kebijakan hukum pidana dalam penanganan tindak

advertisement
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGANAN TINDAK
PIDANA MALAPRAKTIK KEDOKTERAN
CRIMINAL LAW POLICY IN THE SETTLEMENT OF A CRIME OF
MEDICAL MALPRACTICE
Muhammad Amir Rahim1,Aswanto2,Said Karim2
1
Puskesmas Samaenre, Sinjai
2
Program StudiIlmu Hukum,Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi:
Muhammad Amir Rahim
Puskesmas Samaenre, Kecamatan Sinjai Selatan
Kabupaten Sinjai
Hp:085242525597
Email:[email protected]
ABSTRAK
Tindakan malapraktik sangat merugikan pasien,dimana dapat terjadi kecacatan atau kematian.Karena itu pasien
sangat membutuhkan perlindungan dari tindakan malapraktik.Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai
kebijakan hukum pidana dalam rangka penanganan tindak pidana malapraktik kedokteran khususnya di dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap pasien korban malapraktik kedokteran.Dalam penyusunan tesis ini
menggunakan metode pendekatan yuridis normative. Diperoleh hasil bahwa Rancangan KUHP masih sebagian
kecil memuat tindak pidana mengenai kejahatan di bidang kesehatan,dan kejahatan profesi.Pengaturan di dalam
hukum positif saat ini yang berkaitan dengan malapraktik kedokteran adalah kejahatan terhadap pemalsuan surat
keterangan sehat yang dilakukan dokter ( didalam KUHP ). Disimpulkan bahwa sanksi terhadap korporasi diatur
di dalam Pasal 80 Undang - Undang Praktik Kedokteran.Dalam hukum positif Indonesia baik KUHP, Undang –
undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan , Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran pasca putusan Mahkamah konstitusi belum diatur secara khusus tentang malapraktik kedokteran.
Kata Kunci : Kebijakan,Pidana,Malapraktik
ABSTRACT
Malpractice action is very detrimental to the patient which may occur disability or death.Therefore patients
desperately need protection from malpractice action.The medical profession is one profession that is full of risk,
sometimes in treating patients or patients can cause injury or disability and even death as a result of the doctor's
actions. It is necessary for policy formulation research on criminal law in order to control crime especially in
medical malpractice in providing legal protection for patients victims of medical malpractice. In the preparation
of this thesis using normative juridical approach. The results obtained indicate that the draft Penal Code still
contains a small portion of the criminal offenses in the field of health, and crime profession. Factual practice in
the field of health care and pharmaceutical crime in the last period sticking as practices that are very harmful to
society. Settings in the current positive law pertaining to medical malpractice is a crime against counterfeiting
bill of health by physicians (in the Criminal Code). Concluded that sanctions against the corporation provided for
in Article 80 of Law - Medical Practice. In the Indonesian positive law either Penal Code, Law No. 36 Year 2009
on health, Law No. 29 of 2004 on Medical Practice Law after the Constitutional Court ruling not specifically
regulated or not known the term Malpractice medic.
Keywords: Policy, Criminal, Malpractice
PENDAHULUAN
Perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia di bidang kesehatan terlihat jelas
masih sangat kurang. Satu demi satu terdapat beberapa contoh kasus yang terjadi terhadap
seorang pasien yang tidak mendapatkan pelayanan semestinya, yang terburuk, dan kadangkadang akan berakhir dengan kematian. Berlakunya Undang-undang No.36 Tahun 2009
tentang Kesehatan,memberi peluang bagi pengguna jasa atau pasien untuk mengajukan
gugatan/tuntutan hukum terhadap pelaku usaha apabila terjadi konflik antara pelanggan
dengan pelaku usaha yang dianggap telah melanggar hak-haknya, terlambat melakukan / tidak
melakukan / terlambat melakukan sesuatu yang menimbulkan kerugian bagi pengguna
jasa/barang, baik kerugian harta benda atau cedera atau bisa jugakematian. Hal Ini
memberikan arti bahwa pasien selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan dapat
menuntut/menggugat rumah sakit, dokter atau tenaga kesehatan lainnya jika terjadi konflik.
Pada era global dewasa ini, tenaga medik merupakan salah satu profesi yang
mendapatkan sorotan masyarakat, karena sifat pengabdiannya kepada masyarakat sangat
kompleks.Akhir-akhir ini, masyarakat banyak yang menyoroti kinerja tenaga medik, baik
sorotan yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai induk
organisasi para dokter, maupun yang disiarkan melalui media cetak maupun media elektronik.
Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan upaya medik (yang terbaik sekali pun) menjadi
tidak berarti apa-apa.Oleh sebab itu tidaklah salah jika kemudian dikatakan bahwa hasil suatu
upaya medik penuh dengan ketidakpastian(uncertainty) dan tidak dapat diperhitungkan secara
matematik (Sutrisno, 1991).
Sampai sekarang, hukum kedokteran di Indonesia belum dapat dirumuskan secara
mandiri sehingga batasan – batasan mengenai malapraktik belum bisa dirumuskan, sehingga
isi pengertian dan batasan – batasan malapraktik kedokteran belum seragam bergantung pada
sisi mana orang memandangnya (Crisdiono,2004).UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran juga tidak memuat tentang ketentuan malapraktik kedokteran.Pasal 66 ayat(1)
mengandung kalimat yang mengarah pada kesalahan praktik dokter yaitu“Setiap orang yang
mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada ketua Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia” Norma ini hanya memberi dasar hukum untuk
melaporkan dokter ke organisasi profesinya apabila terdapat indikasi tindakan dokter yang
membawa kerugian, bukan pula sebagai dasar untuk menuntut ganti rugi atas tindakan dokter.
Pasal itu hanya mempunyai arti dari sudut hukum administrasi praktik kedokteran.Pasal 29
Undang Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 hanya menyinggung tentang kelalaian yang
berbunyi “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya,kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.”Selanjutnya
Pasal 58 ayat (1) undang-undang yang sama berbunyi “Setiap orang berhak menuntut ganti
rugi
terhadap
seseorang,tenaga
kesehatan,dan/atau
penyelenggara
kesehatan
yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.”Sampai saat ini belum ada Pasal dalam Undang-Undang Kesehatan,UndangUndang Praktik Kedokteran maupun KUHP yang secara eksplisit menyebut kata malapraktik
demikian pula dalam penjelasannya.
Penegakan hukum yang proporsional terhadap tindakan dokter yang melakukan
tindakan malapraktik medik selain memberi perlindungan hukum bagi masyarakat sebagai
konsumen dan biasanya mempunyai kedudukan yang lemah, dilain pihak juga bagi dokter
yang tersangkut dengan persoalan hukum jika memang telah melalui proses peradilan dan
terbukti tidak melakukan perbuatan malapraktik akan dapat mengembalikan nama baiknya
yang dianggap telah tercemar, karena hubungan dokter dan pasien bukanlah hubungan yang
sifatnya kerja biasa atau atasan bawahan tapi sifatnya kepercayaan dan kerahasiaan.
.Masyarakat yang dirugikan atas adanya malapraktik kedokteran membutuhkan
perlindungan hukum yang telah mengakibatkan kerugian atau penderitaan lebih lanjut pada
pasien, Untuk menciptakan suatu bentuk kepastian hukum dan menjamin pelayanan upaya
kesehatan dan untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut selain KUHP pemerintah telah
mengeluarkan undang – undang di bidang kesehatan dan undang – undang praktik dokter,
yaitu Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1992 Jo Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Dokter.Bagi
masyarakat terutama para korban pertanyaan yang menjadi perhatian adalah mengapa begitu
sulit membawa kasus malapraktik “dari meja operasi ke meja hijau”. Apakah perangkat
hukum dan peraturan perundangan yang ada tidak cukup untuk membawa persoalan
malapraktik medik ke ranah hukum terutama hukum pidana, untuk itu perlu dikaji kembali
mengenai kebijakan yang ada saat ini (undang-undang yang berkaitan dengan malapraktik
kedokteran) dan kebijakan yang akan datang di dalam menangani tindak pidana malapraktik
kedokteran.Tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana yang
berlaku saat ini dalam menangani tindak pidana malapraktik kedokteran.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach).Namun
karena sasaran utama dalam penelitian ini pada masalah kebijakan yaitu mengenai perundangundangan dalam menetapkan dan merumuskan tindak pidana malapraktik kedokteran , maka
pendekatannya terutama ditempuh melalui pendekatan yuridis normatif atau penelitian
kepustakaan yang bertumpu pada data sekunder. Spesifikasi penelitian dalam tesis ini adalah
termasuk deskriptif analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundangan yang berlaku saat
ini.
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, maka jenis data yang digunakan
adalah data sekunder. Data sekunder yang diteliti adalah Undang Undang Dasar 1945;Bahan
hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti
rancangan undang-undang,hasil-hasil penelitian,hasil karya dari kalangan hukum,dan
sebagainya. Bahan hukum tertier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder,seperti kamus,ensiklopedia,indeks kumulatif,dan
sebagainya.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini ditempuh dengan melakukan penelitian
kepustakaan dan studi dokumen. Data atau sumber sekunder berupa Kitab Undang Undang
Hukum Pidana (KUHP), Undang Undang Kesehatan dan Undang Undang Praktik
Kedokteran.Sesuai dengan penggunaan data sekunder dalam penelitian ini, maka
pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan, mengkaji dan mengolah secara
sistematis bahan – bahan kepustakaan serta dokumen –dokumen yang berkaitan. Data,asas –
asas , konsepsi – konsepsi, pandangan – pandangan, doktrin –doktrin hukum serta isi kaidah
hukum diperoleh melalui dua referensi utama yaitu :
a) Bersifat umum, terdiri dari buku – buku , teks , ensiklopedia; b) Bersifat khusus terdiri
dari laporan hasil penelitian, majalah maupun jurnal.
Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian dikumpulkan dan dilakukan analisis dengan jalan
menafsirkan dan mengkonstruksikan pernyataan yang terdapat dalam dokumen dan
perundang - undangan. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan
yang ada sebagai norma hukum positif dan mempertanyakan apakah hukum yang berlaku saat
ini memang sudah seharusnya, sedangkan kualitatif berarti analisa data yang bertitik tolak
pada usaha penemuan asas - asas dan informasi baru yang berhubungan dengan fokus
penelitian.
HASIL
Kebijakan Hukum Pidana Saat ini Dalam Menangani Tindak Pidana Malapraktik
Kedokteran
Definisi malapraktik dari segi medik dan hukum
Ada beberapa definisi yang berbeda dalam memberikan pengertian malapraktik.Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, malapraktikdiartikan sebagai praktik kedokteran yang
dilakukan salah atau tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik. Secara harfiah
“mala” mempunyai arti “salah”atau “buruk” sedangkan “praktik” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malapraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang
salah atau buruk” (anonym, tanpa tahun). Definisi malapraktik masih beragam tergantung dari
sudut pandang mana malapraktik itu dinilai apakah dari sudut pandang hukum ataukah dari
segi medis sendiri.Ada kalanya tindakan seorang dokter dikategorikan malapraktik medik jika
memberikan pelayanan di bawah, atau yang bertentangan dengan standar pelayanan medik
yang berlaku, melakukan kelalaian berat sehingga membahayakan pasien, atau melakukan
tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.Malapraktik juga menunjuk pada tindakantindakan secara sengaja dan melanggar undang-undang terkait, misalnya, UU No.36 tahun
2009 tentang Kesehatan.
Jenis Malapraktik Medik
Pertama Malapraktik EtikYang dimaksud dengan malapraktik etik adalah dokter
melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran.Sedangkan etika kedokteran
yang dituangkan dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis,prinsip,aturan atau
norma yang berlaku untuk dokter,antara lain di bidang diagnostic dan di bidang terapi. Kedua
Malapraktik Yuridik (Malapraktikdibidang hukum) untukmalapraktik hukum atau yuridical
malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni criminal
malpractice, civil malpractice dan administrative malpractice (Dahlan, 2008).
Administrative Malpractice(Malapraktik Administrasi)
Dikatakan administrative malpractice jika dokter melanggar hukum tata usaha negara.
Jenis – jenis lisensi
mempunyai batas kewenangan sendiri – sendiri.Tidak dibenarkan
melakukan tindakan medik melampaui batas kewenangan yang telah ditentukan. Jika
ketentuan tersebut dilanggar, maka dokter dianggap melakukan administrative malpractice
dan dapat dikenai sanksi administratif.
Aspek Etik Malapraktik
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang
berbeda dari istilah itu.Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang
moralitas.Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang
motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis
Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk
menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ?
Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya,
karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.Bagi
sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya
tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti
kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspektasi) profesi dan masyarakat, serta
bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga
terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil,
profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung
jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri
sendiri dan profesi, terhadap pemerintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung
terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku
jugauntuk eksekutif lain dirumah sakit. Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan
bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang
dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu. Malapraktik meliputi
pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan
kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono
dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak
sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya.
Aspek Hukum Malapraktik
Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan, yang kedua
sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang boleh dilakukan,
dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan
yang ketiga hukum itu juga merupakan hak.Oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya
untuk
medapatkan
keadilan
tapi
juga
hak
bagi
masyarakat
(korban).
Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua malapraktik medik
masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama sikap
bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam
perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis,
standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab
antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat ketiga
untuk dapat menempatkan malapraktik medik dengan hukum pidana adalah syarat akibat,
yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90 KUHP) atau
kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsurtindak pidana (Chasawi, 2004).Dalam setiap
tindak pidana pasti terdapat unsur sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas
ataupun tidak.
Maraknya dugaan kasus malapraktik di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya
lagi pada pelayanan kesehatan di Indonesia.Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir
kalau para tenaga medis Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut
berhadapan dengan hukum.Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang
baik antara tenaga medis dan pasien.Tidak jarang seorang tenaga medis tidak
memberitahukan sebab dan akibat suatu tindakan medis.Pasienpun enggan berkomunikasi
dengan tenaga medis mengenai penyakitnya.
Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga
berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan
oleh para korban dugaan malapraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi
dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malapraktik yang pernah
dilaporkanmasyarakat.Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat
sangat sedikit jumlah kasus malapraktik medik yang diselesaikan di pengadilan.Apakah
secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi.Di wilayah hukum
Polda Metro Jaya sendiri disepakati bahwa pada setiap kasus malapraktik medik diajukan dua
orang saksi ahli dibidang yang dibutuhkan,satu berasal dari organisasi profesi (MKEK) dan
satu dari kalangan akademisi (dosen fakultas kedokteran).
Kriteria dan Unsur Malapraktik
Untuk menembus kesulitan dalam menilai dan membuktikan apakah suatu perbuatan
itu termasuk kategori malapraktikatau tidak, biasanya dipakai 4 (empat) kriteria, antara lain
:Apakah perawatan yang diberikan oleh dokter cukup layak (aduty of due care). Dalam hal ini
standar perawatan yang diberikan oleh pelaksana kesehatan dinilai apakah sesuai dengan apa
yang diharapkan, apakah terdapat pelanggaran kewajiban (the breach of the duty), apakah itu
benar-benar merupakan penyebab cidera (causation), adanya ganti rugi (damages)
(Maryanti,1988).
Para dokter dianggap melakukan suatu kesalahan profesi (malapraktik) apabila dalam
menjalankan profesinya tidak memenuhi Standar Profesi Kedokteran, hal ini disebut juga
“kunstfout” (Ameln, 1991). Apabila ada dugaan malapraktikyang dilakukan oleh dokter maka
kelima unsur dari standar ini harus dipakai untuk menguji apakah suatu perbuatan medik
merupakan malapraktikatau tidak.Pasal 351 yang mengatur mengenai penganiayaan dapat
dianalisa bahwa suatu kematian baru dapat digolongkan akibat penganiayaan apabila
kematian itu tidak dikehendaki. Jika akibat tersebut dikehendaki, atau setidak – tidaknya dari
wujud perbuatan disadari mungkin ( kesadaran sebagai kemungkinan ) dapat menimbulkan
akibat kematian dan akibat tersebut benar – benar timbul, maka yang terjadi adalah
pembunuhan.Kesengajaan sebagai kemungkinan tidak berlaku pada penganiayaan, tetapi
berlaku pada pembunuhan (Projodikoro, 1980).
Akan tetapi doktrin mengatakan lain yaitu bahwa kejadian ini tetap termasuk
penganiayaan hanya saja sifat melawan hukum perbuatan menjadi hapus.Dewasa ini, para
dokter dan petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang kesehatan
yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis. Dari semua masalah yang ada
itu.euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter dan
tenaga kesehatan. Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien
menderita penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang
seringkali menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya.Pasien tersebut berulangkali
memohon dokter untuk mengakhiri hidupnya.Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat
disebut euthanasia.Sebenarnya tindakan perawatan medis yang tidak ada gunanya seperti
misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan.Tindakan
di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk
melakukan perawatan medis.
Menurut Tirtaamidjaja menganiaya adalah dengan sengaja menyebabkan sakit atau
luka pada orang lain, akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada
orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk
menambah keselamatan badan. Sedangkan penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu
pembentukan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain atau dengan sengaja
untuk merugikan kesehatan badan orang lain (Isfandyarie, 2005).
Pasal 80
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau doktergigi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42, dipidana dengan pidanapenjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun atau denda paling
banyakRp. 300.000.000 ( Tiga Ratus Juta Rupiah )
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaiimana dimaksud dalam ayat (1)dilakukan oleh korporasi , maka
pidana yang dijatuhkan adalah pidanadenda sebagaimana pada ayat ( 1) ditambah sepertiga atau
dijatuhihukuman tambahan berupa pencabutan izin.
Dari bunyi Pasal 80 ayat (1) dan (2) Undang – Undang Praktik Kedokteran tersebut
dapat diartikan bahwa sanksi pidana yang tercantum didalam Pasal 80 ayat (1) dan ( 2 ) dapat
dikenakan
kepada
perorangan
yang
memiliki
sarana
pelayanan
kesehatan
yang
mempekerjakan dokter tanpa SIP, selain itu korporasi yang memiliki sarana pelayanan
kesehatan yang mempekerjakan dokter yang tidak mempunyai SIP juga dapat dikenakan
pidana.
Tindak pidana – tindak pidana tersebut bertujuan untuk melindungi keselamatan
pasien (korban) secara tidak langsung sebagai upaya menangani tindak pidana malapraktik
kedokteran , karena untuk mencegah jangan sampai terjadi kesalahan dalam upaya pelayanan
kesehatan dan upaya penanganan tindak pidana malapraktik kedokteran karena dilakukan oleh
orang yang tidak memiliki pengetahuan, kemampuan atau keahlian di bidang kedokteran.
Oleh karena itu untuk melakukan praktik kedokteran
(upaya kesehatan) , dokter
wajibmemiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik.
Harus didukung bahwa pengaturan tentang STR dan SIP sebagai license dari penguasa
atau pejabat tata usaha negara yang berwenang sangat penting, karena hal itu memang
diperlukan bagi perlindungan kepentingan hukum masyarakat akan pelayanan kesehatan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara medis.
Pekerjaan dokter merupakan profesi berbeda dengan okupasi, sehingga pembentuk
Undang – Undang dalam hal ini legislatif harus hati-hati dalam menentukan aspek
pidana.Hukum pidana harus benar-benar digunakan sebagai ultimum remidium bukan
premium remidium, lebih efektif dengan penerapan hukum administrative.Seorang dokter
yang menyimpang dari standar profesi medik dikatakan telah melakukan kelalaian atau
kesalahan dan ini menjadi salah satu unsur dalam malapraktik medik, yaitu apabila kesalahan
atau kelalaian itu bersifat sengaja (dolus ) serta menimbulkan akibat yang serius atau fatal
pada pasien.
PEMBAHASAN
Penelitian ini memperlihatkan bahwa pengaturan di dalam hukum positif saat ini yang
berkaitan dengan malapraktik kedokteran adalah kejahatan terhadap pemalsuan surat
keterangan sehat yang dilakukan dokter (Pasal 267 KUHP) , membuka rahasia kedokteran
tanpa alasan yang dibenarkan undang-undang (Pasal 322 KUHP), kesalahan/kelalaian yang
menyebabkan kematian/luka berat (Pasal 359,360 KUHP),tidak memberikan pertolongan
darurat kepada orang dalam keadaan bahaya (Pasal 531 KUHP,Pasal 190 Undang-Undang
Kesehatan No.36 Tahun 2009),membantu orang lain melakukan bunuh diri karena permintaan
atau tidak (Pasal 344 KUHP), dengan sengaja mengobati atau menyuruh mengobati dengan
harapan karena pengobatan itu kandungan seorang wanita dapat digugurkan (Pasal 299,Pasal
345 KUHP), dengan sengaja menggugurkan kandungan tanpa persetujuan wanita hamil yang
bersangkutan (Pasal 347 KUHP), dengan sengaja menggugurkan kandungan dengan
persetujuan wanita hamil yang bersangkutan (Pasal 348,349 KUHP),dengan sengaja
melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang (Pasal
193 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009)
Selanjutnya dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil,
tidak berdasarkan indikasi medis,tidak sesuai dengan ketentuan ( Pasal 194 Undang – Undang
Nomor 36 Tahun 2009), dengan tujuan komersial melakukan transplantasi organ tubuh,
jaringan tubuh,atau transfusi darah (Pasal 192,195 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 )
, dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa surat tanda registrasi , izin praktik ,
tidak memasang papan nama, tidak membuat rekam medis atau tidak memenuhi kewajiban
sebagai dokter ( Pasal 75,Pasal 76,Pasal 79 Undang – Undang Praktik Kedokteran Nomor 29
Tahun 2004),dengan sengaja menggunakan identitas, alat atau metode dalam memberi
pelayanan seolah – olah yang bersangkutan adalah dokter yang telah memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat izin praktik (Pasal 77 Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor
29 Tahun 2004),dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki
surat izin praktik di sarana pelayanan kesehatan, ( Pasal 80 Undang – Undang Nomor 29
Tahun 2004 );
Pembaharuan hukum pidana(penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik
hukum pidana (penal policy).Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat
dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri.Latar
belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek
sosiopolitik,sosiofilosofis,sosiokultural,atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya
kebijakan sosial,kebijakan kriminal,dan kebijakan penegakan hukum).Ini berarti makna dan
hakikat pembaharuan hukum pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek
itu.Artinya,pembaharuan hukum pidana juga pada hakikatnya harus merupakan perwujudan
dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang
melatarbelakanginya itu (Arief, 2010).Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum
pidana yangbaik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanganankejahatan,
jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagiandari politik kriminal. Dengan
perkataan lain dilihat dari sudut politik kriminal,maka politik hukum pidana identik dengan
pengertian kebijakanpenanganan kejahatan dengan hukum pidana.
Disamping hal tersebut diatas usaha penanganan kejahatan lewatpembuatan undang undang pidana pada hakikatnya juga merupakan bagianintegral dari usaha perlindungan
masyarakat dan usaha mencapaikesejahteraan masyarakat.Dalam rangka mencari bagaimana
kebijakanhukum pidana yang akan datang dalam hal penanganan tindakpidana malapraktik
kedokteran maka perlu adanya perbandingan KUHPdengan negara lain.
Dalam penjelasan Pasal 578 Konsep, dikatakan bahwa pasal inidimaksudkan untuk
melindungi kandungan seorang perempuan .Tindak pidana dalam ayat ( 1 ) sama dengan
tindak pidana dalam Pasal 346 KUHP,akan tetapi sistem perumusan pidananya berbeda.
Dalam KUHP rumusanpidananya secara pidana tunggal yaitu pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun , sedangkan dalam konsep 2008 pidana penjara 4 (empat) tahundialternatifkan
dengan denda paling banyak Rp. 75.000.000,00(Tujuh Puluh Lima Juta Rupiah).Tindak
pidana dalam ayat (2) dan ayat (3) sama dengan tindak pidanadalam Pasal 347 ayat (1) dan
ayat (2) KUHP, dengan rumusan pidana secara tunggal yaitu pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun dan 15 (lima belas) tahun. Perbedaannya dalam Pasal 578 ayat ( 2) dan ayat
(3) Konsep,ada sistem pidana minimum khusus yaitu 3 ( tiga) tahun.
Dalam KUHP Pasal 90 gugur atau matinya kandungan seorang perempuan juga masuk dalam
kategori luka berat yang diancam dengan pidana.Adapun luka berat, atau bahkan
meninggalnya pasien seringkali dikaitkan denganmalapraktik oleh pasien atau keluarganya.
Padahal pengguguran kandungan bahkan menjadi keharusan bagi dokter untuk
melakukannnya demi untuk menyelamatkan jiwa ibu yang menderita penyakit tertentu
misalnya penyakit jantung dan keracunan kehamilan sehingga dokter tidak dapat dituntut
secara pidana karena melakukannya (abortus medisinalis).
Berdasarkan hal tersebut di atas, diperlukan suatu pemikiran dan langkah – langkah
yang bijaksana dalam menyikapi masalah akibat tindakan medik yang membahayakan nyawa
karena disamping dapat dianggap sebagai malapraktik dapat pula merupakan risiko dari
tindakan medik tersebut.Untuk setiap manfaat yang kita dapatkan selalu ada resiko yang harus
kita hadapi.Satu – satunya jalan menghindari resiko medik adalah tidak berbuat sama
sekali.Begitu pula bagi seorang dokter dalam memberikan pelayanan medik terhadap
pasiennya. Pada hakekatnya, dokter akan selalu dituntut untuk lebih mengutamakan rasa puas
pasien, yaitu dengan bertanggung jawab dalam penyembuhan pasien.
Sama halnya dengan Pasal 359, Pasal 360 KUHP juga merupakan tindak pidana
materiil yaitu tindak pidana dimana timbulnya akibat oleh perbuatan sebagai syarat selesainya
tindak pidana.Pasal 593 Konsep 2008 merupakan pasal pemberatan pidana bagi pelaku dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencaharian yang melakukan tindak pidana yang disebut
dalam Pasal 592 Konsep. Pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan dalam menjalankan
suatu jabatan atau profesi ditambah 1/3 ( sepertiga ) dari pidana bagi pelaku yang bukan
dalam menjalankan suatu jabatan atau profesi. Pasal ini merupakan suatu bentuk perlindungan
juga terhadap pasien dalam hal terjadinya kelalaian atau kealpaan yang dilakukan oleh dokter
dalam pelayanan kesehatan.
Dalam membuktikan adanya malapraktik maka dereliction of duty menjadiunsur yang
sangat penting dan mutlak untuk dibuktikan, sementara dereliction of duty itu sendiri diukur
berdasarkan terpenuhi atau tidaknya standar layanan yang ada .Atas dasar itulah maka
pemenuhan standar layanan kesehatan di rumah sakitmerupakan salah satu upaya penting
dalam mencegah terjadinya dugaan malapraktik .
Dokter di dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien jangan hanya
mengejar materi, sedangkan pengobatan yang dilakukan tidak sesuai denganyang diharapkan.
Kepentingan pertama dalam pengobatan adalah kesembuhan pasien,di mana dokter dengan
segala ilmu kedokteran yang dimilkinya dapat mengetahuipenyakit yang diderita pasiennya.
Rancangan KUHP tidak secara memadai mengelaborasi muatan-muatantindak pidana
mengenai kejahatan di bidang kesehatan dan kejahatan profesi.
Menyangkut kejahatan
profesi, dengan adanya KUHP yang baru seharusnya penegak hukum dan masyarakat luas
semakin mudah mengidentifikasikan peristiwa tertentu melalui rumusan-rumusan unsur-unsur
yang spesifik, apakah sebagai perbuatan yang patut dikenakan ancaman pidana atau
merupakan pelanggaran kode etik profesi.
Pemberatan pidana yang berhubungan dengan penanganan malapraktik kedokteran
sebaiknya tetap dipertahankan mengikuti KUHP Indonesia yang sudah ada dan konsep KUHP
yaitu dengan pidana ditambah1/3 (sepertiga) bagi dokter, bidan dan paramedis, apoteker, atau
juru obat.Hal ini sangat baik di dalam memberikan efek jera terhadap pelaku
malapraktikkedokteran.
Kebijakan hukum pidana yang akan datang dalam hal “membantu melakukan“ yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan termasuk di dalamnya praktik dokter sebaiknya
tetap mengikuti KUHP Indonesia dan Konsep yaitu dikurangi 1/3 dan pada hal –hal tertentu
membantu melakukan dipidana sama dengan pelaku atau ditambah 1/3 bagi dokter, bidan,
paramedis , apoteker.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam hukum positif Indonesia baik KUHP, Undang – undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang kesehatan , Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
pasca putusan Mahkamah konstitusi tidak diatur secara khusus tentang malapraktik
kedokteran.Kebijakan hukum pidana yang akan datang adalah yang bersumber dari hukum
positif, dalam hal ini Konsep KUHP,Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pasca
putusan Mahkamah Konstitusi,Undang-Undang Rumah Sakit.Dengan adanya kecenderungan
masyarakat untuk menggugat dokter karena adanya dugaan malapraktik diharapkan para
dokter dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati.
Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan rumah
sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua
cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses
peradilan).Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka
kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa (mufakat).
Dalam menghadapi kasus dugaan malapraktik kedokteran, sebaiknya diselesaikan melalui
jalur nonlitigasi karena lebih praktis dan efisien.
Sebaiknya di dalam Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran dimasukkan tentang malapraktik kedokteran berikut penjelasannya sehingga
masyarakat umum, dokter, dan dunia kesehatan menjadi paham apa sesungguhnya
malapraktik kedokteran dan mengetahui batasan – batasan mengenai tindak pidana
malapraktik kedokteran ini .Dalam rangka mencegah terjadinya kasus malapraktik yang
merugikan pasien sebaiknya untuk kasus-kasus dugaan malapraktik kedokteran diterapakan
sistem pembuktian terbalik sehingga yang membuktikan bahwa tidak terjadinya malapraktik
adalah dokter.
DAFTAR PUSTAKA
Ameln,Fred.1991.Kapita Selekta Hukum Kedokteran, ctk.Pertama, Grafika Tama Jaya,
Jakarta
Arief,B.N.2010.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru.Jakarta Kencana.Jakarta
Budiarti,R.T. 2004.Rambu – Rambu Rimba Kedokteran.Gatra.Bandung.
Isfandyarie.A. 2005.Malapraktik dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana.Prestasi
Pustaka. Jakarta
Maryanti,N.1988.MalapraktikKedokteran, ctk. Pertama,BinaAksara.Jakarta
Moeljatno, 1999.KUHP . Penerbit Bumi Aksara,Jakarta
Chazawi.A.http//www.tanggungjawabhukummalapraktikkedokteran.com diakses tanggal 4
Maret 2013
Anonym. (tanpa tahun). http//www.welcome.makalahmalapraktik.com diakses tanggal 2
Maret 2013
Wulandari.C.2010.Pembuktian
Pidana
Kasus
Malapraktik
dan
Kendala
dalamPembuktiannya.Makalah.vol.4.No.2Desember2010.Universitas
Negeri
Semarang(http.www. Pembuktian Pidana Kasus Malapraktik dan Kendala
dalamPembuktiannya.diakses tanggal 5 Peruari 2013)
Sutrisno,S.1991.Tanggungjawab Dokter di bidang Hukum Perdata. Segi-segi Hukum
Pembuktian,Makalah disajikan dalam Seminar Malapraktik Kedokteran, Semarang
29 Juni1991.
Projodikoro, Wirjono ( III). Tindak – tindak pidana tertentu di Indonesia, ,Jakarta – Bandung:
PT Eresco. 1980. hlm. 71
Undang Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Chasawi, adami. http//www.tanggungjawabhukummalpraktikkedokteran.com oleh.diakses
tanggal 4 Maret 2013
Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam tantangan Zaman,
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran 2004.hlm. 21
Download