5 BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah

advertisement
BAB 2
TEORI DASAR
2.1
Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah Laut Secara Umum
Seperti yang telah dijelaskan dalam Latar Belakang, pipa bawah laut diperlukan
untuk keperluan pendistribusian minyak dan gas. Untuk kegiatan pemasangan pipa
bawah laut ini sendiri terbagi dalam beberapa tahapan. Tahapan pertama sebelum
dilakukan pemasangan pipa bawah laut ini sendiri adalah survei perencanaan
pemasangan pipa bawah laut. Survei ini biasa juga disebut dengan geophysical preengineering route survey for pipeline instalation.
Kegiatan survei ini biasanya dilakukan dalam rentang 6 bulan sampai 2 tahun
sebelum dilakukan pemasangan pipa bawah laut. Survei ini dilakukan dengan tujuan
untuk memperoleh informasi dasar mengenai topografi dasar laut, kabel dan pipa
yang sudah ada sebelumnya (existing cable and pipeline), bangkai-bangkai kapal,
dan juga natural hazards yang nantinya akan dipastikan lagi keberadaannya pada
tahapan survei selanjutnya.Setelah dilakukan persiapan yang matang, selanjutnya
dilakukan Pre-Lay Survey yang dilakukan untuk memastikan kembali kebenaran
data-data dari survei pre-engineering sebelum dilakukan kegiatan instalasi pipa itu
sendiri.
Tahapan berikutnya setelah kegiatan intalasi pipa dilakukan, diperlukan kegiatan
untuk memeriksa apakah penginstalasian pipa bawah laut sudah sesuai dengan yang
direncanakan yaitu pada kegiatan as-laid survey. Tujuan dari dilakukannya as laid
survey ialah untuk langsung
merekam posisi dan status dari pipa setelah pipa
dipasang. Survei ini selalu dilakukan pada saat pemasangan pipa bawah laut atau
dilakukan sesegera mungkin pada saat survei ini memungkinkan dilakukan setelah
pipa sudah dipasang. Apabila penginstalasian pipa ini sudah melewati tahapan ini,
maka kegiatan pemasangan pipa bawah laut dapat dikatakan telah selesai. Untuk
selanjutnya perlu dilakukan pengontrolan kondisi pipa bawah laut ini sendiri secara
berkala. Pada tugas akhir ini, akan dikhususkan pembahasan pada tahapan pertama
dalam pemasangan pipa ini yaitu pada tahapan pre-engineering route survey.
5
2.2
Survei Hidrografi Dalam Kaitannya Dengan Kegiatan Pra-Pemasangan
Pipa Bawah Laut
2.2.1 Definisi Umum Survei Hidrografi
Hidrografi merupakan sebuah kata serapan dari bahasa inggris ‘hydrography’ yang
berarti sesuatu yang berhubungan dengan sifat dan pengukuran badan air, misalnya
kedalaman dan arus. Hingga sekitar tahun 1980-an, kegiatan hidrografi secara umum
didominasi oleh survei dan pemetaan laut untuk pembuatan peta navigasi laut dan
survei untuk eksplorasi minyak dan gas bumi. Selama 20 tahun terakhir, telah terjadi
pergeseran mendasar pada lingkup dan aplikasi hidrografi. Hidrografi tidak lagi
semata-mata dikaitkan dengan pemetaan laut dan penentuan posisi, melainkan juga
dengan hukum laut dan aspek fisik dari pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu.
Definisi dari Hidrografi sendiri menurut KK Sains dan Kerekayasaan Wilayah
Pesisir dan Laut adalah cabang ilmu yang berkepentingan dengan pengukuran dan
deskripsi sifat dan bentuk dasar perairan dan dinamika badan air. Dasar perairan
yang disebut pada definisi tersebut meliputi batimetri, jenis material dasar laut, dan
morfologi dasar laut. Sementara dinamika badan air yang disebut dalam definisi
diatas meliputi pasang surut dan arus. Data mengenai fenomena dasar perairan dan
dinamika badan air diperoleh melalui pengukuran yang kegiatannya disebut sebagai
survei hidrografi.
Survei ini sendiri merupakan kegiatan terpenting dalam menghasilkan informasi
hidrografi. Aktivitas-aktivitas utama dari survei hidrografi ini sendiri adalah :
•
Penentuan posisi di laut dan penggunaan sistem referensi
•
Pengukuran kedalaman (pemeruman)
•
Pengukuran arus
•
Pengukuran sedimen
•
Pengamatan pasut
Keilmuan hidrografi ini dalam penerapannya di lapangan erat hubungannya dengan
kelimuan lain seperti geologi, geoteknis, oseanografi, dan meteorologi. Data dari
survei hidrografi secara umum adalah bagian dari sebuah kumpulan data keilmuankeilmuan diatas.
6
Keilmuan hidrografi ini sendiri juga tidak dapat dilepaskan dari kegiatan konstruksi
lepas pantai dan pengerukan. Berikut contoh-contoh kegiatan yang sangat
membutuhkan Hidrografi dalam pelaksanaannya di lapangan :
•
Manajemen zona pesisir. Kegiatan ini berkaitan erat dengan kegiatan pengerukan
(dredging) yang berasosiasikan atau berhubungan juga dengan perlindungan
garis pantai dan konstruksi pelabuhan. Konten dari hidrografi ini sendiri sangat
besar dalam kegiatan-kegiatan ini dan sangat diperlukannya detil-detil desain
serta akurasi pengukuran selama pengukuran berlangsung.
•
Seismik lepas pantai. Hidrografi tidak memiliki lingkup atau cakupan yang luas
dalam kegiatan ini namun tetap memiliki peran vital dalam kegiatan-kegiatan
seperti positioning dari kapal, guns, dan streamersserta pada metode penentuan
posisi secara akustik.
•
Konstruksi lepas pantai. Pada kegiatan ini hidrografi memiliki peran yang cukup
luas mencakup saat fase kegiatan pre-desain dan juga penentuan posisi pada saat
fase instalasi/pemasangan “objek” lepas pantai tersebut. Pada kegiatan konstruksi
lepas pantai ini juga tidak lepas pada penggunaan ROV (Remotely Operated
Vehicles) yang sudah sangat familiar dalam hidrografi.
•
Penginderaan jauh. Kegiatan ini hanya digunakan di sedikit aplikasi hidrografi,
namun kegiatan prosesing data dan penggunaan GIS yang digunakan dalam
kegiaan ini dapat diaplikasikan secara luas dalam kegiatan hidrografi.
2.2.2 Survei Batimetri Sebagai Bagian Dari Survei Hidrografi
Kegiatan survei batimetri merupakan salah satu pengaplikasian dari survei hidrografi
di lapangan. Pengertian survei batimetri secara umum adalah proses penggambaran
dasar suatu perairan. Peranan Survei Batimetri dalam pelaksanaan kontruksi atau
pembangunan di laut merupakan hal yang penting untuk dilakukan, yaitu guna
mengetahui informasi kondisi dasar laut dari tempat tersebut.
Penggambaran dari dasar suatu perairan tersebut dapat divisualisasikan dalam bentuk
kontur kedalaman atau dapat juga dalam bentuk model permukaan digital. Garis
kontur kedalaman ini sendiri diperoleh dengan menggunakan teknik interpolasi dari
titik-titik pengukuran yang dihasilkan dari pengukuran kedalaman yang tersebar di
7
daerah yang disurvei. Selain informasi mengenai kedalaman perairan, diperlukan
pula informasi dari posisi titik kedalaman tersebut.
Kegiatan penentuan posisi dan penentuan kedalaman dari suatu titik tersebut harus
dilakukan secara bersamaan. Setelah diperoleh informasi mengenai posisi dari titik
kedalaman dan juga kedalaman titik itu sendiri, maka dapat diperoleh informasi
mengenai topografi dari dasar suatu perairan. Pekerjaan penentuan posisi titik
kedalaman dan juga penentuan kedalaman dari titik itu sendiri biasanya disebut
dengan kegiatan pemeruman yang akan dibahas selanjutnya.
Agar dapat ditentukan sebuah kedalaman tersebut, diperlukan sebuah bidang yang
dapat dijadikan suatu referensi kedalaman. Bidang-bidang referensi kedalaman yang
sering digunakan pada kegiatan batimetri ini adalah muka laut rata-rata atau yang
biasa dikenal dengan MSL (Mean Sea Level), chart datum yang merupakan
ketinggian air laut yang menjadi dasar dari pengukuran kedalaman yang ditampilkan
pada peta laut, Low Water Spring (LWS) yang merupakan kondisi permukaan laut
terendah yang dapat diramalkan, serta High Water Spring (HWS) yang merupakan
kondisi permukaan laut tertinggi yang dapat diramalkan terjadi dibawah pengaruh
keadaan meteorologis rata-rata dan kombinasi keadaan astronomi.
Empat bidang diatas merupakan bidang yang sering digunakan sebagai referensi
penentuan kedalaman dimana pemilihan bidang referensi tersebut tergantung pada
maksud dan tujuan dari masing-masing aplikasi tersendiri, seperti apabila
dimaksudkan untuk perencanaan pelabuhan, atau untuk keselamatan pelayaran.
Kegiatan survei batimetri sendiri beragam jenisnya, berdasarkan lokasinya ada survei
batimetri yang dilakukan di daerah sungai/delta dan survei batimetri pada daerah
lepas pantai/offshore. Survei batimetri sungai/delta, digunakan untuk mengetahui
topografi dasar perairan di sungai atau delta. Salah satu aplikasi dari survei ini
adalah dalam keperluan pengerukan (dredging), baik itu untuk keamanan pelayaran,
dan lain-lain. Kegiatan survei batimetri untuk keperluan dredging terbagi menjadi
tiga kegiatan, yaitu:
8
•
Pre Dredge Sounding, bertujuan untuk mengetahui topografi dasar perairan
awal sebelum pengerukan.
•
Intermediate Dredge Sounding, bertujuan untuk mengetahui topografi dasar
perairan saat pengerukan.
•
Post
Dredge Sounding, bertujuan untuk mengetahui dasar perairan setelah
dilakukannya pengerukan
Hasil atau output pada survei batimetri ini adalah peta batimetri yang berisikan data
kedalaman suatu wilayah yang disurvei. Contoh dari peta batimetri dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Peta Batimetri Yogyakarta [Mustofa, 2010]
Survei batimetri dilakukan dengan menggunakan echosounder. Prinsip dasar dari
penggunaan echosounder ini adalah dengan mengirimkan sinyal ke dasar laut dan
merekam waktu tempuh sinyal yang telah dipantulkan oleh dasar laut. Dengan
mengetahui waktu tempuh sinyal maka kedalaman dasar laut bisa diperkirakan
karena kecepatan suara dalam air telah diketahui sebelumnya. Hasil survei batimetri
9
adalah gambaran bentuk morfologi dasar laut, baik itu secara dua dimensi maupun
tiga dimensi.
Prosedur pelaksanaan pemeruman adalah sebagai berikut :
•
Tahap persiapan, yaitu suatu tahapan untuk melakukan persiapan– persiapan
yang dapat mendukung pelaksanaan pemeruman seperti penyiapan alat dan
kelengkapan perum, instalasi peralatan perum, menyiapkan metode pelaksanaan
pemeruman, menyiapkan area perum, menyiapkan lajur perum dan penyiapan
personil yang melaksanakan pemeruman.
•
Tahap pelaksanaan, yaitu suatu tahapan dimana pelaksanaan pemeruman
dilakukan.
Adapun
yang
dilaksanakan
pada
tahap
ini
adalah
pelaksanaan barcheck sebelum dan setelah pelaksanaan pemeruman (untuk
mengkoreksi nilai kecepatan suara di area survei), pelaksanaan pemeruman area
survei, pelaksanaan investigasi kedangkalan dan pengamatan pasang surut untuk
penyurutan pemeruman.
•
Tahap pengolahan data, yaitu suatu tahapan dimana pelaksanaan pemeruman
telah dilaksanakan. Adapun yang dilaksanakan pada tahap ini adalah perhitungan
muka surutan (chart datum) untuk penyurutan pemeruman, mereduksi kesalahan
perekaman data yang tidak sesuai antara analog (kertas perekam echo sounder)
dengan data digital (program Automatic Data Logging), melaksanakan reduksi
kedalaman hasil pemeruman terhadap muka surutan agar diperoleh kedalaman
laut yang benar (tanpa dipengaruhi oleh pasang surut), melaksanakan
pengeplotan kedalaman yang diperoleh pada lembar lukis lapangan.
•
Tahap penyusunan laporan, yaitu tahapan melaksanakan penyusunan laporan
yang hasil akhirnya berupa lembar lukis lapangan.
Pelaksanaan pemeruman ini dilaksanakan dengan menggunakan perahu perum
dengan draft perahu seminimal mungkin agar diperoleh angka kedalaman yang
minimum pula. Sedangkan untuk pengukuran kedalaman laut yang tidak dapat
dijangkau oleh perahu perum (kedangkalan), dilaksanakan secara tersendiri. Untuk
metode pengukuran kedalaman laut dangkal ini, dapat dilakukan dengan
menggunakan batu duga.
10
Pengukuran kedalaman dan penentuan posisi merupakan bagian terpenting
dalam kegiatan pemeruman (sounding). Metoda yang digunakan dalam kegiatan
pemeruman ini adalah metoda akustik dalam penentuan
kedalaman,
dengan
menggunakan SBES dan MBES. Biasanya dalam kegiatan survei batimetri,
penggunaan kedua alat ini digunakan secara bersamaan dikarenakan apabila kedua
metode tersebut dilakukan secara bersamaan maka akan saling melengkapi
kekurangan masing-masing metode sehingga didapatkan hasil data kedalaman
yang maksimal.
Pada MBES mempunyai daerah cakupan pemetaan yang luas sehingga dapat
memetakan keseluruhan area dengan jalur yang ada, lalu setelah itu akan
dikoreksikan
kembali
dengan
data
dari
singlebeam echosounder
yang
mempunyai akurasi yang lebih tinggi, namun hanya mempunyai daerah cakupan
yang sempit yaitu sepanjang jalur survei saja, sehingga data-data yang
bertampalan akan dicocokkan dan dikoreksikan sehingga didapatkan data yang
tingkat validitasnya tinggi.
Saat ini, pengukuran
kedalaman
menggunakan
metoda
akustik
merupakan
metode yang paling banyak dan familiar digunakan pada kegiatan survei batimetri.
Hal tersebut dikarenakan gelombang akustik merambat dengan baik pada medium
air, sehingga gelombang ini digunakan dalam penentuan kedalaman. Metoda ini
hanya
menerapkan
menggunakan
konsep
fisika sederhana
dalam
menentukan
jarak
gelombang. Prinsip dari pengukuran kedalaman singlebeam
echosounder sendiri dapat dilihat pada gambar 2.3. Rumus yang digunakan dalam
pengukuran kedalaman (D) ini adalah rumus matematika sederhana yaitu :
D = ½ (ΔT . VR)
Dimana : ΔT : Waktu tempuh signal
VR : Kecepatan rata-rata rambat signal
11
Selain dengan survei batimetri, untuk pemetaan dasar laut biasanya juga dilakukan
kegiatan survei lain seperti survei Side Scan Sonar, survei Sub-Bottom Profiler
(SBP), dan survei magnetometer. Survei side scan sonar dimaksudkan untuk
mendapatkan kenampakan dasar laut, termasuk lokasi dan luasan obyek-obyek yang
mungkin membahayakan. Dual-channel Side Scan Sonar System dengan kemampuan
cakupan jarak minimal hingga 75m digunakan untuk mendapatkan data kenampakan
dasar laut di sepanjang koridor yang sama dengan survei Batimetri. Skala penyapuan
yang digunakan diatur sedemikian rupa sehingga terjadi overlap minimal 50% untuk
area survei yang direncanakan. Lajur-lajur survei side scan sonar dapat dijalankan
bersamaan dengan pelaksanaan survei Batimetri dan/atau disesuaikan dengan
kedalaman laut sehingga cakupan minimal tersebut dapat terpenuhi.
Gambar 2.2 Prinsip kerja SBES [Dudnote, 2011]
Sementara survei Sub-bottom Profiler (SBP) bertujuan untuk melakukan investigasi
dan identifikasi lapisan sedimen dekat dengan permukaan dasar laut (biasanya
hingga 10 m) dan untuk menentukan informasi penting yang berhubungan dengan
stratifikasi dasar laut. Survei SBP dapat dilaksanakan bersamaan dengan survei
Batimetri dan Side Scan Sonar. Survei SBP ini tidak boleh dilaksanakan pada cuaca
berombak karena sangat mempengaruhi kualitas data, kecuali apabila menggunakan
heave compensator. Kemungkinan terjadinya noise yang bersumber dari mesin atau
kapal survei harus diupayakan seminimal mungkin dengan berbagai cara.
12
Adapun pada survei magnetik dengan menggunakan magnetometer dilaksanakan
dengan tujuan untuk mendeteksi adanya obyek-obyek metal pada atau dekat
permukaan dasar laut yang mungkin akan membahayakan. Bahaya yang dimaksud
antara lain berupa wrecks, sunken buoys, steel cables maupun bahaya lain yang
terdapat di area survei yang telah ditentukan. Survei magnetik ini disarankan
dilaksanakan bersamaan dengan survei Batimetri, dengan interval lajur survei
sebagaimana menjalankan lajur-lajur batimetri. Survei magnetometer tidak
disarankan untuk dilaksanakan bersamaan dengan survei Side Scan Sonar karena
dikhawatirkan terjadi gangguan yang bersumber dari towfish Side Scan Sonar kecuali
dapat dibuktikan memang tidak terjadi gangguan. Jika terdapat indikasi adanya
obyek metal yang cukup signifikan di suatu area tertentu, maka dilakukan survei
investigasi lebih lanjut dengan cara menjalankan lajur survei dengan interval lebih
rapat.
2.3
Penggunaan Multibeam Echosounder (MBES) Dalam Kegiatan PraPemasangan Pipa Bawah Laut
2.3.1 Multibeam Echosounder Secara Umum
Multibeam echosounder (MBES) merupakan suatu instrumen hidro-akustik yang
menggunakan prinsip yang sama dengan singlebeam namun perbedaannya pada
penggunaan mutibeam jumlah beam yang dipancarkannya lebih dari satu dalam satu
kali pancar. Berbeda dengan Side Scan Sonar pola pancaran yang dimiliki MBES ini
melebar dan melintang terhadap badan kapal. Setiap beam memancarkan satu pulsa
suara dan memiliki penerimanya masing-masing. Saat kapal bergerak hasil sapuan
multibeam tersebut menghasilkan suatu luasan area permukaan dasar laut (Moustier,
2005).
Transduser yang terdapat di dalam multibeam sonar terdiri dari serangkaian elemen
yang memancarkan pulsa suara dalam sudut yang berbeda. Biasanya hanya satu
beam yang ditransmisikan tetapi menghasilkan banyak pantulan energi dari masingmasing pulsa suara yang ditransmisikan. Kemampuan setiap elemen transduser
menerima kembali pulsa suara yang dipantulkan tergantung kepada metode kalibrasi
terhadap gerak kapal yang diterapkan (Hammerstad, 2000). MBES ini memiliki
13
ketelitian yang sangat baik dalam pengukuran kedalaman. Selain memiliki ketelitian
yang sangat baik, keuntungan dalam penggunaan MBES ini adalah biaya yang
efektif karena akan diperoleh peta batimetri detail dengan cakupan area yang sangat
luas (CHOI, 2006).
Gambar 2.3 Pengaplikasian Multibeam Echosounder [Nugraha, 2010]
MBES ini digunakan hampir di semua cabang survei hidrografi, berikut contoh dari
penggunaan MBES itu sendiri :
•
Pengerukan (Dredging)
Digunakan sebagai kontrol pada proyek konstruksi dan proyek dimana
membutuhkan kombinasi resolusi yang tinggi dan cakupan 100 %
•
Kegiatan Lepas Pantai
Digunakan untuk inspeksi pipa, proyek peletakan pipa, dan inspeksi struktur
dengan ROV. Apabila digunakan untuk proyek peletakan pipa bawah laut,
dibutuhkan dua Multibeam Echosounder, satu diletakkan di depan pipa yang
akan diletakkan untuk menentukan kondisi dari jalur pipa dan lokasinya, dan satu
lagi diletakkan di belakang pipa yang akan diletakkan untuk memastikan
pekerjaan tersebut telah selesai.
•
Survei pra-desain
Berhubungan dengan jalur pipa dan rute kabel: Biasanya kelayakan rute
ditentukan berdasarkan data permukaan dasar laut yang dihasilkan oleh
multibeam echosounder. Bagaimanapun juga untuk perairan dalam hasil dari
14
multibeam mengalami penurunan resolusi dan survei permukaan dasar laut
dilanjutkan menggunakan AUV atau ROV, pada area dimana data batimetri
sangat dibutuhkan.
•
Pemetaan
Digunakan pada daerah yang membutuhkan cakupan 100 % pada dasar laut, Ini
dibutuhkan oleh IHO (SP 44) untuk pelabuhan, jalur pelayaran, dan daerah
perairan dangkal dengan kepadatan lalu lintas pelayaran yang tinggi.
2.3.2 Sistem Pada Multibeam Echosounder
Sistem pada alat MBES ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu diantaranya :
•
Prosesor data akustik
Prosesor data akustik adalah bagian terpenting dalam sistem multibeam
echosounder. Prosesor ini dapat ditempatkan pada rak berukuran 19 inci. Data
yang harus diproses prosesor tersebut sangatlah besar, contohnya Seabar 8125
memiliki kemampuan maksimal menangkap 40 area per detik dam masing
masing area terdapat 240 beams. Prosesor ini didukung oleh chip Digital Signal
Processing (DSP), yang kemampuannya sama dengan kemampuan 50 prosesor
pentium dan dapat bekerja hingga 500 MHz.
•
Panel kontrol
Panel kontrol ini berfungsi untuk pengaturan pada alat multibeam echosounder
ini. Pada panel ini pembacaan dan status dari multibeam akan ditampilkan.
•
Transduser
Transduser pada multibeam dapat dibedakan berdasarkan beberapa parameter,
seperti frekuensi, banyaknya sinar yang dipancarkan, sudut dari sinar yang
dipancarkan, dan kedalaman maksimum yang dapat dihasilkan. Parameter –
parameter ini mempengaruhi besar dari transduser tersebut. Transduser juga
dapat dibagi menjadi dua yaitu flat arrays dan round arrays. Keunggulan dari
round array ialah terdapat hubungan langsung antara posisi dari penerima pada
transduser dengan jumlah sinar yang dipancarkan. Pada saat penggunaannya
phase detection digunakan untuk mendeteksi jumlah sinar yang dipancarkan
berdasarkan dari signal yang dikembalikan. Proses ini juga disebut focusing of
the array. Karena panjang gelombang dari signal ditentukan berdasarkan
15
frekuensi dan kecepatan suara, makan sound velocity probe digunakan untuk
mengkoreksi perbedaan cepat rambat suara pada receiver head. Berdasarkan tipe
multibeam nya, transmitter dan receiver ada yang terpisah dan ada juga yang
tergabung.
•
Pemeriksa cepat rambat akustik
Langkah pertama yang dilakukan sebelum memulai pemetaan dasar laut ialah
pengambilan data kecepatan suara dalam air di daerah survei dengan
menggunakan CTD. Tujuan dari pengambilan data kecepatan suara ini ialah
untuk mendapatkan waktu tempuh gelombang suara yang akurat, sehingga data
kedalaman yang dihasilkan juga akurat.
2.3.3 Kalibrasi Multibeam Echosounder
Agar dapat diperoleh data yang baik dan memiliki ketelitian tinggi dari MBES,
sistem harus dikalibrasi sebelum suatu survei akan dilakukan. Kalibrasi dari sesnsorsensor pada MBES ini akan sangat menentukan kualitas data yang akan
dikumpulkan. Kalibrasi ini merupakan tahapan yang dilakukan untuk memeriksa dan
menentukan besarnya kesalahan yang ada dalam instrumen yang bersangkutan.
Proses kalibrasi yang dilakukan pada MBES ini meliputi kalibrasi pitch (anggukan),
roll (gelengan), heading/yaw/gyro (arah kapal), offset statik, waktu tunggu, dan cepat
rambat gelombang suara.
•
Kalibrasi Offset Statik
Kalibrasi ini merupakan kalibrasi yang dilakukan untuk melakukan penyesuaian
jarak dari sensor-sensor yang digunakan terhadap centerline (“titik nol”) dari
kapal dan transduser. Proses penyesuaian ini meliputi beberapa kompenen yaitu
kapal itu sendiri, antena GPS kapal, transduser, gyro compass, dan Motion
Reference Unit (MRU). Gambar 2.4 menggambarkan offset alat yang nantinya
digunakan untuk keperluan survei.
16
Gambar 2.4 Offset Statik [Mann, 1996]
•
Kalibrasi Pitch (Anggukan)
Kalibrasi ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari besarnya nilai koefisien
koreksi anggukan kapal dan time delay sehingga kedalaman yang terukur
menjadi akurat. Kalibrasi ini dilakukan dengan membuat satu garis sapuan
dengan MBES dengan memilih dasar laut yang memiliki kemiringan.
Pengambilan data pada garis ini dilakukan sebanyak dua kali secara bolak-balik
dengan kecepatan yang sama, setelah itu pengambilan data dilakukan lagi dengan
kecepatan setengah dari kecepatan pertama dan kedua. Pada kedua garis ini
dibuat satu koridor untuk mendapatkan nilai koefisien pitch (Kongsberg, 2005).
Gerakan anggukan kapal ini mempengaruhi perubahan posisi rotasi kapal pada
sumbu-y. Gerakan ini dipengaruhi oleh dinamika pergerakan air laut. Sudut rotasi
pitch bernilai positif apabila posisi haluan (sisi depan) kapal berada diatas
permukaan air (Aritonang, 2010). Hal penting dari kalibrasi ini yaitu pergantian
jalur sepanjang y sebanding terhadap kedalaman air (Sasmita, 2008).
•
Kalibrasi Roll (Gelengan)
Kalibrasi gelengan ini digunakan untuk mengoreksi gerakan oleng kapal pada
arah sumbu-x. Kalibrasi terhadap gerakan roll ini sangat diperlukan karena
pengaruhnya sangat besar pada wilayah laut dalam. Untuk melakukan kalibrasi
ini harus dipenuhi terlebih dahulu beberapa persyaratan yaitu kapal melitasi jalur
yang sama dengan arah yang berlawanan, melintasi dasar laut dengan relief datar,
menggunakan kecepatan yang sama dan pancaran terluar yang overlap digunakan
untuk koreksi (Sasmita, 2008).
17
•
Kalibrasi Heading (Arah Kapal)
Kalibrasi arah kapal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari besarnya nilai
koefisien koreksi heading sehingga data kedalaman yang terukur menjadi akurat.
Kalibrasi ini dilakukan dengan membuat dua garis pararel dengan arah yang
sama pada daerah yang memiliki kemiringan. Pada kedua garis ini dibuat satu
koridor untuk memperoleh nilai koefisien heading nya. Gambar 2.5
memperlihatkan pengkalibrasian pitch, roll dan heading pada penggunakan
MBES.
•
Kalibrasi Waktu Tunggu, dan
Pengambilan data sounding yang dilakukan dengan multibeam sonar memiliki
perbedaan waktu dengan DGPS (Diferential Global Positioning Systems).
Perbedaan tersebut disebabkan adanya pengaruh kolom perairan terhadap
gelombang suara yang diterima kembali sehingga waktu yang diterima
multibeam cenderung lebih lambat.
Perbedaan ini menyebabkan adanya keterlambatan pada DGPS. Kalibrasi waktu
tunggu ini digunakan untuk mengoreksi terhadap keterlambatan ini. Delay ini
umumnya berjarak 0.2-1 detik dan kondisi ini menyebabkan kesalahan pada
posisi yang dipengaruhi oleh kecepatan kapal. Time delay ini dapat dikatakan
akurat apabila dapat dideteksi hingga 50 ms.
Gambar 2.5 Kalibrasi pitch, roll dan heading [Hasanudin, 2009]
18
•
Kalibrasi Cepat Rambat Gelombang Suara
Kecepatan suara dalam air memiliki nilai yang tidak selalu sama untuk setiap
wilayah menjadikan hal ini merupakan suatu faktor yang sangat penting untuk
diperhatikan dalam survei batimetri. Untuk pengambilan data dari kecepatan
suara ini dapat dilakukan dengan menggunakan CTD atau Conductivity
Temperature and Depth ataupun juga dapat dengan menggunakan SVP atau
Sound Velocity Profiler.
Untuk mendapatkan data dari kecepatan suara ini, kapal meleawati jalur survei
sebanyak dua kali (minimal) dengan relief dasar laut yang relatif datar kemudian
pada masing-masing titik dilakukan pengambilan data salinitas, suhu, tekanan,
dan kecepatan suara dengan menggunakan SVP tersebut. Data yang diperoleh
dimasukkan ke dalam sistem yang digunakan untuk perekaman data. Tujuan dari
pengambilan data kecepatan suara ini sendiri adalah untuk mengetahui waktu
tempuh gelombang suara secara akurat, sehingga akan dihasilkan nilai kedalaman
yang akurat (Hasanudin, 2009). Gambar 2.6 memperlihatkan contoh kecepatan
suara yang diperoleh dengan menggunakan CTD.
Gambar 2.6 Profil kecepatan suara dalam air [Beyer, 2005]
19
2.4
Sistem/Data Pendukung Lainnya
Dalam kegiatan pra-pemasangan pipa bawah laut, selain MBES juga diperlukan
sistem-sistem lainnya untuk memperoleh informasi kedalaman. Penggunaan sistemsistem ini saling berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya sehingga dalam
setiap kegiatan survei kegiatan-kegiatan ini harus selalu dilakukan.
2.4.1 Pasang Surut (Pasut) Air Laut
Pasut laut adalah fenomena naik dan turunnya muka laut serta adanya arus laut yang
bolak balik secara periodik/harmonik akibat gaya pembangkit pasut terutama oleh
faktor gravitasi bulan dan matahari yang mempunya periode rata-rata 12.4 jam atau
24.8 jam. Gravitasi bulan merupakan pembangkit utama pasut. Walaupun massa
matahari jauh lebih besar dari bulan, akan tetapi jarak bulan jauh lebih dekat. Hal
inilah menyebabkan matahari hanya memberikan sedikit pengaruh dalam fenomena
pasut.
Berdasarkan posisi bumi terhadap bulan dan matahari, akan menyebabkan perbedaan
tinggi permukaan air laut/sungai. Ketika kedudukan matahari, bumi, dan bulan
berada dalam satu garis maka akan terjadi pasang maksimum di titik yang berada
dalam garis kedudukan bumi, bulan, dan matahari. Fenomena pasut pada kedudukan
ini disebut dengan spring tide atau pasut perbani. Fenomena ini terjadi dua kali setiap
bulan, yaitu pada saat bulan baru (new moon) dan bulan purnama (full moon). Ketika
posisi matahari tegak lurus dengan sumbu bumi-bulan, maka akan terjadi pasut
minimum pada titik di permukaan bumi yang tegak lurus sumbu bumi-bulan.
Fenomena ini terjadi di perempat bulan awal dan perempat bulan akhir. Fenomena
pasut seperti ini disebut dengan neap tide atau pasut mati.
Pengamatan pasut ini sendiri bertujuan untuk mencatat gerakan naik-turun atau gerak
vertikal dari permukaan air laut yang terjadi secara periodik. Dengan merata-ratakan
data tinggi muka air yang diamati pada rentang waktu tertentu ini maka akan
diperoleh muka laut rata-rata. Permukaan laut rata-rata ini digunakan sebagai tinggi
nol yang dijadikan sebagai referensi (datum) vertikal dalam penentuan kedalaman
20
suatu titik. Data pasut dengan kurun waktu yang berbeda dapat menghasilkan
informasi dan tujuan yang berbeda pula.
Secara umum, informasi yang ingin didapat dari data pasut adalah tipe pasut, datum
vertikal, prediksi pasut, dan lain-lain. Pada kasus ini, tujuan yang ingin dicapai pada
pengamatan pasut adalah untuk menentukan datum vertikal. Bidang referensi vertikal
di darat adalah MSL, sedangkan bidang referensi vertikal di laut adalah MSL dan
Chart Datum. Pada pengamatan pasut, dapat dilakukan dengan dua cara yaitu yang
pertama secara manual dengan menggunakan rambu ukur, lalu yang kedua secara
otomatis dengan menggunakan tide gauge. Gambar 2.7 memperlihatkan pengukuran
pasut dengan menggunakan rambu ukur.
Dalam kegiatan pra-pemasangan pipa bawah laut, data dari pasut air laut ini
diperlukan untuk mengkoreksi data kedalaman yang diperoleh pada tiap survey line
sehingga diperoleh data kedalaman yang "setara". Maksud dari setara disini adalah
pada saat survei dilakukan survei dalam waktu yang berbeda pada tiap garis survei,
hal tersebut menyebabkan data kedalaman tiap line tersebut menjadi tidak sejajar
dikarenakan pasut air laut berubah setiap waktunya, data dari pasut ini berguna untuk
mengoreksi kesalahan akibat pengaruh pasut air laut.
Gambar 2.7 Pengamatan Pasut Air Laut secara Manual [Testindo, 2011]
21
2.4.2 Gyro Compass
Gyro compass merupakan suatu alat yang digunakan untuk keperluan navigasi. Pada
gyro compass ini nilai yang didapatkan adalah nilai utara sebenarnya mengacu pada
pusat massa bumi, dimana true north sangat penting dalam keperluan navigasi. Gyro
compass sendiri (Gambar 2.8) tidak terpengaruh oleh medan magnet lainnya
sehingga nilai utara yang didapatkan memiliki tingkat keakuratan yang tinggi.
Gambar 2.8 Gyro Compass Repeater [House, 2004]
2.4.3 Motion Reference Unit (MRU)
MRU adalah sebuah sistem yang digunakan untuk memberikan informasi mengenai
pergerakan kapal yang nantinya data mengenai pergerakan kapal ini akan dikirimkan
ke sistem MBES untuk dijadikan koreksi dari data kedalaman yang diperoleh.
Pengaruh dari kapal yang tidak dapat selalu dalam kondisi statik akibat pengaruh dari
arus dan gelombang ini dapat mempengaruhi kualitas data yang dihasilkan. Oleh
karena itu untuk kasus ini diperlukan MRU yang dapat mendeteksi gerak pitch
(anggukan), roll (gelengan), heading/yaw dari suatu kapal. Gambar 2.9
menggambarkan mengenai letak dari suatu MRU yang biasanya terletak diatas
transduser.
Gambar 2.9 Letak Motion Reference Unit [Edgetech, 2009]
22
Selain keempat data pendukung diatas, dalam setiap kegiatan survei selalu
diperlukan suatu sistem yang berkaitan tentang penentuan posisi. Dalam kegiatan
survei ini untuk penentuan posisi horizontal, digunakan GPS sebagai teknologi
penentuan posisi dari kedalaman. Metode yang digunakan dalam penentuan posisi ini
ialah metode DGPS (Differential Global Positioning System). Sistem DGPS ini
adalah suatu akronim yang sudah umum digunakan untuk sistem penentuan posisi
real-time secara diferensial menggunakan data pseudorange (Abidin, 2006).
Mengapa metode DGPS yang digunakan? Hal tersebut dikarenakan metode ini sudah
umum digunakan dalam penentuan posisi untuk objek-objek yang bergerak.
Untuk merealisasikan tuntutan real-timenya, maka stasiun referensi harus
mengirimkan koreksi diferensial ke pengguna secara real-time menggunakan sistem
komunikasi data tertentu. Koreksi diferensial ini dapat berupa koreksi preudorange
maupun koreksi koordinat. Dalam hal ini yang umum digunkan adalah koreksi
psudorange. Koreksi koordinat jarang digunakan karena koreksi ini menuntut bahwa
stasiun referensi pengirim koreksi serta pengamat mengamati set satelit yang sama,
dimana hal ini umumnya tidak selalu dapat direalisasikan dalam operasional
lapangannya. Ketelitian tipikal posisi yang dapat diberikan sistem DGPS ini berkisar
antara 1-3 meter. Dengan ketelitian setingkat ini sistem DGPS umum digunakan
dalam kegiatan survei hidrografi. Gambar 2.10 menjelaskan sistem DGPS secara
singkat.
Gambar 2.10 Metode DGPS dalam penentuan Posisi Horisontal [Anonim, 2010]
23
Download