IDENTITAS ETNIS DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH (STUDI PEMILIHAN GUBERNUR DKI JAKARTA TAHUN 2012) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Fikri Adrian 106033201173 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013 PERNYATAAN BEI}AS PI,AGIARISMII Slcripsi yang berjudul : IDENTITAS ETNIS DAI,AM PEMILIHAN I(EPALA DAI]RAII ( STTIDI PtrMILIFIAN GUBERNI]R DKI JAKARTA TAHI]N 2(112) l. Merupakan karya ur11 saya yang diajukan ttntuk nrementrhi salah sat!-l persyaratan rnemperoleh gelar Strata I di Universitas lslam Negeri (UfN) Syarif Iliclayatul lah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan telah saya cantttmkan sesltai dengan kerentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (tllN) Syarif I{idayatul lah Jakarta. 3. Jiha cli kemlclian hari terbLrkti bahwa karya ini bttl<an lcarya saya ataLt merupakan hasil jiplakan dari l<arya orang lain. r.traka sava bersedia menerima sanksi yang beriaku cli Universitas Islarn Negeri (tJIN) S1'ari1' Il idayatul lah Jakarta. 2$14. METERAI s,t,') TEMPEL W Ja\<arta 7 Tanrurri Ilq4BAAF2858868Sj ifwgti&,ffi Irikri Adriarr PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI Deirgan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahrva mahasisrva : Fikri Adrian Nama : NIM :106033201173 Program Studi: Ilmu Politik Telah menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul : IDENTITAS ETNIS DALAIVI PENIILIHAN KEPELA DAER-\TI ( STUDI PENIILIHAN GUBERNUR DKI JAKARTA TAHUN 2012 ) dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji. Jakarta, T Januan2014 Mengetahui, Menyetujui, Ketua Program Studi Pembimbing /^ NIP. I 96512121992$1004 1r9730921200501 I 008 PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI SKRIPSI IDENTITAS ETNIS DALAM PEI\{ILIIIAN KEPALA DAERAH (STUDI PEMILIHAN GUBERNUR DKI JAKARTA TAHUN 2OI2) Oleh Fikri Adrian 10603320r 173 Telah dipertahankan dalam ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan llmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidal.atullah Jlkarta pada tanrg:rl l6 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai s),arat nremperoleh gelar Srrjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik. Kefua, Sekretaris, NIP. I 96512121992031 004 NIP. I 9730927200501 I 008 Penguji I, .rJ/ t Survani. I\I.Si niah NIP. I 97704242007 I 02 003 NIP. I 961 05242000032 002 Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada langgal I 6 Januari 201-l Ketua Program Studi FISIP{JIN Jakarta NIP. I 96st2t2t992031 004 llt ,r ! ABSTRAK Fikri Adrian Identitas Etnis dalam Pemilihan Kepala Daerah “Studi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2012” Kepulauan Indonesia yang terdiri dari beragam etnis dan agama ini, sungguh merupakan suatu kekayaan tersendiri. Keanekaragaman budaya menghasilkan berbagai hasil budaya tingkat tinggi, seperti tarian, nyanyian, bangunan bersejarah, dan ciri khas budaya lainnya. Keanekaragaman itu menghasilkan sebuah identitas tersendiri bagi masyarakat dan wilayah. Dengan adanya identitas, pertalian dan kedekatan seseorang bisa bertambah, atau malah sebaliknya. Identitas bisa muncul melalui kesamaan etnis, ideologi, atau agama. Dalam percaturan politik di negeri ini, masalah identitas kerap dijadikan salah satu cara untuk menjelekkan atau menjatuhkan, lawan politiknya. Otonomi daerah telah memberi tempat yang seluas - luasnya kepada etnis tertentu untuk menunjukkan identitas politiknya. Identitas politik etnis dibangun oleh elite dalam melakukan tindakan-tindakan yang terkait pada kepentingan wilayah etnis. Sebagian elite memandang etnisitas sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, persaingan untuk memperoleh sumberdaya,menciptakan solidaritas dan kebersamaan,mengukuhkan dan memperkuat identitas,serta membedakan dengan kelompok etnik yang lain. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dan analisis melalui buku dan literatur lainnya. Studi ini menggambarkan partisipasi etnis dan preferensi pemilih dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Identitas yang dikonstruksi oleh elite sangat jelas bertujuan untuk menjaga dan mengamankan kehormatan etnik, dalam hal ini etnik dijadikan sebagai sumber identitas masyarakat, khususnya pada etnis Jawa, Betawi dan Tionghoa. Studi ini memberikan pemahaman tentang perilaku elite yang mengatasnamakan etnis untuk mendapatkan kembali identitas yang dianggap terkubur. Etnisitas kenyataannya digunakan untuk kepentingan politik dan etnik, karena keduanya merupakan legitimasi untuk memperoleh identitas. Inti dari persepektif di atas menyebutkan bahwa identitas etnis adalah sesuatu yang muncul tidak secara alamiah, karena keberadaannya merupakan sumber politik sekaligus sebagai instrumen artikulasi politik demi kepentingan individu dan kelompoknya. Politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan.. Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori etnisitas dan politik identitas. Dari hasil analisa menggunakan kedua teori tersebut dapat disimpulkan bahwa para elit politik dan calon kepala daerah, seolah sengaja memelihara atau memainkan politik identitas itu, untuk kepentingan politik dan hegemoni kekuasaan. Seperti kita lihat dalam realitas politik di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 lalu. Masalah identitas selalu muncul dalam setiap Pilkada. Dengan identitas tertentu, calon kandidat bisa melakukan posisi tawar, ini menunjukkan faktor etnis dan agama cukup signifikan untuk mendapatkan dukungan dan mempengaruhi pilihan masyarakat dalam Pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2012. iii KATA PENGANTAR Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang selalu mencurahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada para hamba yang serius dalam urusan dunia dan akhiratnya. Sholawat dan salam tetap terlimpahkan untuk junjungan Nabi agung Muhammad SAW sebagai penebar cinta dan kasih sayang pada semua makhluk yang dinantikan syafa’atnya di hari kiamat nanti. Rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis berikan untuk kedua orang tua penulis, Bapak Firmansyah dan Ibu Yasmeini yang tak pernah lelah mendoakan dan memotivasi penulis selama ini dan seterusnya yang selalu sabar merawat dan membimbing penulis, semoga Allah SWT selalu menurunkan segala rahmat, ampunan dan syurga-nya untuk mereka di sini (dunia) dan di sana nanti (akhirat). Saudara penulis Aditya Ramadhan yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim yaitu menuntut ilmu. Secara khusus penulis ucapkan terimakasih kepada: 1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Prof. DR. Komarudin Hidayat. MA 2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA. 3. Bapak. Ali Munhanif, Ph.D selaku Ketua Prodi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. v 4. Dosen Pembimbing sebelumnya Bapak Chaider Bamualim dan pembimbing berikutnya Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si atas bimbingannya dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Ibu Suryani, M.Si dan Ibu Haniah Hanafie, M.Si selaku penguji satu dan dua, terima kasih atas masukan dan sumbangsihnya dalam pengerjaan skripsi ini 6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis. Staf Akademik Fakultas yang selalu siap membantu mahasiswa. 7. Seluruh teman-teman yang tak pernah lelah untuk membantu dan memotivasi dalam menyelesaikan skrpisi (Agam, M. Thoriq, Aryo, Ridho Abdi Winahyu S.Sos, Ihwanuddin S. Sos, Eko, Anwar, Rifat , dll yang tak bisa disebutkan satu per satu) Semoga segala bentuk bantuan dan kontribusi yang diberikan dinilai ibadah oleh Allah SWT, Jazakumullahu Khairal Jaza.Amiin Jakarta, 7 Januari 2014 Fikri Adrian vi DAFTAR ISI LEMBAR BEBAS PLAGIARISME ............................................................ i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ............................. ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI............................. iii ABSTRAK ...................................................................................................... iv KATA PENGANTAR .................................................................................... v DAFTAR ISI ................................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................. 1 B. Pertanyaan Penelitian ................................................................... 13 C.Tujuan dan Manfaat ..................................................................... 14 D. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 14 E. Metodologi Penelitian ................................................................. 15 F. Sistematika Penulisan ................................................................... 17 BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Etnisitas .............................................................................. 18 1. Identitas Etnis........................................................................... 23 B. Teori Politik Identitas ................................................................... 27 BAB III PROFIL DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA DAN PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH A. Sejarah Daerah Khusus Ibukota Jakarta ......................................... 30 B. Kondisi Geografis dan Demografis Daerah Khusus Ibukota Jakarta 31 C. Kondisi Sosial Politik Daerah Khusus Ibukota Jakarta .................. 34 D. Aspek Budaya Daerah Khusus Ibukota Jakarta ............................ 36 E. Pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta tahun 2012...................... 38 F. Sejarah dan Perkembangan Etnis Tionghoa di Daerah Khusus Ibukota Jakarta .............................................................................................. 43 G. Organisasi Etnis Tionghoa ............................................................. 49 vii BAB IV SENTIMEN ETNIS DAN AGAMA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DKI JAKARTA TAHUN 2012 A. Sentimen Etnis dalam pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta tahun 2012.......................................................................... 55 B. Sentimen Agama dalam pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta tahun 2012.......................................................................... 59 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan dan Saran ............................................................ 69 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... viii DAFTAR TABEL DAN GAMBAR .............................................................. Tabel.I.A. ............................................................................................. 8 Tabel.II.B ............................................................................................ 9 DAFTAR GAMBAR Gambar IV.1 ....................................................................................... 56 Gambar IV.2 ....................................................................................... 56 Gambar IV.3 ....................................................................................... 57 Gambar IV.4 ....................................................................................... 60 Gambar IV.5 ....................................................................................... 61 Gambar IV.6 ....................................................................................... 62 viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan kepala daerah adalah sebuah ajang demokrasi dalam rangka mencari pemimpin yang sah. Pemilihan kepala daerah merupakan perjalanan politik panjang yang diwarnai tarik menarik antara kepentingan elite dan kehendak publik, kepentingan pusat dan daerah, atau bahkan antara kepentingan nasional dan internasional.1 Dalam setiap pelaksanaan pemilihan kepala daerah, dari tahap awal hingga akhir, mulai saat pasangan kandidat melakukan deklarasi, pendaftaran, pemeriksaan kesehatan, penetapan calon, pengumuman harta kekayaan, pengambilan nomor urut, kampanye, pemaparan visi-misi, debat kandidat, minggu tenang hingga hari pencoblosan selalu saja ada dinamika yang berkembang, seperti isu suku, agama dan politisasi agama, kampanye negatif, kisruh daftar pemilih tetap.2 Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah salah satu daerah strategis dari kancah perpolitikan di Indonesia. Realitas bahwa daerah tersebut adalah pusat pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan juga pusat kegiatan ekonomi di Indonesia semakin menguatkan posisi Jakarta. Dalam kenyataannya, 70% perputaran uang di Indonesia berada di Jakarta. Dari segi 1 Joko J. Prihatmoko, pengantar Kacung Marijan: Mendemokratiskan Pemilu : dari sistem sampai elemen teknis (Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Wahid Hasyim Semarang, 2008), 157. 2 http://politik.kompasiana.com/2012/10/12/belajar-dari-pilkada-dki-jakarta-495172.html. Diakses tanggal 13 Desember 2013. 1 politis, kunci pemenangan Presiden Republik Indonesia selanjutnya juga terletak di daerah ini. Tak dapat dipungkiri lagi Jakarta menjadi idaman bagi banyak orang, mulai dari warga di daerah lain yang ingin merubah nasib, hingga para pejabat publik untuk mendapatkan kursi kekuasaan di Jakarta, termasuk yang paling strategis kursi DKI Jakarta 1. Sehingga pergantian pemimpin di Jakarta sebagai apresiasi rakyat untuk menyerahkan mandat untuk memimpin suatu daerah sangatlah penting untuk dicermati. Karena itu masyarakat perlu pembelajaran politik dan hal tersebut akan berjalan jika kontestan pemilukada memiliki kedewasaan politik yang mapan, karena demokrasi sangat menghormati perbedaan dan sangat melarang pemaksaan dan intimidasi. Sejatinya pemilihan kepala daerah adalah sarana pendidikan politik bagi masyarakat agar dapat mengetahui bagaimana memilih pemimpin. Pemimpin diharapkan selain kharismatik juga harus mempunyai kecakapan, kemampuan, integritas, pengetahuan kepemimpinan, moralitas yang tinggi dan bertanggung jawab.3 Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan salah satu kota di Asia yang masyarakat kelas menengahnya cukup besar. Pada Tahun 2009, 13% masyarakat Jakarta berpenghasilan di atas US$ 10000.4 Jakarta juga kota dengan tingkat keberagaman penduduk yang tinggi. Seluruh suku bangsa di Indonesia dapat ditemukan di Jakarta dan keberagaman agamanya juga cukup tinggi. Namun, selayaknya daerah megapolitan lain, kota yang berpenduduk di 3 H. A. W, Wijaya, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia : Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 tentang pemerintahan daerah (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2007), 126. 4 http://forum.pasardomain.com/showthread.php?t=5667 Diakses tanggal 13 Desember 2013. 2 atas 10 juta orang ini juka menyimpan masalah-masalah klasik kriminalitas, kemiskinan, permasalahan lahan, lemahnya interaksi sosial karena sifat warga Jakarta yang semakin individualistik dan tata ruang kota yang tidak terencana dengan baik juga turut memperparah kondisi daerah ini. Dapat dikatakan kemenangan Jokowi dan Ahok, dan munculnya calon gubernur dari kalangan independen seperti Faisal Basri memberi pengaruh yang besar terhadap kehidupan politik dan pola partisipasi politik masyarakat di Daerah Khusus Ibukota Jakarta ini. Selain itu, faktor semakin meningkatnya kesadaran warga dalam berpolitik dan semakin berkembangnya jurnalisme warga di media-media sosial sangat mempengaruhi interaksi politik yang ada. Pada dasarnya, DKI Jakarta saat ini mulai mengalami pergeseran dari pola pemerintahan lokal berkembang menjadi pola pemerintahan demokrasi. Semakin berkembangnya informasi teknologi turut serta mendukung semakin kritisnya publik terhadap pemimpin mereka. Sejak tahun 1965, dimulai oleh Brigjen. Dr. H. Sumarno Sastroatmodjo, yang menggantikan Henk Ngantung, Jakarta selalu dipimpin oleh militer.5 Sumarno digantikan oleh Letjen. TNI/KKO. Ali Sadikin, kemudian berturut-turut Letjen. TNI. Tjokropranolo, Letjen. TNI. Soeprapto, Letjen. TNI. Wiyogo Atmodarminto, Letjen.TNI. Soerjadi Soedirdja dan terakhir Letjen. TNI. Soetiyoso. Pada tahun 2007, Fauzi Bowo yang menjadi Wakil Gubernur ketika Soetiyoso menjabat sebagai Gubernur, berhasil memenangkan pemilihan 5 http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Gubernur_Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta: daftar gubernur provinsi DKI Jakarta. Diakses tanggal 18 Desember 2013. 3 Gubernur, mengungguli Mayjen. Pol. (Purn.) Adang Daradjatun. 6 Yang menjadi Wakil Gubernurnya Bowo masih dari kalangan militer, yaitu Mayjen. TNI (Purn.) Priyanto. Ketika maju menjadi Calon Gubernur dalam pilkada 2012, Bowo masih didampingi oleh seorang militer, Mayjen.TNI. (Purn.) Nachrowi Ramli. Dalam pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta putaran pertama, sejumlah petinggi militer masih ikut meramaikan pesta demokrasi di Jakarta tersebut. Tercatat selain Mayjen. TNI (Purn.) Nachrowi Ramli (Cawagub dari Fauzi Bowo) yang masuk ke putaran kedua, ada Mayjen.TNI (Purn.) Hendardji Soepandji (Cagub Independen), dan Letjen. TNI (Purn.) Nono Sampono (Cawagub dari Alex Nurdin). Sejarah baru yang tercatat dengan kemenangan Jokowi-Ahok di putaran kedua pada 20 September 2012 lalu, untuk pertama kalinya sejak tahun 1965 gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jokowi maupun Ahok tidak mempunyai latar belakang militer. Hal yang patut dicermati, kemenangan Jokowi-Ahok juga menjadi sebuah bukti kemenangan masyarakat DKI Jakarta. Karena pola pemenangan gubernur-gubernur Jakarta sebelumnya sangat identik dengan peta kekuatan partai politik. Pada kenyataannya, Jokowi dan Ahok hanya didukung oleh dua parpol di Jakarta, yaitu PDIP dan Gerindra. Sebaliknya, Foke didukung oleh partai-parta penguasa di pemerintah pusat, yaitu : Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP dan Hanura. 6 www.kpujakarta.go.id :Rekap hasil pilkada DKI Jakarta tahun 2007. Diakses tanggal 14 Desember 2013. 4 Partai Politik ternyata tidak lagi efektif menjadi basis massa dan basis ideologis dari masyarakat Jakarta. Pada akhirnya, Jokowi-Ahok memperoleh kemenangan di angka 54 % dan Foke hanya 46%.7 Jika dilihat dari posisi di dalam parpol pun seharusnya Fauzi Bowo yang menjadi Dewan Pembina Partai Demokrat dan Nachrowi Ramli yang menjadi ketua Partai Demokrat di DKI Jakarta seharusnya lebih diuntungkan, mengingat Partai Demokrat pada pemilu 2009 lalu memperoleh 30% suara di DKI Jakarta. Pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta lalu akan menjadi titik balik perubahan pola hubungan situasi perpolitikan. Masyarakat yang tadinya mayoritas bersifat pasif akan bersikap lebih aktif dalam menuntut hakhaknya dan berpartisipasi dalam kebijakan-kebijakan publik. Untuk itu gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta mempunyai tanggung jawab yang cukup berat, terlebih lagi bagi masyarakat Jakarta yang memberikan hak suaranya melalui pemilihan kepala daerah secara langsung, tentu berharap perubahan yang mendasar di Jakarta dan momen pemilihan kepala daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta tahun 2012 ini diharapkan menjadi barometer demokrasi di Indonesia. Pada pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2012 tahap 1 tanggal 11 Juli 2012 ini diikuti oleh 6 peserta yaitu, no urut (1) Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli, no urut (2) Hendardji Soepandji - Ahmad Riza Patria, no urut (3) Joko Widodo - Basuki Tjahaja Purnama, no urut (4) Hidayat Nur Wahid - Didik J Rachbini , no urut (5) Faisal Basri - Biem Benyamin, no urut (6) Alex Noerdin - Nono 7 www.kpujakarta.go.id :Rekap hasil pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Diakses tanggal 14 Desember 2013. 5 Sampono sedangkan pada putaran kedua tanggal 20 September diikuti oleh pasangan Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli dan Joko Widodo - Basuki Tjahaja Purnama.8 Dan pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta putaran kedua yang diikuti oleh dua pasangan Cagub/Cawagub Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama tersebut digelar serentak di seluruh wilayah Jakarta dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) 6.996.951 pemilih.9 Pemilihan Kepala Daerah DKI tahun 2012 Jakarta ini sangat menarik untuk dicermati, terutama jika dikaitkan dengan perkembangan kehidupan demokrasi, khususnya menyangkut kredibilitas kedua kandidat pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2012 putaran kedua. Dalam pilkada ini para pemilih dihadapkan pada dua perspektif yang berbeda, yakni pertarungan antara kenyataan dan harapan. Ketercapaian unjuk kerja kandidat incumbent Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli diposisikan sebagai suatu pengalaman yang dijadikan kekuatan, sementara kandidat lain Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama melontarkan gagasan penuh harapan berupa perubahan Jakarta menjadi lebih baik. Dinamika politik yang terjadi di Indonesia diawali dengan runtuhnya orde baru yang otoriter berubah menjadi sistem politik demokratis, pada saat itu terjadi interaksi antara kekuatan eks orde baru dengan kekuatan baru yakni kelompok reformasi dalam perubahan politik di tingkat nasional yang 8 2012. www. kpujakarta.go.id, kandidat Pilkada DKI Jakarta 2012 diakses tanggal 1 November 9 http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/12/09/20/man4bvpilkada-dki-putaran-kedua, Diakses tanggal 14 Desember 2012. 6 kemudian turut pula mempengaruhi perubahan politik di tingkat lokal, dimana sistem pemerintahan sentralisasi berubah menjadi desentralisasi dengan dikeluarkannya Undang-Undang NO. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) Pasal 56 jo Pasal119 dan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang membuka peluang seluas-luasnya kepada rakyat untuk mewujudkan aspirasi daerah dengan memiliki pemimpin lokal yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah secara langsung. Desentralisasi bertujuan agar pemerintah daerah mengalami proses pemberdayaan yang signifikan dan bertanggung jawab dengan tidak lagi dibawah dominasi pemerintah pusat, pemerintah pusat hanya berperan melakukan supervisi, memantau, mengawas dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah.10Dalam bidang politik, otonomi daerah adalah hasil dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka harus dipahami sebagai suatu proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan yang tanggap terhadap kepentingan masyarakat dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada azas pertanggungjawaban publik.11 Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah diatur melalui UndangUndang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah), yang merupakan 10 11 Ryaas Rasyid, Desentralisasi & Otonomi Daerah, (Jakarta: LIPI Press, 2005), 8-9. Ryaas Rasyid, Desentralisasi & Otonomi Daerah, 10. 7 Tidak bisa dipungkiri lagi pemilihan kepala daerah secara langsung sangat erat kaitannya dengan partisipasi politik masyarakatnya dalam memberikan dukungan suara kepada partai politik dan kandidat yang ada. Pemilihan kepala daerah secara langsung ini akan menggambarkan perilaku politik dari masing-masing pemilih. Perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik.12 Dalam pembentukan perilaku politik seseorang salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan ini bisa termasuk juga lingkungan etnis seseorang itu dibesarkan. Lebih lanjut lagi jika menggunakan pendekatan struktural untuk mempelajari perilaku politik seseorang akan dikaitkan dengan suku atau etnisitasnya. Hal ini juga tidak terlepas dari budaya politik yang dianut oleh etnis tertentu, sehingga untuk mengetahui perilaku politik seseorang terlebih dahulu harus diketahui sejauh mana tingkat orientasi seseorang terhadap sistem politiknya dengan kata lain perilaku politik seseorang dapat dipahami melalui budaya politiknya. Tabel.I.A. Jumlah Suku Bangsa Provinsi DKI Jakarta, Tahun 2010. Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Barat Jakarta Selatan Jakarta Timur JAWA 258.142 635.073 715.836 816.019 1.026.571 BETAWI 301.667 257.104 677.561 659.799 SUNDA 136.154 267.234 333.343 272.069 CINA 68.186 198.248 313.178 BATAK 21.031 46.322 MINANGKABAU 33.726 MELAYU 16.315 Etnis Kep. Seribu DKI Jakarta % 1.807 3.453.448 36.17 795.826 8.765 2.700.722 28.29 383.143 3.082 1.395.025 14.61 22.979 29.767 14 632.372 6.62 56.450 56.350 146.433 59 326.645 3.42 23.948 41.955 72.440 99.918 31 272.018 2.85 28.840 46.703 36.437 50.575 352 179.222 1.88 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS). 12 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT.Grasindo, 1992), 167. 8 Tabel II.A. Jumlah Penduduk menurut Agama dan Kepercayaan, Provinsi DKI Jakarta, Tahun 2012. Agama dan Kepercayaan Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Barat Jakarta Selatan Jakarta Timur Kep. Seribu DKI Jakarta % ISLAM 857.609 1.262.516 1.643.734 1.869.682 2.434.612 23.115 8.091.268 82,93 PROTESTAN 105.354 174.340 233.211 110.310 229.275 12 852.502 8,74 50.219 81.525 136.592 56.096 78.437 1 402.870 4,13 HINDU 3.632 4.119 2.794 3.831 5.416 1 19.793 0,20 BUDHA 43.684 121.490 197.005 11.691 15.717 0 389.587 3,99 KHONGHUCU 78 181 279 60 150 0 748 0,01 KEPERCAYAAN 31 9 21 34 81 0 176 0,00 1.060.607 1.644.180 2.213.636 2.051.704 2.763.688 23.129 9.756.944 100,00 KATHOLIK JUMLAH Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta. Dengan persentase penduduk seperti di atas, tentunya menjadi penting untuk masing-masing calon untuk menyiapkan strategi dalam mengambil simpati masyarakat. Dari berbagai pemberitaan tentang pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2012 ini, dapat dilihat fenomena yang menarik dan dianggap fenomenal karena dilakukan secara berkelanjutan, massif dan mendapat sorotan yang luas dari berbagai komponen masyarakat, salah satunya ialah sentimen etnis dan agama pada pemilihan kepala daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta tahun 2012 lalu. Bercermin dari data diatas diketahui bahwa mayoritas penduduk di Jakarta adalah Jawa dan menganut agama islam tentunya menjadi. Sorotan yang tajam tertuju pada pasangan Joko Wi, yaitu Ahok yang berasal dari etnis Tionghoa dan beragama kristen. Seperti ramai diberitakan media massa, isu rasialisme makin menyeruak menjelang putaran kedua pemilihan kepala daerah 9 di Daerah Khusus Ibukota Jakarta tahun 2012. Tahapan menuju kursi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta kian panas. Para calon pemilih di putaran kedua pemilihan umum kepala daerah mendapat hasutan untuk tak memilih pasangan dengan suku dan agama tertentu.13 Hasutan beredar lewat selebaran, situs-situs jejaring sosial, forum-forum internet, dan pesan berantai lewat telepon seluler. Pemilih mendapat hasutan agar tak memilih orang non-Jakarta, apalagi berasal dari agama dan etnis tertentu, dalam hal ini etnis tionghoa. Ditambah lagi karena adanya faktor kebencian terhadap etnis Tionghoa yang sengaja ditiupkan oleh pihak pihak tertentu.14 Seperti yang kita ketahui diskriminasi dan kekerasan terhadap orangorang keturunan Tionghoa di Indonesia telah dicatat setidaknya sejak tahun 1740, ketika Pemerintah Kolonial Belanda membunuh sampai dengan 10.000 orang keturunan Tionghoa selama peristiwa Geger Pacinan.15 Kejadian terburuk terjadi pada tahun 1998, ketika ratusan orang Tionghoa tewas dan puluhan lainnya diperkosa selama kerusuhan Mei 1998. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah dampak kekuasaan mereka dalam bidang ekonomi terhadap politik dan masa depan Indonesia khususnya di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Secara formal, sebagian besar warga Cina memang tak peduli urusan politik, tapi ketidakpeduliannya justru menjadikan mereka leluasa, termasuk menjadi cukong dan investor politik. Dari sinilah kekuasaannya 13 http://www.republika.co.id/berita/menuju-jakarta-1/news/12/07/18/m7cge5-isu-sara-mulaimengelinding. Diakses tanggal 16 Desember 2012. 14 http://politik.kompasiana.com/2012/08/25/sara-di-pilgub-dki-jakarta-etnis-tionghoa-jadisasaran-488547.Diakses tanggal 16 Desember 2012. 15 http://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi_terhadap_Tionghoa-Indonesia. Diakses tanggal 18 Desember 2013. 10 makin menggurita dan membuat segan banyak pihak. Dan hal tersebut menjadi sorotan tajam dalam pemilihan kepala daerah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2012. Beberapa gambaran isu sentimen etnis dalam pemilihan kepala daerah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tahun 2012 ini dalam menjaring pemilih telah diukur dalam berbagai lembaga survey. Salah satunya exit poll yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Cosulting (SMRC) berdasarkan suku, ras, survei yang digelar Saiful Mujani Research and Consulting pada 20 September 2012 menemukan hanya etnis Betawi yang mayoritas memilih pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (75,1 persen), namun etnis-etnis lain sebagian besar memilih pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama dan Etnis Jawa, 63,3 persen memilih JokowiAhok. Kemudian 50,5 persen etnis Sunda juga memilih pasangan yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya ini. Paling tinggi, 92,5 persen etnis China dan 93,1 persen etnis Batak memilih Jokowi-Ahok kemudian 74,1 persen etnis Minang juga pilih Jokowi-Ahok, sementara mayoritas etnis-etnis lain (76,3 persen) juga memilih pasangan Joko Wi-Ahok.16 Indonesia adalah negara yang terdiri dari multi identitas dan etnisitas, politik perbedaan tumbuh subur dan memicu munculnya perjuangan kelompok atau golongan yang terpinggirkan yang mencoba eksis dan bertahan. Dapat dipahami pertumbuhan masyarakat di suatu tempat menggambarkan bahwa 16 http://metro.news.viva.co.id-exit-poll–pemilih-foke-dan-jokowi-berdasar-etnis diakses tanggal 5 November 2012. 11 semakin kompleksnya masyarakat, di satu sisi juga memperlihatkan adanya persaingan yang semakin ketat dari yang lainnya, kebutuhan yang semakin banyak jumlah ragamnya telah meningkatkan keperluan dan kesabaran berorganisasi masyarakat Indonesia.17 Dalam konstelasi politik di Indonesia terkadang muncul kekerasan dalam interaksi antaretnis, apalagi menyangkut aspek kepemimpinan, perebutan kekuasaan, yang merupakan sifat egois masing-masing identitas etnis. Sebagai contoh adalah ketika terjadinya perubahan oleh reformasi politik yang kemudian memunculkan ketegangan etnis dalam pemilihan kepala daerah. Dalam kontek demokrasi lokal seperti pemilihan kepala daerah untuk pemilihan gubernur yang dilaksanakan di daerah, maka pemilih lebih cenderung memilih kandidat yang berasal dari etnis yang sama artinya etnis dari kandidat yang ada akan mempengaruhi pilihan pemilih. Slogan yang sering didengungkan separti putra daerah menjadi isu yang sering mewarnai kampanye para kandidat. Dalam menggalang solidaritas etnis dalam pemilihan kepala daerah, peranan tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama serta organisasi sosial masyarakat sangat signifikan perannya sebagai suatu gerakan kepentingan politik mereka, simbol simbol dan berbagai atribut etnis dijadikan obyek kepentingan politik. Banyak etnis di Indonesia dengan sendirinya akan melahirkan berbagai organisasi yang bersifat primordial atau kesukuan dan atas dasar persamaan keyakinan dan bertujuan menjalin kekerabatan diantara para anggotanya. Organisasi tersebut sebagai wadah untuk menyatukan para 17 Arbi Sanit, Swadaya Politik Masyarakat: Telaah tentang keterlibatan organisasi masyarakat, (Jakarta:C.V Rajawali, 1985), 40. 12 anggota khususnya di DKI Jakarta seperti ormas betawi seperti FBR dan organisasi massa etnis tionghoa. Etnisitas menjadi isu yang hangat dalam pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2012 karena ada keyakinan di benak para kandidat atau tim suksesnya bahwa cara termudah dan paling efektif menarik hati orang untuk memilih seorang kandidat adalah dengan cara membangkitkan ikatan emosional pemilih pada calon. Ikatan emosional mana yang bisa melebihi kecintaan seseorang pada identitas primordialnya seperti suku, agama, ras, dan golongan atau komunitas diantara semua identitas ini, suku-agama dan ras menjadi identitas yang paling kuat sehingga mudah menyulut emosi dan dapat dimobilisasi. Dalam ras, agama dan etnisitas ada stigmatisasi dan pelabelan yang pada akhirnya akan berujung pada kebencian, kecurigaan, kecemburuan sosial, inklusi dan eksklusi. Oleh karena itu peran pemilih pada pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2012 sangat erat kaitannya dengan identitas etnis. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, maka berikut adalah rumusan masalah dalam penelitian ini. Bagaimana sentimen etnis dan agama digunakan, baik itu secara positif atau secara negatif terhadap para pemilih untuk dapat meraih simpati publik dalam pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2012 ? 13 C. Tujuan dan Manfaat Secara umum, karya ilmiah ini bertujuan untuk untuk mengetahui perilaku politik dari etnis tertentu dalam hubungannya dengan preferensi calon kepala daerahnya, sekaligus untuk melihat pola-pola mobilisasi etnis dalam pemilihan Gubernur secara langsung di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2012. Melalui analisis ini diharapkan dapat menjadi sebuah parameter perilaku antar etnis dalam ajang pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2012. Tujuan teoritis dalam penelitian ini adalah untuk mengembangkan serta memperkaya studi ilmu politik dalam bidang etnisitas dan menjadi referensi bagi pemilih. Manfaat akademis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan bagi penelitian selanjutnya sehingga mampu memberikan hasil yang lebih berkualitas tentang identitas etnis dan politik identitas dalam pemilihan Gubernur Jakarta 2012. Sedangkan untuk manfaat kritik sosial, penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi pemilih agar memilih pemimpin berdasar kapasitasnya. Dengan sadarnya masyarakat tentang etnisitas, konflik etnis di Indonesia pada umumnya dan Jakarta pada khususnya,dalam ajang pemilihan kepala daerah bisa diminimalisir. D. Tinjauan Pustaka Karya ilmiah maupun hasil penelitian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur lainnya, baik berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan permasalahan yang sedang dibahas oleh seorang penulis. 14 Sebuah karya ilmiah setidaknya membutuhkan acuan yang menopang karya ilmiah yang sedang dikerjakannya. Penulis telah melakukan beberapa penelusuran dan menemukan beberapa penelitian dengan mengangkat topik mengenai peran politik etnis dan identitas etnis dalam Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Terdapat beberapa penelitian terdahulu mengenai identitas etnis yang menurut penulis paling mendekati fokus. Adalah Skripsi yang berjudul Etnis Betawi Dalam Politik (Studi Tentang Peran Forkabi Dalam Pilkada DKI Jakarta 2007) karya Ahmad Rikih mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang menguraikan tentang peran organisasi massa kedaerahan, dalam hal ini Forkabi dan FBR yang sangat erat kaitannya dengan pemilihan kepala daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta tahun 2007. E. Metodologi Penelitian E.1 Tipe Penelitian Tipe penelitian yang diaplikasikan dalam karya tulis ini adalah penelitian kualitatif, di mana prosedur penelitian ini menghasilkan data deskriptif analisis, yakni menggambarkan dan menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti, dalam hal ini pengaruh etnis dalam pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibukota ( DKI ) Jakarta 2012. 15 E.2 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian tentunya penulis akan membutuhkan data pendukung sebagai bahan penelitian atau penulisannya, untuk itu dalam hal ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : 1. Dokumentasi18, adalah mencari atau mengumpulkan data mengenai hal-hal atau masalah yang akan diteliti melalui literatur buku, catatan, transkrip, surat kabar, majalah, agenda, internet, dan bisa saja dari notulen rapat. E.3 Teknik Analisis Analisis jika diartikan secara harfiah berarti uraian, namun yang dimaksud analisis dalam hal ini adalah suatu bahasan dengan cara mengolah data, kemudian memberikan interprestasi terhadap data-data yang terkumpul dan tersusun. Dalam penelitian ini teknik analisis yang digunakan adalah deskriptif analisis, yakni pembahasan yang bertujuan untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah terkumpul dan tersusun dengan cara memberikan interprestasi terhadap data tersebut. Dengan menggunakan teknik deskriptif analisis penulis berharap agar dapat memberikan gambaran yang sistematis, faktual, dan komprehensif mengenai mobilisasi etnis dalam pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibukota( DKI) Jakarta 2012. Sebagai pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan buku Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi 2012, yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 18 Prof.Dr Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 2006), hal. 231. 16 F. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan penulis dalam menyusun skripsi ini, maka penulis akan menguraikan secara singkat dari sistematika pembahasan dalam susunan penulisan skripsi ini. Sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut : Bab I penulisan skripsi ini terdiri dari latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II penulisan skripsi ini berdasarkan teori etnisitas dan politik identitas. Bab III penulisan skripsi ini menjelaskan profil wilayah DKI Jakarta termasuk kondisi demografis dan geografis serta pelaksanaan pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2012. Bab IV membahas mengenai sentimen etnis dan agama, dan dampaknya terhadap pemilih dalam pemilihan Gubernur Jakarta 2012. Pada bab V membahas kesimpulan dan saran yang dibutuhkan dalam penulisan karya ilmiah ini. 17 BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Etnisitas Sejarah Indonesia ditandai dengan adanya keragaman adat dan etnis dalam konteks persatuan sehingga konsepsi ini menjadi model bagaimana etnisitas menjadi penanda pluralitas, namun dibingkai dalam semangat persatuan. Dari sejumlah golongan etnis (suku bangsa) yang beragam secara umum bangsa Indonesia terbagi dalam dua golongan besar, yakni golongan etnis pribumi dan golongan etnis pendatang atau dalam hal ini etnis cina.1 Tapi dalam kenyataannya isu etnis sebagai komoditas politik masih kerap terjadi. Keanekaragaman etnis di Indonesia dengan karakteristiknya masingmasing berpengaruh dalam menentukan persepsi yang berbeda terhadap permasalahan sosial dan politik yang terjadi. Secara teoritis, etnis dapat menjadi persoalan yang serius dalam pemilihan kepala daerah. Upaya politisasi dengan maksud menyamakan persepsi anggota atau perkumpulan sesama etnis, dengan memakai baju etnisitas bisa menjadi sumber masalah. Sebagai sebuah Negara bangsa, Indonesia seakan-akan terkotak - kotak dalam kedaerahan. Semangat primordialisme di daerah muncul dan berkembang. Hal itu terjadi karena terpendamnya semangat nasionalisme selama hampir 40 tahun, sejak pemerintah Orde Baru berkuasa. Ketika 1 Prihartanti, Nanik dkk, Jurnal Penelitian Humaniora, Mengurai Akar Kekerasan Etnis pada Masyarakat Pluralis,Vol.10.No.2 Agustus 2009, 108. 18 reformasi bergulir, isu etnisitas muncul dan menguat, bahkan cenderung meluas ditengah masyarakat yang majemuk di Indonesia. Etnis menurut Frederich Barth menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya.2 Lalu menurut John M. Echols, suku bangsa atau etnis adalah segolongan rakyat yang masih dianggap mempunyai hubungan biologis.3 Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa etnis adalah sekumpulan manusia yang memiliki kesamaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang sama sehingga mereka memiliki keterikatan sosial sehingga mampu menciptakan sebuah sistem budaya dan mereka terikat didalamnya. Etnisitas juga mengandung makna luas dan sempit. Dalam arti luas, etnisitas dicirikan dengan kesamaan karakteristik budaya dan ciri-ciri fisik. Dalam arti sempit, etnisitas dibatasi kepada karateristik dan perbedaan budaya. Dapat diinterpretasikan bahwa, etnisitas dalam arti luas dapat menimbulkan masalah, karena menyandarkan terutama kepada ciri - ciri fisik yang dapat dibedakan sebagai penanda keanggotaan anggota kelompok, dan meminimalkan proses psikologis dan budaya yang dipercayai memiliki peran penting dalam keanggotaan kelompok etnis.4 2 Frederik Barth, Kelompok Etnik dan Batasannya (edisi bahasa Indonesia), merupakan terjemahan dari Ethnic Group in Boundaries, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Nining I. Susilo, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1988), 11. 3 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris, (Jakarta: PT. Gramedia,1992), cet.3, 161. 4 Cokley Awad dan Heppner, dkk, Research Designin Counseling, Chapter 15, Belmont: Isu Isu Konseptual dan Metodologis dalam Hubungan dengan Penelitian Multikultural Judul. 19 Dewasa ini, etnisitas menjadi aspek yang penting dalam hubungan politik. Pada dasarnya, istilah ini muncul karena menyangkut gagasan tentang pembedaan, dikotomi kami dan mereka dan pembedaan terhadap dasar asal usul, dan karakteristik budaya. Dari perspektif politik, etnisitas berkaitan dengan nasionalisme. Kehidupan politik suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh etnisitas dan demikian pula sebaliknya etnisitas dapat mempengaruhi kehidupan politik. Syarat kemunculan etnisitas adalah kelompok tersebut sedikitnya paling tidak telah menjalin hubungan, kontak dengan kelompok etnis yang lain dan masing masing menerima gagasan dan ide ide perbedaan di antara mereka, baik secara kultural maupun politik. Dengan kata lain, etnisitas muncul dalam kerangka hubungan relasional, dalam interaksinya dengan dunia luar dan komunitas kelompoknya. Indonesia adalah suatu negara yang berbentuk multi budaya, multi etnis, agama, ras, dan multi golongan.5 Dan terdapat kesetiaan etnis (ethnic loyalty) yang relatif tinggi, mengabaikan faktor etnis dapat menimbulkan kesalahpahaman mengenai politik di Indonesia. Maka dapat dikatakan hal diatas menunjukan adanya pengaruh etnisitas terhadap perilaku politik seseorang. Ada tiga pendekatan utama dalam melihat fenomena etnisitas ini, yang pertama adalah pendekatan primordialisme. Primordialisme melihat fenomena Asli: Conceptual And Methodological Issues Related Tomulticultural Research) Thomson Brooks/Cole Disarikan oleh: Sunardi, (PLB FIP Universitas Pendidikan Indonesia, 2008), 2 5 Lihat alinea kedua Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. 20 etnis dalam ketegori-kategori sosio-biologis, pendekatan ini umumnya beranggapan bahwa kelompok-kelompok sosial dikarakteristikkan oleh gambaran seperti kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa, dan organisasi sosial yang memang disadari secara objektif sebagai hal yang “given”, dari sananya, dan tak bisa dibantah.6 Yang kedua adalah pendekatan transaksionalisme. Pandangan transaksionalisme melihat kelompok etnis sebagai suatu unit yang ditentukan batas-batas sosialnya.7 Yang ketiga ialah pendekatan intrumentalisme. Instrumentalisme lebih menaruh perhatian pada proses manipulasi dan mobilisasi politik manakala kelompok-kelompok sosial tersebut tersusun atas dasar atribut-atribut awal etnisitas seperti kebangsaan, agama, ras, dan bahasa.8 Dalam kajian antropologi, Frederik Barth mengasumsikan bahwa etnis adalah populasi yang 1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, 2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, 3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, 4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dengan kelompok populasi lain.9 Etnisitas semakin menguat dan memperoleh tempatnya dalam dinamika politik lokal di Indonesia seiring dengan penerapan sistem desentralisasi pasca tumbangnya Orde Baru Tahun 1998. Dalam perkembangan di Indonesia 6 H. A. R. Tilaar, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), 6. 7 H. A. R. Tilaar, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, 7. 8 H. A. R. Tilaar, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, 7. 9 Frederik Barth, Kelompok Etnik dan Batasannya (edisi bahasa Indonesia), merupakan terjemahan dari Ethnic Group in Boundaries, diterjemahkan ke dalamBahasa Indonesia oleh Nining I. Susilo, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1988), 11. 21 etnisitas telah mengalami proses pemanipulasian oleh elite dan dijadikan instrumen perjuangan politik dan budaya untuk memperebutkan kekuasaan. Di tingkat lokal terutama pada masyarakat dimana sistem primordial etnis masih kuat berpengaruh, identitas etnis masih menjadi daya tawar yang menarik.10 Ada tiga sumber kekuatan etnis yang diangggap dominan yaitu agama, suku, dan adat. Tiga kekuatan etnisitas tersebut kemudian menjadi rebutan untuk menguatkan posisi elit politik dengan berbagai macam cara. Kekuatan dari ketiga aspek identitas tersebut seringkali dieksploitasi untuk kekuasaan dan keuntungan elite politik itu sendiri. Kekuatan-kekuatan primordial di tingkat lokal telah menjelma menjadi kekuatan politik yang terus direproduksi dan dimainkan oleh elite sehingga mampu mempengaruhi aktivitas politik di tingkat lokal. Kekhawatiran ini menjadi beralasan ketika hampir semua daerah di Indonesia ditandai dengan struktur masyarakat yang majemuk yang berpotensi bagi munculnya sentimensentimen etnis dalam kehidupan politik lokal. Sentimen lokal yang sangat kuat dapat mengarah pada munculnya konflik horisontal yang bersifat primordial.11 Dalam bentuk yang lebih konkret, konflik primordial ini dapat berupa diskriminasi terhadap kelompok primordial yang jumlahnya lebih sedikit bahkan dapat juga mengarah pada berkembangnya etnosentrisme atau semangat kedaerahan yang berlebihan. Kasus-kasus pemilihan kepala daerah mengungkapkan semakin meluasnya penggunaan istilah “putra daerah” sebagai 10 Seminar Internasional ke IX yang mengambil topik Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik Lokal di Indonesia dan Asia Tenggara, diselenggarakan sejak tanggal 15 sampai 17 Juli 2008, di Kampung Percik Salatiga diakses tanggal 3 November 2012. 11 Mariana Dede, Demokrasi dan Politik Desentralisasi, (Jakarta: Graha Ilmu, 2008), 84. 22 parameter etnisitas yang seringkali tidak diimbangi dengan pertimbangan profesionalisme dan prinsip persamaan hak bagi setiap komponen masyarakat lokal untuk berkompetisi dalam rekrutmen politik maupun rekrutmen birokrasi.12 A.1. Identitas Etnis Identitas berasal dari Bahasa Inggris, yakni “Identity” yang berarti ciriciri, tanda-tanda atau jati diri. Ciri-ciri ini dapat berupa ciri-ciri fisik maupun nonfisik. Sebagai jati diri, identitas memiliki dua pengertian. Pertama, merujuk pada sesuatu yang melekat dalam diri seseorang. Kedua, merupakan surat keterangan atau riwayat hidup seseorang. Identitas didapat melalui dua sumber, yakni aturan-aturan sosial yang menjelaskan definisi dari tingkah laku tertentu dan sejarah hidup seseorang. Identitas dapat diketahui dengan cara melakukan interaksi dengan orang lain. Interaksi ini menjadi jalan bagi seseorang untuk mendapat pengakuan atas identitasnya dan penentu diterima atau tidaknya seseorang dalam suatu golongan. Hank Johnston, Enrique Larana dan Joseph R. Gusfied (1994) menyatakan bahwa identitas terbagi menjadi identitas individu dan identitas kolektif.13 1. Identitas Individu Individu merupakan makhluk yang independen ke dalam dirinya. Identitas individu berkaitan dengan siapa dan diakui sebagai apa seseorang dalam masyarakat terlepas dari ketergantungannya dengan orang lain. Ketika bergabung dalam suatu komunitas sosial, seseorang bisa memiliki 12 Mariana Dede, Demokrasi dan Politik Desentralisasi,85. Enrique Larana, and Joseph R. Gusfield, Identities, Grievances and New Social Movements.(Philadelphia:Temple University Press 1994), 12-24. 13 23 satu bahkan lebih identitas individu. Identitas ini diperoleh sejak lahir dan melalui interaksi dengan sesamanya. 2. Identitas Kolektif Identitas ini muncul akibat adanya interaksi yang terjadi antar individu di dalamnya. Identitas kolektif dinilai dari kesungguhan individu dalam menjalin kerjasama dan membangun kedekatan antar sesama. Identitas muncul dan ada dalam suatu interaksi yang dilakukan oleh sesama individu, sesama kelompok dan lain sebagainya. Keberadaan akan identitas seseorang akan diakui ketika seseorang melakukan interaksi dengan sesamanya. Seseorang memerlukan identitas sebagai pengakuan jatidiri atas drinya. Identitas diri seseorang memungkinkannya terletak pada satu posisi yang sesuai untuk menjalankan peranannya dalam masyarakat. Dalam menyandang identitas, seseorang butuh atribut identitas. Atribut ini yang memberikan corak dan nantinya akan menjadikan seseorang mampu hidup dan berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan peranannya. Atribut identitas utamanya dilihat secara fisik dan secara non-fisik. Sebenarnya akan lebih mudah bila kita memahami konsep identitas ini dalam bentuk contoh. Ketika seseorang lahir, ia tentu akan mendapatkan identitas yang bersifat fisik dan juga non-fisik. Identitas fisik yang utama dimiliki adalah apakah ia berjenis kelamin pria atau perempuan. Sedangkan untuk identitas non-fisik adalah nama yang ia sandang, juga status yang ada pada keluarga mana ia dilahirkan. Dan yang termasuk pembentuk identitas non fisik unsur-unsur diantaranya adalah 1) Suku bangsa, 2) 24 Agama, 3) Kebudayaan, 4) Bahasa. Dalam bahasan ini penulis fokus pada unsur suku bangsa dan agama : 1. Suku bangsa Suku bangsa sebagai unsur pembentuk identitas non fisik adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir).14 Kekhususan dari suku bangsa dari sebuah golongan sosial ditandai oleh ciri-cirinya, yaitu didapat begitu saja bersama dengan kelahirannya, muncul dalam interaksi berdasarkan atas adanya pengakuan oleh warga suku bangsa yang bersangkutan dan diakui oleh suku bangsa lainnya. Kesetiaan etnis atau suku di Indonesia masih tampak signifikan dan mengabaikan faktor ini dapat menimbulkan kesalah pahaman mengenai politik di Indonesia. Maka dapat dikatakan hal di atas menunjukkan adanya pengaruh kesukuan atau etnis terhadap perilaku politik seseorang. 2. Agama Agama adalah unsur pembentuk identitas non fisik. Agamaagama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa orde baru tidak diakui sebagai agama resmi negara. Namun sejak pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan. 14 http://www.pustakapedia.com/2012/09/unsur-unsur-pembentuk-dentitasnasional.html diakses tanggal 4 September 2012. 25 Agama memang tidak secara langsung mencetuskan kekerasan, namun agama dapat berperan dalam membentuk jati diri yang berpengaruh pada konsep diri dan mewarnai pola perilaku dan relasi yang menumbuhkan perasaan negatif dan memicu kekerasan. Dari pendapat diatas, dapat diketahui bahwa identitas etnis seseorang ternyata tidak berhenti ketika seseorang itu ditasbihkan sebagai anggota etnis tertentu melalui bukti darah/garis keturunan. Identitas terbentuk melalui sosialisasi, baik dalam keluarga maupun masyarakat lingkungannya. Misalnya, seorang yang terlahir sebagai keturunan Jawa, misalnya, tidak akan merasa memiliki identitas etnis Jawa jika sebelumnya tidak ada sosialisasi identitas terhadapnya. Faktor utama yang mendorong terbentuknya identitas etnis adalah adanya kesamaan-kesamaan besar (seperti pengalaman, latar belakang, adatistiadat, bahasa, dan perilaku) antar anggota kelompok etnis yang terbentuk melalui sebuah proses sosialisasi. Kesamaan-kesamaan itu pada awalnya akan menumbuhkan perasaan seidentitas dan pada akhirnya akan menumbuhkan pula kesadaran bahwa mereka adalah kelompok yang berbeda dengan kelompok lain. Dengan kata lain, terbentuknya identitas etnis ternyata juga memerlukan kehadiran entitas atau etnis lain sebagai komparasi dan penegas identitas etnis yang bersangkutan. Hal ini menegaskan kembali bahwa identitas etnis merupakan hasil dari interaksi sosial. Kelompok yang tidak berinteraksi dengan 26 kelompok lain mungkin tidak akan menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan-kesamaan yang besar. Hanya dengan interaksi dengan kelompok lain identitas etnis mereka terbangun, dan semakin intens interaksi itu, semakin berkembang pula identitas etnisnya. B. Teori Politik Identitas Dalam dinamika politik di negeri ini, masalah identitas kerap dijadikan salah satu cara untuk menjatuhkan lawan politiknya. Identitas muncul ketika kita lahir. Seorang anak dari bapak Jawa dan Ibu Jawa, maka ia akan menyandang identitas sebagai suku Jawa. Ketika ia lahir dari seorang ayah Tionghoa dan ibu Tionghoa, secara otomatis ia akan mendapatkan identitas sebagai etnis Tionghoa dan ketika seseorang lahir dari ayah dan ibu seorang pemeluk agama Islam, seorang anak akan langsung mendapat identitas sebagai pemeluk agama Islam. Sama juga ketika dia lahir dari pasangan Kristen, secara identitas ia akan menjadi seorang penganut agama Kristen. Dengan kata lain secara sederhana, yang dimaksud identitas adalah karakteristik esensial yang menjadi basis pengenalan dari sesuatu hal. Ini adalah definisi umum yang sederhana mengenai identitas. Sementara Klaus Von Beyme menganalisis karakter gerakan politik identitas dalam beberapa tahap perkembangannya mulai dari tahap: A. Pramodern: dimana gerakan politik mengalami perpecahan fundamental, kelompok kelompok kesukuandan kebangsaan dan memunculkan gerakan politik yang menyeluruh. Dalam hal ini mobilisasi secara ideologis 27 dipelopori oleh para pemimpin.15 B. Modern: gerakan muncul dengan adanya pendekatan kondisional, keterpecahan membutuhkan sumber sumber untuk dimobilisasi. Terjadi keseimbangan mobilisasi dari atas dan partisipasi bawah,peran pemimpin tak lagi dominan dan tujuan akhirnya adalah pembagian kekuasaan. C. Post modern: gerakan muncul dari dinamika gerakan itu sendiri, protes lahir dari atas berbagai macam kesempatan individual tidak ada satu kelompok yang dominan. Selanjutnya Politik Identitas dapat dimaknai sebagai tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, yang berdasar ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Bahasan utama politik identitas adalah ide perbedaan, misal tentang ideologi, ras, agama, kepercayaan, bahasa, dll. Studi ini mulai diwacanakan pada simposium di Wina, Swiss, 1994.16 Berikut ini dua jenis aliran politik identitas:17 Anglophone fokus pada masalah hak dan klaim penduduk asli, pribumi (indigenous people), penganutnya antara lain negara Australia, New Zealand, Kanada. Anglo-american fokus pada masalah pembangunan seperti gelombang imigrasi, keberadaan kelompok-kelompok religius di masyarakat, pengaruh 15 Abdillah Ubed, Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, (Magelang Indonesiatera, 2002), 17. 16 xa.yimg.com/kq/groups/.../Pertemuan+ke-7,+politik+identitas.ppt hal 2 diakses tanggal 3 November 2012 17 Ibid hal 3. 28 budaya, sosial akibat munculnya gerakan perempuan, gay perdebatan tentang kemerosotan civic culture dan bangkitnya anti-politik. Yang mesti dipahami bahwa politik identitas bukanlah politik dalam makna tradisional saja. Politik identitas fokus perhatiannya ialah perbedaan identitas yang meliputi etnik, agama, dan hal lain yang dipakai untuk menghimpun orang atas dasar kesamaan yang dimiliki. Politik identitas juga dibangun dalam proses pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara intens dalam bentuk interaksi simbolik untuk memobilisasi dukungan massa. Penguatan identitas diri dari seorang pasangan calon dilakukan dengan membangun identitas diri secara intens di masyarakat. Politik identitas yang berangkat dari base on identity (identitas) dan base on interest (kelompok kepentingan) dijadikan instrumen untuk memperoleh simpati dari masyarakat. Selanjutnya perkembangnan politik identitas saat ini telah mengalami pergeseran makna identitas sesungguhnya karena identitas digunakan bukan untuk kepentingan identitas itu sendiri tetapi lebih untuk kepentingan elite itu sendiri. Ini terlihat jelas dalam ajang pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2012. 29 BAB III PROFIL DKI JAKARTA DAN PELAKSANAAN PILKADA A. Sejarah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Sejarah Jakarta dimulai sekitar 500 tahun yang lalu, berawal dari sebuah bandar kecil di daerah sungai Ciliwung.1 Kota ini belum bernama Jakarta saat itu, namun sudah dikenal selama berabad-abad sebagai pusat perdagangan lokal dan internasional yang sangat ramai. Menurut laporan penulis Eropa, pada abad-16 ketika orang eropa (Portugis) datang ke nusantara ini menyebutkan, ada sebuah kota bernama Kalapa, yang menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda, yang beribukota Padjajaran dan terletak sekitar 40 kilometer di kota Bogor sekarang ini.2 Ketika pertama kali datang ke kota kalapa ini, rombongan besar orang-orang eropa (Portugis) diserang oleh seorang pemuda yang bernama Fatahillah. Pemuda ini berasal dari kerajaan yang berkuasa didaerah Kalapa kemudian merubah sebutan Sunda dan Kalapa (Sunda Kelapa) menjadi Jayakarta yang mempunyai arti „Kemenangan yang tercapai‘ pada tanggal 22 Juni 1527. Peristiwa tersebut yang pada akhirnya menjadi sejarah kelahiran kota jakarta setiap tahunnya. Sejalan dengan berjalannya waktu, Belanda masuk dan menguasai nusantara pada abad-16 juga turut menguasai Jayakarta pada masa itu 1 http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta diakses tanggal 12 November 2012. 2 http://www.jakarta.go.id/web/news/1970/01/Sejarah-Jakarta diakses tanggal 13 November 2012. 30 sehingga nama Jayakarta diubah menjadi Batavia. Pemberian nama Batavia oleh orang belanda didasari dengan adanya kemiripan di negeri Belanda yang pada masa itu masih terdapat banyak rawa-rawa. Orang belanda mulai membangun kanal - kanal, bendungan dan pengairan untuk melindungi Batavia dari bencana banjir. Mereka juga membangun balai kota sebagai pusat kota mereka saat itu. Ketika Jepang masuk ke Indonesia dan menduduki nusantara pada tahun 1942 – 1945, nama Batavia diubah oleh orang Jepang menjadi Jakarta. Kota ini akhirnya menjadi tempat pertama dibacakan proklamasi kemerdekaan RI dengan pengibaran bendera merah putih oleh Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah Jepang menyerah tanpa syarat, karena kota Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh sekutu dan Indonesia mendapatkan kedaulatan secara resmi pada tahun 1949 sekaligus menjadi anggota Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) pada tahun 1966 dengan memasukkan Jakarta sebagai ibukota resmi. B. Kondisi Geografis dan Demografi DKI Jakarta Letak Jakarta adalah di bagian barat laut dari Pulau Jawa. Sebagai Ibukota Negara Indonesia, Jakarta merupakan Kota Metropolitan terbesar di Indonesia dan menjadi kota metropolitan ke-6 di dunia. Jakarta secara geografis terletak di dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 8 meter diatas permukaan laut (dpl). Dimana, dengan ketinggian ini Jakarta sering dilanda banjir. Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah Kota administrasi dan 31 satu Kabupaten administratif, 44 kecamatan, 267 kelurahan. Kota administrasi Jakarta Pusat dengan luas 47,90 km2, Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2, Jakarta Barat dengan luas 126,15 km2, Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2, dan Kota administrasi Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2, serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dengan luas 11,81 km2.3 Jakarta berbatasan dengan beberapa wilayah-wilayah disekitarnya, adapun batas-batas wilayah meliputi, sebelah utara membentang pantai sepanjang 35 km, yang menjadi tempat bermuaranya 13 buah sungai dan 2 buah kanal. di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat dengan Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang, serta di sebelah utara dengan Laut Jawa. Demografi atau komposisi penduduk warga DKI Jakarta yang terdiri dari multi etnik bisa dianggap mewakili suku-suku bangsa Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan DKI Jakarta sebagai miniatur Indonesia. Dalam Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah(RTRW) 2030, ditetapkan penduduk DKI Jakarta hanya mencapai 12,5 juta orang. Sensus penduduk 2010 menunjukkan angka pertumbuhan penduduk DKI Jakarta meningkat dari 0,78 persen pada tahun 2009 menjadi 1,4 persen pada tahun 2010. Sehingga jumlah total penduduk Jakarta tahun 2010 mencapai 3 Perda No 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012. 32 9.607.787 jiwa.4 Dan ditambah warga luar yang beraktivitas di Jakarta pada siang hari sebanyak 2,5 juta. Komposisi etnis penduduk Jakarta tahun 2010, tercatat setidaknya terdapat tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta, terdiri dari orang Jawa sebanyak 36,17 %, Betawi (28,29 %), Sunda (14,61 %), Cina (6,62 %), Batak (3,42 %), Minangkabau (2,85 %) dan Melayu (1,88 %). Dari data tersebut, tampak terjadi peningkatan prosentase pada suku Jawa, Betawi, Cina dan Melayu. Namun terjadi penurunan prosentase pada suku Sunda, Batak dan Minangkabau. Dari sisi kepercayaan, Agama yang dianut oleh penduduk DKI Jakarta beragam. Menurut data pemerintah DKI pada tahun 2005, komposisi penganut agama di kota ini adalah Islam (84,4%), Kristen Protestan (6,2 %), Katolik (5,7 %), Hindu (1,2 %), dan Buddha (3,5 %).5 Jumlah umat Buddha terlihat lebih banyak karena umat Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya. Angka ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 1980, dimana umat Islam berjumlah 84,4%; diikuti oleh Protestan (6,3%), Katolik (2,9%), Hindu dan Buddha (5,7%), serta Tidak beragama (0,3%). Dan menurut data pemerintah DKI pada tahun 2012, komposisi penganut agama di kota ini adalah Islam (82,93 %), Kristen Protestan 4 Badan Pusat Statistik. Tabel Hasil Sensus Penduduk 2010 Provinsi DKI JAKARTA, diakses pada 11 November 2012. 5 Data pemerintahan tidak ikut menghitung data kependudukan kecamatan Pesanggrahan dan Cilandak di Jakarta Selatan. Kedua kecamatan ini penduduknya adalah 300.000 jiwa atau sekitar 4 % penduduk Jakarta. Data ini tidak mencatat para penganut agama Kong Hu CuData pemerintahan tidak ikut menghitung data kependudukan kecamatan Pesanggrahan dan Cilandak di Jakarta Selatan. Kedua kecamatan ini penduduknya adalah 300.000 jiwa atau sekitar 4 % penduduk Jakarta. Data ini tidak mencatat para penganut agama Kong Hu Cu. 33 (8,74 %), Katolik (4,13 %), Hindu (0,20 %), dan Buddha (3,99 %) dan Konghucu (0,01 %). Angka ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 2005, dimana umat Islam berjumlah 84,4%; diikuti oleh Protestan (6,2 %), Katolik (5,7 %), Hindu (1,2 %) dan Buddha (3,5 %), Jumlah umat Buddha terlihat lebih sedikit meski ummat Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya. Sejak tahun 1980, sensus penduduk tidak mencatat agama yang dianut selain keenam agama yang diakui pemerintah.6 C. Kondisi Sosial Politik DKI Jakarta Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia, mempunyai karakteristik tersendiri dibandingkan dengan provinsi lainnya. Kompleksitas Jakarta selalu berkaitan erat dengan keberadaan sebagai pusat pemerintahan, faktor luas wilayah yang terbatas dan kepadatan penduduk yang tinggi. Krisis multi dimensi yang begitu rumit sekarang ini, membawa konsekuensi pada kondisi masyarakat Jakarta yang rentan terhadap munculnya gejolak sosial yang disertai dengan kekerasan, sehingga masyarakat cenderung mencari jalan pintas dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi, kondisi sosial tersebut seringkali terjadi tindak pelanggaran diluar koridor hukum yang ada, baik yang dilakukan oleh 6 http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta. Diakses pada 5 Desember 2013. 34 perorangan maupun kelompok masyarakat.7 Oleh karena itu, upaya menanggulangi masalah tersebut diperlukan penanganan melalui kelembagaan secara tepat dan terencana dengan baik. Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah otonom tidak hanya dihadapkan pada permasalahan sosial di Jakarta, tetapi lebih banyak muncul permasalahan yang berskala nasional yang dilakukan oleh para elit politik, individu, golongan, atau kelompok yang tentunya mempengaruhi dinamika kehidupan masyarakat Jakarta, sehingga diperlukan fasilitasi untuk mencapai keharmonisan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan masyarakat Jakarta. Tantowi Yahya, politisi partai Golkar mengatakan suhu politik di Jakarta semakin meningkat. Karena Agustus lalu, Jakarta melaksanakan Pilkada langsung untuk yang kedua kali. Jika menggunakan pendekatan teori survei yang hanya mengambil sampel dari sejumlah populasi tertentu, maka sikap dan pilihan warga DKI dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta juga dapat menjadi sampel secara nasional atas kecenderungan sikap pemilih pada pemilihan Presiden tahun 2014. Ada beberapa daerah di Pulau Jawa yang merepresentasikan pemilih di Indonesia. Namun, DKI Jakarta merupakan daerah yang paling merepresentasikan pemilih di Indonesia. Jakarta sangat mendekati profil Indonesia. Dilihat dari berbagai segi dan jumlah suku yang ada di Indonesia, Jakarta memang terdiri dari banyak suku sehingga Jakarta 7 http://bakesbangpoljakarta.com/index.php?pilih=hal&id=13 November 2012. 35 diakses tanggal 4 bisa merepresentasikan pemilih Pemilu di Indonesia.8 Momentum pemilihan kepala daerah ini tidak hanya penting bagi proses demokrasi, tetapi juga proses pemerintahan yaitu bagaimana masingmasing komponen pemerintahan bersinergi mencapai tujuan bersama.9 Salah satu tugas pemerintah dalam proses politik adalah menciptakan ruang yang kondusif dan fasilitatif bagi warganya agar dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingannya secara aman, damai dan toleran. Di sisi lain masyarakat bertindak proaktif dengan melakukan pengawasan dan memberikan masukan terhadap proses tersebut. D. Aspek Budaya di DKI Jakarta Keragaman penduduk Ibu Kota membuat Pemprov DKI Jakarta memberikan ruang bagi seluruh masyarakatnya untuk mengembangkan kesenian tradisional. Kesenian tradisional menjadi daya tarik Jakarta untuk mengundang para wisatawan. Dalam kehidupan sehari-harinya penduduk asli DKI Jakarta (orang betawi) berada dalam anekaragam lingkungan sosial dengan berbagai latar belakang budaya yang beranekaragam dari berbagai penjuru nusantara.10 Jakarta merupakan provinsi yang terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia. Maka dari itu pemerintah DKI Jakarta merawat dan memberikan 8 Pendapat Wasekjen DPP Partai Golkar Tantowi Yahya dikutip dari http://international.sindonews.com/read/2012/07/16/12/658965/4-pilgub-di-jawa-jadi-barometerpilpres diakses tanggal 13 November 2012. 9 Pilkada DKI Jakarta: Barometer Resolusi Konflik, dikutip dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=34173 diakses tanggal 14 November 2012. 10 http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta diakses taggal 14 November 2012. 36 kesempatan seluas-luasnya beraktivitas. Jakarta kepada memberikan penggiat ruang seni kepada tradisional untuk masyarakat untuk mengembangkan kesenian tradisional daerah masing-masing. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya sanggar seni yang membina generasi muda untuk mengembangkan budaya tradisional. Di antaranya di bidang seni tari, vokal, dan seni pertunjukan. Dari sanggar itu, penggiat seni ini mengembangkan bakat anak muda mengenali kesenian tradisional. Peserta yang mempelajari kesenian tradisional ini tidak hanya dari orang satu daerah tapi dari daerah lain. Sebagai suatu daerah yang berawal dari sebuah bandar maka wajar bila masyarakat Jakarta berasal dari kumpulan berbagai etnis dan bahkan berbagai bangsa, dengan latar belakang yang berbeda-beda pula, namun pergaulan dan pembauran antar mereka akhirnya berhasil membentuk masyarakat baru, yang berkebudayaan baru pula. Masyarakat ini dikenal sebagai Masyarakat Betawi yang yang anggotanya adalah Orang Betawi. Karena itulah dalam Budaya Betawi tersirat juga unsur budaya lain. Dari segi bahasa, sekilas seperti bahasa Indonesia dengan dialek khusus. Mungkin bahasa Melayu pernah berperan sebagai lingua franca yang katakatanya kemudian diperkaya dengan unsur-unsur kata kata bahasa dari berbagai etnis yang ada waktu itu. Dalam kehidupan sehari-hari penduduk asli DKI Jakarta (orang betawi) berada dalam lingkungan sosial dengan latar belakang budaya yang beranekaragam dari berbagai penjuru nusantara. Dalam kaitannya dengan 37 sistem kekerabatan, misalnya dalam penarikan garis keturunan, mereka mengikuti prinsip bilineal yaitu menarik garis keturunan dari pihak ayah dan pihak ibu. Orang betawi mengenal bermacam-macam upacara adat, mulai sejak bayi dalam kandungan sampai kepada kematian dan sesudah kematian itu sendiri seperti selamatan nuju bulanin atau kekeba, upacara kerik tangan dalam rangka kelahiran, khitanan (pengantin sunat), khatam Qur‟an (pengantin tamat), adat berpacaran bagi kaum remaja (ngelancong), upacara perkawinan dan lain sebagainya.11 Sesuai dengan latar belakang suku betawi ini, maka DKI Jakarta menjadi tempat bercampurnya berbagai budaya, akan tetapi kemudian muncul budaya yang bisa disebut sebagai sesuatu yang khas seperti tarian betawi yang memiliki ciri khas kebudayaan Melayu. E. Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2012 Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta kali ini mempunyai kedudukan strategis secara nasional, baik dari sisi sosial, budaya dan politik. Jakarta adalah pusat pemerintahan, memiliki bentuk otonomi yang khusus, jumlah penduduk yang besar, stratifikasi sosial dan prularitas yang tinggi, tingkat pertumbuhan ekonomi juga sangat tinggi dan berbagai masalah kompleks lainnya. Kedudukan strategis ini bukan semata karena Pilkada 2012, karena setiap event politik besar yang terjadi di Jakarta selalu bersifat strategis secara nasional dan internasional. Pilkada DKI merupakan barometer demokrasi nasional dan diamati banyak pihak, tidak saja masyarakat Indonesia, tetapi juga dunia 11 http://www.jakarta.go.id” nilai budaya betawi” diakses tanggal 4 November 2012. 38 internasional. Karena itu, diharapkan pesta rakyat ini dapat berjalan dengan lancar, aman, tertib, jujur, adil, dan demokratis. Tentu jumlah kelas menengah yang besar di DKI akan memberikan dampak positif bagi terselenggaranya pilkada yang lancar. Pemilih Jakarta merupakan pemilih dengan tingkat sadar media yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Karena itu dari berbagai hasil survei, kecenderungan pilihan warga Jakarta lebih digerakkan faktor figur: integritas, moralitas, komitmen, konsistensi, rekam jejak, keberpihakannya kepada rakyat, dan kemampuan komunikasi politik. Warga di harapkan dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik agar Pilkada DKI dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah lain. Para elite yang bertarung maupun tim sukses di belakangnya juga harus mempunyai kesadaran politik yang tinggi agar kompetisi ini dapat berlangsung elegan dan demokratis tanpa adanya penyimpangan- penyimpangan. Karena, masa depan demokrasi Indonesia ditentukan di Jakarta. Pasalnya Jakarta adalah pusat dinamika politik, pusat aktivitas ekonomi, dan pusat gerakan sosial dan budaya. Pilkada DKI Jakarta secara sosiologis politik dapat juga berpotensi menjadi barometer pemilihan Presiden tahun 2014. Pertimbangannya, sebagai ibu kota negara, DKI Jakarta adalah barometer politik nasional karena posisinya sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis. Secara umum pemilihan kepala daerah ( Pilkada ) secara langsung merupakan babak baru dalam tatanan politik dan sekaligus tatanan ketatanegaraan di Indonesia. Mekanisme politik demokratis ini merupakan terobosan besar setelah sekian 39 lama, sejak zaman kemerdekaan pemilihan kepala daerah dilakukan dengan sistem perwakilan yang dinilai manipulatif terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Melalui Pilkada langsung ini diharapkan prosesnya semakin partisipatif yang sekaligus diharapkan dapat menjadi acuan resolusi konflik.12 Secara yuridis, Pilkada langsung diatur dalam pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004.13 Pilkada langsung ini merupakan kelanjutan proses reformasi politik dan kelembagaan pemerintahan yang bergulir kencang sejak lengsernya Soeharto. Sejak itu terjadi berbagai reformasi di berbagai bidang, misalnya lahirnya UU No22/1999 kemudian diubah menjadi UU No32/2004, yang disusul oleh PP No6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (selanjutnya PP No6/2005) dan beberapa pasal diubah melalui Peraturan Pemerintah No17/2005 (selanjutnya PP No17/2005). Dan jika terjadi konflik Pilkada, maka Mahkamah Agung diberikan hak untuk memberikan putusan. Sebagaimana dalam Pasal 106 UU Pemerintah Daerah disebutkan Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan memutus sengketa hasil penetapan perhitungan suara Pilkada & Pilwakada dan KPUD. Tanggal 11 Juli 2012 lalu, warga DKI Jakarta memilih gubernur dan wakil gubernur yang memimpin Ibu Kota selama lima tahun ke depan. Berdasarkan daftar pemilih tetap terakhir, tercatat 6.962.348 orang berhak 12 http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=34173 “Pilkada DKI Jakarta: Barometer Resolusi Konflik diakses tanggal 14 November 2012. 13 http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1634-permasalahan-dan-solusi pemilukada.html “Permasalahan dan Solusi Pemilukada” diakses tanggal 15 November 2013. 40 memberikan suara. Pemberian suara akan dilakukan di tempat pemungutan suara yang tersebar di 267 kelurahan, mulai dari pukul 07.00 hingga 13.00. Ada enam pasang calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta yang akan dipilih. Mereka adalah Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, Hendardji SoepandjiAhmad Riza Patria, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini, Faisal Basri-Biem T Benjamin, dan Alex NoerdinNono Sampono. Selanjutnya rekapitulasi suara yang dilakukan KPU DKI Jakarta menghasilkan dua pasangan calon yaitu Jokowi-Ahok dan Foke-Nara yang akan maju pada pemungutan suara putaran kedua. Pemungutan suara putaran kedua diselenggarakan 20 September 2012.2012. Memasuki putaran kedua, Partai Golongan Karya dan Partai Persatuan Pembangunan memberikan dukungan kepada pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli. Sementara, hasil pemilukada DKI Jakarta putaran 2 diumumkan pada Sabtu, 29 September 2012. Penetapan dilakukan sesuai dengan hasil rekapitulasi penghitungan suara di tingkat provinsi sehari sebelumnya. Pasangan JokowiAhok meraih 2.472.130 (53,82%) suara, sedang Foke-Nara mendapatkan 2.120.815 (46,18%) suara. Dengan selisih 351.315 (7,65%) suara. 41 Tabel III. A. Tabel Nama Kandidat dan Perolehan Suara Putaran Pertama dan Kedua dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 Calon GubernurNo Wakil Gubernur Joko Widodo dan Basuki 3 Tjahaja Purnama Fauzi Bowo 1 dan Nachrowi Ramli Hidayat Nur Wahid dan 4 Didik J. Rachbini Faisal Batubara dan Biem 5 Triani Benjamin 6 Alex Noerdin dan Nono Sampono Putaran 1 Partai Politik Pemilih % Putaran 2 Pemilih % PDIP dan Gerindra 1.847.157 42,60% 2.472.130 53,82% PD, PAN, Hanura, PKB, PBB, PMB, dan PKNU 1.476.648 34,05% 2.120.815 46,18% PKS 508.113 11,72% Independen 215.935 4,98% Golkar, PPP, PDS, PP, PKPB, PKDI, RepublikaN, PPIB, Partai 202.643 Buruh, PPNUI, PNI Marhaenisme 4,67% Hendardji Soepandji dan 2 Independen Ahmad Riza Patria Jumlah suara sah Jumlah suara tidak sah Golput Jumlah seluruh suara Jumlah Total DPT Sumber:Kpud DKI Jakarta 85.990 1,98% 4.336.486 4.592.945 93.047 2.555.207 36,6% 2.349.657 4.429.533 6.962.348 100% 6.996.951 100% 42 F. Sejarah dan Perkembangan Etnis Tionghoa di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Isu SARA memang sulit dipisahkan dalam dunia politik di Indonesia. Isu yang masih menarik di cermati saat ini mengenai pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Hal ini diperkuat dari hasil exit poll yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menunjukkan 100 persen warga Tionghoa Jakarta menjatuhkan pilihan pada pasangan Jokowi-Ahok. Memang dalam kultur masyarakat kita yang cukup heterogen baik dari sisi suku, agama maupun ras, kehidupan politik tidak bisa dipisahkan di dalamnya. Dan untuk pencapaian tujuan politik, SARA bisa jadi dua sisi yang bertolak belakang, bisa positif maupun negatif terhadap tujuan isu yang dilontarkan. Pemilihan Ahok sebagai pendamping Jokowi merupakan unsur SARA yang “menguntungkan” untuk pemilihan Gubernur DKI Jakarta, di mana cukup banyak potensi pemilih aktif dari kalangan bisnis yang berasal dari etnis Tionghoa. Jokowi yang berasal dari suku Jawa juga merupakan komoditas SARA yang cukup potensial mengambil suara dari para banyak pendatang dari Jawa yang menetap di Ibukota. Kubu Foke pun sebenarnya tidak kalah seru dalam menyebarkan isu SARA untuk mengambil simpati pemilih dari etnis Betawi. Indonesia adalah negara yang besar dan persebaran geografis orang tionghoa sangat tidak merata. Mulai dari pulau Bangka di mana jumlahorang Tionghoa hampir seperempat dari seluruh penduduk,sedangkan di Indonesia bagian Timur jumlahnya kurang dari 2 persen.Di Jakarta jumlahnya sekitar 10 43 persen dari jumlah penduduk.14 Bangsa Cina mendarat di Indonesia sekitar abad ke 5, di pesisir pantai Jawa Timur. Mereka adalah pedagang yang berlayar untuk mencari rempah rempah, dan kemudian mereka menetap di Indonesia dan berasimilasi dengan penduduk setempat. Para pedagang Cina ini juga diyakini membawa agama dan tradisi Islam masuk ke Indonesia, karena berkat Jalan Sutra, agama Islam yg berasal dari Arab, masuk ke Cina melalui India. Bahkan menurut sejarah, beberapa orang dari Wali Songo adalah keturunan Cina seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati. Pada waktu itu di Batavia Lama berbagai kelompok etnis yang berbeda bermukim di daerah tersendiri atau di kampung kampung yang ada di pinggiran, pola ini terus diberlakukan untuk orang orang Tionghoa sampai abad ke 20, ketika pembatasan tempat tinggal mereka dihapuskan, mereka menyebar ke penjuru kota Jakarta.15 Tahun 1680 pada jaman Kolonial Belanda, para pedagang Tionghoa mempunyai peranan penting dalam perekonomian di Batavia. Bahkan usaha penjajah untuk memonopoli pun terhambat dan mereka terpaksa berbisnis dengan para pedagang Tionghoa tersebut. Akibatnya, penjajah merasa terancam karena keberadaan orang Tionghoa secara tidak langsung menyokong kehidupan pribumi di Indonesia, dan jika orang Tionghoa dan pribumi bersatu untuk melawan, itu akan menjadi masalah bagi penjajah Belanda. Karena itu, para penjajah berusaha mengadu domba pribumi dan orang Tionghoa, dan mereka berhasil. 14 Justian, Suhandinata, WNI keturunan Tionghoa dalam stabilitas ekonomi dan politik Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 97. 15 Lance Castles, Profil Etnik Jakarta, (Jakarta:Komunitas Bambu, 2007), 77 44 Mereka juga diberi fasilitas untuk memegang monopoli garam, pelaksana rumah pegadaian, dan memungut pajak. Tetapi ada pembatasan-pembatasan yang dilakukan Kompeni terhadap orang Cina, antara lain tidak dibenarkan memiliki tanah dan dibatasi ruang geraknya. Sejak tahun 1690, migrasi orang Cina makin meningkat hingga jumlahnya mencapai 50% dari seluruh penduduk kota. Mereka didominasi oleh kaum miskin yang mencoba mengadu nasib di Batavia. Namun pada tahun 1870 penduduk Cina tidak hanya tinggal di daerah Glodok , tetapi banyak yang tinggal bersama-sama dengan orang pribumi di kampung-kampung sambil berdagang. Turunnya harga gula di pasar global pada tahun 1740 menyebabkan krisis ekonomi, karena itu Belanda hendak mengikis upah gaji para pekerja dengan cara memindahkan para kuli yang sebagian besar adalah pribumi ke Afrika. Padahal maksud sebenarnya adalah mereka bermaksud membuang para kuli itu ke laut lepas diam diam. Kemudian isu tersebut tersebar dan para pedagang Tionghoa di Batavia menggalang kekuatan untuk menyerbu kapal kapal Belanda tersebut dan pertumpahan darah pun tidak dapat dihindari. Akibat perlawanan tersebut, Belanda mengeluarkan perintah untuk memeriksa dan melucuti para pedagang Tionghoa, namun yg terjadi sebenarnya adalah pembantaian besar di mana dalam 3 hari, sekitar 50.00060.000 orang Tionghoa dibunuh. Belanda juga mengeluarkan dekrit bahwa orang Tionghoa lah yg berencana membunuh para kuli pribumi dan mereka seolah olah bertindak sebagai penyelamat bagi orang orang pribumi. Lalu 45 Belanda juga menjanjikan imbalan bagi setiap kepala orang Tionghoa yang berhasil dibunuh. Inilah awalnya perselisihan antara Tionghoa dan pribumi. Nama “Kali Angke” yang ada di daerah Jakarta Utara berasal dari kata “Sungai Merah” yang menggambarkan kejadian pembantaian saat itu di mana sungai menjadi warna merah oleh darah orang Tionghoa. Pada jaman pemerintahan Soeharto, orang Tionghoa di Indonesia diharuskan mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat pedih karena mereka menjadi kehilangan marga dan nama keluarga mereka. Segala tradisi yang berbau Cina diharamkan, dan bahasa Mandarin pun dilarang karena mereka dituduh menyebarkan paham komunis. Pada periode 1965-1975, aparat dapat dengan seenaknya mengeksploitasi orang Cina dengan merampok dan memperkosa keluarga mereka. Cara satu satunya untuk bertahan hidup pada masa itu adalah dengan menyogok. Bahkan para Tionghoa yang berjasa bagi Indonesia pun ditangkap, dipenjara, dan dibunuh, dan hal ini menyebabkan orang Tionghoa menjadi memisahkan diri dengan Indonesia. Mereka tidak senang disebut sebagai warga “Indonesia” Hal ini terjadi hingga hari ini. Walaupun generasi muda saat ini tidak seekstrim leluhurnya dalam menjalani tradisi Tionghoa, tapi tetap mereka merasa berbeda dan menjaga jarak dengan pribumi. Pada kerusuhan 1998, orang Tionghoa dituduh menjadi biang krisis ekonomi dan KKN di Indonesia karena mereka sering menggunakan sogokan untuk mendapatkan kemudahan dari pemerintah. Ratusan ribu orang Tionghoa di Indonesia, dibunuh, diperkosa, dan milik 46 mereka dijarah massa. Hal ini menyebabkan banyak orang Tionghoa memutuskan untuk lari dari Indonesia, dan pindah ke negara negara tetangga seperti Australia dan New Zealand. Dan bahkan setelah reformasi, sebagian besar memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia karena mereka menemukan bahwa negara barat lebih menghormati hak hak mereka ketimbang Indonesia. Setelah reformasi, pada masa pemerintahan Gus Dur, pemerintah mencabut larangan bagi orang Tionghoa untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Kwik Kian Gie dijadikan menteri perekonomian. Gus Dur juga memberikan ijin bagi orang orang Tionghoa untuk menjalankan tradisinya tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah. Pada masa pemerintahan Megawati, hari raya Imlek pun ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setelah 45 tahun dilarang di Indonesia (sejak tahun 1965), pada tahun 2000, Metro TV menjadi stasiun televisi pertama yang menggunakan bahasa mandarin. Pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan undang undang yang menghapus segala perbedaan antara Tionghoa dan pribumi. Dan pada tahun 2007, pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono meresmikan istilah “Tionghoa” sebagai nama bagi penduduk keturunan Cina di Indonesia. Setelah membaca uraian di atas, dapat dilihat bahwa pada awal mulanya, orang Tionghoa dan pribumi hidup berdampingan. Diskriminasi terjadi akibat usaha penjajah Belanda untuk memecah belah Indonesia. Seperti yang telah diketahui perubahan sistem politik era Orba ke era Reformasi menjadi faktor penyebab utama keterlibatan etnis Cina Indonesia 47 dalam politik. Kedua, membawa dampak signifikan atas perubahan politik internal etnis Cina Indonesia dari titik nol kekuasaan di era Orba, mencapai puncak kekuasaan politik di era Reformasi. Akibatnya etnis Melayu dan etnis Dayak terganggu kemapanan politiknya. Ketiga, respons beragam dari etnis Melayu, etnis Dayak, dan pejabat pemerintah daerah setempat yakni sebagai pulihnya hak politik etnis Cina Indonesia, dulu menguasai ekonomi sekarang menguasai politik. Di era Reformasi, yang mengusung isu HAM dan demokratisasi, sangat menguntungkan bagi etnis Tionghoa karena dibidang ekonomi dan politik berlaku persaingan bebas. Akibatnya penguasaan ekonomi oleh mereka semakin dahsyat, dan terbuka pula peluang di bidang politik karena berlaku persaingan bebas. Dalam demokrasi yang berlandaskan persaingan bebas, siapa yang memiliki dana yang besar, mudah mendapat dukungan publik. Popularitas dan elektabilitas dapat dibangun dengan banyak beriklan di media terutama Televisi, melakukan blusukan ke masyarakat bawah, melakukan bakti sosial dengan membagi sembako dan pengobatan gratis ke masyarakat, karena banyak sekali masyarakat yang miskin dan kurang pendidikan. Itu sebabnya di beberapa daerah di Indonesia, calon dari etnis Tionghoa terpilih menjadi anggota parlemen dalam pemilu parlemen ditingkat daerah dan nasional, dan beberapa dari mereka bahkan terpilih menjadi Bupati, Walikota, Gubernur dan Wakil Gubernur dalam pemilukada. Kekuatan finansial yang dimiliki etnis Tionghoa yang dijadikan sandaran 48 oleh pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan kebersamaan diantara mereka yang amat kuat sebagai satu etnis telah menghantarkan mereka semakin berjaya di bidang ekonomi dan dalam beberapa kasus mereka berjaya pula di bidang politik, seperti yang terlihat dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2012. Etnis Tionghoa atau Cina diwakili oleh Ahok. G. Organisasi Etnis Tionghoa Setelah rezim Orde Baru jatuh dan masuk pada era reformasi, tumbuh kesadaran di sebagian kalangan etnis Tionghoa bahwa kedudukan mereka terutama di bidang sosial dan politik, sangatlah lemah. Kesadaran itu pada akhirnya membangkitkan keberanian untuk menolak kesewenang-wenangan yang menimpa diri mereka dan menuntut keadilan sebagai warga negara Republik Indonesia. Kesadaran itu dimulai dengan lahirnya berbagai organisasi baik partai politik, organisasi kemasyarakatan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Di antaranya adalah Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti), Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Formasi, Simpatik, Gandi, PSMTI, Perhimpunan INTI. Lebih dari 500 organisasi berdiri di berbagai kota di Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut didirikan berdasarkan asal provinsi, kabupaten, distrik, dan kampung halaman di Tiongkok, suku, marga, alumni sekolah, kesenian, kesusasteraan, dan sebagainya. Kegiatan utama organisasi- organisasi ini adalah menyelenggarakan pertemuan/resepsi di antara anggotanya tanpa 49 tujuan jelas. Namun, ada hal yang menggembirakan, karena akhir-akhir ini ada beberapa organisasi yang melakukan berbagai kegiatan sosial. Setelah Presiden KH Abdurrahman Wahid mencabut seluruh larangan yang memojokkan etnis Tionghoa, termasuk larangan bahasa dan aksara Tionghoa dan berdirinya organisasi-organisasi Tionghoa tersebut, bermunculanlah berbagai penerbitan berbahasa Mandarin baik harian maupun majalah, seperti Indonesia Shangpao, International Daily News, Universal Daily, Qian Dao Re Bao (Harian Nusantara), dan lain-lain. Dan ada juga juga berbagai penerbitan seperti harian, tabloid, dan majalah antara lain Naga Pos, Glodok Standard, Suar, Nurani, Sinergi, Suara Baru. Pada umumnya mediamedia cetak tersebut digunakan untuk mempublikasikan kegiatan-kegiatan organisasi-organisasi Tionghoa atau kegiatan-kegiatan tokohnya. Dihapusnya segala peraturan yang bersifat rasis dan diskriminatif oleh Presiden Wahid, Tahun Baru Imlek dijadikan hari libur nasional oleh Presiden Megawati dan agama Khonghucu dikembalikan menjadi agama resmi di Indonesia oleh Presiden Yudhoyono, juga merupakan suatu kemenangan yang diperjuangkan berbagai organisasi Tionghoa di Indonesia. Di samping itu, masih banyak kelemahan dan kendala yang dihadapi organisasi-organisasi Tionghoa. Di antaranya masih langkanya pemimpin yang mempunyai integritas tinggi dan mempunyai visi jauh ke depan, serta SDM yang memadai yang dibutuhkan untuk memimpin dan menggerakkan roda organisasi. Kebanyakan pemimpin/ pengurus organisasi Tionghoa telah berusia lanjut dan merupakan pengusaha-pengusaha mapan yang sudah tentu 50 mempunyai kepentingan tertentu. Untuk mengatasinya, para tokoh Tionghoa harus dengan legowo mau melakukan peremajaan kader-kader yang akan memimpin organisasi-organisasi tersebut. Apabila ingin bertahan, organisasi-organisasi Tionghoa harus dijadikan organisasi modern dan demokratis, yang mempunyai visi ,misi, dan program yang jelas. Dengan kata lain, organisasi-organisasi Tionghoa harus membawa seluruh anggotanya masuk ke dalam mainstream bangsa Indonesia tanpa harus menanggalkan identitas ketionghoaannya, dan bergandeng tangan dengan seluruh komponen bangsa lainnya membangun bangsa dan negara. Organisasiorganisasi Tionghoa harus mau membuka diri dan melakukan kerja sama dengan organisasi-organisasi di luar kalangannya, sehingga tidak terjadi keinklusifitasan di organisasi tersebut. Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, disahkannya Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia No 12/2006 dengan tegas menyatakan yang ada di Indonesia hanya WNI dan WNA, dan tidak ada lagi istilah pribumi dan non pribumi. Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan No 23/ 2006, yang membatalkan seluruh UU dan Staatsblad diskriminatif peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yang telah membagi-bagi kedudukan hukum dan sosial bangsa Indonesia, telah melengkapi penghapusan hampir seluruh peraturan yang selama ini mendiskriminasi etnis Tionghoa. Dilihat dari kehidupan berpolitik, kesadaran politik etnis Tionghoa mulai tampak meningkat. Tapi, trauma masa lalu masih saja mengganjal sebagian 51 besar etnis Tionghoa, sehingga mereka selalu berusaha menghindari wilayah politik. Namun demikian beberapa tahun terakhir mulai bermunculan anggota DPR, DPRD, bupati, wakil bupati dari kalangan etnis Tionghoa.16 Itu menjadi bukti nyata bahwa kaum Tionghoa dapat duduk di sistem pemerintahan Indonesia, mengingat potensi yang sangat besar dapat disumbangkan etnis Tionghoa dalam membangun bangsa dan negara. Seperti yang terlihat dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 lalu dengan munculnya Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok sebagai wakil Gubernur. Potensi etnis Tionghoa dan organisasinya inilah yang dimanfaatkan oleh pasangan Joko Wi Ahok untuk dapat meraih dukungan masyarakat dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012. Adanya kandidat dari etnis Tionghoa dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 karena jika dilihat dari tinjauan budaya, secara karakter masyarakat Tionghoa kebanyakan masih menganut nilai solidaritas antar sesama etnis yang kuat, sehingga menempatkan kandidat Tionghoa dalam peta perpolitikan DKI hampir dipastikan akan mendapatkan dukungan mayoritas dari masyarakat Tionghoa di DKI. Apalagi jika Jokowi jadi maju calon wakil Presiden di pemilihan Presiden 2014, Ahok secara otomatis akan menjadi gubernur DKI. Jokowi dan Ahok setidaknya berhasil menggandeng 21 komunitas Jawa di DKI untuk mendukung Jokowi. Begitu pula dengan skema Ahok, Prabowo melihat, merangkul etnis Tionghoa merupakan syarat penting dalam 16 https://iccsg.wordpress.com/2007/09/03/seputar-kebangkitan-organisasi-tionghoa/ Oleh Benny G Setiono, pengamat sosial dan politik diakses tanggal 4 November 2012. 52 memenangkan DKI. Sebab, etnis Tionghoa harus diakui menjadi pemutar roda perekonomian DKI yang vital, sehingga posisi tawar masyarakat etnis Tionghoa. Yang perlu dicermati adalah keberhasilan Jokowi – Ahok memperoleh suara bulat dari komunitas Tionghoa di DKI. Ini menandakan bebeberapa strategi yang dijalankan Jokowi – Ahok dalam meraih dukungan komunitas Tionghoa DKI cukup berhasil. Salah satu strategi keberhasilan itu ada pada kesepakatan Prabowo dengan para Taipan Tionghoa (para pemegang modal ekonomi) untuk mengusung Ahok alias Basuki.17 Berikut alasan yang membuat para Taipan Tionghoa juga berinvestasi ke Ahok. Seperti yang telah diketahui bersama para Taipan Tionghoa yang telah menjadi “pelindung” bisnis para donatur utama Partai Demokrat Seperti yang telah diketahui bahwa nama-nama dinasti Taipan Tionghoa seperti Salim (Indofood), Riady (Lippo), Hartati Poo (Berca), Sugianto Kusuma alias A Guan (Artha Graha), Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas), Eka Tjipta (Sinarmas), Ted Sioeng (Nasional News), Alim Markus (Maspion) dan sebagainya, merupakan donatur utama Partai Demokrat. Hal itu terjadi karena telah ada kesepakatan antara para Taipan Tionghoa dengan Partai Demokrat, yang dimotori keluarga Riady (Lippo), untuk perlindungan bisnis para Taipan Tionghoa oleh Partai Demokrat. Maka sudah pasti jika para Taipan Tionghoa mendapat perlindungan bisnis selama pemerintahan Partai Demokrat. Selama 5 tahun pertama pemerintahan Demokrat (2004 – 2009), semua 17 http://politik.kompasiana.com/2012/09/13/kesepakatan-rahasia-prabowo-dan-paranaga-untuk-dukung-ahok-492596 diakses tanggal 3 November 2012. 53 masih dapat dikendalikan. Namun pada pemerintahan kedua Demokrat (2009 – 2014), mulai menunjukkan tanda-tanda jatuhnya pamor Partai Demokrat. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan petinggi Demokrat seperti kasus Nazarudin dan Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, kemudian juga pernyataan SBY bahwa keluarga tidak akan ikut serta dalam Pilpres 2014 sehingga Demokrat dapat dikatakan tidak memiliki tokoh. Situasi tersebut menyebabkan para Taipan Tionghoa mulai berpikir melakukan investasi di tempat lain, partai lain. Prabowo Subianto sebagai pucuk tertinggi Partai Gerindra mengetahui gejala gejala hijrahnya para Taipan Tionghoa ini. Peluang menggandeng para Taipan Tionghoa ini pun digarap Prabowo dalam ajang pemilihan gubernur DKI 1, melalui Ahok sebagai pilot project.18 Pada akhir 2011, Prabowo melakukan pembahasan dengan para Taipan Tionghoa untuk ajang DKI 1. Kesepakatan yang terjadi adalah para Taipan Tionghoa meminta Prabowo memberikan kandidat etnis Tionghoa untuk melindungi bisnis para Taipan Tionghoa di DKI, sedangkan jika proyek ini berhasil, Prabowo akan dapat dukungan para Taipan Tionghoa di pemilihan umum 2014. Sebab, para Taipan Tionghoa tahu, jika mereka meninggalkan Demokrat, maka harus ada yang mengamankan bisnisnya. Demikianlah Ahok masuk menjadi kandidat Pilkada DKI, untuk tujuan tersebut, mengamankan bisnis para Taipan Tionghoa. 18 http://politik.kompasiana.com/kesepakatan-rahasia-prabowo-dan-para - naga-untukddukung-ahok-492596 diakses tanggal 3 November 2012naga-untuk-dukung-ahok-492596 diakses tanggal 3 November 2012. 54 BAB IV SENTIMEN ETNIS DAN AGAMA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DKI JAKARTA 2012 A. Sentimen Etnis dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2012 Gambaran sentimen etnis memang melekat pada beberapa pasangan yang bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta. Pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli misalnya, sulit melepaskan diri dari sosok yang mengidentifikasikan dirinya sebagai satu-satunya pasangan calon asli putra Betawi.1 Begitu juga halnya terjadi pada pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Meskipun Jokowi tidak secara khusus mengidentifikasikan diri sebagai sosok dari suku Jawa dan daerah Surakarta, sentimen itu tetap melekat padanya. Latar belakang Jokowi sebagai Wali Kota Surakarta dinilai banyak pihak sebagai representasi figur dari Jawa dibandingkan dengan nama calon lain yang juga berasal dari etnis yang sama. Demikian pula sosok wakilnya, Ahok, yang berasal dari etnis Tionghoa. Melihat peluang berdasarkan ras, suku, agama, dan kapabilitasnya, maka semua pasangan calon memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dari gambaran beberapa pasangan tersebut jelas akan membelah warga Jakarta yang beragam akan mengelompok berdasar latar belakang primordialnya. 1 http://www.perludem.or.id/index.php?option=com_k2&view=item&id=709:pilkadadki-yang-menembus-sekat diakses tanggal 13 oktober 2012. 55 Gambar IV. 1. Tulisan Anti Cina di dinding warga Puri Indah Sumber: Kompas.com Isu persaingan berbau SARA menjelang Pilkada DKI putaran kedua. Tulisan tersebut terdapat di Jalan Puri Indah Raya di dekat Sekolah Notre Dame, Kembangan, Jakarta Barat. Ini menunjukkan adanya sentimen etnis dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 Gambar IV. 2. Selebaran Pribumi Bersatu Kuasai Jakarta Sumber: http://www.change.org/ Gambar di atas adalah selebaran yang berisi pribumi harus bersatu. Ini menunjukkan adanya kompetisi politik berdasarkan politisasi etnis bukan 56 pada etika politik. Selayaknya sebagai masyarakat Jakarta kita harus berpartisipasi secara terhormat, bukan provokasi yang memecah belah. Gambar IV. 3. Spanduk Mau Jakarta Aman pilih Joko Wi dan Ahok Sumber: Detik News Nama dan foto Hercules terpampang di spanduk di atas adalah kampanye salah satu pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta. Seperti yang diketahui Hercules berasal dari Timor – Timur dan ingin membangkitkan rasa primordial dalam bentuk kampanye negatif dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2012 Keberadaan sentimen kedaerahan dalam kontestasi politik ini disebut oleh pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Haryadi, sebagai retorika etnosentrisme. ”Ini retorika yang paling mudah mengaduk emosi publik 57 meskipun tidak sekuat dulu, tetapi tetap penting.”2 Hal ini terbukti dengan beberapa aktivitas sejumlah pasangan calon yang berupaya mendekatkan sentimen etnosentrik tersebut. Sentimen etnis acap kali menjadi komoditas politik dan dipakai saat memilih para calon gubernur. Isu etnis untuk sementara diperlukan untuk mendulang suara, bila ini dilakukan, justru akan memberikan pendidikan politik buruk bagi masyarakat.3 Isu etnis yang digulirkan ini sebetulnya bukan secara langsung dari publik, tapi digulirkan oleh elit-elit politik. Konstruksi elit ini kemudian diartikan oleh konsultan-konsultan politik di belakang para cagub ini.4 Melalui penelitian berkala yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta terkait pilkada DKI Jakarta, diketahui setelah putaran pertama pilkada DKI, pemberitaan yang menyangkut suku, agama, ras, antargolongan (SARA) mendominasi.5 Dengan kata lain isu SARA itu digunakan untuk mengkondisikan pilihan masyarakat pemilih terhadap kandidat yang sedang bertarung. Pemberitaan yang cukup dominan pada periode ini adalah menyangkut SARA, yaitu pemberitaan yang menggambarkan serangan atas identitas dari calon wakil gubernur Joko Widodo yaitu Basuki Tjahaja 2 http://www.perludem.or.id/index.php?option=com_k2&view=item&id=709:pilkada -dki-yang-menembus-sekat diakses tanggal 13 oktober 2012. 3 Pengamat Politik LIPI Siti Zuhro dalam diskusi “Isu Primordial Pemilukada DKI: Relevankah” di Kantor The Indonesia Institute (TII), Jakarta, Rabu (18/4/2012).Seperti dikutip http://www.jurnas.com/news/. 4 Peneliti TII The Indonesia Institute (TII), Hanta Yudha seperti yang di kutip http://www.jurnas.com/news/58476 yang diakses tanggal 15 November 2012. 5 http://www.beritasatu.com/pilgub-dki-2012/71955-lipi-media-ikut-menggoreng-isusara-dalam-pilkada diakses tanggal 12 Oktober 2012. 58 Purnama.6 Sementara peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro menyatakan perkembangan isu SARA memang tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab media. Menurut dia, media berpotensi ikut dalam upaya mengedepankan salah satu kandidat dan hal tersebut tidak memberikan informasi yang baik bagi publik. Primodialisme, sering digunakan oleh kandidat agar mendapat suara dari kelompok dominan. B. Sentimen Agama dalam Pemilihan Kepala daerah DKI Jakarta 2012 Suatu kenyataan yang tak terelakkan bahwa tidak satu negara pun di dunia yang memiliki identitas nasional yang tunggal. Tidak ada negara yang dihuni hanya oleh satu suku bangsa. Setiap Negara selalu didukung oleh pluralitas penduduk dari segi etnis. Pengaruh dari pluralitas etnis adalah lahirnya pluralitas dalam aspek budaya , bahasa, agama , bahkan kelas sosial dalam satu negara. Terlebih lagi Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan memiliki ratusan etnis. Di sisi lain , karakteristik pluralitas Indonesia adalah kompleksitasnya dalam hal etnis dan agama. Dari sejumlah golongan etnis (suku bangsa) yang beragam secara umum bangsa Indonesia terbagi dalam dua golongan besar, yakni golongan etnis pribumi dan golongan etnis pendatang atau dalam hal ini etnis cina.7 Selain itu, berbagai etnik itu pada umumnya menganut agama masing-masing yang satu dengan yang lainnya 6 Direktur LSPP dan Konsultan Riset, Ignatius Haryanto di gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu 16-9-2012, seperti yang dikutip www.beritasatu.com yang diakses 17 November 2012. 7 Prihartanti Nanik dkk,Jurnal Penelitian Humaniora, Mengurai Akar Kekerasan Etnis pada Masyarakat Pluralis,(Vol.10.No.2 Agustus 2009).108. 59 berbeda. Di Indonesia terdapat banyak sekali agama yang di akui oleh negara yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang demikian majemuk dan heterogen. Dengan kemajemukan komponen bangsa Indonesia itu, di satu sisi kita dapat menghimpun dan mengembangkan berbagai potensi bangsa yang ada. Pluralitas budaya yang ada di tanah air misalnya, merupakan kekayaan yang tiada tara dan harus disyukuri. Namun, di sisi lain pluralitas tradisi dan agama, mudah sekali menimbulkan gesekan antar kelompok, yang berpotensi menimbulkan konflik dan sentimen etnis Pluralitas bangsa Indonesia itu ternyata sangat rentan terhadap tindak kekerasan akibat konflik sosial terutama antar-etnik dan antar-agama, di samping antarkelas dan antar-golongan, yang dalam pembinaan politik di Indonesia pada zaman orde baru lazim disebut dengan SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Gambar IV.4. Pedangdut Rhoma Irama Terkait Ceramah yang Berbau Sentimen Agama Sumber: Tempo.co/ 60 Gambar di atas adalah pedangdut Rhoma Irama yang menyatakan ceramah Ramadan yang berujung pada dugaan pidana pemilihan umum tidak berisi penghinaan maupun hasutan kepada salah satu pasangan calon. Padahal pada saat itu isi ceramahnya menyatakan bahwa Ahok itu beragama Kristen dan beretnis Tionghoa. Rhoma diduga melakukan kampanye terselubung dalam bentuk ceramah tarawih di Masjid Al-Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, Minggu, 29 Juli 2012. Dalam ceramah berdurasi tujuh menit itu, Rhoma disangka menggunakan isu suku, agama, dan ras untuk menyerang pasangan calon Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Dalam hal ini terlihat adanya sentimen agama yang terjadi untuk mempengaruhi pilihan publik dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2012. Gambar IV. 5. Spanduk dukungan warga Tionghoa dan umat Kristiani kepada pasangan Cagub dan Wagub DKI Jakarta Joko Wi dan Ahok Sumber: Tempo.co 61 Gambar diatas adalah ajakan warga tionghoa untuk mendukung Jokowi Ahok dalam pemilihan gubernur 2012. Spanduk itu justru dibuat oleh pihak ketiga yang berupaya memanfaatkan isu SARA untuk mendiskreditkan salahsatu kandidat dan sangat kental dengan sentimen agama. Gambar IV.6. Spanduk Laskar Kristus Bertebaran di Jakarta Sumber: Salam online. com Jelang Pilkada DKI putaran kedua yang akan berlangsung pada 20 September lalu, perang spanduk dan statemen terus marak. Setelah sebelumnya beredar spanduk berisi dukungan terhadap Jokowi-Ahok dengan latar gambar mantan preman Tanah Abang, Hercules Rosario Marshal, kini beredar spanduk yang mengatasnamakan Laskar Kristus. Spanduk dengan latar putih dan tulisan merah-hitam mencolok tersebut bertuliskan, “Ayo Kita Pilih Anak Tuhan untuk Jakarta Baru”. Di bawah sebelah kanan tertera “Laskar Kristus”. Ini menunjukkan adanya dukungan kepada Jokowi Ahok dalam bentuk spanduk yang bernada sentimen Agama. 62 Sentimen agama merupakan perilaku manusia, khususnya umat beragama (yang diwujudkan melalui kata, tindakan, kebijakan, keputusan) yang merendahkan, membatasi, dan meremehkan agar orang yang berbeda agama dan etnis mendapatkan hak-haknya serta mampu mengaktualisasi dirinya secara utuh Pada umumnya, faktor utama yang menunjang sentimen Agama adalah dorongan dorongan dari pihak luar kepada seseorang. Pihak luar yang dimaksud antara lain, para tokoh-tokoh atau pemimpin Agama, politik, penguasa, pengusaha, pemerintah, kepala suku. Mereka adalah orang-orang yang ingin meraih keuntungan dari suatu perbedaan. Bagi mereka, perbedaan merupakan suatu kesalahan dan ketimpangan sosial, sehingga perlu diperbaiki melalui pemurnian dengan cara menghilangkan atau menghancurkan semua hal yang berbeda. Dengan itu, mudah dimengerti jika ada perusakan tempat usaha etnis tertentu.Tempat ibadah etnis tertentu dan membangun opini publik melalui media massa, agar seseorang yang berbeda Agama tidak menduduki jabatan politik di lingkungan pemerintah Pada konteks kekinian, khususnya di Indonesia, muncul banyak konflik baru, konflik yang terjadi di dalam wilayah negara, misalnya perang antar suku, gerakan separatis dengan kekerasan, dan lain-lain. Sentimen Agama terjadi secara terang-terang maupun tertutup. Secara terang-terangan berupa, penodaan, pengrusakan, dan penghacuran fasilitas sosial-ekonomi atau pun ibadah milik etnis serta agama-agama. Secara tertutup berupa 63 pengambilan keputusan pada lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, bahkan militer dan politik. Sentimen Agama adalah bahaya laten yang sewaktu-waktu meledak hanya karena sedikit masalah kecil dan sepele.8 Sentimen Agama juga memungkinkan interaksi antar umat beragama penuh kemunafikan serta ketidakjujuran. Dan tidak bisa dibantah oleh siapapun, bahwa sentimen Agama telah hal yang menakutkan pada situasi dan lingkungan pergaulan sosial, hubungan antar umat agama, pengangkatan dan pemilihan pemimpin, khususnya dalam pemilihan Gubernur di Jakarta tahun 2012. Sentimen negatif yang berkaitan dengan agama bisa terjadi akibat kemunculan aliran-aliran yang bersifat sekterian pada agama-agama. Pada umumnya, sekte atau mazhab tersebut mempunyai karakteristik yang hampir sama. Yaitu, bersifat sempalan atau skismatik dari arus utama agama; adanya tokoh kharismatik yang menguasai bagian-bagian tertentu dari ajaran agamanya, kemudian mengklaim diri sebagai pemegang ajaran yang benar, sang tokoh mewariskan ajaran-ajaran kepada para pengikutnya, sangat menekankan satu atau dua ajaran agama, sambil mengkesampingkan yang lain jika mendapat nasehat atau masukan untuk perbaikan, maka dianggap sebagai perlawan terhadap ajaran agama, dan oleh sebab itu patut dilawan, bila perlu dengan kekerasan. Dengan situasi seperti itu, maka biasanya, umat beragama yang mempunyai sifat sentimen keagamaan, 8 Perbedaan SARA ,Anugrah sekaligus petaka, oleh Jappy Pelokia dikutip http://jappy.8m.com/whats_new.html diakses tanggal 12 oktober 2013. 64 muncul dari sekte-sekte atau mazhab-mazhab keagamaan. Dan hampir semua agama di dunia, mempunyai sekte atau mazhab seperti itu. Mereka biasanya mempunyai corak keberagamaan yang tertutup dan mempunyai militansi keagamaan sangat tinggi.Peran elite elite agama di sana sangat jelas menempatkan agama sebagai salah satu pendorong munculnya konflik.9 Penulis sendiri menjadi saksi pasalnya beberapa Mesjid di Jakarta secara terang-terang melakukan pelabelan kualitas manusia berdasarkan agamanya. Dalam beberapa kali khutbah Jumat di sebuah Masjid di Jakarta Selatan, khatib jelas-jelas menghimbau dan melarang umat Islam untuk memilih pemimpin atau wakil pemimpin non-muslim karena dapat dipastikan akan merusak Islam. Sang pengkhutbah mengancam dengan mengatasnamakan Allah bahwa siapapun yang melanggar akan masuk neraka. Dalam konteks komunikasi politik, eksploitasi kekurangan lawan adalah taktik utama dalam melancarkan kampanye. Kelemahan lawan ditonjolkan dan dimanfaatkan sedemikian rupa dalam rangka memperoleh keunggulan diri. Dalam kasus pilkada DKI, pihak tertentu, yang jelas penulis katakan adalah pihak dari Foke - Nara, memanfaatkan kelemahan pasangan Jokowi - Ahok yang kebetulan salah satunya adalah non-muslim. Dengan atribut Ahok sebagai non-muslim, pihak Foke - Nara melancarkan serangan dengan mengatasnamakan ajaran agama bahwa memilih pemimpin 9 Zuly, Qodir, Islam Syariah vis-a-vis Negara: ideologi gerakan politik di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 87. 65 non-muslim adalah sebuah dosa. Eksploitasi atribut agama ini terlihat seakan-akan wajar dalam komunikasi politik. Walaupun di dalam komunikasi politik membenarkan eksploitasi kelemahan lawan, namun dalam demokrasi modern, agama bukanlah kelemahan. Mengingat agama adalah isu yang sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia kebanyakan, diangkatnya isu agama oleh tim sukses Foke - Nara telah menciptakan sentimen antar-agama yang semakin meruncing. Dengan mengatakan bahwa kaum muslim hanya wajib memilih pemimpin muslim, maka masyarakat non-muslim merasa telah dilucuti hak politik nya untuk menjadi seorang pemimpin karena masyarakat Indonesia mayoritas adalah muslim, dimana jika mayoritas muslim tersebut "haram" untuk memilih pemimpin non-muslim, maka otomatis masyarakat nonmuslim tidak akan pernah mendapatkan posisi sebagai pemimpin. Jika elit politik di Jakarta menggunakan isu sentimen Agama sebagai senjata dalam meraih suara, maka bukannya tidak mungkin daerah lain akan mengikuti cara tersebut, yang mana hal tersebut sangat berbahaya bagi kedamaian dan keutuhan negara. Model komunikasi politik yang mengeksploitasi agama akan merambat dengan sangat cepat, apalagi di daerah-daerah yang sentimen keagamaannya masih sangat kuat seperti Ambon, Maluku, Aceh, Papua dan lain sebagainya. Agama hanyalah sebuah atribut, dia bukan substansi. Seorang yang berstatus Islam dalam KTP nya belum tentu berperilaku Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Bahkan bisa 66 saja seorang non-muslim berperilaku lebih Islami ketimbang orang yang punya status beragama Islam. Status Islam tidak memberikan jaminan dalam bentuk apapun bahwa orang tersebut akan menjadi Islam dalam perilaku. Oleh karena itu berbagai cara dilakukan, kelompok Islam akan mengunjungi pesantren, ulama, kiai agar mendapat dukungan. Dukungan orang Islam diharapkan mengalir tentunya. Demikian pula umat agama lain pun akan menggalang dukungan sebagaimana saudara mereka yang beragama Islam Demikian pula golongan tertentu akan didatangi sesuai misi cagub yang bersangkutan. Politisasi agama adalah politik manipulasi mengenai pemahaman dan pengetahuan keagamaan atau kepercayaan dengan menggunakan cara propaganda, Indoktrinasi, kampanye, disebarluaskan, sosialisasi dalam wilayah publik dilaporkan atau diinterpretasikan agar terjadi migrasi pemahaman, permasalahan dan menjadikannya seolah-olah merupakan pengetahuan keagamaan/kepercayaan, kemudian, dilakukan tekanan untuk memengaruhi konsensus keagamaan/kepercayaan dalam upaya memasukan kepentingan sesuatu kedalam sebuah agenda politik pemanipulasian masyarakat atau kebijakan publik.10 Proses politisasi agama adalah dengan mengeksploitasi hal-hal yang merupakan identitas dan wilayah personal ke arena publik. Keberagamaan dan menganut agama adalah hak asasi karena merupakan kebebasan sipil yang dijamin Konstitusi Indonesia dan berbagai instrumen internasional hak 10 http://id.wikipedia.org/wiki/Politisasi_agama diakses tanggal 13 okober 2012. 67 asasi manusia. Namun, di tengah dinamika politik yang tidak sehat, semua kebebasan sipil itu bisa dieksploitasi untuk dua kepentingan, melemahkan lawan atau untuk menghimpun dukungan baru. Jika politisasi dipergunakan untuk melemahkan lawan politik, bisa diduga pemicu politisasi dari seberang seorang kandidat. Sementara jika dimaksudkan untuk menghimpun dukungan baru dan memperluas konstituensi, politisasi agama sengaja didesain oleh diri sendiri. Dua model kerja politisasi (identitas) agama dalam praktik politik adalah tindakan yang mencederai demokrasi sebuah mekanisme yang seharusnya bekerja pada arena rasional.11 Indonesia dengan demokrasinya memperlakukan siapa pun warga secara setara di muka hukum dan pemerintahan. Dengan demokrasi pula, siapa pun, tanpa melihat agama, etnis, dan ras, memiliki kesempatan sama untuk menduduki jabatan apa pun dalam sistem politik dan pemerintahan. Sifat buruk yang melekat dalam praktik politisasi agama adalah stigma berdasar cara pandang dan sikap diskriminatif terhadap personal maupun golongan, yang nantinya terjadi penghapusan hak-haknya untuk diperlakukan setara. 11 www. nasional.kompas.com/read/2009/07/03/04523717 “Demokrasi dan Politisasi Agama diakses tanggal 13 November 2012. 68 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta semakin memanas dengan ramainya isu sentimen suku, agama, dan ras (SARA) yang dimainkan masing-masing tim sukses kedua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI. Terutama berkembangnya isu agama yang menyudutkan salah satu pasangan calon. Dan hal tersebut menunjukkan faktor etnis dan agama cukup signifikan dalam mempengaruhi pilihan warga DKI terhadap calon gubernurnya. Perbedaan etnis ini membelah pilihan di mana Foke dan Nara lebih unggul pada pemilih Betawi, Sunda, dan Minang. Dan Jokowi-Ahok unggul dalam etnik Jawa, Tionghoa dan lainnya. Namun ada faktor lain yaitu terhadap pilihan Foke versus Jokowi adalah evaluasi atas kinerja Fauzi Bowo sebagai gubernur terdahulu yang dirasa kurang memuaskan dalam memimpin Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Kemenangan Jokowi-Ahok dan kekalahan Foke-Nara juga menunjukan bahwa, tanpa kelembagaan yang kuat, klaim dukungan dari partai politik tidak akan berjalan lurus dengan pilihan politik publik. Saat partai politik lemah, sosok figur dominan menjadi faktor kemenangan. Fenomena Pilkada DKI Jakarta membuktikan hal itu. Publik dan media massa memandang sosok Jokowi dan Ahok lebih merakyat, ramah, hangat, tidak arogan, egaliter, dan lebih bisa diterima karena menyentuh kalangan masyarakat bawah. Sedangkan Foke-Nara justru sebaliknya. 69 Lemahnya kinerja partai politik dapat terlihat dari strategi komunikasi politik yang digunakan kandidat selama masa kampanye berlangsung. Slogan Kotak-Kotak dan Kumis, misalnya, terlihat lebih dominan dan populer daripada simbol-simbol partai politik yang mengusung para calon kandidat. Lambang partai politik dan kerja sistem kelembagaannya sangat jelas terlihat tidak menjadi sarana yang begitu diandalkan oleh kedua kandidat sebagai alat penarik dukungan publik. Lemahnya kelembagaan partai politik juga diikuti dengan munculnya isu SARA selama masa kampanye putaran kedua. Munculnya propagada nasionalisme SARA sebagai alat politik, adalah bukti yang paling mencolok tentang bagaimana lemahnya kelembagaan Parpol penggusung kedua kandidat. Kemenangan Jokowi Ahok tidak lepas dari peran media dalam membentuk opini publik publik berdasarkan isi atau berita yang dimuat dan media yang juga dalam hal tertentu mampu membentuk orang. Selain itu, keberhasilan Jokowi-Ahok juga ditentukan oleh sikap mereka di depan media massa. Pasangan tersebut tidak pernah tampil emosi dalam menyikapi "serangan" dari pihak lain. Hal tersebut semakin membangun citra mereka sebagai pemimpin yang tenang dan sabar dalam menghadapi segala persoalan. Harus diakui, media demikian gencar mengangkat sosok Jokowi dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012. Media memang sangat berperan penting dalam pembentukan figur tertentu. Media apapun baik elektronik maupun cetak memiliki peran luar biasa dan sangat efektif. Media darling terhadap Jokowi karena banyaknya 70 opini tentang Jokowi yang lebih positif membentuk sosok Jokowi ketimbang pemberitaan terhadap Fauzi Bowo. Dan hal tersebut nampaknya berpengaruh kepada preferensi pemilih dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012 lalu. B. Saran Isu SARA dapat diterima dan sah sejauh untuk memotivasi seseorang dalam memantapkan pilihan rasionalnya dan bukan ditujukan untuk memperlebar perbedaan apalagi untuk menyerang kelompok lain. Isu SARA juga hendaknya tidak dibumbui oleh kebohongan dan manipulasi. Lebih dari itu, isu SARA seharusnya dapat pula menjadi salah satu bimbingan bagi para setiap kandidat calon pimpinan agar lebih sensitif dan peduli bahwa kehadirannya harus melayani, menjadi pelindung dan pemersatu semua warganya. Dalam kehidupan masyarakat yang rasional yang menjadi pertimbangan utama adalah misi, visi, kompetensi, kapabiltas dan kualitas calon pemimpin. Rasionalitas pertimbangan SARA akan semakin ditinggalkan dan semakin tidak mendapat tempat dalam masyarakat modern. Apapun isu SARA yang beredar dalam masyarakat bila sebagian besar masyarakat menggunakan rasionalitasnya maka isu tersebut tidak akan berarti. Sebenarnya bila dipikirkan dengan rasionalilas modern isu SARA tidak harus ditakuti. Justru dengan isu SARA itu bila bergaung dalam kelompok tertentu maka kelompok lainnya harus menghormatinya sebagai hak mereka. Bila hal ini dilakukan akan menjadi pelajaran demokratis yang 71 sangat berharga. Yang harus dilawan bersama adalah isu SARA negatif yang menimbulkan konflik dan memecah belah bangsa. Maka dari itu pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 adalah pelajaran berharga untuk terwujudnya masyarakat yang, rasional dan cerdas dalam berdemokrasi. 72 DAFTAR PUSTAKA BUKU Abdillah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis. Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang: Indonesiatera. Barth, Frederik. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 2007. Dwyer, Denis. 1994. Ethnicity and Development: Geographical Perspective. John Wilky & Sons Ltd. Erikson, Erik H. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia (terj). Jakarta: Gramedia. Fachrudin, Achmad. 2008. Pilkada DKI 2007 Demokratisasi Civil Society. Jakarta: PT Nusa Utama. Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Handelman & Schemerhom seperti yg dikutip Tilaar. 2007. Mengindonesiakan Etnisitas dan IdentitasBangsa Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada. Heler, Agnes, Sonja Puntscher Riekmann (Ed). 1991. Biopolitics: The Politic of Body, Race, and Nature. Brookfield: Avebury. Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik Lokal Di Indonesia dan Asia Tenggara” dibahas dalam seminar internasional ke-9 di Kampung Percik Salatiga tanggal 25 July 2008 Rahardiansyah, P, Trubus. 2006 Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Universitas Trisakti. Samuel P Huntington, Joan Nelson. 1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta. Sjamsuddin, Nazaruddin. 1991. Aspek - Aspek Budaya Politik Indonesia. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. viii Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik , Jakarta: PT Grasindo 1992. Suryadinata, Leo. 1988. Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia. INTERNET http://basyarat.wordpress.com/2011/02/07/etnisitas-dalam-eksistensi-negara diakses tanggal 3 November 2012 http://juliefisipuns.blogspot.com/2012/08/ras-etnis-dan-agama-dalamkontestasi.html diakses tanggal 3 November 2012 http://www.percik.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=81&Item id diakses tanggal 3 November 2012 kpujakarta.go.id/ diakses tanggal 3 November 2012 sensus penduduk tahun 2000 (BPS) http://pro-metropolitika.blogspot.com diakses tanggal 3 November 2012 http://metro.news.viva.co.id/news/read/353712-exit-poll–pemilih-foke-danjokowi-berdasar-etnis ) diakses tanggal 5 November 2012 http://politik.kompasiana.com/2012/09/26/harapan-warga diakses tanggal 5 November 2012 http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta diakses tanggal 12 November 2012 http://www.jakarta.go.id/web/news/1970/01/Sejarah-Jakarta diakses tanggal 13 November 2012 http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta diakses tanggal 12 November 2012 Perda No 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012 Badan Pusat Statistik. Tabel Hasil Sensus Penduduk 2010 Provinsi DKI JAKARTA, diakses pada 11 November 2012 http://bakesbangpoljakarta.com/index.php?pilih=hal&id=13 diakses tanggal 4 November 2012 ix Pilkada DKI Jakarta: Barometer Resolusi Konflik, dikutip dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=34173 diakses tanggal 14 November 2012 http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta diakses taggal 14 November 2012 Error! Hyperlink reference not valid. budaya betawi” diakses tanggal 4 November 2012 http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=34173 “Pilkada DKI Jakarta: Barometer Resolusi Konflik diakses tanggal 14 November 2012 http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1634-permasalahan-dansolusi pemilukada.html “Permasalahan dan Solusi Pemilukada” diakses tanggal 15 November 2013 www.kpujakarta.go.id . Peserta pilkada DKI Jakarta 2012 diakses tanggal 14 November 2013. Tempo online diakses tanggal 3 November 2012 x