2 tinjauan pustaka

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Mikroalga
Mikroalga merupakan biota perairan yang potensial untuk dikembangkan
karena dapat menghasilkan produk komersial di bidang pangan, farmasi,
kosmetika, pertanian dan sebagainya. Organisme ini termasuk eukariot yang
mempunyai klorofil dan melakukan fotosintesis (microscopic photosynthetic
organisms), berukuran mikro, uniselular, dan berperan sebagai produsen primer
di dalam perairan, dan dikenal dengan primitive form of plant. Mikroalga dapat
hidup di perairan tawar, laut, maupun tempat lembab. Hingga saat ini mikroalga
masih banyak digunakan sebagai pakan.
Nutrisi mineral alga tidak jauh berbeda dengan tumbuhan tingkat tinggi.
Kebutuhan absolut umum untuk alga meliputi karbon, fosfor, nitrogen, sulfur,
potasium dan magnesium. Elemen-elemen seperti besi dan mangan diperlukan
dalam jumlah sedikit. Beberapa elemen seperti kobal, seng, boron, copper dan
molybdenum merupakan essential trace element. Selain mineral ini beberapa
alga juga memerlukan substrat organik seperti vitamin, faktor tumbuh untuk
pertumbuhan (Becker 1994).
Mikroalga laut dapat dikultivasi dengan menggunakan medium Guillard.
Agar pertumbuhan mikroalga dalam medium kultur bagus, maka lingkungan
harus dikondisikan sama dengan kebutuhan intrinsik organisme tersebut.
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan alga antara
lain faktor fisik berupa cahaya dan suhu, serta faktor kimiawi yang digunakan
untuk sintesis struktur dari sel alga (Becker 1994). Kondisi yang mempengaruhi
pertumbuhan alga meliputi 1) iluminasi cahaya, yang mana untuk kultur alga
dapat digunakan lampu 40 Watt yang memberikan intensitas cahaya 3200 lux, 2)
suhu (suhu ruang atau suhu dingin), yang mana suhu dapat mempengaruhi
metabolisme organisme, dan 3) medium kultur. Fitoplankton laut dapat
ditumbuhkan dalam media air laut yang diperkaya atau media air laut sintetis
(Kungvankij 1988).
Media kultur alga dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu 1) media sintetis
lengkap, 2) air asal (natural waters) yang diperkaya dengan suplemen, dan 3)
limbah cair dari limbah industri atau fermentasi. Untuk kultur batch (sistem
tertutup) dimana suplai nutrien terbatas dan tidak ada penambahan atau
8
pengurangan dari luar, alga tumbuh melalui fase yang berbeda (Becker 1994).
Kurva pertumbuhan mikroalga disajikan pada Gambar 2.
Penjelasan:
(1) Fase adaptasi
(2) Fase pertumbuhan
(3) Fase penurunan
pertumbuhan
(4) Fase stasioner
(5) Fase kematian
Waktu
Gambar 2 Kurva pertumbuhan mikroalga (Fogg dan Thake 1987)
Berikut adalah uraian singkat tentang kelima fase pertumbuhan mikroalga
tersebut:
Fase 1. Pada fase ini medium diinokulasikan dengan organisme. Kondisi
pada awal biasanya berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Organisme sering
tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan mungkin menjadi tidak
nyaman. Selama pada fase adaptasi atau fase lag ini, kultur alga menyesuaikan
diri terhadap kondisi, laju pertumbuhan lebih rendah dan akan meningkat dengan
waktu kultivasi. Sel menjadi sensitif terhadap suhu atau perubahan lingkungan
lainnya.
Fase 2. Setelah kultur alga beradaptasi terhadap kondisi kultivasi yang
diberikan, sel masuk ke fase pertumbuhan. Selama periode ini intensitas cahaya
tidak terbatas dan perubahan konsentrasi nutrien masih kecil pengaruhnya.
Dalam sebuah kultur, dimana persediaan nutrien dan cahaya tidak terbatas,
biomas alga bertambah per waktu secara proposional.
Jumlah masa sel
meningkat seiring terhadap waktu. Sel-sel membelah pada laju yang konstan.
Keadaan ini sangat penting dalam menentukan keadaan kultur.
Fase 3. Pada fase ini alga tumbuh pada kultur yang padat, tidak ada
penambahan atau pengurangan dari medium setelah inokulasi, penurunan
logaritmik mulai terjadi. Mineral juga mulai terbatas, akumulasi limbah toksik
meningkat.
9
Fase 4. Pada fase ini suplai cahaya per sel alga menjadi terbatas dan
peranan respirasi mulai meningkat. Kurva pertumbuhan mendekati nilai limit,
yaitu fase stasioner.
Fase 5. Fase ini merupakan berakhirnya fase stasioner, yang mana
populasi sel berkurang, sel-sel alga mulai mengeluarkan bahan organik,
pertumbuhan terhambat. Terjadinya fase ini disebabkan oleh umur kultur yang
sudah tua, suplai cahaya dan nutrien terbatas.
Pada fase ini laju kematian
menjadi tinggi, populasi alga menjadi rusak secara sempurna.
2.2 Chaetoceros sp
Salah satu diatom laut yang bisa dikembangkan adalah Chaetoceros.
Chaetoceros gracilis termasuk dalam golongan Bacillariophyceae yang juga
sering disebut dengan golden brown algae.
Mikroalga ini tergolong plankton
neritik, memiliki setae dan membentuk filamen sehingga dapat melayang di
permukaan, selnya tunggal dan tidak membentuk rantai, bercangkang cembung,
spora di tengah sel induk, dan non motil. Chaetoceros juga digunakan sebagai
pakan alami (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995; Sue et al. 1997). Morfologi sel C.
gracilis disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Morfologi sel Chaetoceros gracilis
Chaetoceros merupakan salah satu
diatom yang
diklasifikasikan
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995; BBLL 2002) sebagai berikut:
Phylum
: Bacillariophyta
Kelas
: Bacillariophyceae
Ordo
: Bacillariales (Centrales)
Family
: Chaetoceraceae
Genus
: Chaetoceros
Chaetoceros ada yang berbentuk bulat dengan diameter 4-6 mikron dan
ada yang berbentuk segi empat dengan ukuran 6-12 x 7-18 mikron. Dinding sel
fitoplankton ini dibentuk dari silika. Karotenoid dalam diatom merupakan pigmen
10
yang dominan. Pada kultur, fitoplankton ini berwarna kuning keemasan hingga
coklat (BBLL 2002).
Berkaitan dengan morfologi Chaetoceros, Wang (1999)
menyatakan bahwa sel secara individu dari Chaetoceros berbentuk kotak,
mempunyai dimensi lebar 12 sampai 14 mikron, dan panjang 15 sampai 17
mikron, dengan jarum di ujungnya. Sel ini bisa membentuk rantai sekitar 10
sampai 20 sel.
Ketika dikultur dengan aerasi kuat, Chaetoceros tidak
membentuk koloni. Pada skala kultur besar, alga ini berwarna coklat keemasan,
sehingga disebut dengan golden brown alga.
Umumnya alga digunakan sebagai pakan untuk organisme perairan yang
memiliki nilai komersial penting, termasuk diatom yang ukurannya bervariasi.
Diatom
yang
banyak
digunakan
dalam
marinkultur
komersial
adalah
Skeletonema costatum, Thalassiosira pseudonana, Chaetoceros gracilis, C.
calcitrans dan sebagainya (BBLL 2002).
Chaetoceros yang ditumbuhkan dalam batch pada suhu 25, 27, 30, 33
dan 35 oC memiliki kandungan karbohidrat (13,1; 12,2; 12,5; 11,3; dan 11 %),
protein (57,3; 57,1; 64,1; 62,5 dan 47,3 %), serta lemak (16,8; 14,8; 12,2; 12,4
dan 12,1 %). Asam lemak jenuh golongan PUFA yang dihasilkan sebesar 19,5;
20,8; 19; 19,8 dan 20,4 % (Renaud et al. 2002). Suhu merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi komposisi kimia Chaetoceros wighamii. Pada suhu
20 dan 25 oC, kandungan lipid dan karbohidrat lebih tinggi dibandingkan pada
suhu 30 oC, sedangkan protein tidak dipengaruhi oleh perbedaan suhu tersebut
(Araujo dan Garcia 2005).
Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium f/2 Guillard, diberi
aerasi dan penambahan karbon, menggunakan lampu 20 Watt, suhu 22±1 ºC,
setelah 8 hari memiliki kepadatan sel sebesar 8,44±7.07x106 sel./L. Kandungan
karbohidrat terlarut 0.1±0.01 mg/L, protein terlarut 0.58±0.02 mg/L (Junior et al.
2007).
2.3 Antibakteri dari Mikroalga
Mikroalga memiliki substansi organik yang berlimpah di dalam selnya
yang disebut dengan metabolit intraseluler. Selain itu juga menghasilkan produk
yang disekresikan ke medium tumbuhnya yang disebut metabolit ekstraseluler.
Substansi ekstraseluler dapat dihasilkan dari proses ekskresi sel yang sehat
maupun dari sel yang lisis atau mati, baik pada fase stasioner maupun fase mati
(Stewart 1974). Mikroalga yang melimpah di kolam dapat mengakibatkan bakteri
11
patogen dan koliform mati dengan cepat, hal ini menunjukkan bahwa mikroalga
memproduksi senyawa antibakteri (Fogg dan Thake 1987).
Penelitian mikroalga tentang aktivitas antibakterial, antifungal dan antiviral
masih dalam perkembangan, tetapi mempunyai prospek untuk dipromosikan
(Richmond 1990). Beberapa aplikasi yang potensial dari alga antara lain produksi
senyawa obat-obatan untuk industri farmasi dan pertanian sebagai bahan
biocontrol maupun biofertilizer.
Naviner et al. (1999) melaporkan bahwa Skeletonema costatum
mempunyai aktivitas bakterisida yang dapat menghambat bakteri-bakteri patogen
di bidang akuakultur seperti Vibrio mytili, Vibrio sp VRP dan Listonella
anguillarum.
Berkaitan dengan ini hasil penelitian Nugraheny (2001) juga
menunjukkan bahwa Skeletonema mempunyai aktivitas penghambatan terhadap
Vibrio.
Berkaitan dengan antibakteri, Wang (1999) melaporkan bahwa budidaya
kekerangan dan moluska yang menggunakan Chaetoceros sebagai pakannya
menguntungkan karena Chaetoceros memberikan efek antibiotik alami yang
mana dapat membebaskan hewan air tersebut dari bakteri patogen Vibrio
sehingga sea food ini aman untuk dikonsumsi. Selain itu ekstrak alga laut
Chaetoceros menunjukkan aktivitas antibakteri yang dapat menghambat
methicilline resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin resistant
Enterococcus (VRE), Vibrio vulnificus, Vibrio cholerae. Antibakteri ini dihasilkan
oleh alga uniselular Chaetoceros dalam merespon keberadaan bakteri dan alga
lain.
Antibiotik dari alga umumnya belum banyak yang teridentifikasi, namun
beberapa telah diketahui komponen aktifnya. Ada yang terdiri atas asam lemak,
asam organik, bromofenol, penghambat fenolat, tannin, terpenoid, polisakarida
ataupun alkohol (Metting dan Pyne 1986). Asam lemak jenuh dan tak jenuh dari
mikroalga juga dapat menimbulkan aktifitas bakterisidal (Naviner et al. 1999).
Senyawa yang teridentifikasi dari ekstrak alga laut Chaetoceros memiliki aktivitas
antibakteri adalah asam lemak, yang diketahui dapat menghambat pertumbuhan
bakteri patogen seperti Staphylococcos, Enterococcus, Vibrio cholerae, Vibrio
vulnivicus (Wang 1999). Beberapa peneliti telah melakukan pemisahan awal
senyawa antimikroba dari beberapa jenis mikroalga (Tabel 1).
Beberapa
mikroalga (diatom) yang juga mempunyai komponen aktif antibakterial antara lain
Skeletonema costatum, Thalassiosira spp, Bacteriastrum elegans, Chaetoceros
12
socialis, C. lauderi. Komponen yang mempunyai aktivitas antibakterial tersebut
tergolong asam lemak (Metting dan Pyne 1986). Berkaitan dengan senyawa
antimikroba, Richmond (1990) melaporkan bahwa empat jenis diatom seperti
Chaetoceros lauderi, Chaetoceros pseudocurvisteus, Chaetoceros socialis dan
Chaetoceros fragilaris pinnata mempunyai aktivitas antifungal. Asam lemak yang
bertanggung jawab sebagai antibiotik dari diatom Asterinella japanica adalah
eicosapentaenoic (20:5) (Richmond 1990).
Chaetoceros gracilis mempunyai aktivitas penghambatan terhadap
bakteri B. subtilis, E. coli dan Pseudomonas sp (Pribadi 1998). Pribadi dalam
laporannya menyatakan bahwa kultivasi Chaetoceros gracilis dilakukan pada
suhu ruang,
maserasi.
ekstraksi dilakukan menggunakan metanol dengan metode
Pengujian aktivitas terhadap pertumbuhan bakteri dilakukan
menggunakan difusi agar. Kultur yang dipanen pada fase stasioner, dengan
konsentrasi ekstrak biomas yang digunakan 9,2 % dan sebanyak 10 µl yang
diteteskan pada paper disk, menghasilkan daya hambat
terhadap Bacillus
subtilis 30 mm (daerah hambatan tidak bening), terhadap Escherichia coli 6,5
mm, terhadap Pseudomonas sp 7,5 mm. Aktivitas antibakteri dari C. gracilis ini
perlu dilakukan terhadap jenis bakteri lain.
Lailati (2007) melaporkan bahwa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan
dalam Guillard dan diekstraksi menggunakan pelarut heksan, etil-asetat, metanol
memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Vibrio harveyi.
Kultivasi C. gracilis dengan lama penyinaran 24 jam pada suhu 25
o
C
menghasilkan rendemen biomasa lebih besar dibanding 12 jam. Pemecahan sel
untuk tahap ekstraksi dapat digunakan glass bead, selain sonikator. Masih perlu
dilakukan pengujian aktivitas antibakteri terhadap mkroorganisme lain yang
merugikan dan aplikasi senyawa antibakteri.
Penelitian senyawa antibakteri dari Chaetoceros juga dilakukan oleh
beberapa peneliti. Lipid antibiotic yang diekstraksi dari sel utuh diatom laut
Chaetoceros lauderi (Ralfs) dan telah teridentifikasi sebagai asam lemak tidak
jenuh memiliki sensitivitas terhadap beberapa bakteri terestrial Gram positif dan
bakteri laut Gram negatif berbentuk basil (Gauthier et al. 1978).
Hasil penelitian lain yang sejenis menunjukkan bahwa alga laut
Chaetoceros memiliki aktivitas antibakteri dengan komponen aktifnya golongan
asam lemak. Ekstrak aktif antibakteri yang diperoleh dari alga laut Chaetoceros
yang diekstraksi menggunakan pelarut organik metanol dapat menghambat
13
bakteri methicilline resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin
resistant Enterococcus (VRE), Vibrio vulnificus, Vibrio cholerae, Pseudomonas
aeruginosa, Listeria monocytogenes, Shigella dysenteriae, Streptococcus
faecalis, Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Micrococcus megmatis, Streptococcus
pyrogenes, Proteus vulgaris dan Salmonella typhimurium. Konsentrasi minimum
penghambatan untuk ekstrak dari Chaetoceros yang memiliki respon terhadap
methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah 10-15 µg/disk dan 20
µg/disk untuk vancomycin resistant Enterococcus (VRE).
Selain itu juga
dilaporkan bahwa pada konsentrasi 100 µg/disk ekstrak dapat menghambat
Pyogenes vulgaris, Carynobacter xerosis, Shigella dysenteriae Streptococcus
mitis, Streptococcus faecalis, Bacillus subtilis, Bacillus cereus (Wang 1999).
Akan tetapi mekanisme hambatan senyawa antibakteri ini belum diketahui. Hasil
penelitian tentang pemisahan awal antimikroba dari beberapa mikroalga
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil pemisahan awal komponen antimikroba dari beberapa mikroalga
Spesies
Mikroorganisme
Desmococcus olivaceus
(324)
Desmococcus olivaceus
(343)
Chlorella minutissima (357)
Staphylococcus aureus*
Pseudomonas
syringiae*
Staphylococcus aureus*
5.3 ± 1.1
Chlorella minutissima (360)
Staphylococcus aureus*
6.2 ± 0.1
Chlorella minutissima (361)
Staphylococcus aureus*
8.0 ± 0.0
Chlorella sp (313)
Staphylococcus aureus*
6.5 ± 0.3
Chlorella sp (381)
Staphylococcus aureus*
5.7 ± 0.9
Chlorella sp (458)
Staphylococcus aureus*
7.7 ± 0.8
Scenedesmus sp (469)
Staphylococcus aureus*
5.0 ± 1.3
Scenedesmus sp (540)
Altenaria sp*
10.0 ± 0.0
Chaetoceros gracilis
Escherichia coli **
Pseudomonas sp**
Bacillus subtilis**
Sumber: * Ordogs et al. (2004)
** Pribadi (1998)
Zona hambatan
(mm)
6.7 ± 0.3
6.3 ± 1.1
6.5
7.5
7.0
(hambatan tidak
bening)
14
2.4 Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri
Senyawa aktif adalah suatu senyawa yang mempunyai aktivitas biologis
terhadap organisme hidup, misalnya antimikroba, antikanker, antioksidan, dan
sebagainya. Senyawa aktif ini dapat diperoleh dari bahan alam, dan sering
dikenal dengan senyawa bahan alami (natural products).
Senyawa antibakteri adalah senyawa yang dapat membunuh atau
menghambat pertumbuhan bakteri.
Bahan kimia yang dapat membunuh
organisme disebut sidal, misalnya bakterisidal, fungisidal dan algasidal. Bahan
bakterisidal merupakan bahan kimia yang memiliki aktivitas membunuh bakteri,
sedangkan bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan organisme tetapi
tidak membunuh organisme tersebut disebut statik, misalnya bakteriostatik,
fungistatik (Madigan et al. 2003). Senyawa antimikrobial diproduksi secara alami
oleh organisme yang mempunyai sifat toksik terhadap mikroalga, bakteri, fungi,
virus ataupun protozoa (Metting dan Pyne 1986).
Senyawa antibakteri sebagai salah satu bahan antimikroba memiliki 3
macam
bentuk
kerja,
yaitu
bakteriostatik,
bakterisidal
dan
bakterilitik.
Bakteriostatik adalah antibiotik yang menghambat pertumbuhan dan reproduksi
bakteri tanpa membunuhnya. Mekanisme kerja zat antibakteri dengan aktifitas
bakteriostatik
adalah
menghambat
pertumbuhan
bakteri
tetapi
tidak
menyebabkan kematian. Bahan bakteriostatik (bacteriostatic agents) seringkali
menghambat sintesa protein dan bekerja dengan cara mengikat ke ribosom,
akan tetapi ikatannya tidak kuat dan ketika konsentrasi dari bahan diturunkan,
bahan menjadi terlepas dari ribosom dan pertumbuhan mulai lagi. Bakterisidal
adalah antibiotik yang mampu membunuh bakteri.
Mekanisme kerja zat
antibakteri dengan aktivitas bakterisidal adalah membunuh sel bakteri, tetapi
tidak terjadi lisis atau pecahnya sel. Bahan bakterisidal adalah kelompok bahan
kimia yang umumnya mengikat kuat pada target seluler. Mekanisme kerja zat
antibakteri dengan aktivitas bakterilitik adalah menyebabkan kematian dengan
cara sel lisis. Penghancuran sel terlihat dengan berkurangnya jumlah sel atau
dalam bentuk keruh setelah ditambahkan bahan antibakteri. Bahan bakterilitik
meliputi antibiotik yang menghambat sintesa dinding sel seperti penisilin dan juga
seperti bahan kimia yang dapat menghancurkan membran sitoplasma (Madigan
et al. 2003). Kerja senyawa antibakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain konsentrasi senyawa antibakteri yang digunakan, jumlah dan spesies bakteri,
suhu, keberadaan bahan organik lain, dan pH (Pelczar dan Chan 2005).
15
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba atau antibiotik dibagi
menjadi beberapa kelompok (Madigan et al. 2003), yaitu:
(1) Menghambat sintesis dinding sel mikroba
Antibiotik akan menghambat proses sintesis dinding sel. Tekanan osmotik
dalam sel mikroba lebih tinggi daripada di luar sel, sehingga kerusakan
dinding sel mikroba akan menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan
dasar dari efek bakterisidal terhadap mikroba yang peka
(2) Antimikroba yang mengganggu keutuhan (fungsi) membran sel mikroba
Kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen dari
dalam sel mikroba
(3) Antimikroba menghambat sintesis protein sel mikroba
(4) Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba
Antimikroba yang memiliki mekanisme kerja seperti ini pada umumnya
kurang mempunyai sifat toksisitas selektif karena bersifat sitotoksis
terhadap sel tubuh manusia
Berdasarkan kekuatan membunuh bakteri, suatu antibiotik diatur oleh 3
faktor (Bintang 1993), yaitu :
(1) Kadar antibiotik
Banyaknya senyawa antibiotik yang terserap akan meningkat bila kadarnya
dinaikkan
(2) Lamanya kontak
Perubahan struktur atau metabolisme sel pada mulanya dapat bersifat
reversible, namun akan berubah menjadi irreversible bila perlakuannya dalam
jangka waktu yang lama
(3) Kepadatan suatu sel bakteri
Makin padat sel bakteri makin banyak antibiotik yang dibutuhkan, akan tetapi
tergantung pada medium penguji antibiotik tersebut
Mekanisme penghambatan antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri
dapat
berupa
kerusakan
dinding
sel
yang
mengakibatkan
lisis
atau
penghambatan sintetis dinding sel, pengubahan permeabilitas membran
sitoplasma sehingga menyebabkan keluarnya bahan makanan melalui dinding
sel, denaturasi protein sel, dan perusakan sistem metabolisme di dalam sel
dengan cara penghambatan kerja enzim intraselular (Pelczar dan Reid 1972).
Penghambatan aktivitas mikroba oleh komponen bioaktif tanaman dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1) gangguan pada senyawa
16
penyusun dinding sel, 2) peningkatan permeabilitas membran sel yang
menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, 3) menginaktifkan enzim
metabolik, dan 4) destruksi atau kerusakan fungsi material genetik (Parhusip
2006). Terjadinya proses tersebut karena pelekatan senyawa antimikroba pada
permukaan sel mikroba atau senyawa tersebut berdifusi ke dalam sel (Kanazawa
et al. 1995 diacu dalam Parhusip 2006).
Hal-hal yang mempengaruhi kerja zat antibakteri tersebut antara lain
konsentrasi zat antibakteri, waktu kontak antara bahan dengan zat antibakteri,
jumlah bakteri, suhu, sifat-sifat bakteri, sifat-sifat medium serta sifat-sifat zat
antibakteri (Pelczar dan Chan 2005).
Penggunaan
antibiotik
dibatasi
baik
jenis
maupun
jumlahnya.
Kloramfenikol merupakan antibiotik yang dapat menghambat bakteri Gram positif
dan negatif. Penggunaan kloramfenikol terbatas karena selain dapat merusak
ribosom mitokondria pada sel mamalia ( Nugraheny 2001), juga dapat merusak
eritrosit pada manusia (Baticados dan Paclibare 1992).
Pengaruh komponen antibakteri terhadap sel bakteri dapat menyebabkan
kerusakan sel yang berlanjut pada kematian. Kerusakan sel yang ditimbulkan
komponen antibakteri dapat bersifat mikrosidal (kerusakan bersifat tetap) atau
mikostatik (kerusakan yang dapat pulih kembali). Suatu komponen akan bersifat
mikrosidal atau mikostatik tergantung pada konsentrasi komponen dan kultur
yang digunakan (Bloomfield 1991 diacu dalam Parhusip 2006).
2.5 Bakteri Patogen
Bakteri patogen adalah mikroorganisme yang dapat menimbulkan suatu
penyakit baik pada hewan maupun manusia. Bakteri patogen tersebut ada yang
tergolong Gram positif maupun Gram negatif.
Bakteri patogen yang sering
mengkontaminasi makanan dikenal dengan foodborne disease.
Sumber
kontaminan bakteri patogen antara lain manusia, hewan maupun lingkungan.
Jay (2000) menyatakan bahwa patogen-patogen dapat ditularkan dari kotoran
yang terkontaminasi melalui jari-jari pengolah bahan pangan yang tidak saniter,
insekta, atau dari air. Madigan et al. (2003) menyebutkan bahwa umumnya
mikroorganisme pada bahan pangan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu
mikroorganisme
pembusuk
pada
bahan
pangan
(food
poisoning)
dan
mikroorganisme penyebab infeksi pada bahan pangan (food infection). Mikroba
patogen bertanggung jawab terhadap penyakit yang ditularkan melalui bahan
pangan. Infeksi bahan pangan (food infection) disebabkan oleh bahan pangan
17
yang terkontaminasi patogen. Berkaitan dengan mikroorganisme patogen, Huss
et al. (2003) menyatakan bahwa bacterial foodborne pathogens dapat
digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu food intoxication dan foodborne
bacterial infection. Penyakit yang ditularkan melalui bahan pangan (foodborne
disease) terjadi di negara-negara maju seperti USA. Peristiwa ini terjadi setelah
konsumen mengkonsumsi makanan dari laut (seafood).
2.5.1 Bakteri Gram positif
Bakteri patogen Gram positif yang akan digunakan pada penelitian ini
meliputi Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus. Bakteri patogen ini sering
mengkontaminasi bahan pangan.
Struktur dinding sel bakteri Gram positif
berbeda dengan dinding sel bakteri Gram negatif. Pada bakteri Gram positif, 90%
dari dinding selnya terdiri dari lapisan peptidoglikan, sedangkan lapisan tipis
lainnya adalah asam teikoat. Asam teikoat mengandung unit-unit gliserol atau
ribitol yang terikat satu sama lain oleh ester fosfat, dan biasanya mengandung
gula lainnya serta D-alanin. Karena asam teikoat bermuatan negatif, lapisan ini
juga mempengaruhi muatan negatif pada permukaan sel (Fardiaz 1989). Selain
mengandung asam teikoat, dinding sel bakteri Gram positif juga mengandung
asam teikuronat yang bermuatan negatif. Molekul ini bersama lipoteikoat
membentuk mikrofibril yang memudahkan pelekatan (Madigan et al. 2003).
(1) Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang dapat menyebabkan
keracunan stapilokokus.
Bakteri ini termasuk dalam famili Micrococcaceae,
umumnya membentuk pigmen berwarna kuning keemasan, memproduksi
koagulase, dapat memfermentasi glukosa dan manitol dengan memproduksi
asam dalam keadaan anaerobik. Sel bakteri ini berbentuk bulat (kokus) dan kecil
dengan ukuran 0,5-1,0 mikron, tidak membentuk spora, katalase positif, biasanya
selnya terdapat dalam kelompok seperti anggur, tetapi ada juga yang terdapat
secara terpisah (tunggal) atau dalam jumlah empat sel (tetrad). Staphylococcus
aureus hidup sebagai saprofit di dalam saluran pengeluaran lendir dari tubuh
manusia dan hewan seperti hidung, mulut, tenggorokan, dan dapat dikeluarkan
pada waktu bersin atau batuk. Bakteri ini juga sering terdapat pada pori-pori dan
permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus (Fardiaz 1983).
Kebanyakan bakteri Staphylococcus aureus bersifat patogen dan
memproduksi enterotoksin yang tahan panas, dimana ketahanan panasnya
18
melebihi sel vegetatifnya. Beberapa galur terutama yang bersifat patogenik
memproduksi koagulase (menggumpalkan plasma), bersifat proteolitik, lipolitik
dan beta hemolitik. Spesies lainnya, yaitu Staphylococcus epidermidis, biasanya
tidak bersifat pathogen dan merupakan flora normal yang terdapat pada kullit
tangan dan hidung. Staphylococcus aureus memproduksi pigmen berwarna
kuning sampai oranye. Bakteri ini membutuhkan nityrogen organic (asam amino)
untuk pertumbuhannya dan bersifat anaerobic fakultatif (Fardiaz 1989).
Bakteri Staphylococcus aureus merupakan penyebab kerusakan bahan
pangan karena bila
tumbuh pada bahan pangan dapat memproduksi
enterotoksin yang tahan panas. Enterotoksin ini akan dikeluarkan ke medium
atau bahan pangan. Jika makanan yang mengandung toksin ini masuk dalam
pencernaan, maka akan terjadi muntah-muntah, mual dan diare setelah 1- 6 jam
(Madigan et al. 2003).
Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif berbentuk kokus,
namanya berasal dari warna kekuningan dari koloni yang terbentuk pada
beberapa media. Secara normal S. aureus terdapat pada hidung dan kadangkadang pada kulit, bahkan dapat menyebabkan infeksi kulit.
ditemukan dalam jumlah sedikit di saluran usus.
Bakteri ini juga
Beberapa strain S. aureus
dapat memproduksi eksotoksin yang dapat menyebabkan foodborne disease.
Pertumbuhan bakteri ini dalam makanan dapat terjadi jika makanan disimpan
pada suhu ruang dalam waktu yang lama (Salyers dan Whitt 1994).
Rahayu (1999) menyatakan bahwa Staphylococcus aureus merupakan
mikroba flora normal yang terdapat pada permukaan tubuh, rambut, mulut,
tenggorokan.
S. aureus banyak mencemari pangan karena tindakan kurang
higienis dalam penanganan pangan.
(2) Bacillus cereus
Bacillus cereus merupakan bakteri Gram positif berbentuk batang dan
berspora, secara normal berada dalam tanah, debu dan air.
Bakteri ini
memproduksi berbagai toksin ekstraselular dan enzim, termasuk lecithinase,
protease, β-lactamase, toksin yang membunuh tikus, cereolycin dan hemolysin.
Bakteri ini tumbuh cepat pada makanan yang disimpan pada suhu 30-40 oC (Jay
2000). Spora bakteri ini resisten terhadap pengeringan dan mudah menyebar
dengan debu (Huss et al. 2003).
Bacillus cereus bersifat aerob, berbentuk batang, berspora, secara
normal ada dalam tanah, debu, dan air. Bakteri ini masuk golongan mesofili,
19
pada suhu 4-5
o
C pertumbuhannya tidak baik.
Beberapa strain yang
memproduksi toksin dapat tumbuh pada suhu 4-6 oC. Bacillus cereus dapat
ditekan pertumbuhannya pada suhu rendah (chilling). Bakteri ini dapat
menyebabkan keracunan, toksinnya menyebabkan diare (Jay 2000).
2.5.2 Bakteri Gram negatif
Bakteri Gram negatif yang akan digunakan pada penelitian ini antara lain
Escherichia coli dan Vibrio harveyi. Escherichia coli merupakan bakteri patogen
pada manusia, sedangkan Vibrio harveyi merupakan bakteri patogen yang sering
menyebabkan kematian pada udang.
Bakteri Gram negatif memiliki lapisan luar dinding sel yang mengandung
5-10% peptidoglikan, selebihnya terdiri dari protein, lipopolisakarida dan
lipoprotein. Lipopolisakarida (LPS) tidak hanya teridiri dari fosfolipid, tetapi juga
mengandung polisakarida dan protein.
Dinding sel bakteri Gram negatif
mengandung tiga polimer yang terletak di luar lapisan peptidoglikan, yaitu
lipoprotein, porin matriks dan lipopolisakarida.
Lipopolisakarida dinding sel
bakteri Gram negatif terdiri atas suatu lipid kompleks yang disebut lipid A. Lipid
A terdiri atas suatu rantai satuan disakarida glukosamin yang dihubungkan
dengan ikatan pirofosfat, dimana merupakan tempat melekatnya sejumlah asam
lemak berantai panjang (Madigan et al. 2003).
(1) Vibrio harveyi
Vibrio merupakan bakteri patogen yang bisa hidup bebas di perairan laut
dan dapat menyebabkan infeksi pada manusia maupun hewan. Kontaminasi
bakteri ini bisa terjadi karena lingkungan maupun makanan yang berasal dari
perairan yang tercemar oleh bakteri tersebut.
Dalsgaard (2001) menyatakan
bahwa ada lebih dari 12 Vibrio spp yang diketahui berhubungan dengan penyakit
pada manusia.
Berkaitan dengan bakteri patogen, Munn (2004) juga menyatakan bahwa
beberapa Vibrio sp menyebabkan kerugian di hatchery dan budidaya udang.
Kebanyakan yang menjadi masalah adalah Vibrio harveyi dan Vibrio penaecida.
Genus Vibrio merupakan agen penyebab vibriosis yang menyerang hewan laut
seperti ikan, udang dan kerang-kerangan (Sunaryanto dan Mariam 1986 diacu
dalam Suwanto et al. 1999). Spesies Vibrio yang berpendar pada umumnya
menyerang larva udang dan penyakitnya disebut penyakit udang berpendar.
Bakteri-bakteri tersebut adalah Vibrio harveyi dan Vibrio splendidus (Lavilla-
20
Pitogo 1995) serta Vibrio albensis (Suwanto et al. 1999). Luminous vibriosis
telah dilaporkan menyebabkan mortalitas udang di Philipina (Lavilla-Pitogo 1995)
dan penyakit ini disebabkan oleh bakteri yang menjadi masalah pada industri
udang tidak hanya di Philipina tetapi juga negara lain.
Hampir semua luminescent vibriosis mempunyai karakteristik fisiologi dan
morfologi yang serupa, yaitu: Gram negatif, berbentuk batang pendek,
memfermentasi glukosa, oksidase dan katalase positif, motil, memproduksi H2S
dan indole, mempunyai koloni berwarna hijau pada media TCBSA dengan suhu
28-37 oC (Naviner et al. 1999). Aktivitas dan pertumbuhan Vibrio harveyi secara
umum dipengaruhi oleh faktor abiotik. Faktor tersebut antara lain suhu, tekanan
osmose, cahaya, dan radiasi, keasaman, salinitas, kandungan bahan organik
dan zat bakteriostatik serta bakterisida (Nugraheny 2001).
(2) Escherichia coli
Escherichia
pencernaan
coli
hewan.
merupakan
Bentuknya
bakteri
pendek,
yang
umumnya
batang
Gram
menghuni
negatif
dan
diklasifikasikan sebagai enteric bacteria. Bakteri patogen ini dapat menyebabkan
penyakit diare dan infeksi saluran urin.
Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
memproduksi verotoxin, yaitu suatu enterotoksin yang juga diproduksi Shigella
dysenteriae, Shiga toksin.
E. coli O157:H7, tumbuh dalam usus kecil dan
memproduksi verotoxin yang dapat menyebabkan diare berdarah dan gagal
ginjal. Pada umumnya infeksi terjadi pada orang yang mengkonsumsi daging
yang tidak dimasak atau kurang matang yang terkontaminasi bakteri ini,
biasanya daging cincang.
negara berkembang.
Penyakit diare sering terjadi pada anak-anak di
Metode yang bisa digunakan untuk mencegah infeksi
bakteri ini antara lain mengkonsumsi bahan pangan yang matang.
Amerika
Serikat telah mengijinkan penggunaan iradiasi untuk daging cincang agar
tehindar dari infeksi bakteri ini (Madigan et al. 2003).
Tidak semua Escherichia coli bersifat patogen dan strain yang berbeda
menyebabkan perbedaan penyebab penyakit. Oleh karena itu membedakan
strain dan kelompok ini sangat penting, sehingga strain yang menyebabkan
penyakit perlu diidentifikasi.
Untuk membedakan sistim klasifikasi serologi,
digunakan bentuk permukaan dari E. coli: O antigen dari LPS (O) dan flagella (H).
Antigen O identik dengan serogrup dan antigen H
(Salyers dan Whitt 1994).
identik dengan serotype
21
Escherichia coli merupakan penyebab acute watery diarrhea yang sering
menimpa pendatang baru atau orang asing di negara-negara tertentu.
Terjadinya strain EHEC dalam daging, susu, hasil ternak dan hasil laut cukup
tinggi. Strain EHEC masih mampu hidup selama 18 hari pada suhu 4 oC dalam
apel cincang dengan pH 3,91 – 5,11. Bakteri ini juga termasuk tidak tahan panas,
tidak tumbuh pada pada NaCl ≥ 8,5% (Jay 2000).
Download