KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA MALAPRAKTIK KEDOKTERAN CRIMINAL LAW POLICY IN THE SETTLEMENT OF A CRIME OF MEDICAL MALPRACTICE Muhammad Amir Rahim1,Aswanto2,Said Karim2 1 Puskesmas Samaenre, Sinjai 2 Program StudiIlmu Hukum,Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Alamat Korespondensi: Muhammad Amir Rahim Puskesmas Samaenre, Kecamatan Sinjai Selatan Kabupaten Sinjai Hp:085242525597 Email:[email protected] ABSTRAK Tindakan malapraktik sangat merugikan pasien,dimana dapat terjadi kecacatan atau kematian.Karena itu pasien sangat membutuhkan perlindungan dari tindakan malapraktik.Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai kebijakan hukum pidana dalam rangka penanganan tindak pidana malapraktik kedokteran khususnya di dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pasien korban malapraktik kedokteran.Dalam penyusunan tesis ini menggunakan metode pendekatan yuridis normative. Diperoleh hasil bahwa Rancangan KUHP masih sebagian kecil memuat tindak pidana mengenai kejahatan di bidang kesehatan,dan kejahatan profesi.Pengaturan di dalam hukum positif saat ini yang berkaitan dengan malapraktik kedokteran adalah kejahatan terhadap pemalsuan surat keterangan sehat yang dilakukan dokter ( didalam KUHP ). Disimpulkan bahwa sanksi terhadap korporasi diatur di dalam Pasal 80 Undang - Undang Praktik Kedokteran.Dalam hukum positif Indonesia baik KUHP, Undang – undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan , Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasca putusan Mahkamah konstitusi belum diatur secara khusus tentang malapraktik kedokteran. Kata Kunci : Kebijakan,Pidana,Malapraktik ABSTRACT Malpractice action is very detrimental to the patient which may occur disability or death.Therefore patients desperately need protection from malpractice action.The medical profession is one profession that is full of risk, sometimes in treating patients or patients can cause injury or disability and even death as a result of the doctor's actions. It is necessary for policy formulation research on criminal law in order to control crime especially in medical malpractice in providing legal protection for patients victims of medical malpractice. In the preparation of this thesis using normative juridical approach. The results obtained indicate that the draft Penal Code still contains a small portion of the criminal offenses in the field of health, and crime profession. Factual practice in the field of health care and pharmaceutical crime in the last period sticking as practices that are very harmful to society. Settings in the current positive law pertaining to medical malpractice is a crime against counterfeiting bill of health by physicians (in the Criminal Code). Concluded that sanctions against the corporation provided for in Article 80 of Law - Medical Practice. In the Indonesian positive law either Penal Code, Law No. 36 Year 2009 on health, Law No. 29 of 2004 on Medical Practice Law after the Constitutional Court ruling not specifically regulated or not known the term Malpractice medic. Keywords: Policy, Criminal, Malpractice PENDAHULUAN Perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia di bidang kesehatan terlihat jelas masih sangat kurang. Satu demi satu terdapat beberapa contoh kasus yang terjadi terhadap seorang pasien yang tidak mendapatkan pelayanan semestinya, yang terburuk, dan kadangkadang akan berakhir dengan kematian. Berlakunya Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,memberi peluang bagi pengguna jasa atau pasien untuk mengajukan gugatan/tuntutan hukum terhadap pelaku usaha apabila terjadi konflik antara pelanggan dengan pelaku usaha yang dianggap telah melanggar hak-haknya, terlambat melakukan / tidak melakukan / terlambat melakukan sesuatu yang menimbulkan kerugian bagi pengguna jasa/barang, baik kerugian harta benda atau cedera atau bisa jugakematian. Hal Ini memberikan arti bahwa pasien selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan dapat menuntut/menggugat rumah sakit, dokter atau tenaga kesehatan lainnya jika terjadi konflik. Pada era global dewasa ini, tenaga medik merupakan salah satu profesi yang mendapatkan sorotan masyarakat, karena sifat pengabdiannya kepada masyarakat sangat kompleks.Akhir-akhir ini, masyarakat banyak yang menyoroti kinerja tenaga medik, baik sorotan yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai induk organisasi para dokter, maupun yang disiarkan melalui media cetak maupun media elektronik. Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan upaya medik (yang terbaik sekali pun) menjadi tidak berarti apa-apa.Oleh sebab itu tidaklah salah jika kemudian dikatakan bahwa hasil suatu upaya medik penuh dengan ketidakpastian(uncertainty) dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik (Sutrisno, 1991). Sampai sekarang, hukum kedokteran di Indonesia belum dapat dirumuskan secara mandiri sehingga batasan – batasan mengenai malapraktik belum bisa dirumuskan, sehingga isi pengertian dan batasan – batasan malapraktik kedokteran belum seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya (Crisdiono,2004).UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga tidak memuat tentang ketentuan malapraktik kedokteran.Pasal 66 ayat(1) mengandung kalimat yang mengarah pada kesalahan praktik dokter yaitu“Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia” Norma ini hanya memberi dasar hukum untuk melaporkan dokter ke organisasi profesinya apabila terdapat indikasi tindakan dokter yang membawa kerugian, bukan pula sebagai dasar untuk menuntut ganti rugi atas tindakan dokter. Pasal itu hanya mempunyai arti dari sudut hukum administrasi praktik kedokteran.Pasal 29 Undang Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 hanya menyinggung tentang kelalaian yang berbunyi “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya,kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.”Selanjutnya Pasal 58 ayat (1) undang-undang yang sama berbunyi “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang,tenaga kesehatan,dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.”Sampai saat ini belum ada Pasal dalam Undang-Undang Kesehatan,UndangUndang Praktik Kedokteran maupun KUHP yang secara eksplisit menyebut kata malapraktik demikian pula dalam penjelasannya. Penegakan hukum yang proporsional terhadap tindakan dokter yang melakukan tindakan malapraktik medik selain memberi perlindungan hukum bagi masyarakat sebagai konsumen dan biasanya mempunyai kedudukan yang lemah, dilain pihak juga bagi dokter yang tersangkut dengan persoalan hukum jika memang telah melalui proses peradilan dan terbukti tidak melakukan perbuatan malapraktik akan dapat mengembalikan nama baiknya yang dianggap telah tercemar, karena hubungan dokter dan pasien bukanlah hubungan yang sifatnya kerja biasa atau atasan bawahan tapi sifatnya kepercayaan dan kerahasiaan. .Masyarakat yang dirugikan atas adanya malapraktik kedokteran membutuhkan perlindungan hukum yang telah mengakibatkan kerugian atau penderitaan lebih lanjut pada pasien, Untuk menciptakan suatu bentuk kepastian hukum dan menjamin pelayanan upaya kesehatan dan untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut selain KUHP pemerintah telah mengeluarkan undang – undang di bidang kesehatan dan undang – undang praktik dokter, yaitu Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1992 Jo Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Dokter.Bagi masyarakat terutama para korban pertanyaan yang menjadi perhatian adalah mengapa begitu sulit membawa kasus malapraktik “dari meja operasi ke meja hijau”. Apakah perangkat hukum dan peraturan perundangan yang ada tidak cukup untuk membawa persoalan malapraktik medik ke ranah hukum terutama hukum pidana, untuk itu perlu dikaji kembali mengenai kebijakan yang ada saat ini (undang-undang yang berkaitan dengan malapraktik kedokteran) dan kebijakan yang akan datang di dalam menangani tindak pidana malapraktik kedokteran.Tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana yang berlaku saat ini dalam menangani tindak pidana malapraktik kedokteran. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach).Namun karena sasaran utama dalam penelitian ini pada masalah kebijakan yaitu mengenai perundangundangan dalam menetapkan dan merumuskan tindak pidana malapraktik kedokteran , maka pendekatannya terutama ditempuh melalui pendekatan yuridis normatif atau penelitian kepustakaan yang bertumpu pada data sekunder. Spesifikasi penelitian dalam tesis ini adalah termasuk deskriptif analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundangan yang berlaku saat ini. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, maka jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder yang diteliti adalah Undang Undang Dasar 1945;Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang,hasil-hasil penelitian,hasil karya dari kalangan hukum,dan sebagainya. Bahan hukum tertier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,seperti kamus,ensiklopedia,indeks kumulatif,dan sebagainya. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitian ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen. Data atau sumber sekunder berupa Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang Undang Kesehatan dan Undang Undang Praktik Kedokteran.Sesuai dengan penggunaan data sekunder dalam penelitian ini, maka pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan, mengkaji dan mengolah secara sistematis bahan – bahan kepustakaan serta dokumen –dokumen yang berkaitan. Data,asas – asas , konsepsi – konsepsi, pandangan – pandangan, doktrin –doktrin hukum serta isi kaidah hukum diperoleh melalui dua referensi utama yaitu : a) Bersifat umum, terdiri dari buku – buku , teks , ensiklopedia; b) Bersifat khusus terdiri dari laporan hasil penelitian, majalah maupun jurnal. Metode Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian dikumpulkan dan dilakukan analisis dengan jalan menafsirkan dan mengkonstruksikan pernyataan yang terdapat dalam dokumen dan perundang - undangan. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif dan mempertanyakan apakah hukum yang berlaku saat ini memang sudah seharusnya, sedangkan kualitatif berarti analisa data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas - asas dan informasi baru yang berhubungan dengan fokus penelitian. HASIL Kebijakan Hukum Pidana Saat ini Dalam Menangani Tindak Pidana Malapraktik Kedokteran Definisi malapraktik dari segi medik dan hukum Ada beberapa definisi yang berbeda dalam memberikan pengertian malapraktik.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, malapraktikdiartikan sebagai praktik kedokteran yang dilakukan salah atau tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik. Secara harfiah “mala” mempunyai arti “salah”atau “buruk” sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malapraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah atau buruk” (anonym, tanpa tahun). Definisi malapraktik masih beragam tergantung dari sudut pandang mana malapraktik itu dinilai apakah dari sudut pandang hukum ataukah dari segi medis sendiri.Ada kalanya tindakan seorang dokter dikategorikan malapraktik medik jika memberikan pelayanan di bawah, atau yang bertentangan dengan standar pelayanan medik yang berlaku, melakukan kelalaian berat sehingga membahayakan pasien, atau melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.Malapraktik juga menunjuk pada tindakantindakan secara sengaja dan melanggar undang-undang terkait, misalnya, UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Jenis Malapraktik Medik Pertama Malapraktik EtikYang dimaksud dengan malapraktik etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran.Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis,prinsip,aturan atau norma yang berlaku untuk dokter,antara lain di bidang diagnostic dan di bidang terapi. Kedua Malapraktik Yuridik (Malapraktikdibidang hukum) untukmalapraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni criminal malpractice, civil malpractice dan administrative malpractice (Dahlan, 2008). Administrative Malpractice(Malapraktik Administrasi) Dikatakan administrative malpractice jika dokter melanggar hukum tata usaha negara. Jenis – jenis lisensi mempunyai batas kewenangan sendiri – sendiri.Tidak dibenarkan melakukan tindakan medik melampaui batas kewenangan yang telah ditentukan. Jika ketentuan tersebut dilanggar, maka dokter dianggap melakukan administrative malpractice dan dapat dikenai sanksi administratif. Aspek Etik Malapraktik Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu.Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas.Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspektasi) profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat. Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemerintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku jugauntuk eksekutif lain dirumah sakit. Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu. Malapraktik meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Aspek Hukum Malapraktik Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan, yang kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu juga merupakan hak.Oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban). Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua malapraktik medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat ketiga untuk dapat menempatkan malapraktik medik dengan hukum pidana adalah syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsurtindak pidana (Chasawi, 2004).Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsur sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Maraknya dugaan kasus malapraktik di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di Indonesia.Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan dengan hukum.Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara tenaga medis dan pasien.Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan akibat suatu tindakan medis.Pasienpun enggan berkomunikasi dengan tenaga medis mengenai penyakitnya. Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malapraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malapraktik yang pernah dilaporkanmasyarakat.Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malapraktik medik yang diselesaikan di pengadilan.Apakah secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi.Di wilayah hukum Polda Metro Jaya sendiri disepakati bahwa pada setiap kasus malapraktik medik diajukan dua orang saksi ahli dibidang yang dibutuhkan,satu berasal dari organisasi profesi (MKEK) dan satu dari kalangan akademisi (dosen fakultas kedokteran). Kriteria dan Unsur Malapraktik Untuk menembus kesulitan dalam menilai dan membuktikan apakah suatu perbuatan itu termasuk kategori malapraktikatau tidak, biasanya dipakai 4 (empat) kriteria, antara lain :Apakah perawatan yang diberikan oleh dokter cukup layak (aduty of due care). Dalam hal ini standar perawatan yang diberikan oleh pelaksana kesehatan dinilai apakah sesuai dengan apa yang diharapkan, apakah terdapat pelanggaran kewajiban (the breach of the duty), apakah itu benar-benar merupakan penyebab cidera (causation), adanya ganti rugi (damages) (Maryanti,1988). Para dokter dianggap melakukan suatu kesalahan profesi (malapraktik) apabila dalam menjalankan profesinya tidak memenuhi Standar Profesi Kedokteran, hal ini disebut juga “kunstfout” (Ameln, 1991). Apabila ada dugaan malapraktikyang dilakukan oleh dokter maka kelima unsur dari standar ini harus dipakai untuk menguji apakah suatu perbuatan medik merupakan malapraktikatau tidak.Pasal 351 yang mengatur mengenai penganiayaan dapat dianalisa bahwa suatu kematian baru dapat digolongkan akibat penganiayaan apabila kematian itu tidak dikehendaki. Jika akibat tersebut dikehendaki, atau setidak – tidaknya dari wujud perbuatan disadari mungkin ( kesadaran sebagai kemungkinan ) dapat menimbulkan akibat kematian dan akibat tersebut benar – benar timbul, maka yang terjadi adalah pembunuhan.Kesengajaan sebagai kemungkinan tidak berlaku pada penganiayaan, tetapi berlaku pada pembunuhan (Projodikoro, 1980). Akan tetapi doktrin mengatakan lain yaitu bahwa kejadian ini tetap termasuk penganiayaan hanya saja sifat melawan hukum perbuatan menjadi hapus.Dewasa ini, para dokter dan petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis. Dari semua masalah yang ada itu.euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter dan tenaga kesehatan. Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang seringkali menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya.Pasien tersebut berulangkali memohon dokter untuk mengakhiri hidupnya.Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat disebut euthanasia.Sebenarnya tindakan perawatan medis yang tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan.Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Menurut Tirtaamidjaja menganiaya adalah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan. Sedangkan penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain atau dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang lain (Isfandyarie, 2005). Pasal 80 (1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau doktergigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidanapenjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun atau denda paling banyakRp. 300.000.000 ( Tiga Ratus Juta Rupiah ) (2) Dalam hal tindak pidana sebagaiimana dimaksud dalam ayat (1)dilakukan oleh korporasi , maka pidana yang dijatuhkan adalah pidanadenda sebagaimana pada ayat ( 1) ditambah sepertiga atau dijatuhihukuman tambahan berupa pencabutan izin. Dari bunyi Pasal 80 ayat (1) dan (2) Undang – Undang Praktik Kedokteran tersebut dapat diartikan bahwa sanksi pidana yang tercantum didalam Pasal 80 ayat (1) dan ( 2 ) dapat dikenakan kepada perorangan yang memiliki sarana pelayanan kesehatan yang mempekerjakan dokter tanpa SIP, selain itu korporasi yang memiliki sarana pelayanan kesehatan yang mempekerjakan dokter yang tidak mempunyai SIP juga dapat dikenakan pidana. Tindak pidana – tindak pidana tersebut bertujuan untuk melindungi keselamatan pasien (korban) secara tidak langsung sebagai upaya menangani tindak pidana malapraktik kedokteran , karena untuk mencegah jangan sampai terjadi kesalahan dalam upaya pelayanan kesehatan dan upaya penanganan tindak pidana malapraktik kedokteran karena dilakukan oleh orang yang tidak memiliki pengetahuan, kemampuan atau keahlian di bidang kedokteran. Oleh karena itu untuk melakukan praktik kedokteran (upaya kesehatan) , dokter wajibmemiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik. Harus didukung bahwa pengaturan tentang STR dan SIP sebagai license dari penguasa atau pejabat tata usaha negara yang berwenang sangat penting, karena hal itu memang diperlukan bagi perlindungan kepentingan hukum masyarakat akan pelayanan kesehatan yang dapat dipertanggungjawabkan secara medis. Pekerjaan dokter merupakan profesi berbeda dengan okupasi, sehingga pembentuk Undang – Undang dalam hal ini legislatif harus hati-hati dalam menentukan aspek pidana.Hukum pidana harus benar-benar digunakan sebagai ultimum remidium bukan premium remidium, lebih efektif dengan penerapan hukum administrative.Seorang dokter yang menyimpang dari standar profesi medik dikatakan telah melakukan kelalaian atau kesalahan dan ini menjadi salah satu unsur dalam malapraktik medik, yaitu apabila kesalahan atau kelalaian itu bersifat sengaja (dolus ) serta menimbulkan akibat yang serius atau fatal pada pasien. PEMBAHASAN Penelitian ini memperlihatkan bahwa pengaturan di dalam hukum positif saat ini yang berkaitan dengan malapraktik kedokteran adalah kejahatan terhadap pemalsuan surat keterangan sehat yang dilakukan dokter (Pasal 267 KUHP) , membuka rahasia kedokteran tanpa alasan yang dibenarkan undang-undang (Pasal 322 KUHP), kesalahan/kelalaian yang menyebabkan kematian/luka berat (Pasal 359,360 KUHP),tidak memberikan pertolongan darurat kepada orang dalam keadaan bahaya (Pasal 531 KUHP,Pasal 190 Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009),membantu orang lain melakukan bunuh diri karena permintaan atau tidak (Pasal 344 KUHP), dengan sengaja mengobati atau menyuruh mengobati dengan harapan karena pengobatan itu kandungan seorang wanita dapat digugurkan (Pasal 299,Pasal 345 KUHP), dengan sengaja menggugurkan kandungan tanpa persetujuan wanita hamil yang bersangkutan (Pasal 347 KUHP), dengan sengaja menggugurkan kandungan dengan persetujuan wanita hamil yang bersangkutan (Pasal 348,349 KUHP),dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang (Pasal 193 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009) Selanjutnya dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil, tidak berdasarkan indikasi medis,tidak sesuai dengan ketentuan ( Pasal 194 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009), dengan tujuan komersial melakukan transplantasi organ tubuh, jaringan tubuh,atau transfusi darah (Pasal 192,195 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 ) , dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa surat tanda registrasi , izin praktik , tidak memasang papan nama, tidak membuat rekam medis atau tidak memenuhi kewajiban sebagai dokter ( Pasal 75,Pasal 76,Pasal 79 Undang – Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004),dengan sengaja menggunakan identitas, alat atau metode dalam memberi pelayanan seolah – olah yang bersangkutan adalah dokter yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat izin praktik (Pasal 77 Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004),dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik di sarana pelayanan kesehatan, ( Pasal 80 Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 ); Pembaharuan hukum pidana(penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy).Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri.Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik,sosiofilosofis,sosiokultural,atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial,kebijakan kriminal,dan kebijakan penegakan hukum).Ini berarti makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu.Artinya,pembaharuan hukum pidana juga pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakanginya itu (Arief, 2010).Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yangbaik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanganankejahatan, jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagiandari politik kriminal. Dengan perkataan lain dilihat dari sudut politik kriminal,maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakanpenanganan kejahatan dengan hukum pidana. Disamping hal tersebut diatas usaha penanganan kejahatan lewatpembuatan undang undang pidana pada hakikatnya juga merupakan bagianintegral dari usaha perlindungan masyarakat dan usaha mencapaikesejahteraan masyarakat.Dalam rangka mencari bagaimana kebijakanhukum pidana yang akan datang dalam hal penanganan tindakpidana malapraktik kedokteran maka perlu adanya perbandingan KUHPdengan negara lain. Dalam penjelasan Pasal 578 Konsep, dikatakan bahwa pasal inidimaksudkan untuk melindungi kandungan seorang perempuan .Tindak pidana dalam ayat ( 1 ) sama dengan tindak pidana dalam Pasal 346 KUHP,akan tetapi sistem perumusan pidananya berbeda. Dalam KUHP rumusanpidananya secara pidana tunggal yaitu pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun , sedangkan dalam konsep 2008 pidana penjara 4 (empat) tahundialternatifkan dengan denda paling banyak Rp. 75.000.000,00(Tujuh Puluh Lima Juta Rupiah).Tindak pidana dalam ayat (2) dan ayat (3) sama dengan tindak pidanadalam Pasal 347 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, dengan rumusan pidana secara tunggal yaitu pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan 15 (lima belas) tahun. Perbedaannya dalam Pasal 578 ayat ( 2) dan ayat (3) Konsep,ada sistem pidana minimum khusus yaitu 3 ( tiga) tahun. Dalam KUHP Pasal 90 gugur atau matinya kandungan seorang perempuan juga masuk dalam kategori luka berat yang diancam dengan pidana.Adapun luka berat, atau bahkan meninggalnya pasien seringkali dikaitkan denganmalapraktik oleh pasien atau keluarganya. Padahal pengguguran kandungan bahkan menjadi keharusan bagi dokter untuk melakukannnya demi untuk menyelamatkan jiwa ibu yang menderita penyakit tertentu misalnya penyakit jantung dan keracunan kehamilan sehingga dokter tidak dapat dituntut secara pidana karena melakukannya (abortus medisinalis). Berdasarkan hal tersebut di atas, diperlukan suatu pemikiran dan langkah – langkah yang bijaksana dalam menyikapi masalah akibat tindakan medik yang membahayakan nyawa karena disamping dapat dianggap sebagai malapraktik dapat pula merupakan risiko dari tindakan medik tersebut.Untuk setiap manfaat yang kita dapatkan selalu ada resiko yang harus kita hadapi.Satu – satunya jalan menghindari resiko medik adalah tidak berbuat sama sekali.Begitu pula bagi seorang dokter dalam memberikan pelayanan medik terhadap pasiennya. Pada hakekatnya, dokter akan selalu dituntut untuk lebih mengutamakan rasa puas pasien, yaitu dengan bertanggung jawab dalam penyembuhan pasien. Sama halnya dengan Pasal 359, Pasal 360 KUHP juga merupakan tindak pidana materiil yaitu tindak pidana dimana timbulnya akibat oleh perbuatan sebagai syarat selesainya tindak pidana.Pasal 593 Konsep 2008 merupakan pasal pemberatan pidana bagi pelaku dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian yang melakukan tindak pidana yang disebut dalam Pasal 592 Konsep. Pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan dalam menjalankan suatu jabatan atau profesi ditambah 1/3 ( sepertiga ) dari pidana bagi pelaku yang bukan dalam menjalankan suatu jabatan atau profesi. Pasal ini merupakan suatu bentuk perlindungan juga terhadap pasien dalam hal terjadinya kelalaian atau kealpaan yang dilakukan oleh dokter dalam pelayanan kesehatan. Dalam membuktikan adanya malapraktik maka dereliction of duty menjadiunsur yang sangat penting dan mutlak untuk dibuktikan, sementara dereliction of duty itu sendiri diukur berdasarkan terpenuhi atau tidaknya standar layanan yang ada .Atas dasar itulah maka pemenuhan standar layanan kesehatan di rumah sakitmerupakan salah satu upaya penting dalam mencegah terjadinya dugaan malapraktik . Dokter di dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien jangan hanya mengejar materi, sedangkan pengobatan yang dilakukan tidak sesuai denganyang diharapkan. Kepentingan pertama dalam pengobatan adalah kesembuhan pasien,di mana dokter dengan segala ilmu kedokteran yang dimilkinya dapat mengetahuipenyakit yang diderita pasiennya. Rancangan KUHP tidak secara memadai mengelaborasi muatan-muatantindak pidana mengenai kejahatan di bidang kesehatan dan kejahatan profesi. Menyangkut kejahatan profesi, dengan adanya KUHP yang baru seharusnya penegak hukum dan masyarakat luas semakin mudah mengidentifikasikan peristiwa tertentu melalui rumusan-rumusan unsur-unsur yang spesifik, apakah sebagai perbuatan yang patut dikenakan ancaman pidana atau merupakan pelanggaran kode etik profesi. Pemberatan pidana yang berhubungan dengan penanganan malapraktik kedokteran sebaiknya tetap dipertahankan mengikuti KUHP Indonesia yang sudah ada dan konsep KUHP yaitu dengan pidana ditambah1/3 (sepertiga) bagi dokter, bidan dan paramedis, apoteker, atau juru obat.Hal ini sangat baik di dalam memberikan efek jera terhadap pelaku malapraktikkedokteran. Kebijakan hukum pidana yang akan datang dalam hal “membantu melakukan“ yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan termasuk di dalamnya praktik dokter sebaiknya tetap mengikuti KUHP Indonesia dan Konsep yaitu dikurangi 1/3 dan pada hal –hal tertentu membantu melakukan dipidana sama dengan pelaku atau ditambah 1/3 bagi dokter, bidan, paramedis , apoteker. KESIMPULAN DAN SARAN Dalam hukum positif Indonesia baik KUHP, Undang – undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan , Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasca putusan Mahkamah konstitusi tidak diatur secara khusus tentang malapraktik kedokteran.Kebijakan hukum pidana yang akan datang adalah yang bersumber dari hukum positif, dalam hal ini Konsep KUHP,Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pasca putusan Mahkamah Konstitusi,Undang-Undang Rumah Sakit.Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat dokter karena adanya dugaan malapraktik diharapkan para dokter dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati. Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan).Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa (mufakat). Dalam menghadapi kasus dugaan malapraktik kedokteran, sebaiknya diselesaikan melalui jalur nonlitigasi karena lebih praktis dan efisien. Sebaiknya di dalam Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dimasukkan tentang malapraktik kedokteran berikut penjelasannya sehingga masyarakat umum, dokter, dan dunia kesehatan menjadi paham apa sesungguhnya malapraktik kedokteran dan mengetahui batasan – batasan mengenai tindak pidana malapraktik kedokteran ini .Dalam rangka mencegah terjadinya kasus malapraktik yang merugikan pasien sebaiknya untuk kasus-kasus dugaan malapraktik kedokteran diterapakan sistem pembuktian terbalik sehingga yang membuktikan bahwa tidak terjadinya malapraktik adalah dokter. DAFTAR PUSTAKA Ameln,Fred.1991.Kapita Selekta Hukum Kedokteran, ctk.Pertama, Grafika Tama Jaya, Jakarta Arief,B.N.2010.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru.Jakarta Kencana.Jakarta Budiarti,R.T. 2004.Rambu – Rambu Rimba Kedokteran.Gatra.Bandung. Isfandyarie.A. 2005.Malapraktik dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana.Prestasi Pustaka. Jakarta Maryanti,N.1988.MalapraktikKedokteran, ctk. Pertama,BinaAksara.Jakarta Moeljatno, 1999.KUHP . Penerbit Bumi Aksara,Jakarta Chazawi.A.http//www.tanggungjawabhukummalapraktikkedokteran.com diakses tanggal 4 Maret 2013 Anonym. (tanpa tahun). http//www.welcome.makalahmalapraktik.com diakses tanggal 2 Maret 2013 Wulandari.C.2010.Pembuktian Pidana Kasus Malapraktik dan Kendala dalamPembuktiannya.Makalah.vol.4.No.2Desember2010.Universitas Negeri Semarang(http.www. Pembuktian Pidana Kasus Malapraktik dan Kendala dalamPembuktiannya.diakses tanggal 5 Peruari 2013) Sutrisno,S.1991.Tanggungjawab Dokter di bidang Hukum Perdata. Segi-segi Hukum Pembuktian,Makalah disajikan dalam Seminar Malapraktik Kedokteran, Semarang 29 Juni1991. Projodikoro, Wirjono ( III). Tindak – tindak pidana tertentu di Indonesia, ,Jakarta – Bandung: PT Eresco. 1980. hlm. 71 Undang Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Chasawi, adami. http//www.tanggungjawabhukummalpraktikkedokteran.com oleh.diakses tanggal 4 Maret 2013 Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam tantangan Zaman, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran 2004.hlm. 21