentukan figur
tertentu. Media apapun baik elektronik maupun cetak memiliki peran luar
biasa dan sangat efektif. Media darling terhadap Jokowi karena banyaknya
70
opini tentang Jokowi yang lebih positif membentuk sosok Jokowi ketimbang
pemberitaan terhadap Fauzi Bowo. Dan hal tersebut nampaknya berpengaruh
kepada preferensi pemilih dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012
lalu.
B. Saran
Isu SARA dapat diterima dan sah sejauh untuk memotivasi seseorang
dalam memantapkan pilihan rasionalnya dan bukan ditujukan untuk
memperlebar perbedaan apalagi untuk menyerang kelompok lain. Isu SARA
juga hendaknya tidak dibumbui oleh kebohongan dan manipulasi. Lebih dari
itu, isu SARA seharusnya dapat pula menjadi salah satu bimbingan bagi para
setiap kandidat calon pimpinan agar lebih sensitif dan peduli bahwa
kehadirannya harus melayani, menjadi pelindung dan pemersatu semua
warganya. Dalam kehidupan masyarakat yang rasional yang menjadi
pertimbangan utama adalah misi, visi, kompetensi, kapabiltas dan kualitas
calon
pemimpin.
Rasionalitas
pertimbangan
SARA
akan
semakin
ditinggalkan dan semakin tidak mendapat tempat dalam masyarakat modern.
Apapun isu SARA yang beredar dalam masyarakat bila sebagian besar
masyarakat menggunakan rasionalitasnya maka isu tersebut tidak akan
berarti. Sebenarnya bila dipikirkan dengan rasionalilas modern isu SARA
tidak harus ditakuti. Justru dengan isu SARA itu bila bergaung dalam
kelompok tertentu maka kelompok lainnya harus menghormatinya sebagai
hak mereka. Bila hal ini dilakukan akan menjadi pelajaran demokratis yang
71
sangat berharga. Yang harus dilawan bersama adalah isu SARA negatif yang
menimbulkan konflik dan memecah belah bangsa. Maka dari itu pemilihan
Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 adalah pelajaran berharga untuk
terwujudnya masyarakat yang, rasional dan cerdas dalam berdemokrasi.
72
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdillah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis. Pergulatan Tanda Tanpa Identitas.
Magelang: Indonesiatera.
Barth, Frederik. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama 2007.
Dwyer, Denis. 1994. Ethnicity and Development: Geographical Perspective. John
Wilky & Sons Ltd.
Erikson, Erik H. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia (terj). Jakarta:
Gramedia.
Fachrudin, Achmad. 2008. Pilkada DKI 2007 Demokratisasi Civil Society.
Jakarta: PT Nusa Utama.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Handelman & Schemerhom seperti yg dikutip Tilaar. 2007. Mengindonesiakan
Etnisitas dan IdentitasBangsa Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada.
Heler, Agnes, Sonja Puntscher Riekmann (Ed). 1991. Biopolitics: The Politic of
Body, Race, and Nature. Brookfield: Avebury.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik
Lokal Di Indonesia dan Asia Tenggara” dibahas dalam seminar
internasional ke-9 di Kampung Percik Salatiga tanggal 25 July 2008
Rahardiansyah, P, Trubus. 2006 Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Universitas
Trisakti.
Samuel P Huntington, Joan Nelson. 1990. Partisipasi Politik di Negara
Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta.
Sjamsuddin, Nazaruddin. 1991. Aspek - Aspek Budaya Politik Indonesia. Jakarta :
Pustaka Utama Grafiti.
viii
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik , Jakarta: PT Grasindo 1992.
Suryadinata, Leo. 1988. Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Jakarta :
PT. Gramedia.
INTERNET
http://basyarat.wordpress.com/2011/02/07/etnisitas-dalam-eksistensi-negara
diakses tanggal 3 November 2012
http://juliefisipuns.blogspot.com/2012/08/ras-etnis-dan-agama-dalamkontestasi.html diakses tanggal 3 November 2012
http://www.percik.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=81&Item
id diakses tanggal 3 November 2012
kpujakarta.go.id/ diakses tanggal 3 November 2012
sensus penduduk tahun 2000 (BPS)
http://pro-metropolitika.blogspot.com diakses tanggal 3 November 2012
http://metro.news.viva.co.id/news/read/353712-exit-poll–pemilih-foke-danjokowi-berdasar-etnis ) diakses tanggal 5 November 2012
http://politik.kompasiana.com/2012/09/26/harapan-warga diakses tanggal 5
November 2012
http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta
diakses tanggal 12 November 2012
http://www.jakarta.go.id/web/news/1970/01/Sejarah-Jakarta diakses tanggal 13
November 2012
http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta
diakses tanggal 12 November 2012
Perda No 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Tahun 2007-2012
Badan Pusat Statistik. Tabel Hasil Sensus Penduduk 2010 Provinsi DKI
JAKARTA, diakses pada 11 November 2012
http://bakesbangpoljakarta.com/index.php?pilih=hal&id=13 diakses tanggal 4
November 2012
ix
Pilkada
DKI Jakarta: Barometer Resolusi Konflik, dikutip dari
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=34173 diakses tanggal 14
November 2012
http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta
diakses taggal 14 November 2012
Error! Hyperlink reference not valid. budaya betawi” diakses tanggal 4
November 2012
http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=34173 “Pilkada DKI Jakarta:
Barometer Resolusi Konflik diakses tanggal 14 November 2012
http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1634-permasalahan-dansolusi pemilukada.html “Permasalahan dan Solusi Pemilukada”
diakses tanggal 15 November 2013
www.kpujakarta.go.id . Peserta pilkada DKI Jakarta 2012 diakses tanggal 14
November 2013.
Tempo online diakses tanggal 3 November 2012
x
Download