karakteristik imunoglobulin y antitetanus diisolasi

advertisement
KARAKTERISTIK
IMUNOGLOBULIN Y ANTITETANUS
DIISOLASI DARI TELUR AYAM SEBAGAI
PENGGANTI ANTITETANUS
SERUM KUDA
I NYOMAN SUARTHA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
IPB
2006
I NYOMAN SUARTHA B161030021
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik Imunoglo
bulin Y Antitetanus Diisolasi Dari Telur Ayam Sebagai Pengganti Antite
tanus Serum Kuda adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, September 2006
I Nyoman Suartha
NRP. B161030021
ABSTRAK
I NYOMAN SUARTHA. Karakteristik Imunoglobulin Y Antitetanus Diisolasi
dari Telur Ayam sebagai Pengganti Antitetanus Serum Kuda. Dibawah bimbingan
I WAYAN TEGUH WIBAWAN, RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO, dan
BIBIANA W. LAY.
Produksi antibodi poliklonal pada ayam lebih menguntungkan
dibandingkan dengan produksi pada mamalia. Pemeliharaan ayam lebih sederhana
dan murah, ekstraksi dan purifikasi imunoglobulin Y (IgY) dari telur lebih
sederhana, cepat dan biayanya murah. Penggunaan ayam juga dapat mengurangi
pemakaian hewan mamalia dan menjadikan kondisi hewan coba lebih baik. Selain
itu IgY di dalam telur memberikan prospek yang sangat berarti, untuk mengatasi
masalah produksi antitetanus serum pada kuda. Telur dikoleksi dari ayam betina
jenis Isa Brown yang telah diimunisasi dengan toksoid tetanus dosis bertingkat.
Toksoid tetanus dicampur dengan Freund adjuvant complete dan Freund
adjuvant incomplete . Ekstraksi IgY antitetanus dari kuning telur dilakukan dengan
metode PEG–Kloroform selanjutnya dipurifikasi dengan fast protein liquid
chromatography. Identifikasi IgY antitetanus ditentukan secara fotometris dengan
metode Bradford (λ = 595 nM), uji Agar Gel Presipitation. Berat molekul IgY
antitetanus dideteksi dengan Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel
Electrophoresis. IgY antitetanus diber ikan perlakuan pH, panas , dan enzim.
Aktivitas biologis IgY antitetanus setelah perlakuan diamati dengan metode
enzyme linked imunosorbent assay. Uji Potensi IgY anti tetanus ditentukan
dengan metode Spearman-Karber. Titer IgY antitetanus mencapai punca k pada
telur minggu ke tujuh dari awal imunisasi. Rataan titer tertinggi pada telur 80.16 ±
33.55 IU/ml dan terendah 1.69 ± 0.63 IU/ml. Konsentrasi protein (IgY) setelah
ekstraksi diperoleh sebesar 0.652 ± 0.041 mg/ml. Sedangkan setelah purifikasi
konsentrasi protein sebesar 1.644 ± 0.424 mg/ml. Aktivitas biologis IgY anti
tetanus menurun sangat nyata (p<0.01) pada pH 2 dan pH 3, suhu 72.5 oC, dan
hilang pada perlakuan suhu 90 o C. Larutan sukrosa konsentrasi 25% mampu
mempertahankan aktivitas IgY antitetanus sampai 50 % pada suhu 75 oC selama 5
menit, sedangkan larutan glukosa konsentrasi 50% mampu meningkatkan
aktivitas IgY antitetanus pada suhu 75 o C dan suhu 80 o C selama 5 menit.
Aktivitas IgY antitetanus menurun setelah perlakuan enzim pepsin, tripsin dan
protease. Berdasarkan perhitungan Spearman-Karber diperoleh nilai potensi IgY
antitetanus sebesar 35 IU/ml. Pemberian IgY antitetanus 0.2 dan 0.4 IU/ekor
mampu melindungi mencit dari dosis letal toksin tetanus . Pada pemberian dosis
IgY lebih tinggi (0.8 IU/ekor dan 1 IU/ekor) mampu melindungi mencit dari
peningkatan dua kali dosis letal toksin. Pemberian IgY antitetanus secara oral
pada hewan dewasa tidak efektif untuk tujuan imunoterapi pasif dalam usaha
pencegahan penyakit secara sistemik . Kesimpulan dari penelitian ini yaitu ayam
mampu memproduksi IgY antitetanus pada kuning telur dan dapat digunakan
sebagai sumber antitetanus serum untuk menggantikan produksi antitetanus serum
di kuda.
Key words : imunoglobulin Y, Ayam, antitetanus serum, kuda
ABSTRACT
I NYOMAN SUARTHA. The Characteristic of Antitetanus Immunoglobulin Y
Isolated from Eggs to substitute Horse Antitetanus Serum. Under advisory of I
WAYAN TEGUH WIBAWAN, RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO, and
BIBIANA W. LAY.
Laying hens are highly profitable producers of polyclonal antibodies in
comparison with mammals as antibodies can be purified from egg yolks. The cost
for producing IgY is lower than for mammalian antibodies since chicken housing
is cheap and isolation process is economical, high yielding, uncomplicated and
fast. The purpose of the study was to explore the opportunity of using antitetanus
IgY from egg yolks to substitute the production of antitetanus serum from horses.
The eggs were collected from adult Isa brown hens which have been immunized
by tetanus toxoid. The immunization was applied intra venously with an initial
dose of 15 Lf. The immunization was repeated three times with gradual dose of
100, 200, and 300 Lf with an interval of one week intra muscularly. The first
immunization was tetanus toxoid mixed with Freund adjuvant complete and
subsequently mixed with Freund adjuvant incomplete. Antitetanus IgY was
extracted from egg yolks by means of PEG–Chloroform and purified using fast
protein liquid chromatography. The purity of antitetanus IgY was determined by
Bradford method (λ = 595 nm) and Agar Gel Precipitation test. The molecular
weight of purified antitetanus IgY was determined with Sodium Dodecyl Sulphate
Polyacrylamide Gel Electrophoresis. The antitetanus IgY were treated by pH,
heat, and enzyme. The biological activities of treated antitetanus IgY was
determined by enzyme linked immunosorbent assay. Neutralization potency test
of antitetanus IgY was determined by Spearman-Karber method. The antitetanus
IgY highest titer of egg yolks was 80.16 ± 33.55 IU/ml reached at seven weeks
after starting immunization schedule and the lowest was 1.69 ± 0.63 IU/ml.
Protein concentration (IgY) after extraction and purification were 0.652 ± 0.041
mg/ml and 1.644 ± 0.424 mg/ml respectively . Biological activity of antitetanus
IgY decreased significantly (p<0.01) at of pH 2, pH 3, and at 72.5 o C, and lost its
activity at 90 o C after 20 minutes. Addition of 25% sucrose solution was able to
maintain antitetanus IgY activity until 50 % at 75 o C for 5 minutes, while addition
of 50% glucose solution increase antitetanus IgY activity at 75 oC and 80 o C for 5
minutes. The effect of pepsin, trypsin, and protease enzyme s decreased the
activities of antitetanus IgY. Spearman-Karber value of potency of antitetanus
IgY was 35 IU/ml. The injection of 0.2 and 0.4 IU antitetanus IgY per mice
respectively, protect all mice from the letal dose tetanus toxin. The doses of 0.8
IU and 1 IU anti tetanus IgY per mice protected twice dose of letal tetanus toxin.
Antitetanus IgY given orally on adult animal was ineffective as passive
immunotherapy. This research concluded that the hens were capable of produc ing
antitetanus in egg yolks and can be used as a resource of antitetanus serum to
substitute horse antitetanus serum.
Key Words : imunoglobulin Y, Chicken’s egg, antitetanus serum, horse.
 Hak cipta milik I nstitut Pertanian Bogor , tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian
Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi,
mikrofilm, dan sebagainya
KARAKTERISTIK
IMUNOGLOBULIN Y ANTITETANUS DIISOLASI DARI
TELUR AYAM SEBAGAI PENGGANTI ANTITETANUS
SERUM KUDA
I NYOMAN SUARTHA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Sains Veteiner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
Judul Disertasi
: KARAKTERISTIK IMUNOGLOBULIN Y
ANTITETANUS DIISOLASI DARI TELUR AYAM
SEBAGAI PENGGANTI ANTITETANUS SERUM
KUDA
Nama Mahasiswa
Nomor pokok
Program Studi
: I NYOMAN SUARTHA
: B161030021
: SAINS VETERINER
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS.
Ketua
Dr. Retno Damayanti Soejoedono, MS.
Anggota
Prof. Dr. Bibiana W. Lay, M.Sc.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Sains Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, PhD. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MS.
Tanggal Ujian : 30 Agustus 2006
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya, sehingga penulisan disertasi ini
dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini berjudul : Karakteristik Imunoglobulin Y
Antitetanus Diisolasi Dari Telur Ayam Sebagai Pengganti Antitetanus Serum
Kuda .
Ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Yang
terhormat: Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan MS selaku ketua komisi
pembimbing, Dr. Retno Damayanti Soejoedono, MS, dan Prof. Dr. Bibiana W.
Lay, MSc. Sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan
semangat, bimbingan, saran, petunjuk dan tuntunan yang tulus selama mengikuti
pendidikan, persiapan dan perencanaan penelitian, pencarian dana penelitian
sampai pada penyusunan disertasi ini.
Terima kasih penulis sampaikan kepada DIRJEN DIKTI atas beasiswa
BPPS yang telah diberikan, Direktur P3M DIKTI atas sebagian dana penelitian
yang diberikan melalui proyek Hibah bersaing XII/tahun ke-1 dan ke-2, Dr. drh
Risa Tiuria, MS atas masukannya saat ujian tertutup. Prof. Dr. Fachriyan H.
Pasaribu, dan Dr. drh. A.E.T.H. Wahyuni, MSi atas masukannya saat sidang
terbuka untuk memperluas kasanah tulisan ini. Ibu drh Lia Siti Halimah, MSi dan
staf di laboratorium uji hewan PT Bio Farma Bandung atas segala bantuan yang
telah diberikan, Dr Ita Djuwitha, MPhil dan staf di laboratorium Embriologi FKH
IPB atas bantuannya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada drh
Okti Nadia putri, drh Putu Ika Mayangsari, drh Candramaya Siska Damayanti,
Dra Elisabeth Maria, MSi, saudara Imam Bayu serta tema n–teman Punhawacana
Bali atas bantuannya.
Kepada ayahanda I Wayan Budiasa, BA, Ibunda Ni Ketut Sangi, AMAPd,
Ayah mertua I Nyoman Padet dan Ibunda Ni Wayan Rambu (Alm) , Kakak, Adik
serta seluruh keluarga, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan atas
segala doa, bimbingan dan dorongan semangat yang telah diberikan selama ini.
Terima kasih, penghargaan dan hormat yang tulus penulis sampaikan kepada istri
tercinta drh Ni Made Sri Widiyani, yang penuh rasa kasih dan pengertian, sabar,
selalu mendoakan, memberikan dorongan, semangat, dan banyak berkorban
selama penulis mengikuti pendidikan sampai selesainya disertasi ini. Terima kasih
pula untuk anak-anak tercinta dan tersayang Ni Luh Vigyan Witharni, Ni Made
Praba Viswandari, dan I Nyoman Gede Prajnam Magha Vadantha yang senantiasa
memberikan semangat dan dorongan dalam kehidupan penulis.
Penulis dengan rendah hati mohon maaf atas segala kekurangan dalam
disertasi ini dan semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, September 2006
I Nyoman Suartha
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Badung Bali pada tanggal 1 Maret 1968, sebagai
anak kedua dari empat saudara dari pasangan ayah I Wayan Budiasa BA, dan Ibu
Ni Ketut Sangi, AMAPd. Pendidikan sarjana dan profesi dokter hewan di tempuh
di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, lulus tahun 1993. Pada
tahun 1997 penulis mendapat kesempatan mengikuti pendidikan program
Magister di Program Studi Sains Veteriner
Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 1999.
Kesempatan untuk
melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi
yang sama di peroleh pada tahun 2003. Beasiswa pendidikan pascasarjana
diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia melalui Biaya Pendidikan Program Pascasarjana
(BPPS).
Sejak tahun 1994, penulis mengabdikan diri sebagai staf pengajar pada
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana , Denpasar Bali sampai
sekarang.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kejadian penyakit tetanus dilaporkan masih tetap tinggi, setiap tahun
dilaporkan terjadi 350 000 sampai 400 000 kasus tetanus di seluruh dunia.
Kejadian kasus lebih tinggi di negara berkembang terutama negara yang program
imunisasinya tidak teratur dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kesehatan
rendah (Bruggemann et al. 2003; Kiefer 2004). Pada negara industri dilaporkan
kasus tetanus terjadi secara sporadik. Penyakit tetanus dilaporkan bersifat endemis
pada 90 negara berkembang (Bruggemann et al. 2003).
Strategi pencegahan penyakit tetanus dengan meningkatkan kebersihan
dan imunisasi. Imunisasi dapat dilakukan secara aktif dengan toksoid tetanus dan
pasif dengan antitetanus serum. Pada daerah yang beresiko tinggi, imunisasi aktif
minimal dilakukan sebanyak tiga kali (Vandelaer et al. 2003). Antibodi yang
terbentuk akan berikatan dan menginaktivasi toksin sebelum toksin itu menyerang
otot dan saraf. Clostridium tetani dapat dibunuh dengan antibiotik penicilin, tetapi
antibiotik tidak mampu menetralisasi toksin (Kiefer 2004). Pencegahan dengan
antitetanus serum dan pengobatan dengan antibiotik merupakan pendekatan yang
masih relevan untuk mengurangi penyakit tetanus (Covarelli dan Marconi 1980;
Bleck 1991; Forrat et al. 1998; Bruggemann et al. 2003).
Pencegahan tetanus difokuskan pada imunisasi awal. Imunisasi diulang
setiap 10 tahun atau pada saat berumur 40 sampai 50 tahun untuk menghindari
terinfeksi tetanus saat umur tua (Schatz et al. 1998; Cavuslu et al. 2003). Maral et
al. (2001) melaporkan kejadian tetanus menyerang lebih dari satu juta orang di
seluruh dunia, dengan 80% kejadian terjadi pada masa neonatal.
Imunisasi pada setiap wanita hamil sangat protektif untuk mencegah
tetanus neonatal dan imunisasi mampu menekan morbiditas dan mortalitas
penyakit tetanus (Maral et al. 2001). Akan tetapi sampai saat ini tetanus masih
merupakan masalah utama pada kesehatan masyarakat pada kebanyakan negara
berkembang. Pada negara yang standar kesehatannya tinggi dilaporkan case
fatality rate tetanus tetap tinggi (7% sampai 58%) terutama pada pasien umur tua
(Forrat et al. 1998; Maral et al. 2001).
2
Kekhawatiran akan kejadian tetanus sampai saat ini pada manusia masih
mendapat perhatian yang serius, khususnya aplikasi antitetanus ser um (ATS)
tetap dilakukan pada saat terjadi perlukaan. Hal yang sama juga terjadi pada
kesehatan hewan, terutama pada kawasan kebun binatang atau kawasan wisata
dengan obyek binatang. Penggunaan kandang yang sempit, daya dukung kawasan
yang terbatas akan mempermudah kejadian luka, seperti halnya pada daerah
kawasan wisata monkey forest Ubud Bali yang dihuni oleh monyet ekor panjang,
kejadian luka berkisar sampai 10%. Tipe luka yang banyak diderita
adalah kulit
robek, luka tusuk, dan kulit robek sampai otot rusak. Kondisi luka ini akan
mempermudah kejadian tetanus terutama luka yang terjadi di daerah badan yang
sulit dibersihkan. Kesembuhan luka yang diderita oleh monyet itu berkisar antara
satu minggu sampai 3 minggu (Suartha et al. 2002). Waktu itu merupakan periode
masa inkubasi dari kuman tetanus (Lewis 1998). Hal yang sama juga sangat
rentan dialami oleh praktisi kesehatan hewan di lapangan, terutama yang bertugas
di wilayah terpencil. Seorang praktisi kesehatan hewan dilaporkan tewas akibat
tetanus sete lah terinjak sapi, begitu juga halnya di daerah bekas bencana
(Soeharsono 2005).
Produksi ATS saat ini umumnya dilakukan pada kuda, yakni dengan
menyuntikkan toksoid tetanus pada kuda yang terpilih. Masalah sering muncul
karena penggunaan serum spesifik sering menyebabkan reaksi silang seperti
reaksi anafilaktik atau serum sickness. Hal itu telah mendorong penggunaan
imunoglobulin antitetanus dari sumber lain seperti serum manusia, tetapi kesulitan
menyedia kan donor (Forrat et al. 1998). Penggunaan telur (Imunoglobulin Y)
diharapkan dapat mengurangi resiko itu dan digunakan sebagai sumber
antitetanus .
Sampai saat ini imunoglobulin Y (IgY) ayam belum dimanfaatkan secara
maksimal untuk tujuan terapi atau pencegahan, khususnya untuk pemberian
kekebalan secara pasif. Perkembangan industri perunggasan terfokus membuat
ayam sebagai sumber nutrisi. Hanya sedikit ahli yang mengetahui ayam
merupakan sumber produksi antibodi yang sangat baik. Penerimaan atau
dukungan ahli terhambat karena sikap tradisional dan terba tas atau tidak ada
informasi secara luas (Schade dan Hlinak 1996). Para peneliti masih
3
menggunakan imunoglobulin dari mamalia seperti kelinci, tikus, quinea pig, dan
hewan mamalia besar seperti kuda, kambing, domba, dan sapi (Svendsen et al.
1995).
Beberapa peneliti melaporkan keuntungan penggunaan telur sebagai
pabrik bahan biologi adalah : kandungan IgY tinggi dalam telur, mudah
diproduksi dalam jumlah besar, tidak menimbulkan efek samping karena tidak
bereaksi silang dengan faktor rheumatoid dan komponen jaringan mamalia, tidak
bereaksi dengan reseptor Fc yang dimiliki oleh mikrob sehingga bereaksi lebih
spesifik terhadap antigen yang dikehendaki, memiliki aktivitas dan daya
netralisasi lebih tinggi dibandingkan IgG mamalia, biaya produksi secara masal
lebih murah dibandingkan menggunakan mamalia, dan dari segi Animal welfare
lebih dapat diterima dibandingkan dengan menggunakan mamalia (Davis dan
Reeves 2002).
Pemanfaatan IgY untuk pengobatan dan pencegahan penyakit masih
sedikit dan terbatas pada skala laboratorium. Perkembangan dan penelitian ke arah
pemanfaatan telur unggas baru berkembang dalam satu setengah dekade terakhir.
Antibodi spesifik di dalam kuning telur dapat ditimbulkan dari berbagai macam
patogen. Kermani-Arab e t al. (2001) melaporkan IgY spesifik terhadap penyakit
Marek yang diaplikasi secara pasif mampu menahan infeksi virus Marek. Efek
yang
sama
diamati
terhadap
berbagai
penyakit
misalnya
influenza
(Bogoyavlensky et al. 1999), EPEC K11 (Rawendra 2005) , Salmonella enteridis
dan typhimurium (Lee et al. 2002; Babu et al. 2003) , Helicobacter pylori (Shin
et al. 2002; Shin et al. 2004).
IgY juga digunakan untuk deteksi antigen pe rmukaan penderita hepatitis
B (Makvandi dan Fiuzi 2002), caries gigi (Hamada et al.1991), pembentukan
plaque gigi karena Streptokokus mutans (Hatta et al. 1997), diare pada pedet
(Erhard et al. 1997), deteksi kanker (Yang et al. 1997; Fortgens et al. 1997;
Sasse et al. 1998; Sriram et al. 1999), Virus horsesickness (Plessis et al. 1999) ,
Bovine coronavirus (Ikemori et al. 1997) , dan deteksi insulin (Song et al. 1985).
Teknologi IgY sangat baik digunakan untuk produksi antibodi dari antigen
conserved mamalia (Gassmann et al. 1990; Murata et al. 1996), modifikasi
metode diagnosis suatu penyakit seperti modifikasi dalam uji ELISA (Marti et
4
al.1997; Losonczy et al.1999; Coillie et al. 2004; Ester 2004), dan diagnostik
yang lain (Katz et al.1985). Pemberian secara oral sebagai food suplemen untuk
pencegahan kuman (Shimizu et al. 1988; Yokohama et al. 1998; Carlander et al.
2000; Hedlund dan Hau 2001, Sunwoo et al. 2002). IgY dapat di absor psi dan
ditransfer secara efisien sebagai antibodi kolustrum (Yokohama et al. 1993).
Adanya IgY dalam telur memberikan prospek untuk pemberian kekebalan
pasif pada kasus penya kit (Polson et al. 1980). Prinsip pengebalan adalah pasif,
artinya transfer kekebalan terhadap beberapa penyakit dilakukan dengan
mengkonsumsi telur yang mengandung zat kebal dan dipreparasi secara khusus.
IgY unggas mengenal lebih banyak epitop protein mamalia dibandingkan dengan
imunoglobulin kelinci, sehingga cocok untuk percobaan imunologi protein
mamalia (Schade et al.1996). IgY unggas dapat diproduksi apabila antigen dalam
jumlah sedikit atau memerlukan pengawetan tinggi seperti hormon. Dalam
pemerik saan imunologi, IgY memberikan hasil lebih akurat karena dapat
mengurangi ikatan dengan antigen non spesifik, yang menyebabkan hasil negatif
palsu atau positif palsu (Schade et al. 1996; Warr dan Higgins 1995).
Laporan penelitian di atas memberikan inspirasi untuk mempelajari
karakteristik dan efikasi atau daya netralisasi IgY spesifik terhadap toksin tetanus.
Sampai saat ini keperluan akan antitetanus serum (ATS) untuk pencegahan infeksi
tetanus, khususnya pada kasus perlukaan masih sangat dibutuhkan.
Pe rumusan masalah
Pengebalan pasif terhadap penyakit tetanus di dunia kedokteran telah lama
dikenal penggunaan “Anti Tetanus Serum” (ATS). Produksi ATS umumnya
dilakukan pada kuda, yakni dengan menyuntikkan toksoid tetanus pada kuda
terpilih. Prosedur produksi antibodi tersebut menyebabkan cekaman (stress).
Cekaman terjadi saat melakukan imunisasi dan saat pengambilan darah untuk
preparasi antibodi. Masalah yang sering muncul saat produksi ATS pada kuda
adalah : Penyuntikan toksoid yang berulang dan terus menerus menyebabkan
respon pembentukan antibodi spesifik terhadap toksoid kurang baik. Titer
antibodinya sering rendah dan tidak konsisten. Penyuntikan toksoid yang terus
menerus menyebabkan terjadinya amiloidosis pada kuda -kuda yang digunakan.
5
Hal ini menyebabkan penderitaan kronis pada kuda. Endapan amiloid sering
dijumpai pada organ limpa, limfoglandula dan organ limfoid lainnya. Produksi
ATS pada kuda sangat mahal.
Adanya masalah-masalah di atas maka terpikirkan untuk memproduksi
ATS pada telur ayam. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena antibodi dalam
darah induk ayam dapat ditransfer ke dalam telur dalam jumlah yang cukup
banyak. Schade et al. (1996) melaporkan imunisasi pada ayam menghasilkan
konsentrasi antibodi spesifik yang sama antara serum da n kuning telur.
Konsentrasi IgY pada kuning telur konstan sampai oosit matang (maturasi),
dengan kandungan 10 sampai 20 mg/ml (Carlander 2002). Biaya produksi
imunoglobulin pada telur unggas sangat murah (Warr dan Higgins 1995;
Makvandi dan Fiuzi 2002)
Penggunaan
ayam
untuk
produksi
antibodi
menghilangkan
dan
mengurangi penggunaan mamalia sebagai hewan laboratorium. Menghilangkan
yang di maksud adalah menghilangkan langkah yang menyakitkan saat koleksi
darah, yang digantikan dengan ekstraksi antibodi dari kuning telur. Pengurangan
yang di maksud adalah mengurangi jumlah hewan yang digunakan, sebab ayam
menghasilkan antibodi yang lebih efisien dibandingkan hewan mamalia seperti
kelinci maupun mamalia besar lainnya (Karlsson et al. 2004). Berkenaan dengan
animal welfare dan efisiensi biaya, penggunaan antibodi dalam telur lebih bisa
diterima dibandingkan dengan penggunakan hewan percobaan mamalia (Svendsen
et al. 1995).
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui sifat karakteristik IgY spesifik
terhadap toksin tetanus yang diisolasi dari telur, untuk menggantikan produksi
antitetanus serum pada kuda.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai untuk memproduksi IgY
yang lebih spesifik terhadap antigen toksoid tetanus, sehingga dapat digunakan
untuk imunodiagnostik dan imunoterapi secara masal. IgY antitetanus ini biaya
6
produksinya lebih murah, aman, mudah, dan kualitas yang lebih baik daripada
ATS konvensional yang diproduksi dari kuda.
Hipotesis
Berdasarkan atas latar belakang dan permasalahan yang diajukan di atas,
maka disusun suatu hipotesis sebagai berikut :
1 Ayam mampu memproduksi IgY spesifik terhadap toksin tetanus yang
tersimpan pada telur,
2 IgY yang terbentuk mempunyai daya tahan terhadap pengaruh suhu, pH, dan
enzim pencernaan,
3 IgY yang terbentuk mampu menetralisasi toksin tetanus dan berpotensi tinggi.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
x
xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
PENDAHULUAN .........................................................................................
xiii
1
Latar Belakang .................................................................................
Perumusan masalah .........................................................................
1
4
Tujuan Penelitian .............................................................................
Manfaat Penelitian ..........................................................................
5
5
Hipotesis .........................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
6
7
Sistem Imun .....................................................................................
Imunoglobulin ................................................................................
7
9
Imunoglobulin Y ............................................................................
Keuntungan Penggunaan Imunoglobulin Y ....................................
10
14
Penggunaan Teknologi IgY ............................................................
Stabilitas IgY ..................................................................................
17
18
Tetanus ...........................................................................................
Toksin Tetanus ...............................................................................
19
22
Mekanisme Kerja Toksin Tetanus ....................................................
Imunitas Terhadap Toksin Tetanus .................................................
Pencegahan dengan Antitoksin .......................................................
25
34
35
MATERI DAN METODE ...........................................................................
Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................
36
36
Materi ..............................................................................................
Hewan Percobaan ........................................................................
36
36
Toksoid Tetanus ..........................................................................
Bahan ...........................................................................................
36
37
Peralatan ......................................................................................
Metode .............................................................................................
37
38
Produksi IgY pada Telur Ayam ..................................................
Ekstraksi IgY dari Kuning Telur ..............................................
Purifikasi IgY ..............................................................................
Identifikasi Kemurnian IgY ......................................................
38
38
39
39
Metode Bradford ....................................................................
40
viii
Uji Imunodifusi .....................................................................
Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel
40
Electrophoresis .......................................................................
Teknik ELISA ........................................................................
41
42
Aktivitas Biologis IgY.......................................... ..........................
Uji Aktivitas IgY Setelah Perlakuan pH ........... .........................
43
43
Uji Aktivitas IgY Setelah Perlakuan Suhu
...............................
Uji Aktivitas IgY Setelah Perlakuan Enzim Pepsin, Tripsin, dan
Protease ......................................................................................
43
Uji Potensi IgY ................................................................................
44
44
Uji Tantang pada Hewan Coba .......................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
45
47
Produksi IgY antitetanus pada Telur Ayam .....................................
47
Ekstraksi, Purifikasi dan Karakterisasi IgY Antitetanus dari
Kuning Telur ....................................................................................
Aktivitas Biologis IgY antitetanus ..................................................
Titrasi Toksoid, Sampel IgY Ayam, dan Konjugate Enzim ....
52
59
59
Aktivitas IgY Antitetanus Setelah Perlakuan pH ......................
Aktivitas IgY Antitetanus Setelah Perlakuan Suhu ..................
59
62
Aktivitas IgY Antitetanus Setelah Perlakuan Enzim Pepsin,
Tripsin, dan Protease ..................................................................
67
Hasil SDS-PAGE IgY Antitetanus Setelah Perlakuan Fisik dan
Kimia ..............................................................................................
Potensi IgY Antitetanus ..................................................................
Uji Tantang Pada Hewan Coba .......................................................
69
70
72
Berat Badan ...............................................................................
Feed Intake ................................................................................
75
78
Laju Respirasi ...........................................................................
Refleksitas ................................................................................
80
82
Pemberian IgY Antitetanus Secara Oral ...................................
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
83
86
Kesimpulan .......................................................................................
Saran .................................................................................................
86
86
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
87
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Karakter imunoglobulin itik ..................................................................
12
2.
Kelebihan IgY dibandingkan dengan IgG mamalia ...........................
16
3.
Hasil uji AGP IgY antitetanus pada serum dan telur ayam .................
47
4.
Hasil pengukuran titer IgY antitetanus (IU/ml) ..................................
51
5.
Konsentrasi protein hasil ekstraksi dan purifikasi IgY antitetanus ......
54
6.
Uji potensi IgY antitetanus ....................................................................
71
7.
Protective dose-50 ATS standar ………………………………………
71
8.
Protective dose-50 ATS uji …………………………………………
71
9.
Persentase mencit yang bertahan hidup pada setiap
kelompok perlakuan .............................................................................
10. Persentase mencit yang hidup setelah diberi IgY antitetanus
secara oral ..............................................................................................
73
84
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2
Perbedaan struktur IgY dan IgG. .............................................................. 12
Fragmen Hc toksin tetanus ........................................................................ 25
3
4
Proses perlekatan toksin bakteri pada sel .................................................. 27
Interaksi ganggliosida pada dua permukaan binding site fragmen Hc....... 28
5
6
Patogenesis penyakit tetanus ..................................................................... 31
7.
8.
9.
Proses penghambatan toksin tetanus terhadap reseptor transmiter
inhibitor .................................................................................................... 32
Rataan konsentrasi IgY antitetanus pada serum dan telur .....................
48
Hasil uji imunodifusi IgY antitetanus Ayam ......................................... 48
Penambahan kloroform pada laruta n kuning telur. B. Pemisahan
supernatan yang mengandung IgY antitetanus dari lemak telur yang
telah mengendap ......................................................................................
52
10 A. Penambahan PEG 6000 pada supernatan. B. Pemisahan pelet dari
supernatan setelah disentrifuse ..................................................................
.
53
11 Profil pita protein dari IgY antitetanus hasil ekstraksi dengan metode
PEG – kloroform ......................................................................................
.
55
12 Kromatogram hasil FPLC IgY antitetanus ..............................................
13 Hasil uji agar gel presipitasi IgY antitetanus setelah pemurnian dengan
FPLC. ... ..................................................................................................
56
57
14 Hasil SDS-PAGE IgY antitetanus setelah pemurnian FPLC. ................. 58
15 Pola aktifitas IgY antitetanus setelah perlakuan pH ................................. 60
16 Penurunan aktivitas IgY antitetanus setelah perlakuan pH ...................... 61
17 Pola aktifitas IgY antitetanus setelah perlakuan suhu ............................. 62
18 Penurunan aktivitas IgY antitetanus setelah perlakuan suhu dengan
waktu inkubasi berbeda ........................................................................... 63
19 Penambahan larutan sukrosa pada larutan IgY antitetanus ...................... 64
20 Penambahan larutan glukosa ke dalam larutan IgY antitetanus ...............
21 Pola aktifitas IgY antitetanus setelah perlakuan enzim pepsin, tripsin,
dan protease ..............................................................................................
65
22 Hasil SDS-PAGE IgY antitetanus setelah perlakua n fisik dan kimia . .
68
69
23 Frekuensi pemunculan kasus dengan gejala klinis khas tetanus ..........
24 Jumlah gejala klinis yang muncul harian. ..............................................
73
74
25 Gejala klinis yang muncul pada dosis IgY berbeda. ..............................
26 Pola kecenderungan garis regresi berat badan mencit …………………
74
76
xi
27 Pola pertambahan berat badan mencit .....................................................
28 Pola kecenderungan garis regresi feed intake mencit …………………
77
79
29 Pola kecenderungan garis regresi laju respirasi mencit ............................
30 Konsumsi oksigen mencit .......................................................................
80
81
31 Kemampuan lama berenang mencit ......................................................
83
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Reagensia untuk Fast Protein Liquid Chromatography (FPLC) ..........
99
2.
Reagensia untuk ELISA ........................................................................
100
3.
Perhitungan berat molekul protein .......................................................
101
4.
Prosedur pengenceran serum antitetanus standar dan toksin
tetanus ..................................................................................................
102
5.
Bagan pengamatan uji tantang........................................................
103
6.
Kurva standar BSA untuk pengukuran konsentrasi protein ..............
103
7.
Analisis ANOVA perlakuan suhu terhadap IgY antitetanus ….……...
104
8.
Analisis ANOVA perlakuan pH terhadap IgY antitetanus …………...
105
9.
Analisis ANOVA perlakuan enzim terhadap IgY antitetanus ...............
109
10. Persamaan garis regresi berat badan ..................................................
111
11
Persamaan garis regresi feed intake ………………………………..
111
12
Persamaan garis regresi laju respirasi ……………………………….
112
xiii
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Imun
Sistem
imun
dimiliki
oleh
semua
spesies,
digunakan
untuk
mempertahankan diri melawan benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
Keberadaan protein asing dan patogen dimonitor secara rutin oleh tubuh melalui
pelepasan imunoglobulin. Sistem kekebalan akan mampu mengenali spesifik zat
kimia yang membedakan sebuah patogen asing dari yang lainnya, serta mampu
mengenali molekul asing dengan sel-sel tubuh beserta protein -proteinnya (Kuby
1997). Antibodi mampu mengenali dan berikatan dengan antigen spesifik sampai
ribuan atau jutaan antigen. Interaksi antigen-antibodi merupakan interaksi biologi
yang sangat spesifik. Sifat khusus itu yang dimanfaatkan dalam teknik imunologi
(Abbas et al. 1997).
Pertahanan tubuh melawan infeksi dapat diba gi atas dua yaitu : kekebalan
alamiah (non spesifik) dan kekebalan spesifik (adaptive). Kekebalan non spesifik
meliputi empat tipe pertahanan yaitu : pertahanan secara anatomi, fisiologi,
fagositik, dan peradangan.
Pertahanan secara anatomi merupakan pertahanan
tubuh yang pertama mencegah masuknya mikrob patogen ke dalam tubuh.
Pertahanan secara anatomi terdiri atas barier fisik kulit, selaput lendir, silia, proses
batuk, dan bersin. Barier fisik berperan mencegah penetrasi patogen ke dalam
tubuh dengan cara melisiskan dan menghambat kolonisasi kuman. Sebagian besar
bakteri gagal untuk hidup lebih lama pada kulit karena pengaruh hambatan
langsung dari asam laktat dan asam lemak yang disekresikan kelenjar keringat dan
sekresi glandula sebaseus (Roitt 1988) .
Pertahanan secara fisiologi akan menghambat perlekatan patogen yang
masuk ke dalam tubuh melalui mekanisme fisiologi seperti pengaturan
temperatur, pH, sekresi mucus, dan pelepasan mediator kimia (lisozim, sekresi
sebaseus, asam lambung, laktoferin, dan asam neuramik), dan faktor humoral
(komplemen, dan interferon). Pertahanan fagositik diperankan oleh sel hetrofil,
basofil, eosinofil, sel natural killer, dan sel mast. Sel itu akan mencerna dan
menghancurkan mikrob asing, serta membunuh sel tubuh yang ter infeksi kuman.
Jaringan yang telah rusak dan infeksi menyebabkan reaksi peradangan (Halliwell
dan Gorman 1989; Kuby 1997).
8
Respon imun spesifik terbentuk dari kemampuan tubuh menghasilkan
respon yang spesifik untuk melawan patogen yang masuk ke dalam tubuh. Secara
klasik respon imun spesifik dikelompokkan menjadi kekebalan humoral dan
kekebalan berperantara sel (Roitt 1988). Dua tipe sel yang berperan secara aktif
yaitu makrofag dan limfosit. Makrofag menguraikan antigen untuk disajikan pada
sistem imum, dan limfosit mengenali fragmen antigen yang disajikan untuk
produksi antibodi (Halliwell dan Gorman 1989). Imunitas spesifik selama
merespon substansia asing juga membentuk sel memori sehingga mudah
mengenali antigen jika terjadi paparan yang berulang (Roitt 1988).
Respon humoral meliputi interaksi sel B (sel plasma) dengan antigen dan
selanjutnya proliferasi dan diferensiasi membentuk antibodi dengan atau tanpa
bantuan sel T. Limfosit B mengekspresikan imunoglobulin permukaan yang
spesifik terhadap epitop dari antigen, dan limfosit T mengenali antigen yang telah
diproses pada sel presenting antigen. Antibodi yang disekresikan oleh sel plasma
menghasilkan antibodi soluble (terlarut). Respon imun selular meliputi interaksi
reseptor sel T dan antigen yang telah diproses. Respon itu melalui dua jalur.
Pertama , interaksi sel T dengan antigen dan sekresi limfokin untuk menarik
makrofag yang akan memfagositosis antigen. Kedua, interaksi sel T sitotoksik
dengan antigen yang dipresentasikan oleh MHC II yang akan menyebabkan lisis
sel (Roitt 1988).
Berdasarkan proses terbentuknya kekebalan dalam tubuh, kekebalan
dibedakan atas dua tipe, yaitu kekebalan aktif dan kekebalan pasif. Pada proses
imunisasi aktif tubuh akan memproduksi antibodi dan memberi kekebalan yang
lama. Pada imunisasi pasif antibodi terbentuk segera tetapi memberikan
perlindungan dalam waktu singkat (Abbas et al. 1997).
Neonatus mendapatkan kekebalan dari induk melalui kolustrum selama
laktasi pada mamalia dan kuning telur pada reptil dan burung (Anonim 2002).
Kuning telur ayam telah diteliti dan mengandung lebih dari 200 antibodi berbeda.
Setiap protein asing atau mikrob yang memapar ayam baik dengan cara imunisasi
atau terpapar secara alami akan diproses dan menimbulkan antibodi untuk
melawan bahan asing itu. Antibodi akan berkumpul di kuning telur dengan titer
yang berbeda tergantung derajat paparan.
Ayam adalah hewan yang paling
9
optimal memproduksi antibodi, dibandingkan dengan mamalia yang hanya
memproduksi kolustrum saat partus (Da vis and Reeves 2002). Produk imun itu
memberikan perlindungan secara alami terhadap infeksi selama perkembangan
sistem imun anak belum berfungsi optimal (Anonim 2002).
Imunoglobulin
Imunoglobulin atau antibodi adalah kelompok protein yang mempunyai
kema mpuan berikatan secara spesifik pada antigen dan mengeluarkan antigen itu
dari tubuh. Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma
sebagai akibat interaksi antara limfosit B peka antigen dengan antigen khusus
(Kuby 1997). Struktur dasar dari antibodi tersusun atas empat rantai polipeptida
yaitu dua rantai berat dan dua rantai ringan yang identik (Male et al. 1987).
Rantai berat (H) dan rantai ringan (L) disatukan oleh ikatan kovalen
disulfida.
Posisi ikatan sulfida bervariasi tergantung dari kelas dan subkelas
antibodi. Setiap molekul antibodi terbagi atas bagian yang dapat berubah
(variable) dan bagian yang tetap (konstan). Bagian variable merupakan tempat
pertautan antigen, sedangkan bagian konstan tempat sifat biologi antibodi. Bagian
variabel dihubungkan dengan bagian konstan oleh bagian engsel. Pada bagian
variabel terdapat bagian hipervariabel untuk mengenali berbagai variasi antigen.
Bagian variabel dan konstan terdapat pada rantai berat dan rantai ringan antibodi
(Kuby 1997).
Secara umum imunoglobulin pada mamalia dibagi ke dalam lima kelas
berdasarkan struktur regio konstan rantai berat, yaitu Ig G (γ), IgA (α ), Ig M (µ),
Ig D (δ), dan Ig E (ε) dan dua tipe rantai ringan kaffa (κ) dan lamda (λ). Pada
setiap molekul antibodi terdapat hanya satu tipe rantai ringan (Roitt 1988).
Sedangkan pada sistem pertahanan unggas (ayam) ada tiga kelas imunoglobulin
(Ig), yaitu IgA, IgY, dan IgM (Shimizu et al. 1992; Hatta et al. 1993; Sharma
1997). Di antara spesies avian, sistem imun aya m telah dipelajari de ngan intensif
(Davis and Reeves 2002). Struktur imunoglobulin M dan A ayam mirip dengan
yang ditemukan pada mamalia sedangkan struktur IgG mamalia berbeda dengan
IgY ayam (Sharma 1997). Selain imunoglobulin, perlindungan terhadap patogen
pada unggas juga diperankan oleh organ pertahanan yang
terdiri atas bursa
10
fabricius, bone marrow, limpa, timus, glandula harderian, limponodus, limfosit
yang bersirkulasi, dan jaringan limfoid pada saluran cerna (Shimizu et al. 1992;
Hatta et al. 1993; Sharma 1997).
Imunoglobulin Y
Terminologi (istilah) IgY telah diperkenalkan sejak tahun 1969 dalam
literatur yang diistilahkan dengan 7-S Ig terutama yang terdapat di serum, tetapi
juga ditemukan dalam isi duodenum, bilasan trakea, dan plas ma seminal (Hadge
dan Ambrosius 1984).
Imunoglobulin Y telah diisolasi dari unggas (kalkun,
ayam, itik, angsa) , ampibi, reptil (Hadge 1985), dan kura-kura darat (Hadge dan
Ambrosius 1986). Pada awalnya, beberapa peneliti menduga bahwa IgY yang
dihasilkan bangsa unggas sama dengan IgG mamalia, sedangkan kenyataannya
berbeda (Szabo et al. 1998).
Transpor IgY dari serum induk ke anak meliputi dua proses. Pertama , IgY
ditransfer melewati epitel folikular dari ovari dan berakumulasi dalam kuning
telur selama masa oogenesis, yang mirip dengan proses transfer IgG melalui
plasenta pada mamalia. Kedua, pemindahan IgY dari kuning telur ke embrio yang
sedang berkembang. Isotipe antibodi yang lain seperti IgA dan IgM ditransfer
dalam jumlah terbatas ke putih telur (Sharma 1997).
Konsentrasi IgY dalam
kuning telur konstan sampai oosit matang. IgY tidak terdapat dalam putih telur,
sedangkan IgA dan IgM hanya terdapat dalam putih telur. Tidak terjadi seleksi
atau destruksi IgY selama proses transfer itu (Davis and Reeves 2002).
IgY
dalam kuning telur dipersiapkan untuk memberikan kekebalan pasif pada anak
ayam. Kuning telur mengandung 8 sampai 20 mg IgY per ml atau 136 sampai 340
mg per kuning telur. Dalam setahun dapat diisolasi 30 g sampai 40 g IgY
(Shimizu et al. 1992), sedangkan pada mamalia hanya 1.3 g (Davis and Reeves
2002). Hal itu menyebabkan ayam sebagai sumber IgY mendapat perhatian serius
(Shimizu et al. 1992). Penelitian dan penggunaan Ig dari ayam, terutama IgY
untuk terapi, pencegahan, dan diagnostik dalam satu setengah dekade terakhir
berkembang dengan pesat.
Secara alami IgY ayam berbeda dengan IgG mamalia dalam hal berat
molekul, titik isoelektrik, berikatan dengan komplemen, dan spesifisitas terhadap
11
antigen yang diberikan (protein, bakteri, virus dan parasit ) (Hatta et al. 1993).
Sedangkan berat molekul, morfologi, dan mobilitas imunoelektroforetik dari IgA
dan IgM ayam mirip dengan IgA dan IgM mamalia (Davis and Reeves 2002). IgY
tidak bereaksi silang dengan komponen struktural jaringan mamalia (Larsson et
al. 1993). Hal ini me mberikan indikasi penggunaan IgY dalam diagnostik
imunologis akan menghasilkan reaksi yang lebih spesifik.
Hassl et al. (1987)
melaporkan spesifisitas antibodi serum IgY ayam yang di imunisasi dengan
antigen toxoplasma gondii lebih tinggi dibandingkan dengan serum antibodi IgG
kelinci. Lebih lanjut, antibodi spesifik (IgY) yang ada dalam darah induk ayam,
secara baik dapat ditransfer ke dalam telur. Titer IgY dalam darah dan dalam telur
tidak berbeda secara signifikan (Larsson et al. 1993), dan tidak ada perbedaan
kandungan IgY pada dua spesies ayam berbeda (Li et al. 1998). Sehingga telur
dapat digunakan sebagai sumber protein hewani dan sebagai pabrik produksi
antibodi (Regenmortel 1993; Losch et al. 1986).
Imunoglobulin Y secara struktural berbeda dengan IgG pada mamalia.
Rantai berat IgG dengan berat molekul (BM) 50 kDa terdiri atas empat domain
yaitu : domain variabel (VH) dan tiga domain konstan (Cã1, Cã2, dan Cã3).
Domain Cã1 terpisahkan dari Cã2 oleh regio engsel dan berhubungan secara
fleksibel pada fragmen Fab. Sebaliknya rantai berat IgY dengan berat molekul 65
sampai 70 kDa , dan 2 rantai ringan (22 sampai 30 kDa). IgY memiliki berat
molekul 180 kDa , tidak memiliki regio engsel dan memiliki empat domain
konstan pada rantai berat yaitu Cυ1, Cυ2, Cυ3, dan Cυ4 (Schade et al. 1996) .
IgY kekurangan domain Fc dan tidak dapat berikatan dengan komplemen
mamalia atau protein A atau G dari mikrob, sehingga protein A dan G tidak dapat
digunakan untuk purifikasi IgY, tetapi dengan modifikasi menggunakan antibodi
rabit-anti-IgY, protein A dapat digunakan untuk isolasi IgY (Magor et al. 1994a).
Perbedaan struktur kedua Ig ini dapat dilihat pada Gambar 1.
12
Gambar 1 Perbedaan struktur IgY dan IgG
(Sumber. Schade et al. 1996).
Pada itik dilaporkan memiliki tiga tipe imunoglobulin serum yaitu IgM
dan dua bentuk mirip (isoform) IgY yaitu IgY utuh dan IgY terpotong. IgY utuh
memiliki berat molekul 200 kDa dengan koefisien sidementasi 7.8 S dan IgY
terpotong memiliki berat molekul 130 kDa dengan koefisien sidementasi 5.7 S.
IgY terpotong kehilangan dua domain terminal pada regio konstan dari rantai
berat yaitu domain 3 dan 4 (Warr dan Higgins 1995).
Tabel 1 Karakter imunoglobulin itik
Jenis imuno
globulin
Koefisien
sidementasi
Molekul utuh
(kDa)
Ig M
800 –900
Ig Y utuh
7.8 S
178 – 200
Ig Y terpotong
5.7 S
118 - 130
Dikutip dari :Warr dan Higgins, (1995)
Berat Molekul
Rantai Berat
(kDa)
86
62 – 67
35 – 42
Rantai Ringan
(kDa)
23 – 25
22 – 25
22 – 25
Struktur 7.8S IgY merupakan IgY tipikal ayam, tetapi struktur 5.7S IgY
(∆Fc) merupaka n ekspresi antibodi yang tidak lazim (Magor et al. 1992; Magor et
13
al. 1994). Struktur dan antigenitas 5.7S IgY mirip dengan fragmen F(ab’)2 dari
7.8S IgY (Warr dan Higgins 1995). Itik membentuk dalam jumlah besar IgY()Fc).
Bentuk ini cacat karena kehilangan dua domain C-terminal pada rantai H (υ).
Struktur abnormal dari IgY()Fc) menyebabkan penurunan fungsi biologis Ig
seperti aglutinasi, presipitasi, fiksasi komplemen, opsonisasi (Chan et al. 1999;
Lundqvist et al. 2001), walaupun level serum dari boster meningkat (Warr dan
Higgins 1995).
Faktor lain yang berpengaruh yaitu pembentukan sterik dari
lengan Fab (berfungsi monovalensi), regio engsel (hinge) yang kaku, keragaman
yang sempit atau terbatas, kegagalan dalam pematangan ikatan antigen pada
antibodi (Magor et al. 1994). Respon imun mukosa dependen-IgA itik
perkembangannya terlambat selama penetasan dibandingkan dengan ayam
(Lundqvist et al. 2001). Pada itik IgA mulai dideteksi pada umur 14 hari setelah
menetas dan berfungsi optimal setelah umur 35 hari, sedangkan pada ayam telah
berfungsi optimal pada umur 5 hari setelah menetas (Magor et al. 1998; Chan et
al. 1999).
Berbagai metode ekstraksi dan purifikasi telah dilaporkan oleh beberapa
ahli. Ekstraksi IgY me lalui water dilusi (pelarutan dalam air) kuning telur (Akita
dan Nakai 1992); presipitasi lemak dengan dektran sulfat yang mengandung
CaCl2 (Szabo et al. 1998). Hasil ekstraksi dilakukan purifikasi dengan
kromatografi menggunakan ion exchange (DEAE-Sephacel) dan filtrasi gel
(Szabo et al.1998), mencampur serum dengan asam caprylat, diendapkan dengan
amonium sulfat dan didialisis dengan PBS. Teknik ini sangat cepat, murah,
sederhana dibandingkan dengan menggunakan metode ion exchange atau gel
filtrasi kromatografi (Bhanushali et al. 1994). Purifikasi IgY dari telur dengan
thiophilic interaction chromatography merupakan prosedur purifikasi untuk
homogenitas IgY dalam langkah kromatogra fi tunggal setelah fraksinasi amonium
sulfat. Recoveri dengan prosedur ini mampu sampai 100% (Hansen et al. 1998).
Metode pelarutan dalam air dilakukan untuk memisahkan plasma protein
terlarut dari granul kuning telur. IgY aktif dengan tingkat kemurnian yang tinggi
didapat dari kombinasi beberapa teknik seperti presipitasi garam, filtrasi gel dan
ion exchange chromatography.
Presipitasi garam, ultrafiltrasi, dan gel filtrasi
dianjurkan dilakukan secara berurutan (Akita dan Nakai 1992). Metode purifikasi
14
lain untuk isolasi adalah metode dua langkah purifikasi yaitu presipitasi dengan
PEG diikuti de ngan perlakuan alk ohol. Uji spesifisitas dilakukan dengan cara
hemaglutinasi indirek, uji imunodifusi, dan imunoelektroporesis (Hassl et al.
1987). Jumlah Ig spesifik yang terdapat dalam telur dari ayam yang diimunisasi
adalah 1% dari total IgY (Hansen et al. 1998).
Keuntungan Penggunaan Imunoglobulin Y
Sistem imun ayam dilaporkan telah dipelajari lebih dari satu abad yang
lalu, di awali dengan pengamatan pada ayam yang diimunisasi menunjukkan
adanya transfer imunoglobulin dari serum ke kuning telur (Camenisch et al.
1999). Transfer ini diperlukan embrio aves dan anak untuk melawan berbagai
penyakit. Penelitian pada sistem imun ayam berkontribusi secara substansial
untuk memahami konsep mendasar dari imunologi dan perkembangan kelas Ig
yang berbeda. Perkembangan penelitian pada imunoglobulin unggas terutama
ayam juga di dukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan semakin
tingginya kesadaran akan animal welfare. Perkembangan penelitian itu
melaporkan ayam sebagai alternatif terbaik untuk produksi antibodi poliklonal
(Akita dan Nakai 1992; Shimizu et al.1992; Hatta et al. 1993; Schade dan Hlinak
1996; Camenisch et al. 1999).
Penggunaan ayam sebagai sumber imunoglobulin mempunyai beberapa
keuntungan antara lain : pemeliharaan ayam tidak mahal, koleksi te lur tida k
invasif, isolasi dan afinitas purifikasi IgY cepat dan sederhana, aplikasi IgY sangat
luas (Camenisch et al. 1999) . Ekstraksi IgY dari telur lebih menguntungkan
dibandingkan dengan ekstraksi Ig mamalia. Keuntungan yang nyata adalah : lebih
mudah mengkoleksi telur dari ayam dibandingkan koleksi serum dari mamalia,
ketika mengambil darah dari mamalia memerlukan keahlian khusus sedangkan
telur dapat dikoleksi oleh tenaga yang tidak dilatih secara khusus, harga pakan dan
kandang ayam lebih murah diba ndingkan dengan hewan laboratorium (Camenisch
et al. 1999) . Ayam dapat bertelur secara normal sebanyak 240 butir setahun,
sedangkan pada kelinci darah hanya dapat diambil secara periodik dengan volume
maksimum 50 ml (Nakai e t al. 1994) , dan saat koleksi telur tid ak menyebabkan
cekaman pada ayam (Gassmann 2002). Koleksi antibodi melalui serum, ayam
15
tidak mengalami cekaman meskipun dalam periode bertelur.
Sehingga
penggunaan ayam menjadi metode alternatif untuk mengurangi penderitaan
hewan. Jumlah hewan yang diperlukan untuk produksi antibodi lebih sedikit,
karena ayam mampu memproduksi antibodi lebih tinggi dibandingkan kelinci
(Gross dan Speck 1996).
Antibodi ayam memiliki lebih banyak epitop terhadap antigen mamalia
(Carlander
et al. 1999) , dapat digunakan untuk menghindari kesalahan
immunoassay akibat sistem komplemen (Fryer et al. 1999), faktor rheumatoid,
dan reseptor Fc bakteri (Carlander et al. 1999). Pada pengukuran High-sensitivity
C-reaktive protein (hs-CRP) yang merupakan salah satu marker untuk pengukuran
resiko jantung, penggunaan antibodi mamalia seperti kelinci, tikus, dan kambing
memberikan hasil kurang memuaskan, hal ini akibat faktor rheumatoid dalam
sampel meyebabkan reaksi positif palsu. Permasalahan itu dapat ditanggulangi
dengan penggunaan IgY (Tsen et al. 2003).
Perbedaan jarak pilogenetik antara mamalia dan avian menyebabkan
protein mamalia yang conserved (sulit isolasi juga unik) lebih imunogenik pada
ayam dibandingkan dengan mamalia dan respon antibodi spesifik yang dihasilkan
sangat tinggi (Akita dan Nakai 1992; Lee et al. 1997; Halper et al. 1999; Orsini et
al. 2001). Sehingga ayam sebagai pilihan terbaik untuk produksi antibodi
dibandingkan dengan mamalia jika antigen berasal dari manusia atau mamalia.
Isolasi dan metode purifikasi IgY sederhana dan mudah (Gassmann,
2002). Kuning telur mengandung lemak yang tinggi (lipoprotein, granul phospitin
yang bercampur dengan livetin dan low density lipoprotein ), yang bermasalah jika
digunakan secara langsung (Makvandhi dan Fiuzi 2002).
IgY yang telah
o
dimurnikan dapat bertahan satu tahun pada suhu 4 C dengan ditambahkan anti
pertumbuhan bakteri seperti Na-azide. Pada suhu kamar stabil selama sebulan.
Untuk freeze antibodi hendaknya dibuat aliquot dan hindari freeze dan thawing.
Freeze dan thawing lebih merusak antibodi dibandingkan disimpan pada suhu 4
o
C selama satu minggu atau sebulan (Polson 1990) .
Imunoglobulin Y diisolasi secara noninvasive dari kuning telur. IgY yang
telah dimurnikan di uji dengan berbagai metode dan teknik diagnosis, seperti
presipitasi, elektroporesis, ELISA, mikroskup elektron, dan western blotting.
16
Beberapa dari metode itu telah dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan sifat
antibodi ayam. Hasil penelitian menunjukkan IgY ayam mampu menggantikan
IgG yang dihasilkan dengan metode tradisional dari mamalia. Penggunaan IgY
sangat memperhatikan keamanan hewan, produktivitas tetap tinggi, dan
kekhususan tertentu yang dimiliki IgY untuk tujuan diagnosis (Gross dan Speck
1996), dan modifikasi diagnostik (Higgins et al.1995; Doellgast et al. 1997;
Kummer dan Li-Chan 1998; Kim et al. 1999). Penggunaan IgY pada uji ELISA
tidak berkompetitor dibandingkan dengan menggunakan antibodi mamalia
(Benkirane et al. 1998). Aplikasi potensial penggunaan IgY terus meningkat
untuk pencegahan penyakit, agen diagnostik dan biologis, suplemen pakan, dan
pemberian secara oral untuk propilaksis (Akita dan Nakai 1992).
Tabel 2 Kelebihan IgY dibandingkan dengan IgG mamalia
No
IgY Unggas
IgG (Mamalia)
1
Cara Pengambilan sampel
Tidak
hewan
2.
Jumlah antibodi
50 -100 mg Ig 200 mg Ig G/40 ml darah
Y/butir telur
5 – 7 butir telur/
minggu
3.
Jumlah antibodi spesifik
2 – 10 %
5%
4.
Reaksi
dengan
rheumatoid
faktor Tidak ada
Ada
5.
Reaksi dengan protein A Tidak ada
dan G
Ada
6.
Reaksi dengan
mamalia
G Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ada
Ig
7.
Aktivasi komplemen
Sumber : Schade et al. (1996)
menyakiti Menyakiti hewan
Penggunaan teknologi IgY lebih ditekankan pada perlindungan terhadap
hewan, penggunaan ilmu pengetahuan, dan segi ekonomi. Perlindungan terhadap
hewan seperti pengurangan, penggantian, dan menjadikan lebih baik; penggunaan
ilmu pengetahuan yaitu kekhasan sistem imun bangsa avian dan bagian IgY; dan
secara ekonomi, jumlah IgY yang dihasilkan dari satu ekor ayam lebih tinggi dari
17
kelinci (Schade dan Hlinak 1996). Secara ringkas beberapa kelebihan lain dari
IgY dibandingkan dengan IgG mamalia dipaparkan pada Tabel 2.
Penggunaan Teknologi IgY
Teknologi IgY telah digunakan untuk berbagai hal sehubungan dengan
imunoterapi dan imunodiagnostik (Sugita-Konishi et al. 1996). Telur (IgY) ayam
sebagai makanan mempunyai peran ganda yaitu peran fungsional dan
neutraceutical.
Secara
fungsional sebagai
sumber
protein,
dan
secara
neutraceutical mampu meningkatkan fungsi imun. Peningkatan kekebalan dengan
pemberian secara oral Ig telah dilakukan oleh sejumlah peneliti. Pemberian IgY
dilakukan melalui produk makanan, terutama untuk formula anak-anak, karena
anak-anak merupakan kelompok rentan terhadap penularan patogen melalui
makanan (Akita dan Nakai 1992; Makoto et al. 1998). Dilaporkan `pencegahan E
coli pada pedet sapi dengan pemberian kolustrum dicampur IgY, pencegaha n
rotavirus berhasil dengan baik pada mencit, serta pencegahan diare perjalanan
(wisata) (Davis dan Reeves 2002).
Penggunaan IgG mamalia untuk diagnostik pada uji ELISA sering
menghasilkan reaksi positif palsu. Hal itu akibat reaksi silang dari IgG suatu
spesies dengan spesies lain. Masalah itu dapat ditanggulangi dengan pemakaian
IgY ayam. Davis dan Reeves (2002) melaporkan IgY tidak bereaksi silang pada
pemeriksaan laktoferin dan proteoglikan manusia dan sapi pada uji ELISA.
Spesifitas IgY dari ayam dapat dimanfaatkan sebagai reagen standar untuk alat
diagnostik dan mampu meningkatkan akurasi dalam penelitia n.
Dilaporkan antibodi kuning telur ayam banyak digunakan untuk penelitian
biomedis, diagnosis, propilaksis, dan terapi penyakit. Hal itu disebabkan oleh
langkah ekstraksi IgY sangat sederhana dengan hasil purifikasi antibodi yang
tinggi (Fischer et al. 1996). Produksi IgY secara mendasar dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu: sifat alami ayam, prosedur imunisasi, dan modulasi nutrisi. Imunisasi
pada ayam white leg horn menghasilkan lebih banyak telur dan IgY pada kuning
telur dibandingkan dengan ayam lain (Li et al. 1998).
18
Stabilitas IgY
Pengetahuan terhadap stabilitas molekul IgY sangat penting, jika IgY
digunakan sebagai reagen dalam berbagai kondisi. Stabilitas dari molekul IgY
dapat dipengaruhi oleh berbagai perubahan fisik maupun kimia seperti suhu,
asam, dan enzim pencernaan. Stabilitas IgY menjadi sangat penting jika dipakai
untuk terapi imunisasi pasif yang diberikan secara oral. Aplikasi yang praktis
pemberian suatu antibodi pasif dilakukan dengan mencampur antibodi dengan
makanan atau material farmaceutikal, sehingga pertimbangan stabilitas antibodi
terhadap panas, pH atau enzim digesti harus diketahui dengan baik (Hatta et al.
1993).
Valensi dari IgY adalah dua, sama dengan antibodi mamalia. Regio engsel
pada IgY tidak ada menyebabkan IgY kurang fleksibel. Mobilitas yang terbatas
akibat kakunya regio engsel berpengaruh terhadap kemampuan antibodi dalam
presipitasi atau aglutinasi antigen.
Stabilitas IgY dibawah kondisi asam dan
digesti pepsin lebih rendah dibandingkan dengan IgG sapi. Tetapi IgY lebih stabil
terhadap digesti enzim protease internal seperti tripsin dan kemotripsin, dan
terlihat ada subpopulasi IgY tahan terhadap digesti papain (Hatta et al. 1993).
Para peneliti melaporkan, stabilitas IgG kelinci terhadap panas dan asam
lebih tinggi dibandingkan dengan IgY. Bentuk dari molekul IgY sering berubah
karena pengaruh asam, yang berakibat penurunan aktivitas antibodi (Shimizu et
al. 1992). Stabilitas IgY anti HRV pada temperatur di atas 70 oC dan pH 2 sampai
3 lebih rendah diba ndingkan dengan IgG anti HRV kelinci. Temperatur
maksimum untuk denaturasi IgG kelinci adalah 77 o C (Hatta et al. 1993).
Aktivitas IgY pada kuning telur dan ekstrak kasar menurun dengan meningkatnya
suhu dari 70 oC sampai 80 o C, tetapi denaturasi panas antara kedua sampel tidak
berbeda. (Chang et al. 1999).
Aktivitas IgY turun setelah diinkubasikan pada pH 3.5 dan hilang total
pada pH 3, sedangkan aktivitas IgG dilaporkan tidak berubah sampai pH 2.
sedangkan pada pH alkalis (pH 11 sampai 13) tidak menunjukkan perubahan, dan
sedikit berkurang setelah diinkubasi pada pH 12. Penurunan aktivitas yang sangat
cepat dari IgY disebabkan kerusakan pada antigen binding site karena pengaruh
asam (Shimizu et al. 1992).
19
Digesti pepsin sangat cocok untuk preparasi dan purifikasi Fab. Isolasi
Fab optimum didapat setelah digesti pepsin terhadap IgY pada pH 4 selama 9 jam
dalam konsentrasi NaCl rendah. Kondisi itu mendigesti secara lengkap fragmen
Fc antibodi dan hanya menyisakan fragmen Fab (Akita dan Nakai 1993a).
Liofilisasi kuning telur dengan 5% gum arabic serbuk sangat baik untuk menjaga
stabilitas terhadap protease (Chang et al. 1999).
Tetanus
Tetanus adalah salah satu penyakit yang lazim terjadi pada manusia dan
hewan vertebrata. Tetanus telah dikenal oleh manusia sejak sejarah kesehatan
mulai dikenal, tetapi sampai saat ini masih merupakan masalah besar pada
kesehatan masyarakat di beberapa negara berkembang, terutama pada negara
miskin dengan kondisi kesehatan buruk, beriklim panas dan lembab (Bizzini
1993).
Agen penyebab tetanus adalah Clostridium tetani, tumbuh dalam kondisi
anaerob, spora berbentuk batang (Kiefer 2004) , di bawah mikroskop terlihat
seperti stik drum dengan gelembung di kedua ujungnya, dengan pewarnaan gram
sel bakteri menyerap warna sedangkan spora tidak terwarnai. C. tetani tumbuh
optimum pada media agar darah yang diinkubasikan pada suhu tubuh manusia.
Bakteri akan berada dalam bentuk inaktif dengan menghasilkan spora ketika
lingkungan tempat tumbuhnya tertekan. Dalam kondisi seperti itu, bakteri sangat
toleran dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, sedangkan dalam bentuk aktif
mensekresikan eksotoksin yang sangat poten menyebabkan penyakit tetanus
(Anonim 2003).
Habitat alami kuman tetanus adalah tanah, debu, saluran cerna beberapa
hewan, dan kadang-kadang pada feses manusia (Ray 2004). Beberapa varian dari
kuman ini telah dipetakan secara genomik. C. tetani E88 merupakan varian dari
strain Massachussetts, genomnya tersusun atas 2 799 250 bp kromosum dengan 2
372 ORF (Oven Reading Frame) dengan kandungan G+C 28.6%. Toksin tetanus
dan enzim kolagenase disandi pada plasmid 74 082 bp, yang terdiri atas 61 ORF,
dengan kandungan G+C 24.5%. Sedangkan faktor virulen yang lain seperti
susunan lapisan permukaan dan protein adesi terdapat pada 61 ORF. Kebanyakan
20
gen terlihat tidak berfungsi karena terjadi penurunan ORF akibat insertion, delesi,
dan poin mutasi. Variasi G+C pada genom sangat rendah, hanya pada region
yang kandungan G+C nyata tinggi (sebanding 50%) memiliki 6 gen cluster rRNA
dan gen penyanding protein ribosom. Rendahnya fluktuasi dari G+C
menyebabkan genom dari C. tetani lebih stabil dibandingkan enteropatogen lain.
C. tetani terus dapat tumbuh apabila tersedia ion sodium secara ekstensif sebagai
bioenergetik (Bruggemann e t al. 2003).
Semua spesies hewan rentan terhadap toksin tetanus, tetapi tingkat
kerentanannya berbeda -beda. Manusia dan kuda paling rentan sedangkan kucing
dan burung lebih tahan. Berdasarkan LD50/kgBB, pada burung diperlukan 10
000 sampai 300 000 kali dosis toksin lebih tinggi dibandingkan dengan kuda
untuk menimbulkan sakit (Bizzini 1993).
Manifestasi penyakit tetanus dikelompokkan menjadi empat yaitu :
paralisis spastis umum (general), cephalic , lokal, dan neonatal. Tetanolisin dan
tetanospasmin merupakan toksin yang dihasilkan oleh kuman tetanus dan sangat
berbahaya (Ray 2004). Pada manusia dosis letal dari toksin adalah 1 ng/kg BB.
(Bruggemann et al. 2003). Tetanus lokal ditandai dengan kekakuan otot disekitar
luka. Gejala ini akibat kegagalan inhibisi dari inervasi syaraf spinal dan medula
pada otot yang terserang. Tetanus lokal serangan ringan dan mortalitas kurang
dari 1%. Tetanus cephalic kejadiannya jarang. Masa inkubasi sangat pendek yaitu
satu sampai dua hari, dan penyakit muncul apabila te rjadi luka di daerah wajah
dan kepala. Kelumpuhan daerah wajah dan okulomotoris merupakan gejala utama
dan sering diikuti dengan dispagia. Prognosisnya jelek karena penyakit sering ke
arah tetanus general. Tetanus neonatal terjadi karena kontaminasi pada daerah
umbilikalis. Dengan masa inkubasi yang sangat pendek sehingga bayi tak bisa
terawat. Kegagalan terjadi karena gangguan pernafasan dengan kematian empat
sampai 14 hari (Bizzini 1993).
Penyakit tetanus terjadi karena kontaminasi langsung spora C. tetani pada
berbagai luka akibat benda tajam seperti luka tusuk (puncture) oleh benda
berkarat, luka bakar, ulcer, fraktur (patah tulang), luka operasi (infeksi saat
operasi) atau saat injeksi obat (Kiefer 2004). Spora dari kuman tetanus akan cepat
mengalami germinasi pada luka dengan tekanan oksigen rendah. Kondisi ini
21
ditemukan pada luka nekrosis yang tertutupi oleh keropeng, tanah, debu dan
terbungkus kain (Siegmund 1979; Mims 1982). Infeksi dari spora C. tetani juga
dapat melalui luka saat kastrasi, potong ekor, pencukuran bulu, dan tali pusar
(Lewis 1998). Luka dengan kondisi oksidasi-reduksi yang rendah mempercepat
spora germinasi dan berubah menjadi sel bakteri yang aktif (Kiefer 2004).
Keparahan kejadian tetanus tergantung atas jumlah toksin yang mampu
mencapai CNS, dan masa inkubasi yang pendek. Periode inkubasi (waktu yang
diperlukan dari saat inokulasi sampai muncul gejala pertama) dapat dibedakan
atas periode onset atau waktu yang diperlukan dari gejala pertama muncul sampai
reflek spasmus yang pertama. Bakteri ini bersifat noninvasif dan gejala yang
timbul karena pengaruh toksin yang akan terbentuk setelah periode inkubasi.
Lamanya periode inkubasi dan keparahan penyakit dipengaruhi oleh jumlah toksin
yang terbentuk pada awal infeksi dan toksigenitas strain yang menginfeksi, jumlah
dan kecepatan toksin mencapai neural pathways dan sirkulasi darah, kemampuan
perpindahan toksin pada neural pathways, panjang dari neural pathways, dan
kerentanan reseptor pada CNS (tergantung spesies). Pada manusia masa inkubasi
14 hari sedangkan pada hewan 24 jam sampai dua minggu atau lebih (Bizzini
1993).
Angka kematian akibat C. tetani menjadi sangat tinggi jika penanganan
luka tidak baik dan terjadi dekat organ vital (Ray 2004). Awal infeksi, gejala
pada lesi tidak teramati. Apabila kondisi lingkungan tidak mendukung spora akan
dorman dalam beberapa hari sampai minggu (Kiefer 2004), jika kondisi
mendukung spora mengalami germinasi, dan sel yang baru terbentuk melepaskan
toksin yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Angka mortalitas lebih tinggi pada
kuman dengan masa inkubasi pendek. C. tetani memerlukan adanya infeksi
bakteri lain untuk berkembang di tempat infeksi awal, terutama untuk
menimbulkan reaksi peradangan (Ray 2004), sehingga pemberian antitetanus
sering dikombinasikan dengan obat untuk bakteri lain (Guidolin et al. 1998).
Toksin yang terbentuk berjalan secara retrograde sepanjang serabut
syaraf, dan menetap pada jaringan syaraf. Target utama dari toksin adalah daerah
sekitar batang otak. Perkembangan gejala klinis penyakit tetanus diawali kontraksi
otot secara intermiten disekitar tempat masuk kuman, selanjutnya lock jaw diikuti
22
dengan kekakuan seluruh tubuh, kemudian spasmus otot. Kematian terjadi karena
kegagalan pernafasan (Kiefer 2004). Kejadian penyakit lebih sering terjadi di
daerah pedesaan di negara dengan iklim panas terutama pada petani yang
mendapat luka saat pengolahan tanah pertanian. Pada negara dengan program
imunisasi tidak teratur, kejadian tetanus lebih banyak bersifat neonatal (Ray
2004). Di negara maju seperti Amerika, kejadian tetanus masih ditemukan
meskipun rendah (50 orang pertahun) terutama pada orang yang tidak diimunisasi,
imunisasi tidak lengkap atau teratur, dan telah diimunisasi dengan lengkap tetapi
dosis boster tidak ma mpu memberikan perlindungan yang protektif (Ray 2004).
Toksin Tetanus
Toksigenesis adalah kemampuan bakteri patogen memproduksi toksin
untuk menimbulkan penyakit. Ditinjau dari sifat biokimia, ada dua tipe toksin
bakteri, yaitu toksin yang tersusun atas lipopolisakarida dan protein. Sedangkan
berdasarkan atas proses pembentukan dibedakan atas endotoksin dan eksotoksin.
Endotoksin adalah toksin yang dihasilkan bakteri gram negatif dari komponen
struktural membran luar sel bakteri, dilepaskan dari sel bakteri yang lisis akibat
pertahanan inang (enzim lisosim). Komponen penyusun endotoksin adalah
lipopolisakarida (LPS) (Emsley 2002) .
Eksotoksin merupakan tipe toksin protein terlarut (soluble), disekresikan
oleh bakteri hidup selama masa pertumbuhan eksponensial. Produksi eksotoksin
spesifik dari masing-masing spesies bakteri karena memiliki aktivitas sitotoksik
pada sel yang khusus seperti tetanus dan botulinum hanya menyerang sel syaraf
sedangkan pada tipe sel yang lain kerusakan yang ditimbulkan tidak khas. Dalam
aksi sitotoksiknya memerlukan substrat khusus. Substrat itu merupakan
komponen dari sel, organ atau cairan tubuh inang. Terminologi terhadap toksin
protein bakteri disesuaikan dengan tempat kerja toksin itu seperti enterotoksin,
neurotoksin, leukosidin, atau hemolisin. Toksin merupakan faktor virulensi dan
hanya diproduksi oleh strain bakteri yang virulen (Todar 2002).
Toksin tetanus merupakan suatu protein yang disintesis sebagai
polipeptida rantai tunggal dengan berat molekul 150 kDa, terdiri atas dua
komponen yaitu: Ujung amino (A-terminal atau fragmen A) rantai ringan (L)
23
dengan berat molekul 50 kDa, dan ujung carboxyl (C-terminal atau fragmen B)
rantai berat (H) dengan berat molekul 100 kDa. Kedua komponen tersebut
dihubungkan oleh ikatan disulf ida (Emsley 2000). Toksin dari kuman tetanus
merupakan protein yang sangat poten apabila berikatan dengan axon neural syaraf
perifer. Toksin yang terbentuk akan mencapai neuron motor dan menyebar secara
lokal untuk mencapai sistem syaraf pusat (Mims 1982).
Pada sekuen tingkat DNA, toksin tetanus memiliki homolog dengan
neurotoksin botulinum. Memiliki dua rantai disulfida yang berlokasi antara rantai
berat dan rantai ringan (cys 438 sampai cys 466), dan dalam fragmen C (cys 1076
sampai cys 1092). Toksin yang dihasilkan oleh kuman tetanus yaitu :
tetanospasmin (zink metalloprotease) yang sangat poten menyerang jaringan
syaraf (neurotoksin) , dan tetanolisin dengan sifat seperti hemolisin. Produksi
toksin tergantung atas kondisi luka dan kultur yang tersedia. Tetanolisin
dihasilkan dalam jumlah sedikit oleh strain patogenik dan tidak memainkan peran
penting dalam proses penyakit (Bizzini 1993).
Toksin tidak stabil terhadap panas, cahaya, asam, dan enzim proteolitik,
sehingga harus disimpan dalam ruang gelap dan dingin. Toksin dapat dipecah
oleh enzim proteolitik seperti tripsin, kemotripsin, elastase, clostripain
(Habermann 1988), dan papain (Rowe et al. 2000). Digesti toksin dengan enzim
papain akan memecah molekul toksin menjadi dua fragmen, yaitu rantai ringan
dan rantai berat (Marvaud et al. 1998). Fragmen tunggal toksin kurang toksik
dibandingkan dengan toksin secara utuh, untuk penghambatan neuromuskular.
Rantai berat dan ringan dari toksin dapat dipisahkan secara isoelektrik. Rantai
berat berperan dalam pelepasan noradrenalin dari otak dan K+ dari eritrosit.
Pemberian toksin tidak efektif lewat mulut. Toksin dapat diendapkan dengan
amonium sulfat dan dalam kondisi kering sangat poten dalam jangka lama
(Bizzini 1993).
Produksi toksin tetanus diperankan oleh gen TeTx (gen tetanus toksin)
ditemukan pada 74 kb pE88 plasmid C.tetani. Regulasi aktivator transkripsi dari
gen TeTx dilakukan oleh gen TetR (Bruggemann et al. 2003).
Gen TetR
berlokasi di upstream gen TeTx di daerah flanking 5’ disandi ole h 29 asam
amino terminal. Gen TetR mempunyai berat molekul 21.562 kDa tersusun atas
24
178 asam amino, dengan gambaran pada DNA-binding protein bermotif helixturn-helix. Mekanisme pengaturan oleh gen TetR merupakan mekamisme regulasi
conserved untuk gen neurotoksin. Selain mekanisme pengaturan melalui gen,
produksi toksin pada C. tetani dipengaruhi oleh suatu peptida rantai pendek pada
casein hydrolysate, dan faktor lain yang penting adalah signal lingkungan di
tempat kuman yaitu keberadaan ion Zn (Marvaud et al. 1998). Plasmid pE88
juga menyandi faktor virulen yang lain seperti kolagenase (114 kDa) yang
ditandai dengan ColT, tetanolisin O, hemolisin, protein binding-fibronektin.
Enzim kolagenase memainkan peranan penting pada patogenesis C. tetani, karena
fungsi dari enzim ini untuk merusak integritas jaringan dari inang yang terinfeksi.
ColT mirip dengan ColB yang dihasilkan oleh C. botulinum sedangkan dengan
spesies clostridium yang lain berbeda (segmen 2 pada ColT tidak ada)
(Bruggemann et al. 2003).
Sifat toksisitas toksin protein dapat dihilangkan tetapi sifat antigeniknya
tetap dipertahanka n, yang disebut dengan toksoid. Toksoid dibuat dengan cara
memberikan perlakuan pada toksin dengan berbagai reagen seperti formalin,
iodine, pepsin, asam askorbat, dan keton. Larutan diinkubasikan pada suhu 37 oC
dengan pH 6 sampai 9 selama beberapa minggu. Toksoid dapat digunakan dalam
imunisasi buatan dan mampu menimbulkan titer antitoksin yang tinggi dalam
serum (Todar 2002).
Fragmen HC yang juga disebut fragmen C rantai berat adalah fragmen
terminal karboksil (COOH-terminal) dari toksin tetanus dengan berat molekul 50
kDa, diperlukan pada stadium awal proses intoksikasi untuk aktivitas perlekatan
pada gangliosida (Halpern dan Loftus 1993). Topologi dari fragmen HC, terdiri
atas dua domain yaitu domain amino-terminal jelly roll dan domain carboksilteminal β-trefoil (Gambar 2). Domain carboksil-teminal β-trefoil mengandung
bagian untuk berikatan dengan gangliosida (Fotinou et al. 2001), sedangkan
domain amino-terminal jelly roll memiliki struktur mirip dengan lektin, sebagai
kandidat untuk berikatan dengan gangliosida, sehingga dapat dikatakan toksin
tetanus memiliki banyak binding site karbohidrat (Emsley et al. 2000).
25
Gambar 2 Fragmen Hc toksin tetanus (Emsley et al. 2000).
Beberapa peneliti menyebutkan toksin protein khususnya yang bereaksi
intraseluler terdiri atas dua komponen yaitu : subunit A (rantai ringan) berespon
untuk aktivitas enzimatik dari toksin; subunit B (rantai berat) untuk berikatan
dengan reseptor spesifik pada sel membran inang dan tempat transfer enzim untuk
melewati membran sel. Toksin tetanus disintesis sebagai polipeptida tunggal,
dibagi menjadi domain A dan B yang dapat dipisahkan dengan enzim proteolitik.
Komponen enzimatik (subunit A) ini tidak aktif sampai dilepaskan dari toksin
natif (A+B). Isolasi subunit A secara enzimatik aktif tetapi kurang mampu
berikatan dan masuk ke dalam sel. Isolasi subunit B mampu berikatan dengan sel
target tetapi tidak toksik (Todar 2002).
Mekanisme Kerja Toksin Tetanus
Pada luka yang terkontaminasi spora C. tetani dengan kondisi lingkungan
anaerob, maka spora akan mengalami germinasi dan menjadi bentuk aktif. Pada
masa pertumbuhan eksponensial akan dilepaskan eksotoksin yang disebut
tetanospasmin. Toksin mempengaruhi kerja sistem syaraf menjadi irregular.
Transmisi menuju otak melalui neuron secara retrograde (Anonim 2003).
26
Ada dua mekanisme toksin masuk ke sel target (sel syaraf). Pertama,
disebut mekanisme langs ung, yaitu subunit B pada toksin natif berikatan dengan
reseptor spesifik pada sel target (ujung syaraf motorik) dan menyebabkan
terbentuknya lubang pada membran sel sebagai tempat masuknya subunit A ke
dalam sitoplasma sel. Proses terikatnya toksin pada syaraf diawali terikatnya
toksin dengan afinitas rendah pada gangliosida, selanjutnya kompleks membrangangliosida-toksin bergerak ke arah lateral sampai berikatan dengan afinitas tinggi
pada reseptor protein spesifik toksin.
Proses ini diikuti dengan langkah
internalisasi toksin setelah itu bergerak retrograde pada axon ke ventral spinal
cord dan batang otak (Bizzini 1993). Toksin yang terbentuk menyebar ke otot
disekitarnya melalui ikatan dengan terminal presinaptik pada axon motor.
Selanjutnya toksin masuk ke sistem limpatik dan vascular darah untuk menyebar
ke seluruh otot dan ujung syaraf. Cara penyebaran toksin seperti ini menyebabkan
tetanus general atau juga disebut descending tetanus. Blood brain barier dan
blood barier nerve perifer merupakan jalan masuk langsung toksin ke sistem
syaraf (Bizzini 1993).
Kedua, disebut mekanisme alternatif, toksin natif berikatan dengan sel
target dan struktur A/B masuk ke dalam sel melalui proses endocitosis mediatedreseptor (RME). Toksin yang berada dalam sel membentuk vesikel yang disebut
endosom. Ion H+ masuk ke dalam endosom menyebabkan pH di dalam endosom
menjadi rendah, hal itu mengakibatkan terpisahnya subunit A/B. Selanjutnya
subunit B melepaskan subunit A dari endosom menuju target di sitoplasma sel
(Gambar 3). Subunit B tetap di endosom dan mendaur ulang permukaan sel.
Kedua kejadian itu memerlukan pemasukan molekul protein dalam jumlah besar
ke dalam dan menembus membran bilayer lipid (pada sel membran atau membran
endosom). Aktivitas itu sebagai refleks i dari kemampuan toksin A/B atau
komponen B untuk masuk ke lapisan lipid membentuk jalur permeabel ion (Todar
2002). Mekanisme kerja toksin mirip untuk seluruh kuman yang memproduksi
toksin protein hanya sel targetnya yang berbeda, seperti bakteri dipteria dan
pseudomonas menggunakan jalur langsung dan RME sedangkan bordetella
pertusis dan anthrax dengan cara mengkatalisis pembentukan cAMP dari ATP
intraselular sel inang (Todar 2000).
27
Gambar 3 Proses perlekatan toksin bakteri pada sel (Rappuoli dan Montecucco
1997).
Mekanisme kerja toksin tetanus meliputi empat proses yaitu : perlekatan
pada sel ganglion; internalisasi (masuk) ke dalam vesicular; translokasi
sitoplasmik; dan pelepasan proteolitik pada subs trat neuron. Perlekatan toksin
tetanus pada sel ganglion diawali dengan terikatnya toksin pada gangliosida
permukaan
sel
syaraf.
Gangliosida sel
syaraf
mengandung
sialogangliosida yang sering disebut protein-G pada membran sel.
substansia
Hal ini
dimungkinkan karena ujung karbonil (HC) fragmen rantai berat dari toksin tetanus
mengandung ganglioside-binding site (Gambar 4) . Masing-masing kuman
menggunakan protein-G yang berbeda, misalnya toksin kolera menggunakan
ganglioside GM1 (Bruggemann et al. 2003), toksin botulinum menggunakan
ganglioside GT1b (Yowler et al. 2002), dan toksin tetanus menggunakan
ganglioside GT1 dan atau GD1b; dan N-glikosilat p15 (Miana-Mena et al. 2002).
C. tetani juga memiliki gen signel-recognition particle (SRP) sebagai
sistem translokasi protein, protein ini mirip dengan SRP manusia. Sistem ini
dipercaya berperan dalam proses translokasi dan masuknya toksin ke membran
protein sel (Bruggemann et al. 2003). Perlekatan toksin tetanus pada permukaan
neuron untuk dapat internalisasi ke dalam sel neuron juga terjadi melalui lipid
28
raft. Lipid raft (anyaman lipid) adalah suatu kompleks yang terbentuk dari
protein glycosylphospatidylinositol (GPI), gangliosida, kolesterol dan spingolipid
yang terletak dipermukan neuron. Komponen tersebut membentuk suatu anyaman
yang lebih dominan kandungan lipidnya (Herreross et al. 2001). Perlekatan toksin
tetanus pada lipid raft juga karena pengaruh marker rafts yang terkandung
didalamnya. Marker rafts tersusun atas glikoprotein yang mempunyai berat
molekul 15 kDa, sehingga sering disebut p15 (Herreros et al. 2000). Ketahanan
dan keutuhan dari lipid rafts itu dipengaruhi oleh kandungan kolesterol pada
permukaan neuron. Beberapa toksin yang dikenal sebagai pore-forming toxin
berikatan pada komponen lipid rafts dipermukaan sel (Herreros et al. 2001).
Anyaman lipid (lipid raft) adalah mikrodomain pada membran plasma.
Komponen ini berfungsi untuk menyeleksi zat yang akan masuk ke dalam vesikel,
lalu lintas menuju puncak membran, dan penerima tanda (signaling) (Brown dan
London 2000).
Gambar 4 Interaksi gangliosida pada dua permukaan binding site fragmen Hc.
Lokasi Gal4-GalNAc3 adalah celah dalam pada Hc (warna merah)
dan Sia7-Sia6 adalah lekuk yang dangkal (Fontinou et al. 2001).
Protein agrin juga sangat berperan dalam pembentukan neuromuscular
junction. Protein ini berperan dalam mereorganisasikan mikrodomain membran
lipid (lipid raft) dan memediasi transpor langsung pada sel syaraf yang
berdekatan. Agrin ini disekresikan dari neuron motor dan sel otot, bekerja secara
ekstraseluler untuk memacu agregasi molekul secara lokal. Sehingga masuknya
toksin tetanus ke dalam sel syaraf selalu melalui kompartemen membran sel
(Miana-Mena et al. 2002).
29
Molekul gangliosida merupakan kelas glikospingolipid, ditemukan dalam
konsentrasi tinggi pada membran sel neuron (Fotinou et al. 2001). Gangliosida
tersusun atas asam sialat (N-acetylneuranimic) yang terikat pada oligosakarida
(galaktose dan N-acetylgalaktosamin) dan linked dengan ceramide. Bentuk dasar
gangliosida adalah Galβ3 GalNAc β 4 (NeuAcα 3) Galβ4 Glc βCer, dengan satu atau
lebih asam sialat. GM1 dan GD 1b memiliki residu asam monosialik dan disialik
yang berikatan dengan residu internal galaktosa, sedangkan GT1b dan 6Q1b
berikatan dengan residu terminal galaktosa (Emsley 2000). Fragmen HC toksin
tetanus akan mengenali reseptor gangliosida dan satu gangliosida akan berikatan
secara simultan terhadap lebih dari satu molekul toksin tetanus (Lalli et al. 1999;
Williamson et al. 1999; Knight et al. 1999). Toksin tetanus berikatan pada bagian
Gal4-GalNac3 dan Sia7-Sia6 (Gambar 4)(Fotinou et al. 2001). Perlekatan toksin
tetanus pada gangliosida, dan patogen lain seperti toksin E coli heat-labil tipe I,
toksin kolera dan simian virus untuk menghindari degradasi oleh lisosim (MianaMena et al. 2002).
Terikatnya fragmen HC dari subunit B menyebabkan terbentuknya lubang
pada membran sel syaraf, melalui lubang ini toksin masuk ke dalam vesikular sel.
Fragmen Hc mempunyai kemampuan melekat pada neuron dan diperlukan
sebagai alat transporasi intraseluler oleh toksin tetanus (Lalli et al. 1999). Toksin
tetanus mengalami proses pemecahan proteolitik menjadi ujung amino rantai L
dan rantai H. Rantai H dapat dipecah menjadi fragmen HC dan HN. Masingmasing fragmen memiliki fungsi yang berbeda. Fragmen HC untuk berikatan pada
sel yang disensitisasi kemudian internalisasi ke vesikel. Sedangkan fragmen HN
untuk translokasi rantai L melewati membran vesikular (Fotinou et al. 2001).
Setelah internalisasi, rantai ringan (L) bertranslokasi ke dalam sitosol (Rummel et
al. 2003). Keberadaan residu asam sialat tunggal pada residu internal Gal pada
GM1, tak cukup untuk tempat berikatan toksin tetanus, diperlukan residu asam
sialik yang lebih banyak. Untuk perle katan fragmen Hc diperlukan dua tempat
yang berbeda pada gangliosida.
Pengetahuan tentang perlekatan neurotoksin
clostridium pada reseptor sel neuron, memberikan suatu informasi yang penting
untuk membuat agen terapeutik antitetanus (Fotinou et al. 2001). Pelepasan
proteolitik ujung amino rantai ringan (L) menyebabkan aktivitas katalitik
30
metaloprotease untuk melawan sinaptobrevin dan merangsang terjadinya
keracunan (Emsley et al. 2000; Fotinou et al. 2001). Aktivitas proteolitik dari
rantai L terjadi secara selektif pada protein sinap, yaitu hanya pada sinaptobrevin
(Herreros
et al. 2001).
Sinaptobrevin yaitu suatu komponen esensial untuk
eksositosis sel neuron. Keberadaan bioenergetika ion sodium yang ekstensif
dipercaya sebagai faktor tambahan keberhasilan invasi kuman tetanus ke jaringan
(Bruggemann et al. 2003).
Toksin untuk sampai pada sistem syaraf pusat (CNS) melalui syaraf
perifer mene mbus sawar darah pada sinap (Mims 1982). Toksin berkumpul pada
ujung syaraf (presinaptik) dan translokasi pada alpa motor neuron (Habermann
1988; Lewis 1998) kemudian berjalan sepanjang axis silinder syaraf motorik.
Rantai berat dari toksin akan berikatan dengan reseptor gangliosida neuron dan
rantai ringan (sangat toksik) akan mengganggu kontrol horn anterior. Motor
syaraf pada batang otak sangat pendek sehingga toksin akan cepat sampai di
nervus cranialis I yang berakibat spasmus otot mata dan rahang (Mims 1982).
Toksin yang terlepas awalnya terserap oleh motor syaraf yang ada disekitar luka
dan melalui traktus syaraf mencapai spinal cord, proses ini disebut ascenden
tetanus. Peristiwa ini menyebabkan gejala spasmodik, kontraksi tonik. Jika toksin
yang dilepaskan pada tempat infeksi, menyebar melalui jaringan limpe kemudian
buluh darah kemudian sampai pada CNS, proses ini disebut descenden tetanus
dengan gejala berupa tetanus general (Siegmund 1979).
Pergerakan toksin pada organel axonal diperlukan mikrofilamen dan
setelah axonal retrograde diperlukan peran myosin Va dan motor mikrotubuli
(Lalli et al. 2003). Waktu yang diperlukan untuk perjalanan toksin menuju otak
berhubungan dengan masa inkubasi penyakit (Gambar 5). Pemutusan syaraf itu
akan memperlambat perjalanan toksin. Pemotongan spinal cord akan mencegah
toksin sampai di otak. Sedangkan gangglion spinal dari syaraf sensoris sebagai
barier penyebaran toksin (Lewis 1998).
Masa inkubasi penyakit bervariasi dari tiga sampai 10 hari setelah infeksi
pada luka. Gejala awal yang terlihat pada hewan adalah diam dan malas bergerak,
kekakuan seluruh tubuh, kemudia n berbaring dalam 12 sampai 24 jam, gejala
selanjutnya spasmus tetanik, opistotonos, dan hiperaestesia. Kematian terjadi tiga
31
sampai empat hari setelah muncul gejala klinis pertama (Lewis 1998). Tempat
berikatan toksin tetanus dan toksin botulinum sama pada ujung terminal
neuromuscular motor junction , tetapi mekanisme intraseluler pada sistem syaraf
berbeda sehingga kedua toksin menunjukan gejala yang berbeda.
Toksin
botulinum (BoNTs) kerjanya bersifat lokal pada sistem syaraf perifer dengan
mengganggu perlepasan neurotransmiter yaitu menghambat pelepasan a setilkolin
3. Gejala klinis
Kekakuan,dan paralisis
pada nervus motor cranialis
dan perifer . Contoh lockjaw
Gagal Jantung
Gagal Respirasi
1. Luka terkontaminasi spora
C. tetani
2. Penyebaran Toksin
Gambar 5 Patogenesis penyakit tetanus (Anonim 2003).
dan menyebabkan paralisis lemah. Sebaliknya toksin tetanus (TeNT) bekerja
pada sistem syaraf pusat, berjalan secara retrograde pada axon neuron inhibitor
dalam spinal cord dan memecah sinaptobrevin.
Pelepasan rantai ringan juga
menghalangi pelepasan neurotransmiter dengan cara mencegah pembentukan
komplek SNARE sinaptik (Fotinou et al. 2001; Herreros et al. 2001). MianaMena et al. (2002) melaporkan toksin tetanus mengambat aktivitas neuromuskular
presinaptik melalui penghambatan (menutupi) reseptor tempat berikatan ion
sodium pada membran sel. Toksin tetanus hanya menghambat transmisi sinaptik
tanpa merusak integritas dari syaraf. Sedangkan toksin botulinum dilaporkan
32
menghambat transmisi pada postsinaptik, yang khusus berikatan dan menghambat
reseptor asetilkolin tanpa mempengaruhi fungsionalitas syaraf seperti aliran ion ke
dalam sel syaraf.
Gambar 6 Proses penghambatan toksin tetanus terhadap reseptor transmiter
inhibitor (Emsley et al. 2000).
Toksin tetanus menghambat pelepasan neurotransmiter dari membran
presinaptik pada neuron inhibitor nervus terminal (Gambar 6) (Emsley 2000),
kemudian berjalan melalui transpor retrograde dari neuromuskular junction ke
sistem syaraf pusat dengan target penghambatan pada neuron di dalam spinal cord
dan batang otak mamalia (Bruggemann et al. 2003). Transpor toksin ke tempat
aksi di CNS tergantung atas te rikatnya toksin pada reseptor membran presinaptik
(keterlimpahan disialo-dan trisialogangliosida atau sialoglikoprotein pada vehikel
sinaptik) dan internalisasi ke dalam membran transpor retroaxonal dalam sistem
carrier reticulum endoplasmic smooth. Toksin akan menghambat pelepasan glisin
dan GABA dengan cara menghambat pelepasan stimulasi K+ , memblok secara
lengkap Ca ++ serta menstimulasi sekresi katekolamin, dan mengganggu
metabolisme cGMP. Tiga langkah aksi toksin yaitu: 1) toksin berikatan untuk
fiksas i, hal itu tergantung pada suhu dan bersifat reversible, 2) molekul toksin
bertranslokasi pada membran sel, hal itu tergantung pelepasan transmiter, 3)
paralisis sangat tergantung suhu dan tidak berhubungan dengan pelepasan
transmiter. Perubahan metabolisme yang menyertai tetanus adalah cairan tubuh,
asam basa, keseimbangan elektrolit, karbohidrat, protein, lipid, dan metabolisme
asam nukleat. Tetanus yang berat diawali oleh alkalosis respirasi diikuti oleh
acidosis dan terus meningkat karena terbentuk asam laktat akibat aktivitas otot
berlebih (Bizzini 1993).
33
Waktu yang diperlukan oleh toksin untuk sampai di batang otak
tergantung dari lokasi lesi, dari percobaan injeksi pada otot lidah diperlukan
waktu kurang dari dua jam mencapai batang otak, sedangkan injeksi melalui otot
gastrocnemius diperlukan waktu lebih dari enam jam (Miana -Mena et al. 2002).
Toksin mengkatalisis vesikel protein sinaptobrevin pada sinap melalui pelepasan
proteolitik.
Hal ini akan menyebabkan konstraksi otot secara kontinyu yang
pertama kali dilihat pada otot dagu dan leher (lockjaw) (Bruggemann et al. 2003).
Tetanospasmin merupakan Zink metaloprotease, dilepaskan dalam luka
dan berikatan dengan motor neuron terminal daerah perifer, masuk ke dalam
akson dan melalui transpor retr ograde intraneural mencapai nervus cell body di
batang otak dan spinal cord. Toksin mengalami migrasi dari daerah sinap ke
terminal presinap. Di daerah presinap toksin memblok pelepasan inhibitor
neurotransmiter glisin dan gamma-aminobutyric acid (GABA) dengan cara
memecah protein yang penting untuk fungsi pelepasan vesikel sinaptik. Salah satu
protein penting itu yaitu sinaptobrevin. Protein itu menyebabkan penurunan efek
penghambatan dan meningkatkan resting firing rate pada neuron motor sehingga
terjadi kekakuan otot (Ray 2004).
Berkurangnya waktu aktivitas reflek, berakibat polisinaptik menyebar ke
impul (aktivitas glicinergik). Frekuensi agonis dan antagonis lebih sering
dibandingkan dengan inhibisi sehingga terjadi spasmus. Hilangnya inhibisi juga
mempengaruhi neuron preganglion simpatetik di daerah lateral substansia abu-abu
spinal cord dan menyebabkan hiperaktivitas simpatik dan kadar katekolamin yang
bersirkulasi tinggi (Ray 2004).
Regulasi sintesis dan sekresi toksin tetanus dikontrol secara ketat oleh
elemen regulator yang sangat sensitif terhadap signal lingkungan. Aktivitas
ekstraseluler toksin tetanus sangat tergantung pada Zn++ untuk menghambat
neurotransmisi pada sinap inhibitor, sedangkan produksi toksin dipteri
dipengaruhi oleh ketersediaan ion Fe pada medium pertumbuhan bakteri, ekspresi
toksin cholera dan faktor virulen adesin dikontrol oleh osmolaritas dan temperatur
lingkungan (Todar 2002) .
34
Imunitas Terhadap Toksin Tetanus
Faktor utama ketahanan tubuh terhadap toksin adalah fungsi barier tubuh,
terutama blood brain barier ketika toksin bergerak pada neural pathways, barier
uterin dan intestinal. Makrofag sebagai pertahanan utama terhadap kuman, tetapi
kehadiran toksin dapat mengganggu pelepasan lisosim dari makrofag. Imunitas
spesifik tidak berkembang pada pasien surviving karena jumlah toksin yang
menyebabkan sakit tidak banyak untuk dapat imunogenik, toksin yang diproduksi
secara insitu selalu berikatan pada reseptor pada nervus terminal yang
menginervasi area itu (Bizzini 1993). Toksin tetanus merupakan antigen yang
sangat baik, dan dapat dibuat antitoksin pada serum dengan titer tinggi. Kuda
adalah produser antitoksin tetanus yang sangat baik. Pemakaian antitetanus kuda
harus hati-hati jika pasien menderita alergi seperti asma atau eksem infantile atau
alergi terhadap semua injeksi antiserum (Schroder dan kuhlmann 1991; Maple et
al. 2001). Untuk dapat digunakan sebagai vaksin, toksin harus dihilangkan sifat
toksisitasnya tanpa mengurangi sifat antigeniknya melalui perlakuan tertentu,
seperti formalin, iodine, pepsin, asam askorbat, dan keton. Toksoid bersifat inaktif
sehingga memerlukan adjuvan untuk stimulasi sistem imun (Bizzini 1983).
Pada domba, imunisasi awal memerlukan dua kali dosis dengan interval
pemberian empat sampai enam minggu. Imunisasi pertama dapat diberikan dosis
sensitizing dan imunisasi kedua dapat diberikan dosis confirming (dosis yang
diperkuat).
Imunisasi ketiga diberikan satu tahun kemudian (Bizzini 1993).
Kekebalan akan berkurang dalam periode tahun dan memer lukan boster secara
berkala setiap lima tahun (Lewis 1998).
Pada manusia imunisasi pertama
diberikan saat umur dua tahun kemudian diulang setiap 10 tahun (Anonim 2003).
Vaksin generasi baru yang telah dikembangkan dibuat dari C-terminal
(fragmen C) rantai berat toksin tetanus yang diinaktivasi menggunakan
formaldehid, fragmen ini tidak toksik dan mampu meningkatkan fungsi netralisasi
antibodi (Marvaud et al. 1998). Kadar imunitas antitetanus berdasarkan atas
memori imunologis yang bervariasi dan sangat tergantung umur, dengan
bertambahnya umur dalam suatu populasi kemungkinan terserang infeksi tetanus
tinggi (Schatz et al. 1998; Matos et al. 2002).
35
Pencegahan dengan Antitoksin
Pada kedokteran hewan, penggunaan antitoksin untuk pencegahan
penyakit member ikan hasil yang memuaskan. Pemberian imunisasi pasif dan
dikombinasikan dengan imunisasi aktif juga baik. Standar internasional
kandungan antitoksin tetanus tiap ampul adalah 120 IU (Sesardic et al. 1993).
Antitetanus serum direkomendasikan dapat diberikan secara kontinyu pada
orang yang mudah mendapat tetanus dari luka, terutama yang mempunyai sejarah
imunisasi tidak lengkap atau status imunisasinya tidak jelas (Porter et al. 1992).
Pemberian imunoglobulin (ATS) harus diikuti dengan imunisasi untuk
pengobatan tetanus yang sering terjadi mengikuti kejadian luka, hal ini untuk
mendapatkan kekebalan dalam waktu lebih panjang karena kekebalan dari
imunisasi tetanus baru muncul 7 hari post imunisasi (Forrat et al. 1998).
Pengobatan terhadap luka yang beresiko terkontaminasi infeksi tetanus
dengan cara imunisasi aktif, manajemen pengobatan luka lokal, dan imunisasi
pasif. Imunisasi pasif awalnya berkembang mulai abad ke-20, dan masih relevan
sampai saat ini untuk pencegahan tetanus pada pasien yang mendapat luka. Hal itu
juga dilakukan pada pasien penderita tetanus (Forrat et al. 1998). Proteksi untuk
melawan efek letal toksin tetanus hanya dapat diproduksi dari dosis antigen yang
sangat tinggi diikuti dengan imunisasi dengan bakteri hidup yang telah
dilemahkan (Grangette et al. 2001).
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelititan
Penelitian dilakukan di laboratorium Imunologi Departemen Kitwan
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor , Laboratorium Uji Hewan
PT Biofarma Bandung, dan Klinik Hewan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana, berlangsung selama 27 bulan, dari bulan Januari 2004
sampai Maret 2006
Materi
Hewan Percobaan
Penelitian ini menggunakan ayam layer pulet (siap telur) jenis Isa brown
berumur 34 minggu untuk produksi IgY antitetanus, dan mencit (Mus mu scculus
L) strain DDY umur 4 sampai 5 minggu dengan kisaran berat badan 15 sampai
17 gram untuk uji potensi antitetanus dan uji tantang (in vivo). Pakan yang
diberikan pada ayam adalah pakan komersial produksi PT Charoen Pokhpand
jenis CP 324 sebanyak 60 gram/ekor/hari. Sedangkan untuk mencit diberikan
pakan berbentuk pelet standar untuk pakan hewan laboratorium PT Biofarma
Bandung, diberikan sebanyak 6 gram/ekor/hari dan air minum diberikan secara ad
libitum.
Ayam dipelihara pada kandang individual, dibuat dari besi dengan sistem
baterai 40 x 30 x 60 cm. Kandang mencit dibuat dari kotak plastik berukuran 30 x
60 x 15 cm untuk enam ekor mencit. Pemeliharaan mencit dilakukan dalam ruang
tertutup dengan suhu 25 o C sampai 26 oC dan kelembaban 54% sampai 60%,
dengan penerangan selama 10 jam/hari.
Toksoid Tetanus
Toksoid tetanus dibuat dari toksin tetanus yang diisolasi dari mikrob C.
tetani strain Massachuset, diproduksi oleh PT. Biofarma Bandung. Mikrob itu
ditanam pada medium Pitmann, kemudian dibiakkan dala m fermentor yang diisi
medium sintetik. Fermentasi dilakukan selama 8 hari pada suhu 34 o C sampai 35
o
C. Setelah diproduksi toksin dengan limit flocciculi (Lf) cukup tinggi kultur
37
dipanen, disaring dan filtrat yang mengandung toksin ditampung dalam vessel.
Detoksifikasi dilakukan dengan penambahan formalin sedemikian sehingga
didapatkan konsentrasi 0.5%, dieramkan selama 4 minggu pada suhu 37 oC.
sekali-sekali dihomogenkan. Setelah lolos dari uji toksisitas, cairan toksoid
diultrafiltrasi dalam Amicon hollow fibre menghasilkan toksoid pekat. Pemurnian
dilakukan dengan pengendapan amonium sulfat (Nasution et al. 1987).
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah bahan untuk uji imunodifusi yaitu :
Agarose (Serva, Jerman), Polyethylene glikol 6000 (Merck, Jerman), Phosphate
Buffer Saline (Merck, Jerman) pH 7.2, Aquadest, NaCl fisiologis (Merck, Jerman),
NaN3 (Merck, Jerman). Bahan untuk pemurnian protein yaitu : Chloroform
(Merck, Jerman), Phosphate Buffer Saline (Merck, Jerman) 100 mM dengan pH
7.6, Polyethy lene glikol 6000 (Merck, Jerman), NaCl fisiologis (Merck, Jerman),
kantong dialisis (SIGMA), kolom Hi-trap IgY (Amersham Bioscience) spesifik
untuk IgY , Potassium sulfat (K2SO4 ) (Merck, Jerman), NaH2PO4 (Merck,
Jerman), propanol (Merck, Jerman), etanol, dan air bebas ion. Bahan untuk uji
Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE)
menggunakan Tetra Methyl Etilen Diamin
(TEMED) (Merck, Jerman),
Acrylamide (Merck, Jerman), Bisacrylamide (Merck, Jerman), Sodium Dodecyl
sulfat (SDS) (Merck, Jerman), Tris HCl dan ammonium ferosulfat dan alkohol
70%. Serta bahan-bahan untuk enzyme linkage immunosorbent assay (ELISA)
yaitu NA2 CO 3 (Merck, Jerman), NaHCO (Merck, Jerman), air deionisasi, NaCl
(Merck, Jerman), KCl (Merck, Jerman), NaHPO4 (Merck, Jerman), KH 2PO4
(Merck, Jerman), Tween 20 (SIGMA), citrate phosphate buffer (C6H 8O7H2O)
(SIGMA), ABTS (2.2-azino-di 3 ethylbenzothiazoline -6-sulphonic acid)
(SIGMA), Bovine Serum Albumin (BSA) (SIGMA), H2O2 (Merck, Jerman).
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah syringe volume 3
ml, 1 ml dan 10 ml (Terumo®), tabung reaksi, tabung sentrifus, pipet 1 ml, 5 ml.
10 ml, mikropipet (efendorf ®), mikrotip, gelas obyek, kandang ayam dan mencit
38
beserta kelengkapannya, refrigrator (Sa nyo Medicool), tabung Eppendorf, botol
volume 3 ml, sentrifus (Himac and Kokusan H-1500 DR), penangas air (Eyela
NTS – 1300), petridish, gel puncher, inkubator, timbangan, dan gelas ukur.
Metode
Produksi IgY pada Telur Ayam
Produksi IgY menggunakan 5 ekor ayam betina dewasa siap bertelur ya ng
dipelihara dalam kandang baterai dan diberi pakan komersial standar CP 324 dan
air minum secara ad libitum. Ayam diimunisasi dengan toksoid dosis bertingkat
(Guidolin et al. 1998; Matos et al. 2002). Imunisasi perta ma secara intra vena
dengan dosis 15 Lf tanpa adjuvan kemudian dilanjutkan secara intra muskular
dengan interval satu minggu. Pada minggu pertama secara intra muskular ayam
diimunisasi dengan toksoid tetanus dosis 100 Lf dan dilakukan pengulangan pada
minggu kedua dengan dosis toksoid 200 Lf serta minggu ketiga dengan dosis
toksoid 300 Lf. Penyuntikan pertama, toksoid dicampur dengan Freund adjuvant
complete dan penyuntikan selanjutnya dengan Freund adjuvant incomplete .
Semua ayam diambil darahnya melalui arteri daerah sayap sebanyak 2 ml, dengan
menggunakan spuite setiap minggu. Darah dalam spuite diinkubasikan dalam
suhu 37 0C atau suhu kamar selama 1 jam kemudian diinkubasikan dalam suhu 4
0
C selama 24 jam. Serum dipisahkan dari bekuan sel-sel darah, kemudian
dilakukan deteksi antibodi spesifik dengan uji AGP terhadap toksoid dan titernya.
Bila antibodi dalam darah sudah terdeteksi, maka telur yang dihasilkan dikoleksi.
Ekstraksi IgY dari Kuning Telur
Metode PEG – kloroform
Kuning telur dipisahkan dari bagian putih telur, dan dicuci dengan air
deionisasi. Kuning telur diletakkan di atas kertas saring untuk menghilangkan
putih telur yang masih melekat. Membran kuning telur dilubangi dengan cara
diangkat dengan pinset dan cairan kuning telur ditampung pada tabung dengan
volume 50 ml. Tambahkan 25 ml sodium phosphat buffer (100 mM, pH 7.6) dan
campurkan secara perlahan. Selanjutnya tambahkan 20 ml kloroform dan campur
secara perlahan sampai terlihat bentukan semisolid. Larutan itu disentrifus dengan
39
kecepatan 1200 g selama 30 menit. Supernatan diambil dan tambahkan PEG 6000
sehingga didapat konsentrasi akhir 12% (w/v). Larutan itu kemudian disentrifus
dengan kecepatan
15 700 g selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet
diresuspensikan dengan 2 ml PBS. Selanjutnya dilakukan dialisis selama 24 jam
dalam larutan PBS pH 8. Tampung larutan hasil dialisis dan tambahkan dua tetes
0.1% Na azide, dan simpan pada suhu – 80 oC (Comenisch et al. 1999).
Purifikasi Ig Y
Purifikasi dilakukan dengan fast protein liquid chromatography (FPLC)
mengunakan alat Hi-trap IgY (Amersham Bioscience). Semua selang pada alat
FPLC dicuci dengan etanol 20% selanjutnya dengan air bebas ion untuk
menghilangkan sisa -sisa protein dan zat lainnya supaya tidak mengkontaminasi
bahan yang akan dipurifikasi. Matriks dalam kolom dibilas dengan buffer K 2 SO4
0.5 M dalam larutan NaH2PO4 20 mM dengan pH 7.5. Sampel IgY hasil ekstraksi
dilarutkan dengan buffer K2SO4 0.5 M kemudian dimasukkan ke dalam kolom
Hi Trap IgY Purification Hp 5 ml yang telah terpasang pada alat sebanyak 2 ml.
Alirkan larutan binding (K2 SO4 0.5 M dalam larutan NaH 2PO4 20 mM pH 7.5) ke
dalam kolom untuk memberikan kesempatan matriks dalam kolom mengikat IgY
dan protein-protein selain IgY akan lolos dan dibuang. Selanjutnya dilakukan
elusi terhadap IgY yang telah terikat pada matriks dengan larutan NaH2PO4 20
mM pH 7.5. Imunoglobulin Y yang terelusi akan terdeteksi oleh monitor absorban
yang ditandai dengan naiknya garis sampai terbentuk garis puncak. Setiap fraksi
dari larutan itu ditampung pada tabung di alat fraksimeter. Fraksi yang berisi
larutan konsentrasi puncak diambil, dipekatkan kembali ke volume awal dan
didialisis selama 24 jam dalam larutan PBS pH 8 untuk menghilangkan garamgaram yang ikut terlarut. Matriks dicuci dengan larutan propanol 30% (Cleaning
buffer) dalam larutan NaH 2PO4 20 mM pH 7.5.
Identifikasi Kemurnian Ig Y
Identifikasi kemurnian Ig Y ditentukan secara colorimetri (λ = 595 nm),
uji Agar Gel Presipitation (AGP) dan analisis pita protein dengan Sodium
40
Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) (Wibawan et
al. 2003).
Metode Bradford
Metode ini berdasarkan pengikatan protein pada larutan dye coomassie
brilliant blue. Pada pH rendah larutan dye yang bebas diabsor psi secara bebas
pada panjang gelombang 470 dan 650 nm, tetapi setelah berikatan dengan protein
diabsor psi secara maksimum pada panjang gelombang 595 nm (Wilson dan
Walker 2000). Larutan Bradford dibuat dengan cara : sebanyak 100 mg comassie
brilliant blue dicampur dengan 50 ml ethanol 95%, dan asam orto fosfat 85%
kemudian diencerkan dengan akuades sampai satu liter. Campuran larutan itu
disaring dengan kertas saring. Larutan itu merupakan larutan stok lima kali dan
disimpan pada suhu 4 oC. Jika mau digunakan, encerkan satu bagian larutan stok
dengan empat bagian akuades.
Pemeriksaan sampel dilakukan dengan cara : 100 µl sampel dilarutkan
dengan satu ml larutan Bradford, diinkubasikan selama 10 menit, kemudian
diperiksa pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 595 nm. Kurva
standar dibuat dari pengenceran BSA (bovine serum albumin ) kemudian dibuat
persamaan regresinya yaitu : Y = ax + b, Y adalah besarnya absorpsi, a adalah
koefisien regresi, x adalah konsentrasi sampel dan b adalah suatu konstanta .
Uji Imunodifusi
Uji ini disebut uji AGP (agar gel presipitation). Medium dibuat dari
campuran 0.4 g agarose (Serva, Jerman), 1.2 g PEG 6000 (Merck, Jerman), 20 ml
aqudes dan 20 ml PBS dengan pH 7.2 (Merck). Campuran tersebut ditangas pada
air mendidih sampai jernih. Dengan menggunakan pipet 10 ml, agar cair tersebut
dituang di atas petridis atau cetakkannya dan dibiarkan sampai mengeras. Setelah
mengeras dibuat lubang-lubang untuk tempat antigen dan antiserum dengan
menggunakan alat gel puncher. Ke dalam lubang-lubang tersebut diisikan antigen
(lubang tengah) dan antiserum dilubang sekitarnya. Sediaan kemudian diletakkan
di tempat yang lembab, kemudian diamati terjadinya presipitasi setelah disimpan
41
selama 24 jam. Adanya garis presipitasi menunjukkan antara antiserum dan
antigen tersebut terjadi reaksi homolog.
Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE)
Untuk mengetahui pola protein dari IgY yang terbentuk dilakukan
karakterisasi dengan elektroforesis SDS-PAGE terhadap IgY yang telah
dimurnikan. Prosedur elektroforesis sebagai berikut :
Pembuatan gel pemisah (running gel) konsentrasi 10% terdiri dari : 14 ml
akrilamid stock 30% ditambah 10 ml aquades; 5 ml larutan 3 M Tris HCl pH 8.9;
0.4 ml larutan Sodium Dodecyl Sulphate (SDS) 10%; 0.02 ml TEMED; 14.4 ml
aquades dan 0.4 ml larutan amonium persulfat (0.5 g dalam 4.5 ml aquades, harus
selalu dalam keadaan baru dilarutkan). Setelah gel pemisah mengeras disiapkan
gel pengumpul (stacking gel) yang terdiri dari: 1 ml akrilamid stock 30%; 7.54 ml
aquades; 1.25 ml larutan 0.5 M Tris HCl, pH 7; 0.1 ml larutan SDS 10%; 0.005
ml TEMED dan 0.1 ml larutan amonium persulfat (0.5 g dalam 4.5 ml aquades,
harus selalu dalam keadaan baru dilarutkan). Untuk preparasi gel pengumpul
dicetak dengan bantuan “sisir” (comb) untuk membuat sumur-sumur tempat
memasukkan contoh yang akan dipisahkan. Ketebalan gel yang dibuat adalah 4
mm. Setelah gel mengeras, sisir diangkat.
Preparasi sampel menggunakan bufer disosiasi (Dissociation Buffer) yang
terdiri dari 10 ml SDS 10%; 5 ml gliserin ; 5 ml Tris HCl 0.5 M pH 8.8; 0.5 ml
bromphenol blue; 0.5 ml 2-Mercaptoethanol; 10 ml aquades. Sebanyak 100 µl
sampel dicampur dengan 100 µl buffer disosiasi atau 25 µl sampel dicampur
dengan 200 µl buffer disosiasi (disesuaikan dengan kandungan protein sampel).
Untuk sampel dengan konsentrasi protein rendah digunakan buffer disosiasi yang
dipekatkan lima kali konsentrasi awal, yang terdiri dari : 1.25 ml Tris 2 M pH 8.8
didalam 10% SDS; 0.4 ml Bromphenol blue 5%; 0.5 ml 2-Mercaptoethanol dan 5
ml glycerin. Sebanyak 200 µl sampel dicampur dengan 25 µl buffer contoh.
Sebelum dimasukkan ke dalam sumur gel, sampel dipanaskan selama 2 menit
kemudian ditambahkan 2 tetes 2-Mercaptoethanol dan divortek. Dipanaskan
kembali selama 5 menit (sampel siap untuk di lalukan). Sebanyak 20 µl sampel
dimasukkan ke sumur-sumur yang telah tersedia pada gel.
42
Proses pemisahan protein menggunakan buffer pemisah (running buffer)
yang terdiri dari Tris HCl 0.025 M/l; glycine 0,192 M/l dan SDS 0.1% pH 8.8.
Pemisahan dilakukan pada kekuatan arus 30 sampai 40 mA
dengan voltage
maksimum untuk setiap gel dalam kodisi dingin (ke dalam alat elektrophoresis
dialirkan air es) selama 4 jam atau jika zat warna contoh telah hampir sampai
(jangan sampai melewati) ujung bawah gel pemisah.
Setelah elektroforesis selesai, gel difiksasi dengan larutan Tricloroacetic
acid (TCA) konsentrasi 12% selama 24 jam. Gel diwarnai dengan larutan 0.25%
biru komasi yang dilarutkan dalam 55 ml methanol dan 7.5% asam cuka dalam 1
liter akuades. Pewarnaan dilakukan selama 24 jam (digoyang di atas titertek),
setelah itu, gel dipucatkan dengan larutan yang terdiri dari campuran metanol,
asam cuka dan akuades dengan perbandingan 5 : 4 : 1 sambil digoyang-goyang
selama 24 jam (diamati setiap 1jam)
Teknik ELISA
Teknik enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) digunakan untuk
mengetahui aktivitas IgY, terutama untuk mengetahui antibodi yang aktif dari
keseluruhan fraksi IgY. Prinsip dari ELISA adalah antigen ditutupi bagian
permukaannya. Antibodi sampel diikatkan pada antigen. Ikatan dari sampel
antibodi itu dideteksi dengan antibodi yang telah diberi label. Jumlah ikatan dari
antibodi itu di hitung dari ikatan antibodi yang telah diberi label. Teknik ELISA
yang digunakan sesuai dengan Carlander (2002) dengan beberapa modifikasi,
Secara lebih detail adalah sebagai berikut:
Mikrotiter plate (dasar cembung) dilapisi dengan 50 uL antigen.
Konsentrasi larutan yang diinginkan adalah 2 sampai 10 µg/ml dalam 0.1 M
NaHCO3, pH 9.5. Plate kemudian diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 4oC.
Plate kemudian dicuci sebanyak empat kali dengan 0.15 M NaCl, 0.02 M
NaHPO4 , 0.01% Tween 20, pH 7.2 (PBS-T) yang khusus digunakan sebagai
larutan pencuci dalam ELISA. Plate kemudian diblok dengan 100 µL Bovine
serum albumin 1% dalam 0.1 M NaHCO3 , pH 9.5 selama 90 menit pada suhu 37
o
C. Pemblokan dilakukan untuk mencegah antibodi berikatan dengan tempat yang
berada diluar tempat ikatan. Kemudian plate dicuci sebanyak empat kali dengan
43
PBS-T dan 50 µL sampel yang telah dilarutkan dalam PBS-T ditambahkan ke
setiap lubang dari plate yang dibuat duplikat atau triplikat. Plate diinkubasikan
selama satu jam dalam suhu 37 oC, setelah itu dicuci lagi sebanyak empat kali
dengan PBS-T. Selanjutnya 50 µL antibodi yang telah dilabel di masukkan ke
dalam lubang plate dan diinkubasikan selama satu jam pada suhu 37 oC, kemudian
ditambahkan substrat peroksidase sebanyak 100 µL. Plate dibaca setelah 30 menit
dengan spectraMax panjang gelombang 415 nm .
Aktivitas Biologis IgY.
Aktivitas biologis IgY diuji terhadap pengaruh pH, panas dan enzim
pencernaan seperti pepsin, tripsin, dan protease. Setelah perlakuan dengan pH,
panas, dan enzim aktivitas biologis dari IgY diuji dengan ELISA dan SDS-PAGE.
Pengujian ini perlu dilakukan berkaitan dengan kemungkinan aplikasi pencegahan
secara oral .
Uji Aktivitas IgY Setelah perlakuan pH
Masing-masing larutan IgY dilakukan perlakuan pH 2, pH 3, pH 7,dan pH
9. Pada pH 2 ditambah dengan 10 µl HCL 25%, pH 3 ditambah dengan 5 µl HCL
25%, pH 7 tanpa penambahan apapun, dan pH 9 ditambah dengan 12 µl NaOH.
Diinkubasi selama 15, 30, 45, 60, dan 120 menit pada suhu 37 ºC, setelah inkubasi
pH larutan perlakuan dikembalikan ke pH 7. Aktivitas IgY setelah perlakuan diuji
dengan metode enzym linked imunosorbent assay ( ELISA).
Uji Aktivitas IgY Setelah Perlakuan Suhu
Masing-masing larutan IgY dilakukan perlakuan suhu.
Tiap botol
dipanaskan di waterbath selama 5, 10,15, dan 20 menit pada suhu 50 ºC, 60 ºC, 70
ºC, 72.5 ºC, 75 ºC, 80 ºC, 90 ºC dan 100 ºC. Setelah habis waktu pengamatan,
sampel diambil dan langsung dicelupkan pada icebath untuk menghentikan
reaksinya. Sampel diuji aktivitasnya dengan metode Elisa.
44
Uji Aktivitas IgY Setelah Perlakuan Enzim Pepsin, Tripsin, dan Protease
Masing-masing larutan IgY dengan dosis 15 µg/ml diberi perlakuan enzim
pepsin. Tiap botol ditambahkan dengan 45 µl enzim pepsin dan untuk
mengaktifkan kerja enzim ditambahkan dengan 10 µl HCL 25% sehingga larutan
pH 2. Larutan tersebut kemudian divorte k dilanjutkan dengan inkubasi pada 37
ºC selama 30, 60, dan 120 menit.
Setelah inkubasi masing-masing sampel
dinetralkan dengan 5 µl NaOH 30%. Sedangkan untuk perlakuan enzim tripsin
dan protease , masing-masing sampel ditambahkan dengan 45 µl enzim trips in dan
protease untuk mengaktifkan kerja enzimnya ditambahkan dengan 12 µl NaOH
0.1% sehingga pH menjadi 8. Kemudian sampel divortek dan diinkubasi pada 37
ºC selama 30, 60, dan 120 menit.
Setelah inkubasi masing-masing sampel
dinetralkan dengan menambahkan 2 µl HCL 25% sehingga pH menjadi 7.
Uji Potensi IgY
Potensi IgY antitetanus ditentukan dari : perbandingan jumlah yang
diperlukan antara IgY antitetanus dengan ATS standar untuk melindungi mencit
(berat badan berkisar 17 g sampai 22 g) dari efek dos is paralitik (Lp/10) dari
toksin (Brit 2002). Dalam penelitian ini digunakan standar toksin tetanus dari
WHO (PT Biofarma 2003).
Penentuan potensi IgY anti tetanus
Sediaan antitoksin tetanus standar diencerkan dengan larutan NaCl
fisiologis sehingga kandungan antitoksin tetanus standar dalam larutan adalah 1
IU/ml. Sediaan sampel uji (IgY antitetanus) diencerkan dengan NaCl fisiologis
sampai diperoleh konsentrasi larutan sekitar 1 IU/ml. Toksin tetanus standar
dilarutkan dengan PBS sehingga kandungan toksin tetanus dalam larutan 0.4
IU/ml. Siapkan sepuluh buah tabung reaksi volume 10 ml, masing – masing lima
tabung untuk mencapur larutan toksin tetanus dengan IgY antitetanus yang akan
diuji dan lima buah tabung untuk sediaan antitoksin tetanus standar untuk kontrol.
Dibuat lima seri pengenceran dari standar antitoksin tetanus dan IgY antitetanus
dengan faktor pengenceran 1.10 sedemikian sehingga volume akhir setelah
ditambah 2 ml larutan toksin 0.4 IU/ml menjadi 4 ml setiap tabung. Ditambahkan
45
sebanyak 2 ml toksin tetanus standar pada setiap tabung reaksi, kemudian vortek
dalam beberapa detik. Campuran dibiarkan dalam posisi tegak, dalam suhu ruang,
dan terlindungi dari sinar selama selama 60 menit. Masing–masing campuran
larutan tiu diinjeksikan sebanyak 0.5 ml secara subkutan pada mencit. Setiap
campuran larutan itu memerlukan 6 ekor mencit untuk pengujian. Amati dan catat
jumlah mencit yang hidup selama lima hari masa observasi. Penghitungan potensi
IgY antitetanus dilakukan dengan metode Spearman-Karber berdasarkan jumlah
mencit yang bertahan hidup hingga akhir masa observasi dan dinyatakan dalam
satuan internasional unit (IU) per mililiter. Rumus perhitungan PD50 adalah
sebagai berikut :
Log PD50 = - [Xo – (0.5)d + d (Ri/Ni)]
Xo = Negatif Log10 dari pengenceran terendah, semua hewan uji pada
kelompok tersebut memiliki respon positif.
d = Log10 faktor pengenceran atau beda log10 antar pengenceran.
Ri = jumlah hewan uji yang menunjukan respon positif .
Ni = jumlah hewan uji setiap pengenceran.
Bila uji valid maka potensi IgY antitetanus dihitung dengan kalkulasi statistik
sebagai berikut :
Pot ATS Uji =
PD50 ATS Standar X Faktor Pengenceran ATS Uji X Pot ATS Std ( IU/ml)
PD50 ATS Uji
Potensi yang baik adalah tidak kurang dari 100 IU antitoksin tetanus setiap
ml larutan. Batas dasar kesalahan (P= 0.95) pada perkiraan potensi berkisar antara
80% sampai 125% (Brit 2002).
Uji Tantang pada Hewan Coba
Uji tantang pada hewan coba dilakukan untuk melihat perbedaan daya
netralisasi IgY terhadap toksin tetanus pada berbagai dosis secara in vivo
menggunakan hewan model. Uji dilakukan dengan cara mencit diberi antitoxin
(IgY) lewat suntikan subcutan (0.5 ml) dan secara per oral. Rancangan percobaan
yang digunakan adalah rancangan acak lengkap, dengan 4 perlakuan, yaitu
pemberian dengan IgY dosis 0.2, 0.4, 0.8, dan 1 IU/0.5 ml/ekor , masing-masing
46
dos is disuntikkan pada 6 ekor mencit. Masing-masing perlakuan ditantang dengan
toksin tetanus dosis 0.1, 0.2, 0.3, 0.4 IU/0.5ml/ekor . Perlakuan secara per oral,
mencit dibagi ke dalam tiga kelompok, masing-masing diberikan telur matang 0.5
ml sebanyak satu, dua , dan tiga hari (sekali sehari), kemudian ditantang dengan
toksin tetanus seperti perlakuan secara subkutan. Peubah yang diamati yaitu angka
kesakitan dan angka kematian dari mencit, gejala klinis tetanus yaitu gemetar,
punggung bengkok, kaki pincang, dan lock jaw, berat badan, feed intake, refleks
dan laju respirasi. Pengamatan dilakukan selama lima hari.
Berat badan diperoleh dengan menimbang mencit setiap hari dengan
timbangan analitik. Feed intake dihitung dari selisih antara jumlah pakan yang
diberikan pada hari ke (n) dan jumlah pakan yang tersisa pada hari ke (n-1) dibagi
dengan jumlah mencit yang hidup. Refleks diamati pada hari kelima dari
kemampuan mencit bertahan di air untuk berenang. Kemampuan berenang diukur
dari saat mencit diletakan di air sampai mencit berhenti menggerakan kaki. Laju
respirasi diamati pada hari ke -0, hari ke-3 dan hari ke-5. Laju respirasi diukur
dengan alat respirometer Scholander untuk mamalia kecil dengan indikator
penunjuk adalah larutan Brodie. Data yang diperoleh dianalisis dengan program
SPPS 10.0 for window.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi IgY Antitetanus pada Telur Ayam
Produksi IgY antitetanus dilakukan dengan menyuntikkan toksoid tetanus
dosis bertingkat selama 4 minggu. Toksoid tetanus diperoleh dari PT Biofarma
(Persero) Bandung dengan konsentrasi 2000 Lf /ml. Antigen toksoid diemulsikan
dengan Freund’s adjuvant. Antibodi spesifik terhadap toksoid tetanus pada serum
ayam dideteksi dengan menggunakan uji agar gel presipitasi (AGP) (Gambar 8).
Antibodi mulai terdeteksi minggu kelima dan tidak terdeteksi lagi minggu
kesembilan dari imunisasi awal (Tabel 3). Setelah dilakukan pengulangan
imunisasi, seminggu kemudian IgY antitetanus terdeteksi lagi. Sedangkan telur
mulai dikoleksi seminggu setelah IgY antitetanus positif di serum.
Mgg
1*
2*
3*
4*
5
6
7
8
9**
10
11
Tabel 3 Hasil uji AGP
serum
1
2
3
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
IgY antitetanus pada serum dan telur ayam
telur
4
5
1
2
3
4
***
***
***
***
***
***
***
***
***
***
***
***
***
***
***
***
+
+
***
***
***
***
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
5
***
***
***
***
***
+
+
+
+
+
Keterangan
* Waktu imunisasi
* * Imunisasi ulang
*** belum dilakukan koleksi telur
+ terjadi garis presipitasi pada agar AGPT
tidak terjadi garis presipitasi pada agar AGPT
Titer IgY antitetanus mencapai puncak dalam serum pada minggu keenam,
sedangkan dalam telur pada minggu ketujuh dari awal imunisasi (minggu ketiga
sejak mulai terdeteksi di serum). Rataan total titer IgY spesifik antitetanus pada
serum adalah 13.84 ± 2.89 IU/ml sedangkan pada telur adalah 28.23 ± 7.62
IU/ml. Rataan titer tertinggi dari kelima ayam pada serum 34.53 ± 14.94 IU/ml
dan terendah 2.68 ± 1.32 IU/ml. Pada telur rataan titer tertinggi dari kelima ayam
adalah 80. 16 ± 33.55 IU/ml dan terendah 1.69 ± 0.63 IU/ml (Gambar 7).
48
Titer IgY antitetanus
Titer (IU/ml)
100
80
60
serum
40
telur
20
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Minggu
Gambar 7 Rataan titer IgY antitetanus pada serum dan telur.
Titer IgY antitetanus dalam serum mengalami penurunan pada minggu
kedelapan. Hasil uji AGP (Tabel 3) menunjukkan nilai negatif pada beberapa
sampel, tetapi pada pemeriksaan ELISA konsentrasinya masih tinggi yaitu
berkisar antara 0.18 IU/ml sampai 2.68 IU/ml. Kristiansen et al. (1997)
melaporkan efek toksik dari kuman tetanus tidak terjadi pada penderita yang
memiliki konsentrasi antitetanus dalam serum di atas 0.01 IU/ml.
2
2
2
1
2
2
2
Gambar 8 Hasil uji imunodifusi IgY antitetanus Ayam. (1) toksoid tetanus, (2)
IgY antitetanus ayam. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya garis
presipitasi antara toksoid tetanus (1) dengan sampel (2).
Imunogenitas suatu bahan berhubungan langsung dengan berat molekul.
Bahan dengan berat molekul lebih besar dari 5 kDa adalah imunogen yang baik,
bahan dengan berat molekul 4.5 kDa imunogen yang jelek dan dengan berat
molekul kurang dari 1 kDa tidak imunogenik. Jumlah antigen yang umum dipakai
untuk imunisasi adalah 50 sampai 100 ug (Liddell dan Weeks 1995) . Pada
penelitian ini toksoid yang digunakan mempunyai berat molekul 150 kDa dengan
jumlah 300 Lf per ekor. Sehingga dari syarat berat molekul sudah memenuhi
sebagai imunogen yang baik.
49
Gambar 7 memperlihatkan titer IgY antitetanus pada serum mengalami
penurunan mulai minggu ketujuh walaupun dengan uji AGP masih positif.
Penurunan secara nyata terjadi pada minggu ke sembilan. Begitu juga halnya
dengan titer IgY antitetanus pada telur, penurunan pada minggu kesembilan
sangat nyata dibandingkan minggu sebelumnya dan terjadi peningkatan pada
minggu kesepuluh setelah imunisasi ulang.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terbentuknya antibodi adalah
umur hewan, ukuran molekul antigen, kerumitan struktur kimiawi antigen,
genetik, rute imunisasi, dan dosis antigen, serta waktu dan jumlah pengulangan
imunisasi (Liddell dan Weeks 1995; Behn et al. 1996). Struktur antigen bakteri
utuh lebih kompleks dan rumit sehingga dengan dosis yang sedikit mampu
merangsang antibodi dibandingkan dengan komponen metabolit bakteri atau
komponen sel bakteri. Kapsul bakteri S equi subsp. Zooepidemicus yang tersusun
atas asam hyaluronat kurang imunogenik karena komponen biokimiawi penyusun
asam hyaluronat terdiri atas ulangan polisakarida yang sama dengan struktur
oligosakarida kompleks hanya pada bagian tertentu saja (Wibawan et al.1999).
Begitu juga halnya dengan toksoid yang merupakan metabolit bakteri strukturnya
sederhana sehingga mudah dipecah oleh enzim dalam tubuh. Rawendra (2005)
melaporkan imunisasi pada ayam menggunakan antigen whole cel l EPEC K1.1
secara intravena tanpa penambahan adjuvan, antibodi dalam serum sudah
dideteksi pada hari ketujuh, dan tetap bertahan sampai minggu kedelapan.
Sedangkan Paryati (2006) melaporkan penggunaan antigen idiotipe virus rabies,
antibodi pada serum ayam baru muncul pada minggu ketujuh, dan antibodi masih
terdeteksi selama 10 min ggu. Penggunaan venom sebagai antigen yang dicampur
adjuvan komplit, dilaporkan antibodi terdeteksi dua minggu setelah vaksinasi.
Titer antibodi meningkat setelah imunisasi boster dan tetap tinggi sampai 24
minggu (Almeida et al. 1998).
Aplikasi imunisasi secara intravena memerlukan dosis antigen dua kali
lebih tinggi diba ndingkan dengan imunisasi intramuskular dan konsentrasi
antibodi di serum cepat turun. Ayam diimunisasi dengan antigen whole blood
tanpa menggunakan adjuvan didapatkan titer yang tinggi empat minggu setelah
vaksinasi pertama dan tetap stabil selama 7 minggu (Gutierrez et al. 2001).
50
Carlender (2002) melaporkan penggunaan adjuvan menyebabkan titer antibodi
pada serum tetap tinggi sampai 6 bulan. Ayam yang di imunisasi dengan rotavirus
terus bertelur tanpa ada perubahan periode bertelur. Produksi anti HRV pada
ayam menunjukkan 15 sampai 20 kali lebih efektif dibandingkan diproduksi pada
kelinci dengan titer netralisasi dalam kuning telur tetap tinggi dalam jangka waktu
lebih dari setahun (Hatta et al. 1993). Sedangkan Chang et al. (1999) melaporkan
imunisasi secara intra muskular dengan adjuvan mampu meningkatkan antibodi
10 kali lebih tinggi dibandingkan imunisasi secara subcutan.
Penurunan kadar antibodi dalam serum merupakan cermin dari hilangnya
populasi sel plasma penghasil antibodi spesifik. Setiap berdiferensiasi penuh, sel
plasma mati setelah tiga sampai enam hari, dan antibodi yang dihasilkan menurun
karena proses katabolisme (Tizard 1988). Efektivitas produksi antibodi pada
serum tergantung atas pelepasan antigen yang konstan untuk merangsang sistem
imun. Substansia yang digunakan untuk itu adalah adjuvan(Behn et al. 1996).
Injeksi antigen tiga kali berturut-turut setiap 4 minggu tanpa pemberian
adjuvan menimbulkan titer antibodi rendah, titer antibodi yang tinggi dicapai pada
imunisasi menggunakan adjuvan (Behn et al. 1996). Penggunaan Freund’s
adjuvant komplit dan tidak komplit yang dicampur antigen merangsang
terbentuknya titer antibodi tinggi pada serum dan telur ayam. Komponen
penyusun Freund’s adjuvant komplit adalah minyak mineral, deterjen, dan
mikobakterium mati. Minyak mineral bersifat hidrofobik cenderung tertahan pada
tempat injeksi dan lambat diabsor psi, droplet dari minyak ini akan disingkirka n
secara perlahan oleh makr ofag sistem retikuloendotelial sehingga antigen yang
terkandung dapat secara maksimal memapar sistem imun. Deterjen berfungsi
mempertahankan emulsi minyak mineral dengan antigen. Emulsi air dalam
minyak lebih baik dibandingkan minyak dalam air, sehingga komposisi
perbandingan adjuvan dengan antigen dianjurkan 2 : 1 atau lebih. Mikobakterium
yang telah mati menyebabkan rangsangan nonspesifik terhadap sistem
retikuloendotelial dan sistem imun dengan cara proliferasi makrofag dan limfosit
secara lokal dan sistemik. Bahan aktif lain yang sering digunakan pada adjuvan
adalah bordetella pertusis , corynebakterium parvum, dan levamisol. Vaksin
rekombinan hepatitis B dicampur dengan adjuvan aluminium hydroxide
51
(AL2(HO)3) juga mampu merangsang terbentuknya antibodi pada serum dan telur
ayam. Freund’s adjuvant sangat kuat dalam merangsang respon imum dan
digunakan hanya pada hewan coba, sedangkan adjuvan aluminum hydroxide
adalah adjuvan yang aman digunakan pada manusia dan hewan (Makvandi dan
Fiuzi 2002).
Untuk tetap mempertahankan titer IgY antitetanus yang tinggi (hiperimun)
pada serum dan telur perlu dilakukan imunisasi secara berkala. Waktu imunisasi
berbeda pada masing-masing hewan. Pada mencit dilakukan setiap dua minggu,
pada hewan besar bisa sampai tiap dua bulan sedangkan boster dilakukan dua
minggu menjelang panen. Pada kuda imunisasi dilakukan setiap satu bulan
dilanjutkan boster tiap 4 hari untuk mendapatkan titer antitetanus yang tinggi (PT
Biofarma 2003). Pada mencit boster dilakukan beberapa hari menjelang panen.
Pada ayam belum ada laporan secara pasti tentang waktu boster yang baik untuk
mendapatkan titer yang tinggi. Sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Pada`pengujian selanjutnya, sampel dengan titer tinggi dikumpulkan,
sedangkan sampel dengan titer rendah disingkirkan. Dari hasil pemeriksaan titer
tertinggi pada serum sebesar 83.82 IU/ ml sedangkan pada telur 165.65 IU/ml
(Tabel 4).
Tabel 4 Hasil pengukuran titer IgY antitetanus (IU/ml)
No Pengukuran
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
rataan
Serum (IU/ml)
83. 82
36.53
19.73
12.93
21.01
45.12
38.32
11.08
9.18
19.44
Telur (IU/ml)
153.54
165.65
38.63
42.04
57.51
61.08
37.13
96.26
93.07
48.64
29.72
79.36
Titer pada telur lebih tinggi karena telur bertindak sebagai penampung dan
persiapan calon anak ketika akan lahir. IgY pada telur tidak mengalami degradasi
oleh enzim yang ada di kuning telur, karena ada granul-granul komponen
52
lipoproteinsakarida pada kuning telur yang melindungi IgY (Scmidt et al. 1989).
Pada serum, imunoglobulin mengalami degradasi sesuai dengan waktu paruhnya.
Waktu paruh dari IgY adalah 36 jam (Carlendar 2002).
Ekstraksi, Purifikasi dan Karakterisasi IgY Antitetanus dari Kuning Telur
Ekstraksi IgY antitetanus dari kuning telur bertujuan untuk memisahkan
protein dari lemak telur. Secara umum metode ekstraksi IgY terdiri atas empat
tahap : (1) pelarutan kuning telur dengan buffer, (2) pengendapan lemak, (3)
pengendapan protein, (4) pelarutan endapan protein (Szabo et al. 1998). Ada
bermacam-macam metode ekstraksi seperti presipitasi garam, presipitasi
isoelektik, dan presipitasi dengan larutan organik. Selain metode itu protein dapat
juga diendapkan dengan polimer organik. Polimer organik yang sering digunakan
adalah polyethylene glycol (PEG) dengan berat molekul 6000 sampai 20 000.
Pada penelitian ini ekstraksi IgY antitetanus dari kuning telur dengan teknik PEGkloroform.
Langkah
pertama
ekstraksi
IgY
antitetanus
dari
kuning
telur
mengendapkan lemak telur dengan kloroform sehingga diperoleh supernata n yang
mengandung IgY antitetanus berwarna jernih (Gambar 9). Kloroform merupakan
senyawa nonpolar, apabila ditambahkan pada lipid dalam bentuk fase cair akan
membentuk larutan lipid yang semisolid dan mengendap jika disentrifus (Wilson
dan Walker 2000).
A
B
Gambar 9 A. Penambahan kloroform pada larutan kuning telur. B.
Pemisahan supernatan yang mengandung IgY antitetanus
dari lemak telur yang telah mengendap.
Pengendapan protein dari supe rnatan dilakukan dengan penambahan PEG
6000 sampai mencapai konsentrasi 12% (w/v) diperoleh endapan (pelet) protein
53
yang berwarna putih di dasar tabung setelah disentrifugasi. Pelet dilarutkan
kembali dengan PBS dan dikoleksi (Gambar 10).
A
B
Gambar 10 Penambahan PEG 6000 pada supernatan. B. Pemisahan pelet
dari supernatan setelah disentrifuse
Penambahan PEG 6000, bertujuan meningkatkan konsentrasi bahan yang
mampu bersaing dengan protein untuk mengikat air, sehingga afinitas antara
molekul protein meningkat, yang berakibat daya larut protein berkurang dan
mengendap dengan sentrifugasi. Sedangkan komponen lain (bebas) akan tetap
larut dalam air. Proses ini dipengaruhi perubahan muatan elektrostatik larutan
yang sangat dipengaruhi oleh titik isoeletrik bahan dan pH (Chard 1990).
Konsentrasi protein (IgY) dari ekstraksi diperoleh sebesar
0.65 ± 0.04 mg/ml
(Tabel 5). Protein yang telah diisolasi dilihat pola pita proteinnya dengan SDSPAGE (Gambar 11).
Berbagai teknik telah dilaporkan untuk memisahkan IgY dari komponen
lemak telur. Metode PEG–Kloroform terpilih karena metode ini sangat sederhana,
waktu untuk isolasi singkat, dan sangat efisien dengan kehomogenan IgY lebih
dari 90%. Disamping itu kloroform juga tidak berefek terhadap aktivitas antibodi
(Polson 1990).
Tahapan dari setiap metode purifikasi dapat memungkinkan IgY ikut
terbuang atau tertinggal pada alat atau terikutnya protein lain karena memiliki
massa molekul yang sama, sehingga tidak mungkin dapat mengisolas i IgY 100%
murni. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal seperti : jeratan (perangkap) fisik
komponen bebas di dalam kompleks komponen terikat, adanya kotoran dalam
media pelarut yang memiliki struktur kimia mirip dengan komponen terikat,
penyerapan ligan yang kurang terhadap komponen bebas, pemisahan komponen
54
bebas dan terikat tidak sempurna , disosiasi (terpisahnya kembali) kompleks
komponen terikat (Liddell dan Weeks 1995).
Tabel 5 Konsentrasi protein hasil ekstraksi dan purifikasi IgY antitetanus
No Pengukuran
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rataan
Ekstraksi PEG-Chloroform
(mg/ml)
0.65
0.71
0.71
0.71
0.61
0.62
0.62
0.64
0.64
0.62
0.65
Purifikasi FPLC
(mg/ml)
1.02
1.99
1.99
2.22
2.13
1.16
1.48
1.68
1.34
1.42
1.64
Persamaan regresi untuk pengukuran PEG- Kloroform : Y= 0.5500X + 0.0788, r = 0.975
Persamaan regresi untuk pengukuran FPLC : Y= 0.5772X - 0.0319, r = 0.987
(Y= Nilai Absorbsi pada panjang gelombang 565nM, X= Konsentrasi protein, r = koefisien regresi)
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengendapan protein adalah jumlah dan
posisi grup polar, berat molekul protein, pH larutan, dan temperatur. Protein akan
mengendap pada kondisi 50% jenuh. Metode ekstraksi lain seperti yang
dilaporkan oleh Akita dan Nakai (1992) yaitu ekstraksi IgY me lalui water dilusi
(pelarutan dalam air) dilanjutkan presipitasi IgY dari water soluble fraction
(WSF) menggunakan amonium sulfat. Hasil isolasi dari WSF sangat dipengaruhi
oleh pH larutan, tingkat kelarutan kuning telur, dan lama inkubasi. Penurunan pH
dapat mengurangi LDL pada supernatan. Pada telur segar tanpa penurunan pH
didapatkan lebih banyak kontamina n lemak dan diperlukan waktu lebih la ma
mendapatkan supernatan yang jernih. Hal ini karena lipid berikatan secara
nonkovalen pada protein terutama lipoprotein. Pengaruh pH akan mengubah
integritas granul kuning telur terhadap ikatan lipid. Prepsipitasi lemak telur juga
dapat dilakukan dengan dektran sulfat yang mengandung CaCl2 (Szabo et
al.1998), mencampur dengan asam kaprilat kemudian diendapkan dengan
amonium sulfat dan didialisis dengan PBS (Bhanushali et al. 1994).
55
kDa
220
M S
kDa
180
170
116
53
50
21.5
18
Gambar 11 Profil pita protein IgY antitetanus ekstraksi dengan metode
PEG kloroform. M= marker, S = Sampel
Polson (1990) melaporkan penggunaan PEG dengan berat molekul 6000
sangat baik untuk IgY dibandingkan dengan pelarut organik yang lain seperti
ether , toluene dan amonium sulfat. Sedangkan Jensenius et al. (1981)
menggunakan dextran sulfat untuk mengendapkan IgY dari WSF. Penggunaan
teknik ultrafiltrasi untuk memisahkan IgY dari WSF berdasarkan perbedaan berat
molekul sangat sulit karena membran tersumbat oleh material lemak. Penggunaan
teknik ini harus diawali pengendapan IgY dengan amonium sulfat (Akita dan
Nakai 1993b), atau me ngubah pH larutan WSF menjadi pH 9.0 (Nakai et al.
1994). Untuk menghilangkan residu lemak dari WSF dapat juga digunakan food
gum grade , sodium alginate, dan λ-carrageenan (Hatta et al.1997) atau dengan
anionic polysaccharide (Chang et al. 2000). Kriteria utama dalam pemilihan
metode ekstraksi adalah efisiensi dan praktis. Efisiensi berarti terpisahnya secara
sempurna komponen bebas dengan komponen terikat, meskipun secara nyata sulit
didapatkan. Kepraktisan metode itu, yang menyangkut hal kecepatan proses,
sederhana, mudah diaplikasikan, dan murah.
Hasil ekstraksi selanjutnya didialisis dalam larutan PBS pH 8 selama 24
jam pada suhu 4 oC. Dialisis merupakan proses buffer exchanges dari larutan
konsentrasi rendah ke larutan konsentrasi tinggi, dalam proses ini terjadi
pertukaran buffer dari tabung yang berisi PBS dengan larutan yang ada dalam
tabung dialisis. Bersamaan dengan pertukaran buffer ikut juga terbuang molekulmolekul garam atau protein yang memiliki berat molekul kecil yang
menkontaminasi sampel. Dalam penelitian ini digunakan tabung dialisis dengan
56
cut off 12 kDa, artinya hanya molekul dengan ukuran berat molekul kurang dari
12 kDa lolos dari tabung dialisis sedangkan ukuran molekul lebih besar akan tetap
tertahan dalam tabung (Ford 2004).
Selanjutnya,
hasil
ekstraksi
IgY
antitetanus
dipurifikasi
untuk
mendapatkan IgY antitetanus murni. Dari Gambar 11 terlihat masih ada pita
protein dengan berat molekul tidak sama dengan IgY , hal itu membuktikan masih
ada cemaran. Teknik pemurnian yang sering digunakan yaitu kromatografi dengan
prinsip ion exchange (DEAE-Sephacel) (Akita dan Nakai 1992), filtrasi gel
(Szabo et al.1998), thiophilic interaction chromatography (Hansen et al. 1998).
Yokohama et al. (1993) melaporkan purifikasi IgY dengan hydoxypropyl
methylcellulose
phthalate
5%
dilanjutkan dengan
afinitas
kromatografi
menggunakan gel avil AL synthetic mendapatkan IgY konsentrasi tinggi dan tidak
merusak aktivitas biologis IgY.
Gambar 12 Kromatogram hasil FPLC IgY antitetanus.
Dalam penelitian ini metode purifikasi setelah ekstraksi adalah secara
kromatografi dengan teknik fast purification liquid chromatografi (FPLC)
menggunakan alat AKTATM explorer 10S dengan kolom HiTrapT M IgY Purification
(Amersham pharmacia biotech). Kromatogram hasil pengujian IgY antitetanus
57
ditampilkan pada (Gambar 12). Kolom ini berisi matriks dengan medium absorpsi
thiophilic,
2-mercaptopyridine
digandengkan
dengan
sepharose
high
performance , merupakan kolom yang mempunyai afinitas spesifik terhadap IgY.
Interaksi antara IgY dan ligan (matriks) terjadi akibat kombinasi antara pertukaran
(donor) elektron dan penerimaan aksi pada ligan atau gabungan antara interaksi
hidrofilik dan hidrofobik antara ligan dan IgY.
Fraksi yang ditampung dan digunakan untuk uji selanjutnya adalah fraksi
dengan puncak tertinggi (fraksi 4). Untuk meyakinkan bahwa fraksi itu
merupakan protein (IgY) yang diharapkan, dilanjutkan dengan uji AGP untuk
mengetahui spesifitasnya (Gambar 13) dan pengujian dengan SDS-PAGE untuk
menentukan berat molekul dari protein yang diisolasi.
Karakterisasi IgY antitetanus dari kuning telur dilihat dari kespesifikan
reaksi antara IgY antitetanus dengan toksoid tetanus yang diuji menggunakan uji
AGP memperlihatkan terbentuknya garis presipitasi di antara lubang tengah
(antigen) dan lubang sekeliling (antibodi) (Gambar 13). Presipitasi merupakan
reaksi sekunder sebagai akibat dari interaksi primer antara antibodi dan antigen
(Roit 2003), interaksi nonkovalen antara determinan antigen, epitop antigen, dan
regio hipervariabel pada molekul antibodi (Kuby 2003). Hal itu menunjukkan
bahwa antibodi yang diisolasi adalah IgY antitetanus. Penggunaan teknik AGP
untuk deteksi terbentuknya antibodi (IgY) pada serum memerlukan keseimbangan
jumlah antigen dan antibodi untuk membentuk garis presipitasi (Kuby 1997),
karena AGP merupakan teknik difusi pasif (Liddell dan Weeks 1995).
2
2
1
2
Gambar 13 Hasil uji agar gel presip itasi IgY antitetanus setelah
pemurnian dengan FPLC. Reaksi toksoid (1) dengan
IgY (2).
58
Profil pita protein hasil pemurnian menggunakan kromatografi (FPLC)
dianalis is menggunakan SDS-PAGE dengan pewarnaan comassie blue (Gambar
14). Metode SDS-PAGE digunakan mendeteksi keberadaan protein berdasarkan
atas ukuran protein. SDS adalah detergen anionik yang mampu bereaksi dengan
bagian hidrofobik dari protein. Dengan pemanasan maka seluruh bagian
polipeptida akan terselimuti sehingga menjadi tidak bermuatan (Hames dan
Rickwood 1987).
Profil pita protein setelah pemurnian pada sumur satu menunjukkan pita
protein dengan berat molekul 180 kDa dan 198 kDa merupakan protein IgY utuh.
Tidak ada pita protein yang lain menandakan tidak ada cemaran, dibandingkan
dengan hasil SDS-PAGE hasil ekstraksi (Gambar 11) masih ditemukan banyak
pita protein. Hal ini menandakan purifikasi dengan FPLC menghasilkan sampel
protein lebih murni. Beberapa peneliti melaporkan berat molekul IgY berkisar
antara 160 kDa sampai 200 kDa (Sun et al. 2001; Zhang 2003). Kadang-kadang
pada SDS-PAGE didapatkan dua pita protein dengan berat 70 kDa untuk IgY
rantai berat dan 21 kDa untuk IgY rantai ringan (Hatta et al. 1993).
kDa
220
170
116
M
1
198
180
76
53
21.5
Gambar 14 Hasil SDS-PAGE IgY antitetanus setelah
pemurnian FPLC. M=Marker BM, 1 = IgY
Murni
Hasil purifikasi diidentifikasi kandungan proteinnya menggunakan
spektrofotometri dengan metode Bradford. Pada Tabel 5 terlihat konsentrasi
protein hasil purifikasi dengan FPLC sebesar 1.64 ± 0.42 mg/ml. Ini berarti
konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi hasil ekstraksi. Hal
59
ini disebabkan sebelum dimasukkan ke dalam alat FPLC telah dilakukan
pemekatan dengan PEG 6000. Selanjutnya hasil purifikasi dipekatkan kembali
sampai diperoleh konsentrasi protein 5.31 mg/ml, yang akan dipakai sebagai
larutan stok IgY antitetanus untuk uji-uji berikutnya.
Metode purifikasi harus dilakukan secara berurutan tahap demi tahap,
diawali dengan ekstraksi untuk pemisahan lemak telur, memisahkan plasma
protein terlarut dari granul kuning telur dilanjutkan purifikasi secara kromatografi
(Akita dan Nakai 1992). Pemilihan teknik perlu dipertimbangkan dalam
memfasilitasi pengembangan pasar ke depan terutama untuk produk yang punya
nilai tambah. Pertimbangan biaya produksi IgY merupakan masalah yang krusial
dan perlu dicermati supaya produk itu tidak terlalu mahal dan terjangkau
konsumen. Pengembangan teknik pemisahan dan purifikasi IgY dari kuning telur
yang sederhana , efisien, otomatis, proses berlangsung secara kontinyu tanpa
menggunakan zat kimia perlu dipertimbangkan.
Aktivitas Biologis Ig Y Antitetanus.
Titrasi toxoid, sampel IgY antitetanus, dan konjugate enzim
Konsentrasi toxoid optimal dalam uji Elisa untuk IgY antitetanus pada
konsentrasi 4 Lf/ml buffer carbonat-bicarbonats. Konjugate yang dipakai adalah
Rabbit anti–chicken horseradish peroxidase konjugate No Product A 9046
(SIGMA). Konjugate anti-chicken diencerkan 1:20 000 dengan menggunakan
larutan PBS yang mengandung Tween 20 (PBST). Konsentrasi sampel IgY
antitetanus murni yang digunakan adalah 4 µg/ml .
Aktivitas IgY antitetanus Setelah perlakuan pH
Hasil pengujian pengaruh pH terhadap aktivitas IgY antitetanus dapat
dilihat pada Gambar 15. Aktivitas biologis IgY antitetanus menurun sangat nyata
(p<0.01) pada perlakuan pH. Penurunan sangat nyata terutama terjadi pada
perlakuan pH 2 dan pH 3. Penurunan aktivitas IgY antitetanus terjadi pada semua
perlakuan pH (pH 7.6 sebagai kontrol). Penurunan aktivitas bertambah besar
sejalan dengan peningkatan waktu inkubasi terutama pada pH 2 dan 3 (Gambar
16), dengan waktu inkubasi 15, 30, 45, 60, dan 120 menit, persentase penurunan
60
pada pH 2 adalah : 26.98%, 30.88%, 50.35%, 55.21%, dan 91.16%, pH 3 masingmasing 15.67%, 21.04%, 35.55%, 51.01%, 87.63%, pH 7 masing-masing 14.96%,
15.22%, 19.69%, 19.69%, 20.97% , dan pH 9 masing-masing 16. 11%, 16.94%,
15.09%, 28.06%, 23.33% . Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Shimizu
et al. (1992) dan Hatta et al. (1993) yang menyatakan stabilitas IgY terhadap pH 2
sampai 3 lebih rendah dibandingkan dengan IgG sapi dan IgG kelinci (Camenisch
et al. 1999). Shin et al.(2002) melaporkan penurunan aktivitas IgY pada pH 2 dan
pH 3 sampai 80% dan 70% dan aktivitasnya baik pada pH 4 sampai 8.
Penurunan aktivitas IgY antitetanus diinkubasi 15 menit berbeda nyata
pada semua pH perlakuan dibandingkan de ngan kontrol (p<0.5) (Gambar 16).
Aktivitas IgY antitetanus pada pH 7 dan pH 9 tidak berbeda nyata (P>0.5) pada
inkubasi sampai 120 menit. Sedangkan aktivitas IgY antitetanus pada pH 2 dan
pH 3 menurun secara nyata sejalan dengan bertambahnya waktu inkubasi,
penurunan yang sangat nyata terjadi setelah diinkubasikan selama 120 menit baik
pada pH 2 maupun pH 3.
pengaruh pH
Nilai elisa unit
1200.00
1000.00
pH2
800.00
pH3
600.00
pH7
400.00
pH9
200.00
0.00
0
15
30
45
60
120
waktu inkubasi
Gambar 15 Pola aktivitas IgY antitetanus setelah perlakuan pH.
Penurunan aktivitas ini terjadi karena variasi struktur protein yang dimiliki
oleh IgY bersifat lebih sensitif terhadap pH asam dibandingkan dengan pH basa
(Hatta et al. 1993). Begitu pula secara struktural, lemahnya ikatan disulfida dan
fleksibilitas regio hinge yang terbatas secara keseluruhan mempengaruhi stabilitas
molekul IgY (Narat 2003). IgY secara natural dilindungi oleh granul-granul
61
kuning telur (Schmidt et al. 1989). Jika zat kimia itu hilang saat purifikasi dan
IgY diseliputi lagi (encapsulated) maka ketahanan IgY terhadap pH dan enzim
pencernaan meningkat (Akita dan Nakai 1993a). Penurunan aktivitas IgY yang
sangat cepat disebabkan kerusakan antigen binding site akibat inkubasi pada
asam. Perubahan IgY ke bentuk Fab juga diikuti peruba han antigen binding site.
Perubahan struktur skunder IgY (domain konstan) juga terjadi setelah perlakuan
asam. Ketahanan molekul IgY dipengaruhi oleh ikatan nonkovalen intermolekular
(s-s) antara tempat reduksi rantai berat dan rantai ringan, ikatan itu lebih lemah
pada IgY dibandingkan dengan IgG. Setelah terjadi reduksi rantai berat dan rantai
ringan, IgY lebih mudah dipisahkan dibandingkan dengan IgG. Hal itu juga
dipengaruhi oleh kekuatan intramolekular molekul protein IgY. Faktor struktural
yang berkontribusi terhadap perubahan itu tidak diketahui dengan pasti, karena
imunoglobulin merupakan molekul besar yang rumit dengan polipeptida
heterogenous, domain rantai H dan L banyak, dan perubahan bentuk masingmasing domain terjadi secara bebas.
pH
Nilai Elisa Unit
1200
1000
pH2
800
pH3
600
pH7
400
pH9
200
0
0
15
30
45
60
120
Waktu Inkubasi (Menit)
Gambar 16 Penurunan aktivitas IgY antitetanus setelah perlakuan pH.
Kandungan asam amino struktur β-sheet yang lebih rendah menyebabkan
domain IgY lebih mudah terganggu dan kurang stabil. Lingkage intrachain IgY
pada rantai L tidak ditemukan, sedangkan ikatan ini mempengaruhi ketahanan
62
terhadap asam. IgY memiliki dua residu cys tambahan yaitu cys331 dan cys338 di
pertautan CH2–CH3, dan residu SH bebas tidak ditemukan seperti halnya pada
IgG. Residu cys berpengaruh terhadap inter-H chain disulfide lingkage. Pada IgG
mamalia hanya ada satu tempat glycosylation terletak pada domain CH2,
sedangkan pada IgY memiliki tempat glycosylation pada domain CH2 dan CH3.
Kurangnya regio hinge pada IgY juga diperkirakan mempengaruhi kestabilan IgY
(Shimizu et al. 1992).
Aktivitas IgYAntitetanus Setelah Perlakuan Suhu
Hasil pengujian pengaruh suhu terhadap akt ivitas IgY antitetanus
menunjukkan suhu berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap aktivitas IgY
antitetanus . Pola aktivitas IgY antitetanus setelah per lakuan suhu dapat dilihat
pada Gambar 17.
Suhu
Nilai Elisa Unit
1200
1000
50
800
60
70
600
72.5
400
75
200
80
0
90
0
5
10
15
20
100
Waktu Inkubasi (menit)
Gambar 17 Pola aktivitas IgY antitetanus setelah perlakuan suhu.
Aktivitas IgY antitetanus pada perlakuan suhu 50 ºC menunjukkan hasil
tidak berbeda nyata pada semua waktu inkubasi (P>0.05), pada suhu 60 ºC dengan
waktu inkubasi 5 menit (Gambar 18) penurunan aktivitas IgY antitetanus tidak
berbeda nyata (P>0.05) sedangkan pada waktu inkubasi 10 menit menurun secara
nyata (P<0.05) sementara itu dari waktu inkubasi 10 sampai 20 menit tidak
berbeda nyata. Pada suhu 70 ºC menunjukkan hasil berbeda nyata
(P<0.05)
63
setelah inkubasi 5 menit kemudian aktivitasnya terus menurun secara tidak nyata,
penurunan aktivitas sangat nyata (P< 0.01) pada perlakuan suhu 72.5 o C, 75 oC,
80 oC, 90 oC, dan 100 oC setelah 5 menit inkubasi, aktivitasnya terus menurun
seiring dengan penambahan waktu inkubasi.
1000
1000
800
800
600
5 menit
400
Nilai Elisa Unit
1200
Nilai Elisa Unit
1200
600
10 menit
400
200
200
0
0
k
k
50 60 70 72.5 75 80 90 100
50 60
Suhu
1200
1200
1000
1000
800
800
600
15 menit
400
Nilai Elisa Unit
Nilai Elisa Unit
Suhu
70 72.5 75 80 90 100
200
600
20 menit
400
200
0
0
k
50
60
70 72.5 75
80
90
100
k
Suhu
50
60
70 72.5 75
80
90 100
Suhu
Gambar 18 Penurunan aktivitas IgY antitetanus setelah perlakuan suhu
dengan waktu inkubasi berbeda.
Penurunan persentase aktivitas IgY antitetanus pada suhu 50
inkubasi selama 20 menit adalah
5.27%,
o
C setelah
sedangkan 15 menit sebelumnya
o
aktivitasnya masih utuh. Pada suhu 60 C setelah waktu inkubasi 5, 10, 15, dan 20
menit penurunan aktivitas IgY antitetanus masing-masing adalah : 5.44%,
28.99%, 30.35%, dan 30.78%. Pada suhu 70 oC adalah 39.45%, 46.00%, 56.04%,
dan 64.01%, pada suhu 72.5 oC adalah : 80.16%, 92.67%, 94.58%, dan 97.87%,
pada suhu 75 o C adalah 83.35%, 91.13%, 95.64%, dan 96.50%, pada suhu 80 oC
adalah 86.81%, 95.73%, 96.79%, 97.38%, pada suhu 90 o C adalah 95.92%,
64
97.94%, 98.39%, dan 100.%, sedangkan pada suhu 100 o C adalah 95.36%;
97.18%; 99.23% dan 100%.
Penambahan larutan sukrosa konsentrasi 25% ke dalam larutan IgY masih
mampu mempertahankan aktivitas IgY antitetanus sampai 50% pada inkubasi
suhu 75 oC selama 5 menit (Gambar 19), dengan bertambahnya waktu inkubasi
aktivitas IgY antitetanus mengalami penurunan. Sedangkan pada suhu yang lebih
tinggi yaitu 80 oC dan 90 o C penambahan larutan sukrosa konsentrasi 25% tidak
mampu mempertahankan aktivitas IgY antitetanus sampai 50% . Semakin tinggi
konsentrasi larutan sukrosa yang digunakan semakin tinggi pula kemampuan
untuk mempertahankan aktivitas IgY.
sukrosa terhadap suhu 75
sukrosa terhadap suhu 70
1200
1000
70
800
600
400
S5%
S12.5%
S25%.
200
0
nilai elisa unit
nilai elisa unit
1200
1000
75
800
S5%.
600
S12.5%.
400
S25%.
200
0
0
5
10
15
0
waktu inkubasi (menit)
10
15
sukrosa terhadap suhu 90
sukrosa terhadap suhu 80
1200
1200
1000
1000
80
S5%
600
S12.5%.
400
S25%
200
90
800
nilai elisa unit
800
nilai elisa unit
5
waktu inkubasi (menit)
S5%
600
S12.5%
400
S25%
200
0
0
0
5
10
waktu inkubasi (menit)
15
0
5
10
15
waktu inkubasi (menit)
Gambar 19 Penambahan larutan sukrosa pada larutan IgY antitetanus.
Penambahan larutan glukosa konsentrasi 50% berpengaruh nyata terhadap
peningkatan aktivitas IgY antitetanus pada inkubasi suhu 75 o C dibandingkan
dengan penambahan konsentrasi larutan glukosa lebih rendah dan tanpa
65
penambahan larutan glukosa (Gambar 20). Peningkatan aktivitas secara nyata
ditemukan pada inkubasi suhu 80 oC selama 5 menit. Sedangkan pada inkubasi
suhu 90 oC tidak berpengaruh secara nyata, meskipun aktivitas IgY antitetanus
lebih tinggi dibandingkan tanpa penambahan larutan glukosa.
glukosa terhadap suhu 75
glukosa terhadap suhu 70
1200
1200
70
1000
600
400
G12.5%.
200
G50%
G25%
nilai elisa unit
nilai elisa unit
800
0
0
5
10
800
G5%.
600
G12.5%
400
G25%.
200
0
G50%
0
15
5
10
waktu inkubasi (menit)
waktu inkubasi (menit)
Glukosa terhadap suhu 80
Glukosa terhadap suhu 90
1200
15
1200
80
1000
800
G5%
600
400
G12.5%
G25%
200
G50%
0
0
5
10
waktu inkubasi (menit)
15
nilai elisa unit
nilai elisa unit
75
1000
G5%
1000
800
90
600
400
G12.5%.
200
0
G50%
G5%.
G25%.
0
5
10
15
waktu inkubasi (menit)
Gambar 20 Penambahan larutan glukosa ke dalam larutan IgYantitetanus.
Peningkatan suhu sebesar 2.5 o C dari 70 oC menjadi 72.5 oC menyebabkan
penurunan aktivitas IgY antitetanus sampai 97.87%, hal ini berarti IgY antitetanus
sudah terdenaturasi pada suhu 72.5 oC, sedangkan Hatta et al.(1993) mendapatkan
bahwa IgY mulai terdenaturasi pada suhu 73.9 ºC. Whitaker (1994) menyatakan
jika protein dipanaskan akan terdenaturasi, menyebabkan terputusnya ikatan
nonkovalen yang melibatkan perubahan interaksi elektrostatik, interaksi
hidrofobik, ikatan hidrogen dan ikatan Van der Walls. Penurunan aktivitas lebih
dari 50% diamati pada waktu inkubasi 20 menit pada suhu 70 oC. Dalam hal ini
waktu inkubasi berpengaruh terhadap penurunan aktivitas IgY, semakin lama
terpapar panas maka ikatan nonkovalen protein IgY akan terputus. Stabilitas IgY
66
anti Helicobacter pylori (IgY -Hp) terhadap panas, dilaporkan stabil pada suhu
40 oC, aktivitasnya turun 20% pada suhu 60 o C selama 10 menit, dan aktivitasnya
sangat nyata turun pada suhu 80 o C sampai 90%. Secara imunologik IgY -Hp tetap
aktif pada suhu 60 oC selama 10 menit (Shin et al. 2002), sedangkan Horie et al.
(2004) melaporkan aktivitas IgY masih 95% pada suhu 60 oC sampai 65 oC,
dengan demikian pasteurisasi suhu rendah (63 oC selama 30 menit) dapat
diperlakukan untuk sterilisasi produk.
Penambahan kadar maltosa, gliserol atau glisina yang tinggi sangat efektif
untuk melindungi IgY dari denaturasi panas. Larutan gula mengakibatkan
peningkatan interaksi hidrofobik dalam molekul protein dan me ngubah kelarutan
molekul protein sehingga stabil selama proses pemanasan (Shimizu et al. 1992) .
Konsentrasi IgY yang tinggi (7.75 mg/ml) lebih resisten terhadap panas (Chang
et al. 1999). Sedangkan pada penelitian ini digunakan konsentrasi IgY 4 µg/ml.
Jauh di bawah konsentrasi itu. Sehingga dalam produksi dengan konsentrasi IgY
yang le bih tinggi, produk dari imunoglobulin akan lebih aman dari pengaruh
panas saat prosesing.
Chang et al. (1999) mengamati sifat dari IgY selama food prosesing ,
dilaporkan aktivitas IgY murni dan IgY kuning telur crude menurun sejalan
dengan peningkatan suhu dari 70
o
C sampai 80
o
C. Larutan IgY crude
menunjukkan ketahanan yang lebih tinggi. Komponen yang terdapat dalam
larutan IgY crude diduga membantu dalam menjaga stabilitas IgY melawan
panas. Stabilitas IgG sapi juga menurun sejalan peningkatan suhu (Shimizu et al.
1992). Gula dan beberapa asam amino seperti actomyosin dan myosin efektif
dalam mencegah denaturasi dan destruksi protein selama perlakuan suhu dan
freezing (Hatta et al. 1993). Konsentrasi 5% maltos a dan fruktosa, dan 2% glisina
mampu melindungi IgG sapi pada suhu 95 oC setelah inkubasi selama 15 menit.
Konsentrasi protein dalam larutan berpengaruh terhadap kecepatan denaturasi
protein. Kadar ß-lactoglobulin yang rendah dalam larutan bertanggung jawab
terhadap denaturasi panas , menyebabkan penurunan proteksi terhadap ikatan
disulfida intramolekul dan interaksi hidrofobik di antara protein menjadi sangat
tinggi (Chang et al. 1999).
67
Struktur β-sheet di domain konstan IgY lebih rendah dari IgG dan
fleksibilitas regio hinge IgY kurang fleksibel dari IgG (Polson et al. 1980). Rantai
gula IgY merupakan struktur yang unik, karena glukosa berkonjugasi dengan sisi
non reduksi dari rantai gula yang lain, mungkin hal itu berpengaruh terhadap
ketahanan terhadap pH dan suhu (Hatta et al. 1993). Kekurangan secara struktural
dari IgY dibandingkan IgG, seperti lemahnya ikatan disulfida dan fleksibelitas
regio hinge berpengaruh terhadap stabilitas molekul IgY (Narat 2003).
Aktivitas IgY Antitetanus Setelah Perlakuan Enzim Pepsin, Tripsin,
dan Protease
Pola aktivitas IgY antitetanus setelah perlakuan pepsin, tripsin, dan
protease dapat dilihat pada Gambar 21. Aktivitas IgY antitetanus menunjukkan
hasil sangat berbeda nyata (P<0.01) untuk ketiga perlakuan enzim. Persentase
penurunan aktivitas IgY antitetanus pada inkubasi pepsin 30, 60, dan 120 menit
adalah: 85.02%, 95.83%, dan 98.13%. Pada perlakuan enzim tripsin, aktivitas IgY
antitetanus menurun secara nyata setelah perlakuan inkubasi 30 menit, sedangkan
inkubasi 60 menit sampai 120 menit aktivitasnya tidak berbeda dengan perlakuan
inkubasi 30 menit. Hal yang sama juga terjadi pada perlakuan enzim protease.
Penurunan aktivitas IgY antitetanus setelah perlakuan enzim tripsin dan protease
berkisar antara 75% sampai 95%. Penelitian ini memperkuat simpulan Sunwoo et
al. (2002) bahwa IgY lebih sensitif terhadap pepsin dibandingkan dengan tripsin.
Hatta et al. (1993) menyatakan profil IgY setelah inkubasi pepsin pada pH 2 dan
dianalis is dengan SDS-PAGE, IgY dihidrolis is menjadi peptida kecil dan tidak
tampak pita pada hasil analisis.
Aktivitas IgY stabil terhadap pengaruh enzim pepsin selama 2 jam pada
saluran cerna ikan, setelah IgY diberi pelindung (microencapsulated) mikrobial
transglutaminase (TGase) dan diproses dalam bentuk pelet (Lee et al. 2000),
sedangkan pa da belut bertahan sampai 6 jam (Gutierrez et al. 1993). Whitaker
(1994) melaporkan setelah inkubasi pH 2 pada suhu 37 o C, enzim pepsin akan
memulai aktivitasnya menghidrolisis ikatan peptida menjadi asam amino. Enzim
pepsin merupakan endopeptidase bersifat ekstensif, tetapi dalam lambung tidak
menghidrolisis protein secara keseluruhan. Sehubungan dengan hal itu, hasil ini
68
dapat digunakan sebagai acuan dalam penentuan dosis secara oral dan usaha
enkapsulasi saat proses pemurnian (Lee et al. 2000). Penurunan aktivitas
imunoglobulin itu juga karena pengaruh ganda dari pH 2 dan enzim pepsin (Hatta
et al. 1993).
enzim
nilai elisa unit
1200
1000
800
pepsin
600
tripsin
400
protease
200
0
0
30
60
120
waktu inkubasi (menit)
Gambar 21 Pola aktivitas IgY antitetanus setelah perlakuan enzim
pepsin, tripsin, dan protease.
Aktivitas IgY antitetanus terhadap pengaruh tripsin dan protease masih
lebih tinggi dibandingkan pengaruh pepsin, hal yang sama juga dilaporkan oleh
Othani et al. (1991). Sedangkan Hatta et al. (1993) melaporkan inkubasi tripsin
tidak mengubah ikatan rantai berat maupun rantai ringan IgY. Persentase
penurunan aktivitas pada IgY murni lebih tinggi dibandingkan dengan IgY crude.
Penurunan aktivitas IgY murni mencapai 80% sedangkan IgY crude hanya 25%.
Stabilitas IgY crude akibat denaturasi tripsin sedikit mengalami kerusaka n,
dengan demikian IgY crude masih stabil dalam arti masih menunjukkan aktivitas
netralisasi yang baik (Hatta et al. 1993).
Enzim tripsin merupakan endopeptidase yang memecah ikatan peptida
protein dengan cara menghidrolisis daerah karboksil dari lisin dan arginin. Enzim
tripsin dihasilkan oleh pankreas dalam bentuk tripsinogen dan disalurkan ke usus
halus. Enzim tripsin bersifat autokatalitik yaitu mampu mengkatalisis sendiri
tripsinogen menjadi tripsin. IgG tidak mengalami perubahan aktivitas setelah
perlakuan enzim tripsin. IgG mempunyai struktur molekul yang lebih stabil
dibandingkan dengan IgY, demikian juga fleksibilitas regio hingenya lebih baik
sehingga mampu mempertahankan stabilitas molekulnya akibat pengaruh enzim
69
tripsin (Carlender 2002). Tepung kuning telur yang diselaputi gum arabic
dihidrolisis lebih rendah. Penggunaan gum arabic saat proses liopilisasi mampu
mencegah kerusakan IgY karena enzim protease (Chang et al. 1999).
Hasil SDS-PAGE IgY Antitetanus Setelah Perlakuan Fisik dan Kimia
Pola pita protein IgY antitetanus setelah perlakuan fisik dan kimia dapat
dilihat pada Gambar 22. Pada perlakuan suhu 60 o C pola pita protein dari IgY
antitetanus masih utuh, hal ini membuktikan IgY antitetanus masih stabil pada
suhu tersebut. Perlakuan suhu 80 oC dan 90 o C, enzim tripsin dan pepsin serta
perlakuan pH 2 dan pH 3 tidak ditemukan pita protein IgY utuh maupun dari
rantai berat dan ringan IgY, hal ini berarti terjadi denaturasi protein IgY .
1
220
170
116
76
2
3
4
5
6
7
8
9
.
56
21.5
Gambar 22 Hasil SDS-PAGE IgY antitetanus setelah perlakuan fisik
dan kimia. 1. Marker BM; 2 Perlakuan suhu 60 oC; 3.
Perlakuan Suhu 80 o C; 4. Perlakuan Suhu 90 oC; 5. Perlakuan
enzim pepsin 60 menit; 6. Perlakuan enzim tripsin 60 menit;
7. Perlakuan pH 2; 8. Perlakuan pH 3; 9. Kontrol
Penurunan
aktivitas
IgY
pada
pH
rendah
karena
perubahan
kompormational molekul imunoglobulin, sehingga tidak ditemukan pemecahan
polipeptida pada SDS-PAGE (Gambar 22). Shimizu et al. (1988) melaporkan IgY
lebih mudah rusak terhadap digesti pepsin dibandingkan dengan IgG. Digesti
pepsin terhadap IgG mamalia pada pH 4 menghasilkan FAb’ dengan dua binding
site yang memiliki aktivitas seperti IgG utuh. Pada digesti pepsin terhadap IgG
70
dihasilkan pita protein dengan BM 110 kDa, sedangkan IgY didigesti menjadi BM
yang lebih rendah yaitu 40 sampai 60 kDa. Pada pemberian secara oral proteksi
IgY terhadap digesti lambung perlu dipikirkan(Chang et al. 1999).
Penurunan stabilitas IgY terhadap pH juga diperkirakan akibat kerusakan
struktur protein antigen binding site oleh asam. Polson et al. (1980) melaporkan
titik isoelektrik IgY lebih rendah 1 pH unit dari IgG, karena kandungan
karbohidrat IgY lebih tinggi dibandingkan dengan IgG mamalia (Nakai et
al.1994). Dilaporkan juga struktur β-sheet domain konstan IgY lebih sederhana
dari IgG. Proses hidrolisis terhadap protein akan mengurangi berat molekul
protein (Niellsen 1997).
Potensi IgY Antitetanus
Potensi netralisasi antitoksin tetanus dihitung dengan metode SpearmanKarber. Penghitungan berdasarkan prote ctive dose 50 (PD50) dari antitoksin.
Pengujian dinyatakan valid apabila memenuhi syarat : (1) log atau interval dosis
tetap, dibuat sangat rapat dan tetap; (2) ada respon penuh dari 0% sampai 100%,
dan terlihat rentang persentase viabilitas hewan coba pada uji potensi toksin dan
serum antitetanus memenuhi syarat ini, yakni dari 0% mati (respon negatif)
sampai 100% mati (respon positif); (3) distribusi respon simetris, maksudnya dari
satu set percobaan ada yang mati seluruhnya dan hidup seluruhnya dengan
distribusi yang merata. Bila uji valid maka potensi IgY antitetanus dihitung
dengan kalkulasi statistik sebagai berikut :
Pot ATS Uji =
PD50 ATS Standar X Faktor Pengenceran ATS Uji X Pot ATS Std ( IU/ml)
PD50 ATS Uji
Potensi netralisasi dari serum antitetanus (SAT) uji yang didapat
diharapkan sama dengan
nilai PD50 atau lebih besar dari SAT standar yakni
1500 IU/ml. SAT standar untuk setiap pengujian adalah serum standar yang sama
dan merupakan serum referensi internasional yang dikeluarkan oleh WHO. Nilai
potensi biologis dari ATS dapat ditentukan secara in vivo melalui data kematian
mencit dalam beberapa dosis pengenceran serum kemudian dibandingkan dengan
71
sediaan standar yang telah dibakukan. Produk SAT dikalibrasi dari 1 IU/ml untuk
mencit menjadi 1500 IU/ml untuk manusia (Nasution e t al. 1987).
Tabel 6 Uji Potensi IgY antitetanus
Nama
bahan
uji
ATS
Standar
ATS
Uji
Enceran
Jumlah
hewan
Dosis
antitoksin
Vol
PBS
tabung
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
ekor
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
(ml)
0.88
0.80
0.73
0.66
0.60
0.88
0.80
0.73
0.66
0.60
(ml)
1.12
1.20
1.27
1.34
1.40
1.12
1.20
1.27
1.34
1.40
Vol
Toksin
0.4 IU/ml
(ml)
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Jumlah mencit hidup-harian
1
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
2
6
6
6
4
1
6
6
6
6
4
3
6
6
6
2
0
6
6
6
0
0
4
6
6
6
0
0
6
6
6
0
0
5
6
6
6
0
0
6
6
6
0
0
survivor
6
6
6
0
0
6
6
6
0
0
Kelompok mencit yang masih hidup 100% sampai yang tidak hidup (mati)
dari pengenceran dosis antitetanus dilakukan perhitungan PD50 antitetanus
standar dan sampel. Perhitungan PD50 standar ATS dan sampel ditampilkan pada
Tabel 7 dan 8.
Tabel 7 Prote ctive dose-50 ATS standar
Dosis std
ATS 1
IU/ml
(ml)
P
Log dosis
0.80
0.73
0.66
-0.09691
-0.13668
-0.18046
1
1
0
Dosis Uji
ATS 1
IU/ml (ml)
P
Log dosis
survivo
r
(D)
(H/ N)
0.80
0.73
0.66
-0.09691
-0.13668
-0.18046
(D)
survivor
Pn – Pn-1
Dn + Dn-1
(H/ N)
(p)
(d)
0
1
-0.23359
-0.31714
(p)(d)
Kn+Kn -1
(K)
0
-0.31714
Log PD50
Antilog
PD50 ATS
Std
0.5 (Kn+Kn-1)
-0.31714
-0.15857
0.6941
Log PD50
Antilog
PD50 ATS
uji
Tabel 8 Protective dose-50 ATS uji
1
1
0
Pn – Pn -1
(p)
0
1
Dn + Dn-1
(d)
-0.23359
-0.31714
(p)(d)
Kn+Kn -1
(K)
0
-0.31714
0.5 (Kn+Kn1)
-0.31714
-0.15857
0.6941
Potensi ATS Sampel uji dilakukan berdasarkan atas PD50 ATS standar dengan
PD50 ATS sampel, perhitungan potensi itu seperti berikut :
Pot ATS Uji =
PD50 ATS Standar X Faktor Pengenceran ATS Uji X Pot ATS Std
PD50 ATS Uji
Pot ATS Uji =
0.6941
0.6941
Pot ATS Uji = 35 IU/ml
X 35 X 1 IU/ml
72
Berdasarkan perhitungan Spearman-Karber diperoleh nilai potensi IgY
antitetanus sebesar 35 IU/ml. Potensi ini lebih rendah sampai 50% dari titer yang
didapat pada penghitungan hasil ekstraksi. Hal ini mungkin disebabkan faktor
fisik selama proses ekstraksi sampai proses purifikasi, dilakukan proses
pemekatan dan pengenceran pada tiap tahap purifikasi. Selama proses itu juga
terjadi perubahan suhu, pengaruh waktu penyimpanan, pengaruh dari tidak adanya
stabiliser (penyangga) selama proses penyimpanan. Faktor-faktor tersebut perlu
dipikirkan peranannya. Telur diekstraksi dalam jumlah banyak sekaligus, tidak
satu butir-satu butir, untuk mengurangi resiko terhanyutnya IgY dan mengurangi
faktor fisik. Perlu juga dipertimbangkan teknik imunisasi yang tepat sehingga
diperoleh titer yang tinggi pada serum, yang sekaligus berimplikasi dengan
tingginya titer pada telur.
Uji Tantang Pada Hewan Coba
Uji ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan IgY antitetanus yang
diberikan secara sub kutan pada mencit dalam menetralisasi toksin tetanus yang
diinjeksikan 2 jam berikutnya . Pengujian ini diperlukan supaya bahan antitoksin
yang dihasilkan aman digunakan pada pemakai. Penggunaan mencit sebagai
hewan model karena tingkat sensitivitas dari galur ini menunjukkan respon
fisiologis spesifik. Kemampuan netralisasi antitoksin diamati dari mencit yang
bertahan hidup sebanyak 100% pada setiap kelompok perlakuan. Mencit yang
bertahan hidup terbebas dari gejala khas tetanus yaitu tremor, punggung
melengkung (opistotonus), kejang, locked jaw, dan lumpuh (spatic paralisis),
serta normal secara fisiologis yang diukur dari pertambahan berat badan,
kemampuan respirasi, refleksitas diamati dari kemampuan renang, dan feed intake
yang meningkat. Kelompok mencit yang masih bertahan hidup sebanyak 100%
dapat dilihat pada Tabel 9. Kelompok sentinel untuk mengetahui efek
pemeliharaan terhadap perlakuan, kontrol positif untuk menguji toksin yang
digunakan masih efektif dan mampu membunuh mencit seratus persen, sedangkan
kontrol negatif untuk mengetahui pengaruh IgY antitetanus.
73
Tabel 9 Persentase mencit yang bertahan hidup pada setiap kelompok perlakuan
Tok
sin
(IU/e
kor)
Stl
Ktr Ktr
+
-
0.1
100
0
0.2
100
0.3
0.4
Dosis IgY (IU/ekor)
0.2
0.4
0.8
1
100
100
100
100
100
0
100
83.33
100
100
100
100
0
100
0
0
83.33
100
100
0
100
0
0
83.33
100
Keterangan:
Stl : Sentinel, tidak diperlakukan dengan IgY dan Uji tantang toksin
Ktr + : Kontrol positif, tidak diberikan IgY tetapi di tantang dengan toksin
Ktr - : Kontrol negatif, diberikan IgY tetapi tidak ditantang toksin
Gejala klinis khas tetanus muncul hari pertama pasca injeksi toksin,
kemudian berangsur berkurang sampai hari kelima (Gambar 23). Pada hari
pertama dan kedua kasus yang muncul sudah tinggi. Mencit yang bertahan sampai
hari ketiga akan dapat pulih dari pengaruh toksin, dan berangsur-angsur akan
sembuh. Peningkatan 100% dosis toksin dari dosis letal dengan pemberian IgY
0.8 dan 1 IU/ekor , kelompok perlakuan yang bertahan hidup masing-masing
83.33% sampai 100% sedangkan pada dosis IgY 0.2 dan 0.4 IU/ekor semua
mencit mati (IgY tidak mampu menetralisasi toksin).
Jumlah Kasus
Jumlah Kasus
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
1
2
3
4
5
Hari Ke
Gambar 23 Frekuensi pemunculan kasus dengan gejala klinis
khas tetanus
Pada kelompok perlakuan dengan imbangan dosis toksin dan ATS yang
tidak besar, gejala klinis mulai muncul pada hari kedua. Gejala klinis yang
74
pertama muncul sebagian besar punggung bengkok, dan mencapai puncak hari
kedua (Gambar 24). Kematian mulai terjadi di hari pertama pasca injeksi toksin
sampai hari kelima (kelompok IgY 0.8 IU dengan toksin 0.3 dan 0.4 IU) hal ini
terjadi karena kemampuan antitoksin menetralisasi toksin agak tinggi tetapi tidak
optimal. Gejala kaki pincang juga terlihat hari pertama, mencit-mencit yang
menunjukkan gejala pincang akan lebih cepat mati. Hal ini karena mencit
mengalami kesulitan mencari tempat makan dan minum. Gejala lock jaw agak
sulit diamati karena mencit lebih cepat mati.
Gejala Klinis
30
Jumlah kasus
25
20
15
10
5
0
1
G
2
3
4
Hari ke
P
K
5
L
M
Gambar 24 Jumlah gejala klinis yang muncul harian. G = Gemetar, K = kaki
pincang, P = punggung bengkok, L = lock jaw, M = mati.
Kasus Klinis
Jumlah Kasus
25
20
G
K
15
P
10
L
M
5
0
0.2
0.4
0.8
1
Dosis IgY (IU/ekor)
Gambar 25 Gejala klinis yang muncul pada dosis IgY antitetanus berbeda. G =
Gemetar, K = kaki pincang, P = punggung bengkok, L = lock jaw, M
= mati.
Mencit lebih banyak mati pada kelompok perlakuan yang diberikan dosis
IgY antitetanus yang lebih rendah (0.2 IU/ekor dan 0.4 IU/ekor), dengan dosis
tantang toksin lebih tinggi (0.3 IU/ekor dan 0.4 IU/ekor). Pada pemberian dosis
75
IgY antitetanus lebih tinggi (0.8 IU/ekor dan 1 IU/ekor) gejala klinis yang banyak
muncul adalah punggung bengkok. Mencit yang menunjukkan gejala punggung
bengkok pergerakannya masih lincah, masih mampu mencapai tempat pakan dan
minum sehingga jika bertahan sampai hari ketiga kemungkinan untuk sembuh
tinggi (Gambar 25). Pada dosis IgY 0.2 IU/ekor dan dosis 0.4 IU/ekor gejala khas
tetanus lebih banyak muncul, terutama pada dosis tantang toksin 0.3 IU/ekor dan
0.4 IU/ ekor, dengan dosis tantang ini mencit mati 100% (Tabel 7).
Berat Badan
Secara umum berat badan mengalami peningkatan secara nyata pada
mencit yang masih bertahan hidup dengan pemberian dosis IgY antitetanus yang
semakin besar, ditantang dengan dosis toksin semakin kecil. Peningkatan berat
badan juga nyata sejalan dengan bertambahnya hari.
Pada uji dosis IgY antitetanus 0.2 IU/ekor, didapatkan hasil bahwa
kecenderungan garis regresi berat badan meningkat pada dosis tantang 0.1 IU/ekor
dan 0.2 IU/ekor sedangkan pada dosis toksin tantang 0.3 IU/ekor dan 0.4 IU/ekor
berat badan mencit kecenderungannya turun. Hal ini berarti bahwa pada dosis
toksin tantang 0.1 IU/ekor dan 0.2 IU/ekor IgY masih mampu melindungi mencit
dari pengaruh toksin sehingga proses metabolisme tubuh dalam produksi energi
berlangsung normal. Metabolisme merupakan proses yang terjadi pada setiap
tubuh mahluk hidup melibatkan sejumlah energi dalam semua reaksi kimia
sederhana pada semua sel tubuh meliputi reaksi pembentukan, penguraian,
pengangkutan serta pengaturan (Guyton 1995). Pada organisme hidup, makanan
dan minuman merupakan sumber energi yang masuk, sedangkan feses dan urin
merupakan energi yang hilang atau dibuang. Pertambahan berat badan merupakan
akibat pertumbuhan jaringan karena hasil dari energi metabolisme (Martini 2001).
Pertumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor intrinsik yaitu hereditas, jenis
kelamin, usia, dan spesies, serta faktor ekstrinsik seperti nutrisi, lingkungan dan
penyakit.
Pada dosis IgY antitetanus 0.4 IU/ekor kecenderungan garis regresi berat
badan hanya turun pada dosis toksin 0.3 IU/ekor, sedangkan pada perlakuan lain
76
semuanya meningkat (Gambar 26). Pada dosis tantang 0.3 IU/ekor semua mencit
mati begitu juga pada dosis tantang toksin 0.4 IU/ekor .
IgY Dosis 0.4 IU/ekor
IgY dosis 0.2 IU/ekor
25
20
20
15
15
10
Berat Badan
Berat badan (gram)
10
5
5
0
0
-5
0
1
2
3
4
5
-5 0
6
1
2
4
5
6
Hari Ke
Hari ke
0.1
ktr Linear (0.3)
0.2
sentinel
Linear (0.4)
0.3
Linear (0.1)
Linear (ktr -)
0.4
Linear (0.2)
Linear (sentinel)
0.1
0.2
0.3
0.4
ktr -
sentinel
Linear (sentinel)
Linear (0.1)
Linear (0.2)
Linear (0.3)
Linear (0.4)
Linear (ktr -)
IgY Dosis 0.8 IU/ekor
IgY dosis 1IU/ekor
25
20
20
15
Berat badan (gram)
15
Berat Badan (gram)
3
10
10
5
5
0
0
0
1
2
3
4
5
6
0
Hari Ke
0.1
0.4
Linear (0.1)
Linear (0.4)
0.2
ktr Linear (0.2)
Linear (ktr -)
0.3
sentinel
Linear (0.3)
Linear (sentinel)
0.1
0.4
Linear (0.1)
Linear (0.4)
1
2
3
Hari Ke
0.2
ktr Linear (0.2)
Linear (ktr -)
4
5
6
0.3
sentinel
Linear (0.3)
Linear (sentinel)
Gambar 26 Pola kecenderungan garis regresi berat badan mencit.
Pada pemberian IgY antitetanus 0.2 IU/ekor, berat badan mencit pada
dosis tantang toksin 0.2 IU/ekor mengalami penurunan pada hari pertama dan
kedua, kemudian terus meningkat hari ketiga, empat dan lima. Pada dosis tantang
toksin 0.3 IU/ekor mencit mati semua pada hari ketiga, dan dosis tantang toksin
0.4 IU/ekor mencit mati semua pada hari kedua. Pada kelompok sentinel dan
kelompok kontrol negatif berat badan mencit terus meningkat (Gambar 27).
Pada dosis IgY antitetanus 0.4 IU/ekor, berat badan mencit pada dosis
tantang toksin 0.1 IU/ekor menurun pada hari pertama kemudian hari kedua dan
seterusnya meningkat, pola yang sama juga diperlihatkan pada dosis tantang 0.2
77
IU/ekor, sedangkan pada dosis tantang 0.3 IU/ekor dan 0.4 IU/ekor mencit sudah
mati hari kedua (Gambar 27), meskipun kecenderungan pada dosis toksin 0.4
IU/ekor (Gambar 26) meningkat karena hari pertama berat badannya tidak turun
secara nyata.
IgY dosis 0.2 IU/ekor
IgY dosis 0.4 IU/ekor
25
15
20
15
Berat Badan (gram)
Berat Badan (gram)
20
10
10
5
0
0
1
2
3
4
5
0
5
0
1
2
Hari ke
4
5
Hari Ke
0.1 0.2 0.3 0.4 ktr - sentinel
0.1
0.2 0.3 0.4 ktr -
sentinel
IgY dosis 1IU/ekor
IgY dosis 0.8 IU/ekor
25
20
20
15
15
Berat Badan (gram)
Berat Badan (gram)
3
10
10
5
5
0
0
0
1
2
3
4
Hari ke
0.1 0.2 0.3 0.4 ktr - sentinel
5
0
1
2
3
4
5
Hari Ke
0.1 0.2 0.3 0.4 ktr - sentinel
Gambar 27 Pola pertambahan berat badan mencit .
Pada dosis IgY antitetanus 0.8 IU/ekor , kecenderungan persamaan garis
regresi semuanya meningkat dari keempat dosis tantang (Gambar 26). Hal ini
berarti IgY antitetanus mampu menetralisasi toksin, dan semua mencit pada
kelompok perlakuan ini masih bertahan hidup 100% (Tabel 7). Pola peningkatan
berat badan mencit dari keempat kelompok perlakuan sama, yaitu mengalami
peningkatan sejak hari pertama pasca injeksi toksin (Gambar 27). Pola dari dosis
IgY antitetanus 0.8 IU/ekor juga ditemukan mirip dengan pola peningkatan berat
78
badan pada dosis IgY antitetanus 1 IU/ekor (Gambar 27). Kecenderungan garis
persamaan regresi semuanya positif, berarti meningkat, begitu juga berat
badannya terus meningkat sejak hari pertama sampai ke lima (Gambar 26).
Dari hasil di atas dapat disimpulkan IgY antitetanus dosis 0.8 IU/ekor dan
1 IU/ekor mampu melindungi mencit dengan baik dengan waktu tantang 2 jam,
sedangkan pada dosis 0.2 IU/ekor dan 0.4 IU/ekor perlindungan hanya pada dosis
toksin 0.1 IU/ekor dan 0.2 IU/ekor , apabila dosis toksin ditingkatkan
perlindungannya menurun. Peningkatan berat badan berarti kemampuan saluran
cerna dalam mencerna pakan masih berfungsi baik, tidak terjadi kekakuan otot
daerah perut yang mempengaruhi kinerja saluran cerna, sehingga metabolisme
untuk pembentukan energi berjalan baik.
Feed Intake
Pengukuran feed intake dilakukan untuk mengetahui gangguan fisiologis
dari kontraksi otot
daerah wajah yang mempunyai fungsi untuk mengunyah,
toksin tetanus menyebabkan gangguan otot disekitar wajah yang ditunjukkan
dengan kekakuan otot rahang (lock jaw). Sehingga gangguan ini dapat dilihat dari
kemampuan hewan itu untuk memakan pakan.
Laju konsumsi pakan atau feed intake yaitu kemampuan mengkonsumsi
pakan setiap hari yang dinyatakan dalam satuan gram pakan per ekor hewan
perhari. Kemampuan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor internal seperti
preferensi (kecenderungan untuk menyukai satu jenis makanan dibandingkan
dengan makanan jenis lain), kondisi fisiologis (termasuk tingkat kesakitan atau
distres serta tingkat kelelahan), kondisi kesehatan, serta faktor eksternal seperti
jenis makanan (Carlson 1994).
Kebutuhan pakan mencit normal berkisar 15 gr/100 gram BB/hari dengan
kisaran berat badan mencit 15 sampai 17 gram maka kebutuhan pakannya berkisar
6 sampai 8 gram/hari/ekor. Pertambahan berat badan mencit masa pertumbuhan 4
sampai 5 minggu adalah senilai 1 ± 0.5 gram/ekor/hari.
Pada pengamatan feed intake pemberian IgY antitetanus dengan dosis
tantang toksin 0.1 IU/ekor menunjukan kecenderungan yang meningkat baik
pada dosis IgY antitetanus 0.2, 0.4, 0.8 dan 1 IU/ekor. Hal yang sama juga
79
ditemukan pada dosis tantang 0.2 IU/ekor. Pada dosis tantang toksin 0.3 IU/ekor
kecenderungan garis regresi menurun kecuali pada dosis IgY antitetanus 0.8
IU/ekor meningkat, sedangkan pada dosis tantang toksin 0.4 IU/ekor
kecenderungan garis regresi menurun hanya pada dosis IgY antitetanus 0.2
IU/ekor karena hewan kebanyakan sudah sakit sehingga kesulitan mencari tempat
pakan.
Dosis Toksin 0.1IU/ekor
Dosis Toksin 0.2 IU/ekor
12
12
10
10
8
Feed intake (g/ekor)
Feed intake (g/ekor)
8
6
4
2
6
4
2
0
0
0
0
1
2
3
4
5
1
0.4.
Linear (0.4.)
0.8
Linear (0.8)
3
4
5
6
Hari Ke
6
Hari Ke
0.2
Linear (0.2)
2
1
Linear (1)
0.2
0.4.
0.8
1
Linear (0.2)
Linear (0.4.)
Linear (0.8)
Linear (1)
Dosis Toksin 0.3 IU/ekor
Dosis Toksin 0.4 IU/ekor
12
8
8
6
6
Feed Intake (g/ekor)
10
Feed intake (g/ekor)
10
4
2
0
-2 0
1
2
3
4
5
6
4
2
0
0
1
2
3
4
5
Hari Ke
Hari ke
0.2
0.4.
0.8
1
0.2
0.4.
0.8
1
Linear (0.2)
Linear (0.4.)
Linear (0.8)
Linear (1)
Linear (0.2)
Linear (0.4.)
Linear (0.8)
Linear (1)
Gambar 28 Pola kecenderungan garis regresi feed intake mencit
6
80
Laju Respirasi
Energi metabolisme biasanya dapat dihitung dengan mengukur besarnya
konsumsi oksigen yang dibutuhkan dalam jangka waktu tertentu. Laju konsumsi
oksigen yaitu banyaknya oksigen yang dikonsumsi per gram berat badan per
satuan waktu dalam jam pada tekanan dan suhu tertentu. Satuan laju konsumsi
oksigen adalah mL oksigen/gram berat badan/jam (Suripto 1998). Laju konsumsi
salah satunya dipengaruhi kemampuan otot respirasi dalam mengerakan rongga
dada. Pada kasus tetanus kekakuan otot daerah dada yang berperan dalam proses
respirasi mengalami kekakuan, sehingga laju respirasi digunakan sebagai
indikator fisiologis pengaruh toksin tetanus.
Dosis IgY 0.4 IU/ekor
Dosis IgY 0.2 IU/ekor
6.00
6.00
5.00
5.00
4.00
4.00
mL O2/g BB/jam
3.00
mL O2/g BB/jam
3.00
2.00
2.00
1.00
1.00
0.00
-1.00 0
1
2
3
4
5
0.00
6
-1.00 0
1
2
Hari ke
0.1
0.4
Linear (0.1)
Linear (0.2)
0.2
Ktr Neg
Linear (Stl)
Linear (0.3)
0.1
0.4
Linear (0.1)
Linear (0.4)
0.3
Stl
Linear (Ktr Neg)
Linear (0.4)
4
5
6
0.2
Ktr Neg
Linear (0.2)
Linear (Ktr Neg)
0.3
Stl
Linear (0.3)
Linear (Stl)
Dosis IgY 1IU/ekor
Dosis IgY 0.8 IU/ekor
7.00
3
Hari Ke
6.00
6.00
5.00
4.00
4.00
mL O2/g BB/jam
mL O2/g BB/jam
5.00
3.00
3.00
2.00
2.00
1.00
1.00
0.00
0.00
0
1
2
3
4
5
6
Hari Ke
0.1
0.4
Linear (0.1)
Linear (0.4)
0.2
Ktr Neg
Linear (0.2)
Linear (Ktr Neg)
0.3
Stl
Linear (0.3)
Linear (Stl)
0
1
0.1
0.4
Linear (Stl)
Linear (0.3)
2
3
Hari Ke
0.2
Ktr Neg
Linear (0.1)
Linear (0.4)
4
5
6
0.3
Stl
Linear (0.2)
Linear (Ktr Neg)
Gambar 29 Pola kecenderungan garis regresi laju respirasi mencit.
Peningkatan konsumsi oksigen pada dosis IgY antitetanus 0.8 IU/ekor
berbeda nyata dengan dosis 0.2 IU/ekor (Gambar 30). Dibandingkan
dengan
81
dosis yang lain meskipun meningkat tetapi peningkatannya tidak berbeda nyata.
Peningkatan konsumsi oksigen nyata pada hari ketiga, kemudian menurun secara
nyata pada hari kelima. Konsumsi oksigen nyata lebih rendah dibandingkan hari
ke-0 (kontrol). Gradien garis regresi pada semua perlakuan menurun kecuali pada
dosis IgY antitetanus 1 IU/ekor dengan dosis tantang 0.4 IU/ekor (Gambar 29).
Kebutuhan oksigen meningkat pada hari ketiga, kemudian turun pada hari kelima.
Peningkatan kebutuhan oksigen hari ketiga dapat disebabkan hewan dalam masa
kritis untuk penyembuhan sehingga diperlukan banyak oksigen untuk pemulihan,
sedangkan pada hari kelima, hewan mulai pulih atau tetap sakit.
Dosis IgY 0.2 IU/ekor
Dosis IgY 0.4 IU/ekor
6.00
6.00
5.00
5.00
4.00
mL O2/g BB/jam
mL O2/g BB/jam
4.00
3.00
2.00
1.00
3.00
2.00
1.00
0.00
0.00
0
3
0
5
3
Hari Ke
Hari Ke
0.1
0.2
0.3
0.4
Ktr Neg
0.1
Stl
0.2
Dosis IgY 0.8 IU/ekor
0.3
0.4
Ktr Neg
Stl
Dosis IgY 1IU/ekor
7.00
6.00
6.00
5.00
5.00
4.00
4.00
mL O2/g BB/jam
mL O2/g BB/jam
5
3.00
2.00
3.00
2.00
1.00
1.00
0.00
0.00
0
0.1
0.2
3
Hari Ke
0.3
0.4
5
0
3
5
Hari Ke
Ktr Neg
Stl
0.1
0.2
0.3
Gambar 30 Konsumsi oksigen mencit.
0.4
Ktr Neg
Stl
82
Mencit sehat memiliki kisaran laju respirasi senilai 6.66 ml O2/jam/kg BB
atau 1.65 ml O2/jam/g BB yang digunakan untuk aktivitas harian. Metabolisme
basal mencit yang lebih muda lebih tinggi dari mencit dewasa karena ukuran
tubuhnya yang lebih kecil membutuhkan energi yang tinggi untuk pertumbuhan.
Beberapa faktor internal yang mempengaruhi laju respirasi adalah jenis kelamin,
aktivitas, dan pertumbuhan. Laju respirasi akan lebih tinggi pada hewan jantan,
aktif bergerak, dan dalam masa pertumbuhan (Suripto 1998), faktor lain yang
berpengaruh adalah suhu udara, kelompok hewan eksoterm atau endoterm,
habitat, kadar oks igen udara, dan tekanan parsial O2
Persamaan garis regresi pengujiannya menggunakan gradien, dengan
persamaan y = ax + b dengan R2 = c. Nilai gradien a positif menunjukkan dosis
tertentu pada parameter tersebut meningkat seiring dengan pertambahan waktu.
Standar deviasi b menunjukkan seberapa besar penyimpangan yang diberikan
terhadap nilai rataan dari setiap populasi data. Nilai korelasi kuadrat c dipandang
sebagai nilai kedekatannya dengan respon homogen tiap populasi. Semakin dekat
nilai R2 ke 1, maka semakin sempit penyimpangan terhadap grafik yang diberikan.
Refleksitas
Hewan coba yang masih bertahan hidup sampai hari kelima (hari terakhir
pengamatan) di ukur daya refleksitasnya dengan melihat kemampuan renang dari
mencit. Hal ini dilakukan untuk mengetahui terbebasnya mencit dari pengaruh
kekakuan otot gerak. Pada pemberian dosis IgY antitetanus 0.4 IU/ekor dengan
dosis tantang toksin 0.2 IU/ekor memiliki kemampuan renang mirip dengan
kelompok sentinel dan kontrol negatif sedangkan perlakuan yang lain kemampuan
renang lebih rendah dari kelompok kontrol (Gambar 31).
Effendi (2005) melaporkan kemampuan berenang mencit selama 2 sampai
5 menit secara penuh. Pada penelitian ini, kemampuan berenang diukur saat mulai
dilepas di air sampai mencit itu berhenti menggerakan kaki, meskipun dalam
beberapa detik lagi mencit akan berenang kembali. Dalam hal ini pengukuran
tidak secara penuh. Rendahnya kemampuan renang dari mencit menandakan
bahwa kelelahan dari otot gerak masih terjadi, meskipun mencit terlihat jalannya
normal. Perlu dipikirkan, dalam penanganan kasus tetanus selain pemberian serum
83
antitetanus dan imunisasi dengan toksoid, diberikan juga obat-obatan atau vitamin
untuk mempercepat pulihnya reflek otot.
Lama renang (detik)
Kemampuan berenang
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Toksin 0.1
Toksin 0.2
Toksin 0.3
Toksin 0.4
0.2
0.4.
0.8
1
Ktr-
sentinel
Dosis IgY (IU/ekor)
Gambar 31 Kemampuan lama berenang mencit
Pemberian IgY antitetanus Secara Oral
Pada perlakuan pemberian secara oral, masing-masing mencit di cekok
lewat mulut dengan sonde. Mencit dibagi dalam tiga kelompok dengan pemberian
masing-masing sekali, dua kali dan tiga kali IgY antitetanus. Dari ketiga
kelompok mencit itu setelah di tantang dengan toksin semua mencit mati pada
hari pertama (Tabel 10).
Tabel 10 Persentase mencit yang hidup setelah diberi IgY antitetanus secara oral
Dosis
Jumlah Hari Pemberian (0.5
Ktr +
Ktr Sentinel
Toksin
ml/ekor)
(IU/ekor)
1
2
3
0.1
0
0
0
0
100
100
0.2
0
0
0
0
100
100
0.3
0
0
0
0
100
100
0.4
0
0
0
0
100
100
Keterangan:
Stl : Sentinel, tidak diperlakukan dengan IgY dan Uji tantang toksin
Ktr + : Kontrol positif, tidak diberikan IgY tetapi di tantang dengan toksin
Ktr - : Kontrol negatif, diberikan IgY tetapi tidak ditantang toksin
Hal ini menunjukkan IgY anti tetanus tidak efektif diberikan secara oral
untuk tujuan imunoterapi pasif pencegahan penyakit secara sistemik pada hewan
dewasa, tetapi perlu dilakukan uji lebih lanjut dengan pemberian secara oral lebih
84
lama dan dosis yang lebih tinggi untuk memperkuat temuan di atas. Pemberian
IgY untuk imunoterapi sistemik yang diberikan pada bayi dengan mencampurkan
pada susu formula perlu dilakukan penelitian lanjutan. Peluang untuk diberikan
pada bayi baru lahir secara oral sangat prospektif mengingat hasil penelitian
beberapa ahli.
Beberapa peneliti melaporkan IgY dapat diserap melalui saluran cerna
pada umur bayi. Yokohama et al. (1993) melaporkan IgY diserap dan ditransfer
secara efesien ke dalam darah seperti kolustrum pada anak babi. IgY diserap
secara efisien dari usus sampai umur 34 jam setelah lahir, setelah umur itu
penyerapan IgY melalui usus tertutup. IgY mempunyai waktu paruh 1.85 hari
dalam serum anak babi baru lahir. Waktu ini lebih pendek dibandingkan dengan
IgG (12 sampai 14 hari). Penyerapan IgY bervariasi tergantung umur babi, pada
babi umur 10 jam IgY telah dapat diidentifikasi pada darah 2 jam setelah
pemberian secara oral. Konsentrasi puncak pada serum (85.2 µg/ml) ditemukan 24
jam setelah pemberian dan menurun secara bertahap setelah 21 hari (Yokohama et
al. 1993). Pemberian IgY peroral memberikan dampak sistemik sehingga mampu
mengertak sistem imun humoral dan selular pada sapi penderita mastitis (Coleman
2000)
Hambatan absorbsi IgY pada usus untuk menjadi setengahnya dicapai
pada 1.73 jam. Secara normal penurunan konsentrasi imunoglobulin darah karena
fungsi katabolisme protein dan pengaruh pengenceran karena bertambahnya
ukuran tubuh sejalan dengan peningkatan volume darah. Sifat dari struktur IgY
seperti berat molekul, bentuk domain IgY, ikatan intramolekul, kekurangan ikatan
disulfida yang menghubungkan rantai ringan, dan rendahnya fleksibilitas regio
hinge mempengaruhi secara umum sifat dari IgY dan faktor struktur ini
mempengaruhi stabilitas molekul IgY (Shimizu et al. 1992). IgY juga kurang
tahan dan stabil terhadap kondisi asam, dan perjalanan molekul IgY pada lambung
dengan pH rendah menurunkan stabilitas IgY yang akan mempengaruhi
penurunan konsentrasi IgY pada serum (Yokohama et al. 1993).
Faktor-faktor yang mempengaruhi
efisiensi penyerapan imunoglobulin
dalam saluran cerna hewan neonatus adalah umur hewan saat pertama kali
mengkonsumsi kolostrum, jenis kelamin, ras atau bangsa hewan, metode
85
pemberian kolustrum, lingkungan hewan saat baru lahir, konsentrasi IgG dalam
kolostrum, dan jumlah kolostrum yang dikonsumsi. Pada kambing dilaporkan
efisiensi penyerapan IgG berkisar antara 2% sampai 46% (Esfandiari 2005).
Kemampuan sel-sel epitel usus halus untuk menyerap makromolekul utuh akan
menghilang sekitar 24 jam setelah lahir, hal ini disebabkan karena sel saluran
pencernaan telah mengalami maturasi dan perkembangan segera setelah lahir.
Rendahnya efisiensi penyerapan juga disebabkan degradasi oleh enzim
pencernaan yang segera disekresikan setelah sel pencernaan matang. Sekresi
enzim percernaan itu nyata setelah 12 jam lahir (Esfandiari 2005).
pH pada lambung bayi sampai umur 5 bulan berkisar antara 4sampai 5,
setelah 2 sampai 3 hari minum susu, sehingga denaturisasi IgY tidak perlu
dikhawatirkan, tetapi jika untuk konsumsi orang dewasa, proteksi IgY terhadap
digesti lambung perlu dipikirkan. Kerusakan IgY setelah didigesti dengan tripsin
dan kemotripsin lebih rendah, sehingga mampu melindungi infeksi pada usus
(Shimizu et al. 1988) , dengan demikian IgY memiliki ketahanan bila digunakan
produk makanan terutama susu formula untuk anak-anak (Davis dan Reeves
2002).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
Dari penelitian karakteristik imunoglobulin Y antitetanus diisolasi dari
telur ayam sebagai pengganti antitetanus serum kuda dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Ayam mampu membentuk IgY spesifik antitetanus pada serum da n
terkumpul pada kuning telur dengan titer pada serum 34.53 ±
14.94 IU/ml dan pada telur 80.16 ± 33.55 IU/ml dengan nilai
potensi sebesar 35 IU/ml.
2. Aktivitas biologis IgY antitetanus menurun setelah perlakuan pH 2
dan 3, enzim protease, tripsin dan pepsin, dan suhu 72.5 oC.
Penambahan larutan sukrosa dan larutan glukosa mampu
meningkatkan aktivitas biologis IgY antitetanus terhadap perlakuan
panas.
3. Pemberian IgY antitetanus secara sub kutan mampu melindungi
mencit dari pengaruh dosis letal toksin, sedangkan pemberian
secara oral tidak efektif untuk tujuan imunoterapi pasif pada hewan
dewasa.
Saran
Guna mendapatkan titer antitetanus yang tinggi di serum dan telur perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jadwal imunisasi (waktu boster) dan
dosis antigen yang tepat yang mampu merangsang pembentukan antibodi secara
maksimal. Perlu dilakukan penelitian mengenai zat stabiliser yang tepat dan cocok
untuk mempertahankan keutuhan IgY dalam proses penyimpanan dan proses
ekstraksi sehingga titer tetap konstan sampai proses akhir purifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. 1997. Cellular and molekular immunology.
USA. W. B Saunders Co.
Akita EM, Naka S. 1992. Immunoglobulins from egg yolk : isolation and
purification. J Food Sci. 57(3):629-634.
Akita EM, Nakai S. 1993a. Production and purification of Fab’ fragments from
chickens egg yolk immunoglobulin Y (IgY). J Immunol Methods 162:155164.
Akita EM, Nakai, S. 1993b. Comparison of four purification methods for the
production of immunoglobulins from eggs laid by hens immunized with an
enterotoxigenic E. coli strain. J Immunol Methods 160:207–214
Almeida CMC et al. 1998. Development of snake antivenom antibodies in
chickens and their purification from yolk. Vet. Rec 143: 579-584.
Anonim. 2002. Hyperimmune egg background.
http://www.hyperimmuneegg.org/background.htm (4 Maret 2002)
Anonim. 2003. Clostridium. http://www.bacteriology.edu/clostridium.htm
(10 September 2003).
Babu U, Scott M, Myres MJ, Okamura M, Gaines D, Yancy HF, Lillehoj H,
Heckert RA, Raybourne RB. 2003. Effects of live attenuated and killed
salmonella vaccine on t-lymphocyte mediated immunity in laying hens.
Vet Immun And Immunopathol 91:39-44.
Benkirane R, Gottschalk MG, Jacques M, Dubreuil JD. 1998. Immunochemical
characterization of an IgG-binding protein of Streptococcus suis. FEMS
Immunol Med Microbiol 20:121-127.
Behn I, Hommel U, Oertel M, Hauschild S. 1996. Kinetics of IgY formation after
immunisation of hens with different protein antigens. ALTEX 13: 18-21.
Bhanushali JK, Gilbert JM, McDougald LR. 1994. Simple method to purify chic ken immunoglobulin G. Poultry Sci 73:1158-1161.
Bizzini B. 1983. Anti-tetanus vaccines. Boll Ist Sieroter Milan 62(6):550-554.
Bizzini B. 1993. Clostridium tetani. Dalam C.L. Gyles and C. O. Thoen Edited.
Patogenesis of bacterial infections in animal. Ed ke-2. USA. Iowa State
University Pr.
Bleck TP. 1991. Tetanus : pathophysiology, management, and prophylaxis. Dis
Mon 37(9):545-603.
Bogoyavlensky AP, Bersin VE, Tolmachva VP. 1999. Immunogenicity of
influenza glycoprotein with different forms of supramolecular organization
in hens. Balt J Lab Anim Sci 4:99-105.
[Brit Ph] British P harmacopoeia. 2002. British Pharmacopoeia. Volume I.
(CD Room). United Kingdom.The Stationery Off. Ltd.
Brown DA, London E. 2000. Structure, and function of sphingolipid-, and
cholesterol-rich membrane raft. J Biol Chem 275:17221-17224.
Bruggemann H, Baumer S, Fricke WF, Wiezer A, Liesegang H, Decker I,
Herzberg C, Arias RM, Merkl R, Henne A, Gottschalk G. 2003. The
genome sequence of Clostridium tetani, the causative agent of tetanus
disease. PNAS 100(3):1316-1321.
88
Camenisch G, Tini M, Chilov D, Kvietikova I, Srinivas V, Caro J, Spielmann P,
Wenger RH, Gassmann M.1999. General applicability of chicken egg yolk
antibodies: the performance of IgY immunoglobulins raised against the hy
poxia -inducible factor-1 alpha. FASEB J 13:81-88
Chard T. 1990. Laboratory techniques in biochemistry and molecular biology. An
introduction to radioimmunoassay and related techniques.4th Revised Ed.
Vol 6, part II. Amsterdam. Elsevier.
Carlander D, Stålberg J, Larsson A. 1999. Chicken antibodies: a clinical
chemistry perspective. Ups. J Med Sci 104:179-189.
Carlander D, Kollberg H, Wejaker PE, Larsson A. 2000. Peroral immunotherapy
with yolk antibodies for the prevention and treatment of enteric infections.
Immunol Res 21(1):1-6.
Carlander D. 2002. Avian IgY antibody. in vitro and in vivo. Dissertations.
Canada: Acta Universitatis Upsaliensis. Uppsala.
Carlson NR. 1994. Physiology of behavior. 5 th Edition. Allyyn and Bacon.
Boston.
Cavuslu S, Oncu O, Altunay H, Ozsoy MF, Kocak N. 2003. Seroprevalence of
tetanus antibody in Turkish population and effectiveness of single-dose
tetanus toxoid. Eur J Clin Microbiol Infect Dis
Chan`s. WS, Bando Y, Warr GW, Middleton DL, Higgins DA. 1999. Duck
lymphocytes. VIII. T-lymphoblastoid cell lines from reticuloendotheliosis
virus-induced tumors. Avian Pathology 28:171-186.
Chang HM, Ou-Yang RF, Chen YT, Chen CC. 1999. Productivity and some
properties of immunoglobulin specific against streptococcus mutans
serotype C in chicken egg yolk (IgY). J Agric Food Chem 47: 61-66.
Chang HM, Lu TC, Chen CC, Tu YY, Hwang JY. 2000. Isolation of
immunoglobulin from egg yolk by anionic polysaccharides. J Agric Food
Chem 48 : 995-999.
Coillie EV, Block JD, Reybroeck W. 2004. Development of an indirect
competetive ELISA for flumequine residues in raw milk using chicken egg
yolk antibodies. J Agric Food Chem Vol 52(16): 4975-4978.
Coleman MA. 2000. Using eggs antibodies to treat disease. In Eggs ntrition and
technology. Sim JS, Nakai S and Gueter W (Eds). CABI Publishing,
Wallingford. UK.
Covarelli E, Marconi P. 1980. Prevention of tetanus in the hospital first-aid
service. Boll Ist Sieroter Milan 59(5):544-549.
Davis C, Reeves R. 2002. High value opportunities from the chicken egg. A
report for the rural industries research and development corporation.
RIRDC Pub.
Doellgast GJ, Brown JE, Koufman JA, Hatheway CL. 1997. Sensitive assay for
measurement of antibodies to Clostridium botulinum neurotoxins A, B,
and E: use of hapten-labeled-antibody elution to isolate specific
complexes. J Clin Microbiol 35:578-583.
Effendi CQ. 2005. Efek pengenceran serum antitetanus terhadap netralisasi toksin
tetanus pada mus musculus L.strain DDY ditinjau dari respon fisiologis
spesifik. (skripsi). Bandung. Departemen Biologi. FMIPA ITB.
89
Emsley P, Fotinou C, Black I, Fairweather NF, Charles IG, Watts C, Hewitt E,
Isaacs NW. 2000. The Structures of the Hc fragment of tetanus toxin with
carbohydrate subunit complexes provide insight into ganglioside binding.
J Biol Chem 275 (12):8889-8894.
Erhard MH, Göbel E, Lewan B, Lösch U, Stangassinger M. 1997. Systemic avail
ability of bovine immunoglobulin G and chicken immunoglobulin Y after
feeding colostrum and whole egg powder to newborn calves. Arch
Tierernahr 50:369-380.
Esfandiari A. 2005. Studi kinerja kesehatan anak kambing peranakan etawa (PE)
neonatus setelah pemberian berbagai sediaan kolostrum. disertasi. Bogor.
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ester. 2004. Isolasi IgY dari kuning telur ayam arab (Gallus galus) terhadap
canine parvovirus serta aplikasinya untuk perangkat pemeriksaan dengan
ELISA. Skripsi. PS Kimia. FMIPA. IPB Bogor.
Fischer M, Hlinak A, Montag T, Claros M, Schade R, Ebner D. 1996. Comparison
of standard methods for the preparation of egg yolk antibodies. Tierarztl
Prax 24: 411-418.
Ford RC. 2004. Isolasi of protein and nucleic acid. Course notes.
http://www.bi.umist.ac.uk/teaching/module/. 24 Juli 2004.
Forrat R, Dumas R, Seiberling M, Merz M, Lutsch C, Lang J. 1998. Evaluation
of the safety and pharmacokinetic profile of a new, pasteurized, human
tetanus immunoglobulin administered as sham, postexposure prophylaxis
of tetanus. Antimicrobial Agents and Chemotherapy. 42(2):298-305.
Fortgens PH, Dennison C, Elliott E. 1997. Anti-cathepsin D chicken IgY
antibodies: Characterisation, cross-species reactivity and application in
immunogold labelling of human splenic neutrophils and fibroblasts.
Immunopharmacology 36:305-311.
Fotinou C, Emsley P, Black I, Ando H, Ishida H, Kiso M, Sinha KA, Fairweather
NF, Isaacs NW 2001. The crystal structure of tetanus toxin Hc fragment
complexed with A synthetic GT1b analogue suggest cross -linking between
ganglioside receptor and the toxin. J Biol Chem 276 (34): 32274-32281.
Fryer J, Firca J, Leventhal J, Blondin B, Malcolm A, Ivancic D, Gandhi R, Shah
A, Pao W, Abecassis M, Kaufman D, Stuart F, Anderson B.1999. IgY
antiporcine endothelial cell antibodies effectively block human antiporcine
xenoantibody binding. xenotransplantation 6:98-109.
Grangette C, Alouf HM, Goudercourt D, Geoffroy MC, Turneer M, and
Mercenier A. 2001. Mucosal immune responses and protection against
tetanus toxin after intranasal immunization with recombinant
Lactobacillus plantarum. Infect and Immun. 69 (3):1547-1553.
Gassmann M, Thommes P, Weiser T, Hubscher U. 1990. Efficient Production of
Chicken Egg Yolk Antibodies Against A Conserved Mammalian protein.
FASEB J Vol 4: 2528-2532.
Gassman M. 2002. Generation of polyclonal antibodies in the egg yolk. Dalam
Ronald Ross Watson Edited. Egg and health promotion. Iowa State Pr.
Pp.61-67.
Gross M, Speck J. 1996. Avian yolk antibodies in diagnosis and research. Dtsch
Tierarztl Wochenschr 103:417-22.
90
Guildolin R, Stephano MA, Morais JF, Sakaguti EH, Prado SMA, Fratelli F,
Vancetto MDC, Higashi HG. 1998. Production of an effective
antibothrops - tetanus mixed hyperimmune serum of equine origin. J
Venom Anim Toxins 4(1):252-260.
Gutierrez MA, Miyazaki T, Hatta H, Kim M. 1993. Protective properties of egg
yolk IgY containing anti –Edwardsiella tarda antibody against paracolo
disease in the Japanese eel, Aquilla japonica Temmick and Schlegel. J
Fish Dis 16 : 113-122.
Gutierrez CG, Garcia RMG, Schade R. 2001. Human haemoclassification by use
of spesifik yolk antibodies obtained after immunisation of chickens against
human blood group antigens. Altern Lab Anim 29:717-726.
Guyton AC.1995. Fisiologi Manusia dan mekanisme Penyakit. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Habermann E. 1988. Structure and function of tetanus toxin. Approaches by DNA
and protein chemistry. Dalam Charlotte L. Ownby & George V. Odell
Edited. Natural toxins. Characterization, pharmachology, and
therapeutics. Proceedings of the 9th World Congress On Animal, Plant,
and Microbial Toxins. Stillwater, Oklahoma. August, 1988. Pergamon.
Hadge D. 1985. Evolution of the immunoglobulins. Allerg Immunol (Leipz ) 31:
231-243.
Hadge D, Ambrosius H. 1984. Evolution of low molecular weight
immunoglobulins. IV. IgY -like immunoglobulins of bird, reptile, and
amphibians, precursors of mammalian IgA. Molecular Immunology 21(8):
699-707.
Hadge D, Ambrosius H.1986. Evolution of Low Molecular Weight Immunoglobu
lins. V. Degree of Antigenic Relationship Between The 7S
Immunoglobulins of Mammals, Bird, and lower Vertebrates to The Turkey
IgY. Dev Comp Immunol 10:377-85.
Halliwell REW, and Gorman NT. 1989. Veterinary Clinical Immunology.
Phila delphia.W. B. Saunders.
Halper J, Grubman MJ, Jacobsen KL. 1999. Development of chicken Antibodies
to bovine interferon alpha. Immunol Invest 28 : 19-27.
Halpern JL, Loftus A. 1993. Characterization of the receptor-binding domain of
tetanus toxin. J Biol Chem 268:11188-11192.
Hamada S, Horikoshi T, Minami T, Kawabata S, Hiraoka J, Fujiwara T, Ooshima
T. 1991. Oral passive immunization against dental caries in rats by use of
hen egg yolk antibodies specific for cell-associated glucosyltransferase of
Streptococcus mutans. Infect Immun 59 (11):4161-4167.
Hames BD, Rickwood D. 1987. Gel electrophoresis of protein. Oxford
Washington DC. IRL Press.
Hansen P, Scoble JA, Hanson B, Hoogenraad NJ. 1998. Isolation and
Purification of Immunoglobulins from Chicken Eggs Using Thiophilic
Interaction Chromatography. J Immunol Methods 215:1-7
Hassl A, Aspock H, Flamm H. 1987. Comparative Studies on the Purity and
Specificity of Yolk Immunoglobulin Y Isolated from Eggs Laid by Hens
Immunized with Toxoplasma gondii. Zentralbl Bakteriol Mikrobiol Hyg
(A) 267 : 247 – 253.
91
Hatta H, Tsuda K, Akachi S, Kim M, and Yamamoto T. 1993. Productivity and
some properties of egg yolk antibody (IgY) against human rotavirus
compared with rabbit IgG. Biosci Biotechnol Biochem 57: 450–454
Hatta H, Tsuda K, Ozeki M, Kim M, Yamamoto T, Otake S, Hirasawa M, Katz J,
Childers NK, Michalek SM. 1997. Passive immunization against dental
plaque formation in humans: effect of a mouth rinse containing egg yolk
antibodies (IgY) specific to Streptococcus mutans. Caries Res 31:268274.
Hedlund GP, Hau J. 2001. Oral immunisation of chickens using cholera toxin B
subunit and soft antigen as adjuvants results in high antibody titre in the
egg yolk. In Vivo 15(5):381-384.
Herreros J, Lalli G, Montecucco C, Schiavo G. 2000. Tetanus toxin fragment C
binds to a protein present in neuronal cell lines, and motor neurons. J
Neurochem 74: 1941-1950
Herreros J, Tony Ng, Schiavo G. 2001. Lipid rafts act as specialized domains for
tetanus toxin binding and internalization into neurons. Mol Biol Cell 12
(10): 2947-2960.
Higgins DA, Cromie RL, Liu SS, Magor KE, and Warr GW. 1995. Purification
of duck immunoglobulins: an evaluation of protein A and protein G
affinity chromatography. Vet Immunol Immunopathol 44: 169–180.
Horie K, Horie N, Abdou AM, Yang JO, Yun SS, Chun HN, Park CK, Kim M,
Hatta H. 2004. Suppressive effect of fungtional drinking yogurt containing
specific egg yolk immunoglobulin on Helicobacter pylori in human. J
Dairy Sci 87: 4073-4079.
Ikemori Y et al. 1997. Passive protection of neonatal calves against bovine corona
virus-induced diarrhea by administration of egg yolk or colostrum
antibody powder. Vet Microbiology 58: 105-111
Jensenius JC, Andersen I, Hau J, Crone M, Koch C. 1981. Eggs: Convenently
packaged antibodies. Methods for purification of yolk IgG. J. Immunol
Meth. 46:63-68.
Karlsson M, Kollberg H, Larsson A. 2004. Chicken IgY: Utilizing the
evolutionnary advantage. World’s Poultry Sci J Vol 60 :341-347.
Katz D, Lehrer S, Kohn A. 1985. Use of chicken and rabbit antibodies in a solid
phase protein A radioimmunoassay for virus detection. J Virological
Methods 12 : 59-70.
Kermani-Arab V, Moll T, Cho BR, Davis WC, Lu YS. 2001. Effects of Ig Y anti
bodi on the development of marek’s. disease. Avian Dis 20: 32 – 41.
Kiefer K. 2004. Tetanus- Clostridium tetani.
http://www.bacterialdisease.edu/clostridiumtetani.html (10 Maret 2004)
Kim HO, Durance TD, Li-Chan EC. 1999. Reusability of avidin-biotinylated
immunoglobulin Y columns in immunoaffinity chromatography. Anal
Biochem 268 : 383-397.
Knight A, Carvajal J, Schneider H, Coutelle C, Chamberlain S, Fairweather N.
1999. Non-viral neuronal gene delivery mediated by the HC fragment of
tetanus toxin. Eur J Biochem 259:762-769.
Kristiansen M, Aggebeck H, Heron I. 1997. Improved ELISA for determination
of anti-diphtheria and/or anti-tetanus antitoxin antibodies in sera. APMIS
105: 843-853.
92
Kuby J. 1997. Immunology. Ed ke -3. New York W.H. Freeman and Co.
Kummer A, Li-Chan EC. 1998. Application of an ELISA-elution assay as a
screening tool for dissociation of yolk antibody-antigen complexes.
J Immunol Methods 211 : 125-137.
Lalli G, Herreros J, Osborne SL, Montecucco C, Rossetto O,. Schiavo G. 1999.
Fungtional characterization of tetranus and botulinum neurotoxins binding
domains. J Cell Science 112:2715-2724.
Lalli G, Gschmeissner S, Schiavo G. 2003. Myosin Va and microtubule-based
motors are required for fast axonal retrograde transport of tetanus toxin in
motor neurons. J Cell Science 116:4639-4650.
Larsson A, Balow R-M, Lindahl TL, and Forsberg P-O. 1993. Chicken
antibodies taking advantage of evolution. (A Review). Poultry Sci 72 :
1807 – 1812.
Lee SC, Lee KN, Schwartzott DG, Jackson KW, Tae WC, McKee PA. 1997.
Purification of human alpha 2-antiplasmin with chicken IgY specific to its
carboxy-terminal peptide. Prep Biochem Biotechnol 27 : 227-237.
Lee SB, Mine Y, Stevenson RMW. 2000. Effect of hen egg yolk immunoglobulin
in passive protection of Rainbow trout against Yersinia ruckeri. J. Agric.
Food. Chem. 48 : 110 – 115.
Lee EN, Sunwoo HH, Menninen K, Sim JS. 2002. In vitro studies of chicken egg
yolk antibody (IgY) against Salmonella enteritidis and Salmonella
typhimurium. Poult Sci 81(5):632-641.
Lewis C. 1998. Aspects of clostridial disease in sheep. In Practice. Oktober
1998.
Li X, Nakano T, Sunwoo HH, Paek BH, Chae HS, Sim JS. 1998. Effects of egg
and yolk weights on yolk antibody (IgY) production in laying chickens.
Poult Sci 77(2) : 266-270.
Liddell E, Weeks I. 1995. Antibody Technology. BIOS Bioscience Publisher
Limited. UK.
Losch U, Schranner I, Wanke R, and Jurgen L.1986. The chicken egg, an
antibodi source. J Vet Med B33: 609 – 619.
Losonczy S, Szabó C, Kiss Z, Bárdos L. 1999. Application of an anti-HQIgY
antibody for the measurement of IgY concentrations of hen's and quail's
serum and yolk. Acta Physiol Hung 86 : 253-258 .
Lundqvist ML, Middleton DL, Hazard S, and Warr GW.2001.The
immunoglobulin heavy chain locus of the duck. genomic organization and
expression of D, J, and C region genes. J Boil Chemistry 276(50): 4672946736.
Magor KE, Warr GW, Middleton D, Wilson MR, and Higgins DA. 1992.
Structural
relationship
between the two igy of the duck, anas
platyrhynchos: molecular genetic evide nce. The J of Immunology149 (8) :
2627-2633.
Magor KE, Higgins DA, Middleton DL, Warr GW. 1994a. One gene encode the
heavy chains for three different from of IgY in the duck. The J of
Immunology 153 : 5549-5555
Magor KE, Higgins DA, Middleton DL, Warr GW. 1994b. cDNA sequence and
organization of the immunoglobulin light chain gene of the duck, Anas
platyrhynchos. Devl and Comp Immunol.18 (6): 523-531.
93
Magor KE, Warr GW, Bando Y, Middleton DL, Higgins DA. 1998. Secretory
immune system of duck (Anas platyrhynchos). Identification and
expression of the genes encoding IgA and IgM heavy chains. Eur J
Immunol 28: 1063 – 1068.
Makoto SC, Robert F, Shuryo N. 1998. Anti-E. coli immunoglobulin in Y
isola ted from egg yolk of immunized chicken as a potensial food
ingredient. J Food Sci 53:1361–1365.
Makvandi M, Fiuzi R. 2002. Purification of anti-HbsAg from egg yolks of
immunized hens and its application for detection of HbsAg. Arch Iranian
Med 5 (2) : 91 – 93.
Male D, Champion B, Cooke A.1987. Advan immunology. London. JB. Lippincott
Co.
Maple PAC, Jones CS, Andrews NJ. 2001. Time resolved fluorometric
immunoassay, using europium labelled antihuman IgG, for the detection
of human tetanus antitoxin in serum. J Clin Pathol 54:812-815.
Maral I, Cirak M, Aksakal FN, Baykan Z, Kayikcioglu F, Bumin MA. 2001.
Tetanus immunization in pregnant women. serum levels of antitetanus
antibodies at time of delivery. Eur J Epidemiol 17(7): 661-665.
Marti E, Peveri P, Griot-Wenk M, Muntwyler J, Crameri R, Schaller J, Gerber H,
Lazary S. 1997. Chicken antibodies to a recombinant fragment of the
equine immunoglobulin epsilon heavy-chain recognising native horse IgE.
Vet Immunol Immunopathol 59:253-270.
Martini FH. 2001. Fundamentals of anatomi and physiology. New Jersey. Prentice
hall Inc.
Marvaud JC, Eisel U, Binz T, Niemann H, and Popoff MR. 1998. TetR is a
positive regulator of the tetanus toxin gene in Clostridium tetani and is
homologous to BotR. Infec and Immun 66(12):5698-5702.
Matos DCS, Marcovistz R, Cabello PA, Georgini RA, Sakauchi D, Silva LL da.
2002. Immunogenicity test of tetanus component in adsorbed vaccines by
toxin binding inhibition test. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro
97(6): 909-913.
Miana-Mena FJ, Roux S, Benichou JC, Osta R, and Brulet P. 2002. Neuronal
activity-dependent membran traffic at the neuromuscular junction. PNAS
99(5): 3234-3239.
Mims CA. 1982. The pathogenesis of disease . Infectious disease. Second Ed.
Academic Pr. London.
Murata T, Saito S, Shiozaki M, Lu RZ, Eto Y, Funaba M, Takahashi M, Torii K.
1996.Anti-activin A antibody (IgY) specifically neutralizes various activin
A activities. Proc Soc Exp Biol Med 211:100-107 .
Nakai S, Li-Chan E, and Lo KV.1994. Separation of immunoglobulin from egg
yolk. Dalam Eggs uses and processing technologies new developments.
Edited by J.S. Sim and S. Nakai. Cab International.pp 95-105
Narat M. 2003. Production of antibodies in chickens. Food Technol. Biotechnol
(3):259-267
Nasution MS. 1987. Hal ihwal imunisasi dan aplikasinya. Perum Biofarma
Gorawastu. Bandung.
94
Nielsen PM. 1997. Fungtionality of protein hydrolysates. Di dalam Food protein
and their application, S Damodaran and A Paraf. New York. Marcell
Dekker. pp 443-472.
Orsini G, Lavoie P, Smith CE, and Nanci A. 2001. I mmunochemical
characterization of a chicken egg yolk antibody to secretory forms of rat
incisor amelogenin. J Histochem Cytochem 49:285-292.
Othani H, Matsumoto K, Saeki A, Hasono A. 1991. Comparative studies on
properties of hen egg yolk IgY and rabbit serum IgG antibodies. Lebensm
Wiss Technol 24 : 152-158.
Paryati SPY. 2006. Antibodi anti-idiotipe sebagai kandidat vaksin rabies.
(disertasi). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Plessis, DH du, Wyngaardt W van, Romito M, Plessis M du, Maree S. 1999. The
use of chicken IgY in a double antibody sandwich ELISA for detecting
african horsesickness virus. Onderstepoort J Vet Res 66:25-28.
Polson A, Wechmar MB von, and Regenmortel MHV von. 1980. Isolation of
viral IgY antibodies from yolk of immunized hens. Immunological
Communication 9 : 475 – 493.
Polson A. 1990. Isolation of IgY from the yolks of eggs by a chloroform polyethylene glycol procedure. Immunol Invest 19 (3) : 253-258.
Porter JD, Perkin MA, Corbel MJ, Farrington CP, Watkins JT, Begg NT. 1992.
Lack of learly antitoxin respone to tetanus booster. Vaccine 10(5) : 334-6 .
PT Biofarma. 2003. Prosedur baku uji potensi baku pembanding ATS. Bandung.
PT Biofarma (Persero).
Rappuoli R, Montecucco C. 1997. Guidebook to protein toxins and their use in
cell biology. United Kingdom. Oxford University Press.
Rawendra R. 2005. Prospek pengembangan imunoglobulin Y (IgY) kering beku
sebagai nutraceutical food anti enteropathogenic escherichia coli (EPEC).
(disertasi). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ray S. 2004.Tetanus. http://www.emedicine.com/cgi-bin/tetanus/ (10 Maret 2004)
Regenmortel MHV van. 1993. Eggs as protein and antibodi factory. Dalam
proceedings of the European symposium on the quality of poultry meat.
Tours , France INRA . pp 257 -263.
Roitt IM. 2003. Imunologi. Essential immunology. Alih bahasa Harahap A,. Kurni
awan L, Djauzi SL, Kresno SB, Dachlan YP. Ed ke-8.Cetakan I. Jakarta.
Widya Medika.
Rowe J, Macaubas C, Monger TM, Holt BJ, Harvey J, Poolman JT, Sly PD, Holt
PG. 2000. Antigenic -specific responses to diphtheria -tetanus-acellular
pertussis vaccine in human infants are initially Th2 polarized. Infec And
Immun 68(7): 3873-3877.
Sasse M, Krüger M, Schade R, Hlinak A. 1998. Generation and characterrization
of avian vitelline antibodies against lipopolysaccharide and lipid A. 1.
Induction and preparation of specific egg yolk antibodies (IgY) against
endotoxins. Berl Munch Tierarztl Wochenschr 111 : 121-126.
Rummel A, Bade S, Alves J, Bigalke H, Binz T. 2003. Two carbohydrate binding
sites in the Hcc-domain of tetanus neurotoxin are required for toxicity. J
Mol Biol 326: 835-847.
95
Schade R, Staak C, Hendriksen C, Erhard M, Hugl H, Koch G, Larsson A,
Pollmann W, Rogenmortel M van, Rijke E, Spielmann H, Steinbusch H,
Straughan D.1996. The Production of avian (egg yolk) antibodies : Ig Y.
Alternatives to Laboratorium Animal 24 : 925 – 934.
Schade R, Hlinak A. 1996. Egg yolk antibodies, state of the art and future
prospects. ALTEX 13(5):5-9.
Schatz D, Ellis T, Ottendorfer E, Jodoi E, Barrett D, Atkinson M. 1998. Aging
and the immune respon to tetanus toxoid : diminished frequency and level
of cellular immune reactivity to antig enic stimulation. Clin and Diag Lab
Immun 5 (6):894-896.
Schroder JP, and Kuhlmann WD. 1991. Detection of tetanus antitoxin using Eu3+labeled anti-human immunoglobulin G monoclonal antibodies in a timeresolved fluorescence immunoassay. J of Clin Microbiol 29(1): 15041507.
Schmidt P, Hafner A, Reubel GH, Wanke R, Franke V, Losch U, Dahme E. 1989.
Production of antibodies to canine distemper virus in chickens eggs for
immunochemistry. J. Vet. Med. B 36:661-668.
Sesardic DM, Wong Y, Das GRE, Corbel MJ. 1993. The first international
standard for antitetanus immunoglobulin, human; pharmaceutical
evaluation nd international collaborative study. Biologicals 21(1):67-75.
Sharma JM. 1997. Biochemical characterization of mammalian translation
initiation factor 3 (eIF3). The structure and function of the avian immune
system. Acta Vet Hung 45 : 229-238.
Shimizu M, Fitzsimmons RC, and Nakai S. 1988. Anti-E. coli immunoglobulin
Y isolated from egg yolk of immunized chicken as a potential food
ingredient. J Food Sci 53(5):1360-1366.
Shimizu M, Nagashima H, Sano K, Hashimoto K, Ozeki M, Tsuda K, Hatta H.
1992. Molecular stability of chicken and rabbit immunoglobulin
G. Biosci Biotechnol Biochem 56, 270–274
Shin JH, Yang M, Nam SW, Kim JT, Myung NH, Bang WB, R oe IH. 2002. Use
of egg yolk-derived immunoglobulin as an alternative to
antibiotic treatment for control of Helicobacter Pylori infection. Clin
Diagn Lab Immunol. 9(5):1061-1066.
Shin JH, Roe IH, Kim HG. 2004. Production of anti- Helicobacter pylori ureasespecific immunoglobulin in egg yolk using an antigenic epitope of H.
pylori urease. J Med Microbiol 53 : 31-34.
Siegmund O H. 1979. The merck veterinary manual. a handbook of diagnosis and
therapy for the veterinarian. Ed ke-7. USA.Merck &Co.
Soeharsono. 5 Pebruari 2005. Tetanus serang manusia dan hewan. mewaspadai
korban-korban pascatsunami. Kompas : 50 (kolom 1- 5).
Song CS, Yu JH, Bai DH, Hester PY, and Kim KH.1985. Antibodies to the α sudunit of insulin receptor from eggs of immunized hens. The J of
Immunology 135(95):3354-3359.
Sriram V, Jebaraj CE, Yogeeswaran G. 1999. Chicken egg yolk anti-asialo GM1
immunoglobulin (IgY): an inexpensive glycohistochemical probe for
localization of T-antigen in human colorectal adenocarcinomas. Indian J
Exp Biol 37:639-649.
96
Suartha IN, Watiniasih NL, Fuentes A. 2002. Kesembuhan luka monyet ekor pan
jang di obyek wisata wanarawana Padang Tegal Ubud. J Vet 3(2) : 50-54.
Sugita-Konishi Y et al. 1996. Immune functions of immunoglobulin Y isolated
from egg yolk of hens immunized with various infectious bacteria. Biosci
Biotechnol Biochem 60 : 886-888 .
Sun S, Mo W, Ji Y, Liu S. 2001. Preparation and mass spectrometric study of edd
yolk antibody (IgY) against rabies virus. Rapid commun. Mass spedtrom.
15:708-712.
Sunwoo HH, Lee EN, Menninen K, Suresh MR , Sim JS. 2002. Growth inhibitory
effect of chickens eggs yolk antibody (IgY) on Escherichia coli O
157:H7. J.Food. Sci. 67(4): 1486-1494
Svendsen L, Crowley A, Ostergaard LH, Stodulski G, Hau J. 1995. De velopment
and comparison of purification strategies for chicken antibodies from egg
yolk. Lab Anim Sci 45:89–93.
Szabo CS, Bardos L, Losonczy S, Karchesz K. 1998. Isolation of antibodies from
chicken and quail eggs.
http://www.mcmaster.ca/inabis98/immunology/szabo0509/index.html.
(23 Juni 2003)
Suripto. 1998. Fisiologi Hewan. Penerbit ITB Bandung.
Tizard IR. 1988. Pengantar imunologi veteriner. Edisi kedua. Partodiredjo M.
Penerjemah. Surabaya. Penerbit Universitas Airlangga.
Todar K. 2002. Mechanisms of bacterial pathogenicity : Protein toxins.
http://www.textbookofbacteriology.net/ (6 Maret 2004).
Tsen YC et al. 2003. Evaluation and validation of a duck IgY antibody-based
immunoassay for high-sensitivity c-reactive protein: avian antibody
application in clinical diagnostics. Clinical Chemistry 49: 810-813.
Vandelaer J, Birmingham M, Gasse F, Kurrian M, Shaw C, Garnier S. 2003.
Tetanus in developing countries : an update on the maternal and neonatal
tetanus elimunation initiative. Vaccine 21(4):3442-3445.
Warr GW, Higgins DA. 1995. Duck Immunoglobulins : Structure, functions and
melecular genetics. Avian Pathol 22 : 211- 236.
Wibawan IWT, Pasaribu FH, Utama IH, Laemmler C. 1999. The role of
hyaluronic acid capsular material of Streptoccocus equi subsp.
zooepidemicus in mediating adherence to HeLa cells and resist
phagocytosis. Res Vet Sci. 67:131-135.
Wibawan IWT, Djannatun T, dan Halimah LS. 2003. Pengujian teknik koaglutina
si tidak langsung untuk deteksi penyakit unggas. Hibah Bersaing XI 2003
– 2004
Whitaker JR. 1994. Principles of enzymology for the food sciences. 2nd ed. p. 499503. Food Science and Technology. New York. Mercel Dekker.
Williamson LC, Bateman KE, Clifford JCM, Neale EA. 1999. Neuronal
sensitivity to tetanus toxin requires gangliosides. J Biol Chem 274:2517325180.
Wilson K, and Walker J, Editor. 2000. Principles and techniques of practical
biochemistry. Ed ke-7. United Kingdom. Cambridge University.
Yang J, Jin Z, Yu Q, Yang T, Wang H, Liu L. 1997. The selective recognition of
antibody IgY for digestive system cancers. Chin J Biotechnol 13 : 85-90.
97
Yokohama H, Peralta RC, Horikoshi T, Hiraoka J, Ikemori Y, Kuroki M,
Kodama Y. 1993. A Two-step procedure for purification of hen egg yolk
immunoglobulin g: utilization of hydroxypropylmethylcellulose phthalate
and synthetic affinity ligand gel (Avil AL® ). Poultry Sci 72: 275-281.
Yokohama H, Peralta RC, Umeda K, Hashi T, Icalto FC, Kuroki M. 1998.
Prevention of fatal salmonellosis in neonatal calves, using orally
administered chicken egg yolk salmonella -spesific antibodies. Am J Vet
Res 59 (4) :416 – 420.
Yowler BC, Kensinger RD, Schengrund CL. 2002. Botulinum neurotoxin a
activity is dependent upon the presence of spesific gangliosides in
neuroblastoma cells expressing synaptotagmin I. J Biol Chem 277 (36):
32815-32819.
Zhang WW. 2003. The use of gene spesifik IgY antibodie s for drug target
discovery. DDT Vol 8. Elseiver Science Ltd.
Download