Prinsip-Prinsip Komunikasi Dalam Islam Oleh - IAI Al

advertisement
Prinsip-Prinsip Komunikasi Dalam Islam
Oleh: Muttaqien, S.Sos.I., MA
NIDN: 2131108501
DOSEN INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AZIZIYAH SAMALANGA
Abtrak
Komunikasi baru dikatakan komunikatif jika antara masing-masing pihak
(komunikator dan komunikan) mengerti bahasa yang digunakan dan paham terhadap
apa yang dibicarakan. Disamping itu, komunikasi tidak hanya bersifat informatif tapi
juga bersifat persuasif, berkomunikasi bukan hanya terkait dengan penyampaian
informasi, tapi juga bertujuan untuk membentuk pendapat umum (public opinion) dan
sikap publik (public attitude). Sedangkan pengertian komunikasi Islam adalah suatu
proses menyampaikan pesan atau informasi dari komunikator kepada komunikan
dengan menggunakan prinsip dan kaedah komunikasi yang terdapat dalam Al-Qur`an
dan Hadis, baik secara langsung atau tidak, melalui perantaraan media umum atau
khusus, yang bertujuan untuk membentuk pandangan umum yang benar berdasarkan
hakikat kebenaran agama dan memberi kesan kepada kehidupan seseorang dalam
aspek aqidah, ibadah dan muamalah. Berdasarkan pengertian komunikasi Islam di
atas, jelas bahwa komunikasi Islam tidak terlepas dari prinsip dan kaedah komunikasi
yang menjadi landasan atau acuan dalam proses berkomunikasi, serta menjadi
pedoman bagi komunikator. Menggunakan prinsip atau kaedah komunikasi
dimaksudkan untuk mencapai tujuan komunikasi Islam itu sendiri, yakni untuk
membentuk pandangan yang benar berdasarkan hakikat kebenaran agama (Al-Qur`an
dan Hadis), dan menjadikan komunikasi tidak hanya bersifat informatif melainkan
juga bersifat persuasif.
A. Pendahuluan
Ilmu komunikasi sebagai sebuah disiplin ilmu masih tergolong muda
umurnya, karena baru muncul kepermukaan pada abad ke XX. Akan tetapi kajian
tentang kegiatan berkomunikasi telah banyak dilakukan sejak para filosof yunani,
mulai dari kaum Sopist sampai kepada filosof lainnya seperti Aristoteles. Kajian
Aristoteles (abad 5 SM s/d abad 3 M) yaitu tentang pemerintahan, sejarah dan filsafat,
di mana retorika sudah menjadi suatu kajian penting. Dari sinilah awal mula ilmu
komunikasi terus dikembangkan oleh para ahli sosiologi, antropologi fisik pada abad
ke-19 dan antropologi budaya, psikologi dan psikologi sosial pada abad ke-20.
sehingga tidak salah kalau dikatakan bahwa kesemua ilmu tersebut adalah sebagai
landasan ilmu komunikasi.1
1
Fahri, dkk., Komunikasi Islam (Yoyakarta: AK Group, 2006), h. 21.
Syukur Kholil, menjelasakan bahwa setidaknya terdapat 11 (sebelas) prinsip
komunikasi Islam yang dapat dijadikan sebagai pedoman oleh komunikator dalam
berkomunikasi. Dimana ke-11 prinsip komunikasi tersebut tergambar secara tersurat
dan tersirat dalam Al-Qur`an dan Hadis. Prinsip-prinsip dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Memulai pembicaraan (komunikasi) dengan mengucapkan salam.
2. Berbicara dengan lemah lembut.
3. Menggunakan perkataan atau tutur kata yang baik.
4. Menyebut hal-hal yang baik (mengapresiasi) tentang diri komunikan.
5. Menggunakan hikmah dan nasehat yang baik.
6. Berlaku adil terhadap semua komunikan.
7. Menyesuaikan bahasa dan isi pembicaraan dengan keadaan komunikan
(berdasarkan kebutuhan).
8. Berdiskusi dengan cara yang baik.
9. Lebih dahulu melakukan apa yang akan dikomunikasikan atau disampaikan.
10. Mempertimbangkan pandangan dan fikiran orang lain.
11. Berdo’a kepada Allah ketika melakukan kegiatan komunikasi yang berat.2
Perlu diketahui bahwa Alquran tidak membicarakan secara spesifik tentang
komunikasi, namun jika ditelusuri secara mendalam akan makna-makna yang
terkandung dalam Alquran, maka akan didapat beberapa ayat yang memberikan
gambaran umum tentang prinsip-prinsip komunikasi. Alquran membicarakan istilahistilah atau ungkapan-ungkapan khusus yang dinyatakan sebagai wujud dari
penjelasan prinsip-prinsip komunikasi dimaksud. Ungkapan-ungkapan tersebut antara
lain adalah qaulan baliga, qaulan maisura, qaulan karima, qaulan ma’rufa, qaulan
layyina, qaulan sadida, qaulan syawira, dan qaul az-zur.
Jalaludin Rahmad (menyebutkan bahwa al-Syaukani dalam buku tafsirnya
“Fath al-Qair”, mendefinisikan al-bayan sebagai kemampuan dalam berkomunikasi.
Untuk mengetahui bagaimana orang-orang seharusnya melakukan komunikasi,
terlebih dahulu kita harus melacak kata kunci (key koncept) yang dipergunakan
Alquran untuk berkomunikasi. Disamping itu, kata kunci untuk berkomunikasi yang
paling banyak disebutkan dalam Alquran adalah al-qaul. Dengan memperhatikan kata
2
Fahri, dkk., Komunikasi…, h. 8-13.
al-qaul dalam kontek kalimat perintah, kita dapat menyimpulkan 5 (lima) prinsip
dasar komunikasi, yaitu; Qaulan Sadida, Qaulan Baliga, Qaulan Maisura, Qaulan
Layyina, dan Qaulan Ma’rufa.3
B. Prinsip-Prinsip Komunikasi Dalam Al-Qu`ran
1. Qaulan Baliga
QS. An-Nisa’/4: 63;
Artinya; Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada di
dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah
mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas
pada jiwa mereka. (QS. An-Nisa’: 63)
Ayat di atas menginformasikan kepada kita tentang kebusukan hati kaum
munafik. Dimana mereka tidak akan pernah patuh kepada Rasulullah Saw sekalipun
mereka bersumpah atas nama Allah Swt, karena apa yang mereka kerjakan sematamata hanya menghendaki kebaikan. Walaupun demikian, Allah Swt melarang
Rasulullah Saw untuk menghukum mereka secara fisik (pengertian dari “berpalinglah
dari mereka”), akan tetapi Allah Swt menganjurkan untuk memberi nasehat berupa
ancaman bahwa kekejian mereka akan mengundang azab Allah Swt. Nasehat tersebut
tentunya dengan qaulan baliga.
Kata baliga merupakan bentuk masdar dari balaga, yang berarti sampai, atau
sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain.4 Al-Asfahani mengemukakan bahwa
kata tersebut mengandung 3 (tiga) makna secara sekaligus, yakni: [1] bahasanya tepat;
[2] sesuai dengan yang dikehendaki; dan [3] isi perkataannya adalah suatu kebenaran.
Dalam konteks komunikator dan komunikan, kata tersebut dimaksudkan adalah
seorang komunikator secara sengaja ingin menyampaikan sesuatu dengan cara yang
benar dan tepat (jelas) agar dapat diterima oleh komunikan (audien).5
Dalam hal ini, para ahli balagah (ahli sastra) – sebagaimana dikutip oleh
Quraish Shihab – mengatakan bahwa suatu pesan atau perkataan baru dianggap baliga
apabila memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria-kriteria dimaksud adalah
3
Fahri, Komunikasi Islam., h. 11-12.
4
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Edisi II, Cet. XXV (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2002), h. 107.
5
60.
Abu al-Qasim Al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib Alquran (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), h.
sebagai berikut ini:
a) Penggunaan kalimat mencakup seluruh pesan yang ingin disampaikan.
b) Kalimatnya tidak berulang-ulang, dan juga tidak terlalu pendek/singkat
sehingga pengertiannya menjadi kabur.
c) Kosa kata yang digunakan tidak terkesan asing bagi komunikan.
d) Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan komunikan.
e) Tata bahasanya tepat dan jelas.6
Dengan demikian, kata baliga merupakan salah satu teknik berbicara atau
penyampaian pesan dengan menggunakan ungkapan atau kalimat yang tepat sasaran,
jelas dan tujuannya tercapai, sehingga komunikasinya menjadi efektif. Dengan kata
lain, baliga merupakan suatu kalimat yang singkat, tepat, padat dan jelas.
2. Qaulan Maisura
QS. Al-Isra’/17: 28;
Artinya; Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari
Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan
yang pantas. (QS. Al-Isra’: 28)
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan permintaan suatu kaum kepada
Rasulullah Saw, namun Rasulullah Saw tidak mengabulkan permintaan mereka.
Penolakan Rasulullah Saw terhadap permintaan mereka bukanlah tanpa alasan, karena
Rasulullah Saw mengetahui bahwa mereka seringkali membelanjakan harta pada halhal yang tidak bermanfaat. Berpalingnya Beliau merupakan semata-mata mengharap
ridha Allah Swt, dan sebagai wujud dari sikap Beliau yang tidak mendukung
kebiasaan buruk mereka dalam menghambur-hamburkan harta. Disamping berpaling,
beliau juga menolaknya dengan perkataan yang tepat atau ucapan yang pantas agar
tidak menyakiti perasaan mereka.7
Kata Maisura merupakan bentuk masdar dari yassara, yang mempunyai arti
mudah atau gampang.8 Dengan demikian, dalam ayat di atas jelas bahwa diajarkan
kepada kita apabila kita tidak sanggup untuk memberi atau mengabulkan suatu
6
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid II (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 468.
Jalaluddin as-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli, Hasyiyah as-Sawi ‘ala Tafsir Jalalaini
(Bairut: Dar al-Fikri, 2004), Juz II, h. 431.
7
8
Munawwir, Kamus Al-Munawwir., h. 1588.
permintaan, maka penolakan kita harus disertai dengan perkataan yang baik dan
alasan yang rasional. Karena pada prinsipnya, qaulan maisura adalah segala bentuk
perkataan yang baik dan melegakan (tidak menyakitkan), atau juga bisa dikatakan
sebagai suatu pernyataan untuk menjawab dengan cara yang sangat baik dan tidak
mengada-ada.
3. Qaulan Qarima
QS. Al-Isra’/17: 23;
Artinya; Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang mulia.9 (QS. Al-Isra’: 23)
Kata Karima adalah bentuk masdar dari kata karuma, yang berarti mulia. Jika
kata tersebut disandarkan pada Allah Swt, yakni Karim, maka berarti Allah Yang
Maha Mulia. Bila disandarkan kepada manusia, maka mempunyai arti yaitu kebaikan
budi atau perilaku dan kemuliaan akhlak.10 Bila kata tersebut dirangkai dengan qaul,
maka berarti yaitu suatu perkataan yang menjadikan atau menempatkan pihak lain
tetap dalam kemuliaan dan penuh penghormatan, atau perkataan yang bermanfaat
bagi orang lain tanpa bermaksud menyakiti dan merendahkan.
Dalam ayat di atas, Alquran menjelaskan berupa petunjuk bagi kita bagaimana
cara berperilaku dan berkomunikasi dengan baik dan benar dengan kedua orang tua
sehingga tidak membuat mereka tersinggung, terutama sekali ketika keduanya atau
salah satunya sudah lanjut usia. Karena seperti diketahui bahwa mereka yang sudah
berusia lanjut, memilki sifat yang cendrung sangat sensitif dan mudah tersinggung.
Qaulan Qarima, dalam konteks hubungan atau komunikasi dengan kedua
orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan tertinggi yang harus dilakukan oleh
seorang anak. Dalam pengertiannya adalah bagaimana seorang anak berkomunikasi
dengan baik terhadap kedua orang tuanya, namun mereka (kedua orang tua) tetap
merasa dimuliakan dan dihormati sebagai orang tua. Sebagai contoh yang paling
dekat adalah ketika seorang anak ingin menegur atau menasehati orang tuanya yang
berbuat salah, dimana tutur kata (nasehat) yang disampaikan tetap menjunjung tinggi
norma kesopanan dan tidak bermaksud menggurui. Disamping berbakti kepada kedua
Mengucapkan kata “Ah” kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama, apalagi
mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.
9
10
Munawwir, Kamus Al-Munawwir., h. 1203.
orang tua merupakan suatu ukuran tingkatan penghambaan seorang anak (manusia)
kepada Allah Swt. Karena seorang hamba akan mendapatkan keridhaan dari Allah
Swt, bila hamba tersebut diridhai oleh kedua orang tuanya. Keridhaan kedua orang tua
akan didapat dengan berbakti dan menjaga ucapan yang tidak menyakiti mereka.
4. Qaulan Ma’rufa
QS. Al-Baqarah/2: 83;
Artinya; Dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim,
dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada
manusia. (QS. Al-Baqarah: 83)
QS. Al-Baqarah/2: 263;
Artinya; Perkataan yang baik dan pemberian maaf11 lebih baik dari sedekah yang
diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Dan Allah
Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah: 263)
QS. An-Nisa’/4: 8;
Artinya; Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, 12 anak yatim dan orang
miskin, maka berilah mereka dari harta itu13 (sekedarnya) dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang baik. (QS. An-Nisa’: 8)
QS. Al-Isra’/17: 53;
Artinya; Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku; hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan
perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagi manusia. (QS. Al-Isra’: 53)
Kata Ma’rufa berasal dari kata ‘arafa, yang mengandung pengertian dengan
secara baik, ramah atau perkataan yang baik.14 Berkenaan dengan qaulan ma’rufa,
Quraish Shihab mengungkapkan bahwa dalam Alquran sungguh sangat banyak
dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan sikap dan perlakuan terhadap sesama
11
Perkataan yang baik Maksudnya menolak dengan cara yang baik, dan maksud pemberian
maaf ialah memaafkan tingkah laku yang kurang sopan dari si penerima.
12
Kerabat di sini Maksudnya : Kerabat yang tidak mempunyai hak warisan dari harta benda
13
Pemberian sekedarnya itu tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan.
14
Munawwir, Kamus Al-Munawwir., h. 921.
pusaka.
manusia. Dimana tidak hanya berisi larangan dalam bentuk kemungkaran, seperti
membunuh, menyakiti badan, mengambil harta tanpa alasan yang benar, bahkan
sampai menyakiti hati seseorang dengan menceritakan aib dibelakangnya walaupun
diiringi dengan pemberian materi kepada orang yang disakiti. Disamping itu, Alquran
juga menekankan bahwa setiap orang hendaknya memperlakukan saudaranya dengan
benar dan didudukkan atau diposisikan secara wajar.15
Dengan demikian, Alquran – melalui qaulan ma’rufa – menuntun umat untuk
senantiasa selalu bertutur kata dengan baik kepada setiap orang, karena tutur kata
yang baik akan mengakibatkan kemaslahatan bagi semua orang. Sebaliknya, tutur
kata yang buruk dan menyakiti hati orang akan menjadi awal dari perselisihan dan
perpecahan antar sesama umat manusia.
Berkenaan dengan ini (qaulan ma’rufa), ada pepatah atau kata bijak yang
berupaya menasehati atau mengingatkan manusia agar selalu menjaga tutur kata
dalam berkomunikasi. Adapun bunyi dari pepatah tersebut adalah sebagai berikut:
Bila pedang melukai tubuh,
Masih ada harapan sembuh.
Bila lidah melukai hati,
Kemana obat hendak dicari.
Disamping itu juga ada beberapa petuah (hadih maja) Aceh yang
pengertiannya lebih kurang untuk mewanti-wanti manusia dalam bekomunikasi,
bunyinya adalah:
Tameututö bek leupah-leupah,
Peulara lidah yöh goh binasa.
Terjemahan; Bicara janganlah sampai terlanjur,
Peliharalah lidah sebelum menimbulkan malapetaka.
Asai kudé bak luka,
Asai paké bak meuseunda.
Terjemahan; Awal mula kudis dari luka kecil,
Awal mula perselisahan
dan pertikaan adalah bercanda ria.16
15
Quraish Shihab, Wawasan Alquran; Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet. II
(Bandung: Mizan, 2007), h. 354.
16
Maksudnya adalah bercanda ria yang berlebihan dan disusupi dengan kata-kata yang
menyakiti atau menyinggung perasaan lawan bicara, baik dalam bentuk ejekan, hinaan atau lain
sebagainya.
5. Qaulan Layyina
QS. Taha/20: 43-44;
Artinya; [43] Pergilah kamu berdua17 kepada Fir'aun, Sesungguhnya Dia telah
melampaui batas; [44] Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (QS.
Taha/20: 43-44)
Kata Layyina adalah bentuk masdar dari kata lana, yang mempunyai arti
lunak, lemas, lemah lembut, halus akhlaknya.18 Ada juga yang mengartikannya
dengan sahlan latifa, yaitu mudah, lemah lembut.19 Sedangkan yang dimaksud
dengan qaulan layyina adalah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan kepada
kebaikan dan kebenaran (jalan Allah Swt), dengan tidak bermaksud merendahkan
argument atau pandangan lawan bicara.
Dari isi kandungan ayat di atas, timbul satu pertanyaan besar adalah mengapa
Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Musa As dan Nabi Harun As untuk berbicara
lemah lembut pada Fir’un? Padahal Fir’un adalah seorang raja yang zalim, sombong
dan angkuh (sampai-sampai mengaku dirinya sebagai Tuhan). Perintah ini tidak lain
merupakan sebagai pelajaran bagi setiap orang bahwa bagaimanapun (seburuk
apapun) keadaan orang yang telah membesarkan kita atau berjasa dalam hidup
manusia, maka kita harus bersikap baik dan berbicara lemah lembut kepadanya.
Karena sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa Nabi Musa As – dari kecil
sampai dewasa – hidup dalam lingkungan istana Fir’un, beliau diasuh dan dibesarkan
oleh istri Fir’un yang bernama Asiah. Disamping itu, melihat status Fir’un sebagai
seorang raja yang berkuasa dan cendrung bersikap kasar dan keras karena merasa
dirinya lebih berkuasa, sehingga bila berbicara kasar dengannya maka ia merasa tidak
dihormati sebagai seorang raja. Oleh sebab itulah Allah Swt memerintahkan kepada
Nabi Musa As dan Nabi Harun As, untuk berbicara lemah lembut kepada Fir’un,
karena kelembutan akan dapat melunakkan hati yang keras.
6. Qaulan Sadida
QS. An-Nisa’/4: 9;
17
Nabi Musa As dan Nabi Harun As.
18
Munawwir, Kamus Al-Munawwir., h. 1302.
19
Jalaluddin as-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli, Hasyiyah as-Sawi ‘ala Tafsir Jalalaini
(Bairut: Dar al-Fikri, 2004), Juz III, h. 67.
Artinya; Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan
yang benar. (QS. An-Nisa’: 9)
QS. Al-Ahzab/33: 70;
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar. (QS. Al-Ahzab: 70)
Kata Sadida mempunyai arti adalah tepat, benar atau sesuatu yang tepat dan
benar.20 Adapun qaulan sadida diartikan sebagai suatu pendapat atau perkataan yang
tepat dan benar serta argumentatif. As-Suyuti dan Al-Mahalli, mendefinisikan qaulan
sadida sebagai suatu perkataan yang dikehendaki oleh setiap orang dan diridhai oleh
Allah Swt, yakni setiap perkataan yang menciptakan kemaslahatan kepada sesama
manusia dan ketaatan kepada Allah Swt.21
QS. An-Nisa’ ayat 9, menjelaskan bahwa Allah Swt mengingatkan kepada
setiap orang tua hendaknya mempersiapkan masa depan (kelansungan hidup) anakanaknya agar tidak terlantar, yang justru akan menjadi beban bagi orang lain.
Disamping mempersiapkan kebutuhan materi, setiap orang tua juga dituntut untuk
mempersiapkan moral dan akhlak si anak, yakni membekali mereka dengan ilmu
agama agar kelak mereka tidak menjadi sampah masyarakat. QS. Al-Ahzab ayat 70,
dimulai dengan seruan kepada orang-orang yang beriman. Ini menunjukkan bahwa
salah satu konsekwensi keimanan adalah berkata dengan perkataan yang sadida.
Dengan kata lain, qaulan sadida merupakan tolak ukur seorang hamba dalam konteks
kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah Swt. Karena perkataan yang benar
merupakan perkataan yang memiliki kesesuaian antara yang diucapkan dengan apa
yang tergores dalam hatinya dan dengan apa yang dikerjakannya.
Dengan demikian, perkataan yang benar dan penyampaian pesan yang benar
serta diiringi dengan perbuatan yang benar merupakan pra-syarat untuk sebuah
kebenaran (kebaikan dan kemaslahatan).
7. Qaulan Syawira
20
Munawwir, Kamus Al-Munawwir., h. 620.
21
As-Suyuti dan al-Mahalli, Hasyiyah as-Sawi., Juz III, h. 357.
QS. Al-Baqarah/2: 233;
Artinya; Maka apabila keduanya ingin menyapih22 (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. (QS. Al-Baqarah: 233)
QS. Ali ‘Imran/3: 159;
Artinya; Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu.23 kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali ‘Imran: 159)
QS. Asy-Syura/42: 38;
Artinya; Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka. (QS. Asy-Syura: 38)
Kata Syawira berasal dari kata syara, yang bermakna mengambil madu, minta
nasehat atau pendapat atau pertimbangan, bermusyawarah.24 Mengambil madu atau
mengeluarkan madu dari sarang lebah, merupakan makna dasar dari kata syawira.
Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat
diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk mengeluarkan pendapat dalam
bermusyawarah). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan
sesuatu.25 Dengan demikian, qaulan syawira dapat berarti sebagai suatu kegiatan
untuk mencari kesepakatan yang benar, dimana dengan mempertimbangkan segala
pendapat yang diutarakan, selanjutnya diambil sebuah keputusan yang tepat.
Berkenaan dengan peminjaman (isti’arah) makna dasar syawira, yakni
22
Maksudnya adalah menghentikan menyusui si anak.
23
Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik,
ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
24
Munawwir, Kamus Al-Munawwir..., h. 750.
25
Shihab, Wawasan Alquran..., h. 617.
mengambil madu kepada musyawarah, Quraish Shihab mengatakan bahwa:
Madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah mesti
bagaikan
lebah:
makhluk
yang
sangat
berdisiplin,
kerjasamanya
mengagumkan, makanannya sari kembang, dan hasilnya madu. Dimanapun
hinggap, lebah tak pernah merusak. Ia takkan mengganggu kecuali diganggu.
Bahkan
sengatannyapun dapat
menjadi
obat.
Seperti
itulah makna
permusyawarahan, dan demikian pula sifat yang melakukannya. Tak heran
jika Nabi Saw menyamakan seorang mukmin dengan lebah.26
Di dalam QS. Al-Baqarah/2: 233, qaulan syawira disebutkan dalam konteks
hubungan suami isteri. Dimana ketika mengambil sebuah keputusan mengenai urusan
rumah tangga dan anak-anak (menyapih anak),27 haruslah dilandasi atas hasil
musyawarah. Sementara dalam QS. Ali Imran/3: 159, qaulan syawira disebutkan
dalam konteks hubungan kemasyarakatan (hablu min an-nas). Dimana setiap urusan
yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak (umum), haruslah ditempuh dengan
musyawarah demi kemaslahatan bersama. Ayat ini28 memberikan petunjuk bagi setiap
muslim, terutama para pemimpin agar senantiasa selalu bermusyawarah dalam
menetapkan sebuah kebijakan. Sedangkan dalam QS. Asy-Syura/42: 38, qaulan
syawira disebutkan sebagai bentuk pujian bagi kaum Ansar Madinah yang bersedia
menerima dan membantu Rasulullah Saw beserta kaum Muhajirin Makkah. Dimana
sebelum kedatangan Rasulullah Saw beserta kaum Muhajirin ke Madinah, mereka
terlebih dahulu telah membicarakannya (bermusyawarah) di rumah Abu Ayyub AlAnsari.29 Walaupun demikian, ayat ini tidak hanya bersifat kontekstual (pada masa itu
saja) melainkan juga berlaku secara umum bagi keseluruhan kelompok masyarakat
pada zaman sekarang ini dan seterusnya.
8. Qaul az-Zur
QS. Al-Hajj/22: 30;
26
Shihab, Wawasan Alquran...., h. 617.
27
Dalam ayat ini hanya disebutkan urusan menyapih anak, tapi pada hakikatnya Alquran
memberi petunjuk pada keseluruhan urusan rumah tangga harus diselesaikan melalui musyawarah
antara suami isteri.
28
Disamping ayat ini juga menganjurkan kita berbicara lemah lembut, tidak bersikap kasar,
memaafkan kesalahan orang lain dan memohon ampun bagi mereka.
29
Jalaluddin as-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli, Hasyiyah as-Sawi ‘ala Tafsir Jalalaini
(Bairut: Dar al-Fikri, 2004), Juz IV, h. 52.
Artinya; Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataanperkataan dusta. (QS. Al-Hajj: 30)
Kata az-Zur mempunyai arti menyimpang, menyeleweng, kebohongan,
kepalsuan. Sementara qaul az-Zur bermakna berkata dusta atau berbohong.30 Menurut
as-Suyuthi dan al-Mahalli, qaul az-Zur mengandung pengertian yaitu sumpah palsu,
dan sumpah palsu itu sebanding dengan perbuatan syirik. Karena syirik itu merupakan
seburuk-buruk dari kedustaan dan kebohongan.31 Maka dari itulah, Alquran
mengarahkan kita agar selalu berkata benar dan menjauhi perkataan dusta. Karena
berkata jujur dan benar akan menciptakan kemaslahatan bagi setiap orang, sebaliknya
kebohongan dan mengada-ada akan mengakibatkan kebinasaan dan malapetaka
terhadap semua umat manusia.
Prinsip-prinsip komunikasi yang telah disebutkan di atas merupakan landasan
atau pondasi utama yang menentukan arah komunikasi, dimana segala bentuk
komunikasi Islam dapat dibangun atas dasar prinsip-prinsip tersebut. Terlebih lagi
para agen komunikasi, prinsip-prinsip komunikasi tersebut merupakan modal utama
bagi mereka dalam upaya membangun komunikasi yang efektif. Hal ini dimaksudkan
agar tugas yang dilaksanakan akan berjalan lancar sesuai dengan yang direncanakan,
dan tentunya tercapainya tujuan serta membuahkan hasil yang diharapkan. Prinsipprinsip komunikasi tersebut juga memberikan pilihan bagi seseorang (komunikator)
sesuai dengan kebutuhan dan keadaan komunikan. Status sosial, komunitas dan
keadaan komunikan sangat menentukan prinsip komunikasi yang dikedepankan oleh
komunikator agar komunikasi dapat dibangun dengan b
aik.
Melihat penjelasan beberapa ayat Alquran di atas, prinsip komunikasi yang
paling tepat digunakan oleh agen komunikasi dalam penelitian ini adalah qaulan
sadida, karena prinsip tersebut pemakaiannya adalah untuk mendidik para generasi
(remaja) agar mereka menjadi generasi yang handal serta berguna bagi agama dan
bangsa, dengan tidak mengesampingkan prinsip-prinsip komunikasi lainnya.
Sasaran-sasaran setiap prinsip komunikasi sebagaimana yang dijelaskan
Alquran adalah sebagai berikut:
1. Qaulan baliga, untuk kaum munafiq.
30
Munawwir, Kamus Al-Munawwir., h. 592-593.
31
as-Suyuti dan al-Mahalli, Hasyiyah as-Sawi., Juz III, h. 122.
2. Qaulan maisura, untuk menolak permintaan tanpa menyakiti.
3. Qaulan karima, berkomunikasi dengan kedua orang tua.
4. Qaulan ma’rufa, berkomunikasi dengan fakir miskin.
5. Qaulan layyina, untuk pemimpin/penguasa yang dhalim (seperti Fir’un).
6. Qaulan sadida, untuk mendidik anak (remaja).
7. Qaulan syawira, untuk mengambil sebuah keputusan yang bersifat
kepentingan orang banyak (umum).
8. Qaul az-zur, perhatian dan modal utama setiap orang dalam berkomunikasi;
dengan siapa saja, dalam keadaan apa saja, dan dimana saja, senantiasa selalu
untuk menjauhi perkataan
yang mengandung unsur kedustaan dan
kebohongan.
Disamping itu, komunikasi Islam juga mempunyai prinsip keterbukaan,
dimana kejujuran yang selalu dikedepankan dan diprioritaskan. Dalam hal ini, kita
bisa menelaah kembali apa yang telah dikembangkan oleh J. L. Harry Ingham, yaitu
yang lebih dikenal dengan Johari Window. Salah satu yang dikembangkannya adalah
adanya keterbukaan dalam berkomunikasi, yakni dalam berkomunikasi harus “known
by ourselves and known by others”. Keterbukaan akan menjawab segala bentuk
permasalahan dan sebaliknya, ketertutupan akan menciptakan permasalahan.32
Komunikasi baru dikatakan komunikatif jika antara masing-masing pihak
(komunikator dan komunikan) mengerti bahasa yang digunakan dan paham terhadap
apa yang dibicarakan. Disamping itu, komunikasi tidak hanya bersifat informatif tapi
juga bersifat persuasif33, berkomunikasi bukan hanya terkait dengan penyampaian
informasi, tapi juga bertujuan untuk membentuk pendapat umum (public opinion) dan
sikap publik (public attitude).34 Sedangkan pengertian komunikasi Islam adalah suatu
proses menyampaikan pesan atau informasi dari komunikator kepada komunikan
dengan menggunakan prinsip dan kaedah komunikasi yang terdapat dalam Al-Qur`an
dan Hadis, baik secara langsung atau tidak, melalui perantaraan media umum atau
32
Fahri, dkk., Komunikasi Islam., h. 14.
33
Informatif; komunikan mengerti dan paham terhadap pesan yang disampaikan oleh
komunikator, tetapi tidak ada tindakan atau reaksi komunikan terhadap pesan yang diterimanya.
Sedangkan Persuasif; disamping menerima pesan atau informasi yang disampaikan oleh komunikator,
komunikan juga mau bertindak dengan melakukan kegiatan atau perbuatan atau lain sebagainya.
34
Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, Cet. XII (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), h. 9-10.
khusus, yang bertujuan untuk membentuk pandangan umum yang benar berdasarkan
hakikat kebenaran agama dan memberi kesan kepada kehidupan seseorang dalam
aspek aqidah, ibadah dan muamalah.35 Berdasarkan pengertian komunikasi Islam di
atas, jelas bahwa komunikasi Islam tidak terlepas dari prinsip dan kaedah komunikasi
yang menjadi landasan atau acuan dalam proses berkomunikasi, serta menjadi
pedoman bagi komunikator. Menggunakan prinsip atau kaedah komunikasi
dimaksudkan untuk mencapai tujuan komunikasi Islam itu sendiri, yakni untuk
membentuk pandangan yang benar berdasarkan hakikat kebenaran agama (Al-Qur`an
dan Hadis), dan menjadikan komunikasi tidak hanya bersifat informatif melainkan
juga bersifat persuasif.
DAFTAR PUTAKA
Abu al-Qasim Al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib Alquran, Beirut: Dar al-Ma’rifah,
tt.
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Edisi II, Cet. XXV, Surabaya:
Pustaka Progressif, 2002.
As-Suyuti dan al-Mahalli, Hasyiyah as-Sawi., Beirut: 1989.
Fahri, dkk., Komunikasi Islam, Yoyakarta: AK Group, 2006.
Jalaluddin as-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli, Hasyiyah as-Sawi ‘ala Tafsir Jalalaini
Bairut: Dar al-Fikri, 2004.
Jalaluddin as-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli, Hasyiyah as-Sawi ‘ala Tafsir
Jalalaini, Bairut: Dar al-Fikri, 2004.
Jalaluddin as-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli, Hasyiyah as-Sawi ‘ala Tafsir
Jalalaini, Bairut: Dar al-Fikri, 2004.
Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, Cet. XII, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1999.
35
Syukur Kholil, Komunikasi Islami (Bandung: Cita Pustaka, 2007), h. 2.
Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, Cet. XII, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1999.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid II, Jakarta: Lentera Hati, 2000.
………………., Wawasan Alquran; Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat,
Cet. II, Bandung: Mizan, 2007.
Syukur Kholil, Komunikasi Islami, Bandung: Cita Pustaka, 2007.
Download