sarana membentuk manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia

advertisement
PENDIDIKAN: SARANA MEMBENTUK MANUSIA BERIMAN,
BERTAQWA, DAN BERAKHLAK MULIA
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam, Universitas Ibn Khaldun Bogor)
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian
amalkan. Sungguh besar kemurkaan Allah jika kalian mengatakan apa yang kalian tidak
mengamalkannya.” (QS 61:2-3).
*****
Tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003,
tentang Ssistem Pendidikan Nasional, sangatlah jelas: “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga disebutkan, bahwa
Pendidikan Tinggi bertujuan: (a). berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan
bangsa; (b). dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau
Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; (c).
dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan
menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan
peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan (d). terwujudnya Pengabdian kepada
Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.”
*****
Begitulah tujuan pendidikan nasional di Indonesia, seperti tertulis secara resmi dalam
Undang-undang. Jika dicermati, secara umum, tujuan itu sangat baik, yakni mencetak
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan
bangsa. Masalahnya, apakah dalam aplikasinya, tujuan itu benar-benar diwujudkan?
Untuk mencapai tujuan pendidikan itulah maka diperlukan tiga unsur penting, yakni:
guru/dosen, kurikulum, dan metode pembelajaran. Agar mencapai tujuan pendidikan, yakni
membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa, maka haruslah disusun kurikulum yang
bisa mengantarkan anak didik kepada tujuannya. Logisnya, kurikulum itu harus bersumber
dari ajaran Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT). Karena itu, adalah hal yang aneh, jika tujuan
pendidikan untuk membentuk manusia beriman dan bertaqwa, tapi kurikulum pendidikannya
justru “menolak” wahyu sebagai sumber ilmu.
Contoh mudahnya, sebenarnya keliru dan janggal, mahasiswa Muslim di UI, ITB,
IPB, UGM, Unair, ITS dan sebagainya, tidak diajarkan Ulumuddin secara memadai. Para
mahasiswa Muslim tidak mempelajari Ulumul Quran, Ulumul Hadits, Ushul Fiqih, Bahasa
Arab, Tarikh Islam, dan sebagainya. Ilmu-ilmu wahyu (revealed knowledge) itu dianggap
bukan ilmu (knowledge) sebab tidak bersifat rasional dan empiris. Masih terjadi antara “ilmu
umum” dan “ilmu agama”. Padahal, dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama sebenarnya
merupakan model pendidikan warisan penjajah yang sudah out of date. Saat ini, di tingkat TK
sampai SMA sudah banyak bermunculan Sekolah-sekolah Islam atau Pesantren Terpadu yang
tidak lagi mendikotomikan antara ilmu-ilmu agama (ulumuddin) dan ilmu-ilmu rasionalempiris – yang dalam istilah sekarang disebut “ilmu-ilmu umum”.
Kurikulum pendidikan yang masih memandang wahyu Allah bukan sebagai sumber
ilmu adalah kurikulum sekuler yang seyogyanya tidak dipaksakan kepada mahasiswa
Muslim. Konsep kurikulum dalam Islam mengintegrasikan antara ilmu-ilmu fardhu „ain dan
ilmu-ilmu fardhu kifayah secara proporsional, sesuai dengan tujuan dan kemampuan
pelajar/mahasiswa. Ilmu Fardhu „Ain adalah ilmu yang wajib dimiliki setiap Muslim, seperti
ilmu aqidah Islam, ibadah wajib, dan sebagainya. Sedangkan ilmu Fardhu Kifayah adalah
ilmu yang wajib dimiliki oleh sebagian Muslim; tidak seluruhnya, seperti ilmu pengobatan,
elektronika, tekbik bangunan, ilmu komputer, dan sebagainya.
Misalnya, untuk anak-anak muslim super cerdas, bisa ditargetkan, sarjana lulusan UI,
ITB, atau IPB, UGM,– minimal -- harus memahami aqidah Islam dan tantangan pemikiran
kontemporer, menghafal al-Quran 10 juz, menguasai bahasa Arab dengan bauk, memahami
dasar-dasar Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan sebagainya, ditambah dengan ilmu-ilmu empirisrasional, sesuai dengan kebutuhan dan minatnya, seperti matematika, fisika, statistika,
jurnalistik, akuntansi, kedokteran hewan, ilmu gizi, arsitektur, dan sebagainya.
Jadi, seharusnya, untuk mahasiswa Muslim, mereka bisa mendapatkan muatan
kurikulum di Perguruan Tinggi dengan komposisi 50:50, yakni 50% ulumuddin (ilmu
wahyu/revealed knowledge) dan 50% ilmu-ilmu rasional-empiris. Apakah ini mungkin?
Jawabnya, sangat mungkin! Itu sudah banyak terbukti di tingkat SMA. Kini, tidak sulit
menemukan lulusan SMA yang sudah hafal al-Quran, menguasai bahasa Arab dan Inggris
dengan baik, sekaligus juga menguasai mata pelajaran sains kontemporer. Sayangnya,
setelah mereka memasuki Perguruan Tinggi Umum, “ilmu wahyu” mereka tidak
berkembang; bahkan mungkin berangsur-angsur memudar, karena tidak mendapatkan media
untuk pengembangannya.
Karena itulah, sudah saatnya, Perguruan Tinggi di Indonesia memiliki Pusat Studi
Islam yang kuat. Di berbagai Universitas di Barat saja, sejak ratusan tahun lalu sudah
dijumpai pusat-pusat studi Islam yang canggih, meskipun semua itu dibentuk untuk tujuan
orientalisme secara umum. Hanya saja, salah satu masalah besar yang dihadapi di Indonesia
adalah digunakannya “metode liberal” dalam Studi Islam. Yakni, metode pengkajian Islam
a la orientalis, yang berselubung jargon “metode ilmiah” tetapi ujung-ujungnya menanamkan
keraguan dan kebingungan terhadap kebenaran dari Allah serta menjauhkan mahasiswa dari
pembentukan akhlak mulia.
Model pendidikan ulumuddin metode orientalis itulah yang kini banyak dijumpai di
Perguruan Tinggi. Yakni, pendidikan ulumuddin yang berselubung jargon ilmiah dan netral
terhadap kebenaran. Metode semacam ini sangat meracuni pikiran, karena membuat seorang
merasa benar dan bangga ketika ia tidak memihak antara yang haq dan yang bathil. Padahal,
setiap Muslim dituntut untuk menegakkan amar ma‟ruf dan nahi munkar.
****
Manusia beradab
Dalam Islam, ada beberapa istilah yang identik maknanya dengan kata “pendidikan”,
yaitu kata “tarbiyyah”, “ta‟lim”, dan “ta‟dib”. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas
mengugkapkan, bahwa istilah “ta‟dib” lebih tepat untuk menggambarkan proses dan tujuan
dari pendidikan dalam konsepsi Islam, yaitu untuk membentuk manusia yang baik, yaitu
manusia yang beradab.
Itulah hakekat dari tujuan pendidikan, menurut Islam, yakni mencetak manusia yang
baik, sebagaimana dirumuskan oleh Prof. S.M.Naquib al-Attas dalam bukunya, Islam and
Secularism: “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice
in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a
goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the
inculcation of adab…”
“Orang baik” atau good man, tentunya adalah manusia yang beradab; manusia yang
beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Tidak cukup seorang memiliki berbagai nilai
keutamaan dalam dirinya, tetapi dia tidak ikhlas dalam mencari ilmu, enggan menegakkan
amar ma‟ruf nahi munkar, dan suka mengumbar aurat dan maksiat. Lembaga Pendidikan
Islam seyogyanya mampu melahirkan manusia yang beradab. Artinya, manusia yang mampu
memandang dan menempatkan segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah. Jika santri atau
pelajar mempunyai potensi kecerdasan yang tinggi, dia harus diarahkan untuk menjadi orang
yang „alim dan shalih sekaligus. Jika memang santri hanya memiliki kadar intelektual yang
“pas-pasan”, maka dia harus tetap diarahkan dan dikembangkan potensinya menjadi orangorang yang baik, sesuai dengan potensi yang diberikan Allah kepadanya.
Istilah adab juga merupakan salah satu istilah dasar dalam Islam. Para ulama telah
banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Istilah adab bisa ditemukan dalam
sejumlah hadits Nabi saw. Misalnya, Anas r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw pernah
bersabda: ”Akrimuu auladakum, wa-ahsinuu adabahum.” Artinya, muliakanlah anakanakmu dan perbaikilah adab mereka. (HR Ibn Majah). Sejumlah ulama juga menulis kitab
terkait dengan adab, seperti al-Mawardi (w. 450 H), menulis Adab ad-Dunya wa ad-Din,
Muhammad bin Sahnun at-Tanwukhi (w. 256 H) menulis Adab al-Mu‟allimin wa alMuta‟allimin, juga al-Khatib al-Baghdadi ( w. 463 H) menulis al-Jami‟ li-Akhlaq al-Rawi wa
Adab as-Sami‟.
Di Indonesia, K.H. M. Hasyim Asy‟ari, menulis sebuah buku berjudul Adabul „Aalim
wal-Muta‟allim (edisi Indonesia: Etika Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Wacana,
2007). Terjemahan harfiahnya: Adab Guru dan Murid. Buku ini membahas secara panjang
lebar tentang masalah adab. Kyai Hasyim Asy‟ari membuka kitabnya dengan mengutip
hadits Rasulullah saw: “Haqqul waladi „alaa waalidihi an-yuhsina ismahu, wa yuhsina
murdhi‟ahu, wa yuhsina adabahu.” (Hak seorang anak atas orang tuanya adalah
mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik).
Dikutip juga perkataan sejumlah ulama. Hasan al-Bashry misalnya, yang menyatakan:
“In kaana al-rajulu la-yakhruja fii adabi nafsihi al-siniina tsumma siniina.” (Hendaknya
seseorang senantiasa mendidik dirinya dari tahun ke tahun).
Habib bin as-Syahid suatu ketika menasehati putranya: “Ishhabil fuqahaa-a wa
ta‟allam minhum adabahum, fainna dzaalika ahabbu ilayya min katsiirin minal hadiitsi.”
(Bergaullah engkau dengan para fuqaha serta pelajarilah adab mereka. Sesungguhnya yang
demikian itu akan lebih aku cintai daripada banyak hadits.” Ruwaim juga pernah menasehati
putranya: “Yaa bunayya ij‟al „ilmaka milhan wa adabaka daqiiqan.” (Wahai putraku,
jadikanlah ilmumu seperti garam dan adabmu sebagai tepung).
Ibn al-Mubarak menyatakan: “Nahnu ilaa qaliilin minal adabi ahwaja minnaa ilaa
katsiirin mina ‟ilmi.” (Mempunyai adab meskipun sedikit lebih kami butuhkan daripada
banyak ilmu pengetahuan).
Suatu ketika Imam Syafii pernah ditanya oleh seseorang: ”Sejauh manakah
perhatianmu terhadap adab? Beliau menjawab: Setiap kali telingaku menyimak suatu
pengajaran adab meski hanya satu huruf, maka seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan
(mendengarnya) seolah-olah setiap organ itu memiliki alat pendengaran (telinga).
Demikianlah perumpamaan hasrat dan kecintaanku terhadap pengajaran adab.”
Beliau
ditanya lagi, ”Lalu bagaimanakah usaha-usaha dalam mencari adab itu?” Beliau menjawab,
”Aku akan senantiasa mencarinya laksana usaha seorang ibu yang mencari anak satu-satunya
yang hilang.”
”Berdasarkan beberapa hadits Rasulullah saw dan keterangan para ulama di atas,
kiranya tidak perlu kita ragukan lagi betapa luhurnya kedudukan adab di dalam ajaran agama
Islam. Karena, tanpa adab dan perilaku yang terpuji maka apa pun amal ibadah yang
dilakukan seseorang tidak akan diterima di sisi Allah SWT (sebagai satu amal kebaikan), baik
menyangkut amal qalbiyah (hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), maupun fi‟liyah
(perbuatan). Dengan demikian, dapat kita maklumi bahwa salah satu indikator amal ibadah
seseorang diterima atau tidak di sisi Allah SWT adalah melalui sejauh mana aspek adab
disertakan dalam setiap amal perbuatan yang dilakukannya.” (K.H. M. Hasyim Asy‟ari, Etika
Pendidikan Islam (terj.), (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007).
Demikianlah penjelasan KH Hasyim Asy‟ari tentang makna adab. Menyimak paparan
ulama terkenal tentang adab tersebut, maka tidak bisa tidak, kata adab memang merupakan
istilah yang khas maknanya dalam Islam. Adab terkait dengan iman dan ibadah dalam Islam.
Adab bukan sekedar ”sopan santun”. Maka, tentunya sangat masuk akal jika orang Islam
memahami kata adab dalam sila kedua itu sebagaimana dipahami oleh sumber-sumber ajaran
Islam dan para ulama Islam. Sebab, memang itu istilah yang sangat khas dalam Islam. Jika
adab hanya dimaknai sebagai ”sopan-santun”, maka bisa-bisa ada orang yang menyatakan,
Nabi Ibrahim a.s. sebagai orang yang tidak beradab, karena berani menyatakan kepada
ayahnya, ”Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata.”
(QS 6:74). Bisa jadi, jika hanya berdasarkan sopan santun, tindakan mencegah kemunkaran
(nahyu ‟anil munkar) akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Sebagian malah ada
yang menganggap, menanyakan identitas agama pada seseorang dianggap tidak sopan.
Banyak yang menganggap entang dosa zina, dan dianggap tidak etis jika masalah itu diangkat
ke permukaan, sementara masalah korupsi harta bisa diangkat ke permukaan.
Karena itulah, menurut Islam harkat dan martabat sesuatu adalah berdasarkan pada
ketentuan Allah, dan bukan pada manusia. Sebagai contoh, kriteria orang yang mulia,
menurut al-Quran adalah orang yang paling taqwa. (Inna akramakum ‟indallaahi
atqaakum/QS 49:13). Maka, seharusnya, dalam masyarakat yang beradab, kaum Muslim
harus menghormati seseorang karena keimanan dan ketaqwaannya. Bukan karena jabatannya,
kekayaaannya, kecantikannya, atau popularitasnya. Itu baru namanya beradab, menurut alQuran.
Begitu juga ketika al-Quran memuliakan orang yang berilmu (QS 35:28, 3:7, 58:11),
maka sesuai konsep adab, seorang Muslim wajib memuliakan orang yang berilmu dan terlibat
dalam aktivitas keilmuan. Masyarakat yang beradab juga masyarakat yang menghargai
aktivitas keilmuan. Tentu menjadi tidak beradab, jika aktivitas keilmuan dikecilkan,
sementara aktivitas hiburan diagung-agungkan. Tidak mungkin suatu bangsa akan maju jika
tidak menjadikan tradisi ilmu sebagai bagian dari tradisinya. Imam Syafii dalam sejumlah
syairnya berkata: Wa‟lam bi-anna al-ilma laysa yanaaluhu, man hammuhu fi math‟amin aw
malbasin. (Ketahuilah, ilmu itu tidak akan didapat oleh orang yang cita-cita hidupnya hanya
untuk makanan dan pakaian); Falaw laa al-ilmu maa sa‟idat rijaalun, wa laa ‟urifa alhalaalu wa laa al-haraamu. (Andaikan tanpa ilmu, maka seorang tidak akan mendapatkan
kebahagiaan dan tidak dapat mengetahui mana halal dan mana haram).
Umat Islam dan Bangsa Indonesia tidak mungkin akan menjadi umat dan bangsa
besar jika mengabaikan tradisi ilmu ini. Jika budaya santai, budaya hedonis, budaya jalan
pintas, terus dikembangkan, maka hanyalah mimpi saja untuk berangan-angan bangsa
Indonesia akan menjadi bangsa yang besar yang disegani dunia. Dalam perspektif Islam,
manusia beradab haruslah yang menjadikan aktivitas keilmuan sebagai aktivitas utama
mereka. Sebab soerang Muslim senantiasa berdoa: ”Rabbi zidniy ‟ilman” (Ya Allah,
tambahkanlah ilmuku). Lebih dari itu, Rasulullah saw juga mengajarkan doa, agar ilmu yang
dikejar dan dimiliki seorang Muslim adalah ilmu yang bermanfaat. Hanya dengan ilmulah,
maka manusia dapat meraih adab, sehingga dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai
ketentuan Allah SWT. Inilah konsep adab sebagaimana dipahami oleh kaum Muslim.
Sebagai pewaris nabi, para ulama diletakkan dan meletakkan dirinya di tempat yang
terhormat. Para ulama inilah yang wajib memberikan keteladanan sebagai orang yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah. Al-Quran menyebutkan, bahwa manusia yang paling
mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa (QS 49:13). Maka, seorang yang beradab tidak
akan lebih menghormat kepada penguasa yang zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang
shalih. Dalam masyarakat yang beradab, seorang penghibur tidak akan lebih dihormati
ketimbang pelajar yang alim dan shalih. Seorang pelacur atau pezina ditempatkan pada
tempatnya, yang seharusnya tidak lebih tinggi martabatnya dibandingkan muslimahmuslimah yang shalihah. Itulah adab kepada sesama manusia.
Adab juga terkait dengan ketauhidan, sebab adab kepada Allah mengharuskan
seorang manusia tidak menserikatkan Allah dengan yang lain. Tindakan menyamakan alKhaliq dengan makhluk merupakan tindakan yang tidak beradab. Karena itulah, maka dalam
al-Quran disebutkan, Allah murka kepada orang-orang yang mengangkat Nabi Isa a.s.
sebagai Tuhan padahal, Nabi Isa adalah makhluk. Tauhid adalah konsep dasar bagi
pembangunan manusia beradab. Menurut pandangan Islam, masyarakat beradab haruslah
meletakkan al-Khaliq pada tempat-Nya sebagai al-Khaliq, jangan disamakan dengan
makhluq.
Itulah adab kepada Allah SWT. Nabi Muhammad saw adalah juga manusia. Tetapi,
beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau adalah utusan Allah. Sesama manusia
saja tidak diperlakukan sama. Seorang presiden dihormati, diberi pengawalan khusus,
diberikan gaji yang lebih tinggi dari gaji guru ngaji, dan sering disanjung-sanjung, meskipun
kadangkala keliru. Orang berebut untuk menjadi Presiden karena dianggap jika menjadi
Presiden akan menjadi orang terhormat atau memiliki kekuasaan besar sehingga dapat
melakukan perubahan.
Sebagai konsekuensi adab kepada Allah, maka adab kepada Rasul-Nya, tentu saja
adalah dengan cara menghormati, mencintai, dan menjadikan Sang Nabi saw sebagai suri
tauladan kehidupan (uswah hasanah).
Setelah beradab kepada Nabi Muhammad saw,
maka adab berikutnya adalah adab kepada ulama. Ulama adalah pewaris nabi. Maka,
kewajiban kaum Muslim adalah mengenai, siapa ulama yang benar-benar menjalankan
amanah risalah, dan siapa ulama ”palsu” atau ”ulama jahat (ulama su‟). Ulama jahat harus
dijauhi, sedangkan ulama yang baik harus dijadikan panutan dan dihormati sebagai ulama.
Mereka tidak lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan para umara. Maka, sangatlah
keliru jika seorang ulama merasa lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan penguasa.
Adab adalah kemampuan dan kemauan untuk mengenali segala sesuatu sesuai dengan
martabatnya. Ulama harusnya dihormati karena ilmunya dan ketaqwaannya, bukan karena
kepintaran bicara, kepandaian menghibur, dan banyaknya pengikut. Maka, manusia beradab
dalam pandangan Islam adalah yang mampu mengenali siapa ulama pewaris nabi dan siapa
ulama yang palsu sehingga dia bisa meletakkan ulama sejati pada tempatnya sebagai tempat
rujukan.
Syekh Wan Ahmad al Fathani dari Pattani, Thailand Selatan, (1856-1908), dalam
kitabnya Hadiqatul Azhar war Rayahin (Terj. Oleh Wan Shaghir Abdullah), berpesan agar
seseorang mempunyai adab, maka ia harus selalu dekat dengan majelis ilmu. Syekh Wan
Ahmad menyatakan : “Jadikan olehmu akan yang sekedudukan engkau itu (majelis)
perhimpunan ilmu yang engkau muthalaah akan dia. Supaya mengambil guna engkau
daripada segala adab dan hikmah.”
Karena itulah, sudah sepatutnya dunia pendidikan kita sangat menekankan proses
ta‟dib, sebuah proses pendidikan yang mengarahkan para siswanya menjadi orang-orang
yang beradab. Sebab, jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan
kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena itu, adab mesti
ditanamkan pada seluruh manusia dalam berbagai lapisan, pada murid, guru, pemimpin
rumah tangga, pemimpin bisnis, pemimpin masyarakat dan lainnya.
Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah
dan beribadah kepada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Orang yang berilmu
(ulama) adalah pewaris nabi. Karena itu, dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali
mengingatkan, orang yang mecari ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari keuntungan
duniawi dan pujian manusia, sama saja dengan menghancurkan agama. Dalam kitabnya,
Adabul „Alim wal-Muta‟allim, KH Hasyim Asy‟ari juga mengutip hadits Rasulullah saw:
“Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau ia mengharapkan selain keridhaan
Allah Ta‟ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di neraka.”
Karena begitu mulianya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seorang yang beradab
tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak
bermanfaat, atau salah niat dalam meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal. Ia tidak akan
pernah mengenal Allah, tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati. Lebih fatal lagi, jika
manusia yang tidak beradab itu kemudian merasa tahu, padahal dia sebenarnya ia tidak tahu.
Dalam pendidikan sains, adab harusnya meletakkan fenomena alam pada tempatnya,
yakni sebagai “ayat-ayat Allah”. Alam semesta, termasuk tubuh manusia itu sendiri, bukan
semata-mata objek pengamatan yang terlepas dari nilai-nilai ketuhanan. Karena itu, saat
melakukan pengamatan atau penelitian terhadap suatu objek, peneliti harus memahami bahwa
segala sesuatu itu terjadi tidak terlepas dari Sunnatullah. Dengan sikap seperti itu, ia akan
sampai pada kesadaran, “Rabbanaa maa khalaqta haadzaa baathilaa”.
Dengan itu sang ilmuwan tidak akan bersikap sombong, tetapi bersikap tawadhu‟,
karena meyakini, bahwa ilmu yang ia terima adalah merupakan karunia Allah. Begitu juga ia
sadar bahwa di balik fenomena alam ini ada Dzat Yang Maha Kuasa yang mengatur alam
semesta, termasuk dirinya sendiri. Orang-orang yang gagal mencapai tujuan keilmuan ini,
maka ia disamakan posisinya seperti binatang (QS 7:179).
Inilah model pengajaran sains yang tidak memisahkan antara aspek fisika dengan
metafisika; tidak membuang dimensi Ilahiyah dalam penelitian dan pengajaran; dan tidak
“mengabaikan Tuhan” dalam pendidikan sains. Dengan cara seperti ini, seorang guru sains,
juga sekaligus guru aqidah dan guru akhlak. Tidak memisah-misahkan antara pendidikan
sains dengan pendidikan keimanan dan akhlak. Dengan cara seperti inilah, tujuan pendidikan
nasional untuk membentuk manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia, bisa
tercapai. InsyaAllah. (Bogor, 6 November 2013).
Download