1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah ditegaskan dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechsstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Penegasan konstitusi tersebut mengandung makna bahwa di Negara Kesatuan Republik Indonesia harus berpedoman dalam penghayatan dan pengamalan nilai–nilai butir Pancasila. Hukum harus dapat menampilkan wibawanya, baik sebagai pengayom, sarana pembangunan dan sarana pendidikan untuk menyiapkan masyarakat Indonesia bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, hukum sebenarnya memiliki kedudukan yang sangat sentral, karena seluruh kebijakan pelaksanaan pembangunan negara dan bangsa sesungguhnya harus dilaksanakan berlandaskan dan sesuai falsafah, asas-asas, nilai-nilai dan ketentuan hukum nasional. Peranan hukum yang mendasar ini mempunyai arti yang sangat strategis bagi sarana pembangunan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan. Segenap segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat ditentukan oleh terpeliharanya stabilitas hukum nasional yang sehat dan dinamis, yang diharapkan bukan diciptakan melalui penggunaan kekuasaan belaka, akan tetapi melalui tegaknya hukum itu sendiri. Dalam rangka itu, pemulihan wibawa hukum dan berperannya hukum sangat diperlukan untuk memantapkan dan mengamankan pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya, menciptakan 2 kondisi yang lebih mantap sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati iklim kepastian hukum, keadilan hukum dan kemamfaatan hukum di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa adanya perlakuan yang bersifat diskriminatif dan lebih memberikan dukungan dan pengarahan pada upaya-upaya pembangunan nasional guna mencapai kemakmuran yang adil dan merata serta menumbuhkan dan mengembankan disiplin hukum nasional dalam penerapannya dan juga peran, partisipasi maupun tanggung jawab sosial pada setiap anggota masyarakat. Disamping itu, dalam hal penerapan sanksi hukum bagi para pelaku tindak kejahatan sebagai upaya tegaknya hukum di Negara Indonesia, diharapkan hukum dapat memberikan pengayoman kepada seluruh lapisan masyarakat, memberi rasa aman dan ketentraman, menciptakan lingkungan dan iklim yang mendorong kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum itu sendiri, sehingga menciptakan kondisi yang lebih baik pada era globalisasi saat ini. Hal ini didasarkan bahwasanya akan tampak suatu gambaran bahwa hukum pada hari ini sudah tidak cukup mampu lagi memikul beban sosial yang sedemikian majemuknya yang diakibatkan kecenderungan perkembangan masyarakat Indonesia dengan masyarakat dunia pada masa era globalisasi saat ini. Sejalan dengan pandangan diatas, Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kebebasan dalam kehidupannya sesuai dengan akal budi dan nuraninya untuk memutuskan sendiri prilaku atau perbuatannya dan juga manusia itu juga harus bisa mengimbangi kebebasan yang dimiliki untuk bisa bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukannya dan bukan atas 3 dasar kebebasan yang semaunya sendiri tanpa menghormati hak-hak asasi manusia lainnya. Kebebasan-kebebasan dasar dan hak-hak itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada diri manusia secara kondrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan hak-hak ini tidak dapat diingkari oleh siapapun juga karena pengingkaran terhadap hak-hak manusia berarti mengingkari martabat, harkat dan derajat manusia sebagai Mahluk Tuhan. Oleh karena itu, baik pemerintah, organisasi masyarakat dan keluarga pada semua lapisan masyarakat mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa ada pengecualian. Ini berarti bahwa hak-hak asasi manusia harus menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurut Jeremy Bentham1, bahwa manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan menggurangi penderitaan. Ukuran suatu perbuatan manusia baik buruknya tergantung pada apakah perbuatan tersebut dapat mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Dan juga menurut beliau, setiap kejahatan harus disertai dengan hukuman-hukuman yang sesuai dengan kejahatannya tersebut, dan hendaknya penderitaan yang dijatuhkan tidak lebih daripada apa yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Sudah menjadi realita bahwa perkembangan-perkembangan yang terjadi saat ini yaitu di masa globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya perkembangan akan teknologi informasi dan komunikasi, akhir– akhir ini telah memberikan andil yang sangat besar dampaknya berkaitan dengan peningkatan berbagai tindak pidana di negeri ini. Hal ini tidak terlepas 1 Jeremy Benthem, Penganut Utilitarisme 1748 - 1832 4 dari kemajuan zaman saat ini dan juga pola pikir masyarakat selama ini yang saling berbeda satu dengan lainnya dalam menyikapi dan menghadapi kemajuan peradaban tersebut itu sendiri. Pesatnya perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang semula memberikan banyak mamfaat bagi kehidupan manusia akan tetapi disisi lain jika perkembangan ini disalahgunakan oleh siapapun pada akhirnya juga akan bisa menimbulkan dampak yang buruk bagi perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Misalnya saja, yaitu tingkat pengetahuan yang rendah seseorang akan suatu bahaya, dampak dan pertanggungjawaban selanjutnya atas setiap tindakan-tindakan yang akan, sedang dan telah dilakukannya ditengah kehidupan masyarakat. Berbagai kejahatan di Indonesia khususnya kejahatan kekerasan seksual terhadap anak akhir-akhir ini yang disebabkan oleh pengaruh meningkatnya perkembangan teknologi baik media, informasi dan komunikasi yang disusul kemudian turut menjamurnya berbagai bentuk video, gambar dan bentukbentuk adegan yang berbau seksual yang bisa di dapatkan dengan mudah melalui berbagai sarana dan prasana yang tersedia misalnya Internet dengan beragam situs-situs pornografi dan pornoaksi yang disediakan oleh pengembang dan pengguna internet. Perkembangan teknologi dan informasi semacam inilah yang pada akhirnya turut ikut serta mempengaruhi moral, sikap, tindakan dan pola pikir seseorang yang melihat, mendengar, mengetahui informasi tersebut sehingga membuat seseorang berbuat melanggar hukum misalnya melakukan tindakan eksploitasi seksual, kekerasan seksual, pelecehan seksual dan perbuatanperbuatan tidak senonoh lainnya terhadap anak-anak di Indonesia. 5 Peningkatandan perkembangan informasi yang berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi yang terjadi saat ini juga secara langsung maupun tidak langsung akan membuat para pelaku kejahatan terutama dalam tindak pidana kekerasan seksual memiliki kesempatan yang luar biasa bebas untuk bisa mengimplementasikan apa yang dilihat, didengar dan diketahuinya mengenai seksualitas tanpa didukung pengawasan dari berbagai pihak (pemerintah, masyarakat dan keluarga) dan juga mengenai penerapan sanksi hukum yang mengatur secara tegas dari pemerintah mengenai sanksi hukum yang diterapkan bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak kurang begitu tepat. Tentu saja, hal-hal semacam inilah yang mempengaruhi dan mengakibatkan kian maraknya berbagai kegiatan eksploitasi seksual, kekerasan seksual dan juga pelecehan seksual terhadap anak di Indonesia. Di Indonesia, pembahasan mengenai penanggulangan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak memiliki banyak hambatan–hambatan disebabkan oleh berbagai faktor yang akhirnya menimbulkan bermacam ragam bentuk pelanggaran hak-hak asasi anak di Indonesia. Salah satunya adalah kerap terjadinya berbagai kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak diberbagai tempat dan lokasi diberbagai penjuru tanah air di Indonesia. Disisi lain, tindakan-tindakan dalam hal ini ternyata sebagian orang tua begitu kurang peduli dengan pengawasan terhadap anak-anaknya menjadi salah satu penyebab terjadinya berbagai kesempatan untuk digunakan oleh para pelaku kejahatan dalam menjalankan modus operandinya dalam melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Misalnya saja, seorang anak (perempuan) ditinggalkan begitu saja dirumah oleh kedua orang tuanya tanpa menyadari akan terjadinya sesuatu terhadap diri anak tersebut dirumahnya. 6 Padahal, didalam kehidupan ini anak adalah amanah sekaligus karunia dari Tuhan Mang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga oleh semua lapisan masyarakat. Hal ini disebabkan karena dalam dirinya (anak) tersebut melekat harkat, martabat dan hak–hak sebagai manusia pada umumnya yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Tentang Hak–Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita–cita bangsa, sehingga anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Pemerintah, orang tua, keluarga dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum yang dibuat oleh pemerintah. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan dari berbagai aspek kebutuhan atas anak, Negara sebagai otoritas penguasa dalam hal ini bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesbilitas bagi setiap anak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa ada pengecualian akan hal apapun terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal dan terarah. Berbagai peraturan perundang–undangan yang dibuat oleh pemerintah selama ini menegaskan bahwa pertanggung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian-rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus–menerus demi terlindunginya hak–hak asasi setiap anak khususnya anak perempuan di 7 Indonesia. Rangkaian kegiatan-kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki jiwa nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai–nilai Pancasila sebagai Landasan Dasar Negara Republik Indonesia serta berkemauan keras untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan Negara Indonesia. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya masih banyak terjadi berbagai pelanggaran–pelanggaran akan hak-hak asasi manusia khususnya kian maraknya terjadi berbagai kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di berbagai wilayah Negara Indonesia. Hal ini diperparah lagi yaitu karena penerapan sanksi hukum pidana yang diterapkan oleh aparat penegak hukum di negeri ini kepada para pelaku kekerasan seksual kurang maksimal misalnya dalam hal masa hukumannya, hak–hak para pelaku/terdakwa lebih diutamakan sementara anak yang menjadi korban kekerasan tidak mendapatkan kepastian akan hak–hak nya lagi sebagaimana sebelumnya. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai ragam pendapat bagi banyak kalangan masyarakat, sehingga akhirnya menjadi masalah yang sangat kontroversial dan tidak memberikan keadilan, kepastian dan kemamfaatan hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam berbagai peraturan perundang– undangan yang dibuat oleh pemerintah selama ini dalam penyelenggaraan perlindungan terhadap anak di Indonesia. Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang kembali terjadi ditengah– tengah kehidupan masyarakat Indonesia bisa menjadi contoh keprihatinan 8 setiap orang di Indonesia bahkan tidak tertutup kemungkinan negara-negara di dunia akan maraknya kejahatan yang sangat memilukan ini. Keprihatinan itu menjadi sangat besar karena korban kekerasan seksual mayoritas adalah anak. Isu kekerasan seksual yang marak dibicarakan saat ini sebaiknya jangan dipandang sebelah mata, karena hal ini ikut juga turut serta mempengaruhi pembentukan nilai–nilai moral, etika, akhlak dan kebiasaan hidup setiap anak di Indonesia. Para pelaku tindak pidana dalam hal ini sering melakukan berbagai perbuatan–perbuatan kekerasan seksual tanpa pandang bulu siapa korbannya, apa dampak perbuatannya bagi korban yang masih anak-anak, dan apa sanksi hukumnya jika di lakukan kepada anak–anak karena belum memahami apa itu hukum sendiri. Akhirnya yang terjadi adalah seseorang anak yang faktanya adalah sebagai manusia yang belum begitu mengerti akan pengertian seksual dan akibatnya kerap menjadi korban kekerasan seksual yang tentunya menimbulkan kerugian yang tidak bisa terbayarkan dan terganti kembali oleh apapun juga. Indonesia sebagai Negara Hukum, menurut Philipus M. Hadjon2, konsep “rechstaat” lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner sebaliknya konsep “the rule of law” berkembang secara evolusioner Hak-hak asasi bukanlah bawaan kodrat manusia seperti ajaran hukum kodrat, tetapi setiap hak warga negara (termasuk apa yang disebut hakhak asasi manusia) bersumber dari negara, dalam pengertian bahwa negaralah yang menetapkan apa yang merupakan hak. Jika hal ini dibiarkan, maka yang akan timbul adalah maraknya berbagai pelanggaran akan hak–hak asasi anak 2 Philipus. M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,Cetakan I, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, Hal.72 9 di Indonesia. Banyak akhirnya anak yang kerap kali terjerumus kedalam berbagai perdagangan manusia (traficking) untuk kemudian dijual oleh para pelaku–pelaku kejahatan yang kemudian dijadikan sebagai budak seks dan korban kesewenang-wenangan para pelaku-pelaku kejahatan seksual di berbagai tempat–tempat lokalisasi/pelacuran di berbagai pelosok tanah air Indonesia, dan bahkan di berbagai mancanegarapun tanpa bisa berbuat apaapa dalam penanggulangannya guna mendapatkan berbagai bentuk keuntungan belaka. Permasalahan ini muncul akibat dari beberapa aspek salah satunya yang mendasari adalah aspek ekonomi seperti banyaknya tingkat pengangguran dan kemiskinan yang semakin meluas di Indonesia. Oleh karena itulah banyak juga masyarakat yang menghalalkan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya salah satunya dengan menghalalkan perdagangan anak. Krisis ekonomi/moneter yang berkepanjangan dan lesunya perekonomian menyebabkan banyak keluarga kehilangan sumber mata pencaharian sehingga dengan adanya kondisi ini, pelacuran dianggap sebagai salah satu cara untuk memberi kesempatan yang lebih baik kepada anak (perempuan) untuk mendapatkan uang guna pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya seharihari. Banyak anak-anak perempuan dari desa yang mau meninggalkan kampung halamannya karena tergiur oleh janji-janji manis yang diberikan oleh para trafficker (pelaku/orang yang memperdagangkan) anak-anak tersebut untuk bekerja di kota dengan gaji yang besar, akan tetapi sesampainya di kota, diperdaya atau dipaksa untuk menjadi pekerja seks. Seorang anak perempuan yang sudah dipaksa untuk melakukan seksual di tempat–tempat yang tidak diketahuinya dengan jelas tentu saja tidak bisa 10 bertindak dan berbuat apa–apa. Yang dipikirkan hanyalah bisa hidup dan segera keluar dan melarikan diri dari tempat prostitusi tersebut atau mungkin hanya bisa pasrah menjalaninya dan mengalami berbagai bentuk kekerasan baik fisik, seksual dan mental selama berada di tempat tersebut. Hal-hal seperti inilah yang merupakan salah satu bentuk nyata pelanggaran akan hak-hak asasi anak dan dikelola secara terorganisir yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan selama ini. Keadaan tidak berdaya dan tidak ada yang membantunya lepas dari tekanan-tekanan dari para pelaku akhirnya anak tersebut merasakan berbagai kekerasan–kekerasan seksual dan pelecehan seksual di tempat–tempat terlarang tersebut. Banyak pendapat dari berbagai kalangan masyarakat yang mengatakan bahwa perdagangan anak merupakan salah satu indikator penyebab selanjutnya terjadinya berbagai masalah–masalah kekerasan seksual, pelecehan seksual dan berbagai kejahatan lainnya yang kerap merugikan diri seseorang anak di Indonesia. Adanya faktor-faktor ketidakberdayaan, kemiskinan, ketidakmampuan dan pengangguran seseorang anak (perempuan) di Indonesia adalah menjadi suatu permasalahan yang menghimpit sehingga mereka merasa tidak punya pilihan lain dan ikut arus perdagangan anak serta melalaikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Padahal, setiap manusia mempunyai hak untuk tidak diperbudak, tidak disiksa, menentukan kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani. Indonesia sebagai negara hukum, dalam hal ini tentunya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum yang di anut oleh Indonesia yaitu Civil Law Sistem. Hal ini tentunya berkaitan dengan penegakan hukum, perlindungan hukum dan juga bagaimana penerapan sanksi hukum yang 11 dilaksanakan bagi para pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak perempuan di Indonesa. Persoalan–persoalan kekerasan seksual yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan terhadap anak akhir–akhir ini juga merupakan bagian dari perkembangan zaman yang semakin secara terang–terangan melakukan berbagai eksploitasi seksual terhadap anak perempuan di tengah–tengah kehidupan masyarakat. Hal ini tentu saja menimbulkan permasalahan yang baru dan seakan-akan mengulang kembali sejarah kelam bangsa Indonesia sebelumnya pada masa lalu yaitu berbagai bentuk penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya yang pernah terjadi dan tercatat dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Saat ini tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak perempuan di Indonesia merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering masyarakat mengetahui dan mendengarkan berbagai berita dan kejadian dikoran, majalah, televisi bahkan di media internet diberitakan terjadinya tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. 12 Penegakan hukum di Indonesia dalam hal kekerasan seksual sebenarnya sudah ada sejak lama. Penggunaan hukum pidana bagi para pelaku kejahatan kekerasan seksual di Indonesia dalam menanggulangi, memberantas dan mengatasi masalah kekerasan seksual merupakan cara dan sarana yang cukup efektif selama ini. Hal ini diketahui dari berbagai peraturan perundang– undangan yang ada saat ini tidak terlepas dari adanya ketentuan pidana yang selalu dicantumkan dalam undang–undang tersebut. Hal ini sangat bagus sebenarnya, akan tetapi penerapan sanksi hukum pidana yang di implementaskan saat ini lebih bersifat keperdataan ataupun pemerintahan yang seakan-akan hanya digunakan dan diterapkan sebatas formalitas belaka tanpa memperhatikan dan memikirkan akibat yang dialami anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat yang nota benenya masih berlaku dan dihormati berbagai kalangan masyarakat secara kuat. Kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak (perempuan) paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain. Walaupun banyak tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak khususnya anak perempuan yang telah diproses sampai ke Pengadilan, tapi dari kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai 13 dengan ketentuan perundang-undangan yang tercantum dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) BAB XIV Tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yaitu Pasal 285 yang menyatakan bahwa : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Dalam hal ini jelas bahwa, untuk menanggulangi kejahatan diperlukan suatu usaha yang rasional dari masyarakat, yaitu dengan cara politik kriminal. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Alasan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia tidak dilaporkan oleh korban kepada aparat penegak hukum untuk di proses ke Pengadilan karena beberapa faktor, diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain, atau korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian di Indonesia. Hal ini tentu saja mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga berpengaruh pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat. Faktor korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan kasus kekerasan seksual terhadap anak, hal ini memerlukan keberanian dari korban untuk melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi, karena pada umumnya 14 korban mengalami ancaman akan dilakukan perkosaan lagi dari pelaku dan hal ini membuat korban takut dan trauma. Diharapkan dari pengaduan ini, maka kasusnya dapat terbuka dan dapat dilakukan proses pemeriksaan sehingga korban akan memperoleh keadilan atas apa yang menimpa dirinya. Tindak pidana kekerasan seksual yang kerap terjadi, khususnya yang dialami oleh anak–anak khususnya anak perempuan di Indonesia adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap anak perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisinya sebagai seorang anak di Indonesia, utamanya terhadap kepentingan seksual seseorang laki-laki. Citra seksual seseorang anak perempuan yang telah ditempatkan sebagai obyek seksual laki-laki, ternyata berimplikasi jauh pada kehidupan anak perempuan, sehingga dia terpaksa harus selalu menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik serta psikis. Perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan korban tindak pidana kekerasan seksual baik melalui proses peradilan pidana maupun melalui sarana kepedulian sosial tertentu merupakan bagian mutlak yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan-kebijakan sosial, baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun oleh lembaga-lembaga sosial yang ada. Berdasarkan tujuan untuk mewujudkan pemerataan keadilan dan kesejahteraan umum bagi setiap warga negara, maka hak korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak perempuan untuk dilindungi pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang jaminan sosial. Keberadaan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan aturan-aturan hukum yang menyangkut kekerasan seksual terhadap anak perempuan serta bagaimana proses perlindungan hukum bagi korban serta penerapan sanksi hukum pidana 15 sesuai dengan sistem hukum yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu Civil Law System disebutkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan suatu tindak pidana yang meresahkan masyarakat karena banyak mengancam para perempuan dan anak yang mana kerap dijadikan korban kebiadaban yang tiada henti oleh para pelaku kejahatan ini. Jika masalah tersebut tidak segera ditanggulangi oleh aparat penegak hukum, pemerintah maupun masyarakat sendiri. Maka hal ini juga dapat berpengaruh terhadap kestabilan negara kita karena anak juga pada hakekatnya adalah generasi penerus cita-cita bangsa dan negara tercinta ini. Oleh sebab itu, upaya perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak perempuan ini sangatlah penting agar untuk kedepannya hal tersebut dapat diminimalisasi dan sebisa mungkin dapat dicegah bahkan tidak ada lagi kejahatan semacam ini dimasa-masa mendatang di Indonesia. Sebagaimana dikemukakan oleh A.Qirom Syamsudin Meliala dan E. Sumaryono3, bahwa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat saling berhubungan antara satu dengan lainnya, sebab masing-masing mempunyai kepentingan, seperti kepentingan jiwa raga, harta benda, kemerdekaan diri, kehormatan, dan lain-lain (zoon politicon). Tetapi adakalanya kepentingankepentingan masyarakat itu bersamaan, karena diperlukan kerjasama, namun kadang-kadang kepentingan itu bertentangan sama sekali, sehingga diperlukan peraturan-peraturan yang membatasi hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing supaya jangan saling berbenturan. 3 A. Qirom Syamsudin Meliala dan E. Sumaryono, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari Psikologi Dan Hukum, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1985, Hal. 3 16 Dengan adanya ancaman hukuman berupa penilaian dan reaksi masyarakat atau penyimpangan dari norma-norma tersebut berarti perbuatan, tingkah laku/perangai itu dibenci dan tidak dibenarkan muncul ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Penilaian atau reaksi dari perbuatan orang yang bersifat tidak disukai inilah yang sering disebut oleh masyarakat sebagai kejahatan. Oleh karena itu, negara sebagai sebuah organisasi harus bisa memberikan batasan–batasan serta melakukan berbagai perlindungan hukum dan juga kepastian hukum bagi masyarakatnya tanpa terkecuali agar ketertiban dan kenyamanan dalam kehidupan di wilayahnya tercapai. Tujuan pembatasan–pembatasan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah negara memberikan larangan dan ketentuan–ketentuan bagi setiap orang di wilayahnya antara yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh warga negaranya. Dengan ditegakkannya hukum pidana di Indonesia adalah guna menanggulangi berbagai kejahatan–kejahatan salah satunya adalah tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Kekerasan seksual terhadap anak sudah tentunya mengakibatkan dampak bagi masyarakat luas, keluarga dan korban/ anak itu sendiri, yang mana bahwa sudah di tegaskan dalam berbagai peraturan perundang–undangan yang berlaku di Indonesia bahwa setiap anak merupakan generasi penerus bangsa, pelopor dalam mengisi kemerdekaan dan juga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam mengangkat dan meneruskan harkat, martabat dan derajat bangsa Indonesia tentunya. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam perkembangan sosial dewasa ini, banyak terjadi kejahatan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia terutama di kalangan masyarakat ekonomi lemah. Berbagai kasus yang telah 17 terjadi mengenai kekerasan seksual terhadap anak sebenarnya banyak sekali di Indonesia. Contohnya antara lain yaitu sebagai berikut : 1. Di Sleman, Yogyakarta, seorang pria divonis 2 tahun penjara oleh Hakim Pengadilan Negeri Sleman dengan tuduhan pria tersebut memperkosa gadis dibawah umur, sebut saja “Mawar” (16 tahun) yang diperkosa beberapa kali di penginapan, serta menjual handphone milik korban untuk membayar penginapan tersebut” 2. Di Karangdoro, Jawa Timur, seorang gadis diperkosa oleh kakak kandungnya sendiri. Korban yang bernama Eni (18 tahun) mengaku diperkosa oleh kakaknya yang bernama Sukri (38 tahun) lalu menjualnya ke Surabaya selama 2 tahun berturut-turut. Dalam kasus ini, tentunya banyak sekali munculnya kerugian hak, tidak mendapatkan perlindungan hukum serta rasa untuk hidup dengan aman, tentram dan bebas yang di miliki oleh seseorang anak telah dirampas oleh para pelaku kejahatan tanpa mendapatkan perlindungan yang cukup dari Negara. Berbagai macam kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Indonesia, secara garis besar sudah tentunya menimbulkan kerugian bagi anak sebagai korban kekerasan seksual dan juga pihak keluarga si anak tersebut. Adapun kerugian–kerugian yang diakibatkan kekerasan seksual terhadap anak tersebut secara garis besar yaitu : 1. Kerugian dibidang mental 2. Kerugian dibidang kesehatan dan keselamatan jiwa 3. Kerugian dibidang sosial dan moral Kekerasan seksual terhadap anak dapat didefenisikan sebagai hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau orang 18 dewasa seperti orang asing, saudara kandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah obyek pemuas bagi kebutuhan seksual si pelaku. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Kegiatan-kegiatan yang mengandung kekerasan seksual tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak perempuan tersebut. Tindakan-tindakan tersebut dapat termasuk ekshibisme atau voyerurme seperti orang dewasa yang menonton seorang anak perempuan sedang telanjang atau menyuruh atau memaksa anak-anak perempuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan seksual dengan orang lain sedangkan pelaku tersebut menonton atau merekam kegiatan-kegiatan seksual tersebut . Para pelaku kejahatan kekerasan seksual ini sering kali adalah orang yang memiliki tanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan anak tersebut. Dengan demikian, sudah ada hubungan kepercayaan di antara mereka dan pada saat yang bersamaan adanya satu kekuasaan. Dari berbagai kasus–kasus diatas dan juga akibat dan kerugian yang dialami seseorang anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, penegakan sistem hukum yang ada saat ini masih sangat lemah dalam penerapan sanksi hukum pidana.Indonesia dituntut untuk segera melakukan suatu pembaharuan dibidang hukum pidana mengenai penerapan sanksi hukum pidana yang tepat bagi para pelaku kejahatan ini. Hal ini dimungkinkan karena penggunaan hukum pidana adalah sebagai salah satu cara dan sarana yang tepat digunakan diberbagai belahan negara–negara di dunia untuk menanggulangi, mencegah, menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual terhadap anak perempuan serta untuk membasmi kekerasan seksual terhadap 19 anak perempuan secara total dan kongkrit di seluruh wilayah negara Indonesia. Menurut Soerjono Soekanto4, hukum adalah suatu gejala sosial-budaya yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individu-individu dalam bermasyarakat. Disamping itu juga hukum sebagai sarana “social engineering”, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga-warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.Korban adalah sebuah konsepsi mengenai realitas sebagaimana juga halnya obyek peristiwaperistiwa. Konstruksi sosial hukum sendiri menyatakan bahwa semua kejahatan mempunyai korban. Adanya korban adalah indikasi bahwa ketertiban sosial yang ada terganggu, oleh karena itu dari sudut pandang legalitas, korban seringkali secara jelas diperinci. Disisi lain, kebanyakan orang melihat keberadaan sistem peradilan pidana hanya bersifat formal sebagaimana adanya. Mereka tidak menyadari bahwa metode penanganan pelaku kejahatan bukanlah merupakan norma yang terjadi dalam perkembangan sejarah. Sesungguhnya, versi peradilan pidana modern secara relatif terjadi fenomena baru. Hari-hari berlalu, pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan terarah pada korban dan keluarga korban. Di sana tak ada “otoritas” untuk mengubah bagaimana menolong korban dalam penerapan sanksi hukum pidana. Masyarakat hanya bisa mengenal sistem dasar tentang “retribution” (bahwa pelaku akan menderita sebanding dengan tingkat kerugian yang diakibatkan oleh perilakunya) dan “restitution” (pembayaran sejumlah uang dalam rangka untuk memberikan bantuan kepada korban). 4 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Cetakan Keempat, Rajawali Pers, Jakarta, 1987, Hal. 9 20 2. Rumusan Masalah Permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak perempuan di Indonesia sangatlah kompleks. Permasalahan yang dihadapi tidak hanya pelanggaran akan hak-hak asasi yang terjadi pada dirinya, namun juga terjadi dalam proses hukum terhadap kasus yang menimpanya. Seorang anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasaan seksual bisa menjadi korban ganda dalam proses persidangan dan juga mendapat perlakuan yang tidak adil dalam proses untuk mencari keadilan itu sendiri. Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah karena pelanggaran–pelanggaran banyaknya hak-hak asasi faktor terhadap yang anak mempengaruhi di Indonesia khususnya anak perempuan, terutama dalam hal kejahatan dibidang kesusilaan yakni kekerasan seksual yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan dengan berbagai modus operandinya. Maka perlu diringkas dan diadakan penelitian berkaitan dengan faktor–faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya kekerasan seksual terhadap anak perempuan dan juga sistem yang digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam hal penerapan sanski pidana terhadap para pelaku tindak kejahatan seksual (kekerasan seksual terhadap anak perempuan), serta bagaimana upaya perlindungan hukum terhadap anak perempuan korban kekerasan seksual di indonesia dengan cara/menggunakan analisis berbagai faktor misalnya faktor pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya serta sosial di Indonesia. Dari uraian diatas, maka sesuai dengan sistem hukum yang di anut oleh Negara Indonesia yakni menganut Civil Law Sistem yang sarat akan pro dan 21 kontradiktif dalam pelaksanaannya dan penerapan sanksi hukum pidana bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak, maka yang menjadi rumusan permasalahan adalah sebagai berikut : 1. Apa saja substansi dari pengaturan terhadap defenisi anak dan kaitannya dengan pengertian kekerasan seksual terhadap sesuai kebijakan hukum di Indonesia? 2. Bagaimanakah penegakan sanksi hukum bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual di Indonesia serta penanggulangannya di Indonesia? 3. Penjelasan Judul Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang hak-hak anak melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36/10 tanggal 25 Agustus 1990. Dengan diratifikasinya konvensi tersebut, berarti secara hukum, negara berkewajiban melindungi dan memenuhi hak anak-anak, baik hak sipil, politik, sosial, budaya dan ekonomi. Pada kenyataannya negara masih belum mampu memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak-hak anak, salah satu permasalahan yang masih terjadi adalah keberadaan kekerasan seksual yang dialami oleh anak di Indonesia. Kekerasan seksual terhadap anak bukan hanya melanggar hak-hak asasi anak saja, bentuk–bentuk kekerasan seksual yang kerap terjadi akhir–akhir ini juga membawa dampak-dampak buruk bagi anak-anak, baik secara fisik maupun psikis. Lebih jauh, kekerasan seksual yang dialami oleh anak yang 22 dilakukan oleh para pelaku selama ini dikhawatirkan akan menggangu masa depan anak tersebut untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. 4. Alasan Pemilihan Judul Kekerasan seksual terhadap anak merupakan suatu tindak pidana yang meresahkan masyarakat karena banyak mengancam para anak yang mana kerap dijadikan korban guna memuaskan hasrat birahi dan kebutuhan seksualitas seseorang/pelaku kejahatan. Jika masalah tersebut tidak segera ditanggulangi oleh aparat penegak hukum, pemerintah maupun masyarakat sendiri. maka hal ini juga dapat berpengaruh terhadap kestabilan negara kita karena anak pada hakekatnya adalah generasi penerus cita-cita bangsa dan negara tercinta ini. Oleh sebab itu, upaya perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak ini sangatlah penting agar untuk kedepannya hal tersebut dapat diminimalisasi dan sebisa mungkin dapat dicegahserta ditumpas hingga tuntas, karena kekerasan seksual terhadap anak adalah merupakan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia yang sangat memilukan. Dari uraian latar belakang di atas, masalah–masalah kekerasan seksual terhadap anak khususnya anak perempuan, dewasa ini telah semakin meningkat para pelakunya dengan berbagai bentuk modus operandinya guna mendapatkan kepuasan hasrat birahi/seksualitas para pelaku dari anak yang kerap menimbulkan berbagai penderitaan bagi anak tersebut, berangkat dari sinilah penulis mengambil judul yaitu “ Penerapan Sanksi Hukum Pidana Bagi Para Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Indonesia “. 23 5. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini yaitu : 1. Tujuan akademis yakni untuk memenuhi salah satu persyaratan pada studi tahap akhir guna untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas Wijaya Putra Surabaya. 2. Sedangkan tujuan praktis yakni, penulis berupaya untuk menggali dan menjelaskan mengenai perlindungan hukum bagi anak korban kekerasan seksual, lebih khususnya mengenai penerapan sanksi hukum pidana bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang di tinjau dari undangundang yang berlaku serta fungsi dan tujuan hukum. Dimana kekerasan seksual terhadap anak memerlukan suatu penanganan yang serius, cepat, tepat dan tuntas. Perangkat pengaturan hukum pidana materiil dengan sistem hukum pidana formil yang ada di Indonesia memerlukan pemahaman yang benar dan sama guna memberantas kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Penerapan sanksi hukum pidana bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia masih bersifat menguntungkan para pelaku dibandingkan anak yang menjadi korban kekerasan seksual. 6. Manfaat Penelitian Adapun mamfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Dapat memahami defenisi dan pengertian anak di Indonesia. 2. Dapat mengetahui pengertian kekerasan seksual terhadap anak dan akibatnya bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual. 24 3. Sebagai bahan masukkan bagi mahasiswa/peneliti yang ingin melakukan penelitian yang berhubungan dengan masalah yang sama dan menambah pengetahuan peneliti tentang penegakan hukum dan penerapan sanksi hukum pidana terhadap para pelaku kekerasan seksual terhadap anak di indonesia. 4. Sebagai bahan pelengkap informasi dan bahan acuan bagi semua pihak misalnya aparat penegak hukum dan masyarakat, anak, orang tua korban kekerasan seksual dan semua pihak yang sedang menghadapi permasalahan-permasalahan yang timbul sehubungan dengan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. 7. Metode Penelitian Ilmu Hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat presfiktif dan terapan. Sifat–sifat presfektif dari Ilmu Hukum itu sendiri, merupakan suatu yang sangat substansial dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh ilmu–ilmu yang bukan ilmu hukum. Oleh sebab itu, jenis penelitian hukum pun jelas sangat berbeda dengan penelitian non–hukum lainnya. a. Tipe Penelitian Pemilihan metode penelitian disesuaikan dengan batasan ilmu hukum yang akan dicari jawabannya tentang perlindungan hukum terhadap anak, kekerasan seksual terhadap anak dan penerapan sanksi pidana yang dibuat oleh pemerintah kepada para pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Untuk dapat memberikan jawaban dan mentelaah isu hukum tersebut, digunakan tipe “Penelitian Hukum 25 Normatif” yakni suatu penelitian yang bertumpu pada telaah penelitian yuridis normative atas hukum positif dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas. b. Pendekatan Masalah Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan undang–undang, yakni pendekatan dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang–undangan yang berlaku dan peraturan lain yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas. Disamping itu, dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan doktrin/konsep yakni dengan memperhatikan, mempelajari dan memahami pendapat para ahli hukum dalam karya–karya tulis ilmiah, misalnya buku–buku literatur, jurnal hukum, makalah–makalah dalam seminar dan sebagainya serta internet sebagai pelengkap informasi yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas dalam memberikan analisa atas peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut. c. Bahan Hukum Sebagai sumber dalam penelitian hukum normatif terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang–undangan dan peraturan–peraturan lainnya yang berlaku (Hukum Positif) yang pembahasannya terkait dengan pokok masalah yang dibahas dengan tidak membatasi peraturan hukum yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. 26 Bahan hukum sekunder berupa buku-buku literatur, karya-karya tulis ilmiah para ahli hukum, makalah, jurnal hukum, interner dan sebagainya yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas. d. Langkah-langkah Penelitian Langkah–langkah penelitian ini melalui beberapa tahap yaitu ; 1. Tahap Pertama Pada tahap pertama ini penulis memulai penelitian dengan mulai menggumpulkan bahan–bahan hukum dan mengiventarisasi bahan hukum yang terkait dengan menggunakan studi kepustakaan dan media lainnya seperti internet dan lain–lain. Kemudian bahan hukum di klasifikasikan dengan cara memilih bahan hukum, dan di susun secara sistematis agar mudah di baca dan di pahami yang kemudian di lanjutkan dengan berbagai penyempurnaan. 2. Tahap Kedua Dalam tahap kedua ini dilakukan pemahaman dan mempelajari bahanbahan hukum dengan menggunakan metode deduksi yaitu suatu metode penelitian yang diawali dengan menemukan pemikiranpemikiran atau ketentuan yang bersifat umum, untuk diterapkan pada pokok masalah yang dibahas yang lebih bersifat khusus. 3. Tahap Ketiga Untuk sampai pada jawaban permasalahan di gunakan penafsiran sistematis, yaitu penafsiran yang mendasarkan hubungan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainya, pasal yang satu dengan pasal yang lainnya dalam peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pokok bahasan. 27 8. Sistematika Pertanggung Jawaban Untuk dapat memberikan gambaran secara garis besar masalah–masalah dan penelitian, memudahkan pembahasan dan dapat memahami permasalahan secara jelas, maka skripsi ini ditulis secara sistematis yakni dibagi dalam 4 (empat) Bab dan Sub–sub bab yaitu sebagai berikut : Bab I Pendahuluan. Bab ini merupakan gambaran tentang mengapa, bagaimana dan untuk apa penelitian ini disusun. Oleh karena itu dalam Bab ini dipaparkan tentang latar belakang masalah yang menjadi alasan penting mengapa kajian ini dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan permasalahan sebagai titik tolak kajian hukum ini, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, mamfaat penelitian, uraian tentang metode penelitian sebagai instrument kajian apakah langkah–langkah dalam penelitian ini dapat dan bisa untuk dipertanggungjawabkan mengenai kebenarannya. Sistematika pertanggungjawaban memberikan gambaran secara utuh tentang penelitian. Bab II Anak dan Pengertian Kekerasan Seksual Terhadap Anak serta Penanggulangannya. Dalam bab ini membahas tentang defisinisi anak dan pengertian kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak serta upaya penanggulangan kekerasan seksual bagi anak yang mengalami perlakuan kekerasan seksual di Indonesia. Bab III Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak Melalui Upaya Kebijakan Dalam Melaksanakan Penerapan Sanksi Hukum Pidana di Indonesia. Pada Bab ini membahas apa itu hukum, fungsi hukum, tujuan hukum serta bagaimana fungsi dan tujuan hukum dalam hal 28 menerapkan sanksi hukum pidana yang tepat bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Bab IV Penutup. Merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri atas bagian kesimpulan, kritik dan saran sebagai jawaban singkat dan lengkap atas rumusan masalah serta bagian saran sebagai suatu sumbangan pemikiran dan masukan dalam khasanah hukum, sehingga melalui ini diharapakan dapat dijadikan bahan pertimbangan kedepan atau wacana yang positif terhadap penjelasan tentang masalah penerapan sanksi hukum pidana bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak di indonesia. 29 BAB II KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK, PERMASALAHAN DAN PENANGGULANGANNYA 2.1. Pengertian Anak Sesuai Hukum Positif Indonesia Definisi dan pengertian tentang anak menjadi suatu permasalahan di Negara Indonesia, terutama dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Dalam berbagai peraturan perundang–undangan yang ada di Indonesia terdapat berbagai batasan atau mengenai definisi usia anak di Indonesia. Menurut pendapat Soerojo Wignjodipoero5, peralihan dari tidak cakap menjadi cakap dalam kenyataannya berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan. Pada umumnya menurut hukum adat Jawa seseorang cakap penuh melakukan perbuatan hukum, apabila sudah hidup madiri dan berkeluarga sendiri (sudah “mentas” atau “mencar” (Jawa). Tetapi sebaliknya tidak dapat dikatakan, bahwa seseorang yang belum sampai demikian itu, tentu sama sekali belum cakap melakukan perbuatan hukum. Misalnya dalam menghadap Hakim dimuka Pengadilan untuk masalah perkara Perdata. Bila berhubung dengan usianya harus dianggap tidak cakap sepenuhnya, maka ia harus diwakili orang tuanya atau walinya, tetapi bila mengenai perkara yang sedang diadilinya memperhitungkan dan itu ia dianggap memelihara telah cukup kepentingannya cakap sendiri, untuk boleh ia menghadap sendiri, terlepas daripada sudah dewasa atau belum. Namun disisi lain pendapat berbeda tetap terjadi dalam memberikan pengertian/definisi tentang anak di Indonesia dari para ahli-ahli hukum misalnya saja menurut Lilik 5 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat , Gunung Agung, Jakarta, 1995, Hal. 104 30 Mulyadi6, ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjariq/person under age), orang yang dibawah umur/keadaan dibawah umur (minderjarigheid/inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarige ondervoordij). Maka dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut diatas, ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum/ius operatum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi anak. Apabila dijabarkan lebih intens, detail dan terperinci maka ada beberapa batasan umur dari hukum positif Indonesia yang mengatur tentang penggolongan batasan umur bagi seorang anak di berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada saat ini di Indonesia yaitu sebagai berikut : 1. Dalam ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), ketentuan mengenai usia maksimum berbeda–beda misalnya : a. Pasal 45 KUHP dan pasal 72 KUHP, bahwa batas usia orang yang belum dewasa adalah sebelum umur 16 (enam belas) tahun. Namun di sisi lain ketentuan pasal 45 KUHP tersebut sudah tidak berlaku lagi setelah Undang Undang Pengadilan Anak ditetapkan oleh Pemerintah. b. Pasal 287–293 KUHP yaitu 15 (lima belas) tahun. 2. Dalam ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Perdata, berdasarkan ketentuan pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka anak adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin. 6 Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahanya,Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2006, Hal. 3 31 3. Dalam ketentuan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana tidak disebutkan secara rinci dan eksplisit mengenai batas usia anak, akan tetapi dalam Pasal 153 Ayat (5) KUHAP, dijelaskan bahwa memberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 171 KUHAP bahwa anak yang umurnya belum cukup 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin dapat memberikan keterangan tanpa di sumpah. Akibat hal ini, yang menjadi konsekuensinya adalah jika seseorang itu belum mencapai umur 15 (lima belas) tahun akan tetapi sudah menikah, ia tidak lagi disebut anak. 4. Dalam ketentuan Hukum Adat dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, batasan untuk disebut anak bersifat pluralistis. Dalam artian kriteria untuk menyebut bahwa seseorang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Misalnya : telah “kuat gawe”, “akil baliq”, “menek bajang” dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berorientasi kepada hukum adat di Bali menyebutkan batasan umur anak adalah dibawah 15 (lima belas) tahun seperti Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 53 K/Sip/1952 tanggal 1 Juni 1955 dalam perkara antara I Wayan Ruma melawan Ni Ketut Kartini. Kemudian di daerah Jakarta adalah 20 (dua puluh) tahun seperti Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 601/K/Sip/1976 tanggal 2 November 1976 dalam perkara antara Moch. Eddy Ichsan dan kawan-kawan melawan FPM Panggabean dan Edward SP Panggabean. 32 5. Dalam ketentuan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan, disebutkan bahwa usia anak dibatasi hinga mencapai 18 (delapan belas) tahun. 6. Dalam ketentuan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 7 Ayat (1) disebutkan bahwa Perkawinan hanya dapat izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Disini hanya menunjukkan dan menentukan kapan izin untuk menikah (melakukan perkawinan) bagi laki–laki dan wanita saja, tidak ada menyebutkan secara detail dan jelas mengenai usia dewasa. Namun dengan adanya batasan tersebut berarti menurut para pembuat Undang– Undang pada usia minimal 19 (sembilan belas) tahun dan umur 16 (enam belas) tahun itulah seorang laki–laki maupun wanita pantas dan siap untuk menikah. 7. Dalam ketentuan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan dalam Pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. 8. Dalam ketentuan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah orang yang didalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah menikah. 9. Dalam ketentuan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia, anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk 33 anak yang terdapat di dalam kandungan apabila hal itu adalah demi kepentingannya. 10. Dalam ketentuan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dalam pasal 1 Ayat (1) yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 11. Dalam dokumen Konvensi Hak Anak seseorang termasuk yang juga belum berusia 18 (KHA), anak diartikan sebagai (delapan belas) tahun dan bayi yang masih di dalam kandungan. Walaupun batasan belum berusia 18 (delapan belas) tahun sudah ditetapkan, namun konvensi ini masih memberikan peluang bagi setiap negara yang ingin membuat batasan usia lebih muda dibandingkan dengan yang ditetapkan oleh konvensi. Dengan demikian, kesepakatan mengggunakan umur sebagai batasan anak memang pada awalnya mendapatkan berbagai pertanyaan dan menimbulkan pro dan kontra. Bagi kelompok yang kontra berargumen bahwa bisa saja seseorang yang telah berusia belum berusia 18 (delapan belas) tahun namun sudah lebih dewasa dibandingkan dengan orang telah berusia lebih dari 18 (delapan belas) tahun, sebaliknya bagi kelompok yang pro dengan batasan usia mengatakan bahwa ketentuan ini berlaku universal, sulit menentukan batasan kedewasaan jika menggunakan ukuran yang berbeda beda di setiap negara, karena hal ini akan merugikan anak tersebut. Batasan usia 18 (delapan belas) tahun akan memberikan keuntungan tersendiri bagi anak dimanapun anak tersebut berada. Jika usia yang dipergunakan untuk mendefinisikan anak bukan usia 18 (delapan belas) tahun, maka 34 perlindungan terhadap anak dari eksploitasi dan bentuk-bentuk kekerasan akan menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Hal ini terjadi ketika anakanak melintasi perbatasan internasional dimana mereka mungkin tidak memperoleh batasan-batasan usia perlindungan yang sama antara satu negara dengan negara lain. Menentukan usia yang baku untuk mendefenisikan anak berpengaruh terhadap bagaimana anak-anak yang menjadi korban diperlakukan oleh hukum. Anak-anak tidak mungkin memberikan izin untuk dieksploitasi dan didera apalagi dijadikan korban kekerasan seksual oleh seseorang ataupun korporasi. Oleh karena itu di depan hukum mereka harus dianggap sebagai korban bukan sebagai kriminal. Dengan demikian, membakukan usia 18 (delapan belas) tahun sebagai usia tanggung seksual secara internasional akan memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap anak. Dari berbagai definisi yang dikategorikan anak ternyata dalam setiap peraturan perundang– undangan yang satu dengan undang–undang yang lainnya terdapat banyak variasi mengenai usia anak di Indonesa. Akan tetapi dalam hal ini yang lebih khusus menegaskan mengenai usia anak adalah Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak karena hal ini berkaitan secara langsung dengan perlindungan hukum terhadap anak di Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan juga hak– haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan yang penuh dan maksimal dari segala bentuk-bentuk kekerasan fisik, psikis, penelantaran, diskriminasi apalagi kekerasan seksual. 35 2.2. Pengertian Kekerasan Seksual Terhadap Anak Salah satu bentuk peraturan perundangan-undangan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah dengan adanya Kitab Undang Undang Hukum Pidana dimana didalamnya terdapat berbagai bentuk pengaturan mengenai kejahatan, jenis-jenis kejahatan, penggolongan kejahatan dan juga ancaman sanksi hukum yang tercantum secara jelas didalamnya. Dalam Buku Ke-II KUHP : Kejahatan mulai dari Bab I s/d Bab XXXI memuat berbagai bentukbentuk kejahatan. Disamping itu juga terdapat tambahan mengenai Pelanggaran yang diatur dalam Buku Ke-III KUHP : Pelanggaran mulai dari Bab I s/d Bab IX yang mengatur tentang bentuk-bentuk pelanggaran. Jika dipaksakan perumusannya mengenai kejahatan, sebenarnya bisa saja kekerasan seksual terhadap anak merupakan termasuk dalam kategori Kejahatan Kesusilaan. Akan tetapi hal ini belum tentu ada kesatuan pendapat bagi para ahli hukum dalam merumuskan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Dengan demikian pengaturan akan pengertian kekerasan seksual masih simpang siur didalam sistem hukum pidana dalam upaya penegakan hukum di Indonesia dan akhirnya menjadi pemicu kerap terjadinya berbagai persoalan-persoalan dalam menjatuhkan dan/atau menerapkan sanksi hukum bagi para pelaku kejahatan ini. Didalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), yang ada adalah mengenai Kejahatan Kesusilaan Yang dimaksud dengan Kejahatan Kesusilaan diatur dalam Bab Ke-XIV dari Buku Ke-II KUHP, yang didalam Wetboek van Strafrecht juga disebut sebagai misdrijven tegen de zeden. Ketentuan pidana yang diatur dalam Bab ini dengan sengaja telah dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk memberikan perlindungan bagi orang- 36 orang yang dipandang perlu untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan asusila atau ontuchte handelingen dan terhadap perilakuperilaku baik dalam bentuk kata-kata maupun dalam bentuk perbuatanperbuatan yang menyinggung rasa kesusilaan di masyarakat. Hal ini karena bertentangan dengan pandangan orang tentang kepatutan dibidang kehidupan seksual, baik ditinjau darin segi pandangan masyarakat setempat dimana katakata itu telah diucapkan atau dimana perbuatan itu telah dilakukan, maupun ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka sehari-hari sebagaimana layaknya. Kekerasan seksual terhadap anak erat kaitannya dengan penyiksaan yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan kepuasan seksual. suatu bentuk penyiksaan Jika dilihat lebih seksama, sebenarnya berbagai bentuk-bentuk dan jenis kejahatan seksual seperti Perkosaan terhadap Anak, Pencabulan terhadap Anak, Kekerasan Seksual terhadap Anak, Pelecehan Seksual terhadap Anak dan Eksploitasi Seksual terhadap Anak merupakan bentukbentuk dari berbagai kategori Kejahatan Seksual yang didalam KUHP disebut sebagai Kejahatan terhadap Kesusilaan, dan bentuk-bentuk kejahatan seksual diatas satu sama lainnya sangat saling berkaitan dalam hal sebab-akibat yang akan ditimbulkannya. Hanya saja, pengertian dalam perumusan unsur-unsurnya satu sama lainnya sangat berbeda. Misalnya saja, hubungan seksual antara seorang lakilaki dan seorang anak perempuan untuk membangkitkan nafsu birahi jarang dilakukan orang tanpa tujuan untuk mendapatkan keuntungan, dan biasanya 37 dilakukan orang dalam bentuk usaha pertunjukan ataupun yang juga dikenal dengan sebutan “show business” , ini adalah merupakan salah satu bentuk Kejahatan Eksploitasi Seksual terhadap Anak. Masalah Kekerasan Seksual terhadap Anak adalah sesuatu jenis kejahatan yang sangat unik dan menarik untuk dipahami dalam teori maupun praktek perumusan unsur-unsur perbuatan dan dan syarat-syarat bisa dikatakan sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dalam Tindak Pidana Perkosaan ternyata harus mempunyai unsur-unsur objektif, masing-masing yaitu : 1. Barangsiapa 2. Dengan kekerasan atau 3. Dengan ancaman akan memakai kekerasan 4. Memaksa 5. Seorang wanita 6. Mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan 7. Dengan dirinya. Walaupun didalam rumusannya, undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan perbuatan yang dilarang di dalam Pasal 285 KUHP, tetapi dengan dicantumkannya unsur memaksa didalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja. 38 Hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan untuk memuaskan hawa nafsu birahi dari pelakunya tidak perlu harus diartikan sebagai perbuatan mengadakan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan karena perbuatan untuk memuaskan nafsu birahi dapat saja dilakukan dengan saling berciuman, saling meraba dan sebagainya. Akan tetapi hal seperti ini di Indonesia hanya bisa dilakukan oleh pasangan suami isteri yang terikat dalam suatu perkawinan baik secara sah maupun tidak sah sesuai dengan kepercayaan agama, adat istiadat dan kebiasaan hidup. Biasanya orang-orang asing sering melakukan perbuatan-perbuatan semacam ini yang datang ke Indonesia untuk sekedar menikmati keindahan objek-objek pariwisata di Indonesia sebagai Turis. Karena seperti yang telah diketahui tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP harus dilakukan dengan sengaja, dengan sendirinya unsur kesengajaan tersebut harus dibuktikan baik oleh Jaksa Penuntut Umum maupun oleh Hakim di sidang Pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku yang oleh Jaksa Penuntut Umum telah didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP. Indonesia sebagai negara yang terdiri dari berbagai perbedaan baik suku, ras, bahasa, agama, adat istiadat dan sosial budaya, berkaitan dengan Kekerasan Seksual biasanya sangat tabu dibicarakan dan masih banyak mengalami kebutaan akan hukum nasional yang berlaku di Indonesia. Masyarakat umumnya masih belum semua memahami berbagai perbedaanperbedaan dalam ruang lingkup Kejahatan Kesusilaan. Perbedaan antara Tindak Pidana Perkosaan dengan Kekerasan Seksual seringkali dianggap sama-sama merupakan perbuatan memaksa seseorang untuk melakukan 39 persetubuhan padahal Perkosaan dan Kekerasan Seksual sangatlah berbeda dan para aparat penegak hukum kerap mengalami kesulitan dalam pembuktian di Pengadilan. Tindak Pidana Perkosaan atau verkrachting oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin diluar pernikahan dengan dirinya, karena bersalah melakukan perkosaan dipidana penjara selama-lamanya dua belas tahun penjara”. Jika dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, Kekerasan Seksual masih memiliki banyak pengertian yang beraneka ragam. Didalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak belum/tidak ada disebutkan secara jelas,rinci dan tegas apa yang dimaksudkan mengenai pengertian Kekerasan Seksual yang ada adalah Eksploitasi Seksual dan Kekejaman, Kekerasan dan Penganiayaan tanpa ada unsur seksual yang ditampilkan dengan jelas. Yang mengatur secara jelas dan tegas mengenai pengertian Kekerasan Seksual adalah terdapat dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diatur didalam Pasal 8 bahwa Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : a) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut ; b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Sementara itu jika dikaitkan dengan dengan pendapat ahli hukum lainnya 40 misalnya, Wirdjono Prodjodikoro7, jika hal ini dikaitkan dengan macammacam kejahatan yang diatur dalam KUHP, maka kekerasan seksual termasuk kategori melanggar Pasal 287 KUHP. Tindak pidana dari pasal 287 yang merupakan tindak pidana delik aduan (klachtdelict) kecuali apabila perempuannya belum berusia 12 tahun. Pasal 287 KUHP mengancam dengan maksimum hukuman penjara sembilan tahun barang siapa yang, diluar perkawinan, bersetubuh dengan orang perempuan yang ia tahu atau pantas harus dapat mengira bahwa perempuan itu belum berusia 15 (lima belas) tahun atau belum pantas untuk dikawin. Sedangkan Pasal 290 No. 2 dan 3 mengancam dengan maksimum hukuman penjara tujuh tahun barangsiapa yang berbuat cabul dengan seorang yang ia tahu atau pantas harus mengira bahwa orang itu belum berusia 15 tahun atau belum pantas untuk dikawin, atau membujuk orang itu untuk berbuat cabul atau bersetubuh diluar perkawinan, dengan seorang ketiga. Dari berbagai definisi dan pengertian mengenai Kekerasan Seksual yang ada didalam ketiga Undang-Undang diatas, ternyata belum ada pengaturan secara tegas dan jelas mengenai Kekerasan Seksual apalagi Kekerasan Seksual terhadap Anak di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berangkat dari fakta dan pengertian diatas, bila dikaitkan secara runtut dan tuntas, maka sebenarnya bisa saja dirumuskan suatu pengertian bahwa kekerasan seksual terhadap anak lebih bersifat khusus (spesialis) pengertiannya dibandingkan dengan Tindak Pidana Perkosaan, Tindak Pidana Pencabulan, Tindak Pidana Pelecehan Seksual maupun Tindak Pidana Eksploitasi Seksual. Dimana, Kekerasan Seksual Terhadap Anak lebih 7 Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia , Edisi II, Refika Aditama, Bandung, 2002, Hal. 119 41 dominan dan cenderung merupakan suatu bentuk penyimpangan seksual seseorang akan perilaku-perilaku dalam melakukan hubungan seksual khususnya hanya berkaitan terhadap dan dengan anak saja dilakukan perbuatan seksual tersebut. Tindak Pidana Kekerasan seksual adalah salah satu bahaya yang paling memilukan jika menimpa anak. Siapa pun orangnya dikatakan melakukan kekerasan seksual terhadap anak jika mengizinkan atau memaksa anak untuk ikut terlibat dalam aktivitas seksual. Kekerasan seksual bisa terjadi secara fisik maupun non fisik. Secara fisik ragam kekerasan seksual di antaranya memegang-megang alat kelamin anak, masturbasi, kontak mulut dengan kelamin, memasukkan jari ke bagian tubuh anak baik kedalam vagina, anal, ataupun mulut, hingga sampai pada penetrasi vagina atau anal. Sementara itu mengenai kekerasan seksual non fisik mencakup melibatkan anak dalam pornografi, memaksa atau mengizinkan anak menonton film-film yang berbau porno, memaksa anak telanjang untuk memuaskan hasrat seksual (voyeurisme), dan lain-lainnya. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak bisa saja orang asing yang tak dikenal oleh seorang anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Mereka (orang asing yang tidak dikenal) biasanya hanya khusus untuk menculik anakanak yang memiliki daya tarik baik secara fisik maupun seksual untuk tujuan eksploitasi seksual. Diketahui diberbagai negara-negara di dunia bahkan di Indonesia sendiri ada banyak orang-orang dewasa yang menderita kelainan seksualitas misalnya saja para penderita Pedofilia, yakni seseorang (laki-laki) hanya tertarik secara seksual pada anak-anak saja dan tidak menyukai orang yang dewasa, sebaya, lebih tua dan atau bahkan seperti lazimnya dalam kaitan 42 sebagai partner/pasangan dalam melakukan hubungan seksualitasnya. Para pelaku kejahatan ini biasanya tidak bisa atau bahkan sangat sulit sekali terangsang secara seksual pada orang dewasa. Anehnya, justru para penderita pedofilia adalah pelaku utama penculikan anak untuk tujuan eksploitasi seksual. Dalam dunia pelacuran, mereka adalah konsumen utama pelacur anak. Yang cukup mengejutkan adalah bahwa sebagian besar pelaku kekerasan seksual pada anak justru orang-orang terdekat anak sebagaimana berita diberbagai media cetak maupun eletronik akhir-akhir ini di Indonesia.. Masyarakat tentu pernah mendengar ada seorang ayah, kakek atau paman dan atau bahkan seorang kakaknya yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak, cucu, dan keponakan dan adiknya sendiri. Kalau ditanya apakah ada orang-orang yang memang mengalami gangguan jiwa terkait seksual yang mau melakukan hal-hal kekerasan seksual tersebut khususnya terhadap anak-anak, jawabannya memang ada. Ada banyak orang di berbagai belahan dunia ini termasuk Indonesia yang mendapatkan kepuasan dari mempertontonkan alat kelaminnya kepada orang lain, biasanya pria kepada wanita dan mengalami kepuasan kalau si wanitanya ketakutan akibat hal itu. Ada juga yang suka mendapatkan kenikmatan seksual dari menggesekan alat kelaminnya ke perempuan tanpa merasa perlu diketahui. Akan tetapi orang-orang yang secara diagnosis terbukti mengalami gangguan seksualitas ini tidak terlalu signifikan jumlahnya pada pelaku-pelaku kekerasan seksual pada anak, kebanyakan yang melakukannya adalah atas dasar iseng-iseng semata yang didasari tidak hormatnya mereka kepada anak. Korban kejahatan diartikan sebagai orang yang secara perseorangan atau bersama-sama, 43 menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomis atau pelemahan substansial dari hak-hak dasar mereka, melalui tindakan atau kelalaian yang merupakan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku di negara-negara anggota termasuk hukumhukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan yang bersifat pidana. Disisi lain, masalah kekerasan seksual terhadap anak sering juga terjadi akibat kepentingan eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi. Kekerasan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang lebih tua terhadap seorang anak untuk mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk kekerasan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan pornografi kepada anak, kontak seksual yang sebenarnya terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak demi meraup uang keuntungan dari para pengunjung/penonton yang suka dengan hal-hal seksualitas anak di Indonesia. Para ahli hukum seperti P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang8, dalam bukunya menyebutkan bahwa, Exhibitionisme biasanya dilakukan dalam bentuk usaha pertunjukan atau show bussines berupa tari telanjang ataupun yang juga sering disebut sebagai strip tease, tetapi kadang-kadang juga dilakukan oleh para wanita ditempat-tempat hiburan, bahkan juga di lobi-lobi hotel berbintang lima. Hal ini adalah bentuk penyimpangan terselubung dengan dalil mempekerjakan seseorang untuk mencari keuntungan dan kepuasan 8 F.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan, Edisi II, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hal. 12 44 semata saja tanpa mempertimbangkan dampak akibat hukumnya. Lagi pula, anak memang sering dianggap makluk yang lemah dan dianggap tidak mampu berbuat apa-apa jika situasi yang dihadapi tidak memungkinkan. Untuk kasus pelecehan di angkutan umum, seharusnya kesalahan jangan ditimpakan kepada anak. Misalnya seorang anak perempuan yang dianggap berpakaian merangsang lawan jenisnya atau salah mereka sendiri naik angkutan umum. Sudah ada beberapa aksi yang dilakukan untuk perlindungan anak terhadap berbagai kekerasan seksual. Akan tetapi, seperti yang kita lihat bersama, kekerasan seksual khususnya terhadap anak masih tetap ada dan kerap terjadi, bahkan cenderung semakin meningkat. Untuk itu partisipasi semua pihak baik pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat, orang tua dan anak sangat diperlukan, dan harus diupayakan bagaimana bisa melakukan upaya-upaya yang bersifat cepat, tepat dan tuntas dan saling mendukung (tidak berjalan sendiri-sendiri) dan berkelanjutan dengan itikad bahwa kita semua ingin memberikan yang terbaik buat anak-anak di Indonesia. Sebagai bahan perbandingan antara pengertian Tindak Pidana Perkosaan dengan Kekerasan Seksual terhadap Anak, bisa dilihat dari rumusan unsurunsur objektif sebagaimana yang telah dikemukakan diatas. Misalnya saja, untuk dapat menyatakan seseorang terdakwa yang didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP terbukti mempunyai kesengajaan melakukan tindak pidana perkosaan, di sidang Pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara terdakwa, baik penuntut umum maupun hakim harus dapat membuktikan tentang : a. adanya kehendak atau maksud terdakwa memakai kekerasan; 45 b. adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk mengancam akan memakai kekerasan; c. adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk memaksa; d. adanya pengetahuan para terdakwa bahwa yang dipaksa itu adalah seorang wanita yang bukan isterinya; e. adanya pengetahuan pada terdakwa bahwa yang dipaksakan untuk wanita tersebut ialah untuk mengadakan hubungan kelamin dengan dirinya di luar perkawinan; Jika salah satu kehendak atau maksud dan pengetahuan terdakwa tersebut ternyata tidak dapat dibuktikan, maka tidak ada alasan bagi penuntut umum untuk menyatakan terdakwa terbukti mempunyai kesengajaan dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, dan hakim akan memberikan putusan bebas dari tuntutan hukum bagi terdakwa9. Dengan melihat rumusan tindak pidana perkosaan tersebut, tentunya sangat berbeda dengan rumusan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, yang mana kekerasan seksual terhadap anak lebih fokus dan lebih khusus mengarah kepada persetubuhan untuk mendapatkan kepuasan seksual bagi pelaku dengan cara kekerasan terlebih dahulu,sedang dan sesudah hubungan seksual dilakukan dengan cara memaksa pasangan baik sesama jenis atau berbeda jenis kelamin dengan pelaku dan cenderung dan jelas-jelas yang di ajak melakukan hubungan seksual adalah masih anak-anak. Kesepakatan mengenai pengertian kekerasan seksual terhadap anak dalam hal ini, dapat didefenisikan sebagai hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau anak lebih banyak 9 F.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang , Ibid, …… Hal. 98 46 nalar atau orang dewasa seperti orang asing, saudara kandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah obyek pemuas bagi kebutuhan seksual si pelaku. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Kegiatan-kegiatan yang mengandung kekerasan seksual tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak tersebut. Tindakan tindakan tersebut dapat termasuk ekshibisme atau voyerurme seperti orang dewasa yang menonton seorang anak sedang telanjang atau menyuruh atau memaksa anak-anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan seksual dengan orang lain sedangkan pelaku tersebut menonton atau merekam kegiatankegiatan seksual tersebut. 2.3. Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak dan Permasalahannya Dalam kasus tindak pidana kekerasan seksual yang sering menjadi korban adalah anak-anak dan perempuan dewasa, termasuk anak yang tergolongan dalam kategori memiliki kelemahan secara mental, fisik dan sosial yang peka terhadap berbagai ancaman dari dalam dan dari luar keluarganya. Ancaman kekerasan seksual dari luar keluarganya seringkali dapat dihalau, karena dapat dilihat oleh orang-orang disekelilingnya. Tetapi ancaman kekerasan seksual di dalam rumah yang dilakukan oleh anggota keluarga sendiri sering susah sekali dapat dilihat oleh orang luar. Indonesia merupakan salah satu negara yang warga negara dengan jenis kelamin perempuan rentan mengalami kekerasan terutama kekerasan seksual tidak terkecuali anak-anak. Tidak berlebihan jika dikatakan hal ini awalnya bermula dari ditolerirnya bentuk-bentuk pelecehan kepada perempuan di ruang publik tanpa ada yang 47 merasa bersalah. Misalnya saja, kita sering melihat anak-anak remaja maupun laki-laki yang berusia sudah dewasa yang nongkrong di gang ataupun di tempat-tempat seperti mall yang sering meledek perempuan dengan suatu ungkapan yang berbau seksual. Berbagai penyimpangan seksual merupakan ganguan perkembangan psikoseksual atau penyelewengan fungsi seksual. Penyimpangan bisa terjadi karena adanya faktor genetik (keturunan), pengaruh lingkungan, adanya trauma psikologis dan moral yang rendah. Di masyarakat terdapat banyak sekali penyimpangan seksual, salah satunya yaitu Pedophilia. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa Pedophilia adalah cinta kepada anak, akan tetapi terjadi perkembangan kemudian, sehingga secara umum digunakan sebagai istilah untuk menerangkan salah satu kelainan perkembangan psikoseksual dimana individu memiliki hasrat erotis yang abnormal atau diluar kewajaran terhadap anak-anak untuk melakukan kebutuhan dan hasrat birahi seksualnya. Pedophilia terjadi dikarenakan adanya tatanan moral dan etika yang rendah dari pelaku pedophilia (Pedophil). Pelaku pedophilia, menjerat korbannya yaitu seorang anak dengan cara memaksa, merayu, mengancam, ataupun memberi imbalan, sehingga pelaku dapat melakukan hubungan seks dengan anak tersebut. Adapun hakikatnya mengenai Pedophilia terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu umumnya adalah Pedophilia Heteroseksual dan Pedophilia Homoseksual. Pedophilia Heteroseksual terjadi pada individu berbeda jenis kelamin dengan pelaku pedophilia sedangkan Pedophilia Homoseksual terjadi pada individu sejenis kelamin dengan pelaku. Lazimnya, pelaku pedophilia (pedophil) adalah pria atau wanita yang telah berumur. 48 Pedophilia terjadi karena kecenderungan kepribadian anti sosial yang ditandai dengan hambatan perkembangan pola seksual yang matang disertai oleh hambatan perkembangan moral dan tatanan etika yang rendah. Dampak pada korban pedophilia tergantung pada tingkat usianya, korban cenderung menjadi lebih pendiam, memiliki kelainan perilaku seksual dibanding anak-anak lainnya, cenderung lebih depresi, memiliki kepercayaan diri rendah, perasaan ingin bunuh diri, menggunakan alkohol dan obat terlarang, lari dari rumah, dibanding anak-anak lain seusia mereka. Dengan adanya hal-hal seperti ini, sudah pasti berbagai lapisan masyarakat dihadapkan dengan masalah yang besar, sebab masalah pedophilia sulit untuk diungkap karena anak yang menjadi korban biasanya kurang berani mengungkapkannya dan memiliki rasa takut karena diancam, dan maslah pedophilia masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan aib jika diungkapkan, sehingga akan lebih baik jika masyarakat dapat mencegah dan mengantisipasinya. Yang menjadi awal permasalahannya adalah karena anakanak ini jarang sekali berani melawan tindakan-tindakan para pelaku baik yang masih bersifat pelecehan seksual hingga akhirnya berujung menjadi tindakan kekerasan seksual itu. Atau jika anak tersebut berani justru malah dihardik dan dibentak oleh pelaku yang melakukan hal tidak senonoh itu. Akibat kekerasan seksual yang dialami anak bisa berdampak sangat buruk bagi perkembangannya. Ada yang dampaknya sangat berat sehingga tidak bisa hilang bahkan tidak terlupakan seumur hidupnya. Secara umum, masalah yang biasanya timbul adalah depresi, kecemasan, ketakutan, minggat dari rumah, sampai mengalami disfungsi seksual (di antaranya frigid atau tidak tertarik dan tidak bisa 49 menikmati seks, serta impotensi). Anak-anak mengembangkan rasa takut dan cemas berlebihan terhadap lawan jenisnya, serta tidak mampu untuk terlibat dalam aktivitas seksual di kemudian hari. Sebenarnya, antara kekerasan seksual dengan pelecehan seksual sangat berkaitan. Misalnya saja, pelecehan seksual yang dilakukan saat menunggu Bus Way “Trans Jakarta” yang ada di kota Jakarta yang pernah ramai dibincangkan baru-baru ini. Kereta Api, Kapal Laut, Angkutan umum lainnya dan ruang-ruang yang bersifat publik dan umum juga kerap menjadi tempat untuk melakukan pelecehan seksual buat kaum perempuan yang masih tergolong usia anak-anak dan itu seringkali mengalami kesulitan untuk dilaporkan karena seringkali korban merasa malu dan pihak-pihak yang berwenang misalnya pihak Kepolisian dalam hal ini pun sering tidak terlalu serius menanggapi hal ini. Karakter masyarakat kita masih memerlukan suatu ketegasan hukuman untuk mencegah hal-hal buruk terulang lagi. Mereka masih sulit untuk dihimbau karena pola pikir yang berbeda-beda. Perangkat dan aparat hukum yang ada belum mampu memberantas kejahatan terorganisir tersebut. Hukum pada dasarnya merupakan cerminan dari nilai-nilai kultural tentang seksualitas yang berlaku di masyarakatnya. Melalui hukum, nilai-nilai kultural tersebut disahkan, dikukuhkan, dan dilanggengkan. Hukum sejauh itu berkaitan dengan relasi lakilaki dan perempuan, hanya melegitimasi dari yang sudah berlaku di masyarakat. Di sisi lain, hukum digunakan oleh negara sebagai alat untuk mengatur dan mengontrol seksualitas rakyatnya. Pasalnya, negara memiliki kepentingan untuk memanfaatkan pengaturan seksualitas tersebut demi tujuan-tujuan 50 sosial, politik dan ekonomi yang "dibenarkan" dengan cara sengaja maupun secara tidak sengaja. Dalam hal ini, sekalipun di dalam KUHP yang berlaku maupun RUU KUHP yang telah disusun di Indonesia tidak dan bahkan belum ada dikenal istilah kekerasan seksual. Beberapa bentuk-bentuknya kejahatan seperti perkosaan, perbuatan cabul, dan prostitusi dapat diketemukan di dalamnya, yakni di bawah payung Bab Kejahatan terhadap Kesusilaan. Istilah kesusilaan itu sendiri tidak ada penjelasannya secara resmi dalam KUHP. Tidak adanya penjelasan resmi tentang istilah kesusilaan yang digunakan, menyebabkan masyarakat (khususnya aparat hukum) seringkali terjebak dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai budaya, norma agama atau sopan santun berkaitan dengan nafsu perkelaminan bukan kejahatan terhadap orang (tubuh dan jiwa). Pemahaman keliru yang seperti ini akan berakibat mengaburkan persoalan mendasar dari kejahatan seksual itu sendiri, yakni pelanggaran terhadap eksistensi diri manusia meliputi otonomi, integritas tubuh dan kediriannya dalam melakukan hubungan seksual terhadap seseorang (anak) di Indonesia.. Kekerasan Seksual terhadap Anak jika dirumuskan secara hukum sebagai suatu tindakan persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap seorang perempuan (yang bukan istrinya), dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan. Rumusan ini nampak sekilas tidak problematis, tetapi tidak demikian kenyataannya. Hal ini disebabkan karena adanya pro kontra dalam merumuskannya yaitu sebagai berikut : a. Hukum lewat rumusannya telah mengesampingkan perkosaan yang dilakukan suami terhadap istrinya. Dengan kata lain, seorang istri tidak 51 berhak secara hukum menolak hubungan seksual dari suaminya. Perempuan karenanya didiskualifikasikan berdasarkan status perkawinan. Juga berarti, perkawinan menjadi suatu institusi yang disahkan secara hukum untuk mengobyektifikasikan tubuh perempuan (perempuan tak lebih sebagai obyek seks). Hal ini sesuai dengan norma/nilai-nilai yang berlaku secara umum bahwa relasi yang dibangun dalam institusi perkawinan pada pokoknya adalah relasi antara subyek dan obyek. b. Mengesampingkan bentuk-bentuk lain dari kekerasan seperti penetrasi dengan alat/benda atau bagian tertentu dari tubuh (di luar penis), penetrasi ke liang dubur, pemaksaan untuk melakukan oral seks, dan juga pemaksaan berhubungan seks dengan hewan. c. Dengan rumusan persetubuhan seperti itu berarti pula mengesampingkan bentuk-bentuk hubungan seperti menggesek-gesekkan alat kelamin lakilaki pada bibir alat kelamin perempuan, dubur atau mulutnya, atau menggesek-gesekkan pada bagian-bagian lain dari tubuh, dengan benda atau alat, atau dengan hewan. d. Dengan rumusan kekerasan atau ancaman kekerasan, maka gagasan bahwa perempuan tidak menghendaki/menyetujui hubungan seksual tersebut menjadi sesuatu yang kontroversial. Di satu sisi, ketidaksetujuan perempuan dianggap vital dalam kasus perkosaan, namun di sisi lain itu menjadi tidak penting karena perempuan harus membuktikan ketidaksetujuannya (yang berarti ada pada tataran psikologis) itu, untuk halhal yang bersifat fisik (bukti adanya kekerasan). Oleh karena itu, rumusan kekerasan tersebut mengeluarkan atau bahkan mengeliminasi hubungan seksual yang dilakukan berdasarkan "ketundukan" 52 (submission), karena alasan-alasan tertentu saja. Umpamanya, antara seorang majikan terhadap bawahannya yang merasa khawatir dengan masa depan pekerjaannya, atau cemas dengan nilai ujian/kelulusan dalam konteks hubungan seksual antara seorang guru terhadap muridnya. Rumusan hukum mengenai kekerasan seksual terhadap anak menjadi standar di dalam proses dan prosedur atau mekanisme hukum, dalam jajaran sistem peradilan pidana. Sebagai konsekuensi dari hal ini, setiap laporan anak atas peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya akan beresiko dikesampingkan sepanjang dianggap tidak sesuai dengan rumusan hukum yang berlaku. Dengan cara itu sebenarnya hukum telah mendiskualifikasikan anak yang menjadi korban kekerasan seksual sejak awal, bahkan sebelum sampai kepada proses hukum itu sendiri. Sehingga, dapat dipahami mengapa banyak dari kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak yang tidak terlaporkan (under-reported) di tingkat kepolisian. Di samping itu ada alasan-alasan lain yang sering terjadi berkaitan dengan permasalahan kekerasan seksual terhadap anak yakni seperti : a. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual tidak tahu harus melapor ke mana, atau bagaimana cara melaporkan peristiwa yang dialaminya; b. Jarak yang berjauhan antara lokasi kejadian dan pos polisi terdekat, sehingga korban sulit melaporkan hal tersebut kepada Pihak Kepolisian; c. Ancaman fisik dan non fisik dari pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual untuk tidak menghubungi siapapun sehubungan dengan apa yang telah dialaminya; Tekanantekanan dari pihak keluarga korban pada anak yang menjadi korban kekerasan seksual untuk menyelesaikan masalah ini melalui "jalan 53 perdamaian" dan/atau “kekeluargaan” yang diselesaikan sesuai pertimbangan yang beraneka ragam oleh para pihak-pihak tersebut demi tercapainya penyelesaian masalah yang telah terjadi dengan pelaku kekerasan seksual. Misalnya, pelaku kekerasan seksual memberikan ganti rugi berupa uang, barang, fasilitas dan sebagainya pada pihak korban dan keluarganya, bahkan dengan cara menikahi anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut. Selain itu adalah masalah dalam hukum pembuktian, persoalan pembuktian dalam kekerasan seksual saat ini juga masih sering menjadi sesuatu yang controversial yaitu mengenai seputar alat bukti. Ketentuan mengenai alat bukti, nyata-nyatanya telah menjadi alat efektif dalam memangkas laporan-laporan kekerasan seksual terhadap anak selama ini. Hukum secara tertulis menentukan untuk mengajukan tuntutan secara hukum sekurang-kurangnya mesti ada dua alat bukti yang sah dari lima alat bukti, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (pasal 183 dan 184 KUHAP). Namun, dalam prakteknya lebih kompleks masalah kekerasan seksual terhadap anak sangat terbatas dalam pembuktiannya baik ditingkat Kepolisian, Kejaksaan maupun di Pengadilan. Masalah tersebut misalnya sebagai berikut : a. Pada prakteknya, persetubuhan-yang menjadi unsur yang perlu dibuktikan dalam kekerasan seksual terhadap anak semestinya harus dibuktikan dengan robeknya selaput dara, juga adanya sperma korban, yang ini pun mesti direkam dalam suatu visum et repertum. Padahal realitasnya seorang anak perempuan bisa saja dilakukan kekerasan seksual tanpa 54 menyebabkan robeknya selaput dara. Sementara gagasan membuktikan kekerasan seksual dengan sperma pelaku adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan oleh anak yang menjadi korban korban kekerasan seksual maupun keluarga anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut; b. Ketentuan mesti ada visum et repertum untuk merekam kondisi fisik anak korban kekerasan seksual juga bukti sperma pelaku, mensyaratkan korban untuk segera melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya ke polisi. Seringkali hal pertama yang dilakukan oleh korban adalah membersihkan diri dari bekas-bekas "aib" kekerasan seksual yang dialaminya ketimbang langsung melaporkan yang telah terjadi ke Kantor Kepolisian maupun ke Kantor Lembaga Perlindungan Anak; c. Dalam prakteknya, dari kelima alat bukti yang dicantumkan dalam KUHAP di atas, keterangan saksi menjadi prioritas. Adanya prioritas dalam praktek hukum ini, maka semakin sulit bagi seorang anak yang menjadi korban kekerasan seksual untuk menuntut pelakunya. Dikarenakan sangat jarang ada saksi yang mengetahui adanya kekerasan seksual, kecuali kekerasan seksual itu tertangkap tangan oleh orang tuanya, masyarakat ataupun pihak berwajib; d. Begitu juga dengan pelaku kekerasan seksual terhadap anak, tentunya sangat jarang yang bersedia mengakui perbuatannya, tetapi bukti yang lain tidak ada sama sekali. Maka kepada pelaku kekerasan seksual, belum dapat dikenakan hukuman. Dari sistem pembuktian, yang rumit dan menyulitkan anak korban kekerasan seksual untuk mengajukan kasusnya, di mana akses terhadap hukum sangat rendah. Sementara hukum telah 55 memposisikan dirinya sedemikian rupa, sehingga tidak setiap orang bisa menjangkaunya. Dalam konteks ini, seharusnya sangatlah penting bagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual untuk mendapatkan pelayanan hukum secara cumacuma (prodeo) disamping mendapatkan pendampingan yang sifatnya psikologis. Pendampingan-pendampingan tersebut seharusnya menjadi hak setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual dan harus dipenuhi dalam setiap tahap pemeriksaan dari tingkat Kepolisian hingga Pengadilan. Namun, ironisnya, dalam prakteknya sama sekali jauh dari kepentingan dan kebutuhan anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Dari hal-hal sebagaimana yang dimaksud diatas, alasan yang digunakan hakim, karena tidak ada ketentuan dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengatur secara eksplisit hak-hak korban (anak korban kekerasan seksual) pendampingan untuk psikologis, mendapatkan walaupun juga Bantuan tidak ada Hukum maupun ketentuan yang melarangnya selama ini. Bantuan Hukum yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanyalah untuk pihak Terdakwa atau Tersangka (Pasal 54 KUHAP). Tidak dimuatnya ketentuan pendampingan bagi korban, pada akhirnya menjadi peluang bagi Advokat pelaku kekerasan seksual terhadap anak maupun hakim-hakim yang berpihak pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak untuk mengeluarkan kebijakan yang merugikan anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Di sisi lain, juga menunjukkan bahwa hukum lebih memperhatikan kepentingan pelaku-pelaku kejahatan (kekerasan seksual) ketimbang kepentingan anak 56 yang telah menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Padahal jika dilakukan pengkajian secara lebih mendalam, masalah kekerasan seksual yang dialami oleh anak di Indonesia ini akan mengakibatkan trauma yang mendalam. Hal ini terlihat secara jelas bahwa biasanya anak yang mengalami trauma kekerasan seksual, akan menjadi pelaku kekerasan seksual. ini merupakan sebuah mata rantai yang harus diputus demi keselamatan generasi penerus bangsa Indonesia nantinya. Jika tidak, akan banyak sekali perilaku-perilaku menyimpang mengenai seksual yang seharusnya harus diberantas hingga tuntas agar tidak menjamur seperti kejahatan-kejahatan lainnya. Karena dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak secara jelas dan tegas diatur yaitu sebagai berikut : 1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : a. b. c. d. e. f. diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya. 2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Akan tetapi, sebagaimana diketahui saat ini bahwa, sebagian besar kasuskasus kekerasan seksual tehadap anak banyak yang tidak dilanjutkan ke pengadilan dan bahkan berhenti penyidikannya ditingkat kepolisian, disebabkan kurangnya bukti dan saksi, dan keluarga korban yang tidak mampu 57 mengeluarkan biaya untuk visum, dan pemeriksaan lainnya. Banyak kasus yang tidak tuntas secara hukum disebabkan keluarga korban kekerasan seksual tersebut yang tidak mampu secara finansial, dan akhirnya menghentikan sendiri proses hukum yang sedang berlangsung. Rata-rata pelaku kekerasan seksual terhadap anak memiliki keterkaitan dengan anak yang menjadi korban kekerasan seksual, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab banyak dari keluarga anak korban kekerasan seksual yang malu untuk melaporkan pada pihak kepolisian. Adanya stigmatisasi negatif terhadap korban kekerasan seksual, juga turut mendukung penghentian proses pengusutan kasus tersebut. Masyarakat kita masih belum terlalu mendukung korban kekerasan seksual. Terkadang mereka malah disudutkan, dianggap aneh dalam masyarakat, sikap-sikap seperti ini bahkan ditunjukan secara terbuka, banyak aparat penegak hukum maupun instansi terkait yang belum paham benar dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sehingga seringkali kasus anak disamakan dengan orang dewasa, dan juga mengenai panduan umum yang dikeluarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Peraturan Menteri Nomor 6 Tahun 2011 juga belum dipahami dengan benar secara baik dan maksimal. Padahal, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan baik itu kekerasan fisik, kekerasan psikis, penelantaran anak apalagi kekerasan seksual. 58 Disamping itu, hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Oleh karena itu, setiap anak yang menjadi korban kejahatan tanpa terkecuali di Indonesia seharusnya mendapatkan hak-haknya yaitu suatu perlindungan khusus bagi anak yang dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (nafza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran karena setiap anak di negara ini adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa Indonesia yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan dan eksitensi bangsa dan negara Indonesia pada masa depan dan juga pelaksanaan pemenuhan kewajiban negara kepada setiap warga negaranya termasuk anak sehingga tidak ada lagi terjadi berbagai tindakantindakan para pelaku kejahatan yang bersifat kekerasan dan perlakuan diskriminasi terhadap setiap anak di Indonesia. 59 BAB III PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK MELALUI UPAYA KEBIJAKAN PENERAPAN SANKSI HUKUM PIDANA DI INDONESIA 3.1. Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Wujud Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Kekerasan Seksual Di Indonesia Upaya dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik criminal di Indonesia. Dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana di Indonesia identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan di Indonesia secara keseluruhan yaitu dalam menanggulangi kekerasan seksual dengan melakukan penerapan sanksi hukum pidana. Bagian yang tidak terpisahkan dari hukum pidana adalah masalah pidana dan pemidanaan. Sifat pidana merupakan suatu penderitaan. Pidana yang dijatuhkan bagi mereka yang dianggap bersalah merupakan sifat derita yang harus dijalani, meskipun demikian sanksi pidana bukan semata-mata bertujuan untuk memberikan efek derita. Kebijkan Pembangunan Hukum Menuju Sistem Hukum Nasional di Indonesia dimulai sejak Pelita II Pembangunan Hukum yang dijadikan bagian dari Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia melalui berbagai kegiatan-kegiatan yang terdiri dari langkah-langkah strategis yang dituangkan dalam proyek-proyek pembangunan hukum, sehingga seluruh kegiatan pembangunan hukum dapat dilaksanakan menurut pola dan mekanisme yang terarah, sinkron, terpadu dan realistis serta diharapkan dapat mengantisipasi perkembangan kebutuhan 60 pembangunan dan aspirasi rakyat untuk jangka waktu 25 tahun yang akan datang. Akan tetapi, ada 5 (lima) masalah paling utama yang masih dihadapi bangsa Indonesia dalam kehidupan hukumnya, yaitu : 1. Sangat diabaikannya pembangunan hukum nasional dalam era Pembangunan Jangka Panjang Pertama, hal mana tercermin dari anggaran belanja negara yang terkecil yang harus disesuaikan untuk pembangunan hukum secara menyeluruh ; 2. Masih berlakunya sejumlah peraturan-peraturan colonial yang tertulis dalam bahasa Belanda dan belum ada terjemahaan otentiknya dalam bahasa Indonesia ; 3. Sangat sulitnya diperoleh data dan informasi hukum secara tepat, mudah dan akurat seperti peraturan perundang-undangan, surat-surat keputusan dan Kebijaksanaan Pemerintah, Yurisprudensi, dan lain-lain informasi hukum ; 4. Belum adanya suatu Rencana Pembangunan Hukum yang komprehensif dan terinci, yang meliputi masa Pembangunan Jangka Panjang selama 25 tahun mendatang ; 5. Masih belum cukup penyediaan tenaga mahir dan ahli untuk menangani segala kegiatan Pembangunan Hukum Nasional yang begitu banyak macam dan ragamnya10 ; Melihat kelemahan-kelemahan sebagaimana yang disebutkan diatas, perlunya diberikan perlindungan hukum kepada anak korban dari kekerasan seksual secara memadai tidak hanya merupakan isu nasional, tetapi juga merupakan 10 Sunaryati Hartono, Kebijakan Pembangunan Hukum Menuju Sistem Hukum Nasional, Analisis CSIS, Nomor 1 Tahun XXII, Januari-Februari 1993, Hal. 11 61 isu internasional. Oleh karena itu, masalah ini membutuhkan perhatian yang sangat serius dari berbagai pihak. Penerapan sanksi hukum pidana bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Berbagai upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia melalui hukum pidana dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan-tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan pergaulan hidupnya sehari-hari. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya dan perlu mendapat perlindungan seutuhnya dari berbagai pihak dari berbagai kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan pada dirinya, yang sifatnya menimbulkan kerugian mental, fisik, dan sosial atas dirinya. Perlindungan anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum yuridis (legal protection). Disinilah peran hukum pidana dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak di Indonesia yang menjadi korban kejahatan (kekerasan seksual). Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana yang telah dikodifisir, yaitu sebagian terbesar dari aturan-aturannya disusun dalam kitab undang-undang (wetboek), yang dinamakan Kitab Undang Undang Hukum Pidana menurut suatu sistem yang tertentu. Bahwa hukum pidana dikodifisir dalam satu wetboek, hal ini belum terlihat disemua negara. Terutama di negara-negara Angelsaks seperti (Inggris, Amerika dan Australia) masih banyak yang belum mempunyai kitab undang-undang hukum pidana, 62 hanya beberapa negara bagian sudah mempunyainya. Disana pokok hukum pidana berdasarkan atas Common Law (hukum adat). Dan disamping itu, dan yang kadang-kadang juga menggantikan itu, ada yang dinamakan Statute-Law, yaitu aturan-aturan tertulis dalam Undangundang. Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk : 1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut; 2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan; 3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan itu; Berkaitan dengan kekerasan seksual sebagai bagian dari suatu kejahatan/pidana. Dalam bukunya, Moeljatno11, selain daripada kewajiban Pemerintah untuk dengan bijaksana menyesuaikan apa yang ditentukan sebagai perbuatan pidana itu dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat, maka penentuan itu juga tergantung pada pandangan, apakah ancaman dan penjatuhan pidana itu adalah jalan yang utama untuk mencegah dilanggarnya larangan-larangan tersebut. Kedua faktor ini satu sama lain saling pengaruh mempengaruhi. 11 Moeljatno, Azas-Azas Huku Pidana, Cetakan I, Bina Aksara, Jakarta, 1983, Hal. 4 63 Bertalian dengan ini adalah penting juga kenyataan, apakah Pemerintah dengan melewati alat-alat negara yang bersangkutan, betul-betul mampu untuk benar melaksanakan ancaman pidana kalau ternyata ada yang melanggar larangan. Sebab, kalau pelanggaran atau larangan-larangan yang diancam dengan pidana, tidak segera diurus dan diajukan kemuka pengadilan serta kalau terang kesalahannya betul-betul dipidana, maka akibatnya ialah bahwa larangan dan sanksi pidana tadi hanya merupakan tulisan belaka, tanpa mempunyai pengaruh sebagaimana mestinya dalam pergaulan masyarakat. Kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah salah satu contoh kasus yang menjadi momok bagi masyarakat dan memasuki tahap yang memperhatinkan, karena setiap harinya kasus kekerasan seksual seperti tindakan secara paksa dan dengan cara-cara kekerasan terlebeh dahulu lalu kemudia melakukan persetubuhan yang melibatkan anak sebagai korbannya sering kita dapatkan dan kita saksikan diberbagai media massa, baik dimajalah, koran, maupun stasiun-stasiun televisi swasta khususnya yang kini marak menyajikan berita-berita seputar dunia kriminal. Dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak terjadi, hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah mengenai “pembuktian”. Dalam ketentuan Pasal 184 (1) KUHAP secara jelas disebutkan bahwa bisa dinyatakan sebagai alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat ,petunjuk dan keterangan terdakwa. Untuk menentukan seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah (Pasal 183 KUHAP). Dalam hal ini, khusus terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak, dengan adanya ketentuan pasal 183 KUHAP ini, maka dimungkinkan 64 semakin sulit saja seseorang anak yang menjadi korban kekerasan seksual untuk menuntut pelaku kejahatan ini. Karena kemungkinan besar dalam prakteknya, sangat jarang ada saksi yang mengetahui adanya kekerasan seksual terhadap anak kecuali kekerasan seksual terhadap anak tersebut tertangkap basah atau pelaku itu lebih dan satu orang. Begitu juga dengan pengakuan pelaku, seorang pelaku kekerasan seksual terhadap anak, sangat jarang yang mengakui perbuatannya dan kerap tidak mengakui perbuatannya sama sekali. Kalaupun pelaku mengakui perbuatannya, akan tetapi kalau bukti yang lain tidak ada dan mendukung, maka pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum dapat dikenakan sanksi hukuman pidana. Kekurangan yang lain dapat dilihat dari kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia adalah ancaman hukuman pidana yang dikenakan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak apabila pelaku terbukti melakukan kesalahan. Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), hanya mengenal sistem ancaman hukuman maksimal namun tidak mengenal ancaman hukuman minimal. Misalnya, dalam kasus-kasus perkosaan yang korbannya masih anak-anak, yang sampai diperiksa ditingkat pengadilan, pernah ditemui seorang pelaku perkosaan terhadap anak hanya dihukum penjara dengan lamanya waktu penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan yang tergolong sangat minimal. Padahal, hukuman yang dijalani oleh seorang pelaku kekerasan seksual terhadap anak sebenarnya tidak sebanding dengan derita yang dialami anak yang menjadi korban kekerasan seksual seumur hidupnya, belum lagi adanya anggapan dan pendapat sinis dan cenderung bersifat meremehkan dari masyarakat bahwa korbanlah yaitu anak tersebutlah yang memancing pelaku 65 untuk melakukan perkosaan, pelecehan seksual, pencabulan, dan bahkan kekerasan seksual tersebut bisa terjadi. Ketiadaan ancaman hukuman minimal membuat pelaku-pelaku kekerasan seksual terhadap anak lain tentunya masih cenderung tidak merasa takut untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Belum lagi faktanya bahwa banyak para aparat penegak hukum di Indonesia dalam hal ini seakanakan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghukum para pelaku kekerasan seksual karena sanksi hukum sudah ditetapkan dalam suatu undang-undang secara tertulis dan harus menjadi acuan dalam memberikan sanksi kepada para pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Bentuk kekerasan terhadap anak tentunya tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, seperti penganiayaan, pembunuhan, maupun perkosaan, kekerasan seksual dan kejahatan seksual lainnya terhadap anak melainkan juga mengenai berbagai bentuk kekerasan non fisik, seperti kekerasan ekonomi, psikis, maupun kekerasan religi, agama dan/atau kepercayaannya. Pembuat undang-undang yakni pemerintah saat ini, melalui perundangundangan (hukum positif), seperti Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sering sekali tidak memberikan suatu perlindungan terhadap korban yang seharusnya sangat diperlukan oleh anak yang menjadi korban kekerasan seksual atas hakhak yang harus didapatkan dan juga kebijaksanaan dari para aparat penegak hukum dalam pelaksanaan penerapan sanksi hukum bagi para pelaku kekerasan seksual. 66 Sejauh ini, dari berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, meskipun tidak ada yang menyebutkan secara khusus ruang lingkup kekerasan seksual terhadap anak, telah menetapkan beberapa bentuk kekerasan terhadap anak sebagai tindak pidana, yaitu : mencakup kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak juga merupakan salah satu bagian dan jenis dari tindak pidana di Indonesia. Beberapa bentuk kekerasan dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebenarnya merupakan adopsi, kompilasi atau reformulasi dari beberapa bentuk kekerasan yang sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan sebelum, seperti Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam penjelasan umumnya biasanya disebutkan antara lain sebagai berikut : “……. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran anak yang perlu diberi nafkah dan kehidupan”. Dari sini terlihat bahwa, pengaturan mengenai kekerasan seksual masih bias walaupun sudah disebutkan bahwa sebenarnya penyebab dan defenisi kekerasan seksual terhadap anak sebenarnya memiliki kekhasan/kekhususan kejahatan tersendiri yang ada di Indonesia. Mengingat bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan yang khusus (spesialis), sebenarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan adalah pelanggaran hak asasi 67 manusia dan kejahatan martabat kemanusiaan serta merupakan bentuk diskriminasi guna mencegah, melindungi korban dan menindak para pelaku kekerasan dengan melaksanakan pencegahan, perlindungan dan penindakan terhadap para pelaku-pelaku kekerasan seksual terhadap anak sesuai dengan pedoman pandangan hidup berdasarkan falsafah Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun beberapa bentuk perbuatan (tindak pidana) kekerasan terhadap anak yang ditetapkan dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu sebagai berikut : 1. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam undang-undang ini, ada beberapa macam ketentuan mengenai penggolongan tindak pidana, bahkan ada yang secara eksplisit disebutkan sebagai kekerasan terhadap anak, yaitu sebagai berikut : 1) Tindak pidana (kejahatan) terhadap asal-usul dan perkawinan, yaitu melakukan pengakuan anak palsu (Pasal 278); 2) Kejahatan yang melanggar kesusilaan, seperti menawarkan, memberikan, untuk terus menerus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat kehamilan kepada untuk mencegah atau menggugurkan seorang yang belum dewasa (Pasal 283), bersetubuh dengan wanita yang diketahui belum berumur lima belas tahun di luar perkawinan (Pasal 287), melakukan perbuatan atau 68 membiarkan dilakukan perbuatan cabul terhadap orang yang belum berumur lima belas tahun (Pasal 290), melakukan perbuatan cabul terhadap anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya, yang belum dewasa (Pasal 294), menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya, yang belum dewasa dengan orang lain (Pasal 295), melakukan perdagangan anak (Pasal 297), membikin mabuk terhadap anak (Pasal 300), memberi atau menyerahkan seorang anak yang ada di bawah kekuasaannya kepada orang lain untuk melakukan pengemisan atau pekerjaan yang berbahaya atau pekerjaan yang dapat merusak kesehatannya (Pasal 301); 3) Kejahatan terhadap kemerdekaan orang, seperti menarik orang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut Undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang lain (Pasal 330), menyembunyikan orang yang belum dewasa (Pasal 331), melarikan wanita yang belum dewasa tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya, tetapi disetujui oleh wanita itu (Pasal 332); 4) Kejahatan terhadap nyawa, seperti merampas nyawa (pembunuhan) anak sendiri yang baru lahir (Pasal 341 dan 342); (5) Kejahatan penganiayaan terhadap anaknya sendiri (Pasal 351-356). Berbagai bentuk-bentuk kejahatan (kekerasan) terhadap anak dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut diatas, merupakan bentuk khusus dari kejahatan dalam ketentuan KUHP yang mempunyai 69 konsekuensi khusus pula. Sementara kejahatan lainnya yang tidak disebutkan secara tegas bahwa korbannya anak, konsekuensinya sama dengan kejahatan yang korbannya bukan anak. Jadi, selain yang disebutkan di atas, masih dimungkinkan adanya kejahatan-kejahatan kekerasan terhadap anak lainnya. misalnya, kekerasan seksual terhadap anak, pelecehan seksual terhadap anak dan eksploitansi seksual terhadap anak yang hingga saat ini masih memiliki multi tafsir oleh berbagai aparat penegak hukum, akademisi hukum dan praktisi hukum dalam upaya menentukan kebijakan serta merumuskan dan mendefinisikan jenis kejahatan (kekerasan seksual terhadap anak) di Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa ada beberapa bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan ke dalam berbagai tindak pidana, seperti diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 89. Berbagai bentuk-bentuk yang dirumuskan ke dalam kategori tindak pidana kekerasan terhadap anak dalam undang-undang ini yaitu sebagai berikut : 1) Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya (Pasal 77); 2) Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan fisk, mental, maupun sosial (Pasal 77); 70 3) Membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti dalam pengusian, kerusuhan, bencana alam, dan/atau dalam situasi konflik bersengjata (Pasal 78); 4) Membiarkan anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu (Pasal 78); 5) Pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan Pasal 39 (Pasal 79); (6) melakukan kekejaman, kekerasan atau penganiayaan terhadap anak (Pasal 80); 6) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain (Pasal 81); 7) Melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul (Pasal 82); 8) Memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual (Pasal 83); 9) Melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum (Pasal 84); 71 10) Melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak (Pasal 85); 11) Melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak, tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objeknya tanpa mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, secara melawan hukum (Pasal 85); 12) Membujuk anak untuk memilih agama lain dengan menggunakan tipu muslihat atau serangkaian kebohongan (Pasal 86); 13) Merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata, kerusuhan social, peristiwa yang mengnadung kekerasan, atau dalam peperangan, secara melawan hukum (Pasal 87); 14) Mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain (Pasal 88); 15) Menempatkan, membiarkan, melibatkan, menuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika, psikotropika, alkhohol, dan/atau zat adiktif lainya (napza) (Pasal 89). 3. Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam undang-undang ini, beberapa ketentuan mengenai kekerasan dan pengaturannya hanya ditujukan kepada yang masih memiliki hubungan keluarga saja yaitu keluarga sebagai pelaku kejahatan dan keluarga pelaku kejahatan tadi juga yang menjadi korban kejahatan tersebut. Sifatnya lebih khusus yaitu hanya berlaku terhadap dalam ruang lingkup rumah tangga 72 saja. Berbagai bentuk kekerasan yang ditetapkan sebagai tindak pidana kekerasan dalam undang-undang ini yaitu sebagai berikut : 1) Melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga (Pasal 44); Kekerasan fisik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 2) Melakukan kekerasan psikis dalam rumah tangga (Pasal 45); Kekerasan psikis sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau psikis berat pada seseorang. 3) Melakukan kekerasan seksual (Pasal 46-48); Kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga tersebut. b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. 4) Melakukan penelantaran rumah tangga (Pasal 49); Penelantaran sebagaimaa yang dimaksud adalah menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orag tersebut dan juga penelantaran sebagaimana yang dimaksud juga berlaku bagi 73 setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Dalam hal ini, terlihat secara jelas bahwa dari berbagai bentuk dan tindakan-tindakan mengenai kekerasan tersebut memang tidak secara khusus ditujukan kepada anak, namun yang jelas kekerasan itu dapat mengenai anak, karena dalam keluarga dimungkinkan ada penghuni rumah tangga tersebut yang masih tergolong usia anak. Oleh karena itu, pembaharuan hukum di Indonesia yang berpihak pada anak menjadi sesuatu yang sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Dari berbagai bentuk-bentuk kategori yang dimaksudkan kedalam perbuatan kekerasan dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diatas, sebenarnya sudah ada, diatur atau ditetapkan ke dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua undang-undang tersebut pada dasarnya hanya menetapkan kembali (reformulasi/rekriminalisasi) dengan memberi nama baru dan/atau meningkatkan ancaman sanksi pidana bagi para pelaku (pelaku kejahatan) yang melakukan berbagai bentuk kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan psikis maupun kekerasan seksual di Indonesia. Disisi lain, Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia yang menganut Asas Legalitas selama ini banyak memiliki penafsiran-penafsiran di berbagai 74 kalangan praktisi hukum dan akademisi hukum. Pemidanaan bagi para pelaku kekerasan seksual bukan saja hanya dapat dijatuhkan berdasarkan hukum, tetapi juga penjatuhannya hanya sebatas apa yang ditentukan hukum. Padahal, asas legalitas bukan hanya berarti “nullum crime sine lege”, tetapi juga “nulla poena sine lege”. Artinya, bukan hanya mengenai pelarangan atas suatu perbuatan tetapi bentuk dan jumlah pengenaan pemidanaan yang diancamkan terhadap pembuatnya pun harus ditentukan oleh undang-undang. Oleh karena itu, bentuk dan lamanya pidana yang dapat dikenakan, terbatas hanya yang telah ditentukan dalam undang-undang yang berlaku. Menurut pendapat Ahli Hukum Pidana, Chairul Huda12, asas legalitas ternyata memiliki aspek yang lebih luas daripada sekedar yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam pasal tersebut hanya ditentukan keharusan perumusan dengan undangundang suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dan hal-hal yang menentukan keberlakuan undang-undang tersebut dari segi waktu. Sementara itu, mengenai bentuk dan jumlah pidana yang dapat dijatuhkan juga terbatas dengan apa yag ditentukan undang-undang. Sayangnya hal ini tidak secara eksplisit dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Sejalan dengan itu masalah keadilan dan hak–hak asasi manusia khususnya terhadap anak dalam kaitannya penegakan hukum pidana di Indonesia memang bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat menunjukkan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, padahal sudah sangat jelas hal-hal tersebut haruslah diwujudkan 12 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa kesalahan Cetakan III, Jakarta, Kencana,2008, Hal. 1 75 sesuai dengan amanat dalam Pancasila, sebagai falsafah hidup Bangsa Indonesia. Karena itu, hadirnya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah salah satu langkah yang tepat untuk mereformasi hukum di Indonesia. Sebab, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak secara umum menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Jadi secara hukum, dengan adanya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, maka para pelaku kekerasan seksual akan mendapat balasan yang cukup setimpal dan menjadi cara yang efektif untuk mencegah munculnya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Namun, sangat disayangkan selama 10 (sepuluh) tahun terakhir ini, praktik di lapangan dalam hal penerapan sanksi pidananya masih sangat jauh dari harapan banyak pihak terutama adalah anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut. Hal ini disebabkan karena para aparat hukum masih belum memiliki satu visi, misi dan pandangan yang sama dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Perbedaan pandangan itu misalnya saja, seringkali para Jaksa Penuntut Umum tidak menggunakan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak untuk mengadili para pelaku kekerasan seksual terhadap anak di pengadilan, dimana menurut Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan/ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian 76 kebohongan/membujuk anak untuk melakukan/membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun, dan denda paling banyak Rp 300 juta dan paling sedikit Rp 60 juta (enam puluh juta rupiah)”. Akan tetapi faktanya dalam praktek yang dilaksanakan selama ini, para Jaksa Penuntut Umum justru lebih memilih pasal 292 juncto pasal 64 KUHP soal pencabulan dengan tuntutan maksimal 5 tahun penjara. Hal ini adalah merupakan suatu bentuk kekeliruan dan menerapkan ketentuan tindak pidana. Akibatnya, efek jera yang diharapkan sama sekali tidak terwujud dalam menanggulangi kasus kekerasan seksual terhadap anak itu. Disamping itu, adanya Azas Legalitas yang berlaku diseluruh jenis tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana tidak terkecuali kekerasan seksual terhadap anak. Padahal, konsekuensinya dalam hal ini adalah penentuan bentuk dan lamanya pidana diluar dari yang ditetapkan undang-undang, tentunya telah melanggar asas legalitas itu sendiri yang selama ini didambakan oleh para pelaku kejahatan di Indonesia. Dalam hal ini, fungsi kesalahan dalam menentukan “dipidananya pembuat” (kekerasan seksual terhadap anak), dibatasi oleh asas legalitas itu sendiri. Dengan kata lain, kesalahan yang ditempatkan dalam konteks ketentuan undang-undang mengenai bentuk dan jumlah pidana, hanya mempunyai arti jika sistem perumusannya membuka kemungkinan bersifat “discretionary”. Artinya, dapat dicelananya para pelaku kekerasan seksual terhadap anak merupakan pengertian penilaian berdasar aturan perundang-undangan yang ada saat ini. Dalam melakukan penilaian tersebut, para Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara kekerasan seksual biasanya pertama-tama dibatasi oleh undang-undang. Konsekuensi atas “dapat 77 dicelanya” pelaku kekerasan seksual terhadap anak juga ditentukan berdasarkan ketentuan undang-undang. Pidana dan pemidanaan merupakan “wujud celaan” yang ditentukan oleh undang-undang bagi pembuat tindak pidana selama ini, akibat hal dan ketentuan ini memberikan indikasi bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak kunjung tuntas dalam hal penyelesaiannya di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Buktinya, kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini karena belum adanya ketentuan yang merumuskan mengenai tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak secara jelas dan tuntas di Indonesia. Dengan berbagai motif, para pelaku kejahatan ini berkembang dan semakin berani melakukan aksi-aksinya. Adanya dorongan dari faktor dan motif, misalnya motif ekonomi yang memaksa setiap orang-orang Indonesia (pelaku kejahatan) untuk melakukan trafficking (perdagangan orang dan anak), dengan melakukan berbagai bentuk penipuan dengan janji bisa dan/atau akan memberikan pekerjaan kepada anak bahkan ada para pelaku kejahatan yang tega dan terangterangan melakukan penculikan anak. Dan selanjutnya kemudian menjual anak-anak tersebut kepada para pedophil, turis, dan kepada setiap orang (lakilaki) yang menjadi pemesan untuk dijadikan sebagai pemuas nafsu birahi mereka dan dimungkinkan akan terjadi berbagai tindakan-tindakan kekerasan seksual terhadap anak berupa pemaksaan hubungan seksual, dimana yang seharusnya anak tersebut tidak dan belum waktunya untuk melakukan hubungan seksual sebagaimana mestinya. 78 3.2. Kebijakan Penerapan Rumusan Unsur Tindak Pidana Tentang Kesusilaan Dengan Unsur Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di Indonesia Indonesia sebagai Negara Hukum (rechtstaats) yang sedang dan akan semakin berkembang dalam sistem pembaharuan hukumnya, Indonesia dalam menentukan rumusan berbagai pengaturan mengenai tindak pidana sebenarnya telah memiliki berbagai pengaturan mengenai tindak pidana khususnya masalah rumusan dan kategori tindak pidana kesusilaan. Dengan adanya perkembangan teknologi yang demikian pesatnya dewasa ini, seringkali menimbulkan problema baru bagi pembentuk undang-undang (pemerintah) tentang bagaimana caranya melindungi masyarakat khususnya dalam hal ini yaitu anak-anak secara efektif dan efisien terhadap bahaya demoralisasi (penurunan moral) sebagai akibat dari masuknya pandangan dan kebiasaan orang-orang asing mengenai kehidupan seksual di negara masing-masing. Menurut Ismu Gunadi dan Junaedi Efendi13, untuk mengetahui adanya tindak pidana, harus terlebih dahulu dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Rumusan-rumusan tersebut menentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri khas larangan tersebut sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatan saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar. Indonesia sebagai salah satu negara yang turut serta dalam upaya melakukan penegakan hukum diberbagai jenis kejahatan dengan cara menentukan kebijakan perumusan jenis tindak-tindak pidana/kejahatan yang ada dan terjadi dengan menentukan 13 Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana, Jilid 1, Prestasi Pustaka, Cetakan Pertama, Jakarta, 2011, Hal. 44 79 dan merumuskan unsur-unsur tindak pidana itu sendiri dan juga penerapan sanksi hukumnya sesuai jenis tindak pidana tersebut. Dari berbagai Tindak Pidana Kesusilaan yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), yang saat ini masih berlaku ternyata masih memiliki perbedaan dalam merumuskan Unsur Objektif dan Unsur Subjektif Tindak Pidana, antara lain misalnya sebagai berikut : 1. Pasal 285 KUHP Tindak Pidana Perkosaan Dalam kasus perkosaan, unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan tindak pidana perkosaan. Unsur-unsur objektif tersebut jika dirumuskan yaitu sebagai berikut : a) Unsur Objektif yang pertama dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur “barangsiapa”. Kata “barangsiapa” menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana perkosaan tersebut. b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur “dengan kekerasan”. Undang-undang tidak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan “dengan kekerasan”. Bahkan didalam yurisprudensi pun tidak dijumpai adanya suatu putusan kasasi yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk memberikan arti yang setepat-tepatnya bagi kata kekerasan tersebut. c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur “dengan ancaman akan memakai kekerasan”. Tentang apa yang dimaksudkan “dengan ancaman akan memakai kekerasan” itu pun undang-undang ternyata tidak memberikan 80 penjelasannya. d) Unsur Objektif yang keempat dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur “memaksa”. Perbuatan memaksa dapat dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat seseorang wanita menjadi terpaksa bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian memaksa seseorang wanita mengadakan hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita itu adalah wanita itu sendiri. e) Unsur Objektif kelima dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur “seorang wanita”. Perlu diketahui bahwa bagi kejahatan terhadap kesusilaan, KUHP telah menyebutkan adanya berbagai wanita, masing-masing yakni : 1. Wanita yang belum mencapai usia dua belas tahun (Pasal 287 ayat (2) KUHP); 2. Wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun (Pasal 287 ayat (1) KUHP dan Pasal 290 angka 3 KUHP); 3. Wanita yang belum dapat dinikahi (Pasal 288 ayat (1) KUHP); 4. Wanita pada umumnya (Pasal 285 KUHP); f) Unsur Objektif yang keenam dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur “mengadakan hubungan kelamin diluar perkawinan”. Tentang bilamana suatu perbuatan mengadakan hubungan kelamin itu harus dipandang sebagai telah terjadi. Dari hal ini, kiranya sudah cukup jelas bahwa yang dikehendaki oleh undangundang didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP sebenarnya ialah timbulnya akibat dimasukkannya penis pelaku 81 kedalam vagina korban. Atau dengan kata lain, tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP sebenarnya delik materiil, yang baru dapat dipandang sebagai telah selesai dilakukan oleh pelaku, jika akibat tersebut ternyata terjadi. g) Unsur Objektif yang ketujuh dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur “dengan dirinya”. Yang dimaksudkan dengan kata-kata “dengan dirinya” ialah diri orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan telah memaksa korban untuk mengadakan hubungan kelamin diluar perkawinan14. Sementara itu, mengenai Unsur Subjektifnya tidak ditentukan dengan jelas dalam undang-undang ini karena undang-undang (KUHP) tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan perbuatan yang dilarang di dalam Pasal 285 KUHP tersebut. 2. Pasal 286 KUHP Tindak Pidana Mengadakan Hubungan Kelamin Dengan Wanita Yang Sedang Berada Dalam Keadaan Pingsan atau Tidak Berdaya Dalam kasus Tindak Pidana Mengadakan Hubungan Kelamin dengan Wanita yang Sedang Berada dalam Keadaan Pingsan atau Tidak Berdaya, unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan tindak pidana ini, unsur-unsur objektif yang dipenuhi jika dirumuskan yaitu sebagai berikut : a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 286 KUHP ialah unsur “barangsiapa”. Kata “barangsiapa” ini menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsure dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 286 KUHP, maka ia 14 P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Ibid,……. Hal. 105 82 dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. Akan tetapi, bukan tidak mungkin dapat terjadi bahwa tindak pidana dalam Pasal 286 KUHP terlibat beberapa orang. b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 286 KUHP ialah unsur “mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan”. Hal ini berarti tidak ada hubungan suami isteri sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Untuk terpenuhinya unsur mengadakan hubungan kelamin diluar pernikahan tidak disyaratkan terjadinya ejaculation seminis (ejakulasi seksual), melainkan cukup jika pelaku telah memasukkan penisnya kedalam vagina korban. c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 286 KUHP ialah “wanita yang sedang berada dalam keadaan pingsan atau sedang berada dalam keadaan tidak berdaya”. Dalam hal ini, “wanita” yang dimaksudkan ialah wanita pada umumnya, “dalam keadaan pingsan” ialah berada dalam keadaan tidak sadar sepenuhnya. Sedangkan ”dalam keadaan tidak berdaya” ialah berada dalam keadaan tidak berdaya secara fisik, yang membuat wanita tersebut tidak berdaya untuk memberikan perlawanan. Unsur Subjektif dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 286 KUHP ialah “yang diketahui” atau unsur van wie hij weet. Dalam arti pengetahuan pelaku tentang keadaan korban harus dibuktikan di pengadilan, jika tidak maka hakim akan memberikan putusan bebas kepada pelaku kejahatan ini. 3. Pasal 287 KUHP Tindak Pidana Mengadakan Hubungan Kelamin Di Luar Pernikahan Dengan Seseorang Wanita Yang Belum Mencapai 83 Usia Lima Belas Tahun atau Belum Dapat Dinikahi Dalam kasus Tindak Pidana Mengadakan Hubungan Kelamin di Luar Pernikahan dengan Seseorang Wanita yang Belum Mencapai Usia Lima Belas Tahun atau Belum Dapat Dinikahi, unsur Objektif yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut : a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP ialah unsur “barangsiapa”. Kata “barangsiapa” menunjukkan pria, yang apabila pria tersebut memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP ialah unsur “mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan”. Untuk terpenuhinya unsure ini oleh pelaku, tidaklah cukup jika hanya terjadi persinggungan diluar antara alat kelamin pelaku dengan alamat kelamin korban, melainkan harus terjadi persatuan antara alat kelamin pelaku dengan alat kelamin korban, tetapi tidak disyaratkan keharusan terjadinya ejaculation seminis. c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP ialah unsur “wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun atau belum dapat dinikahi”. Hal ini berarti bahwa seorang wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun haruslah dianggap sebagai anak-anak karena adanya penentuan usia seorang wanita untuk diizinkan untuk menikah menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu pihak lakilaki harus telah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah 84 mencapai usia 16 tahun. Sementara itu, mengenai Unsur Subjektifnya ialah “yang ia ketahui” dan “yang sepantasnya harus ia duga”. Hal ini berarti kedua unsur ini harus secara bersama-sama terjadi (proparte dolus dan pro parte culpa) dalam rumusannya. 4. Pasal 288 KUHP Tindak Pidana Mengadakan Hubungan Kelamin Dalam Pernikahan dengan Seseorang Wanita yang Belum Dapat Dinikahi Dalam kasus Tindak Pidana Mengadakan Hubungan Kelamin Dalam Pernikahan dengan Seseorang Wanita yang Belum Dapat Dinikahi, unsur Objektif yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut : a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 288 ayat (1) KUHP ialah unsur “barangsiapa”. Kata “barangsiapa” menunjukkan pria, yang apabila pria tersebut terbukti memenuhi unsur dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 288 ayat (1) KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 288 ayat (1) KUHP ialah unsur “mengadakan hubungan kelamin dalam pernikahan”. Dalam hal ini, undang-undang mensyaratkan bahwa hubungan kelamin antara pelaku dengan korban itu harus di dalam pernikahan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Perkawinan. c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 288 ayat (1) KUHP ialah unsur “wanita yang belum dapat dinikahi”. Dalam Pasal yang tercantum dalam undang-undang ini, tentang wanita mana yang dapat dipandang sebagai wanita yang belum dapat dinikahi, 85 ternyata tidak memberikan penjelasannya. Akan tetapi, tidak salah jika orang memasukkan wanita-wanita yang belum mencapai usia dua belas tahun kedalam pengertian wanita-wanita yang belum dapat dinikahi. d) Unsur Objektif yang keempat dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 288 ayat (1) KUHP ialah unsur “menimbulkan luka pada tubuh”. Dari unsur ini, orang dapat mengetahui, bahwa pelaku dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 288 ayat (1) KUHP itu hanya dapat dituntut dan dipidana, jika perbuatannya mengadakan hubungan kelamin dalam pernikahan dengan seorang wanita yang belum dapat dinikahi itu ternyata telah menimbulkan luka pada tubuh wanita tersebut. Adapun mengenai Unsur Subjektif dalam tindak pidana ini ialah unsur “yang ia ketahui” dan unsur “sepantasnya harus ia duga”. Dari kata-kata “yang ia ketahui”, orang dapat mengetahui bahwa undang-undang telah mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku, yang ditujukan pada keadaan korban yakni bahwa korban tersebut merupakan seorang wanita yang belum dapat dinikahi. Sementara itu, unsur “sepantasnya harus ia duga”, orang dapat mengetahui bahwa undang-undang disamping mensyaratkan keharusan adanya unsur dolus seperti yang dimaksudkan diatas, ternyata juga mensyaratkan keharusan adanya unsur culpa pada diri pelaku yang ditujukan pada keadaan korban yakni bahwa korban tersebut merupakan seorang wanita yang belum dapat dinikahi. 5. Pasal 289 KUHP Tindak Pidana dengan Kekerasan atau Dengan Ancaman Akan Memakai Kekerasan Memaksa Seseorang Untuk Melakukan atau Membiarkan Dilakukannya Tindakan-Tindakan Melanggar Kesusilaan 86 Dalam kasus Tindak Pidana dengan Kekerasan atau dengan Ancaman Akan Memakai Kekerasan Memaksa Seseorang untuk Melakukan atau Membiarkan Dilakukannya Tindakan-Tindakan Melanggar Kesusilaan, Unsur Objektif yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut : a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 289 KUHP ialah unsur “barangsiapa”. Kata “barangsiapa” itu menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 289 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana tersebut. b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 289 KUHP ialah unsur “dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan”. Tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan kekerasan dan dengan ancaman akan memakai kekerasan, undang-undang ternyata tidak memberikan penjelasannya. c) Unsur Objektif yang ketiga ialah unsur “memaksa seseorang”. Pemaksaan itu harus ditujukan secara langsung pada orang yang dipaksa untuk melakukan perbuatan yang sifatnya melanggar kesusilaan atau pada orang yang dipaksa untuk membiarkan dilakukannya perbuatan melanggar kesusilaan oleh pelaku. d) Unsur Objektif yang keempat dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 289 KUHP ialah unsur “melakukan tindakan yang sifatnya melanggar kesusilaan”. Dalam hal ini, undang-undang ternyata tidak memberikan penjelasannya mengenai “melakukan tindakan yang sifatnya melanggar kesusilaan” tersebut. e) Unsur Objektif yang kelima dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 87 289 KUHP ialah unsur “membiarkan dilakukannya tindakan yang sifatnya melanggar kesusilaan”. Dalam hal ini juga, dalam ketentuan Pasal 289 KUHP ini juga tidak memberikan penjelasannya. Mengenai Unsur Subjektifnya, ternyata juga tidak ada sama sekali diberikan penjelasan dalam Pasal 289 KUHP tersebut. Akan tetapi, tidak akan mungkin adan unsur memaksa jika tidak ada kesengajaan dari pelaku dalam tindak pidana ini. 6. Pasal 290 KUHP Tindak Pidana Melakukan Tindakan Melanggar Kesusilaan Dengan Orang yang Berada Dalam Keadaan Pingsan, Dalam Keadaan Tidak Berdaya atau Belum Mencapai Usia Lima Belas Tahun Dalam kasus Tindak Pidana Melakukan Tindakan Melanggar Kesusilaan dengan Orang yang Berada dalam Keadaan Pingsan, dalam Keadaan Tidak Berdaya atau Belum Mencapai Usia Lima Belas Tahun, Unsur Objektif yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut : a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 290 KUHP ialah unsur “barangsiapa”. Kata “barangsiapa”, itu menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 290 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana tersebut. b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 290 KUHP ialah unsur “melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan”. Hal ini berarti bahwa tindakan yang sifatnya melanggar kesusilaan dengan seseorang yang sedang berada dalam keadaan pingsan atau sedang berada dalam keadaan tidak berdaya. c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana ini ialah unsur ”orang yang belum mencapai usia lima belas tahun atau belum dapat dinikahi”. 88 Berarti unsur ini menekankan kepada usia anak-anak dan belum layak untuk dinikahi sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Perkawinan. Unsur Subjektifnya ialah unsur “kesengajaan” dan unsur “yang sepantasnya harus dapat ia duga”. Sehingga ketentuan unsur pidana didalam doktrin juga sering disebut sebagai suatu ketentuan pidana dengan unsur subjektif yang pro parte dolus dan parte culpa dalam Pasal 290 KUHP tersebut. 7. Pasal 292 KUHP Tindak Pidana Melakukan Perbuatan Melanggar Kesusilaan Dengan Seseorang Anak Di Bawah Umur Dari Jenis Kelamin Yang Sama Dalam kasus Tindak Pidana Melakukan Perbuatan Melanggar Kesusilaan dengan Seseorang Anak di Bawah Umur dari Jenis Kelamin yang sama, Unsur Objektif yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut : a) Unsur Obektif yang pertama dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 292 KUHP ialah unsur “orang dewasa”. Unsur ini cukup jelas bahwa pelaku tidak mungkin masih anak-anak agar ia dapat dipandang sebagai pelaku tindak pidana tersebut. b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 292 KUHP ialah unsur “melakukan tindakan melanggar kesusilaan”. Dalam arti bahwa walaupun disebut sebagai “perbuatan cabul”, akan tetapi lebih dirumuskan kepada “melakukan tindakan melanggar kesusilaan”. Hal ini karena perbuatan yang dilakukan sifatnya lebih terbatas pada perbuatan-perbuatan yang lazim digunakan oleh para Homoseksual saja, yakni dengan melakukan sexual intercources melalui anus atau dubur, melainkan juga perbuatan-perbuatan seperti 89 melakukan sexual intercourse melalui mulut, mempermainkan alat kelamin dengan oral erotisme dan lain-lain sebagainya. c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 292 KUHP ialah unsur ”anak dibawah umur dari jenis kelamin yang sama”. Hal ini berbicara tentang minderjarige yang dapat diartikan sebagai seseorang yang masih berada dibawah umur atau sebagai seseorang yang belum dewasa. Dan juga mengenai jenis kelamin yang sama adalah memiliki kesamaan jenis kelamin antara pelaku dengan korban sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang tersebut. Meskipun perbuatan ini selalu harus dilakukan oleh kedua pihak bersama-sama. Rasio dari pasal ini kiranya ialah kehendak pembentuk undang-undang untuk memperlindungi kepentingan orang yang belum dewasa, yang katanya kesehatannya dengan perbuatan Homoseksual ini akan sangat terganggu, terutama mengenai jiwanya, lain daripada hal cabul atau bersetubuh dengan lelaku dan perempuan. Maka tidaklah dihukum perbuatan cabul homoseksual ini antara orang dewasa15. Sebaiknya perbuatan cabul homoseksual ini dijadikan tindak pidana, tanpa pembatasan. Dalam praktek para jaksa masih ada kesempatan untuk, dalam pristiwa tertentu, tidak melakukan penuntutan apabila dianggap bertentangan dengan kepentingan umum. Untuk unsur subjektifnya ialah unsur “yang ia ketahui” dan unsur “sepantasnya harus dapat ia duga”. Hal ini menunjukkan pengetahuan dan kepantasan pelaku tentang kebelum kedewasaan seorang anak dibawah umur sebagai ketentuan pidana yang mempunyai unsur subjektif pro culpa dolus dan pro 15 Wirjono Prodjodikoro, opcit,……….. Hal. 120 90 parte culpa dengan siapa pelaku telah melakukan tindakan tersebut. 8. Pasal 293 KUHP Tindak Pidana Dengan Sengaja Menggerakkan Anak Di Bawah Umur Untuk Melakukan Tindakan Melanggar Kesusilaan Dengan Dirinya atau Membiarkan Dilakukannya Tindak Pidana Seperti Itu Dengan Dirinya Dalam kasus Tindak Pidana dengan sengaja Menggerakkan Anak di Bawah Umur untuk Melakukan Tindakan Melanggar Kesusilaan dengan Dirinya atau Membiarkan Dilakukannya Tindak Pidana seperti itu dengan Dirinya, Unsur Objektif yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut : a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang dimaksudkan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 293 KUHP ayat (1) KUHP ialah Unsur “barangsiapa”. Kata “barangsiapa” menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana seperti yang dimaksudkan didalam ketentuan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. b) Unsur Objek yang kedua dari tindak pidana yang dimaksudkan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP ialah unsur “dengan pemberian-pemberian atau janji-janji akan memberikan uang atau benda”. Walaupun undang-undang telah memakai kata-kata pemberian-pemberian atau janji-janji, tetapi dengan adanya suatu pemberian atau suatu janji, sudahlah cukup untuk menyatakan pelaku terbukti telah memenuhi unsur objektif kedua ini, asalkan yang diberikan atau yang dijanjikan adalah uang atau benda. c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang dimaksudkan ketentuan pidana Pasal 293 ayat (1) KUHP ialah unsur “dengan menyalahgunakan kelebihan yang timbul dari hubungan-hubungan 91 yang ada“. Dalam hal ini, undang-undang tidak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan kata-kata dengan menyalahgunakan kelebihan yang timbul dari hubungan-hubungan yang ada. d) Unsur Objektif yang keempat dari tindak pidana yang dimaksudkan ketentuan pidana Pasal 293 ayat (1) KUHP ialah unsur “dengan cara menyesatkan”. Yang dimaksudkan “dengan kata-kata menyesatkan“ ialah membuat seseorang menjadi mempunyai suatu kesalahpahaman. Dalam hal ini, karena anak yang belum dewasa itu mempunyai kesalahpahaman mengenai sesuatu, ia bersedia melakukan sesuatu atau membiarkan dilakukannya sesuatu, dimana sesungguhnya itu merupakan suatu tindakan yang sifatnya melanggar kesusilaan. e) Unsur Objektif yang kelima dari tindak pidana yang dimaksudkan ketentuan pidana “menggerakkan“. Pasal Yang 293 ayat (1) KUHP dimaksud “menggerakkan“ ialah ialah unsur dengan memakai upaya-upaya tertentu yang telah disebutkan secara limitative didalamnya, membuat seseorang yang belum dewasa dan tidak cacat kelakuannya bersedia melakukan suatu tindakan melanggar kesusilaan dengan orang yang telah menggerakkan dirinya atau bersedia membiarkan dilakukannya suatu tindakan melanggar kesusilaan pada dirinya oleh orang yang telah menggerakkan dirinya. f) Unsur Objektif yang keenam dari tindak pidana yang dimaksudkan ketentuan Pasal 293 ayat (1) KUHP ialah unsur “seseorang yang belum dewasa yang tidak cacat kelakuannya”. Karena tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 293 92 ayat (1) KUHP ialah merupakan opzettelijk misdrijf atau suatu kejahatan yang harus dilakukan dengan sengaja, dengan sendirinya pelaku pun wajib mengetahui bahwa kelakuan orang tersebut sebenarnya cacat dan belum dewasa. g) Unsur Objektif yang ketujuh dari tindak pidana yang dimaksudkan ketentuan pidana Pasal 293 ayat (1) KUHP ialah unsur “melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan dirinya atau unsur membiarkan dilakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan dirinya”. Didalam ketentuannya, undang-undang menentukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP sebagai absolute klachtdelict atau suatu delik aduan absolut, hingga pelaku tindak pidana yang diatur dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari orang yang oleh pelaku telah digerakkan untuk melakukan atau untuk membiarkan dilakukannya sesuatu tindakan melanggar kesusilaan dengan pelaku. Unsur Subjektif tindak pidana yang dimaksudkan ketentuan pidana Pasal 293 ayat (1) KUHP mempunyai 2 (dua) macam unsur subjektif, masing-masing yakni unsur ”yang ia ketahui” yang menunjukkan bahwa undang-undang telah mensyaratkan tentang keharusan adanya unsur dolus atau unsur opzet atau unsur kesengajaan pada pelaku dan unsur “yang sepantasnya harus diduga” yang menunjukkan bahwa disamping unsur dolus, opzet atau kesengajaan, undang-undang juga mensyaratkan tentang keharusan adanya unsur culpa atau unsur schuld ataupun unsur ketidaksengajaan pada pelaku. 9. Pasal 294 KUHP Tindak Pidana Melakukan Tindakan Melanggar Kesusilaan Dengan Anaknya Sendiri, Dengan Anak Tirinya, Dengan Anak Angkatnya, Dan Lain-Lain Yang Masih Di Bawah Umur 93 Dalam kasus Tindak Pidana Melakukan Tindakan Melanggar Kesusilaan dengan Anaknya Sendiri, dengan Anak Tirinya, dengan Anak Angkatnya, dan Lain-Lain yang Masih di Bawah Umur, Unsur Objektif yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut : a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang dimaksudkan dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP ialah unsur “barangsiapa”. Kata “barangsiapa” menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatur didalam Pasal 294 ayat (1) KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang dimaksudkan dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP ialah unsur “melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan”. Unsur ini menitikberatkan pada tindakan-tindakan yang berkenaan dengan kehidupan seksual, yang dilakukan dengan maksud-maksud untuk mendapatkan kenikmatan secara bertentangan dengan pandangan umum dan kesusilaan. c) Unsur objektif yang ketiga dari tindak pidana yang dimaksudkan dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP ialah unsur “anaknya sendiri, anak tiri, anak asuh atau anak angkat yang belum dewasa yang pengurusannya, pendidikannya atau penjagaannya telah dipercayakan dengan pelaku”. Unsur ini cukup jelas dan tegas dan disebutkan dengan ketentuan fokus hanya pada anak-anak. d) Unsur Objektif yang keempat ialah unsur “unsur pembantu atau 94 seorang bawahan yang belum dewasa”. Kata pembantu berasal dari kata “bediende” (belanda), yang artinya pelayan atau pesuruh, sehingga termasuk pula kedalam pengertiannya yakni pembantu rumah tangga, pelayan took, pesuruh kantor, dal lain-lain. Sedangkan kata bawahan itu berasal dari kata ondergeschikte yang artinya orang yang membawah, sehingga dapat dimaksudkan kedalam pengertiannya antara lain pekerja, buruh, karyawan, pegawai dan lain-lain. Unsur Objektif yang terdapat dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP sama halnya dengan tindak pidana yang dimaksudkan dalam ketentuan pidana Pasal 294 ayat (2) KUHP, hanya terdiri atas unsur-unsur objektif antara lain : a) Unsur objektif yang pertama dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan Pasal 294 ayat (1) KUHP ialah unsur “ambtenaar atau pegawai negeri”. b) Unsur objektif yang kedua dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan Pasal 294 ayat (2) ialah unsur “ontucht plegen atau unsur melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan”. Unsur ini menitikberatkan pada hubungan kelamin diluar pernikahan yang mengakibatkan melanggar kesusilaan. c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang dimaksudkan didalam ketentuan Pasal 294 ayat (2) ialah unsur “orang yang menurut jabatan merupakan seorang bawahan pelaku atau orang yang penjagaannya telah dipercayakan atau diserahkan kepada pelaku”. Perlu diperhatikan bahwa undang-undang telah mensyaratkan sebagai unsur objektif ketiga antara lain bahwa orang dengan siapa pegawai negeri itu melakukan tindakan melanggar kesusilaan haruslah 95 merupakan orang yang menurut jabatan harus bawahan pelaku, dan bukan orang yang menurut kepangkatan merupakan bawahan dari pelaku. Sementara itu unsur subjektif yang harus dipenuhi dalam ketentuan Pasal 294 ayat (1) dan ayat (2) tidak ada sama sekali diatur mengenai rumusan unsur dalam ketentuannya. 10. Pasal 295 KUHP Tindak Pidana Dengan Sengaja Menyebabkan Atau Memudahkan Dilakukannya Tindakan Melanggar Kesusilaan Dengan Orang Ketiga oleh Anaknya Sendiri, Anak Tirinya, Anak Angkatnya, Atau Anak Yang Diurusnya Yang Belum Dewasa Dalam kasus Tindak Pidana Dengan Sengaja Menyebabkan Atau Memudahkan Dilakukannya Tindakan Melanggar Kesusilaan Dengan Orang Ketiga oleh Anaknya Sendiri, Anak Tirinya, Anak Angkatnya, Atau Anak Yang Diurusnya Yang Belum Dewasa, Unsur Objektif yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut : a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 295 ayat (1) angka (1) KUHP ialah unsur “barangsiapa”. Kata “barangsiapa” menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatur didalam Pasal 295 ayat (1) angka (1) KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 295 ayat (1) angka (1) KUHP ialah unsur “menyebabkan atau menggerakkan dan memudahkan, memungkinkan atau memberikan kesempatan”. Menyebabkan atau menggerakkan bahasa belandanya adalah Teweeg Brengen yang artinya berkenaan dengan perbuatan 96 menggerakkan dilakukannya suatu tindakan melanggar kesusilaan. Sedangkan dalam bahasa belandanya memudahkan, memungkinkan atau memberikan kesempatan diartikan sebagai Bevorderen yaitu berkenaan dengan pelaksanaan dari rencana untuk melakukan suatu tindakan melanggar kesusilaan oleh orang ketiga atau oleh seseorang yang belum dewasa. c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 295 ayat (1) angka (1) KUHP ialah unsur “dilakukannya tindakan- tindakan melanggar kesusilaan”. Dari kata dilakukannya itu orang dapat mengetahui bahwa tindakan-tindakan melanggar kesusilaan itu harus dilakukan oleh orang lain, dan bukan oleh pelaku sendiri. Dan yang dimaksud dengan melanggar kesusilaan ialah setiap tindakan yang melanggar kesusilaan, termasuk perbuatan melakukan hubungan kelamin di luar pernikahan. d) Unsur Objektif yang keempat dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 295 ayat (1) angka (1) KUHP ialah unsur “orang ketiga”. Undangundang tidak menjelaskan tentang siapa yang harus dipandang sebagai orang ketiga, bahkan tidak menentukan bahwa orang ketiga itu harus merupakan orang dari jenis kelamin tertentu dan apakah orang ketiga tersebut merupakan orang dewasa atau orang yang belum dewasa, sehingga dapat dimasukkan dalam pengertiannya yakni baik pria maupun wanita, baik orang dewasa maupun orang yang belum dewasa. e) Unsur Objektif yang kelima dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 295 ayat (1) angka (1) KUHP ialah unsur “anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak asuhnya, pembantunya, bawahannya yang belum 97 dewasa atau seseorang yang belum dewasa yang pengurusan, pendidikan, atau pengawasannya telah diserahkan kepada pelaku”. Dalam hal ini, undang-undang tidak menjelaskan tentang batas usia anak atau orang yang dimaksudkan di dalam ketentuan Pasal 295 ayat (1) angka (1) KUHP, agar mereka disebut sebagai seorang anak atau seseorang yang belum dewasa. Adapun Unsur Subjektif Pasal 295 ayat (1) angka (1) KUHP ialah unsur “dengan sengaja”. Unsur “dengan sengaja” berkaitan dengan kesengajaan pelaku dalam melakukan perbuatannya. Sementara itu, Unsur Objektif yang terdapat dalam Pasal 295 ayat (1) angka (1) KUHP sama halnya dengan tindak pidana yang dimaksudkan dalam ketentuan pidana Pasal 295 ayat (2) angka (2) KUHP, hanya terdiri atas unsurunsur objektif antara lain : a) Unsur Objektif yang pertama dari tindak pidana yang dimaksudkan didalam ketentuan Pasal 295 ayat (2) angka (2) KUHP ialah unsur “barangsiapa”. Kata “barangsiapa” menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatur didalam Pasal 295 ayat (1) angka (2) KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. b) Unsur Objektif yang kedua dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan Pasal 295 ayat (1) angka (2) KUHP ialah unsur “menyebabkan dan atau memudahkan”. Arti “menyebabkan“ artinya berkenaan dengan perbuatan menggerakkan dilakukannya suatu tindakan melanggar kesusilaan dengan orang lain. Sedangkan 98 “memudahkan” berkenaan dengan pelaksanaan dari rencana untuk melakukan suatu tindakan melanggar kesusilaan oleh orang ketiga atau oleh seseorang yang belum dewasa. c) Unsur Objektif yang ketiga dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan Pasal 295 ayat (1) angka (2) KUHP ialah unsur “diberlakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan”. Maksudnya yaitu berkaitan dengan segala tindakan melanggar kesusilaan termasuk tindakan melakukan hubungan kelamin di luar pernikahan. d) Unsur Objektif yang keempat dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan Pasal 295 ayat (1) angka (2) KUHP ialah unsur “dengan pihak ketiga”. Kata-kata “dengan pihak ketiga”, menunjukkan bahwa yang dilakukan oleh pelaku itu harus ditujukan untuk menyebabkan atau untuk memudahkan dilakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan oleh seseorang yang belum dewasa dengan orang lain, dan bukan dengan dirinya sendiri. e) Unsur Objektif yang kelima dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan Pasal 295 ayat (1) angka (2) KUHP ialah unsur “seseorang yang belum dewasa”. Yang dimaksudkan dengan “seseorang yang belum dewasa” dalam hal ini ialah orang-orang belum dewasa yang bukan merupakan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak asuhnya, pembantunya, bawahannya atau seseorang yang pengurusan, pendidikan dan penjagaannya telah diserahkan kepada pelaku. f) Unsur objektif yang keenam dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan Pasal 295 ayat (1) angka (2) KUHP ialah unsur 99 “kebelumdewasaan”. Mengenai “kebelumdewasaan” orang tersebut harus diketahui atau setidak-tidaknya harus dapat diduga oleh pelaku dalam menggerakkan dan memudahkan tindakan melanggar kesusilaan dengan orang ketiga. Sedangkan mengenai unsur subjektif yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 295 ayat (1) angka (2) KUHP ialah unsur “dengan sengaja” yang meliputi unsur menyebabkan dan unsur memudahkan dalam bentuk kehendak, maksud dan niat pelaku untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut serta unsur “yang ia ketahui atau sepantasnya harus ia duga” hanya meliputi kebelumdewasaan dari orang yang telah ia gerakkan atau telah ia mudahkan untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan orang ketiga. Jika diperhatikan, dari berbagai rumusan unsur-unsur tindak pidana yang diterapkan selama ini oleh para aparat penegak hukum di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang diungkapkan diatas, ternyata jika diperhatikan secara seksama, unsur tindak pidana kekerasan seksual khususnya terhadap kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia seringkali dicampur adukkan dengan unsur-unsur tindak pidana yang terdapat di Kitab Undang Undang Hukum Pidana tersebut. Padahal, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dengan adanya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Indonesia, seharusnya penerapan rumusan unsurunsur tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak seharusnya diatur dengan baik dan sedemikian rupa sesuai dengan kebijakan hukum pidana Indonesia. 100 Hal ini dimaksudkan karena Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat lebih baru dan juga merupakan peraturan perundang-undangan yang lebih khusus/spesialis (Lex Specialis) dibandingkan dengan Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Untuk lebih jelasnya, Simons dalam buku karangan Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, menyebutkan adanya Unsur Objektif dan Unsur Subjektif dari tindak pidana (strafbaar feit). Unsur Objektif antara lain : perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “di muka umum”. Sedangkan Unsur Subjektif : orang yang mampu bertanggung jawab, adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan keadaan dimana perbuatan itu dilakukan16. Disamping itu juga, bahwa dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang melakukan perbuatan pidana adalah norma tertulis dengan kata lain tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Jadi mengenai criminal responsibility atau criminal liability. Sebagaimana diketahui, bahwa jika dikaitakan dengan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, pembuat undang-undang, hingga saat ini belum sepenuhnya memberikan batasan-batasan seutuhnya dan kongkrit mengenai unsur-unsur kekerasan seksual terhadap anak. Hal ini menjadi suatu 16 Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Ibid,……….. Hal. 45 101 perbandingan mendasar dalam penerapan kebijakan hukum pidana Indonesia dalam merumuskan unsur tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia guna memberikan suatu penegakan hukum pidana secara tuntas dalam menanggulangi kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Jika dikaitkan kekerasan seksual terhadap anak cukup kompleks unsur tindak pidananya, dimana kekerasan seksual terhadap anak lebih menjurus dan fokus kepada kebiasaan seseorang dalam melakukan hubungan kelamin dengan cara-cara kekerasan/penganiayaan sebelum dan sesudah dilakukannya hubungan kelamin (seksual) oleh para pelaku dan yang menjadi objek pasangan melakukan hubungan seks/kelamin (partners) pelaku adalah seseorang yang masih dikategorikan usia anak-anak. Disisi lain, sebagaimana disebutkan bahwa mengenai dilarang atau diancamnya suatu perbuatan, yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, mengenai criminal act, juga ada dasar pokok, yaitu : asas legalitas (principle og legality), yang mana azas ini menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya dikenal dalam bahasa Latin sebagai Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu)17. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun kekerasan seksual sudah ada tercantum dalam undang-undang, akan tetapi mengenai rumusan unsur tindak pidana masih bias (tidak terarah) dibandingkan Tindak Pidana Perkosaan dan Kejahatan Kesusilaan lainnya. 17 Moeljantno, Opcit,……… Hal. 23 102 3.3. Penerapan Sanksi Hukum Pidana Bagi Para Pelaku Kekerasan Seksual Sebagai Perlindungan Bagi Anak Korban Kekerasan Seksual Melalui Kebijakan Hukum Pidana Indonesia Indonesia sebagai salah satu negara berdasarkan hukum, tentunya memiliki kebijakan politik dalam melaksanakan peraturan perundang- undangan, usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dengan cara hukum pidana adalah dengan melaksanakan penerapan sanksi hukum pidana bagi para pelaku kejahatan (kekerasan seksual terhadap anak) di Indonesia. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Disamping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (sosial welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (sosial policy). Kebijakan sosial (sosial policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup 103 perlindungan masyarakat akan kejahatan. Menurut Barda Nawawi Arief18, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijaka kriminal, dan kebijakan penegakan hukum). Kekerasan seksual terhadap anak adalah suatu kejahatan yang memerlukan pembaharuan dalam hukum pidana. Pengertiaan pemidanaan bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara kongkret, sehingga seseorang pelaku kekerasan seksual terhadap anak dijatuhi sanksi (hukum pidana) yang berkaitan dengan : 1) Jumlah atau lamanya ancaman pidana; 2) Peringanan dan pemberatan pidana; 3) Sistem perumusan dan penerapan pidana; Disamping itu juga, seharusnya anak yang menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia harus mendapatkan perlindungan hukum yaitu : 1) Perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual (berarti perlindungan Hak Asasi Manusia atau kepentingan hukum seseorang termasuk anak); 18 Barda Nawawi Arief,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Cetakan II, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, Hal. 28 104 2) Perlindungan hukum untuk memperoleh jaminan dan santunan hukum atas penderitaan atau kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana (jadi identik dengan penyantunan anak yang menjadi korban kekerasan seksual). Bentuk penyatunan ini dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan pemulihan batin (antara lain dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (retritusi, kompensasi, jaminan atau santunan kesejahteraan sosial) atau lain sebagainya; Disamping Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Indonesia saat ini sebenarnya masih banyak memiliki berbagai instrument-instrument peraturan perundang- undangan yang menjadi bahan dan kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan (kekerasan seksual terhadap anak) di Indonesia. Adapun Instrument-instrument tersebut yaitu sebagai berikut : 1. Instrument Internasional 1. Universal Declaration Of Human Rihgts (Deklarasi Universal Hak–Hak Asasi Manusia atau DUHAM yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam Pasal 16 Ayat (3) DUHAM dinyatakan bahwa keluarga adalah kesatuan alamiah dan mendasar dari masyarakat dan berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan Negara.Hal ini sangat erat sekali kaitannya dengan anak karena anak bagian dari keluarga, memerlukan perlindungan dan pemeliharaan khusus dan setiap anak masih sangat tergantung hidupnya pada bantuan dan pertolongan orang dewasa, terutama orang tua anak tersebut. Apalagi dalam 105 pemenuhan haknya, seorang anak tidak lah dapat melakukanya sendiri karena kemampuan dan pengalaman anak tersebut masih sangat terbatas.Dengan demikian perlindungan hukum terhadap anak adalah tugas orang dewasa dan hal tersebut telah diatur dalam DUHAM yang merupakan instrument internasional yang bersifat universal. 2. The Convention on The Elimination of All Forms Discrimination Againts Woman (CEDAW), diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa– Bangsa (PBB) pada tanggal 19 Desember 1979 dan mulai berlaku sebagai suatu treaty pada tanggal 13 Desember 1981. Kemudian dilakukan ratifikasi oleh Negara Indonesia melalui Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1984, yang secara spesifik mengatur segala aspek kehidupan perempuan, termasuk anak yang bebas diskriminasi dalam bidang pendidikan, kesehatan, hukum, ekonomi, sosial, politik dan budaya, dan perlindungan dari setiap kekerasan. Convention of The Rights of The Child, diadopsi oleh Perserikatan Bangsa–Bangsa (PBB) pada tahun 1989 dan kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child, (Konvensi Hak–Hak Anak ) pada tanggal 25 Agustus 1990, yang mengatur hak–hak asasi anak sebagai bagian masyarakat manusia, termasuk kepada perlindungan terhadap anak dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Secara garis besar Konvensi Hak–Hak Anak yang terdiri dari 45 Pasal dapat dikategorikan dalam 4 bagian besar yaitu : a) Hak Atas Kelangsungan Hidup. Hak ini meliputi hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan stadart tinggi, imunisasi 106 terhadap berbagai penyakit yang menimbulkan kematian adalah salah satu perwujudan dari hak ini. b) Hak Atas Perlindungan Termasuk dalam hak ini adalah perlindungan terhadap adanya diskriminasi, kekerasan, pengabdian dan eksploitasi selain itu juga perhatian ditujukan kepada pemberian perlindungan terhadap anak tanpa keluarga dan juga terhadap anak pengungsi. c) Hak Untuk Dapat Berkembang. Hak perkembangan anak ini mencakup semua segi dalam kehidupannya baik itu segi fisik, mental dan social budaya yang harus disesuaikan dengan perkembangan usianya. d) Hak Anak untuk berpartisipasi. Anak memiliki sudut pandang sendiri dalam melihat suatu masalah, namun sering kali hal itu tidak diketahui oleh orang dewasa, Konvensi Hak Anak menjamin apabila anak itu mampu, maka ia dapat mengungkapkan pandangannya akan sesuatu hal, ia pun juga dapat menyebarluaskan pandangannya itu19. 3. The United Nations Guidelines for The Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyardh Guidelines) yang terdapat dalam Resolusi Perserikatan Bangsa–Bangsa Nomor 45 / 112 Tanggal 14 Desember 1990, yang terdiri dari 7 (tujuh) bagian berisi 66 butir pedoman tentang “Juvenile Delinquency“ dan “Youth Crimer“ merupakan pedoman melakukan pencegahan tindak pidana anak, mulai dari kebijakan 19 www.legalitas.or.ig 107 pemerintah sampai dengan program–program spesifiknya, termasuk keterlibatan masyarakat didalamnya. 4. The United Nations Standart Minimum Rules for the Administrations Of Juveniles Justice (The Beijing Rules) yang menjadi Resolusi Perserikatan Bangsa–Bangsa (PBB) Nomor 40 / 33 Tanggal 29 November 1985. 5. Peraturan PBB Tentang Perlindungan bagi Remaja yang kehilangan kebebasannya (1990), yang dikenal sebagai “JDL“ yang mengatur mengenai perlindungan dan perlakuan minimum, menyangkut institusi, fasilitas dan petugas, dan masyarakat yang berkaitan, bagi anak dan remaja yang terpaksa dirampas kemerdekaannya. 6. Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power. Deklarasi ini adalah berdasarkan pertimbangan pada Seventh United Nations Congress on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, yang diadakan di Milan–Negara Italia pada tanggal 26 Agustus – 6 September 1985. Dalam deklarasi ini merekomendasikan batasan–batasan yang diambil dalam tingkatan International dan tingkatan Regional untuk meningkatkan akses keadilan dan perawata yang cukup, penggantian kerugian, ganti rugi dan bantuan sosial untuk korban kejahatan, untuk mengguraikan secara singkat langkah–langkah utama yang diambil untuk mencegah Viktimisasi dihubungkan dengan penyalahgunaan kekuasaan untuk menyediakan perbaikan untuk korban dalam perawatan. Disamping itu, disebutkan juga dalam deklarasi ini bahwa yang dimaksud dengan korban adalah orang–orang yang secara individual atau kolektif, telah mengalami penderitaan fisik dan mental, penderitaan emosi, 108 kerugian ekonomis atau pengurangan substansial hak–hak asasi, melalui perbuatan–perbuatan atau pembiaran–pembiaran (omissions) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di negara–negara anggota, yang meliputi juga peraturan hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Instrument Internasional tersebut diatas telah menetapkan seperangkat hak–hak dan kewajiban negara–negara di dunia yang menandatanganinya dan melakukan ratifikasi untuk melakukan perlindungan terhadap anak20. Dengan demikian, Indonesia sebagai salah satu negara yang turut ikut serta telah melakukan proses ratifikasi, terhadap instrument–instrument internasional tersebut memiliki kewajiban untuk mengimplementasikannya, yaitu dengan mengadakan hukum–hukum mengenai hak–hak anak yang berkaitan dengan : 1. Pembentukan hukum atau harmonisasi hukum sesuai dengan norma yang terdapat dalam instrument internasional tersebut; 2. Penegakan hukum mengenai hak–hak anak yang dilaksanakan sebagai fungsionalisasi norma hukum; 3. Melakukan program aksi yang kongkrit yang berkaitan dengan perlindungan hakatas anak; Dari ketiga hal yang saling berkaitan ini, bertujuan dan untuk mencapai suatu kepastian hukum, keadilan hukum dan juga kemamfaatan hukum yang dicita– citakan serta hal ini harus dilakukan karena secara moral, semua negara dituntut untuk menghormati, menegakkan dan melindungi hak-hak asasi setiap anak di seluruh wilayah Indonesia. 20 www.hukumonline.com 109 2. Instrument Nasional Indonesia sebagai Negara Hukum, harus memiliki suatu upaya tindak lanjut mengenai perlindungan hukum terhadap hak–hak anak. Salah satu tindak lanjut pemerintah dalam mengimplementasikan instrument–instrument Internasonal yang berkaitan dengan hak anak, yaitu dengan membentuk peraturan perundang–undangan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hukum atas hak–anak yaitu sebagai berikut : 1) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Dalam undang–undang ini, mengatur mengenai secara spesifik tentang kebutuhan–kebutuhan dasar anak dan yang bertanggung jawab atas pemenuhan dasar tersebut serta kesejahteraan anak, khususnya bagi anak–anak yang mengalami hambatan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi. 2) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Undang–undang ini mengatur tentang perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, khususnya anak–anak yang bermasalah atau melakukan tindak pidana. 3) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana (KUHAP) Dalam undang–undang ini, perlindungan hukum terhadap anak lebih identik dengan perlindungan terhadap orang yang melakukan tindak pidana. Mengenai jaminan perlindungan anak yang tersangkut tindak pidana terdapat dalam ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP yaitu berkaitan dengan kedudukan seorang anak sebagai tersangka atau terdakwa. 110 4) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang–undang ini mengatur mengenai perlindungan hukum yang diberikan terhadap anak berupa hukuman bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual yang terdapat didalam beberapa pasal dalam BAB XIV Tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, yaitu terdapat dalam ketentuan Pasal 285 sampai dengan Pasal 294 KUHP. Sedangkan mengenai jaminan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana, tidak diatur dalam suatu BAB tersendiri apalagi untuk anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Kedudukan seorang yang menjadi yang menjadi korban tindak pidana dalam proses peradilan adalah hanya sebagai saksi. Jadi perlindungan terhadap korban dapat dilihat secara eksplisit didalam ketentuan Pasal 98, Pasal 117 Ayat ( 1 ), Pasal 118, Pasal 166, Pasal 171 Huruf ( a ), Pasal 178 dan Pasal 229. 5) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Dalam undang–undang ini, perlindungan hukum terhadap anak mencakup segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak–haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan termasuk hak yang bersifat umum yaitu diatur dalam Pasal 58 dan Pasal 59 Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. 6) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam undang-undang ini, terdiri atas 10 BAB dan 56 Pasal yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia pada tanggal 111 22 September 2004. Dimana ketentuan didalamnya merupakan berbagai hak-hak anggota keluarga (isteri dan anak-anak) dan juga anggota keluarga lainnya atas jaminan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada anggota keluarga didalamnya dari berbagai tindak kekerasan, ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan dalam ruang lingkup rumah tangga. 7) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang–undang ini, terdiri dari 14 BAB dan 93 Pasal yang diundangkan pada tanggal 22 Oktober 2002. Ketentuan didalamnya memuat tentang hak–hak anak, kewajiban anak serta beberapa ketentuan pidana yang melindungi anak jika menjadi korban tindak pidana (kekerasan seksual). Dalam undang–undang ini ditegaskan pula bahwa penyelenggaraan perlindungan anak merupakan kewajiban dan tanggung jawab dari negara, masyarakat, keluarga dan orang tua yang meliputi perlindungan di bidang agama, kesehatan, pendidikan dan sosial.Selain itu, diatur juga perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dan bagi anak yang menjadi korban tindak pidana. Dari berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini, semua sistem penerapan hukum pidana Indonesia yang ada menjadi titik perhatian utama dalam proses peradilan pidana penguasa atau pemerintah lebih banyak memberikan perhatian kepada pelaku tindak pidana (kekerasan seksual terhadap anak), agar pelaku bisa berubah menjadi baik dan berguna bagi masyarakat. Sementara itu di pihak lain anak yang menjadi korban kekerasan seksual, orang tua, keluarga dan masyarakat sekitar yang 112 merasa dirugikan dan terganggu keharmonisan dan kebahagiaannya akibat perbuatan dan atau tindakan pelaku tindak pidana kekerasan seksual tersebut kurang mendapat perhatian yang serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya aturan dalam perundang–undangan mengenai hak–hak korban kejahatan. Selama ini pandangan yang menyebutkan bahwa pada saat pelaku kejahatan (kekerasan seksual) telah diperiksa, diadili dan dijatuhi vonis hukuman oleh hakim, pada saat itulah perlindungan terhadap korban diberikan. Padahal, pendapat demikian tidak sepenuhnya benar dan bermamfaat bagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual, orang tua, keluarga dan masyarakat lainnya yang dirugikan akibat kekerasan seksual yang telah terjadi. Keadaan ini secara tidak langsung telah menciptakan dan menimbulkan ketidakseimbangan antara perlindungan hukum bagi anak selaku korban tindak pidana kekerasan seksual dengan pelaku tindak pidana kekerasan seksual tersebut. Menariknya, saat ini di Indonesia dalam hal untuk memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan, khususnya yang dialami oleh anak– anak dan wanita telah ada suatu lembaga yang dinamakan Lembaga Perlindungan Anak dan Perempuan dan juga di beberapa Tingkat Kantor Kepolisian Resort (Polres), Kantor Kepolisian Kota Besar (Polrestabes), Kantor Kepolisian Daerah (Polda) hingga Kantor Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) telah dibentuk suatu unit penanganan terhadap kejahatan yang menimpa wanita dan anak–anak terkait kekerasan fisik,psikis maupun seksual, yang disebut Unit Perlindungan Anak & Perempuan. Khusus yang ditangani adalah kasus perkosaan, penganiayaan dilingkungan keluarga dan pelecehan seksual (kejahatan kesusilaan). 113 Khususnya dibeberapa kantor-kantor kepolisian di Indonesia sebagaimana yang disebutkan diatas, ide pembentukan Unit Perlindungan Anak & Perempuan ini berawal dari adanya kekhawatiran dari aparat kepolisian, bahwa korban (wanita dan anak–anak) yang telah mengalami tindakan kekerasan baik fisik maupun seksual tidak bersedia untuk memberikan pengaduan dan keterangannya berkaitan dengan berbagai kekerasan yang menimpa dirinya karena proses pemeriksaan dilakukan di tempat terbuka seperti yang dilakukan pada korban–korban kejahatan lainnya pada umumnya. Sedangkan pada kasus yang menimpa korban (wanita dan anak–anak), faktor kerahasiaan sangat penting untuk tetap dijaga dan dijunjung tinggi oleh semua pihak tanpa terkecuali karena menyangkut aspek privacy (rahasia) dari korban kekerasan seksual tersebut. Akibatnya, dengan munculnya rasa enggan, malu bahkan takut dari korban kekerasan seksual untuk melaporkan kejahatan atau tindak pidana yang menimpa dirinya, akan berdampak pada sulitnya aparat kepolisian untuk mengungkap kasus tersebut hingga tuntas. Peran korban dalam persidangan lebih sebagai bagian dari pencarian kebenaran material, yaitu sebagai saksi semata. Dalam tahap pemeriksaan, seperti halnya korban kekerasan seksual terhadap anak, tidak sedikit yang mengabaikan hak–hak asasi korban, misalnya korban di periksa oleh penyidik tanpa di dampingi oleh Tenaga Medis, Rohaniawan, Psikolog dan/atau Advokat serta kerap ditanya oleh penyidik kepolisian setempat dengan mempergunakan kalimat–kalimat yang terkesan sangat vulgar dan tidak menanyakan secara pelan–pelan dalam intonasi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada anak korban kekerasan seksual sehingga membuat seseorang anak yang mengalami suatu tindakan kekerasan 114 seksual merasa tidak nyaman, malu, takut, khwatir dan perasaan lainnya yang bisa membuat anak merasa serba salah dan kebingungan dalam menghadapi penderitaan yang dialaminya. Sementara itu disisi lain, penjatuhan putusan (vonis) hakim yang memeriksa dan mengadili kasus–kasus kekerasan seksual terhadap anak kerap korban dan keluarganya dikecewakan dengan putusan pidana yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana tersebut. Karena sering terjadi yaitu berkaitan dengan putusan yang dijatuhkan relative ringan dan tidak sebanding dengan penderitaan yang telah ditanggung dan yang akan dihadapi oleh anak tersebut sebagai korban perbuatan pelaku setelah kejadian kekerasan seksual yang sudah dialaminya itu. Dan disamping itu juga, bahwa sistem pemidanaan Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Negara Indonesia tidak menyediakan pidana ganti rugi bagi korban kekerasan seksual sehingga posisi korban tetap berada pada posisi yang tidak diuntungkan sebagai korban kejahatan. Pemberian pidana secara akbstrak, yaitu penetapan perbuatan kekerasan terhadap anak sebagai tindak pidana, telah dilakukan pembuat Undang-undang ke dalam beberapa ketentuan pasal di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga seperti telah disebutkan di atas. Pemberian sanksi pidana, baik secara abstrak maupun yang konkret, diharapkan dapat memberikan efek pencegah terhadap pelaku maupun pelaku potensial. Di samping penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak dengan sarana hukum pidana, pembuat Undang- 115 undang juga telah menetapan beberapa kebijakan yang dapat dinilai sebagai upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak dengan sarana non hukum pidana. Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, kebijakan penangulangan kekerasan seksual terhadap anak, dapat diidentifaksi pada bagian upaya perlindungan anak, yaitu mencakup sebagai berikut : 1) Diwajibkannya ijin penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian kepada orang tua dan harus mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak (Pasal 47); 2) Diwajibkannya bagi pihak sekolah (lembaga pendidikan) untuk memberikan perlindungan terhadap anak di dalam dan di lingkungan sekolah dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya (Pasal 54); 3) Diwajibkannya bagi pemerintah untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga (Pasal 55); 4) Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, dan pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66); 116 5) Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan (Pasal 69). Upaya pencegahan kekerasan pada anak dengan sarana nonpenal, dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, disebutkan bahwa : “Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga” ; Sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 11, upaya pencegahan tersebut adalah sebagai berikut : a) Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; b) Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; c) Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 12); Hal ini dimaksudkan, karena kasus kekerasan seksual terhadap anak yang marak di Indonesia, pelakunya bukan lagi hanya kalangan penduduk Indonesia saja, tetapi juga warga negara asing yang sengaja datang dan tinggal di wilayah Indonesia untuk mendapatkan kepuasan seksualitasnya. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia telah menjadi surga bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Berkaitan dari hal ini, diperlukan adanya berbagai informasi tentang pengertian, sebab dan akibat kekerasan seksual terhadap anak kepada semua lapisan masyarakat, yaitu baik dengan melalui berbagai media berupa semacam penyuluhan, kampanye, seminar dan lain sebagainya yang sebenarnya merupakan sarana yang akurat, hemat dan cepat dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Penyuluhan merupakan bentuk salah satu cara media yang baik, akan tetapi penyuluhan hanya dapat menjangkau khalayak yang terbatas, berbeda 117 halnya dengan kampanye, karena kampanye menimbulkan keserempakan (simultaneity), artinya suatu pesan dapat dapat diterima oleh khalayak yang jumlahnya besar pada saat yang sama secara bersama-sama. Berbagai kasuskasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi saat ini sudah dalam skala sangat menghawatirkan, yaitu dengan semakin bertambahnya jumlah kasus yang terjadi setiap tahun. Ada beberapa hal yang menyebabkan kasus kekerasan seksual terhadap anak marak terjadi misalnya yaitu sebagai berikut : 1. Kondisi lingkungan ekonomi Indonesia yang kurang kondusif, membuat banyak anak jalanan yang menjadi korban kekerasan seksual, anak jalanan yang secara ekonomi dapat disebut tidak mampu, terpaksa rela untuk diperlakukan tidak pantas oleh seorang pelaku kekerasan seksual karena diberi imbalan berupa uang atau barang, 2. Kondisi lingkungan keagamaan yang buruk, yaitu mulai pudarnya nilai-nilai keagamaan dalam setiap individu manusia. 3. Adanya pengaruh adat timur di Indonesia (sosial-budaya), dimana tindak kekerasan seksual terhadap anak masih dianggap sebagai sesuatu hal yang tabu jika diungkap, sehingga kebanyakan masyarakat memilih menyimpannya dengan rapat-rapat dibanding mengungkapkannya ke pihak berwajib/kepolisian. 4. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang tindak kekerasan seksual terhadap anak, sehingga kurang tercipta tindakan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak dalam lingkungan masyarakat. 5. Adanya sistem kekerabatan yang erat di masyarakat Indonesia yang memudahkan seorang pelaku kekerasan seksual terhadap anak masuk ke lingkungan pribadi masyarakat. 118 6. Kurangnya peran media massa dalam pemberitaan (sosialisasi) kepada masyarakat mengenai kekerasan seksual. 7. Belum adanya kampanye akan bahaya kekerasan seksual terhadap anak yang mampu ditangkap dan dimengerti apalagi dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Pada masa kini fungsi dan peran negara terhadap masyarakat bukan hanya sekedar menjaga ketertiban dan keamanan tetapi lebih luas dari itu yaitu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat atau dikenal dengan Negara Kesejahteraan. Dalam melaksanakan konsep negara kesejahteraan ini, perlindungan bagi warga negara baik sebagai individu maupun sebagai kelompok merupakan sisi yang sangat penting, karena tanpa adanya suatu perlindungan dan jaminan hukum yang menimbulkan rasa aman bagi rakyat tidak mungkin tercapai suatu kesejahteraan bagi masyarakat. Perlindungan dan jaminan hukum bagi masyarakat ini berdimensi banyak, salah satunya adalah perlindungan hukum terhadap anak. Apabila dikaitkan dengan keseluruhan individu terutama perlindungan terhadap anak yang jelas– jelas merupakan bagian dari masyarakat, perlindungan hukum terhadap anak merupakan bagian yang tidak bisa lepas dari peran dan pengawasan dari kedua orang tua anak tersebut, akan tetapi disamping itu ada hal yang jauh lebih penting yaitu negara sebagai perlindungan masyarakat secara keseluruhan memiliki suatu kewajiban yang tidak bisa menghindar dari peran dan tanggung jawab terhadap anak di Indonesia yaitu harus selalu berupaya untuk memberikan perlindungan kepada setiap anak di mana pun berada tanpa terkecuali. Hal ini menunjukkan dan menghendaki adanya suatu upaya yang terus menerus dilakukan bersama dengan semua pihak melalui tindakan 119 nasional dan kerjasama internasional. Komitmen bersama diperlukan untuk menempatkan anak pada arus utama pembangunan dan diarahkan pada investasi sumber daya manusia (human investment). Keyakinan bahwa anak adalah generasi penerus dan harapan masa depan bangsa, akan mendorong semua tindakan yang menyangkut kepentingan anak, baik yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, lembaga peradilan, lembaga legislatif maupun masyarakat akan memberikan prioritas tinggi kepada pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak, demi kepentingan terbaik anak Indonesia. Situasi dan kondisi anak Indonesia saat ini, mencerminkan adanya penyalahgunaan anak (abuse), eksploitatif, diskriminatif dan mengalami berbagai tindakan kekerasan yang membahayakan perkembangan jasmani, rohani, dan sosial anak. Keadaan ini, tentunya sangat memprihatinkan bagi bangsa dan negara Indonesia, karena anak dari aspek agama merupakan amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga harkat dan martabatnya sebagai mahluk ciptaan–Nya. Berangkat dari berbagai kasus–kasus yang terjadi atas maraknya pelanggaran–pelanggaran terhadap hak–hak asasi anak yaitu dengan semakin banyaknya tindak kekerasan seksual yang terjadi dialami oleh anak–anak yang ada di Indonesia, anak juga harus mendapatkan suatu jaminan perlindungan hukum yang tegas yaitu dengan cara peranan pemerintah dalam menerapkan sanksi pidana yang tepat terhadap para pelaku–pelaku kekerasan seksual yang sering melakukan kekerasan seksual kepada anak–anak di negeri ini. Seperti diketahui bahwa, setiap anak di Indonesia, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok selalu melakukan pergaulan 120 kepada banyak orang dan juga melakukan interaksi sosial dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan tingkat dan kapasitasnya dalam menjalani pertumbuhan hidupnya. Dalam keadaan apapun, setiap anak pastinya membutuhkan dan selalu menginginkan bergaul dan berbaur di tengah–tengah masyarakat luas. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukan adanya berbagai kelebihan dan kelemahannya masing–masing terhadap anak itu sendiri. Kelebihan dari pada pergaulan anak tersebut yakni anak tersebut akan mengetahui arti kehidupan bermasyarakat. Kelemahannya adalah bahwa anak tersebut itu memiliki kedudukan yang sama “aman“ dibandingkan orang dewasa di tengah–tengah pergaulannya yang di jalani dalam berinteraksi dengan orang lain. Anak akan cenderung selalu mengikuti dan melakukan apa yang terjadi dan mempraktekan apa yang dilakukan orang dewasa tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan apa sisi baik dan sisi buruk jika hal–hal yang dilakukan oleh orang dewasa juga dilakukan oleh anak tersebut. Oleh karena itu, secara mendasar anak sangatlah membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal juga, mengingat lemahnya dan keterbatasan anak dalam melakukan perbuatan– perbuatan hukum ditengah pergaulan hidup masyarakat luas. Maka pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh para pelaku akan terasa actual dan selalu penting untuk dikaji ulang mengenai penerapan sanksi hukum pidana terhadap para pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang dibuat oleh pemerintah saat ini. Salah satu contoh kurang diperhatikannya masalah keadilan dan penghormatan atas hak–hak asasi setiap anak di Indonesia dalam bidang penegakan hukum pidana adalah berkaitan dengan penerapan 121 sanksi pidana bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak itu sendiri. Disisi lain, dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum lebih mengedepankan hak–hak tersangka atau terdakwa, sementara hak–hak anak sebagai korban kerap diabaikan. Anak sebagai korban kekerasan seksual hanya ditempatkan sebagai alat bukti yang memberikan keterangan yaitu hanya sekedar sebagai saksi sehingga kemungkinan besar, seseorang anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut untuk mendapatkan keleluasaan dan memperjuangkan hak–haknya sebagai anak kembali sangat relatif kecil. Jika hal ini diperhatikan dengan seksama, hukum acara pidana yang ada dan berlaku saat ini di Indonesia memberikan kesempatan akan pelaksanaan proses pemeriksaan, mengadili dan putusan pengadilan yang akan dijatuhkan kepada para pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang mana, bahwa korban juga merupakan saksi yang akan memberikan keterangannya di persidangan pengadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 165 ayat 1 s/d ayat 4. Hal ini menunjukkan bahwa Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum Terdakwa dan Terdakwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak diberikan hak yang sangat luas dalam atau untuk meminta keterangan saksi baik saksi yang meringankan maupun saksi yang meringankan. Sebagaimana komentar dan penjelasan resmi KUHAP dalam bukunya M. Karjadi dan R. Soesilo21 disebutkan bahwa : “tidak jarang pula, bahwa si penanya akan memperlihatkan pertanyaan-pertanyaan dari kelakuan saksi selama persidangan atau kelakuan masa lampau, sehingga menimbulkan kesan bahwa saksi tidak patut dipercayai baik keseluruhan atau sebagian dari 21 M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Politea, Bogor, 1997, Hal. 148 122 keterangannya. Sering terjadi, bahwa penuntut umum atau penasehat hukum “menyerang” saksi, dengan tujuan menghancurkan mentalnya”. Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formal (KUHAP) lebih menitikberatkan pada pelaku kekerasan seksual (pelaku kejahatan) daripada korban kekerasan seksual yaitu anak, seolah–olah terdapat suatu perbedaan atau pemisahan yang tajam antara pelaku kekerasan seksual dengan anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut, walaupun keduanya memiliki peranan yang fungsional dalam terjadinya tindak pidana tersebut. Penerapan dan perlindungan sanksi hukum pidana bagi masyarakat sangatlah penting karena masyarakat atau kelompok maupun perorangan, bisa saja menjadi korban kekerasan seksual dan bahkan menjadi pelaku dalam melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual sebagai bagian penting dari perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian rehabilitasi, restitusi, kompensasi, pelayanan medis dan bantuan hukum dari pemerintah. 3.4. Penjatuhan Ancaman Sanksi Hukum Pidana Bagi Para Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak Sebagai Wujud Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Indonesia Kebijakan Criminal yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa kebijakan kriminal pada hakikatnya 123 merupakan bagian integral dari kebijakan sosial, yaitu usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai usaha penanggulangan kejahatan, kebijakan kriminal dapat mengejawantah dalam berbagai bentuk yakni bersifat represif yang menggunakan sarana penal, yang sering disebut sebagai sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang mencakup pula proses kriminalisasi dan juga berupa usaha-usaha prevention withaout punishment (tanpa menggunakan sarana penal), serta melakukan pendayagunaan usaha-usaha pembentukan opini dari masyarakat tentang kejahatan dan sosialisasi hukum melalui media maasa secara luas dan menyeluruh. Dikaitkan dengan kejahatan (kekerasan seksual) terhadap anak, kebijakan kriminal di sini dapat dimaksudkan sebagai usaha yang rasional dalam menanggulangi kekerasan pada anak. Dengan demikian, upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak pada dasarnya merupakan bagian dari upaya perlindungan anak dalam mewujudkan kesejahteraan terhadap anak. Apabila mendasarkan pada pemikiran di atas, maka usaha penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak dapat dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana) maupun “non-penal” (non hukum pidana). Penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak dengan hukum pidana dapat dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu tahap formulasi, aplikasi, dan tahap eksekusi. Dalam tahap formulasi, pembuat undang-undang menetapan perbuatan perbuatan kekerasan pada anak sebagai tindak pidana, artinya bahwa perbuatan perbuatan kekerasan terhadap anak oleh pembuat undang-undang diberi sanksi pidana. Pemberian sanksi pidana ini masih bersifat abstrak. 124 Pemberian pidana yang lebih konkret ada pada tahap aplikasi, yaitu oleh badan peradilan. Sementara itu, pemberian pidana yang benar-benar konkret adalah pada tahap eksekusi, yaitu oleh badan eksekusi, misalnya pidana penjara oleh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Pengaturan mengenai Sanksi Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku di Indonesia saat ini sangat bervariasi dan beragam penerapan sanksi hukum pidananya. Namun jika diklarifikasikan yaitu sebagai berikut : 1. Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam Kitab undang-undang ini, pengaturan sanksi tindak pidana masih simpang siur dan belum memiliki kefokusan dalam merumuskan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Yang ada adalah Kejahatan Kesusilaan mulai dari ketentuan Pasal 281 s/d Pasal 295 KUHP. Pasal 285 KUHP yang menyebutkan bahwa : “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun” ; Pasal 286 KUHP menyebutkan bahwa : “barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan tahun)” ; Pasal 287 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa : “barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun” ; Pasal 287 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa : 125 “penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan pasal 294 KUHP” ; Pasal 288 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa : “barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun” ; Pasal 288 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa : “jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun” ; Pasal 288 ayat (3) disebutkan bahwa : “jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun” ; Pasal 289 disebutkan bahwa : “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara selama sembilan tahun” ; Pasal 290 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun : “barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya” ; Pasal 290 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa diancam dengan pidana penjara lama tujuh tahun: “barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin” ; 126 Pasal 290 ayat (3) KUHP disebutkan bahwa diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun ; “barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain” ; Pasal 291 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa : “jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun” ; Pasal 291 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa : “jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 285, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun” ; Pasal 292 KUHP disebutkan bahwa : “orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun” ; Pasal 293 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa : “barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan, membawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun” ; Pasal 293 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa : “penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu” ; Pasal 293 ayat (3) KUHP disebutkan bahwa : 127 “tenggang waktu tersebut dalam Pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing Sembilan bulan dan dua belas bulan” ; Pasal 294 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa : “barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak asuhnya, anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya atau dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun” ; Pasal 294 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa : “diancam dengan pidana yang sama : 1. pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakab atau diserahkan kepadanya” ; 2. pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimaksukkan kedalamnya” ; Pasal 295 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa : “diancam : 1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain” ; 2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 diatas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain” ; Pasal 295 ayat (2) KUHP disebutkan bahwa : “jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga” ; 2. Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 128 Dalam undang-undang sebagaimana ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 81 Ayat (1) disebutkan bahwa : “setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)” ; Pasal 81 Ayat (2) disebutkan bahwa : “ketentuan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain” ; Pasal 81 ayat (3) disebutkan bahwa : ”setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan antau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling sedikit 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)” ; 3. Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam undang-undang ini sebagaimana ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 46 disebutkan bahwa : “setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)” ; Pasal 47 disebutkan bahwa : “setiap orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00 129 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)” ; Pasal 48 disebutkan bahwa ; “dalam hal perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” ; Padahal jika diperhatikan dengan seksama hukum itu menakutkan karena pelaku akan diancam dengan hukum. Pengertian sederhana dari hukuman ialah ancaman bersifat penderitaan dan siksaan. Sanksi atau hukuman bersifat penderitaan karena hukuman itu dimaksudkan sebagai hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap kepentingan hukum yang dilindungi hukum pidana. Di indonesia, bentuk-bentuk hukuman terdapat dalam buku 1 KUHP Bab ke-2 yaitu dari Pasal 10 sampai dengan Pasal 43 KUHP yaitu sebagai berikut : A. Pidana Pokok : 1. Pidana Mati Pidana Mati adalah salah satu bentuk hukuman yang menjadi diskursus dimasyarakat sebab hukuman mati merampas kehidupan seseorang. Disisi lain, hak hidup adalah salah satu hak yang dijamin oleh UndangUndang Dasar Tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara Indonesia. Dalam penerapannya, sebagian orang berpendapat bahwa Pidana Mati dibenarkan dalam hal-hal tertentu yaitu apabila si pelaku telah 130 memperlihatkan melalui perbuatannya bahwa dia adalah orang yang sangat membahayakan kepentingan umum. Oleh karena itu untuk menghentikan kejahatannya, dibutuhkan suatu hukum yang tegas yaitu dengan cara hukuman mati. Dengan kata lain yaitu untuk membinasakan Pelaku. 2. Pidana Penjara Pidana Penjara diartikan membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang yaitu dengan menempatkan pelaku/tersangka/terdakwa terpidana dalam suatu tempat (Lembaga Pemasyarakatan) dimana pelaku tidak bisa bebas keluar masuk dan didalamnya diwajibkan tunduk dan taat serta menjalankan semua peraturan dan tata tertib yang berlaku. Hukuman Penjara minimum 1 Hari dan maksimum 15 Tahun (Pasal 12 Ayat (2) dan dapat melebihi batas maksimum yakni dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 12 (3) KUHP. 3. Pidana Kurungan Pidana Kurungan lebih ringan dari Hukuman Penjara. Lebih ringan antara lain dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan dalam hal membawa peralatan. Hukuman Kurungan dapat dilaksanakan dengan batasan paling sedikit 1 Hari dan paling lama 1 Tahun. 4. Pidana Denda Pidana Denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran baik secara alternatif maupun berdiri sendiri begitu juga terhadap jenisjenis kejahatan ringan maupun kejahatan culpa. Pidana Denda sering diancamkan sebagai alternatif dari Pidana Kurungan. Namun, dalam 131 praktiknya di Indonesia, pidana denda sangat jarang sekali dilaksanakan. Hakim selalu menjatuhkan pidana kurungan atau penjara jika pidana itu hanya dijadikan alternatif saja, kecuali apabila tindak pidana itu memang hanya diancam dengan pidana kurungan. Dalam hal Pidana Denda tidak terdapat maksimum umumnya, yang ada hanyalah minimum umumnya. Hal ini menurut Pasal 30 Ayat (1) KUHP adalah Rp. 30.000.075,- (tiga puluh juta tujuh puluh lima rupiah). Apabila Terpidana tidak membayarkan uang denda yang telah diputuskan maka konsekuensinya adalah harus menjalani kurungan (kurungan pengganti denda). 5. Hukuman Tutupan Pidana Tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktik peradilan dewasa ini, tidak pernah menerapkan ketentuan ini. Dalam Pasal 2 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1948 Tentang Hukuman Tutupan ditetapkan bahwa didalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud dan patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan. Dari undang-undang ini ternyata hukuman tutupan itu dimaksudkan untuk menggantikan hukuman penjara. B. Pidana Tambahan : 1. Pencabutan Hak-hak Tertentu Pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat mengakibatkan kematian perdata tidak diperbolehkan (Pasal 2 BW). 132 Dalam pidana pencabutan hak-hak terhadap terpidana menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP hanya diperbolehkan pada hal-hal sebagai berikut : a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; b. Hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI; c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; d. Hak menjadi Penasehat Hukum atau pengurus atau penetapan keadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anaknya sendiri; e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; f. 2. Hak menjalankan mata pencaharian; Perampasan Barang-barang Tertentu Ada dua jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim, yaitu berupa barang-barang milik terhukum, meliputi : a. Barang yang diperoleh dengan kejahatan; b. Barang yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan. (Pasal 39 KUHP); 3. Pengumuman Putusan Hakim Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan publikasi ekstra dari putusan pemidanaan seorang dari pengadilan pidana. Jadi dalam pengumuman putusan hakim, hakim bebas menentukan perihal cara pengumuman tersebut. Adapun maksud dari pengumuman putusan hakim tersebut adalah sebagai suatu usaha preventif untuk memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati dalam 133 bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan tersebut22. Didalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, saat ini, dikenal adanya istilah “Minimum Pidana Penjara” dan “Maksimal Pidana Penjara”. Masalah Minimum Pidana Penjara digunakan agar mengurangi sejauh mungkin penggunaan pidana penjara pendek dengan meningkatkan penggunaan bentuk alternative, seperti pidana bersyarat, pengawasan, denda dan tindakan-tindakan lain yang tidak mengandung perampasan kemerdekaan pelaku kejahatan umumnya khususnya pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Dalam menentukan lamanya maksimum khusus pidana penjara, menurut KUHP dan perundang-undangan lainnya selama ini sangat bervariasi. Maksimal khusus untuk pidana penjara yang diancamkan selama ini didalam KUHP berkisar dari maksimum tiga minggu sampai maksimal 20 tahun, sedangkan dalam undang-undang di luar KUHP berkisar dari maksimal 1 tahun sampai maksimal 20 tahun. Dari jumlah maksimal khusus yang sangat bervariasi itu, sulit diketahui patokan atau pola yang digunakan oleh pembuat undang-undang selama kekurangpadanan.23 ini, Disamping malah itu terkadang semua, adanya dirasakan berbagai adanya bentuk perlindungan korban kejahatan (kekerasan seksual) dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret (langsung). 22 23 Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Opcit, ….. Hal. 74-83 Barda Nawawi Arief, Opcit, …….. Hal. 178 134 Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan). Sementara itu, perlindungan yang kongkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian sesuatu yang berupa atau bersifat materii maupun non-materi. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup atau pendidikan. Pemberian perlindungan yang bersifat non-materi dapat berupa pembebasan dari ancaman, dari pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan. Perlindungan terhadap anak korban kejahatan (kekerasan seksual) dapat dilakukan melalui hukum, baik hukum administrasi, perdata, maupun pidana. Penetapan tindak pidana kekerasan pada anak dan upaya penanggulangan kekerasan pada anak dengan hukum, melalui berbagai tahap, sebenarnya terkandung pula upaya perlindungan bagi anak korban kekerasan, meski masih bersifat abstrak atau tidak langsung. Namun, dapat dikatakan bahwa dewasa ini, pemberian perlindungan korban kejahatan oleh hukum pidana masih belum menampakan pola yang jelas. Sistem peradilan pidana, baik hukum pidana positif maupun penerapannya pada dasarnya lebih banyak memberikan perlindungan yang abstrak (tindak langsung). Adanya perumusan (penetapan) perbuatan kekerasan terhadap anak sebagai tindak pidana (dengan sanksi pidana) dalam peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan pemberian perlindungan “in abstracto”, secara tidak langsung, terhadap anak korban kejahatan (kekerasan). Dikatakan demikian, karena tindak pidana dalam hukum positif tidak dianggap sebagai perbuatan menyerang/melanggar kepentingan hukum 135 seseorang (korban) secara pribadi dan kongkret, tetapi hanya dianggap sebagai pelanggaran “norma/tertib hukum in abstracto”. Konsekuensinya, perlindungan korbanpun tidak secara langsung, akan tetapi hanya secara tidak langsung (in abstracto) saja. Dengan kata lain, sistem sanksi dan pertanggungjawaban pidana tidak ditujukan pada perlindungan korban secara langsung dan kongkret, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana oleh pelaku kejahatan (kekerasan seksual) bukanlah pertanggungjawaban pidana terhadap kerugian/penderiataan korban secara langsung dan konkret, tetapi lebih merupakan pertanggungjawaban yang bersifat pribadi/individual. Dalam pertanggungjawaban pidana yang bersifat pribadi/individual pada dasarnya juga terkandung adanya perlindungan korban kejahatan secara tidak langsung, dan bahkan terhadap calon-calon korban atau korban potensial. Pemberian pidana, baik secara abstrak (in abstracto) maupun secara konkret (in concreto) oleh badan (lembaga) yang berwenang, misalnya pidana mati, penjara maupun pidana denda, dapat memberikan rasa puas bagi korban dan rasa aman (tenang) bagi korban potensial. Pemberian pidana kepada pelaku kejahatan (kekerasan) memang belum bisa memberikan rasa keadilan yang sempurna. Lebih-lebih apabila korban menderita kerugian secara materiil maupun secara fisik. Misalnya saja, dalam kasus Kecelakaan Lalu Lintas ,pemberian ganti rugi (kompensasi) dari pelaku melalui proses alternatif (proses di luar peradilan) justru dinilai lebih bermanfaat dan berkeadilan, serta dalam menyelesaikan persoalan yang timbul akibat dari kecelakaan tersebut. 136 Di samping memberikan perlindungan secara tidak langsung, hukum pidana positif, dalam hal-hal tertentu, juga memberikan perlindungan secara langsung. Dalam Pasal 14 c KUHP ditetapkan bahwa dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14a), hakim dapat dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana, yaitu “mengganti semua atau sebagian kerugian” yang ditimbulkan oleh perbuatannya dalam waktu yang lebih pendek dari masa percobaannya. Perlindungan yang langsung ini, di samping jarang diterapkan, masih mengandung banyak kelemahan, yaitu : 1) Ganti kerugian tidak dapat diberikan secara mandiri, artinya bahwa ganti kerugian hanya dapat diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana bersyarat ; 2) Pidana bersyarat hanya berkedudukan sebagai pengganti dari pidana pokok yang dijatuhkan hakim yang berupa pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan ; 3) Pemberian ganti kerugian hanya bersifat fakultatif, bukan bersifat imperatif. Jadi, pemberian ganti kerugian tidak selalu ada, meski hakim menjatuhkan pidana bersyarat ; Dalam KUHAP, Pasal 98-101, diatur tentang kemungkinan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian (perdata) ke dalam perkara pidana. Ketentuan ini dapat dikatakan memberikan perlindungan korban kejahatan dalam mempermudah perolehan ganti kerugian, namun model ini juga mempersempit ruang gerak korban sendiri. Dalam penggabungan perkara ini, berakhirnya putusan pidana berarti juga berakhirnya putusan perdata. Jadi, apabila dalam perkara pidana tidak ada upaya hukum, banding misalnya, maka putusan 137 perdata harus mengikuti putusan pidana. Artinya, Pihak Penggugat yang menitipkan perkara kepada Jaksa tidak dapat melakukan upaya hukum, meski putusan atas tuntutan ganti kerugiannya tidak memuaskan. Upaya perlindungan anak korban kekerasan seksual baru mulai mendapat perhatian pemerintah, secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak di Indonesia, meski perlindungan itu masih memerlukan instrument hukum lainnya guna mengoperasionalkan perlidunngan tersebut. Kemudian perlindungan yang berupa bantuan lainnya, dalam penjelasann Pasal 18, hanya disebutkan bahwa : “bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan”. Sementara itu, dalam Bab IX tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak, ditetapkan beberapa bentuk perlidungan anak yang mencakup perlindungan agama, kesehatan, sosial, dan pendidikan. Perlindungan tersebut tidak disebutkan secara khusus tentang perlindungan bagi anak korban kekerasan. Baru dalam bagian kelima (Pasal 59 s/d Pasal 71) diatur tentang perlindungan khusus, namun sayangnya dalam ketentuan ini juga ditegaskan tentang bentuk perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan baik fisik, psikis maupun seksual. Dalam ketentuan ini hanya ditetapkan tentang proses dan pihak yang bertanggungjawan atas perlindungan anak korban kekerasan. Misalnya, perlindungan anak korban tindak pidana (Pasal 64 ayat 3) hanya ditentukan prosesnya, yaitu melalui : 1) Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga ; 2) Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan menghindari labelisasi ; 138 3) Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial; dan 4) Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara ; Kemudian juga dalam hal terjadi kekerasan yang berupa eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan dilakukan melalui : 1) Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual ; 2) Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi ; dan 3) Pelibatan pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual ; Pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan tersebut, semuanya hanya ditentukan, yaitu pemerintah dan masyarakat. Perlindungan yang diberikan oleh undang-undang ini pada dasarnya juga masih bersifat abstrak, tidak secara langsung dapat dinikmati oleh korban kekerasan. Artinya, bahwa korban kekerasan tidak memperoleh perlindungan yang berupa pemenuhan atas kerugian yang dideritanya. Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan Anak (Pasal 74 s/d Pasal 76) juga belum menunjukkan adanya upaya pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, sebab komisi ini tentunya juga hanya tergantung dari ada tidaknya perlindungan yang yang berupa pemenuhan atas kerugian atau penderiataan anak korban kekerasan. Selanjutnya dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam 139 Rumah Tangga, mengenai perlindungan korban, ditetapkan dalam Bab IV Tentang “Hak-Hak Korban”, Bab VI Tentang “Perlindungan” dan Bab VII tentang “Pemulihan Korban”. Hak-hak, perlindungan maupun pemulihan korban, dalam undang-undang ini, dimaksudkan untuk semua korban kekerasan dalam rumah tangga, tentunya termasuk perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual. Dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perlindungan anak korban kekerasan, juga tidak tidak berbeda dengan yang ditetapkan dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Pelindungan Anak. Namun Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam merumuskan perlindungan terhadap anak korban kekerasan baik fisik, fsikis maupun seksual lebih kongkrit dibandingkan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, khususnya yang berupa pemenuhan ganti kerugian, baik melalui pemberian kompensasi dan/atau restitusi seharusnya memperoleh perhatian dari pembuat kebijakan selama ini dan menjadi dasar utama dalam penegakan hukum di Indonesia. Berbagai bentuk ganti rugi sebagaimana yang dimaksud tersebut diatas, bukan semata-mata diberikan untuk perlindungan korban belaka. Bagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual memang sangat memerlukan pemulihan kerugian, baik ekonomi maupun fisik terlebih lagi apabila kondisi ekonomi anak yang menjadi korban kekerasan tidak mampu. Pemberian perlindungan korban kejahatan ini dapat dilakukan oleh negara dengan pertimbangan bahwa negara gagal dalam melindungan warganya dari rasa aman. 140 Apabila tersangka/terdakwa (pelaku kekerasan seksual) saja mendapat perlindungan dan bantuan dari negara untuk memperoleh hak rehabilitasi, ganti rugi, dan bantuan hukum cuma-cuma, dalam hal-hal tertentu, maka wajar apabila korban juga mendapat perlindungan dari negara. Terlebih dilihat dari tujuan dan tanggungjawab negara untuk mewujudkan pemerataan keadilan sosial dan kesejahteraan umum. Seperti dikemukakan di atas, meski Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut sudah menetapkan berbagai bentuk perlindungan anak korban kekerasan, namun bentuk perlindungan yang bersifat langsung, baik dari negara ataupun dari pelaku kekerasan belum nampak secara jelas penerapannya. Oleh karenanya perlu ditetapkan model pemberian perlindungan anak korban kekerasan baik dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak maupun Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara jelas dan tegas serta bersifat cepat, tepat dan tuntas, sehingga dalam kehidupan selanjutnya anak yang menjadi koban kekerasan baik fisik, psikis maupun seksual benar-benar mendapat jaminan kepastian hukum yang jelas serta para pelaku kekerasan seksual terhadap anak dijatuhi penerapan sanksi hukum pidana setimpal dan sebanding dengan perbuatan dan atau tindakantindakan melanggar dan melawan hukum terlebih mengenai tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak sesuai dengan ketentuan kebijakan hukum pidana Negara Kesatuan Republik Indonesia. 141 BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan Pengakuan akan persamaan harkat, derajat dan martabat manusia di Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada dasarnya terkandung dalam silasila Pancasila yang telah disepakati sebagai dasar Negara Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila merupakan sumber pengakuan akan harkat dan martabat manusia secara instrinsik melekat pada Pancasila. Kekerasan seksual adalah kekerasan yang terjadi karena persoalan seksualitas. Hubungan antara seks dan kekerasan seksual sangat kerap terjadi. Di mana terdapat seks maka kekerasan hampir selalu terjadi. Kekerasan seksual bukanlah hanya semata perkosaan, pelecehan seksual, penghinaan, perendahan terhadap lawan jenis, penjualan anak (perempuan) untuk prostitusi dan lain sebagainya. Kekerasan seksual merupakan suatu tindakan/perbuatan yang mejadikan suatu kebiasaan dalam melakukan hubungan kelamin, persetubuhan dan/atau kegiatan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar/sepantasnya dilakukan manusia pada umumnya dalam memenuhi kebutuhan seksualnya. Kekerasan seksual lebih memiliki suatu kerangka perlakuan terhadap pasangannya dengan cara-cara terlebih dahulu, sedang dan setelah hubungan seksual dilakukan terhadap pasangannya. Kekerasan dan kejahatan seksual sering dilakukan oleh seorang yang dewasa yang mengalami kelainan seksual. Kelainan seksual adalah cara yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan jalan tidak sewajarnya. Cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah dengan menggunakan objek seks yang tidak wajar. Salah satu bentuk kelainan seksual yang ada di 142 masyarakat adalah misalnya Pedofilia. Adanya prostitusi terhadap anak-anak di beberapa negara dan maraknya penjualan materi-materi pornografi tentang anak-anak, menunjukkan bahwa tingkat ketertarikan seksual terhadap anak tidak sedikit. Anak yang sedang tumbuh dan berkembang akan menjadi korban baik secara psikis dan fisik. Misalnya saja, dalam aktivitas seks yang dilakukan oleh penderita “pedofilia” sangat bervariasi. Aktifitas tersebut meliputi tindakan menelanjangi anak, memamerkan tubuh mereka pada anak, melakukan masturbasi dengan anak, dan bersenggama dengan anak. Jenis aktivitas seksual lain yang dilakukan juga bervariasi tingkatannya, termasuk stimulasi oral pada anak, penetrasi pada mulut anak, vagina ataupun anus dengan jari, benda asing, atau alat kelaminnya dengan perlakuan yang sangat menyakitkan dan kerap menimbulkan luka pada bagian-bagian tubuh anak termasuk alat kelamin anak. Orang yang mengalami kelainan seksual seringkali merasionalisasikan dan beralasan bahwa perilakunya merupakan hal yang sifatnya mendidik, dan anak-anak tersebut juga mendapat kepuasan seksual, atau anak-anak itu sendiri yang justru menggoda para pelaku kekerasan seksual tersebut. Kasuskasus kekerasan anak dapat berupa kekerasan fisik, tertekan secara mental, kekerasan seksual, pedofilia, anak bayi dibuang, aborsi, pernikahan anak dibawah umur, kasus tenaga kerja dibawah umur, trafficking, anak-anak yang dipekerjakan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), dan kasus perceraian, sering menjadi suatu batu sandungan dalam penghormatan akan harkat, derajat dan martabat anak di Indonesia. Semua kasus ini berobjek pada anak yang tentu saja akan berdampak buruk pada perkembangan dan kepribadian anak, baik fisik, maupun psikis dan 143 jelas mengorbankan masa depan anak. Kekerasan seksual terhadap anak yang sering terjadi adalah kasus yang sangat pelik. Dimana jenis kasusnya yang beragam, interprestasi mengenai kekerasan pun masih penuh dengan perdebatan. Sebagian orang menganggap bahwa kasus kekerasan digunakan sebagai hak otonominya, dan bersifat pribadi, dan orang lain tidak boleh mengetahuinya karena termasuk aib yang harus ditutupi oleh sekelompok pihak sehingga banyak kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak bisa diungkap secara tuntas di Indonesia. Kekerasan seksual terhadap anak adalah suatu tindakan yang sangat menyimpang akibat adanya kelainan seksual yang dialami oleh para pelaku kekerasan seksual karena para pelaku lebih cenderung tertarik kepada anak yang bisa diperlakukan dengan aksi-aksi seksual yang disertai kekerasan dan penyiksaan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 59 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok mioritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (nafza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran terlebih lagi kekerasan seksual yang semestinya lebih diprioritaskan dan hak-hak anak secara manusiawinya harus dihormati oleh semua pihak tanpa terkecuali. Efek kekerasan seksual terhadap anak antara lain depresi, gangguan stres pascatrauma, kegelisahan, 144 kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasa, dan cedera fisik yang diderita oleh anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap anak adalah merupakan individu yang unik, yang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa, baik dari segi fisik, emosi, pola pikir, maupun perlakuan terhadap anak membutuhkan spesialisasi perlakuan khusus dan emosi yang stabil. Pada setiap anak tertumpu suatu tanggungjawab yang sangat besar sebagai harapan masa depan bangsa, penerus cita-cita dan pewaris keturunan. Anak sebagai tunas bangsa, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensial/keberadaan bangsa dan negara pada masa depan. Sebagai sebuah tindak kejahatan, kekerasan seksual terhadap anak menjadi perkara yang sangat memilukan. Pasalnya, dampak traumatik yang dialami anak korban kekerasan seksual begitu mendalam dan sangat sulit untuk disembuhkan. Bisa saja seorang anak sedang mengalami kekerasan seksual namun dia tidak mau menceritakannya karena diancam oleh pelaku untuk tidak menceritakannya dan/atau juga bisa disebabkan komunikasi orang tua dengan anak tersebut minim bahkan buruk dalam kesehariannya. Beberapa indikasi yang menunjukkan kemungkinan telah terjadinya kekerasan seksual pada anak yaitu sebagai berikut : 1. Perubahan perilaku, misalnya seseorang anak yang mengalami kekerasan seksual lebih mudah menangis, menjadi mudah takut, gampang melamun, perubahan mood yang tiba-tiba (gembira tiba-tiba sedih, dan sebaliknya) ; 145 2. Mengalami depresi, tidak mau ikut terlibat dalam aktivitas bersama orang lain, sampai mengalami masalah di sekolah, bahkan kadang tidak mau bersekolah sama sekali lagi ; 3. Melekat terus kepada orang tuanya, tanpa mau berpisah, tiba-tiba bertindak agresif, berusaha bertindak melukai diri sendiri, terlihat tertekan dan murung tanpa sebab yang jelas ; 4. Mengalami gangguan makan, mengalami gangguan tidur dan sering bermimpi buruk, juga takut pergi ke tempat tidur ; 5. Menunjukkan tidak ada minat sama sekali terhadap hal-hal yang berbau seksual. 6. Takut tempat-tempat tertentu, orang-orang tertentu (khususnya bila sendirian bersama orang dimaksud), atau kegiatan-kegiatan tertentu ; 7. Sakit, gatal, berdarah dan memar di daerah-daerah vital ; Oleh sebab itu dibutuhkan suatu perlindungan dan terapi bagi korban untuk penyembuhan, termasuk luka-luka fisik pada bagian tubuh anak dan dukungan emosional dari orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah, penyembuhan alat kelamin, dan pengobatan serta perawatan terhadap kemungkinan terjadinya kehamilan pada anak tersebut. Namun demikian, halhal yang sangat penting ini tidak didapatkan oleh korban dalam sebagai proses hukum yang dijalani oleh anak yang menjadi korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Lebih parahnya lagi adalah bahwa, mereka justru mendapatkan perlakuan diskriminatif, viktimisasi berganda sebagai akibat tidak adanya perhatian bagi korban terkait dengan kesehatan fisik dan mentalnya. 146 Sesuatu yang menjadi suatu keniscayaan bahwa harus ada suatu cara alternatif yang dapat memberikan jaminan atas kepentingan korban, baik secara finansial maupun dukungan emosional. Secara responsibel, hal ini sesungguhnya menjadi tanggung jawab dari pelaku kekerasan seksual terhadap anak, yang berkewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Namun demikian hal itu tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa ada intervensi dari pihak lain (hakim) yang bersifat netral dan aktif dalam menerapkan hukum sesuai dengan keadilan, kepastian dan kemamfaatan hukum karena akan timbul kekhawatiran bahwa pelaku akan lepas tangan atau justru melakukan kekerasan berulang dengan mengancam anak korban kekerasan seksual tersebut. Dari pembahasan yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa anak sebagai korban kejahatan yaitu korban kekerasan seksual merupakan pihak yang berada dalam kondisi darurat dan membutuhkan pertolongan, baik psikologis maupun medis, dorongan dan dukungan sosial. 4.2. Saran Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, alasan yang menyebabkan sulitnya kasus kekerasan seksual terhadap anak untuk diselesaikan adalah karena ketidakfleksibelan dan ketidakpekaan dari sistem peradilan pidana terhadap kepentingan korban. Ketidakpekaan dari sistem peradilan pidana Indonesia selama ini terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual anak disebabkan oleh konstruksi masyarakat patriarki yakni, yang memandang persoalan dari cara berpikir yang sempit akan pengertian seksualitas, sehingga anak-anak korban kekerasan seksual jarang atau bahkan tidak pernah 147 didengar, dan pengadilan hanya berfokus pada objek kejahatan yang dilakukan pelaku kekerasan seksual tersebut. Alasan lainnya adalah keenganan anak korban kekerasan seksual untuk melaporkan ke aparat penegak hukum karena rasa malu dan tidak ingin membuka aibnya. Hal ini menjadi dilema tersendiri yang akhirnya mengungkung anak korban kekerasan seksual dalam rasa bersalah dan ketakutan, terlebih lagi dalam kasus pelaku kekerasan yang mengancam korban untuk menutup mulutnya. Tidak adanya inisiatif dan usaha yang keras dari sistem peradilan pidana untuk membongkar ‘kasus tersembunyi’ ini pun menjadi penegasan tidak adanya kepekaan dari lembaga formal tersebut, padahal anak yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami suatu kondisi yang seharusnya mendapatkan perhatian dari semua pihak di Indonesia. Dengan demikian ancaman sanksi itu harus diarahkan sedemikian rupa agar si terdakwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak sebagai orang terhukum tidak hanya dilihat sebagai obyek, tetapi harus ditempatkan sebagai subjek hukum yang utuh yang mengemban hak dan kewajiban sebagai individu, sebagai orang yang bersalah, dan sebagai warga negara, bangsa dan masyarakat sekaligus, tanpa melupakan sisi keadilan bagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memang sudah membatasi mengenai ancaman hukuman minimum yang tidak terdapat pada asal-pasal tentang Kekerasan di Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), walaupun antara kedua peraturan perundang-undangan tersebut terdapat ancaman sanksi yang ringan dan berat, tetapi hanya UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 yang lebih kompleks ancaman sanksinya. 148 Tujuan pemidanaan yang dapat dijadikan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai patokan dalam menetapkan suatu sanksi itu, tidak bisa tidak, harus dilandasi ide-ide mendasar yang bersumber dari filsafat pemidanaan. Dengan memahami filsafat pemidanaan sebagai soko guru dari teori-teori pemidanaan dan aliran-aliran hukum pidana, maka dengan mudah dapat diketemukan ideide dasar suatu sanksi dalam hukum pidana sehingga tujuan pemidanaannya dengan jelas dapat ditetapkan. Disamping itu, hal lainnya adalah bahwa aparat penegak hukum yaitu Polisi, Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan sanksi hukuman perlu bertindak tegas pada pelaku-pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Jangan justru sebaliknya membiarkan para pelaku kekerasan seksual terhadap anak bisa bebas tanpa hukuman yang berat dan maksimal. Antara Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP, ancaman sanksi terhadap pelaku kekerasan ada yang lebih berat dan ada yang lebih ringan, tetapi pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 disamping ancaman pisik juga ada ancaman denda dan ancaman sanksi minimum, sedangkan ancaman sanksi dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya ancaman fisik dan tidak ada ancaman minimum, sehingga menimbulkan celah bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Aparat Kepolisian dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan seharusnya menyebutkan unsur pasal yang dikenakan terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak haruslah menggunakan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam Berita Acara Pemeriksaan yang kemudian diserahkan ke tingkat 149 Kejaksaan, karena dikwatirkan jika dalam Berita Acara Pemeriksaan yang digunakan adalah Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), maka kemungkinan besar, Jaksa dan pada akhirnya Hakim bisa saja dapat seenaknya untuk menentukan ancaman sanksi dan vonis/putusan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang rendah jika yang dipakai adalah pasal pada Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), maka dari itu, dalam menerapkan aturan dalam dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum haruslah memakai Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam hal ini, jika yang menjadi anak yang menjadi korban kekerasan seksual masih dalam ruang lingkup rumah tangga pelaku, sebaiknya yang diterapkan dan digunakan adalah Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga karena anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut masih dalam ruang lingkup rumah tangga sebagaimana yang ditentukan dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Selain itu, ketentuan dalam sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 10 Bab II Tentang Pidana dalam KUHP yaitu bahwa pidana terdiri atas : Pidana Pokok yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan dan Pidana Tambahan yaitu pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumusan putusan hakim tidak pernah dilaksanakan dan diterapkan dalam penegakan hukum pidana di Indonesia selama ini. Yang sering dilaksanakan hanyalah pidana penjara dan pidana kurungan saja 150 sementara pidana lainnya hanya sebatas ketentuan yang kerap diabaikan pelaksanaannya dalam peradilan pidana di Indonesia. Penerapan sanksi hukum pidana bagi para pelaku kekerasan seksual adalah salah satu tujuan pemindanaan yang secara kongkrit dituangkan kedalam berbagai peraturan perundang-undangan selama ini di Indonesia. Dalam kaitan dengan masalah penerapan sanksi, maka yang dituntut adalah asas keseimbangan artinya bahwa harus mengakomodasi semua kepentingan baik kepentingan masyarakat pelaku dan juga korban. Dengan demikian, tidak boleh hanya membedakan pada suatu kepentingan saja, tetapi ketiga kepentingan yaitu masyarakat, pelaku dan anak yang menjadi korban kekerasan seksual harus diperhatikan. Jika menekankan kepentingan masyarakat, maka memberi sebuah bayangan ancaman sanksi yang menempatkan pelaku hanya sebagai objek belaka. Kemudian pada sisi lain jika hanya memperhatikan kepentingan pelakunya, akan memperoleh sebuah gambaran penerapan sanksi yang sangat individualistis yang hanya memperhatikan hak pelaku dan mengabaikan kewajibannya. Kemudian apabila terlalu menekankan pada kepentingan anak yang menjadi korban kekerasan seksual saja, akan memunculkan sosok ancaman sanksi yang hanya menjangkau kepentingan yang sangat terbatas, tanpa mengakomodasi kepentingan pelaku dan masyarakat secara umum. Sebagaimana diketahui bahwa upaya-upaya melalui kebijakan pemerintah dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dengan menggunakan non hukum pidana juga sudah ditetapkan oleh pembuat undang-undang, meski tidak diatur secara tegas ditetapkan sebagai upaya pencegahan yang bersifat komprehensif. Kebijakan yang berkaitan dengan 151 kekerasan seksual terhadap anak dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagaimana yang ada saat ini, masih sangat perlu sekali untuk dilakukan peninjauan ulang guna penyempurnaan, terutama mengenai pemberian perlindungan baik umum maupun khusus dan membuat kebijakan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak dengan menggunakan cara hukum pidana maupun non-hukum pidana. Hal ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi semua pihak dalam memberantas tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Selain itu, dukungan dari keluarga, masyarakat, serta aktivis-aktivis dari berbagai lembaga pemerintahan maupun lembaga swadaya masyarakat serta lembaga internasional yang aktif memperjuangkan hak-hak anak merupakan suatu kebutuhan yang tak dapat dihindarkan, demi mendapatkan penyelesaian masalah yang benar-benar meringankan penderitaan yang dialami oleh anak korban kejahatan kekerasan seksual. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar pemerintah sebagai perumus dan pembuat kebijakan segera berkonsentrasi menyiapkan agenda nasional dan gerakan indikator kemajuan yang bersifat cepat, tepat dan tuntas dengan serangkaian tujuan yang menekankan tujuh aspek penting yaitu sebagai berikut : 1. Pemerintah sebagai Lembaga Eksekutif termasuk Lembaga Legislatif, Lembaga Yudikatif, Kepolisian Republik Indonesia, Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri dan Kantor Imigrasi agar memberikan prioritas utama padat tindakan untuk menentang Kekerasan Seksual 152 terhadap Anak dan mengalokasikan sumberdaya yang memadai, meningkatkan kerjasama yang lebih mantap antar negara dan semua sektor lapisan masyarakat untuk mencegah anak-anak memasuki perdagangan seks serta memperkuat peran serta keluarga dalam melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kejahatan seksual yaitu yang berkaitan dengan Eksploitasi Seksual, Kekerasan Seksual dan Pelecehan Seksual dan Komersialisasi Seksual ; 2. Menindak para pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan bentukbentuk lainnya serta mengutuk dan menghukum semua yang terlibat dalam pelanggaran, baik itu warga lokal maupun warga asing, serta menjamin agar anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual tidak dihukum ; 3. Memobilisir melindungi penegakan hukum, kebijakan, anak-anak dari kekerasan program-program seksual dan yang memperkuat komunikasi dan kerjasama antar pihak penegak hukum, mendorong penerapan, implementasi serta sosialisasi peraturan perundang- undangan secara tuntas diantaranya adalah Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ; 4. Mengembangkan dan melaksanakan rencana dan program yang sensitif gender untuk mencegah eksploitasi seksual komersial anak yang berujung kepada kekerasan seksual terhadap anak untuk melindungi dan membantu anak yang menjadi korban serta memfasilitasi pemulihan juga 153 program-program untuk memberikan kepercayaan diri anak korban kekerasan seksual kedalam masyarakat ; 5. Pemerintah segera mengimplementasikan 2 (dua) Protokol Tambahan dari Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Prostitusi anak dan Pornografi Anak dan Konvensi Transnational Organized Crime beserta 2 (dua) protokolnya, Penanggulangan yakni Protocol Perdagangan Tentang Pencegahan Perempuan dan dan Protocol Tentang Penyelundupan Orang ; 6. Pemerintah segera menciptakan iklim pendidikan, mobilisasi sosial, juga aktivitas pengembangan untuk menjamin agar orang tua bertanggung jawab atas anak-anak untuk memenuhi hak-hak anak, kewajiban dan tanggungjawab untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial, pelecehan seksual dan kekerasan seksual ; 7. Pemerintah dan masyarakat segera memobilisir mitra politik, masyarakat nasional maupun internasional, termasuk lembaga pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), untuk membantu menghapus segala bentuk kekerasan seksual komersial anak serta memacu peran partisipasi masyarakat yang popular, termasuk partisipasi anak-anak, dalam mencegah serta menghapus kekerasan terhadap anak ; 8. Memobilisir sektor bisnis, termasuk industri wisata, untuk menentang penggunaan jaringan dan pembentukannya bagi eksploitasi seksual komersial yang akan berakibat pada berbagai tindakan-tindakan yang akhirnya terjadi kekerasan seksual terhadap anak dan pelecehan seksual terhadap anak dan mendorong kalangan profesional, media untuk mengembangkan strategi yang memperkuat peran media dalam 154 memberikan informasi yang bermutu, bisa dipercaya serta standar etika yang mencakup semua aspek kekerasan seksual ; Disamping itu, ketidak jelasan dalam membedakan jenis sanksi pidana khususnya pidana tambahan dengan jenis tindakan sehingga bentuk-bentuk dari jenis tindakan sering ditempatkan sebagai sanksi pidana (tambahan) dan begitu pula sebaliknya harus secara sistematis, sehinga baik dari semua kalangan aparat penegak hukum dalam praktek penerapannya tidak terdapat kekaburan menganai batas-batas jenis kekerasan seksual tersebut. Keterkaitan sanksi antara dalam tindak pemidanaan, pidana teori pemidanaan dan tujuan pemidanaan dalam konteks penetapan sanksi hukum pidana pada tahap kebijakan legislasi haruslah di pahami secara utuh sehingga jenis dan bentuk-bentuk sanksi dalam perundang-undangan di Indonesia bukan saja menimbulkan ketidak-konsisten perundang-undangan pidana yang satu dengan yang lainnya, tetapi penetapan juga penetapan sanksi hukum pidana itu bisa dirasakan secara objektif dan rasional. Paling tidak di butuhkan, pemahaman sumber daya manusia para aparat penegak hukum di Indonesia terkait dengan masalah-masalah sanksi dalam hukum pidana yang turut mempengaruhi proses penetapan sanksi ketika menangani kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Hal ini agar tidak menimbulkan penyimpangan dalam penetapan jenis maupun bentuk-bentuk sanksinya antara perundang-undangan yang satu dengan perundang-undangan yang lain serta mengenai ketentuan dalam sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 10 Bab II Tentang Pidana dalam KUHP yaitu bahwa pidana terdiri atas : Pidana Pokok yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana 155 kurungan, pidana denda, pidana tutupan dan Pidana Tambahan yaitu pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumusan putusan hakim haruslah dilaksanakan sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang ada secara maksimal kepada para pelaku kejahatan pada umumnya dan khususnya kepada para pelaku kekerasan seksual terhadap anak sebagai wujud penegakan hukum melalui kebijakan penerapan sanksi hukum pidana di Negara Kesatuan Republik Indonesia. 156 DAFTAR BACAAN A. Qirom Syamsudin Meliala dan E. Sumaryono, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari Psikologi Dan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1985 Analisis Centre For Strategic And International Studies, Kebijakan Pembangunan Sistem Hukum, Tahun XXII Nomor 1, Januari – Februari, 1993. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Edisi Pertama, Kencana Prenada Group, Semarang, 2010. Buku Obor, Hak Azasi Perempuan Istrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004. C.S.T. Kansil, Hukum Kewarganegaraan Republik Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996. Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada media Group, Jakarta, 2008. F.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Delik – Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2009. Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana, Jilid I, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2001. Jurnal Konstitusi, Volume II Nomor 1, Juni, PKK UIN ALAUDIN, Makassar, 2010. Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak Di Indonesia Permasalahannya, Mandar Maju, Bandung, 2005. Teori, Praktik Dan Moeljatno, Azas - Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983. M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Politeia, Bogor, 1997. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987. Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Azas - Azas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1995. Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1987. 157 Wirjono Prodjodikoro, Tindak – Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Refika Aditama, 2002. Peraturan Perundang-undangan : Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata); Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1948 Tentang Hukuman Tutupan; Undang Undang Republik Indonesia Nomor Kewarganegaraan; 62 Tahun 1958 Tentang Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan; Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Kesejahteraan Anak Undang Undang Republik Indonesia Nomor Tentang Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP); Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak; Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia; Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; Undang Undang Nomor Perlindungan Anak; Republik Indonesia 23 Tahun 2002 Tentang Undang Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat; Undang Undang Republik Indonesia Nomor Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; 23 Tahun 2004 Tentang Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman; Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia; Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; Undang Undang Republik Indonesia Nomor Perlindungan Saksi dan Korban; 13 Tahun 2006 Tentang