TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Escherichia coli
Genus Escherichia dinamai demikian sebagai bentuk penghormatan bagi
Theordor Escherich, seorang dokter anak yang pertama kali mengisolasi spesies
Escherichia coli. Terdapat lima spesies pada genus Escherichia namun
Escherichia coli yang paling patogen (ditunjukkan pada Gambar 1). Menurut
Todar (2008), klasifikasi Escherichia coli adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Bacteria
Filum
: Proteobacteria
Kelas
: Gamma Proteobacteria
Ordo
: Enterobacteriales
Famili
: Enterobacteriaceae
Genus
: Escherichia
Species
: Escherichia coli
Gambar 1 Escherichia coli (www.textbookofbacteriology.net)
Eschericia coli (E. coli) adalah bakteri batang gram negatif fermentatif
dengan panjang 0,4–0,7 µm, lebar 1–3 µm, dan dapat berupa satu individu
maupun berpasangan (Gyles et al. 2010; Songer dan Post 2005). Bakteri ini dapat
tumbuh dengan baik pada media bakteri sederhana, seperti agar MacConkey, dan
membentuk koloni besar berwarna merah. Selain itu, dapat pula diidentifikasi
dengan reaksi positif pada uji indol, reaksi negatif pada uji produksi urease, dan
hidrogen sulfida (Gyles et.al. 2010). E. coli dapat dengan mudah ditumbuhkan
dari spesimen klinis ke media umum atau selektif pada suhu 37°C, dalam kondisi
anaerob (Nataro dan Kaper 1998).
5
Menurut Songer dan Post (2005), habitat E. coli pada sebagian besar
vertebrata adalah ileum bawah dan usus besar. Berkolonisasi pada saluran
pencernaan neonatal dalam waktu satu jam pasca lahir. E.coli merupakan flora
fakultatif utama di dalam usus. Pada umumnya, E. coli menetap secara normal di
lumen usus inang tetapi apabila inang dalam keadaan lemah (immunosupresi) atau
saat sistem pelindung gastrointestinal terganggu maka bakteri normal „non
patogenik‟ tersebut dapat menyebabkan infeksi (Nataro dan Kaper 1998).
Berbeda strain (tipe) akan berbeda pula bentuk penyakitnya. Maka dari itu
sangat penting membedakan antara strain yang patogenik dan nonpatogenik.
Secara serologis, penggolongan E. coli dibedakan berdasarkan antigen permukaan
yaitu antigen O pada lipopolisakarida dan antigen H pada flagella. Antigen O
digunakan untuk menentukan serogrup sedangkan antigen H untuk menentukan
serotipe. Terdapat setidaknya 170 macam antigen O yang saat ini diakui (Nataro
dan Kaper 1998). Selain itu antigen kapsular (K) juga dapat digunakan dalam
penggolongan (Songer dan Post 2005). Keberadaan antigen K ditentukan dengan
uji aglutinasi bakteri bahwa suatu strain E. coli tidak dapat teraglutinasi dengan
antiserum O tetapi teraglutinasi apabila kultur tersebut dipanaskan (Nataro dan
Kaper 1998).
Infeksi E. coli patogenik dapat hanya terjadi pada permukaan mukosa usus
atau dapat pula menyebar ke seluruh tubuh. Tiga gejala umum yang terjadi apabila
terinfeksi E. coli patogen yaitu (1) infeksi saluran urinari, (2) sepsis/ meningitis,
dan (3) diare/ enteritis (Nataro dan Kaper 1998). E. coli patogen merupakan
penyebab diare terbanyak di Jawa Barat (Pudjarwoto et al. 1991). Menurut Nataro
dan Kaper (1998), terdapat enam tipe E. coli yang menyebabkan penyakit diare
yaitu enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC),
enterohemorrhagic E. coli (EHEC), enterophatogenic E. coli (EPEC),
enteroaggregative E. coli (EAEC), dan diffusely adherent E. coli (DEAC). Bakteri
EPEC menyebabkan diare berair hingga berdarah (Todar 2008). EPEC merupakan
penyebab diare akut dan kronis pada anak-anak di negara berkembang (Jerse et al.
1990).
Ciri khas infeksi EPEC adalah pada gambaran histopatologi attachingand-effacing (A/E); melekat dan menghilangkan, yang dapat diamati melalui
6
biopsi (Gambar 2). Hal ini ditandai dengan penghilangan mikrovili dan
menunjukkan perlekatan antara bakteri dan membran sel epitel (Nataro dan Kaper
1998). Proses infeksi dimulai dengan EPEC yang tertelan menempel dengan
bebas pada sel epitel usus kemungkinan dengan melalui adhesin spesifik seperti
AF/R1, AF/R2, dan Ral pada kelinci serta Bfp pada anjing. Sinyal kemudian
dikirim dari bakteri menuju sel epitel, kemungkinan melalui TTSS dan protein
yang disekresikan. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah kalsium
intraseluler, fosforilasi dari protein tertentu sel epitel, aktivasi kinase dan aktivitas
pengikatan reseptor Tir (Gyles et al. 2010).
Gambar 2 Perlekatan EPEC (panah) pada membran enterosit dengan kerusakan
pada sitoskeleton apikal (Nataro dan Kaper 1998)
Salmonella enterica serovar Enteritidis
Genus Salmonella dinamai demikian setelah ditemukan oleh Daniel Elmer
Salmon, seorang dokter hewan ahli patologi (Anonim 2010). Genus ini memiliki
hampir 2500 serovar, yang dibedakan berdasarkan skema Kauffman-White yaitu
menentukan dengan berdasarkan pada antigen H (flagella) dan antigen O
(somatik). Antigen O bersifat stabil dalam panas dan tahan terhadap alkohol
sedangkan antigen H merupakan protein yang tidak stabil dalam panas (Todar
2008). Namun demikian, elektroforesis enzim multilokus dan analisis hibridisasi
DNA-DNA mengungkapkan bahwa genus ini dapat dibagi menjadi dua spesies
yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica dibagi
kembali menjadi enam subspesies yaitu salamae, arizonae, diarizonae, houtenae,
indica, dan enterica (Songer dan Post 2005).
7
Menurut Todar (2008), klasifikasi Salmonella Enteritidis adalah sebagai
berikut:
Kingdom
: Bacteria
Filum
: Proteobacteria
Kelas
: Gamma Proteobacteria
Ordo
: Enterobacteriales
Famili
: Enterobacteriaceae
Genus
: Salmonella
Species
: Salmonella enterica
Subspesies
: enterica serovar Enteritidis
(Salmonella Enteritidis)
Gambar 3 Salmonella sp. (www.wikipedia.com)
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif fakultatif yang hidup
normal pada usus baik hewan berdarah panas ataupun berdarah dingin (Todar
2008). Gambar 3 menunjukkan morfologi dari Salmonella sp. (warna merah).
Genus Salmonella yang sering menyerang saluran cerna pada manusia yaitu
Salmonella enterica. Sedikitnya terdapat 2500 serotipe (serovar) pada Salmonella
enterica (Callaway et al. 2008). Beberapa serovar utama yang sering ditemukan
sebagai sumber penyakit antara lain Typhimurium, Enteritidis, dan Typhi.
Adaptasi terhadap inang merupakan ciri epidemiologik yang penting pada
beberapa infeksi akibat Salmonella namun S. Enteritidis tidak termasuk dalam
kelompok tersebut. Ditemukan bahwa S. Enteritidis tidak „memilih‟ inang karena
sering ditemukan pada banyak vertebrata dengan atau tanpa penyakit klinis
(Songer dan Post 2005). Kerentanan seseorang terhadap S. Enteritidis tergantung
8
pada beberapa faktor seperti jumlah bakteri yang masuk, jenis makanan, dan usia
inang serta status imunitas individu. Dosis S. Enteritidis yang dapat menyebabkan
simptom yaitu 105. Pada makanan tinggi lemak seperti kuning telur, keju, dan
coklat, kemungkinan jumlah yang dibutuhkan untuk menginfeksi lebih kecil
karena dapat menyebabkan S.Enteritidis bertahan terhadap lingkungan asam pada
lambung sebelum melalui usus dan berpenetrasi pada mukosa usus (Saeed 1999).
Salmonella pada umumnya masuk melalui mulut menuju usus halus
kemudian melekat dan menyerang fimbrae enterosit. Protein membran luar bakteri
berperan dalam
invasi tersebut. Masuknya Salmonella pada infeksi sistemik
terjadi tanpa adanya kerusakan mukosa tetapi pada enteritis terjadi kerusakan
lokal tanpa sepsis (Soner dan Post 2005). Salmonellosis merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella dan menunjukkan gejala seperti demam, sakit
kepala, muntah-muntah, dan diare (WHO 2007). Salmonellosis adalah penyakit
asal makanan (foodborne illness) utama di sebagian besar negara. Diestimasikan
1,3 juta manusia terkena foodborne illness dan lebih 500 jiwa meninggal akibat
Salmonella setiap tahunnya di Amerika Serikat (Callaway et al. 2008). Selama 20
tahun terakhir, Salmonella enterica serovar Enteritidis merupakan penyebab
utama keracunan makanan di Amerika Serikat (Anonim 1999). Salmonella
Enteritidis sering ditemukan pada produk asal hewan terutama produk unggas,
yaitu telur dan daging (WHO 2002).
Masa inkubasi S. Enteritidis bervariasi mulai dari beberapa jam hingga 72
jam dan durasi kesakitan bervariasi mulai dari 4-10 hari. Simptom yang biasa
terjadi adalah diare dimulai dari 12 jam hingga seminggu setelah mengkonsumsi
makanan yang terkontaminasi, sakit kepala, sakit pada abdomen, nausea, meriang,
demam dan muntah. Kerusakan pada membran mukus pada usus halus dan kolon
akan menyebabkan malabsorpsi dan kekurangan nutrisi. Selain itu, pada beberapa
penderita, dapat mengalami dehidrasi berat, diare berdarah, dan penyebaran S.
Enteritidis menuju tulang, meningen pada anak-anak (Anonim 2005; Saeed 1999).
Flu Burung
Flu burung atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit unggas menular
yang disebabkan oleh virus dari keluarga Orthomyxoviridae. Virus AI dibagi
9
menjadi lima genera yaitu Influenza tipe A, B, C, Isavirus, dan Thogotovirus
(Swayne 2008). Virus AI yang saat ini ramai dibicarakan adalah virus AI tipe A
H5N1. Asam nukleat virus ini beruntai tunggal, terdiri dari 8 segmen gen yang
mengkode sekitar 11 jenis protein. Virus influenza mempunyai selubung/simpai
yang terdiri dari kompleks protein dan karbohidrat. Virus ini mempunyai tonjolan
(spikes) yang digunakan untuk menempel pada reseptor yang spesifik pada sel-sel
hospesnya pada saat menginfeksi sel. Terdapat 2 jenis spikes yaitu mengandung
hemaglutinin (HA) dan mengandung neuraminidase (NA) yang terletak dibagian
terluar dari virion. Virus influenza mempunyai 4 jenis antigen yang terdiri dari
protein nukleokapsid (NP), Hemaglutinin (HA), Neuraminidase (NA), dan protein
matriks (MP) (Horimoto dan Kawaoka 2001). Virus AI memiliki berbagai subtipe
yang dibedakan menurut antigen hemagglutinin (HA) dan neuraminidase (NA)
yang menyelubungi permukaan virus (CDC 2007). Enam belas antigen
hemagglutinin yang berbeda (H1-H16) dan sembilan neuraminidase telah dikenali
dan masing-masing subtipe virus diidentifikasi melalui kombinasi antigen tertentu
yang dimiliki (misalnya H5N1 atau H3N2) (FAO 2008). Menurut Soejoedono
(2005), dengan variasi antigen H dan N tersebut dapat menghasilkan 135
kemungkinan subtipe virus yang muncul, diantaranya H1N1, H1N2, H3N3,
H5N1, H7N7, dan H5N9.
Infeksi virus AI diawali dengan perlekatan antigen HA dari virus pada
asam sialat reseptor sel inang. Asam sialat adalah tempat umum bagi terminal
gula-gula yang memiliki rantai glikoprotein N- dan O- yang dapat dibuat dari
turunan asam neuramin. Setelah virus melekat, virus berendositosis dan ketika
endosom menjadi asam, hal tersebut menggertak penyatuan domain protein HA
aktif serta RNA virus dilepaskan ke dalam sitoplasma (Suarez 2008).
Pada awalnya H5N1 hanya menyerang unggas dan berdasarkan
patogenitasnya dibedakan menjadi dua bentuk yaitu Highly Pathogenic Avian
Influenza (HPAI) dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) (pustakadeptan.go.id; Wibawan et al. 2009). Virus HPAI dapat menyebabkan penyakit
sistemik berat pada ayam dan kalkun dengan kematian 100%, sedangkan virus
LPAI menyebabkan infeksi lokal yang ringan pada saluran pernapasan dan
saluran pencernaan. Semua virus HPAI bersubtipe H5 dan H7 sedangkan LPAI
10
dapat bersubtipe H1 hingga H16. Meskipun demikian, virus LPAI subtipe H5 dan
H7 dapat bermutasi menjadi HPAI sehingga LPAI H5 dan H7 serta HPAI
ditetapkan sebagai kasus penyakit yang harus dilaporkan (notifiable disease) oleh
OIE (Suarez 2008).
Imunoglobulin Y
Antibodi merupakan substansi khusus yang dibentuk oleh tubuh sebagai
respon terhadap stimulasi antigenik (Michael 1988). Antibodi adalah molekul
protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai akibat interaksi antara limfosit B
peka antigen dan antigen khusus (Tizard 1988). Semua molekul antibodi termasuk
ke dalam kelas khusus protein serum yang disebut globulin, meskipun tidak
semua globulin serum merupakan antibodi. Jadi, antibodi juga disebut
imunoglobulin (Michael 1988). Antibodi yang dibentuk akibat reaksi terhadap
suatu antigen akan berbeda susunan asam aminonya dengan antibodi terhadap
antigen yang lain. Hal ini disebut sebagai spesivitas antibodi (Wibawan et al.
2003). Satu unit struktur antibodi adalah glikoprotein yang terdiri dari empat
rantai polipeptida. Semua antibodi memiliki struktur yang sama yaitu dua rantai
pendek (VL) dan dua rantai panjang (VH). kedua bentuk tersebut dihubungkan
dengan bentuk kovalen (disulfida) (Darmono tanpa tahun).
Imunoglobulin utama yang terdapat pada kuning telur ayam adalah
Imunoglobulin Y (IgY) (Gambar 4). IgY memiliki beberapa sifat unik namun
memiliki fungsi yang sama dengan IgG pada mamalia. IgG mamalia
pengendapannya 7S dan berat molekulnya 180.000 dalton sedangkan pada ayam
pengedapannya 8S dan berat molekulnya 200.000 dalton (Tizard 1988). IgY lebih
berperan sebagai sistemik antibodi daripada sekretori antibodi, namun IgY dapat
ditemukan dalam saluran pencernaan duodenum, trachea, dan seminal plasma.
Mekanisme transfer IgY dari serum ke dalam kuning telur berlangsung seperti
proses transfer antibodi lintas plasenta pada mamalia. IgY yang telah diproduksi
oleh limfosit B akan mengalir dalam pembuluh darah ke seluruh bagian tubuh
termasuk ke dalam ovarium. IgY didepositkan melalui jaringan arteri kecil
ovarium-oosit ke dalam kuning telur sebagai bahan perlindungan bagi embrio
yang akan berkembang (Carlander 2002).
11
Seperti protein pada umumnya, IgY juga mudah terdenaturasi. Menurut
Soejoedono (2005), IgY pada kuning telur ayam hanya mampu bertahan pada
suhu pemanasan dibawah 68,9°C. IgY dilaporkan mampu bertahan terhadap
pemanasan 65°C selama 30 menit tetapi tidak tahan terhadap pemanasan 75°C
selama 30 menit (Wibawan et al. 2009). IgY tahan terhadap pH diatas 4 namun
pada pH 2 dengan suhu 37°C, aktivitas IgY akan menurun dengan cepat
(Carlander 2002).
IgY banyak dimanfaatkan sebagai imunisasi pasif untuk melawan penyakit
berasal dari bakteri, virus, maupun antigen lainnya. Amaral et al. (2002)
menyatakan bahwa IgY mampu menjadi imunisasi pasif terhadap EPEC pada
ayam. IgY juga terbukti mampu menghambat perkembangan E. coli patogen dan
Staphylococcus aureus penyebab mastitis pada sapi perah (Zhen et al. 2007; Zhen
et al. 2008), koksidiosis pada ayam (Lee et al. 2009), dan virus White Spot
Syndrome (WSS) pada udang (Lu et al. 2008). Selain itu, IgY dapat digunakan
sebagai sumber antibodi alternatif dalam diagnosa penyakit IBD (Malmarugan et
al. 2005).
Gambar 4 Imunoglobulin Y (www.wikipedia.com)
Telur Asin
Umumnya telur akan mengalami kerusakan setelah disimpan lebih dari
dua minggu (Ginting 2007). Faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan telur
diantaranya adalah suhu, kelembaban dan mikroorganisme. Kerusakan telur
selama penyimpanan biasanya ditandai dengan membesarnya kantong udara,
12
pengenceran putih telur dan lemahnya selaput kuning telur sehingga kuning telur
memipih dan pecah yang mengakibatkan kuning telur menjadi bercampur dengan
putih telur (Winarti dan Triyantini 2005). Oleh sebab itu, perlu dilakukan usaha
pengawetan telur. Selain untuk memperpanjang daya simpan, tujuan pengawetan
telur antara lain memperoleh hasil olahan sesuai keinginan, meningkatkan kualitas
dan nilai jual, serta pemenuhan kebutuhan pasar (Hariadi 2010). Secara prinsip
pengawetan telur adalah mencegah masuknya bakteri pembusuk ke dalam telur
dan mencegah keluarnya air dari dalam telur.
Pengawetan telur dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya
melapisi kulit telur dengan pembungkus kering (dry packing), perendaman
(immersion liquid), penutupan kulit telur dengan bahan pengawet (shell sealing),
dan penyimpanan pada ruangan dingin (cool store). Telur asin adalah salah satu
bentuk pengawetan immersion liquid. Telur asin adalah telur utuh yang diawetkan
dengan adonan yang dibubuhi garam (Depristek 2000). Terdapat tiga cara
pembuatan telur asin yaitu: (1) telur asin dengan adonan garam berbentuk padat
atau kering, (2) telur asin dengan adonan garam ditambah ekstrak daun teh, (3)
telur asin dengan adonan garam dan kemudian direndam dalam ekstrak atau cairan
teh.
Berat pada telur yang diasinkan akan meningkat karena terjadi penetrasi
garam ke dalam telur. Proporsi putih telur semakin meningkat sedangkan proporsi
kuning telur semakin menurun apabila semakin lama waktu pengasinan. Selain
itu, pada albumin, semakin lama waktu pengasinan maka komposisi protein
semakin menurun. Sebaliknya, pada kuning telur, komposisi protein dan lemak
semakin meningkat. Komposisi abu meningkat dan kelembaban menurun pada
albumin dan kuning telur (Kaewmanee et al. 2008).
Agar Gel Precipitation Test
Agar Gel Precipitation Test (AGPT) merupakan salah satu teknik
immunodifusi yang bertujuan untuk menganalisis secara kualitatif dan kuantitatif
keberadaan antibodi. Antigen yang diletakan disumur bagian tengah akan
berdifusi ke sekitarnya, begitu juga dengan antibodi yang diletakkan di sumur
sekelilingnya Antibodi yang digunakan akan berdifusi melalui gel agar menuju
13
antigen. Jika homolog maka akan terbentuk garis presipitasi pada daerah gel agar
antara antigen-antibodi (Wibawan et al. 2009).
Perbandingan konsentrasi antigen dan antibodi adalah faktor terpenting
dalam reaksi presiptasi. Dalam campuran yang rasio antara antigen dan antibodi
seimbang, akan terbentuk ikatan silang yang ekstensif dan terjadi pembentukan
kisi-kisi. Kisi-kisi ini berkembang menjadi besar, tidak larut dan akhirnya
mengendap. Ikatan kompleks antigen-antibodi yang mengendap dan terlihat
sebagai garis berwarna putih ini disebut garis presipitasi (Tizard 1988). Wibawan
et al. (2009) menyatakan bahwa reaksi presipitasi terjadi apabila titer IgY di atas
27.
Hemagglutination Inhibition Test
Secara bahasa hemagglutination inhibition dapat diartikan sebagai
hambatan hemaglutinasi. Uji ini yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi
virus-virus yang dapat mengaglutinasi sel darah merah (Siregar et al. 2006). Virus
yang dapat mengaglutinasi sel darah merah misalnya ortho- dan paramyxovirus;
alfa-, flavi-, dan bunyavirus; serta adeno-, reo-, parvo-, dan coronavirus (Tizard
1982). Penghambatan aglutinasi sel darah merah oleh virus dilakukan dengan cara
virus diikat oleh antibodi yang homolog sehingga tidak dapat melekat pada
reseptor membran sel darah merah dan aglutinasi sel darah merah tidak terjadi
(Siregar et al. 2006).
Prinsip kerja dari HI test ialah mereaksikan antigen dan antibodi dengan
pengenceran tertentu sehingga dapat diketahui tingkat pengenceran antibodi yang
dapat menghambat terjadinya aglutinasi eritrosit. Kemampuan suatu mikroba
mengaglutinasi darah bersifat antigenik sehingga dapat menggertak antibodi
spesifik. Antibodi tersebut memiliki kemampuan menghambat terjadinya
aglutinasi darah yang disebabkan oleh hemaglutinin dari mikroba (Anonim 2008).
Uji HI dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode alpha (α) dan
metode beta (β). Metode alpha digunakan untuk mengidentifikasi jenis antigen,
dalam metode ini antigen diencerkan secara seri sementara antibodi tidak
diencerkan.
Metode
beta
digunakan
untuk
menguji
serta
untuk
mengidentifikasikan antibodi, menghitung titer antibodinya, dan menguji jenis
14
antigen. Pada metode ini yang diencerkan secara seri adalah antibodi. Metode ini
harus melakukan uji Hemaglutinasi (HA) terlebih dahulu untuk membuat virus
standar. Uji HI dapat dilakukan secara makro dan mikro titrasi tergantung volume
reagen-reagen yang digunakan. Pada uji HI mikro titrasi hanya menggunakan
masing-masing reagen sebanyak 25–50 µl (ditunjukkan pada Gambar 5). Virus
standar yang digunakan adalah 4 HAU (Hemagglutination Unit)/ 50 µl (Siregar et
al. 2006).
Gambar 5 Hasil HI Test
(A: tidak terjadi aglutinasi, B: terjadi aglutinasi) (http:/info.medion.co.id)
Download