5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. VIRUS INFLUENZA Virus influenza merupakan anggota family Orthomyxoviridae. Partikel virus influenza memiliki struktur bulat dengan diameter sekitar 100 nm. Perbedaan antigen ditunjukkan oleh dua protein stuktural internal, yaitu protein nukleokapsid dikode oleh gen NP dan protein matriks dikode oleh gen M. Perbedaan tersebut digunakan untuk mengelompokkan virus influenza menjadi tipe A, B, dan C. Influenza tipe A menginfeksi manusia dan hewan, influenza tipe B menginfeksi manusia, sedangkan influenza tipe C menginfeksi manusia dan babi (Horimoto & Kawaoka 2001: 130--131). Genom RNA untai tunggal virus influenza A dan B tersusun dalam 8 segmen RNA, sedangkan virus influenza C mengandung 7 segmen RNA. Virus influenza C tidak memiliki gen NA pengkode neuraminidase. Sebagian besar segmen mengkode satu protein. Dua belas nukleotida pertama pada tiap segmen merupakan segmen penting dalam transkripsi virus (Brooks dkk. 2005: 209). Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 6 B. VIRUS INFLUENZA TIPE A Virus influenza tipe A diketahui dapat menginfeksi burung, babi, kuda, anjing laut, dan manusia. Genom virus influenza tipe A berupa RNA untai tunggal, negative sense, dengan panjang sekitar 13.558 nukleotida tersusun dalam 8 segmen dan mengkode 10 macam protein. Kedelapan segmen tersebut mengkode protein polymerase basic (PB1 dan PB2), polymerase acidic (PA), hemaglutinin (HA), nukleoprotein (NP), neuraminidase (NA), matriks (M1 dan M2), serta nonstruktural (NS1 dan NS2) (Gambar 1) (Asmara 2007: 3). Variasi antigen glikoprotein permukaan sel virus, yaitu hemaglutinin dan neuraminidase digunakan untuk menentukan subtipe virus. Terdapat 16 subtipe gen HA (H1--H16) dan 9 subtipe gen NA (N1--N9) (Swayne 2004: 80). Perubahan antigen glikoprotein permukaan sel virus terus terjadi pada virus influenza tipe A karena adanya mutasi. Mutasi tersebut menyebabkan variasi antigen glikoprotein virus dan menjadi penyebab sebagian besar kasus epidemi influenza (Tumpey dkk. 2002: 6349). C. AVIAN INFLUENZA Avian influenza (AI) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus avian influenza A. Virus AI memiliki banyak variasi antigen glikoprotein permukaan, yaitu hemaglutinin dikode oleh gen HA dan neuraminidase dikode oleh gen NA. Hemaglutinin berperan dalam proses penempelan virus pada reseptor Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 7 permukaan sel inang, sedangkan neuraminidase berperan dalam proses hidrolisis ikatan antara galaktosa dan N- acetylneraminic pada rantai ujung oligosakarida-glikoprotein untuk melepaskan partikel virus yang telah bereplikasi dalam sel (Gambar 2) (Asmara 2007: 1). Virus influenza isolat asal manusia mempunyai spesifisitas terhadap reseptor N-acetylneuraminic acid α-2,6-galactose, sedangkan virus AI isolat ayam cenderung mengenali dan berikatan dengan reseptor oligosakarida yang mengandung N-acetylneuraminic acid α-2,3-galactose (Radji 2006: 60). Penelitian molekular menunjukkan bahwa reseptor α-2,3-sialic acid terdapat pada jaringan tracheobronchial, epitel bersilia pada bronkus, pneumosit alveoli, dan metaplastic epithelium manusia. Keberadaan reseptor tersebut menyebabkan virus AI dapat menginfeksi manusia (Nicholls dkk. 2007: 3). Berdasarkan virulensi pada unggas, virus AI dibedakan menjadi low pathogenic avian influenza (LPAI) dan highly pathogenic avian influenza (HPAI). Virus HPAI memiliki hemaglutinin yang sangat peka terhadap protease endogen atau selular sel inang, sedangkan virus LPAI membutuhkan protease ekstraselular aktif spesifik seperti tripsin. Analisis molekular menunjukkan adanya perbedaan susunan asam amino pada hemagglutinin cleavage site, yaitu adanya multiple amino acid sequence pada virus HPAI. Sekuen tersebut mengandung 5 arginin dan 2 lisin. Subtipe H5 dan H7 merupakan HPAI pada ayam, tetapi tidak semua isolat subtipe H5 dan H7 dikarakteristik sebagai HPAI (Olender 2006: 1). Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 8 D. PATOGENISITAS AVIAN INFLUENZA Patogenisitas adalah kemampuan yang dimiliki oleh agen penyakit sehingga seseorang atau sekelompok penduduk yang terinfeksi menjadi sakit. Virus AI dapat menyebabkan wabah epidemi dan pandemi. Wabah epidemi adalah timbulnya suatu penyakit yang menyerang sekelompok masyarakat dalam suatu wilayah yang sama dengan angka kejadian melebihi angka normal dari kejadian penyakit tersebut, sedangkan pandemi merupakan wabah penyakit yang menyerang masyarakat pada beberapa wilayah lebih luas (Capua & Alexander 2002: 2--3). Epidemi influenza disebabkan oleh fenomena antigenic drift atau mutasi titik pada protein hemaglutinin (HA) atau neuraminidase (NA) virus influenza. Mutasi titik tersebut dapat terjadi setiap beberapa tahun (Capua & Alexander 2002: 2--3). Pandemi influenza disebabkan oleh fenomena antigenic shift atau pergeseran genetik, sehingga menimbulkan strain virus influenza baru dengan kombinasi genom baru yang terjadi setiap beberapa dekade. Pandemi influenza dapat menyebabkan tingkat kematian tinggi karena populasi yang terinfeksi tidak memiliki imunitas terhadap strain virus baru (Cinti 2005: 61). Penularan AI dapat terjadi karena droplet infection (infeksi akibat percikan cairan hidung/mulut), serta kontak langsung dan tidak langsung dengan unggas yang terinfeksi AI. Infeksi dan replikasi primer virus terjadi di sel epitel kolumnar saluran pernafasan. Fase penempelan pada reseptor Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 9 α-2,3-sialic acid sel inang merupakan fase paling menentukan dari kemampuan virus masuk ke dalam sel inang dan melanjutkan replikasi. Virus AI melalui spikes hemaglutinin akan berikatan dengan reseptor α-2,3-sialic acid pada permukan sel inang (Russell & Webster 2005: 369). Masa inkubasi virus AI tipe A berkisar antara 2--4 hari setelah terinfeksi. Sebagian besar pasien yang terinfeksi virus AI memperlihatkan gejala awal berupa demam tinggi (biasanya lebih dari 38° C), dan gejala flu, serta kelainan saluran pernapasan. Gejala lain yang timbul adalah diare, muntah, sakit perut, sakit pada dada, hipotensi, dan terjadi pendarahan dari hidung serta gusi. Gejala sesak napas mulai terjadi setelah satu minggu berikutnya (Chotpitayasunondh dkk. 2005: 203). E. PROTEIN NEURAMINIDASE VIRUS INFLUENZA Protein neuraminidase virus influenza A merupakan glikoprotein yang diekspresikan pada permukaan sel. Kemampuan neuraminidase memecah sialic acid (SA) membantu virus berpenetrasi ke dalam mukus organisme terinfeksi. Sembilan subtipe gen NA telah teridentifikasi mengkode ekspresi neuraminidase dengan bentuk tetramer dan struktur kepala globular, daerah tangkai tipis, serta daerah hidrofobik yang memungkinkan protein menempel pada permukaan sel (Gambar 3) (Reid dkk. 2000: 6785). Protein neuraminidase terdiri atas rantai polipeptida tunggal yang memiliki orientasi berlawanan dengan antigen hemaglutinin. Rantai Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 10 polipeptida tunggal tersebut mengandung 6 rantai tunggal asam amino polar. Situs aktif membentuk kantung pada bagian permukaan yang setiap subunitnya disusun oleh 15 asam amino. Asam amino tersebut terdapat pada semua virus influenza A (Reid dkk. 2000: 6785). Segmen genom pengkode neuraminidase (NA) memiliki berat molekul 50 kD tersusun atas 1.413 nukleotida (Brooks dkk. 2005: 211). F. UJI DIAGNOSTIK AVIAN INFLUENZA 1. Kultur virus Virus dapat diisolasi dan diperbanyak dengan kultur sel, yaitu menumbuhkan sel yang terinfeksi virus secara in vitro. Teknik tersebut dapat digunakan untuk identifikasi, karakterisasi antigen, dan genetik virus. Fasilitas biosafety level-3 (BSL-3) diperlukan untuk melakukan kultur virus karena virus AI memiliki virulensi tinggi dan ditularkan melalui udara. Media digunakan untuk kultur yaitu madin-darby canine kidney cells (MDCK) atau embrio telur ayam. Identifikasi dan deteksi hasil dapat dilakukan dengan PCR, immunofluorescence (IFA) menggunakan antibodi monoklonal spesifik, atau dengan haemagglutination (HA), serta analisis antigen dengan haemagglutination-inhibition (HI) menggunakan serum anti AI (WHO 2007: 21). Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 11 2. Deteksi antigen Deteksi antigen virus AI bertujuan menemukan virus influenza intraselular di spesimen penderita. Metode yang digunakan adalah IFA dan enzyme immuno assay (EIA). Hasilnya dapat diketahui dalam waktu 15--30 menit. Lima macam pemeriksaan antigen virus metode EIA sudah tersedia secara komersial, tetapi sensitivitas tes bergantung pada kualitas sampel atau isolat, kualitas reagen, dan ketrampilan personal laboratorium. Penambahan IgG fluorescent isothiocyanate conjugated (FITC) diperlukan untuk fluoresensi ikatan kompleks antigen dan antibodi. Hasil positif jika ditemukan fluoresensi hijau kekuningan di inti atau sitoplasma pada satu atau lebih sel utuh (Mulyadi & Prihatini 2005: 77). 3. Deteksi antibodi spesifik Deteksi antibodi spesifik digunakan untuk menemukan antibodi spesifik influenza. Beberapa cara digunakan yaitu HI, complement fixation (CF), EIA, dan uji netralisasi misalnya microneutralization assay (MN). Deteksi antibodi spesifik membutuhkan sampel serum akut dan penyembuhan, dengan peningkatan titer sebesar empat kali atau lebih untuk dapat mendiagnosis influenza A (WHO 2007: 13). Beberapa uji yang umum digunakan saat ini yaitu MN, CF, dan fluorescent antibody. Prinsip uji MN adalah mengetahui adanya antibodi dalam serum yang dapat menetralisasi infeksi virus spesifik. Prinsip uji CF Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 12 yaitu menemukan antibodi dalam serum penderita yang dapat berikatan dengan komplemen sehingga hemolisis eritrosit tidak terjadi. Prinsip fluorescent antibody adalah pewarnaan dengan fluorescein atau rhodamine yang dapat berikatan dengan molekul antibodi dan dapat dilihat dengan mikroskop fluoresen (Mulyadi & Prihatini 2005: 79). 4. Deteksi genom avian influenza dengan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu metode memperbanyak sekuen DNA spesifik secara in vitro (Russell 1994: 304). Prinsip metode PCR adalah perbanyakan segmen DNA spesifik dengan menggunakan DNA polymerase dan primer oligonukleotida (Klug & Cummings 1994: 402). Komponen-komponen yang diperlukan dalam reaksi PCR adalah ddH2O atau akuabides steril, buffer PCR, deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), MgCl2, primer, enzim DNA polymerase, dan DNA cetakan (Yuwono 2006: 26). Siklus PCR terdiri atas tiga tahap, yaitu denaturasi, annealing, dan polimerisasi (Gambar 4). Denaturasi adalah tahap dalam siklus PCR yang memisahkan DNA utas ganda menjadi utas tunggal dan menghentikan semua reaksi enzimatik, dilakukan pada suhu tinggi, yaitu 92--94° C. Annealing adalah tahap perlekatan primer pada masing-masing utas tunggal DNA yang mengapit daerah sekuen DNA spesifik untuk diperbanyak, Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 13 dilakukan pada suhu lebih rendah, yaitu 25--65° C. Polimerisasi adalah tahap pemanjangan primer dengan bantuan Taq DNA polymerase, dilakukan pada suhu lebih tinggi dari tahap annealing, yaitu 70--75° C (Raven & Johnson 2002: 398). Reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) merupakan teknik PCR paling sensitif untuk mendeteksi genom virus dengan bantuan enzim reverse transcriptase, serta untuk mengetahui kuantitas messenger ribonucleic acid (mRNA). Enzim reverse transcriptase dimiliki oleh retrovirus, seperti avian myeloblastosis virus (AMV), moloney murine leukemia virus (MMLV), atau human immunodeficiency virus (HIV). Reverse transcriptase merupakan enzim multifungsional dengan 3 aktivitas enzim, yaitu RNAdependent DNA polymerase, hybrid-dependent exoribonuclease (RNase H), dan DNA-dependent DNA polymerase (Qiagen 2004: 9) Beberapa teknik RT-PCR yang umum digunakan untuk uji diagnostik penyakit infeksi virus dan bakteri antara lain, one-step RT-PCR, two-step RTPCR, nested RT-PCR, dan multiplex RT-PCR. Teknik two-step RT-PCR menggunakan 2 jenis enzim, yaitu reverse transcriptase dan DNA polymerase. Reverse transcriptase digunakan secara in vitro untuk sintesis untai pertama cDNA dari RNA (Gambar 5). Complementer deoxyribonucleic acid (cDNA) diperbanyak pada reaksi amplifikasi menggunakan enzim DNA polymerase. Deteksi produk dari hasil konvensional RT-PCR dilakukan pada Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 14 akhir reaksi menggunakan teknik elektroforesis atau enzyme linked immuno assay (ELISA) (WHO 2007: 7). Uji diagnostik dengan RT-PCR merupakan uji deteksi virus AI yang cepat dan memiliki sensitivitas serta spesifisitas yang tinggi. Sawabe dkk. (2006: 328) melakukan deteksi HPAI subtipe H5N1 dari sampel darah burung di peternakan daerah Kyoto, Jepang, yang telah terinfeksi virus influenza A/chicken/Kyoto/3/2004. Deteksi dilakukan menggunakan teknik RT-PCR dengan mengamplifikasi fragmen gen M dan HA. Hasil yang diperoleh ialah 10% dari 30% sampel positif AI merupakan subtipe H5 virus AI. Lisa dkk. (2006: 2) melakukan deteksi infeksi virus influenza A subtipe H5N1 dari sampel allantoic fluid, cloacal, tracheal swab, dan homogenized pooled organ serta jaringan manusia menggunakan metode one-step reverse transcription (RT)-PCR system [Qiagen]. Metode one-step reverse transcription (RT)-PCR menggunakan RNA virus AI sebagai cetakan untuk deteksi genom AI. Primer spesifik H5 yang telah dirancang secara khusus digunakan untuk reaksi amplifikasi. Hasil yang diperoleh ialah 100% sampel allantoic fluid, 67% sampel cloacal dan tracheal swab, serta 86% sampel homogenized pooled organ dan jaringan yang positif terdeteksi H5N1. Noroozian dkk. (2007: 407) melakukan deteksi virus AI subtipe H9 dari 10 sampel faeces ayam yang telah terinfeksi virus dengan metode two-step RT-PCR. Metode two-step reverse transcription (RT)-PCR menggunakan cDNA virus AI sebagai cetakan untuk deteksi genom AI. Amplifikasi dilakukan menggunakan primer HA. Enzim M-MVLV [Fermentas] digunakan Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 15 untuk reaksi reverse transcription dan enzim Taq DNA polymerase [Cinnagen] digunakan untuk reaksi amplifikasi. Hasil yang diperoleh ialah 10 sampel faeces ayam menunjukkan hasil positif terdeteksi H5N1. G. HOT-STAR TAQ DNA POLYMERASE Hot-Star Taq DNA polymerase merupakan modifikasi dari enzim Taq DNA polymerase berukuran 94 kDa. Enzim Hot-Star Taq DNA polymerase tidak aktif pada suhu ruang atau rendah. Inkubasi pada suhu 95o C selama 5--15 menit diperlukan untuk mengaktifkan enzim. Tahap tersebut bermanfaat mencegah terjadinya misprimed product dan dimer primer pada suhu rendah (Qiagen 2005: 3). Hot-Star Taq DNA polymerase sangat sesuai untuk reaksi amplifikasi melibatkan genom yang kompleks, cDNA sebagai cetakan, memiliki jumlah DNA cetakan terbatas, atau menggunakan banyak pasangan primer. HotStar Taq DNA polymerase [Qiagen] memiliki kelebihan dibandingkan enzim polymerase lainnya karena dilengkapi dengan buffer yang berfungsi menjaga keseimbangan kombinasi kalium klorida (KCl) dan ammonium sulfat ((NH4)2SO4). Hal tersebut dapat mencegah terjadinya perubahan penempelan primer yang spesifik menjadi tidak spesifik akibat suhu annealing atau konsentrasi ion Mg2+ tidak sesuai sehingga dapat mereduksi produk non-spesifik dan dimer primer (Qiagen 2005: 7). Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 16 H. PERANCANGAN PRIMER DAN OPTIMASI PCR Primer merupakan oligonukleotida yang diperlukan untuk mengawali proses polimerisasi untaian DNA. Primer yang baik adalah primer yang tidak membentuk hairpin loops atau dimer primer karena dapat menghambat proses polimerisasi. Beberapa persyaratan dalam perancangan primer adalah primer terdiri atas 17--28 basa dengan komposisi basa (G+C) sekitar 50--60%. Primer harus diakhiri dengan basa G atau C, atau GC, atau CG pada ujung 3’. Temperature melting (Tm) primer sekitar 55--80° C. Basabasa pada ujung 3’ primer tidak bersifat komplementer dan tidak bersifat selfcomplementary (membentuk struktur sekunder seperti hairpin) (Rybicki 2001: 10). Seleksi dan perancangan primer saat ini dapat dilakukan dengan bantuan program komputer. Program tersebut dirancang untuk menentukan susunan oligonukleotida, kondisi konsentrasi garam dan suhu annealing primer. Namun demikian, pada reaksi PCR diperlukan proses optimasi untuk mendapatkan kondisi reaksi PCR yang optimal (Nuncbrand 2007: 1). Proses amplifikasi yang optimal bergantung pada beberapa faktor meliputi suhu dan konsentrasi MgCl2 dalam larutan buffer. Cara yang paling sering dilakukan untuk optimasi PCR adalah dengan mengubah konsentrasi MgCl2, suhu annealing, dan konsentrasi primer. Ion Mg2+ memengaruhi proses penempelan primer pada cetakan DNA. Menurut Stratagene (2007: 2), enzim Taq DNA polymerase sangat sensitif terhadap MgCl2. Konsentrasi Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 17 MgCl2 rendah menyebabkan keakuratan enzim Taq DNA polymerase tinggi, tetapi kecepatan polimerisasi rendah, sedangkan konsentrasi MgCl2 tinggi menyebabkan keakuratan enzim Taq DNA polymerase rendah, tetapi kecepatan polimerisasi tinggi. Menurut Nuncbrand (2007: 2), konsentrasi ion Mg2+ yang rendah dapat meningkatkan spesifisitas PCR, sedangkan konsentrasi ion Mg2+ yang tinggi dapat menurunkan spesifisitas PCR. Masing-masing pasangan primer memerlukan konsentrasi MgCl2 yang berbeda untuk menempel pada cetakan DNA. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi rancangan primer, meliputi ukuran basa primer, persentase kandungan Guanin (G) dan sitosin (C), serta Tm primer (Kramer & Coen 2001: 15.1.7). Suhu annealing dan konsentrasi primer memengaruhi spesifisitas amplifikasi dan ukuran produk PCR yang dihasilkan. Suhu annealing terlalu rendah dapat menyebabkan primer menempel pada beberapa daerah DNA cetakan sehingga meningkatkan proses amplifikasi, namun menurunkan spesifisitas PCR (Rybicki 2001: 1--3). Konsentrasi primer terlalu tinggi dapat menyebabkan peningkatan mispriming atau penempelan primer bukan pada daerah target dan menurunkan spesifisitas PCR (Qiagen 1997: 2). I. UJI SPESIFISITAS PCR Uji spesifisitas PCR dilakukan untuk mengetahui kemampuan dan ketepatan primer dalam mengamplifikasi gen target. Spesifisitas PCR dapat diuji dengan menggunakan beberapa gen virus atau bakteri yang bukan Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 18 merupakan gen target reaksi PCR. Beberapa strain virus influenza digunakan untuk menguji spesifisitas PCR dengan primer yang telah dirancang secara khusus untuk mendeteksi subtipe virus influenza tertentu (Enders dkk. 2005: 1303). Payungporn dkk. (2006: 145) menggunakan cetakan DNA dari Newcastle disease virus, respiratory syncytial virus A dan B, infectious bronchitis virus, dan virus influenza subtipe H3N2, H4N6, H7N7, H9N2, serta H10N9, untuk menguji spesifisitas PCR menggunakan primer M, H5, dan N1. Lisa dkk. (2006: 2) menggunakan virus influenza A strain H3N8, H5N3, H7N3, dan H9N2 untuk menguji spesifisitas PCR dengan primer spesifik H5N1. J. UJI SENSITIVITAS PCR Uji sensitivitas PCR dilakukan untuk mengetahui konsentrasi cetakan DNA paling rendah yang dibutuhkan untuk mendeteksi keberadaan virus. Sensitivitas PCR dapat diketahui dengan melakukan pengenceran cetakan DNA hingga konsentrasi tertentu. Konsentrasi cDNA dapat diketahui dengan menggunakan spektrofotometer. Konsentrasi cDNA ditentukan dari hasil pengukuran energi cahaya yang diserap oleh larutan cDNA pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Kadar kemurnian suatu nukleopolipeptida dapat diketahui dengan pengukuran penyerapan energi cahaya pada kisaran panjang gelombang sinar UV 20--360 nm. Nilai kadar kemurnian DNA yang baik yaitu 1,8, sedangkan untuk nilai kadar kemurnian RNA yang baik yaitu 2 (Bregman 1990: 41--42). Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 19 Pengenceran dapat dilakukan dengan menggunakan phosphatebuffered saline (PBS) (Shumei Zou dkk. 2007: 1890). Pengenceran menggunakan buffer bertujuan mempertahankan kondisi DNA atau RNA agar tidak rusak selama penyimpanan. Pengenceran bertahap umumnya dilakukan sebanyak 8--10 kali (10; 1; 10-1; 10-2; 10-3; 10-4; 10-5; 10-6; 10-7; 10-8 ng), bergantung pada konsentrasi awal cetakan DNA dan konsentrasi paling rendah yang ingin digunakan untuk uji sensitivitas (Pan dkk. 2001: 134). K. VISUALISASI HASIL PCR DENGAN ELEKTROFORESIS Elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan molekul organik yang bermuatan berdasarkan kecepatan migrasi dalam suatu medan listrik (Seidman & Moore 2000: 263). Teknik tersebut banyak digunakan untuk memisahkan berbagai macam molekul organik seperti DNA, RNA, dan protein. Elektroforesis juga digunakan untuk menentukan panjang fragmen DNA berdasarkan jumlah pasangan basa, menentukan berat protein spesifik, menentukan titik isoelektrik suatu protein, dan menentukan kemurnian protein yang telah diisolasi (Ritter 1996: 93). Gel yang umum digunakan dalam elektroforesis adalah agarosa dan poliakrilamida. Gel agarosa digunakan untuk memisahkan fragmen-fragmen DNA berukuran besar dengan kisaran 100--20.000 pb. Gel poliakrilamida digunakan untuk memisahkan fragmen-fragmen DNA berukuran kecil dengan kisaran 10--500 pb (Sambrook & Russell 2001: 5.7). Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 20 Elektroforesis gel agarosa dengan pewarnaan etidium bromida (EtBr) banyak digunakan untuk visualisasi hasil deteksi virus influenza dengan PCR. Beladi dkk. (2005: 582) menggunakan 1% gel agarosa untuk visualisasi hasil nested PCR gen M virus AI dengan ukuran 600 bp. Lisa dkk. (2006: 2) menggunakan 1,2% gel agarosa untuk visualisasi hasil one-step RT-PCR gen HA virus AI dengan ukuran 456 bp. Noroozian dkk. (2007: 407) menggunakan 1,5% gel agarosa untuk visualisasi hasil two-step RT-PCR gen HA virus AI dengan ukuran 432 bp. L. BAKTERI-BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT SALURAN PERNAPASAN 1. Haemophilus influenzae (Lehmann & Neuman 1896) Winslow et al.1917 Haemophilus influenzae merupakan bakteri Gram negatif, basilokokus, dan termasuk dalam family Pasteurellaceae (Gambar 6). Genom H. influenzae berukuran 1. 830 pb mengkode 1.740 protein, 58 transfer RNA (tRNA), dan 18 RNA lainnya. Dua kelompok utama strain H. influenzae adalah unencapsulated dan encapsulated. Haemophilus influenzae ditemukan pada selaput lendir saluran pernapasan bagian atas manusia dan merupakan penyebab penyakit meningitis pada anak (Todar 2007: 1). Haemophilus influenzae masuk melalui saluran pernapasan, kemudian memasuki aliran darah dan menyebar ke selaput otak atau beberapa tetap berada di sendi dan mengakibatkan arthritis septik (Brooks dkk. 2006: 397). Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 21 2. Neisseria meningitidis Albrecht & Ghon 1901 Neisseria meningitidis adalah bakteri Gram negatif, diplokokus non motil, berdiameter sekitar 0,8 µm, dan berbentuk ginjal (Gambar 6). Neisseria meningitidis merupakan anggota family Neisseriaceae. Tiga belas serogrup N. meningitidis telah diidentifikasi dengan menggunakan spesifikasi immunologi terhadap polisakarida kapsuler. Serogrup N. meningitidis yang paling penting berhubungan dengan penyakit pada manusia adalah A, B, C, Y, dan W-135 (Brooks dkk. 2006: 420). Hidung dan tenggorokan merupakan pintu masuk bagi N. meningitidis. Neisseria meningitidis akan menempel pada sel epitel dengan bantuan pili, membentuk flora transient (berumur pendek), kemudian menuju aliran darah menimbulkan bakterimia. Meningitis adalah suatu komplikasi paling banyak ditemui pada meningococcemia. Gejala mendadak yang muncul pada meningitis adalah sakit kepala yang terus menerus, muntah, dan leher kaku, serta dapat menyebabkan koma dalam waktu beberapa jam (Todar 2004 : 1). 3. Streptococcus pneumonia (Klein 1884) Chester 1901 Streptococcus pneumoniae adalah bakteri Gram positif, diplokokus, berbentuk lancet atau rantai, memiliki kapsul polisakarida yang memudahkan pengelompokan antiserum spesifik (Gambar 6). Streptococcus pneumonia merupakan anggota family Streptococcaceae. Polisakarida kapsuler secara imunologi dibedakan menjadi 84 tipe. Polisakarida kapsuler bersifat Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008 22 nontoksik dan noninflammatory. Polisakarida kapsuler S. pneumonia berfungsi mencegah atau menunda pencernaan oleh fagosit (Brooks dkk. 2006: 341--342). Streptococcus pneumonia merupakan flora normal dari saluran pernapasan bagian atas manusia, sekitar 5--40% dan dapat menyebabkan pneumonia, sinusitis, otitis, bronkitis, bakteremia, meningitis, dan proses infeksi lainnya. Streptococcus pneumonia mampu berkembang biak di dalam jaringan dan tidak menghasilkan toksin. Infeksi S. pneumonia menyebabkan pengeluaran cairan edema fibrin secara berlebihan ke dalam alveoli. Penyakit pneumonia biasanya mendadak, diikuti dengan demam, menggigil, dan nyeri tajam pada pleura. Sputum mirip dengan eksudat alveolar, secara karakteristik berdarah atau berwarna merah kecoklatan (Todar 2008: 2). Deteksi Fragmen..., Sylvia Sance Marantina, FMIPA UI, 2008