BAB I PENDAHULUAN - Digital Library UWP

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah
ditegaskan dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan bahwa
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechsstaat) dan
tidak
berdasarkan
atas kekuasaan
belaka
(machtsstaat).
Penegasan
konstitusi tersebut mengandung makna bahwa di Negara Kesatuan Republik
Indonesia harus berpedoman dalam penghayatan dan pengamalan nilai–nilai
butir Pancasila. Hukum harus dapat menampilkan wibawanya, baik sebagai
pengayom, sarana pembangunan dan sarana pendidikan untuk menyiapkan
masyarakat Indonesia bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan sebagai
sarana untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh sebab itu, hukum sebenarnya memiliki kedudukan yang sangat
sentral, karena seluruh kebijakan pelaksanaan pembangunan negara dan
bangsa sesungguhnya harus dilaksanakan berlandaskan dan sesuai falsafah,
asas-asas, nilai-nilai dan ketentuan hukum nasional. Peranan hukum yang
mendasar ini mempunyai arti yang sangat strategis bagi sarana pembangunan
yang telah, sedang dan akan dilaksanakan. Segenap segi kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa
dan
bernegara
sangat
ditentukan
oleh
terpeliharanya stabilitas hukum nasional yang sehat dan dinamis, yang
diharapkan bukan diciptakan melalui penggunaan kekuasaan belaka, akan
tetapi melalui tegaknya hukum itu sendiri. Dalam rangka itu, pemulihan wibawa
hukum dan berperannya hukum sangat diperlukan untuk memantapkan dan
mengamankan pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya, menciptakan
2
kondisi yang lebih mantap sehingga setiap anggota masyarakat dapat
menikmati iklim kepastian hukum, keadilan hukum dan kemamfaatan hukum di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa adanya perlakuan
yang bersifat diskriminatif dan lebih memberikan dukungan dan pengarahan
pada upaya-upaya pembangunan nasional guna mencapai kemakmuran yang
adil dan merata serta menumbuhkan dan mengembankan disiplin hukum
nasional dalam penerapannya dan juga peran, partisipasi maupun tanggung
jawab sosial pada setiap anggota masyarakat.
Disamping itu, dalam hal penerapan sanksi hukum bagi para pelaku tindak
kejahatan sebagai upaya tegaknya hukum di Negara Indonesia, diharapkan
hukum dapat memberikan pengayoman kepada seluruh lapisan masyarakat,
memberi rasa aman dan ketentraman, menciptakan lingkungan dan iklim yang
mendorong kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum itu
sendiri, sehingga menciptakan kondisi yang lebih baik pada era globalisasi saat
ini. Hal ini didasarkan bahwasanya akan tampak suatu gambaran bahwa
hukum pada hari ini sudah tidak cukup mampu lagi memikul beban sosial yang
sedemikian majemuknya yang diakibatkan kecenderungan perkembangan
masyarakat Indonesia dengan masyarakat dunia pada masa era globalisasi
saat ini.
Sejalan dengan pandangan diatas, Pancasila sebagai dasar Negara
Indonesia mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang
Maha Esa, memiliki kebebasan dalam kehidupannya sesuai dengan akal budi
dan nuraninya untuk memutuskan sendiri prilaku atau perbuatannya dan juga
manusia itu juga harus bisa mengimbangi kebebasan yang dimiliki untuk bisa
bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukannya dan bukan atas
3
dasar kebebasan yang semaunya sendiri tanpa menghormati hak-hak asasi
manusia lainnya.
Kebebasan-kebebasan dasar dan hak-hak itulah yang disebut hak asasi
manusia yang melekat pada diri manusia secara kondrati sebagai anugerah
Tuhan Yang Maha Esa dan hak-hak ini tidak dapat diingkari oleh siapapun juga
karena pengingkaran terhadap hak-hak manusia berarti mengingkari martabat,
harkat dan derajat manusia sebagai Mahluk Tuhan. Oleh karena itu, baik
pemerintah, organisasi masyarakat dan keluarga pada semua lapisan
masyarakat mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak-hak
asasi manusia pada setiap manusia tanpa ada pengecualian. Ini berarti bahwa
hak-hak asasi manusia harus menjadi titik tolak dan tujuan dalam
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menurut
Jeremy
Bentham1,
bahwa
manusia
bertindak
untuk
memperbanyak kebahagiaan dan menggurangi penderitaan. Ukuran suatu
perbuatan manusia baik buruknya tergantung pada apakah perbuatan tersebut
dapat mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Dan juga menurut beliau, setiap
kejahatan harus disertai dengan hukuman-hukuman yang sesuai dengan
kejahatannya tersebut, dan hendaknya penderitaan yang dijatuhkan tidak lebih
daripada apa yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Sudah
menjadi realita bahwa perkembangan-perkembangan yang terjadi saat ini yaitu
di masa globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
khususnya perkembangan akan teknologi informasi dan komunikasi, akhir–
akhir ini telah memberikan andil yang sangat besar dampaknya berkaitan
dengan peningkatan berbagai tindak pidana di negeri ini. Hal ini tidak terlepas
1
Jeremy Benthem, Penganut Utilitarisme 1748 - 1832
4
dari kemajuan zaman saat ini dan juga pola pikir masyarakat selama ini yang
saling berbeda satu dengan lainnya dalam menyikapi dan menghadapi
kemajuan peradaban tersebut itu sendiri.
Pesatnya perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang semula
memberikan banyak mamfaat bagi kehidupan manusia akan tetapi disisi lain
jika perkembangan ini disalahgunakan oleh siapapun pada akhirnya juga akan
bisa menimbulkan dampak yang buruk bagi perkembangan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Misalnya saja, yaitu tingkat
pengetahuan yang rendah seseorang akan suatu bahaya, dampak dan
pertanggungjawaban selanjutnya atas setiap tindakan-tindakan yang akan,
sedang dan telah dilakukannya ditengah kehidupan masyarakat.
Berbagai kejahatan di Indonesia khususnya kejahatan kekerasan seksual
terhadap anak akhir-akhir ini yang disebabkan oleh pengaruh meningkatnya
perkembangan teknologi baik media, informasi dan komunikasi yang disusul
kemudian turut menjamurnya berbagai bentuk video, gambar dan bentukbentuk adegan yang berbau seksual yang bisa di dapatkan dengan mudah
melalui berbagai sarana dan prasana yang tersedia misalnya Internet dengan
beragam
situs-situs
pornografi
dan
pornoaksi
yang
disediakan
oleh
pengembang dan pengguna internet.
Perkembangan teknologi dan informasi semacam inilah yang pada
akhirnya turut ikut serta mempengaruhi moral, sikap, tindakan dan pola pikir
seseorang yang melihat, mendengar, mengetahui informasi tersebut sehingga
membuat seseorang berbuat melanggar hukum misalnya melakukan tindakan
eksploitasi seksual, kekerasan seksual, pelecehan seksual dan perbuatanperbuatan tidak senonoh lainnya terhadap anak-anak di Indonesia.
5
Peningkatandan
perkembangan
informasi
yang
berkaitan
dengan
pornografi dan pornoaksi yang terjadi saat ini juga secara langsung maupun
tidak langsung akan membuat para pelaku kejahatan terutama dalam tindak
pidana kekerasan seksual memiliki kesempatan yang luar biasa bebas untuk
bisa mengimplementasikan apa yang dilihat, didengar dan diketahuinya
mengenai seksualitas tanpa didukung pengawasan dari berbagai pihak
(pemerintah, masyarakat dan keluarga) dan juga mengenai penerapan sanksi
hukum yang mengatur secara tegas dari pemerintah mengenai sanksi hukum
yang diterapkan bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak kurang
begitu tepat. Tentu saja, hal-hal semacam inilah yang mempengaruhi dan
mengakibatkan
kian
maraknya
berbagai
kegiatan
eksploitasi
seksual,
kekerasan seksual dan juga pelecehan seksual terhadap anak di Indonesia.
Di Indonesia, pembahasan mengenai penanggulangan tindak pidana
kekerasan seksual terhadap anak memiliki banyak hambatan–hambatan
disebabkan oleh berbagai faktor yang akhirnya menimbulkan bermacam ragam
bentuk pelanggaran hak-hak asasi anak di Indonesia. Salah satunya adalah
kerap terjadinya berbagai kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak
diberbagai tempat dan lokasi diberbagai penjuru tanah air di Indonesia. Disisi
lain, tindakan-tindakan dalam hal ini ternyata sebagian orang tua begitu kurang
peduli dengan pengawasan terhadap anak-anaknya menjadi salah satu
penyebab terjadinya berbagai kesempatan untuk digunakan oleh para pelaku
kejahatan
dalam
menjalankan
modus
operandinya
dalam
melakukan
kekerasan seksual terhadap anak. Misalnya saja, seorang anak (perempuan)
ditinggalkan begitu saja dirumah oleh kedua orang tuanya tanpa menyadari
akan terjadinya sesuatu terhadap diri anak tersebut dirumahnya.
6
Padahal, didalam kehidupan ini anak adalah amanah sekaligus karunia
dari Tuhan Mang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga oleh semua lapisan
masyarakat. Hal ini disebabkan karena dalam dirinya (anak) tersebut melekat
harkat, martabat dan hak–hak sebagai manusia pada umumnya yang harus
dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia
yang termuat dalam Undang Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) Tentang Hak–Hak Anak.
Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan
bangsa dan generasi penerus cita–cita bangsa, sehingga anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi serta berhak atas
perlindungan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan
kebebasan. Pemerintah, orang tua, keluarga dan masyarakat bertanggung
jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan
kewajiban yang dibebankan oleh hukum yang dibuat oleh pemerintah.
Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan dari berbagai
aspek kebutuhan atas anak, Negara sebagai otoritas penguasa dalam hal ini
bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesbilitas bagi setiap anak di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa ada pengecualian
akan hal apapun terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangan
anak secara optimal dan terarah.
Berbagai peraturan perundang–undangan yang dibuat oleh pemerintah
selama ini menegaskan bahwa pertanggung jawaban orang tua, keluarga,
masyarakat dan pemerintah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
rangkaian-rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus–menerus demi
terlindunginya hak–hak asasi setiap anak khususnya anak perempuan di
7
Indonesia. Rangkaian kegiatan-kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan
terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak baik secara
fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk
mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus
bangsa yang potensial, tangguh, memiliki jiwa nasionalisme yang dijiwai oleh
akhlak mulia dan nilai–nilai Pancasila sebagai Landasan Dasar Negara
Republik Indonesia serta berkemauan keras untuk menjaga kesatuan dan
persatuan bangsa dan Negara Indonesia.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya masih banyak terjadi berbagai
pelanggaran–pelanggaran akan hak-hak asasi manusia khususnya kian
maraknya terjadi berbagai kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di
berbagai wilayah Negara Indonesia. Hal ini diperparah lagi yaitu karena
penerapan sanksi hukum pidana yang diterapkan oleh aparat penegak hukum
di negeri ini kepada para pelaku kekerasan seksual kurang maksimal misalnya
dalam hal masa hukumannya, hak–hak para pelaku/terdakwa lebih diutamakan
sementara anak yang menjadi korban kekerasan tidak mendapatkan kepastian
akan hak–hak nya lagi sebagaimana sebelumnya.
Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai ragam pendapat bagi banyak
kalangan masyarakat, sehingga akhirnya menjadi masalah yang sangat
kontroversial dan tidak memberikan keadilan, kepastian dan kemamfaatan
hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam berbagai peraturan perundang–
undangan yang dibuat oleh pemerintah selama ini dalam penyelenggaraan
perlindungan terhadap anak di Indonesia.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang kembali terjadi ditengah–
tengah kehidupan masyarakat Indonesia bisa menjadi contoh keprihatinan
8
setiap orang di Indonesia bahkan tidak tertutup kemungkinan negara-negara di
dunia akan maraknya kejahatan yang sangat memilukan ini. Keprihatinan itu
menjadi sangat besar karena korban kekerasan seksual mayoritas adalah
anak. Isu
kekerasan seksual
yang marak dibicarakan saat ini sebaiknya
jangan dipandang sebelah mata, karena hal ini ikut juga turut serta
mempengaruhi pembentukan nilai–nilai moral, etika, akhlak dan kebiasaan
hidup setiap anak di Indonesia.
Para pelaku tindak pidana dalam hal ini sering melakukan berbagai
perbuatan–perbuatan kekerasan seksual tanpa pandang bulu siapa korbannya,
apa dampak perbuatannya bagi korban yang masih anak-anak, dan apa sanksi
hukumnya jika di lakukan kepada anak–anak karena belum memahami apa itu
hukum sendiri. Akhirnya yang terjadi adalah seseorang anak yang faktanya
adalah sebagai manusia yang belum begitu mengerti akan pengertian seksual
dan akibatnya kerap menjadi korban kekerasan seksual yang tentunya
menimbulkan kerugian yang tidak bisa terbayarkan dan terganti kembali oleh
apapun juga.
Indonesia sebagai Negara Hukum, menurut Philipus M. Hadjon2, konsep
“rechstaat” lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga
sifatnya revolusioner sebaliknya konsep “the rule of law” berkembang secara
evolusioner Hak-hak asasi bukanlah bawaan kodrat manusia seperti ajaran
hukum kodrat, tetapi setiap hak warga negara (termasuk apa yang disebut hakhak asasi manusia) bersumber dari negara, dalam pengertian bahwa negaralah
yang menetapkan apa yang merupakan hak. Jika hal ini dibiarkan, maka yang
akan timbul adalah maraknya berbagai pelanggaran akan hak–hak asasi anak
2
Philipus. M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,Cetakan I, Bina Ilmu,
Surabaya, 1987, Hal.72
9
di Indonesia. Banyak akhirnya anak yang kerap kali terjerumus kedalam
berbagai perdagangan manusia (traficking) untuk kemudian dijual oleh para
pelaku–pelaku kejahatan yang kemudian dijadikan sebagai budak seks dan
korban kesewenang-wenangan para pelaku-pelaku kejahatan seksual di
berbagai tempat–tempat lokalisasi/pelacuran di berbagai pelosok tanah air
Indonesia, dan bahkan di berbagai mancanegarapun tanpa bisa berbuat apaapa
dalam
penanggulangannya
guna
mendapatkan
berbagai
bentuk
keuntungan belaka. Permasalahan ini muncul akibat dari beberapa aspek salah
satunya yang mendasari adalah aspek ekonomi seperti banyaknya tingkat
pengangguran dan kemiskinan yang
semakin meluas di Indonesia. Oleh
karena itulah banyak juga masyarakat yang menghalalkan berbagai cara untuk
memenuhi
kebutuhan
hidupnya
salah
satunya
dengan
menghalalkan
perdagangan anak.
Krisis ekonomi/moneter yang berkepanjangan dan lesunya perekonomian
menyebabkan banyak keluarga kehilangan sumber mata pencaharian sehingga
dengan adanya kondisi ini, pelacuran dianggap sebagai salah satu cara untuk
memberi kesempatan yang lebih baik kepada anak (perempuan) untuk
mendapatkan uang guna pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya seharihari. Banyak anak-anak perempuan dari desa yang mau meninggalkan
kampung halamannya karena tergiur oleh janji-janji manis yang diberikan oleh
para
trafficker (pelaku/orang yang memperdagangkan) anak-anak tersebut
untuk bekerja di kota dengan gaji yang besar, akan tetapi sesampainya di kota,
diperdaya atau dipaksa untuk menjadi pekerja seks.
Seorang anak perempuan yang sudah dipaksa untuk melakukan seksual di
tempat–tempat yang tidak diketahuinya dengan jelas tentu saja tidak bisa
10
bertindak dan berbuat apa–apa. Yang dipikirkan hanyalah bisa hidup dan
segera keluar dan melarikan diri dari tempat prostitusi tersebut atau mungkin
hanya bisa pasrah menjalaninya dan mengalami berbagai bentuk kekerasan
baik fisik, seksual dan mental selama berada di tempat tersebut.
Hal-hal seperti inilah yang
merupakan salah satu bentuk nyata
pelanggaran akan hak-hak asasi anak dan dikelola secara terorganisir yang
dilakukan oleh para pelaku kejahatan selama ini. Keadaan tidak berdaya dan
tidak ada yang membantunya lepas dari tekanan-tekanan dari para pelaku
akhirnya anak tersebut merasakan berbagai kekerasan–kekerasan seksual dan
pelecehan seksual di tempat–tempat terlarang tersebut. Banyak pendapat dari
berbagai kalangan masyarakat yang mengatakan bahwa perdagangan anak
merupakan salah satu indikator penyebab selanjutnya terjadinya berbagai
masalah–masalah kekerasan seksual, pelecehan seksual dan berbagai
kejahatan lainnya yang kerap merugikan diri seseorang anak di Indonesia.
Adanya faktor-faktor ketidakberdayaan, kemiskinan, ketidakmampuan dan
pengangguran seseorang anak (perempuan) di Indonesia adalah menjadi
suatu permasalahan yang menghimpit sehingga mereka merasa tidak punya
pilihan lain dan ikut arus perdagangan anak serta melalaikan prinsip-prinsip
Hak Asasi Manusia. Padahal, setiap manusia mempunyai hak untuk tidak
diperbudak, tidak disiksa, menentukan kebebasan pribadi, pikiran, dan hati
nurani. Indonesia sebagai negara hukum, dalam hal ini tentunya menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum yang di anut oleh Indonesia
yaitu Civil Law Sistem. Hal ini tentunya berkaitan dengan penegakan hukum,
perlindungan hukum dan juga bagaimana penerapan sanksi hukum yang
11
dilaksanakan bagi para pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak
perempuan di Indonesa.
Persoalan–persoalan kekerasan seksual yang dilakukan oleh para pelaku
kejahatan terhadap anak akhir–akhir ini juga merupakan bagian dari
perkembangan zaman yang semakin secara terang–terangan melakukan
berbagai eksploitasi seksual terhadap anak perempuan di tengah–tengah
kehidupan masyarakat. Hal ini tentu saja menimbulkan permasalahan yang
baru dan seakan-akan mengulang kembali sejarah kelam bangsa Indonesia
sebelumnya pada masa lalu yaitu berbagai bentuk penderitaan, kesengsaraan
dan kesenjangan sosial yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan
diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama,
golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya yang pernah terjadi dan
tercatat dalam sejarah perjalanan bangsa ini.
Saat ini tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak perempuan di
Indonesia merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan
masyarakat. Sering masyarakat mengetahui dan mendengarkan berbagai
berita dan kejadian dikoran, majalah, televisi bahkan di media internet
diberitakan terjadinya tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang
berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Jika mempelajari sejarah,
sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan
sebagai
suatu
bentuk
kejahatan
klasik
yang
akan
selalu
mengikuti
perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan
berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan
sebelumnya.
12
Penegakan hukum di Indonesia dalam hal kekerasan seksual sebenarnya
sudah ada sejak lama. Penggunaan hukum pidana bagi para pelaku kejahatan
kekerasan seksual di Indonesia dalam menanggulangi, memberantas dan
mengatasi masalah kekerasan seksual merupakan cara dan sarana yang
cukup efektif selama ini. Hal ini diketahui dari berbagai peraturan perundang–
undangan yang ada saat ini tidak terlepas dari adanya ketentuan pidana yang
selalu dicantumkan dalam undang–undang tersebut. Hal ini sangat bagus
sebenarnya,
akan
tetapi
penerapan
sanksi
hukum
pidana
yang
di
implementaskan saat ini lebih bersifat keperdataan ataupun pemerintahan yang
seakan-akan hanya digunakan dan diterapkan sebatas formalitas belaka tanpa
memperhatikan dan memikirkan akibat yang dialami anak yang menjadi korban
kekerasan seksual.
Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di
kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau
pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih
memegang nilai tradisi dan adat istiadat yang nota benenya masih berlaku dan
dihormati berbagai kalangan masyarakat secara kuat. Kasus tindak pidana
kekerasan seksual terhadap anak (perempuan) paling banyak menimbulkan
kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan,
maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di
atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul
yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain.
Walaupun banyak tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak
khususnya anak perempuan yang telah diproses sampai ke Pengadilan, tapi
dari kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai
13
dengan ketentuan perundang-undangan yang tercantum dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) BAB XIV Tentang Kejahatan Terhadap
Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak
pidana kekerasan seksual terhadap anak yaitu Pasal 285 yang menyatakan
bahwa :
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena
melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Dalam hal ini jelas bahwa, untuk menanggulangi kejahatan diperlukan
suatu usaha yang rasional dari masyarakat, yaitu dengan cara politik kriminal.
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan
bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence). Oleh
karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan utama dari politik kriminal adalah
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Alasan
kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia tidak dilaporkan
oleh korban kepada aparat penegak hukum untuk di proses ke Pengadilan
karena beberapa faktor, diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin aib
yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain, atau korban merasa takut
karena telah diancam oleh pelaku bahwa dirinya akan dibunuh jika melaporkan
kejadian tersebut kepada pihak kepolisian di Indonesia.
Hal ini tentu saja mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para
korban dan juga berpengaruh pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk
mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat. Faktor korban
berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan kasus kekerasan
seksual terhadap anak, hal ini memerlukan keberanian dari korban untuk
melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi, karena pada umumnya
14
korban mengalami ancaman akan dilakukan perkosaan lagi dari pelaku dan hal
ini membuat korban takut dan trauma. Diharapkan dari pengaduan ini, maka
kasusnya dapat terbuka dan dapat dilakukan proses pemeriksaan sehingga
korban akan memperoleh keadilan atas apa yang menimpa dirinya. Tindak
pidana kekerasan seksual yang kerap terjadi, khususnya yang dialami oleh
anak–anak khususnya anak perempuan di Indonesia adalah salah satu bentuk
kekerasan terhadap anak perempuan yang merupakan contoh kerentanan
posisinya sebagai seorang anak di Indonesia, utamanya terhadap kepentingan
seksual seseorang laki-laki. Citra seksual seseorang anak perempuan yang
telah ditempatkan sebagai obyek seksual laki-laki, ternyata berimplikasi jauh
pada kehidupan anak perempuan, sehingga dia terpaksa harus selalu
menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik serta psikis.
Perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan korban tindak pidana
kekerasan seksual baik melalui proses peradilan pidana maupun melalui
sarana kepedulian sosial tertentu merupakan bagian mutlak yang perlu
dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan-kebijakan
sosial, baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun oleh
lembaga-lembaga sosial yang ada. Berdasarkan tujuan untuk mewujudkan
pemerataan keadilan dan kesejahteraan umum bagi setiap warga negara,
maka hak korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak perempuan
untuk dilindungi pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi di
bidang jaminan sosial. Keberadaan Undang Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan aturan-aturan hukum yang
menyangkut kekerasan seksual terhadap anak perempuan serta bagaimana
proses perlindungan hukum bagi korban serta penerapan sanksi hukum pidana
15
sesuai dengan sistem hukum yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik
Indonesia yaitu Civil Law System disebutkan bahwa kekerasan seksual
terhadap anak merupakan suatu tindak pidana yang meresahkan masyarakat
karena banyak
mengancam para perempuan dan anak yang mana kerap
dijadikan korban kebiadaban yang tiada henti oleh para pelaku kejahatan ini.
Jika masalah tersebut tidak segera ditanggulangi oleh aparat penegak
hukum, pemerintah maupun masyarakat sendiri. Maka hal ini juga dapat
berpengaruh terhadap kestabilan negara kita karena anak juga pada
hakekatnya adalah generasi penerus cita-cita bangsa dan negara tercinta ini.
Oleh sebab itu, upaya perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana
kekerasan seksual terhadap anak perempuan ini sangatlah penting agar untuk
kedepannya hal tersebut dapat diminimalisasi dan sebisa mungkin dapat
dicegah bahkan tidak ada lagi kejahatan semacam ini dimasa-masa
mendatang di Indonesia.
Sebagaimana dikemukakan oleh A.Qirom Syamsudin Meliala dan E.
Sumaryono3,
bahwa
dalam
kehidupan
sehari-hari
masyarakat
saling
berhubungan antara satu dengan lainnya, sebab masing-masing mempunyai
kepentingan, seperti kepentingan jiwa raga, harta benda, kemerdekaan diri,
kehormatan, dan lain-lain (zoon politicon). Tetapi adakalanya kepentingankepentingan masyarakat itu bersamaan, karena diperlukan kerjasama, namun
kadang-kadang kepentingan itu bertentangan sama sekali, sehingga diperlukan
peraturan-peraturan yang membatasi hak-hak dan kewajiban-kewajiban
masing-masing supaya jangan saling berbenturan.
3
A. Qirom Syamsudin Meliala dan E. Sumaryono, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari Psikologi
Dan Hukum, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1985, Hal. 3
16
Dengan adanya ancaman hukuman berupa penilaian dan reaksi
masyarakat atau penyimpangan dari norma-norma tersebut berarti perbuatan,
tingkah laku/perangai itu dibenci dan tidak dibenarkan muncul ditengah-tengah
kehidupan masyarakat. Penilaian atau reaksi dari perbuatan orang yang
bersifat tidak disukai inilah yang sering disebut oleh masyarakat sebagai
kejahatan. Oleh karena itu, negara sebagai sebuah organisasi harus bisa
memberikan batasan–batasan serta melakukan berbagai perlindungan hukum
dan juga kepastian hukum bagi masyarakatnya tanpa terkecuali agar ketertiban
dan kenyamanan dalam kehidupan di wilayahnya tercapai.
Tujuan pembatasan–pembatasan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
negara memberikan larangan dan ketentuan–ketentuan bagi setiap orang di
wilayahnya antara yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh
warga negaranya. Dengan ditegakkannya hukum pidana di Indonesia adalah
guna menanggulangi berbagai kejahatan–kejahatan salah satunya adalah
tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Kekerasan seksual terhadap
anak sudah tentunya mengakibatkan dampak bagi masyarakat luas, keluarga
dan korban/ anak itu sendiri, yang mana bahwa sudah di tegaskan dalam
berbagai peraturan perundang–undangan yang berlaku di Indonesia bahwa
setiap anak merupakan generasi penerus bangsa, pelopor dalam mengisi
kemerdekaan dan juga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam
mengangkat dan meneruskan harkat, martabat dan derajat bangsa Indonesia
tentunya.
Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam perkembangan sosial dewasa
ini, banyak terjadi kejahatan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia
terutama di kalangan masyarakat ekonomi lemah. Berbagai kasus yang telah
17
terjadi mengenai kekerasan seksual terhadap anak sebenarnya banyak sekali
di Indonesia. Contohnya antara lain yaitu sebagai berikut :
1. Di Sleman, Yogyakarta, seorang pria divonis 2 tahun penjara oleh Hakim
Pengadilan Negeri Sleman dengan tuduhan pria tersebut memperkosa
gadis dibawah umur, sebut saja “Mawar” (16 tahun) yang diperkosa
beberapa kali di penginapan, serta menjual handphone milik korban untuk
membayar penginapan tersebut”
2. Di Karangdoro, Jawa Timur, seorang gadis diperkosa oleh kakak
kandungnya sendiri. Korban yang bernama Eni (18 tahun) mengaku
diperkosa oleh kakaknya yang bernama Sukri (38 tahun) lalu menjualnya
ke Surabaya selama 2 tahun berturut-turut.
Dalam kasus ini, tentunya banyak sekali munculnya kerugian hak, tidak
mendapatkan perlindungan hukum serta rasa untuk hidup dengan aman,
tentram dan bebas yang di miliki oleh seseorang anak telah dirampas oleh para
pelaku kejahatan tanpa mendapatkan perlindungan yang cukup dari Negara.
Berbagai macam kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di
Indonesia, secara garis besar sudah tentunya menimbulkan kerugian bagi anak
sebagai korban kekerasan seksual dan juga pihak keluarga si anak tersebut.
Adapun kerugian–kerugian yang diakibatkan kekerasan seksual terhadap
anak tersebut secara garis besar yaitu :
1. Kerugian dibidang mental
2. Kerugian dibidang kesehatan dan keselamatan jiwa
3. Kerugian dibidang sosial dan moral
Kekerasan seksual terhadap anak dapat didefenisikan sebagai hubungan atau
interaksi antara seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau orang
18
dewasa seperti orang asing, saudara kandung atau orang tua dimana anak
tersebut dipergunakan sebagai sebuah obyek pemuas bagi kebutuhan seksual
si pelaku. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan,
ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Kegiatan-kegiatan yang mengandung
kekerasan seksual tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan
anak perempuan tersebut.
Tindakan-tindakan tersebut dapat termasuk ekshibisme atau voyerurme
seperti orang dewasa yang menonton seorang anak perempuan sedang
telanjang atau menyuruh atau memaksa anak-anak perempuan untuk
melakukan kegiatan-kegiatan seksual dengan orang lain sedangkan pelaku
tersebut menonton atau merekam kegiatan-kegiatan seksual tersebut . Para
pelaku kejahatan kekerasan seksual ini sering kali adalah orang yang memiliki
tanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan anak tersebut. Dengan
demikian, sudah ada hubungan kepercayaan di antara mereka dan pada saat
yang bersamaan adanya satu kekuasaan.
Dari berbagai kasus–kasus diatas dan juga akibat dan kerugian yang
dialami seseorang anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual,
penegakan sistem hukum yang ada saat ini masih sangat lemah dalam
penerapan sanksi hukum pidana.Indonesia dituntut untuk segera melakukan
suatu pembaharuan dibidang hukum pidana mengenai penerapan sanksi
hukum pidana yang tepat bagi para pelaku kejahatan ini. Hal ini dimungkinkan
karena penggunaan hukum pidana adalah sebagai salah satu cara dan sarana
yang tepat digunakan diberbagai belahan negara–negara di dunia untuk
menanggulangi, mencegah, menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual
terhadap anak perempuan serta untuk membasmi kekerasan seksual terhadap
19
anak perempuan secara total dan kongkrit di seluruh wilayah negara
Indonesia.
Menurut Soerjono Soekanto4, hukum adalah suatu gejala sosial-budaya
yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan
tertentu terhadap individu-individu dalam bermasyarakat. Disamping itu juga
hukum sebagai sarana “social engineering”, hukum merupakan suatu sarana
yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga-warga masyarakat, sesuai
dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.Korban adalah sebuah
konsepsi mengenai realitas sebagaimana juga halnya obyek peristiwaperistiwa. Konstruksi sosial hukum sendiri menyatakan bahwa semua
kejahatan mempunyai korban. Adanya korban adalah indikasi bahwa ketertiban
sosial yang ada terganggu, oleh karena itu dari sudut pandang legalitas, korban
seringkali secara jelas diperinci.
Disisi lain, kebanyakan orang melihat keberadaan sistem peradilan pidana
hanya bersifat formal sebagaimana adanya. Mereka tidak menyadari bahwa
metode penanganan pelaku kejahatan bukanlah merupakan norma yang terjadi
dalam perkembangan sejarah. Sesungguhnya, versi peradilan pidana modern
secara relatif terjadi fenomena baru. Hari-hari berlalu, pertanggungjawaban
pidana pelaku kejahatan terarah pada korban dan keluarga korban. Di sana tak
ada “otoritas” untuk mengubah bagaimana menolong korban dalam penerapan
sanksi hukum pidana. Masyarakat hanya bisa mengenal sistem dasar tentang
“retribution” (bahwa pelaku akan menderita sebanding dengan tingkat kerugian
yang diakibatkan oleh perilakunya) dan “restitution” (pembayaran sejumlah
uang dalam rangka untuk memberikan bantuan kepada korban).
4
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Cetakan Keempat, Rajawali Pers, Jakarta,
1987, Hal. 9
20
2. Rumusan Masalah
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh korban tindak pidana
kekerasan seksual terhadap anak perempuan di Indonesia sangatlah
kompleks. Permasalahan yang dihadapi tidak hanya pelanggaran akan hak-hak
asasi yang terjadi pada dirinya, namun juga terjadi dalam proses hukum
terhadap kasus yang menimpanya. Seorang anak yang menjadi korban tindak
pidana kekerasaan seksual bisa menjadi korban ganda dalam proses
persidangan dan juga mendapat perlakuan yang tidak adil dalam proses untuk
mencari keadilan itu sendiri.
Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi permasalahan dalam
penelitian
ini
adalah
karena
pelanggaran–pelanggaran
banyaknya
hak-hak
asasi
faktor
terhadap
yang
anak
mempengaruhi
di
Indonesia
khususnya anak perempuan, terutama dalam hal kejahatan dibidang
kesusilaan yakni kekerasan seksual yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan
dengan berbagai modus operandinya. Maka perlu diringkas dan diadakan
penelitian berkaitan dengan faktor–faktor apa saja yang mempengaruhi
terjadinya kekerasan seksual terhadap anak perempuan dan juga sistem yang
digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam hal penerapan sanski pidana
terhadap para pelaku tindak kejahatan seksual (kekerasan seksual terhadap
anak perempuan), serta bagaimana upaya perlindungan hukum terhadap anak
perempuan korban kekerasan seksual di indonesia dengan cara/menggunakan
analisis berbagai faktor misalnya faktor pendidikan, kesehatan, ekonomi,
budaya serta sosial di Indonesia.
Dari uraian diatas, maka sesuai dengan sistem hukum yang di anut oleh
Negara Indonesia yakni menganut Civil Law Sistem yang sarat akan pro dan
21
kontradiktif dalam pelaksanaannya dan penerapan sanksi hukum pidana bagi
para pelaku kekerasan seksual terhadap anak, maka yang menjadi rumusan
permasalahan adalah sebagai berikut :
1. Apa saja substansi dari pengaturan terhadap defenisi anak dan kaitannya
dengan pengertian kekerasan seksual terhadap sesuai kebijakan hukum di
Indonesia?
2. Bagaimanakah penegakan sanksi hukum bagi para pelaku kekerasan
seksual terhadap anak dan perlindungan hukum terhadap anak korban
kekerasan seksual di Indonesia serta penanggulangannya di Indonesia?
3. Penjelasan Judul
Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi konvensi
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang hak-hak anak melalui Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 36/10 tanggal 25 Agustus 1990. Dengan
diratifikasinya konvensi tersebut, berarti secara hukum, negara berkewajiban
melindungi dan memenuhi hak anak-anak, baik hak sipil, politik, sosial, budaya
dan ekonomi. Pada kenyataannya negara masih belum mampu memenuhi
kewajibannya untuk melindungi hak-hak anak, salah satu permasalahan yang
masih terjadi adalah keberadaan kekerasan seksual yang dialami oleh anak di
Indonesia.
Kekerasan seksual terhadap anak bukan hanya melanggar hak-hak asasi
anak saja, bentuk–bentuk kekerasan seksual yang kerap terjadi akhir–akhir ini
juga membawa dampak-dampak buruk bagi anak-anak, baik secara fisik
maupun psikis. Lebih jauh, kekerasan seksual yang dialami oleh anak yang
22
dilakukan oleh para pelaku selama ini dikhawatirkan akan menggangu masa
depan anak tersebut untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
4. Alasan Pemilihan Judul
Kekerasan seksual terhadap anak merupakan suatu tindak pidana yang
meresahkan masyarakat karena banyak mengancam para anak yang mana
kerap dijadikan korban guna memuaskan hasrat birahi dan kebutuhan
seksualitas seseorang/pelaku kejahatan. Jika masalah tersebut tidak segera
ditanggulangi oleh aparat penegak hukum, pemerintah maupun masyarakat
sendiri. maka hal ini juga dapat berpengaruh terhadap kestabilan negara kita
karena anak pada hakekatnya adalah generasi penerus cita-cita bangsa dan
negara tercinta ini.
Oleh sebab itu, upaya perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana
kekerasan seksual terhadap anak ini sangatlah penting agar untuk kedepannya
hal tersebut dapat diminimalisasi dan sebisa mungkin dapat dicegahserta
ditumpas hingga tuntas, karena kekerasan seksual terhadap anak adalah
merupakan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia yang sangat memilukan.
Dari uraian latar belakang di atas, masalah–masalah kekerasan seksual
terhadap anak khususnya anak perempuan, dewasa ini telah semakin
meningkat para pelakunya dengan berbagai bentuk modus operandinya guna
mendapatkan kepuasan hasrat birahi/seksualitas para pelaku dari anak yang
kerap menimbulkan berbagai penderitaan bagi anak tersebut, berangkat dari
sinilah penulis mengambil judul yaitu “ Penerapan Sanksi Hukum Pidana
Bagi Para Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak di
Indonesia “.
23
5. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini yaitu :
1. Tujuan akademis yakni untuk memenuhi salah satu persyaratan pada studi
tahap akhir guna untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas
Wijaya Putra Surabaya.
2. Sedangkan tujuan praktis yakni, penulis berupaya untuk menggali dan
menjelaskan mengenai perlindungan hukum bagi anak korban kekerasan
seksual, lebih khususnya mengenai penerapan sanksi hukum pidana bagi
para pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang di tinjau dari undangundang yang berlaku serta fungsi dan tujuan hukum. Dimana kekerasan
seksual terhadap anak memerlukan suatu penanganan yang serius, cepat,
tepat dan tuntas. Perangkat pengaturan hukum pidana materiil dengan
sistem hukum pidana formil yang ada di Indonesia memerlukan
pemahaman yang benar dan sama guna memberantas kekerasan seksual
terhadap anak di Indonesia. Penerapan sanksi hukum pidana bagi para
pelaku kekerasan seksual terhadap anak dalam berbagai peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
di
Indonesia
masih
bersifat
menguntungkan para pelaku dibandingkan anak yang menjadi korban
kekerasan seksual.
6. Manfaat Penelitian
Adapun mamfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Dapat memahami defenisi dan pengertian anak di Indonesia.
2. Dapat mengetahui pengertian kekerasan seksual terhadap anak dan
akibatnya bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
24
3. Sebagai bahan masukkan bagi mahasiswa/peneliti yang ingin melakukan
penelitian yang berhubungan dengan masalah yang sama dan menambah
pengetahuan peneliti tentang penegakan hukum dan penerapan sanksi
hukum pidana terhadap para pelaku kekerasan seksual terhadap anak di
indonesia.
4. Sebagai bahan pelengkap informasi dan bahan acuan bagi semua pihak
misalnya aparat penegak hukum dan masyarakat, anak, orang tua korban
kekerasan
seksual
dan
semua
pihak
yang
sedang
menghadapi
permasalahan-permasalahan yang timbul sehubungan dengan kekerasan
seksual terhadap anak di Indonesia.
7. Metode Penelitian
Ilmu Hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat presfiktif
dan terapan. Sifat–sifat presfektif dari Ilmu Hukum itu sendiri, merupakan suatu
yang sangat substansial dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat
dipelajari oleh ilmu–ilmu yang bukan ilmu hukum.
Oleh sebab itu, jenis penelitian hukum pun jelas sangat berbeda dengan
penelitian non–hukum lainnya.
a. Tipe Penelitian
Pemilihan metode penelitian disesuaikan dengan batasan ilmu hukum yang
akan dicari jawabannya tentang perlindungan hukum terhadap anak,
kekerasan seksual terhadap anak dan penerapan sanksi pidana yang
dibuat oleh pemerintah kepada para pelaku tindak pidana kekerasan
seksual terhadap anak di Indonesia. Untuk dapat memberikan jawaban dan
mentelaah isu hukum tersebut, digunakan tipe “Penelitian Hukum
25
Normatif” yakni suatu penelitian yang bertumpu pada telaah penelitian
yuridis normative atas hukum positif dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia, yang berkaitan dengan pokok masalah yang
dibahas.
b. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan undang–undang,
yakni
pendekatan
dengan
melakukan
kajian
terhadap
peraturan
perundang–undangan yang berlaku dan peraturan lain yang berkaitan
dengan pokok masalah yang dibahas. Disamping itu, dalam penelitian ini
juga
menggunakan
pendekatan
doktrin/konsep
yakni
dengan
memperhatikan, mempelajari dan memahami pendapat para ahli hukum
dalam karya–karya tulis ilmiah, misalnya buku–buku literatur, jurnal hukum,
makalah–makalah dalam seminar dan sebagainya serta internet sebagai
pelengkap informasi yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas
dalam memberikan analisa atas peraturan perundang-undangan yang
berlaku tersebut.
c. Bahan Hukum
Sebagai sumber dalam penelitian hukum normatif terdiri atas bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri atas
peraturan perundang–undangan dan peraturan–peraturan lainnya yang
berlaku (Hukum Positif) yang pembahasannya terkait dengan pokok
masalah yang dibahas dengan tidak membatasi peraturan hukum yang
berkaitan dengan masalah yang akan dibahas.
26
Bahan hukum sekunder berupa buku-buku literatur, karya-karya tulis ilmiah
para ahli hukum, makalah, jurnal hukum, interner dan sebagainya yang
berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas.
d. Langkah-langkah Penelitian
Langkah–langkah penelitian ini melalui beberapa tahap yaitu ;
1. Tahap Pertama
Pada tahap pertama ini penulis memulai penelitian dengan mulai
menggumpulkan bahan–bahan hukum dan mengiventarisasi bahan
hukum yang terkait dengan menggunakan studi kepustakaan dan media
lainnya seperti internet dan lain–lain. Kemudian bahan hukum di
klasifikasikan dengan cara memilih bahan hukum, dan di susun secara
sistematis agar mudah di baca dan di pahami yang kemudian di
lanjutkan dengan berbagai penyempurnaan.
2. Tahap Kedua
Dalam tahap kedua ini dilakukan pemahaman dan mempelajari bahanbahan hukum dengan menggunakan metode deduksi yaitu suatu
metode penelitian yang diawali dengan menemukan pemikiranpemikiran atau ketentuan yang bersifat umum, untuk diterapkan pada
pokok masalah yang dibahas yang lebih bersifat khusus.
3. Tahap Ketiga
Untuk sampai pada jawaban permasalahan di gunakan penafsiran
sistematis, yaitu penafsiran yang mendasarkan hubungan antara
peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainya, pasal
yang satu dengan pasal yang lainnya dalam peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pokok bahasan.
27
8. Sistematika Pertanggung Jawaban
Untuk dapat memberikan gambaran secara garis besar masalah–masalah
dan
penelitian,
memudahkan
pembahasan
dan
dapat
memahami
permasalahan secara jelas, maka skripsi ini ditulis secara sistematis yakni
dibagi dalam 4 (empat) Bab dan Sub–sub bab yaitu sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan. Bab ini merupakan gambaran tentang mengapa,
bagaimana dan untuk apa penelitian ini disusun. Oleh karena itu dalam Bab ini
dipaparkan tentang latar belakang masalah yang menjadi alasan penting
mengapa kajian ini dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan
permasalahan sebagai titik tolak kajian hukum ini, penjelasan judul, alasan
pemilihan judul, tujuan penelitian, mamfaat penelitian, uraian tentang metode
penelitian sebagai instrument kajian apakah langkah–langkah dalam penelitian
ini dapat dan bisa untuk dipertanggungjawabkan mengenai kebenarannya.
Sistematika pertanggungjawaban memberikan gambaran secara utuh tentang
penelitian.
Bab II Anak dan Pengertian Kekerasan Seksual Terhadap Anak serta
Penanggulangannya. Dalam bab ini membahas tentang defisinisi anak dan
pengertian kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak serta upaya
penanggulangan kekerasan seksual bagi anak yang mengalami perlakuan
kekerasan seksual di Indonesia.
Bab III Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap
Anak Melalui Upaya Kebijakan Dalam Melaksanakan Penerapan Sanksi
Hukum Pidana di Indonesia. Pada Bab ini membahas apa itu hukum, fungsi
hukum, tujuan hukum serta bagaimana fungsi dan tujuan hukum dalam hal
28
menerapkan sanksi hukum pidana yang tepat bagi para pelaku kekerasan
seksual terhadap anak di Indonesia.
Bab IV Penutup. Merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri atas
bagian kesimpulan, kritik dan saran sebagai jawaban singkat dan lengkap atas
rumusan masalah serta bagian saran sebagai suatu sumbangan pemikiran dan
masukan dalam khasanah hukum, sehingga melalui ini diharapakan dapat
dijadikan bahan pertimbangan kedepan atau wacana yang positif terhadap
penjelasan tentang masalah penerapan sanksi hukum pidana bagi para pelaku
kekerasan seksual terhadap anak di indonesia.
29
BAB II
KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK, PERMASALAHAN
DAN PENANGGULANGANNYA
2.1. Pengertian Anak Sesuai Hukum Positif Indonesia
Definisi dan pengertian tentang anak menjadi suatu permasalahan di
Negara Indonesia, terutama dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Dalam
berbagai peraturan perundang–undangan yang ada di Indonesia terdapat
berbagai batasan
atau mengenai definisi usia anak di Indonesia. Menurut
pendapat Soerojo Wignjodipoero5, peralihan dari tidak cakap menjadi cakap
dalam kenyataannya berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan. Pada
umumnya menurut hukum adat Jawa seseorang cakap penuh melakukan
perbuatan hukum, apabila sudah hidup madiri dan berkeluarga sendiri (sudah
“mentas” atau “mencar” (Jawa). Tetapi sebaliknya tidak dapat dikatakan,
bahwa seseorang yang belum sampai demikian itu, tentu sama sekali belum
cakap melakukan perbuatan hukum. Misalnya dalam menghadap Hakim
dimuka Pengadilan untuk masalah perkara Perdata.
Bila berhubung dengan usianya harus dianggap tidak cakap sepenuhnya,
maka ia harus diwakili orang tuanya atau walinya, tetapi bila mengenai perkara
yang
sedang
diadilinya
memperhitungkan
dan
itu
ia
dianggap
memelihara
telah
cukup
kepentingannya
cakap
sendiri,
untuk
boleh
ia
menghadap sendiri, terlepas daripada sudah dewasa atau belum. Namun disisi
lain pendapat berbeda tetap terjadi dalam memberikan pengertian/definisi
tentang anak di Indonesia dari para ahli-ahli hukum misalnya saja menurut Lilik
5
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat , Gunung Agung, Jakarta,
1995, Hal. 104
30
Mulyadi6, ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dimata hukum
positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa
(minderjariq/person under age), orang yang dibawah umur/keadaan dibawah
umur (minderjarigheid/inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang
dibawah pengawasan wali (minderjarige ondervoordij). Maka dengan bertitik
tolak kepada aspek tersebut diatas, ternyata hukum positif Indonesia (ius
constitutum/ius operatum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku
dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi anak.
Apabila dijabarkan lebih intens, detail dan terperinci maka ada beberapa
batasan
umur
dari
hukum
positif
Indonesia
yang
mengatur
tentang
penggolongan batasan umur bagi seorang anak di berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan ada saat ini di Indonesia yaitu sebagai
berikut :
1. Dalam ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), ketentuan
mengenai usia maksimum berbeda–beda misalnya :
a. Pasal 45 KUHP dan pasal 72 KUHP, bahwa batas usia orang yang
belum dewasa adalah sebelum umur 16 (enam belas) tahun. Namun di
sisi lain ketentuan pasal 45 KUHP tersebut sudah tidak berlaku lagi
setelah Undang Undang Pengadilan Anak ditetapkan oleh Pemerintah.
b. Pasal 287–293 KUHP yaitu 15 (lima belas) tahun.
2. Dalam ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Perdata, berdasarkan
ketentuan pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka anak
adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu)
tahun dan belum kawin.
6
Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahanya,Cetakan I,
Mandar Maju, Bandung, 2006, Hal. 3
31
3. Dalam ketentuan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana tidak disebutkan secara rinci dan
eksplisit mengenai batas usia anak, akan tetapi dalam Pasal 153 Ayat (5)
KUHAP, dijelaskan bahwa memberi wewenang kepada hakim untuk
melarang anak yang belum mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 171 KUHAP bahwa anak yang umurnya
belum cukup 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin dapat
memberikan keterangan tanpa di sumpah. Akibat hal ini, yang menjadi
konsekuensinya adalah jika seseorang itu belum mencapai umur 15 (lima
belas) tahun akan tetapi sudah menikah, ia tidak lagi disebut anak.
4. Dalam ketentuan Hukum Adat dan Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia, batasan untuk disebut anak bersifat pluralistis. Dalam
artian kriteria untuk menyebut bahwa seseorang tidak lagi disebut anak dan
telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Misalnya : telah “kuat gawe”, “akil
baliq”, “menek bajang” dan lain sebagainya. Sedangkan menurut
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berorientasi
kepada hukum adat di Bali menyebutkan batasan umur anak adalah
dibawah 15 (lima belas) tahun seperti Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor : 53 K/Sip/1952 tanggal 1 Juni 1955 dalam perkara antara
I Wayan Ruma melawan Ni Ketut Kartini. Kemudian di daerah Jakarta
adalah 20 (dua puluh) tahun seperti Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor : 601/K/Sip/1976 tanggal 2 November 1976 dalam
perkara antara Moch. Eddy Ichsan dan kawan-kawan melawan FPM
Panggabean dan Edward SP Panggabean.
32
5. Dalam ketentuan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 62 Tahun
1958 Tentang Kewarganegaraan, disebutkan bahwa usia anak dibatasi
hinga mencapai 18 (delapan belas) tahun.
6. Dalam ketentuan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 7 Ayat (1) disebutkan bahwa
Perkawinan hanya dapat izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun. Disini hanya menunjukkan dan menentukan kapan izin untuk
menikah (melakukan perkawinan) bagi laki–laki dan wanita saja, tidak ada
menyebutkan secara detail dan jelas mengenai usia dewasa. Namun
dengan adanya batasan tersebut berarti menurut para pembuat Undang–
Undang pada usia minimal 19 (sembilan belas) tahun dan umur 16 (enam
belas) tahun itulah seorang laki–laki maupun wanita pantas dan siap untuk
menikah.
7. Dalam ketentuan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
1979 Tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan dalam Pasal 1 bahwa yang
dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21
(dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
8. Dalam ketentuan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah orang
yang didalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah menikah.
9. Dalam ketentuan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Azasi Manusia, anak adalah setiap manusia yang
berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk
33
anak yang terdapat di dalam kandungan apabila hal itu adalah demi
kepentingannya.
10. Dalam ketentuan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak, dalam pasal 1 Ayat (1) yang dimaksud
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
11. Dalam dokumen Konvensi Hak Anak
seseorang
termasuk
yang
juga
belum
berusia
18
(KHA), anak diartikan sebagai
(delapan
belas)
tahun
dan
bayi yang masih di dalam kandungan. Walaupun
batasan belum berusia 18 (delapan belas) tahun sudah ditetapkan, namun
konvensi ini masih memberikan peluang bagi setiap negara yang ingin
membuat batasan usia lebih muda dibandingkan dengan yang ditetapkan
oleh konvensi.
Dengan demikian, kesepakatan mengggunakan umur sebagai batasan
anak memang pada awalnya mendapatkan berbagai pertanyaan dan
menimbulkan pro dan kontra. Bagi kelompok yang kontra
berargumen
bahwa bisa saja seseorang yang telah berusia belum berusia 18 (delapan
belas) tahun namun sudah lebih dewasa dibandingkan dengan orang telah
berusia lebih dari 18 (delapan belas) tahun, sebaliknya bagi kelompok yang pro
dengan batasan usia mengatakan bahwa ketentuan ini berlaku universal, sulit
menentukan batasan kedewasaan jika menggunakan ukuran yang berbeda
beda di setiap negara, karena hal ini akan merugikan anak tersebut. Batasan
usia 18 (delapan belas) tahun akan memberikan keuntungan tersendiri bagi
anak dimanapun anak tersebut berada. Jika usia yang dipergunakan untuk
mendefinisikan
anak
bukan
usia
18
(delapan
belas)
tahun,
maka
34
perlindungan
terhadap
anak
dari
eksploitasi
dan
bentuk-bentuk
kekerasan akan menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Hal ini terjadi ketika anakanak melintasi perbatasan internasional dimana mereka mungkin tidak
memperoleh batasan-batasan usia perlindungan yang sama antara satu
negara dengan negara lain.
Menentukan usia yang baku untuk mendefenisikan anak berpengaruh
terhadap bagaimana anak-anak yang menjadi korban diperlakukan
oleh
hukum. Anak-anak tidak mungkin memberikan izin untuk dieksploitasi dan
didera apalagi dijadikan korban kekerasan seksual oleh seseorang ataupun
korporasi. Oleh karena itu di depan hukum mereka harus dianggap sebagai
korban bukan sebagai kriminal. Dengan demikian, membakukan usia 18
(delapan belas) tahun sebagai usia tanggung seksual secara internasional
akan memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap anak. Dari berbagai
definisi yang dikategorikan anak ternyata dalam setiap peraturan perundang–
undangan yang satu dengan undang–undang yang lainnya terdapat banyak
variasi mengenai usia anak di Indonesa.
Akan tetapi dalam hal ini yang lebih khusus menegaskan mengenai usia
anak adalah Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak karena hal ini berkaitan secara langsung dengan
perlindungan hukum terhadap anak di Negara Kesatuan Republik Indonesia
yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan juga hak–
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan
perlindungan yang penuh dan maksimal dari segala bentuk-bentuk kekerasan
fisik, psikis, penelantaran, diskriminasi apalagi kekerasan seksual.
35
2.2. Pengertian Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Salah satu bentuk peraturan perundangan-undangan Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah dengan adanya Kitab Undang Undang Hukum
Pidana dimana didalamnya terdapat berbagai bentuk pengaturan mengenai
kejahatan, jenis-jenis kejahatan, penggolongan kejahatan dan juga ancaman
sanksi hukum yang tercantum secara jelas didalamnya. Dalam Buku Ke-II
KUHP : Kejahatan mulai dari Bab I s/d Bab XXXI memuat berbagai bentukbentuk
kejahatan.
Disamping
itu
juga
terdapat
tambahan
mengenai
Pelanggaran yang diatur dalam Buku Ke-III KUHP : Pelanggaran mulai dari
Bab I s/d Bab IX yang mengatur tentang bentuk-bentuk pelanggaran.
Jika dipaksakan perumusannya mengenai kejahatan, sebenarnya bisa saja
kekerasan seksual terhadap anak merupakan termasuk dalam kategori
Kejahatan Kesusilaan. Akan tetapi hal ini belum tentu ada kesatuan pendapat
bagi para ahli hukum dalam merumuskan kekerasan seksual terhadap anak di
Indonesia. Dengan demikian pengaturan akan pengertian kekerasan seksual
masih simpang siur didalam sistem hukum pidana dalam upaya penegakan
hukum di Indonesia dan akhirnya menjadi pemicu kerap terjadinya berbagai
persoalan-persoalan dalam menjatuhkan dan/atau menerapkan sanksi hukum
bagi para pelaku kejahatan ini.
Didalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), yang ada adalah
mengenai Kejahatan Kesusilaan Yang dimaksud dengan Kejahatan Kesusilaan
diatur dalam Bab Ke-XIV dari Buku Ke-II KUHP, yang didalam Wetboek van
Strafrecht juga disebut sebagai misdrijven tegen de zeden. Ketentuan pidana
yang diatur dalam Bab ini dengan sengaja telah dibentuk oleh pembentuk
undang-undang dengan maksud untuk memberikan perlindungan bagi orang-
36
orang yang dipandang perlu untuk mendapatkan perlindungan terhadap
tindakan-tindakan asusila atau ontuchte handelingen dan terhadap perilakuperilaku baik dalam bentuk kata-kata maupun dalam bentuk perbuatanperbuatan yang menyinggung rasa kesusilaan di masyarakat. Hal ini karena
bertentangan dengan pandangan orang tentang kepatutan dibidang kehidupan
seksual, baik ditinjau darin segi pandangan masyarakat setempat dimana katakata itu telah diucapkan atau dimana perbuatan itu telah dilakukan, maupun
ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat setempat dalam menjalankan
kehidupan seksual mereka sehari-hari sebagaimana layaknya.
Kekerasan seksual terhadap anak erat kaitannya dengan penyiksaan yaitu
setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa
sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada
seseorang untuk memperoleh pengakuan kepuasan seksual. suatu bentuk
penyiksaan Jika dilihat lebih seksama, sebenarnya berbagai bentuk-bentuk dan
jenis kejahatan seksual seperti Perkosaan terhadap Anak, Pencabulan
terhadap Anak, Kekerasan Seksual terhadap Anak, Pelecehan Seksual
terhadap Anak dan Eksploitasi Seksual terhadap Anak merupakan bentukbentuk dari berbagai kategori Kejahatan Seksual yang didalam KUHP disebut
sebagai Kejahatan terhadap Kesusilaan, dan bentuk-bentuk kejahatan seksual
diatas satu sama lainnya sangat saling berkaitan dalam hal sebab-akibat yang
akan ditimbulkannya.
Hanya saja, pengertian dalam perumusan unsur-unsurnya satu sama
lainnya sangat berbeda. Misalnya saja, hubungan seksual antara seorang lakilaki dan seorang anak perempuan untuk membangkitkan nafsu birahi jarang
dilakukan orang tanpa tujuan untuk mendapatkan keuntungan, dan biasanya
37
dilakukan orang dalam bentuk usaha pertunjukan ataupun yang juga dikenal
dengan sebutan “show business” , ini adalah merupakan salah satu bentuk
Kejahatan Eksploitasi Seksual terhadap Anak.
Masalah Kekerasan Seksual terhadap Anak adalah sesuatu jenis
kejahatan yang sangat unik dan menarik untuk dipahami dalam teori maupun
praktek perumusan unsur-unsur perbuatan dan dan syarat-syarat bisa
dikatakan sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dalam Tindak Pidana
Perkosaan ternyata harus mempunyai unsur-unsur objektif, masing-masing
yaitu :
1. Barangsiapa
2. Dengan kekerasan atau
3. Dengan ancaman akan memakai kekerasan
4. Memaksa
5. Seorang wanita
6. Mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan
7. Dengan dirinya.
Walaupun
didalam
rumusannya,
undang-undang
tidak
mensyaratkan
keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan
perbuatan yang dilarang di dalam Pasal 285 KUHP, tetapi dengan
dicantumkannya unsur memaksa didalam rumusan ketentuan pidana yang
diatur dalam Pasal 285 KUHP, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana
perkosaan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP itu harus
dilakukan dengan sengaja.
38
Hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan untuk memuaskan
hawa nafsu birahi dari pelakunya tidak perlu harus diartikan sebagai perbuatan
mengadakan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan karena perbuatan untuk memuaskan nafsu birahi dapat saja
dilakukan dengan saling berciuman, saling meraba dan sebagainya. Akan
tetapi hal seperti ini di Indonesia hanya bisa dilakukan oleh pasangan suami
isteri yang terikat dalam suatu perkawinan baik secara sah maupun tidak sah
sesuai dengan kepercayaan agama, adat istiadat dan kebiasaan hidup.
Biasanya orang-orang asing sering melakukan perbuatan-perbuatan semacam
ini yang datang ke Indonesia untuk sekedar menikmati keindahan objek-objek
pariwisata di Indonesia sebagai Turis.
Karena seperti yang telah diketahui tindak pidana perkosaan dalam Pasal
285 KUHP harus dilakukan dengan sengaja, dengan sendirinya unsur
kesengajaan tersebut harus dibuktikan baik oleh Jaksa Penuntut Umum
maupun oleh Hakim di sidang Pengadilan yang memeriksa dan mengadili
perkara pelaku yang oleh Jaksa Penuntut Umum telah didakwa melanggar
larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP.
Indonesia sebagai negara yang terdiri dari berbagai perbedaan baik suku,
ras, bahasa, agama, adat istiadat dan sosial budaya, berkaitan dengan
Kekerasan Seksual biasanya sangat tabu dibicarakan dan masih banyak
mengalami kebutaan akan hukum nasional yang berlaku di Indonesia.
Masyarakat umumnya masih belum semua memahami berbagai perbedaanperbedaan dalam ruang lingkup Kejahatan Kesusilaan. Perbedaan antara
Tindak Pidana Perkosaan dengan Kekerasan Seksual seringkali dianggap
sama-sama merupakan perbuatan memaksa seseorang untuk melakukan
39
persetubuhan padahal Perkosaan dan Kekerasan Seksual sangatlah berbeda
dan para aparat penegak hukum kerap mengalami kesulitan dalam pembuktian
di Pengadilan. Tindak Pidana Perkosaan atau verkrachting oleh pembentuk
undang-undang telah diatur dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi :
“Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai
kekerasan memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin diluar
pernikahan dengan dirinya, karena bersalah melakukan perkosaan dipidana
penjara selama-lamanya dua belas tahun penjara”.
Jika dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, Kekerasan
Seksual masih memiliki banyak pengertian yang beraneka ragam. Didalam
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak belum/tidak ada disebutkan secara jelas,rinci dan tegas apa
yang dimaksudkan mengenai pengertian Kekerasan Seksual yang ada adalah
Eksploitasi Seksual dan Kekejaman, Kekerasan dan Penganiayaan tanpa ada
unsur seksual yang ditampilkan dengan jelas.
Yang mengatur secara jelas dan tegas mengenai pengertian Kekerasan
Seksual adalah terdapat dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang
diatur didalam Pasal 8 bahwa Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf c meliputi :
a) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut ;
b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu.
Sementara itu jika dikaitkan dengan dengan pendapat ahli hukum lainnya
40
misalnya, Wirdjono Prodjodikoro7, jika hal ini dikaitkan dengan macammacam kejahatan yang diatur dalam KUHP, maka kekerasan seksual termasuk
kategori melanggar Pasal 287 KUHP. Tindak pidana dari pasal 287 yang
merupakan
tindak
pidana
delik
aduan
(klachtdelict)
kecuali
apabila
perempuannya belum berusia 12 tahun. Pasal 287 KUHP mengancam dengan
maksimum hukuman penjara sembilan tahun barang siapa yang, diluar
perkawinan, bersetubuh dengan orang perempuan yang ia tahu atau pantas
harus dapat mengira bahwa perempuan itu belum berusia 15 (lima belas) tahun
atau belum pantas untuk dikawin.
Sedangkan Pasal 290 No. 2 dan 3 mengancam dengan maksimum
hukuman penjara tujuh tahun barangsiapa yang berbuat cabul dengan seorang
yang ia tahu atau pantas harus mengira bahwa orang itu belum berusia 15
tahun atau belum pantas untuk dikawin, atau membujuk orang itu untuk
berbuat cabul atau bersetubuh diluar perkawinan, dengan seorang ketiga. Dari
berbagai definisi dan pengertian mengenai Kekerasan Seksual yang ada
didalam ketiga Undang-Undang diatas, ternyata belum ada pengaturan secara
tegas dan jelas mengenai Kekerasan Seksual apalagi Kekerasan Seksual
terhadap Anak di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berangkat dari fakta dan pengertian diatas, bila dikaitkan secara runtut dan
tuntas, maka sebenarnya bisa saja dirumuskan suatu pengertian bahwa
kekerasan
seksual
terhadap
anak
lebih
bersifat
khusus
(spesialis)
pengertiannya dibandingkan dengan Tindak Pidana Perkosaan, Tindak Pidana
Pencabulan, Tindak Pidana Pelecehan Seksual maupun Tindak Pidana
Eksploitasi Seksual. Dimana, Kekerasan Seksual Terhadap Anak lebih
7
Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia , Edisi II, Refika Aditama,
Bandung, 2002, Hal. 119
41
dominan dan cenderung merupakan suatu bentuk penyimpangan seksual
seseorang akan perilaku-perilaku dalam melakukan hubungan seksual
khususnya hanya berkaitan terhadap dan dengan anak saja dilakukan
perbuatan seksual tersebut.
Tindak Pidana Kekerasan seksual adalah salah satu bahaya yang paling
memilukan jika menimpa anak. Siapa pun orangnya dikatakan melakukan
kekerasan seksual terhadap anak jika mengizinkan atau memaksa anak untuk
ikut terlibat dalam aktivitas seksual. Kekerasan seksual bisa terjadi secara fisik
maupun non fisik. Secara fisik ragam kekerasan seksual di antaranya
memegang-megang alat kelamin anak, masturbasi, kontak mulut dengan
kelamin, memasukkan jari ke bagian tubuh anak baik kedalam vagina, anal,
ataupun mulut, hingga sampai pada penetrasi vagina atau anal. Sementara itu
mengenai kekerasan seksual non fisik mencakup melibatkan anak dalam
pornografi, memaksa atau mengizinkan anak menonton film-film yang berbau
porno,
memaksa
anak
telanjang
untuk
memuaskan
hasrat
seksual
(voyeurisme), dan lain-lainnya.
Pelaku kekerasan seksual terhadap anak bisa saja orang asing yang tak
dikenal oleh seorang anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Mereka
(orang asing yang tidak dikenal) biasanya hanya khusus untuk menculik anakanak yang memiliki daya tarik baik secara fisik maupun seksual untuk tujuan
eksploitasi seksual. Diketahui diberbagai negara-negara di dunia bahkan di
Indonesia sendiri ada banyak orang-orang dewasa yang menderita kelainan
seksualitas misalnya saja para penderita Pedofilia, yakni seseorang (laki-laki)
hanya tertarik secara seksual pada anak-anak saja dan tidak menyukai orang
yang dewasa, sebaya, lebih tua dan atau bahkan seperti lazimnya dalam kaitan
42
sebagai partner/pasangan dalam melakukan hubungan seksualitasnya.
Para pelaku kejahatan ini biasanya tidak bisa atau bahkan sangat sulit
sekali terangsang secara seksual pada orang dewasa. Anehnya, justru para
penderita pedofilia adalah pelaku utama penculikan anak untuk tujuan
eksploitasi seksual. Dalam dunia pelacuran, mereka adalah konsumen utama
pelacur anak. Yang cukup mengejutkan adalah bahwa sebagian besar pelaku
kekerasan seksual pada anak justru orang-orang terdekat anak sebagaimana
berita diberbagai media cetak maupun eletronik akhir-akhir ini di Indonesia..
Masyarakat tentu pernah mendengar ada seorang ayah, kakek atau
paman dan atau bahkan seorang kakaknya yang melakukan kekerasan
seksual terhadap anak, cucu, dan keponakan dan adiknya sendiri. Kalau
ditanya apakah ada orang-orang yang memang mengalami gangguan jiwa
terkait seksual yang mau melakukan hal-hal kekerasan seksual tersebut
khususnya terhadap anak-anak, jawabannya memang ada. Ada banyak orang
di berbagai belahan dunia ini termasuk Indonesia yang mendapatkan kepuasan
dari mempertontonkan alat kelaminnya kepada orang lain, biasanya pria
kepada wanita dan mengalami kepuasan kalau si wanitanya ketakutan akibat
hal itu.
Ada juga yang suka mendapatkan kenikmatan seksual dari menggesekan
alat kelaminnya ke perempuan tanpa merasa perlu diketahui. Akan tetapi
orang-orang yang secara diagnosis terbukti mengalami gangguan seksualitas
ini tidak terlalu signifikan jumlahnya pada pelaku-pelaku kekerasan seksual
pada anak, kebanyakan yang melakukannya adalah atas dasar iseng-iseng
semata yang didasari tidak hormatnya mereka kepada anak. Korban kejahatan
diartikan sebagai orang yang secara perseorangan atau bersama-sama,
43
menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, penderitaan
emosional, kerugian ekonomis atau pelemahan substansial dari hak-hak dasar
mereka, melalui tindakan atau kelalaian yang merupakan pelanggaran
terhadap hukum yang berlaku di negara-negara anggota termasuk hukumhukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan yang bersifat pidana.
Disisi lain, masalah kekerasan seksual terhadap anak sering juga terjadi
akibat kepentingan eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi. Kekerasan
seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang
dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang lebih tua terhadap
seorang anak untuk mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk kekerasan seksual
anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan
aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin
kepada anak, menampilkan pornografi kepada anak, kontak seksual yang
sebenarnya terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat
kelamin anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk memproduksi
pornografi anak demi meraup uang keuntungan dari para pengunjung/penonton
yang suka dengan hal-hal seksualitas anak di Indonesia.
Para ahli hukum seperti P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang8, dalam
bukunya menyebutkan bahwa, Exhibitionisme biasanya dilakukan dalam
bentuk usaha pertunjukan atau show bussines berupa tari telanjang ataupun
yang juga sering disebut sebagai strip tease, tetapi kadang-kadang juga
dilakukan oleh para wanita ditempat-tempat hiburan, bahkan juga di lobi-lobi
hotel berbintang lima. Hal ini adalah bentuk penyimpangan terselubung dengan
dalil mempekerjakan seseorang untuk mencari keuntungan dan kepuasan
8
F.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma
Kesusilaan & Norma Kepatutan, Edisi II, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hal. 12
44
semata saja tanpa mempertimbangkan dampak akibat hukumnya. Lagi pula,
anak memang sering dianggap makluk yang lemah dan dianggap tidak mampu
berbuat apa-apa jika situasi yang dihadapi tidak memungkinkan.
Untuk kasus pelecehan di angkutan umum, seharusnya kesalahan jangan
ditimpakan kepada anak. Misalnya seorang anak perempuan yang dianggap
berpakaian merangsang lawan jenisnya atau salah mereka sendiri naik
angkutan umum. Sudah ada beberapa aksi yang dilakukan untuk perlindungan
anak terhadap berbagai kekerasan seksual. Akan tetapi, seperti yang kita lihat
bersama, kekerasan seksual khususnya terhadap anak masih tetap ada dan
kerap terjadi, bahkan cenderung semakin meningkat. Untuk itu partisipasi
semua pihak baik pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat, orang tua
dan anak sangat diperlukan, dan harus diupayakan bagaimana bisa melakukan
upaya-upaya yang bersifat cepat, tepat dan tuntas dan saling mendukung
(tidak berjalan sendiri-sendiri) dan berkelanjutan dengan itikad bahwa kita
semua ingin memberikan yang terbaik buat anak-anak di Indonesia.
Sebagai bahan perbandingan antara pengertian Tindak Pidana Perkosaan
dengan Kekerasan Seksual terhadap Anak, bisa dilihat dari rumusan unsurunsur objektif sebagaimana yang telah dikemukakan diatas. Misalnya saja,
untuk dapat menyatakan seseorang terdakwa yang didakwa melanggar
larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP terbukti mempunyai kesengajaan
melakukan tindak pidana perkosaan, di sidang Pengadilan yang memeriksa
dan mengadili perkara terdakwa, baik penuntut umum maupun hakim harus
dapat membuktikan tentang :
a. adanya kehendak atau maksud terdakwa memakai kekerasan;
45
b. adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk mengancam akan memakai
kekerasan;
c. adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk memaksa;
d. adanya pengetahuan para terdakwa bahwa yang dipaksa itu adalah
seorang wanita yang bukan isterinya;
e. adanya pengetahuan pada terdakwa bahwa yang dipaksakan untuk wanita
tersebut ialah untuk mengadakan hubungan kelamin dengan dirinya di luar
perkawinan;
Jika salah satu kehendak atau maksud dan pengetahuan terdakwa tersebut
ternyata tidak dapat dibuktikan, maka tidak ada alasan bagi penuntut umum
untuk
menyatakan
terdakwa
terbukti
mempunyai
kesengajaan
dalam
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, dan hakim akan
memberikan putusan bebas dari tuntutan hukum bagi terdakwa9.
Dengan melihat rumusan tindak pidana perkosaan tersebut, tentunya
sangat berbeda dengan rumusan tindak pidana kekerasan seksual terhadap
anak, yang mana kekerasan seksual terhadap anak lebih fokus dan lebih
khusus mengarah kepada persetubuhan untuk mendapatkan kepuasan seksual
bagi pelaku dengan cara kekerasan terlebih dahulu,sedang dan sesudah
hubungan seksual dilakukan dengan cara memaksa pasangan baik sesama
jenis atau berbeda jenis kelamin dengan pelaku dan cenderung dan jelas-jelas
yang di ajak melakukan hubungan seksual adalah masih anak-anak.
Kesepakatan
mengenai
pengertian
kekerasan
seksual
terhadap
anak dalam hal ini, dapat didefenisikan sebagai hubungan atau interaksi
antara seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau anak lebih banyak
9
F.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang , Ibid, …… Hal. 98
46
nalar atau orang dewasa seperti orang asing, saudara kandung atau orang tua
dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah obyek pemuas bagi
kebutuhan seksual si pelaku. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan dengan
menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan.
Kegiatan-kegiatan yang mengandung kekerasan seksual tidak harus
melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak tersebut. Tindakan
tindakan tersebut dapat termasuk ekshibisme atau voyerurme seperti orang
dewasa yang menonton seorang anak sedang telanjang atau menyuruh atau
memaksa anak-anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan seksual dengan
orang lain sedangkan pelaku tersebut menonton atau merekam kegiatankegiatan seksual tersebut.
2.3. Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak dan Permasalahannya
Dalam kasus tindak pidana kekerasan seksual yang sering menjadi korban
adalah anak-anak dan perempuan dewasa, termasuk anak yang tergolongan
dalam kategori memiliki kelemahan secara mental, fisik dan sosial yang peka
terhadap berbagai ancaman dari dalam dan dari luar keluarganya. Ancaman
kekerasan seksual dari luar keluarganya seringkali dapat dihalau, karena dapat
dilihat oleh orang-orang disekelilingnya. Tetapi ancaman kekerasan seksual di
dalam rumah yang dilakukan oleh anggota keluarga sendiri sering susah sekali
dapat dilihat oleh orang luar. Indonesia merupakan salah satu negara yang
warga negara dengan jenis kelamin perempuan rentan mengalami kekerasan
terutama kekerasan seksual tidak terkecuali anak-anak.
Tidak berlebihan jika dikatakan hal ini awalnya bermula dari ditolerirnya
bentuk-bentuk pelecehan kepada perempuan di ruang publik tanpa ada yang
47
merasa bersalah. Misalnya saja, kita sering melihat anak-anak remaja maupun
laki-laki yang berusia sudah dewasa yang nongkrong di gang ataupun di
tempat-tempat seperti mall yang sering meledek perempuan dengan suatu
ungkapan yang berbau seksual. Berbagai penyimpangan seksual merupakan
ganguan perkembangan psikoseksual atau penyelewengan fungsi seksual.
Penyimpangan bisa terjadi karena adanya faktor genetik (keturunan),
pengaruh lingkungan, adanya trauma psikologis dan moral yang rendah. Di
masyarakat terdapat banyak sekali penyimpangan seksual, salah satunya yaitu
Pedophilia. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa Pedophilia adalah cinta
kepada anak, akan tetapi terjadi perkembangan kemudian, sehingga secara
umum digunakan sebagai istilah untuk menerangkan salah satu kelainan
perkembangan psikoseksual dimana individu memiliki hasrat erotis yang
abnormal atau diluar kewajaran terhadap anak-anak untuk melakukan
kebutuhan dan hasrat birahi seksualnya.
Pedophilia terjadi dikarenakan adanya tatanan moral dan etika yang
rendah dari pelaku pedophilia (Pedophil). Pelaku pedophilia, menjerat
korbannya yaitu seorang anak dengan cara memaksa, merayu, mengancam,
ataupun memberi imbalan, sehingga pelaku dapat melakukan hubungan seks
dengan anak tersebut. Adapun hakikatnya mengenai Pedophilia terdiri dari 2
(dua) jenis yaitu umumnya adalah Pedophilia Heteroseksual dan Pedophilia
Homoseksual. Pedophilia Heteroseksual terjadi pada individu berbeda jenis
kelamin dengan pelaku pedophilia sedangkan Pedophilia Homoseksual terjadi
pada individu sejenis kelamin dengan pelaku. Lazimnya, pelaku pedophilia
(pedophil) adalah pria atau wanita yang telah berumur.
48
Pedophilia terjadi karena kecenderungan kepribadian anti sosial yang
ditandai dengan hambatan perkembangan pola seksual yang matang disertai
oleh hambatan perkembangan moral dan tatanan etika yang rendah. Dampak
pada korban pedophilia tergantung pada tingkat usianya, korban cenderung
menjadi lebih pendiam, memiliki kelainan perilaku seksual dibanding anak-anak
lainnya, cenderung lebih depresi, memiliki kepercayaan diri rendah, perasaan
ingin bunuh diri, menggunakan alkohol dan obat terlarang, lari dari rumah,
dibanding anak-anak lain seusia mereka.
Dengan adanya hal-hal seperti ini, sudah pasti berbagai lapisan
masyarakat dihadapkan dengan masalah yang besar, sebab masalah
pedophilia sulit untuk diungkap karena anak yang menjadi korban biasanya
kurang berani mengungkapkannya dan memiliki rasa takut karena diancam,
dan maslah pedophilia masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan aib jika
diungkapkan, sehingga akan lebih baik jika masyarakat dapat mencegah dan
mengantisipasinya. Yang menjadi awal permasalahannya adalah karena anakanak ini jarang sekali berani melawan tindakan-tindakan para pelaku baik yang
masih bersifat pelecehan seksual hingga akhirnya berujung menjadi tindakan
kekerasan seksual itu.
Atau jika anak tersebut berani justru malah dihardik dan dibentak oleh
pelaku yang melakukan hal tidak senonoh itu. Akibat kekerasan seksual yang
dialami anak bisa berdampak sangat buruk bagi perkembangannya. Ada yang
dampaknya sangat berat sehingga tidak bisa hilang bahkan tidak terlupakan
seumur hidupnya. Secara umum, masalah yang biasanya timbul adalah
depresi, kecemasan, ketakutan, minggat dari rumah, sampai mengalami
disfungsi seksual (di antaranya frigid atau tidak tertarik dan tidak bisa
49
menikmati seks, serta impotensi). Anak-anak mengembangkan rasa takut dan
cemas berlebihan terhadap lawan jenisnya, serta tidak mampu untuk terlibat
dalam aktivitas seksual di kemudian hari.
Sebenarnya, antara kekerasan seksual dengan pelecehan seksual sangat
berkaitan. Misalnya saja, pelecehan seksual yang dilakukan saat menunggu
Bus Way “Trans Jakarta” yang ada di kota Jakarta yang pernah ramai
dibincangkan baru-baru ini. Kereta Api, Kapal Laut, Angkutan umum lainnya
dan ruang-ruang yang bersifat publik dan umum juga kerap menjadi tempat
untuk melakukan pelecehan seksual buat kaum perempuan yang masih
tergolong usia anak-anak dan itu seringkali mengalami kesulitan untuk
dilaporkan karena seringkali korban merasa malu dan pihak-pihak yang
berwenang misalnya pihak Kepolisian dalam hal ini pun sering tidak terlalu
serius menanggapi hal ini.
Karakter masyarakat kita masih memerlukan suatu ketegasan hukuman
untuk mencegah hal-hal buruk terulang lagi. Mereka masih sulit untuk dihimbau
karena pola pikir yang berbeda-beda. Perangkat dan aparat hukum yang ada
belum mampu memberantas kejahatan terorganisir tersebut. Hukum pada
dasarnya merupakan cerminan dari nilai-nilai kultural tentang seksualitas yang
berlaku di masyarakatnya. Melalui hukum, nilai-nilai kultural tersebut disahkan,
dikukuhkan, dan dilanggengkan. Hukum sejauh itu berkaitan dengan relasi lakilaki dan perempuan, hanya melegitimasi dari yang sudah berlaku di
masyarakat.
Di sisi lain, hukum digunakan oleh negara sebagai alat untuk mengatur
dan mengontrol seksualitas rakyatnya. Pasalnya, negara memiliki kepentingan
untuk memanfaatkan pengaturan seksualitas tersebut demi tujuan-tujuan
50
sosial, politik dan ekonomi yang "dibenarkan" dengan cara sengaja maupun
secara tidak sengaja. Dalam hal ini, sekalipun di dalam KUHP yang berlaku
maupun RUU KUHP yang telah disusun di Indonesia tidak dan bahkan belum
ada dikenal istilah kekerasan seksual. Beberapa bentuk-bentuknya kejahatan
seperti perkosaan, perbuatan cabul, dan prostitusi dapat diketemukan di
dalamnya, yakni di bawah payung Bab Kejahatan terhadap Kesusilaan. Istilah
kesusilaan itu sendiri tidak ada penjelasannya secara resmi dalam KUHP.
Tidak adanya penjelasan resmi tentang istilah kesusilaan yang digunakan,
menyebabkan masyarakat (khususnya aparat hukum) seringkali terjebak dalam
menempatkan
pasal-pasal
kesusilaan
semata-mata
sebagai
persoalan
pelanggaran terhadap nilai budaya, norma agama atau sopan santun berkaitan
dengan nafsu perkelaminan bukan kejahatan terhadap orang (tubuh dan jiwa).
Pemahaman keliru yang seperti ini akan berakibat mengaburkan persoalan
mendasar dari kejahatan seksual itu sendiri, yakni pelanggaran terhadap
eksistensi diri manusia meliputi otonomi, integritas tubuh dan kediriannya
dalam melakukan hubungan seksual terhadap seseorang (anak) di Indonesia..
Kekerasan Seksual terhadap Anak jika dirumuskan secara hukum sebagai
suatu tindakan persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap seorang
perempuan (yang bukan istrinya), dengan cara kekerasan atau ancaman
kekerasan.
Rumusan ini nampak sekilas tidak problematis, tetapi tidak demikian
kenyataannya. Hal ini disebabkan karena adanya pro kontra dalam
merumuskannya yaitu sebagai berikut :
a. Hukum lewat rumusannya telah mengesampingkan perkosaan yang
dilakukan suami terhadap istrinya. Dengan kata lain, seorang istri tidak
51
berhak secara hukum menolak hubungan seksual dari suaminya.
Perempuan karenanya didiskualifikasikan berdasarkan status perkawinan.
Juga berarti, perkawinan menjadi suatu institusi yang disahkan secara
hukum untuk mengobyektifikasikan tubuh perempuan (perempuan tak lebih
sebagai obyek seks). Hal ini sesuai dengan norma/nilai-nilai yang berlaku
secara umum bahwa relasi yang dibangun dalam institusi perkawinan pada
pokoknya adalah relasi antara subyek dan obyek.
b. Mengesampingkan bentuk-bentuk lain dari kekerasan seperti penetrasi
dengan alat/benda atau bagian tertentu dari tubuh (di luar penis), penetrasi
ke liang dubur, pemaksaan untuk melakukan oral seks, dan juga
pemaksaan berhubungan seks dengan hewan.
c. Dengan rumusan persetubuhan seperti itu berarti pula mengesampingkan
bentuk-bentuk hubungan seperti menggesek-gesekkan alat kelamin lakilaki pada bibir alat kelamin perempuan, dubur atau mulutnya, atau
menggesek-gesekkan pada bagian-bagian lain dari tubuh, dengan benda
atau alat, atau dengan hewan.
d. Dengan rumusan kekerasan atau ancaman kekerasan, maka gagasan
bahwa perempuan tidak menghendaki/menyetujui hubungan seksual
tersebut menjadi sesuatu yang kontroversial. Di satu sisi, ketidaksetujuan
perempuan dianggap vital dalam kasus perkosaan, namun di sisi lain itu
menjadi
tidak
penting
karena
perempuan
harus
membuktikan
ketidaksetujuannya (yang berarti ada pada tataran psikologis) itu, untuk halhal yang bersifat fisik (bukti adanya kekerasan).
Oleh karena itu, rumusan kekerasan tersebut mengeluarkan atau bahkan
mengeliminasi hubungan seksual yang dilakukan berdasarkan "ketundukan"
52
(submission), karena alasan-alasan tertentu saja. Umpamanya, antara seorang
majikan terhadap bawahannya yang merasa khawatir dengan masa depan
pekerjaannya, atau cemas dengan nilai ujian/kelulusan dalam konteks
hubungan seksual antara seorang guru terhadap muridnya. Rumusan hukum
mengenai kekerasan seksual terhadap anak menjadi standar di dalam proses
dan prosedur atau mekanisme hukum, dalam jajaran sistem peradilan pidana.
Sebagai konsekuensi dari hal ini, setiap laporan anak atas peristiwa kekerasan
seksual yang dialaminya akan beresiko dikesampingkan sepanjang dianggap
tidak sesuai dengan rumusan hukum yang berlaku.
Dengan cara itu sebenarnya hukum telah mendiskualifikasikan anak yang
menjadi korban kekerasan seksual sejak awal, bahkan sebelum sampai
kepada proses hukum itu sendiri. Sehingga, dapat dipahami mengapa banyak
dari kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak yang tidak terlaporkan
(under-reported) di tingkat kepolisian. Di samping itu ada alasan-alasan lain
yang sering terjadi berkaitan dengan permasalahan kekerasan seksual
terhadap anak yakni seperti :
a. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual tidak tahu harus melapor ke
mana, atau bagaimana cara melaporkan peristiwa yang dialaminya;
b. Jarak yang berjauhan antara lokasi kejadian dan pos polisi terdekat,
sehingga korban sulit melaporkan hal tersebut kepada Pihak Kepolisian;
c. Ancaman fisik dan non fisik dari pelaku kekerasan seksual terhadap anak
yang menjadi korban kekerasan seksual untuk tidak menghubungi
siapapun sehubungan dengan apa yang telah dialaminya; Tekanantekanan dari pihak keluarga korban pada anak yang menjadi korban
kekerasan seksual untuk menyelesaikan masalah ini melalui "jalan
53
perdamaian"
dan/atau
“kekeluargaan”
yang
diselesaikan
sesuai
pertimbangan yang beraneka ragam oleh para pihak-pihak tersebut demi
tercapainya penyelesaian masalah yang telah terjadi dengan pelaku
kekerasan seksual. Misalnya, pelaku kekerasan seksual memberikan ganti
rugi berupa uang, barang, fasilitas dan sebagainya pada pihak korban dan
keluarganya, bahkan dengan cara menikahi anak yang menjadi korban
kekerasan seksual tersebut.
Selain
itu
adalah
masalah
dalam
hukum
pembuktian,
persoalan
pembuktian dalam kekerasan seksual saat ini juga masih sering menjadi
sesuatu yang controversial yaitu mengenai seputar alat bukti. Ketentuan
mengenai alat bukti, nyata-nyatanya telah menjadi alat efektif dalam
memangkas laporan-laporan kekerasan seksual terhadap anak selama ini.
Hukum secara tertulis menentukan untuk mengajukan tuntutan secara hukum
sekurang-kurangnya mesti ada dua alat bukti yang sah dari lima alat bukti,
yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa (pasal 183 dan 184 KUHAP).
Namun, dalam prakteknya lebih kompleks masalah kekerasan seksual
terhadap anak sangat terbatas dalam pembuktiannya baik ditingkat Kepolisian,
Kejaksaan maupun di Pengadilan. Masalah tersebut misalnya sebagai berikut :
a. Pada prakteknya, persetubuhan-yang menjadi unsur yang perlu dibuktikan
dalam kekerasan seksual terhadap anak semestinya harus dibuktikan
dengan robeknya selaput dara, juga adanya sperma korban, yang ini pun
mesti direkam dalam suatu visum et repertum. Padahal
realitasnya
seorang anak perempuan bisa saja dilakukan kekerasan seksual tanpa
54
menyebabkan robeknya selaput dara. Sementara gagasan membuktikan
kekerasan seksual dengan sperma pelaku adalah sesuatu yang tidak
mudah dilakukan oleh anak yang menjadi korban korban kekerasan
seksual maupun keluarga anak yang menjadi korban kekerasan seksual
tersebut;
b. Ketentuan mesti ada visum et repertum untuk merekam kondisi fisik anak
korban kekerasan seksual juga bukti sperma pelaku, mensyaratkan korban
untuk segera melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya ke
polisi. Seringkali hal pertama yang dilakukan oleh korban adalah
membersihkan diri dari bekas-bekas "aib" kekerasan seksual yang
dialaminya ketimbang langsung melaporkan yang telah terjadi ke Kantor
Kepolisian maupun ke Kantor Lembaga Perlindungan Anak;
c. Dalam prakteknya, dari kelima alat bukti yang dicantumkan dalam KUHAP
di atas, keterangan saksi menjadi prioritas. Adanya prioritas dalam praktek
hukum ini, maka semakin sulit bagi seorang anak yang menjadi korban
kekerasan seksual untuk menuntut pelakunya. Dikarenakan sangat jarang
ada saksi yang mengetahui adanya kekerasan seksual, kecuali kekerasan
seksual itu tertangkap tangan oleh orang tuanya, masyarakat ataupun
pihak berwajib;
d. Begitu juga dengan pelaku kekerasan seksual terhadap anak, tentunya
sangat jarang yang bersedia mengakui perbuatannya, tetapi bukti yang lain
tidak ada sama sekali. Maka kepada pelaku kekerasan seksual, belum
dapat dikenakan hukuman. Dari sistem pembuktian, yang rumit dan
menyulitkan anak korban kekerasan seksual untuk mengajukan kasusnya,
di mana akses terhadap hukum sangat rendah. Sementara hukum telah
55
memposisikan dirinya sedemikian rupa, sehingga tidak setiap orang bisa
menjangkaunya.
Dalam konteks ini, seharusnya sangatlah penting bagi anak yang menjadi
korban kekerasan seksual untuk mendapatkan pelayanan hukum secara cumacuma (prodeo) disamping mendapatkan pendampingan yang sifatnya
psikologis. Pendampingan-pendampingan tersebut seharusnya menjadi hak
setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual dan harus dipenuhi dalam
setiap tahap pemeriksaan dari tingkat Kepolisian hingga Pengadilan. Namun,
ironisnya, dalam prakteknya sama sekali jauh dari kepentingan dan kebutuhan
anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Dari hal-hal sebagaimana yang dimaksud diatas, alasan yang digunakan
hakim, karena tidak ada ketentuan dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang mengatur secara eksplisit hak-hak korban (anak korban
kekerasan
seksual)
pendampingan
untuk
psikologis,
mendapatkan
walaupun
juga
Bantuan
tidak
ada
Hukum
maupun
ketentuan
yang
melarangnya selama ini. Bantuan Hukum yang diatur dalam Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanyalah untuk pihak Terdakwa atau
Tersangka (Pasal 54 KUHAP). Tidak dimuatnya ketentuan pendampingan bagi
korban, pada akhirnya menjadi peluang bagi Advokat pelaku kekerasan
seksual terhadap anak maupun hakim-hakim yang berpihak pada pelaku
kekerasan seksual terhadap anak untuk mengeluarkan kebijakan yang
merugikan anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Di sisi lain, juga menunjukkan bahwa hukum lebih memperhatikan kepentingan
pelaku-pelaku kejahatan (kekerasan seksual) ketimbang kepentingan anak
56
yang telah menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Padahal jika
dilakukan pengkajian secara lebih mendalam, masalah kekerasan seksual
yang dialami oleh anak di Indonesia ini akan mengakibatkan trauma yang
mendalam.
Hal ini terlihat secara jelas bahwa biasanya anak yang mengalami trauma
kekerasan seksual, akan menjadi pelaku kekerasan seksual. ini merupakan
sebuah mata rantai yang harus diputus demi keselamatan generasi penerus
bangsa Indonesia nantinya. Jika tidak, akan banyak sekali perilaku-perilaku
menyimpang mengenai seksual yang seharusnya harus diberantas hingga
tuntas agar tidak menjamur seperti kejahatan-kejahatan lainnya. Karena dalam
ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak secara jelas dan tegas
diatur yaitu sebagai berikut :
1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
diskriminasi;
eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
penelantaran;
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
ketidakadilan; dan
perlakuan salah lainnya.
2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan
pemberatan hukuman.
Akan tetapi, sebagaimana diketahui saat ini bahwa, sebagian besar kasuskasus kekerasan seksual tehadap anak banyak yang tidak dilanjutkan ke
pengadilan
dan
bahkan
berhenti
penyidikannya
ditingkat
kepolisian,
disebabkan kurangnya bukti dan saksi, dan keluarga korban yang tidak mampu
57
mengeluarkan biaya untuk visum, dan pemeriksaan lainnya. Banyak kasus
yang tidak tuntas secara hukum disebabkan keluarga korban kekerasan
seksual
tersebut
yang
tidak
mampu
secara
finansial,
dan
akhirnya
menghentikan sendiri proses hukum yang sedang berlangsung. Rata-rata
pelaku kekerasan seksual terhadap anak memiliki keterkaitan dengan anak
yang menjadi korban kekerasan seksual, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Hal ini juga menjadi salah satu penyebab banyak dari keluarga anak
korban kekerasan seksual yang malu untuk melaporkan pada pihak kepolisian.
Adanya stigmatisasi negatif terhadap korban kekerasan seksual, juga turut
mendukung penghentian proses pengusutan kasus tersebut. Masyarakat kita
masih belum terlalu mendukung korban kekerasan seksual. Terkadang mereka
malah disudutkan, dianggap aneh dalam masyarakat, sikap-sikap seperti ini
bahkan ditunjukan secara terbuka, banyak aparat penegak hukum maupun
instansi terkait yang belum paham benar dengan Standar Pelayanan Minimum
(SPM), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
sehingga seringkali kasus anak disamakan dengan orang dewasa, dan juga
mengenai panduan umum yang dikeluarkan Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Peraturan Menteri Nomor 6 Tahun
2011 juga belum dipahami dengan benar secara baik dan maksimal.
Padahal, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapat perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan baik itu kekerasan
fisik, kekerasan psikis, penelantaran anak apalagi kekerasan seksual.
58
Disamping itu, hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara.
Oleh karena itu, setiap anak yang menjadi korban kejahatan tanpa
terkecuali di Indonesia seharusnya mendapatkan hak-haknya yaitu suatu
perlindungan khusus bagi anak yang dalam situasi darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
yang
dieksploitasi
secara
ekonomi
dan/atau
seksual,
anak
yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (nafza), anak korban penculikan,
penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental,
anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan
penelantaran karena setiap anak di negara ini adalah tunas, potensi, dan
generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa Indonesia yang memiliki
peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin
kelangsungan dan eksitensi bangsa dan negara Indonesia pada masa depan
dan juga pelaksanaan pemenuhan kewajiban negara kepada setiap warga
negaranya termasuk anak sehingga tidak ada lagi terjadi berbagai tindakantindakan para pelaku kejahatan yang bersifat kekerasan dan perlakuan
diskriminasi terhadap setiap anak di Indonesia.
59
BAB III
PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA
KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK MELALUI UPAYA
KEBIJAKAN PENERAPAN SANKSI HUKUM PIDANA DI INDONESIA
3.1. Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Wujud Perlindungan Hukum Bagi
Anak Korban Kekerasan Seksual Di Indonesia
Upaya dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik,
pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik criminal
di Indonesia. Dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana di
Indonesia identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan di
Indonesia secara keseluruhan yaitu dalam menanggulangi kekerasan seksual
dengan melakukan penerapan sanksi hukum pidana. Bagian yang tidak
terpisahkan dari hukum pidana adalah masalah pidana dan pemidanaan. Sifat
pidana merupakan suatu penderitaan.
Pidana yang dijatuhkan bagi mereka yang dianggap bersalah merupakan
sifat derita yang harus dijalani, meskipun demikian sanksi pidana bukan
semata-mata bertujuan untuk memberikan efek derita. Kebijkan Pembangunan
Hukum Menuju Sistem Hukum Nasional di Indonesia dimulai sejak Pelita II
Pembangunan Hukum yang dijadikan bagian dari Pembangunan Hukum
Nasional di Indonesia melalui berbagai kegiatan-kegiatan yang terdiri dari
langkah-langkah
strategis
yang
dituangkan
dalam
proyek-proyek
pembangunan hukum, sehingga seluruh kegiatan pembangunan hukum dapat
dilaksanakan menurut pola dan mekanisme yang terarah, sinkron, terpadu dan
realistis serta diharapkan dapat mengantisipasi perkembangan kebutuhan
60
pembangunan dan aspirasi rakyat untuk jangka waktu 25 tahun yang akan
datang.
Akan tetapi, ada 5 (lima) masalah paling utama yang masih dihadapi
bangsa Indonesia dalam kehidupan hukumnya, yaitu :
1. Sangat
diabaikannya
pembangunan
hukum
nasional
dalam
era
Pembangunan Jangka Panjang Pertama, hal mana tercermin dari anggaran
belanja negara yang terkecil yang harus disesuaikan untuk pembangunan
hukum secara menyeluruh ;
2. Masih berlakunya sejumlah peraturan-peraturan colonial yang tertulis
dalam bahasa Belanda dan belum ada terjemahaan otentiknya dalam
bahasa Indonesia ;
3. Sangat sulitnya diperoleh data dan informasi hukum secara tepat, mudah
dan akurat seperti peraturan perundang-undangan, surat-surat keputusan
dan Kebijaksanaan Pemerintah, Yurisprudensi, dan lain-lain informasi
hukum ;
4. Belum adanya suatu Rencana Pembangunan Hukum yang komprehensif
dan terinci, yang meliputi masa Pembangunan Jangka Panjang selama 25
tahun mendatang ;
5. Masih belum cukup penyediaan tenaga mahir dan ahli untuk menangani
segala kegiatan Pembangunan Hukum Nasional yang begitu banyak
macam dan ragamnya10 ;
Melihat kelemahan-kelemahan sebagaimana yang disebutkan diatas, perlunya
diberikan perlindungan hukum kepada anak korban dari kekerasan seksual
secara memadai tidak hanya merupakan isu nasional, tetapi juga merupakan
10
Sunaryati Hartono, Kebijakan Pembangunan Hukum Menuju Sistem Hukum Nasional, Analisis
CSIS, Nomor 1 Tahun XXII, Januari-Februari 1993, Hal. 11
61
isu internasional. Oleh karena itu, masalah ini membutuhkan perhatian yang
sangat serius dari berbagai pihak. Penerapan sanksi hukum pidana bagi para
pelaku kekerasan seksual terhadap anak sangat jauh dari apa yang diharapkan
oleh anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Berbagai upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak di
Indonesia melalui hukum pidana dapat ditemukan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku selama ini. Pada hakikatnya anak tidak
dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan-tindakan yang
menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan
dan pergaulan hidupnya sehari-hari. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam
melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya dan perlu mendapat
perlindungan seutuhnya dari berbagai pihak dari berbagai kesalahan
penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan pada dirinya,
yang sifatnya menimbulkan kerugian mental, fisik, dan sosial atas dirinya.
Perlindungan anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum yuridis (legal
protection). Disinilah peran hukum pidana dalam memberikan perlindungan
terhadap anak-anak di Indonesia yang menjadi korban kejahatan (kekerasan
seksual). Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini ialah hukum
pidana yang telah dikodifisir, yaitu sebagian terbesar dari aturan-aturannya
disusun dalam kitab undang-undang (wetboek), yang dinamakan Kitab Undang
Undang Hukum Pidana menurut suatu sistem yang tertentu. Bahwa hukum
pidana dikodifisir dalam satu wetboek, hal ini belum terlihat disemua negara.
Terutama di negara-negara Angelsaks seperti (Inggris, Amerika dan Australia)
masih banyak yang belum mempunyai kitab undang-undang hukum pidana,
62
hanya beberapa negara bagian sudah mempunyainya. Disana pokok hukum
pidana berdasarkan atas Common Law (hukum adat).
Dan disamping itu, dan yang kadang-kadang juga menggantikan itu, ada
yang dinamakan Statute-Law, yaitu aturan-aturan tertulis dalam Undangundang. Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang
berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut;
2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan;
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
itu;
Berkaitan
dengan
kekerasan
seksual
sebagai
bagian
dari
suatu
kejahatan/pidana. Dalam bukunya, Moeljatno11, selain daripada kewajiban
Pemerintah untuk dengan bijaksana menyesuaikan apa yang ditentukan
sebagai perbuatan pidana itu dengan perasaan hukum yang hidup dalam
masyarakat, maka penentuan itu juga tergantung pada pandangan, apakah
ancaman dan penjatuhan pidana itu adalah jalan yang utama untuk mencegah
dilanggarnya larangan-larangan tersebut. Kedua faktor ini satu sama lain saling
pengaruh mempengaruhi.
11
Moeljatno, Azas-Azas Huku Pidana, Cetakan I, Bina Aksara, Jakarta, 1983, Hal. 4
63
Bertalian dengan ini adalah penting juga kenyataan, apakah Pemerintah
dengan melewati alat-alat negara yang bersangkutan, betul-betul mampu untuk
benar melaksanakan ancaman pidana kalau ternyata ada yang melanggar
larangan. Sebab, kalau pelanggaran atau larangan-larangan yang diancam
dengan pidana, tidak segera diurus dan diajukan kemuka pengadilan serta
kalau terang kesalahannya betul-betul dipidana, maka akibatnya ialah bahwa
larangan dan sanksi pidana tadi hanya merupakan tulisan belaka, tanpa
mempunyai pengaruh sebagaimana mestinya dalam pergaulan masyarakat.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah salah satu contoh kasus
yang
menjadi
momok
bagi
masyarakat
dan
memasuki
tahap
yang
memperhatinkan, karena setiap harinya kasus kekerasan seksual seperti
tindakan secara paksa dan dengan cara-cara kekerasan terlebeh dahulu lalu
kemudia melakukan persetubuhan yang melibatkan anak sebagai korbannya
sering kita dapatkan dan kita saksikan diberbagai media massa, baik
dimajalah, koran, maupun stasiun-stasiun televisi swasta khususnya yang kini
marak menyajikan berita-berita seputar dunia kriminal.
Dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak
terjadi, hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam kasus kekerasan seksual
terhadap anak adalah mengenai “pembuktian”. Dalam ketentuan Pasal 184
(1) KUHAP secara jelas disebutkan bahwa bisa dinyatakan sebagai alat bukti
yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat ,petunjuk dan
keterangan terdakwa. Untuk menentukan seseorang dapat dijatuhi hukuman
pidana sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah (Pasal 183
KUHAP). Dalam hal ini, khusus terhadap kasus kekerasan seksual terhadap
anak, dengan adanya ketentuan pasal 183 KUHAP ini, maka dimungkinkan
64
semakin sulit saja seseorang anak yang menjadi korban kekerasan seksual
untuk menuntut pelaku kejahatan ini. Karena kemungkinan besar dalam
prakteknya, sangat jarang ada saksi yang mengetahui adanya kekerasan
seksual terhadap anak kecuali kekerasan seksual terhadap anak tersebut
tertangkap basah atau pelaku itu lebih dan satu orang. Begitu juga dengan
pengakuan pelaku, seorang pelaku kekerasan seksual terhadap anak, sangat
jarang yang mengakui perbuatannya dan kerap tidak mengakui perbuatannya
sama sekali.
Kalaupun pelaku mengakui perbuatannya, akan tetapi kalau bukti yang lain
tidak ada dan mendukung, maka pelaku kekerasan seksual terhadap anak
belum dapat dikenakan sanksi hukuman pidana. Kekurangan yang lain dapat
dilihat dari kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia adalah
ancaman hukuman pidana yang dikenakan kepada pelaku kekerasan seksual
terhadap anak apabila pelaku terbukti melakukan kesalahan. Kitab Undang
Undang Hukum Pidana (KUHP), hanya mengenal sistem ancaman hukuman
maksimal namun tidak mengenal ancaman hukuman minimal. Misalnya, dalam
kasus-kasus perkosaan yang korbannya masih anak-anak, yang sampai
diperiksa ditingkat pengadilan, pernah ditemui seorang pelaku perkosaan
terhadap anak hanya dihukum penjara dengan lamanya waktu penjara yang
dijatuhkan oleh pengadilan yang tergolong sangat minimal.
Padahal, hukuman yang dijalani oleh seorang pelaku kekerasan seksual
terhadap anak sebenarnya tidak sebanding dengan derita yang dialami anak
yang menjadi korban kekerasan seksual seumur hidupnya, belum lagi adanya
anggapan dan pendapat sinis dan cenderung bersifat meremehkan dari
masyarakat bahwa korbanlah yaitu anak tersebutlah yang memancing pelaku
65
untuk melakukan perkosaan, pelecehan seksual, pencabulan, dan bahkan
kekerasan seksual tersebut bisa terjadi.
Ketiadaan ancaman hukuman minimal membuat pelaku-pelaku kekerasan
seksual terhadap anak lain tentunya masih cenderung tidak merasa takut untuk
melakukan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Belum lagi faktanya
bahwa banyak para aparat penegak hukum di Indonesia dalam hal ini seakanakan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghukum para pelaku kekerasan
seksual karena sanksi hukum sudah ditetapkan dalam suatu undang-undang
secara tertulis dan harus menjadi acuan dalam memberikan sanksi kepada
para pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Bentuk kekerasan terhadap
anak tentunya tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, seperti penganiayaan,
pembunuhan, maupun perkosaan, kekerasan seksual dan kejahatan seksual
lainnya terhadap anak melainkan juga mengenai berbagai bentuk kekerasan
non fisik, seperti kekerasan ekonomi, psikis, maupun kekerasan religi, agama
dan/atau kepercayaannya.
Pembuat undang-undang yakni pemerintah saat ini, melalui perundangundangan (hukum positif), seperti Kitab Undang Undang Hukum Pidana
(KUHP), Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sering sekali
tidak memberikan suatu perlindungan terhadap korban yang seharusnya
sangat diperlukan oleh anak yang menjadi korban kekerasan seksual atas hakhak yang harus didapatkan dan juga kebijaksanaan dari para aparat penegak
hukum dalam pelaksanaan penerapan sanksi hukum bagi para pelaku
kekerasan seksual.
66
Sejauh ini, dari berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia, meskipun tidak ada yang menyebutkan secara khusus ruang lingkup
kekerasan seksual terhadap anak, telah menetapkan beberapa bentuk
kekerasan terhadap anak sebagai tindak pidana, yaitu : mencakup kekerasan
fisik, psikis, dan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual
terhadap anak juga merupakan salah satu bagian dan jenis dari tindak pidana
di Indonesia. Beberapa bentuk kekerasan dalam Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebenarnya merupakan adopsi, kompilasi
atau reformulasi dari beberapa bentuk kekerasan yang sudah diatur dalam
berbagai perundang-undangan sebelum, seperti Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHP), khususnya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam
penjelasan umumnya biasanya disebutkan antara lain sebagai berikut :
“……. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai
kekhasan, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang Undang
Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta
penelantaran anak yang perlu diberi nafkah dan kehidupan”.
Dari sini terlihat bahwa, pengaturan mengenai kekerasan seksual masih bias
walaupun sudah disebutkan bahwa sebenarnya penyebab dan defenisi
kekerasan seksual terhadap anak sebenarnya memiliki kekhasan/kekhususan
kejahatan tersendiri yang ada di Indonesia.
Mengingat bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan
yang khusus (spesialis), sebenarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia
berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan adalah pelanggaran hak asasi
67
manusia dan kejahatan martabat kemanusiaan serta merupakan bentuk
diskriminasi guna mencegah, melindungi korban dan menindak para pelaku
kekerasan dengan melaksanakan pencegahan, perlindungan dan penindakan
terhadap para pelaku-pelaku kekerasan seksual terhadap anak sesuai dengan
pedoman pandangan hidup berdasarkan falsafah Pancasila dan Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Adapun beberapa bentuk perbuatan (tindak pidana) kekerasan terhadap
anak yang ditetapkan dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP),
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu sebagai
berikut :
1. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam undang-undang ini, ada beberapa macam ketentuan mengenai
penggolongan tindak pidana, bahkan ada yang secara eksplisit disebutkan
sebagai kekerasan terhadap anak, yaitu sebagai berikut :
1) Tindak pidana (kejahatan) terhadap asal-usul dan perkawinan, yaitu
melakukan pengakuan anak palsu (Pasal 278);
2) Kejahatan
yang
melanggar
kesusilaan,
seperti
menawarkan,
memberikan, untuk terus menerus atau sementara waktu, menyerahkan
atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar
kesusilaan,
maupun alat
kehamilan kepada
untuk mencegah atau menggugurkan
seorang
yang
belum
dewasa
(Pasal
283),
bersetubuh dengan wanita yang diketahui belum berumur lima belas
tahun di luar perkawinan (Pasal 287), melakukan perbuatan atau
68
membiarkan dilakukan perbuatan cabul terhadap orang yang belum
berumur lima belas tahun (Pasal 290), melakukan perbuatan cabul
terhadap anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah
pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya, yang
belum
dewasa
(Pasal
294),
menyebabkan
atau
memudahkan
dilakukannya perbuatan cabul oleh anak kandung, anak tiri, anak
angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau
penjagaannya, yang belum dewasa dengan orang lain (Pasal 295),
melakukan perdagangan anak (Pasal 297), membikin mabuk terhadap
anak (Pasal 300), memberi atau menyerahkan seorang anak yang ada
di
bawah
kekuasaannya
kepada
orang
lain
untuk
melakukan
pengemisan atau pekerjaan yang berbahaya atau pekerjaan yang dapat
merusak kesehatannya (Pasal 301);
3) Kejahatan terhadap kemerdekaan orang, seperti menarik orang yang
belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut Undang-undang
ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang lain (Pasal 330),
menyembunyikan orang yang belum dewasa (Pasal 331), melarikan
wanita yang belum dewasa tanpa dikehendaki orang tuanya atau
walinya, tetapi disetujui oleh wanita itu (Pasal 332);
4) Kejahatan terhadap nyawa, seperti merampas nyawa (pembunuhan)
anak sendiri yang baru lahir (Pasal 341 dan 342); (5) Kejahatan
penganiayaan terhadap anaknya sendiri (Pasal 351-356).
Berbagai bentuk-bentuk kejahatan (kekerasan) terhadap anak dalam Kitab
Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut diatas, merupakan bentuk
khusus
dari
kejahatan
dalam
ketentuan
KUHP
yang
mempunyai
69
konsekuensi khusus pula. Sementara kejahatan lainnya yang tidak
disebutkan secara tegas bahwa korbannya anak, konsekuensinya sama
dengan kejahatan yang korbannya bukan anak.
Jadi, selain yang disebutkan di atas, masih dimungkinkan adanya
kejahatan-kejahatan
kekerasan
terhadap
anak
lainnya.
misalnya,
kekerasan seksual terhadap anak, pelecehan seksual terhadap anak dan
eksploitansi seksual terhadap anak yang hingga saat ini masih memiliki
multi tafsir oleh berbagai aparat penegak hukum, akademisi hukum dan
praktisi hukum dalam upaya menentukan kebijakan serta merumuskan dan
mendefinisikan jenis kejahatan (kekerasan seksual terhadap anak) di
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak
Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa ada beberapa bentuk
kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual.
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan ke dalam
berbagai tindak pidana, seperti diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 89.
Berbagai bentuk-bentuk yang dirumuskan ke dalam kategori tindak pidana
kekerasan terhadap anak dalam undang-undang ini yaitu sebagai berikut :
1) Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
kerugian materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya
(Pasal 77);
2) Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
sakit atau penderitaan fisk, mental, maupun sosial (Pasal 77);
70
3) Membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti dalam pengusian,
kerusuhan, bencana alam, dan/atau dalam situasi konflik bersengjata
(Pasal 78);
4) Membiarkan anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan,
padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu
(Pasal 78);
5) Pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan Pasal 39 (Pasal 79); (6)
melakukan kekejaman, kekerasan atau penganiayaan terhadap anak
(Pasal 80);
6) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain (Pasal
81);
7) Melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
perbuatan cabul (Pasal 82);
8) Memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau
untuk dijual (Pasal 83);
9) Melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk
pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain, secara melawan hukum (Pasal 84);
71
10)
Melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak (Pasal
85);
11)
Melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak,
tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang
menggunakan
anak
sebagai
objeknya
tanpa
mengutamakan
kepentingan yang terbaik bagi anak, secara melawan hukum (Pasal
85);
12)
Membujuk anak untuk memilih agama lain dengan menggunakan tipu
muslihat atau serangkaian kebohongan (Pasal 86);
13)
Merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer atau
penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa
bersenjata, kerusuhan social, peristiwa yang mengnadung kekerasan,
atau dalam peperangan, secara melawan hukum (Pasal 87);
14)
Mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain (Pasal 88);
15)
Menempatkan, membiarkan, melibatkan, menuruh melibatkan anak
dalam penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika, psikotropika,
alkhohol, dan/atau zat adiktif lainya (napza) (Pasal 89).
3. Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam undang-undang ini, beberapa ketentuan mengenai kekerasan dan
pengaturannya hanya ditujukan kepada yang masih memiliki hubungan
keluarga saja yaitu keluarga sebagai pelaku kejahatan dan keluarga pelaku
kejahatan tadi juga yang menjadi korban kejahatan tersebut. Sifatnya lebih
khusus yaitu hanya berlaku terhadap dalam ruang lingkup rumah tangga
72
saja. Berbagai bentuk kekerasan yang ditetapkan sebagai tindak pidana
kekerasan dalam undang-undang ini yaitu sebagai berikut :
1) Melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga (Pasal 44);
Kekerasan fisik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat.
2) Melakukan kekerasan psikis dalam rumah tangga (Pasal 45);
Kekerasan psikis sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau psikis berat pada seseorang.
3) Melakukan kekerasan seksual (Pasal 46-48);
Kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 huruf c
meliputi :
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam rumah tangga tersebut.
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu.
4) Melakukan penelantaran rumah tangga (Pasal 49);
Penelantaran sebagaimaa yang dimaksud adalah menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orag tersebut dan
juga penelantaran sebagaimana yang dimaksud juga berlaku bagi
73
setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan
cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak didalam
atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang
tersebut.
Dalam hal ini, terlihat secara jelas bahwa dari berbagai bentuk dan
tindakan-tindakan mengenai kekerasan tersebut memang tidak secara
khusus ditujukan kepada anak, namun yang jelas kekerasan itu dapat
mengenai anak, karena dalam keluarga dimungkinkan ada penghuni rumah
tangga tersebut yang masih tergolong usia anak.
Oleh karena itu, pembaharuan hukum di Indonesia yang berpihak pada
anak menjadi sesuatu yang sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya
kasus kekerasan, terutama kasus kekerasan seksual terhadap anak di
Indonesia. Dari berbagai bentuk-bentuk kategori yang dimaksudkan kedalam
perbuatan kekerasan dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga diatas, sebenarnya sudah ada, diatur atau ditetapkan ke dalam
Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua undang-undang tersebut
pada dasarnya hanya menetapkan kembali (reformulasi/rekriminalisasi)
dengan memberi nama baru dan/atau meningkatkan ancaman sanksi pidana
bagi para pelaku (pelaku kejahatan) yang melakukan berbagai bentuk
kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan psikis maupun kekerasan seksual
di Indonesia.
Disisi lain, Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia yang menganut Asas
Legalitas selama ini banyak memiliki penafsiran-penafsiran di berbagai
74
kalangan praktisi hukum dan akademisi hukum. Pemidanaan bagi para pelaku
kekerasan seksual bukan saja hanya dapat dijatuhkan berdasarkan hukum,
tetapi juga penjatuhannya hanya sebatas apa yang ditentukan hukum.
Padahal, asas legalitas bukan hanya berarti “nullum crime sine lege”, tetapi
juga “nulla poena sine lege”. Artinya, bukan hanya mengenai pelarangan atas
suatu perbuatan tetapi bentuk dan jumlah pengenaan pemidanaan yang
diancamkan terhadap pembuatnya pun harus ditentukan oleh undang-undang.
Oleh karena itu, bentuk dan lamanya pidana yang dapat dikenakan, terbatas
hanya yang telah ditentukan dalam undang-undang yang berlaku.
Menurut pendapat Ahli Hukum Pidana, Chairul Huda12, asas legalitas
ternyata memiliki aspek yang lebih luas daripada sekedar yang dirumuskan
dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam
pasal tersebut hanya ditentukan keharusan perumusan dengan undangundang suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dan hal-hal
yang menentukan keberlakuan undang-undang tersebut dari segi waktu.
Sementara itu, mengenai bentuk dan jumlah pidana yang dapat dijatuhkan juga
terbatas dengan apa yag ditentukan undang-undang. Sayangnya hal ini tidak
secara eksplisit dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Sejalan dengan itu
masalah keadilan dan hak–hak asasi manusia khususnya terhadap anak dalam
kaitannya penegakan hukum pidana di Indonesia memang bukanlah pekerjaan
yang mudah dan sederhana untuk direalisasikan.
Banyak peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat menunjukkan
bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari
pemerintah, padahal sudah sangat jelas hal-hal tersebut haruslah diwujudkan
12
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa kesalahan Cetakan III, Jakarta, Kencana,2008, Hal. 1
75
sesuai dengan amanat dalam Pancasila, sebagai falsafah hidup Bangsa
Indonesia. Karena itu, hadirnya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah salah satu langkah yang tepat
untuk mereformasi hukum di Indonesia. Sebab, Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak secara umum
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Jadi secara hukum, dengan adanya Undang Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, maka para pelaku
kekerasan seksual akan mendapat balasan yang cukup setimpal dan menjadi
cara yang efektif untuk mencegah munculnya kasus-kasus kekerasan seksual
terhadap anak di Indonesia. Namun, sangat disayangkan selama 10 (sepuluh)
tahun terakhir ini, praktik di lapangan dalam hal penerapan sanksi pidananya
masih sangat jauh dari harapan banyak pihak terutama adalah anak yang
menjadi korban kekerasan seksual tersebut. Hal ini disebabkan karena para
aparat hukum masih belum memiliki satu visi, misi dan pandangan yang sama
dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia.
Perbedaan pandangan itu misalnya saja, seringkali para Jaksa Penuntut
Umum tidak menggunakan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak untuk mengadili para pelaku
kekerasan seksual terhadap anak di pengadilan, dimana menurut Pasal 82
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa :
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan/ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
76
kebohongan/membujuk anak untuk melakukan/membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun
dan paling singkat 3 tahun, dan denda paling banyak Rp 300 juta dan
paling sedikit Rp 60 juta (enam puluh juta rupiah)”.
Akan tetapi faktanya dalam praktek yang dilaksanakan selama ini, para Jaksa
Penuntut Umum justru lebih memilih pasal 292 juncto pasal 64 KUHP soal
pencabulan dengan tuntutan maksimal 5 tahun penjara. Hal ini adalah
merupakan suatu bentuk kekeliruan dan menerapkan ketentuan tindak pidana.
Akibatnya, efek jera yang diharapkan sama sekali tidak terwujud dalam
menanggulangi kasus kekerasan seksual terhadap anak itu. Disamping itu,
adanya Azas Legalitas yang berlaku diseluruh jenis tindak pidana sebagaimana
yang tercantum dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana tidak terkecuali
kekerasan seksual terhadap anak. Padahal, konsekuensinya dalam hal ini
adalah penentuan bentuk dan lamanya pidana diluar dari yang ditetapkan
undang-undang, tentunya telah melanggar asas legalitas itu sendiri yang
selama ini didambakan oleh para pelaku kejahatan di Indonesia. Dalam hal ini,
fungsi kesalahan dalam menentukan “dipidananya pembuat” (kekerasan
seksual terhadap anak), dibatasi oleh asas legalitas itu sendiri.
Dengan kata lain, kesalahan yang ditempatkan dalam konteks ketentuan
undang-undang mengenai bentuk dan jumlah pidana, hanya mempunyai arti
jika sistem perumusannya membuka kemungkinan bersifat “discretionary”.
Artinya, dapat dicelananya para pelaku kekerasan seksual terhadap anak
merupakan pengertian penilaian berdasar aturan perundang-undangan yang
ada saat ini. Dalam melakukan penilaian tersebut, para Hakim yang
memeriksa, mengadili dan memutus perkara kekerasan seksual biasanya
pertama-tama dibatasi oleh undang-undang. Konsekuensi atas “dapat
77
dicelanya” pelaku
kekerasan
seksual
terhadap
anak
juga
ditentukan
berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pidana dan pemidanaan merupakan “wujud celaan” yang ditentukan oleh
undang-undang bagi pembuat tindak pidana selama ini, akibat hal
dan
ketentuan ini memberikan indikasi bahwa kasus kekerasan seksual terhadap
anak tidak kunjung tuntas dalam hal penyelesaiannya di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Buktinya, kasus kekerasan seksual
terhadap anak semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini karena belum
adanya ketentuan yang merumuskan mengenai tindak pidana kekerasan
seksual terhadap anak secara jelas dan tuntas di Indonesia. Dengan berbagai
motif, para pelaku kejahatan ini berkembang dan semakin berani melakukan
aksi-aksinya.
Adanya dorongan dari faktor dan motif, misalnya motif ekonomi yang
memaksa setiap orang-orang Indonesia (pelaku kejahatan) untuk melakukan
trafficking (perdagangan orang dan anak), dengan melakukan berbagai
bentuk penipuan dengan janji bisa dan/atau akan memberikan pekerjaan
kepada anak bahkan ada para pelaku kejahatan yang tega dan terangterangan melakukan penculikan anak. Dan selanjutnya kemudian menjual
anak-anak tersebut kepada para pedophil, turis, dan kepada setiap orang (lakilaki) yang menjadi pemesan untuk dijadikan sebagai pemuas nafsu birahi
mereka dan dimungkinkan akan terjadi berbagai tindakan-tindakan kekerasan
seksual terhadap anak berupa pemaksaan hubungan seksual, dimana yang
seharusnya anak tersebut tidak dan belum waktunya untuk melakukan
hubungan seksual sebagaimana mestinya.
78
3.2. Kebijakan Penerapan Rumusan Unsur Tindak Pidana Tentang
Kesusilaan Dengan Unsur Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Terhadap Anak Di Indonesia
Indonesia sebagai Negara Hukum (rechtstaats) yang sedang dan akan
semakin berkembang dalam sistem pembaharuan hukumnya, Indonesia dalam
menentukan
rumusan
berbagai
pengaturan
mengenai
tindak
pidana
sebenarnya telah memiliki berbagai pengaturan mengenai tindak pidana
khususnya masalah rumusan dan kategori tindak pidana kesusilaan. Dengan
adanya perkembangan teknologi yang demikian pesatnya dewasa ini,
seringkali menimbulkan problema baru bagi pembentuk undang-undang
(pemerintah) tentang bagaimana caranya melindungi masyarakat khususnya
dalam hal ini yaitu anak-anak secara efektif dan efisien terhadap bahaya
demoralisasi (penurunan moral) sebagai akibat dari masuknya pandangan
dan kebiasaan orang-orang asing mengenai kehidupan seksual di negara
masing-masing. Menurut Ismu Gunadi dan Junaedi Efendi13, untuk
mengetahui adanya tindak pidana, harus terlebih dahulu dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang
dilarang dan disertai dengan sanksi. Rumusan-rumusan tersebut menentukan
beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri khas larangan tersebut sehingga
dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang.
Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatan saja, yaitu dapat
dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar. Indonesia sebagai salah
satu negara yang turut serta dalam upaya melakukan penegakan hukum
diberbagai jenis kejahatan dengan cara menentukan kebijakan perumusan
jenis tindak-tindak pidana/kejahatan yang ada dan terjadi dengan menentukan
13
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana, Jilid 1, Prestasi
Pustaka, Cetakan Pertama, Jakarta, 2011, Hal. 44
79
dan merumuskan unsur-unsur tindak pidana itu sendiri dan juga penerapan
sanksi hukumnya sesuai jenis tindak pidana tersebut. Dari berbagai Tindak
Pidana Kesusilaan yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana
(KUHP), yang saat ini masih berlaku ternyata masih memiliki perbedaan dalam
merumuskan Unsur Objektif dan Unsur Subjektif Tindak Pidana, antara lain
misalnya sebagai berikut :
1. Pasal 285 KUHP Tindak Pidana Perkosaan
Dalam kasus perkosaan, unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk
menentukan tindak pidana perkosaan. Unsur-unsur objektif tersebut jika
dirumuskan yaitu sebagai berikut :
a) Unsur Objektif yang pertama dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur
“barangsiapa”. Kata “barangsiapa” menunjukkan orang, yang apabila
orang tersebut memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana yang diatur
dalam Pasal 285 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari
tindak pidana perkosaan tersebut.
b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
285 KUHP ialah unsur “dengan kekerasan”. Undang-undang tidak
menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan “dengan
kekerasan”. Bahkan didalam yurisprudensi pun tidak dijumpai adanya
suatu putusan kasasi yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk
memberikan arti yang setepat-tepatnya bagi kata kekerasan tersebut.
c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
285 KUHP ialah unsur “dengan ancaman akan memakai kekerasan”.
Tentang apa yang dimaksudkan “dengan ancaman akan memakai
kekerasan” itu
pun
undang-undang
ternyata
tidak
memberikan
80
penjelasannya.
d) Unsur Objektif yang keempat dari tindak pidana yang diatur dalam
Pasal 285 KUHP ialah unsur “memaksa”. Perbuatan memaksa dapat
dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat seseorang wanita
menjadi terpaksa bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus
dimasukkan
dalam
pengertian
memaksa
seseorang
wanita
mengadakan hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua
pakaian yang dikenakan oleh wanita itu adalah wanita itu sendiri.
e) Unsur Objektif kelima dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285
KUHP ialah unsur “seorang wanita”. Perlu diketahui bahwa bagi
kejahatan terhadap kesusilaan, KUHP telah menyebutkan adanya
berbagai wanita, masing-masing yakni :
1. Wanita yang belum mencapai usia dua belas tahun (Pasal 287 ayat
(2) KUHP);
2. Wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun (Pasal 287 ayat
(1) KUHP dan Pasal 290 angka 3 KUHP);
3. Wanita yang belum dapat dinikahi (Pasal 288 ayat (1) KUHP);
4. Wanita pada umumnya (Pasal 285 KUHP);
f)
Unsur Objektif yang keenam dari tindak pidana perkosaan yang diatur
dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur “mengadakan hubungan kelamin
diluar perkawinan”. Tentang bilamana suatu perbuatan mengadakan
hubungan kelamin itu harus dipandang sebagai telah terjadi. Dari hal
ini, kiranya sudah cukup jelas bahwa yang dikehendaki oleh undangundang didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP
sebenarnya ialah timbulnya akibat dimasukkannya penis pelaku
81
kedalam vagina korban. Atau dengan kata lain, tindak pidana
perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP sebenarnya delik
materiil, yang baru dapat dipandang sebagai telah selesai dilakukan
oleh pelaku, jika akibat tersebut ternyata terjadi.
g) Unsur Objektif yang ketujuh dari tindak pidana perkosaan yang diatur
dalam
Pasal
285
KUHP
ialah
unsur
“dengan
dirinya”.
Yang
dimaksudkan dengan kata-kata “dengan dirinya” ialah diri orang yang
dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan
telah memaksa korban untuk mengadakan hubungan kelamin diluar
perkawinan14.
Sementara itu, mengenai Unsur Subjektifnya tidak ditentukan dengan jelas
dalam undang-undang ini karena undang-undang (KUHP) tidak mensyaratkan
keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan
perbuatan yang dilarang di dalam Pasal 285 KUHP tersebut.
2. Pasal 286 KUHP Tindak Pidana Mengadakan Hubungan Kelamin
Dengan Wanita Yang Sedang Berada Dalam Keadaan Pingsan atau
Tidak Berdaya
Dalam kasus Tindak Pidana Mengadakan Hubungan Kelamin dengan
Wanita yang Sedang Berada dalam Keadaan Pingsan atau Tidak Berdaya,
unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan tindak pidana ini,
unsur-unsur objektif yang dipenuhi jika dirumuskan yaitu sebagai berikut :
a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
286
KUHP
ialah
unsur
“barangsiapa”.
Kata
“barangsiapa”
ini
menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut memenuhi semua
unsure dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 286 KUHP, maka ia
14
P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Ibid,……. Hal. 105
82
dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. Akan tetapi,
bukan tidak mungkin dapat terjadi bahwa tindak pidana dalam Pasal
286 KUHP terlibat beberapa orang.
b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
286 KUHP ialah unsur “mengadakan hubungan kelamin di luar
pernikahan”.
Hal
ini
berarti
tidak
ada hubungan suami
isteri
sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Undang-Undang Republik
Indonesia
Nomor
1
Tahun
1974
Tentang
Perkawinan.
Untuk
terpenuhinya unsur mengadakan hubungan kelamin diluar pernikahan
tidak disyaratkan terjadinya ejaculation seminis (ejakulasi seksual),
melainkan cukup jika pelaku telah memasukkan penisnya kedalam
vagina korban.
c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
286 KUHP ialah “wanita yang sedang berada dalam keadaan pingsan
atau sedang berada dalam keadaan tidak berdaya”. Dalam hal ini,
“wanita”
yang dimaksudkan ialah wanita pada umumnya, “dalam
keadaan
pingsan”
ialah
berada
dalam
keadaan
tidak
sadar
sepenuhnya. Sedangkan ”dalam keadaan tidak berdaya” ialah berada
dalam keadaan tidak berdaya secara fisik, yang membuat wanita
tersebut tidak berdaya untuk memberikan perlawanan.
Unsur Subjektif dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 286 KUHP ialah
“yang diketahui” atau unsur van wie hij weet. Dalam arti pengetahuan pelaku
tentang keadaan korban harus dibuktikan di pengadilan, jika tidak maka hakim
akan memberikan putusan bebas kepada pelaku kejahatan ini.
3. Pasal 287 KUHP Tindak Pidana Mengadakan Hubungan Kelamin Di
Luar Pernikahan Dengan Seseorang Wanita Yang Belum Mencapai
83
Usia Lima Belas Tahun atau Belum Dapat Dinikahi
Dalam kasus Tindak Pidana Mengadakan Hubungan Kelamin di Luar
Pernikahan dengan Seseorang Wanita yang Belum Mencapai Usia Lima
Belas Tahun atau Belum Dapat Dinikahi, unsur Objektif yang harus
dipenuhi yaitu sebagai berikut :
a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
287 ayat (1) KUHP ialah unsur “barangsiapa”. Kata “barangsiapa”
menunjukkan pria, yang apabila pria tersebut memenuhi unsur-unsur
dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP, maka ia
dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut.
b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
287 ayat (1) KUHP ialah unsur “mengadakan hubungan kelamin di luar
pernikahan”. Untuk terpenuhinya unsure ini oleh pelaku, tidaklah cukup
jika hanya terjadi persinggungan diluar antara alat kelamin pelaku
dengan alamat kelamin korban, melainkan harus terjadi persatuan
antara alat kelamin pelaku dengan alat kelamin korban, tetapi tidak
disyaratkan keharusan terjadinya ejaculation seminis.
c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
287 ayat (1) KUHP ialah unsur “wanita yang belum mencapai usia lima
belas tahun atau belum dapat dinikahi”. Hal ini berarti bahwa seorang
wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun haruslah dianggap
sebagai anak-anak karena adanya penentuan usia seorang wanita
untuk diizinkan untuk menikah menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu pihak lakilaki harus telah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah
84
mencapai usia 16 tahun.
Sementara itu, mengenai Unsur Subjektifnya ialah “yang ia ketahui” dan “yang
sepantasnya harus ia duga”. Hal ini berarti kedua unsur ini harus secara
bersama-sama terjadi (proparte dolus dan pro parte culpa) dalam rumusannya.
4. Pasal 288 KUHP Tindak Pidana Mengadakan Hubungan Kelamin
Dalam Pernikahan dengan Seseorang Wanita yang Belum Dapat
Dinikahi
Dalam kasus Tindak Pidana Mengadakan Hubungan Kelamin Dalam
Pernikahan dengan Seseorang Wanita yang Belum Dapat Dinikahi, unsur
Objektif yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut :
a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
288 ayat (1) KUHP ialah unsur “barangsiapa”. Kata “barangsiapa”
menunjukkan pria, yang apabila pria tersebut terbukti memenuhi unsur
dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 288 ayat (1) KUHP, maka ia
dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut.
b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
288 ayat (1) KUHP ialah unsur “mengadakan hubungan kelamin dalam
pernikahan”. Dalam hal ini, undang-undang mensyaratkan bahwa
hubungan kelamin antara pelaku dengan korban itu harus di dalam
pernikahan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan Jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 Tentang Pelaksanaan Perkawinan.
c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
288 ayat (1) KUHP ialah unsur “wanita yang belum dapat dinikahi”.
Dalam Pasal yang tercantum dalam undang-undang ini, tentang wanita
mana yang dapat dipandang sebagai wanita yang belum dapat dinikahi,
85
ternyata tidak memberikan penjelasannya. Akan tetapi, tidak salah jika
orang memasukkan wanita-wanita yang belum mencapai usia dua belas
tahun kedalam pengertian wanita-wanita yang belum dapat dinikahi.
d) Unsur Objektif yang keempat dari tindak pidana yang diatur dalam
Pasal 288 ayat (1) KUHP ialah unsur “menimbulkan luka pada tubuh”.
Dari unsur ini, orang dapat mengetahui, bahwa pelaku dari tindak
pidana yang diatur dalam Pasal 288 ayat (1) KUHP itu hanya dapat
dituntut dan dipidana, jika perbuatannya mengadakan hubungan
kelamin dalam pernikahan dengan seorang wanita yang belum dapat
dinikahi itu ternyata telah menimbulkan luka pada tubuh wanita
tersebut.
Adapun mengenai Unsur Subjektif dalam tindak pidana ini ialah unsur “yang ia
ketahui” dan unsur “sepantasnya harus ia duga”. Dari kata-kata “yang ia
ketahui”, orang dapat mengetahui bahwa undang-undang telah mensyaratkan
keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku, yang ditujukan pada
keadaan korban yakni bahwa korban tersebut merupakan seorang wanita yang
belum dapat dinikahi.
Sementara itu, unsur “sepantasnya harus ia duga”, orang dapat mengetahui
bahwa undang-undang disamping mensyaratkan keharusan adanya unsur
dolus seperti yang dimaksudkan diatas, ternyata juga mensyaratkan keharusan
adanya unsur culpa pada diri pelaku yang ditujukan pada keadaan korban
yakni bahwa korban tersebut merupakan seorang wanita yang belum dapat
dinikahi.
5. Pasal 289 KUHP Tindak Pidana dengan Kekerasan atau Dengan
Ancaman Akan Memakai Kekerasan Memaksa Seseorang Untuk
Melakukan atau Membiarkan Dilakukannya Tindakan-Tindakan
Melanggar Kesusilaan
86
Dalam kasus Tindak Pidana dengan Kekerasan atau dengan Ancaman
Akan Memakai Kekerasan Memaksa Seseorang untuk Melakukan atau
Membiarkan Dilakukannya Tindakan-Tindakan Melanggar Kesusilaan,
Unsur Objektif yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut :
a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
289
KUHP
ialah
unsur
“barangsiapa”.
Kata
“barangsiapa”
itu
menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi
semua unsur dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 289 KUHP,
maka ia dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana tersebut.
b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
289 KUHP ialah unsur “dengan kekerasan atau dengan ancaman akan
memakai kekerasan”. Tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan
dengan kekerasan dan dengan ancaman akan memakai kekerasan,
undang-undang ternyata tidak memberikan penjelasannya.
c) Unsur Objektif yang ketiga ialah unsur “memaksa seseorang”.
Pemaksaan itu harus ditujukan secara langsung pada orang yang
dipaksa
untuk
melakukan
perbuatan
yang
sifatnya
melanggar
kesusilaan atau pada orang yang dipaksa untuk membiarkan
dilakukannya perbuatan melanggar kesusilaan oleh pelaku.
d) Unsur Objektif yang keempat dari tindak pidana yang diatur dalam
Pasal 289 KUHP ialah unsur “melakukan tindakan yang sifatnya
melanggar kesusilaan”. Dalam hal ini, undang-undang ternyata tidak
memberikan penjelasannya mengenai “melakukan tindakan yang
sifatnya melanggar kesusilaan” tersebut.
e) Unsur Objektif yang kelima dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
87
289 KUHP ialah unsur “membiarkan dilakukannya tindakan yang
sifatnya melanggar kesusilaan”. Dalam hal ini juga, dalam ketentuan
Pasal 289 KUHP ini juga tidak memberikan penjelasannya.
Mengenai Unsur Subjektifnya, ternyata juga tidak ada sama sekali diberikan
penjelasan dalam Pasal 289 KUHP tersebut. Akan tetapi, tidak akan mungkin
adan unsur memaksa jika tidak ada kesengajaan dari pelaku dalam tindak
pidana ini.
6. Pasal 290 KUHP Tindak Pidana Melakukan Tindakan Melanggar
Kesusilaan Dengan Orang yang Berada Dalam Keadaan Pingsan,
Dalam Keadaan Tidak Berdaya atau Belum Mencapai Usia Lima Belas
Tahun
Dalam kasus Tindak Pidana Melakukan Tindakan Melanggar Kesusilaan
dengan Orang yang Berada dalam Keadaan Pingsan, dalam Keadaan
Tidak Berdaya atau Belum Mencapai Usia Lima Belas Tahun, Unsur
Objektif yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut :
a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
290 KUHP ialah unsur “barangsiapa”. Kata “barangsiapa”, itu
menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi
semua unsur dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 290 KUHP,
maka ia dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana tersebut.
b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
290 KUHP ialah unsur “melakukan tindakan-tindakan melanggar
kesusilaan”. Hal ini berarti bahwa tindakan yang sifatnya melanggar
kesusilaan dengan seseorang yang sedang berada dalam keadaan
pingsan atau sedang berada dalam keadaan tidak berdaya.
c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana ini ialah unsur ”orang yang
belum mencapai usia lima belas tahun atau belum dapat dinikahi”.
88
Berarti unsur ini menekankan kepada usia anak-anak dan belum layak
untuk dinikahi sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Perkawinan.
Unsur Subjektifnya ialah unsur “kesengajaan” dan unsur “yang sepantasnya
harus dapat ia duga”. Sehingga ketentuan unsur pidana didalam doktrin juga
sering disebut sebagai suatu ketentuan pidana dengan unsur subjektif yang pro
parte dolus dan parte culpa dalam Pasal 290 KUHP tersebut.
7. Pasal 292 KUHP Tindak Pidana Melakukan Perbuatan Melanggar
Kesusilaan Dengan Seseorang Anak Di Bawah Umur Dari Jenis
Kelamin Yang Sama
Dalam kasus Tindak Pidana Melakukan Perbuatan Melanggar Kesusilaan
dengan Seseorang Anak di Bawah Umur dari Jenis Kelamin yang sama,
Unsur Objektif yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut :
a) Unsur Obektif yang pertama dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
292 KUHP ialah unsur “orang dewasa”. Unsur ini cukup jelas bahwa
pelaku tidak mungkin masih anak-anak agar ia dapat dipandang
sebagai pelaku tindak pidana tersebut.
b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
292 KUHP ialah unsur “melakukan tindakan melanggar kesusilaan”.
Dalam arti bahwa walaupun disebut sebagai “perbuatan cabul”, akan
tetapi lebih dirumuskan kepada “melakukan tindakan melanggar
kesusilaan”. Hal ini karena perbuatan yang dilakukan sifatnya lebih
terbatas pada perbuatan-perbuatan yang lazim digunakan oleh para
Homoseksual saja, yakni dengan melakukan sexual intercources
melalui anus atau dubur, melainkan juga perbuatan-perbuatan seperti
89
melakukan sexual intercourse melalui mulut, mempermainkan alat
kelamin dengan oral erotisme dan lain-lain sebagainya.
c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
292 KUHP ialah unsur ”anak dibawah umur dari jenis kelamin yang
sama”. Hal ini berbicara tentang minderjarige yang dapat diartikan
sebagai seseorang yang masih berada dibawah umur atau sebagai
seseorang yang belum dewasa. Dan juga mengenai jenis kelamin yang
sama adalah memiliki kesamaan jenis kelamin antara pelaku dengan
korban sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang tersebut.
Meskipun perbuatan ini selalu harus dilakukan oleh kedua pihak
bersama-sama. Rasio dari pasal ini kiranya ialah kehendak pembentuk
undang-undang untuk memperlindungi kepentingan orang yang belum
dewasa, yang katanya kesehatannya dengan perbuatan Homoseksual
ini akan sangat terganggu, terutama mengenai jiwanya, lain daripada
hal cabul atau bersetubuh dengan lelaku dan perempuan.
Maka tidaklah dihukum perbuatan cabul homoseksual ini antara orang
dewasa15. Sebaiknya perbuatan cabul homoseksual ini dijadikan tindak
pidana, tanpa pembatasan. Dalam praktek para jaksa masih ada
kesempatan untuk, dalam pristiwa tertentu, tidak melakukan penuntutan
apabila dianggap bertentangan dengan kepentingan umum.
Untuk unsur subjektifnya ialah unsur “yang ia ketahui” dan unsur “sepantasnya
harus dapat ia duga”. Hal ini menunjukkan pengetahuan dan kepantasan
pelaku tentang kebelum kedewasaan seorang anak dibawah umur sebagai
ketentuan pidana yang mempunyai unsur subjektif pro culpa dolus dan pro
15
Wirjono Prodjodikoro, opcit,……….. Hal. 120
90
parte culpa dengan siapa pelaku telah melakukan tindakan tersebut.
8. Pasal 293 KUHP Tindak Pidana Dengan Sengaja Menggerakkan Anak
Di Bawah Umur Untuk Melakukan Tindakan Melanggar Kesusilaan
Dengan Dirinya atau Membiarkan Dilakukannya Tindak Pidana Seperti
Itu Dengan Dirinya
Dalam kasus Tindak Pidana dengan sengaja Menggerakkan Anak di
Bawah Umur untuk Melakukan Tindakan Melanggar Kesusilaan dengan
Dirinya atau Membiarkan Dilakukannya Tindak Pidana seperti itu dengan
Dirinya, Unsur Objektif yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut :
a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang dimaksudkan
ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 293 KUHP ayat (1) KUHP
ialah Unsur “barangsiapa”. Kata “barangsiapa” menunjukkan orang,
yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak
pidana seperti yang dimaksudkan didalam ketentuan tindak pidana
yang diatur dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP, maka ia dapat disebut
sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut.
b) Unsur Objek yang kedua dari tindak pidana yang dimaksudkan
ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP ialah
unsur “dengan pemberian-pemberian atau janji-janji akan memberikan
uang atau benda”. Walaupun undang-undang telah memakai kata-kata
pemberian-pemberian atau janji-janji, tetapi dengan adanya suatu
pemberian atau suatu janji, sudahlah cukup untuk menyatakan pelaku
terbukti telah memenuhi unsur objektif kedua ini, asalkan yang diberikan
atau yang dijanjikan adalah uang atau benda.
c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang dimaksudkan
ketentuan pidana Pasal 293 ayat (1) KUHP ialah unsur “dengan
menyalahgunakan kelebihan yang timbul dari hubungan-hubungan
91
yang ada“. Dalam hal ini, undang-undang tidak menjelaskan tentang
apa
yang
sebenarnya
dimaksudkan
dengan
kata-kata
dengan
menyalahgunakan kelebihan yang timbul dari hubungan-hubungan
yang ada.
d) Unsur Objektif yang keempat dari tindak pidana yang dimaksudkan
ketentuan pidana Pasal 293 ayat (1) KUHP ialah unsur “dengan cara
menyesatkan”. Yang dimaksudkan “dengan kata-kata menyesatkan“
ialah membuat seseorang menjadi mempunyai suatu kesalahpahaman.
Dalam hal ini, karena anak yang belum dewasa itu mempunyai
kesalahpahaman mengenai sesuatu, ia bersedia melakukan sesuatu
atau membiarkan dilakukannya sesuatu, dimana sesungguhnya itu
merupakan suatu tindakan yang sifatnya melanggar kesusilaan.
e) Unsur Objektif yang kelima dari tindak pidana yang dimaksudkan
ketentuan
pidana
“menggerakkan“.
Pasal
Yang
293
ayat
(1)
KUHP
dimaksud “menggerakkan“
ialah
ialah
unsur
dengan
memakai upaya-upaya tertentu yang telah disebutkan secara limitative
didalamnya, membuat seseorang yang belum dewasa dan tidak cacat
kelakuannya bersedia melakukan suatu tindakan melanggar kesusilaan
dengan orang yang telah menggerakkan dirinya atau bersedia
membiarkan dilakukannya suatu tindakan melanggar kesusilaan pada
dirinya oleh orang yang telah menggerakkan dirinya.
f)
Unsur Objektif yang keenam dari tindak pidana yang dimaksudkan
ketentuan Pasal 293 ayat (1) KUHP ialah unsur “seseorang yang belum
dewasa yang tidak cacat kelakuannya”. Karena tindak pidana yang
dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 293
92
ayat (1) KUHP ialah merupakan opzettelijk misdrijf atau suatu
kejahatan yang harus dilakukan dengan sengaja, dengan sendirinya
pelaku pun wajib mengetahui bahwa kelakuan orang tersebut
sebenarnya cacat dan belum dewasa.
g) Unsur Objektif yang ketujuh dari tindak pidana yang dimaksudkan
ketentuan pidana Pasal 293 ayat (1) KUHP ialah unsur “melakukan
tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan dirinya atau unsur
membiarkan dilakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan
dengan dirinya”. Didalam ketentuannya, undang-undang menentukan
tindak pidana yang diatur dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP sebagai
absolute klachtdelict atau suatu delik aduan absolut, hingga pelaku
tindak pidana yang diatur dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP hanya dapat
dituntut jika ada pengaduan dari orang yang oleh pelaku telah
digerakkan untuk melakukan atau untuk membiarkan dilakukannya
sesuatu tindakan melanggar kesusilaan dengan pelaku.
Unsur Subjektif tindak pidana yang dimaksudkan ketentuan pidana Pasal 293
ayat (1) KUHP mempunyai 2 (dua) macam unsur subjektif, masing-masing
yakni unsur ”yang ia ketahui” yang menunjukkan bahwa undang-undang telah
mensyaratkan tentang keharusan adanya unsur dolus atau unsur opzet atau
unsur kesengajaan pada pelaku dan unsur “yang sepantasnya harus diduga”
yang menunjukkan bahwa disamping unsur dolus, opzet atau kesengajaan,
undang-undang juga mensyaratkan tentang keharusan adanya unsur culpa
atau unsur schuld ataupun unsur ketidaksengajaan pada pelaku.
9. Pasal 294 KUHP Tindak Pidana Melakukan Tindakan Melanggar
Kesusilaan Dengan Anaknya Sendiri, Dengan Anak Tirinya, Dengan
Anak Angkatnya, Dan Lain-Lain Yang Masih Di Bawah Umur
93
Dalam kasus Tindak Pidana Melakukan Tindakan Melanggar Kesusilaan
dengan Anaknya Sendiri, dengan Anak Tirinya, dengan Anak Angkatnya,
dan Lain-Lain yang Masih di Bawah Umur, Unsur Objektif yang harus
dipenuhi yaitu sebagai berikut :
a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang dimaksudkan
dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP
ialah unsur “barangsiapa”. Kata “barangsiapa” menunjukkan orang,
yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak
pidana yang dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatur
didalam Pasal 294 ayat (1) KUHP, maka ia dapat disebut sebagai
pelaku dari tindak pidana tersebut.
b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang dimaksudkan dalam
ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP ialah
unsur “melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan”. Unsur ini
menitikberatkan pada tindakan-tindakan yang berkenaan dengan
kehidupan seksual, yang dilakukan dengan maksud-maksud untuk
mendapatkan kenikmatan secara bertentangan dengan pandangan
umum dan kesusilaan.
c) Unsur objektif yang ketiga dari tindak pidana yang dimaksudkan dalam
ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP ialah
unsur “anaknya sendiri, anak tiri, anak asuh atau anak angkat yang
belum dewasa yang pengurusannya, pendidikannya atau penjagaannya
telah dipercayakan dengan pelaku”. Unsur ini cukup jelas dan tegas dan
disebutkan dengan ketentuan fokus hanya pada anak-anak.
d) Unsur Objektif yang keempat ialah unsur “unsur pembantu atau
94
seorang bawahan yang belum dewasa”. Kata pembantu berasal dari
kata “bediende” (belanda), yang artinya pelayan atau pesuruh, sehingga
termasuk pula kedalam pengertiannya yakni pembantu rumah tangga,
pelayan took, pesuruh kantor, dal lain-lain. Sedangkan kata bawahan itu
berasal dari kata ondergeschikte yang artinya orang yang membawah,
sehingga dapat dimaksudkan kedalam pengertiannya antara lain
pekerja, buruh, karyawan, pegawai dan lain-lain.
Unsur Objektif yang terdapat dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP sama halnya
dengan tindak pidana yang dimaksudkan dalam ketentuan pidana Pasal
294 ayat (2) KUHP, hanya terdiri atas unsur-unsur objektif antara lain :
a) Unsur objektif yang pertama dari tindak pidana yang dimaksudkan di
dalam ketentuan Pasal 294 ayat (1) KUHP ialah unsur “ambtenaar
atau pegawai negeri”.
b) Unsur objektif yang kedua dari tindak pidana yang dimaksudkan di
dalam ketentuan Pasal 294 ayat (2) ialah unsur “ontucht plegen atau
unsur melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan”. Unsur ini
menitikberatkan pada hubungan kelamin diluar pernikahan yang
mengakibatkan melanggar kesusilaan.
c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang dimaksudkan
didalam ketentuan Pasal 294 ayat (2) ialah unsur “orang yang menurut
jabatan merupakan seorang bawahan pelaku atau orang yang
penjagaannya telah dipercayakan atau diserahkan kepada pelaku”.
Perlu diperhatikan bahwa undang-undang telah mensyaratkan sebagai
unsur objektif ketiga antara lain bahwa orang dengan siapa pegawai
negeri
itu
melakukan
tindakan
melanggar
kesusilaan
haruslah
95
merupakan orang yang menurut jabatan harus bawahan pelaku, dan
bukan orang yang menurut kepangkatan merupakan bawahan dari
pelaku.
Sementara itu unsur subjektif yang harus dipenuhi dalam ketentuan Pasal 294
ayat (1) dan ayat (2) tidak ada sama sekali diatur mengenai rumusan unsur
dalam ketentuannya.
10. Pasal 295 KUHP Tindak Pidana Dengan Sengaja Menyebabkan Atau
Memudahkan Dilakukannya Tindakan Melanggar Kesusilaan Dengan
Orang Ketiga oleh Anaknya Sendiri, Anak Tirinya, Anak Angkatnya,
Atau Anak Yang Diurusnya Yang Belum Dewasa
Dalam kasus Tindak Pidana Dengan Sengaja Menyebabkan Atau
Memudahkan Dilakukannya Tindakan Melanggar Kesusilaan Dengan
Orang Ketiga oleh Anaknya Sendiri, Anak Tirinya, Anak Angkatnya, Atau
Anak Yang Diurusnya Yang Belum Dewasa, Unsur Objektif yang harus
dipenuhi yaitu sebagai berikut :
a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
295 ayat (1) angka (1) KUHP ialah unsur “barangsiapa”. Kata
“barangsiapa” menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut terbukti
memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dimaksudkan didalam
ketentuan pidana yang diatur didalam Pasal 295 ayat (1) angka (1)
KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana
tersebut.
b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
295 ayat (1) angka (1) KUHP ialah unsur “menyebabkan atau
menggerakkan dan memudahkan, memungkinkan atau memberikan
kesempatan”. Menyebabkan atau menggerakkan bahasa belandanya
adalah Teweeg Brengen yang artinya berkenaan dengan perbuatan
96
menggerakkan dilakukannya suatu tindakan melanggar kesusilaan.
Sedangkan dalam bahasa belandanya memudahkan, memungkinkan
atau memberikan kesempatan diartikan sebagai Bevorderen yaitu
berkenaan dengan pelaksanaan dari rencana untuk melakukan suatu
tindakan melanggar kesusilaan oleh orang ketiga atau oleh seseorang
yang belum dewasa.
c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
295 ayat (1)
angka (1) KUHP ialah unsur “dilakukannya tindakan-
tindakan melanggar kesusilaan”. Dari kata dilakukannya itu orang dapat
mengetahui bahwa tindakan-tindakan melanggar kesusilaan itu harus
dilakukan oleh orang lain, dan bukan oleh pelaku sendiri. Dan yang
dimaksud dengan melanggar kesusilaan ialah setiap tindakan yang
melanggar kesusilaan, termasuk perbuatan melakukan hubungan
kelamin di luar pernikahan.
d) Unsur Objektif yang keempat dari tindak pidana yang diatur dalam
Pasal 295 ayat (1) angka (1) KUHP ialah unsur “orang ketiga”. Undangundang tidak menjelaskan tentang siapa yang harus dipandang sebagai
orang ketiga, bahkan tidak menentukan bahwa orang ketiga itu harus
merupakan orang dari jenis kelamin tertentu dan apakah orang ketiga
tersebut merupakan orang dewasa atau orang yang belum dewasa,
sehingga dapat dimasukkan dalam pengertiannya yakni baik pria
maupun wanita, baik orang dewasa maupun orang yang belum dewasa.
e) Unsur Objektif yang kelima dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal
295 ayat (1) angka (1) KUHP ialah unsur “anaknya, anak tirinya, anak
angkatnya, anak asuhnya, pembantunya, bawahannya yang belum
97
dewasa atau seseorang yang belum dewasa yang pengurusan,
pendidikan, atau pengawasannya telah diserahkan kepada pelaku”.
Dalam hal ini, undang-undang tidak menjelaskan tentang batas usia
anak atau orang yang dimaksudkan di dalam ketentuan Pasal 295 ayat
(1) angka (1) KUHP, agar mereka disebut sebagai seorang anak atau
seseorang yang belum dewasa.
Adapun Unsur Subjektif Pasal 295 ayat (1) angka (1) KUHP ialah unsur
“dengan sengaja”. Unsur “dengan sengaja” berkaitan dengan kesengajaan
pelaku dalam melakukan perbuatannya.
Sementara itu, Unsur Objektif yang terdapat dalam Pasal 295 ayat (1) angka
(1) KUHP sama halnya dengan tindak pidana yang dimaksudkan dalam
ketentuan pidana Pasal 295 ayat (2) angka (2) KUHP, hanya terdiri atas unsurunsur objektif antara lain :
a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang dimaksudkan
didalam ketentuan Pasal 295 ayat (2) angka (2) KUHP ialah unsur
“barangsiapa”. Kata “barangsiapa” menunjukkan orang, yang apabila
orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang
dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatur didalam Pasal 295
ayat (1) angka (2) KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari
tindak pidana tersebut.
b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang dimaksudkan di
dalam ketentuan Pasal 295 ayat (1) angka (2) KUHP ialah unsur
“menyebabkan dan atau memudahkan”. Arti “menyebabkan“ artinya
berkenaan dengan perbuatan menggerakkan dilakukannya suatu
tindakan melanggar kesusilaan dengan orang lain. Sedangkan
98
“memudahkan” berkenaan dengan pelaksanaan dari rencana untuk
melakukan suatu tindakan melanggar kesusilaan oleh orang ketiga atau
oleh seseorang yang belum dewasa.
c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang dimaksudkan di
dalam ketentuan Pasal 295 ayat (1) angka (2) KUHP ialah unsur
“diberlakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan”. Maksudnya
yaitu berkaitan dengan segala tindakan melanggar kesusilaan termasuk
tindakan melakukan hubungan kelamin di luar pernikahan.
d) Unsur Objektif yang keempat dari tindak pidana yang dimaksudkan di
dalam ketentuan Pasal 295 ayat (1) angka (2) KUHP ialah unsur
“dengan pihak ketiga”. Kata-kata “dengan pihak ketiga”, menunjukkan
bahwa yang dilakukan oleh pelaku itu harus ditujukan untuk
menyebabkan atau untuk memudahkan dilakukannya tindakan-tindakan
melanggar kesusilaan oleh seseorang yang belum dewasa dengan
orang lain, dan bukan dengan dirinya sendiri.
e) Unsur Objektif yang kelima dari tindak pidana yang dimaksudkan di
dalam ketentuan Pasal 295 ayat (1) angka (2) KUHP ialah unsur
“seseorang yang belum dewasa”.
Yang dimaksudkan dengan
“seseorang yang belum dewasa” dalam hal ini ialah orang-orang belum
dewasa yang bukan merupakan
anaknya, anak tirinya, anak
angkatnya, anak asuhnya, pembantunya, bawahannya atau seseorang
yang pengurusan, pendidikan dan penjagaannya telah diserahkan
kepada pelaku.
f)
Unsur objektif yang keenam dari tindak pidana yang dimaksudkan di
dalam ketentuan Pasal 295 ayat (1) angka (2) KUHP ialah unsur
99
“kebelumdewasaan”. Mengenai “kebelumdewasaan” orang tersebut
harus diketahui atau setidak-tidaknya harus dapat diduga oleh pelaku
dalam menggerakkan dan memudahkan tindakan melanggar kesusilaan
dengan orang ketiga.
Sedangkan mengenai unsur subjektif yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal
295 ayat (1) angka (2) KUHP ialah unsur “dengan sengaja” yang meliputi unsur
menyebabkan dan unsur memudahkan dalam bentuk kehendak, maksud dan
niat pelaku untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut serta unsur “yang
ia ketahui atau sepantasnya harus ia duga” hanya meliputi kebelumdewasaan
dari orang yang telah ia gerakkan atau telah ia mudahkan untuk melakukan
tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan orang ketiga.
Jika diperhatikan, dari berbagai rumusan unsur-unsur tindak pidana yang
diterapkan selama ini oleh para aparat penegak hukum di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang diungkapkan diatas,
ternyata jika diperhatikan secara seksama, unsur tindak pidana kekerasan
seksual khususnya terhadap kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia
seringkali dicampur adukkan dengan unsur-unsur tindak pidana yang terdapat
di Kitab Undang Undang Hukum Pidana tersebut. Padahal, sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, dengan adanya Undang Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga di Indonesia, seharusnya penerapan rumusan unsurunsur tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak seharusnya diatur
dengan baik dan sedemikian rupa sesuai dengan kebijakan hukum pidana
Indonesia.
100
Hal ini dimaksudkan karena Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang
bersifat lebih baru dan juga merupakan peraturan perundang-undangan yang
lebih khusus/spesialis (Lex Specialis) dibandingkan dengan Kitab Undang
Undang Hukum Pidana. Untuk lebih jelasnya, Simons dalam buku karangan
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, menyebutkan adanya Unsur Objektif dan
Unsur Subjektif dari tindak pidana (strafbaar feit). Unsur Objektif antara lain :
perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, mungkin ada
keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP
sifat “openbaar” atau “di muka umum”.
Sedangkan Unsur Subjektif : orang yang mampu bertanggung jawab,
adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan
kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan keadaan dimana
perbuatan itu dilakukan16. Disamping itu juga, bahwa dasar yang pokok dalam
menjatuhi pidana pada orang yang melakukan perbuatan pidana adalah norma
tertulis dengan kata lain tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dasar ini
adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang
telah dilakukannya. Jadi mengenai criminal responsibility atau criminal liability.
Sebagaimana diketahui, bahwa jika dikaitakan dengan tindak pidana
kekerasan seksual terhadap anak, pembuat undang-undang, hingga saat ini
belum sepenuhnya memberikan batasan-batasan seutuhnya dan kongkrit
mengenai unsur-unsur kekerasan seksual terhadap anak. Hal ini menjadi suatu
16
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Ibid,……….. Hal. 45
101
perbandingan mendasar dalam penerapan kebijakan hukum pidana Indonesia
dalam merumuskan unsur tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di
Indonesia guna memberikan suatu penegakan hukum pidana secara tuntas
dalam menanggulangi kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Jika
dikaitkan kekerasan seksual terhadap anak cukup kompleks unsur tindak
pidananya, dimana kekerasan seksual terhadap anak lebih menjurus dan fokus
kepada kebiasaan seseorang dalam melakukan hubungan kelamin dengan
cara-cara kekerasan/penganiayaan sebelum dan sesudah dilakukannya
hubungan kelamin (seksual) oleh para pelaku dan yang menjadi objek
pasangan melakukan hubungan seks/kelamin (partners) pelaku adalah
seseorang yang masih dikategorikan usia anak-anak.
Disisi lain, sebagaimana disebutkan bahwa mengenai dilarang atau
diancamnya suatu perbuatan, yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri,
mengenai criminal act, juga ada dasar pokok, yaitu : asas legalitas (principle
og legality), yang mana azas ini menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu
dalam perundang-undangan. Biasanya dikenal dalam bahasa Latin sebagai
Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege (tidak ada delik, tidak ada
pidana tanpa peraturan lebih dahulu)17. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun
kekerasan seksual sudah ada tercantum dalam undang-undang, akan tetapi
mengenai
rumusan
unsur
tindak
pidana
masih
bias
(tidak
terarah)
dibandingkan Tindak Pidana Perkosaan dan Kejahatan Kesusilaan lainnya.
17
Moeljantno, Opcit,……… Hal. 23
102
3.3. Penerapan Sanksi Hukum Pidana Bagi Para Pelaku Kekerasan
Seksual Sebagai Perlindungan Bagi Anak Korban Kekerasan Seksual
Melalui Kebijakan Hukum Pidana Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negara berdasarkan hukum, tentunya
memiliki
kebijakan
politik
dalam
melaksanakan
peraturan
perundang-
undangan, usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang
baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan
kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian
dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal,
maka politik hukum pidana identik dengan pengertian bahwa kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan cara hukum pidana adalah dengan
melaksanakan penerapan sanksi hukum pidana bagi para pelaku kejahatan
(kekerasan seksual terhadap anak) di Indonesia.
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya
juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan
hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau
kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan
hukum (law enforcement policy). Disamping itu, usaha penanggulangan
kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya
juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (sosial
welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum
pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (sosial
policy).
Kebijakan sosial (sosial policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup
103
perlindungan masyarakat akan kejahatan. Menurut Barda Nawawi Arief18,
makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar
belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri.
Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat
ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai
aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijaka kriminal, dan kebijakan
penegakan hukum). Kekerasan seksual terhadap anak adalah suatu kejahatan
yang memerlukan pembaharuan dalam hukum pidana.
Pengertiaan pemidanaan bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap
anak di Indonesia diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau
penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem
pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang
mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan
secara kongkret, sehingga seseorang pelaku kekerasan seksual terhadap anak
dijatuhi sanksi (hukum pidana) yang berkaitan dengan :
1) Jumlah atau lamanya ancaman pidana;
2) Peringanan dan pemberatan pidana;
3) Sistem perumusan dan penerapan pidana;
Disamping itu juga, seharusnya anak yang menjadi korban kekerasan seksual
di Indonesia harus mendapatkan perlindungan hukum yaitu :
1) Perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana kekerasan
seksual (berarti perlindungan Hak Asasi Manusia atau kepentingan hukum
seseorang termasuk anak);
18
Barda Nawawi Arief,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Cetakan II, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2010, Hal. 28
104
2) Perlindungan hukum untuk memperoleh jaminan dan santunan hukum atas
penderitaan atau kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana
(jadi identik dengan penyantunan anak yang menjadi korban kekerasan
seksual). Bentuk penyatunan ini dapat berupa pemulihan nama baik
(rehabilitasi), pemulihan keseimbangan pemulihan batin (antara lain
dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (retritusi, kompensasi, jaminan
atau santunan kesejahteraan sosial) atau lain sebagainya;
Disamping Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Indonesia saat ini sebenarnya masih
banyak
memiliki
berbagai
instrument-instrument
peraturan
perundang-
undangan yang menjadi bahan dan kebijakan hukum pidana dalam
menanggulangi kejahatan (kekerasan seksual terhadap anak) di Indonesia.
Adapun Instrument-instrument tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Instrument Internasional
1. Universal Declaration Of Human Rihgts (Deklarasi Universal Hak–Hak
Asasi Manusia atau DUHAM yang disahkan pada tanggal 10 Desember
1948. Dalam Pasal 16 Ayat (3) DUHAM dinyatakan bahwa keluarga
adalah kesatuan alamiah dan mendasar dari masyarakat dan berhak
atas perlindungan oleh masyarakat dan Negara.Hal ini sangat erat
sekali kaitannya dengan anak karena anak bagian dari keluarga,
memerlukan perlindungan dan pemeliharaan khusus dan setiap anak
masih sangat tergantung hidupnya pada bantuan dan pertolongan
orang dewasa, terutama orang tua anak tersebut. Apalagi dalam
105
pemenuhan haknya, seorang anak tidak lah dapat melakukanya sendiri
karena kemampuan dan pengalaman anak tersebut masih sangat
terbatas.Dengan demikian perlindungan hukum terhadap anak adalah
tugas orang dewasa dan hal tersebut telah diatur dalam DUHAM yang
merupakan instrument internasional yang bersifat universal.
2. The Convention on The Elimination of All Forms Discrimination Againts
Woman (CEDAW), diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa–
Bangsa (PBB) pada tanggal 19 Desember 1979 dan mulai berlaku
sebagai suatu treaty pada tanggal 13 Desember 1981. Kemudian
dilakukan ratifikasi oleh Negara Indonesia melalui Undang–Undang
Nomor 7 Tahun 1984, yang secara spesifik mengatur segala aspek
kehidupan perempuan, termasuk anak yang bebas diskriminasi dalam
bidang pendidikan, kesehatan, hukum, ekonomi, sosial, politik dan
budaya, dan perlindungan dari setiap kekerasan. Convention of The
Rights of The Child, diadopsi oleh Perserikatan Bangsa–Bangsa (PBB)
pada tahun 1989 dan kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan
Convention on The Rights of The Child, (Konvensi Hak–Hak Anak )
pada tanggal 25 Agustus 1990, yang mengatur hak–hak asasi anak
sebagai bagian masyarakat manusia, termasuk kepada perlindungan
terhadap anak dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Secara
garis besar Konvensi Hak–Hak Anak yang terdiri dari 45 Pasal dapat
dikategorikan dalam 4 bagian besar yaitu :
a) Hak Atas Kelangsungan Hidup. Hak ini meliputi hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan dengan stadart tinggi, imunisasi
106
terhadap berbagai penyakit yang menimbulkan kematian adalah
salah satu perwujudan dari hak ini.
b) Hak Atas Perlindungan
Termasuk dalam hak ini adalah perlindungan terhadap adanya
diskriminasi, kekerasan, pengabdian dan eksploitasi selain itu juga
perhatian ditujukan kepada pemberian perlindungan terhadap anak
tanpa keluarga dan juga terhadap anak pengungsi.
c) Hak Untuk Dapat Berkembang. Hak perkembangan anak ini
mencakup semua segi dalam kehidupannya baik itu segi fisik,
mental dan social budaya yang harus disesuaikan dengan
perkembangan usianya.
d) Hak Anak untuk berpartisipasi. Anak memiliki sudut pandang sendiri
dalam melihat suatu masalah, namun sering kali hal itu tidak
diketahui oleh orang dewasa, Konvensi Hak Anak menjamin apabila
anak itu mampu, maka ia dapat mengungkapkan pandangannya
akan
sesuatu
hal,
ia
pun
juga
dapat
menyebarluaskan
pandangannya itu19.
3. The United Nations Guidelines for The Prevention of
Juvenile
Delinquency (The Riyardh Guidelines) yang terdapat dalam Resolusi
Perserikatan Bangsa–Bangsa Nomor 45 / 112 Tanggal 14 Desember
1990, yang terdiri dari 7 (tujuh) bagian berisi 66 butir pedoman tentang
“Juvenile Delinquency“ dan “Youth Crimer“ merupakan pedoman
melakukan pencegahan tindak pidana anak, mulai dari kebijakan
19
www.legalitas.or.ig
107
pemerintah sampai dengan program–program spesifiknya, termasuk
keterlibatan masyarakat didalamnya.
4. The United Nations Standart Minimum Rules for the Administrations Of
Juveniles Justice (The Beijing Rules) yang menjadi Resolusi Perserikatan
Bangsa–Bangsa (PBB) Nomor 40 / 33 Tanggal 29 November 1985.
5. Peraturan PBB Tentang Perlindungan bagi Remaja yang kehilangan
kebebasannya (1990), yang dikenal sebagai “JDL“ yang mengatur
mengenai perlindungan dan perlakuan minimum, menyangkut institusi,
fasilitas dan petugas, dan masyarakat yang berkaitan, bagi anak dan
remaja yang terpaksa dirampas kemerdekaannya.
6. Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse
of Power. Deklarasi ini adalah berdasarkan pertimbangan pada Seventh
United Nations Congress on The Prevention of Crime and The Treatment
of Offenders, yang diadakan di Milan–Negara Italia pada tanggal 26
Agustus – 6 September 1985.
Dalam deklarasi ini merekomendasikan batasan–batasan yang diambil
dalam tingkatan International dan tingkatan Regional untuk meningkatkan
akses keadilan dan perawata yang cukup, penggantian kerugian, ganti
rugi dan bantuan sosial untuk korban kejahatan, untuk mengguraikan
secara singkat langkah–langkah utama yang diambil untuk mencegah
Viktimisasi dihubungkan dengan penyalahgunaan kekuasaan untuk
menyediakan perbaikan untuk korban dalam perawatan.
Disamping itu, disebutkan juga dalam deklarasi ini bahwa yang dimaksud
dengan korban adalah orang–orang yang secara individual atau kolektif,
telah mengalami penderitaan fisik dan mental, penderitaan emosi,
108
kerugian ekonomis atau pengurangan substansial hak–hak asasi, melalui
perbuatan–perbuatan atau pembiaran–pembiaran (omissions) yang
melanggar hukum pidana yang berlaku di negara–negara anggota, yang
meliputi
juga
peraturan
hukum
yang
melarang
penyalahgunaan
kekuasaan. Instrument Internasional tersebut diatas telah menetapkan
seperangkat hak–hak dan kewajiban negara–negara di dunia yang
menandatanganinya
dan
melakukan
ratifikasi
untuk
melakukan
perlindungan terhadap anak20.
Dengan demikian, Indonesia sebagai salah satu negara yang turut ikut
serta telah melakukan proses ratifikasi, terhadap instrument–instrument
internasional tersebut memiliki kewajiban untuk mengimplementasikannya,
yaitu dengan mengadakan hukum–hukum mengenai hak–hak anak yang
berkaitan dengan :
1. Pembentukan hukum atau harmonisasi hukum sesuai dengan norma yang
terdapat dalam instrument internasional tersebut;
2. Penegakan hukum mengenai hak–hak anak yang dilaksanakan sebagai
fungsionalisasi norma hukum;
3. Melakukan
program
aksi
yang
kongkrit
yang
berkaitan
dengan
perlindungan hakatas anak;
Dari ketiga hal yang saling berkaitan ini, bertujuan dan untuk mencapai suatu
kepastian hukum, keadilan hukum dan juga kemamfaatan hukum yang dicita–
citakan serta hal ini harus dilakukan karena secara moral, semua negara
dituntut untuk menghormati, menegakkan dan melindungi hak-hak asasi setiap
anak di seluruh wilayah Indonesia.
20
www.hukumonline.com
109
2. Instrument Nasional
Indonesia sebagai Negara Hukum, harus memiliki suatu upaya tindak lanjut
mengenai perlindungan hukum terhadap hak–hak anak. Salah satu tindak
lanjut
pemerintah
dalam
mengimplementasikan
instrument–instrument
Internasonal yang berkaitan dengan hak anak, yaitu dengan membentuk
peraturan perundang–undangan yang berkaitan dengan perlindungan dan
penegakan hukum atas hak–anak yaitu sebagai berikut :
1) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak
Dalam undang–undang ini, mengatur mengenai secara spesifik tentang
kebutuhan–kebutuhan dasar anak dan yang bertanggung jawab atas
pemenuhan dasar tersebut serta kesejahteraan anak, khususnya bagi
anak–anak yang mengalami hambatan rohani, jasmani, sosial dan
ekonomi.
2) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak
Undang–undang ini mengatur tentang perlindungan terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum, khususnya anak–anak yang bermasalah
atau melakukan tindak pidana.
3) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Hukum
Acara Pidana (KUHAP)
Dalam undang–undang ini, perlindungan hukum terhadap anak lebih
identik dengan perlindungan terhadap orang yang melakukan tindak
pidana. Mengenai jaminan perlindungan anak yang tersangkut tindak
pidana terdapat dalam ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 68
KUHAP yaitu berkaitan dengan kedudukan seorang anak sebagai
tersangka atau terdakwa.
110
4) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang–undang ini mengatur mengenai perlindungan hukum yang
diberikan terhadap anak berupa hukuman bagi pelaku tindak pidana
kekerasan seksual yang terdapat didalam beberapa pasal dalam BAB
XIV Tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, yaitu terdapat dalam
ketentuan Pasal 285 sampai dengan Pasal 294 KUHP. Sedangkan
mengenai jaminan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban
tindak pidana, tidak diatur dalam suatu BAB tersendiri apalagi untuk anak
yang menjadi korban kekerasan seksual. Kedudukan seorang yang
menjadi yang menjadi korban tindak pidana dalam proses peradilan
adalah hanya sebagai saksi. Jadi perlindungan terhadap korban dapat
dilihat secara eksplisit didalam ketentuan Pasal 98, Pasal 117 Ayat ( 1 ),
Pasal 118, Pasal 166, Pasal 171 Huruf ( a ), Pasal 178 dan Pasal 229.
5) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia
Dalam
undang–undang
ini,
perlindungan
hukum
terhadap
anak
mencakup segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak–haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapatkan perlindungan dari kekerasan termasuk hak yang bersifat
umum yaitu diatur dalam Pasal 58 dan Pasal 59 Undang–Undang Nomor
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
6) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam undang-undang ini, terdiri atas 10 BAB dan 56 Pasal yang
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia pada tanggal
111
22 September 2004. Dimana ketentuan didalamnya merupakan berbagai
hak-hak anggota keluarga (isteri dan anak-anak) dan juga anggota
keluarga lainnya atas jaminan perlindungan hukum yang diberikan oleh
negara kepada anggota keluarga didalamnya dari berbagai tindak
kekerasan, ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan dalam ruang lingkup
rumah tangga.
7) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
Undang–undang ini, terdiri dari 14 BAB dan 93 Pasal yang diundangkan
pada tanggal 22 Oktober 2002. Ketentuan didalamnya memuat tentang
hak–hak anak, kewajiban anak serta beberapa ketentuan pidana yang
melindungi anak jika menjadi korban tindak pidana (kekerasan seksual).
Dalam undang–undang ini ditegaskan pula bahwa penyelenggaraan
perlindungan anak merupakan kewajiban dan tanggung jawab dari
negara, masyarakat, keluarga dan orang tua yang meliputi perlindungan
di bidang agama, kesehatan, pendidikan dan sosial.Selain itu, diatur juga
perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dan
bagi anak yang menjadi korban tindak pidana.
Dari berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
selama ini, semua sistem penerapan hukum pidana Indonesia yang ada
menjadi titik perhatian utama dalam proses peradilan pidana penguasa atau
pemerintah lebih banyak memberikan perhatian kepada pelaku tindak pidana
(kekerasan seksual terhadap anak), agar pelaku bisa berubah menjadi baik
dan berguna bagi masyarakat. Sementara itu di pihak lain anak yang menjadi
korban kekerasan seksual, orang tua, keluarga dan masyarakat sekitar yang
112
merasa dirugikan dan terganggu keharmonisan dan kebahagiaannya akibat
perbuatan dan atau tindakan pelaku tindak pidana kekerasan seksual tersebut
kurang mendapat perhatian yang serius.
Hal ini terlihat dari masih sedikitnya aturan dalam perundang–undangan
mengenai
hak–hak
korban
kejahatan.
Selama
ini
pandangan
yang
menyebutkan bahwa pada saat pelaku kejahatan (kekerasan seksual) telah
diperiksa, diadili dan dijatuhi vonis hukuman oleh hakim, pada saat itulah
perlindungan terhadap korban diberikan. Padahal, pendapat demikian tidak
sepenuhnya benar dan bermamfaat bagi anak yang menjadi korban kekerasan
seksual, orang tua, keluarga dan masyarakat lainnya yang dirugikan akibat
kekerasan seksual yang telah terjadi. Keadaan ini secara tidak langsung telah
menciptakan dan menimbulkan ketidakseimbangan antara perlindungan hukum
bagi anak selaku korban tindak pidana kekerasan seksual dengan pelaku
tindak pidana kekerasan seksual tersebut.
Menariknya, saat ini di Indonesia dalam hal untuk memberikan
perlindungan terhadap korban kejahatan, khususnya yang dialami oleh anak–
anak dan wanita telah ada suatu lembaga yang dinamakan Lembaga
Perlindungan Anak dan Perempuan dan juga di beberapa Tingkat Kantor
Kepolisian Resort (Polres), Kantor Kepolisian Kota Besar (Polrestabes), Kantor
Kepolisian Daerah (Polda) hingga Kantor Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI) telah dibentuk suatu unit penanganan terhadap kejahatan yang
menimpa wanita dan anak–anak terkait kekerasan fisik,psikis maupun seksual,
yang disebut Unit Perlindungan Anak & Perempuan. Khusus yang ditangani
adalah kasus perkosaan, penganiayaan dilingkungan keluarga dan pelecehan
seksual (kejahatan kesusilaan).
113
Khususnya dibeberapa kantor-kantor kepolisian di Indonesia sebagaimana
yang disebutkan diatas, ide pembentukan Unit Perlindungan Anak &
Perempuan ini berawal dari adanya kekhawatiran dari aparat kepolisian, bahwa
korban (wanita dan anak–anak) yang telah mengalami tindakan kekerasan baik
fisik maupun seksual tidak bersedia untuk memberikan pengaduan dan
keterangannya berkaitan dengan berbagai kekerasan yang menimpa dirinya
karena proses pemeriksaan dilakukan di tempat terbuka seperti yang dilakukan
pada korban–korban kejahatan lainnya pada umumnya.
Sedangkan pada kasus yang menimpa korban (wanita dan anak–anak),
faktor kerahasiaan sangat penting untuk tetap dijaga dan dijunjung tinggi oleh
semua pihak tanpa terkecuali karena menyangkut aspek privacy (rahasia) dari
korban kekerasan seksual tersebut. Akibatnya, dengan munculnya rasa
enggan, malu bahkan takut dari korban kekerasan seksual untuk melaporkan
kejahatan atau tindak pidana yang menimpa dirinya, akan berdampak pada
sulitnya aparat kepolisian untuk mengungkap kasus tersebut hingga tuntas.
Peran korban dalam persidangan lebih sebagai bagian dari pencarian
kebenaran material, yaitu sebagai saksi semata.
Dalam tahap pemeriksaan, seperti halnya korban kekerasan seksual
terhadap anak, tidak sedikit yang mengabaikan hak–hak asasi korban,
misalnya korban di periksa oleh penyidik tanpa di dampingi oleh Tenaga Medis,
Rohaniawan, Psikolog dan/atau Advokat serta kerap ditanya oleh penyidik
kepolisian setempat dengan mempergunakan kalimat–kalimat yang terkesan
sangat vulgar dan tidak menanyakan secara pelan–pelan dalam intonasi
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada anak korban kekerasan seksual
sehingga membuat seseorang anak yang mengalami suatu tindakan kekerasan
114
seksual merasa tidak nyaman, malu, takut, khwatir dan perasaan lainnya yang
bisa membuat anak merasa serba salah dan kebingungan dalam menghadapi
penderitaan yang dialaminya.
Sementara itu disisi lain, penjatuhan putusan (vonis) hakim yang
memeriksa dan mengadili kasus–kasus kekerasan seksual terhadap anak
kerap korban dan keluarganya dikecewakan dengan putusan pidana yang
diberikan kepada para pelaku tindak pidana tersebut. Karena sering terjadi
yaitu berkaitan dengan putusan yang dijatuhkan relative ringan dan tidak
sebanding dengan penderitaan yang telah ditanggung dan yang akan dihadapi
oleh anak tersebut sebagai korban perbuatan pelaku setelah kejadian
kekerasan seksual yang sudah dialaminya itu. Dan disamping itu juga, bahwa
sistem pemidanaan Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
berlaku di Negara Indonesia tidak menyediakan pidana ganti rugi bagi korban
kekerasan seksual sehingga posisi korban tetap berada pada posisi yang tidak
diuntungkan sebagai korban kejahatan.
Pemberian pidana secara akbstrak, yaitu penetapan perbuatan kekerasan
terhadap anak sebagai tindak pidana, telah dilakukan pembuat Undang-undang
ke dalam beberapa ketentuan pasal di dalam Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHP), Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
seperti telah disebutkan di atas. Pemberian sanksi pidana, baik secara abstrak
maupun yang konkret, diharapkan dapat memberikan efek pencegah terhadap
pelaku maupun pelaku potensial. Di samping penanggulangan kekerasan
seksual terhadap anak dengan sarana hukum pidana, pembuat Undang-
115
undang juga telah menetapan beberapa kebijakan yang dapat dinilai sebagai
upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak dengan sarana non
hukum pidana.
Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, kebijakan penangulangan kekerasan seksual
terhadap anak, dapat diidentifaksi pada bagian upaya perlindungan anak, yaitu
mencakup sebagai berikut :
1) Diwajibkannya ijin penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai
objek penelitian kepada orang tua dan harus mengutamakan kepentingan
yang terbaik bagi anak (Pasal 47);
2) Diwajibkannya bagi pihak sekolah (lembaga pendidikan) untuk memberikan
perlindungan terhadap anak di dalam dan di lingkungan sekolah dari
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau
teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga
pendidikan lainnya (Pasal 54);
3) Diwajibkannya bagi pemerintah untuk menyelenggarakan pemeliharaan
dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga
(Pasal 55);
4) Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual, dan pelibatan berbagai instansi
pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat,
dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara
ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66);
116
5) Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan
yang melindungi anak korban tindak kekerasan (Pasal 69). Upaya
pencegahan kekerasan pada anak dengan sarana nonpenal, dalam
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, disebutkan bahwa :
“Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan
dalam rumah tangga” ;
Sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 11, upaya pencegahan
tersebut adalah sebagai berikut :
a) Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga;
b) Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang
kekerasan dalam rumah tangga;
c) Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam
rumah tangga (Pasal 12);
Hal ini dimaksudkan, karena kasus kekerasan seksual terhadap anak yang
marak di Indonesia, pelakunya bukan lagi hanya kalangan penduduk Indonesia
saja, tetapi juga warga negara asing yang sengaja datang dan tinggal di
wilayah Indonesia untuk mendapatkan kepuasan seksualitasnya. Hal ini
mengindikasikan bahwa Indonesia telah menjadi surga bagi para pelaku
kekerasan seksual terhadap anak. Berkaitan dari hal ini, diperlukan adanya
berbagai informasi tentang pengertian, sebab dan akibat kekerasan seksual
terhadap anak kepada semua lapisan masyarakat, yaitu baik dengan melalui
berbagai media berupa semacam penyuluhan, kampanye, seminar dan lain
sebagainya yang sebenarnya merupakan sarana yang akurat, hemat dan cepat
dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia.
Penyuluhan merupakan bentuk salah satu cara media yang baik, akan
tetapi penyuluhan hanya dapat menjangkau khalayak yang terbatas, berbeda
117
halnya dengan kampanye, karena kampanye menimbulkan keserempakan
(simultaneity), artinya suatu pesan dapat dapat diterima oleh khalayak yang
jumlahnya besar pada saat yang sama secara bersama-sama. Berbagai kasuskasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi saat ini sudah dalam
skala sangat menghawatirkan, yaitu dengan semakin bertambahnya jumlah
kasus yang terjadi setiap tahun. Ada beberapa hal yang menyebabkan kasus
kekerasan seksual terhadap anak marak terjadi misalnya yaitu sebagai berikut :
1. Kondisi lingkungan ekonomi Indonesia yang kurang kondusif, membuat
banyak anak jalanan yang menjadi korban kekerasan seksual, anak jalanan
yang secara ekonomi dapat disebut tidak mampu, terpaksa rela untuk
diperlakukan tidak pantas oleh seorang pelaku kekerasan seksual karena
diberi imbalan berupa uang atau barang,
2. Kondisi lingkungan keagamaan yang buruk, yaitu mulai pudarnya nilai-nilai
keagamaan dalam setiap individu manusia.
3. Adanya pengaruh adat timur di Indonesia (sosial-budaya), dimana tindak
kekerasan seksual terhadap anak masih dianggap sebagai sesuatu hal
yang tabu jika diungkap, sehingga kebanyakan masyarakat memilih
menyimpannya dengan rapat-rapat dibanding mengungkapkannya ke pihak
berwajib/kepolisian.
4. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang tindak kekerasan seksual
terhadap anak, sehingga kurang tercipta tindakan pencegahan kekerasan
seksual terhadap anak dalam lingkungan masyarakat.
5. Adanya sistem kekerabatan yang erat di masyarakat Indonesia yang
memudahkan seorang pelaku kekerasan seksual terhadap anak masuk ke
lingkungan pribadi masyarakat.
118
6. Kurangnya peran media massa dalam pemberitaan (sosialisasi) kepada
masyarakat mengenai kekerasan seksual.
7. Belum adanya kampanye akan bahaya kekerasan seksual terhadap anak
yang mampu ditangkap dan dimengerti apalagi dipahami oleh semua
lapisan masyarakat.
Pada masa kini fungsi dan peran negara terhadap masyarakat bukan hanya
sekedar menjaga ketertiban dan keamanan tetapi lebih luas dari itu yaitu
memberikan kesejahteraan kepada masyarakat atau dikenal dengan Negara
Kesejahteraan. Dalam melaksanakan konsep negara kesejahteraan ini,
perlindungan bagi warga negara baik sebagai individu maupun sebagai
kelompok merupakan sisi yang sangat penting, karena tanpa adanya suatu
perlindungan dan jaminan hukum yang menimbulkan rasa aman bagi rakyat
tidak mungkin tercapai suatu kesejahteraan bagi masyarakat.
Perlindungan dan jaminan hukum bagi masyarakat ini berdimensi banyak,
salah satunya adalah perlindungan hukum terhadap anak. Apabila dikaitkan
dengan keseluruhan individu terutama perlindungan terhadap anak yang jelas–
jelas merupakan bagian dari masyarakat, perlindungan hukum terhadap anak
merupakan bagian yang tidak bisa lepas dari peran dan pengawasan dari
kedua orang tua anak tersebut, akan tetapi disamping itu ada hal yang jauh
lebih
penting
yaitu
negara
sebagai
perlindungan
masyarakat
secara
keseluruhan memiliki suatu kewajiban yang tidak bisa menghindar dari peran
dan tanggung jawab terhadap anak di Indonesia yaitu harus selalu berupaya
untuk memberikan perlindungan kepada setiap anak di mana pun berada tanpa
terkecuali. Hal ini menunjukkan dan menghendaki adanya suatu upaya yang
terus menerus dilakukan bersama dengan semua pihak melalui tindakan
119
nasional dan kerjasama internasional.
Komitmen bersama diperlukan untuk menempatkan anak pada arus utama
pembangunan dan diarahkan pada investasi sumber daya manusia (human
investment). Keyakinan bahwa anak adalah generasi penerus dan harapan
masa depan bangsa, akan mendorong semua tindakan yang menyangkut
kepentingan anak, baik yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, lembaga
peradilan, lembaga legislatif maupun masyarakat akan memberikan prioritas
tinggi kepada pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak, demi kepentingan
terbaik anak Indonesia. Situasi dan kondisi anak Indonesia saat ini,
mencerminkan adanya penyalahgunaan anak (abuse), eksploitatif, diskriminatif
dan
mengalami
berbagai
tindakan
kekerasan
yang
membahayakan
perkembangan jasmani, rohani, dan sosial anak.
Keadaan ini, tentunya sangat memprihatinkan bagi bangsa dan negara
Indonesia, karena anak dari aspek agama merupakan amanah dan karunia dari
Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga harkat dan martabatnya sebagai
mahluk ciptaan–Nya. Berangkat dari berbagai kasus–kasus yang terjadi atas
maraknya pelanggaran–pelanggaran terhadap hak–hak asasi anak yaitu
dengan semakin banyaknya tindak kekerasan seksual yang terjadi dialami oleh
anak–anak yang ada di Indonesia, anak juga harus mendapatkan suatu
jaminan perlindungan hukum yang tegas yaitu dengan cara peranan
pemerintah dalam menerapkan sanksi pidana yang tepat terhadap para
pelaku–pelaku kekerasan seksual yang sering melakukan kekerasan seksual
kepada anak–anak di negeri ini.
Seperti diketahui bahwa, setiap anak di Indonesia, pada suatu waktu,
dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok selalu melakukan pergaulan
120
kepada banyak orang dan juga melakukan interaksi sosial dengan orang lain.
Hal ini sesuai dengan tingkat dan kapasitasnya dalam menjalani pertumbuhan
hidupnya. Dalam keadaan apapun, setiap anak pastinya membutuhkan dan
selalu menginginkan bergaul dan berbaur di tengah–tengah masyarakat luas.
Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukan adanya berbagai
kelebihan dan kelemahannya masing–masing terhadap anak itu sendiri.
Kelebihan dari pada pergaulan anak tersebut yakni anak tersebut akan
mengetahui arti kehidupan bermasyarakat.
Kelemahannya adalah bahwa anak tersebut itu memiliki kedudukan yang
sama “aman“ dibandingkan orang dewasa di tengah–tengah pergaulannya
yang di jalani dalam berinteraksi dengan orang lain. Anak akan cenderung
selalu mengikuti dan melakukan apa yang terjadi dan mempraktekan apa yang
dilakukan orang dewasa tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan apa sisi
baik dan sisi buruk jika hal–hal yang dilakukan oleh orang dewasa juga
dilakukan oleh anak tersebut. Oleh karena itu, secara mendasar anak
sangatlah membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal juga,
mengingat lemahnya dan keterbatasan anak dalam melakukan perbuatan–
perbuatan hukum ditengah pergaulan hidup masyarakat luas.
Maka pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang
mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh para pelaku akan terasa
actual dan selalu penting untuk dikaji ulang mengenai penerapan sanksi hukum
pidana terhadap para pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang dibuat
oleh pemerintah saat ini. Salah satu contoh kurang diperhatikannya masalah
keadilan dan penghormatan atas hak–hak asasi setiap anak di Indonesia
dalam bidang penegakan hukum pidana adalah berkaitan dengan penerapan
121
sanksi pidana bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak itu sendiri.
Disisi lain, dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum lebih
mengedepankan hak–hak tersangka atau terdakwa, sementara hak–hak anak
sebagai korban kerap diabaikan. Anak sebagai korban kekerasan seksual
hanya ditempatkan sebagai alat bukti yang memberikan keterangan yaitu
hanya sekedar sebagai saksi sehingga kemungkinan besar, seseorang anak
yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut untuk mendapatkan
keleluasaan dan memperjuangkan hak–haknya sebagai anak kembali sangat
relatif kecil. Jika hal ini diperhatikan dengan seksama, hukum acara pidana
yang ada dan berlaku saat ini di Indonesia memberikan kesempatan akan
pelaksanaan proses pemeriksaan, mengadili dan putusan pengadilan yang
akan dijatuhkan kepada para pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang
mana, bahwa korban juga merupakan saksi yang akan memberikan
keterangannya di persidangan pengadilan sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 165 ayat 1 s/d ayat 4. Hal ini menunjukkan bahwa Hakim, Jaksa
Penuntut Umum, Penasehat Hukum Terdakwa dan Terdakwa pelaku
kekerasan seksual terhadap anak diberikan hak yang sangat luas dalam atau
untuk meminta keterangan saksi baik saksi yang meringankan maupun saksi
yang meringankan.
Sebagaimana komentar dan penjelasan resmi KUHAP dalam bukunya M.
Karjadi dan R. Soesilo21 disebutkan bahwa : “tidak jarang pula, bahwa si
penanya akan memperlihatkan pertanyaan-pertanyaan dari kelakuan saksi
selama persidangan atau kelakuan masa lampau, sehingga menimbulkan
kesan bahwa saksi tidak patut dipercayai baik keseluruhan atau sebagian dari
21
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan
Resmi dan Komentar, Politea, Bogor, 1997, Hal. 148
122
keterangannya. Sering terjadi, bahwa penuntut umum atau penasehat hukum
“menyerang” saksi, dengan tujuan menghancurkan mentalnya”.
Hukum
Pidana
Materiil
dan
Hukum
Pidana
Formal
(KUHAP)
lebih
menitikberatkan pada pelaku kekerasan seksual (pelaku kejahatan) daripada
korban kekerasan seksual yaitu anak, seolah–olah terdapat suatu perbedaan
atau pemisahan yang tajam antara pelaku kekerasan seksual dengan anak
yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut, walaupun keduanya memiliki
peranan yang fungsional dalam terjadinya tindak pidana tersebut.
Penerapan dan perlindungan sanksi hukum pidana bagi masyarakat
sangatlah penting karena masyarakat atau kelompok maupun perorangan, bisa
saja menjadi korban kekerasan seksual dan bahkan menjadi pelaku dalam
melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Perlindungan hukum bagi anak
yang menjadi korban kekerasan seksual sebagai bagian penting dari
perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk,
seperti melalui pemberian rehabilitasi, restitusi, kompensasi, pelayanan medis
dan bantuan hukum dari pemerintah.
3.4. Penjatuhan Ancaman Sanksi Hukum Pidana Bagi Para Pelaku
Kekerasan Seksual Terhadap Anak Sebagai Wujud Kebijakan
Penegakan Hukum Pidana Indonesia
Kebijakan Criminal yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia
atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian
integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya
mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat
dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian dapatlah dikatakan, bahwa kebijakan kriminal pada hakikatnya
123
merupakan bagian integral dari kebijakan sosial, yaitu usaha yang rasional
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Sebagai usaha penanggulangan kejahatan, kebijakan kriminal dapat
mengejawantah
dalam
berbagai
bentuk
yakni
bersifat
represif
yang
menggunakan sarana penal, yang sering disebut sebagai sistem peradilan
pidana (criminal justice system) yang mencakup pula proses kriminalisasi dan
juga
berupa
usaha-usaha
prevention
withaout
punishment
(tanpa
menggunakan sarana penal), serta melakukan pendayagunaan usaha-usaha
pembentukan opini dari masyarakat tentang kejahatan dan sosialisasi hukum
melalui media maasa secara luas dan menyeluruh.
Dikaitkan dengan kejahatan (kekerasan seksual) terhadap anak, kebijakan
kriminal di sini dapat dimaksudkan sebagai usaha yang rasional dalam
menanggulangi
kekerasan
pada
anak.
Dengan
demikian,
upaya
penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak pada dasarnya merupakan
bagian dari upaya perlindungan anak dalam mewujudkan kesejahteraan
terhadap anak. Apabila mendasarkan pada pemikiran di atas, maka usaha
penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak dapat dilakukan dengan
menggunakan sarana “penal” (hukum pidana) maupun “non-penal” (non hukum
pidana). Penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak dengan hukum
pidana dapat dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu tahap formulasi, aplikasi,
dan tahap eksekusi.
Dalam tahap formulasi, pembuat undang-undang menetapan perbuatan
perbuatan kekerasan pada anak sebagai tindak pidana, artinya bahwa
perbuatan perbuatan kekerasan terhadap anak oleh pembuat undang-undang
diberi sanksi pidana. Pemberian sanksi pidana ini masih bersifat abstrak.
124
Pemberian pidana yang lebih konkret ada pada tahap aplikasi, yaitu oleh badan
peradilan. Sementara itu, pemberian pidana yang benar-benar konkret adalah
pada tahap eksekusi, yaitu oleh badan eksekusi, misalnya pidana penjara oleh
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Pengaturan mengenai Sanksi Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku di Indonesia
saat ini sangat bervariasi dan beragam penerapan sanksi hukum pidananya.
Namun jika diklarifikasikan yaitu sebagai berikut :
1. Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam Kitab undang-undang ini, pengaturan sanksi tindak pidana masih
simpang siur dan belum memiliki kefokusan dalam merumuskan tindak
pidana kekerasan seksual terhadap anak. Yang ada adalah Kejahatan
Kesusilaan mulai dari ketentuan Pasal 281 s/d Pasal 295 KUHP.
Pasal 285 KUHP yang menyebutkan bahwa :
“barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam
karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua
belas) tahun” ;
Pasal 286 KUHP menyebutkan bahwa :
“barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan
padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan tahun)” ;
Pasal 287 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa :
“barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya
belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum
waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama 9
(sembilan) tahun” ;
Pasal 287 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa :
125
“penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita
belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan
Pasal 291 dan pasal 294 KUHP” ;
Pasal 288 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa :
“barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan
belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun” ;
Pasal 288 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa :
“jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara
paling lama delapan tahun” ;
Pasal 288 ayat (3) disebutkan bahwa :
“jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas
tahun” ;
Pasal 289 disebutkan bahwa :
“barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul,
diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan
kesusilaan, dengan pidana penjara selama sembilan tahun” ;
Pasal 290 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun :
“barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya” ;
Pasal 290 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa diancam dengan pidana
penjara lama tujuh tahun:
“barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima
belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum
waktunya untuk dikawin” ;
126
Pasal 290 ayat (3) KUHP disebutkan bahwa diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun ;
“barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya
harus diduganya bahwa umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum
waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya
perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain” ;
Pasal 291 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa :
“jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 286, 287, 289 dan 290
mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua
belas tahun” ;
Pasal 291 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa :
“jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 285, 289 dan 290
mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas
tahun” ;
Pasal 292 KUHP disebutkan bahwa :
“orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun” ;
Pasal 293 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa :
“barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan, membawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau
dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan
baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya
perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya,
diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun” ;
Pasal 293 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa :
“penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya
dilakukan kejahatan itu” ;
Pasal 293 ayat (3) KUHP disebutkan bahwa :
127
“tenggang waktu tersebut dalam Pasal 74 bagi pengaduan ini adalah
masing-masing Sembilan bulan dan dua belas bulan” ;
Pasal 294 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa :
“barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya,
anak asuhnya, anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa, atau
dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau
penjagaannya diserahkan kepadanya atau dengan bujangnya atau
bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun” ;
Pasal 294 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa :
“diancam dengan pidana yang sama : 1. pejabat yang melakukan
perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya,
atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakab atau diserahkan
kepadanya” ; 2. pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh
dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu,
rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan
perbuatan cabul dengan orang yang dimaksukkan kedalamnya” ;
Pasal 295 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa :
“diancam : 1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barangsiapa
dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan
cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak dibawah
pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa
yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan
kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup
umur, dengan orang lain” ; 2. dengan pidana penjara paling lama empat
tahun barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan
perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 diatas, yang dilakukan
oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus
diduganya demikian, dengan orang lain” ;
Pasal 295 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa :
“jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau
kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga” ;
2. Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak
128
Dalam undang-undang sebagaimana ketentuan yang terdapat di dalam
Pasal 81 Ayat (1) disebutkan bahwa :
“setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah)” ;
Pasal 81 Ayat (2) disebutkan bahwa :
“ketentuan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku
pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain” ;
Pasal 81 ayat (3) disebutkan bahwa :
”setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan antau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya
perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling sedikit 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah)” ;
3. Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam undang-undang ini sebagaimana ketentuan yang terdapat di dalam
Pasal 46 disebutkan bahwa :
“setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,00
(tiga puluh enam juta rupiah)” ;
Pasal 47 disebutkan bahwa :
“setiap orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan
seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00
129
(dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah)” ;
Pasal 48 disebutkan bahwa ;
“dalam hal perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 dan
Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi
harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau
kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus
atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam
kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp.
25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” ;
Padahal jika diperhatikan dengan seksama hukum itu menakutkan karena
pelaku akan diancam dengan hukum. Pengertian sederhana dari hukuman
ialah ancaman bersifat penderitaan dan siksaan. Sanksi atau hukuman bersifat
penderitaan karena hukuman itu dimaksudkan sebagai hukuman terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap kepentingan hukum
yang dilindungi hukum pidana. Di indonesia, bentuk-bentuk hukuman terdapat
dalam buku 1 KUHP Bab ke-2 yaitu dari Pasal 10 sampai dengan Pasal 43
KUHP yaitu sebagai berikut :
A. Pidana Pokok :
1. Pidana Mati
Pidana Mati adalah salah satu bentuk hukuman yang menjadi diskursus
dimasyarakat sebab hukuman mati merampas kehidupan seseorang.
Disisi lain, hak hidup adalah salah satu hak yang dijamin oleh UndangUndang Dasar Tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara Indonesia.
Dalam penerapannya, sebagian orang berpendapat bahwa Pidana Mati
dibenarkan dalam hal-hal tertentu yaitu apabila si pelaku telah
130
memperlihatkan melalui perbuatannya bahwa dia adalah orang yang
sangat membahayakan kepentingan umum. Oleh karena itu untuk
menghentikan kejahatannya, dibutuhkan suatu hukum yang tegas yaitu
dengan
cara
hukuman
mati.
Dengan
kata
lain
yaitu
untuk
membinasakan Pelaku.
2. Pidana Penjara
Pidana Penjara diartikan membatasi kemerdekaan atau kebebasan
seseorang yaitu dengan menempatkan pelaku/tersangka/terdakwa
terpidana dalam suatu tempat (Lembaga Pemasyarakatan) dimana
pelaku tidak bisa bebas keluar masuk dan didalamnya diwajibkan
tunduk dan taat serta menjalankan semua peraturan dan tata tertib
yang berlaku. Hukuman Penjara minimum 1 Hari dan maksimum 15
Tahun (Pasal 12 Ayat (2) dan dapat melebihi batas maksimum yakni
dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 12 (3) KUHP.
3. Pidana Kurungan
Pidana Kurungan lebih ringan dari Hukuman Penjara. Lebih ringan
antara lain dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan
dalam
hal
membawa
peralatan.
Hukuman
Kurungan
dapat
dilaksanakan dengan batasan paling sedikit 1 Hari dan paling lama 1
Tahun.
4. Pidana Denda
Pidana Denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran baik
secara alternatif maupun berdiri sendiri begitu juga terhadap jenisjenis kejahatan ringan maupun kejahatan culpa. Pidana Denda sering
diancamkan sebagai alternatif dari Pidana Kurungan. Namun, dalam
131
praktiknya
di
Indonesia,
pidana
denda
sangat
jarang
sekali
dilaksanakan. Hakim selalu menjatuhkan pidana kurungan atau
penjara jika pidana itu hanya dijadikan alternatif saja, kecuali apabila
tindak pidana itu memang hanya diancam dengan pidana kurungan.
Dalam hal Pidana Denda tidak terdapat maksimum umumnya, yang
ada hanyalah minimum umumnya. Hal ini menurut Pasal 30 Ayat (1)
KUHP adalah Rp. 30.000.075,- (tiga puluh juta tujuh puluh lima
rupiah). Apabila Terpidana tidak membayarkan uang denda yang
telah diputuskan maka konsekuensinya adalah harus menjalani
kurungan (kurungan pengganti denda).
5. Hukuman Tutupan
Pidana Tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan
yang disebabkan ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktik
peradilan dewasa ini, tidak pernah menerapkan ketentuan ini. Dalam
Pasal 2 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1948
Tentang Hukuman Tutupan ditetapkan bahwa didalam mengadili
orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman
penjara karena terdorong oleh maksud dan patut dihormati, hakim
boleh menjatuhkan hukuman tutupan. Dari undang-undang ini
ternyata hukuman tutupan itu dimaksudkan untuk menggantikan
hukuman penjara.
B. Pidana Tambahan :
1.
Pencabutan Hak-hak Tertentu
Pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat
mengakibatkan kematian perdata tidak diperbolehkan (Pasal 2 BW).
132
Dalam pidana pencabutan hak-hak terhadap terpidana menurut Pasal
35 ayat (1) KUHP hanya diperbolehkan pada hal-hal sebagai berikut :
a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
b. Hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI;
c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang
diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum;
d. Hak menjadi Penasehat Hukum atau pengurus atau penetapan
keadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau
pengampu pengawas atas anak yang bukan anaknya sendiri;
e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampuan atas anak sendiri;
f.
2.
Hak menjalankan mata pencaharian;
Perampasan Barang-barang Tertentu
Ada dua jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim,
yaitu berupa barang-barang milik terhukum, meliputi :
a. Barang yang diperoleh dengan kejahatan;
b. Barang yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan. (Pasal 39
KUHP);
3.
Pengumuman Putusan Hakim
Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan publikasi ekstra
dari putusan pemidanaan seorang dari pengadilan pidana. Jadi dalam
pengumuman putusan hakim, hakim bebas menentukan perihal cara
pengumuman tersebut. Adapun maksud dari pengumuman putusan
hakim tersebut adalah sebagai suatu usaha preventif
untuk
memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati dalam
133
bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka
tidak jujur sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan tersebut22.
Didalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, saat ini, dikenal adanya istilah “Minimum Pidana Penjara” dan
“Maksimal Pidana Penjara”. Masalah Minimum Pidana Penjara digunakan
agar mengurangi sejauh mungkin penggunaan pidana penjara pendek dengan
meningkatkan penggunaan bentuk alternative, seperti pidana bersyarat,
pengawasan, denda dan tindakan-tindakan lain yang tidak mengandung
perampasan kemerdekaan pelaku kejahatan umumnya khususnya pelaku
kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Dalam menentukan lamanya
maksimum khusus pidana penjara, menurut KUHP dan perundang-undangan
lainnya selama ini sangat bervariasi.
Maksimal khusus untuk pidana penjara yang diancamkan selama ini
didalam KUHP berkisar dari maksimum tiga minggu sampai maksimal 20
tahun, sedangkan dalam undang-undang di luar KUHP berkisar dari maksimal
1 tahun sampai maksimal 20 tahun. Dari jumlah maksimal khusus yang sangat
bervariasi itu, sulit diketahui patokan atau pola yang digunakan oleh pembuat
undang-undang
selama
kekurangpadanan.23
ini,
Disamping
malah
itu
terkadang
semua,
adanya
dirasakan
berbagai
adanya
bentuk
perlindungan korban kejahatan (kekerasan seksual) dapat mencakup bentuk
perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret
(langsung).
22
23
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Opcit, ….. Hal. 74-83
Barda Nawawi Arief, Opcit, …….. Hal. 178
134
Perlindungan
yang
abstrak
pada
dasarnya
merupakan
bentuk
perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional
(psikis), seperti rasa puas (kepuasan). Sementara itu, perlindungan yang
kongkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati
secara nyata, seperti pemberian sesuatu yang berupa atau bersifat materii
maupun non-materi. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian
kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup atau pendidikan.
Pemberian
perlindungan
yang
bersifat
non-materi
dapat
berupa
pembebasan dari ancaman, dari pemberitaan yang merendahkan martabat
kemanusiaan. Perlindungan terhadap anak korban kejahatan (kekerasan
seksual) dapat dilakukan melalui hukum, baik hukum administrasi, perdata,
maupun pidana. Penetapan tindak pidana kekerasan pada anak dan upaya
penanggulangan kekerasan pada anak dengan hukum, melalui berbagai tahap,
sebenarnya terkandung pula upaya perlindungan bagi anak korban kekerasan,
meski masih bersifat abstrak atau tidak langsung. Namun, dapat dikatakan
bahwa dewasa ini, pemberian perlindungan korban kejahatan oleh hukum
pidana masih belum menampakan pola yang jelas.
Sistem peradilan pidana, baik hukum pidana positif maupun penerapannya
pada dasarnya lebih banyak memberikan perlindungan yang abstrak (tindak
langsung). Adanya perumusan (penetapan) perbuatan kekerasan terhadap
anak sebagai tindak pidana (dengan sanksi pidana) dalam peraturan
perundang-undangan pada hakikatnya merupakan pemberian perlindungan “in
abstracto”,
secara tidak
langsung,
terhadap anak korban kejahatan
(kekerasan). Dikatakan demikian, karena tindak pidana dalam hukum positif
tidak dianggap sebagai perbuatan menyerang/melanggar kepentingan hukum
135
seseorang (korban) secara pribadi dan kongkret, tetapi hanya dianggap
sebagai pelanggaran “norma/tertib hukum in abstracto”.
Konsekuensinya, perlindungan korbanpun tidak secara langsung, akan
tetapi hanya secara tidak langsung (in abstracto) saja. Dengan kata lain,
sistem
sanksi
dan
pertanggungjawaban
pidana
tidak
ditujukan
pada
perlindungan korban secara langsung dan kongkret, tetapi hanya perlindungan
korban
secara
tidak
langsung
dan
abstrak.
Dengan
demikian,
pertanggungjawaban pidana oleh pelaku kejahatan (kekerasan seksual)
bukanlah pertanggungjawaban pidana terhadap kerugian/penderiataan korban
secara langsung dan konkret, tetapi lebih merupakan pertanggungjawaban
yang bersifat pribadi/individual. Dalam pertanggungjawaban pidana yang
bersifat pribadi/individual pada dasarnya juga terkandung adanya perlindungan
korban kejahatan secara tidak langsung, dan bahkan terhadap calon-calon
korban atau korban potensial.
Pemberian pidana, baik secara abstrak (in abstracto) maupun secara
konkret (in concreto) oleh badan (lembaga) yang berwenang, misalnya pidana
mati, penjara maupun pidana denda, dapat memberikan rasa puas bagi korban
dan rasa aman (tenang) bagi korban potensial. Pemberian pidana kepada
pelaku kejahatan (kekerasan) memang belum bisa memberikan rasa keadilan
yang sempurna. Lebih-lebih apabila korban menderita kerugian secara materiil
maupun secara fisik. Misalnya saja, dalam kasus Kecelakaan Lalu Lintas
,pemberian ganti rugi (kompensasi) dari pelaku melalui proses alternatif
(proses di luar peradilan) justru dinilai lebih bermanfaat dan berkeadilan, serta
dalam menyelesaikan persoalan yang timbul akibat dari kecelakaan tersebut.
136
Di samping memberikan perlindungan secara tidak langsung, hukum
pidana positif, dalam hal-hal tertentu, juga memberikan perlindungan secara
langsung. Dalam Pasal 14 c KUHP ditetapkan bahwa dalam hal hakim
menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14a), hakim dapat dapat menetapkan
syarat khusus bagi terpidana, yaitu “mengganti semua atau sebagian
kerugian” yang ditimbulkan oleh perbuatannya dalam waktu yang lebih
pendek dari masa percobaannya. Perlindungan yang langsung ini, di samping
jarang diterapkan, masih mengandung banyak kelemahan, yaitu :
1) Ganti kerugian tidak dapat diberikan secara mandiri, artinya bahwa ganti
kerugian hanya dapat diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana
bersyarat ;
2) Pidana bersyarat hanya berkedudukan sebagai pengganti dari pidana
pokok yang dijatuhkan hakim yang berupa pidana penjara paling lama satu
tahun atau pidana kurungan ;
3) Pemberian ganti kerugian hanya bersifat fakultatif, bukan bersifat imperatif.
Jadi, pemberian ganti kerugian tidak selalu ada, meski hakim menjatuhkan
pidana bersyarat ;
Dalam KUHAP, Pasal 98-101, diatur tentang kemungkinan penggabungan
perkara gugatan ganti kerugian (perdata) ke dalam perkara pidana. Ketentuan
ini dapat dikatakan memberikan perlindungan korban kejahatan dalam
mempermudah perolehan ganti kerugian, namun model ini juga mempersempit
ruang gerak korban sendiri. Dalam penggabungan perkara ini, berakhirnya
putusan pidana berarti juga berakhirnya putusan perdata. Jadi, apabila dalam
perkara pidana tidak ada upaya hukum, banding misalnya, maka putusan
137
perdata harus mengikuti putusan pidana. Artinya, Pihak Penggugat yang
menitipkan perkara kepada Jaksa tidak dapat melakukan upaya hukum, meski
putusan atas tuntutan ganti kerugiannya tidak memuaskan.
Upaya perlindungan anak korban kekerasan seksual baru mulai mendapat
perhatian pemerintah, secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak
di Indonesia, meski perlindungan itu masih memerlukan instrument hukum
lainnya
guna
mengoperasionalkan
perlidunngan
tersebut.
Kemudian
perlindungan yang berupa bantuan lainnya, dalam penjelasann Pasal 18,
hanya disebutkan bahwa : “bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk
bantuan medik, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan”.
Sementara itu, dalam Bab IX tentang Penyelenggaraan Perlindungan
Anak, ditetapkan beberapa bentuk perlidungan anak yang mencakup
perlindungan agama, kesehatan, sosial, dan pendidikan. Perlindungan tersebut
tidak disebutkan secara khusus tentang perlindungan bagi anak korban
kekerasan. Baru dalam bagian kelima (Pasal 59 s/d Pasal 71) diatur tentang
perlindungan khusus, namun sayangnya dalam ketentuan ini juga ditegaskan
tentang bentuk perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan baik fisik,
psikis maupun seksual. Dalam ketentuan ini hanya ditetapkan tentang proses
dan pihak yang bertanggungjawan atas perlindungan anak korban kekerasan.
Misalnya, perlindungan anak korban tindak pidana (Pasal 64 ayat 3) hanya
ditentukan prosesnya, yaitu melalui :
1) Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga ;
2) Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
menghindari labelisasi ;
138
3) Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik
fisik, mental maupun sosial; dan
4) Pemberian
aksesibilitas
untuk
mendapatkan
informasi
mengenai
perkembangan perkara ;
Kemudian juga dalam hal terjadi kekerasan yang berupa eksploitasi anak
secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan dilakukan melalui :
1) Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual ;
2) Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi ; dan
3) Pelibatan pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi anak
secara ekonomi dan/atau seksual ;
Pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan tersebut, semuanya hanya
ditentukan, yaitu pemerintah dan masyarakat. Perlindungan yang diberikan
oleh undang-undang ini pada dasarnya juga masih bersifat abstrak, tidak
secara langsung dapat dinikmati oleh korban kekerasan.
Artinya, bahwa korban kekerasan tidak memperoleh perlindungan yang
berupa pemenuhan atas kerugian yang dideritanya. Adanya ketentuan tentang
Komisi Perlindungan Anak (Pasal 74 s/d Pasal 76) juga belum menunjukkan
adanya upaya pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan,
sebab komisi ini tentunya juga hanya tergantung dari ada tidaknya
perlindungan yang yang berupa pemenuhan atas kerugian atau penderiataan
anak korban kekerasan. Selanjutnya dalam Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
139
Rumah Tangga, mengenai perlindungan korban, ditetapkan dalam Bab IV
Tentang “Hak-Hak Korban”, Bab VI Tentang “Perlindungan” dan Bab VII
tentang “Pemulihan Korban”.
Hak-hak, perlindungan maupun pemulihan korban, dalam undang-undang
ini, dimaksudkan untuk semua korban kekerasan dalam rumah tangga,
tentunya termasuk perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual.
Dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perlindungan anak korban kekerasan, juga
tidak tidak berbeda dengan yang ditetapkan dalam Undang Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Pelindungan Anak. Namun Undang Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam
merumuskan perlindungan terhadap anak korban kekerasan baik fisik, fsikis
maupun seksual lebih kongkrit dibandingkan Undang Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak.
Pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, khususnya
yang berupa pemenuhan ganti kerugian, baik melalui pemberian kompensasi
dan/atau restitusi seharusnya memperoleh perhatian dari pembuat kebijakan
selama ini dan menjadi dasar utama dalam penegakan hukum di Indonesia.
Berbagai bentuk ganti rugi sebagaimana yang dimaksud tersebut diatas, bukan
semata-mata diberikan untuk perlindungan korban belaka. Bagi anak yang
menjadi korban kekerasan seksual memang sangat memerlukan pemulihan
kerugian, baik ekonomi maupun fisik terlebih lagi apabila kondisi ekonomi anak
yang menjadi korban kekerasan tidak mampu. Pemberian perlindungan korban
kejahatan ini dapat dilakukan oleh negara dengan pertimbangan bahwa negara
gagal dalam melindungan warganya dari rasa aman.
140
Apabila tersangka/terdakwa (pelaku kekerasan seksual) saja mendapat
perlindungan dan bantuan dari negara untuk memperoleh hak rehabilitasi, ganti
rugi, dan bantuan hukum cuma-cuma, dalam hal-hal tertentu, maka wajar
apabila korban juga mendapat perlindungan dari negara. Terlebih dilihat dari
tujuan dan tanggungjawab negara untuk mewujudkan pemerataan keadilan
sosial dan kesejahteraan umum. Seperti dikemukakan di atas, meski Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut sudah menetapkan
berbagai bentuk perlindungan anak korban kekerasan, namun bentuk
perlindungan yang bersifat langsung, baik dari negara ataupun dari pelaku
kekerasan belum nampak secara jelas penerapannya.
Oleh karenanya perlu ditetapkan model pemberian perlindungan anak
korban kekerasan baik dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak maupun Undang Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara
jelas dan tegas serta bersifat cepat, tepat dan tuntas, sehingga dalam
kehidupan selanjutnya anak yang menjadi koban kekerasan baik fisik, psikis
maupun seksual benar-benar mendapat jaminan kepastian hukum yang jelas
serta para pelaku kekerasan seksual terhadap anak dijatuhi penerapan sanksi
hukum pidana setimpal dan sebanding dengan perbuatan dan atau tindakantindakan melanggar dan melawan hukum terlebih mengenai tindak pidana
kekerasan seksual terhadap anak sesuai dengan ketentuan kebijakan hukum
pidana Negara Kesatuan Republik Indonesia.
141
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Pengakuan akan persamaan harkat, derajat dan martabat manusia di
Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada dasarnya terkandung dalam silasila Pancasila yang telah disepakati sebagai dasar Negara Indonesia. Dengan
kata lain, Pancasila merupakan sumber pengakuan akan harkat dan martabat
manusia secara instrinsik melekat pada Pancasila. Kekerasan seksual adalah
kekerasan yang terjadi karena persoalan seksualitas. Hubungan antara seks
dan kekerasan seksual sangat kerap terjadi. Di mana terdapat seks maka
kekerasan hampir selalu terjadi. Kekerasan seksual bukanlah hanya semata
perkosaan, pelecehan seksual, penghinaan, perendahan terhadap lawan jenis,
penjualan anak (perempuan) untuk prostitusi dan lain sebagainya.
Kekerasan seksual merupakan suatu tindakan/perbuatan yang mejadikan
suatu kebiasaan dalam melakukan hubungan kelamin, persetubuhan dan/atau
kegiatan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar/sepantasnya dilakukan
manusia pada umumnya dalam memenuhi kebutuhan seksualnya. Kekerasan
seksual lebih memiliki suatu kerangka perlakuan terhadap pasangannya
dengan cara-cara terlebih dahulu, sedang dan setelah hubungan seksual
dilakukan terhadap pasangannya. Kekerasan dan kejahatan seksual sering
dilakukan oleh seorang yang dewasa yang mengalami kelainan seksual.
Kelainan seksual adalah cara yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan
kenikmatan seksual dengan jalan tidak sewajarnya.
Cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah dengan menggunakan
objek seks yang tidak wajar. Salah satu bentuk kelainan seksual yang ada di
142
masyarakat adalah misalnya Pedofilia. Adanya prostitusi terhadap anak-anak
di beberapa negara dan maraknya penjualan materi-materi pornografi tentang
anak-anak, menunjukkan bahwa tingkat ketertarikan seksual terhadap anak
tidak sedikit. Anak yang sedang tumbuh dan berkembang akan menjadi korban
baik secara psikis dan fisik. Misalnya saja, dalam aktivitas seks yang dilakukan
oleh penderita “pedofilia” sangat bervariasi. Aktifitas tersebut meliputi tindakan
menelanjangi anak, memamerkan tubuh mereka pada anak, melakukan
masturbasi dengan anak, dan bersenggama dengan anak. Jenis aktivitas
seksual lain yang dilakukan juga bervariasi tingkatannya, termasuk stimulasi
oral pada anak, penetrasi pada mulut anak, vagina ataupun anus dengan jari,
benda asing, atau alat kelaminnya dengan perlakuan yang sangat menyakitkan
dan kerap menimbulkan luka pada bagian-bagian tubuh anak termasuk alat
kelamin anak.
Orang yang mengalami kelainan seksual seringkali merasionalisasikan dan
beralasan bahwa perilakunya merupakan hal yang sifatnya mendidik, dan
anak-anak tersebut juga mendapat kepuasan seksual, atau anak-anak itu
sendiri yang justru menggoda para pelaku kekerasan seksual tersebut. Kasuskasus kekerasan anak dapat berupa kekerasan fisik, tertekan secara mental,
kekerasan seksual, pedofilia, anak bayi dibuang, aborsi, pernikahan anak
dibawah umur, kasus tenaga kerja dibawah umur, trafficking, anak-anak yang
dipekerjakan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), dan kasus perceraian,
sering menjadi suatu batu sandungan dalam penghormatan akan harkat,
derajat dan martabat anak di Indonesia.
Semua kasus ini berobjek pada anak yang tentu saja akan berdampak
buruk pada perkembangan dan kepribadian anak, baik fisik, maupun psikis dan
143
jelas mengorbankan masa depan anak. Kekerasan seksual terhadap anak
yang sering terjadi adalah kasus yang sangat pelik. Dimana jenis kasusnya
yang beragam, interprestasi mengenai kekerasan pun masih penuh dengan
perdebatan. Sebagian orang menganggap bahwa kasus kekerasan digunakan
sebagai hak otonominya, dan bersifat pribadi, dan orang lain tidak boleh
mengetahuinya karena termasuk aib yang harus ditutupi oleh sekelompok
pihak sehingga banyak kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak
bisa diungkap secara tuntas di Indonesia. Kekerasan seksual terhadap anak
adalah suatu tindakan yang sangat menyimpang akibat adanya kelainan
seksual yang dialami oleh para pelaku kekerasan seksual karena para pelaku
lebih cenderung tertarik kepada anak yang bisa diperlakukan dengan aksi-aksi
seksual yang disertai kekerasan dan penyiksaan.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 59 Undang Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak bahwa pemerintah dan lembaga
negara lainnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan khusus kepada
anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok mioritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (nafza),
anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan
baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban
perlakuan salah dan penelantaran terlebih lagi kekerasan seksual yang
semestinya lebih diprioritaskan dan hak-hak anak secara manusiawinya harus
dihormati oleh semua pihak tanpa terkecuali. Efek kekerasan seksual terhadap
anak antara lain depresi, gangguan stres pascatrauma, kegelisahan,
144
kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasa, dan
cedera fisik yang diderita oleh anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap anak adalah merupakan individu yang
unik, yang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa, baik dari segi fisik,
emosi, pola pikir, maupun perlakuan terhadap anak membutuhkan spesialisasi
perlakuan khusus dan emosi yang stabil. Pada setiap anak tertumpu suatu
tanggungjawab yang sangat besar sebagai harapan masa depan bangsa,
penerus cita-cita dan pewaris keturunan. Anak sebagai tunas bangsa, dan
generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis
dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan
eksistensial/keberadaan bangsa dan negara pada masa depan.
Sebagai sebuah tindak kejahatan, kekerasan seksual terhadap anak
menjadi perkara yang sangat memilukan. Pasalnya, dampak traumatik yang
dialami anak korban kekerasan seksual begitu mendalam dan sangat sulit
untuk disembuhkan. Bisa saja seorang anak sedang mengalami kekerasan
seksual namun dia tidak mau menceritakannya karena diancam oleh pelaku
untuk tidak menceritakannya dan/atau juga bisa disebabkan komunikasi orang
tua dengan anak tersebut minim bahkan buruk dalam kesehariannya.
Beberapa indikasi yang menunjukkan kemungkinan telah terjadinya kekerasan
seksual pada anak yaitu sebagai berikut :
1. Perubahan perilaku, misalnya seseorang anak yang mengalami kekerasan
seksual lebih mudah menangis, menjadi mudah takut, gampang melamun,
perubahan mood yang tiba-tiba (gembira tiba-tiba sedih, dan sebaliknya) ;
145
2. Mengalami depresi, tidak mau ikut terlibat dalam aktivitas bersama orang
lain, sampai mengalami masalah di sekolah, bahkan kadang tidak mau
bersekolah sama sekali lagi ;
3. Melekat terus kepada orang tuanya, tanpa mau berpisah, tiba-tiba bertindak
agresif, berusaha bertindak melukai diri sendiri, terlihat tertekan dan
murung tanpa sebab yang jelas ;
4. Mengalami gangguan makan, mengalami gangguan tidur dan sering
bermimpi buruk, juga takut pergi ke tempat tidur ;
5. Menunjukkan tidak ada minat sama sekali terhadap hal-hal yang berbau
seksual.
6. Takut tempat-tempat
tertentu, orang-orang tertentu (khususnya bila
sendirian bersama orang dimaksud), atau kegiatan-kegiatan tertentu ;
7. Sakit, gatal, berdarah dan memar di daerah-daerah vital ;
Oleh sebab itu dibutuhkan suatu perlindungan dan terapi bagi korban
untuk penyembuhan, termasuk luka-luka fisik pada bagian tubuh anak dan
dukungan emosional dari orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah,
penyembuhan alat kelamin, dan pengobatan serta perawatan terhadap
kemungkinan terjadinya kehamilan pada anak tersebut. Namun demikian, halhal yang sangat penting ini tidak didapatkan oleh korban dalam sebagai proses
hukum yang dijalani oleh anak yang menjadi korban kekerasan seksual dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia. Lebih parahnya lagi adalah bahwa,
mereka justru mendapatkan perlakuan diskriminatif, viktimisasi berganda
sebagai akibat tidak adanya perhatian bagi korban terkait dengan kesehatan
fisik dan mentalnya.
146
Sesuatu yang menjadi suatu keniscayaan bahwa harus ada suatu cara
alternatif yang dapat memberikan jaminan atas kepentingan korban, baik
secara finansial maupun dukungan emosional. Secara responsibel, hal ini
sesungguhnya menjadi tanggung jawab dari pelaku kekerasan seksual
terhadap anak, yang berkewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada
anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Namun demikian hal itu tidak
dapat dilakukan begitu saja tanpa ada intervensi dari pihak lain (hakim) yang
bersifat netral dan aktif dalam menerapkan hukum sesuai dengan keadilan,
kepastian dan kemamfaatan hukum karena akan timbul kekhawatiran bahwa
pelaku akan lepas tangan atau justru melakukan kekerasan berulang dengan
mengancam anak korban kekerasan seksual tersebut. Dari pembahasan yang
telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa anak sebagai korban
kejahatan yaitu korban kekerasan seksual merupakan pihak yang berada
dalam kondisi darurat dan membutuhkan pertolongan, baik psikologis maupun
medis, dorongan dan dukungan sosial.
4.2. Saran
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, alasan yang menyebabkan
sulitnya kasus kekerasan seksual terhadap anak untuk diselesaikan adalah
karena ketidakfleksibelan dan ketidakpekaan dari sistem peradilan pidana
terhadap kepentingan korban. Ketidakpekaan dari sistem peradilan pidana
Indonesia selama ini terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual
anak disebabkan oleh konstruksi masyarakat patriarki yakni, yang memandang
persoalan dari cara berpikir yang sempit akan pengertian seksualitas, sehingga
anak-anak korban kekerasan seksual jarang atau bahkan tidak pernah
147
didengar, dan pengadilan hanya berfokus pada objek kejahatan yang dilakukan
pelaku kekerasan seksual tersebut. Alasan lainnya adalah keenganan anak
korban kekerasan seksual untuk melaporkan ke aparat penegak hukum karena
rasa malu dan tidak ingin membuka aibnya.
Hal ini menjadi dilema tersendiri yang akhirnya mengungkung anak korban
kekerasan seksual dalam rasa bersalah dan ketakutan, terlebih lagi dalam
kasus pelaku kekerasan yang mengancam korban untuk menutup mulutnya.
Tidak adanya inisiatif dan usaha yang keras dari sistem peradilan pidana untuk
membongkar ‘kasus tersembunyi’ ini pun menjadi penegasan tidak adanya
kepekaan dari lembaga formal tersebut, padahal anak yang menjadi korban
kekerasan seksual mengalami suatu kondisi yang seharusnya mendapatkan
perhatian dari semua pihak di Indonesia. Dengan demikian ancaman sanksi itu
harus diarahkan sedemikian rupa agar si terdakwa pelaku kekerasan seksual
terhadap anak sebagai orang terhukum tidak hanya dilihat sebagai obyek,
tetapi harus ditempatkan sebagai subjek hukum yang utuh yang mengemban
hak dan kewajiban sebagai individu, sebagai orang yang bersalah, dan sebagai
warga negara, bangsa dan masyarakat sekaligus, tanpa melupakan sisi
keadilan bagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut. Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
memang sudah membatasi mengenai ancaman hukuman minimum yang tidak
terdapat pada asal-pasal tentang Kekerasan di Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHP), walaupun antara kedua peraturan perundang-undangan
tersebut terdapat ancaman sanksi yang ringan dan berat, tetapi hanya UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 yang lebih kompleks ancaman sanksinya.
148
Tujuan pemidanaan yang dapat dijadikan oleh Jaksa Penuntut Umum
sebagai patokan dalam menetapkan suatu sanksi itu, tidak bisa tidak, harus
dilandasi ide-ide mendasar yang bersumber dari filsafat pemidanaan. Dengan
memahami filsafat pemidanaan sebagai soko guru dari teori-teori pemidanaan
dan aliran-aliran hukum pidana, maka dengan mudah dapat diketemukan ideide dasar suatu sanksi dalam hukum pidana sehingga tujuan pemidanaannya
dengan jelas dapat ditetapkan. Disamping itu, hal lainnya adalah bahwa aparat
penegak hukum yaitu Polisi, Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim yang
memeriksa, mengadili dan memberikan putusan sanksi hukuman perlu
bertindak tegas pada pelaku-pelaku kekerasan seksual terhadap anak di
Indonesia.
Jangan justru sebaliknya membiarkan para pelaku kekerasan seksual
terhadap anak bisa bebas tanpa hukuman yang berat dan maksimal. Antara
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak dan KUHP, ancaman sanksi terhadap pelaku kekerasan
ada yang lebih berat dan ada yang lebih ringan, tetapi pada Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 disamping ancaman pisik juga ada ancaman denda dan
ancaman sanksi minimum, sedangkan ancaman sanksi dalam Kitab Undang
Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya ancaman fisik dan tidak ada ancaman
minimum, sehingga menimbulkan celah bagi pelaku kekerasan seksual
terhadap anak. Aparat Kepolisian dalam melakukan penyelidikan dan
penyidikan seharusnya menyebutkan unsur pasal yang dikenakan terhadap
pelaku kekerasan seksual terhadap anak haruslah menggunakan Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
dalam Berita Acara Pemeriksaan yang kemudian diserahkan ke tingkat
149
Kejaksaan, karena dikwatirkan jika dalam Berita Acara Pemeriksaan yang
digunakan adalah Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), maka kemungkinan
besar, Jaksa dan pada akhirnya Hakim bisa saja dapat seenaknya untuk
menentukan ancaman sanksi dan vonis/putusan bagi pelaku kekerasan
seksual terhadap anak yang rendah jika yang dipakai adalah pasal pada Kitab
Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), maka dari itu, dalam menerapkan
aturan dalam dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum haruslah memakai
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
Dalam hal ini, jika yang menjadi anak yang menjadi korban kekerasan
seksual masih dalam ruang lingkup rumah tangga pelaku, sebaiknya yang
diterapkan dan digunakan adalah Undang Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
karena anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut masih dalam
ruang lingkup rumah tangga sebagaimana yang ditentukan dalam Undang
Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Selain itu, ketentuan dalam sistem hukum pidana yang berlaku di
Indonesia sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 10 Bab II Tentang
Pidana dalam KUHP yaitu bahwa pidana terdiri atas : Pidana Pokok yaitu
pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan
dan Pidana Tambahan yaitu pencabutan hak-hak tertentu, perampasan
barang-barang tertentu, pengumusan putusan hakim tidak pernah dilaksanakan
dan diterapkan dalam penegakan hukum pidana di Indonesia selama ini. Yang
sering dilaksanakan hanyalah pidana penjara dan pidana kurungan saja
150
sementara pidana lainnya hanya sebatas ketentuan yang kerap diabaikan
pelaksanaannya dalam peradilan pidana di Indonesia.
Penerapan sanksi hukum pidana bagi para pelaku kekerasan seksual
adalah salah satu tujuan pemindanaan yang secara kongkrit dituangkan
kedalam berbagai peraturan perundang-undangan selama ini di Indonesia.
Dalam kaitan dengan masalah penerapan sanksi, maka yang dituntut adalah
asas keseimbangan artinya bahwa harus mengakomodasi semua kepentingan
baik kepentingan masyarakat pelaku dan juga korban. Dengan demikian, tidak
boleh hanya membedakan pada suatu kepentingan saja, tetapi ketiga
kepentingan yaitu masyarakat, pelaku dan anak yang menjadi korban
kekerasan
seksual
harus
diperhatikan.
Jika menekankan kepentingan
masyarakat, maka memberi sebuah bayangan ancaman sanksi yang
menempatkan pelaku hanya sebagai objek belaka. Kemudian pada sisi lain jika
hanya memperhatikan kepentingan pelakunya, akan memperoleh sebuah
gambaran
penerapan
sanksi
yang
sangat
individualistis
yang
hanya
memperhatikan hak pelaku dan mengabaikan kewajibannya. Kemudian apabila
terlalu menekankan pada kepentingan anak yang menjadi korban kekerasan
seksual saja, akan memunculkan sosok ancaman sanksi yang hanya
menjangkau kepentingan yang sangat terbatas, tanpa mengakomodasi
kepentingan pelaku dan masyarakat secara umum.
Sebagaimana diketahui bahwa upaya-upaya melalui kebijakan pemerintah
dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak
dengan menggunakan non hukum pidana juga sudah ditetapkan oleh pembuat
undang-undang, meski tidak diatur secara tegas ditetapkan sebagai upaya
pencegahan yang bersifat komprehensif. Kebijakan yang berkaitan dengan
151
kekerasan seksual terhadap anak dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana
(KUHP), Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak dan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagaimana yang ada saat
ini, masih sangat perlu sekali untuk dilakukan peninjauan ulang guna
penyempurnaan, terutama mengenai pemberian perlindungan baik umum
maupun khusus dan membuat kebijakan pencegahan kekerasan seksual
terhadap anak dengan menggunakan cara hukum pidana maupun non-hukum
pidana.
Hal ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi semua pihak dalam
memberantas tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia.
Selain itu, dukungan dari keluarga, masyarakat, serta aktivis-aktivis dari
berbagai lembaga pemerintahan maupun lembaga swadaya masyarakat serta
lembaga internasional yang aktif memperjuangkan hak-hak anak merupakan
suatu kebutuhan yang tak dapat dihindarkan, demi mendapatkan penyelesaian
masalah yang benar-benar meringankan penderitaan yang dialami oleh anak
korban kejahatan kekerasan seksual. Oleh karena itu, penulis menyarankan
agar
pemerintah
sebagai
perumus
dan
pembuat
kebijakan
segera
berkonsentrasi menyiapkan agenda nasional dan gerakan indikator kemajuan
yang bersifat cepat, tepat dan tuntas dengan serangkaian tujuan yang
menekankan tujuh aspek penting yaitu sebagai berikut :
1. Pemerintah sebagai Lembaga Eksekutif termasuk Lembaga Legislatif,
Lembaga Yudikatif, Kepolisian Republik Indonesia, Departemen Dalam
Negeri, Departemen Luar Negeri dan Kantor Imigrasi agar memberikan
prioritas utama padat tindakan untuk menentang Kekerasan Seksual
152
terhadap Anak dan mengalokasikan sumberdaya yang memadai,
meningkatkan kerjasama yang lebih mantap antar negara dan semua
sektor lapisan masyarakat untuk mencegah anak-anak memasuki
perdagangan seks serta memperkuat peran serta keluarga dalam
melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kejahatan seksual yaitu yang
berkaitan dengan Eksploitasi Seksual, Kekerasan Seksual dan Pelecehan
Seksual dan Komersialisasi Seksual ;
2. Menindak para pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan bentukbentuk lainnya serta mengutuk dan menghukum semua yang terlibat
dalam pelanggaran, baik itu warga lokal maupun warga asing, serta
menjamin agar anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual tidak
dihukum ;
3. Memobilisir
melindungi
penegakan hukum, kebijakan,
anak-anak
dari
kekerasan
program-program
seksual
dan
yang
memperkuat
komunikasi dan kerjasama antar pihak penegak hukum, mendorong
penerapan,
implementasi
serta
sosialisasi
peraturan
perundang-
undangan secara tuntas diantaranya adalah Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ;
4. Mengembangkan dan melaksanakan rencana dan program yang sensitif
gender untuk mencegah eksploitasi seksual komersial anak yang
berujung kepada kekerasan seksual terhadap anak untuk melindungi dan
membantu anak yang menjadi korban serta memfasilitasi pemulihan juga
153
program-program
untuk memberikan kepercayaan diri anak korban
kekerasan seksual kedalam masyarakat ;
5. Pemerintah segera mengimplementasikan 2 (dua) Protokol Tambahan
dari Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Prostitusi anak dan
Pornografi Anak dan Konvensi Transnational Organized Crime beserta 2
(dua)
protokolnya,
Penanggulangan
yakni
Protocol
Perdagangan
Tentang
Pencegahan
Perempuan dan
dan
Protocol Tentang
Penyelundupan Orang ;
6. Pemerintah segera menciptakan iklim pendidikan, mobilisasi sosial, juga
aktivitas pengembangan untuk menjamin agar orang tua bertanggung
jawab atas anak-anak untuk memenuhi hak-hak anak, kewajiban dan
tanggungjawab untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual
komersial, pelecehan seksual dan kekerasan seksual ;
7. Pemerintah dan masyarakat segera memobilisir mitra politik, masyarakat
nasional maupun internasional, termasuk lembaga pemerintah dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM), untuk membantu menghapus
segala bentuk kekerasan seksual komersial anak serta memacu peran
partisipasi masyarakat yang popular, termasuk partisipasi anak-anak,
dalam mencegah serta menghapus kekerasan terhadap anak ;
8. Memobilisir sektor bisnis, termasuk industri wisata, untuk menentang
penggunaan jaringan dan pembentukannya bagi eksploitasi seksual
komersial yang akan berakibat pada berbagai tindakan-tindakan yang
akhirnya terjadi kekerasan seksual terhadap anak dan pelecehan seksual
terhadap anak dan mendorong kalangan profesional, media untuk
mengembangkan
strategi
yang
memperkuat
peran media
dalam
154
memberikan informasi yang bermutu, bisa dipercaya serta standar etika
yang mencakup semua aspek kekerasan seksual ;
Disamping itu, ketidak jelasan dalam membedakan jenis sanksi pidana
khususnya pidana tambahan dengan jenis tindakan sehingga bentuk-bentuk
dari jenis tindakan sering ditempatkan sebagai sanksi pidana (tambahan) dan
begitu pula sebaliknya harus secara sistematis, sehinga baik dari semua
kalangan aparat penegak hukum dalam praktek penerapannya tidak terdapat
kekaburan menganai batas-batas
jenis
kekerasan seksual tersebut. Keterkaitan
sanksi
antara
dalam tindak
pemidanaan,
pidana
teori
pemidanaan dan tujuan pemidanaan dalam konteks penetapan sanksi
hukum pidana pada tahap kebijakan legislasi haruslah di pahami secara
utuh sehingga jenis dan bentuk-bentuk sanksi dalam perundang-undangan
di Indonesia bukan saja menimbulkan ketidak-konsisten perundang-undangan
pidana yang satu dengan yang lainnya, tetapi penetapan juga penetapan
sanksi hukum pidana itu bisa dirasakan secara objektif dan rasional. Paling
tidak di butuhkan, pemahaman sumber daya manusia para aparat penegak
hukum di Indonesia terkait dengan masalah-masalah sanksi dalam hukum
pidana yang turut mempengaruhi proses penetapan sanksi ketika menangani
kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak.
Hal ini agar tidak menimbulkan penyimpangan dalam penetapan jenis
maupun bentuk-bentuk sanksinya antara perundang-undangan yang satu
dengan
perundang-undangan yang lain serta mengenai ketentuan dalam
sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan Pasal 10 Bab II Tentang Pidana dalam KUHP yaitu bahwa
pidana terdiri atas : Pidana Pokok yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana
155
kurungan, pidana denda, pidana tutupan dan Pidana Tambahan yaitu
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan
pengumusan putusan hakim haruslah dilaksanakan sebagaimana ketentuan
perundang-undangan yang ada secara maksimal kepada para pelaku
kejahatan pada umumnya dan khususnya kepada para pelaku kekerasan
seksual terhadap anak sebagai wujud penegakan hukum melalui kebijakan
penerapan sanksi hukum pidana di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
156
DAFTAR BACAAN
A. Qirom Syamsudin Meliala dan E. Sumaryono, Kejahatan Anak Suatu
Tinjauan Dari Psikologi Dan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1985
Analisis Centre For Strategic And International Studies, Kebijakan
Pembangunan Sistem Hukum, Tahun XXII Nomor 1, Januari – Februari, 1993.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Edisi Pertama, Kencana Prenada Group,
Semarang, 2010.
Buku Obor, Hak Azasi Perempuan Istrumen Hukum Untuk Mewujudkan
Keadilan Gender, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004.
C.S.T. Kansil, Hukum Kewarganegaraan Republik Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 1996.
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada media
Group, Jakarta, 2008.
F.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Delik – Delik Khusus Kejahatan
Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan, Edisi Kedua, Sinar
Grafika, 2009.
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana,
Jilid I, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2001.
Jurnal Konstitusi, Volume II Nomor 1, Juni, PKK UIN ALAUDIN, Makassar,
2010.
Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak Di Indonesia
Permasalahannya, Mandar Maju, Bandung, 2005.
Teori,
Praktik
Dan
Moeljatno, Azas - Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983.
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Politeia, Bogor, 1997.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina
Ilmu, Surabaya, 1987.
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Azas - Azas Hukum Adat, Gunung
Agung, Jakarta, 1995.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,
1987.
157
Wirjono Prodjodikoro, Tindak – Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Refika
Aditama, 2002.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata);
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1948 Tentang Hukuman
Tutupan;
Undang Undang Republik Indonesia Nomor
Kewarganegaraan;
62 Tahun 1958 Tentang
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979
Kesejahteraan Anak Undang Undang Republik Indonesia Nomor
Tentang
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang Undang Hukum Pidana (KUHP);
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak;
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi
Manusia;
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia;
Undang Undang Nomor
Perlindungan Anak;
Republik Indonesia 23 Tahun 2002 Tentang
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat;
Undang Undang Republik Indonesia Nomor
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
23 Tahun 2004 Tentang
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman;
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia;
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia;
Undang Undang Republik Indonesia Nomor
Perlindungan Saksi dan Korban;
13 Tahun 2006 Tentang
Download